Perkumpulan HAK
23
MAJALAH BULANAN HAK ASASI MANUSIA
Edisi 23 - MARET 2003
Rua Governador C.M. Serpa Rosa T-091, Farol, Dili, Timor Leste. Tel.: +670.390.313323 Fax: +670.390.313324 E-Mail:
[email protected]
Dialog Nasional Menyelesaikan Apa? Salah satu aksi protes anggota CPD-RDTL terhadap Pemerintah RDTL. Foto: Rogério Soares/Direito
DAFTAR
ISI
DIREITO UTAMA: Dialog Nasional Menyelesaikan Apa? Hal. 1 - 2 Agar Dialog Nasional Berguna Bagi Masa Depan Hal. 3 Yang Terlupakan Dalam Dialog Hal. 4 - 5 DIALOG: Ini Bukan Dialog Nasional Hal. 6 JUSTIÇA: Alternatif Penyelesaian Sengketa Hal. 7 PEMBERDAYAAN RAKYAT: Pestisida Buatan Sendiri Hal. 8 - 9 TEROPONG KEBIJAKAN: Makalah Kebijakan Regulasi Anti Kekerasan Domestik Hal. 10 - 11 HAK ASASI: Proses Penuntutan Komandan MAHIDI Hal. 12 INSTRUMEN HAM: Kebebasan Mengeluarkan Pendapat Hal. 13 Semua Orang Mempunyai Hak Dan Kedudukan Sama Hal. 14 GUGAT: Polisi Diperkuat Untuk Menegakkan Demokrasi Hal. 15 SERBA-SERBI: Menperjuangkan Pengadilan Internasional Hal. 16 AMI LIAN: Kata Masyarakat Tentang Dialog Nasional Hal. 16
T
untutan CPD-RDTL untuk melakukan dialog dengan Pemerintah dan Unmiset akhirnya terlaksana pada 25 Januari 2003 lalu. Dialog yang diprakarsai Presiden Xanana Gusmão itu diikuti oleh hampir semua pimpinan CPD-RDTL dan pengikutnya dengan Pemerintah dan UNMISET (Misi Dukungan PBB di Timor Leste, pengganti UNTAET). Berhasilkah dialog tersebut menyelesaikan “konflik politik” di antara kelompok-kelompok politik? Kepada Direito, beberapa anggota komisi penyelenggaranya mengatakan bahwa dialog tersebut berhasil karena bisa mempertemukan para pihak yang selama ini berbeda pendapat dalam satu forum dialog untuk membicarakan pemecahan masalah di antara mereka. Keberhasilan mengajak pihak-pihak yang bertikai untuk saling berdialog, yang sebelumnya lebih suka saling menuduh dan saling mencaci di muka publik, memang bisa dianggap sebagai salah satu hasil dari dialog itu. Namun, ada pula pendapat yang menilai dialog tersebut belum bisa disebut berhasil. Dasar pendapat ini merujuk pada tidak disinggungnya hal-hal substansial dalam dialog tersebut. Mantan komandan FALINTIL L7 alias Leki Nahak Fohorai Bo’ot yang diwawancarai Direito pada 9/2/ 2003 di desa Laivai, Lospalos, mengaku dirinya kurang puas atas dialog itu. Sebabnya, pembahasan dalam dialog tersebut tidak menyinggung halhal yang menurutnya mendasar. L-7 menyebut konflik antara kelompok design by nobodycorp.
DIREITO UTAMA
Dialog Siapa?
D
ialog adalah pembicaraan antara dua orang atau dua pihak. Dalam dialog terjadi pertukaran pendapat dan gagasan. Satu pihak mengajukan suatu pandangan tentang sesuatu, kemudian mendengarkan pendapat pihak yang lain. Melalui dialog diharapkan dicapai suatu pengertian yang lebih baik dan lebih benar mengenai sesuatu. Dialog bisa digunakan sebagai sarana untuk mencari penyelesaian masalah. Misalnya, terjadi sengketa antara orang yang tinggal di suatu rumah yang dibelinya secara sah dengan orang yang sekarang datang meminta tanah tempat rumah tersebut berdiri karena tanah ini dulu miliknya yang dirampas tentara pendudukan. Kemudian kedua belah pihak sepakat untuk berunding menyelesaikan masalah ini. Masing-masing pihak menyampaikan pandangan tentang masalahnya. Setelah itu, masing-masing pihak mengajukan cara penyelesaiannya. Tentu saja, penyelesaian masalahnya tergantung pada penerimaan masing-masing pihak. Jika salah satu pihak mau menyelesaikan dengan cara yang diajukannya, tetapi pihak lain tidak mau maka tidak bisa tercapai penyelesaian. Oleh karena itu, jika masalah ingin diselesaikan melalui dialog maka masing-masing pihak harus menawarkan sesuatu kepada lawan dialognya, tidak bisa hanya menuntut. Dalam contoh kita di atas, pihak yang telah membeli rumah tersebut secara sah tidak bisa bersikeras mengatakan bahwa pemilik tanah yang dulu tidak punya hak lagi. Demikian pula, pemilik tanah yang dulu tidak bisa meminta penghuni rumah yang sekarang untuk pergi begitu saja. Salah satu kemungkinan penyelesaian adalah penghuni rumah yang sekarang memberikan sebagian tanahnya dan pemilik tanah yang dulu mendapatkan kembali sebagian tanahnya, bukan semuanya. Dialog Nasional yang diprakarasai oleh Presiden Xanana Gusmão adalah dialog yang bertujuan menyelesaikan masalah. Dialog dibuat setelah terjadinya demonstrasidemonstrasi organisasi CPD RDTL. Tetapi yang tidak jelas adalah siapa pihak-pihak yang bersengketa dan apa masalah yang disengketakan. Kejelasan tentang ini merupakan prasyarat dari penyelesaian. Jika tidak jelas siapa yang bersengketa, siapa dengan siapa yang diharapkan melakukan pertukaran gagasan dan pemikiran?
2
Xanana Gusmão dengan beberapa orang pejuang lainnya seperti Kilik, Mauk Moruk, dan Ologari di hutan pada tahun 1983 sebagai salah satu masalah substansial yang tidak dibicarakan. Padahal menurut L-7, masalah itulah yang sesungguhnya melatarbelakangi berbagai aksi penentangan kelompok CPD-RDTL terhadap Xanana dan Pemerintah RDTL. Sorotan lain datang dari Menteri Dalam Negeri, Rogério Tiago Lobato dan Presiden ASDT Fransisco Xavier do Amaral. Kepada Direito di kantornya pada 14/2/2003, Rogério Tiago Lobato mengatakan bahwa dirinya menyayangkan dialog tersebut hanya melibatkan CPD-RDTL. Menurutnya, berbagai persoalan yang marak terjadi selama ini bukan disebabkan oleh CPDRDTL saja. Ada juga pihak lain ikut bermain di dalamnya. “Mengapa dialog harus diadakan dengan CPD-RDTL yang kemauannya tidak punya dasar yang kuat? Lebih baik dialog seperti itu diadakan dengan perkumpulan politik lain yang punya dasar kuat untuk membantu mendinamiskan politik di Timor Leste,” kata Menteri Dalam Negeri itu. Presiden pertama RDTL yang sekarang menjabat Wakil Ketua Parlemen Nasonal, Fransisco Xavier do Amaral bahkan lebih keras menyatakan CPD-RDTL sebagai kelompok yang tidak jelas identitasnya karena mereka tidak mengakui dirinya sebagai kewarganegaraan Timor Leste. Jadi menurutnya tidak sepantasnya pemerintah atau presiden melakukan dialog dengan CPD-RDTL. “CPD-RDTL tidak pernah menerima kewarganegaraan Timor Leste; Tidak ikut registrasi UNTAET; Tidak mengikuti Pemilihan Majelis Konstituante dan bahkan melarang orang untuk mengikutinya, maka untuk apa saya sebagai salah satu negara berbicara dengannya” kata Xavier. Dari dua pendapat itu mana yang tepat, tentu saja masih perlu dibuktikan dari semua aspek. Yang pasti bahwa sikap menuduh kelompok tertentu sebagai organisasi ilegal tanpa alasan hukum yang kuat adalah sikap yang mengabaikan asas praduga tak bersalah. Begitu juga melarang sebuah kelompok untuk berdialog dengan pemerintah adalah sikap yang tidak demokratis. Berdialog dengan pemerintah adalah bagian dari perwujudan hak partisipasi setiap warganegara dalam turut memecahkan masalahmasalah kenegaraan. Menyatakan dialog nasional yang lalu tidak bermanfaat adalah juga sikap yang tidak bijaksana. Karena bagaimanapun juga dialog tersebut barulah dilakukan untuk pertama kalinya. Sekedar penyeimbangnya, pendapat Ketua Parlemen Nasional Fransisco Guterres “Lu-Olo” barangkali bisa dijadikan bahan renungan. “Dialog adalah cara terbaik untuk menyelesaikan semua masalah politik antar elit dan antar masyarakat di negeri ini,” katanya kepada Direito. Bahwa dialog pada 25 Januari lalu belum menghasilkan hal konkret, itu harus dilihat sebagai sebuah proses awal yang tentu saja masih mengandung kekurangan. “Yang penting, semua orang harus melihat dialog sebagai sarana terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah nasional,“ lanjutnya. Ia menegaskan agar di masa mendatang, dialog diarahkan untuk membahas hal-hal substansial yang menyangkut kepentingan seluruh bangsa ini. Nuno Rodriguez dari Sahe Institute for Liberation, sependapat bahwa dialog seharusnya dipandang sebagai cara menyelesaikan masalah. Ia mengkritik pendapat yang menyatakan bahwa dengan terselenggaranya pertemuan pada 25 Januari lalu dialog nasional sudah berhasil. “Dialog baru pada tahap awal. Dialog bisa dianggap selesai kalau sudah menyelesaikan masalah dengan sebaik-baiknya,” katanya kepada Rogério Soares dari Direito. Menurutnya, agar masalah bisa diselesaikan dialog harus membuka akar dari masalahnya. “Kita tidak akan pernah menyelesaikan suatu masalah kalau menghindar dari akar masalahnya,” katanya. Memang betul, acara dialog nasionaltidak seharusnya digunakan hanya untuk menjelaskan resolusi-resolusi PBB dan peran PBB di negara kita. Ada media lain yang lebih tepat untuk itu dan tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk sebuah dialog yang tidak menyentuh hal yang menjadi akar masalah yang membuat dilakukannya dialog itu. edisi 23 - Maret 2003
DIREITO UTAMA
