II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi dan Penyebab Penyakit Hipertensi Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah suatu keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah sistolik hingga mencapai 140 mmHg atau lebih dan tekanan darah diastolik mencapai 90 mmHg atau lebih secara persisten (Potter dan Perry, 2005). Menurut Rusyanuddin (2006), penyakit tekanan darah tinggi dapat dibedakan menjadi 2 macam berdasarkan faktor penyebabnya, yaitu : 1. Tekanan Darah Tinggi Primer Tekanan darah tinggi primer adalah tekanan darah tinggi kronis yang tidak diketahui penyebabnya, faktor penyebabnya dapat muncul karena berbagai faktor, misalnya seperti faktor genetik, perilaku, usia dan psikis. Lebih dari 90% kasus tekanan darah tinggi yang dialami masyarakat termasuk dalam kelompok tekanan darah tinggi primer. 2. Tekanan Darah Tinggi Sekunder Tekanan darah tinggi sekunder adalah tekanan darah tinggi yang muncul karena penyakit lain, tidak bersifat kronis, dan tidak diturunkan kepada generasi selanjutnya. Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan tekanan darah tinggi adalah penyakit ginjal dan kelainan hormonal. Tekanan darah tinggi sekunder terjadi pada 10% kasus-kasus hipertensi yang ada. Menurut Ardhiani (2009), penyakit tekanan darah tinggi juga dapat dibedakan berdasarkan tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik seseorang, seperti yang tertera pada Tabel 1.
8
9
Tabel 1. Kategori Tekanan Darah Manusia Kategori Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik Normal 130 mmHg 85 mmHg Normal Tinggi 130-139 mmHg 85-89 mmHg Tingkat 1 140-159 mmHg 90-99 mmHg Tingkat 2 160-179 mmHg 100-109 mmHg Tingkat 3 180-209 mmHg 110-119 mmHg Tingkat 4 210 atau lebih 120 atau lebih Sumber : The Joint National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, 1995. Menurut Sheps dan Sheldon (2005), penanganan untuk menurunkan tekanan darah tinggi pada dasarnya dapat dilakukan secara alami dengan cara mengkonsumsi tumbuhan-tumbuhan herbal yang diyakini dapat menurunkan tekanan darah tinggi. Beberapa contoh tumbuhan yang mampu menurunkan tekanan darah tinggi diantaranya adalah buah alpukat, mengkudu, mentimun, daun seledri, daun selada air, daun kumis kucing, dan bunga rosella. Para ahli di berbagai negara telah merekomendasikan bunga rosella sebagai alternatif untuk menurunkan tekanan darah (Maryani dan Kristiana, 2005).
B. Kedudukan Taksonomi dan Kandungan Gizi Rosella Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) merupakan salah satu anggota famili Malvaceae yang tumbuh dengan baik di daerah beriklim tropis dan subtropis. Tanaman ini merupakan tanaman semak dengan tinggi 3-5 m. Batang tanaman rosella berbentuk silindris dan berkayu, serta memiliki banyak percabangan. Pada batang melekat daun yang tersusun berseling, berwarna hijau, berbentuk bulat telur dengan pertulangan menjari dan tepi meringgit. Ujung daunnya ada yang runcing atau bercangap, panjang daun 6-15 cm, lebar daun 5-8 cm, dan akarnya merupakan akar tunggang (Widyanto dan Nelistya, 2008).
10
Tanaman rosella mempunyai bunga yang berwarna merah. Kelopak bunga atau kaliksnya berwarna merah gelap. Bunga rosella yang keluar dari ketiak daun merupakan bunga tunggal, artinya setiap tangkai hanya terdapat 1 bunga. Bunga ini mempunyai 8-11 helai kelopak yang berbulu, panjangnya 1 cm, dan pangkalnya saling berlekatan. Mahkota bunga rosella terdiri dari 5 helaian, berbentuk corong, panjangnya sekitar 3-5 cm, dan berwarna merah. Kedua bagian inilah yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan dasar pembuatan makanan dan minuman (Maryani dan Kristiana, 2005). Tangkai sari yang merupakan tempat melekatnya benang-benang sari berukuran pendek dan tebal, panjangnya sekitar 5 mm, dan lebar sekitar 5 mm. Putik berbentuk tabung, berwarna kuning atau merah (Mardiah dkk., 2009). Buah berbentuk kotak kerucut, berambut, terbagi menjadi 5 ruang, berwarna merah. Bentuk biji menyerupai ginjal, berbulu dengan panjang 5 mm dan lebar 4 mm. Saat masih muda, biji bunga berwarna putih dan setelah tua berubah warna menjadi abu-abu (Devi, 2009). Gambar morfologi bunga rosella beserta hasil panen bunganya dapat dilihat pada Gambar 1a dan 1b.
