7
TINJAUAN PUSTAKA Menopause (Mati haid) Definisi dan Gejala Secara definisi, mati haid adalah suatu penghentian menstruasi yang permanen akibat hilangnya fungsi folikuler ovarium. Secara klinis, mati haid didiagnosa setelah 12 bulan berturut-turut terjadinya amenorrhoe (tidak terjadinya haid). Pada umumnya, wanita yang mengalami mati haid rata-rata umur 51 tahun (Greendale et al. 1999; Turgeon et al. 2004). Hanya satu persen wanita yang mengalaminya pada umur 40 tahun dan lima persen pada umur diatas 55 tahun (Johnson 1998). Keadaan mati haid dapat secara tidak alamiah yaitu melalui pembedahan pengangkatan ovarium misalnya pada kelainan kista atau tumor ovarium.
Wanita yang mengalami pengangkatan ovarium dapat mengalami
keluhan-keluhan seperti wanita yang mengalami mati haid secara alamiah. Sebelum seorang wanita memasuki masa mati haid, wanita tersebut akan mengalami masa perimenopause (masa sebelum keadaan mati haid) yaitu masa transisisi sebelum terjadinya mati haid dan biasanya sekitar 2-8 tahun sebelumnya. Pada masa transisi, konsentrasi FSH (Follicle Stimulating Hormone) mengalami peningkatan sampai diatas 40 IU/L pada beberapa siklus menstruasi kemudian turun kembali pada konsentrasi premenopause siklus berikutnya. Selain FSH, LH (Luteinizing hormone), gonadotrophin releasing hormone (GnRH) dan estrogen dapat meningkat konsentrasinya pada masa transisi (Greendale & Sowers 1997).
Rerata konsentrasi estradiol dalam serum pada
menstruasi siklus 28 hari adalah 80-100 pg/ml, pada masa transisi sekitar 35-50 pg/ml, dan pada masa pascamati haid antara 15-40 pg/ml (Gracia et al. 2005). Penurunan fungsi ovarium dapat mengganggu kesehatan dan menurunkan kualitas hidup wanita pada masa tersebut.
Siklus menstruasi menjadi tidak
teratur, timbul sensasi panas yang disertai keringat berlebihan (hot flashes), insomnia, inkontinensia urin, atrofi vagina, depresi, dan penurunan fungsi seksual (Lobo 1994). Gejala vasomotor terjadi pada 35-50% pada wanita perimenopause dan 30-80% pada wanita pascamati haid. Tetapi intensitas keluhan atau gejala yang dialami wanita mati haid dapat berbeda-beda antara wanita dari negara
8 berbeda. Hal ini diduga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti cara hidup, cara makan, dan sosiokulturnya. Contohnya keluhan hot flashes, dilaporkan oleh 80% wanita barat tetapi hanya 10-20% wanita Asia pada kelompok umur yang sama (Greendale et al. 1999). Wanita kelompok usia mati haid ini mempunyai konsekuensi peningkatkan resiko terhadap penyakit jantung koroner dan osteoporosis.
Kedua penyakit
tersebut meningkat sampai dua kali lipat pada wanita pascamati haid dibandingkan pada wanita perimenopause. Penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian yang cukup tinggi pada wanita golongan ini dan melampaui angka kematian pria pada kelompok umur yang sama (Bush et al. 1987; 1999; AHA 2000)
(Gambar 1).
Oleh karena itu diharapkan adanya suatu usaha
intervensi dalam bentuk pengobatan yang dapat menurunkan angka kematian tersebut. 4.500 PJK stroke Kanker Paru
Angka Mortalitas/ 100,000
4.000 3.500
Kanker Payudara Kanker Kolorektal Kanker Endometrium
3.000 2.500 2.000 1.500 1.000 500 0 40-44
45-49
50-54 55-59 60-64 65-69 70-74
75-79 80-84
85+
Umur (Tahun)
Gambar 1
Angka mortalitas wanita di Amerika Serikat akibat penyakit degeneratif (Miller 1997).
Estrogen dan Respon Kardiovaskuler Hasil penelitian dasar dan uji pre-klinis telah banyak menunjukkan bahwa estrogen berperan dalam proteksi jantung (Mendelson & Karas 1999; Wagner 2000; Mikkola & Clarkson 2002). Mekanisme estrogen memberi kardioproteksi cukup kompleks antara lain melalui mekanisme yang bergantung pada lipid darah maupun yang tidak melalui mekanisme lipid. Kemungkinan mekanisme lainnya
9 terhadap aktivitas antioksidan, koagulasi, fibrinolisis, inflamasi dan reaktivitas vaskuler. Mekanisme proteksi estrogen melalui lipid darah telah dibuktikan dalam suatu uji klinik yatiu Postmenopausal Estrogen/Progestin Intervention (PEPI 1995) terhadap sejumlah wanita pascamati haid.
Pada uji klinik tersebut
dibuktikan bahwa estrogen oral dapat mengurangi faktor resiko penyakit jantung koroner dengan menurunkan konsentrasi kolesterol melalui penurunan kolesterol LDL dan peningkatan kolesterol HDL.
Pada uji preklinik, temuan tersebut
dibuktikan kembali bahwa 25% efek kardioprotektif estrogen melalui mekanisme lipid termasuk meningkatkan kolesterol HDL dan menurunkan kolesterol LDL serta konsentrasi Lp(a). Sedangkan 75% efek protektif estrogen melalui efek sel endotel pembuluh darah, vasodilatasi, sensitivitas insulin, dan faktor koagulasi (Wagner 2000). Terapi estrogen dapat mengurangi perkembangan aterosklerosis pada monyet ekor panjang yang diovariektomi dan diberi pakan aterogenik karena ternyata aterosklerosis arteria koronaria berkurang hampir 50% oleh 17βestradiol baik tanpa atau dengan progestogen (Adams et al. 1990). Terapi estrogen juga mencegah terjadinya penyakit jantung koroner dengan memperbaiki vasodilatasi arteri yang mengalami aterosklerosis.
Hal ini
dibuktikan oleh Williams et al. (1990) pada monyet ekor panjang dengan kondisi aterosklerosis dilihat dari kemampuan dilatasi vaskuler terhadap asetilkolin, yaitu suatu vasodilator yang membutuhkan peran dari sel endotel pembuluh darah. Hewan yang mendapatkan estradiol mengalami vasodilatasi lebih besar dibandingkan kontrol.
Kemampuan dilatasi ini diperkirakan sebagian karena
meningkatnya NO dan sintetase NO (Guetta et al 1997). Pada cedera endotel pembuluh darah, endotel tersebut akan melepaskan faktor pertumbuhan dan kemoatraktan, sehingga memicu penempelan monosit pada sel endotel dan migrasinya ke intima.
Peristiwa ini juga menstimulasi
akumulasi lipid di intima kemudian sel otot polos bermigrasi dari tunika media pembuluh darah dan berproliferasi di miointima. Estrogen berpengaruh langsung terhadap pembuluh darah dengan meningkatkan vasodilatasi dan menghambat aterosklerosis (Mendelsohn & Karas 1999). Efek estrogen pada pembuluh darah ada dua macam yaitu efek yang bereaksi secara cepat melalui mekanisme
10 nongenomik dan secara lambat atau jangka panjang melalui genomik.
Efek
estrogen sebagai kardioprotektif dirangkum pada Gambar 2 dan Tabel 1 (Mendelsohn 2002). Sel Endotelial
Sel otot polos
Estrogen
Efek Cepat (non -genomik): vasodilatasi nitrik oksid
Efek jangka panjang (genomik): cedera vaskuler pertumbuhan sel endotelial pertumbuhan sel otot polos
Gambar 2 Efek langsung estrogen pada pembuluh darah (Modifikasi Mendelsohn & Karas 1999). Tabel 1 Efek direk dan indirek dari estrogen sebagai kardioprotektif Langsung Efek cepat, nongenomik: - peningkatan vasodilatasi arteri - peningkatan sintesis NO
Tidak langsung Efek pada lipoprotein serum: - penurunan konsentrasi LDL - peningkatan konsentrasi HDL - peningkatan konsentrasi TG Efek jangka panjang, genomik: Efek pada koagulasi dan fibrinolisis: - peningkatan enzim vasodilatasi Bervariasi tergantung jenis, dosis, dan - penurunan cedera vaskuler lama terapi estrogen. - peningkatan pertumbuhan sel endotel Efek antioksidan: - penurunan proliferasi sel otot polos - penurunan oksidasi LDL (Modifikasi dari Mendelsohn & Karas 1999; Wagner 2001-2002) Estrogen sistemik dapat diberikan secara oral ataupun non-oral seperti intradermal (patch), krim vagina, implan, atau suntikan intramuskular. Pemakaian estrogen non-oral pada umumnya bertujuan untuk menghindari metabolisme pertama di hati.
