Hukum dan Pembangllnall
134
PULAU-PULAU TERLUAR DAN BATAS WILA YAH NASIONAL Status Delimitasi Batas Wilayah Nusantara' Rudolf W. Matindas' Klaas J. Villanueva'
Pengantar - Latarbelangkang Tahun 1957 Deklarasi Djuanda memproklamasikan Indonesia sebagai satu Negara Kepulauan. Melalaui perjuangan lama , dengan disahkanya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (HUKLA-82; UNCLOS-I1I'), deklarasi Indonesia sebagai Negara Kepulauan mendapat pengakuan internasional. HUKLA-82 telah meJuaskan wilayah nasional dari sekitar 2 (dua) juta km' daratan dan laut teritorial hanya 3 mil laut dari garis pantai air terendah menjadi sekitar 5 (lima) juta km' wilayah 'teritorial" ditambah sekitar 3 (tiga) juta lan' Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) di luar batas territorial. Sesuai Deklarasi Djuanda dan HUKLA-82, lebar laut teritorial telah berubah dari 3 mil laut menjadi 12 mil laut dari garis pangkal kepulauan. Ini hasil diplomasi dan perjuangan untuk mendapatkan satu pembagian jurisdiksi atas wilayah laut yang lebih equitable bagi semua negara-negara pantai (coaslal Slales). Khususnya bagi negara-negara kepulauan dan negara-negara berkembang yang banyak lahir setelah perang dunia ke-2 . Perhatikan Garis Kala sejarah Hukla terlampir. Ketika laut territorial hanya dapat diklaim sampai selebar 3 mil laut dari garis pamai air terendah, banyak pulau-pulau kecil diluar baras lam terilOrial. yang mana tidak memiliki nilai sosial-ekonomis yang signifikan pada waktu itu, tidak mendapat perhatian untuk dimasukkan
I Makalah tlisampaikan pada Diskusi Ilmiah "Kasus Sipadan Ligitan : Masalah Pengisian KOllsep Negara Kepu lauan"'. FHUI. 5 Pebruari 2003
,
- Kopala BAKOSURTANAL J
Deputi Pemetaan Dasar BAKOSURTANAL
4 )'d
Uniteu Nations Convention uf The Law of The Sea
5 Dengan pengertian adanya penerapan archipelagic waters regime pada penlinm kepulauan yang dibatasi ga ri s pangkal kepuJauan.
lanuari - Marer 2003
Pil/au-Pli/au Ter/llar dall Ba{Qs Wilayah Nasional
135
secara resmi dalam wilayah teritorial , maupun tidak dikuasai dan dikelola secara berani. Namun hal ini berubah secara drastis, ketika l11ulai dirumuskan satu konvensi hukul11 laut yang baru, yang mana memperharikan hasil eksplorasi dan kel11ungkinan eksploitasi dasar lautan dan tanah dibawahnya, yang nyata kaya sumber daya alam, dan kemampuan reknologi untuk menambangnya sampai kedalal11an lebih dari 200 m. Oalam Konvensi Jenewa (UNCLOS-I) relah ada kesepakaran untuk mel11beri jurisdiksi aras dasar lauran dan sumber daya alam di dalam ranah dibawahnya, bila dasar lauran iru merupakan kelanjutan alamiah landas kontinen negara bersangkutan. Namun Konvensi Jenewa ini dianggap sangat tidak equitable oleh negara-negara baru, yang banyak lahir setelall perang dunia ke-II. Satu upaya memperbaikinya Illenghasilkan UNCLOS-II yang oleh banyak kalangan dianggap satu kegagaIan, sehingga dilanjurkan dengan rumusan-rumusan baru yang Illenghasilkan UNCLOS-Ill. Indonesia tercatat sebagai satu pelopor utama dalalll merullluskan Archipelagic State Concept pada UNCLOS-lII yang jauh lebih equirable dari konvensi-konvensi sebelumnya , walaupun Illungkin masih dapar lebih diperbaiki, agar lebih eqllirable bagi negaranegara kepulauan. Sebagaimana semula, klaim atas wilayah laut adalah land-based, artinya diukur lebarnya dari garis pantai. Masih dalalll tahap perumusan konvensi ya ng baru, kiranya telah dianrisipasi bahwa akan tercapai kesepakatan unruk memungkinkan klaim negara pantai sampai sejauh 200 mil laut atas sumber daya dalam badan air lautan (lVarer column). Setelah UNCLOS-J] dianggap gagal dan segera disusu l upaya perumusan UNCLOS baru. dan diantisipasi lebar laut wilayah akan disepakati pad a 12 mil laut sena garis pangkal dapat ditarik amara pulau-pulau terluar . Illalah dari loll' ride eievGlions (elevas i smut) yang berada dalam jarak 12 mil laut dari daratan, negara-negara pantai mulai secara lebih teliti l11enginventarisasi pulau-pulau kecil, karang kering dan elevasi smut terluar yang dapat diklaim Illasuk dalam kedaulatannya, untuk kemungkinan dijadikan titik-tirik garis pangkal. Indonesia adalah negara kepulauan yang rerbesar dan rerpenting didunia karena letak geografisnya yang demikian srraregis, yaitu diantara dua benua dan dua samudera, dengan jalur-jalur pelayaran internasional yang vital melaluinya. Oi lain pihak dengan jumlah pulau yang demikian besar, ketika itu dihitung lebih dari 13000, sekarang sekitar 17508, sudah sebelum tahun 1957 disadari betul betapa pemingnya menjaga kesatuan
Nomor J Tahwz XXXlll
Hukum dan Pembangunan
136
sena penahanan dan keamananan negara, termasuk pengamanan sumber daya lautan yang telah berabad-abad menjadi sumber nafkah penduduknya. Dapat dibayangkan betapa besar kemenangan yang diperoleh untuk dapat menghasilkan rumusan optimal dalam bentuk HUKLA-82. menghadapi dunia pelayaran internasional yang menuntut hak tradisionalnya untuk melalui perairan kepulauan Indonesia. Sejak rahun 1969 sampai tahun 1980 Indonesia telah membuat sejumlah peljanjian bilateral dan trilateral dengan negara terangga hal baras-baras landas kontinen (dasar laut), dan khusus de ngan Malaysia dan Singapura juga tentang batas bersama laut territorial wilayah tertentu di Selat Malaka dan Selar Singapura. Perhatikan bahwa ketika Indones ia menandatangani perjanjian bilateral rentang batas dasar laut (sed bed) atau landas kontinen , konsep ZEE belum ada. Indonesia baru mengundangkan Zona Ekonomi Eksklusif tahun 1983, setelah HUKLA-82 dirumuskan , yairu dengan UU No. 5 Tahun 1983, sedangkan hal Landas Kontinen sudah pada tahun 1973 diatur dengan UU No. 1 Tahun 1973. Lihat Lampiran. Walaupun UNCLOS-Ill selesai dirumuskan tahun 1982 namun ia abasah baru berlaku tahun 1994, setelah diratifikasi oleh 60 negara. Indonesia sendiri telah menandatanganinya tahun 1982 dan meratifikasinya dengan UU No. 17 Tahun 1985 . Perlu diketahui bahwa sebelumnya Indonesia terikat de ngan UNCLOS- I ya ng relah diratifikasi dengan UU No. 61 Tahun 1961. Menindaklanjuri Deklarasi Djuanda , dengan UU No. Prp Tahun 1960, Indonesia menerapkan koordinar geografis ririk-ririk garis pangkal. darimana bar as laU! rerritorial selebar 12 mil laut diukur , dengan UU No.4 I Prp Tahun 1960.
