TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Hidup S. asigna Van Eecke Telur Telur berwarna kuning kehijauan, berbentuk oval, sangat tipis dan transparan (Gambar 1). Telur diletakkan berderet 3 – 4 baris sejajar dengan permukaan daun sebelah bawah, biasanya pada pelepah daun ke 6 – 17. Satu tumpukan telur berisi sekitar 44 butir. Seekor ngengat betina mampu menghasilkan telur sekitar 300 – 400 butir. Telur menetas 4 – 8 hari setelah diletakkan (Prawirosukarto dkk, 2003).
Gambar 1. Telur S. asigna Larva Larva berwarna hijau kekuningan dengan bercak – bercak yang khas di bagian punggungnya. Selain itu di bagian punggung juga dijumpai duri-duri yang kokoh (Gambar 2). Larva mengalami 9 instar dalam perkembangannya, dan dapat mencapai panjang 36 mm dan lebar 14.5 mm dalam perkembangan penuh. Stadia larva berlangsung selama 49 – 50 hari. Larva yang baru menetas hidup berkelompok, mengikis daging daun dari permukaan bawah. Setiap stadia larva
Universitas Sumatera Utara
memiliki kemampuan makan yang berbeda – beda, dan menyebabkan serangan yang berbeda pula (Tabel 1) (Prawirosukarto dkk, 2003). Tabel
1.
Kemampuan makan (Mexzon et al, 1996).
dari
berbagai
instar
larva
S.
asigna
Instar larva
Waktu Jaringan yang Konsumsi (hari) dimakan per hari (cm²) (cm²)
Larva per Jumlah larva yang daun menyebabkan kehilangan daun 20%
pertama
5.0
1.30
0.26
111.50
4,461.5
kedua
5.0
2.02
0.40
71.78
2,871.3
ketiga
4.6
4.20
0.91
31.76
1,270.5
keempat
4.9
13.25
2.70
10.72
429.0
kelima
5.0
34.06
6.81
4.26
170.3
keenam
4.7
34.42
7.32
3.96
158.4
ketujuh
5.4
125.00
23.14
1.25
50.1
kedelapan
6.5
592.00
91.07
0.31
12.7
kesembilan 7.2
621.70
86.34
0.33
13.4
Total
1,427.95
218.95
48.3
Gambar 2. Larva S. asigna Pupa Larva sebelum berubah menjadi kepompong menjatuhkan diri pada permukaan tanah yang relatif gembur di sekitar piringan atau pangkal batang
Universitas Sumatera Utara
kelapa sawit. Pupa berwarna coklat muda (Gambar 3) dan diselubungi oleh kokon yang terbuat dari air liur larva, berbentuk bulat telur dan berwarna coklat gelap (Gambar 4). Kokon jantan dan betina masing – masing berukuran 16 × 13 mm dan 20 × 16.5 mm. Stadia kepompong berlangsung selama ± 40 hari (Prawirosukarto dkk, 2003).
Gambar 3. Pupa S. asigna
Gambar 4. Kokon S. asigna Imago Ngengat jantan dan betina masing – masing lebar rentangan sayapnya 41 mm dan 51 mm. Sayap depan berwarna coklat tua dengan garis transparan dan bintik-bintik gelap, sedangkan sayap belakang berwarna coklat muda (Gambar 5) (Prawirosukarto dkk, 2003). Keseluruhan siklus hidup dapat mencapai 115 hari (Kalshoven, 1981).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5. Imago S. asigna
Kerusakan Yang Disebabkan S. asigna Van Eecke Larva muda (dibawah instar 3) biasanya bergerombol di sekitar tempat peletakkan telur dan mengikis daun mulai dari permukaan bawah daun kelapa sawit, serta meninggalkan epidermis daun bagian atas. Bekas serangan terlihat seperti jendela – jendela memanjang pada helaian daun. Mulai instar ke-3 biasanya ulat memakan semua helaian daun dan meninggalkan lidinya saja (Buana dan Siahaan, 2003). Serangan ulat ini biasanya dimulai dari pelepah daun yang terletak di strata tengah dari tajuk kelapa sawit ke arah pelepah daun yang lebih muda atau lebih atas. Pada serangan yang lebih berat daun yang tua dimakan juga oleh larva S. asigna, sehingga hanya tinggal pelepah beserta lidinya (Gambar 6), gejala seperti ini sering disebut gejala melidi (Wood, 1968). Pada serangan berat menyebabkan daun berwarna coklat seperti hangus terbakar. Tanaman muda yang terserang akan lebih berat serangannya daripada tanaman tua (Lever, 1969). Apabila populasi ulat ini lebih banyak dibandingkan dengan padat populasi kritis yang ditentukan (Tabel 2), maka perlu segera dilakukan tindakan pengendalian (Prawirosukarto dkk, 2003)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 6. Gejala serangan S. asigna Tabel 2. Padat populasi kritis beberapa jenis Ulat Pemakan Daun Kelapa Sawit (UPDKS) (Prawirosukarto dkk, 2003) Jenis UPDKS Setothosea asigna Setora nitens Birthosea bisura Thosea vetusta Susica pallid Darna (Ploneta) diducta Darna trima Mahasena corbetti Metisa plana
Padat populasi kritis (jumlah ulat/pelepah) 5 – 10 5 – 10 10 – 20 10 – 20 10 – 20 10 – 20 20 – 30 4–5 5 – 10
Pengendalian S. asigna Van Eecke 1.
