6
TINJAUAN PUSTAKA
Pulau-Pulau Kecil Pulau kecil mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 10.000 km2, dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 200.000 orang. Secara ekologis terpisah dari pulau induk (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga bersifat insular. Alternatif batasan pulau kecil juga berlandaskan pada kepentingan hidrologi (ketersediaan air tawar), ditetapkan oleh para ilmuwan batasan pulau kecil adalah pulau dengan ukuran kurang dari 1.000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km2. Pulau berukuran antara 1.000–2.000 km2 memiliki karakteristik dan permasalahan yang sama dengan pulau yang ukurannya kurang dari 1.000 km2, sehingga diputuskan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) (1991) bahwa batasan pulau kecil adalah pulau dengan luas area kurang dari 2.000 km2. Secara umum pulau kecil memiliki karakteristik biogeofisik yang menonjol sebagai berikut (Bengen dan Pariwono, 2002) : a. Habitat pulau induk terpisah dengan sumberdaya air tawar yang terbatas, dimana daerah tangkapan airnya relatif kecil. b. Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal, baik alami maupun akibat kegiatan manusia, seperti badai dan gelombang besar serta pencemaran. c. Sumberdaya endemik yang bernilai ekologis tinggi. d. Area perairan lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan utamanya.
Universitas Sumatera Utara
7
Pengembangan pariwisata di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil harus direncanakan dan dikembangkan secara ramah lingkungan dengan tidak menghabiskan atau merusak sumber daya alam dan sosial, namun dipertahankan untuk pernanfaatan yang berkelanjutan. Identifikasi ekosistem kritis (critical ecosystem) serta penentuan ambang batas (carrying capacity) di pesisir dan pulau pulau kecil sangat penting dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata dengan
pendekatan
lingkungan
hidup
dan
pembangunan
berkelanjutan.
Pelaksanaan pariwisata bahari akan berhasil apabila memenuhi komponen yang terkait kelestarian lingkungan alam, kesejahteraan penduduk yang mendiami wilayah tersebut, kepuasan pengunjung yang menikmatinya dan keterpaduan komunitas dengan area pengembangannya (Nancy, 2007). Definisi dan Kriteria Wisata Wisata merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang mengandalkan jasa alam untuk kepuasan manusia. Kegiatan manusia untuk kepentingan wisata dikenal juga dengan pariwisata. Pariwisata merupakan kegiatan perpindahan atau perjalanan orang secara temporer dari tempat biasanya mereka bekerja dan menetap ke tempat luar, guna mendapatkan kenikmatan dalam perjalanan atau di tempat tujuan (Yulianda, 2007). Ekowisata bahari merupakan kegiatan wisata pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut. Ekowisata merupakan wisata berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumber daya alam atau lingkungan dan industri kepariwisataan. Sedangkan Yulianda (2007) mendefinisikan ekowisata merupakan bentuk baru dari perjalanan yang bertanggung jawab ke daerah alami dan berpetualang, serta dapat
Universitas Sumatera Utara
8
menciptakan industri pariwisata. Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokkan wisata pantai dan wisata bahari. Wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai seperti rekreasi, olahraga, menikmati pemandangan dan iklim. Fandeli (2000) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan wisata bahari atau wisata pantai adalah wisata yang objek dan daya tariknya bersumber dari potensi bentang laut (sea scape) maupun bentang darat pantai (coastal landscape). Kegiatan ekowisata bahari yang dapat dikembangkan dari wisata pantai adalah rekreasi pantai, panorama, penginapan, berenang, berjemur, olahraga pantai (volley pantai, jalan pantai, dan lempar cakram), berperahu, memancing, dan wisata mangrove. Pengembangan dan perencanaan wisata pantai diperlukan pertimbangan yang meliputi angin, gelombang laut, arus laut, pasang surut, bentuk pantai, bentuk butir pasir, biota pantai, dan bahaya tsunami. Ekowisata Ekowisata dapat didefenisikan sebagai suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan yang konservatif, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat. Selanjutnya pada pertemuan ekowisata pada bulan Juli 1996 di Bali yang diselenggarakan oleh Indekom sebagai Lokakarya nasional ekowisata yang melahirakan forum Masyarakat Ekowisata Indonesia (MEI) rumusan ekowisata yang disepakati dari pertemuan itu adalah kegiatan perjalanan wisata yang bertanggung jawab di daerah yang masih alami
Universitas Sumatera Utara
9
atau daerah-daerah yang dikelola dengan kaidah alam dimana tujuannya selain untuk menikmati keindahannya juga melibatkan unsur pendidikan, pemahaman dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi alam serta peningkatan pendapatan masyarakat setempat sekitar daerah tujuan ekowisata (Satria, 2009). Ekowisata merupakan wisata yang berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam atau lingkungan dan industri
kepariwisataan.