Agar Dialog Nasional Berguna Bagi Masa Depan Ada masalah penting yang harus diselesaikan, tetapi sepertinya malah dihindari dalam dialog nasional. Yaitu masalah-masalah yang muncul selama perjuangan, terutama di dalam tubuh FALINTIL dan FRETILIN. Agar mencapai hasil, dialog harus menghadirkan para pemimpin perjuangan dari semua front, yaitu front perjuangan bersenjata, front klandestina dan front diplomatik untuk mempertanggungjawabkan perjuangan kepada rakyat. ahwa dialog nasional diada kan untuk menyelesaikan ma salah CPD-RDTL (Commissão Popular de Defesa da República Democrática de Timor Leste) hampir semua orang mengetahuinya. Tetapi apa sesungguhnya masalah mereka dan dengan siapa? Ini merupakan pertanyaan dasarnya. Dalam demonstrasi-demonstrasi mereka, CPD-RDTL menyatakan bahwa mereka menuntut restorasi kemerdekaan 28 November 1975, lengkap dengan bendera nasional yang dikibarkan pada hari proklamasi tersebut, lagu kebangsaan, teks proklamasi, Konstitusi RDTL 1975, dan FALINTIL sebagai tentara nasional. Tetapi L-7 alias Leki Nahak Fohorai Boot, mantan Segundo Comandante Região 3 FALINTIL melihat bahwa ada masalah lain yang justru merupakan masalah yang sebenarnya. “Keinginan mereka (CPD-RDTL) adalah menyelesaikan masalah mengapa Kilik, Oka, dan Carlele mati serta Mauk Moruk dan Ologari menyerah, kata L-7 kepada Oscar da Silva dan Rogerio Soares dari Direito. Menurutnya, pada tahun 1983 terjadi pertentangan antar pemimpin FALINTIL di hutan, yaitu antara Mauk Moruk dan Ologari sebagai Primeiro dan Segundo Comandante Brigada Vermelha FALINTIL di satu sisi dengan Xanana Gusmão di sisi lain. “Masalah ini sampai sekarang belum diselesaikan, sehingga mereka (CPD-RDTL) ingin menyelesaikannya. Tetapi persoalan ini pada dialog 25 Januari 2003 tidak ada penyelesaiannya,” lanjut L-7. Pertikaian antar pemimpin perjuangan ini terjadi ketika akan diadakan perundingan antara Panglima FALINTIL Xanana Gusmão dengan Komandan Korem Timor Timur Kolonel Purwanto. Perundingan yang menghasilkan kesepakatan penghentian tembak-mene-
B
edisi 23 - Maret 2003
mbak antara ABRI dengan FALINTIL ini lebih dikenal dengan sebutan “Kontak Dame.” Menurut L-7, karena keadaan tidak memungkinkan para pemimpin saat itu tidak bisa mengadakan rapat untuk membahas perundingan ini. Mereka hanya berhubungan melalui surat. “Dalam surat-menyurat itu ada kata-kata yang baik, ada kata-kata yang tidak baik. Yang tidak baik kadang-kadang emosional. Maka terjadilah saling marah. “Persoalan
melakukan hal tersebut. Ini bukan untuk memasukkan orang itu ke penjara. Bukan untuk membalas dengan melakukan kekerasan. Ini kita tidak mau. Tetapi otokritik dilakukan agar kekerasan itu tidak terjadi lagi,” papar L-7. L-7 juga mengusulkan agar dilakukan penyelesaian dengan menghadirkan pemimpin tiga front perjuangan (bersenjata, klandestina, dan diplomasi). Para pemimpin masing-masing front ini harus mem-
FALINTIL: di hutan ada masalah Foto: UNKNOWN
ini tidak sempat diselesaikan. Mauk Moruk turun dengan sejumlah senjata. Ologari mereka lucuti, kemudian jalan terpisah. Oka juga mereka lucuti, jalan sendiri sampai mati. Kilik kami tidak tahu, dibunuh Indonesia atau orang kami sendiri yang membunuh. Kami tidak tahu,” kata L-7. Menurut L-7, masalah tersebutlah yang seharusnya diselesaikan sekarang. Xanana Gusmao harus ada, demikian pula Ologari dan Mauk Moruk. Penyelesaian yang tepat adalah melalui apa yang dulu dikenal sebagai “oto-kritik.” “Misalnya ada yang melakukan kejahatan. Ia harus menjelaskan mengapa
berikan laporan dan melakukan otokritik. “Dalam dialog itu FALINTIL memberilan laporan. Rakyat bisa bertanya kepada FALINTIL, mengapa perang sudah selesai kalian terpecah-belah? Frente diplomatika itu keluar negeri karena diutus rakyat. Rakyat bisa bertanya, megnapa kalian pulang sendiri-sendiri, membuat partai sendiri-sendiri?” demikian gambaran yang diberikan L-7. Ketujuh orang pemimpin diplomatik yang harus hadir menurut L7 adalah Abílio Araújo, Marí Alkatiri, José Ramos-Horta, Rogério Lobato, Roque Rodriguez, Ana Pessoa, dan José Luís Guterres. 3
DIREITO UTAMA
YANG TERLUPAKAN DALAM DIALOG NASIONAL Dialog Nasional yang diprakarsai oleh Presiden RDTL Xanana Gusmão dengan kelompok CPD-RDTL oleh berbagai kalangan dinilai banyak kelemahan. Masalah yang dibahas bukan masalah yang substansial bagi seluruh bangsa, dialognya tidak melibatkan banyak pihak, malah masalah CPD-RDTL sendiri juga tidak dibicarakan. enjelang berlangsungnya dialog nasional pada 25 Ja nuari 2003 lalu, masyarakat nampak berada dalam satu barisan untuk mendukung dialog yang diprakarsai presiden Xanana Gusmão itu. Banyak orang yang saat itu percaya kalau dialog nasional yang akan diselenggarakan di bekas aula CNRT itu bakal menuntaskan pertentangan politik antara CPD-RDTL dengan para politisi di pemerintahan. Juga pertentangan antar elit politik yang lain. Karena keyakinan itu maka tidaklah salah, orang pun kemudian beramai-ramai mendukung dilaksanakannya dialog itu. Apa yang terjadi setelah dialog itu berakhir, kenyataannya lain. Dialog yang awalnya didukung oleh masyarakat akhirnya malah dikritik. Sumber kritikan terletak pada apa yang dinilai sebagai gagalnya dialog tersebut untuk menghasilkan solusi-solusi konkret. Menurut pantauan Direito, mereka yang mengkritik dialog itu boleh dibilang terdiri dari seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari masyarakat biasa, para aktivis organisasi non-pemerintah hingga para pejabat tinggi pemerintah dan anggota Parlemen Nasional. Kepada Direito (14/02/03), Presiden Parlemen Nasional, Fransisco Guteres alias Lu-Olo mengaku dirinya sependapat dengan mereka yang mengatakan dialog nasional yang diprakarsai presiden Xanana itu tidak tidak mampu menghasilkan solusi konkret. Menurutnya hal itu terjadi karena peserta dan penyelenggara tidak mampu menjadikan hal-hal substansial sebagai masalah yang seharusnya didialogkan. “Saya heran sendiri, mengapa dialog nasional yang secara politis cukup bergengsi itu, malah hanya bisa digunakan untuk membahas hal-hal yang tidak penting, tidak
M
4
Aksi di depan Palacio do Governo, Dili. Foto: Rogério Soares/Direito.
serius dan tidak menyangkut langsung kepentingan keseluruhan bangsa dan negara ini,” kata Lu Olo di kantornya. Perdebatan alot atas ide “Reajustamento” Konstitusional CPDRDTL yang cukup banyak memakan waktu di dalam dialog itu, dianggap Lu Olo sebagai sebuah perdebatan yang tidak penting. Menurutnya, ide “reajustamento konstitusional” adalah sebuah penghalusan bahasa saja dari ide CPD-RDTL sebelumnya tentang restorasi total konstitusi RDTL tahun 1975. “Ide merestorasi total Konstitusi 1975 adalah ide yang tidak sejalan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat dalam konteks kemerdekaan sekarang. Ide itu tidak terlalu penting dan seharusnya jangan dijadikan topik bahasan dalam dialog nasional itu,” tegas Lu Olo. Presiden FRETILIN ini juga menyesalkan bahwa dialog tersebut banyak membuang-buang waktu untuk tanya jawab dengan UNMISET (Misi Dukungan PBB di Timor Leste) tentang resolusi-resolusi
PBB dan peran PBB di negara ini. Menurutnya, untuk mengetahui informasi tentang itu, orang bisa meminta langsung kepada orang-orang yang duduk di pemerintah. Lalu apa masalah substansial yang seharusnya dibicarakan dalam dialog itu? Lu Olo menjelaskannya bahwa masalah rekonsiliasi nasional adalah salah satunya. Seharusnya konsep rekonsiliasi yang dijalankan selama ini dibahas dalam dialog itu agar bisa tahu apakah konsep seperti itu diterima rakyat atau tidak. Masalah lain yang dinilainya substansial juga adalah keamanan nasional di negara ini. Dialog nasional seharusnya membahas masalah ini dengan tujuan mengajak masyarakat untuk berpikir bersama dengan pemerintah dalam mencari konsep terbaik tentang bagaimana keamanan nasional ini bisa dijamin. Apakah setiap masalah di masayarakat harus selalu mendatangkan FDTL, ataukah diserahkan saja kepada polisi atau rakyat juga diminta berkontribusi menjaga keamanan nasional itu? edisi 23 - Maret 2003
DIREITO UTAMA Isu substansial lainnya adalah tentang apa konsep pembangunan terbaik yang harus diterapkan di negara ini agar hasilnya bisa dinikmati oleh seluruh rakyat. Apakah pembangunan itu harus berakhir dengan situasi seperti yang dialami rakyat Indonesia yang justru menimbulkan jurang yang besar antara mereka yang kaya dengan mereka yang miskin yang semakin hari semakin bertambah miskin saja. “Janganlah orang saling mencubit saja harus kita selesaikan dengan melakukan dialog nasional. Lama-lama pekerjaan kita di negara ini hanya berdialog dan berdialog terus tanpa kita sendiri tahu kejelasan tujuan dialog itu sendiri. Tujuanya saja tidak tahu apalagi hasilnya. Pekerjaan lain bisa terbengkalai akhirnya,” kata Lu-Olo dengan nada tawa. Sementara itu, L-7 alias Nahak Leki Fohorai Bo’ot yang ditemui Direito di lahan persawahanya di Laivai, Lospalos (9/2/03) menyatakan ketidakpuasanya atas dialog itu. Ia mengatakan bahwa dialog nasional seharusnya juga membahas masalah terkait konflik internal di tubuh FALINTIL di hutan pada
Primeiro dan Segundo Comandante Brigada Vermelha (Brigade Merah) pada 1983. L-7, yang terakhir menjadi Segundo Comandante Região III ini mengatakan bahwa konflik-konflik masa lalu yang belum diselesaikan itulah yang sebenarnya melatarbelakangi berbagai aksi penentangan terus-menerus CPD-RDTL terhadap Xanana dan Pemerintah pimpinan FRETILIN sekarang. Menteri Dalam Negeri, Rogério Tiago Lobato yang pernah disebutsebut dekat dengan berbagai kelompok bekas pejuang yang tidak puas, mengatakan bahwa dirinya menyesalkan mengapa dialog nasional itu tidak mampu membahas hal-hal yang substansial. Menurutnya, itu terjadi karena dialog nasional dirancang tanpa banyak melibatkan pihak lain dalam mendiskusikan konsepnya. “Perangcang dan peserta dialog itu seharusnya juga melibatkan asosiasi politik lain atau kelompok lain, selain dari CPD-RDTL sendiri, agar konsepnya bisa memenuhi syarat kelayakan sebagai sebuah dialog yang betul-betul ditujukan untuk menyelesaiakn masala-
Dialog Pemerintah dengan CPD-RDTL di GMT, Dili. Foto: R. Soares.