Batas Laut Teritorial
egara Indonesia
Dalam Deklarasi Djuanda renanggal 13 Desember 1957 ditetapkan sebagai berikut : . Penentuan bat as lautan territorial (yang lebarnya 12 mil). diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pad a pulau-pulau Negara Indonesia akan ditentukan dengan Undang-undang'. Ini diwujudkan dengan UU No. 4 I Prp Tahun 1960 Tentang Perairan Indonesia. Setelah UNCLOS-III tahun 1994 sah beriaku , disadari bahwa dengan memakai ketentuan-ketentuan dalam UNCLOS-III Indonesia dapat mengklaim laut teritorial dan wilayah ZEE yang lebih luas. yaitu dengan
Januari - Marel 2003
Pulau-Pulau Terluar dall Baras Wilayah Nasional
137
memiliki titik-titik garis pangkal yang baru yang lebih mengul1!ungkan . Untuk itu telah dilakukan verifikasi terhadap kegiatan penentuan titik-titik garis pangkal baru yang telah dirintis DlSHIDROS TNI-AL. yang BAKOSURTANAL dan akhirnya berdasarkan kajian bersama DISHIDROS telah dipilih dan ditetapkan koordinat geografis titik-titik gar is pangkal yang baru, yang mana telah disahkan dengan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002. Dalam kaitan ini perlu dicacat bahwa untuk titik-titik pangkal itu telah dipilih titik-titik terluar pada garis pantai air terendah dari pulaupulau terluar. sehingga diluar garis pangkal tidak ada lagi pulau. Kalau Illungkin masih ada sam elevasi surut, ia akan berada dalam wilayah laut territorial 12 mil laul. " Dengan penetapan garis pangkal Negara Kepulauan Indonesia dan ketetapan lebar wilayah laut territorial ialah 12 mil laut dari garis pangkal. maka secara unilateral batas laut territorial telah ditetapkan. Dalam hal dihadap negara tetangga dalam jarak kurang dari 24 mil laut. maka batas bersama laut territorial disepakati dengan satu perjanjian bilateral. Kesepakatan batas bersama laut territorial telah dibuat perjanj iannya. yaitu tahun 1970 dengan Malaysia, tahun 1973 dengan Singapura dan tahun 1980 dengan Papua Nugini. Segmen-segmen tertemu batas bersama laut territorial masih harus disepakati dengan Malaysia dan Singapura. Belum keseluruhan batas bersama laut territorial disepakati dengan Malaysia dan Singapura di Selat Malaka dan Selat Singapura. Selain itu dengan Malaysia juga belum disepakati batas bersama laut territorial di barat dan limur Kalimaman. Hal batas laut territorial di timur Kalimaman lillat Lampiran perihal tinjauan tindak lanjut keputusan tentang Sipadan dan Ligitan. Dengan berdirinya negara Timor Leste juga batas bersama laut territorial dengannya masih harus ditentukan dan disepakali.
Batas-batas ZEE dan Landas Kontinen UU No. 5 Tahun 1983 Temang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia merupakan proklamasi klaim Indonesia atas satu Zona Ekonomi Eksklusif di iautan sampai sejauh maksimum 200 mil laut di ukur dari garis pangkal. Pada dasarnya klaim ini adalah sesuai dengan yang
f,
I mil taut panjang 1852
Nomor J Tailllll XXXl/l
Ill.
scsuai panjang int ernational Nautic.II Mile.