Hal ini sangat berguna bagi wanita dengan
gangguan fungsi hati. Kelemahan bentuk suntikan adalah konsentrasi di dalam darah ternyata sangat bervariasi. Sehingga pemberian implan estrogen seringkali menimbulkan kesulitan pada saat pelepasannya. Jenis-jenis estrogen yang sering digunakan sebagai terapi hormon untuk wanita pascamati haid serta dosisnya tercantum pada Tabel 2. Ukuran dosis tersebut tergantung dari jenis estrogen
11 yang diberikan dan pada umumnya berdasarkan dosis terendah untuk mendapatkan efek optimum pada terapi osteoporosis dengan resiko minimal untuk terjadinya kanker payudara maupun endometrium (Greendale et al. 1999; Mikkola & Clarkson 2002). Tabel 2 Beberapa jenis estrogen dan dosisnya Nama Generik (Nama Dagang) Estrogen ekuin terkonjugasi (Premarin) 17βestradiol valerat (Climaval) 17βestradiol patch (Estraderm) 17βestradiol implan (Riselle) 17βestradiol gel (Estrogel) Etinil estradiol (Modifikasi dari Greendale et al. 1999)
Dosis dan cara pakai 0,625 mg/hari, oral 2 mg/hari, oral 0,05 mg 4 kali/hari, topikal 25 mg/6 bulan, subkutan 1,0 mg/hari, topikal 5 µg/hari, oral
Peran Progestogen pada Endometrium Kekhawatiran pemberian estrogen eksogen untuk wanita yang masih mempunyai rahim yaitu dapat meningkatkan kecepatan mitosis kelenjar maupun stroma endometrium, suatu efek yang memicu pertumbuhan dan penebalan endometrium. Oleh karena itu, untuk mengurangi efek proliferasi endometrium akibat pemberian estrogen, maka perlu dikombinasi dengan progesteron. Mekanisme efek protektif progesteron terhadap hiperplasia endometrium yaitu dengan mengurangi reseptor seluler untuk estradiol. Selain itu progesteron dapat menginduksi enzim yang mengkonversi estradiol menjadi metabolit yang kurang kuat (estron sulfat), mengantagonis sintesis asam deoksiribonukleat, dan mengurangi multiplikasi sel (Taitel & Kafrissen 1995).
Dengan demikian
kelenjar endometrium menjadi atropi dan epitelnya tidak aktif. Hal ini dibuktikan oleh Moyer et al. (1993) yang melaporkan bahwa pemakaian progesteron sampai dengan lima tahun menekan mitosis pada kelenjar endometrium dan tidak ditemukan terbentuknya hiperlasia atau karsinoma endometrium. Efek progestogenik tergantung pada adanya grup keto pada C3 dan ikatan rangkap pada C4 dan C5 dari molekul steroid tersebut (Gambar 3). Ada dua bentuk progestogen, yaitu bentuk alami berasal dari organisme hidup dan bentuk derivat sintetik yang disebut progestin.
Bentuk alami yaitu progesteron
merupakan senyawa yang identik dengan senyawa yang disekresikan oleh ovarium manusia setelah ovulasi dan oleh plasenta selama kehamilan. Sedangkan
12 bentuk progestin diperoleh dari suatu prekursor tanaman, misal diosgenin yang berasal dari yam semacam umbi-umbian atau kacang kedelai. (Sitruk-Ware 2002; Wiegratz & Kuhl 2004). CH 3 C
O
CH 3 CH3
19 2 3 O
4
5
Gambar 3 Struktur progesteron dengan grup keto pada C3 (Sitruk-Ware 2002). Progestogen sangat bervariasi dilihat dari struktur kimianya, farmakokinetik dan potensinya. Progestin yang strukturnya mirip dengan progesteron terdapat dari dua derivat yaitu derivat pregnan dan 19-norpregnan (19-norprogesterone). Kedua derivat tersebut terdapat dalam bentuk berasetilasi atau tidak berasetilasi. Progestin yang bentuknya mirip dengan testosteron dapat mempunyai etinil atau tidak mempunyai etinil.
Noretindron asetat dibuat dari prekursor tanaman
diosgenin dan termasuk bentuk testosteron yang mempunyai etinil (Stanczyk 2003). Progestogen sendiri tidak berikatan dengan reseptor estrogen oleh karena itu tidak mempunyai efek estrogenik, akan tetapi pada noretindron dinyatakan memiliki efek estrogenik yang lemah yang disebabkan reaksi aromatisasi cepat di dalam hati yang menghasilkan metabolit EE. Jenis-jenis progestogen yang sering dipakai untuk kombinasi terapi estrogen progestogen dirangkum pada Tabel 3. Tabel 3
Progestogen dan dosis yang dipakai untuk terapi kombinasi dengan estrogen. Nama Generik (Nama Dagang) Dosis Progesterone (Prometrium) 100, 200 mg Progestin tablet: Medroksiprogesteron asetat (Provera) 2,5 mg; 5 mg; 10 mg Noretindron asetat (Aygestin) 0,35 mg Norgestrel (Ovrette) 0,075 mg (NAMS Position Statements, 2003)
13 Pemberian kombinasi hormon EE dan NETA pada studi acak tersamar membuktikan bahwa hasil biopsi endometrium selama dua tahun tidak menimbulkan hiperplasia endometrium. Selain itu, kombinasi EE dan NETA dapat menghilangkan gejala seperti hot flashes sampai 77 % dan memperbaiki profil lipid dengan menurunkan konsentrasi kolesterol LDL dan menaikan kolesterol HDL (Sperrof et al. 1996). Terapi Hormon Kombinasi Terapi sulih hormon atau terapi hormon merupakan usaha pengobatan untuk menghilangkan gejala-gejala yang dialami oleh kelompok wanita mati haid. Pengobatan ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1942 dengan obat Premarin, suatu pil estrogen, berasal dari urin kuda hamil dengan tujuan menghilangkan gejala-gejala mati haid. Dalam perkembangannya, pemakaian terapi hormon digunakan oleh praktisi kesehatan sebagai pengganti hormon yang hilang untuk mencegah osteoporosis. FDA pada tahun 1986 merekomendasikan bahwa terapi estrogen selain mengobati gejala mati haid juga untuk mencegah osteoporosis. Ternyata pada sebagian uji klinis dilaporkan bahwa terapi estrogen memberi manfaat baik untuk jantung sehingga dapat digunakan sebagai pencegahan terhadap penyakit jantung koroner. Hal ini dibuktikan bahwa terapi estrogen berhubungan erat dengan pengurangan mortalitas dan morbiditas sekitar 35-50% berdasarkan hasil penelitian pada perawat kesehatan di Harvard (BarretConnor & Grady 1998). Namun demikian karena jenis, dosis, dan cara pemberian hormon estrogen dan progestogen yang diteliti sangat bervariasi maka hasil uji-uji klinis memberikan hasil berbeda.
