9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tekanan Darah Pada Hipertensi 2.1.1 Definisi Menurut Sheps (2005) hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya diatas 90 mmHg. Pada populasi manula , hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. Sedangkan menurut (Wexler, 2002 dalam Cahyadi, 2010) hipertensi diartikan sebagai peningkatan tekanan darah secara terus menerus sehingga melebihi batas normal. Tekanan darah normal adalah 110/90 mmHg. Hipertensi merupakan produk dari resistensi pembuluh darah perifer dan kardiak output. Kedua pendapat diatas sebenarnya tidak jauh berbeda sehingga berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hipertensi merupakan keadaan dimana tekanan sistole seseorang ≥140 mmHg dan diastole ≥90 mmHg. Hipertensi merupakan penyebab utama kejadian gagal jantung, stroke dan gagal ginjal. Berdasarkan data institut Nasional Jantung Paru dan Darah memperkirakan sebagian orang yang menderita hipertensi tidak sadar dengan kondisi yang dialaminya, sehingga penyakit ini disebut sebagai silent killer atau pembunuh secara diam-diam.
9
10
2.1.2 Jenis – jenis Hipertensi Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu hipertensi primer (esensial) dan hipertensi sekunder.
Hipertensi primer
(esensial) adalah suatu peningkatan persisten tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme kontrol homeostatik normal. Hipertensi ini tidak diketahui penyebabnya dan mencakup > 90% dari kasus hipertensi (Wibowo, 1999 dalam Cahyadi, 2010).
Hipertensi sekunder adalah hipertensi persisten
akibat kelainan dasar kedua selain hipertensi esensial. Hipertensi ini penyebabnya diketahui dan ini menyangkut ± 10% dari kasus-kasus hipertensi (Sheps, 2005). Penyebabnya antara lain: a. kelainan ginjal akibat glomeluronefritis akut, glomerulonefritis kronis, pyelonefritis akut dan penyempitan arteri renalis; b. penyakit kelainan hormon seperti diabetes melitus, penggunaan pil kb, adanya tumor adrenal; c. kelainan neurologis seperti polyneuritis dan poliomyelitis. Berdasarkan bentuknya, hipertensi dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu hipertensi diastolik, campuran, dan sistolik. Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) yaitu hipertensi dimana terjadi peningkatan tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik. Hipertensi jenis ini biasanya ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. Hipertensi campuran yaitu hipertensi yang ditandai peningkatan tekanan darah pada sistol dan diastol. Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) yaitu peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik. Umumnya ditemukan pada usia lanjut (Gunawan, 2001).
11
2.1.3 Klasifikasi Hipertensi Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC 7
Klasifikasi Hipertensi Prahipertensi Hipertensi Derajat 1 Hipertensi Derajat 2
TDS (mmHg) 120 – 139 140 – 159 >160
TDD (mmHg) 80 – 89 90 – 99 >100
2.1.4 Faktor Resiko Hipertensi Menurut Black dan Hawks (2005) ada dua faktor risiko yang memicu terjadinya hipertensi yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi. a. Faktor Risiko Yang Tidak Dapat Dimodifikasi 1) Riwayat Keluarga Orang yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi akan mempunyai risiko 4,04 kali menderita hipertensi dibandingkan orang yang tidak mempunyai riwayat hipertensi (Sugiharto, 2007 dalam Rahayu, 2012). 2) Umur Menurut penelitian yang dilakukan Rahayu (2012), risiko kejadian hipertensi meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Semakin bertambah umur seseorang, maka kejadian hipertensi semakin meningkat. Hal ini dianalisis terjadi karena perubahan struktur dan fungsi kardiovaskuler. Seiring bertambahnya umur, dinding ventrikel kiri dan katup jantung akan menebal beserta elastisitas pembuluh darah
12
berkurang. Kondisi ini yang membawa dampak peningkatan tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik. 3) Jenis Kelamin Hasil penelitian dari Black dan Izzo (2000) dalam Rahayu (2012) menyebutkan bahwa kejadian hipertensi lebih sering menyerang laki-laki dibandingkan perempuan pada usia dibawah 55 tahun dan akan sebanding ketika menginjak usia 55-75 tahun. 4) Ras Berdasarkan hasil penelitian, orang yang berkulit hitam khsusnya wanita akan berisiko lebih tinggi untuk menderita hipertensi. Hal ini dapat bertambah parah seiring dengan peningkatan berat badan dan kebiasaan olahraga (Lubis, 2011).
