TINJAUAN PUSTAKA Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Ngengat meletakkan telur di atas permukaan daun dan jarang meletakkan di bawah permukaan daun. Jumlah telur yang diletakkan berkisar 7-30 butir dan diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong dan sangat pipih dengan ukuran 0,75-1,25 mm dengan rata-rata 0,95 mm. Telur yang baru diletakkan berwarna hijau muda atau kelabu agak kuning. Telur-telur akan menetas setelah berumur 6-8 hari (Yalawar dkk, 2010).
Gambar 1. Telur C. sacchariphagus Sumber : Foto Langsung Larva yang baru menetas panjangnya 2,5 mm dan berwarna kelabu. Panjang maksimal 4 cm. Kepala, perisai toraks, dan ruas terakhir berwarna kuning coklat hingga hitam cokelat (Gambar 2). Warna dasar abdomen kuning muda. Semakin tua umur larva, warna badan berubah menjadi kuning coklat dan kemudian kuning putih. Larva memiliki 4 buah garis membujur pada dorsal atau permukaan abdomen sebelah atas berwarna hitam atau ungu. Periode larva berlangsung 35-54 hari (Goebel dkk, 2001). 5
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Larva C. sacchariphagus Sumber : Foto Langsung Kepompong berwarna merah dan coklat mengkilat, panjangnya antara 3 - 4 cm. Pada bagian dorsal terdapat bintik - bintik halus seperti pasir dan garis membujur di tengah - tengah ruas (Gambar 3). Kepompong betina biasanya lebih besar daripada jantan. Masa kepompong berkisar antara 8 - 10 hari dengan rata rata 8,28 hari (Goebel dkk, 2001).
Gambar 3. Pupa C. sacchariphagus Sumber : Foto Langsung Ngengat memiliki sayap berwarna kecoklatan dengan beberapa noda hitam di tengahnya. Ngengat betina lebih besar daripada ngengat jantan. Seekor ngengat betina dapat menghasilkan telur 100 – 180 butir. Masa hidup ngengat 4 – 9 hari dan siklus hidup dari penggerek tersebut sekitar 43 - 64 hari dengan rata - rata 53, 5 hari (Yalawar dkk, 2010).
Universitas Sumatera Utara
a
b
Gambar 4. Ngengat C. sacchariophagus betina (a); Ngengat C. sacchariophagus jantan (b) Sumber : Foto Langsung Gejala Kerusakan Kerusakan akibat penggerek batang bergaris pada ruas tebu sangat nyata. Ruas – ruas yang rusak dapat mempengaruhi pertumbuhan diatasnya sehingga tidak dapat mencapai ukuran normal dan akan menyebabkan tanaman tampak kerdil. Pada serangan berat yang melingkari batang dapat mengakibatkan tanaman mudah patah (Nugroho, 1986). Serangan penggerek C. sacchariphagus menghancurkan meristem apikal tebu yang mengakibatkan tanaman mati yaitu menghambat pertumbuhan tunas aksial di daerah atas tanaman membuat gejala lebih menonjol dan kerugian hasil dan kualitas menurun (Mukunthan, 2006). Larva yang baru menetas hidup dan menggerek jaringan dalam pupus daun yang masih menggulung. Larva ini memakan jaringan daun sehingga apabila gulungan daun ini nantinya membuka maka akan terlihat luka – luka berupa lobang gerekan yang hilang dimakan larva dan tinggal gerekannya saja. Setelah beberapa hari hidup dalam pupus daun, larva kemudian akan keluar dan menuju ke bawah serta menggerek pelepah daun hingga menembus masuk ke dalam ruas batang. Selanjutnya larva hidup dalam ruas-ruas batang tebu. Pada ruas, gerekan penggerek batang bergaris berbeda dengan penggerek berkilat yaitu bentuknya
Universitas Sumatera Utara
tidak teratur dan sering mencapai ke permukaan kulit atau tepi ruas. Tepung gerekan yang belum kering berwarna cokelat pada permukaan luar menandakan bahwa penggerekan masih baru (Wirioatmodjo, 1973). Gejala serangan pada batang tebu ditandai adanya lobang gerek pada permukaan batang. Apabila ruas-ruas batang tersebut dibelah membujur maka akan terlihat lorong-lorong gerekan yang memanjang. Gerekan ini kadang-kadang menyebabkan titik tumbuh mati, daun muda layu atau kering. Biasanya dalam satu batang terdapat lebih dari satu larva penggerek (Deptan, 2013). Populasi larva C. sacchariphagus mulai meningkat dari umur tanaman 3,5 bulan dan mencapai puncaknya pada saat tanaman berumur 9,5 bulan (Purnomo, 2006).
