Garis Batas Pulau Manusia Aqmarina Andira
“K
ak, apa yang terjadi?” tanya Widya kebingungan. Ia baru saja kembali dari petualangan kecilnya di tepi pantai. Widya mencintai pulaunya. Sangat. Namun entah mengapa, ia selalu tergoda untuk menjauhi keluarga dan warga pulau, menyendiri dan bersembunyi di titik terluar Pulau Manusia, memandangi laut dan membayangkan kehidupan di tiga belas pulau lain di negerinya. Negeri Garuda. Widya adalah seorang gadis kecil yang pendiam dan cenderung tomboi. Ia sangat suka berjalan tanpa arah yang tentu, menjelajahi tempat-tempat baru, dan mengamatinya tanpa kata. Ya, ia adalah pengamat yang luar biasa. Ia memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar dan tidak ragu-ragu melakukan hal-hal berbahaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di benaknya. Widya juga sangat suka membaca. Ia adalah monster buku. Ia membaca apapun yang ada di hadapannya. Cerita fantasi, cerita rakyat, sejarah, fiksi futuristik, puisi, majalah, surat kabar, semua dilahapnya tanpa belas kasih. Ia merasa hanya dengan membaca, ia dapat mengenal dan memahami hal-hal yang terjadi di luar pulaunya. “Kastil Negeri Garuda runtuh!” seru Wira, kakak laki-laki Widya. “Kastil perlambang persatuan Negeri ini telah runtuh! Ancaman peperangan di manamana!” Widya selalu menolak untuk memahami politik negerinya. Terlalu rumit. Mempersatukan 14 pulau dengan 14 jenis makhluk dengan sifat, karakter, dan budaya yang berbeda-beda tentunya menjadi hal yang sangat sulit, jika kata ‘tidak masuk akal’ tidak dapat digunakan. Dulu, peperangan selalu terjadi di negeri ini. Negeri ini belum memiliki nama. Hanya ada pulau-pulau bebas. Meskipun dikelilingi oleh lautan yang sama, 9
namun warga antar pulau selalu hidup dengan penuh prasangka dan perasaan iri. Akumulasi perasaan negatif tersebut kemudian berubah menjadi kemarahan dan kebencian yang selanjutnya diekspresikan menjadi peperangan, lengkap dengan nyawa-nyawa yang terbuang sia-sia. Prihatin dengan kekacauan yang terjadi, Raja Garuda, yang konon merupakan sosok yang sangat kuat, gagah, perkasa, dan bijaksana, membangun sebuah kastil megah di Pulau Garuda, sebuah pulau kosong yang merupakan daerah kekuasaannya. Kastil tersebut ia bangun sebagai simbol pemersatu dan ajakan tegas untuk menghentikan perang yang terus menerus terjadi. Peperangan berhenti. Meskipun tidak ada yang pernah melihat sosok Raja Garuda, tidak pula ada dengan kastilnya, bahkan konon belum pernah ada warga dari pulau-pulau lain yang pernah mengunjungi Pulau Garuda, namun semua patuh. Walaupun semua hal mengenai persatuan dan perdamaian ini terdengar tidak nyata, imajiner, dan utopis, namun siapa yang berani melawan Raja Garuda? Makhluk terkuat di seluruh negeri ini. Semua patuh, menurut, dan bersatu secara damai di bawah naungan sayap Raja Garuda. Meskipun demikian, rasanya kebencian yang sudah berakar masih tetap tersisa. Walaupun semua pemimpin pulau secara lisan dan tertulis sudah mengakui kedaulatan Negeri