Faktor resiko dan umur dari populasi wanita
pascamati haid yang diteliti juga sangat mempengaruhi hasil penelitian. Suatu uji klinik prospektif yang menggunakan sejumlah besar responden berumur antara 50-79 tahun menunjukkan bahwa terapi hormon estrogen ternyata tidak mengurangi resiko terjadinya peristiwa jantung koroner. Hasil tersebut sangat mengejutkan karena bertolak belakang dari hasil uji preklinik pada hewan model monyet yang membuktikan efek pencegahan yang cukup dramatis dalam menurunkan faktor-faktor resiko penyakit jantung koroner
yang dapat
14 menghambat progresi aterosklerosis (Bush et al. 1987; Mikkola & Clarkson 2002). Pemakaian jenis progestogen dapat berpengaruh terhadap manfaat dari estrogen. Hal ini dibuktikan dalam uji klinik PEPI yang mengindikasikan bahwa penggunaan terapi hormon dapat memberi proteksi terhadap penyakit jantung. Ternyata pemberian mikronisasi progesteron dengan estrogen menghasilkan suatu profil lipoprotein yang lebih baik karena meningkatkan HDL dan menurunkan LDL dibandingkan dengan pemberian MPA. Dalam uji ini dilaporkan bahwa pada kelompok yang memperoleh estrogen tanpa progestogen mempunyai profil lipoprotein yang lebih baik tetapi mengalami hiperplasia endometrium yang sangat signifikan dibandingkan kelompok yang mendapatkan kombinasi estrogen dan progestogen (Writing Group of PEPI 1995). Demikian pula pada uji klinik HERS yang mengobservasi sejumlah wanita pascamati haid dengan riwayat penyakit jantung koroner, ternyata terapi hormon CEE dan MPA tidak mencegah terulangnya serangan penyakit jantung koroner dibandingkan dengan plasebo. Hal tersebut diperkuat dengan hasil uji klinik WHI yang melaporkan peningkatan penyakit jantung koroner, stroke, trombosis vena, dan kanker payudara pada wanita yang memperoleh CEE dan MPA dibandingkan pada kelompok yang hanya mendapatkan estrogen dan plasebo. Dengan demikian uji klinik ini dihentikan dua tahun lebih awal dari rencana karena efek merugikannya lebih besar daripada manfaatnya (WHI 2002). Penelitian yang dilakukan pada monyet ekor panjang juga membuktikan bahwa jenis progestogen yang dikombinasikan dengan estrogen memberi hasil yang berbeda. Efek negatif dari pemberian tersebut yaitu meningkatnya resiko kanker payudara seperti yang telah dilaporkan oleh Cline et al. (1996). Dari hasil penelitiannya, monyet ekor panjang yang mendapatkan CEE dan MPA menunjukkan peningkatan proliferasi epitelial kelenjar payudara sebagai penanda suatu kanker payudara. Demikian pula pada suatu uji klinis membuktikan bahwa wanita yang mendapatkan estrogen dan progestin mengalami peningkatan resiko kanker payudara (Santen et al. 2001). Wiegrats & Kuhl (2004) melaporkan bahwa pemberian NETA mengurangi resiko kanker payudara sampai dengan 50% dibandingkan derivat progesteron. Penelitian-penelitian lain yang melaporkan
15 bahwa jenis progestogen yang dikombinasikan
dengan estrogen dapat
mempengaruhi efek manfaat pada jantung antara lain kombinasi estrogen dan nomegestrol asetat (Wagner et al. 1998; William et al. 2002), estrogen dan NETA (Alexandersen et al. 1998; Suparto et al. 2003), dan estradiol dan progesteron (Mikkola & Clarkson 2002). Oleh karena itu pemilihan progestogen harus mempertimbangkan jenis, dosis dan cara pemberiannya (NAMS position statement 2003). Hasil-hasil yang tidak konsisten pada uji-uji klinik terkontrol seperti HERS, PEPI, dan WHI (Hulley et al. 1998; Herrington et al. 2000; WHI 2002) menimbulkan suatu kekhawatiran yang serius tentang keuntungan dan kerugian pemakaian terapi hormon untuk kelompok wanita pascamati haid. Protein Kedelai Kandungan dan Struktur Protein kedelai berasal dari kacang kedelai (Glycine max.) yang sejak beberapa abad yang lalu telah dikultivasi di Asia dan baru pada awal 1900 menjadi produk pertanian unggulan di AS. Protein kedelai diproduksi dari kacang kedelai mentah melalui beberapa tahapan proses yang menghilangkan lemak dan komponen yang tidak dapat dicerna sehingga menjadi protein yang terkonsentrasi. Protein kedelai mengandung seluruh asam amino esensial dalam jumlah yang cukup untuk menunjang kehidupan manusia oleh karena itu dapat sebagai sumber protein yang lengkap. Beberapa komponen dalam protein kedelai mempunyai manfaat hipokolesterolemik antara lain tripsin inhibitor, asam fitat, saponin, dan serat, akan tetapi yang paling menonjol adalah kandungan isoflavonnya (Eardman & Fordyce 1989). Komponen protein kedelai yang menarik perhatian para peneliti adalah isoflavon yang mempunyai struktur mirip estrogen sehingga disebut sebagai fitoestrogen. Secara definisi, fitoestrogen adalah suatu zat atau metabolit dari tumbuhan yang dapat menginduksi respon biologis melalui ikatannya dengan reseptor estrogen αdan β. Ikatan fitoestrogen dengan reseptor estrogen lebih lemah dibandingkan dengan estrogen endogen, akan tetapi berikatan dengan reseptor estrogen βhampir 80% dari afinitas 17βestradiol. Fitoestrogen dapat
16 dianggap sebagai selective estrogen receptor modulators (modulator reseptor estrogen selektif) alami karena agonis estrogen untuk sistem kardiovaskuler, tulang dan otak, sementara sebagai antagonis estrogen untuk kelenjar payudara dan uterus (Mäkelä & Gustafsson 2002). Fitoestrogen ini merupakan bagian dari matriks kompleks protein kedelai yang mengandung 1-3 mg isoflavon pada tiap gramnya. Kandungan isoflavon sangat bervariasi tergantung sumber dan pengolahannya sebagai pangan. Seperti contohnya kandungan isoflavon dalam tempe hanya 62 mg/100g sedangkan pada kecap hampir hilang kandungan isoflavonnya (Nagata et al. 1998). Isoflavon mempunyai cincin fenolik yang dibutuhkan untuk dapat berikatan dengan reseptor estrogen. Beberapa senyawa fenolik mempunyai kemampuan untuk memberi elektron H dari grup hidroksilnya untuk radikal bebas seperti contohnya pada genistein dan daidzein. Oleh karena itu isoflavon berperan sebagai antioksidan yang kuat sehingga dapat memproteksi tubuh dari kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas (Mitchell et al. 1998). Protein kedelai mengandung tiga senyawa isoflavon yaitu genistein, daidzein, dan glisitein yang strukturnya mirip dengan estrogen (17βestradiol). Struktur umumnya mempunyai dua cincin benzen (A dan B) dan berikatan dengan suatu cincin heterosiklik yang mengandung oksigen (C). Kemiripannya terletak pada cincin A dengan substitusi gugus hidroksil dan suatu gugus hidroksil kedua dalam ruang datar yang sama (Gambar 4) (Miksicek 1993; Anderson et al. 1999). OH
OH
A HO
O
B
Genistein
C
OH
O OH O
HO
Daidzein
HO
O OH O
Glycitein
17β -Estradiol
H 3CO
HO
Gambar 4
O
Struktur kimia isoflavon genistein, daidzein, glisitein dan 17β estradiol (Anderson et al. 1999).
17 Sebagian besar isoflavon dari kedelai dalam bentuk konjugat glukosa atau glikon disebut genistin, daidzin dan glisitin.
Saat diabsorbsi dalam usus,
dikonversi menjadi aglikon dengan bantuan flora usus sehingga menjadi genistein, daidzein dan glisitein. Selanjutnya, bentuk aglikon tersebut dimetabolisme lebih lanjut dalam hati menjadi ekuol. Isoflavon adalah molekul yang larut dalam lemak dibawa dari lambung ke jaringan dengan khilomikron. Sedangkan ekuol dapat dibawa dalam darah berikatan dengan protein serum. Ekuol dan isoflavon lainnya, disekresi oleh hati ke dalam empedu dan masuk dalam sirkulasi enterohepatik. Sirkulasi enterohepatik dapat berlangsung berulang kali sehingga mendapatkan konsentrasi yang stabil untuk dapat memberi efek pada jaringan yang memiliki reseptor estrogen. Akan tetapi, konsentrasi yang stabil ini sangat tergantung pada kontinuitas pemasukan atau konsumsi isoflavonnya (King & Bursill 1998). Efek pada Sistem Kardiovaskuler Protein
kedelai
dianggap
bermanfaat
untuk
pencegahan
penyakit
kardiovaskuler karena dapat mempengaruhi faktor-faktor resiko penyakit jantung koroner. Faktor-faktor yang dipengaruhi yaitu efek hipokolesterolemik, efek pada peroksidasi lipid, reaktivitas vaskuler, dan aterosklerosis. Peran protein kedelai untuk lipid plasma dibuktikan oleh Anderson et al. (1995), dalam suatu metaanalisis dari 38 uji klinik pada manusia. Studi ini membandingkan efek protein kedelai dengan plasebo yang menunjukkan protein kedelai dapat menurunkan kolesterol LDL plasma sebesar ~13%, untuk TG ~10%, dan ~2% kenaikan kolesterol HDL. Akan tetapi, efek kedelai terhadap kolesterol plasma bervariasi karena
efek
hipokolesterolemik
lebih
besar
pada
pasien
dengan
hiperkolesterolemik dibandingkan pada normokolesterol. Dalam suatu uji klinik pada wanita perimenopause dan pascamati haid, pengobatan selama lima minggu dengan 80 mg/hari ekstrak isoflavon kedelai terjadi perbaikan elastisitas pembuluh darah, akan tetapi tidak ada efek terhadap dilatasi vaskuler yang dimediasi oleh endotel dan terhadap konsentrasi kolesterol HDL maupun kolesterol LDL (Nestel et al. 1997).