138
HukulII dan Pelllbanglll,an
dimungkinkan oleh HUKLA-82 yang baru berlaku tahun 1994. Disini terlihat bahwa pemilihan titik-titik pangkal pada titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar sangat berarti dalam memperoleh luasan ZEE yang optimal. Kalau dihayati jiwa dari UNCLOS-II1 itu , sesuai dengan penafsiran kalangan besar dunia internasional, maka penafsiran wilayah ZEE harus dipadukan dengan wilayah Landas Kontinen dalam batas 200 mil lau!. Kedua wilayah itu akan ko-ekstensif bila delimitasinya mengacu Kel'ada gar,s I'angka\ dan me\ode geometTik yang sama. Da\am hal jara\<. negara dihadapan kurang dari 400 mil laut, maka batas bersama ZEE dan Landas Kontinen didelimitasi dengan prinsip media line, yang mana juga menghasilkan wilayah ko-ekstensif dari ZEE dan wilayah landas kontinen kedua negara. Dengan demikian sementara pihak beranggapan bahwa ZEE sudah mencakup pengertian jurisdiksi atas landas kontinen, artinya ZEE tidak hanya terbatas pad a cakupan sumber daya hayati , khususnya sumber daya hayati sedenter di dasar laut, tetapi juga sumber daya non-hayati dalam tanah dibawah dasar lau!. Dengan dasar pemikiran yang sama sementara pihak berpendapat landas kontinen hany-a mengacu kepada kelanjutan alamiah landas kontinen atau dasar laut bat as 200 mil lau!. Indonesia baru menandatangani bat as bersama ZEE dengan Australia, perjanjian mana belum diratifikasi. Dengan kesepakatan batas bersama ZEE di tahun 1998 dan kesepakatan batas landas kontinen dengan Australia di tahun 1972 , yaitu sewaktu konsep ZEE belum muncu l kepermukaan, maka · di Laut Timor dihadapi kiranya saru-sarunya kasus dimana ada tumpang-tindih vertikal jurisdiksi Z EE Indonesia diatas j urisdiksi Landas Kontinen Austral ia. Oleh ka rena prinsip media line pada tingkat pertama mengacu kepada penggunaan garis pangkal teritorial maka penetapan batas bersama ZEE di selat Malaka dengan Malaysia akan mungkin menghasilkan kaslls kedua rumpang-tindih jurisdiksi semacam di Laut Timor. Perlu dicacat bahwa penggunaan media line adalah satu bemuk pembagian yang equitable, namun dapat saja diperhitungkan faktor-faktor lain untuk mendapar kesepakatan yang lebih equitable bagi kedua pihak . Pada akhirnya bams bersama ZEE akan direntukan berdasarkan kesepakaran. Perlu dicacat bahwa yang dikejar bukan co-extensive principle, tetapi solusi pembagian yang equitable dari luasan wilayah mengguzlakan prinsip median line . Tercapainya satu co-extensive area adalah karena memang selayakny"a , baik unruk ZEE, maupun untuk Landas Kontinen, untuk
iallllari - Maret 2003
Pulau-Pulau Tefillar dall Baras Wilayah Nasional
139
konstruksi median lille digunakan garis pangkal dan metode geometrik yang sama. Batas landas kontinen yang disepakati dengan negara-negara tetangga di tallUn tujuhpuluhan tidak semua didesain berdasarkan prinsip sama jarak (Illedian line) dan ada yang tidak mengacu kepada garis pangkal teritoria!. yang terakhir ini dengan Malaysia. Dengan Australia balas landas kontinen ditetapkan masih mengacu kepada Konvensi Jenewa yang diratifikasi dengan UU No. 61 Tahun 1961. Demikiall juga UU No. I Tahun 1973 Tentang Landas Kontinen masih mengacu kepada Konvensi Jenewa, yang mendasarkan penentuan batas land as kontinen masih pada prinsip geologis saja. Jadi terjadinya dan adanya tumpang-tindih jurisdiksi ZEE dan jurisdiksi Landas Kontinen harus diterima dengan jiwa besar. Yang penting bahwa wilayah bersangkutan dikekola bersama secara equitable agar Indonesia yang memegang jurisdiksi atas ZEE-nya tidak dirugikan secara berarti.
Alur Laut Kepulauan Indonesia PP No. 37 Tahun 2002 Tentang Hak Dan Kewajiban Kapal Dan Pesawat Udara Asing Dalam Melaksanakan Hak Limas Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan Yang Ditetapkan, juga telah menetapkan koordinat geografis titik-titik sumbu Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Dengan itu dapat didelimitasi batas alur laut kepulauan, yaitu di selat dan laut yang lebar selebar maksimum 25 mil laut kiri kanan sumbu A LKI dan selat yang lebih sempit sejarak 10% jarak garis pamai ke sumbu ALKI dari garis pantai. Batas-batas ALKI terutama harus diperhatikan pada peta-peta navigasi yang resmi. Selain itu seperlunya pada peta navigasi perlu digambarkan garis skema pemisah Ialu lintas kapa!.
Batas-batas zona tambahan (contignous zone) HUKLA-28 Pasal II juga menetapkan hak negara pantai umuk menetapkan satu contiguous zone (zona tambahan) selebar makmimal 24 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut territorial diukur. Dalam zona tambahan ini negara pamai bersangkutan berhak melakukan pengawasan ulltuk mencegah pelanggaran terhadap peraturan perundang-
NOllwr I Ta/lllll XXXlll
140
HlIkum dall Pembangllnall
undangan bea cukai. fiskal. imigrasi atau san iter di laut teritorialnya dan seperlunya memberi hukuman atas pelanggaran termaksud. Indonesia sampai sekarang belum melakukan delimitasi batas-batas zona tambahan serta menyatakannya diatas peta navigasi yang resmi. Dengan telah diratifikasinya UNCLOS-III dengan UU No. 17 Tahun 1985 yang meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (HUKLA-28). kiranya wewenang pengawasan itu senantiasa dapat diterapkan. walaupun batas zona tambahan itu tidak tergambar pad a peta navigasi. dengan catatan garis pangkal territorial tergambar dan telah dideposit ke Sekjen
PBB Batas daratan Batas daratan Indonesia dengan negara tetangga ialah di Kalimantan dengan Malaysia. di Timor dengan Timor Leste dan Papua dengan Papua Nugini. Status penegasan batas dengan Malaysia dan Papua Nugini sementara ini masih pad a tahap delineasi dan demarkasi batas sesuai traktat perjanjian batas antara negara-negara kolonial yang lalu . yang diwarisi Indonesia dan negara tetangga terkait. Setelah demarkasi selesai dengan penjarakan tertentu titik-titik batas yang diberi koordinat geografis dalam datum geodetik tertentu. maka diharapkan dengan Malaysia dan Papua Nugini dapat dibuat perjanjian Batas yang baru . Demarkasi batas daratan dengan Malaysia dan Papua Nug ini telah be rl angsung berlarut-Iarut. Diharapkan demarkasi batas daratan dengan Papua Nugini dapat dirampungkan secepatnya. ditindaklanjuti dengan Perjanjian Batas yang baru. Demarkasi batas daratan dengan Timor Leste baru memasuki tahapan penyuluhan dan delineasi batas untuk indentifikasi jalur batas di lapangan. sesuai yang dimaksud dalam traml 1904 antara Belanda dan Portug is. setelah mana akan dimaksuki tahap demarkasi dan kemud ian d ibuat Perjanjian Batas yang Baru. Bagaimanapun penyeJesaian demarkasi batas daralan harus dirampungkan untuk dapat menarik secara kontinu bat as lateral dari batas bersama laut territorial.
