TINJAUAN PUSTAKA
Hipertensi Penyakit hipertensi atau darah tinggi merupakan penyakit tidak menular yang perlu diwaspadai dan diperhatikan dengan serius karena hipertensi merupakan penyebab kematian nomor tiga terbesar setelah stroke dan tuberkulosis, yakni mencapai 6,7% dari populasi kematian pada semua umur di Indonesia (Riskesdas 2007). Dilaporkan bahwa sebesar 31,7% penduduk dewasa di Indonesia menderita penyakit ini. Penyakit ini juga banyak diderita oleh penduduk dunia, di negara-negara Afrika sekitar 30% dari populasi penduduk dewasanya terindikasi menderita penyakit ini (Addo et al. 2007), sedangkan di Amerika Serikat penyakit ini diderita oleh 25% orang dewasanya (Field et al. 2004). Hipertensi diindikasikan dengan kondisi tekanan darah sistolik seseorang diatas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Hal ini terjadi akibat menyempitnya pembuluh darah sehingga menaikkan tekanan darah. Hipertensi dikategorikan menjadi hipertensi esensial dan hipertensi sekunder. Hipertensi esensial terjadi dengan sebab yang belum diketahui, sedangkan hipertensi sekunder terjadi akibat dari penyakit ginjal, kelainan endokrin, penurunan fungsi organ tubuh, atau karena pemakaian obat (Howel et al. 2004). Joint National Committee on the Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure VII (JNC VII 2004) mengklasifikasikan hipertensi menjadi tiga tahap (Tabel 1). Semakin tinggi tahap hipertensi yang diderita, resiko kematiannya akan semakin besar. Pengklasifikasian ini juga berfungsi untuk penentuan jenis pengobatan yang dilakukan karena tiap tahapan membutuhkan terapi pengobatan yang berbeda (Howel et al. 2004). Penyakit hipertensi dapat menimbulkan komplikasi dengan munculnya penyakit lain. Penyakit tersebut ialah kerusakan otak karena pecahnya pembuluh darah (stroke) akibat tekanan yang tinggi, kerusakan jantung akibat pembesaran otot jantung kiri karena harus bekerja memompa darah dengan lebih kuat, kerusakan ginjal akibat tekanan darah yang tinggi pada pembuluh darah, dan
kerusakan mata karena tekanan darah yang tinggi menekan pembuluh darah mata dan syaraf sehingga penglihatan terganggu.
Tabel 1 Klasifikasi Hipertensi berdasarkan JNC VII (JNC VII 2004) Tekanan Sistolik
Tekanan Diastolik
(mmHg)
(mmHg)
Optimal
100 – 120
75 - 80
Normal
120 – 129
80 - 84
Perbatasan (High Normal)
130 – 139
85 - 89
Tahap 1
140 – 159
90 - 99
Tahap 2
160 – 179
100 - 109
Tahap 3
>180
<110
Kategori
Hipertensi
Angiotensin Converting Enzyme (ACE) ACE atau kinase II (bivalent dipeptidyl carboxyl metalopeptidase) (EC 3.4.15.1) adalah ektoenzim multifungsi yang berperan dalam regulasi peredaran darah. Enzim ini terikat pada membran sel endothelial, epitel, epitel syaraf, dan otak, terlarut dalam darah dan cairan tubuh (Brown & Vaughan 1998). ACE mengkatalisis pelepasan dipeptida histidil-leusin dengan mengikat dipeptida pada ujung C dari angiotensin I sehingga menghasilkan oktapeptida angiotensin II, yang berpotensi sebagai vasoconstrictor (penyempit pembuluh) (Riordan 2003) dan juga menghidrolisa serta menginaktivasi vasodilatory (pelebar pembuluh) bradikinin. Angiotensin II berfungsi untuk sekresi aldosteron yang menyebabkan retensi sodium sehingga meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang mengakibatkan salah satu faktor terjadinya hipertensi. Angiotensin II juga berfungsi untuk kontraksi jaringan vaskuler sehingga meningkatkan resistensi periferal yang mengakibatkan hipertensi, sedangkan bradikinin berfungsi untuk melemaskan otot pembuluh darah (Hansen et al. 1995). ACE meregulasi keseimbangan antara vasodilatory dan natriuretic properties dari bradikinin dan vasoconstrictive dan salt-retentive properties dari
angiotensin II (Gambar 1). ACE akan teraktivasi bila berikatan dengan seng dan klorida (Brown & Vaughan 1998).
Gambar 1 Regulasi ACE terhadap keseimbangan antara angiotensin II dan bradikinin (Brown & Vaughan 1998).