18 Hasil studi meta-analisis oleh Zhan dan Ho (2005) dari 23 uji klinik sejak tahun 1995 sampai dengan 2002, mengkalkulasi perubahan konsentrasi lipid ternyata protein kedelai dengan isoflavon masih utuh menurunkan kolesterol darah sampai 3,77%, kolesterol LDL turun 5,25%, dan trigliserid turun 7,27% sedangkan kolesterol HDL meningkat sampai 3,03%.
Perubahan profil lipid
sangat dipengaruhi oleh konsentrasi awal kolesterol dan lamanya pemberian protein kedelai. Sebaliknya pemberian isoflavon saja tidak memberi efek yang bermakna terhadap penurunan kolesterol darah. Selain uji pada manusia, telah dilaporkan pula uji pada monyet ekor panjang yang membuktikan fitoestrogen isoflavon memberi manfaat terhadap faktor resiko penyakit kardiovaskuler.
Anthony et al. (1997) dan Clarkson et al. (2001)
meneliti pengaruh fitoestrogen kedelai terhadap profil lipid darah. Diet yang diberikan yaitu diet kasein dan laktalbumin sebagai sumber protein hewani, isolat protein kedelai (isoflavon utuh), dan isolat protein kedelai tanpa isoflavon selama 14 bulan.
Ternyata isolat protein kedelai yang mengandung isoflavon
menghasilkan konsentrasi kolesterol HDL tertinggi, menurunkan kolesterol plasma dan kolesterol LDL serta menghambat terbentuknya aterosklerosis. Pada hewan model lain yaitu kelinci, terjadi aterosklerosis yang cukup parah pada kelompok yang mendapatkan kasein sehingga mencapai derajat 3 di arkus aorta dibandingkan dengan yang mendapatkan protein kedelai (Huff et al. 1982) (Gambar 5). Hasil penelitian ini mendukung bahwa kedelai dapat mengurangi terjadinya aterosklerosis. Arkus Aorta
Aorta Thorasikus
D E R A J A T
Kasein
Gambar 5
Protein Kedelai
Kasein
Protein Kedelai
Derajat ateroskleroris pada aorta kelinci akibat protein kasein dan kedelai (Huff et al. 1982).
19 Bukti bahwa protein kedelai dapat bekerja sama dengan terapi hormon 17β estradiol telah dilaporkan oleh Wagner et al. (1997a). Ada suatu interaksi antara estradiol dan protein kedelai sehingga menghambat pembentukan kolesteril ester aorta dan peroksidasi lipid arteri dibandingkan dengan kasein laktalbumin pada monyet ekor panjang yang telah diovariektomi. Dalam penelitian ini, terbukti baik estrogen maupun isoflavon mempunyai aktivitas antioksidan yang berpengaruh terhadap aterogenesis. Williams et al. (2001) meneliti pula efek interaktif protein kedelai dengan estradiol mikronisasi (1 mg/hari) terhadap reaktivitas vaskuler dengan angiografi pada monyet ekor panjang yang diovariektomi dan diberi pakan aterogenik. Pembuluh darah dari kelompok yang mendapatkan protein kedelai tidak berespon terhadap asetilkolin, suatu vasodilator, tetapi kombinasinya dengan estradiol menunjukkan vasodilatasi yang signifikan dibandingkan pemberian estradiol saja. Untuk profil lipid plasma, pemberian protein kedelai secara bermakna memperbaiki konsentrasi lipid plasma. Maka disimpulkan dari kedua penelitian diatas, bahwa estradiol dan protein kedelai mempunyai efek interaktif terhadap reaktivitas vaskuler dan mereduksi kolesterol ester aorta. Kapiotis et al. (1997) mempelajari mekanisme kerja genistein secara in vitro pada oksidasi LDL dalam sel endotel pembuluh darah manusia dan sapi yang diukur dengan uji asam tiobarbiturat. berkurangnya pembentukan
Penambahan genistein mengakibatkan
asam tiobarbiturik (TBARS, thiobarbituric acid
reactive substance). Oksidasi LDL yang dimediasi oleh sel endotel dihambat oleh genistein sehingga memberi proteksi terhadap LDL.
Demikian juga dengan
daidzein mempunyai efek menghambat oksidasi LDL dengan kemampuan yang lebih rendah dibandingkan dengan genistein. Mekanisme menurunkan kolesterol oleh protein kedelai kemungkinan melalui keterlibatan reseptor LDL. Suatu penelitian yang menggunakan mencit tanpa reseptor LDL (LDL-receptor knockout) yang diberi kedelai tidak memberi efek penurunan lipid plasma dibandingkan dengan mencit yang mengandung reseptor LDL (Kirk et al. 1998). Hasil tersebut konsisten dengan pengamatan pada sel makrofag bahwa kedelai memicu mRNA reseptor LDL (Sirtori et al. 1998).
20 Efek pada Payudara dan Endometrium Protein kedelai dipercaya tidak menstimulasi proliferasi kelenjar payudara dan sel endometrium seperti halnya estrogen mamalia. Hasil studi epidemiologi menunjukkan bahwa kanker payudara tiga kali lebih rendah pada wanita Jepang yang mengkonsumsi kedelai dibandingkan wanita di AS yang sangat sedikit makan kedelai (Adlercreutz 1998). Bukti lain yang mendukung peran kedelai dalam mencegah kanker payudara berdasarkan hasil uji preklinik, dan uji klinik yang secara konsisten menemukan reduksi resiko kanker payudara dengan meningkatkan konsumsi kedelai (Clarkson 2001). Hubungan resiko kanker payudara dan konsumsi keledai sangat kuat pada wanita premenopause dibandingkan pada wanita pascamati haid. Hubungan ini menunjukkan efek protektif fitoestrogen kedelai melalui mekanisme efek antagonis estrogenik. Indikator untuk resiko kanker payudara adalah densitas jaringan payudara dan produksi carian payudara diluar masa laktasi. Banyak dugaan mekanisme efek protektif fitoestrogen sebagai antikanker melalui efek antiproliferatif,
menghambat tirosin kinase, menginduksi apoptosis, dan
antiangiogenesis. (Wagner 2001). Bukti-bukti yang lebih menyakinkan didapat dari uji preklinik in-vitro dan in-vivo pada hewan coba tikus maupun monyet ekor panjang.
Dosis tinggi
genistein (>10 µmol/l) mempunyai efek antiproliferatif terhadap sel kanker payudara MCF-7 yang menunjukkan bahwa efek tersebut tidak melalui reseptor estrogen, akan tetapi melalui penghambatan aktivitas tirosin kinase. Genistein merupakan penghambat topoimerase DNA dan juga bersifat antioksidan serta menginduksi apoptosis pada sel kanker payudara secara in-vitro. Penelitian pada tikus, oleh Barnes et al. (1994) dan Constantinou et al. (1996) menunjukkan bahwa isoflavon khususnya genistein mengurangi jumlah tumor kelenjar payudara dibandingkan dengan tikus yang tidak memperoleh isoflavon Efek antikanker dari isoflavon (ekivalen dosis wanita yaitu 129 mg/hari), estradiol dan kombinasinya diujikan pada hewan coba monyet ekor panjang yang diovariektomi.
Setelah enam bulan, dilakukan pengukuran morfometri dan
imunohistokimia pada endometrium dan kelenjar payudara.
Hasil penelitian
tersebut menemukan bahwa penambahan kedelai pada estradiol sangat
21 mengurangi efek proliferasi kelenjar payudara maupun endometrium yang disebabkan oleh estradiol (Gambar 6).
Hal ini berarti bahwa kedelai dapat
bermanfaat bagi wanita pascamati haid karena kedelai memiliki efek antagonistik pada proliferasi endometrium dan payudara bila dikombinasikan dengan estrogen eksogen (Foth & Cline 1998).
20 15
Ki-67 (%) 10 5 0
Gambar 6
Cont rol Kontrol
EE22
SPE E+ E2 2 KDL SPKDL+E
Persentase sel duktus kelenjar payudara dengan Ki-67 petanda proliferasi pada kelompok kontrol, estradiol (E2), kedelai (KDL) dan kombinasi KDL dengan E2 pada monyet ekor panjang yang diovariektomi (Foth & Cline 1998).