lallllari - Maret 2003
Pulau-Pulau Terluar dall Balas Wilayah Nasiollal
141
Peranan Daerah dan Instansi Pemerintah lain. Daerah dapat sangat berperan dalam mengelola pulau-pulau terluar yang berada dalam wilayah administrasi pengelolaan lautnya. Rencana lara-ruang daerah harus meliputi sall1pai mencapai semua pulau·pulau yang ada dalam wilayah administrasi tanggung-jawab Daerah , termasuk pulau-pulau teduar. Upaya Departel11en Kelautan dan Perikanan dalal11 inventarisasi dan ikut dalall1 koordinasi pel11binaan pengelolaan pulau-pulau kecil. termasuk yang berada diluar wilayah batas administrasi wilayah laut Daerah, diperlukan dan sangat bermanfaat. Demikian pula upaya Depatemen Dalam Negeri dengan kuesioner ke Daerah untuk keperluan inventarisasi pulau-pulau yang berada dalam wi layah adl11inistrasi tanggung-jawab Daerah akan sangat l11embantu dalam verifikasi status pegelolaan pulau-pulau. Kesemua hasil inventarisasi pulau-pulau juga harus diverikfikasi silang dengan TNI-AL dan Depanemen Perhubungan. karena sudah tentu sudah dan harus terpetakan dalam peta-peta navigasi. Dapat dicatat bahwa LAPAN untuk proyek CIFOR-LIPI (inventarisasi terumbu karang). juga terlibat dalal11 inventarisasi pulaupulau. yailu l1lenggunakan citra sate lit. Tugas pokok Kel1lenterian Lingkungan Hidup dan Badan Pertanahan Nasional terkait pengelolaan pulau-pulau kecil juga tidak kalah pentingnya. Akllirnya perlu diingat bahwa keseluruhan pengelolaan pulau-pulau harus terpadu dalall1 satu Tata Ruang Nasional dan Tata Ruang Hankam . Koordinasi lnterdep adalah kala kunci bagi pengelolaan pulau-pulau ked I yang baik, termasuk pulau-pulau terluar.
Definisi pulau dan toponimi Hal jUll1lah pulau yang tepat dan penamaan geog rafisnya (roponill1i) telah l1lenjadi kontroversi yang menonjol pada tahun-tahun terkahir. Masa lah roponill1i atau penamaan geografis unsur-unsur geograti , termasuk pulau-pulau. lermasuk tugas pokok koordinasi Departemen Dalall1 Negeri, lerutama dengan Pemda-Pemda dan lell1baga-Iell1baga pemetaan nasional. Nama geografis adalah satu unsur pengenal mirip peranan nama jalan atau alamat rumah. Nama geografis dengan pengetahuan umum yang memadai juga langsung menyatakan posisi geogratis unsur terkait. Dapat
Nomor I Tall/Ill XXXI/l
142
HI/kl/m dan Pembangunan
dibayangkan be tapa sulitnya memakai peta bila tidak disertai nama-nama geografis. Diharapkan ribuan pulau yang belum memiliki nama geografis dalam waktu dekat dibawah koordinasi Departemen Dalal11 Negeri bersama Pemda .d an insransi-insransi lain yang lerkair, dapat segera diberi nama geografisnya. Yang cukup pelik ialah hal definisi pulau. Apa yang didefiniskan sebagai satu pulau ? Untuk keperluan definisi baras l11aritim (legal maritime boundary) satu pulau tidak l11emerlukan adanya satu kehidupan sosial-ekonomi yang berarti. Malah satu elevasi surur dalam baras 12 mil laut dari daratan dapat dipakai dan digolongkan sebagai pulau terluar dan dipakai bagi saru titik pangkal. Di lain pihak ada elevasi yang mungkin ridak pernah timbul walaupun laut surut, tetapi diatasnya ada kehidupan sosial ekonomi yang berarti. Umpamanya satu pemukiman suku Bajau di laut. apakah itu dapat dinamakan pulau? Apakah pulau dalam pulau, seperti pulau Samosir di danau Toba, atau pulau-pulau dalam satu sungai yang lebar, harus terhitung dalam jumlah pulau Nusantara. Apakah deltadelta di muara sungai harus dihitung sebagai pulau. delta-delta mana dapat bertambah atau menyatu dalam satu kurun waktu tertentu, ataukah delta harus diperlakukan sebagai bag ian daratan. Walaupun delta disebllt sebagai satu pulau dan mungkin diberi nama pulau tertentu. namun dapat tidak dihitung da lam menghasilkan angka resllli jUllllah pulau. Delta ya ng bagaimana dapat digolongkan sebagai satu pulau·J Perlukah dirumuskan saru kriteria agar satu unsur geografis dapar digolongkan sebaga i pulau. untuk dapat dihitung dalam Illenghasilkan angka resmi jumlah pulau yang rermasuk wilayah territorial. JUllllah puTau dengan angka resmi 17508 adalah hasil hitung Dishidros TNT-AL dari pet a laut skala I: 1.000.000. Sememara ini berbagai pihak sedang lllencoba lllenghirung kembali jumJah pulau yang ada dalam wilayah Nusantara. demikian juga Dishidros T, I-At. Dapar dianrisipasi bahwa akan keluar hasil )'3IIg berlJeda bila criteria pulau ridak diretapkan dengan jelas.
