73
TINJAUAN PUSTAKA Definisi dan Klasifikasi Hipertensi Tekanan darah tinggi (hipertensi) adalah kejadian peningkatan tekanan darah di dalam arteri yang mengakibatkan suplai oksigen dan zat gizi yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan. Secara umum, hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan peningkatan risiko berbagai penyakit seperti stroke, gagal jantung, serangan jantung maupun kerusakan ginjal yang merupakan penyebab utama gagal jantung kronis. Tekanan darah tinggi sangatlah berbahaya karena membuat jantung bekerja keras untuk mempompa darah ke tubuh (Bryg, 2009). Pada pemeriksaan tekanan darah akan didapat dua angka. Angka yang lebih tinggi diperoleh pada saat jantung berkontraksi (sistolik), angka yang lebih rendah diperoleh pada saat jantung berelaksasi (diastolik). Tekanan darah dikatakan tinggi jika pada saat duduk tekanan sistolik mencapai 140 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik mencapai 90 mmHg atau lebih, atau keduanya. Hipertensi menurut World Health Organization International Society of Hypertension (1999) adalah naiknya tekanan darah sistolik (TDs) lebih dari 140 mmHg disertai tekanan darah diastolik (TDd) lebih dari 90 mmHg. Apabila TDs antara 140-149 mmHg serta TDd 90-94 mmHg, maka dikategorikan sebagai borderline hypertension. Namun terdapat kondisi yang menunjukkan TDs kurang atau sama dengan 90 mmHg diiukti dengan TDd 140 mmHg atau lebih, juga diklasifikasikan sebagai hipertensi. Kejadian ini biasa disebut sebagai isolated systolic hypertension.
Klasifikasi hipertensi selengkapnya menurut WHO
disajikan pada Tabel 1.
Mekanisme dan Gejala Terjadinya Penyakit Hipertensi Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon renin akan
74
diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama. Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Tabel 1. Klasifikasi hipertensi menurut WHO Klasifikasi Hipertensi
Tekanan Darah Tekanan Darah Sistolik (TDs) Diastolik (mmHg) (TDd) (mmHg) < 120 < 80 < 130 < 85 130-139 85-89
Normal
Optimal Normal High normal
Hypertension
Borderline Grade 1 Grade 2 Grade 3
140-149 140-159 160-179 > 180
90-94 90-99 100-109 > 110
Isolated Systolic Hypertension (ISH)
ISH Borderline ISH
> 140 140-149
< 90 < 90
Sumber: WHO-International Society of Hypertension Guidelines, 1999. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat, yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
Aldosteron
merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Hipertensi seringkali disebut sebagai silent killer.
Hal ini dikarenakan,
terjadinya hipertensi sulit disadari oleh seseorang karena tidak memiliki gejala
75
khusus. Gejala ringan seperti pusing, gelisah, perdarahan pada hidung (mimisan), wajah kemerahan dan kelelahan tidak selalu berhubungan langsung dengan hipertensi. Hipertensi dapat diketahui dengan mengukur tekanan darah secara teratur.
Penderita hipertensi, apabila tidak ditangani dengan baik, akan
mempunyai risiko besar sebagai penyebab kematian karena komplikasi kardiovaskular seperti stroke, serangan jantung, gagal jantung, dan gagal ginjal. Hipertensi berat (menahun) dan tidak diobati, bisa memunculkan gejala sakit kepala, jantung berdebar-debar, kelelahan, mual, muntah, sesak nafas, sering buang air kecil terutama di malam hari, telinga berdenging, gelisah, pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata, jantung, dan ginjal. Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan koma karena terjadi pembengkakan otak.
Penyebab Penyakit Hipertensi Ada dua jenis hipertensi yaitu hipertensi primer dan sekunder. Hipertensi primer (esensial) adalah hipertensi yang tidak/belum diketahui penyebabnya secara spesifik (Peckham, 1999). Sebanyak 95 persen hipertensi di dunia adalah hipertensi primer (Simon et al., 1999). Sedangkan hipertensi sekunder adalah hipertensi yang timbul sebagai gejala dari penyakit lain.
Pada hipertensi sekunder, penyebabnya diketahui.
Beberapa penyebab terjadinya hipertensi sekunder adalah penyakit ginjal, kelainan hormonal, maupun obat-obatan.
Pada sekitar 5-10% penderita
hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB). Penyebab hipertensi lainnya yang jarang adalah feokromositoma, yaitu tumor pada kelenjar adrenal yang menghasilkan hormon epinefrin (adrenalin) atau norepinefrin (noradrenalin). Penyebab tekanan darah tinggi tidak dikenal. Dalam laporan kasus tekanan darah tinggi sebanyak 95% di Amerika Serikat, disebutkan bahwa penyebab kejadian yang tidak dapat ditentukan. Jenis tekanan darah tinggi ini disebut hipertensi esensial. Hipertensi esensial dihubungkan pada beberapa faktor risiko diantaranya sejarah penyakit di dalam keluarga, jenis kelamin wanita, usia dan
76
kelompok etnis, pola diet dan gaya hidup, merokok, kegemukan, kelebihan berat badan, aktifitas fisik yang kurang, konsumsi garam berlebihan, konsumsi alkohol (lebih dari 1-2 kali per hari), stres, usia lanjut, riwayat keluarga dengan kejadian hipertensi, penyakit ginjal kronis, dan ketidaknormalan pada hormon adrenalin dan thyroid. Di Amerika Serikat, ras kulit hitam memiliki kemungkinan dua kali lipat terkena tekanan darah tinggi dibandingkan ras kulit putih. Setelah umur 65, perempuan hitam tertinggi di dalam mengalami kejadian tekanan darah tinggi. Faktor-faktor lain yang terkait dengan hipertensi esensial termasuk didalmnya adalah obesitas, diabetes, stres, kurang asupan kalium, kalsium, dan magnesium; kurangnya aktivitas fisik, dan konsumsi alkohol kronis (Bryg, 2009). Sedangkan hipertensi sekunder adalah hipertensi yang timbul sebagai gejala dari penyakit lain. Pada hipertensi sekunder, penyebabnya diketahui. Beberapa penyebab terjadinya hipertensi sekunder adalah penyakit ginjal, kelainan hormonal, maupun obat-obatan.
Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi,
penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB). Penyebab hipertensi lainnya yang jarang adalah feokromositoma, yaitu tumor pada kelenjar adrenal yang menghasilkan hormon epinefrin (adrenalin) atau norepinefrin (noradrenalin).
Definisi dan Klasifikasi Diabetes Melitus Diabetes melitus merupakan penyakit endokrin yang paling umum ditemukan.
Penyakit ini ditandai dengan naiknya kadar gula darah
(hiperglikemia) dan tingginya kadar gula dalam urin (glikosuria).
Diabetes
melitus merupakan penyakit yang disebabkan menurunnya hormon insulin yang diproduksi kelenjar pankreas.
Penurunan hormon insulin ini mengakibatkan
seluruh gula (glukosa) yang dikonsumsi tubuh tidak dapat diproses secara sempurna, sehingga kadar glukosa dalam tubuh meningkat (Utami, 2003). Kriteria diagnosis diabetes melitus diambil dari keputusan WHO, yaitu berdasarkan kadar gula gula atau glukosa darah.
