Pringgitan Kiwa, Pendapa Wiyatapraja, Kompleks Kepatihan, Danurejan, Yogyakarta - 55213 tel: 0274 7460235, 562811 pes. 1231, fax: 0274 562632 email:
[email protected]
Sewindu Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Menggelar Seri-78: Topik:
RENAISANS YOGYAKARTA SEBAGAI GERAKAN KEBUDAYAAN MENUJU KEISTIMEWAAN SEJATI
SEKARANG kata “Renaisans” telah menemukan padanan kata lokal, “Gumregah” atau “Bangkit Kembali”. Bagaikan orang tidur ketika akan bangkit, “tergugah” (nglilir) terlebih dulu, “terjaga”, lalu “gumregah”, untuk kemudian “gumreget, gumregut-sengkud, golong-gilig nyawiji” bangkit bersama massa rakyat dalam sebuah Gerakan Kebudayaan menuju keIstimewaan yang sejati sebagai wahana akselerasi tercapainya kesejahteraan Rakyat Yogyakarta! Basis Gerakan Kebudayaan Setidaknya ada tiga simpul utama rahim budaya yang dapat menjadi basis Gerakan Kebudayaan, yakni Pendidikan, Diskursus, dan Ruang Publik1. Pertama, lembaga pendidikan, tidak hanya dipahami sebagai tempat belajar-mengajar dalam rangka transmisi ilmu pengetahuan, tetapi mencakup pembelajaran manusia (human and learning) dalam rangka mereproduksi kebudayaan. Pendidikan adalah media transmisi dan transformasi kebudayaan yang menjadi pilar keIstimewaan DIY. Dengan demikian, seorang guru tidak hanya menjalankan kurikulum dan didaktik-metodik, tetapi juga harus menunjukkan arah bagaimana agar anak didik menjadi partisipan aktif dalam Gerakan Kebudayaan. Apakah pendidikan keIstimewaan ini berhasil atau gagal ada dua tolok ukurnya2. (1) Apakah anak didik dapat melakukan peran sosial-budaya di masyarakat dalam Gerakan Kebudayaan itu? (2) Apakah proses belajar-mengajar ikut menyumbangkan reproduksi kebudayaan Yogyakarta sesuai zaman yang dibutuhkan oleh anak didik sendiri? Menyadari pendidikan sebagai proses transformasi budaya untuk penerusan nilainilai, maka pendidikan guru juga harus mengandung pemahaman tentang budaya Yogyakarta. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya sekadar proses schooling, tetapi merupakan proses inkulturasi sekaligus akulturasi, yaitu proses anggulawentah memperadabkan generasi3. 1
Yudi Latif, Rahim Budaya Pemimpin Pergerakan, adaptasi, Aktual.co, 17-19 November 2014. Gubernur DIY, Pendidikan Non-Formal Berbasis Budaya Lokal, Keynote Speech, Seminar Nasional, Melalui Pendidikan Non-Formal Kita Siapkan SDM Cerdas, Mandiri, Produktif & Berakhlak Mulia dalam Memasuki Persaingan Global, Program Pascasarjana UNY, 11 Agustus 2004. 3 Moeslim Abdurrahman, Pendidikan yang Bermakna Transformatif, adaptasi, Institute for Culture and Humanity, 10 Oktober 2003. 2
1
Dari perspektif otonomi pendidikan, terbuka peluang pengembangan pendidikan nilai berbasis khazanah budaya Yogyakarta, berupa sejarah atau kearifan lokal. Asumsi dasarnya adalah, dalam warisan sejarah dan pemikiran lokal itu ada sejumlah etos dan nilai-nilai yang inheren dan betul-betul hidup dalam masyarakat, sehingga ada keterjalinan erat antara peserta didik dengan kurikulum. Bahkan, khazanah yang juga bisa disebut tradisi ini, pada titik tertentu dapat menjelma menjadi visi dan orientasi bersama yang dapat