(a) (b) (c) Gambar 1a. Morfologi Bunga Rosella Gambar 1b. Bunga Rosella Segar (a) Mahkota Bunga, (b) Kelopak Bunga, (c) Tangkai Bunga (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
11
Menurut Mardiah dkk. (2009), kedudukan taksonomi tanaman rosella adalah sebagai berikut : Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Plantae : Spermatophyta : Dicotyledoneae : Malvaceales : Malvaceae : Hibiscus : Hibiscus sabdariffa L.
Berbagai kandungan yang terdapat di dalam tanaman rosella membuat tanaman ini popular sebagai tanaman obat tradisional. Bunga rosella diketahui mengandung vitamin C, vitamin D, vitamin B1 dan B2, niacin, riboflavin, betakaroten, zat besi, asam amino, polisakarida, omega 3, serat, dan kalsium. Rasa asam bunga rosella disebabkan karena kandungan vitamin C, asam sitrat, dan asam glikolik di dalamnya (Maryani dan Kristiana, 2005). Secara lengkap, komposisi kimiawi bunga rosella dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi Kimia Bunga Rosella per 100 g Bahan Komposisi Kimia Satuan Kalori kal Air g Protein g Lemak g Karbohidrat g Serat g Abu g Kalsium mg Fosfor mg Besi mg Betakaroten g Vitamin C mg Thiamin mg Riboflavin mg Niasin mg Sumber : Maryani dan Kristiana (2005) Mardiah dkk. (2009)*
Jumlah 44 86,2 1,6 0,1 11,1 2,5 1,0 160 60 3,8 285 214,68* 0,04 0,6 0,5
12
Mahkota dan kelopak bunga rosella diketahui mengandung senyawa antioksidan yang dapat menghambat terakumulasinya radikal bebas penyebab berbagai penyakit kronis dan penuaan dini. Zat aktif yang berperan dalam bunga rosella diantaranya adalah gossypetin, gluside, hibiscin, flavonoid, dan antosianin (Widyanto dan Nelistya, 2008). Jenis antosianin yang terdapat pada bunga rosella adalah delphinidin-3-sambusiode dan cyaniding-3-sambusioside dengan kadar 96 mg tiap 100 g bunga rosella (Mardiah, 2010). Antosianin dalam bunga rosella bermanfaat untuk mencegah kanker, terutama kanker yang disebabkan oleh radikal bebas. Antosianin juga mampu memberikan efek perlindungan terhadap penyakit kardiovaskuler, termasuk penyakit hipertensi (Mardiah, 2010). Selain itu, senyawa theflavin dan katekin yang terkandung dalam bunga rosella berperan dalam membantu mengontrol kadar kolesterol darah dengan cara membatasi penyerapan kolesterol dan turut meningkatkan pembuangan kolesterol dari hati (Kusmardiyana dkk., 2007).
C. Senyawa Antosianin dan Manfaatnya bagi Kesehatan Antosianin merupakan zat pewarna yang paling penting dan tersebar luas pada berbagai jaringan tumbuhan. Antosianin adalah senyawa fenolik yang termasuk dalam kelompok flavonoid dan berfungsi sebagai antioksidan (Herani dan Rahardjo, 2005). Pigmen warna yang kuat dan larut dalam air ini merupakan dasar bagi sebagian besar warna merah jambu, merah senduduk, merah marak, ungu, dan biru yang mewarnai bunga, daun, dan buah tanaman tingkat tinggi (Harborne, 1987).
13
Secara kimiawi, senyawa antosianin merupakan turunan dari struktur aromatik tunggal yaitu pigmen sianidin yang terbentuk melalui penambahan atau pengurangan gugus hidroksil, metilasi atau glikosilasi (Kong dkk., 2003). Antosianin dapat digolongkan menjadi 6 macam yaitu pelargonidin, sianidin, delfinidin, peonidin, petunidin dan malvidin. Keenam jenis antosianin tersebut terdapat sebagai sederetan glikosida terikat. Keragaman utamanya adalah sifat gulanya, jumlah satuan gulanya, dan letak ikatan gulanya (Harborne, 1987). Struktur keenam antosianin tersebut dapat dilihat pada Gambar 2a – 2f.
Gambar 2a. Struktur Pelargonidin
Gambar 2b. Struktur Sianidin
Gambar 2c. Struktur Delfinidin
Gambar 2d. Struktur Peonidin
Gambar 2e. Struktur Petunidin Gambar 2f. Struktur Malvidin (Sumber : Harborne, 1987) Senyawa antosianin termasuk dalam kelompok flavonoid dari senyawa polifenol yang memiliki urutan kerangka karbon C3C6C3 (Brouillard, 1982). Antosianin merupakan glikosida yang diturunkan dari gugus polihidroksi dan polimetoksi kation 2-fenilbenzopirilium atau kation flavium yang mudah larut dalam air dan stabil jika mengalami glikosilasi (Kong dkk., 2003).