Ekowisata
adalah
wisata
yang
berbasis
pada
memperbolehkan orang untuk menikmati lingkungan alam dalam arah yang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Sedangkan Buckley (1996), menyatakan ada 4 gambaran perjalanan yang umumnya berlabelkan ekowisata yaitu (a) wisata berbasis alamia, (b) kawasan konservasi sebagai pendukung obyek wisata, (c) wisata yang sangat peduli dengan lingkungan, (d) wisata yang berkelanjutan. Konsep
pengelolaan
ekowisata
tidak
hanya
beriorientasi
pada
keberlanjutan tetapi lebih dari pada itu yakni mempertahankan nilai sumberdaya dan manusia. Nilai-nilai tersebut terjaga agar pengusahaan ekowisata tidak melakukan eksploitasi sumberdaya alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan budaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan fisik, pengetahuan dan psikologis pengunjung. Dengan demikian, ekowisata bukan menjual tempat (destinasi) atau kawasan melainkan filosofi. Hal inilah yang membuat ekowisata mempunyai nilai lestari dan tidak mengenal kejenuhan pasar (Yulianda, 2007). Fandeli (2000) menyatakan bahwa Sumberdaya ekowisata terdiri dari sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dapat diintegrasikan menjadi
Universitas Sumatera Utara
10
komponen terpadu bagi pemanfaatan wisata. Berdasarkan konsep pemanfaatan, wisata dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Wisata alam (nature tourism), merupakan aktifitas wisata yang ditujukan pada pengalaman terhadap kondisi alam atau daya tarik panoramanya. b. Wisata budaya (cultural tourism), merupakan wisata dengan kekayaan budaya sebagai objek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan. c. Ekowisata (ecotourism, green tourism atau alternative tourism), merupakan wisata berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan. Kesesuaian Kawasan dan Daya Dukung Ekowisata Kesesuaian ekologi ekowisata bahari adalah suatu kriteria sumberdaya dan lingkungan yang disyaratkan atau dibutuhkan bagi pengembangan ekowisata bahari. Pengembangan ekowisata yang berbasis pada ketersedian potensi sumberdaya hayati suatu kawasan sangat ditentukan oleh kesesuaian secara ekologis. Wisata bahari seperti wisata selam dan snorkeling sangat didukung oleh kesesuaian ekosistem terumbu karang yang sehat dan berada dalam kondisi yang bagus, yang akan menjadi objek dan daya tarik oleh wisatawan (Satria, 2009). Daya dukung dapat diartikan sebagai kondisi maksimum suatu ekosistem untuk menampung komponen biotik (makhluk hidup) yang terkandung di dalamnya, dengan tetap memperhitungkan faktor lingkungan dan faktor lainnya yang berperan di alam. Daya dukung ekosistem tidak memiliki ukuran yang mutlak dalam menampung semua kegiatan manusia karena berbagai variabel yang menentukan. Daya dukung ekosistem tersebut sangat bervariasi dan sangat tergantung pada tingkat pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia.