Garuda, namun layaknya api dalam sekam, persatuan di Negeri Garuda sangat rawan hangus terbakar tanpa sisa, meninggalkan abu belaka. “Kenapa tidak dibangun kastil yang baru saja?” tanya Widya. “Mengapa semua warga sibuk memperebutkan kekuasaan?” tambahnya heran. “Permasalahan di negeri ini tidak dapat diselesaikan semudah itu,” jawab Wira. “Rasanya bukan tidak bisa, tapi tidak mau,” ujar Widya pelan, saat Wira sudah berjalan menjauh. * “Kastil Negeri Garuda telah hancur!” seru pemimpin pulau. “Raja Garuda telah menjadi lemah! Peperangan antar pulau tidak dapat dihindari! Kita harus merebut tahta! Kita manusia, Makhluk paling sempurna, makhluk yang sudah sepantasnya menjadi pemimpin negeri ini!” pemimpin pulau semakin berapi-api. Warga pulau manusia memang seringkali merasa diri mereka jauh lebih baik dibandingkan dengan warga-warga di pulau lain. Merasa lebih superior. Merasa lebih pintar. Manusia seringkali meremehkan warga-warga pulau lain. Hal inilah yang membuat manusia menjadi kurang disukai oleh warga-warga pulau lain. 10
“Kita makhluk paling sempurna. Kita berjalan dengan dua kaki, bekerja dengan kedua tangan kita, fisik kita sempurna. Kita juga dapat berpikir, kita memiliki kemampuan untuk membangun, membuat senjata, melakukan apapun. Kita adalah makhluk yang paling tepat untuk menguasai negeri ini!” Pemimpin pulau berseru dengan penuh keyakinan dan kepercayaan diri. Seruannya tersebut mendapat sambutan yang luar biasa dari warga manusia. Semua warga, kecuali Widya. Bagaimana manusia bisa tahu bahwa mereka adalah makhluk yang paling sempurna jika sebagian besar mereka tidak pernah menjelajah melewati garis pantai pulau manusia? Bagaimana mereka bisa merasa lebih baik dari makhluk lain jika mereka tidak benar-benar mengenal makhluk di pulau-pulau lain? Bagaimana mereka berani berniat memimpin negeri ini jika mereka tidak pernah berinteraksi dengan makhluk-makhluk lain di negeri ini? Pikiran Widya berkecamuk. Ia sedih, gelisah, dan sedikit marah. Widya membenci perang. Meskipun belum pernah mengalami peperangan yang sebenarnya, namun belajar dari buku-buku yang selama ini ia baca, Widya selalu mengutuk perang. Perang hanya akan menyebabkan ketakutan dan penderitaan. Widya tidak ingin hal tersebut terjadi. Widya berpikir keras. Apa yang dapat ia lakukan? Apa yang dapat ia lakukan untuk mencegah peperangan ini? Apa yang dapat ia lakukan untuk menciptakan persatuan di negeri ini? Persatuan yang sejati, bukan yang semu dan rapuh seperti yang saat ini terbentuk. ‘Aku akan membangun kembali kastil negeri ini,’ Widya bertekad di dalam hati. ‘Tapi tidak sendirian. Tidak untuk mewakili warga manusia. Aku akan membangunnya bersama warga pulau-pulau lain. Kastil ini akan menjadi kastil bersama. Kastil persatuan negeri,’ lanjutnya sambil mengemasi barangbarangnya, bersiap untuk pergi memulai petualangannya yang sebenarnya. Melewati batas terluar garis pantai pulau manusia, menyebrangi lautan, dan berkenalan dengan warga-warga di pulau-pulau yang lain.