14
Secara umum, antosianin tersusun dari aglikon (antosianidin), molekul gula, dan pada beberapa antosianin residu gula diasilasi oleh asam organik. Sebagian besar gugus gula yang menyusun antosianin adalah monosakarida seperti glukosa, galaktosa, ramnosa, xilosa, dan arabinosa (Kong dkk., 2003). Gugus monosakarida terletak pada C-3 dari aglikon. Pada diglikosida, dua monosakarida terletak pada C-3 dan C-5 dan jarang terletak pada C-3 dan C-7. Pada triglikosida, monosakarida terletak pada aglikon dimana 2 monosakarida pada C-3 dan satu monosakarida pada C-5 atau C-7 (Brouillard, 1982). Penelitian terhadap pigmen antosianin telah dilakukan secara intensif selama beberapa tahun terakhir ini karena diketahui manfaatnya yang besar terhadap kesehatan yaitu mampu mengurangi resiko penyakit jantung koroner, stroke, antikarsinogen, efek antiinflamasi, memperbaiki ketajaman mata, dan memperbaiki perilaku kognitif pada manusia (Wrolstad, 2004). JEFCA (Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives) menyatakan bahwa ekstrak yang mengandung antosianin memiliki toksisitas yang rendah (Santoso, 2006). Antosianin merupakan senyawa yang memiliki kemampuan sebagai antioksidan. Kemampuan antioksidatif antosianin berasal dari reaktifitasnya yang tinggi sebagai pendonor ion hidrogen dan kemampuan radikal turunan polifenol yang dimilikinya untuk menstabilkan dan mendelokalisasi elektron tidak berpasangan atau sebagai senyawa penangkap (scavenger) radikal bebas. (Markakis, 1992). Selain itu, senyawa antosianin juga memiliki kemampuan untuk mengkhelat ion-ion logam (Rice-Evans dkk., 1997). Antosianin dalam bentuk aglikon lebih aktif dibandingkan bentuk glikosida (Santoso, 2006).
15
Antosianin dapat diabsorpsi dalam bentuk molekul utuh di lambung meskipun absorpsinya jauh di bawah 1% (Passamonti dkk., 2003). Setelah dibawa ke tempat yang memiliki aktivitas metabolik tinggi, antosianin akan memperlihatkan aktivitas sistemik seperti antineoplastik, antikarsinogenik, antiatherogenik, antiviral, antiinflamasi, menurunkan permeabilitas dan fungsi fragilitas kapiler darah, serta menghambat agregasi platelet. Semua aktivitas tersebut menunjukkan peranannya sebagai antioksidan (Pokorny dkk., 2001). Aktivitas antosianin sebagai senyawa antioksidan pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh substrat yang digunakan (Pokorny dkk., 2001). Faktor-faktor yang memengaruhi aktivitas antosianin meliputi struktur dan konsentrasi antosianin, pH, suhu, serta keberadaan oksigen dan cahaya di dalam substrat (Jackman dan Smith, 1996). pH substrat akan sangat memengaruhi aktivitas antosianin. Antosianin kurang efektif sebagai metal chelators pada kondisi pH rendah, tetapi kemampuan mendonorkan hidrogen (hydrogendonating activity) antosianin akan semakin meningkat pada kondisi asam. Antosianin lebih stabil pada pH asam daripada pada pH netral atau basa (Markakis, 1992). Warna dan stabilitas antosianin dipengaruhi oleh substituen gugus gula dan asil pada aglikon. Hidrolisis gugus gula pada molekul antosianin adalah penyebab utama degradasi antosianin. Antosianin dapat mengalami degradasi dengan beberapa mekanisme yang akan mengubah warna antosianin menjadi produk larut tidak berwarna atau berwarna coklat (Harborne, 1987). Degradasi antosianin tidak hanya terjadi selama ekstraksi dari jaringan tanaman, tetapi juga selama proses pengolahan dan penyimpanan (Rice-Evans dkk., 1997).