Inhibitor Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor ACE telah digunakan secara luas dalam mengobati penyakit darah tinggi. Penggunaan inhibitor ACE sebagai agen terapi dalam pengobatan hipertensi telah mengurangi angka kematian yang disebabkan oleh penyakit ini. Inhibitor ACE bekerja dengan menghambat ACE dalam membentuk angiotensi II dan mendegradasi bradikinin sebagai subtrat kompetitif bagi ACE (Brown & Vaughan 1998). Obat kimia paten golongan inhibitor ACE, dapat diklasifikasikan kedalam tiga grup berdasarkan struktur kimianya yaitu inhibitor ACE yang mengandung gugus sulfhydryl, carboxyl, dan phosphinyl (Tabel 2). Captopril (Gambar 2) merupakan inhibitor ACE dengan gugus sulfhidril yang paling umum digunakan saat ini. Penggunaan obat kimia sintetis secara terus menerus dikhawatirkan dapat menimbulkan efek negatif bagi tubuh, sehingga pencarian terhadap senyawa alami dengan aktivitas inhibitor ACE perlu terus ditingkatkan. Beberapa sumber makanan yang mengandung protein seperti ikan, gelatin, kedelai, dan protein susu dilaporkan mengandung peptida aktif yang dapat berfungsi sebagai inhibitor ACE (Ariyoshi 1993). Kasokinin dan laktokinin merupakan inhibitor ACE hasil dari hidrolisis enzimatik selama fermentasi kasein dan gandum (Meisel & Schimme 1994; Fitzgerald & Meisel 1999). Saat ini sudah
Tabel 2 Obat hipertensi golongan inhibitor ACE (Brown & Vaughan 1998) Jenis Obat
Captopril
Enalapril Lisinopril Benazipril Quinamipril
Zinc ligand
Sulfhydryl Carboxyl
Ramipril
Trandonapril Moexipril
Fisinopril
Carboxyl
Carboxyl
Carboxyl
Carboxyl
Carboxyl
Carboxyl
Phosphinyl
Prodrug
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
TmaxActivedrug
0.7 – 0.9
2-8
6-8
1-2
2
3
4-10
1.5
3
Rute Eliminasi
Ginjal
Ginjal
Ginjal
Ginjal
Ginjal
Ginjal
Ginjal, Hati
Ginjal
Hati,Ginjal
Dosis, mg
6.25-300
60
6-60
>37
>60
50-60
70
13
36
Gambar 2 Struktur Captopril.
ada produk makanan yang mengandung inhibitor ACE sebagai suplemen untuk menjaga keseimbangan peredaran darah agar tidak terjadi hipertensi. Contoh dari produk yang mengandung peptida inhibitor ACE ialah Ameal S (Calpis Co. Ltd., Tokyo, Jepang), yaitu tablet susu asam yang mengandung inhibitor ACE hasil dari fermentasi kasein oleh Lactobacillus helveticus dan Saccharomyces cerevisiae (Nakamura et al. 1995). Senyawa inhibitor ACE yang diperoleh dari hasil fermentasi bakteri berupa protein, namun senyawa inhibitor ACE yang diekstrak dari tanaman umumnya berupa flavonoid. Goretta et al. (2003) mendapatkan senyawa flavan3-ols dari tanaman coklat, sedangkan Hansen et al. (1995) mendapatkan kuersetin dari tanaman pegagan.
Pegagan (Centella asiatica) Pegagan (Centella asiatica) merupakan terna menahun yang mempunyai batang pendek, berbentuk roset, dan stolon-stolon yang merayap dengan panjang 10-80 cm. Tinggi tumbuhan ini berkisar 10-50 cm, memiliki daun satu helaian yang tersusun roset akar terdiri dari 2-10 helai daun. Daunnya berwarna hijau, berbentuk seperti kipas, atau ginjal, permukaan dan punggunngnya licin, tepinya agak melengkung ke atas, bergerigi, dan kadang berambut. Tulang daunnya berpusat di pangkal dan tersebar ke ujung, berdiameter 1-7 cm (Gambar 3). Tumbuhan ini tersebar di daerah dataran rendah sampai dengan ketinggian 2500 m dpl. Pegagan menyukai tanah agak lembab, cukup sinar matahari atau agak terlindung (Heyne 1987; Dalimarta 2000).
Gambar 3 Pegagan (Centella asiatica).
