4
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Avian influenza Agen Penyebab dan Sifat Penyakit Avian influenza Penyakit Avian influenza (AI) berasal dari virus influenza tipe A dan termasuk dalam famili orthomyxoviridae. Virus influenza memiliki beberapa tipe antara lain tipe A, tipe B, dan tipe C. Partikel virus influenza memiliki amplop (envelope), bersegmen dan memiliki negative-single strain ribonucleid acid (RNA). Penentuan identitas serologik virus menggunakan nomor kombinasi strain RNA yang terdapat pada glikoprotein transmembran yaitu Hemaglutinin yang dilambangkan dengan huruf H dan Neuramidase yang dilambangkan dengan huruf N.
Berdasarkan sifat antigenisitas glikoprotein, virus influenza tipe A
memiliki 16 Hemaglutinin dan 9 Neuramidase. Subtipe virus influenza yang sudah dikenal antara lain H1N1, H1N2, H3N3, H5N1, dan H9N7 (Halvorson 2002). Struktur morfologi virus Avian influenza dapat dijelaskan pada Gambar 1.
Gambar 1 Virus Avian influenza. (Sumber : edubj.ssreader.com.cn)
5
Virus AI mudah bermutasi dan dapat mengaglutinasi sel darah merah ayam, tetapi tidak stabil di lingkungan. Komposisi genetik virus AI sangat labil sehingga mudah bermutasi, virulensi dan patogenitasnya bervariasi, serta mudah menular.
Virus AI tidak tahan terhadap panas dan desinfektan. Virus yang
terdapat di dalam daging ayam akan mati pada pemanasan 80o C selama satu menit atau 70o C selama 30 menit. Virus yang terdapat di dalam telur ayam akan mati pada pemanasan 64o C selama 45 menit. Pada kotoran ayam virus AI dapat bertahan selama 35 hari pada suhu 4o C. Virus dapat bertahan hidup selama 4 hari di air pada suhu 0o C. Virus AI bahkan dapat bertahan hidup di kandang ayam selama 2 minggu setelah depopulasi ayam (Prima 2007). Jika virus AI menular ke spesies unggas yang rentan, maka dapat menimbulkan gejala klinis yang biasanya bersifat ringan.
Subtipe virus ini
disebut sebagai virus yang memiliki patogenisitas rendah (low pathogenic avian influenza virus, LPAIV). Pada umumnya infeksi LPAIV pada unggas petelur mengakibatkan terjadinya penurunan produksi telur yang bersifat ringan dan sementara, atau menurunkan bobot badan pada unggas pedaging (Kamps et al. 2007). Virus AI yang menginfeksi unggas rentan dan terjadi beberapa siklus penularan dapat bermutasi dan beradaptasi di spesies lain. Mutasi yang terjadi juga dapat menjadikannya sangat patogen (high pathogenic avian influenza virus, HPAIV).
HPAIV mampu menimbulkan penyakit sistemik yang ganas dan
mematikan secara cepat. Unggas yang terinfeksi HPAIV ditandai dengan gejala klinis yang mendadak, berlangsung singkat, mortalitas yang terjadi mendekati 100 % pada spesies yang rentan. Subtipe virus AI yang diketahui sangat patogen yaitu H5 dan H7, sedangkan virus yang mewabah dan menyebabkan AI di berbagai negara di Asia adalah H5N1 (Halvorson 2002). Perkembangan infeksi virus AI saat ini pada unggas tidak menunjukkan gejala sakit, artinya unggas terlihat sehat tetapi sebenarnya sakit sehingga banyak terjadi kematian mendadak (Setyawati et al. 2010) Infeksi virus AI yang terjadi di peternakan unggas skala besar berdampak pada penurunan konsumsi air dan pakan yang signifikan, sedangkan pada unggas petelur akan mengakibatkan penurunan produksi telur.
Cangkang telur yang
6
dihasilkan cenderung lembek dan produksinya berhenti secara cepat sejalan dengan perkembangan infeksi penyakit AI. Secara individual, gejala klinis yang dapat diamati pada unggas yang terinfeksi HPAIV sering ditandai dengan apati dan tidak banyak bergerak (imobilitas). Pembengkakan muncul di daerah kepala yang tidak ditumbuhi bulu, sianosis pada jengger, gelambir dan kaki, diare dengan kotoran berwarna kehijauan, dan sesekali tampak susah bernapas. Gejala-gejala sistem syaraf termasuk tremor, tortikolis, dan ataxia terjadi pada spesies yang tidak begitu rentan seperti bebek, angsa, dan jenis burung onta (Kamps et al. 2007). Wabah HPAI yang terjadi di Saxonia, Jerman pada tahun 1979 tampak bahwa angsa yang terlalu sering berenang memutar mengelilingi kolam, merupakan tanda pertama kecurigaan adanya HPAI yang menginfeksi angsa tersebut. Penularan virus AI dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Penyebaran virus AI terjadi melalui kontak langsung antar unggas, kontaminasi air, dan benda-benda lain yang tercemar virus (Capua et al. 2008).
Hal ini
berbeda dengan penularan virus influenza pada mamalia (manusia, babi, dan kuda) terutama terjadi melalui percikan cairan lendir hidung dan mulut. Penularan virus AI dengan kontak tidak langsung menurut Wuryatmi et al. (2005) dapat terjadi melalui : 1. Percikan cairan atau lendir yang berasal dari hidung dan mata unggas terinfeksi. 2. Paparan muntahan. 3. Lubang anus unggas yang sakit. 4. Penularan melalui udara akibat konsentrasi virus yang tinggi di dalam saluran pernapasan. 5. Melalui sepatu dan pakaian peternak (pekerja di kandang) yang terkontaminasi. 6. Melalui pakan, air minum, dan peralatan yang terkontaminasi virus AI. 7. Melalui perantara angin yang memiliki peran penting dalam penularan penyakit di dalam satu kandang, tetapi memiliki peran terbatas dalam penyebaran antar kandang.