Universitas Sumatera Utara
11
Kemampuan daya dukung setiap kawasan berbeda-beda sehingga perencanaan pariwisata di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil secara spatial akan bermakna dan menjadi penting. Daya dukung wisata bahari secara umum meliputi (Nancy, 2007): a. Daya dukung ekologis, yang merupakan tingkat maksimal penggunaan suatu kawasan. b. Daya dukung fisik, yang merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodir tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas. Daya dukung fisik diperlukan untuk meningkatkan kenyamanan pengunjung. c. Daya dukung sosial, yang merupakan batas tingkat maksimum dalam jumlah dan tingkat penggunaan yang akan menimbulkan penurunan dalam tingkat kualitas pengalaman atau kepuasan pengunjung kawasan tujuan wisata. d. Daya
dukung
rekreasi,
yang
merupakan
konsep
pengelolaan
yang
menempatkan kegiatan rekreasi dalam berbagai objek yang terkait dengan kemampuan kawasan. Yulianda (2007) menyatakan wisata pantai terdiri atas dua kategori yaitu rekreasi dan wisata mangrove. Kesesuaian wisata pantai kategori rekreasi mempertimbangkan 10 parameter dengan empat klasifikasi penilaian. Parameter kesesuaian wisata pantai kategori rekreasi antara lain kedalaman perairan, tipe pantai, lebar pantai, material dasar perairan, kecepatan arus, kemiringan pantai, penutupan lahan pantai, biota berbahaya, dan ketersediaan air tawar seperti yang ditampilkan pada Tabel 1.
Universitas Sumatera Utara
12
Tabel 1. Matriks kesesuaian lahan untuk wisata pantai kategori rekreasi No.
Parameter
1.
Kedalaman Perairan (m) Tipe Pantai
5
0-3
4
5
Pasir putih
Lebar Pantai (m) Material Dasar Perairan Kecepatan Arus (m/dtk)
5
2.
3. 4.
5. 6. 7.
8.
Kemiringan Pantai (o) Kecerahan Perairan (m) Penutupan Lahan Pantai
Bobot Kategori Skor
Kategori Skor S2 >3-6 3
Kategori Skor Kategori Skor S3 N >6-10 2 >10 1
4
Pasir putih, sedikit karang
3
2
Lump ur, berbau , terjal
1
>15
4
10-25m
3
Pasir hitam, berkaran g, sedikit terjal 3-<10
2
<3
1
4
Pasir
4
Karang berpasir
3
2
Lump ur
1
4
0-0.17
4
0.17-0.34
3
2
>0.51
1
4
<10
4
10-25
3
Pasir berlump ur 0.340.51 >25-45
2
>45
1
3
>10
4
>5-10
3
3-<5
2
<2
1
3
Kelapa, lahan terbuka
4
Semak, belukar, rendah, savanna
3
Belukar tinggi
2
Hutan bakau, pemuk iman, pelabu han
1
4
Bulu babi
3
4
>0.5-1 (km)
3
9.
Biota 3 berbahaya 10. Ketersediaan 3 Air Tawar (jarak/km) Sumber : Yulianda (2007)
<0.5 (km)
2 >1-2
2
1 >2
Keterangan : Nilai maksimum = 156 S1 = Sangat sesuai, dengan nilai 80 - 100 % S2 = Cukup sesuai, dengan nilai 60 - <80 % S3 = Sesuai bersyarat, dengan nilai 35 - <60 % N
= Tidak sesuai, dengan nilai < 35 %
Universitas Sumatera Utara
1
13
Analisis daya dukung ditujukan pada pengembangan wisata bahari dengan memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir, pantai, dan pulau-pulau kecil secara lestari. Pengembangan wisata bahari tidak bersifat mass tourism, mudah rusak dan ruang untuk pengunjung sangat terbatas, maka perlu penentuan daya dukung kawasan. DDK adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Potensi ekologis pengunjung ditentukan oleh kondisi sumberdaya dan jenis kegiatan yang akan dikembangkan. Luas suatu area yang dapat digunakan oleh pengunjung mempertimbangkan kemampuan dalam mentolerir pengunjung sehingga keaslian alam tetap terjaga. Daya dukung kawasan disesuaikan karakteristik sumberdaya dan peruntukan. Daya dukung wisata pantai ditentukan panjang atau luas dan kondisi pantai. Kebutuhan manusia akan ruang diasumsikan dengan keperluan ruang horizontal untuk dapat bergerak bebas dan tidak merasa terganggu oleh keberadaan manusia (pengunjung) lainnya. Kegiatan wisata pantai diasumsikan setiap orang membutuhkan panjang garis pantai 10 m, karena pengunjung akan melakukan berbagai aktivitas yang memerlukan ruang yang luas, seperti berjemur, bersepeda, dan berjalan-jalan. Potensi ekologis pengunjung dan luas area kegiatan dapat dilihat pada Tabel 2 (Yulianda, 2007). Tabel 2. Potensi ekologis pengunjung dan luas area kegiatan No. 1. 2. 3. 4.