mengarahkan gerak maju masyarakat dalam sebuah Gerakan Kebudayaan. Dalam ranah ini dimungkinkan terjadinya proses dialog-kreatif, baik yang bersifat personal-eksistensial maupun sosialkolektif, dengan nilai-nilai keberadaban yang menjadi muasal akar hidup masyarakat Yogyakarta sendiri. Dengan memberi ruang pada khazanah budaya dan sejarah lokal, berarti dunia pendidikan kita berusaha mempertautkan kembali keterputusan dunia pendidikan dengan proses pembudayaan yang menjadi titik akhir pendidikan nilai-nilai. Proses internalisasi nilainilai tidak lagi bercorak terlalu deduktif, tetapi lebih induktif sehingga secara perlahan dan mendalam dapat diturunkan ke lubuk pemahaman peserta didik. Alur induksi nilai-nilai itu menjadi mungkin karena nilai-nilai itu sendiri sudah terjangkarkan cukup baik dalam jalan panjang wawasan kebudayaan masyarakat Yogyakarta. Tantangan ini di sisi lain dapat meningkatkan kepedulian kalangan pendidik bagi pengembangan pendidikan dan konservasi khazanah lokal yang belakangan terancam punah dilibas arus globalisasi. Gagasan yang melandasi pendidikan berbasis budaya lokal ini, karena selama ini pendidikan nilai-nilai terlalu negara-sentris, kering, hambar, bahkan cenderung ideologis dan pro-status quo. Reformasi di bidang pendidikan nilai-nilai dipandang mendesak, karena diduga salah satu biang terpuruknya bangsa ini dalam krisis multidimensi diakibatkan kegagalan pendidikan nilai-nilai itu4. Dalam proses penerapannya, Pemerintah Daerah dibantu Dewan Pendidikan dituntut kreativitasnya, terutama dalam meramu bahan-bahan untuk bidang studi pendidikan nilai-nilai keYogyaan ini. Demikian juga, harus menyediakan fasilitas pendukung dan sistematisasi pendidikan di Yogyakarta yang terstruktur. Kedua, praktik diskursus (discourse practices) sebagai proses produksi, distribusi dan konsumsi teks dipandang penting sebagai sebuah medium dan instrumen dari pergulatan kuasa, perubahan sosial dan konstruksi sosial sebagai Gerakan Kebudayaan. Pergulatan kuasa berlangsung baik di dalam maupun atas wacana. Wacana mentransmisikan dan memproduksi peradaban sebagai akar kebudayaaan. Wacana paling tidak memiliki tiga efek konstruktif: memberikan kontribusi bagi pembentukan ‘identitas sosial’, ‘relasi sosial’, dan ‘ideasional’ dalam masyarakat. Dalam kaitan ini, terlihat bagaimana bakda pemaparan Visi-Misi Gubernur DIY di depan Sidang Paripurna DPRD DIY pada 21 September 2012, wacana tentang ‘renaisans’, ‘among-tani’ dan ‘dagang-layar’ seakan ‘kata-bersayap’ yang terbang kemana-mana, dan menjadikannya topik bahasan oleh berbagai-bagai kelompok masyarakat. Masyarakat bak ‘terhipnotis’ oleh kekuatan makna dari tiga suku kata yang bagaikan ‘kata-mantera’ itu! Bahkan bukan sekadar berhenti dalam wacana, tetapi untuk kata ‘among-tani’ dan ‘daganglayar’ misalnya, telah menjadi pemicu gerak masyarakat petani-nelayan untuk membuat dua sektor itu semakin maju. Juga muncul pemaknaan konstruktif oleh berbagai kelompok inteligensia melalui praktik-praktik diskursus ilmiah untuk menjawabnya.
4
M Mushthafa, Pendidikan Nilai dan Khasanah Lokal, Adaptasi, Kompas, 24 April 2003.