7
8. Unggas air berperan sebagai reservoir virus AI melalui virus yang terdapat di dalam saluran usus (intestinal) dan dilepaskan melalui kotoran (feces). Hasil penelitian Okazaki et al. (2000) menunjukkan bahwa titer ekskresi tertinggi dilaporkan mencapai 108,7 x 50 % dosis telur terinfeksi (egg infected dose, EID 50) per gram tinja unggas. Virus AI pada unggas memiliki kemampuan mempertahankan daya penularannya di lingkungan dengan baik, terutama di permukaan air. Suspensi virus dalam air mampu bertahan selama lebih dari 100 hari pada suhu 17o C. Pada suhu di bawah -50o C virus AI dapat bertahan sampai dengan waktu yang tidak terbatas. Masuknya virus LPAI subtipe H5 atau H7 ke tubuh unggas yang rentan merupakan dasar dari rantai infeksi. Risiko penularan dari burung liar ke unggas peliharaan dapat terjadi apabila unggas tersebut dibiarkan hidup bebas berkeliaran, menggunakan air yang juga digunakan oleh burung liar, atau makan dan minum dari sumber yang tercemar kotoran burung liar pembawa virus (Capua 2003).
Jenis Hewan Rentan Penyakit Avian influenza Unggas dapat terinfeksi virus AI jika bersentuhan langsung dengan hewan pembawa virus, atau kotoran hewan lain yang mengandung virus, atau bersentuhan dengan benda-benda yang terkontaminasi virus seperti kotoran (feces), rontokan bulu dan lendir.
Virus influenza tipe A dapat menginfeksi
berbagai jenis hewan seperti babi, kuda, kucing, harimau, mamalia laut, unggas dan manusia (Murtini et al. 2008). Hampir setiap bangsa burung (avian) rentan terinfeksi virus AI, namun derajat kerentanan antar spesies berbeda-beda. Jenis burung yang rentan terinfeksi virus AI antara lain ayam, kalkun, ayam mutiara, angsa, itik, bebek, burung puyuh, merak, burung camar, kuntul, dan lain-lain. Burung peliharaan yang rentan terinfeksi antara lain beo, merpati, parkit, kakatua, elang, dan nuri.
Infeksi pada ayam dan kalkun ditandai dengan serangan
mendadak, dan gejala yang hebat, serta kematian populasi mendekati 100 % dalam jangka waktu 48 jam. Pada tahun 1982 dilaporkan bahwa virus AI dengan patogenitas rendah didapatkan pada burung nuri (H4N4), pelikan (H4N6), dan itik
8
(H4N2 dan H4N6). Pengujian sampel usap trakea, kloaka, dan serum pada burung puyuh tahun 1991 ditemukan subtipe virus H3N2, H4N2, H6N6, H5N2, H5N9, H7N1, H7N3, H9N2, H10N4 dan H10N7 (Akoso 2006). Infeksi virus juga dapat terjadi di beberapa spesies burung liar, namun kerentanannya sangat bervariasi bergantung kepada spesies dan umur unggas, serta strain virusnya. Secara normal unggas air seperti itik, bebek, dan unggas air lain yang hidup di laut membawa virus AI H5N1.
Walaupun tubuh unggas tersebut
terinfeksi, akan tetapi tidak menunjukkan gejala sakit dan dapat hidup secara sehat. Hal ini disebabkan karena virus berada dalam keadaan yang evolusioner statis dan terjadi toleransi yang seimbang dengan unggas tersebut yang secara klinis ditunjukkan dengan tidak adanya penyakit dan replikasi virus (Kamps et al. 2007). Jenis hewan lain yang juga ditemukan virus AI adalah harimau, kucing, dan leopard seperti yang terjadi di beberapa negara Eropa dan Asia. Kenyataan tersebut menimbulkan fenomena baru mengingat ketiga spesies hewan ini sebelumnya tidak pernah dilaporkan rentan terinfeksi virus AI. Menurut Tarigan et al. (2008), sejumlah besar kucing liar yang terdapat di wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur memiliki tingkat infeksi virus AI yang sangat tinggi (86,5 %). Kamps et al. (2007) menyatakan bahwa infeksi virus AI secara alami juga ditemukan di dalam tubuh harimau dan kucing besar di kebun binatang di Thailand setelah hewan-hewan tersebut diberi makan daging ayam yang terinfeksi virus. Hewan-hewan tersebut kemudian sakit dan mengalami kematian dalam jumlah besar.
Penyebaran Penyakit Avian influenza di Indonesia Avian influenza mewabah di Indonesia pada tahun 2003 dengan ditemukannya kematian sejumlah besar unggas di Jawa Tengah dan Banten. Selain di Indonesia, kematian sejumlah besar unggas juga terjadi Republik Korea, Vietnam, Jepang, Thailand, Kamboja, Laos, Cina, dan Malaysia (Siegel 2006). Penyakit AI menjadi endemik dan terdapat di sebagian besar wilayah provinsi di Indonesia, penyebarannya meluas di 9 provinsi dan 53 kabupaten/kota pada tahun
9
2003.