Pengendalian secara mekanis Pengutipan ulat dapat dilakukan pada tanaman muda umur 1 – 3 tahun, apabila luas areal yang mengalami serangan mencapai 25 ha. Pengutipan ulat dapat dimulai apabila pada pemeriksaan global, banyak ulat yang ditemukan 3 – 5 ekor/pelepah.
Universitas Sumatera Utara
2.
Pengendalian secara hayati Pengendalian hayati ulat api pada kelapa sawit dapat menggunakan mikroorganisme entomopatogenik, yaitu virus β-Nudaurelia, multiple nucleopolyhedrovirus (MNPV),
dan
jamur
Cordyceps aff.
militaris
(Prawirosukarto dkk, 2008). Pelepasan sejumlah predator seperti Sycanus sp., Cantheconidae sp., Eucanthecona furcellata, juga penggunaaan parasitoid Spinaria sp., parasitoid telur Trichogrammatoidae thoseae, parasitoid kepompong Chlorocryptus purpuratus (Purba dkk, 1986). 3.
Pengendalian secara kimiawi Penggunaan insektisida kimia sintetik diupayakan sebagai tindakan terakhir apabila terjadi ledakan populasi pada hamparan yang luas, dengan memilih jenis dan teknik aplikasi yang aman bagi lingkungan, khususnya bagi kelangsungan hidup parasitoid dan predator (Prawirosukarto dkk, 2003).
Karakteristik Jamur C. militaris Menurut Holliday et al (2005), jamur Cordyceps militaris dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Fungi
Filum
: Ascomycota
Klass
: Ascomycetes
Ordo
: Hypocreales
Famili
: Clavicipitaceae
Genus
: Cordyceps
Spesies
: Cordyceps militaris Fries.
Universitas Sumatera Utara
Cordyceps dikenal sebagai jamur entomopatogen yang membentuk badan buah pada serangga inangnya dan dikenal 750 species dari jamur ini. C. militaris merupakan jamur entomopatogen khususnya pada larva dan pupa Lepidoptera (Gambar 7) (Schgal & Sagar, 2006). Jamur ini bersifat soil borne karena infeksi mulai
terjadi
pada
saat
larva
turun
ke
tanah
untuk
berkepompong
(Wibowo dkk, 1994).
Gambar 7. Cordyceps militaris Pada sub divisi Ascomycotina secara umum jamur akan memperbanyak diri dengan dua cara yaitu fase reproduksi seksual teleomorfik dengan memproduksi perfek spora (askospora) dan fase reproduksi aseksual anamorph dengan memproduksi imperfek spora (konidia) (Wibowo dkk, 1994). Pada awal ditemukannya, tampak struktur stromata yang timbul dari badan ulat api. Stromata merupakan jalinan hifa yang membentuk tangkai, dimana pada bagian fertile disebut perithecia yang mengandung askus dan askospora (Wibowo dkk, 1994). Ukuran stromata 8 – 70 × 1.5 – 6 mm, perithecium 500 – 720 × 300 – 480 µm, askus 300 – 510 × 3.5 – 5 µm, askospora 280 – 390 × 1 µm, askospora mempunyai banyak septa (Gambar 8), ukuran partspore 2 – 4.5 × 1 – 1.5 µm, dan warna koloni kuning keputih-putihan (Sung & Spatafora, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Stromata Cordyceps timbul dari endosklerotium dan biasanya muncul dari mulut atau anus dari serangga dan tumbuh ke arah sumber cahaya. Perithecia terbentuk pada bagian atas yang menghasilkan askospora. Badan buah berukuran sekitar
30
cm,
bercabang
dan
berwarna
kuning
atau
orange
(Tanada & Kaya, 1993).