Gambar 5. Gejala serangan C. sacchariphagus Bojer Sumber: http://litbang.deptan.go.id Pengendalian Pengendalian hama penggerek tebu dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain : 1) Kultur teknis yaitu dengan sanitasi lahan, penanaman dengan sistem hamparan, 2) Memotong bagian tanaman yang terserang dan membakarnya 3) Secara mekanis yaitu pengutipan larva – larva di lapangan, 4) Secara hayati yaitu dengan memanfaatkan musuh alami berupa pelepasan
parasitoid telur
Trichogramma spp., dan parasitoid larva Diatraeophaga striatalis dan
Universitas Sumatera Utara
5) Secara kimiawi yaitu dengan pemakaian insektisida yaitu Agrothion 50 EC (3 l/ha), Azodrin 15 WSC ( 5 l/ha) (Yulianto dan Yuniarti, 2013). Pengendalian hayati terhadap penggerek batang tebu juga telah dilakukan di PTPN II dengan menggunakan parasitoid telur (Tumidiclava sp.) dan parasitoid larva (Sturmiopsis inferens dan Xanthocampoplex sp.) (BPTTD, 1979). Parasitoid Xanthocampoplex sp. (Hymenoptera: Ichneumonidae) Daur hidup famili Ichneumonidae pada umumnya mulai dari telur, larva, kokon, imago. Rata – rata periode dari telur hingga menjadi larva 20,8 hari (16 – 28 hari), kokon berbentuk larva panjang kekuningan (7,8 x 2,0 mm) (Gambar 6). Periode kokon rata – rata 11,8 hari (11-13 hari) dan rata – rata masa hidup imago 14,4 (10 - 24 hari) berwana cokelat bening dan gelap kuning di tengahnya (Fernandes dkk, 2010) (Gambar 7).
Gambar 6. Kokon Xanthocampoplex sp. Sumber : Foto Langsung Pupa Hymenoptera parasitoid bertipe eksarata yang berkokon atau tidak berkokon. Parasitoid yang menyerang inang yang terbuka umumnya membuat kokon (Clausen, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 7. Imago Xanthocampoplex sp. Sumber: Foto Langsung
Beberapa spesies parasitoid Hymenoptera mengalami periode praoviposisi yaitu selang waktu sejak imago betina keluar dari pupa hingga saat peletakan telur pertama (Doutt, 1973). Periode praoviposisi umumnya singkat, hanya beberapa hari. Menurut Clausen (1994) sebagian besar masa famili Ichneumonidae dapat meletakkan telurnya yaitu berkisar antara 1 - 3 hari. Ichneumonidae merupakan serangga dari kelas Hexapoda dan ordo Hymenoptera, serangga ini sering disebut sebagai parasitoid pinggang ramping, serangga ini menggunakan ovipositornya yang panjang untuk memarasit inangnya. Serangga familli ini dapat mengetahui letak larva inangnya walaupun larva inangnya berada di dalam jaringan tumbuhan. Imago betina Ichneumonidae biasa meletakkan telurnya dalam satu inang tunggal atau bersifat soliter (Borror dkk, 1992). Parasitoid famili Ichneumonidae mencari ulat sebagai inang untuk generasi yang akan datang. Serangga hinggap pada ulat inangnya dan menaruh telur di dalam atau di atasnya. Telur menetas dan larva makan inang dari dalam atau dari luar. Larva kemudian menjadi kepompong (kokon) dan ulat inang mati.