Diagnosis lebih lanjut penyakit AI pada tahun 2006 menyebar di 26
provinsi dan 172 kabupaten/kota. Sampai dengan bulan Mei 2007 wilayah yang tertular virus AI pada unggas telah mencapai 31 provinsi. Menurut Wuryatmi et al. (2005) virus influenza A H5N1 menyerang ternak ayam Indonesia sejak bulan Oktober 2003. Sampai dengan bulan Februari 2005, infeksi virus AI telah mengakibatkan 14,7 juta ayam mati. Pada bulan November 2005 terdapat 154 kabupaten/kota di 23 provinsi telah tertular (dan menjadi daerah endemis) Avian influenza pada unggas, yaitu Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Lampung, Kalimanatan Tengah, Kalimanatan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimanatan Timur, Jambi, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Nangroe Aceh Darussalam. Kasus positif AI di Tasikmalaya, Jawa Barat pertama kali di temukan pada bulan Februari 2004 (Sudarnika et al. 2008). Kerugian di bidang ekonomi akibat dampak yang ditimbulkan oleh wabah AI di Indonesia menurut Saptana dan Sumaryanto (2009) antara lain (1) penurunan produksi anak ayam umur satu hari (day old chick, DOC) pada perusahaan pembibitan unggas (breeding farm) hingga 40 %; (2) penurunan produksi pakan pada perusahaan pakan ternak hingga 14,58 %; (3) penurunan jumlah penjualan pakan ternak yang dialami pengusaha poultry shop mencapai 40 %; (4) penutupan usaha peternakan (farm) hingga 30 %; (5) penurunan jumlah produksi jasa pemotongan ayam hingga 40 %; (6) penurunan volum penjualan ayam yang dialami pengusaha distributor dan penjual ayam hingga 80 %.
Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Avian influenza di Indonesia Wabah virus AI pada unggas yang sangat patogen dapat mengakibatkan kerugian besar baik bagi peternakan unggas skala besar maupun peternakan kecil (peternakan individual atau rumah tangga). Upaya pencegahan dan pengendalian virus AI yang dilakukan oleh Departemen Pertanian Republik Indonesia
10
(DEPTAN RI) berfokus pada unggas sebagai hewan rentan tertular dan mampu menularkan virus sebagai sumber penyebab utama penyakit flu burung pada manusia (Bagindo 2007). Upaya pencegahan dan pengendalian flu burung dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza, Direktorat Jenderal Peternakan Republik Indonesia (DITJENAK RI) melaksanakan 9 (sembilan) langkah penanggulangan sebagai berikut : 1.
Pelaksanaan biosekuriti secara ketat. Biosekuriti adalah semua tindakan yang merupakan pertahanan pertama untuk pengendalian wabah dan dilakukan untuk mencegah semua kemungkinan kontak atau penularan dengan sumber penyakit (Iqbal et al. 2009). Biosekuriti dilakukan untuk mencegah terjadinya penyebaran agen penyakit unggas (mikroorganisme berbahaya) ke berbagai fasilitas di peternakan (kandang). Tindakan biosekuriti yang dilakukan menurut DITJENAK (2004) yaitu : a. Pengawasan lalu lintas dan tindakan karantina (isolasi) tempat-tempat penampungan unggas dan peternakan (farm) yang tertular dengan cara sebagai berikut : 1.
Membatasi lalu lintas material kontaminan asal unggas seperti unggas dan produk-produknya, pakan, kotoran, bulu, dan alas kandang (litter).
2.
Membatasi lalu lintas orang (pekerja) dan kendaraan yang keluar masuk lokasi.
3.
Menjamin kesehatan semua orang/pekerja yang berada di lokasi peternakan (harus dalam kondisi sehat).
4.
Para pekerja peternakan dan semua orang yang masuk lokasi peternakan/penampungan
unggas
harus
menggunakan
pakaian
pelindung, kacamata, masker, sepatu pelindung dan harus melalui tindakan disinfeksi dan sanitasi. 5.
Mencegah kontak antara unggas dengan burung liar (unggas air), rodensia (tikus) dan hewan lain.
11
b. Melakukan tindakan dekontaminasi atau disinfeksi. Dekontaminasi atau disinfeksi adalah tindakan menyucihamakan secara tepat dan cermat terhadap pakan, tempat pakan, tempat minum, semua peralatan, pakaian pekerja kandang, alas kaki, kendaraan dan bahan lain yang tercemar, bangunan kandang yang bersentuhan dengan unggas, kandang/tempat penampungan unggas, keranjang penampungan (crate), permukaan jalan menuju peternakan (kandang) atau tempat penampungan unggas (Smith 2002). Prosedur dekontaminasi yang perlu dilakukan menurut DITJENAK (2004) yaitu : 1.
Melakukan disinfeksi terhadap semua bahan, sarana peralatan, dan bangunan kandang yang bersentuhan dengan unggas tertular termasuk limbah padat dan cair. Apabila pelaksanaan dekontaminasi/disinfeksi tidak dapat dilakukan secara efektif, maka bahan dan peralatan tidak permanen yang terkontaminasi harus dimusnahkan dan dikubur di lokasi peternakan.
2.
Lokasi jalan menuju ke area peternakan tertular dan area sekitar kandang unggas, semua kendaraan termasuk kendaraan pengangkut unggas, telur, pakan unggas, dan kendaraan lainnya yang masuk ke lokasi
peternakan
(penampungan
unggas)
harus
dilakukan
penyemprotan dengan desinfektan yang tepat. 3.