11
Berangnya Warga Pulau Berang-Berang Aqmarina Andira
S
etelah tiga hari terombang-ambing di atas perahunya, Widya akhirnya tiba di pulau pertamanya, Pulau Berang-Berang. Sebuah pulau kecil yang terletak paling dekat dengan Pulau Manusia. Sebuah pulau yang terkenal memiliki hutan kayu yang sangat subur karena dialiri oleh banyak sungai. Widya mengayuh perahunya dengan penuh semangat. Ia tidak dapat menyembunyikan antusiasme yang menguasai dirinya. ‘Petualangan pertamaku yang sesungguhnya,’ batin Widya sambil tersenyum lebar. Takjub dengan pemandangan baru dan berbeda yang belum pernah ia lihat sebelumnya, Widya merasa jatuh cinta pada Pulau Berang-Berang. Ia mengagumi setiap batang pohon yang berdiri kokoh, terpukau dengan gemulai daun yang jatuh berguguran, dan terpesona dengan suara aliran air yang pecah menabrak kerikil dan bebatuan. ‘Ya Tuhan, mengapa tidak dari dulu aku datang mengunjungi pulau tetanggaku ini?’ ujar Widya dalam benaknya, sedikit menyesal. “Padahal aku sangat sering mengunjungi Pulau Kutu Buku.” Meskipun bertetangga dan terletak sangat berdekatan, namun hubungan Pulau Manusia dan Pulau Berang-Berang dapat dikatakan kurang baik. Tidak pernah ada interaksi berarti yang terjadi di antara kedua pulau ini dalam kurun waktu yang sangat panjang. Menurut cerita yang beredar di Pulau Manusia, warga berang-berang memiliki sikap teritorial. Mereka seringkali merasa terusik dan terancam jika ada warga pulau lain memasuki daerah kekusasaan mereka. Hal itulah yang membuat Pulau Berang-Berang jarang dikunjungi oleh warga pulau lain. Walaupun demikian, warga berang-berang terkenal sebagai makhluk pekerja keras. Mereka merupakan ahli konstruksi dan ahli material yang handal. 12
Mereka berhasil membangun sebuah pulau demokratis yang sejahtera. Dengan rakyat yang patuh dan bersedia melakukan apapun demi kemakmuran pulaunya. Tidak hanya itu, warga berang-berang juga terkenal sangat mencintai pulaunya. Meskipun menggunakan banyak kayu untuk membangun peradaban, mereka tetap memperhatikan proses regenerasi alami lingkungan sekitarnya. Sehingga pulau kecil ini menjadi pulau yang nyaman bagi semua makhluk yang tinggal di dalamnya. Widya terus mendayung hingga badan sungai yang ia arungi semakin lama semakin mengecil. Ia serentak berdiri di atas perahunya karena dari jauh ia melihat puluhan berang-berang sedang berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil. Ada yang sedang berbaris menggotong tumpukan kayu, ada yang sedang meraut dan memotong kayu dengan gigi-gigi mereka yang tajam, ada yang sedang membangun jembutan, bendungan, dan pondokan-pondokan, ada pula yang berjalan berkeliling membagikan makanan untuk rekan-rekannya. Semua warga berang-berang terlihat riang dan bersemangat dalam mengerjakan pekerjaannya. Widya bahkan dapat mendengar senandung merdu dari para berang-berang pekerja ini. Widya menghentikan perahunya dan mengikatnya pada sebuah karang besar di tepi sungai. Ia kemudian berlari menghampiri kumpulan berang-berang yang berada paling dekat darinya. “Selamat siang,” sapa Widya ramah. Terkejut melihat keberadaan Widya, warga berang-berang segera berlari ke segala arah menjauhi Widya. Wajah mereka yang tadinya riang gembira berubah merengut dan kesal. Widya mencoba menghampiri kumpulan berang-berang lain. Belum sempat Widya mengatakan satu kata pun, kumpulan berang-berang tersebut juga berlari membubarkan diri, menjauhi Widya, seolah Widya adalah sebuah infeksi yang harus dihindari. Widya diam di tempat. Ia terkejut dan juga sedih. Mengapa berang-berang yang sebelumnya terlihat ramah dan menyenangkan, langsung pergi merengut, cemberut, dan kesal setelah melihatnya. Mengapa nyanyian merdu yang tadi ia dengar berubah menjadi gumaman penuh amarah akibat kedatangannya. Apa salah Widya? Penuh rasa keingin tahuan, Widya berjalan ke dalam hutan. Mencari kumpulan warga berang-berang lainnya. Widya tidak dapat menemukan satu pun warga berang-berang. Sepertinya berita kedatangannya sudah menyebar, dan 13