Penutup I . Issue pulau-pulau rerluar hams ditanggapi dan ditangani secara seilllbang . Starns pulau-puJau sebagaimana telah ditentukan dengan perjanjian-perjanjian bilarernl. dengan lllenghormati hukum
lalll/ari - Marel 2003
Pulau-Pulau Terluar dall Baras Wilayah Nasiallal
143
internasional dan juga dalam kerangka perjuangan pembinaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetap harus dihorl11ati. 2.
adanya kekhawatiran atas status sejumlah pulau-pulau terluar perlu diimbangi instansi Pemerintah terkait dengan memberi penjelasan keadaan sebenarnya . selain seperlunya mengal11bil langkah-langkah pengalllanan. Perlu dicatat bahwa upaya negara lain untuk l11enguasai Illelalui kegiatan sosial-ekonomi atas pulau yang status kedaulatannya (title) telah jelas, adalah satu kegiatan okupasi liar dan illegal, dan tidak dibenarkan hukum internasional.
3. Harus dihalangi kemungkinan masuknya imigran gelap untuk Illenempati pulau-pulau. baik yang terluar. maupun dalam wilayah perairan kepulauan Indonesia . Masuknya imigran gelap dengan Illelllberi iming-illling Illateri kepada penduduk asli setempat harus diatasi dengan Illelllperhatikan kesejahteraan social-ekonollli penduduk asli. serra Illengajak Illasyarakat setempat untuk pro-aktif menolak setiap imigran gelap . 4.
Pengalllanan pulau-pulau terluar , baik secara hukulll. Illaupun pelllanfaatannya dan pengelolaannya secara sosial-ekonollli pe rlu ditingkatkan . Rencana kunjungan secara period ik oleh TN I-AL adalah satu hentuk pengalllanan yang efektif dan harus didukung prasarana yang diperlukan. Upaya kelllenterian Kebudayaan dan Pariwisata untuk Illengelllbangkan kegiatan periwisata ke pulau-pulau terluar perlu disalllbut dengan baik. nalllun dengan catatan tidak dibagun fasilitas wisata yang perlllanen di pulau-pulau yang sebaiknya dijadikan wilayah lindung. untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati setelllpar. Untuk pulau-pulau terluar yang dilindungi karena perkembagan ke-aneka-ragaman hayatinya. kunjungan wisara dapat dilakukan secara periodik tiap beberapa bulan .
5. Satu bentuk upaya hukum pengamanan pulau-pulau terluar ialah segera Illerampungkan delilllitasi batas-baras laut t.eritorial dan balas lllaritil11 lainnya serta Illendepositkan hasilnya ke Sekjen PBB. hal mana harus Illenjadi prioritas nasional. Penetapan titik-titik garis pangkal teritorial sebagaimana dilakukan dengan PP No. 38 Tahun 2002 adalah bentuk yang dilllaksud. yang dilengkapi perjanjianperjanjian bilateral dall trilateral tentang baras-batas Illaritim. Untuk segmen-seglllen yang belull1 ada perjanjian kesepakatan batas ll1aritilll bersama. perlu diupayakan adanya kesepakaran sesegera ll1ungkin.
NOli/or I Tahull XXXI/l
Hllklll1l dall Pel1lballgllllall
144
6. Akhir kata perIu sekali fasiIitas survey hidrografi dan anggaran rutin rahunan survey hidrografi ditingkatkan di berbagai instansi Pemerintah terkait serta pad a rekanan perusahan-perusahan swasta, juga di Daerah, agar dapat menyediakan informasi kemaritiman dan memberi rekomendasi soIusi secara cepat dan tepat waktu sebeIum timbuI masaIah. 7. Satu maritime surveillance system yang memadai adaIah satu prasyarat pembangunan keIautan, termasuk Hankam-nya. Kehadiran berbagai armada perdagangan, armada penumpang, annada perikanan, armada wisara dan armada Hankam yang modern dan canggih adaIah cIambaan seriap warga negara, selain satu keharusan dalam membina satu ekonomi berbasiskan maritim, bercIasarkan pencIekaran prosperiti dan sekuriti sebagai satu keterpaduan,
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1
Daftar Peraturan Perundang-undangan terkait batasbatas maritime Laut Teritorial , Wilayah Perikan3n , ZEE dan Landas Kontinen.
LAMPIRAN II
Daftar Perjanjian-Perjanjian Batas Maritim Indonesia.
LAMPIRAN III
Tindak Lanjut Keputusan Tentang Sipadan - Ligitan Tinjauan Bakosunanal.
JamlOri -
Maret
ZOO3
PululI-PlIlall Terillar dOll Balas Wilayah Nasiollal
145
LAMPIRAN I
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT BATAS-BATAS MARITIM LAUT TERITORIAL, WILA YAH PERI KANAN, ZEE, DAN LANDAS KONTINEN (tidak tenllasuk UU/Keppres ratiflkasi perjanjian dengan negara tetangga)
Sbld. 1939 No. 22
Territoriale Zee en Maritieme Ordonantie .
UUD 1945
UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Deklarasi Djuanda 1957
Proklalllasi Kepulauan.
UU No.4 i Prp Tim 1960
Tentang Persetujuan Alas Tiga Konvensi
Indonesia
Jenewa Tahun 1958 UU No. 61 Tim 1961
adalah
Ill~ngenai
Kringen
Negara
Hukum LaU!.
Tiga konvensi : a. Convention of Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas. b. Convention on the Continental Shelf. c. Convention of the High Seas.
KEPPRES No. 103 Tim 1963
Tentang Lingkungan Mari[illl (UU No. 41 Prp Tim 1960).
UU No . I Tim 1973
Tentang Landas Kontinen Indonesia.
UU No.5 Tim 19X3
Temang Zona Indonesia.
UU No.9 Tim 1985
Temang Perikanan. Pasal 2: Wilayah Perikanan Republik Indonesia melipu[i : a . Perairan Indonesia. b. Sungai. danau. waduk. rawa. dan genangan ai r lainnya di dalam wilayah Republik Indonesia. c . Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Nomar / Ta/lIm XXXIII
Ekonol1li
Eksklusis
146
Hukum dan Pembangunan
UU No. 17 Tahun 1985
Tentang Pengesahan tentang Hukum Laut.