16
D. Metode Ekstraksi untuk Senyawa Antosianin Ekstraksi merupakan cara pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu bahan yang merupakan sumber komponen tersebut. Komponen yang dipisahkan dengan metode ekstraksi dapat berupa padatan dari suatu sistem campuran padat-cair ataupun cairan dari campuran cair-cair (Mardiah, 2010). Metode ekstraksi yang tepat tergantung pada tekstur dan kandungan air bahan serta tergantung pada jenis senyawa yang akan diisolasi (Harborne, 1987). Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode maserasi. Istilah maserasi berasal dari bahasa Latin macarace yang artinya merendam (Harborne, 1987). Proses maserasi dipengaruhi oleh sifat senyawa pelarut, kemampuan sistem pelarut, dan waktu maserasi (Ansel, 1989). Sistem pelarut yang digunakan harus dipilih berdasarkan kemampuan pelarut tersebut dalam melarutkan jumlah maksimum dari senyawa aktif yang diinginkan serta seminim mungkin dari unsur yang tidak diinginkan (Anonim, 2000). Ekstraksi antosianin pada dasarnya dapat dilakukan dengan beberapa jenis solven. Budiarto (1991) mengekstraksi kulit buah manggis menggunakan solven air, metanol, dan etanol. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa intensitas warna dan kadar antosianin ekstrak yang menggunakan solven air lebih rendah daripada metanol dan etanol. Hal ini diduga polaritas senyawa antosianin lebih rendah dibandingkan air sehingga pelarut yang baik untuk antosianin adalah solven yang bersifat kurang polar. Akan tetapi oleh karena metanol dan etanol bersifat toksik, umumnya sistem pangan menggunakan air yang diasamkan dengan HCl (Francis, 1982; Yu dan Cahoon, 1998).
17
Toksisitas pelarut yang digunakan merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan dalam ekstraksi antosianin karena antosianin yang diperoleh akan diaplikasikan pada produk pangan fungsional, sehingga keamanannya harus sangat diperhatikan (Mardawati dkk., 2008). Hidayat dan Saati (2006) melakukan suatu penelitian dan menemukan bahwa jenis pelarut yang aman untuk mengekstrak antosianin dari bahan pangan adalah air (akuades) yang dikombinasikan dengan asam organik, seperti asam sitrat dan asam asetat.
E. Asam Sitrat sebagai Pengekstrak Senyawa Antosianin Asam sitrat (C6H8O7) adalah asam organik lemah yang secara alami terdapat pada buah, seperti jeruk, nanas, dan pear (Rahman, 1992). Pada suhu kamar, asam sitrat berbentuk serbuk kristal dan berwarna putih. Serbuk kristal dapat berupa bentuk anhydrous (bebas air) atau monohidrat yang mengandung 1 molekul air untuk setiap molekul asam sitrat (Narayama dkk., 2006). Bentuk anhydrous akan mengkristal dalam air panas, sedangkan bentuk monohidrat diperoleh dari proses kristalisasi dalam air dingin (Nollet, 1996). Asam sitrat banyak digunakan dalam industri makanan, minuman, dan obat-obatan. Pada industri makanan, asam sitrat berfungsi sebagai pemberi derajat keasaman, flavouring agent, atau chelating agent (Rahman, 1992). Sebagai chelating agent, asam sitrat mampu mengikat logam bivalen seperti Mn, Mg, Fe yang berperan sebagai katalisator dalam reaksi-reaksi biologis di dalam sel sehingga penambahan asam sitrat akan menghilangkan kesadahan air dan mengawetkan bahan pangan (Frazier dan Westhoff, 1979).
18
Pada dasarnya, asam sitrat juga memiliki kemampuan untuk mengikat senyawa organik golongan flavonoid karena derajat keasamannya yang tinggi (pH 1,2 – 3,0). Penambahan asam sitrat pada proses ekstraksi bertujuan untuk mengoptimalkan hasil ekstraksi karena asam mampu mendenaturasi membran sel tanaman, melarutkan pigmen antosianin sehingga dapat keluar dari dalam sel, serta mampu mencegah oksidasi flavonoid (Mardiah, 2010). Secara umum, ekstraksi antosianin menggunakan pelarut air dan asam sitrat tidak menunjukkan hasil berbeda nyata jika dibandingkan menggunakan alkohol. Perbedaannya hanya terletak pada proses evaporasi yang lebih lama menggunakan air karena titik didih air (100oC) lebih tinggi daripada alkohol (78oC) (Hidayat dan Saati, 2006). Oleh karena itu, ekstraksi pigmen antosianin dalam penelitian ini dilakukan penambahan asam sitrat 2% dalam akuades.
F. Minuman Probiotik sebagai Produk Pangan Fungsional Minuman fermentasi probiotik adalah minuman yang dibuat dengan memanfaatkan bakteri probiotik untuk membantu proses fermentasi bahan pangan (Winarno, 2003). Minuman probiotik dikenal sebagai produk pangan fungsional karena mampu mendukung fungsi saluran cerna manusia. Beberapa manfaat mengkonsumsi minuman probiotik diantaranya adalah meningkatkan sistem kekebalan tubuh, mempercepat waktu transit makanan, menurunkan keparahan diare, mengatasi masalah lactose intolerance, alergi, kanker kolon, menurunkan kolesterol, menurunkan tekanan darah, memperlambat proses penuaan, serta mencegah infeksi urogenital (Schrezenmeir dan Vrese, 2001).