Jenis Kegiatan
K (jlh pengunjung) 2 1 1 1
Unit Area (Lt) 1000 m2 250 m2 250 m2 50 m2
1
20 m2
Selam Snorkling Wisata Lamun Wisata Mangrove 5. Rekreasi Pantai Sumber : Yulianda (2007)
Keterangan 2 org dalam 100m x 10m 1 org dalam 50m x 5m 1 org dalam 50m x 5m Dihitung panjang track, setiap org sepanjang 50 m 1 org dalam 2m x 10m
Universitas Sumatera Utara
14
Waktu kegiatan pengunjung (Wp) dihitung berdasarkan lamanya waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk melakukan kegiatan wisata. Kegiatan wisata dapat dirinci lagi berdasarkan kegiatan yang dilakukan misalnya, menyelam, snorkeling, berenang, berjemur, dan sebagainya. Waktu pengunjung diperhitungkan dengan waktu yang disediakan untuk kawasan (Wt) seperti yang ditampilkan pada Tabel 3. Waktu kawasan adalah lama waktu areal dibuka dalam satu hari, dan rata-rata waktu kerja sekitar 8 jam (pukul 08.00-16.00 WIB). Kegiatan wisata yang akan dikembangkan hendaknya disesuaikan dengan potensi dan peruntukannya. Tabel 3. Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata No. Kegiatan Waktu yang dibutuhkan Total Waktu 1 hari wt Wp (Jam) (Jam) 1. Selam 2 8 2. Snorkling 2 6 3. Berenang 2 4 4. Berperahu 2 8 5. Berjemur 2 4 6. Rekreasi Pantai 2 6 7. Olahraga Air 2 4 8. Memancing 2 6 9. Wisata Mangrove 2 8 10. Wisata Lamun, dan 2 4 ekosistem lainnya 11. Wisata satwa 2 4 Sumber : Yulianda (2007)
Sudut pandang ekologi, sosial ekonomi dan estetika maka daya dukung wisata bahari, dalam hal ini jumlah total penyelam dan snorkeler yang dapat ditampung sebuah kawasan, berkaitan langsung dengan tersedianya lokasi selam yang berkualitas tinggi, kawasan yang keanekaragaman spesiesnya tinggi dan jumlah karang batu, ikan, dan organisme lainnya yang banyak dengan sedikit dampak manusia. Jumlah kawasan yang terbatas, kawasan yang rusak sampai
Universitas Sumatera Utara
15
yang sering dikunjungi maka perhatian akan semakin terfokus pada sisa kawasan yang masih berkualitas tinggi. Dalam hal ini, pentingnya menjaga kawasan dalam kondisi yang baik tidak dapat ditekankan secara berlebihan (Williams dan Polunin, 2000). Analisis daya dukung ekologi ditujukan untuk menganalisis jumlah maksimum wisatawan yang diperbolehkan melakukan kegiatan wisata bahari disuatu kawasan, dalam hal ini kawasan ekosistem terumbu karang, tanpa mengganggu keseimbangan ekosistem tersebut.