Desinfektansia yang digunakan adalah desinfektan yang memiliki sifat tahan terhadap organik, tidak bersifat korosif dan tahan terhadap panas seperti asam perasetat (paracetic acid), hidroksiperoksida, sediaan ammonium kuartener, formaldehid 2-5 %, iodoform kompleks, senyawa fenol, dan natrium hipoklorit.
4.
Pada setiap tahapan dekontaminasi harus dicegah agar tidak terjadi penyebaran partikel debu dan udara yang kemungkinan bercampur dengan kotoran unggas tertular yang dapat menyebarkan virus.
2.
Vaksinasi. Pelaksanaan vaksinasi dilakukan menurut DITJENAK (2004) dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
12
a. Menggunakan vaksin inaktif (killed vaccine) produksi dalam negeri atau vaksin inkatif asal impor yang memiliki strain virus homolog dengan subtipe virus isolat lokal (strain H5) dan telah mendapatkan rekomendasi dari pemerintah. b. Pelaksanaan vaksinasi dilakukan di daerah tertular, dilakukan secara masal terhadap seluruh unggas sehat dengan penyuntikan secara individual dan apabila diperlukan dapat dilakukan penyuntikan ulang (booster). Vaksinasi tersebut dilakukan kepada seluruh unggas terancam di daerah tertular, termasuk ayam ras, ayam buras, bebek, itik, kalkun, angas, burung dara, burung puyuh, dan unggas lainnya (Marco et al. 2003). c. Melakukan monitoring pasca vaksinasi untuk mengetahui tingkat kekebalan unggas dengan metode pemeriksaan serologi HI test menggunakan antigen yang homolog dengan strain vaksin. 3.
Tindakan pemusnahan unggas selektif (depopulasi) di daerah tertular. Pemusnahan selektif (depopulasi) adalah suatu tindakan untuk mengurangi populasi unggas yang menjadi sumber penularan penyakit. Depopulasi dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu : a. Neck dislocation, adalah tindakan memutus syaraf spinal yang mengatur ritme sistem pernapasan dan jantung. b. Dekapitasi,
adalah
tindakan
pemenggalan/penyembelihan
dengan
menggunakan pisau/skalpel dengan tujuan mengeluarkan darah secara cepat. c. Anastesi, adalah tindakan menyuntikkan obat sedatif dan barbiturat untuk tujuan menurunkan fungsi syaraf pusat, menghilangkan kesadaran, sakit, depresi, sampai membuat pernapasan dan jantung berhenti. Langkah-langkah pemusnahan selektif (depopulasi) unggas yang terserang virus AI menurut DITJENAK (2004) yaitu : a. Depopulasi dilakukan terhadap semua peternakan tertular yang ditetapkan melalui diagnosa klinis dan patologi anatomi oleh dokter hewan.
13
b. Depopulasi dilakukan terhadap semua unggas tertular (sakit) dan unggas sehat yang sekandang dengan cara membunuh atau menyembelih sesuai prosedur pemotongan unggas yang berlaku. Tindakan lain yang dilakukan setelah depopulasi yaitu disposal. Disposal adalah prosedur untuk melakukan pembakaran dan penguburan terhadap unggas mati (bangkai), karkas, telur, kotoran, bulu, alas kandang, pupuk dan pakan ternak yang tercemar, serat bahan dan peralatan lain terkontaminasi yang tidak dapat didisinfeksi secara efektif. Prosedur disposal yang perlu dilakukan berpedoman kepada hal-hal sebagai berikut : a. Lokasi pelaksanaan pembakaran/penguburan harus di dalam lokasi peternakan tertular dalam jarak minimal 20 meter dari kandang dan jauh dari penduduk untuk mencegah polusi maupun penyebaran penyakit. b. Pembakaran sedapat mungkin dilakukan di dalam lubang yang telah disiapkan untuk penguburan.
Pembakaran juga dapat dilakukan
menggunakan incinerator untuk mencegah polusi. c. Lubang tempat penguburan harus memiliki kedalaman minimal 1,3 meter, ditutup rapat dengan tanah, dan ditaburi kapur atau desinfektansia. d. Apabila tempat pembakaran/penguburan harus dilakukan di luar areal peternakan
yang
terinfeksi,
maka
lokasi
pelaksanaan
pembakaran/penguburan harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Dinas Peternakan atau dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan setempat. 4.
Pengendalian lalulintas unggas, produk unggas, dan limbah peternakan. DITJENAK RI menghimbau bahwa pengaturan secara ketat terhadap pengeluaran dan pemasukan unggas hidup, telur (tetas dan konsumsi), produk unggas (karkas/daging unggas dan hasil olahannya), dan limbah peternakan dilakukan sebagai berikut: a. Tidak memindahkan anak unggas umur sehari (DOC) dari daerah yang terkena wabah kecuali anak unggas umur sehari bibit induk (parent stock)
14
b. Parent stock tersebut harus berasal dari peternakan pembibitan yang tidak terjadi wabah AI. c. Tidak mengeluarkan unggas dewasa dari peternakan yang terkena wabah. d. Segera memusnahkan keranjang tempat penampungan unggas (crate) saat terjadi pemindahan unggas. 5.
Pengisian kandang kembali (restocking). Pengisian kandang kembali (restocking) adalah melakukan pengisian kembali ternak (unggas) ke kandang peternakan untuk melanjutkan usaha peternakan tersebut.
Pengisian kembali unggas ke dalam kandang dapat dilakukan
sekurang-kurangnya satu bulan setelah dilakukan pengosongan kandang dan semua prosedur tindakan dekontaminasi (disinfeksi dan/atau disposal) telah dilaksanakan dengan baik (DITJENAK 2004). 6.