Diagnosis diabetes dapat
dilakukan dengan mengukur kadar glukosa darah ketika puasa (10 jam) dan 1-2
77
jam setelah minum larutan glukosa 75 gram (tes toleransi glukosa oral). Kadar glukosa puasa tinggi menunjukkan bahwa produksi insulin tidak mencukupi, meskipun hanya untuk kebutuhan tubuh yang bersifat basal atau dasar (Utami, 2003). Komisi diabetes dari WHO merekomendasikan konsentrasi glukosa darah baik setelah puasa ataupun setelah dua jam diberi glukosa sebagaimana tampak dalam Tabel 2 berikut: Tabel 2. Klasifikasi diabetes berdasarkan konsentrasi glukosa Konsentrasi glukosa (mg/100 ml) Sampel Darah
Bukan Penderita Diabetes
Darah vena < 110 Darah kapiler < 120 Plasma darah < 135 Sumber: WHO, 2001
Penderita Diabetes > 130 > 140 > 155
Penderita diabetes diakui sebagai kelompok yang mengalami bermacammacam kerusakan dengan ditandai oleh adanya hiperglikemia dan intoleransi glukosa, yang merupakan manifestasi dari defisiensi insulin, kurang efektifnya kerja insulin, dan keduanya. Diabetes melitus yang diklasifikasikan berdasarkan etiologi dan keadaan klinis, dibagi menjadi empat tipe, yaitu: Diabetes tipe 1, Diabetes tipe 2, Gestational diabetes melitus (GDM) dan diabetes lainnya (Harris dan Zimmet; Alberti; Zimmet, Dfronzo, dan Keen, 1997 dalam IDF, 2000). Seseorang dikatakan diabetes apabila kadar gula darah puasa (fasting blood sugar) > 126 mg/dL (Alberti dan Zimmer, 1998 dalam Osman dan Al Nozha, 2000). Pada tahun 1965 WHO dengan Expert Committe on Diabetes Mellitus mengeluarkan suatu laporan yang berisi klasifikasi pasien berdasarkan umur mulai diketahuinya penyakit.
Kemudian diperkenalkan istilah-isltilah: childhood
diabetics, young diabetics, adult diabetics, dan elderly diabetics. Tahun 1968, American Diabetes Association membuat rekomendasi mengenai tes toleransi glukosa. Pembagian ini mengenal istilah-istilah prediabetes, suspected diabetes, chemical atau latent diabetes dan overt diabetes. Secara umum klasifikasi WHO 1980 sudah mulai diterima tetapi kemudian masuk beberapa usul dan komentar sehingga dalam klasifikasi baru WHO 1985, ditambahkan “malnutrition related diabetes mellitus”, sejajar dengan IDDM dan NIDDM (Soegondo, 2002).
78
Di Indonesia, Askandar pada tahun 1996 dan 1998 mencoba membuat suatu klasifikasi praktis untuk diabetes melitus dan membagi menjadi lima kelompok: IDDM, NIDDM, MODY, DM tipe X1 dan X2 yang identik dengan DM tipe 1 ½ (Zimmet, 1993 dalam Soegondo, 2002) dan DM tipe 3 identik dengan LADA (Latent Autoimmune Diabetes of Adult) (Tuomi, 1993 dalam Soegondo, 2002).
Mekanisme dan Gejala Terjadinya Penyakit Diabetes Melitus Pada penderita penyakit diabetes melitus, metabolisme karbohidrat terganggu sebagai akibat terganggunya produksi hormon insulin oleh pankreas. Defisiensi insulin menyebabkan tidak semua glukosa dapat diubah menjadi glikogen. Ini berarti sebagian glukosa yang berasal dari makanan tetap berada dalam darah.
Tingginya kadar gula darah (hiperglikemia) akan mendorong
pembuangan kelebihan glukosa tersebut keluar tubuh melalui urin. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya glikosuria. Dengan sedikitnya glukosa yang dapat diubah menjadi glikogen, maka untuk memenuhi kebutuhan energi otot akan terjadi pengubahan glikogen hati menjadi glukosa melalui jalur glukoneogenesis. Jadi tingginya kadar glukosa dalam darah selain berasal dari glukosa makanan yang tidak dapat diubah menjadi glikogen oleh tubuh, juga berasal dari proses glukoneogenesis yang masuk ke peredaran darah (Moehyi, 1997). Moehyi (1997) menyebutkan bahwa hilangnya sebagian besar glukosa karena tidak dapat digunakan tubuh dan terbuangnya melalui urin membawa akibat terbawanya lemak tubuh (lipolisis) dan protein (proteolisis) untuk dijadikan sumber energi.
Digunakannya asam lemak sebagai sumber energi akan
menyebabkan terbentuknya zat keton yang terdiri dari asam asetoasetat betahidroksi butirat dan aseton.
Kurangnya insulin dalam tubuh dapat
menyebabkan jumlah zat keton yang tertumpuk dalam darah melebihi kemampuan tubuh untuk memecahnya dan penderita akan mengalami keracunan zat keton yang disebut ketoasidosis.
Wetherhill dan Dean (2001) menyebutkan bahwa
ketoasidosis menimbulkan rasa mual, muntah, meningkatnya detak jantung dan nafas menjadi lebih cepat.
79
Adapun pengklasifikasian penyakit diabetes melitus menurut ADA (1997) adalah sebagaimana tampak pada Tabel 3 berikut: Tabel 3. Klasifikasi etiologis diabetes melitus Tipe
Jenis Gangguan
Diabetes melitusTipe 1
Destruksi sel beta, umumnya defisiensi insulin absolut
Diabetes melitusTipe 2
Bervariasi, mulai dari yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin
Diabetes Lain
menjurus
ke
melitusTipe Defek genetik fungsi sel beta; defek genetik kerja insulin; penyakit eksokrin pankreas; endokrinopati; karena obat/zat kimia; infeksi (rubella kongenital dan CMV; imunologi antibodi anti respepsol insulin); sindroma genetik lain.
Diabetes kehamilan
-
Sumber: ADA (1997)
Penyebab Terjadinya Diabetes Melitus Menurut Utami (2003), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan diabetes melitus, diantaranya: 1.
Faktor genetik (keturunan).
Lebih dari 50% penderita diabetes melitus
dewasa berasal dari keluarga dengan riwayat menderita diabetes melitus. 2.
Virus dan bakteri. Virus yang diduga menyebabkan diabetes melitus adalah Rubela, Mumps dan Human Coxsackievirus B4.
Sebuah penelitian
menyebutkan bahwa virus dapat menyebabkan diabetes melitus melalui mekanisme infeksi sistolik pada sel beta yang mengakibatkan destruksi atau pengrusakan sel. Selain itu, melalui reaksi otoimunitas yang menyebabkan hilangnya otoimun pada sel beta. 3.
Bahan toksik (beracun). Beberapa bahan toksik yang mampu merusak sel beta
secara
langsung
adalah
Alloxan,
Pyrinuron
(rodentisia),
dan
80
Streptozotocin (produk yang berasal dari sejenis jamur). Bahan toksik lain berasal dari singkong (cassava). 4.
Faktor zat gizi. Diabetes melitus dikenal sebagai penyakit yang berhubungan dengan zat gizi, baik sebagai faktor penyebab maupun sebagai pengobatan. Overnutrition merupakan faktor
pertama yang diketahui menyebabkan
diabetes melitus. Semakin lama dan semakin berat obesitas, maka semakin besar kemungkinan terjangkit diabetes melitus.
Faktor-faktor Risiko Hipertensi dan Diabetes Melitus Menurut Proboprastowo (2003), faktor-faktor risiko yang paling erat hubungannya
dengan
hipertensi
adalah
obesitas,
diabates
melitus
dan
hiperlipidemia. Sementara menurut Soegondo (2002), seseorang yang berisiko tinggi terkena diabetes melitus adalah: 1) orang dengan riwayat keluarga diabetes, 2) berstatus gizi obes (>20% berat badan ideal) atau IMT > 27 kg/m2, 3) umur di atas 40 tahun dengan faktor yang telah disebutkan di atas, 4) seseorang dengan tekanan darah tinggi (>140/90 mmHg), 5) terdapat dislipidemia (kolesterol HDL < 35 mg/dl dan/atau trigliserida > 250 mg/dl, 6) seorang yang sebelumnya dinyatakan toleransi glukosa terganggu (TGT) atau GDPT, 7) semua wanita hamil 24-28 minggu, 8) wanita yang sebelumnya di dapat diabetes gestasional, dan 9) wanita yang melahirkan bayi > 4000 gram. Selain kondisi di atas, hipertensi dan diabetes melitus juga bisa dipicu oleh faktor-faktor berikut: Status Sosial Ekonomi dan Demografi Faktor jenis kelamin berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dalam hal ini laki-laki lebih banyak yang menderita hipertensi dibandingkan dengan perempuan, dengan rasio sekitar 2.29 untuk peningkatan tekanan darah sistolik, dan 3.76 untuk kenaikan tekanan darah diastolik. Hal ini diduga karena laki-laki memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan perempuan.
Namun setelah memasuki menopause,
prevalensi hipertensi pada wanita meningkat, bahkan setelah usia 65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang diakibatkan oleh faktor hormonal (Karyadi, 2002).