Gangguan keseimbangan
diakibatkan oleh kerusakan biofisik ekosistem secara langsung dan tidak langsung, misalnya melalui pencemaran (Sekartjakrarini, 2003). Berdasarkan sumber gangguan ekosistem tersebut, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kawasan obyek wisata (ekosistem) yang rentan terhadap kerusakan langsung dan pendekatan maksimum beban limbah. Terumbu karang sebagai sebuah ekosistem alam, memiliki level intrinsik untuk pemanfaatan yang berkelanjutan, untuk perikanan, pariwisata dan berbagai aktivitas lainnya, sebagai ekosistem bawah air yang dapat mengatasi dan memiliki daya tahan dan daya pulih yang dimiliki, tetapi pada bagian atas sering terjadi perubahan yang merugikan (Nancy, 2007). Beberapa penelitian tentang daya dukung pengunjung dan dampak penyelam terhadap terumbu karang yang fokus pada SCUBA divers di Laut Merah (Mesir), Laut Karibia dan Great Barrier Reef (Australia). Hasil penelitian ini didapatkan bahwa daya dukung (carrying capacity) untuk wisata bahari di kawasan terumbu karang tergantung tidak hanya pada jumlah penyelam, tetapi juga tipe penyelaman, latihan, pendidikan mereka, tipe dari bentuk pertumbuhan
Universitas Sumatera Utara
16
karang dan struktur komunitas karang. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa karang dapat dirusak oleh kerusakan lingkungan akibat dari aktivitas penyelam amatir, dan pada berberapa kasus pembangunan infrastruktur yang berasosiasi dengan wisata bahari dapat menyebabkan kerusakan pada lokasi penyelaman itu sendiri (Nancy, 2007). Interaksi dan kontak yang kompleks dari kegiatan penyelaman terhadap terumbu karang seperti tipe penyelaman, kondisi alam lokasi (hamparan karang, arus, tipe komunitas karang dan karakteristik lainnya) yang beragam antara lokasi, pengalaman/ tingkah laku penyelam, tingkat kerusakan karang, konsentrasi penumpukan penyelam, pemisahan aktivitas selam, akses ke lokasi selam, berjalan di karang pada snorkeling, tambatan atau jangkar kapal dan ukuran dari lokasi selam, yang kesemuanya dapat mempengaruhi daya dukung, dan sangat penting diperhatikan dalam menetapkan jumlah penyelam per lokasi (Mukhtasor, 2007) Sanusi (2006) merekomendasikan angka 5.000 – 6.000 penyelam perlokasi pertahun dapat digunakan untuk menduga daya dukung kawasan konservasi laut untuk mendukung wisata selam dan snorkeling. Penentuan daya dukung ini tergantung pada jumlah lokasi penyelaman yang dapat di gunakan. Pengembanga wisata bahari dan penerapan batas pelestarian (melalui kapasitas daya dukung atau toleransi batas perubahan) sangat tergantung pada situasi kondisi lingkungan perairan. Dampak yang berpengaruh pada kualitas lingkungan laut juga akan berdampak pada wisata bahari baik yang berdiri sendiri, maupun yang tidak berhubungan langsung dengan pariwisata, tapi memiliki efek yang mengganggu (Nancy, 2007).
Universitas Sumatera Utara
17
Ekowisata memerlukan sentuhan manajemen spesifik agar dapat mencapai tujuan sustainability dalam aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Fokus manajemen
ecotourism
adalah
bagaimana
memelihara
dan
melindungi
sumberdaya yang tidak tergantikan (irreplaceable) agar dapat dimanfaatkan untuk generasi sekarang dan untuk generasi mendatang. Konflik kepentingan akan mudah timbul antara aspek ekonomi dan ekologi pada suatu sumberdaya. Manfaat bagi generasi mendatang masih banyak yang belum terhitung (tangible), misalnya fungsi keanekaragaman hayati atau manfaat flora tertentu bagi ilmu pengetahuan pada sumberdaya hutan. Manfaat ini akan mudah dikorbankan oleh alasan ekonomi dalam suatu manajemen ecotourism yang tidak hati-hati. Oleh karena itu, manajemen ecotourism mementingkan proses pendidikan terkait dengan upayaupaya konservasi lingkungan (Islami, 2003). Fandeli (2000) menyatakan bahwa ekowisata sebagai suatu bagian logis dari pembangunan yang berkelanjutan, memerlukan pendekatan berbagai disiplin dan perencanaan yang hati-hati (baik secara fisik maupun pengelolaannya). Selanjutnya disebutkan bahwa, sebaiknya, perkembangan