Universitas Sumatera Utara
Kadang-kadang ditemukan ulat mati tersambung ke kokon yang sebesar ulat inangnya. Setelah keluar dari kokon, serangga dewasa terbang dan kawin. Betina mencari ulat inang lagi untuk meletakkan telurnya. Seekor betina dapat meletakkan telur pada 100 ulat (Borror, 1992). Penerimaan parasitoid betina terhadap inangnya tergantung pada pengenalan secara fisik (ukuran, bentuk, tekstur) dan sifat kimia inang. Dalam pemilihan inang ukuran dan jenis inang adalah aspek yang paling penting karena besar atau kecilnya ukuran dan jenis inang akan mempengaruhi kandungan nutrisi inang yang akan digunakan parasitoid selama fase perkembangan di dalam tubuh inangnya. Perkembangan parasitoid akan lebih bagus jika berkembang pada inang yang ukurannya lebih besar. Hal ini disebabkan karena pada inang yang lebih besar sumber makanan yang tersedia lebih banyak (Utami, 2001). Kebugaran parasitoid betina berkaitan erat dengan jumlah inang yang diparasit sedangkan kebugaran parasitoid jantan lebih ditentukan oleh jumlah kopulasi yang dilakukan. Ukuran imago betina mempengaruhi kebugaran parasitoid dalam hal efisiensi pencarian inang, lama hidup, dan suplai telur. Parasititasi pada instar inang yang berbeda dan ukuran innag yang berbeda mempengaruhi kebugaran dan jumlah parasitoid, nisbah kelamin, masa perkembangan atau ukuran parasitoid. Ukuran parasitoid juga berkolerasi positif dengan jumlah telur yang dihasilkan dan effisiensi dalam memapuan mencari dan memarasit inang (Godfray, 1994). Kecenderungan imago betina parasitoid meningkatkan oviposisi terjadi bila sediaan jumlah inang terbatas dalam jangka waktu yang relatif lama (Vinson dan Iwantsch, 1980). Hasil penelitian Eliopoulos dkk (2005) bahwa
Universitas Sumatera Utara
imago Venturia canescens (Hymenoptera: Ichneumonidae) yang diberi makanan namun tidak diberi inang tidak secara signifikan hidup lebih lama dibandingkan imago yang diberi makanan dan inang. Reproduksi pada serangga ordo hymenoptera berlangsung secara partenogenetik. Terdapat tiga tipe reproduksi yaitu teliotoki, deuterotoki dan arenotoki. Arenotoki merupakan tipe reproduksi yang paling umum pada hymenoptera, sedangkan teliotoki dan deuterotoki hanya terjadi pada beberapa spesies (Doutt, 1973). Lee (2000) meyebutkan teliotoki adalah semua keturunannya betina diploid tanpa induk jantan, deuterotoky keturunannya sebagian besar betina diploid yang tidak mempunyai induk jantan dan jarang ditemukan jantan haploid, dan arenotoki yakitu keturunan jantan haploid tidak mempunyai induk jantan, dan keturunan betinanya berasal dari induk betina dan jantan (diploid). Menurut Doutt (1973) terdapat empat tahap parasitoid berhasil memarasit inangnya yaitu 1) penemuan habitat inang, 2) penemuan inang, 3) penerimaan inang, dan 4) kesesuaian inang. Parasitoid menggunakan ovipositor untuk mendeteksi larva dan pada ovipositor terdapat alat penerima rangsangan kimia. Menurut Narayana dan Chauduri (1954 dalam Pratiwi 2003) bahwa Stenobracon deesae Cameron (Hymenoptera: Braconidae) dapat membedakan inang sehat dengan inang terparasit melalui ovipositor yaitu pada waktu ovipositor ditusukkan ke tubuh larva. Rangsangan kimia yang berasal dari inang yang sehat berbeda dengan rangsangan kimia yang berasal dari inang terparasit.
Universitas Sumatera Utara
Godfray
(1994)
menyebutkan
sebagian
imago
parasitoid
dapat
menentukan kualitas inang yang sesuai untuk perkembangan keturunannya dengan menguji kualitas inang yang dilakukan parasitoid secara eksternal dan internal. Pengujian secara eksternal yaitu dengan mengetukkan antenanya pada larva inang sedangkan pengujian internal yaitu dengan menusuk-nusukkan ovipositornya tanpa diikuti dengan peletakan telur.
Universitas Sumatera Utara