tahun 1983. Konflik yang dimaksudnya adalah konflik antar Xanana versus Kilik, Mauk Moruk, dan Ologari Assuwain. Konflik ini berakhir dengan hilangnya Kilik, yang saat itu menjadi Chefe do Estado Maior (Kepala Staf) FALINTIL secara misterius di hutan dan menyerahnya Mauk Moruk dan Ologari yang masing-masing menjabat edisi 23 - Maret 2003
h-masalah yang substansial. Saya pikir semakin beragam yang terlibat di dalamnya, semakin terbuka peluang untuk membahas masalah substansial dalam dialog itu,” kata salah seorang pendiri FALINTIL ini kepada Direito. Pendapat senada juga di sampaikan Xavier do Amaral, Presiden RDTL pertama yang sekarang men-
jadi Wakil Presiden Parlemen Nasional. Proklamator kemerdekaan RDTL 28 November 1975 itu juga mengatakan dirinya kurang puas karena dialog tersebut tidak memiliki tujuan yang jelas dan status dialog itu tidak jelas sebagai dialog nasional. Karena pesertanya hanya terdiri dari kalangan CPD-RDTL dan FRETILIN, menurutnya dialog tersebut lebih tepat disebut sebagai dialog bilateral antara CPDRDTL dengan FRETILIN. Dialog nasional menurut Xavier do Amaral adalah dialog yang melibatkan semua kelompok yang saling bertentangan. Presiden partai ASDT ini juga menilai bahwa dialog itu tidak membahas hal-hal yang substansial. “Hanya masalah-masalah yang punya kaitan langsung dengan kebutuhan seluruh bangsa dan yang berhubungan dengan upaya perbaikan kondisi nyata di negara inilah yang seharusnya dijadikan bahan dialog dalam dialog nasional kemarin,” tegasnya. Mengedepankan dialog untuk menyelesaikan masalah adalah prinsip demokrasi yang harus dijunjung tinggi. Begitupun kritikan terhadap dialog nasional itu adalah bagian dari proses demokrasi. Jika begitu, sorotan kritis pada dialog nasional yang diprakarsai Presiden Xanana Gusmão kemarin haruslah dilihat secara positif untuk tujuan perbaikan pada dialog-dialog mendatang. Itu jika orang masih menganggap penting untuk melakukannya lagi. Satu hal yang cukup positif yang diperoleh Direito dari mereka yang mengkritik dialog tersebut adalah adanya niat baik dari mereka untuk memperbaiki dialog sejenis yang akan dilakukan di masa depan. Kepada Direito, mereka semua mengaku merasa berkepentingan untuk menjadikan setiap dialog nasional sebagai sarana penyelesaian masalah-masalah utama di negara ini. Bukti niat baik itu juga diungkapkan dalam bentuk pengakuan mereka atas adanya beberapa masalah besar selama ini yang tidak terselesaikan karena diabaikan begitu saja. Selain itu, mereka menyatakan kesedian untuk terlibat dalam dialog lain untuk membahas masalah-masalah yang mungkin saja berkaitan dengan diri mereka. Rui Viana 5
DIALOG
Francisco Xavier do Amaral: Ini Bukan Dialog Nasional Presiden pertama RDTL menilai dialog yang diadakan Januari lalu bukan dialog nasional karena tidak membahas masalah nasional dan pesertanya tidak mewakili seluruh golongan masyarakat. Berikut petikan wawancaranya dengan Rogério Soares dan Oscar da Silva dari Direito. Bagaimana pandangan anda mengenai dialog nasional yang sudah dilakukan? Dialog yang telah dilakukan itu oleh semua orang dan semua media massa disebut dialog nasional. Tetapi kita tidak tahu apa materinya dan tujuannya. Saya juga mendapatkan undangan dari Presiden RDTL. Jadi saya kira Presiden RDTL yang merencanakan dan mengorganisir dialog itu. Undangan itu bukan datang dari CPD-RDTL, sehingga membuat saya juga bertanya-tanya. Tetapi karena undangan datang dari presiden RDTL maka saya pikir undangan itu untuk kita semua. Mungkin akan berbicara mengenai situasi nasional, masa depan bangsa, dan melihat kembali masa lalu. Tetapi setelah saya sampai di sana tidak seperti yang saya pikirkan. Dalam dialog itu saya melihat dua kelompok. Seolah-olah dialog itu antara CPD-RDTL dengan FRETILIN. Dari cara mereka mengambil tempat duduk juga secara
sendiri-sendiri kelompoknya. Jadi dialog itu antara CPD-RDTL dengan FRETILIN, bukan dialog nasional. Mengenai dialogi saya sudah pernah mengatakan di Parlemen Nasional bahwa dialog itu tidak saya anggap dialog nasional. Kalau dialog nasional, semua partai politik, semua tokoh masyarakat datang duduk bersama membahas semua masalah dalam segala bidang. Tetapi ini tidak, hanya dua kelompok yang datang melakukan dialog, dua kelompok itu yang saling bertukar pikiran. Semua orang lain yang datang hanya sekedar mendengar, termasuk saya. Ini bukan dialog nasional! Saya melihat baik-baik, maka saya mencurigai dialog ini dilakukan oleh CPD-RDTL atau Presiden RDTL atau mereka berdua yang merencanakan semua ini. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang masih di udara, belum terjawab. Kalau Presiden RDTL yang mengorganisir, ini tidak pantas, sebab ini bukan tugas Presiden. Presiden mengatakan demokrasi, tetapi ini bukan caranya untuk menghidupkan demokrasi. Demokrasi ada aturan yang artinya rakyat sebagai satu warganegara duduk bersama melakukan dialog untuk menyelesaikan masalahnya. Kita melakukan dialog nasional karena ada suatu masalah nasional. Sekarang kita melakukan dialog nasional dengan orang yang tidak mengakui dirinya sebagai warganegara Timor Leste. CPDRDTL tidak pernah menerima kewarganegaraan Timor Leste, tidak ikut registrasi UNTAET, tidak mengikuti pemilihan umum Majelis Konstituante dan bahkan melarang orang untuk mengikutinya. Presiden sebagai kepala negara, pergi berbicara dengan kelompok yang tidak mengakui sebagai warganegara Timor Leste. Itu bukan pergi bermain atau pergi pasiar sehingga tidak memperhitungkan dampak positif dan nega-
Francisco Xavier do Amaral. Foto: Rogério Soares. 6
tifnya. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya masih bingung. Dialog nasional seharusnya melibatkan semua yang terlibat dalam resistensia sampai sekarang. Apa sebenarnya di balik semua itu? Ada udang dibalik batu. Mungkin mereka mempunyai ide yang lain. Sebab semua diundang ke dialog itu yang semestinya kalau ada yang bertanya masalah apa kepada siapa, dia akan menjawab. Tetapi mereka di sana melakukan dialog dua arah dari CPD-RDTL ke FRETILIN. Karena di sana sudah terbagi kelompok sendiri-sendiri, dari kelompok CPD-RDTL dan kelompok FRETILIN, termasuk di dalamnya Mari Alkatiri. Ini suatu permainan. Permainannya saja tidak menjadi masalah. Tetapi bisa berakibat fatal bagi bangsa dan negara. Pemerintah Fretilin kadang tidak punya pandangan. Lihat dulu, siapa orang yang kita mau bicara dengannya. Dia datang bicara mewakili siapa dan apa yang ingin dia bicarakan. Jangan hanya sembarangan berbicara dengan setiap orang yang datang. Saya sudah memberikan pandangan saya di Parlemen bahwa saya tidak mengetahui dan tidak menyetujui dialog itu. Bagi saya dialog itu hanya membuang waktu dengan duduk bersama yang hanya memboroskan uang. Kalau memang ada masalah nasional yang harus diselesaikan melalui dialog nasional, yang mengorganisir harus orang-orang yang netral? Semestinya begitu, tetapi ini kan rekayasa. Rekayasa adalah kotor. Orang berbuat apa saja yang hanya menunjukkan suatu simbol tetapi tidak tahu apa yang dibuatnya. Dan sekedar hanya membuat kekacauan. Seharusnya orang-orang yang berkepentingan mengadakan koordinasi dengan kedua uskup. Saya sangat setuju kalau kedua uskup atau salah satunya yang mengadakan dialog. Apa dialog itu masih ada lanjutannya? Pasti ada lanjutannya. Tetapi kita tidak tahu ke mana arahnya. Saya bisa mengatakan bahwa ke manapun lanjutannya pasti akan membuat kacau bangsa dan negara. Akan menimbulkan keributan, menimbulkan sesuatu yang tidak jelas. Kita hanya melegitimasi sesuatu yang tidak legal. edisi 23 - Maret 2003
JUSTIÇA
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Pengadilan Timor Lorosae saat ini berjalan lambang karena banyak faktor. Selain pemerintah sendiri belum mempunyai badget yang tetap untuk menset-up sistem pengadilan yang baik juga kendala utama yang dihadapi sekarang adalah faktor sumberdaya manusia yang terbatas. Oleh karena itu untuk kasus-kasus perdata sebaiknya diselesaikan dengan melalui mediasi, arbitrasi, rekonsiliasi dan negosiasi tanpa melalui pengadilan. au mai Tribunal ne’e atu asiste julgamentu hau nia kolega nia kazu, tanba hau nia kolega nian kazu hatoo iha tribunal kleur ona. Ohin ami tama iha laran juis dehan kazu ne’e labele halo julga, sei adia tan fali. Hau senti kuandu hanesan ne’e bebeik maka bainhira los kazu kolega ne’e bele hotu tanba julga deit adia bebeik. Hau senti buat hirak ne’e tenki hare didiak, tanba kuandu julga lao kleur eantaun bainhira los mak kazu ne’e bele hotu”, kata Natalino Mendonça seorang keluarga terdakwa dengan nada tanya dan sedih di depan pengadilan Dili. Fenomena di atas bukanlah hal baru. Sesunguhnya masih banyak orang seperti Tiu Natalino Mendonça yang mengeluh atas dunia peradilan kita sekarang berjalan lambang. Banyak orang beranggapan kalau kasus diajukan ke Pengadilan itu cepat diselesaikan dan gampang. Mereka kira menyelesaikan kasus di Pengadilan tidak ada biaya alias gratis. Anggapan itu, kurang tepat seperti yang dialami oleh Tiu Natalino Mendoca di atas. Sekarang jikalau ada orang yang ingin menyelesaikan perkaranya di Pengadilan sebelumnya dia harus siap untuk mengikuti prosesnya yang memakan waktu lama untuk sering datang ke pengadilan dan hal lain adalah har us mempunyai persediaan biaya yang cukup. Agar keluhan seperti Tiu Natalino ini tidak terjadi maka sebaiknya, antara kasus pidana dan perdata, hanya kasus pidana saja yang diajukan ke pengadilan untuk proses. Sedangkan kasus perdata sebaiknya diselesaikan di luar pengadilan dengan menggunakan alternatif penyelesaian sengketa yang lain, seperti mediasi, arbitrasi, rekonsiliasi, konsultasi, negoasiasi dan lainlain. Mengapa demikian? Karena apabila semua kasus kita ajukan ke pengadilan, tentunya dalam proses penyelesaiannyapun membutuhkan waktu dan biaya yang besar. Satu kasus paling cepat diselesaikan da-
