Pringgitan Kiwa, Pendapa Wiyatapraja, Kompleks Kepatihan, Danurejan, Yogyakarta - 55213 tel: 0274 7460235, 562811 pes. 1231, fax: 0274 562632 email:
[email protected]
Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta”Seri-77:
Topik: PISOWANAN AGUNG SEBAGAI GERAKAN KEBUDAYAAN “JOGJA GUMREGAH” MENUJU PERADABAN BARU “JOGJA ISTIMEWA”
MENGAPA
“Jogja Gumregah” kita kumandangkan seperti halnya “Jogja Bangkit” pasca Yogyakarta diluluh-lantakkan gempa tahun 2006? Karena bakda terbitnya Undang-Undang Nomer 13 Tahun 2012 tentang KeIstimewaan DIY, perjuangan dianggap sudah selesai, dan selama tiga tahun ini kita seperti dibuai dalam zona nyaman. Masa tenang adalah musuh, karena membuat kita tertidur, masa onar adalah sahabat karena membuat kita terjaga. Frasa ini harus membangunkan kita, bahwa “Jogja Gumregah” bukanlah ”kata benda” dan sekadar “wacana”, tetapi harus menjadi “kata kerja” yang berlanjut dalam “aksi massa” untuk mewujudkannya. 26 Tahun Jumenengan Dalem Tanggal 7 Maret 2015, menandai 26 Tahun Jumenengan Dalem yang menyandang misi “Hamangku, Hamengku, dan Hamengkoni” bagi Rakyat Yogyakarta. Meski iklim sosialpolitik sudah berbeda, tetapi “ruh” keIstimewaannya tetap sama. Bahwa Sri Sultan HB X tetap konsisten, “ora-mingkuh”, untuk meneguhkan Tekad dan mewujudkan Ikrar: “Sebuah Tahta dan menjadi Sultan hanya demi Kesejahteraan Rakyat”. Wacana itu akan tercapai menjadi realita hanya atas dukungan, partisipasi dan kontribusi dari segenap Rakyat Jogja Istimewa tanpa kecuali, siapa pun dia. Baik mereka itu birokrat, politisi, aparat ketertiban-keamanan, rohaniawan, akademisi, seniman-budayawan, usahawan, petani-nelayan, pekerja, maupun segenap rakyatnya di mana pun mereka berada. Dalam hal ini, pihak Keraton sebagai pamomong, harus bisa mengubah cara berpikir dan bekerja birokrasi serta aparat ketertiban dan keamanan untuk menggerakkan simpul-simpul organisasinya, menghidupkan kembali kebiasaan berpikir, mengambil inisiatif, dan bergerak maju. 1
Dengan penyelenggara negara yang berpikir dan bekerja cerdas serta menegakkan keadilan, akademisi yang kreatif dengan komitmen, rohaniawan yang mengamalkan kesalehan ritual dan kesalehan publik, wirausahawan yang inovatif dan berani mengambil risiko, didukung oleh rakyat yang kreatif, diharapkan lahir model Catur Sagatra Baru 4-K: “Keraton, Kepatihan, Kampus dan Kampung” sebagai sinergi pelipatgandaan energi. Sehingga menjadi satu keterpaduan Pranata Istimewa sebagai agen perubahan, dan di tangan entitas itu pulalah standar hidup “Jogja Istimewa” menuju peradaban baru dan kesejahteraan rakyat dipertaruhkan. Konsekuensinya, Pemimpin formal dan informal di semua tingkatan harus memeriksa hingga titik akhir bagaimana setiap kebijakan keIstimewaan direalisasikan. Pisowanan Agung, sebuah Gerakan Kebudayaan Peringatan 26 Tahun Jumenengan ini digelar bersamaan dengan Pisowanan Agung, sebuah Gerakan Kebudayaan yang sekaligus ditandai pencanangan Logo “jogja istimewa”. Logo Jogja yang ditulis dengan huruf kecil, melambangkan semangat egaliter, kesederajatan, persaudaraan dan kesetiakawanan sosial antara Keraton dengan Rakyat (Aworing KawulaGusti). Warna “merah raja” mensimbolkan semangat keberanian, sebagaimana telah ditujukkan pada masa-masa mempertahankan kemerdekaan RI dulu, untuk mewarnai zaman baru, Renaisans Yogyakarta, kebangkitan kembali “Semangat Yogya” guna menuju kesejatian “jogja istimewa”. Renaisans Yogyakarta digagas dalam tatanan harmoni dengan masa lalu, masa kini dan masa depan, agar titik singgung antara warisan masa lalu dengan kegelisahan masa kini dan harapan di masa depan tidak saling meniadakan. Ditampilkannya kembali ajaran klasik adiluhung dalam sêrat dan babad, bukan untuk mem-babat apa yang sudah tertanam di masyarakat, tetapi untuk menggali, mengkaji, menguji dan mengukuhkan kembali piwulang agung yang kita lupakan. Dengan