81
Studi yang dilakukan oleh Abolfotouh et al. (1996) menunjukkan bahwa jenis kelamin bukan merupakan faktor yang secara signifikan membedakan prevalensi hipertensi, namun kemudian signifikan setelah dikontrol oleh faktor umur (p<0.05). Peningkatan prevalensi konsisten dan signifikan karena faktor umur pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan, terutama pada kelompok umur lebih dari 45 tahun. Sebelum menopause, wanita relatif terlindungi dari penyakit kardiovaskuler karena peran hormone estrogen yang masih optimal. Penelitian Ramachandran et al. (1992), Zimet (1993) dan Ohlson (1985) dalam Gopalan (1999) menyebutkan bahwa prevalensi diabetes melitus di pedesaan di India lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan pada wanita (8.4% berbanding 7.9%). Begitu pula di Kepulauan Fiji, baik di perkotaan maupun di pedesaan, prevalensi diabetes melitus lebih banyak pada laki-laki berturut-turut 13.7%; 13.2%; 14.4% berbanding 12.6%. keadaan serupa terjadi di Mauritian Hindus (pedesaan) dengan perbandingan 14.4%: 12.6%.
Sedangkan menurut
Mather (1985), prevalensi di Asia Selatan hanya terjadi pada laki-laki sebesar 8.9%. Seiring bertambahnya usia, tekanan darah cenderung meningkat. Hipertensi umumnya berkembang pada saat umur seseorang mencapai paruh baya yakni cenderung meningkat khususnya yang berusia lebih dari 40 tahun.
Tekanan
sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun drastis.
Tetapi di atas usia tersebut, justru wanita (setelah
mengalami menapouse) berpeluang lebih besar. Para pakar menduga perubahan hormonal berperan besar dalam terjadinya hipertensi di kalangan wanita usia lanjut. Peningkatan tekanan darah cenderung rendah pada bayi dan mulai meningkat pada masa kanak-kanak.
Kemudian akan meningkat lebih nyata
selama masa pertumbuhan dan pematangan fisik di usia remaja.
Perubahan
normal dan pematangan fisik cenderung lebih nyata pada anak-anak laki-laki dari pada anak perempuan dan amat menonjol pada anak-anak dengan berat badan berlebih (Semple, 1996).
82
Hasil studi Kotchen (1989) dalam Kotchen dan Kotchen (1989) menunjukkan bahwa tekanan darah pada anak-anak cenderung berlanjut ada masa dewasa.
Setelah masa remaja, laju peningkatan tekanan darah sejalan dengan
bertambahnya usia sangat bervariasi. Pada beberapa orang, perubahan tekanan darah sangat sedikit, namun pada orang lain dapat terjadi peningkatan yang nyata. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh faktor bawaan ataupun oleh kebiasaan makan, cara hidup, dan faktor lain yang belum ditemukan. Faktor-faktor bawaan (genetik) penting dalam menentukan apakah seseorang akan menderita hipertensi ataukah tidak. Kemungkinan menderita hipertensi satu banding tiga, jika salah satu orangtua menderita hipertensi atau pernah mendapat stroke sebelum usia 70 tahun.
Risiko ini meningkat menjadi tiga banding lima jika kedua orangtua
mengalaminya (Semple, 1996). Penyakit hipertensi paling dominan dijumpai pada kelompok umur 31-55 tahun (Arif, 2007). Pertambahan umur berpengaruh pada peningkatan kemungkinan untuk mengalami hipertensi (Gary, 2000). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tenyata prevalensi (angka kejadian) hipertensi meningkat dengan bertambahnya usia. Dari berbagai penelitian epidemiologi yang dilakukan di Indonesia menunjukan 1,8-28,6% penduduk yang berusia diatas 20 tahun adalah penderita hipertensi. Menurut Soegondo (2002), salah satu faktor yang berisiko tinggi terkena diabetes melitus adalah mereka yang berusia > 40 tahun dengan faktor penyerta riwayat keluarga dengan diabetes melitus dan berstatus gizi lebih (gemuk atau obes). Kondisi sosial ekonomi seseorang dapat didekati dari berbagai variabel diantaranya: tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan/pengeluaran. Ada kecenderungan orang dengan kondisi sosial ekonomi yang tinggi telah mengundang risiko terkena berbagai penyakit degeneratif seperti hipertensi dan diabetes melitus karena telah terjadi pergeseran gaya hidup ke arah yang lebih buruk. Status sosial ekonomi tinggi yang diantaranya ditandai dengan terjadinya peningkatan pendapatan/kesejahteraan membuka peluang terjadinya peningkatan konsumsi pangan secara berlebihan dan tidak terkendali/terkontrol, baik dari aspek jumlah maupun jenisnya.
83
Tingginya status sosial ekonomi seseorang juga dapat mempengaruhi pola aktivitas fisiknya.
Peningkatan kesejahteraan akan membuat seseorang
mengurangi aktivitas fisiknya. Kebiasaan berjalan kaki akan tergantikan dengan mengendarai sepeda motor atau mobil. Status sosial ekonomi yang tinggi akan cenderung mendorong seseorang terus mencari kesibukan, sehingga mengurangi porsi seseorang untuk berolah raga.
Status Gizi Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang sebagai akibat dari konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan utilisasi (utilization) zat gizi makanan (Riyadi, 2003). Kekurangan atau kelebihan zat gizi dalam tubuh akan mempengaruhi status gizi yang pada akhirnya menyebabkan masalah gizi. Masalah kekurangan atau kelebihan gizi pada orang dewasa merupakan masalah penting karena selain mempunyai risiko penyakit-penyakit tertentu, juga dapat mempengaruhi produktivitas kerja. Oleh karena itu, pemantauan keadaan tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan. Salah satu cara adalah dengan mempertahankan berat badan yang ideal atau normal. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat, yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik, sedangkan secara tidak langsung dibagi menjadi tiga yaitu survei konsumsi pangan, statistik vital dan faktor ekologi (Supariasa et al. 2002). Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah salah satu cara untuk mengukur status gizi seseorang. Menurut Supariasa et al. (2002), penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun. IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan. Disamping itu, IMT tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti edema, asites, dan hepatomegali. Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut: BB (kg) IMT = __________ TB2 (m2)
84
Keterangan: IMT
= Indeks Massa Tubuh
BB
= Berat badan (kg)
TB
= Tinggi Badan (m) Klasifikasi status gizi dengan menggunakan IMT orang dewasa disajikan
pada tabel berikut: Tabel 4. Kategori Ambang Batas IMT (kg/m2) untuk Indonesia Kategori Kurus
Kekurangan berat badan tingkat berat
< 17,0
Kekurangan berat badan tingkat ringan
17,0-18,5
Normal Gemuk
IMT
>18,5-24.9 Kelebihan berat badan tingkat ringan
>25,0-27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat
>27,0
Sumber: Departemen Kesehatan (Depkes) (1996) Obesitas menjadi masalah utama kesehatan masyarakat dan ekonomi global yang signifikan. Hal ini dikarenakan tingginya prevalensi yang meningkat dengan cepat. Dan obesitas berkaitan dengan keadaan kronis pada diabetes, hipertensi, penyakit jantung dan kanker (WHO, 2000 dan 2003). Obesitas juga dikenal sebagai faktor resiko pada diabetes tipe 2. Saat ini, diabetes tipe 2 juga sebagai penyakit utama pada orang dewasa. Kasus pertama diabetes tipe 2 pada orang muda ditemukan di USA pada dekade 1970an. Lima belas tahun yang lalu, peneliti masih menemukan kurang 3 % kasus diabetes pada anak-anak dan orang dewasa. Tetapi sekarang, mereka menemukan lebih dari 45 % kasus baru. Studi berikutnya yang terkait di Asia dan Eropa telah mengungkapkan hal yang sama dan terakhir, melaporkan bahwa diabetes tipe 2 pada anak-anak dan orang dewasa mulai meningkat di seluruh dunia (WHO, 2005). Seseorang dikatakan obese bila berat badan melebihi 20% dari berat badan normal, dan mengalami penimbunan lemak yang berlebihan.