Konvensi
PBB
UU No.6 Tahun 1996
Tentang Perairan Indonesia .
UU No. 61 Tahun 1998
Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di Laut Natuna .
UU No . 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah (Otol1omi Daerah).
PP No. 37 Tahul1 2002
Tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing Dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).
PP No. 38 Tahul1 2002
Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
lanuari - Marel 2003
Plliall-Pulau Terluar dan Balas Wilayah Nasiollal
147
LAMPIRAN II PERJANJIAN-PERJANJIAN BATAS MARITIM INDONESIA
Dengan Australia: 1971 , May 18
Agreement establishing certain seabed boundaries.
1972 , Ocwber 9
Agreement establishing certain seabed boundaries in the area of the Timor and Arafura seas supplementary to the Agreement of May 1971.
1974.
Memorandum of understanding Concerning the implementation of a Provisiona l Fisheries Surveillance and Enforcemel Arrangement.
198 1, Ocwber
Operation of a non-treaty status Provisional Fisheries enforcement matters in the water column between continental Australia and Indonesia .
1989. Deseillber 11
Treaty on the Zone of Cooperation in an area between the Indonesian Province of East Timor and Norther Australia (Timor Gap Treaty).
1997 , March 14
Treaty establishing an exclusive economic zone boundary and certain seabed boundaries.
Dengan Papua New Guinea: 1973. February 12
Agreement between Australia and Indonesia co ncerning certa in Boundaries between Papua New Guinea and Indonesia.
1980, Deseillber 13
Agreement concernmg the Maritime Boundary between the Republic of
NOli/or I Tahun XXXIII
148
Hukum dall Pemballgllnan
Indonesia and Papua New Guinea and cooperation on related matters.
Dengan Malaysia: 1969, October 27
Agreement on the delimitation of the continental shelves between the two countries
1970, Ma!ch 17
Treaty relating to the delimitation of the Territorial Seas of the Two Countries in the Strait of Malacca.
Dengau Singapura 1973. May 1973
Ag reement stipulating the Territorial Sea Boundary Lines in the Strait of Singapore.
Dengan Thailand : 1971, December 17
Agreement relating to the delimitation of a continental shelf boundary between the two countries in the northern part of the Straits of Malacca and in the Andaman Sea
1975, December II
Agreement relating to the delimitation of the seabed boundary between the two countries in the Andaman Sea
Dengan India : 1974. August 8
Agreement relating to the delimitation of the continental shelf boundary between the two countries
1977, Januray 14
Agreement on the extension of the 1974 continental shelf boundary between the two countries in the Andaman Sea and the Indian Ocean
Jalluari - Maret 2003
Pulau-Pula" Terillar dall Balas Wi/ayah Nasional
149
Dengan India dan Thailand : 1978. June 22
Agreement concerning the determination of the junction point and of the related the del imitation boundaries of the three countries in the Andaman Sea.
Dengan Malaysia dan Thailand: 1971, December 21
Nomor 1 Tahllll XXXlll
Agreement relating to the Delimitation of the Continental Shelf Boundaries in the Northern Part of the Strait of Malaysia .
Hukum dan Pembangunan
150
LAMPIRAN III
TINDAK LANJUT KEPUTUSAN TENTANG SIPADAN-LIGITAN: TINJAUAN BAKOSURTANAL Ir. R. W. Matilldas, M.Sc. Kepala BAKORSURTANAL
Penarikan Balas Maritim di Sebalik dan Lanl Sulawesi I. Tidak berhasilnya Indonesia memperoleh hak kedaulatan atas pulaupulau Sipadan dan Ligitan, bukan hilangnya hak kedaulatan {titlel. memerlukan peninjauan kembali ketetapan tentang titik-titik garis pangkal yang baru di wilayah bersangkutan. Dengan hilangnya hambatan sengketa hal kedaulatan atas pulau-pulau Sipadan dan Ligitan. maka perundingan delimitasi batas maritime di wilayah Kalimantan Timur dapat segera dimulai lagi. 2.
Umuk itu perlu dikaji beberapa kemungkinan cara delimitasi bat asbatas maritime di Sebatik - Kalimantan Timur sena laut Sulawesi, baik batas bersama laut teritorial. maupun batas bersama ZEE dan perlu diamisipasi berbagai kemungkinan cara del imitasi oleh pihak Malaysia . Disini di kemukakan saru alternatif 'fonvard positioll' pilihan Indonesia. Hasil delimitasi akhir dari batas maritim bersama temunya harus merupakan kesepakatan kedua belah pihak.
3.
Sesuai dengan prtnstp dasar yang dipakai Indonesia untuk memperjuangkan hak kedaulatan atas pulau-pulau Sipadan dan Ligitan , bahwa garis lintang 4° 10' LU adalah gar is batas pemisah wi layah teritorial. baik di daratan pulau Sebatik , maupun di laut, maka peranan titik dasar dan garis pangkal umuk wilayah Sebatik , 'U\\\'O.'l- \\\'G\"\'G\'I.'\l'l-'?;\"\ '1)'<1.\'<1.<; reIsama \au\ ter'\toTla\ antara Malaysia dan Indonesia. t"ldak sama dengan yang umum berlaku, yang mana memakai garis sam a jarak terhadap garis pangkal bersebelahan dari kedua pihak.
4.
Kepurusan Mahkamah Imernasional hanya dapat ditafsirkan bahwa
'allocation line ' 4° 10' LU, atau garis pemisah wilayah teritorial iru.
ianllari - Marel 2003
Plllall-Pulau Terillar dal! Balas Wilayah Nasional
151
tidak sampai mencapai wilayah Sipadan dan Ligitan. Tidak ada keputusan tentang batas-batas maritim. 5.
penafsiran yang absah dari ' 1891 COflvefllioll' itu , ketika waktu di luar laut teritorial belum dikapling menjadi ZEE, ialah bahwa gar is pemisah 4" 10' LU. paling tidak juga berlaku umuk batas bersama laut teritorial. Baca juga Pernyataan Pers Menlu RI tertanggal 17 Desember 2002. Dengan berlakunya lebar laut teritorial ialah 12 mil laut dari garis pamai air terendah, maka 'sovereignly allocalioll lil/e' harus ditarik sampai 12 mil laut dari garis pantai air terendah (titik pangkal khusus) . Disini nyata bahwa peranan titik pangkal tidak sama dengan yang umum berlaku bagi penetapan batas bersama laut teritorial.