Wood et al. (2006) meneliti peran isoflavon dan estradiol antikanker payudara pada monyet ekor panjang yang diovariektomi.
sebagai Dosis
isoflavon yang digunakan yaitu 0, 60, 120, atau 240 mg/hari dan dikombinasikan dengan 17βestradiol dosis rendah (0,09 mg/hari) dan dosis tinggi (0,5 mg/hari) selama empat bulan. Ternyata kelompok yang mendapatkan isoflavon dengan dosis tertinggi menunjukkan proliferasi payudara terendah dalam suasana estrogen yang tinggi. Sebaliknya, pemberian isoflavon tidak menyebabkan efek agonis estrogen dan efek antagonis yang minimal bila dalam lingkungan estrogen yang rendah (estradiol dosis rendah).
Temuan ini menunjukkan bahwa isoflavon
mengantagonis efek estradiol terhadap proliferasi payudara sangat tergantung pada dosisnya. Suatu uji klinik oleh Goodman et al. (1997) melaporkan bahwa konsumsi kedelai dapat menurunkan resiko kanker endometrium sampai dengan 50%. Pada dua penelitian acak tersamar ganda yang memberikan isoflavon dosis 92 mg
22 isoflavon/hari (Balk et al. 2002) dan dosis 72 mg isoflavon/hari (Penotti et al. 2003) selama enam bulan pada wanita pascamati haid, ternyata hasilnya menunjukkan endometrium yang atrofik.
Uji klinik lainnya melihat efek
isoflavon kedelai dengan dosis 114 mg/hari terhadap epitel vagina dan endometrium pada wanita pascamati haid selama tiga bulan, ternyata tidak mempengaruhi epitel vagina maupun endometrium sehingga pemakaiannya dianggap aman (Nikander et al. 2005). Foth & Cline (1998) membuktikan pula bahwa estradiol meningkatkan proliferasi endometrium seperti yang sudah diprediksi dan penambahan fitoestrogen pada estradiol dapat mengurangi efek proliferasi yang dipicu oleh estradiol sehingga tidak berbeda dengan kontrol. Efek fitoestrogen yang dapat mengantagonis efek estrogen terhadap endometrium, menimbulkan pemikiran kemungkinannya fitoestrogen sebagai terapi kombinasi dengan estradiol. Kombinasi tersebut dapat memaksimalkan manfaatnya terhadap kardiovaskuler dan dapat memproteksi tulang dengan meminimalkan efek negatif pada payudara dan uterus. Akan tetapi, pemberian isoflavon dalam jangka waktu yang lama perlu dipertimbangkan seusai dengan hasil penelitian oleh Unfer et al. 2004. Mereka melaporkan bahwa tablet isoflavon dengan dosis 150 mg/hari selama lima tahun pada wanita pascamati haid ternyata 3,37% mengalami hiperplasia endometrium dibandingkan plasebo. Penyakit Jantung Koroner Fisiologi Kerja Jantung Jantung merupakan organ dalam tubuh yang mempunyai fungsi sebagai pompa darah untuk mengalirkan nutrien dan oksigen ke seluruh tubuh. Jantung mempunyai empat bilik atau ruang yaitu atrium dan ventrikel masing-masing sisi kanan dan kiri (Gambar 7). Atrium untuk mengumpulkan darah dari sistem sirkulasi perifer dan kembali ke jantung. Ventrikel untuk memompa darah keluar dari jantung untuk ke seluruh tubuh.
23 Aorta
Vena kava superior
Arteri pulmonari kiri
Arteria kiri Atrium koronaria kiri Arteria koronaria kanan
Arteria koronaria kiri desendens
Atrium kanan
Vena kava inferior
Ventrikel kiri
Ventrikel kanan
Gambar 7 Jantung dari bagian anterior, dengan pembuluh darah utamanya. (MedlinePlus 2004). Ada dua arteria koronaria yang utama yaitu kiri dan kanan, yang keluar dari sinus koronaria diatas katup aorta, tempat bermuaranya arteria koronaria disebut sinus valsalva. Arteria koronaria kiri memanjang sekitar 3,5 cm menjadi arteria anterior kiri desendens dan cabang sirkumfleks. Arteria kiri desendens mengikuti celah diantara kedua ventrikel yang memberi sirkulasi darah untuk ventrikel kiri dan bagian anterior dari septum interventrikular serta otot papiler anterior dari ventrikel kiri. Arteria koronaria kanan berada dalam celah atrioventrkular dan mengalirkan darah ke ventrikel kanan. Selanjutnya, arteria tersebut ke arah posterior untuk memberi sirkulasi darah pada bagian posterior jantung. Nodus sinoatrial dialiri darah dari arteria koronaria kanan (Gambar 7). Cabang-cabang utama dari arteria koronaria tidak berhubungan akan tetapi terdapat anastomotik yang saling menghubungkan dengan arteri kecil (Matfin & Porth 2005). Bila pada salah satu arteria koronaria tersebut mengalami oklusi oleh suatu sebab patologis seperti aterosklerosis, maka pembuluh darah kolateral akan membesar untuk mengatasi sumbatan tersebut.
Keadaan tersebut tidak
menimbulkan gejala karena tubuh mengatasi obstruksi tersebut dengan pembentukan pembuluh darah kolateral. Oleh karena itu, biasanya pada tahap awal penyakit jantung koroner tidak memberi gejala dan baru menunjukkan suatu gejala berupa rasa nyeri dada bila kelainan sudah lanjut. Hal ini disebabkan oleh gangguan keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen pada miokardium distal dari daerah lesi (Porth 2005).
24 Sistem hemodinamika adalah sistem yang berperan dalam prinsip-prinsip fisika aliran darah dalam pembuluh darah dan jantung. Suatu kekuatan yang dihasilkan oleh jantung untuk menggerakan darah melalui sistem kardiovaskuler. Jantung mendorong darah ke dalam aorta kemudian melebarkan dan menimbulkan tekanan di dalam aorta.
Tekanan yang dihasilkan selanjutnya
mendorong darah melalui pembuluh darah ke seluruh tubuh dan kemudian kembali ke jantung. Parameter untuk sistem hemodinamika ini antara lain curah jantung (Cardiac output), volume sekuncup (stroke volume), dan frekuensi denyut jantung (heart rate). Akibat kontraksi miokardium yang berirama dan sinkron maka darah dipompa masuk ke dalam sirkulasi pulmonar dan sistemik. Curah jantung adalah hasil pengukuran volume sekuncup dan frekuensi jantung dengan unit liter per menit (L/menit). Maka curah jantung adalah volume darah yang dipompa oleh tiap ventrikel per menit. Curah jantung dapat bervariasi tergantung kebutuhan jaringan perifer untuk oksigen dan nutrisi. Jumlah darah yang dipompa oleh tiap ventrikel per menit pada orang dalam keadaan istirahat kurang lebih lima L/menit atau 0,1 L/menit/kg sebagai nilai normalnya.
Volume sekuncup atau curah
sekuncup adalah volume darah yang dikeluarkan oleh ventrikel setiap detiknya (Guyton 1994; Price & Wilson 1995; Porth 2005). Volume sekuncup dan frekuensi jantung merupakan faktor penentu curah jantung yang dapat dipertahankan dengan stabil bila ada perubahan dengan menyesuaikan parameter lainnya. Bila frekuensi jantung menurun maka ventrikel akan meningkatkan waktu pengisian agar volumenya lebih besar dan darah yang dikeluarkan per denyut menjadi lebih banyak pula. Akan tetapi, bila volume sekuncup menurun, maka curah jantung dapat stabil dengan meningkatkan frekuensi jantung. Kemampuan untuk perubahan dan stabilisasi curah jantung tergantung pada pengaturan frekuensi jantung dan volume sekuncup (Guyton 1994). Pengaturan frekuensi jantung dilakukan dengan pengaturan ekstrinsik sistem syaraf otonom yaitu syaraf parasimpatis dan simpatis yang mempersyarafi nodus sino atrium dan atrio ventrikular dengan mempengaruhi kecepatan dan frekuensi konduksi impuls. Stimulasi parasimpatis akan mengurangi frekuensi denyut
25 jantung, sedangkan simpatis mempercepat denyut jantung. Kecepatan frekuensi jantung yang normal terutama diatur oleh syaraf parasimpatis pada 80 dpm (denyut per menit) (Carleton 1995). Untuk curah sekuncup tergantung pada tiga hal yaitu beban awal (preload), kedua yaitu kontraktilitas dan ketiga adalah beban akhir (after load). Hukum Starling menyatakan bahwa peregangan/pemanjangan serabut miokardium selama diastol dengan meningkatan volume akhir diastolik akan meningkatkan kekuatan kontraksi pada saat sistolik.
Alir balik yang meningkat akan meningkatkan
peregangan sarkomer sehingga jumlah interaksi aktin miosin meningkatkan jumlah miofilamen yang saling tumpang tindih untuk meningkatkan kontraksi. Kontraktilias tergantung pada perubahan dalam kekuatan kontraksi yang timbul terhadap perubahan panjang serabut miokardium.