H
edisi 23 - Maret 2003
lam tiga bulan. Biaya besar misalnya untuk pendaftaran kasus, membayar pengacara, akomodasi dan transportasi. Di pengadilan distrik Dili, biaya untuk registrasi satu kasus perdata besarnya US$ 100. Pengadilan distrik Baucau US$ 75. Biaya ini kemungkinan akan ditambah lagi oleh pihak penggugat, bilamana biaya ini sudah selesai digunakan oleh pengadilan untuk memproses perkaranya. Sesungguhnya dapat dimengerti, mengapa permasalahan seperti itu dapat terjadi? Bahwa kelamahankelemahan utama yang dihadapi a-
nya empat orang, hakim investigasi satu orang, merangkap ketua pengadilan. Jaksa penuntut hanya dua orang dan pengacara satu orang. Pengadilan distrik Suai, yang wilayah yurisdiksinya meliputi distrik, Bobonaro, Same dan Ainaro, hakim panelnya hanya tiga orang, hakim investigasi satu orang, merangkap ketua pengadilan, pengacara belum ada. Sementara ini pengadilan di Suai belum berfungsi karena sarana dan prasaran kerja belum memadai. Praktis semua kasus diselesaikan di pengadilan distrik Dili. Pengadilan distrik Oecussi pengacara, jaksa
Pengadilan Distrik Dili Foto: Rogerio Soares/Direito
dalah terbatasnya SDM (sumber daya manusia), seperti hakim, jaksa dan pengacara. Dan belum adanya budget tetap dari pemerintah untuk membantu menset-up sistem peradilan yang baik. Kurangnya SDM, dapat dilihat bahwa untuk ke-4 pengadilan distrik yang sekarang ada di Timor Lorosae, yakni pengadilan distrik Dili, yang yurisdiksinya meliputi distrik Aileu, Ermera dan Liquiça, hakim investigasinya hanya dua orang, hakim panel lima orang, jaksa empat orang, panitera delapan orang, merangkap sebagai staf administrasi pengadilan. Pengadilan distrik Baucau, yang mencakup wilayah distrik, Lospalos, Viqueque dan Manatuto, hakim panelnya ha-
dan hakim investigasi masingmasing hanya satu orang. Sedangkan hakim panel belum ada. Untuk kasus pidana kadang-kadang jaksa harus membawa tersangka untuk di hearing atau disidangkan di pengadilan distrik Dili, karena hakim yang bertugas di Dili tidak ada waktu umtuk datang ke Oecussi untuk menyidangkan perkara itu. Oleh karena itu sebaiknya untuk kasus-kasus kecil seperti kasus pencemaran nama baik (penghinaan), kasus buruh, kasus tanah, kasus pencemaran lingkungan dapat diselesaikan melalui lembaga penyelesaian sengketa alternatif. Silverio Pinto Baptista 7
PEMBERDAYAANRAKYAT
PESTISIDA BUATAN SENDIRI Pestisida organik adalah bagian dari pertanian berkelanjutan yang saat ini dikembangkan. Supaya pertanian kita berkelanjutan, tidak menciptakan ketergantungan dan tidak merusak lingkungan maka jangan terlalu mengunakan pestisida dan pupuk kimia dari pabrik dalam bertani. alam produksi pertanian ti dak terlepas dari yang na manya faktor produksi. Salah satu faktor produksi adalah pengunaan pestisida untuk membasmi hama yang menyerang tanaman budidaya petani. Pada masa pendudukan Indonesia, petani terbiasa mengunakan pestisida kimia dari pabrik yang sebenarnya sangat potensial merugikan lingkungan dan kesehatan petani. Dan juga secara ekonomis biaya produksi sangat tinggi. Pada era kemerdekaan yang sedang gencar mengembangkan sistem pertanian organik atau pertanian berkelanjutan, kita harus mengunakan pestisida organik. Dalam sistem pertanian berkelanjutan, diharapkan petani mengunakan pestisida organik karena
tanaman berbahaya bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Walaupun tidak secara langsung menimbulkan sakit (penyakit) pada saat mengkonsumsi hasil pertaniannya, tetapi akan menimbulkan berbagai penyakit di kemudian hari setelah manusia itu lanjut usia. Pestisida kimia tidak hanya mengancam kesehatan manusian melalui resido, akan tetapi juga secara ekonomis petani harus mengeluarkan biaya yang lebih untuk membelinya di pabrik. Dan juga akan memciptakan ketergantungan bibit tanaman yang terbiasa mengunakan pestisida kimia, kalau tidak lagi mengunakan pestisidanya maka akan memberikan pertumbuhan yang tidak baik dan produksi tanaman yang rendah. Ketergantungan yang lebih parah lagi adalah para pengusaha yang mempunyai pabrik pestisida kimia bisa mengendalikan harga hasil pertanian sesuai dengan keinginannya karena produksi hasil pertanian petani tergantung dari pestisida yang mereka hasilkan. Kalau terjadi demikian maka petani hanya sekedar pekerja atas tanahnya sendiri untuk kepentingan pengusaha pestisida kimia dan Hasil pestisida organik, kelompok tani pupuk kimia yang tidak pernah Luro, Lautem. Foto: Mariano Ferreira. bekerja di sawah dan kebun. Tetapi yang menjadi persoalan ramah lingkungan dan tidak mesekarang adalah bagaimana supaya nimbulkan dampak negatif lainnya. kita sebagai petani terhindar dari Kita menghindari pengunaan pespengunaan pestisida kimia dalam tisida kimia dari pabrik untuk memmemberantas hama yang sekarang berantas hama karena banyak faktor menjadi persoalan kita. Untuk itu, negatifnya seperti pencemaran lingharus mencari jalan keluar atau kungan dan juga mempengaruhi kesuburan tanah. Jadi jangan hanya alternatif lain untuk bisa mengatasi dilihat sebagai pemberantas hama masalahnya. Selama ini sudah bayang menyerang tanaman. Pembe- nyak NGO yang memberdayakan rantasan hama dengan mengunakan petani untuk hidup mandiri dan tipestisida kimia dalam konsentrasi dak tergantung pada orang lain teyang tinggi akan meresap kedalam lah mencari alternatif pemecahan tanaman dan tidak bisa hilang yang yang disesuaikan dengan kondisi disebut residu. Residu (zat sisa) sumberdaya alam yang ada. Sebebahan kimia yang terserap dalam narnya, membasmi hama tidak
D
8
selalu mengunakan pestisida kimia yang sangat merugikan itu. Tetapi kita bisa menghindari hama dengan pengolahan tanah yang baik karena tanah yang bersih/sehat akan menghasilkan tanaman sehat pula; Pengunaan bibit atau benih lokal yang sudah beradaptasi dengan lingkungan kita yang relatif tahan terhadap hama; Dan mengunakan pola tanam campuran atau tumpan sari. Kalau terpaksa harus mengunakan pestisida maka bisa mengunakan pestisida organik buatan oleh petani dengan memamfaatkan kekayaan alam sendiri. Sebenarnya hal pembuatan pestisida organik sendiri tidaklah susah, tergantung dari kreatifitas para petani sendiri setelah mengetahuinya. Sebab sudah banyak kali Perkumpulan HAK bersama kelompok tani dampingan seperti di Subdistrik Luro, Distrik Lautem dan Subdistrik Alas, Distrik Manufahi mengatasi hama dengan membuat pestisida organik buatan sendiri. Pestisida organik ini dibuat dari tumbuh-tumbuhan yang ada di lingkungan kita. Hal ini sangat baik diikuti oleh semua petani di seluruh Timor Lorosae karena semua bahan yang digunakan untuk membuat pestisida organik terdapat di alam kita sendiri. Bahan-bahan baku pembuatan pestisida organik itu seperti dedaunan, bunga dan biji, batang, akar dan umbi-umbian tanaman yang pahit. Daun, batang, akar dan umbi tanaman yang sering digunakan oleh petani dampingan selama ini untuk membuat pestisida organi antara lain: (a) Jenis dedaunan misalnya: daun mindi, mahoni, surem, daun ai-hanek, daun tuba, daun sirsak, daun siri, daun tembako, daun bunga paitan, daun ai-kalik dan dedaunan pahit lainnya. (b) Umbi-umbian, misalnya: Umbi gadung (kuan kout), Umbi Laos, Maek Katar. (c) Jenis batang dan akar seperti tuha, Bauk moruk, akar mahoni, batang bunga paitan. (d) Bunga dan Biji seperti: biji sirsak, biji nyamplon (samedisi 23 - Maret 2003
PEMBERDAYAANRAKYAT
Para petani sedang membuat sendiri pestisida organik. Foto: Mariano Ferreira
palo), lombok, bunga kenikir, mekar sore, brontoali dan bunga paitan. Bahan-bahan untuk membuat pestisida organik tidak hanya yang disebutkan diatas tetapi masih banyak jenis ragamnya di Timor Lorosae yang belum teridentifikasi. Pembuatan pestisida organik secara alamiah dengan mengunakan tumbuh-tumbuhan di atas sangat mudah. Tingal kreatifitas dan ketekunan petani mencoba mengerjakan dengan memamfaatkan semua sumberdaya alam yang kita miliki untuk kebutuhan kita. Pestisida organik buatan sendiri ini juga tidak menimbulkan efek sampin terhadap lingkungan dan tidak ada resido yang terserap dalam tanaman karena tidak mencampur dengan bahan kimia. Secara ekonomis petani tidak mengeluarkan biaya yang lebih tinggi dalam proses pembuatannya karena bahannya mudah didapatkan (sudah tersedia di alam sekitar kita). Dan dalam proses pembuatan pestisida organik juga hanya mengunakan alat-alat yang sudah dimiliki petani seperti: parang, pisau, lingis, ember dan alat penumbuk tradisional lainnya. Serta dalam proses itu juga petani bisa memamfaatkan limbah-limbah tertentu yang dibutuhkan tanpa mengeluarkan biaya seperti botol plastik Aqua, botol dan kaleng lainya yang bisa digunakan untuk menimpan pestisida hasil buatan maupun prosesnya. edisi 23 - Maret 2003
Cara membuat pestisida organik Cara pembuatanya sederhana, tidak membutuhkan teknik yang sulit sehingga bisa dibuat oleh semua petani yang ada di Timor Lorosae kalau membutuhkannya. Langkahlangkanya sebagai berikut: (1) Mengumpulkan semua bahan yang telah disebutkan di atas baik jenis daun-daunan, bunga dan biji, batang-batangan dan umbi-umbian. Jumlah bahan yang diambil sesuai dengan kebutuhan. (2) Semua jenis bahan ditumbuk, digerus sesuai dengan bahan sampai hancur dengan mengunakan alat tumbuk yang dimiliki petani. Tiap jenis bahan yang mau digunakan harus ditumbuk atau digerus secara sendiri-sendiri. (3) Hasil tumbukan atau gerusan dicampur dengan air secukupnya sesuai dengan jumlah bahan yang ditumbuk, kemudian diaduk sampai rata dalam ember atau bak pengaduk lainya. Dan tiap adukan disimpan di tempat yang teduh (dari sinar matahari maupun air hujan) minimal selama 24 jam lamanya. (4) Campuran yang telah disimpan itu kemudian diperas dan disaring airnya, kemudia diisi dalam botol plastik atau kalen bekas apa saja yang bisa dimamfaatkan untuk disimpan. Air perasan bahan-bahan itu merupakan pestisida yang siap digunakan sesuai dengan kebutuhan