Melalui studi
epidemiologi, Bray dan kawan-kawan membuktikan hubungan antara Indeks
85
Massa Tubuh (IMT) dengan mortalitas yang berbentuk kurva J, yaitu semakin tinggi IMT pada seseorang yang kegemukan/obesitas, maka semakin tinggi risiko kematian. Hubungan obesitas dengan hipertensi telah banyak didokumentasikan. Data dari studi cross-sectional mengindikasikan terdapat hubungan kuat antara berat badan (atau indeks massa tubuh) dengan tekanan darah (kannell et al., 1967; Chiang; Perlman, Epstein; 1965; Stamler et al., 1976; mann 1974; MacMahon et al., 1987 dalam Kotchen dan Kotchen, 1999). Terdapat sekitar 20% dari penderita hipertensi berstatus gizi lebih (overweight) (MacMahon et al., 1987 dalam Kotchen dan Kotchen, 1999). Dalam National Heart Foundation of Australia Risk Factor Prevalence Survey, diperkirakan sepertiga dari kasus hipertensi potensial disebabkan oleh obesitas pada laki-laki dan perempuan yang berusia 25-64 tahun. Pada laki-laki yang berusia antara 25 sampai 44 tahun hipertensi terjadi dua per tiga disebabkan oleh obesitas (Kotchen dan Kotchen, 1999). Risiko terkena hipertensi pada IMT > 22,25 kg/m2 pada hasil penelitian Hypertension Study Group adalah 2,4 kali lebih besar dibandingkan dengan IMT < 18,09 kg/m2. Dalam penelitian yang sama IMT 18,09 – 22,25 kg/m2 berisiko terkena hipertensi adalah 1,72 kali lebih besar dibandingkan dengan IMT < 18,09 kg/m2 (Quasem et al., 2001). Tershakovek et al. (2002) melaporkan bahwa status gizi (IMT) secara statistik berhubungan dengan tekanan darah sistolik dan diastolik. Lebih jauh lagi hubungan antara status gizi dengan tekanan darah sistolik (p<0,0001) dan tekanan darah diastolik (p=0,008) meningkat dengan melakukan interaksi dengan faktor usia pada anak perempuan.
Dalam hal ini terdapat peningkatan IMT dalam
hubungannya dengan usia dan hiperkolesterolemia pada anak perempuan. Obesitas dapat meningkatkan risiko diabetes melitus, penyakit jantung koroner dan semua penyebab mortalitas pada usia lanjut (Johnston, 1985; McCance et al., 1994, Must et al., 1992; Nieto et al., 1992 dalam Freedman, Serdula, Percy, Ballew, dan White, 1997). Pada penelitian yang sama ditemukan hubungan obesitas dengan kejadian diabetes melitus yaitu terdapat prevalensi yang besar (8%; 95%Cl 4-12%) pada penderita diabetes melitus berstatus gizi obes. Asia-Pacific Journal of Public Health (2006) melaporkan penelitian yang
86
dilakukan terhadap orang dewasa di Taiwan, kegemukan berhubungan dengan diabetes mellitus (OR = 2,66; 95% CI = 1,39 - 5,09; p <0.01) dan hipertensi (OR = 4,92; 95% CI = 2,87 - 8,42; p <0.01). Menurut Soehardjo (1989), konsep gaya hidup sangat berguna dalam penelitian perilaku makan, jika digabungkan dengan perbedaan antar budaya dan pendekatan holistik. Dari sudut pandang antropologi, gaya hidup merupakan hasil penyaringan dari serentetan interaksi sosial, budaya dan keadaan.
Faktor
makanan memegang peranan penting terhadap gaya hidup di Indonesia, terutama di daerah perkotaan. Perbaikan standar hidup dan keadaan ekonomi dapat mengubah gaya hidup yang memungkinkan seseorang masuk golongan yang memiliki faktor risiko penyakit degeneratif. Menurut Buckman (1999), gaya hidup yang menyebabkan hipertensi terdiri atas lima aspek yaitu kebiasaan makan, minum alkohol, merokok, kegiatan fisik yang kurang dan stress. Temuan ini bisa dipahami faktanya mengingat gaya hidup modern dimana hidup dihadapkan dengan kerja keras, situasi penuh tekanan, dan stres yang berkepanjangan tidak jarang dihadapi dengan merokok, minum alkohol atau minuman berkafein. Padahal semua itu termasuk penyebab yang meningkatkan risiko penyakit degeneratif seperti hipertensi dan diabetes melitus. Belum lagi perilaku berisiko lain seperti tidak cukup konsumsi serat, vitamin dan mineral yang bersumber dari sayur dan buah, kebiasaan mengkonsumsi makanan berisiko seperti jeroan, makanan berlemak, makanan asin, makanan/minuman manis, juga kurangnya aktivitas fisik. Health Affairs (2002) melaporkan bahwa efek obesitas, penuaan (aging) 20 tahun terhitung dari usia 30-50 tahun, merokok saat ini, overweight, alkohol, merokok di masa lampau terhadap penurunan kesehatan yang terkait dengan kualitas kehidupan berturut-turut 2.15: 1.95: 1.05: 0.5: 0.5: dan 0.2.
Pada
penderita diabetes melitus, nilai OR obesitas, penuaan (aging) 20 tahun terhitung dari usia 30-50 tahun, merokok saat ini, dan alkohol berturut-turut adalah: 5.8, 3.8, 0.99, dan 1. Studi epidemiologi yang dilakukan terhadap dua suku bangsa di China menggambarkan bahwa hipertensi berhubungan positif dengan jenis kelamin,
87
usia, aktivitas fisik, konsumsi alkohol, serum trigliserida, total energi, total lemak, dan intake garam, serta berhubungan negatif dengan tingkat pendidikan. Hal ini dijumpai di Hei Yi Zhuang (p<0.05). Sementara pada Han, hipertensi secara positif berkorelasi dengan jenis kelamin, usia, aktivitas fisik, konsumsi alkohol, indeks massa tubuh, lingkar pinggang, serum total kolesterol, dan total energi, total lemak, dan intake garam, serta berhubungan negatif dengan tingkat pendidikan (p<0.05). Studi ini juga menggambarkan tingkat tekanan darah dua suku, Hei Zhuang Yi dan Han, dimana suku Hei memiliki tekanan darah yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang Han (p<0.05). Perbedaan tekanan darah tinggi antara dua kelompok etnis yang berbeda diakibatkan dari kebiasaan makan, gaya hidup, intake garam, tingkat pendidikan, aktivitas fisik, dan bahkan faktor genetik (Yin et al. 2006).
Konsumsi Jeroan dan Makanan Berlemak Jeroan (usus, hati, babat, lidah, jantung, dan otak, paru) banyak mengandung asam lemak jenuh (saturated fatty acid/SFA). Jeroan mengandung kolesterol 4-15 kali lebih tinggi dibandingkan dengan daging. Secara umum, asam lemak jenuh cenderung meningkatkan kolesterol darah, 25-60% lemak yang berasal dari hewani dan produknya merupakan asam lemak jenuh. Lemak hewani umumnya mengandung 1 mg kolesterol/g lemak, sedangkan lemak pada butter mengandung 3 mg kolesterol/g lemak. Setiap peningkatan 1% energi dari asam lemak jenuh, diperkirakan akan meningkalkan 2.7 mg/dL kolesterol darah, akan tetapi hal ini tidak terjadi pada semua orang. Lemak jenuh terutama berasal dari minyak kelapa, santan dan
semua minyak lain seperti minyak jagung, minyak kedelai yang
mendapat pemanasan tinggi atau dipanaskan berulang-ulang. Kelebihan lemak jenuh akan menyebabkan peningkatan kadar LDL kolesterol.
Makanan Asin dan Makanan yang Diawetkan Makanan asin dan makanan yang diawetkan adalah makanan dengan kadar natrium tinggi.
Natrium adalah mineral yang sangat berpengaruh pada
mekanisme timbulnya hipertensi. Pengaruh asupan natrium terhadap hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma (cairan tubuh) dan tekanan darah.
