BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital,
baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki fungsi fisik sebagai pencegah abrasi, intrusi garam ke daratan, serta penahan gelombang dan tsunami. Selain itu, sumberdaya pesisir hutan mangrove juga berfungsi secara ekonomi bagi masyarakat sekitar karena dapat menghasilkan hasil hutan dan jasa lingkungan yang menunjang berbagai kebutuhan hidup dan macam aktivitas ekonomi (Ghufran, 2011; Harahab, 2010). Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang sering mendapat tekanan oleh berbagai aktivitas manusia. Faktor yang menyebabkan berkurangnya mangrove, selain dikonversi menjadi tambak, adalah konversi kawasan mangrove menjadi lahan pertanian dan penebangan kayu secara komersial serta eksploitasi secara berlebihan oleh masyarakat setempat. Dalam mencegah semakin berkurangnya area mangrove, pada beberapa tahun terakhir ini, banyak usaha-usaha penanaman kembali mangrove yang dilaksanakan pada tingkat lokal. Berbagai LSM, instansi pemerintah pusat dan daerah, serta penduduk setempat melaksanakan berbagai program dan kegiatan penanaman mangrove. Berbagai upaya kemudian dilakukan untuk mengembalikan mangrove sebagai hutan produksi bagi penduduk setempat, tapi sayangnya sebagian besar usaha-usaha penghutanan kembali ini tidak berhasil (Noor, dkk., 2006; Rusdianti, 2012).
1
2
Kabupaten Bantul termasuk salah satu wilayah yang memiliki pantai dengan panjang garis pantai kurang lebih 17 km. Di wilayah pesisir Kabupaten Bantul dapat
dijumpai
tanaman
mangrove
yang
tumbuh
baik,
tepatnya
di
estuari/pertemuan antara laut selatan dengan muara Sungai Opak. Kawasan ini baru ditanami secara bertahap oleh warga Dusun Baros seluas kurang lebih 3,5 hektar (Cahyawati, 2012). Masyarakat Baros sadar akan manfaat dan keberadaan hutan mangrove sehingga kemudian berinisiatif melakukan penanaman dan pengelolaan hutan mangrove. Inisiatif tersebut mulai dikembangkan pada tahun 2003 dan bekerjasama dengan LSM Relung. Pilihan terhadap penanaman mangrove ini didasarkan pada pertimbangan teori bahwa mangrove mampu tumbuh di sekitar muara sungai dan mampu memberikan perlindungan bagi daerah di tepi sungai (Cahyawati, 2012). Kegiatan penanaman mangrove diharapkan mampu mencegah abrasi, intrusi air laut, tsunami dan juga bermanfaat sebagai pemecah angin. Penanaman mangrove di kawasan pesisir selatan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini bukan tanpa kendala, mengingat mangrove sebagai ekosistem yang unik serta membutuhkan karakteristik habitat yang sesuai untuk menunjang pertumbuhannya. Menurut Perdana (2008), faktor kesesuaian habitat penting bagi pertumbuhan hutan mangrove karena hutan ini sangat dipengaruhi secara terus menerus oleh faktor-faktor yang berasal dari daratan dan lautan, sebagai contoh faktor salinitas yang konsentrasinya sangat ditentukan oleh suplai air tawar dari daratan dan air asin yang berasal dari lautan. Hal ini yang
3
menjadikan setiap kawasan rehabilitasi memiliki tingkat keberhasilan penanaman mangrove yang berbeda-beda bila ditinjau dari kondisi habitatnya. Penelitian Djohan (2000; 2006) menyatakan bahwa tidak hadirnya vegetasi bakau di Laguna Serang, Progo, Opak dan Muara Kali Baron, dapat disebabkan karena dominannya substrat pasir pada lokasi tersebut. Kondisi ini terbentuk karena sungai-sungai tersebut memiliki hulu di Gunung Api Merapi, berbeda dengan Sungai Bogowonto yang berhulukan di Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang tidak didominasi substrat pasir tetapi tekstur lempung dan debu dominan di Laguna Bogowonto sehingga memungkinkan bagi vegetasi mangrove untuk tumbuh. Penelitian Sawitri (2012) menyebutkan bahwa sebanyak 52 % responden dari masyarakat di sekitar Muara Sungai Bogowonto Kabupaten Kulonprogo menyatakan rehabilitasi mangrove yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir kurang berhasil serta 48 % responden lain menyatakan rehabilitasi tidak berhasil. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah hingga waktu pengambilan data mangrove masih tumbuh. Hasil lebih lanjut, 22 % responden menyatakan faktor kegagalan rehabilitasi adalah ketidaksesuaian lahan. Selanjutnya, analisis kelemahan dalam analisis SWOT pengelolaan mangrove (Sawitri, 2012) juga disebutkan bahwa di sekitar Muara Sungai Bogowonto, daya dukung faktor fisik untuk optimalisasi pertumbuhan spesies Rhizophora dan Avicennia rendah dan spesies Sonneratia sedang. Parameterparameter daya dukung ini meliputi bentuk lahan, arus pasang surut, letak vegetasi mangrove terhadap sungai, tekstur tanah, bahan organik, pH dan salinitas.