semua warga berang-berang penghuni pulau ini sudah berlari sejauh mungkin dari dirinya. Widya tidak menyerah. Ia terus berkeliling. Mencari warga berang-berang di seluruh penjuru pulau. Widya menghampiri pondokan-pondokan, bendunganbendungan, jembatan-jembatan, semua tempat yang mungkin dijadikan tempat persembunyian berang-berang. Nihil. Widya gagal menemukan satu ekor berang-berang pun. Tidak menghiraukan kelelelahan dan rasa laparnya, Widya terus berjalan mengelilingi pulau, menyusuri sungai dan menjelajah hutan hingga kehabisan tenaga dan jatuh pingsan. Keesokan harinya, Widya terbangun masih dengan kesunyian yang sama. Warga berang-berang masih tetap bersembunyi, menghindarinya, seolah dia adalah penjahat berbahaya, tanpa memberikan penjelasan, tanpa memberinya kesempatan untuk menjelaskan tujuannya. Widya kembali ke perahunya, mengambil perbekalannya, mencoba bertahan di pulau ini. Ia menghabiskan sepanjang harinya berkeliling pulau, mencari berang-berang yang terus bersembunyi. “Kalian tahu, aku akan terus bertahan di pulau ini sampai kalian setuju menemuiku!” seru Widya di sela-sela pencariannya. Sehari, dua hari, tiga hari, Widya terus melakukan pencarian. Perbekalannya sudah menipis dan hampir habis. Khawatir kelaparan di sisa perjalanannya yang masih panjang, Widya mulai mengurangi porsi makanannya. Menahan lapar untuk berhemat. “Aku tidak akan pergi dari pulau ini sampai kalian mau mendengarkanku!” Widya kembali berteriak. Meskipun berusaha terlihat dan terdengar berani dan pantang menyerah, di dalam dirinya sebenarnya Widya merasa sedih dan kecewa. Ia khawatir tujuan perjalannya, mimpinya untuk membangun kastil Negeri Garuda akan gagal dan hancur berantakan di pulau pertamanya ini. Ia takut pulang ke pulaunya dengan tangan kosong, kesia-siaan, dan harus mengubur mimpinya. Keadaan ini diperburuk dengan perutnya yang mulai kelaparandan tubuhnya yang mulai lemah kelelahan. Ia yang jatuh cinta dan sangat antusias ketika pertama kali datang ke pulau berang-berang ini, kini merasa patah hati. Ia merasa ditolak, diabaikan, dan dibenci, tanpa tahu apa kesalahannya. Seluruh perasaan Widya yang terakumulasi berubah menjadi sesak di dadanya. Sesak yang kemudian berubah menjadi tangis. Tangis pedih yang tadinya hanya menetes, lama kelamaan berubah menjadi raungan. “Apa salahku? 14
Mengapa kalian membenciku? Mengapa kalian menjauhiku? Mengapa kalian bersembunyi dariku?” Sedetik, dua detik, tidak ada jawaban. Widya kembali meraung sejadijadinya. “Hai manusia, hentikan tangisanmu!” seorang berang-berang berkacamata berjalan menemui Widya. “Ya, kami membencimu! Pergilah dari pulau ini!” Widya menghentikan tangisnya, “Mengapa?” tanya Widya. “Mengapa kalian membenciku?” “Pergilah sekarang juga! Keberadaanmu sangat mengganggu warga pulau ini!” sang berang-berang berkacamata kembali berujar kesal. “Aku hanya ingin meminta bantuan warga berang-berang untuk bersamasama dengan warga pulau lain untuk mendirikan kembali kastil Negeri Garuda yang runtuh. Agar negeri ini kembali bersatu,” Widya coba menjelaskan misinya. “Huh, kalian manusia, hanya datang pada saat membutuhkan bantuan saja!” seru berang-berang berkacamata mencemooh. “Pergilah dari pulau ini! Pulang kembali ke pulaumu! Kau hanya mengganggu kehidupan kami, pekerjaan kami!” seru sang berang-berang berkacamata yang kemudian diikuti dengan seruan setuju ratusan berang-berang yang lain. “Ya, pulanglah! Pergi dari sini!” teriak ratusan berang-berang saling bersahutan, masih