88
Kebutuhan normal natrium per hari untuk orang dewasa kurang dari 5 gram (WHO, 1987 dalam Whitaker, 2000). Menurut Altschul et al, (1992) dalam Whitaker (2000), ada tiga tipe hubungan antara konsentrasi natrium dan hipertensi. Pertama, studi epidemiologi di seluruh dunia menunjukkan bahwa pada kelompok, populasi/sub populasi tertentu, ada hubungan positif antara konsentrasi Na yang dikonsumsi dengan kejadian hipertensi. Kedua, manajemen pengobatan lebih mudah dilakukan dengan menurunkan konsentrasi Na. Ketiga, penelitian pada hewan yang mempunyai keturunan hipertensi, yang penanganan Na-nya dilakukan secara tidak normal menunjukkan bahwa ada hubungan antara hipertensi karena keturunan dengan konsentrasi Na yang dikonsumsi. Ditemukan juga bahwa selain menyebabkan hipertensi, penggunaan garam terlalu banyak juga mengakibatkan terjadinya stroke, penyakit jantung dan gagal ginjal (Garry, 2000).
Makanan/Minuman Manis Makanan/minuman manis dikatakan sebagai penghasil kalori.
Sehingga
makanan ini dikategorikan sebagai makanan berisiko bagi munculnya penyakit degeneratif seperti hipertensi dan diabetes melitus. Konsumsi makanan penghasil kalori dalam jumlah besar berisiko terjadi penumpukan kalori yang pada saatnya berpotensi menimbulkan obesitas.
Bagi penyakit hipertensi maupun diabetes
melitus, obesitas merupakan faktor risiko yang signifikan.
Minuman Berkafein Kafein merupakan salah satu stimulan yang berpengaruh terhadap sistem saraf pusat.
Kafein masuk aliran darah melalui penyerapan di usus halus.
Efeknya dapat dirasakan dengan cepat setelah 15 menit mengkonsumsinya. Kafein bertahan dalam tubuh manusia selama berjam-jam.
Hanya sekitar
setengah kafein yang dapat dieliminir dari tubuh pada enam jam pertama. Di tahun 1990, para peneliti di University of Tennessee menyimpulkan bahwa konsumsi kopi harian tidak meningkatkan tekanan darah. Dikatakan Tidak ada bukti kuat bahwa intake kafein akan meningkatkan risiko hipertensi. Diantara peserta Framingham Heart Study adalah 717 orang dengan beberapa jenis
89
penyakit jantung. Selama kajian ini diamati individu yang memiliki kasus penyakit jantung, kemudian dianalisa faktor-faktor risiko yang menyebabkan kambuh. Mereka menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kopi dan asupan yang berulang terhadap serangan jantung. Namun beberapa studi menunjukkan bahwa kafein dapat menyebabkan ketergantungan jika seseorang mengkonsumsi empat cangkir atau lebih per hari. Gejalanya mulai dari sakit kepala, lemas/lesu, hingga nyeri otot (pegal-pegal). Kafein juga bisa berakibat fatal jika seseorang mengkonsumsinya dengan dosis yang ekstrem (over dosis).
Literatur kedokteran memuat beberapa laporan
kematian seseorang akibat kafein dikarenakan korban mengikuti praktik pengobatan semacam injeksi kafein. Di sisi lain dinyatakan level kafein yang mematikan sangat tinggi, yakni lebih dari 10 gram atau sekitar 80-100 cangkir sekali minum. Health Encyclopedia Diseases and Conditions (2008) melaporkan konsumsi kafein yang mematikan ketika dikonsumsi dalam jumlah besar yakni lebih dari 10 gram, atau setara dengan 80 hingga 100 cangkir kopi dalam sekali konsumsi. Selama lebih dari 40 tahun, sejumlah studi telah mengkaitkan antara konsumsi kopi dengan penyakit kardiovaskular. Pertama sekali pendapat yang menyatakan ada dampak konsumsi kopi terhadap serum lipid berasal dari penelitian yang menyebutkan minum kopi 6 cangkir berdampak signifikan terhadap peningkatan total kolesterol (11,8 mg/dl), kolesterol LDL (6,5 mg/dl) dan trigliserida (5,9 mg/dl) tetapi tidak berpengaruh terhadap tingkat kolesterol HDL (0,2 mg/dl). Konsumsi yang lebih besar diduga memiliki dampak peningkatan terhadap kolesterol.
Satu studi prospektif telah memperlihatkan
bahwa dampak kenaikan lipid pada konsumsi kopi menunjukkan bahwa meminum satu cangkir reguler setiap hari akan berkaitan dengan peningkatan sekitar 2 mg/dl dari total kolesterol selama 16,7 bulan. Studi ini mirip dengan dampak yang diperlihatkan pada hasil kuantitatif percobaan ini dimana terdapat kenaikan serum kolesterol lipid 11,8 mg/dl seiring dengan minum kopi 6 cangkir per hari.
90
Merokok Racun nikotin dari rokok menyebabkan darah menjadi lebih kental sehingga mendorong percepatan pembekuan darah karena agregasi platelet dan fibrinogen meningkat. Nikotin juga dapat menyebabkan meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah untuk sementara. Meningkatnya tekanan darah ini lebih nyata pada penderita tekanan darah tinggi (Semple, 1996). Studi yang dilakukan terhadap penduduk Denmark menemukan merokok secara signifikan telah meningkatkan kejadian penyakit kronis (Ekholm, Gronbak, Peuckmann, Sjogren, 2005). Merokok dapat mengubah metabolisme kolesterol ke arah aterogenik. Merokok dapat meningkatkan kadar kolesterol darah dan dapat menurunkan kadar HDL (Bruce, 1986). Rokok dapat meningkatkan kadar LDL dalam darah dan menurunkan kadar HDL. Framingham Heart Study yang meneliti pria dan wanita sekitar 20 – 49 tahun dilaporkan bahwa kadar kalesterol HDL lebih rendah 4,5 – 6,5 % pada perokok, dan pada studi lain dilaporkan bahwa pria yang merokok lebih dari 20 batang sehari akan mengalami penurunan HDL hingga 11% dibandingkan bukan perokok (Karyadi, 2002). Asap rokok (CO) memiliki kemampuan menarik sel darah merah lebih kuat dari kemampuan oksigen, sehingga menurunnya kapasitas sel darah merah pembawa oksigen ke jantung dan jaringan lainnya. Laporan dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa upaya menghentikan kebiasaan merokok dalam jangka waktu 10 tahun dapat menurunkan insiden penyakit jantung koroner (PJK) sekitar 24, 4% (Karyadi, 2002). Wetherill dan Kerelakes (2001) menyebutkan bahwa kecanduan rokok merupakan salah satu faktor yang dapat memperburuk diabetes melitus. Senyawa yang ada dalam rokok diantaranya adalah karbonmonoksida yang akan melekat pada sel darah merah yang kaya oksigen. Akibatnya jumlah oksigen yang dibawa darah menjadi berkurang, sehingga jantung, otot dan seluruh tubuh kekurangan oksigen yang siap pakai. Efek ini diperkirakan lebih signifikan pada penderita diabetes yang mempunyai risiko tinggi terhadap masalah sirkulasi. Merokok juga dapat membuat darah mudah membeku sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya penyumbatan arteri, dan lebih lanjut bisa terkena serangan jantung ataupun stroke.
91
Konsumsi Alkohol Konsumsi alkohol diakui sebagai faktor penting yang berhubungan dengan tekanan darah. Jika dibandingkan dengan orang yang bukan peminum alkohol, maka terdapat perbedaan yang signifikan terhadap tingginya tekanan darah pada peminum yang mengkonsumsi alkohol tiga satuan minum sedikitnya 14 gram etanol dan didefinisikan sebagai sedikitnya 12 gelas bir, 6 gelas anggur, atau 15 spirit yang disuling (Kotchen dan Kotchen, 1999). Kontribusi mengkonsumsi 2 satuan minum per hari terhadap prevalensi hipertensi diperkirakan 5% sampai 7%. Kontribusi pada laki-laki lebih besar dibandingkan pada perempuan, walaupun pada perempuan risiko hipertensi meningkat secara progresif bila dikaitkan dengan konsumsi alkohol 20 gram per hari. Beberapa studi menganjurkan untuk menurunkan konsumsi alkohol pada penderita hipertensi. Dalam controlled studies pengurangan konsumsi alkohol dapat menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 4-8 mmHg, dan sedikit penurunan tekanan darah diastolik (Kotchen dan Kotchen, 1999). Studi yang dilakukan Hirayama et al. (2008) terhadap penduduk Jepang menggambarkan efek buruk alkohol terhadap kesehatan. Dilaporkan kelebihan asupan alkohol dapat mengakibatkan adiksi dan kegemukan. Konsumsi jangka panjang juga akan mempengaruhi metabolisme dan kondisi gizi, hingga hipertensi, sirosis hati, dan bahkan kanker. Studi ini merupakan studi pertama di Jepang yang dilakukan secara komprehensif untuk mengkaji kebiasaan konsumsi alkohol oleh penduduk dewasa di Jepang.