6.
Dengan negara-negara pamai. dalam mana juga termasuk 'archipelagic .\'IaleS '. diberi hak jurisdiksi atas ZEE sampai maksimal sejauh 200 mil laut dari garis pangkal, maka konsisten dengan prinsip dasar yang dipakai diatas, maka 'sovereigmy allocation line' 4" 10' . LU itu hams juga dipakai untuk menjadi garis pemisah jurisdiksi ZEE antara Malaysia dan Indonesia. Khusus untuk ZEE sebagai 'jurisdiction allocation line' itu dapat ditarik pada perpanjangan garis alokasi diluar 12 mil laut itu sampai satu titik median , hasil konstruksi berdasarkan prinsip sama jarak dari 'titik pangkal khusus' di pulau Sebatik. yaitu perpotongan garis alokasi 4" \0' LU dengan garis pamai terendah. dan dari satu titik pangkal teritorial Malaysia.
Pennasalahall 7.
Dapat uiantisipasi bahwa Malaysia akan mempersoalkan penggunaan 'sovereigllty alld jurisdictioll al/oCfltioll lill e' 4" 10' LU oleh Indonesia. dan akan mencoba menerapkan garis pangkal antara "titik pallgkal ldlUSUS ' di pulau Sebatik dengan titik pa ngkal di pulau Sipadall. kell1udian menggunakan equidistal/t principle terhadap garisgaris pangkal bagi penetapan batas bersama wilayah laut territorial dan ZEE / LK. (LK=landas ko mine n). sebagaimana pernah diupayakan sebelumnya di tahun tujuhpuluhan.
8.
Perundingan sebenarnya . dengan kemungkinan sengketa berlarut-larut. hal penarikan batas-batas maritime d i wil.a ya h laut Kalimantan Timur
Nomor l Tahlln XXXI/I
HlIkum dan Pembangullall
152
dan Laut Sulawesi, pasea keputusan Mahkamah Inrernasional tentang kedaulatan atas pulau-pulau Sipadan dan Ligitan, barn akan dimulai. Keputusan Mahkamah Internasional ialah tentang kedaulatan atas pulau-pulau Sipadan dan Ligitan dan bukan tentang batas-batas maritim . 9. Persengketaan terutama akan menyangkut penggunaan (I) 'sovereignty alld jurisdiction allocatioll line' 4" 10' LU versus (2) penggunaan titik-titik pangkal dan garis-garis pangkal serta ' equidistallce prillciple '.
10. Sudah dapat dianrisipasi bahwa penetapan batas maritime berdasarkan dasar hukum atau konsep yang berbeda seperti dikemukakan dalam butir 8 dapat menimbulkan sengketa dan berlarut-Iarut. Sam bentuk kesempatan perlu segera dieapai antara kedua negara, agar eksplorasi dan eksploitasi landas kontinen dan ZEE di wilayah itu dapat segera dilaksanakan dengan kepastian hukum yang mantap . II. Khusus untuk batas bersama ZEE / LK di laut Sulawesi ada satu 'lrijllllClioll point' batas-batas bersama RI, Malaysia dan Filipina. Diperlukan kemauan politik bersama ketiga negara untuk dapat menuntaskan delimitasi batas-batas maritim di laut Sulawesi seeepat mungkin . 12. Semua instansi terkait, termasuk Bakosurtanal , kiranya wajib mulai membuat "exercise" delimitasi batas-batas laut. dan unruk itulah linjauan dan kesimpulan lerkait ini dibuat dan dikomunikasikan.
LAMPIRAN
Kasus Sipadan-Ligitan:
Catatan pertimbangan tinjauan Bakorsurtanai
Adalah Indonesia dan Malaysia yang relah meminta Mahkamah Internasional untuk memutuskan hal kedaularan alas kedua pulau iru. setelah 27 rahun tidak dapat meneapai kesepakatan. Yang hakiki ialah isi dari 'Special Agreement of 31 May 1997 . Pendapat Judge Oda berikut kiranya memberi gambaran yang ringkas dan lengkap.