2
Hal ini membuktikan, betapa besar pengaruh dari sebuah wacana dominan terhadap pembentukan identitas-identitas, relasi-relasi, dan ideologi-ideologi sosial yang menandai awal sebuah Gerakan Kebudayaan masyarakat Yogyakarta. Ketiga, ruang publik (public sphere) dipandang penting karena merupakan lokasi tempat wacana diekspresikan, dan merupakan ruang kegiatan intelektual dan kebudayaan diaktualisasikan. Seperti diamati oleh Jürgen Habermas (1989), pembentukan tradisi intelektual modern di Eropa abad-17/18 merupakan fenomena kemunculan apa yang disebutnya ‘ruang publik borjuis’ (bourgeois public sphere). Di dalam ruang publik ini, seperti klub, kedai kopi, kafe dan salon, berlangsung wacana tentang karya sastra yang kemudian bergeser ke politik. Perkembangan industri persuratkabaran di abad ke-19 telah menjadikan media massa ruang publik baru. Ruang publik ini merupakan tempat pertemuan kaum bangsawan, intelektual dan merkantil membangun wacana rasional, yang bersifat inklusif dan juga sekaligus eksklusif. Dalam artian bahwa meskipun setiap peserta yang ikut mengambil bagian aktif dalam dialog dibatasi, namun klaim yang terbangun dapat menjadi opini publik. Mereka menyatu menjadi sebuah kelompok kohesif yang gagasannya memiliki pengaruh dalam politik, sehingga membuka ruang sosial yang punya argumen untuk melawan the established status quo5. Hal ini berbeda dengan kelahiran ‘ruang publik Indonesia’ modern di awal abad ke20. Lapisan kecil kaum aristokrasi dan borjuis kecil yang terdidik menandai kemunculan strata baru inteligensia. Jadi, lebih tepat untuk menyebut ‘ruang publik Indonesia’ awal sebagai ‘ruang publik inteligensia’ ketimbang ‘ruang publik borjuis’, yang terpusat di seputar wacana mengenai isu ‘kemadjoean’ untuk mengejar kemajuan peradaban Barat. Namun, derajat kebebasan ‘ruang publik Indonesia’ beroperasi di bawah dominasi kolonial. Dalam konteks Yogyakarta, fenomena itu kalau pun ada masih bersifat embrional dan oleh kelompok-kelompok kecil masyarakat secara parsial, belum terstruktur. Meski wacana banyak di seputar “bagaimana wujud nyata keIstimewaan yang dituju”, namun seringkali juga dibumbui isu ‘revolusi batu akik’, yang seakan mau mengalihkan wacana tentang ‘revolusi mental’ (atau sekedar ‘revolusi metal’?) gagasan Presiden Jokowi. Demikian juga, kalau pun berlangsung dialog lintas profesi sebagai komponen ‘Triple Helix’, yaitu ABG: Academic, Business, Government, meski cukup intens, tapi setelah kembali ke habitatnya, maka apa yang dibahas terlupakan oleh tugas-tugas rutin profesi masing-masing. Sekedar wacana yang belum terimplementasikan menjadi tindakan bersama. Dan jikalau pun juga terbangun opini yang menyebar ke birokrat, sifatnya sangat individual tidak institusional, sehingga belum punya pengaruh terhadap perubahan dalam program pembangunan yang berdampak luas sebagai bibit-bibit berseminya Renaisans Yogyakarta dan sebuah Gerakan Kebudayaan di pemerintahan menuju peradaban baru Yogyakarta.
5
Salim Alatas, Media dan Ruang Publik, 15 Juli 2014.