petani. Setiap bahan bisa digunakan sendiri-sendiri untuk memberantas hama yang menyerang tanaman kita, misalnya untuk untuk memberantas hama tikus dan lainya mengunakan bauk moruk dan tuha. Dan juga untuk hama tertentu bisa mengunakan campuran satu sama lain untuk memberantas atau menyemprotkan pada hama yang menyerang tanaman. Misalnya hama wereng pada tanaman padi bisa memakai campuran hasil air rendaman bungga paitan dengan bunga kinikir yang telah diperas. Bisa juga kita mencoba mengunakan jenis yang ada secara sendirisendiri untuk mengatasi hama yang menyerang tanaman kita. Sebelum mengunakan, ukuran campuran dengan air tidak tetap, semuanya disesuaikan dengan kebutuhan dengan menambah konsentrasi (jumlah) pestisida yang digunakan sampai bisa menjawab persoalan yang kita hadapi. Bagi para petani yang selama ini mengalami masalah dalam memberantas hama, maka sekarang saatnya mencoba dan mengunakan pestisida organik buatan sesuai dengan kebutuhan. Kami yakin akan bisa membantu menjawab persoalan yang dihadapi dengan tidak mengeluarkan biaya produksi yang terlalu tinggi untuk membeli pestisida kimia dari pabrik. Mariano Ferreira 9
TEROPONGKEBIJAKAN
Naskah Kebijakan Regulasi AntiKekerasan Domestik Naskah Kebijakan untuk regulasi tentang kekerasan domestik sudah disetujui oleh Dewan Menteri RDTL. Naskah ini disusun oleh organisasi-organisasi non-pemerintah dengan dukungan dari Kantor Penasehat Perdana Menteri Urusan Promosi Kesetaraan. eningkatnya kekerasan da lam relasi domestik bukan lah semata-mata persoalan dan urusan hukum. Akar permasalahan jauh lebih luas, yaitu faktor masyarakat itu sendiri dan faktor struktur sosial masyarakat patriarkis yang masih sangat nampak di masyarakat Timor Leste. Konstitusi dan hukum tertulis lain yang berlaku di Timor Leste mengatur masalah kekerasan secara umum, namun belum ada yang secara khusus mengatur soal kekerasan domestik. Oleh karena itu pada tingkat praktis banyak kasus kekerasan domestik dengan segala dimensinya yang terjadi di Timor Leste yang tidak tertangani secara baik berdasarkan instrumen hukum yang kini tersedia. Masalahnya memang bukan semata-mata perbuatan melangar hukum, tetapi juga terkait dengan struktur sosial masyarakat yang membentuknya dan ikut mempengaruhi pemikiran dan perilaku masyarakat yang berlangsung dalam konteks ruang dan waktu yang lama. Pada hakekatnya proses pembentukan sebuah produk hukum bukan terlepas dari lingkungan, justru sistem dan struktur sosial yang melingkupinya memberi mempengaruhi pembentukan sebuah sistem hukum. Inilah persoalannya, mengapa sistem hukum yang berlaku sering tidak efektif menjawab dan menyelesaikan masalah kekerasan domestik. Dalam hal kekerasan terhadap perempuan umumnya dan kekerasan domestik khususnya, ketentuan hukum yang biasanya dipakai adalah hukum warisan Indonesia, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidanga (KUHP). Kode penal tersebut sudah seringkali dikritik karena kurang menjamin hak-hak korban kekerasan seksual umumnya dan kekerasan domestik khususnya. Karena itulah muncul gagasan tentang perlunya melakukan revisi KUHP. Tetapi mengingat luas
M
10
dan spesifiknya masalah tersebut, tampaknya yang lebih penting adalah tersedianya undang-undang yang khusus mengatur masalah kekerasan domestik. Naskah kebijakan yang telah disusun bersama oleh organisasi-organisasi non-pemerintah Timor Leste bersama Kantor Penasehat Perdana Menteri Urusan Promosi Kesetaraan bertujuan untuk menyusun undangundang yang khusus untuk kekerasan domestik. Di Timor Leste, proses penyusunan dan pembentukan sebuah regulasi (undang-undang) tampaknya kurang jelas mekanismenya. Ada regulasi yang langsung dibuat rancangannya kemudian didiskusikan dan disahkan tanpa sebuah studi yang layak, meskipun masalah yang diaturnya cukup kompleks. Ada pula yang prosesnya lama. Misalnya terlebih dahulu harus dilakukan studi, kemudian dibuat naskah kebijakannya, dan setelah disetujui oleh Dewan Menteri akan ditindaklanjuti dengan penyusunan rancangan untuk selanjutnya diajukan kepada Parlemen Nasional. Masalah kekerasan domestik diawali dengan penyusunan naskah kebijakan (policy paper). Proses ini terkait dengan sensitivitas persoalannya dan sikap masyarakat umumnya terhadap kekerasan domestik. Sebuah tim yang ditugaskan untuk menyusun naskah kebijakan mencatat hal-hal mendasar tentang kekerasan domestik. Salah satu rekomendasinya adalah pembuatan undang-undang yang khusus. Naskah kebijakan tersebut bertujuan memberikan argumentasi dan dasardasar bagi dibentuknya sebuah undang-undang atau regulasi. Hasil kajian yang dituangkan dalam naskah kebijakan tersebut intinya adalah sebagai berikut ini. Istilah Istilah yang digunakan adalah kekerasan domestik, bukan kekerasan rumahtangga. Kekerasan do-
mestik menunjukan karakteristik kekerasan yang tidak semata-mata melihat aspek locus (tempat terjadinya perbuatan pidana), tetapi meletakkan kekerasan domestik dalam konteks penyelenggaraan hubungan sosial yang subordinat. Ini berarti tindak kekerasan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang belum menikah (relasi pacaran) bisa dikategorikan sebagai kekerasan domestik. Dengan kata lain, kekerasan domestik lebih luas cakupannya ketimbang kekerasan rumahtangga. Definisi Kekerasan domestik bukan saja meliputi kekerasan fisik, tetapi juga mencakup tindakan-tindakan berdampak psikis, ekonomi, dan sebagainya. Contohnya, perbuatan mengancam/menggertak (biasanya suami terhadap istri) adalah tindakan berdampak psikis. Sedang suami tidak memberikan nafkah kepada istri dikategorikan sebagai kekerasan domestik yang bersifat ekonomi. Fakta Kekerasan Domestik Kekerasan domestik berdampak kepada: (a) individu yang terkena langsung (misalnya korban); (b) keluarga (misalnya anak-anak diterlantarkan dan perginya anggota lain dari rumah); (c) negara (misalnya menurunnya pendapatan negara). Kekerasan domestik tidak hanya terjadi pada istri dan golongan masyarakat tidak berpendidikan. Dalam banyak kasus kekerasan domestik juga terjadi pada kelompok orang berpendidikan seperti dokter, bahkan orang yang berprofesi sebagai aparat penegak hukum. Penyebab utama kekerasan domestik: (a) tatanan masyarakat patriarkis dan peran gender; (b) kultur dan kebiasaan/adat; (c) sejarah dan budaya kekerasan; (d) pendapat masyarakat yang sebagian besar menganggap kekerasan domestik sebagai urusan dalam rumahtangga (suami-istri) sehingga tidak boleh ada campur tangan terhadapnya. Penyelesaian di pengadilan dianggap mencemarkan nama baik keluarga, dan sebagainya. Kondisi masyarakat dan faktor lain seperti situasi perang/konflik bersenjata membuat tingkat kekerasan domestik meningkat. Misalnya pengamatan sejumlah aktivis di tempat pengungsian membuktikan terjadinya kekerasan domestik. Ini edisi 23 - Maret 2003
TEROPONGKEBIJAKAN akibat dari situasi yang tegang dan kondisi yang tidak aman di kamp pengungsi. Faktor kekerasan sosial, seperti tingginya angka pengangguran, lingkungan tempat tinggal yang kumuh, penggunaan obatobat terlarang juga merupakan faktor lain yang menjadi pemicu kekerasan domestik. Fakta Hukum Kekerasan Domestik Data yang dihimpun dari berbagai instansi penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) menunjukkan tingginya kasus kekerasan domestik dibanding bentuk kekerasan lain terhadap perempuan. Undang-undang dan ketentuan hukum yang relevan dengan kekerasan domestik adalah sebagai berikut. (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masih lemah mengatur kekerasan domestik. Yang biasanya digunakan untuk menyelesaikan kekerasan domestik maupun bentuk kekerasan seksual lain adalah pasal 89,90, Bab XX pasal 351-356, Bab XIV pasal 281-301, Bab XIII pasal 279, Bab XVIII pasal 331-336, Bab XV pasal 304-308. Namun umumnya pasal-pasal tersebut lebih terfokus pada kekerasan fisik. (2) Regulasi UNTAET No. 25/ 2001 yang merupakan hukum acara pidana kelemahannya adalah belum adanya prosedur perlindungan terhadap korban dan saksi; pengakuan korban secara teoritis sudah cukup, namun, dalam praktek masih dibutuhkan alat bukti lain (pemeriksaan DNA); hukum acara tidak memberi peluang bagi pengacara dan pekerja sosial untuk mendampingi korban. (3) Aspek tertentu hukum perdata dan hukum perkawinan yang berlaku secara formalistis juga tidak adil terhadap korban kekerasan domestik. (4) Mekanisme pencatatan dan pelaporan kasus di kepolisian dan institusi lain dan penyelesaian melalui mediasi memiliki kelemahan yang harus dibenahi dalam rangka memenuhi dan menjamin hak-hak korban kekerasan domestik. Persoalan Penegakan Hukum Terdapat empat faktor yang teridentifikasi sebagai hambatan dan kelemahan penegakan hukum: (a) penegak hukum tidak sensitif dalam menangani kasus kekerasan domesedisi 23 - Maret 2003
luarga sebagai sendi utama kebajikan masyarakat. Tujuan: (1) menegaskan kekerasan domestik sebagai suatu kejahatan; (2) penegakan hak-hak korban; (3) upaya penghapusan kekerasan doPeranan “Traditional Justice” mestik bagi kelompok-kelompok rentan dalam relasi domestik. Dalam kasus kekerasan domesBerdasarkan hasil analisis tentik peran traditional justice cukup do- tang fakta sosial dan yuridis, diuminan. Namun mekanisme ini metik; (b) kurang inisiatif dan tidak responsif; (c) kurang dukungan unit-unit di berbagai institusi penegak hukum; (d) jumlah dan kualitas penegak hukum masih kurang.