wisata rnenerapkan konsep ekowisata. Hal ini disebabkan karena ekowisata dapat dikatakan bukan hanya sebagai salah satu corak kegiatan pariwisata khusus, melainkan suatu konsep wisata yang mencerminkan wawasan lingkungan dan mengikuti kaidahkaidah keseimbangan dan kelestarian. Oleh karena itu pengembangan ekowisata harus dapat meningkatkan kualitas hubungan antar manusia, meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat dan menjaga kualitas lingkungan. Ekowisata mempunyai perbedaan dengan pariwisata pada umumnya dimana aktivitas ekowisata memberikan pembelajaran yang dapat mengubah
Universitas Sumatera Utara
18
persepsi seseorang terhadap sumberdaya alam dan lingkungannya. Sebagai industri, ekowisata merupakan model pembangunan wilayah yang menempatkan pariwisata
sebagai
alat
pengelolaan
sumberdaya
alam
dengan
tujuan
meningkatkan kualitas hidup masyarakat lokal (Sekartjakrarini, 2003). Terumbu Karang Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan massif kalsium karbonat (CaCO3), yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, Ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan alga bersel satu Zooxanthellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang mensekresi kalsium karbonat (Nybakken, 1992). Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari sistem sumberdaya alam pesisir yang tergolong sebagai habitat kritis dimana kondisi lingkungan merupakan perpaduan antara ekosistem mangrove dan padang lamun. Ekosistem terumbu karang secara ekologis sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan seperti perubahan temperatur, kekeruhan, salinitas. Distribusi terumbu karang juga dipengaruhi oleh faktor - faktor tersebut. Kondisi parameter perairan seperti temperatur, salinitas, aksi gelombang, maka spesies dan keragaman terumbu karang juga akan berbeda. Menurut Nybakken (1992) parameter lingkungan yang sangat menentukan kehidupan terumbu karang antara lain : a. Suhu. Terumbu karang tumbuh secara optimal pada suhu 23°-25° C, dan dapat mentolerir suhu sampai kira-kira 36°-40° C, tetapi tidak dapat bertahan pada suhu minimum tahunan dibawah 18° C.
Universitas Sumatera Utara
19
b. Kedalaman Terumbu karang hidup pada kedalaman sampai ± 25 meter, dan tidak dapat berkembang pada perairan yang lebih dalam antara 50-70 meter karena kedalaman berhubungan erat dengan cahaya matahari yang dapat masuk ke perairan, c. Cahaya Parameter ini menjadi faktor pembatas kehidupan terumbu karang karena dibutuhkan oleh zooxanthelae untuk berfotosintesis. Zooxanthellae adalah sejenis tumbuhan yang berasosiasi dalam tubuh hewan karang. Selain itu zooxanthellae memberikan warnah yang indah pada terumbu karang, hal ini menjadi daya tarik sebagi objek wisata selam dan snorkeling. d. Salinitas Karang hanya dapat hidup pada salinitas normal air laut, yaitu pada kisaran 32-35° %. Diluar kisaran tersebut, pertumbuhan karang dapat terganggu dan bisa mengakibatkan kematian hewan karang. e. Pengendapan Adanya pengendapan akan menutupi dan menyumbat struktur pemberian makan karang, dan menghalangi masuknya cahaya matahari ke perairan. f. Gelombang Gelombang dan arus memungkinkan terjadinya pengendapan di terumbu karang, selain itu juga suplai plankton dan air segar yang kaya oksigen jadi berkurang. Terumbu karang beradaptasi dan sebaliknya dapat memodifikasikan lingkungan fisiknya, oleh karenanya faktor lingkungan fisik terumbu mempunyai perbedaan yang luas menurut daerahnya. Gradient suhu dan salinitas
Universitas Sumatera Utara
20