Kajian ini menyimpulkan bahwa
konsumsi alkohol sebesar 44 gram/hari adalah dua kali dari batas yang direkomendasikan.
Studi ini juga melaporkan bahwa minuman jenis bir
merupakan jenis minuman beralkohol yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Jepang. Kelemahan studi ini karena volume alkohol yang diminum berdasarkan pengakuan responden, bukan pengukuran langsung pada saat alkohol itu diminum, sehingga bias sangat mungkin terjadi.
92
Gangguan Mental Emosional Stres adalah reaksi manusia secara fisik dan mental terhadap berbagai jenis stressor. Semua peristiwa yang menimbulkan usaha-usaha perubahan pada diri manusia yang bersangkutan, baik peristiwa yang menyusahkan maupun menyenangkan, semua dianggap sebagai stressor (Henry & Stephens, 1997). Backs (1996) menentukan beberapa hal yang dapat menyebabkan stressor dengan tingkat yang berbeda antara lain suasana gembira, sedih, marah, peristiwaperistiwa khusus, dapat menimbulkan stress. Lew (1984) dalam Gary (2000) melaporkan bahwa stress mental berpengaruh terhadap tekanan darah penderita hipertensi. Akibat stres mental sistolik naik dari 150 menjadi 210 mmHg dan diastolik naik dari 100 menjadi 140 mmHg. Hubungan antara stress dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Apabila stress menjadi berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Stres kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan/minuman yang manis-manis dan berlemak tinggi untuk meningkatkan kadar lemak seretonin otak. Seretonin ini mempunyai efek penenang sementara untuk meredakan stres. Tetapi gula dan lemak itulah yang berbahaya bagi mereka yang berisiko terkena diabetes melitus.
Faktor-faktor Protektif Hipertensi dan Diabetes Melitus
Aktivitas Fisik Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi di luar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan bergantung pada berapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan (Almatsier, 2002). Komponen terbesar kedua dari penggunaan energi total setelah metabolisme basal yaitu penggunaan energi pada aktivitas fisik (Subcommitte of the RDAs, 1989). Riyadi (2006) menyatakan
93
bahwa jika dikatahui jumlah energi tubuh yang telah dikeluarkan selama aktivitas sehari maka sebenarnya jumlah tersebut merupakan kebutuhan energi seseorang, dengan asumsi aktivitas harian tersebut merupakan aktivitas normal sehari-hari untuk hidup sehat. Intensitas aktivitas fisik secara khusus digolongkan menjadi aktivitas ringan, sedang, dan berat yang didasarkan pada jumlah usaha atau energi yang digunakan seseorang untuk melakukan aktivitas (Anonim, 2006). Hardinsyah dan Martianto (1988) mengelompokkan pengeluaran energi berdasarkan jenis kegiatan antara lain: tidur, pekerjaan (ringan, sedang, berat), santai, dan kegiatan lainnya (kegiatan rumah tangga, sosial dan olah raga atau kesegaran jasmani). Kegiatan di rumah tangga meliputi: memperbaiki rumah, membersihkan rumah, dan memelihara pekarangan, menyiapkan makanan dan minuman, mengasuh anak, dan kegiatan lainnya di rumah tangga. Kegiatan sosial meliputi: menghadiri rapat, pertemuan, undangan, bertamu atau berkunjung, pergi ke tempat pelayanan kesehatan, ke tempat ibadah, dan lain-lain. Kegiatan olah raga meliputi: latihan, kesegaran jasmani, dan lain-lain. Olah raga ternyata juga dihubungkan dengan pengobatan terhadap hipertensi. Melalui olah raga yang isotonik dan teratur (aktivitas fisik aerobik selama 30-45 menit/hari) dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah. Selain itu dengan kurangnya olah raga maka risiko timbulnya obesitas akan bertambah, dan apabila asupan garam bertambah maka risiko timbulnya hipertensi juga akan bertambah.
Faktor-faktor yang dapat
menyebabkan timbulnya gangguan atau kerusakan pada pembuluh darah turut berperan pada penyakit hipertensi. Melakukan latihan fisik teratur memberikan manfaat, antara lain pengendalian kadar kolesterol dan peningkatan pengeluaran energi.
Kadar
kolesterol total, LDL dan trigliserida dalam darah menurun, sedangkan HDL meningkat secara nyata bila melakukan aktivitas fisik/olahraga secara teratur. Selain itu, pada orang yang biasa melakukan olahraga teratur, diameter pembuluh darah jantung tetap terjaga, sehingga kesempatan terjadinya pengendapan kolesterol pada pembuluh darah dapat dihindari (Karyadi, 2002).
94
Berolahraga secara teratur dapat meningkatkan pembakaran lemak dan kolesterol. Berolahraga keras bisa meningkatkan jumlah K-HDL dalam darah hingga 20-30%. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa kemampuan K-HDL menyingkirkan kolesterol bisa meningkat selama latihan fisik. Perubahan ini tidak bertahan lama. Jika kegiatan fisik dihentikan, kadar K-HDL dan kolesterol total dapat berubah kembali ke kadar semula (Kwiterovich, 1993). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hypertension Study Group menunjukkan bahwa aktivitas fisik sedang, memiliki risiko terkena hipertensi lebih kecil seperlima puluh kali dibandingkan dengan kelompok yang bergaya hidup sedentari (Quasem, 2001).
Sementara hasil penelitian Wilis (1995)
menunjukkan tidak adanya hubungan nyata antara aktivitas fisik (jam olahraga) dengan kadar kolesterol darah. Menurut Wilis, hal tersebut diduga karena jam olahraga terlalu rendah. Aktivitas fisik dijadikan sebagai salah satu bentuk terapi untuk mengendalikan kadar kolesterol darah, disamping dari faktor diet. Kombinasi terapi gaya hidup (diet dan aktivitas fisik) memberikan keuntungan lebih dalam menurunkan kadar kolesterol darah pada penderita dislipidemia karena diet dan aktivitas fisik memberikan efek yang saling melengkapi (Varady dan Jones, 2005). Anjuran olahraga bagi diabetesi bukan merupakan hal baru. Beberapa abad lalu seorang dokter terkenal dari Dinasti Sui mempromosikan manfaat olahraga bagi diabetesi.
Hal ini dibuktikan pula oleh berbagai penelitian yang bisa
disimpulkan bahwa olahraga yang teratur bersamaan dengan diet yang tepat dan penurunan berat badan (BB) merupakan penatalaksanaan diabetes yang dianjurkan terutama bagi penderita diabetes melitus tipe 2. Pada populasi yang tidak aktif (sedentari) insiden diabetes melitus tipe 2 tinggi. Penelitian yang dilakukan di US selama lima tahun (cohort study) menemukan bahwa kasus diabetes melitus tipe 2 lebih tinggi pada kelompok yang melakukan olahraga kurang dari 1 kali per minggu dibandingkan dengan kelompok yang melakukan olahraga 5 kali per minggu. Penelitian lain yang dilakukan selama 8 tahun pada 87.353 perawat wanita yang melakukan olahraga ditemukan penurunan risiko penyakit diabetes melitus tipe 2 sebesar 33% (Ilyas, 2002).