3
Pemimpin: Mencipta Tanda, Membawa Visi Setiap gerakan perubahan selalu bermula dari tanda (sistem simbol). Tanda baru yang menjadi mercusuar ke arah mana impian orang diarahkan, tanda baru yang menjadi pembatas antara tradisi dan inovasi, masa lalu dan masa depan. Kata dan bahasa adalah rumah tanda. Karena tidak ada kemungkinan mengada di luar tanda (bahasa), maka sebagai rumah tanda, kata dan bahasa pun menjadi rumah kehidupan. Meminjam Martin Heidegger, ”Language is the house of being”. Sebagai rumah kehidupan, upaya perjuangan, kebangkitan dan perubahan apa pun harus bermula dari pembenahan sistem simbolik: dengan jalan merebut dan menghidupkan kembali ‘darah kata’. Di Hindia Belanda, generasi awal kaum inteligensia sama-sama berasal dari kalangan priyayi, mengalami ekposur terhadap ide-ide Barat, berbicara dengan bahasa campuran Belanda, serta sadar akan peran dan status istimewa yang membentuk sebuah strata baru di dalam masyarakat Hindia. Namun kesamaan ini tidak terjadi begitu saja, melainkan terbentuk lewat praktik-praktik diskurus. Di bawah kondisi-kondisi historis semacam itu, persoalan tentang bagaimana mengejar ‘kemadjoean’ menjadi wacana yang dominan. Meluasnya wacana mengenai ‘kemadjoean’ ini oleh kemunculan ruang publik modern yang bersifat embrionik. Bibit-bibit kelahiran ruang publik oleh dampak ikutan dari penerapan ekonomi Liberal yang mendorong pendirian pers-pers vernakular (berbahasa lokal), dan penyebarluasan klub-klub sosial bergaya Eropa. Misalnya di Yogyakarta, ada gedung Societet de Vereeniging atau Balai Mataram yang dikenal dengan Kamar Bola Senisono yang selesai dibangun tahun 1832. Lewat proses pendidikan dan mimikri6 dan dengan cara membaca pers vernakular yang didirikan oleh orang Eropa dan Tionghoa, serta dengan membentuk perhimpunanperhimpunan, inteligensia pribumi pada akhirnya bisa menciptakan ruang publiknya sendiri. Sampai akhir abad ke-19, tongkat kepemimpinannya dipegang oleh kaum guru, karena dua alasan. Pertama, profesi guru menghimpun porsi terbesar dari kaum pribumi berpendidikan terbaik, yang paling merasa mengemban misi untuk mencerahkan bangsanya. Kedua, profesi guru kurang dihargai jika dibanding dengan administrator birokrasi, itulah yang menstimulasi untuk menjadikan guru artikulator dari konsep ‘kemadjoean’. Dalam gerakan kebangkitan dan kebangsaan Indonesia, Budi Oetomo (BO) bukanlah yang pertama dan satu-satunya aktor kebangkitan. Namun betapa pun, BO adalah tonggak penting dalam pertumbuhan gerakan kebangkitan berbasis ‘bangsawan pikiran’. Sejak itu, ‘pikiran’ menjadi peta-jalan bagi generasi selanjutnya. Pada dekade kedua abad ke-20, dengan dibukanya sekolah Eropa, seperti HIS (sekolah dasar), MULO (sekolah menengah pertama), dan AMS (sekolah menengah atas), orang-orang terdidik dari keturunan priyayirendahan dan non-bangsawan semakin besar jumlahnya. Berpijak pada peta-jalan yang telah dipancangkan generasi sebelumnya, angkatan baru kaum terdidik bergerak lebih maju dengan mengganti kata bangsawan yang mendahului kata pikiran.
6
Menurut Homi Bhabha (l994), “mimikri” menunjukkan bukti yang terjajah tidak melulu diam, karena memiliki kuasa untuk melawan. Fenomena mimikri tidaklah menunjukkan ketergantungan sang terjajah kepada yang dijajah, tetapi peniru menikmati dan bermain dengan ambivalensi dalam proses imitasi tersebut. Ia adalah imitasi sekaligus subversi, maka mimikri bisa dipandang sebagai strategi menghadapi dominasi penjajah. Seperti penyamaran, ia bersifat ambivalen, melanggengkan tetapi sekaligus menegasikan dominasinya. Konsep mimikri ini mengandung ambivalensi, karena di satu sisi kaum pribumi ingin membangun identitas persamaan dengan kaum penjajah, sedangkan mereka juga mempertahankan perbedaannya.