Surveilans dan penelusuran. Surveilans adalah suatu sistem yang terus menerus dilakukan untuk pengumpulan, analisis, interpretasi tentang frekuensi/distribusi penyakit di dalam suatu populasi untuk tujuan mengambil langkah-langkah dalam upaya pengendalian atau investigasi lebih lanjut (KOMNAS FBPI 2008). Sasaran surveilans dan penelusuran adalah semua spesies unggas yang rentan terhadap penyakit dan sumber penyebaran penyakit. Tujuan palaksanaan surveilans antara lain : a. Menetapkan sumber infeksi di daerah tertular baru. b. Menetapkan
penyebaran/perluasan
penyakit
untuk
mengetahui
perkembangan pengendalian dan pemberantasan penyakit. c. Menetapkan wilayah daerah bebas, daerah terancam, dan daerah tertular penyakit. d. Mendeteksi tingkat kekebalan kelompok pasca vaksinasi. Pelaksanaan kegiatan surveilans harus diikuti dengan kegiatan penelusuran untuk menentukan sumber infeksi dan menahan secara efektif penyebaran penyakit. Pelaksanaan kegiatan surveilans juga dapat menggunakan ayam sentinel.
Ayam sentinel adalah ayam sehat yang peka (rentan) terhadap
15
infeksi virus dan dipelihara bersama-sama populasi ayam yang dicurigai terinfeksi virus (Salman 2003). Infeksi virus yang terjadi pada ayam sentinel menunjukkan terdapat sumber infeksi (penyebaran penyakit) populasi yang tersebut.
Penelusuran dilakukan minimum mulai dari periode 14 hari
sebelum timbul gejala klinis sampai tindakan karantina mulai diberlakukan. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam kegiatan penelusuran meliputi : a. Asal dan jenis unggas. b. Produk daging, telur, bulu, tulang, darah dan lain-lain. c. Bahan perantara :
kendaraan pengangkut unggas, pengangkut telur,
pengangkut pakan, peralatan, dan material terkontaminan (kotoran). d. Peternak/petugas kandang, pedagang ternak, penual pakan, pengunjung dan lain-lain. 7.
Pemusnahan unggas secara menyeluruh (stamping out) di daerah tertular baru. Pada daerah bebas/terancam apabila muncul wabah AI dan telah terdiagnosa secara klinis, patologi anatomis, dan epidemiologis, serta dikonfirmasi secara laboratoris, maka dilakukan tindakan pemusnahan unggas secara menyeluruh (stamping out) yaitu memusnahkan seluruh ternak unggas yang sakit maupun yang sehat pada peternakan tertular termasuk semua unggas yang berada di dalam radius 1 km peternakan tersebut (DITJENAK 2004).
Tindakan
pemusnahan secara menyeluruh ini dapat dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Kejadian penyakit masih dapat dilokalisir dan tidak berpotensi menyebar secara cepat ke peternakan (daerah) lain. b. Batasan jumlah ternak unggas yang akan dimusnahkan masih dianggap ekonomis oleh peternak. c. Peningkatan biosekuriti dan pembatasan lalu lintas secara ketat harus diberlakukan di peternakan tertular tersebut. Apabila pada tahapan tertentu tindakan pemusnahan menyeluruh sudah terlambat dilakukan dan penyebaran penyakit sudah semakin meluas, maka
16
tindakan menyeluruh dapat diubah menjadi tindakan vaksinasi dan pemusnahan selektif (depopulasi). 8.
Peningkatan kesadaran masyarakat (public awarness). Sosialisasi tentang penyakit yang disebabkan oleh virus AI kepada masyarakat dan peternak sangat penting karena dampak kerugian yang ditimbulkan secara ekonomi dan kesehatan bagi masyarakat sangat besar. Sosialisasi dapat dilakukan melalui media elektronik, media massa cetak, pemasangan spanduk dan sebagainya. Kegiatan tersebut juga dapat dilakukan melalui program pendidikan kepada masyarakat melalui seminar, pelatihan dengan bekerjasama industri perunggasan dan asosiasi bidang peternakan (DITJENAK 2004).
9.
Monitoring, pelaporan, dan evaluasi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pelaksanaan monitoring, pelaporan, dan evaluasi menurut DITJENAK (2004) adalah : a. Monitoring sangat penting dilakukan untuk mengetahui keberhasilan kegiatan.
Monitoring dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan
kegiatan, dampak, dan permasalahan yang terjadi pada saat kegiatan dilaksanakan sehingga dapat dilakukan penyempurnaan pada kegiatan yang akan datang. b. Pelaporan
meliputi
laporan
situasi
penyakit
dan
perkembangan
pelaksanaan pengendalian dan pemberantasan penyakit, termasuk penggunaan vaksin dan distribusinya. c. Evaluasi pelaksanaan pencegahan, pengendalian dan pemberantasan dimaksudkan untuk mengetahui pencapaian target fisik kegiatan, dampak keberhasilan, dan permasalahan yang timbul selama pelaksanaan program. Materi evaluasi yang penting diantaranya adalah penyediaan dan distribusi sarana (vaksin, obat, peralatan, dan lain-lain). Realisasi pelaksanaan operasional (vaksinasi, pengamatan, diagnose, langkahlangkah yang telah diambil dalam pengendalian dan pemberantasan), serta situasi penyakit (sakit, mati, stamping out, kejadian terakhir) dan lain-lain.