bersembunyi, enggan menampakkan diri. Widya yang tenang dan pendiam, jika dilukai juga bisa mengamuk penuh amarah, “Kalian makhluk egois!” seru Widya. “Kalian makhluk yang hanya mementingkan diri kalian sendiri! Kalian hanya peduli pada warga kalian saja!” “Egois?” tanya berang-berang berkacamata semakin kesal. Ratusan berangberang keluar dari tempat persembunyian mereka dan berbondong-bondong mengelilingi Widya. “Kami makhluk egois katamu?” “Ya, kalian makhluk egois!” jawab Widya yakin. “Kalian menolak membangun Negeri kalian sendiri yang sedang diambang kehancuran! Kalian menutup mata dan telinga kalian tentang hal di luar pulau kalian. Apa itu namanya tidak egois?” “Kami egois?” sang berang-berang berkacamata terlihat sangat kesal. “Di mana kalian dan makhluk pulau lain saat pulau kami dilanda banjir besar? Di mana kalian saat warga kami kedinginan dan kelaparan? Di mana kalian semua?” Widya terdiam. Dia tidak pernah mendengar cerita ini sebelumnya. “Mana keramahan kalian pada saat kami bersusah payah meminta bantuan kepada kalian? Pedulikah kalian pada saat warga kami terdampar di garis pantai pulau kalian? Kalian tidak pernah memperlakukan kami sebagai tetangga! Kalian 15
selalu melihat kami sebagai binatang, makhluk yang lebih rendah, makhluk berkasta di bawah kalian!” Widya tidak tahu apa-apa tentang hal ini. “Negeri kami? Kami tidak peduli pada negeri kami katamu? Negeri apa yang tidak pernah mempedulikan rakyatnya? Negeri apa yang membiarkan rakyatnya berjuang sendiri saat mereka terkena bencana?” Widya kehilangan kata-kata. “Egois? Kami membangun kembali pulau kami dengan tenaga dan jerih payah kami sendiri. Tanpa belas kasih manusia yang katanya tetangga kami, ataupun garuda yang katanya pemimpin kami. Kami membangun semuanya sendiri. Kami melepaskan mimpi-mimpi pribadi kami, melupakan cita-cita masa kecil kami, bekerja siang dan malam agar pulau ini dapat bertahan. Agar warga kami dapat tetap hidup,” sang berang-berang berkacamata melupkan sakit hati dan kebenciannya. “Kami egois katamu?” Widya tahu dia harus menjawab, setidaknya mengeluarkan suara. Namun ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia kehilangan kata-katanya. “Aku tidak tahu. Aku tidak pernah tahu cerita itu,” jawab Widya pelan. Air matanya kembali menetes. “Ya, kalian manusia selalu memilah-milah sejarah dan fakta,” sang berangberang berkacamata kembali mencemooh Widya, mencemooh manusia. “Hanya menyebarkan dan menurunkan cerita yang membuat kalian terlihat seperti pahlawan, menutupi dan mengubur aib dan cerita-cerita yang menurut kalian tidak penting.” “Maafkan kami,” jawab Widya pelan. “Maafkan kami!” Widya terisak. Sang berang-berang berkacamata dan ratusan berang-berang lain diam. Menunggu kelanjutan perkataan Widya. Tidak menyangka manusia yang di dalam benak mereka adalah makhluk yang merasa dirinya selalu benar, kini menangis dan meminta maaf di hadapan mereka. “Maafkan kami karena tidak membantu kalian pada saat kalian membutuhkan kami. Maafkan kami karena tidak peduli pada kalian, tetangga kami. Maafkan kami karena kalian merasa kami merendahkan kalian. Maafkan kami karena begitu egois,” Widya menatap tajam ke arah sang berang-berang berkacamata. Sambil kembali terisak Widya berujar pelan, “Maafkan aku karena seenaknya berkata kalian egois. Maafkan aku karena tidak tahu apa-apa tentang hal ini!” Widya menutupi wajahnya yang berurai air mata dengan kedua tangannya. 16