19
Produk minuman probiotik yang umumnya lebih dikenal masyarakat di pasaran adalah yoghurt. Akan tetapi, Vrese dkk. (2001) menyatakan bahwa tidak semua yoghurt sama dengan minuman probiotik. Hal ini disebabkan karena bakteri asam laktat yang terkandung dalam yoghurt tradisional tidak mampu bertahan hidup ketika mencapai usus halus. Menurut Waspodo (2007), Lactobacillus bullgaricus dan Streptococcus thermophillus tidak berpotensi sebagai bakteri probiotik karena kedua bakteri tersebut tidak mampu bertahan terhadap kondisi asam lambung dan garam empedu usus. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar bakteri probiotik mampu bertahan hidup dan aktif ketika masuk ke dalam organ gastrointestinal, yaitu keadaan psikologis bakteri probiotik, kondisi fisik produk, komposisi kimiawi produk, dan interaksi antara bakteri probiotik dengan kultur starter atau interaksinya dengan medium fermentasi (Chapman dan Hall, 1997). Standar internasional untuk jumlah bakteri asam laktat yang harus terkandung dalam suatu produk minuman probiotik adalah minimal 10 7 sel/ml. Angka tersebut menunjukkan jumlah minimal bakteri asam laktat yang harus terkandung dalam produk minuman probiotik agar dapat memberikan efek kesehatan bagi saluran pencernaan manusia (Davidson dkk., 2000). Secara umum, produk minuman probiotik juga dapat disetarakan dengan minuman susu fermentasi. Oleh karena sejauh ini belum terdapat SNI untuk minuman probiotik, maka syarat mutu minuman probiotik mengacu pada syarat mutu minuman susu fermentasi. Syarat mutu minuman susu fermentasi berperisa menurut SNI 7552 : 2009 dapat dilihat pada Tabel 3.
20
Tabel 3. Syarat Mutu Minuman Susu Fermentasi Berperisa Persyaratan Tanpa perlakuan Dengan perlakuan panas setelah panas setelah No. Kriteria Uji Satuan fermentasi fermentasi Tanpa Tanpa Normal Normal Lemak Lemak 1 Keadaan 1.1 Penampakan cair cair 1.2 Bau normal / khas normal / khas 1.3 Rasa asam / khas asam / khas 1.4 Homogenitas homogen homogen 2 Lemak (b/b) % min 0,6 maks 0,5 min 0,6 maks 0,5 Padatan susu 3 tanpa lemak % min 3,0 min 3,0 (b/b) Protein (Nx6,38) 4 % min 1,0 min 1,0 (b/b) 5 Abu (b/b) % maks 1,0 maks 1,0 Keasaman tertitrasi 6 (dihitung % 0,2 s.d 0,9 0,2 s.d 0,9 sebagai asam laktat) (b/b) 7 Cemaran logam 7.1 Timbal (Pb) mg/kg maks 0,02 maks 0,02 7.2 Merkuri (Hg) mg/kg maks 0,03 maks 0,03 Cemaran arsen 8 mg/kg maks 0,1 maks 0,1 (As) Cemaran 9 mikrobia 9.1 Bakteri coliform APM/ml maks 10 maks 10 Salmonella sp./ 9.2 negatif negatif 25 ml Listeria 9.3 monocytogenes/ negatif negatif 25 ml Koloni / 10 Kultur starter min 1 x 107 ml Sumber : SNI 7552 : 2009
21
G. Bakteri Asam Laktat Sebagai Probiotik Salminen dkk. (2004) mendefinisikan probiotik sebagai sediaan sel-sel mikrobia hidup yang memiliki pengaruh menguntungkan terhadap kesehatan dan kehidupan inangnya. Probiotik memiliki hubungan timbal balik dengan mikroflora usus dan epitelium usus dengan meregulasi fungsi tubuh dan turut memengaruhi fungsi tubuh yang berhubungan dengan faktor resiko. Secara normal, bakteri probiotik dapat mendukung penyerapan laktosa dalam usus kecil yang memiliki tingkat efisiensi rendah (Antoine, 2007). Namun, bakteri probiotik sangat mudah mengalami degradasi oleh panas, cahaya, dan oksigen sehingga produk probiotik sebaiknya disimpan pada suhu di bawah 7oC agar bakteri tetap hidup dan aktif (Lahteenmaki dan Ledeboer, 2006). Menurut Antoine (2007), beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu bakteri probiotik adalah sebagai berikut : 1. Bersifat non-patogenik dan mewakili mikrobiota normal usus dari inang tertentu, serta masih aktif pada kondisi asam lambung dan konsentrasi garam empedu yang tinggi dalam usus halus, 2. Mampu tumbuh dan melakukan metabolisme dengan cepat serta terdapat dalam jumlah yang tinggi (mencapai 106 – 107 sel) dalam usus halus, 3. Dapat mengkolonisasi beberapa bagian dari saluran usus untuk sementara, 4. Dapat memproduksi asam-asam organik secara efisien dan memiliki sifat antimikrobia terhadap bakteri merugikan, 5. Mudah diproduksi, mampu tumbuh dalam sistem produksi skala besar, dan mampu hidup selama kondisi penyimpanan.
22
Ketahanan terhadap asam lambung merupakan syarat penting suatu isolat untuk menjadi probiotik. Asam lambung memiliki pH sekitar 2,5 yang terdiri dari air, lendir, garam, dan enzim (Scientific Summary, 2007). Baliwati dkk. (2004) menyatakan bahwa waktu yang diperlukan saat bakteri masuk sampai keluar dari lambung adalah sekitar 90 menit. Setelah bakteri berhasil melewati lambung maka mereka akan memasuki saluran usus tempat garam empedu disekresikan, selanjutnya bakteri probiotik harus dapat bertahan hidup terhadap garam empedu pada usus dua belas jari (Davidson dkk., 2000). Rolfe (2000) menyatakan bahwa probiotik dapat berupa bakteri Gram positif, Gram negatif, khamir, atau fungi. Namun, jenis mikrobia yang paling umum digunakan dalam pembuatan pangan probiotik berasal dari kelompok bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat sering digunakan dalam pengolahan pangan karena tergolong sebagai GRAS (Generally Recognized as Safe), tidak bersifat patogen dan kemampuannya untuk hidup di dalam saluran pencernaan mampu menekan pertumbuhan bakteri patogen enterik (Fardiaz, 1992). Bakteri asam laktat adalah bakteri yang mampu memproduksi asam laktat, termasuk bakteri Gram positif, tidak membentuk spora, sel berbentuk batang atau bulat (baik tunggal, berpasangan maupun berantai), dan berbentuk tetrad. Klasifikasi bakteri asam laktat didasarkan pada morfologi, fermentasi glukosa, suhu pertumbuhan, kemampuan tumbuh pada konsentrasi garam, dan tingkat toleransi terhadap asam-basa. Bakteri asam laktat terdiri dari kelompok Lactobacillus, Leuconostoc, Lactococcus, Streptococcus, Bifidobacterium, dan Pediococcus (Stammer, 1976).
23
Suatu spesies / strain bakteri asam laktat dinyatakan berpotensi sebagai kandidat mikrobia probiotik jika berhasil melewati serangkaian uji probiotik yang meliputi uji ketahanan terhadap pH asam, uji ketahanan terhadap garam empedu, uji ketahanan terhadap bakteri patogen, dan uji interaksinya dengan bakteri non-patogen (Fardiaz, 1992). Khanifah (2012) melakukan penelitian untuk membuktikan potensi sifat probiotik bakteri Lactobacillus plantarum dengan pengujian in-vitro. Penelitian ini dilakukan dengan menguji ketahanan Lactobacillus plantarum terhadap kondisi pH asam (pH 2, 3, dan 4), garam empedu konsentrasi 0,3%, penghambatan terhadap bakteri patogen meliputi Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Salmonella typhimurium serta uji interaksinya dengan bakteri non-patogen Lactobacillus paracasei. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Lactobacillus plantarum dinyatakan berpotensi sebagai kandidat mikrobia probiotik.
H. Deskripsi dan Kedudukan Taksonomi Lactobacillus plantarum Menurut Gilliland (1986), Lactobacillus plantarum merupakan 1 dari 27 spesies yang termasuk dalam genus Lactobacillus famili Lactobacillaceae. Lactobacillus plantarum tergolong bakteri Gram positif, nonmotil, batang, pada umumnya berukuran 0,6-0,8 µm x 1,2-6,0 µm, berantai tunggal atau banyak dan pendek. Bakteri ini bersifat katalase negatif, tidak berspora, tidak mereduksi nitrat menjadi nitrit, tidak memproduksi NH3 dari arginin, bersifat fakultatif anaerob, dan tumbuh optimum pada suhu 30-35oC tetapi tidak dapat tumbuh pada suhu 7oC (Buckle dkk., 1987).
24
Lactobacillus plantarum bersifat toleran terhadap garam, memproduksi asam dengan cepat dan memiliki pH optimum 3,0 – 4,6. Bakteri Lactobacillus plantarum lebih tahan terhadap keadaan asam sehingga lebih banyak terdapat pada tahapan terakhir di dalam proses fermentasi (Gilliland, 1986). Selain itu, Lactobacillus plantarum memiliki sifat antagonis terhadap mikrobia penyebab kerusakan makanan seperti Staphylococcus aureus, Salmonella, dan beberapa jenis bakteri Gram negatif lainnya (Buckle dkk., 1987). Bakteri Lactobacillus plantarum berperan dalam pembentukan asam laktat, penghasil hidrogen peroksida tertinggi jika dibandingkan bakteri asam laktat lain, dan mampu menghasilkan bakteriosin yang merupakan senyawa protein dengan efek bakterisidal. Lactobacillus plantarum dapat memproduksi bakteriosin yang merupakan bakterisidal bagi sel dan menyebabkan kematian sel dengan cepat walaupun pada konsentrasi rendah (Buckle dkk., 1987). Fermentasi glukosa oleh bakteri ini bersifat fakultatif heterofermentatif sehingga tidak menghasilkan gas. Jenis karbohidrat yang dapat difermentasi oleh Lactobacillus plantarum meliputi jenis gula pereduksi, seperti fruktosa, glukosa, sukrosa, maltosa, laktosa, dan galaktosa (Gilliland, 1986). Menurut Hoover (1993), kedudukan taksonomi bakteri Lactobacillus plantarum dapat diuraikan sebagai berikut : Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Bacteria : Firmicutes : Bacilli : Lactobacillales : Lactobacillaceae : Lactabacillus : Lactobacillus plantarum
25
I. Nutrisi Pertumbuhan bagi Bakteri Asam Laktat 1. Laktosa Bakteri Lactobacillus plantarum adalah jenis bakteri yang mampu memetabolisme laktosa untuk menghasilkan asam laktat. Fermentasi asam laktat pada umumnya terjadi dalam kondisi kekurangan oksigen (anaerob) (Buckle dkk., 1987). Selama proses fermentasi, laktosa berfungsi sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan bakteri, sebagai bahan pembentuk sel, dan untuk biosintesis produk metabolisme. Konsentrasi laktosa yang tepat akan memberikan pertumbuhan optimum bagi bakteri (Rahman, 1989). Sinuhaji (2006) menyatakan bahwa laktosa lebih mudah diuraikan oleh golongan Lactobacillus karena bakteri ini dapat menghasilkan enzim β-D galaktosidase dalam kadar tinggi. Penambahan nutrisi laktosa 7,5% didasarkan pada penelitian Liasari (2008) yang menemukan bahwa jenis gula yang lebih mendukung pertumbuhan Lactobacillus plantarum adalah laktosa jika dibandingkan dengan glukosa dan sukrosa. Perwitasari (2010) melakukan penelitian lanjutan dan menemukan bahwa konsentrasi laktosa yang paling mendukung pertumbuhan bakteri Lactobacillus plantarum adalah 7,5%. Struktur molekul laktosa dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur Molekul Laktosa (Sumber : Sinuhaji, 2006)
26
2. Diamonium Hidrogen Fosfat (NH4)2HPO4 Nitrogen merupakan salah satu unsur alami yang dibutuhkan dalam jumlah besar pada proses fermentasi asam laktat (10-15% berat kering sel). Unsur nitrogen dapat diserap oleh bakteri dalam bentuk anorganik maupun organik (Timotius, 1982). Penambahan unsur nitrogen ke dalam medium fermentasi akan meningkatkan jumlah polisakarida yang terbentuk. Di sisi lain, tipe dan konsentrasi sumber nitrogen juga turut berpengaruh terhadap proses fermentasi. Sumber nitrogen yang dapat digunakan misalnya seperti ammonium fosfat, ekstrak khamir, dan pepton (Jin dkk., 2005). Prescott dan Dunn (1994) menyatakan bahwa diamonium hidrogen fosfat ((NH4)2HPO4) adalah sumber nitrogen yang paling sesuai digunakan dalam proses fermentasi karena bahan ini mempunyai kandungan nutrien yang tinggi, yaitu fosfor (P) dan nitrogen (N), mempunyai kelarutan yang tinggi, mempunyai sifat yang stabil selama penyimpanan dan penanganan, serta mudah didapat dan harganya murah. Pada penelitian ini, penambahan diamonium hidrogen fosfat 0,2% didasarkan pada hasil penilitian Liasari (2008) yang menemukan bahwa Lactobacillus plantarum tumbuh paling optimal dengan penambahan diamonium hidrogen fosfat pada konsentrasi 0,2%. Struktur kimia ((NH4)2HPO4) dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur Kimia (NH4)2HPO4 (Sumber : Prescott dan Dunn, 1994)
27
3. Sorbitol Menurut Buckle dkk. (1987), asam laktat yang dihasilkan selama proses fermentasi akan menurunkan pH substrat. Lactobacillus plantarum yang tumbuh optimal dapat meningkatkan kadar keasaman produk hingga 2%. Peningkatan kadar keasaman substrat akan menyebabkan rasa produk menjadi sangat asam dengan pH berkisar antara 1,0 – 3,0. Oleh karena itu, penambahan jenis gula yang tidak dapat dimanfaatkan oleh Lactobacillus plantarum perlu dilakukan untuk meningkatkan citarasa produk akhir. Gula alkohol adalah gula yang komposisi kimianya terdiri dari tiga atau lebih kelompok hidroksil. Jenis-jenis gula alkohol antara lain sorbitol, xylitol, manitol, dulcitol, dan inositol (Soesilo dkk, 2005). Sorbitol dikenal sebagai pemanis alternatif yang sering digunakan sebagai bahan tambahan pangan, karena sorbitol memiliki rasa manis dan kalori yang lebih rendah dibandingkan dengan sukrosa. Sorbitol secara alami tidak dapat diuraikan oleh Lactobacillus plantarum karena bakteri tersebut tidak memiliki enzim pengurai gugus hidroksil pada sorbitol yaitu enzim sorbitol-dehydrogenase (Adcock dan Gray, 1992). Struktur sorbitol dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur Kimia Sorbitol (Sumber : Adcock dan Gray, 1992)
28
J. Proses Fermentasi Asam Laktat Menurut Melani (2009), fermentasi asam laktat adalah suatu proses fermentasi yang terjadi akibat aktivitas bakteri asam laktat. Selama proses fermentasi anaerob, bakteri asam laktat di dalam medium akan menguraikan glukosa menjadi asam laktat dan energi bagi sel. Reaksi yang terjadi selama proses fermentasi asam laktat dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini. C6H12O6
2 C2H3OCOOH + Energi (Glikolisis) Enzim
Glukosa
Asam Piruvat
2 C2H3OCOOH + 2 NADH2
2 C2H5OCOOH + 2 NAD Piruvat Dehidrogenase
Asam Piruvat
Asam Laktat Gambar 6. Reaksi Fermentasi Asam Laktat (Sumber : Melani, 2009)
Bakteri asam laktat pada dasarnya dapat dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan kemampuan fermentasinya yaitu bakteri obligat homofermentatif, fakultatif heterofermentatif, dan obligat heterofermentatif. Kelompok obligat homofermentatif adalah kelompok bakteri yang hanya mampu memfermentasi heksosa secara khusus menjadi komponen asam laktat, sementara kelompok fakultatif heterofermentatif mampu mengubah glukosa, heksosa, dan pentosa menjadi komponen asam laktat. Kelompok bakteri obligat heterofermentatif adalah kelompok bakteri yang mampu memfermentasi glukosa, heksosa, dan pentosa lainnya menjadi asam laktat, etanol, asam asetat, asam format, dan gas CO2. Menurut Tamime dan Robinson (1989), strain Lactobacillus plantarum termasuk dalam kelompok fakultatif heterofermentatif yang mampu mengubah glukosa, heksosa, dan pentosa menjadi komponen asam laktat.
29
Proses fermentasi asam laktat oleh Lactobacillus plantarum dijelaskan sebagai berikut. Pada mulanya, komponen laktosa dalam medium fermentasi dihidrolisis dalam sel bakteri oleh enzim β-galaktosidase menjadi glukosa dan galaktosa (Harutoshi, 2013). Galaktosa akan diubah menjadi glukosa 6-fosfat melalui jalur Leloir dan kemudian bersamaan dengan glukosa diubah menjadi asam piruvat. Selanjutnya, asam piruvat akan dikonversi menjadi komponen asam laktat oleh enzim laktat dehydrogenase melalui jalur Embden Meyerhoff Parnas (EMP) (Tamime dan Robinson, 1989). Secara umum, jalur fermentasi laktosa oleh bakteri asam laktat dapat dilihat pada Gambar 7.
Ekstraseluler Dinding Sel Intraseluler
Jalur Leloir
Jalur Tagatosa-6P
Jalur EMP
Gambar 7. Jalur Fermentasi Laktosa pada Bakteri Asam Laktat (Sumber : Harutoshi, 2013)
30
K. Hipotesis 1. Variasi konsentrasi ekstrak mahkota dan kelopak bunga rosella mampu memberikan perbedaan pengaruh terhadap kadar antosianin dan kualitas (mencakup sifat fisik, kimia, mikrobiologis, dan organoleptik) minuman probiotik yang dihasilkan. 2. Konsentrasi ekstrak mahkota dan kelopak bunga rosella yang paling tepat menghasilkan minuman probiotik dengan kadar antosianin tertinggi dan kualitas terbaik terdapat pada konsentrasi ekstrak mahkota dan kelopak bunga rosella 75%.