4
Penanaman Sonneratia spp. dengan bibit dari Segara Anakan Cilacap ke Sungai Bogowonto pada tahun 1997 menunjukkan kegagalan pertumbuhan khususnya diakibatkan adanya penggenangan. Di Muara Sungai Luk Ulo Kebumen, kegagalan penanaman juga disebabkan antara lain oleh faktor pola genangan, dan jenis tanah berpasir yang cenderung kurang cocok bagi Rhizophora (Setyawan dkk, 2003). Penelitian Perdana (2008) mengenai rehabilitasi mangrove di Kabupaten Belitung menunjukkan bahwa Pantai Tanjung Pendam memiliki persen hidup semai rehabilitasi 6,67 % sehingga dikatakan rehabilitasi di Pantai Tanjung Pendam tidak berhasil, sementara di Pantai Pulau Bayan persen pertumbuhan semai sebesar 58,89 %. Hasil analisis parameter-parameter habitat dari kedua lokasi ini dengan habitat mangrove alami di Pantai Air Saga menunjukkan kondisi salinitas, ketebalan lumpur, kandungan bahan organik (BO), suhu, dan pH berbeda secara signifikan. Dari beberapa kasus penanaman mangrove yang dilakukan di berbagai lokasi tersebut, kualitas habitat mangrove yang berupa kondisi fisik dan kimia perairan menjadi salah satu faktor penentu dalam keberhasilan penanaman mangrove. Di lain hal, banyaknya dukungan dari berbagai pihak dalam upaya penyelamatan lingkungan hidup dengan penanaman mangrove di pesisir selatan DIY diprediksi telah menghabiskan banyak biaya yang berasal dari berbagai instansi maupun LSM. Penelitian terkait kesesuaian habitat mangrove di Kawasan Mangrove Buatan di Baros ini perlu dilakukan mengingat Baros merupakan salah satu kawasan pesisir DIY yang digunakan untuk area penanaman mangrove
5
dengan kerjasama multipihak, sehingga program rehabilitasi kawasan pesisir yang akan datang bisa dirancang lebih baik agar dapat meningkatkan keberhasilan penanaman mangrove serta kemudian mendapatkan manfaat dari ekosistem yang terbentuk secara optimal.
1.2
Rumusan Masalah Kawasan Mangrove Buatan Baros berada di Muara Sungai Opak yang
menjadi salah satu kawasan pesisir dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Penanaman mangrove di area ini dilakukan oleh masyarakat mengingat peran vital dari ekosistem mangrove yang mampu menjaga kestabilan pesisir dan mampu berfungsi secara ekologi serta ekonomi. Kasus di berbagai kawasan rehabilitasi mangrove, kegagalan kegiatan rehabilitasi yang dilakukan salah satunya ditentukan oleh faktor habitat yang tidak sesuai. Kondisi habitat di area penanaman mangrove yang berbeda nyata dengan kawasan mangrove alami menyebabkan terhambatnya pertumbuhan mangrove di area rehabilitasi. Kondisi pesisir selatan DIY yang sebagian besar didominasi dengan pantai bersubstrat pasir vulkanik Gunung Api Merapi, membentuk kondisi habitat yang relatif berpasir sehingga mempengaruhi kondisi habitat untuk pertumbuhan mangrove di muara-muara sungai pesisir selatan DIY. Perbedaan karakteristik habitat ini diprediksi akan mempengaruhi tingkat keberhasilan penanaman dan tingkat pertumbuhan mangrove yang hidup di kawasan Baros. Oleh sebab itu, ada beberapa pertanyaan yang ingin dipecahkan dalam penelitian ini yaitu (1) Bagaimanakah kondisi fisik kimia habitat dari mangrove buatan
6
Baros? (2) Bagaimanakah kondisi struktur dan komposisi mangrove yang tumbuh di kawasan mangrove buatan Baros? dan (3) Bagaimanakah kondisi kesesuaian habitat, dan struktur komposisi mangrove yang terbentuk di kawasan ini?
1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui kondisi fisik kimia habitat kawasan mangrove buatan di Baros. 2. Mengetahui struktur dan komposisi mangrove di Kawasan Mangrove Buatan Baros. 3. Mengetahui kesesuaian habitat mangrove berdasarkan perbandingan kondisi fisik kimia, struktur dan komposisi mangrove Baros dengan mangrove rehabilitasi Pemalang serta hutan alam mangrove di Marosi dan Air Saga.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kesesuaian
lahan di sekitar Muara Sungai Opak sebagai habitat mangrove serta tingkat pertumbuhan vegetasi mangrove yang tumbuh di lokasi penanaman mangrove Baros kepada berbagai pihak. Informasi ini bermanfaat sebagai bahan evaluasi dan penataan kawasan yang sesuai dengan kemampuan habitat pesisir sehingga kebijakan pemerintah yang akan datang mampu merencanakan pembangunan ekosistem pesisir secara optimal terkait kesesuaian habitat di pesisir selatan DIY.