Janllari - Marel 2003
PlIlall-PlIlal/ Terillar dan BatQS Wilayah Nasiollal
153
The preselll case is a rather "weak" one in that neither Party has made a strOllg ShOIl'illg in support of its claim to title to the islands on allY basis. While Malaysia has flU/de a more persuasive case on the basis of "effectivites ", its arguments are still not very strong in absolute terms. The Court, however, has been requested to choose between the two Parties ilt. adjudging "whether sovereignty over [the two islands} belongs to. . Indonesia or £0 Malaysia" (Special Agreement of 31 May 1997, Art. 2) and, given that choice, the Court has come to a reasonable decision. (Judge Oda). Menurut ICJ jadinya kedaulatan atas kedua pulau itu tidak dil11iliki oleh pihak-pihak yang bersengketa. Kedaulatan atas kedua pulau itu baru ditetapkan oleh leJ tanggal 17 Desel11ber 2002. dan ini atas permintaan kedua pihak yang bersengketa. yang akan mematuhi keputusan ICJ. Setiap penilaian atas kasus Sipadan-Ligitan harus diawali penilaian terhadap kebijakan yang diambil dan dituangkan dalam 'Special Agreement May 31, 1997'. Setelah ditandatangani 'special agreement' itu, masalah selanjutnya adalah penghimpunan bukti-bukti yang memadai bagi keperluan pengambilan keputusan oleh Mahkamah Internasional , yang kiranya oleh Pemerintah telah secara 'exhaustive ' diupayakan selama 33 tahun. Sebagai bangsa yang terhormat. yang menghorl11ati pula hukum internasional. kita menghormati keputusan Mahkamah Internasional. sesuai juga dengan pernyataan dalam 'Special Agreement of 31 May
1997'. Konsep 'effectiviles ' yang telah lebih l11el11beri keuntungan pada Malaysia tidak dapat diterapkan atas pulau yang sudah punya 'title '. karena 5ama dengan okupasi liar, dan tidak dapat ada lembaga hukul11 yang dapat menghilangkan 'title' hanya karena 'effecrivites' pihak lain. paling tidak ini dalal11 kaitan kedaulatan oleh suatu negara. Dalalll hukulll tanah Illemang ini dilllungkinkan. bila peraturan perundang-undangan telah mengaturnya. yaitu kehilangan hak milik karena konsep kedaluwarsa. Jadi pulau pulau terluar yang jelas 'title' (kedaulatan atasnya) ada pada Indonesia tidak perlu dial11ankan dengan menciptakan 'effectivites' (menghuni dan mengelolanya), kecuali akan l11enguntungkan dari segi ekonomi dibanding dijadikan kawasan lindung bagi pengelllbangbiakan sUlllberdaya hayati. Yang terpenting adalah delimitasi batas-batas maritime dan mengumumkannya hasilnya pada dunia Internasional. Bila delimitasi
Nomor 1 Tahun XXXlll
154
Hukum dan Pembangunan
dilakukan sepihak dan disengketakan pihak lain , karena memiliki dasar hukum yang kuat, itu lumrah. Pengumuman koordinat geografis titik-titik pangkal teritorial benar dapat mengamankan , paling tidak dengan klaim kedaulatan sepihak atas, pulau-pulau yang dijadikan titik pangkal atau yang berada dalam lebar laut teritorial 12 mil laut, bila tidak ada negara lain yang melakukan klaim kedaulatan yang sam a atasnya. Yang harus didaftar dan diamankan 'Iille '-nya, bukan pulau-pul au teriuar yang dirasakan belum ada 'effecliviles' atasnya namun jelas 'Iille 'nya. Jadi hanya pulau-pulau yang telah diketahui memang rawan sengketa. Kalau sengketa atas sam pulau sudah memang mengemuka atau diangkat sebelum ini , maka dengan melibatkan pakar-pakar harus diambil tindakan yang efektif. yang mana belum tentu dengan ca ra menciptakan 'ejfecriviles' saja. Jangan tanpa koordinasi oleh Pemerintah Pusat diambil inisiatif oleh lembaga Pemerintah atau Pemda tertentu, yang akan merupakan pemborosan di era keungan yang sulit. Kalau dianalisis posisi yang diambil pakar-pakar pihak Indonesia di Mahkamah Imernasional dalam kasus pulau-pulau Sipadan dan Ligitan, ialah bertahan terutama pad a klaim 'tille' berdasarkan 'territorial sovereignty allocation line', yang mana dapat dikaji dan dibandingkan dari 'written memorials ' . 'Written memorials ' ini sudah lama menjadi 'illlernaliollal public domain' , dan sudah lama dimuat di Website leJ. Komentar pihak-pihak tenentu sekarang sebaiknya didahulu i kajian dan pemberian komemer atas .special agreement' . de ngan berbagai latarbelakang penirnbangannya, sena pada 'wrillell memorials '. Para Pakar Hukum Lalit di Perguruan T inggi Pasif. sedangkan tahu ada kasus Sipadan-Ligitan. Walaupun Mahkamah Internasional sudah menjatuhkan kepulUsannya. pakar-pakar Hukum Laut di Perguruan Tinggi sebaga i 'exercise' tetap dapat membuat anal isis akademis , umuk pelajaran bagi masa depan. Selama 33 tabun para pakar Indonesia telah mengupayakan menghirnpun 'bulai yang memadai bagi Mahkamah Imernasional ' c1engan semangat nasionalisme . manajemen clan diplomasi yang tidak perlu diragukan . Integritas Mahkamah Internasional kita hormati dan tidak ragukan . Setiap perjuangan memiliki risiko dan setiap perjuangan dimasuki dengan 'calculated risk'. Upaya Pemerintah sejak tahun 1969 , malah c1apat dikatakan sejak tahun 1957 , dalam kerangka memperjuangkan Wawasan usamara. ialah memperoleh kedaulatan atas wilayah yang seluas-Iuasnya , termasuk jurisdiksi nasional atas wilayah ZEE yang seluas-Iuasnya, yang mengandung kekayaan sumberdaya alam yang
lanuari - Maret 2003
Pulau-Plllau Ter/uar dall Batas Wilayah Nasiollal
155
melil11pah. kiranya harus dihargai setiap Warga Negara. [ni merupakan satu posisi straregis diwaktu itu. Malah Pemerimah , sejak di tahun 1969, harus disalallkan, seandainya tidak l11elakukan upaya optimal merebut kedaulatan atas pulau-pulau dekat Indonesia. atas mana belulll ada 'title' yang jelas. untuk l11engklailll jurisdiksi atas wilayah laut yang adalah 'Ialld-based '. aninya kbar laut mengacu kepada garis pantai air terendah dari satu daratanlpulau. Kepala selllua pihak diserukan umuk mempelajari Pernyataan Pers Dr. N. Hassan Wirajuda (menlu RI) rertanggal 17 Desember 2002. dilllana tersirat satu langkah dan pos isi strategis bagi satu kelanjutan perjuangan ullluk rerap lllemperoleh wilayah laU[ yang optimal. sebagaimana juga menjadi dasar peJjuangan dalam hal kasus Sipadan-Ligitan. Tahap penentuan siapa memiliki kedau[atan atas pulau-pulau Sipadan dan Ligitan telah selesai. Yang dimasuki sekarang adalah " THE 2"" ROUND". yaitu delilllitasi batas laut teritorial dan ZEE di Kalimantan Timur dan Laut Sulawesi .
NOlllor I Ta/1I111 XXXlll