95
Meskipun sampai saat ini dasar penelitian tidak cukup kuat untuk mengambil sebuah kesimpulan, tapi penelitian-penelitian yang dipublikasikan menyatakan bahwa aktivitas sedang dan berat (40% hingga 75% dari pengikatan oksigen maksimum) mungkin paling efektif dalam menurunkan tekanan darah. Olahraga dapat menurunkan risiko stroke dan memperlambat terjadinya arterosklerosis (Kaplan, 2002). Melakukan aktivitas fisik secara teratur (aktivitas fisik aerobic selama 30-45 menit/hari) juga sangat efektif dalam mengurangi risiko relatif bagi pengidap hipertensi sampai mencapai 19-30%. Selain itu dengan kurangnya olahraga maka risiko timbulnya obesitas bertambah, dan apabila asupan garam bertambah maka risiko timbulnya hipertensi juga akan bertambah. Hasil studi yang dilakukan oleh MONICA III Tahun 2000 didapatkan bahwa prevalensi hipertensi pada orang yang berolahraga lebih tinggi daripada orang yang tidak berolahraga, namun secara statistic tidak bermakna. Hal tersebut dimungkinkan responden yang menderita hipertensi justru melakukan olahraga maupun kegiatan fisik aktif
sehingga terdapat kesan bahwa olahraga tidak
berhubungan dengan hipertensi. Pada cohort studi yang dilakukan selama 1-12 tahun, ditemukan bahwa orang yang tidak aktif atau tidak olahraga mempunyai risiko relatif menderita hipertensi sebesar 52% dibanding orang yang aktif atau melakukan olahraga (Kaplan, 2002).
Konsumsi Buah dan Sayur Salah satu bagian dalam piramida kesehatan manusia adalah perlunya mengkonsumsi buah dan sayuran yang dibutuhkan tubuh.
Disarankan untuk
mengkonsumsi 5 porsi buah dan sayuran dalam sehari. Artinya, 3 porsi sayur (kurang lebih 400 gram) dan 2 porsi buah (kurang lebih 250 gram). Buah dan sayuran memiliki kalori yang cukup rendah, tetapi kaya serat, antioksidan, vitamin dan mineral (Muchtadi dan Anjarsari, 1995). Peranan serat makanan tidak kalah pentingnya dibandingkan komponen esensial lainnya. Berdasar hasil penelitian epidemiologi yang dilakukan oleh Burkitt dan Trowell tahun 1970-an, diperoleh fakta bahwa penyakit degeneratif
96
jarang dijumpai di Afrika dibanding di Inggris. Pola konsumsi masyarakat di kedua negara tersebut berbeda. Sebagian besar masyarakat Afrika lebih banyak mengkonsumsi makanan berserat dibanding masyarakat Inggris. Selain mengurangi makanan berlemak jenuh tinggi, peningkatan konsumsi makanan berserat setiap hari ternyata mampu menurunkan kadar kolesterol dalam darah yang berarti pula menurunkan risiko berbagai serangan penyakit degeneratif. mengandung
Menurut Karyadi (1996) mengkonsumsi makanan yang banyak sayuran
dapat
mencegah
timbulnya
penyakit
degeneratif,
mengoreksi zat gizi tubuh yang kurang, memelihara kesehatan tubuh, memperlambat proses penuaan, memelihara sistem, kekebalan tubuh, mengatasi stress serta membantu penyembuhan penyakit. Cohort study yang dilakukan terhadap laki-laki paruh baya di Finlandia Timur mengindikasikan bahwa konsumsi yang tinggi terhadap buah dan sayuran mengurangi risiko kardiovaskular (Rissanen et al., 2003). Berdasar Cohort study meta-analysis, konsumsi buah dan sayur berbanding terbalik dengan risiko terjadinya penyakit jantung koroner. Setiap penambahan 4% porsi buah dan sayur setiap hari serta 7% konsumsi buah, dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit jantung koroner (Dauchet, Amouyel, Hercberg, Dallongeville, 2006). Joshipura KJ et al. (2001) melaporkan dari hasil studinya bahwa setiap penambahan satu porsi intik buah dan sayur akan memberikan dampak risiko penyakit jantung koroner 4% lebih rendah. Studi sepanjang tahun 1992-1999 terhadap intik sayur dan buah pada penduduk Jepang mencatat bahwa pada wanita-wanita yang intik sayurannya lebih tinggi menunjukkan angka kematian akibat penyakit kardiovaskular yang lebih rendah, sedangkan pada laki-laki kematian akibat penyakit kardiovaskular tidak berhubungan dengan intik sayur dan buah (Nakamura, Nagata, Oba, Takatsuka, Shimizu H, 2008).
Sebuah review yang dilakukan Ness & Powles (1997)
dilaporkan, sembilan dari sepuluh studi ekologi, dua atau tiga studi kasus dan enam dari 16 cohort studies menemukan kaitan signifikan antara konsumsi buah dan sayur terhadap penurunan risiko penyakit jantung koroner. Intik sayur, kacang-kacangan, dan buah-buahan mampu mengurangi risiko-risiko penyakit kardiovaskular bagi penderita diabetes. Pada penderita kardiovaskular, intik sayur
97
dan buah diperlukan lebih banyak dibanding penderita kanker (Nothlings et al., 2008). Studi epidemiologi yang dilakukan Steffen (2008) menunjukkan rendahnya konsumsi buah dan sayuran berkaitan dengan risiko penyakit kardiovaskular, stroke, diabetes tipe 2, tekanan darah tinggi, osteoporosis, kanker tertentu, dan kegemukan. Disebutkan oleh Steffen bahwa polyphenols (anggur merah, buah atau sayur) yang dikonsumsi bersama dengan makanan tinggi lemak dapat mengurangi efek lemak terutama kaitannya dengan kejadian aterosklerosis. Dua temuan meta analisis menguatkan Dietary Guidelines for Americans bahwa mengkonsumsi lebih dari 5 porsi (serving size) buah-buahan dan sayuran harian bermanfaat bagi kesehatan jantung dan pembuluh darah. France Paradox (Paradoks Perancis) dimana penduduk yang memiliki tingkat asupan lemak jenuh tinggi, ternyata rendah tingkat kejadian penyakit kardiovaskularnya kian menguatkan bukti manfaat konsumsi buah dan sayur dalam menurunkan risiko penyakit degeneratif.
Penduduk Perancis dikenal
dengan kesukaannya mengkonsumsi wine yang terbuat dari anggur merah yang kaya antioksidan. Pada awal perkembangan ilmu gizi di Indonesia, sayur-sayuran dan buahbuahan dikategorikan sebagai pangan sumber vitamin dan mineral, bahkan sampai sekarang pun masih banyak orang beranggapan demikian.
Padahal sumber
vitamin dan mineral yang lebih lengkap adalah bahan pangan hewani. Akan tetapi perkembangan ilmu pangan dan gizi menunjukkan bahwa sayur-sayuran dan buah-buahan mengandung komponen zat gizi dan non gizi yang sangat berguna bagi kesehatan, yaitu serat pangan (dietary fiber) disamping antioksidan seperti asam askorbat (vitamin C), tokoferol (vitamin E), karotenoid, klorofil, flavonoid, tanin dan asam organik tertentu. Dalam beberapa puluh tahun terakhir ini, serat pangan sering menjadi topik diskusi di kalangan para ahli klinis, ahli gizi dan ahli teknologi pangan. Meskipun tidak mempunyai nilai gizi, ternyata serat makanan diakui memberikan pengaruh positif bagi metabolisme zat gizi dan kesehatan tubuh. Dugaan bahwa serat (fiber) merupakan senyawa inert secara gizi didasarkan atas asumsi bahwa senyawa tersebut tidak dapat dicerna serta hasil-hasil
98
fermentasinya (oleh mikroflora usus) tidak dapat digunakan oleh tubuh. Hasilhasil penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa ternyata senyawa yang tidak dapat dicerna tersebut tidak hanya terdiri dari selulosa, tetapi juga lignin, hemiselulosa, pentosan, gum, dan senyawa pektik. Oleh karena itu akhirnya digunakan istilah serat pangan (dietary fiber) untuk menunjukkan bahwa lignin serta karbohidrat lain yang tidak dapat dicerna dan diserap oleh tubuh, termasuk ke dalamnya. Kadang-kadang juga digunakan istilah “residu non-nutritif” untuk menunjukkan bagian dari makanan yang tidak dapat dicerna dan diserap oleh tubuh. Akan tetapi sesungguhnya residu non-nutritif tersebut tidak sama dengan serat pangan, meskipun ada bagian-bagian pangan yang tercakup dalam keduanya. Perbedaan utama antara keduanya adalah pada residu non-nutritif terkandung dinding sel bakteri (mikroflora) usus yang juga tidak dapat dicerna oleh enzimenzim pencernaan. Secara umum serat pangan (dietary fiber) didefinisikan sebagai kelompok polisakarida dan polimer-polimer lain yang tidak dapat dicerna oleh sistem gastrointestinal bagian atas tubuh manusia.