b
a
c
d
Gambar 8. C. militaris a. stroma, b. perithecia, c. askus, d. askospora. Sumber. Zhang et al (2004) Hasil penelitian di Balai Penelitian Marihat menunjukkan bahwa pada kondisi kelembapan yang cukup perkembangan Cordyceps dari mumifikasi sampai terjadinya emisi askospora sekitar 24 hari. Keadaan yang sedikit gelap akan berpengaruh terhadap evolusi stromata tetapi cahaya akan merangsang keluarnya perithecia. Waktu yang diperlukan untuk pembentukan stromata berkisar antara 2 – 4 minggu setelah inokulasi. Secara umum infeksi jamur terjadi pada hari ke-21 setelah perlakuan yang mana kepompong masih dalam tahap pra kepompong, dan kecepatan laju infeksi terbesar pada hari ke 21 – 37 (Wibowo dkk, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Mekanisme Penetrasi C. militaris ke dalam Tubuh Inang Askospora yang berada pada integument dari larva dan pupa melakukan penetrasi melalui pembuluh, dan mempunyai kemampuan untuk menghidrolisa lapisan kitin dari larva maupun pupa tersebut. Setelah infeksi, muncul badan hifa berbentuk silindris pada haemocoel pupa, kemudian badan hifa meningkat dan menyebar pada tubuh serangga (Schgal & Sagar, 2006).
Gejala Serangan C. militaris Kepompong yang terinfeksi menjadi keras (mummifikasi), berwarna krem sampai coklat muda, miselium berwarna putih membalut tubuh kepompong di dalam kokon. Miselium berkembang keluar dinding kokon dan terjadi diferensiasi membentuk rizomorf dengan beberapa cabang, berwarna merah muda. Ujung – ujung rizomorf berdiferensiasi membentuk badan buah berisi peritesia dengan askus dan askospora. Infeksi pertama terjadi pada saat larva tua akan berkepompong, tetapi lebih banyak pada fase kepompong. Pada kondisi lapangan, C. militaris tumbuh baik pada tempat-tempat lembab di sekitar piringan kelapa sawit dan di gawangan. Menurut hasil penelitian kepompong terinfeksi cukup tinggi dan bervariasi tergantung pada keadaan lingkungan dan media terutama kelembapan (Purba dkk, 1986). Percobaan Tiong (1979) di Serawak menunjukkan bahwa pertumbuhan terbaik C. militaris pada kepompong S. asigna yaitu pada kandungan air 53.7% dimana pertumbuhan rhizomorf rata-rata 32.0 mm, dan jamur ini lebih menyukai tanah berpasir dibandingkan dengan tanah berliat tinggi (Purba dkk, 1986).
Universitas Sumatera Utara
Pertumbuhan maksimum miselium C. militaris dalam padatan dan media cair masing-masing pada pH 7.5 dan pH 5.5 (Schgal & Sagar, 2006). Media yang dipakai untuk menumbuhkan jamur entomopatogen sangat menentukan laju pembentukan koloni dan jumlah konidia selama pertumbuhan. Jumlah konidia akan menentukan keefektifan jamur entomopatogen dalam mengendalikan serangga. Jamur entomopatogen membutuhkan media dengan kandungan gula yang tinggi di samping protein. Media dengan kadar gula yang tinggi akan meningkatkan virulensi jamur entomopatogen. Media dari jagung manis atau jagung lokal + gula 1% menghasilkan jumlah konidia dan persentase daya kecambah konidia yang lebih tinggi dibandingkan media yang lain (Prayogo dkk, 2005).
Universitas Sumatera Utara