keyakinan, bahwa kebesaran peradaban YogyakartaMataram itu harus muncul kembali dan mampu berbicara pada tataran nasional dan global. Demikian juga, kecerdasan kolektif yang menghasilkan Borobudur dan Prambanan, harus kita cermati kembali perhitungan aspek sains dan teknologinya, bagaimana bisa bertonton batu-batuan disusun dan dikonstruksi menjadi sebuah candi agung yang bisa bertahan ribuan tahun. Tentu membutuhkan kecermatan hitung, ketelitian pikir dan manajemen massal serta penuh dengan landasan filosofis yang menjiwai semangat membangun peradaban. Kebanggaan akan keberhasilan nenek-moyang itu bisa menginspirasi hadirnya wawasan kreatif agung tentang arsitektur dan teknologi bangunan canggih di masa kini. Bangsa yang pernah membangun Borobudur, hanya mungkin dapat menciptakan ‘borobudurborobudur’ baru, atau historiografi setaraf Nêgarakêrtagama, ensiklopedi selengkap Babad Tanah Djawi, atau pitutur luhur sekelas Wêdâtâmâ dan Wulangrèh, selama kita secara tekun dan kreatif membuka diri terhadap sains dan teknologi baru, dengan menajamkan rasa dan mengasah rasio, serta siap beradaptasi dengan kemajuan zaman. 2
Pamong Budaya Kini, kita memerlukan pemikiran ulang dan pembentukan kembali semua pranata sosial-politik melalui Reformasi Sosial Budaya atau Revolusi Mental. Maka proses rethinking dan re-shaping menuju “jogja istimewa” itu, kendati pun saat ini momentumnya tepat akan tetapi tidaklah mudah, di samping juga memerlukan waktu untuk mampu mengubahnya, karena kultur lama sudah amat mengakar. Memang, pembaharuan memerlukan semangat yang tidak mudah patah. Semangat dan tekad diperlukan untuk mengatasi tantangan yang datang dari kalangan yang akan dirugikan karena perubahan. Oleh karena itu, pembaharuan harus dilakukan secara sistematis dan terarah, didukung oleh kemampuan politik pimpinan yang kuat, konsisten dan konsekuen, disertai keteladanan pemimpin di semua lini, selain ditunjang oleh komunikasi kultural yang adaptif. Dan perlu disadari pula, tidak selalu harus segera menghasilkan perubahan besar, tetapi dapat secara bertahap, namun konsisten. Sebagai contoh perubahan inkrimental itu adalah penertiban lalu lintas dan periklanan di ruang publik. Sebab, visualisasi itulah yang serta-merta segera bisa tertangkap indera yang memberi kesan pertama tentang “jogja istimewa” yang membedakan dengan kota-kota lain. Dalam hal ini, saya mengajak Pemkot Yogyakarta dan Pemkab Sleman untuk mengangkat pamong budaya berbasis masyarakat kampung yang diperbantukan di Satpol PP Kecamatan untuk ikut mengatur lalu-lintas agar tidak semakin semrawut. Selain itu, saya juga mengajak para seniman-budayawan untuk berkreasi dengan memberikan warna istimewa, baik berupa ornamen, patung dan seni instalasi sebagai street furniture yang lebih mengukuhkan karakter dan ciri khas “jogja istimewa” itu. Dibarengi dengan menghidupkan kembali kantung-kantung budaya di kampung-kampung, sehingga tercipta suasana kehidupan berkebudayaan menuju peradaban baru. Satu hal yang strategis, Perda tentang Periklanan hendaknya diatur lebih ketat persyaratannya. Untuk selanjutnya, setelah melalui program pelatihan, pamong budaya bersama Satpol PP Kecamatan hendaknya diberi kewenangan untuk melakukan penertiban atas dasar Perda-Perda tersebut. Sebab, jika langkah-langkah kecil seperti itu sebagai smallquick wins ke arah “jogja istimewa” tidak bisa kita lakukan, lalu bagaimana kita bisa melakukan hal-hal besar yang juga memerlukan perubahan besar-besaran? Jika memang kita sadari benar, bahwa “jogja istimewa” itu meliputi seluruh wilayah DIY, maka perlu kesepakatan dengan Pemerintah Kabupaten/Kota lewat Perdais yang mengatur kewenangan istimewa Pemda DIY dalam urusan yang terkait dengan lima pilar keIstimewaan DIY. Oleh sebab itu, Sri Sultan HB X mengajak segenap elemen Rakyat Jogja Istimewa untuk “gumregah, gumreget, gumregut-sengkud, golong-gilig nyawiji” bangkit membangun Jogja Istimewa hingga tercapainya kesejahteraan Rakyat Yogyakarta! 3