17
Untuk meningkatkan penanggulangan wabah AI, beberapa hal yang harus ditindaklanjuti oleh pemerintah povinsi dan kabupaten/kota menurut Prima (2007) adalah : 1. Melaporkan secara dini setiap adanya kasus AI. 2. Mengimplementasikan
sembilan
tindakan
(strategi)
pencegahan,
pengendalian dan pemberantasan AI secara tegas, antara lain : a.
Depopulasi (pemusnahan selektif) terhadap semua unggas tertular (sakit) dan unggas sehat yang berada dalam satu blok (peternakan).
b.
Stamping out (pemusnahan secara menyeluruh) semua unggas di daerah tertular baru.
c.
Penutupan lalu lintas unggas, produk unggas, dan limbah peternakan unggas dengan keputusan bupati/walikota.
d.
Vaksinasi massal AI seluruh unggas rakyat (100 %
populasi),
terutama terhadap ayam kampung (buras), burung puyuh dan unggas lain yang ada di daerah tertular maupun terancam. e.
Memperketat lalu lintas ternak (terutama unggas dan produknya) di wilayah bebas AI sesuai dengan peraturan yang berlaku.
f.
Membentuk tim task force penanggulangan AI di tingkat provinsi, kabupaten/kota dengan melakukan konsultasi secara regular.
3. Meningkatkan pelaksanaan pengamatan dan surveilans. 4. Menangani dengan cepat adanya laporan kasus dugaan flu burung pada manusia. 5. Menyusun tata ruang komoditas usaha peternakan guna melindungi industri peternakan dan kesehatan masyarakat. 6. Pengaturan
dan
penataan
PUH
dan
TPnA
untuk
mencegah
kemungkinan penularan yang tidak terkendali di masa yang akan datang. 7. Melakukan penyuluhan (public awareness) kepada masyarakat. 8. Meningkatkan fungsi pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan zoonosis dengan membentuk Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan.
18
Pasar Unggas dan Tempat Penampungan Ayam Pasar unggas memegang peranan penting dalam penyediaan produk unggas seperti daging ayam dan telur bagi masyarakat Indonesia. Keberadaan pasar unggas membuka peluang terjadinya pasar unggas hidup (PUH) dan penyebaran penyakit yang berdampak terhadap kesehatan masyarakat. Tempattempat yang perlu diperhatikan dari aspek kesehatan masyarakat adalah PUH dan tempat penampungan ayam (TPnA). Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pasar unggas merupakan tempat yang memiliki risiko tinggi dalam penyebaran virus AI (Jaelani 2008). PUH merupakan tempat bertemunya unggas dari berbagai peternakan dan bersinggungan langsung dengan manusia, sedangkan TPnA adalah bagian dari PUH yang berfungsi sebagai tempat dikumpulkannya ayam dari berbagai daerah sebelum dibawa ke PUH, tempat pemotongan unggas (TPU) atau distribusi lebih lanjut (Anonim 2008). Menurut Senne (2003), pasar ungas hidup merupakan pasar yang sangat kompleks dalam upaya penyediaan daging unggas segar yang tersebar di seluruh penjuru kota-kota besar di dunia.
Unggas yang datang ke PUH berasal dari
peternakan-peternakan unggas yang biasanya telah mengalami perjalanan jauh dengan menggunakan truk pengangkut.
Selama dalam perjalanan biasanya
unggas dimasukkan ke dalam keranjang khusus (crate) berisi 10 – 15 ekor setiap keranjang. Keranjang yang diisi sejumlah unggas tersebut akan memudahkan calon pembeli untuk memilih tipe unggas yang diminati, selanjutnya dapat disembelih (dipotong) untuk diambil karkasnya. Penampungan jumlah unggas yang tidak terlalu banyak dan sesak di dalam keranjang bermanfaat dalam menjaga kualitas daging yang dihasilkan.
Selama di TPnA unggas-unggas
ditempatkan di dalam kandang yang saling berdekatan, bahkan sering ditempatkan bersama spesies unggas lain (Suartha et al. 2010). Kandang penampungan di TPnA terdiri atas kandang postal yang beratap genting dan lantai yang terbuat dari semen (beton). Tiang penyangga kandang terbuat dari beton atau tiang kayu. Dinding kandang umumnya terbuat dari beton atau kayu pada sisi belakang kandang. Sedangkan sisi yang lain tidak berdinding
19
dan umumnya hanya di batasi dengan kawat anyaman atau bilah bambu yang disusun sedemikian rupa agar dapat mencegah ternak tidak keluar kandang. Luas kandang umumnya 500 m2 dan terbagi menjadi beberapa kandang kecil (kamar) yang dipisahkan dengan kawat yang dianyam, susunan bilah bambu, atau tumpukan keranjang (crate) yang disusun sedemikian rupa dapat membuat batas antara kamar satu dengan kamar yang lain. Tujuan pembuatan kandang-kandang kecil ini adalah untuk mengurangi kepadatan ternak yang dipelihara di dalam kandang.
Selain itu, kandang-kandang kecil dapat digunakan sebagai tempat
isolasi ternak ayam yang ditemukan sakit untuk diobati, dijual lebih awal, atau dipotong (dimusnahkan).