4
Seseorang menulis di Sinar Djawa (4 Maret 1914): “Dengan pergeseran waktu, telah muncul jenis bangsawan baru, yakni ‘bangsawan pikiran’. Namun jika ‘bangsawan pikiran’ ini hanya kelanjutan dari ‘bangsawan usul’, perubahan dan pergerakan tak akan pernah lahir.” Maka tanda baru pun dicipta yang sepenuhnya bebas dari imaji kebangsawanan, dan berkhidmat sepenuhnya pada pikiran. Tanda itu bernama ‘kaum terpelajar’ atau ‘pemudapelajar’, atau dalam bahasa Belanda, ‘jong’. Dalam tanda dan peta-jalan seperti inilah generasi Soekarno, Hatta, Sjahrir, atau Tan Malaka dibesarkan. Dengan bahasa sebagai kunci pembuka kepustakaan dunia, generasi Soekarno mampu berkenalan langsung dengan pemikiran dan wacana semasa tanpa perantara. Demikianlah, menulis adalah mencipta, dan mencipta selalu mensyaratkan membaca. Semakin banyak mencipta, semakin banyak membaca, semakin kaya bacaan, semakin kaya hasil penciptaan, yang jika ditelaah mendalam dinamika yang berkembang itu semua sejatinya adalah sebuah Gerakan Kebudayaan. Aktor Pemimpin, Visi & Aksi Massa Syarat terjadinya perubahan melalui sebuah gerakan, termasuk Gerakan Kebudayaan, adalah momentum bertemunya aktor pemimpin yang mampu menggerakkan aksi massa yang secara sadar (bewust) akan arahan visi pemimpin tersebut. Menurut Arnold J. Toynbee dalam A Study of History (1987), tumbuh-berkembangnya peradaban dipicu oleh interaksi antara kelompok “minoritas kreatif” dengan “lingkungan budaya” yang cocok (match). Oleh Bung Karno kelompok “minoritas kreatif” itu disebut massa yang bewust tersebut. Mereka yang layaknya paratroopers itu potensial menjadi driving force dan prime mover yang memiliki energi lebih besar dari masyarakatnya yang terpuruk letih, memiliki kejernihan di tengah lautan kekeruhan pikiran, punya semangat kejuangan pantang mundur di antara masyarakatnya yang putus asa, memelihara dan terus menyebarluaskan virus optimisme akan hari esok yang lebih baik di tengah luapan pesimisme. Memang, peradaban besar, kata Toynbee, tidak pernah dibangun oleh kerumunan orang yang saling menyalahkan dan bertempur sendiri. Asumsi Toynbee ini menemukan titik tumbuhnya pada peradaban unggul di Yogyakarta. Karena sudah memiliki tradisi budaya yang panjang, didukung oleh keberadaan kelompok-kelompok “minoritas kreatif” yang memiliki tradisi literati dan keilmuan yang tinggi, tersebar di berbagai disiplin keilmuan di 133 Kampus, dan oleh inovator muda di bidang industri kreatif berbasis kampus, terutama di bidang teknologi informasi (TI), yang berusaha di tengah-tengah kota dan di klaster-klaster kerajinan di pedesaan. Interaksi “minoritas kreatif” dengan “lingkungan budaya” itu bisa lebih berkembang, jika Kampus menyediakan fasilitas Techno-Parks atau Incubator Business and Technology Center untuk pengembangan start-ups business yang berbasis invensi dan inovasi, seperti bangkitnya industri elektronik dan multi media yang berawal dari Silicon Valley, di San Jose, California. Bagi pelaku industri kreatif, pengembangan teknologinya bisa dilakukan lewat rekayasa berbalik (reverse engineering), dengan membongkar barang modal untuk ditiru dan dikembangkan, seperti halnya Jepang sebelum menjadi negara industri maju. Tampak Yogyakarta sedang mengalami tren transformasi sosial yang cepat dari sektor agraris ke semi industri, terutama industri kreatif. Orang berpindah dari pasar dan sayurmayur ke teknologi informasi (TI). Fenomena pergeseran ini dapat kita lihat perkembangan bisnis di jalan Gejayan dan Kaliurang.