Pertambahan kontraktilitas
merupakan hasil intensifikasi dari interaksi pada jembatan penghubung aktin miosin dalam sarkomer. Intensitas interaksi ini berhubungan dengan kadar ionion kalsium yang bebas. Pemberian kalsium atau katekolamin akan memperkuat kontraktilitas (Guyton 1994; Price & Wilson 1995). Oleh karena itu variabel atau parameter seperti frekuensi denyut jantung, daya kontraksi, massa otot dan tegangan dinding ventrikel sangat penting untuk menentukan besarnya kebutuhan oksigen miokardium. Suatu kebutuhan oksigen pada miokardium yang meningkat, maka aliran pembuluh koroner harus ditingkatkan dengan mendilatasi arteria koronaria.
Akan tetapi bila pada
pembuluh darah tersebut terjadi stenosis maka dilatasi tidak terjadi sehingga terjadi kekurangan oksigen. Maka keadaan kekurangan oksigen tersebut disebut iskemia yang dapat bersifat sementara, akan tetapi bila berlangsung lama terjadilah kematian sel (necrosis) yang disebut infark. Bagian jantung yang paling sering mengalami keadaan iskemia dan infark adalah ventrikel kiri karena kebutuhannya akan oksigen lebih besar dengan adanya resistensi sitemik terhadap ejeksi serta massa otot yang besar (Price & Wilson 1995; Porth 2005). Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner Penyakit jantung koroner
disebut juga penyakit jantung iskemik yaitu
penyakit yang diakibatkan adanya ketidak seimbangan antara persediaan dan kebutuhan darah yang mengandung oksigen untuk jantung.
Kejadian kasus
26 jantung iskemik umumnya sekitar 90% disebabkan oleh berkurangnya aliran darah koroner karena obstruksi aterosklerosis dari arteria koronaria sehingga menjadi penyebab hipoksia atau anoksia dari miokardium. Keadaan obstruksi koronaria dapat menimbulkan angina pektoris dan infark miokardium (Cotran et al. 1989). Proses patologis kejadian diatas dikenal dengan aterosklerosis yaitu suatu pengerasan arteri yang dikarakterisasi oleh deposisi lipid pada lapisan intima pembuluh darah besar dan sedang. Sejak masa kanak-kanak, proses aterosklerosis sudah dimulai dengan pembentukan fatty streak (garis-garis lemak) dan dengan bertambahnya usia akan berkembang menjadi plak fibrous yang pada akhirnya menyebabkan oklusi trombotik. Aterosklerosis disebabkan oleh banyak faktor yang saling berkaitan antara lain dislipidemia, disfungsi endotel, faktor inflamasi dan kerusakan akibat oksidasi. Adanya penyempitan lumen dan menurunnya kemampuan
untuk
vasodilatasi
mengakibatkan
terjadinya
gangguan
keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen sehingga membahayakan miokardium distal dari daerah lesi yang kemudian mengalami infark (Plutzky 2003). Infark miokardium yang paling umum terjadi adalah infark transmural ditandai oleh nekrosis iskemik yang melibatkan hampir seluruh ketebalan dari dinding ventrikel dan biasanya disebabkan oleh aterosklerosis koronaria berat dengan terdapatnya trombosis. Kejadian infark miokardium akut sekitar 90% disebabkan oleh oklusi trombus intrakoronaria pada ateroma stenotik. Agregasi dan aktivasi platelet serta konstriksi pembuluh darah berkontribuksi terhadap kejadian akut tersebut. Suatu peningkatan kebutuhan yaitu pada takikardia dan kekacauan ketidakteraturan hemodinamika seperti turunnya tekanan darah dapat memperburuk keadaan. Akan tetapi suatu oklusi pada arteria koronaria yang mengalami aterosklerotik tidak selalu menginduksi infark karena adanya sirkulasi kolateral yang dapat dapat meluas untuk memberi perfusi (Cotran et al. 1989). Perkembangan suatu infark miokardium adalah suatu proses dinamik. Sel miokardium yang mengalami iskemia tidak langsung nekrosis akan tetapi; kecepatan kematian sel sangat tergantung pada tingkat iskemia yang diakibatkan oleh ada atau tidak adanya aliran kolateral. Lamanya oklusi arteria koronaria
27 selama 20-40 menit dapat menimbulkan suatu cedera sel yang tidak dapat pulih biasanya diawali pada daerah subendokardial dan progresif pada ketebalan dinding ventrikular kiri.
Bagian subendokardium merupakan daerah paling
minimal menerima perfusi darah karena pada saat sistol, mikrosirkulasinya paling tertekan oleh kekuatan dari lapisan luar miokardium. Jaringan kolateral paling banyak terbentuk pada subepikardial dan paling sedikit pada subendokardial (Cotran et al. 1985; Carleton & Boldt 1995). Suatu stenosis aterosklerosis dari masing-masing cabang utama arteria koronaria berhubungan dengan lesi miokardium.
Stenosis arteria koronaria
anterior kiri desendens mempengaruhi daerah dinding anterior dari ventrikel kiri dekat apeks dan dua per tiga anterior septum interventrikular. Untuk arteria koronaria kanan biasanya infark terjadi pada dinding posterior dari ventrikel kiri dan posterior dari satu pertiga septum interventricular.
Sedangkan arteria
koronaria kiri sirkumfleks menimbulkan infark pada ventrikel kiri dinding lateral. Akibat dari stenosis arteria koronaria tersebut terjadi suatu iskemia miokaridum yang dapat menjadi berbagai kelainan tergantung dari intervensi pengobatan sehingga cedera dapat reversibel dan ireversibel yang mempengaruhi kelainan miokardium (Gambar 8). Luas infark juga tergantung pada: 1) luas, keparahan dan lamanya iskemia; 2) luasnya aliran kolateral, dan 3) kebutuhan metabolik dari miokardium yang beresiko (Cotran et al. 1989) Ateromatous stenosis koronaria Perfusi yang menurun
Akumulasi metabolit – Hipoksia - Formasi radikal bebas Cedera yang reversible
Trombosis
Agregasi platelet
Vasospasme
Kebutuhan yang meningkat
Reperfusi
Cedera irreversible
Reperfusi
Tidak ada reperfusi
Penyembuhan
Infark
Perdarahan intralesi
Nekrosis segmen kontraksi
Gambar 8 Kemungkinan terjadinya berbagai keadaan pada stenosis koronaria (Modifikasi dari Cotran et al. 1985).
28 Patofisiologi Cedera Iskemia dan Reperfusi Miokardium Cedera I/R pada miokardium dapat terjadi akibat pemulihan aliran darah setelah suatu oklusi koronaria. Hal ini diakibatkan tindakan seperti trombolisis, angioplasti dan operasi bypass koroner yang merupakan usaha untuk memberi aliran darah dan meminimalkan kerusakan jantung. Pada Cedera I/R beberapa kejadian dapat terjadi secara bersamaan atau tersendiri. Kejadian tersebut adalah aritmia reperfusi, kerusakan mikrovaskular, disfungsi mekanis miokardium yang reversibel, dan kematian sel (Dhalla et al. 2000). Miokardium dapat mentoleransi keadaan iskemia yang berat maupun total hanya dalam waktu singkat sampai dengan sekitar 15 menit tanpa menyebabkan hasil akhir berupa kematian kardiomiosit (Verma et al. 2002; Yellon & Baxter 2000). Walaupun kardiomiosit mengalami
kerusakan
iskemia,
kerusakannya
masih
reversibel
bila
penanggulangan reperfusi arteri tepat waktu. Pada iskemia lanjut, maka akan timbul kerusakan kardiomiosit berupa cedera reperfusi yang menimbulkan kerusakan permanen. Fenomena paradoksikal ini disebut dengan cedera reperfusi (reperfusion injury) yaitu suatu kerusakan yang terjadi akibat restorasi dari sirkulasi ke daerah iskemik (Carden & Granger 2000; Verma et al. 2002; Yellon & Baxter 2000). . Mekanisme seluler yang terlibat dalam patogenesis cedera I/R miokardium sangat kompleks dan melibatkan interaksi dari beberapa jenis sel termasuk sel endotel arteria koronaria, sel darah yang bersirkulasi (lekosit, trombosit) dan kardiomiosit yang sebagian besar dapat menghasilkan reactive oxygen species (ROS). ROS ini berpotensi untuk mencederai sel pembuluh darah dan kardiomiosit secara langsung serta menginisiasi reaksi-reaksi kimia sehingga mengamplifikasi disfungsi kardiomiosit (Gambar 9).