Perempuan rentan terhadap kekerasan. Foto: R. Soares/Direito
miliki kelemahan: (1) tidak sesuai dengan standar hak asasi manusia; (2) masyarakat belum bisa membedakan mana kasus kriminal dan bukan; (3) peran pemimpin adat masih didominasi perspektif budaya patriarkis. Landasan dan Visi Regulasi mengenai kekerasan domestik perlu memiliki memiliki landasan dan visi. Ada tiga komponen landasan dan visi yang diusulkan: (1) landasan filosofis; (2) landasan sosiologis; (3) landasan yuridis. Meskipun bukan merupakan ukuran baku bagi setiap regulasi, disepakati dalam diskusi bahwa dalam regulasi kekerasan domestik perlu dicantumkan asas dan tujuannya. Asas menunjukkan semangat yang mendasari sebuah undang-undang. Secara teknis, penting untuk mengingatkan aparat hukum tentang esensi dan eksistensi sebuah ketentuan yang menjadi acuan dalam pelaksanaan tugas yudisialnya. Komponen asas-asas pokok: (1) kesetaraan dan keadilan gender; (2) keadilan relasi sosial; (3) perlindungan dan penegakan hak asasi manusia; (4) perlindungan keutuhan ke-
sulkan pengembangan kerangka rancangan undang-undang kekerasan domestik dari pikiran-pikiran pokok sebagai berikut: (1) Definisi & Ruang Lingkup Kekerasan Domestik; (2) Peran dan Tanggungjawab Negara; (3) Peran Komunitas; (4) Nafkah dan Harta Benda Milik Bersama; (5) Pemulihan; (6) Peran Penegak Hukum dan Pusat Layanan, yang menyangkut Kewajiban para Penegak Hukum, Peran dan Tugas Kepolisian dan Layanan Lintas Sektor. Prosedur Pidana Bagian ini terdiri dari mekanisme pelaporan; perintah perlindungan sementara; perintah perlindungan; pelanggaran perintah perlindungan; standar atau mekanisme baku dalam penangganan kasus kekerasan domestik; pemberian nafkah kepada korban dan anak-anak korban dalam perkawinan; (g) penggunaan harta bersama dalam perkawinan. Lito Exposto SH adalah Kepala Divisi Penanganan Kasus pada Perkumpulan HAK, salah seorang konsultan teknis untuk penyusunan Naskah Kebijakan Regulasi Kekerasan Domestik. 11
HAK ASASI
Proses Penuntutan Komandan Milisi MAHIDI Pelimpahan surat dakwaan kepada Pengadilan Distrik Dili pada 24 Februari 2003 lalu oleh Wakil Jaksa Agung untuk Kejahatan Berat meliputi penuntutan terhadap para pelaku tindak kejahatan di distrik Ainaro sepanjang tahun 1999. Seperti yang diketahui, milisi pro Indonesia yang beroperasi di wilayah Distrik Ainaro dan sekitarnya adalah MAHIDI (Mati Hidup Integrasi dengan Indonesia) dibawah pimpinan Cancio Lopes de Carvalho. Demi penegakan hukum dan keadilan, Jaksa Penuntut untuk kasus kejahatan berat secara khusus mendakwa Cansio Lopes de Carvalho sebagai komandan tertinggi milisi pro Indonesia (MAHIDI) yang menjadi penanggungjawab utama atas tindak kejahatan yang terjadi di Ainaro dan sekitarnya. Dakwaan terhadap Cancio Lopes bersama 21 orang anggotanya yang secara aktif terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusian itu masing-masing; (1) Remesio Lopes de Carvlho, (2) Orlando Baptista, (3) Celestino Barros, (4) Bernabe Barros, (5) Vasco da Cruz, (6) Domingos Alves, (7) Francisco Mendes, (8) Fernando Lopes, (9) Joao Baptista, (10) Martinho Lopes, (11) Francisco Atelulo, (12) Manuel Gomes, (13) Felismino Lopes, (14) Jose Lokomau, (15) Jose Beldasi, (16) Adriano Lopes Titimau, (17) Alfonso Caldas, (18) Silverto Lopes, (19) Marcelo Gomes, (20) Marcelino Beremali, dan (21) Lino Barreto. Dalam surat dakwaan tersebut secara khusus menuntut ke 22 terdakwa dengan keterlibatan mereka baik secara perorangan maupun atas dasar tanggungjawab pemimpin (komando). Pertanggungjawaban perorangan dari masing-masing terdakwa antara lain: a. Melakukan kejahatan secara individu atau bersama orang lain diluar tangunjawab atau perintah komando. b. Memerintahkan, mengajak atau membujuk orang agar mencoba melakukan kejahatan dan sampai diwujudkan edisi 23 - Maret 2003
(c) Memberi bantuan atau bersekongkol untuk memudahkan dalam mencoba atau melakukan suatu kejahatan. (d) Berniat dan ikut terlibat langsung dalam kelompok yang melakukan kejahatan atau yang mencoba melakukan kejahatan. Sedangkan menuntut tanggungjawab komando adalah terutama terhadap Cancio Lopes de Carvalho, Remezio Lopes de Carvalho dan Vasco da Cruz sebagai pemimpin yang tahu atau seharusnya tahu bahwa bawahan itu melakukan tindakan kejahatan tersebut tetapi atasan tidak mengambil langkahlangkah yang diperlukan guna mencegah tindakan semacam itu, ataupun menghukum pelakunya seperti tercantum dalam bagian 14.3 Regulasi UNTAET nomor 15/ 2000. Dari surat dakwaan yang dikeluarkan tersebut ada tujuh bentuk tindak kejahatan yang dituduhkan: (1) Serangan bersenjata yang terjadi di Fatuk Maria desa Manutasi, kecamatan Ainaro Kota kabupaten Ainaro pada tanggal 3 Januari 1999 yang mengakibatkan dua orang korban meninggal dunia dan lima orang korban luka-luka. (2) Serangan terhadap penduduk sipil di kampung Galitas, kecamatan Zumalai kabupaten Covalima pada tanggal 25 Januari 1999 yang mengakibatkan tiga orang korban meninggal dunia dan satu orang luka tembak. (3) Serangan dan pembunuhan terhadap mahasiswa Universitas Timor Timur (UNTIM) di kampung Dais desa Beco I kecamatan Suai Kota kabupaten Covalima pada tanggal 11 dan 13 April 1999. Serangan ini mengakibatkan dua orang mahasiwa meninggal dunia, masingmasing Bernardino Simao, mahasiwa Fisipol UNTIM dan Joao da Silva Ximene, mahasiswa Fakultas Pertanian, UNTIM termasuk beberapa korban luka-luka. (4) Penyiksaan terhadap empat orang penduduk sipil di pos milisi MAHIDI di Zulo kecamatan Zumalai kabupaten Covalima.