5
Bisnis selular, komputer dan fotografi, nyaris dibangun oleh mahasiswa dengan modal dan otaknya sendiri. Bisnis-bisnis seperti warnet, desain grafis dan konsultan adalah core competence yang berbasis pada soft capital yang berpusat di otak manusia. Modal fisik seperti mesin di pabrik besar tidak dibutuhkan. Ini menunjukkan, Yogyakarta sarat akan SDM berbakat, kaya otak yang penuh gizi ide dan kreativitas. Terbukti Yogyakarta berada di peringkat kedua setelah Jakarta dalam hal kemampuan SDM. Padahal, gerak perkembangan itu barulah berjalan dalam kondisi auto-pilot. Bisa kita bayangkan, betapa besar jika perkembangannya digerakkan oleh pemimpin didukung oleh kelompok “minoritas kreatif” yang terkonsolidasi bersama semua elemen masyarakat untuk bergerak ke arah visi akbar yang dituju. Kata-kata kunci, seperti ‘renaisans’, ‘among-tani’, ‘dagang-layar’, ‘industri kreatif’ itu harus dipandu oleh strategi cerdas agar sumberdaya yang terbatas pun bisa cukup, dimotori oleh inovasi-inovasi kreatif, dikawal oleh sikap antisipatif, dan didukung oleh karakter ketekunan. Memang ikon-ikon itu perlu diberi darah, saraf, otot, dan daging – difasilitasi dengan sarana dsan prasarana memadai-- agar menjadi tubuh, artinya menjadi budaya unggul yang berdaya saing. Kini, perlu ditambah bobot, menjadikannya semacam Sumpah Palapa II: “Bersama-sama, kita harus bisa unggul!” Kalau Solow (1956), seorang pemenang Nobel, memberatkan pada teknologi sebagai pemacu percepatan pertumbuhan, selain populasi dan akumulasi kapital, Lucas (1988) lebih mendasar. Inovasi teknologi tak banyak terjadi jika manusianya tidak memiliki otak yang pintar. Lucas lalu mengembangkan model matematik yang menjelaskan kemungkinan manusia, isi kepalanya dan waktu yang dicurahkan untuk kepentingan produksi. Hasilnya, orang-orang pintar bisa survive membangun kota di padang gurun sekalipun. Fenomena berkembangnya industri kreatif telah menjelaskannya, karena industri kreatif ditentukan oleh karya atau kreativitas individual yang berbasis talenta, kemudian dimassalkan. Dan Yogyakarta, sebenarnya menyimpan potensi besar di bidang ini. Semakin berkembangnya industri kreatif yang pusat produksinya di otak berperan besar membantu penghematan sumberdaya alam yang selain kian menipis, juga telah banyak menimbulkan pencemaran lingkungan. Inilah modal yang menjelaskan mengapa Yogyakarta begitu cepat berkembang, yang semoga bukan bubble economy, tetapi betul-betul perubahan fundamental menuju peradaban baru yang menyejahterakan seluruh rakyatnya. “Renaisans Jawa” Dalam sejarah Mataram kita mencatat Sultan Agung (1613-1645) sebagai Ratu gung binathara terbesar. Monografis karya de Graaf, De Regering van Sultan Agung, memperlihatkan betapa cemerlang Sultan Agung mewarnai sejarah Mataram. Kalender Jawa buah karyanya yang mengubah sistem penanggalan Saka Hindu-Jawa menjadi sistem penanggalan Hijriyah yang Islami, menandai dimulainya “Renaisans Jawa I”. Jika Renaisans Eropa menghidupkan kembali peradaban Yunani dan Romawi kuna, dalam wujud kebangkitan ilmu berdasarkan sumber-sumber klasik, Renaisans Jawa II juga menggunakan sumber-sumber klasik yang serupa, dengan diberi vitalitas dan ‘ruh’ baru, yang mencapai puncaknya pada jaman kapujanggan Ranggawarsitan. Karya-karya susastrâ digunakan sebagai sarana defensif Jawa terhadap masuknya budaya dan peradaban asing dari Cina, India, Arab, dan Belanda sebagai titik awal Jawa memperoleh ‘kedaulatan spiritual’. 6