Terdapat beberapa jenis
komponennya yang dapat dicerna (difermentasi) oleh mikroflora dalam usus besar menjadi produk-produk terfermentasi (Theander dan Aman, 1979; McAllan, 1985). Dari penelitian mutakhir diketahui bahwa serat pangan total (total dietary fiber, TDF) terdiri dari komponen serat pangan larut (soluble dietary fiber, SDF) dan serat pangan tidak larut (insoluble dietary fiber, IDF). SDF diartikan sebagai serat pangan yang dapat larut dalam air hangat atau panas serta dapat terendapkan oleh air yang telah dicampur dengan empat bagian etanol. Gum, pektin dan sebagian hemiselulosa larut yang terdapat dalam dinding sel tanaman merupakan sumber SDF. Adapun IDF diartikan sebagai serat pangan yang tidak larut dalam air panas maupun dingin. Sumber IDF adalah selulosa, lignin, sebagian besar hemiselulosa, sejumlah kecil kutin, lilin tanaman dan kadang-kadang senyawa pektat yang tidak dapat larut. IDF merupakan kelompok terbesar dari TDF dalam makanan, sedangkan SDF hanya menempati jumlah sepertiganya (Furda, 1981: Prosky et al., 1984; Prosky dan DeVries, 1992).
99
Menurut Selvedran dan Dupont (1984), sumber serat pangan dari sayuran terdapat dalam struktur dinding selnya, terutama pada jaringan parenkim dan sebagian dari jaringan terlignifikasi. Dinding sel tanaman terdiri dari tiga lapisan yang berbeda secara morfologis, yaitu lapisan antar sel (middle lamella), dinding sel pertama dan dinding sel kedua. Pada masa lalu, serat pangan (dietary fiber) hanya dianggap sebagai sumber energi yang tidak tersedia (non-available energy source) dan hanya dikenal mempunyai efek sebagai pencahar perut. Akan tetapi berdasarkan pengamatan peneliti-peneliti Inggris (Burkitt dan Trowell) pada tahun 1970-an, disimpulkan bahwa terdapat suatu hubungan erat antara konsumsi serat pangan dan insiden timbulnya berbagai macam penyakit. Berdasarkan pengamatan bahwa penduduk Afrika pedalaman mempunyai sedikit insiden penyakit karena banyak mengkonsumsi serat pangan dibandingkan dengan populasi di negara-negara maju, Burkitt dan Trowell menyimpulkan bahwa konsumsi serat pangan dalam jumlah banyak akan memberikan pertahanan tubuh terhadap timbulnya berbagai macam penyakit seperti kanker usus besar (colon), penyakit divertikular, penyakit kardiovaskular dan kegemukan (obesitas). Serat makanan memberikan efek hipokolesterolemik dengan cara mengikat asam empedu dan membuangnya ke feses. Peran ini berkaitan erat dengan pencegahan timbulnya penyakit jantung koroner. Menurut Kusharto (2006), beberapa penelitian mengemukakan adanya keragaman di dalam respon tubuh untuk meningkatkan intik serat makanan, karena komponen serat yang berbeda akan memberikan efek fisiologis yang berbeda pula. Kecukupan asupan serat kini dianjurkan semakin tinggi, mengingat banyak manfaat yang menguntungkan untuk kesehatan tubuh, adequate intake (AI) untuk serat makanan sebagai acuan untuk menjaga kesehatan saluran pencernaan dan kesehatan lainnya kini telah dikeluarkan oleh Badan Kesehatan Internasional. AI untuk serat makanan bagi orang dewasa adalah 20-35 g/hari (Fransisca, 2004). Sebelumnya menurut Southgate (1972) hanya 16-28 g/hari (Southgate, 1975) atau 1-4% dari crude intake British Diets (Southgate, 1973). Serat makanan dalam American Diets diperkirakan sekitar 5-8 g/100 g crude fiber (Burkitt,
100
1972). Menurut petunjuk Diet RSCM (1982), angka kecukupan serat yang dianjurkan 25 g/1000 kal, dan menurut Hardinsyah dan Tambunan (2004) angka kecukupan serat bagi orang dewasa adalah 19-30 g/kap/hari sedangkan bagi anakanak adalah 10-14 g/1000 kkal. Di samping pengaruh positif seperti telah dijelaskan di atas, serat pangan telah sejak lama diketahui sebagai penyebab ketidaktersediaan (unavailability) beberapa zat gizi.
Telah dibuktikan bahwa serat pangan mempengaruhi
bioavaibilitas (ketersediaan biologis) vitamin-vitamin larut lemak (terutama vitamin D dan E). Hal ini diduga karena terdapatnya pengaruh serat pangan terhadap asam/garam empedu, sedangkan asam empedu tersebut berperanan penting dalam pencernaan dan penyerapan lemak, termasuk vitamin-vitamin larut lemak (Leveille, 1977). Selain itu, telah pula dibuktikan melalui percobaan in vitro bahwa serat pangan yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda terhadap aktivitas enzim, demikian juga tidak semua enzim yang diproduksi oleh pankreas dapat dipengaruhi aktivitasnya oleh serat pangan. Penurunan aktivitas enzim-enzim tersebut diduga disebabkan karena adanya pengikatan (interaksi) oleh serat pangan. Akan tetapi mekanismenya tidak sama seperti halnya inhibitor protease yang dapat menginaktifkan enzim protease.
Diduga serat pangan hanya
berinteraksi dengan enzim protease, sedangkan enzim tersebut tetap aktif, namun aktivitasnya menurun. Dari kenyataan ini jelas bahwa meskipun serat pangan memberikan efek positif terhadap kesehatan, namun efek negatifnya juga ada. Sehingga serat pangan tidak boleh dikonsumsi secara berlebihan. Sayur dan buah adalah bahan pangan yang kaya kandungan vitamin, mineral, serat dan phytochemicals (fito-kimia).
Secara terpisah atau bersama-
sama berbagai komponen yang terkandung dalam buah-buahan dan sayuran tersebut berperan dalam mengurangi risiko kardiovaskular. Aspek fungsional lain dari buah dan sayuran adalah rendah kalori (Bazzano, Serdula, Liu, 2003). Prof. Bernhard Watzl dari Institute of Nutritional Physiology (FRCN) Karlshure, Jerman menyatakan bahwa fito-kimia terdiri dari karotenoid, fitosterol, saponin, glucosinlates, polifenol, protease inhibitors, monoterpen, dan fitoestrogen sulfid. Sebagai komponen bioaktif, fito-kimia memberi dampak faali,
101
metabolisme secara endogen dan eksogen melalui berbagai mekanisme reaksii tubuh. Fito-kimia mempunyai efek biologi yang efektif menghambat pertumbuhan kanker, sebagai antioksidan, mempunyai sifat menghambat pertumbuhan mikroba, menurunkan kolesterol darah, menurunkan kadar glukosa darah, bersifat antibiotik, dan menimbulkan efek peningkatan kekebalan. Dari sekitar 30.000 fito-kimia yang sudah diketahui sekarang, sebanyak 5.000- 10.000 terdapat dalam bahan pangan. Dan hampir 400.000 jenis tanaman mengandung fito-kimia. Berbagai penelitian menunjukkan, kerusakan pembuluh darah bisa dicegah dengan mengonsumsi antioksidan sejak dini. Dalam hal ini, antioksidan mampu menangkap radikal bebas dan mencegah dimulainya proses kerusakan pembuluh darah.
Antioksidan merupakan zat yang anti terhadap zat lain yang bekerja
sebagai oksidan. Zat lain itu populer disebut radikal bebas, yaitu suatu molekul oksigen dengan atom yang pada orbit terluarnya memiliki elektron yang tidak berpasangan. Karena kehilangan pasangannya itu, molekul lalu menjadi tidak stabil, liar, dan radikal. Dalam hal ini, antioksidan mampu menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektronnya, dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan stres oksidatif.