Mencoba menghapus air mata, sekaligus menutupi wajahnya dari rasa malu atas semua hal yang baru saja terjadi. “Hai manusia, sudahlah. Hentikan tangisanmu!” Sang berang-berang berkacamata mendekat, menepuk bahu Widya, mencoba menghentikan tangisannya. “Kami memang makhluk egois. Kamu benar!” Widya belum berhenti menangis. “Kami bersalah menumpahkan kebencian dan dendam masa lalu kami padamu. Kami bersalah karena telah menyamaratakan seluruh manusia tanpa berusaha mengenalmu terlebih dahulu,” ujar sang berang-berang berkacamata. “Maafkan kami, Manusia!” Widya menghentikan tangisannya. “Terima kasih karena telah menunjukkan kebesaran hati dan keberanianmu. Mengakui kesalahan, yang bukan kesalahanmu, dan menurunkan egomu untuk meminta maaf kepada kami. Terima kasih!” ujar sang berang-berang berkacamata. Sang berang-berang berkacamata menjulurkan tangannya, berharap Widya menyambut ajakan berdamainya. Widya yang masih kehilangan kata-katanya, segera menjabat tangan sang berang-berang dan menarik tubuh tambun makhluk berbulu cokelat tersebut ke dalam pelukannya. Senyumnya terkembang. Ratusan berang-berang yang lain berjalan mendekati mereka. Berdiri megelilingi Widya dan berang-berang berkacamata. “Kami akan membantumu!” seru Sang Berang-Berang berkacamata. “Kami akan pergi ke Pulau Garuda, membantumu membangun Kastil Negeri Garuda yang hancur.” Widya terkejut. Matanya kembali berkaca-kaca. “Warga berang-berang, bersediakah kita membangun Kastil Negeri Garuda?” seru Sang Berang-Berang berkacamata. “Ya!” seru seluruh warga berang-berang penuh semangat. “Siapa di antara kalian yang bersedia membantu nona manusia ini untuk berangkat ke Pulau Garuda?” tanya Sang Berang-Berang berkacamata. Seluruh warga berang-berang mengangkat tangan mereka. “Semua berang-berang tidak sabar memulai petualangannya bersamamu. Kau bisa memilih siapapun dari kami, manusia,” ujar Sang Berang-Berang. Widya mengedarkan pandangannya. Tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi di hadapannya. “Siapa namamu, tuan berang-berang?” tanya Widya pada Sang Berang17
Berang berkacamata. “Bhisma,” jawab Sang Berang-Berang berkacamata. “Maukah kau membantuku?” tanya Widya. “Akan menjadi kehormatan untukku, Manusia!” jawab Bhisma dengan senyum terkembang. “Apa yang bisa kami bantu?” Widya terdiam. Bingung menanggapi pertanyaan Bhisma. Ia baru menyadari kalau ia belum memiliki rencana apapun untuk membangun Kastil Negeri Garuda. Bhisma tersenyum, seolah paham dengan kebingungan Widya, “Kami dapat menyiapkan bahan-bahan dan peralatan untuk membangun kastil,” Bhisma menawarkan sambil tersenyum. “Dan kau dapat mengumpulkan seluruh warga pulau lain untuk bersama-sama menemui kami di garis pantai Pulau Garuda.” Widya lega. Akhirnya ia lebih yakin dengan rencananya, “Terima kasih, Bhisma!” seru Widya. “Dan Widya. Namaku Widya!” Seluruh warga berang-berang bersorak-sorai. Kembali tersenyum dan tertawa ceria seperti saat pertama kali Widya melihat mereka di hari pertamanya menginjakan kaki di pulau ini. “Temui aku tepat di hari kemerdekaan Negeri Garuda ya!” seru Widya. “Pasti!” jawab Bhisma mantap. “Aku pasti datang!” Widya tersenyum penuh rasa syukur, ‘Aku tidak salah, pulau ini memang indah,’ batin Widya. Seluruh warga berang-berang berjalan riang sambil menyanyi dan menari, bersama-sama mengantarkan Widya ke tepi sungai, ke perahunya, bersiap-siap melepas kepergian Widya. Seekor berang-berang mengikatkan karung penuh berisi buah-buahan dan kacang-kacangan sebagai bekal Widya untuk melanjutkan petualangan panjangnya. “Terima kasih!” ujar Widya lembut sambil menpuk bahu berang-berang tersebut. “Terima kasih, warga yang berhati mulia!” seru Widya pada seluruh warga berang-berang yang mengantar kepergiannya. “Terima kasih atas semuanya!” Warga berang-berang kembali bersorak. Widya mengayuh perahunya. Memulai kembali petualangannya dengan senyum terkembang dan harapan yang kembali terisi penuh. Menatap hamparan laut di hadapannya, menarik napas, dan kembali menyiapkan dirinya. ‘Tidak mudah, tidak mudah, tapi pasti bisa!’ pikirnya.
18