Menurut seorang Indonesianis dari Monash University, M.C. Ricklefs, “Revolusi sosial di Yogyakarta dimulai dari atas ke bawah”. Sedangkan sosiolog Prof. Selo Sumardjan mengatakan, revolusi Kraton Yogyakarta tidak perlu mendobrak pintu-pintu Istana seperti Revolusi Perancis, karena gerbang Kraton dengan sendirinya terbuka lebar, saat digunakan untuk gedung kuliah Universitas Gadjah Mada. Itulah masa Renaisans Jawa III berfokus pada pendidikan yang tujuannya adalah membangun masyarakat multikultural di Yogyakarta. Fenomena tumbuhnya benih-benih untuk lanjutan Renaisans Jawa yang dimulai dari zaman Sultan Agungan, masa kapujanggan, dan kebangkitan semangat kebangsaan Indonesia, hingga masa Revolusi Istana di Yogyakarta, seharusnya dituntaskan oleh Gerakan Kebudayaan Abad-21, agar paripurna dalam arti menyejahterakan rakyatnya. Dialog Budaya & Gelar Seni Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-78 ini akan menampilkan Narasumber Prof. Dr. Suwardi Endraswara, Guru Besar FBS-UNY, menguraikan latar belakang Renaisans Eropa & Renaisans Jawa sebagai landasan membangun keIstimewaan Yogyakarta yang sejati, Drs. Tavip Agus Riyanto, MSi, Kepala BAPPEDA DIY, terilhami oleh kebangkitan semangat kebangsaan Indonesia menjelaskan milestone menuju Yogyakarta sejahtera, Drs. Umar Priyono, MPd, Kepala Dinas Kebudayaan DIY, membahas dari aspek kebudayaan sebagai akar peradaban menuju peradaban unggul Yogyakarta. Dialog dipandu oleh moderator/host tetap, Hari Dendi, Pengasuh “YogyaSemesta”. Gelar Seni berupa pergelaran wayang kulit ringkes lakon “Gumregahing Nagari Ngayogyakarta” oleh Ki Dalang George Soedarsono Esthu, SFil, Ketua Badan Pengawas Yayasan Kearifan Lokal Nusantara dan Art & Science Director IENA Jakarta, serta demo Gladhen Jemparingan “AyoManah-JogjaGumregah”, disertai pameran foto, film dokumenter, dan demo pembuatan busur panah oleh “Jemparingan Langenastro” dpp. Hafiz Priyotomo. Digelar secara lesehan, Slasa Wage malam, 5 Mei 2015 jam 18:30-22:00 di Bangsal Kepatihan Yogyakarta, diawali makan malam bersama kuliner rakyat, dan terbuka untuk umum. Penghargaan Sewindu “YogyaSemesta” Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri Perdana diresmikan oleh Wakil Gubernur DIY, Sri Paduka Paku Alam IX pada Slasa Wage, 17 April 2007, diawali dengan topik: “Babad Giyanti, Makna dan Aktualisasi”. Dalam rangka peringatan sewindu “YogyaSemesta” pada Seri-78 ini, akan ditandai dengan pemberikan “Piagam Penghargaan Peduli Budaya” dari Sri Sultan Hamengku Buwono X kepada seluruh Direksi Bank BPD DIY periode sebelumnya di bawah Direktur Utama Drs. H. Harsoyo, MSi, dan Dr. Supriyatno, MBA, sebagai tanda penghargaan atas partisipasinya dalam penyelenggaraan “YogyaSemesta” sejak 2007-2014.
Yogyakarta, 5 Mei 2015 Komunitas Budaya “YogyaSemesta”,
Hari Dendi Pengasuh 7