Komponen utama dari
amplifikasi kaskade yang menjadikan kerusakan jaringan adalah produksi faktor faktor yang mempromosi akumulasi dan aktivasi sel inflamasi (Lefer & Granger 2000). Iskemia miokardium berhubungan dengan inflamasi, disfungsi jantung, dan aritmia. Sel miokardium akan mengalami cedera yang menetap apabila tidak dapat memproduksi enersi untuk dapat mempertahankan keutuhan sel. Keadaan ini disertai terjadinya akumulasi netrofil dan makrofag yang sangat berperan dalam peristiwa inflamasi.
29 I/R Miokardium
Cedera langsung
Zat Oksigen Reaktif
Sitokin
NF-kB
Molekul adhesi sel endotel
Interaksi sel endotel/lekosit
Cedera sel miokardium
Gambar 9
Mekansime cedera iskemia reperfusi miokardium (Modifikasi Lefer & Granger 2000).
Reperfusi pada miokardium yang mengalami iskemia harus dilakukan untuk mencegah nekrosis jaringan akibat meningkatnya ROS. ROS adalah molekul dengan elektron tak berpasangan pada orbital terluarnya. Sebagai konsekuensinya, molekul tersebut menjadi tidak stabil dan sangat reaktif sehingga cenderung untuk memulai reaksi berantai yang menghasilkan perubahan kimia dalam lipid atau protein (Carden & Granger 2000). Reaksi yang potensial ini dapat menyebabkan disfungsi seluler sampai dengan sitotoksisitas. Diperkirakan bahwa 5% dari oksigen yang digunakan oleh jaringan normal ditransformasi menjadi ROS. ROS yang terbentuk dalam keadaan normal secara efisien didetoksifikasi oleh sistem enzim endogen scavenger radikal bebas seperti superoksida dismutase, glutation peroksidase, dan katalase (Werns & Lucchesi 1989). Telah banyak usaha dilakukan untuk memahami mekanisme dari cedera reperfusi yang pada akhirnya bertujuan untuk mengurangi luas infark miokardium. Cedera I/R menimbulkan reaksi inflamasi lokal antara lain peran interaksi endotel-netrofil, pembentukan pembuluh darah kolateral (angiogenesis), stres oksidatif, dan ekstravasasi protein maupun cairan diajukan sebagai dasar teori patogenesis cedera iskemia reperfusi. Pembentukan oksigen reaktif yang
30 berlebihan dan kaskade selanjutnya akan mempengaruhi derajat cedera miokardium. Pada jaringan yang mengalami cedera I/R, terjadi pelepasan oksigen radikal toksik yang memperparah kerusakan jaringan. Radikal bebas yang diproduksi oleh netrofil terdeteksi pada konsentrasi tinggi dalam jaringan yang direperfusi dalam hitungan menit. Produksi radikal bebas terus terbentuk dengan kecepatan yang lebih rendah untuk beberapa jam setelah darah kembali ke jaringan (Jordan et al. 1999; Yellon & Baxter 2000; Baxter 2002; Verma et al. 2002; Vinten-Johansen 2004). Interaksi Endotel-Netrofil pada Cedera I/R Sel endotel pada permukaan dalam pembuluh darah sangat penting keadaan fungsionalnya. Sel ini sangat rentan terhadap keadaan hipoksia (iskemia) dan reoksigenisasi (reperfusi).
Dalam percobaan untuk cedera akut miokardium
akibat iskemia mengindikasikan respon inflamasi berkontribusi pada kerusakan jaringan (Entman & Smith 1994; Frangogiannis et al. 2002).
Oklusi arteria
koronaria mengurangi aliran darah ke bagian miokardium sehingga secara signifikan merusak metabolisme energi. Keadaan hipoksia mempengaruhi potensial membran, distribusi ion-ion, meningkatkan volume intraseluler, dan merusak susunan sitoskleletal sel endotel. Perubahan ini juga menurunkan produksi NO dan meningkatkan produksi endotelin dan tromboxan A2 serta menginduksi sintesis molekul adhesi dan sitokin. Keadaan ini dapat menjadi lebih memburuk dengan adanya reoksigenasi (reperfusi).
Reperfusi menstimulasi suatu peristiwa inflamasi yang beruntun
berupa infiltrasi dan akumulasi netrofil (Verma et al. 2002; Frangogiannis et al. 2002).
Selanjutnya terjadi aktivasi komponen-komponen sistem komplemen
dengan interaksi endotel-netrofil pada saat iskemia dan reperfusi seperti faktorfaktor adhesi yaitu P-selectin, E-selectin, ICAM-1 dan PEVAM-1 (Jordan et al. 1999; Vinten-Johansen 2004). Pada suatu uji preklinik, hewan coba anjing diberi terapi untuk mengurangi jumlah netrofilnya, ternyata luas infark pada anjing yang netropenik mengalami luas infark sampai 27% dibandingkan dengan kontrol mencapai 47%. Untuk melihat aktivitas netrofil dalam jaringan infark dengan cara mengukur aktivitas
31 mieloperoksidasenya (MPO).
Netrofil melepas protease kemudian melepas
mediator yang dapat meningkatkan rekruitmen sel (Engler et al. 1986). Faktor resiko terjadinya cedera I/R dipengaruhi oleh hiperkolesterolemia. Keadaan ini memperparah disfungsi yang dihasilkan oleh I/R pada seluruh pembuluh darah.
Kemampuan relaksasi arteriol sangat tergantung pada sel
endotelnya yang mengalami kerusakan akibat hiperkolesterolemik ringan. Keadaan ini dapat diperbaiki dengan pemberian superoksida dismutase. Hal ini membuktikan bahwa produksi superoksida yang dipercepat oleh sel endotel dapat mengakibatkan inaktivasi NO sel endotel (Carden & Granger 2000). Mieloperoksidase Lekosit polimorfonuklear atau disebut juga netrofil merupakan sel yang pertama kali teraktivasi untuk pertahanan tubuh terhadap infeksi.
Dalam sel
netrofil terdapat empat jenis granul yang mengandung protein-protein maupun enzim-enzim yang berbeda. Granul azurofilik mengandung protein hemoprotein yang dilepaskan setelah dipicu oleh suatu peningkatan kalsium intraseluler sekitar 0,7 uM. MPO diperoleh dari monosit tetapi hanya sepertiga dari total MPO yang ditemukan dalam netrofil.
MPO merupakan keluarga peroksidase mamalian
homologus termasuk peroksidase eosinofil dan peroksidase tiroid. umumnya, suatu aktivasi fagosit
Pada
dan sekresi MPO disertai dengan lonjakan
•-
oksidatif yaitu superoksida O 2 dan produk dismutasi, hidrogen peroksida (H2O2) yang dibentuk oleh kompleks NADPH oxidase.
Selanjutnya mengkatalis
pembentukan asam hipoklorit (HOCl), suatu oksidator utama, yang dapat mendegradasi matriks ekstraseluler. HOCl ini mengaktivasi metaloproteinase matriks dan menginaktivasi inhibitor fisiologisnya (Arnhold 2004). MPO berperan dalam berbagai penyakit seperti aterosklerosis, kanker, multiple sclerosis, dan Alzheimer. Juga telah banyak diteliti bahwa MPO berkaitan dengan penyakit jantung koroner karena perannya dalam inflamasi, oksidasi LDL dan peran NO dalam disfungsi endotel (Zhang et al. 2001). I/R miokardium merupakan pemicu kuat untuk rekruitmen dan aktivasi netrofil. Akumulasi netrofil dalam daerah pasca iskemik terjadi pada 3-4 jam reperfusi. (Jordan et al. 1999). Infiltrasi netrofil ke dalam miokardium yang iskemik menyebabkan kerusakan miokardium setelah reperfusi, dibuktikan dengan
32 diberikannya obat yang menghambat aktivitas netrofil dapat mereduksi luas infark.