Renaisans Jawa Dalam sejarah Mataram kita mencatat Sultan Agung (1613-1645) sebagai Ratu gung binathara terbesar. Pada masanyalah kita menyaksikan puncak kejayaan Mataram yang terlihat dalam performa politik, luas wilayah dan besarnya kekuasaan. Kemampuannya mempertahankan kemerdekaan dan hubungan dengan berbagai kerajaan di luar Jawa, pengembangan kebudayaan Jawa dengan memadukan dengan kebudayaan dari luar, penulisan Babad Tanah Djawi, pembangunan makam di bukit Imogiri, dan bahasa Jawa Krâmâ-ngoko, telah membuktikan kebesarannya itu1. Banyak sejarawan telah menulis sejarah Mataram, baik secara keseluruhan maupun monografis, seperti monografis karya de Graaf, “De Regering van Sultan Agung”, yang memperlihatkan betapa cemerlang Sultan Agung mewarnai sejarah Mataram! Kalender Sultan Agungan, mengubah sistem penanggalan Syamsiyah berdasar pergerakan Matahari pada penanggalan Saka Hindu-Jawa menjadi sistem Komariyah berbasis pada peredaran Bulan mengelilingi Bumi mengadopsi sistem penanggalan Hijriyah yang Islami. Namun meski mengadopsi konsep dasar penanggalan Hijriyah, kalender Jawa tidak mengikuti aturan penanggalannya. Selain mengubah sistem penanggalan, ada penyesuaian nama bulan dan hari. Yang semula menggunakan bahasa Sansekerta menjadi bahasa mirip bahasa Arab. Maka secara samar ditengarai, bahwa pada masa Sultan Agung-lah dimulainya “Renaisans Jawa I”. Jika Renaisans Eropa menghidupkan kembali peradaban Yunani dan Romawi kuna, dalam wujud kebangkitan ilmu berdasarkan sumber-sumber klasik, Renaisans Jawa II juga menggunakan sumber-sumber klasik yang serupa, dengan diberi vitalitas dan ‘ruh’ baru. Renaisans Jawa II mencapai puncaknya ketika jaman kapujanggan pada masa Sri Susuhunan Paku Buwana IV. ‘Pemberontakan‘ Jawa terhadap pengaruh asing (Hindu, Buddha, Islam, India, Arab, China, Belanda) terefleksikan dengan lugas lewat karya-karya susastrâ. Pada masa ini menyiratkan terjadinya ‘benturan antarperadaban’ (the clash of civilization) di Jawa. Intensitasnya menjadikan bahasa dan tulisan Jawa berkembang pesat, karena dipakai sebagai sarana defensif Jawa terhadap masuknya budaya dan peradaban asing tersebut. Dampak lanjutannya adalah lahirnya kembali (renaisans) nilai-nilai dalam budaya dan peradaban Jawa. Renaisans Jawa II pada jaman kapujanggan ini merupakan titik awal Jawa memperoleh ‘kedaulatan spiritual’. Ketika itu digali naskah-naskah lama yang berisi ajaran etika, dengan menggubah dan merevitalisasi isi dan bahasanya disesuaikan dengan zaman. Diterbitkan berbagai karya sastra yang mengajarkan etika, seperti: Sêrat Wulang Rèh, Sêrat Wulang Sunu dan Sêrat Wulang Putri karya Sri Paku Buwono IV (1768-1820). Demikian juga, Sêrat Wêdhâtâmâ karya Sri Mangkunegara IV (1853-1881) dan Sêrat Wulang Putrâ karya Nyi Adisara, pujangga wanita masa Sri Paku Buwono IX (1861-1893). Isi ajarannya bersumber pada etika dan filsafat Jawa beserta larangan-larangannya dengan mengacu pada ajaran leluhur dinasti Mataram, Panembahan Senapati dan Sultan Agung, dengan premis dasar: dunia ideal adalah dunia harmoni lahir dan batin. Seseorang harus memelihara watak “rèh“, bersabar, dan “ririh“, berhati-hati, seperti Wulangrèh mengajarkan, berbohong, kikir, dan sewenang-wenang haruslah dijauhi. Padahal sekarang ini kebohongan publik sudah jamak tanpa pelakunya merasa malu. Mengurangi makan-tidur adalah latihan utama untuk memperoleh kewaspadaan batin, agar tingkah-lakunya menjadi “dêdugâ”, dipertimbangkan masak-masak sebelum melangkah, “prayogâ”, dilihat baikburuknya, “watârâ“, dipikir mendalam sebelum mengambil keputusan, “rêringâ”, berkeyakinan benar akan keputusan itu. 1
Sebagian dicuplik dari Drs. G. Moedjanto, MA, Sultan Agung Keagungan dan Kebijaksanaannya, Lembaga Javanologi, Yogyakarta, 17 Januari 1986.