Di area sekitar kandang penampungan biasanya
terdapat parit (selokan) yang umumnya digunakan sebagai tempat pembuangan limbah TPnA pada saat dilakukan kegiatan perawatan kebersihan kandang. Kandang TPnA dibersihkan berkala setelah ayam habis terjual dan akan digantikan dengan ayam yang baru. Kegiatan tersebut dilakukan dengan cara menyapu lantai, dinding, dan atap kandang dari berbagai kotoran yang menempel. Apabila kandang ditemukan sangat kotor maka dibersihkan dengan cara mencuci dan mendisinfeksi. Lemahnya penerapan biosekuriti dan higiene sanitasi di PUH dan TPnA menyebabkan tempat tersebut berisiko sebagai sumber penularan virus AI ke unggas, manusia, dan lingkungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan WHO bahwa PUH dan TPnA merupakan salah satu tempat kritis dalam penularan virus AI dan perlu mendapat perhatian serius, mengingat wabah yang terjadi pada peternakan unggas menyebabkan pasar unggas sebagai salah satu tempat penting dalam penularan penyakit AI ke manusia (Senne 2003; Suartha et al. 2010). Penelitian yang dilakukan di 7 kota wilayah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten menunjukkan bahwa 46,89 % PUH telah terkontaminasi virus AI.
Apabila PUH telah
terkontaminasi virus AI, maka virus akan dapat dideteksi pada tempat yang memiliki titik kritis tinggi penularan virus AI (>50 %) seperti tempat penjajaan (display) produk unggas, tempat pemotongan unggas (TPU), dan TPnA (Indriani et al. 2008).
20
Manajemen Kesehatan Unggas di TPnA Desain dan tata letak TPnA sedemikian rupa memenuhi persyaratan untuk melindungi ayam dari sinar matahari langsung dan hujan selama berada di dalam kandang penampungan (KOMNAS FBPI 2008). Beberapa prosedur operasional yang harus dilakukan antara lain biosekuriti, higiene, sanitasi, dan tatalaksana penampungan. Setiap kendaraan pengangkut yang masuk dan keluar TPnA wajib didisinfeksi. Upaya penerapan manajemen kesehatan unggas antara lain setiap unggas yang datang harus dilengkapi dengan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) yang dibuat oleh dokter hewan berwenang di daerah asal unggas dan telah mendapatkan pemeriksaan kesehatan oleh petugas dibawah pengawasan dokter hewan berwenang.
Selain itu, memisahkan ayam sakit (isolasi) dan
membuang ayam mati dari kandang penampungan sangat bermanfaat dalam mencegah penularan penyakit AI (Suartha et al. 2010). Membuang ayam mati (bangkai) dilakukan dengan cara membakar atau mengubur pada tempat yang aman. Menurut Wolfgang (2001) isolasi terhadap unggas sakit akan menjaga agen penyakit tidak menular ke unggas yang rentan dan mendukung proses penyembuhan unggas sakit sekaligus meminimalkan dampak kerugian ekonomi. Penerapan higiene dan sanitasi dapat dilakukan dengan cara membersihkan dan mendisinfeksi tempat penampungan, mencuci dan mendisinfeksi peralatan pakan dan minum, serta peralatan perlindungan diri setiap hari. Keberhasilan dalam pengendalian suatu penyakit dipengaruhi oleh keberhasilan dalam upaya memutus rantai penularan penyakit tersebut. Upaya yang dapat dilakukan untuk memutus rantai penyebaran penyakit yang disebabkan oleh ternak yang sakit antara lain memotong (memusnahkan) ternak tersebut. Tindakan
memotong ternak dilakukan dengan
memperhatikan prosedur
pemotongan sebagai berikut (Abubakar 2003) : 1.
Ayam yang akan disembelih dalam keadaan baik dan tidak dalam keadaan lelah.
2.
Ayam yang akan disembelih terlebih dahulu telah diistirahatkan selama 12-24 jam.
21
3.
Ayam disembelih pada leher dengan memotong arteri karotis dan vena jugularis agar darah keluar sempurna.
4.
Pencabutan bulu dilakukan setelah ayam tersebut benar-benar mati.
5.
Limbah sisa pemotongan (darah, bulu, kuku, dan kotoran) di buang pada tempat yang aman dengan cara dikubur.
Menurut Grimes (2001), unggas yang sakit dapat menghasilkan lendir baik dari mulut maupun dari anus.
Lendir yang dihasilkan dapat mengandung
mikroorganisme patogen (agen penyakit) yang dapat menyebar ke lingkungan karena aktivitas unggas tersebut. Faktor pemicu penyebaran mikroorganisme ke lingkungan seperti temperatur udara, kelembaban lingkungan, dan jumlah cahaya/sinar matahari.
Lendir yang berbentuk aerosol dapat mencemari
lingkungan, debu peternakan, kotoran unggas, peralatan kandang, makanan, air, dan bangkai ternak karena aktivitas hewan vektor lainnya seperti serangga. Memperhatikan perkembangan rantai penyebaran virus AI ke manusia yang berasal dari unggas maka tindakan memutus rantai penularan dari unggas ke manusia merupakan langkah yang tepat (Tumuha 2008). Upaya lain yang dapat dilakukan ialah menciptakan pasar unggas yang sehat sebagai langkah nyata upaya menekan penyebaran dan pengendalian virus AI. Beberapa aspek penting yang harus tercakup di dalam pasar unggas sehat menurut Saptana dan Sumaryanto (2009) antara lain : 1.
Keberadaan pasar. Pasar unggas yang diharapkan adalah pasar yang menyediakan produkproduk unggas yang bebas dari agen penyakit. Kegiatan jual beli unggas dilakukan dalam keadaan bentuk telah menjadi karkas dan tidak dalam keadaan unggas hidup untuk menghindari penyebaran agen penyakit menular.
2.
Penerapan biosekuriti. Biosekuriti dilakukan untuk membatasi terjadinya penyebaran agen penyakit dengan cara membatasi kontak yang terjadi antar unggas dan antar manusia.
22
3.