(5) Pembunuhan terhadap Fernando Gomes pada tanggal 5 September 1999 di desa Cassa kecamatan Ainaro Kota kabupaten Ainaro. (6) Penculikan dan pembunuhan terhadap Paulino Maria Bianco di desa Cassa kecamatan Ainaro Kota kabupaten Ainaro pada tanggal 12 September 1999. (7) Serangan di desa Maununo, kecamatan Ainaro Kota kabupaten Ainaro pada tanggal 23 September 1999. Serangan ini mengakibatkan 11 orang korban jiwa dan tiga lainnya luka-luka. Menurut pemantauan kami bahwa, secara prinsip ini adalah langkah maju dimana negara/pemerintah dapat memastikan adanya penegakkan hukum dengan menuntut pertanggungjawaban Cancio Lopes de Carvalho, beserta 21 anggotanya sebagai pelaku dalam kejahatan 1999 di wilayah Ainaro. Beberapa catatan dari hasil pemantauan kami bahwa; penuntutan para pelaku dalam tujuh kasus kejahatan tersebut diatas adalah tidak mencakup seluruh kejahatan yang terjadi dalam kurung waktu tersebut di wilayah Ainaro. Menurut data investigasi kami, jenis-jenis kejahatan tersebut terjadi di Zumalai, Cassa dan Maununo, bentuk kejahatan yang sama yang melibatkan Cancio Lopes de Carvalho sebagai komandan milisi MAHIDI dan anggotanya juga terjadi di tempat-tempat lain di Ainaro. Jenis kejahatan dan tempat-tempat kejadian yang belum masuk dalam dakwaan tersebut diatas, antara lain; teror, penyiksaan dan pembunuhan yang terjadi di HatoUdo, di Maubisse, di Hatobulico dan di Ainaro Kota sendiri. Ini berdasarkan hasil investigasi kami atas kejahatan di Ainaro. Kami meminta untuk menjadikan bagian yang tidak terpisahkan dari penyelidikan, dan penuntutan di bawah kewenangan jaksa penuntut kejahatan berat di Timor Lorosae menurut regulasi UNTAET nomor 2000/15. Aniceto Guró Berteni Neves
12
INSTRUMEN HAM
KEBEBASAN MENGELUARKAN PENDAPAT Kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat adalah prinsip universal dalam negara demokratis. Negara atau pemerintah menciptakan kondisi yang baik dalam memgeluarang dijamin oleh Kovenan Internasional tentang Hak Sosial, Ekonomi dan Budaya. ebebasan untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat adalah prinsip universal di dalam negera demokratis. Dalam perkembangannya, prinsip ini mengilhami perkembangan demokrasi di negara-negara yang berkembang. Bahwa pentingnya menciptakan kondisi baik secara langsung maupun melalui kebijakan politik pemerintah/negara yang menjamin hak publik atas kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat sebagai salah satu baromoter penegakan demokrasi dalam masyarakat suatu bangsa. Prinsip ini antara lain; diatur dalam Konvensi Internasional Hak Sipil Politik (ICSPR) artikel 19 yang mengatur tentang kebebasan berpendapat dan berkespresi. Dalam prakteknya, artikel ini mengatur tentang ‘Kebebasan Fundamental’ yang sifatnya inter-relasi dengan prinsip-prinsip dasar lainnya seperti kebebasan untuk bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat tinggal sesuai dengan pilihannya (artikel 12, ICSPR); kebebasan untuk berpikir dan kesadaran memilih agama dan aliran kepercayaan (artikel 18, ICSPR); kebebasan membentuk organisasi atau perkumpulan secara damai (artikel 21, ICSPR) dan kebebabsan untuk berasosiasi sebagaimana ditentukan di dalam artikel 22, ICSPR. Di Timor Lorosae, prinsip-prinsip tersebut diatas telah ditandatangani atau diratifikasi oleh Pemerintah Republik Demokratic de TimorLeste (RDTL) pada tanggal 10 Desember 2001 lalu. Untuk memastikan, menjamin dan memberikan maka pemerintah harus: (a) Perlindungan terhadap semua pendapat/ opini tanpa batas. Prinsip ini adalah salah satu hak azasi yang mana pemerintah tidak dapat membatasi atau melarangnya. Pendapat/opini tersebut bersifat lisan atau tertulis dengan tidak membatasi hak azasi orang lain yang sama. (b) Memberikan perlindungan terhadap hak atas kebebasan dasar untuk bereks-
K
edisi 23 - Maret 2003
Salah satu aksi protes di Parlemen Nasional. Foto: R. Soares
presi yang tidak saja mencakup hak untuk memberikan informasi dan ide-ide dalam berbagai jenis. Tetapi juga menyangkut hak atas kebebasan untuk mencari dan menerima (right to seek and reseive) secara langsung atau pun melalui suatu media tertentu. (c) Menekankan secara jelas bahwa dalam menikmati hak berekspresi dan mengeluarkan pendapat harus secara bersamaan pada tempat dan waktunya diikuti dengan suatu tugas dan tanggungjawab yang penuh. Kebebebasan dasar untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat tidak dapat didefinisikan atau ditafsirkan oleh seseorang yang dapat menghilangkan atau mengaburkan makna dari semangat pelaksanaannya. Artinya; kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat yang mengandung unsur-unsur kekerasan adalah pelanggaran terhadap prinsip itu sendiri. Misalnya; kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat melalui aksi membakar rumah, gedung, pusat pembelanjaan, penjarahan, mengancam dengan senjata tajam dan lainnya. Dari aspek hak azasi, tindakantindakan seperti tersebut tergolong
tindakan yang melangar hak atas kebebasan dari orang lain. Karena, disamping menganggu ketertiban umum juga membatasi hak atas keamanan orang lain dalam masyarakat. Sedangkan dari aspek hukum, merupakan tindak-pidana yang dapat dituntut pertanggungjawabannya lewat pengadilan. Untuk memastikan penikmatan hak untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat secara adil, maka setiap warga-negara harus juga diikat dengan kewajiban azasi yakni; konsekwensi dibatasi oleh keinginan yang berhubungan dengan kepentingan orang lain. Karena hak berekspresi dan berpendapat seseorang dibatasi oleh hak orang lain dalam masyarakat sosial. Untuk itu, negara/pemerintah mengatur pembatasan-pembatasan dalam melakukan ekspresi dan mengeluarkan pendapat yang bertujuan untuk melindungi hak-hak tersebut dan reputasi dari hak-hak tersebut satu sama lain, demi keamanan nasional, ketertiban umum (public order), kesehatan masyarakat dan moralitas masyarakat dalam suatu negara. Aniceto Guró Berteni Neves (Kepala Divisi Pencari Fakta & Dokumentasi Perkumpulan HAK)
13
GUGAT
INSTRUMEN HAM
SEMUA ORANG MEMPUNYAI HAK DAN KEDUDUKAN\ SAMA Semua orang mempunyai kah dan kedudukan yang sama tanpa diskriminasi. Tetapi dalam pelaksanaannya sering terjadi penyimpangan. Kadang mereka yang statusnya tahanan sering orang mengabaikan haknya. erdasarkan prinsip hukum internasional dan hak azasi manusia, semua orang sama kedudukannya tanpa diskriminasi. Dalam prakteknya sering terjadi kelalaian, misalnya persamaan kedudukan tidak termasuk orang-orang yang statusnya ditahan atau dipenjarakan. Sering terjadi perlakuan diskriminatif terhadap orangorang ini. Biasanya para korban ini termasuk kelompok yang rentang sebab haknya sering dilanggar misalnya; ditangkap dengan cara kekerasan, diinterogasi untuk mendapatkan suatu pengakuan, disiksa dalam tahanan, penghilangan paksa, hingga pada perlakuan kejam dan tidak bermartabat lainnya. Sementara itu, dari aspek hukum negara/pemerintah memang mempunyai kewajiban menangkap, menahan seseorang demi hukum dan perlindungan hak azasi setiap orang dalam masyarakat.
B
Sudah dapat dipastikan bahwa anggapan masyarakat umum yang belum mengerti, mengangap orangorang yang ditangkap lalu ditahan dalam tahanan tidak punya hak azasi lagi. Apalagi para mantan milisi anti-kemerdekaan yang ditahan/dipenjara karena melakukan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia pada 1999. Tentu mereka akan menerima stigma yang lain sekali dari masyarakat di Timor Lorosae. Dalam perkembangan hukum internasional pandangan semacam itu tidak memiliki justifikasi secara penologis. Dipastikan semua orang dalam situasi dan keadaan apapun harus dipandang memiliki kedudukan yang sama dan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun baik menurut jenis kelamin, agama, warna kulit, asal-usul, bahasa. Kesadaran ini yang termanifestasi dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hingga mengikrarkan pentingnya perlakuan khusus terhadap orang-orang yang ada dalam tahanan negara. Dalam konteks hukum internasional tersebut dan sampai pada hukum di negara RDTL, hak-hak azasi para korban penangkapan, penahanan telah dijustifikasi dengan ketentuan, sbb : 1. Tahapan awal terjadinya “penangkapan dan penahanan”; menurut ketentuan hukum internasional maupun hukum nasional Timor Lorosae, prinsipnya melarang dilakukan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang. Tidak boleh dilakukan penahanan yang panjang atau pun pembuangan (artikel 9 UDHR dan ICSPR). Setiap warga negara yang ditangkap harus segera diberitahukan secara jelas, dan tepat mengenai alasan-alasan penangkapan atas dirinya, serta hak-hak hukumnya untuk menghubungi pengacara dan
Masyarakat Kota Dili. Foto: Rogério Soares/Direito. edisi 23 - Maret 2003
anggota keluarga atau orang yang dipercayainya (Konstitusi RDTL pasal 30 ayat 2,3 dan 4 serta di dalam artikel 2 Regulasi No. 25/ 2001). 2. Tahap dimulainya “penyelidikan/investigasi”; Setelah seseorang ditangkap harus segera dilakukan penyelidikan yang efektif dan cepat (habeas corpus). Selama dalam proses ini secara hukum para korban memiliki hak-hak seperti; hak untuk didampingi kuasa hukum, hak untuk diam/tidak menjawab, hak untuk tidak dipaksa. Dan korban juga memiliki hak untuk dibebaskan bersyarat atau dibebaskan sama sekali jika penyelidikan dianggap tidak perlu pada awal pemeriksaan (Ketentuan internasional hak azasi manusia artikel 10 UDHR dan artikel 14 ICSPR dan Konstitusi RDTL pasal 33 dan pasal 3 ayat 1 Regulasi No.25/ 2001). 3. Tahapan mulainya persidangan; setelah seseorang dinyatakan dapat dibuktikan berdasarkan keterangan saksi-saksi dan bukti awal, maka harus segera diajukan ke depan hakim di pengadilan untuk memulai proses pemeriksaan. Selama dalam proses persidangan, korban mempunyai hak untuk membela diri yang tetap didampingi kuasa hukum (artikel 8 dan 10 UDHR`dan Konstitusi RDTL pasal 26, 28, 33 dan 34 serta pasal 3 Regulasi No.25/2001. 4. Tahapan mulainya “pemenjaraan dan pembebasan”; Sampai dengan adanya putusan pengadilan yang berarti dihukum penjara, maka korban mempunyai hak untuk menyatakan menolak putusan hakim dengan mengajukan banding pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi, hak untuk diperhatikan aspek sosial, ekonomi, kesehatan, dan psikologi selama di dalam penjara. Begitu juga jika dinyatakan bebas murni, maka korban mempunyai hak untuk memperoleh kembali semua barang milik pribadinya yang disita pada saat penahanan dan ganti-rugi/kompensasi serta rehabilitasi nama baiknya atas tuduhan yang sewenang-wenang kepada korban tahanan tersebut. Dari semua ketentuan tersebut, negara/pemerintah di dunia manapun termasuk RDTL mempunyai kewajiban untuk menjamin pelaksanaannya di dalam Negara. Aniceto Guró Berteni Neves 14
GUGAT
POLISI DIPERKUAT UNTUK MENEGAKKAN DEMOKRASI Banyak masalah yang dihadapi pihak kepulisian kita Timor Lorosae. Dari jumlah Fasilitas transportasi dan komunikasi serta pengetahuan yang masih menim dalam kalangan kepolisian mempengaruhi kelancaran tugas sehari-harinya.