4
Dalam Sêrat Wulang Putrâ, keutamaan laku ditambahkan agar “satiti“, dikaji secara teliti, teratur dan berhemat; “anut ombaking jaladri“ mengikuti tata-cara yang umum, dan “têpâ sarirâ”, tenggang rasa. Dalam Sêrat Wulang Putri, agar meresap ke dalam batin, pendidikan etika seorang putri diajarkan dengan cara nêmbang, sebagai sasaran antara menuju pendidikan mengasah pikiran, mengolah rasa dalam bertata-krama, dan bersosialisasi. Dalam hal menyembah kepada Allah juga sangat ditekankan untuk dijalankan. Hal ini menegaskan bahwa setiap tindakan orang Jawa memiliki konsekuensi agamis, agâmâ agêming aji. Menurut seorang Indonesianis dari Monash University, M.C. Ricklefs, “Revolusi sosial di Yogyakarta dimulai dari atas ke bawah”. Sedangkan sosiolog Prof. Selo Sumardjan mengatakan, revolusi Kraton Yogyakarta tidak perlu mendobrak pintu-pintu Istana seperti Revolusi Perancis, karena pintu-pintu Kraton dengan sendirinya terbuka lebar, saat Pagêlaran, Sitihinggil dan beberapa nDalêm Pangèranan untuk kuliah mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Itulah masa dimulainya Renaisans Jawa III yang berfokus pada pendidikan yang tujuannya adalah membangun masyarakat multikultural di Yogyakarta. Fenomena itu adalah tumbuhnya benih-benih untuk lanjutan Renaisans Jawa yang dimulai dari zaman Sultan Agungan, masa kapujanggan hingga pada masa Revolusi Istana di Yogyakarta. Sekarang tinggal bagaimana kita melanjutkannya, agar paripurna dalam arti menyejahterakan rakyat. Dialog Budaya & Gelar Seni Dalam hal ini, Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-77 ini akan menampilkan Narasumber Drs. Sumbo Tinarbuko, MSn, Anggota Tim-11, menguraikan latar belakang dan dasar pemikiran Logo “jogja istimewa” sebagai ikon membangun peradaban baru, Dr. Sindung Tjahyadi, MHum, Staf Pengajar Fakultas Filsafat UGM, membahas dari aspek budaya dan filsafat Jawa sebagai dasar falsafah peradaban baru, R. Bima Slamet Raharja, SS, MA, Staf Pengajar FEB-UGM, membahas dari aspek susastra masa Ranggawarsitan yang menandai Renaisans Jawa II sebagai dasar pengembangan Renaisans Yogyakarta. Dialog dipandu oleh moderator/host tetap, Hari Dendi, Pengasuh “YogyaSemesta”, dan CoModerator Widihasto Wasana Putro, SS, Koordinator Sekber KeIstimewaan DIY. Gelar Seni oleh SMKI Bugisan dpp. Drs. Sunardi, MPd. Digelar secara lesehan, Slasa Wage malam, 31 Maret 2015 jam 18:30-22:00 di Bangsal Kepatihan Yogyakarta, diawali makan malam bersama kuliner rakyat, dan terbuka untuk umum.
Yogyakarta, 31 Maret 2015 Komunitas Budaya “YogyaSemesta”,
Hari Dendi Pengasuh
5