Higiene dan sanitasi. Praktik-praktik higiene dan sanitasi yang dilakukan dengan baik di pasar unggas akan mencegah terjadinya penyebaran agen penyakit.
4.
Pemisahan (zoning) antara tempat aktivitas penanganan unggas dan produknya (TPnA, TPU, dan tempat penjualan karkas/daging) dengan tempat penjualan komoditi lain.
5.
Aktivitas penanganan unggas dan produknya terletak dalam satu area khusus.
6.
Fasilitas dan infrastruktur yang layak.
7.
Pemeriksaan kesehatan unggas. Pemeriksaan kesehatan unggas dilakukan oleh petugas khusus dari dinas terkait untuk menjamin bahwa hanya unggas sehat yang diperjualbelikan.
8.
Sistem pengawasan keamanan daging unggas (meat inspection system).
9.
Konsep produk unggas yang keluar dari pasar dalam bentuk karkas bukan dalam bentuk unggas hidup.
10.
Pemberdayaan
masyarakat
pasar
yaitu
pengelola
pasar,
pemasok,
pengumpul dan pedagang unggas hidup, petugas pemotong unggas, pedagang daging/karkas, pemerintah daerah, pihak swasta, konsumen, dan kerjasama semua pihak yang terkait.
Peran TPnA dalam Penyebaran AI Menurut Kamps et al. (2007), pasar unggas yang menjual unggas dalam jumlah besar dan ditempatkan secara berdesakan merupakan faktor pendukung penyebaran virus AI.
Tindakan pengamanan (biosecurity) yang baik untuk
mengisolasi peternakan unggas dapat mencegah penularan agen penyakit dari satu peternakan ke peternakan yang lain secara efektif.
Penularan virus secara
mekanis dapat terjadi melalui peralatan, kendaraan, pakan ternak, pakaian terutama sepatu, dan kandang (keranjang) yang tercemar.
Penelitian yang
dilakukan terhadap wabah HPAI di Italia selama tahun 1999-2000 menunjukkan penularan terjadi melalui perpindahan populasi unggas (1,0 %), kontak yang
23
terjadi selama pengangkutan unggas ke tempat pemotongan (8,5 %), lingkungan dalam radius satu kilometer dari peternakan yang terinfeksi (26,2 %), truk pengangkut pakan, kandang, atau bangkai unggas (21,3 %), penularan secara tidak langsung karena pertukaran/perpindahan karyawan, alat-alat, dan sebagainya (9,4 %) (Capua et al. 2005). Tidak ada petunjuk bahwa wabah yang terjadi di Italia tersebut juga menyebar melalui udara, tetapi pada wabah AI yang terjadi di Belanda (tahun 2003) dan Kanada (tahun 2004) diperkirakan terjadi penyebaran melalui udara (Kamps et al. 2007). Pada tahun 1994, infeksi virus AI telah menyebar di pasar unggas hidup di kota-kota besar di wilayah Amerika Utara.
Penyebaran virus tersebut terus
berlangsung seiring dengan pesatnya laju pasar unggas hidup hingga menyebar ke industri peternakan unggas pada tahun 1996 (Senne 2003). Kondisi yang ditemui di PUH Indonesia dan produknya berdasarkan hasil lokakarya PUH (workshop on live bird markets) yang diadakan oleh Komnas FBPI, USDA dan CIVAS (Jaelani 2008) antara lain : 1. Belum ada pemeriksaan kesehatan hewan dan produk-produknya secara rutin. 2. Implementasi biosekuriti yang belum maksimal. 3. Tidak ada program pembersihan dan disinfeksi kendaraan pengangkut, keranjang, peralatan, dan bangunan. 4. Tidak ada pembatas yang jelas antara tempat
penampungan,
pemotongan, dan penjualan unggas serta produk-produknya dengan tempat komoditi lain. 5. Tidak diketahui sumber/asal ayam dan status kesehatannya. 6. Sistem transportasi unggas belum memenuhi standar dan tidak memenuhi kaidah animal welfare. 7. Tidak ada pintu khusus untuk sirkulasi unggas ke pasar. 8. Tempat pengumpulan/penampungan dan pemotongan unggas tidak memenuhi standar minimal higiene dan sanitasi yang baik. 9. Penjualan berbagai macam spesies unggas (ayam buras, bebek, dan ayam ras) dalam satu tempat.
24
10. Penjualan ayam hidup masih banyak terjadi (konsumen membawa pulang ayam hidup). 11. Belum ada peraturan tentang penataan unggas hidup dan produknya di pasar. 12. Higiene personal yang masih buruk. 13. Kurangnya kesadaran dari para penjual dan pembeli mengenai produk yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Beberapa kondisi yang ditemukan di PUH dan TPnA antara lain penjualan berbagai macam spesies unggas dalam satu tempat, higiene yang buruk, pembersihan dan desinfeksi yang terbatas, serta tidak adanya pemeriksaan kesehatan unggas sebelum dipasarkan merupakan praktik-praktik yang berisiko tinggi dalam penyebaran virus AI (Basri et al. 2008). Kondisi ini memudahkan penyebaran dan penularan virus AI baik penularan antar unggas, unggas ke manusia maupun dari unggas ke lingkungan. Penelitian yang dilakukan terhadap pasar unggas hidup di Indonesia melalui identifikasi titik kritis infeksi/penyebaran virus AI menghasilkan temuan yaitu tempat penjajaan produk unggas (76,92 %), tempat pemotongan unggas (74,35 %), tempat penampungan unggas (61,53 %), dan tempat pembuangan limbah pasar sebesar 23,07 % (Indriani et al. 2008).