Gonon et al (2001)
melaporkan bahwa aktivitas MPO pada daerah
iskemia berkolerasi secara signifikan dengan luas infark yang dilakukan babi domestik. Karena MPO adalah enzim spesifik dari granul azurofilik netrofil, dilaporkan pula dalam penelitian diatas bahwa jumlah netrofil berkolerasi dengan aktivitas MPO. Aktivitas MPO merupakan pengukuran kuantitatif suatu infiltrasi netrofil dalam miokardium yang iskemik. Analisis MPO menurut Mullane et al. (1985) merupakan metode yang sederhana, sensitif, dan memberi nilai kuantitatif dari akumulasi netrofil
untuk mempelajari hubungan antara infiltrasi lekosit dan
cedera miokardium. Malondialdehida Malondialdehida, MDA, adalah suatu produk yang terbentuk secara alami pada peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid adalah suatu mekanisme pada cedera seluler yang dipakai sebagai indikator terjadinya stres oksidatif pada sel dan jaringan. MDA merupakan tiga karbon dialdehida sebagai hasil samping dari peroksidasi asam lemak tak jenuh (Janero 1990) dan juga pada saat sintesis prostaglandin (Marnette 1999). Lipid peroksida tidak stabil dan dapat membentuk berbagai senyawa kompleks seperti senyawa karbonil dan MDA. MDA dapat terbentuk pada katalisis siklooksigenase dalam platelet manusia, pembentukan dari prostaglandin endoperoksida (PGH2) dan dalam sel hati oleh penguraian PGH2 (Sharma et al. 2001).
Gambar 10 Konversi prostaglandin endoperoksida (PGH2) menjadi 12hidroksiheptadekatrienoat (HHT) dan malondialdehida (MDA) (Plastaras et al. 2000).
33 Pengukuran MDA suatu produk peroksidasi lipid yang dalam jumlah paling banyak, menjadikannya petanda yang cukup peka untuk estimasi secara kuantitatif konsentrasi lipid peroksida dalam jaringan biologis. Metode paling umum untuk mengukur MDA adalah berdasarkan reaksi dengan asam tiobarbiturat (TBA). Uji substansi reaktif asam tiobarbiturat (thiobarbituric acid reactive substances, TBARS) adalah metode kolorimetrik yang dipakai untuk deteksi peroksidasi lipid dalam bahan biologis. MDA dibentuk dari hasil peroksidasi lipid dan bereaksi dengan asam tiobarbiturat pada suhu tinggi antara 90-100oC dalam suasana asam. Hasil reaksi berwarna merah muda yang merupakan hasil aduksi MDA-TBA, yaitu dua molekul TBA dan satu molekul MDA (Gambar 11). Kompleks warna dapat diekstraksi oleh pelarut organik seperti butanol dan diukur secara florometri atau spektrofotometri pada panjang gelombong 532 nm (Nair & Turner 1984).
2
Asam Tiobarbiturat
+
+
Malondialdehida
2 H2O
Aduksi MDA-TBA
Gambar 11 Reaksi asam tiobarbiturat (Nair & Turner 1984). Pengukuran MDA merupakan indikator yang paling banyak digunakan untuk menilai efek stres oksidatif pada lipid. Keberadaan MDA berhubungan dengan patofisiologi dari berbagai penyakit manusia dan uji plasma atau serum MDA merupakan alat yang berguna untuk penegakan diagnosa. MDA merupakan petanda biokimia dari suatu peroksidasi lipid jaringan pascaiskemik seperti pada penyakit jantung koroner (Lazzarino et al. 1995). Monyet Ekor Panjang Sebagai Hewan Model Monyet ekor panjang dari satwa primata Dunia Lama merupakan spesies yang sangat unik karena kurang lebih 90% genomnya mirip dengan wanita. Demikian pula, aspek fisiologi reproduksi dan patobiologi monyet ekor panjang betina mirip dengan wanita yaitu siklus menstruasi 28 hari yang teratur, sitologi vagina, respon endometrium terhadap estrogen eksogen, ekspresi reseptor hormon kelamin dan variasi hormon gonadotropin (Kaplan et al. 1984; Clarkson et al.
34 1996; Cline 2004). Oleh karena itu, hewan ini sangat sesuai digunakan sebagai model berbagai penyakit kronis serta untuk mempelajari aspek biologi reproduksinya.
Konsentrasi hormon estradiol, progesteron dan gonadotropin
dalam serum monyet juga sangat mirip dengan wanita sehingga dapat dijadikan indikator dari fungsi ovarium. Satwa primata yang paling sering dipakai untuk mempelajari
sistem
reproduksi
adalah
monyet
ekor
panjang
(Macaca
fascicularis). Monyet ini juga peka terhadap pakan yang dapat menginduksi ateroskeloris pada arteria koronaria.
Distribusi, karakter, dan keparahan lesi
aterosklerosisnya juga mirip manusia (Clarkson et al. 1996). Seperti halnya dengan manusia, monyet ekor panjang betina pada masa premenopause bila diberi pakan tinggi lemak jenuh dan kolesterol akan sedikit membentuk aterosklerosis pada arteria koronaria dengan konsentasi HDL-C yang lebih tinggi dibandingkan pada hewan jantan yang seumur (Hamm et al. 1983; Kaplan et al. 1984).
Monyet yang diovariektomi mengalami lebih banyak
aterosklerosis dan konsentrasi HDL-C lebih rendah dibandingkan hewan betina dengan umur yang sama (Adams et al. 1985). Oleh karena itu, pada umumnya monyet dewasa (setara dengan umur 45-50 tahun) sering dipakai sebagai model wanita pascamati haid. Spesies ini dapat mengalami mati haid secara alami pada umur sekitar 20-25 tahun berarti sudah mendekati masa akhir dari kehidupannya yaitu rata-rata 30 tahun. Untuk kepentingan penelitian khususnya hewan model pascamati haid, monyet betina diangkat ovariumnya sehingga mempercepat terjadinya keadaan mati haid. Perbedaan hewan model ini dalam konsentrasi plasma estradiol
yaitu pada
hewan
yang diovariektomi
mempunyai
konsenstrasinya kurang dari 5 pg/mL dibandingkan pada wanita pascamati haid sekitar 15-25 pg/mL (Longcope 1999). Beberapa keunggulan hewan coba ini sebagai model untuk penelitian penyakit kardiovaskuler pada wanita pascamati haid yaitu metabolism lipid dan lipoprotein, anatomis dan ukuran arteria koronaria yang sama dengan manusia khususnya wanita. Keunggulan lainnya adalah ukuran hewan yang kecil dan informasi lengkap tentang reaksinya terhadap diet dan hormon. Seperti pada wanita, monyet ekor panjang yang diovariektomi bila diberi pakan aterogenik minimal selama tiga bulan akan mengalami peningkatan konsentrasi total
35 kolesterol dalam plasma dan penurunan kolesterol densitas tinggi. Bila pemberian pakan diperpanjang sampai satu tahun, hewan akan mengalami aterosklerosis pada arteria koronaria (Adams et al. 1985; Williams & Suparto 2004). Secara konsisten hasil studi observasi dan hewan eksperimen menunjukkan bahwa terapi estrogen meningkatkan konsentrasi TG dengan cara meningkatkan produksi VLDL dan dimetabolisme oleh hati (Wagner 2000) . Monyet ekor panjang dapat mengalami infark miokardium sebagai akibat dari aterosklerosis pada arteria koronaria dengan kemungkinan satu per 300 kasus resiko/tahun (Bond et al. 1980). Untuk mendapatkan kasus infark dibutuhkan hewan dalam jumlah sangat besar sehingga didapatkan hasil statistik yang bermakna untuk melihat hasil positif atau negatif dari suatu intervensi. Oleh karena itu digunakan parameter pengganti yang dapat mewakili infark miokardium yaitu aterosklerosis arteria koronaria. Pada umumnya hanya dengan mengobservasi parameter tersebut dapat menunjukkan resiko terjadinya penyakit jantung koroner selain juga faktor resiko lainnya yaitu lipid darah, LDL pada aorta, dan reaktivitas vaskuler. Selain kemiripan dalam sistem kardiovaskulernya, monyet ekor panjang mempunyai kemiripan patofisiologi dengan wanita pada kelenjar payudara dan endometriumnya (Cline et al. 1996). Kanker payudara pernah dilaporkan pada hewan coba ini tetapi sangat jarang ditemukan.
Oleh karena itu digunakan
penanda yang dapat digunakan sebagai aktivitas kelenjar payudara yaitu ekspresi kelenjar payudara terhadap penanda proliferasi Ki67 juga mengukur persentasi kelenjar pada daerah lobuloalveolar (Foth & Cline 1998). Respon endometrium paling sesuai pada hewan model ini dibandingkan dengan roden atau hewan domestik karena mempunyai pola siklik pertumbuhan dan menstruasi primata (Cline 2004). Hiperplasia endometrium dapat diinduksi dengan terapi estrogen seperti CEE maupun kombinasinya dengan MPA ditandai dengan meningkatnya ketebalan endometrium, hiperplasia epitel maupun stroma dan ekspresi petanda proliferasi Ki67. Gambaran histologi endometrium akibat estrogen dan progestogen dapat diukur secara semikuantitatif salah satunya dengan menilai ketebalan endometrium (Cline et al. 2001; 2002).