merupakan faktor pembatas utama penyebaran dan pertumbuhan terumbu karang. Ekosistem terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang rentan terhadap gangguan akibat kegiatan manusia, dan pemulihannya memerlukan waktu yang lama. Berbagai pendapat menyatakan hal sebaliknya, bahwa ekosistem terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang dinamis, tidak mapan dan mampu memperbaiki dirinya sendiri dari gangguan alami (Dahuri, 2003). Degradasi ekosistem terumbu karang ditimbulkan oleh dua penyebab utama, yaitu akibat kegiatan manusia (anthrophogenic causes) dan akibat alam (natural causes). Kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya degradasi terumbu karang antara lain: (1) penambangan dan pengambilan karang, (2) penangkapan ikan dengan menggunakan alat dan metode yang merusak, (3) penangkapan yang berlebih, (4) pencemaran perairan, (5) kegiatan pembangunan di wilayah pesisir, dan (6) kegiatan pembangunan di wilayah hulu. Degradasi terumbu karang yang disebabkan oleh alam antara lain oleh predator, pemanasan global, bencana alam seperti angin taufan, gempa tektonik, banjir dan tsunami serta bencana alam lainnya seperti El-Nino dan La-Nina (Davis, 1996). Terumbu karang mempunyai kapasitas dalam melangsungkan fungsinya sebagai media wisata secara berkelanjutan. Berkaitan dengan pemanfaatan nonekstraktif, dalam hal ini pariwisata, upaya pelesatarian alam pada ekosistem terumbu karang yang ada hanya akan menampakan hasil yang diharapkan bila pengembangan pariwisata yang dilakukan terkontrol dengan baik, sementara perencanaan penggunaan kawasan terformulasikan dengan baik dan benar, serta upaya pemantauan dan pengendalian atas kemungkinan dampak negatif yang
Universitas Sumatera Utara
21
timbul dengan selalu melakukan upaya penegakan-penegakan hukum secara terarah dan konsisten. Unsur-unsur lingkungan hidup dapat dikembangkan sebagai objek wisata bila unsur-unsur lingkungan hidup dapat dipersiapkan secara baik melalui kemampuan manusia dengan sentuhan teknologinya, serta dapat memenuhi kebutuhan wisatawan (Satria, 2009). Pola Pemanfaatan dan Pengelolaan Wisata Pantai Daya tarik wisata pesisir bagi wisatawan dalam menikmati keindahan dan kelestarian lingkungan contohnya bagi wilayah pantai, sehingga dilakukan pengembangan wisata pantai. Keindahan dan keaslian lingkungan ini menjadikan perlindungan dan pengelolaan merupakan bagian integral dari rencana pengembangan pariwisata, terutama bila didekatnya dibangun penginapan atau hotel, toko, pemukiman dan sebagainya yang membahayakan atau mengganggu keutuhan maupun keaslian lingkungan pesisir tersebut (Dahuri, 2003). Sumber daya hayati laut memiliki nilai manfaat yang terkandung baik itu yang bersifat langsung maupun tidak langsung, maka perlu dilakukan suatu upaya konservasi dalam pengelolaan dan pengembangan yang diarahkan untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang seluruh nilai atau nilai yang sebenarnya (the true value) dari manfaat sumber daya tersebut. Setiap kebijakan sebaiknya diarahkan pada penggunaan keanekaragaman hayati pesisir dan laut secara berkelanjutan, mencegah tindakan yang merusak melalui penyediaan alternatif mata pencaharian yang bersifat lestari, meningkatkan pendapatan masyarakat lokal dan pendapatan daerah melalui upaya konservasi, serta melestarikan sumber daya laut melalui partisipasi masyarakat lokal dalam kegiatan pelestarian (Dahuri, 2003).
Universitas Sumatera Utara
22
Kebijakan pokok dan strategi pengelolaan yang harus ditempuh Indonesia agar dapat memanfaatkan sumber daya keanekaragaman hayati pesisir dan laut secara berkelanjutan untuk kesejahteraan bangsa terbagi atas tiga kebijkan pokok. Pertama adalah kebijakan yang berkaitan dengan upaya-upaya penyelamatan keanekaragaman hayati pesisir dan laut, khususnya yang bersifat langka (endangered), endemik (hanya hidup di daerah Indonesia), hampir punah (extinct), atau dilindungi (protected). Kelompok kebijakan yang pertama ini, dalam konservasi dunia, biasa dikenal sebagai To Save Marine Biodiversity. Kedua adalah kebijakan yang berhubungan dengan berbagai kegiatan penelitian dan pengkajian tentang seluruh aspek keanekaragaman hayati pesisir dan lautan, atau dikenal dengan To Study Marine Biodiversity. Ketiga adalah kebijakan yang berhubungan dengan cara-cara kita memanfaatkan keanekaragaman hayati pesisir dan laut secara optimal dan lestari bagi kesejahteraan bangsa, atau To Use Marine Biodiversity (Dahuri, 2003).
Universitas Sumatera Utara