enteri dalam negeri, Rogé rio Lobato mengatakan pi haknya akan segera memperkuat Polisi Nasional Timor Leste (PNTL) untuk menjamin stabilitas dan keamanan dalam negeri (STL,7/3/03). Lobato mengakui departemennya akan segera upayakan peningkatan pelatihan, menambah sarana transportasi & komunikasi, dan mempersenjatai para polisi dengan senjata laras panjang. PNTL memang sudah lama disorot publik, awalnya terkait dengan masalah rekrutmen. Para eks polisi jaman Indonesia yang terekrut dalam PNTL merdeka dinilai tidak seharusnya, karena para mantan polisi itu diduga banyak terlibat dalam kejadian kekerasan di masa lalu. Yang menyeroti hal itu bukan hanya masyarakat biasa tapi juga sejumlah pejabat teras di negara ini. Dan pernah juga dipersoalkan di Parlemen Nasional oleh anggota parlemen. Sejumlah anggota polisi yang tidak mau disebutkan namanya, yang sebelumnya adalah para mantan aktifis klandestin, mangaku kini ada semacam dua kubu dalam PNTL, yakni kubu mantan polisi Indonesia dan kubu polisi mantan pemuda klandestin. Kubu polisi mantan polisi Indonesialah yang lebih dipercaya UNPOL ketimbang kubu polisi mantan klandestin. Terbukti para pimpinan polisi didominasi para mantan polisi Indonesia. Begitulah yang dikatakan para polisi itu. Tidak hanya itu, masih ada masalah lain terkait dengan hubungan PNTL dengan UNPOL. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan HAK bersama Amnesty Internasional pada akhir tahun 2002 lalu, ditemukan banyak kelemahan dalam sistem “transferensia kapasitas dan pengetahuan” UNPOL ke PNTL. UNPOL yang datang dari berbagai negara dengan menggunakan sistemnya masing-masing, menyulitkan penyerapan pengetahuan
M
edisi 23 - Maret 2003
Unit Gerak Cepat, Polisi Nasional Timor Leste. Foto: Rogério Soares.
di kalangan PNTL. Untuk waktu tertentu sistem polisi Australia yang dikembangkan, tapi kadang sistim Amerika dan Portugal yang dipakai. Adapun masalah lain seperti sarana penunjang tugas kepolisian. Sejak 20 Mei 2002 lalu, UNPOL menarik sebagian besar sarana komunikasi dan transportasinya hingga menyebabkan PNTL tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Persoalan-persoalan di atas sesungguhnya diakui oleh pemerintah dan pihak kepolisian sendiri. Pembentukan dua komisi, masingmasing dari parlemen nasional dan pemerintah untuk menyelidiki kasus 3 dan 4 Desember 2002 yang belakangan justru terfokus menyelidiki kepolisian, menunjukan indikasi ke arah itu seperti yang tersirat dalam rencana, Rogério Lobato untuk memperkuat kepolisian. Menambah latihan bagi polisi memang perlu, begitupun menambah peralatan komunikasi dan transportasi serta mempersenjatai polisi dengan senjata laras panjang. Tapi membangun PNTL lebih baik tidak sekedar itu, yang paling utama a-
dalah konteksnya harus dipahami sebagai upaya menjadikan PNTL seprofesional mungkin. Polisi yang profesional adalah polisi yang selalu bekerja dalam kerangka membangun demokrasi di negara ini. Itu berarti pembangunan kemampuan PNTL haruslah bertujuan akhir pada terbentuknya sebuah kepolisian yang selalu bekerja atas dasar hukum dan menjadi aparat pembela HAM di negara ini. Untuk mencapai itu, polisi tidak boleh dilibatkan dalam urusan politik praktis dan dikendalikan menurut kepentingan politik penguasa atau kelompok politik tertentu. Polisi harus betul-betul menjadi aparat hukum yang tunduk pada konstitusi dan hukum yang berlaku. Polisi juga tidak boleh disamakan dengan militer. Persenjataan polisi jangan dipakai sebagaimana yang dipakai militer. Kalau memang sangat perlu maka harus digunakan sesuai aturan hukum yang ada. Jika aturan hukum itu belum ada, pemerintah harus segera membuatnya sebelum para polisi dipersenjatai. Rui Viana 15
serba-serbi
Memperjuangkan Pengadilan Internasonal
siden RDTL berkaitan dengan ketidakseriusan mereka dalam mendukung dakwaan Serious CriSebagian kegiatan yang dilakukan me Unit UNMISET terhadap Jenoleh Perkumpulan HAK dalam deral Wiranto dan tujuh pejabat usaha pengembangan dan perbaik- sipil dan militer lainnya (Maret). an kondisi secara umum dalam Terakhir, melakukan lobby pada konteks hak asasi manusia, salah peserta sidang tahunan Komisi Hak satunya seperti kampanye keadila- Asasi Manusia PBB di Jenewa unn rakyat Timor Lorosae. Dalam tuk meminta dilakukannya review periode tiga bulan awal tahun ini terhadap Pengadilan Ad Hoc Jakarmasalah keadilan bagi rakyat Timor ta dan mendesak untuk dilakukanLorosae yang ditangani oleh Divisi nya pengadilan internasional. Kajian Kebijakan melakukan perSebagian kegiatan lain yang ditemuan reguler Aliansi Pengadilan lakukan HAK pada Divisi PemberInternasional (15 organisasi) untuk dayaan adalah: membahas perkembangan proses Pemberdayaan Kelompok Basis Pengadilan Ad Hoc HAM, mengi- Selama periode ini dilakukan penkuti lokakarya internasional untuk gembangan managemen organisasi membahas strategis bagi pengadi- pada Koperasi Mina Timor (Dili), lan internasional di Melbourne (Ja- Yayasan Rai Maran (Maubara), dan nuari), melobby anggota Kongres Organizasaun Amor da Paz (Alas, Amerika di Wahington dan bebe- Manufahi). Sedangkan pengembanrapa pejabat PBB di New York un- gan pengetahuan hak asasi manusia tuk menghentikan dukungan bagi dan hukum melalui kegiatan diskusi TNI dan meminta untuk mereview basis, selama periode ini telah dilaPengadilan Ad Hoc HAM (Febru- kukan 11 kali diskusi di beberapa ari), mengeluarkan surat tanggap- suco yang tersebar di Timor Loroan kepada Jurubicara PBB dan Pre- sae.
Penguatan Jaringan/Dai Popular selama periode ini kegiatan Dai Popular yang dilakukan HAK adalah menfasilitasi pembentukan kelompok rakyat di Uatucarbau (Januari), dan terlibat dalam menyelenggarakan acara adat tara bandu di Irabim Atas (Februari). Penguatan Jaringan HASATIL (Hametin Sustanibilidade Agricultura Timor Lorosae) Selama periode ini HAK melakukan kegiatan untuk memperkuat pengembangan pertanian berkelanjutan adalah: (1) Lokakarya pertanian berkelanjutan di Alas dan Luro (Januari) (2) Fasilitasi pembentukan kelompok petani kopi dan hortikultura di Maubisse (Januari), (3) Pelatihan pengawetan ikan di Alas, Manufahi (Februari), (4) Distribusi peralatan dan bibit pertanian ke Luro dan Alas (Februari & Maret), (5) Fasilitasi pelatihan agroforestri untuk petani Alas dan Luro yang diselenggarakan di Maubara (Februari) (6) Menyelenggarakan rapat evaluasi dan perencanaan triwulan (Maret).
AMI LIAN
Apa Kata Masyarakat Tentang Dialog Nasional Munculnya berbagai masalah akibat perubahan politik dalam proses perjuangan yang tidak terselesaikan sampai sekarang juga belum menemukan format yang baik untuk menyelesaikannya. Presiden Xanana Gusmão berinisiatif untuk mengadakan dialog untuk menyelesaikan persoalan. Sayangnya, ia tidak memberi tujuan yang jelas. Akibatnya terjadi kebingungan di tentang dialog tersebut. Berikut pandangan yang dikumpulkan oleh Rogerio Soares dari Direito. “Dialog nasional itu seolah hanya antar dua kelompok (CPD-RDTL dan Fretilin). Seharusnya melibatkan seluruh rakyat,” kata Agusto da Costa, seorang penduduk Maubara, Liquiça. Menurutnya, kalau hanya untuk dua kelompok
itu tidak akan menyelesaikan masalah. “Kemerdekaan ini adalah jerih-payah seluruh rakyat Timor Leste. Kalau mengadakan dialog nasional jangan hanya dengan satu-dua orang. Pemerintah atau pemimpin bangsa harus turun ke basis untuk dialog dengan seluruh rakyat,” tegas Agusto. Ia mengusulkan agar dibuat dialog dengan pemuda di desadesa yang sekarang tidak mendapat pekerjaan. “Supaya bisa mencari alternatif penyelesaian,” katanya. Hal lain diungkapkan oleh Raimundo de Jesus Mesquita (35 thn), penduduk Laulara (Distrik Aileu) yang ditemui Direito di Maubisse. “Dialog itu bagi saya adalah langkah
PENERBIT: Perkumpulan HAK. PENGELOLA : José Luís de Oliveira, Rui Viana, Rogério Soares, Nug Katjasungkana, Oscar da Silva, Mariano Fereirra, F.X. Sumaryono, Aneceto Guro Berteni Neves | ALAMAT REDAKSI: Rua Governador C.M. Serpa Rosa T-091, Farol, Dili, Timor Lorosae. Tel.: +670.390.313323 Fax: +670.390.313324 E-mail:
[email protected]
positif yang diambil oleh Presiden kita untuk merangkul semua orang yang idenya berbeda untuk bersatu membangun bangsa” katanya. Namun Mesquita menyayangkan bahwa CPD-RDTL tidak menerima hasil dialog. “Mereka bukannya mengajarkan politik yang baik kepada rakyat seperti yang mereka perjuangkan selama ini. Tetapi malah sebaliknya menanamkan benih buruk di Timor Lorosae,” katanya dengan nada kecewa. Walaupun demikian, Mesquita menegaskan bahwa dirinya akan terus mendukung dialog nasional selanjutnya. “Tetapi dialog nasional jangan hanya diadakan untuk satu-dua kelompok, harus melibatkan seluruh golongan rakyat Timor Lorosae,” tegasnya. TERBITAN INI DIDUKUNG OLEH: