5
TINJAUAN PUSTAKA Ralstonia solanacearum Penyebab Penyakit Layu Bakteri R. solanacearum adalah bakteri Gram negatif yang semula dikenal sebagai Pseudomonas solanacearum. Bakteri ini termasuk dalam kelompok beta Proteobacteria (Sequira,1992). Ralstonia solanacearum merupakan patogen penting pada tanaman kentang. Bakteri ini menyerang akar tanaman melalui luka yang diantaranya disebabkan oleh munculnya akar lateral. Di dalam tanaman inang yang rentan, bakteri ini berkembang biak dengan cepat di jaringan korteks untuk selanjutnya menyerang bagian xylem. Dalam beberapa jam, terjadi kolonisasi R. solacearum secara agresif di tabung xylem, lalu melalui sistem jaringan pembuluh menyebar ke bagian tajuk dan batang mengikuti aliran transpirasi dan akhirnya menyebabkan kelayuan yang mematikan. Gejala penyakit layu bakteri meliputi kekuningan dan layu, diikuti dengan nekrosis dan kematian tanaman (Vasse et al. 1995; Tan-Kersten et al. 2001). R. solacearum adalah salah satu patogen tanaman yang sulit dikendalikan karena bakteri ini memiliki kisaran inang yang luas. Lebih dari 200 famili tumbuhan telah diketahui sebagai inang R. solacearum (Hayward, 1990). Di daerah penanaman kentang di Pangalengan Jawa Barat telah diketahui lebih dari 70 gulma yang menjadi inang R. solacearum (Gunawan, 2006). Selain itu, bakteri ini memiliki persistensi yang tinggi di dalam tanah walaupun tanpa tanaman inang (Jackson dan Gonzales, 1979). Genom R. solanacearum strain tropis GMI1000 terdiri dari 1 kromosom sirkuler berukuran 3.7 Mb dan 1 megaplasmid berukuran 2.1 Mb. Megaplasmid mengandung gen-gen yang berperan penting untuk kebugaran dan kemampuan adaptasi bakteri ini pada berbagai kondisi serta semua gen hrp yang diperlukan dalam proses kolonisasi relung ekologi spesifik serta patogenesis. Analisis sekuen genom menunjukkan keberadaan struktur mozaik yang membuktikan adanya gengen yang diperoleh dari transfer gen secara horizontal. Ada 10 gen yang diduga terlibat dalam detoksifikasi ROS, 6 gen haemolysin-like, beberapa gen peptide atau polyketide synthase, gen toxin syringomycin synthase, gen pengkode protein pelekat AttM dan AttZ, serta puluhan gen yang terkait dengan biogenesis dan struktur berbagai pili. Tingginya jumlah dan variasi gen pengkode pili serta faktor pelekat lainnya sangat mendukung kemampuan adaptasi yang tinggi dari bakteri ini (Salanoubat et al. 2002). Berdasarkan analisis genom, diperkirakan patogen ini mengekresikan ratusan protein yang berperan sebagai efektor dalam proses patogenisitasnya terhadap inang (Poueymiro dan Genin 2009). Bakteri Endofit Deskripsi awal tentang mikroorganisme nonpatogenik dalam jaringan akar tanaman pertama kali dilaporkan oleh Perotti pada 1926 dan berikutnya Hennig dan Villforth pada tahun 1940 melaporkan keberadaan bakteri di dalam 28 jenis daun, batang, dan akar tanaman sehat. Namun penelitian tentang bakteri endofit pada berbagai tanaman mulai banyak dilakukan sejak Hollis dari Universitas Nebraska USA melaporkan keberadaan bakteri endofit pada tanaman kentang (Mano dan Morisaki 2008). Bakteri endofit didefinisikan sebagai bakteri yang dapat diisolasi dari dalam jaringan tanaman atau dari jaringan yang telah
6
disterilisasi permukaannya serta tidak membahayakan tanaman (Hallmann et al. 1997). Dewasa ini, perkembangan bidang mikrobiologi dan bioteknologi telah membuktikan bahwa keberadaan bakteri endofit berperan penting bagi pertumbuhan dan ketahanan tumbuhan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Beberapa bakteri endofit diketahui dapat berperan sebagai penambat nitrogen, penghasil fitohormon, biokontrol patogen, serta penginduksi ketahanan tumbuhan terhadap cekaman biotik dan abiotik (Andreotte et al. 2010, Mano dan Morisaki 2008). Penemuan bakteri endofit yang mampu menambat nitrogen pada tanaman gramineae pada tahun 1980 telah memicu berbagai penelitian tentang aplikasi bakteri endofit yang mampu menambat nitrogen pada tanaman-tanaman tidak berbintil dari golongan serealia diantaranya padi. Bakteri endofit juga terbukti berperan dalam meningkatkan pasokan Fe bagi tanaman inang. Percobaan inplanta menggunakan bakteri endofit Streptomyces sp. GMKU 3100 dan mutan gen desD-like (penyandi enzim kunci pada akhir lintasan biosintesis siderofor) membuktikan bahwa tanaman padi dan kacang hijau yang diinokulasi Streptomyces sp. GMKU 3100 tipe liar memiliki biomasa tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan dengan tanaman yang diinokulasi dengan Streptomyces sp. GMKU 3100 mutan (Siriwan et al. 2012). Sebelumnya, Dimkpa et al. (2009) juga telah mempublikasikan hasil penelitiannya yang membuktikan bahwa pemberian supernatan bebas sel Streptomyces sp. tipe liar pada tanaman kacang tunggak (cowpea) dapat meningkatkan penyerapan Fe, kadar klorofil, dan menghindari efek peroksidasi lemak pada daun walaupun ditanam pada media tanam yang mengandung Al, Cu, Mn, Ni dan U dalam konsentrasi cukup tinggi. Pemberian siderophore tersebut juga menurunkan pembentukan radikal bebas sehingga melindungi auksin yang diproduksi mikroba dari degradasi dan pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Uji penyerapan kompleks Fe-pyoverdin menggunakan tanaman kacang hijau juga membuktikan bahwa tanaman mampu menyerap komplek tersebut (Vansuyt et al. 2007). Percobaan menggunakan tanaman tembakau transgenik over ekspresi ferritin menunjukkan bahwa kadar Fe pada tanaman transgenik lebih tinggi dibandingkan tanaman non-transgeniknya (Robin et al. 2006). Hasil-hasil penelitian tersebut secara tidak langsung membuktikan bahwa selain meningkatkan penyerapan Fe, ekspresi siderofor di dalam jaringan tanaman juga tidak berbahaya bagi tanaman. Kemampuan bakteri endofit dalam melarutkan fosfat diduga juga berperan dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Selain meningkatkan ketersedian nutrisi seperti Nitrogen Fe, dan Fosfat untuk tumbuhan, berbagai senyawa bioaktif seperti fitohormon dan vitamin yang diproduksi oleh beberapa bakteri endofit juga berguna dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman inangnya (Ryan et al. 2008; Tsavkevlova et al. 2006; Rosenblueth dan Romero 2006). Peran Bakteri Endofit dalam Meningkatkan Ketahanan Tanaman Tumbuhan memiliki sistem imunitas basal dan respon pertahanan berlapis yang dapat di picu secara sistematik untuk menurunkan tingkat kejadian dan keparahan penyakit. Berdasarkan agen penginduksinya, sistem resistensi pada tumbuhan dapat dibedakan atas Systemic Acquired Resistance (SAR) dan Induced Systemic Resistance (ISR). Infeksi patogen akan mengaktifkan sistem ketahanan
7
tumbuhan yang akan melindunginya dari berbagai mikroorganisme (broad spectrum) untuk jangka panjang. Ketahanan tumbuhan yang timbul akibat infeksi patogen ini dikenal sebagai Systemic Acquired Resistance (SAR) (Francis et al. 2010). Lintasan SAR bersifat salicylic acid (SA) dependent (Choudhary dan Johri 2009; Kloepper dan Ryu 2006) (Gambar 5). Sebagai respon terhadap patogen, tumbuhan akan memproduksi reactive oxygen species (ROS), protein-protein terkait patogenesis (PR- proteins), penebalan dinding-dinding sel, serta produksi fitoaleksin. Fitoaleksin adalah metabolit sekunder berberat molekul rendah yang memiliki aktivitas antimikroba. Kelompok senyawa ini merupakan salah satu marka untuk ketahanan tumbuhan terhadap penyakit. Berbagai fitoaleksin telah berhasil diisolasi dan didentifikasi dari berbagai tumbuhan, namun sampai saat ini mekanisme dan lintasan biosintesisnya belum diketahui dengan pasti. Capsidiol dan scopoletin adalah senyawa fitoaleksin utama yang dihasilkan oleh tumbuhan Solanaceae. (Ahuja et al. 2011). Berbeda dengan SAR yang diaktifkan oleh patogen, ISR dapat diaktifkan diantaranya oleh kolonisasi bakteri kelompok Plant Growth Promoting (PGP) (Francis et al. 2010). Sebagian besar laporan penelitian menunjukkan bahwa ISR diinduksi oleh strain-strain bakteri akar yang hidup bebas. Tetapi akhir-akhir ini berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri endofit juga dapat merangsang Induced Systemic Resistance (ISR) sebagaimana kelompok bakteri PGP (Jimtha et al. 2014; Choudhary dan Johri 2009; Ryan et al. 2008; Compant et al. 2005). Berbeda dengan SAR yang bersifat salicylic acid (SA) dependent, lintasan ISR bersifat salicylic acid (SA) independent dan etilen (ET) dependent (Choudhary dan Johri 2009; Kloepper dan Ryu 2006; Vallad dan Goodman 2004; Pieterse et al. 1998) (Gambar 2).
Gambar 2.
Lintasan induksi resistensi tanaman oleh bakteri patogen dan rhizobacteria (Vallad dan Goodman 2004).
8
Analisa transkriptomik pada tanaman A. thaliana yang diinokulasi secara ganda menggunakan bakteri akar non-fitopatogenik P. fluorescens WCS417r dan P. syringae pv. tomato DC3000 membuktikan bahwa aktivasi lintasan SAR dan ISR dapat terjadi secara paralel. Berdasarkan hasil analisa transkriptomik tersebut dibuat suatu model hipotetik lintasan aktivasi paralel SAR dan ISR (Gambar 3) (Saskia et al. 2000). Hasil-hasil penelitian menggunakan metode transkriptomik, genetika molekuler, dan proteomik yang dilakukan oleh peneliti-peneliti berikutnya (Chi et al. 2013; Ma dan Berkowitz 2011; Thomma et al. 2011) memperkuat bukti yang mendukung model hipotetik yang disusun oleh Saskia et al. (2006). Model hipotetik tersebut menghilangkan dikotomi yang kaku antara lintasan ISR dan SAR. Selain itu, walaupun sederhana model ini juga mengakomodir kemungkinan peran ganda dari senyawa-senyawa dan atau protein pada kedua lintasan resistensi tersebut serta kompleksitas hubungan berbagai senyawa dan atau protein yang terlibat di dalamnya.
Gambar 3 Model induksi ISR dan SAR secara paralel (Saskia et al. 2000) Flagelin, lipopolosakarida, asam salisilat, siderofor, pyochelin, pyocianin, dan senyawa volatil 2,3-butanediol merupakan contoh komponen sel atau senyawa yang dihasilkan bakteri yang mampu menginduksi ketahanan tanaman (Tabel 1) (Choudhary dan Johri 2009; Compant et al. 2005; Ryu et al. 2005). Selain berperan dalam merangsang ketahanan tanaman, sebagian diantara senyawa-senyawa tersebut juga berperan ganda sebagai faktor pengendali patogen (Ryan et al. 2008) dalam mekanisme biokontrol. Mekanisme biokontrol
9
oleh bakteri endofit mirip dengan mekanisme biokontrol oleh populasi bakteri rizosfer dan epifit yaitu melalui kompetisi kolonisasi relung ekologi dan atau nutrisi yang sama dengan pathogen serta produksi senyawa-senyawa allelokimia diantaranya siderofor, antibiotik, biocidal volatiles, enzim-enzim pendegradasi, dan atau senyawa pendetoksifikasi (Chernin et al. 2011; Compant et al. 2005; Francis et al. 2010). Tabel 1. Beberapa senyawa dan determinan bakteri penginduksi ketahanan pada beberapa tumbuhan (Chodhary dan Johri 2009) Strain Bakteri
Spesies Tumbuhan
Senyawa atau Determinan
B. amyloliquefaciens IN937a
Arabidopsis
2,3-butenadiol
B. subtilis GB03
Arabidopsis
2,3-butenadiol
Kacang polong
SA
Tembakau
SA
Tomat
Pyocelin & pyocyanin
Arabidopsis
2,4 DAPG
Tembakau
Siderofor
Tomat
2,4 DAPG
P. fluorescens Q2-87
Arabidopsis
2,4 DAPG
P. fluorescens WCS 374
Lobak
LPS
P. fluorescens CHA0
Siderofor & Fe regulated compouns P. fluorescens WCS 417
Arabidopsis
LPS
Carnation
LPS
Lobak
LPS Fe regulated compouns
P. fluorescens WCS 358
Arabidopsis
LPS, siderofor, flagela
Kacang polong
LPS, siderofor
Tomat
LPS, siderofor
P. fluorescens GRP3
Padi
Siderofor
Rhizobium etli G12
Kentang
LPS
S. marcescens 90-166
Tembakau
Fe regulated compouns
Siderofor merupakan senyawa pengkelat besi yang diproduksi oleh berbagai bakteri dan fungi pada lingkungan yang kekurangan besi. Beberapa bakteri PGP mampu menghasilkan variasi siderofor yang memiliki afinitas tinggi dibandingkan dengan bakteri dan fungi lainnya sehingga kemampuan kompetisinya dalam mendapatkan dan menyerap unsur besi lebih kuat dibandingkan mikroba lainnya (Compant et al. 2005). Selain siderofor, beberapa jenis antibiotik telah ketahui terlibat dalam mekanisme pengendalian patogen oleh
10
bakteri PGP. Antibiotik tersebut diantaranya adalah amphisin, 2,4diacetylphloroglucinol (DAPG), higrogen sianida, oomycin A, phenazine, pyoluterin, pyrronitrin, tensin, tropolone, ecomycin (lipopeptida siklik), oligomycin A, kanosamin, zwittermicin A, dan xanthobaccin. Beberapa antibiotik yang dihasilkan oleh bakteri PGP tersebut juga telah digunakan pada berbagai percobaan farmasi (Compant et al. 2005; Ryan et al. 2008). Beberapa jenis bakteri PGP juga menunjukkan aktivitas hiperparasit terhadap fungi fitopatogenik dengan cara memproduksi enzim-enzim pelisis dinding sel fungi, misalnya kitinase. Kitinase yang dihasilkan oleh Serratia plymuthica dapat menghambat pemanjangan tabung kecambah B. cinerea. Produksi kitinase oleh S marcescens menyebabkan bakteri ini bersifat antagonis terhadap S. rolfsii, sedangkan pada Paenibacillus sp. strain 300 dan Streptomyces sp. strain 385 kitinase bersama β-1-3 glukanase menimbulkan sifat antagonis terhadap F. oxysporum f. sp. cucumerinum. Pada S plymutica IC14, enzim protease terlibat dalam aktivitas antagonisme terhadap S. rolfsii dan B. cinerea. Degradasi senyawa autoinduser (AHL) oleh enzim laktonase dan asiklase yang dihasilkan oleh bakteri PGP juga mampu memblok ekspresi faktor-faktor virulensi bakteri fitopatogen sehingga menurunkan atau menghilangkan patogenisitasnya (Compant et al. 2005). Pengendalian fitopatogen oleh bakteri PGP juga dapat terjadi melalui mekanisme detoksifikasi atau degradasi faktor-faktor virulensi. Bakteri Klebsiella oxytoca dan Alcaliges denitrificans memproduksi protein yang dapat mengikat toksin albicidin yang dihasilkan oleh X. albilineans. Albicidin juga dapat didegradasi oleh enzim esterase yang dihasilkan oleh Pantoea dispersa (Compant et al. 2005). Ekspresi faktor-faktor virulensi bakteri patogen dapat dihambat melalui mekanisme quorum quenching (penghambatan proses Quorum Sensing). Chernin et al. (2011) melaporkan bahwa produksi senyawa-senyawa organik volatile oleh P fluorescens B-4117 dan S plymuthica IC1270 mampu menghambat produksi senyawa signal autoinduser QS (AHL) pada Agrobacterium, Chromobacterium, Pectobacterium, dan Pseudomonas. Beberapa enzim mikroba telah diketahui berperan dalam proses quorum quenching bakteri fitopatogen melalui inaktivasi senyawa signal autoinduser QS. B. cereus, B. mycoides, B. thuringiensis (Dong et al. 2000; Dong et al. 2001), P. aeruginosa PAI-A, Arthrobacter sp., K. pnemoniae, A. tumefaciens, dan Rhodococcus sp.( Uroz et al. 2003, Carlier et al. 2003; Park et al. 2003; Huang et al. 2003) menghasilkan enzim yang dapat membuka cincin lakton pada molekul AHL. Enzim β-hidroksipalmitat metil ester hidrolase juga dilaporkan dapat menghambat ekspresi faktor-faktor virulensi pada R. solanacearum. Enzim ini menghidrolisis senyawa signal QS (3 hidroksipalmitat metil ester) yang dihasilkan oleh R. solanacearum (Shinohara et al. 2007). VOCs Sebagai Penginduksi Ketahanan Tanaman Secara umum, kemampuan mikroba dalam memproduksi senyawa organik yang mudah menguap (VOCs) sudah lama diketahui. Aroma segar dari kultur murni mikroba seperti khamir dan bakteri asam sitrat atau laktat, serta aroma menyengat pada berbagai produk fermentasi adalah bukti sederhana keberadaan senyawa-senyawa dari kelompok asam organik (sitrat, asam asetat, asam laktat,
11
propionat, dsb.), alkohol, ester, merkaptan, pentilfuran dan sebagainya yang merupakan produk metabolisme mikroba. Namun bukti ilmiah tentang aktivitas VOCs sebagai penginduksi pertumbuhan dan resistensi tanaman baru mulai dipublikasikan pada tahun 2003 (Ryu et al. 2003a; Ryu et al. 2004). Sejak itu, peran kelompok senyawa VOCs dalam induksi ketahanan tumbuhan mulai mendapat banyak perhatian dan menarik minat peneliti-peneliti lainnya untuk mengeksporasi dan mengkaji potensi pengembangan serta aplikasinya. Percobaan menggunakan tanaman A. thaliana mutan dan transgenik membuktikan bahwa ketahanan tanaman tersebut dapat diinduksi oleh senyawa volatil acetoin dan 2,3-butenadiol yang diemisikan oleh Bacillus GB-03. Induksi sistem ketahanan A. thaliana tersebut terjadi melalui aktivasi lintasan Induce Systemic Resistance (ISR) dan berhubungan dengan lintasan etilen (Ryu et al. 2004). Bukti peran kedua senyawa tersebut dalam meningkatkan ketahanan tanaman diperkuat oleh hasil penelitian berikutnya yang dilakukan dengan menggunakan galur Bacillus GB-03 mutan (BSIP1173 dan BSIP1174) yang tidak mampu mensintesis kedua senyawa volatil tersebut. Berbeda dengan A. thaliana yang diinokulasi dengan Bacillus GB-03, tanaman A. thaliana yang diinokulasi dengan kedua BSIP1173 atau BSIP1174 tidak mampu meningkatkan kapasitas ISR-nya setelah diinfeksi dengan bakteri patogen Erwinia carotovora (Ryu et al. 2005). Selain kemampuannya dalam menginduksi ketahanan tanaman, VOCs yang diemisikan oleh bakteri seperti seperti benzothiazole, cyclohexanol, n-decanal, dimetil trisulfit, 2-etil-1-hexanol dan nonanal juga memiliki aktivitas antimikroba. Sifat antimikroba dari senyawa-senyawa tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan fitopatogen (Fernando et al. 2005). Menurut (Song dan Ryu 2013), selain dapat menginduksi ketahanan tumbuhan, VOCs merupakan kandidat yang potensial dan menjanjikan untuk dimanfaatkan sebagai agen pengendalian dalam pengelolaan hama dan penyakit karena efektivitasnya tinggi, tidak mahal, dan hanya memerlukan konsentrasi yang relatif rendah dibandingkan senyawa agrokimia lainnya. Percobaan lapangan yang dilakukan menggunakan senyawa organik volatil 3-pentanol dan 2-butanon pada konsentrasi 0.1 mM dan 0.1 nM berturut-turut untuk kedua senyawa tersebut menunjukkan kedua senyawa tersebut secara nyata mampu menginduksi ketahanan tanaman mentimun terhadap Pseudomonas syringae pv. lachrymans. Penurunan nilai Disease severity yang dihasilkan oleh aplikasi kedua senyawa volatil tersebut sama dengan penurunan nilai Disease severity yang disebabkan oleh aplikasi 1 mM senyawa agrokimia benzotiadizol (Actigard®, Syngenta). Selain itu menginduksi ketahanan terhadap P. syringae pv. lachrymans kedua senyawa tersebut juga terbukti mampu melindungi tanaman mentimun terhadap serangan hama aphid pengisap Myzus persicae (Song dan Ryu 2013). Aplikasi Bakteri Endofit untuk Meningkatkan Resistensi, Pertumbuhan dan Produktivitas Tanaman Bakteri endofit yang memiliki karakter unggul dapat diisolasi dari alam dan berpotensi digunakan sebagai inokulan untuk diaplikasikan pada bibit tanaman sebagai salah satu cara untuk melindunginya dari infeksi fitopatogen (Jie et al.
12
2010) serta meningkatkan resistensi dan pertumbuhannya (Choudhary dan Johri 2009; Ryan et al. 2008; Hoon et al. 2007; Tsavkelova et al. 2006; Compant et al. 2005) Kemampuan bakteri endofit dalam menghasilkan fitohormon dan meningkatkan ketersediaan nutrisi bagi inang secara langsung dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman inang. Kemampuannya untuk beradaptasi dan berkembang di dalam jaringan tumbuhan inang tanpa menimbulkan efek negatif merupakan kelebihan bakteri endofit. Oleh karena itu, aplikasi bakteri endofit secara dini dapat melindungi tanaman inangnya dari infeksi dan kolonisasi patogen. Secara tidak langsung, kondisi tanaman yang sehat dan terlindung dari fitopatogen akan meningkatkan pertumbuhan dan produktivitasnya. Percobaan menujukkan bahwa plantlet kentang yang ditumbuhkan bersamasama dengan bakteri endofit mengalami peningkatan pertumbuhan yang dramatis dibandingkan dengan plantlet yang ditumbuhkan tanpa bakteri endofit. Peningkatan pertumbuhan tersebut diturunkan pada plantlet hasil perbanyakan pada generasi berikutnya (Frommel, 1991). Efek peningkatan pertumbuhan juga teramati pada planlet anggur yang diinokulasi dengan bakteri endofit (Compant et al. 2005). Hasil penelitian Krechel et al.(2002) dan Sessitsch et al. (2004) menunjukkan bahwa isolat bakteri endofit yang diisolasi dari tanaman kentang memiliki aktivitas antagonis terhadap berbagai patogen asal tanah diantaranya Erwinia carotovora, Phytophtora cactorum, R. solani, V. dahlia, Sclerotium sclerotium, and M. incognita. Percobaan inokulasi Pseudomonas fluorescens B1 dan Serratia plymuthica B4 secara bersama-sama pada plantlet kentang terbukti dapat menurunkan hilangnya berat kering dan nilai keparahan penyakit (Disease Severity) yang disebabkan oleh R. solani. Efektivitas tertinggi bakteri endofit dalam menekan penyakit kentang dilapangan dilaporkan oleh Faitlin dkk. Inokulasi P. florescens B1 dapat menekan timbulnya penyakit yang disebabkan oleh R. solani Kuhn di lapangan sampai 37% dan meningkatkan produksi umbi kentang sampai 12%. Sedangkan inokulasi Serratia plymuthica B4 meningkatkan produksi umbi kentang sampai 17% (Faitlin et al. 2004). Inokulasi bakteri endofit juga terbukti berhasil menginduksi ketahanan sistemik plantlet pisang terhadap virus buncy top (Kavino et al. 2007). Bahkan plantlet pisang yang telah diinokulasi bakteri endofit dan ditanam di rumah kaca selama 5 bulan menunjukkan peningkatan ketahanan hingga 67% terhadap penyakit layu yang disebabkan oleh F.oxysporum f. sp. cubense ras 4. Selain peningkatan resistensi terhadap penyakit, pertumbuhan planlet pisang yang dinokulasi endofit juga terlihat lebih baik. Hasil-hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa inokulasi bakteri endofit dapat dimanfaatkan sebagai dasar pengkayaan ekologis untuk mengendalikan penyakit dan pertumbuhan tanaman.