Pegagan diklasifikasikan ke dalam ordo Monocotyledonae, family Umbelliferae, genus Centella. Beberapa nama daerahnya di Indonesia antara lain kaki kuda (Sumatra), pegagan (Jawa), antanan (Sunda), kos tekosan (Madura) dan kisu-kisu (Sulawesi). Nama asingnya adalah gotu kola (Amerika), indian hydrocotyle (Inggris), dan ji xue cao (Cina) (Heyne 1987). Tumbuhan yang umumnya tumbuh liar ini, berasal dari kawasan asia terutama pada daerah tropis. Khasiat pegagan tidak hanya terkenal di Indonesia, tumbuhan ini juga digunakan sebagai obat herbal di negara lain seperti Malaysia, Thailand, China, dan India. Selama ratusan tahun, pegagan telah digunakan sebagai obat berbagai macam penyakit, seperti asma, epilepsi, bronkitis, lepra, amnesia, alzeimer, anti depresi dan darah tinggi (Vohra et al. 2011). Dalam kaitannya dengan terapi penyakit hipertensi, pegagan telah terbukti secara ilmiah menghasilkan senyawa antihipertensi. Hansen et al. (1995), mendapatkan senyawa kuersetin, sedangkan Loh dan Hadira (2011) menguji senyawa yang diduga berupa protein yang memiliki akifitas inhibitor ACE sebesar 48,45%.
Aktinomiset Endofit Aktinomiset, terutama dari genus Streptomyces mendapat perhatian besar untuk diteliti karena kemampuannya menghasilkan banyak senyawa metabolit, diantaranya antibiotik, enzim, enzim inhibitor, biopigmen, dan immunomodifier. Berdasarkan analisis 16S rRNA aktinomiset diklasifikasikan ke dalam domain Bakteria, filum Actinobacteria, kelas Schizomycetes dan ordo Actimomycetales (Hayakawa 2003). Aktimomiset adalah bakteri gram positif yang kaya kandungan GC, yaitu sekitar 57-75% (Lo et al. 2002). Aktinomiset mudah dibedakan dengan bakteri lainnya karena bentuk koloninya yang keras yang tumbuh seperti akar di dalam medium agar. Koloni Aktinomiset berbentuk bulat cembung dengan tepian rata dan tidak beraturan dengan permukaan bertepung, licin, kasar, atau keriput (Miyadoh 2003). Siklus hidup aktinomiset dimulai dengan berkecambahnya spora dan membentuk miselium vegetatif diikuti dengan pembentukan hifa yang masuk ke dalam medium. Hifa aerial terbentuk pada permukaan medium dan mengalami fragmentasi membentuk spora. Secara morfologi aktinomiset lebih mirip dengan
cendawan daripada dengan bakteri pada umumnya karena membentuk miselium, namun miselium cendawan lebih tebal dari miselium aktinomiset (Miyadoh 2003). Aktinomiset banyak ditemukan di dalam tanah terutama pada bagian topsoil dan jumlahnya semakin berkurang seiring dengan bertembahnya kedalam tanah. Populasinya pada tanah rizosfer (sekitar perakaran) rumput mendekati 40% dari total mikroflora tanah. Pertumbuhan optimum aktinomiset tercapai pada pH netral dengan kisaran suhu 25-300C. Aktinomiset umumnya tergolong bakteri aerob yang bersifat saprofit, dorman dalam bentuk spora yang akan berkembang menjadi miselium apabila nutrisi, suhu, kelembaban, dan kondisi lainnya sesuai dengan syarat tumbuhnya (Alexander 1961; Miyadoh 2003). Selain di tanah, telah ditemukan juga aktinomiset endofit pada tanaman. Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa mikrob endofit mampu menghasilkan senyawa yang sama seperti yang dihasilkan oleh inangnya. Streptomyces NRRL 30566, yang berasal dari daun Gravillea pteridifolia yang tumbuh di Australia sebelah utara, diketahui mampu menghasilkan antibiotik kakadumisin sama seperti tanaman inangnya (Castillo et. al, 2003). Antibiotik berspektrum luas munumbisin, dihasilkan oleh Streptomyces sp. Strain NRRL 30562, yang endofit pada Kennedia nigricans. Munumbisin dapat menghambat dan membunuh bakteri gram positif seperti Bacillus antrachis dan bakteri yang resisten terhadap berbagi obat Mycobacterium tuberculosis (Castillo et. al, 2002). Irawan (2009) mendapatkan isolat aktinomiset endofit Temulawak (Curcuma xanthorhiza) yang menghasilkan senyawa antidiabetes, sedangkan Wirawan (2009) mengisolasi aktinomiset endofit penghasil senyawa antihiperlipidemia dari Jati Belanda (Guazuma ulmifolia). Aktinomiset endofit telah dapat diisolasi dari beberapa tanaman yang biasa digunakan sebagai obat darah tinggi yaitu pegagan dan belimbing wuluh (Sari 2011). Dari kedua tanaman tersebut diperoleh 12 isolat aktinomiset endofit yang memiliki kemampuan menghasilkan inhibitor ACE. Salah satu isolat diantaranya yaitu Streptomyces sp. AEP-1 yang diisolasi dari daun pegagan memiliki aktivitas yang sangat baik, yaitu sebesar 279,2%. Isolat ini sangat potensial sebagai penghasil senyawa inhibitor ACE alami.