b. Faktor Risiko Yang Dapat Dimodifikasi 1) Stress Stress dapat meningkatkan aktivitas saraf simpatik yang mengatur fungsi saraf dan hormon, sehingga dapat meningkatkan denyut jantung, menyempitkan pembuluh darah, dan meningkatkan retensi air dan garam (Syaifuddin 2002). Pada saat stress, sekresi katekolamin semakin meningkat sehingga renin, angiotensin, dan aldosteron yang dihasilkan juga semakin meningkat. Peningkatan sekresi hormon tersebut berdampak pada peningkatan tekanan darah.
13
2) Obesitas Hasil peneltian menunjukkan orang yang mengalami obesitas mempunyai risiko 4,02 kali untuk menderita hipertensi dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami obesitas (Sugiharto, 2007 dalam Rahayu, 2012). Hasil penelitian yang didapatkan oleh Rahayu (2012) juga menyebutkan bahwa obesitas signifikan mempengaruhi kejadian hipertensi. 3) Nutrisi Nutrisi
adalah
faktor
yang
dapat
dimodifiksi
dalam
mengendalikan hipertensi. Pola makan yang mengandung tinggi kalori, natrium dan lemak, tetapi rendah protein dapat meningkatkan tekanan darah. Diet tinggi sodium akan menstimulasi pengeluaran hormon natriuretik dan mekanisme vasopresor dalam sistem saraf pusat, yang akan berkontribusi pada peningkatan tekanan darah (Black & Hawks, 2005). Penelitian yang dilakukan Sugiharto (2007) dalam Rahayu (2012) menyebutkan bahwa orang yang mengkonsumsi makanan tinggi sodium (makanan asin) berisiko menderita hipertensi 3,95 kali dibandingkan orang yang tidak mengkonsumsi makanan tinggi sodium. 4) Penggunaan zat Merokok, konsumsi alkohol, dan penggunaan obat-obatan adalah faktor risiko seseorang mengalami hipertensi. Nikotin yang terkandung dalam rokok dan obat-obatan seperti kokain dapat mengakibatkan peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba. Kafein juga
14
mempunyai efek meningkatkan tekanan darah tetapi tidak secara terus menerus.
2.1.5 Mekanisme Fisiologis Pengaturan Tekanan Darah pada Pasien Hipertensi Tekanan darah adalah kekuatan lateral pada dinding pembuluh darah yang didorong oleh tekanan yang dihasilkan dari jantung. Aliran darah mengalir pada sistem sirkulasi karena adanya perbedaan tekanan. Darah mengalir dari daerah yang bertekanan tinggi ke daerah yang bertekanan rendah. Kontraksi jantung mendorong darah dengan tekanan tinggi ke aorta. Puncak dari tekanan maksimum pada saat ejeksi terjadi adalah tekanan darah sistolik. Pada saat ventrikel relaksasi, darah yang tetap dalam arteri menimbulkan tekanan diastolik atau minimum (Potter & Perry, 2005). Unit standar yang digunakan untuk pengukuran tekanan darah adalah millimeter air raksa (mmHg). Tekanan darah dicatat dengan pembacaan sistolik sebelum diastolik (misalnya 120/80 mmHg). Perbedaan tekanan sistolik dan diastolik disebut dengan takanan nadi, jika tekanan darah 120/80 mmHg maka tekanan nadinya adalah 40 (Potter & Perry, 2005) Menurut Kowalak (2011), hipertensi dapat terjadi akibat gangguan pada salah satu mekanisme intrinsik dibawah ini: a. Sistem Renin-Angiotensin Sistem renin-angiotensin bekerja untuk meningkatkan tekanan darah melalui beberapa mekanisme ini:
15
1) Deplesi natrium, penurunan tekanan darah, dan dehidrasi menstimulasi pelepasan renin; 2) Renin bereaksi dengan angiotensin yang merupakan enzim yang dihasilkan hati dan mengubahnya menjadi angiotensin I yang meningkatkan prelod serta afterload; 3) Angiotensin I berubah menjadi angiotensin II di dalam paru-paru dimana angiotensin II merupakan vasokonstriktor poten yang target kerjanya adalah arteriol; 4) Angiotensin II bekerja untuk meningkatkan preload dan afterload dengan menstimulasi korteks adrenal agar mensekresi aldosteron. Sekresi aldosteron ini meningkatkan volume darah dengan menahan natrium dan air. b. Autoregulasi Beberapa mekanisme intrinsik bekerja untuk mengubah diameter arteri untuk memertahankan perfusi jaringan dan organ sekalipun terjadi fluktuasi pada tekanan darah. Mekanisme ini meliputi relaksasi stres dan perpindahan cairan kapiler. Proses tersebut meliputi: 1) Pada relaksasi stress, pembuluh darah secara perlahan berdilatasi untuk mengurangi resistensi perifer ketika terjadi peningkatan tekanan darah;
16
2) Pada perpindahan cairan kapiler, plasma mengalir antara pembuluh
darah
dan
ruangan
ekstravaskular
untuk
mempertahankan volume intravaskular. c. Sistem Saraf Simpatik Saat terjadi penurunan tekanan darah, baroreseptor dalam arkus aorta dan sinus karotikus akan mengurangi inhibisinya pada pusat vasomotor dalam medulla oblongata. Peningkatan stimulasi saraf simpatik yang ditimbulkan oleh norepinefrin pada jantung akan meningkatkan curah jantung dengan menambah kekuatan kontraksi jantung sehingga terjadi peningkatan frekuensi jantung dan meningkatkan resistensi perifer karena vasokontriksi. Stres dapat pula menstimulasi system saraf simpatik untuk meningkatkan curah jantung dan resistensi vaskuler perifer. d. Hormon Antidiuretik Pelepasan hormon antidiuretik dapat meregulasi hipotensi melalui peningkatan reabsorpsi air oleh ginjal. Dengan terjadinya reabsorpsi, volume plasma darah meningkat maka akan terjadi kenaikan tekanan darah. Selain pengaturan oleh mekanisme di atas terdapat faktor lain yang dapat mengatur tekanan darah pada pasien dengan hipertensi yaitu: 1) Disfungsi Endotel Sel endotel vaskuler mempunyai peranan penting dalam pengaturan kardiovaskuler dengan membentuk zat vasoaktif lokal yang
17
kuat, termasuk molekul vasodilator oksida nitrogen (nitric oxide) dan peptida vasokinstriktor endotelin (Lumantobing, 2008) 2) Zat Vasoaktif Zat vasoaktif dikeluarkan dalam darah atau di dekat otot polos vaskuler. Zat ini membuat pembuluh darah menjadi vasokonstriksi atau vasodilatasi. Zat-zat vasoaktif bisa berupa amino, peptide, protein, dan gas (Boron & Boulpaep, 2005). Tabel 2.2 Katagori Zat vasoaktif Vasokonstriktor
Vasodilator
Epinephrine (melalui reseptor α1)
Ephineprine (melalui reseptor β2)
Serotonin
Histamin
Angiotensin II
Atrial Natriuretik Peptidez (ANP)
Arginine vasopressin (AVP)
Bradikinin
Endothelin
Prostaglandin E2, (PGE2), Prostacyclin (PDI2) Nitric oxide (NO)
Sumber: Boron & Boulpaep (2005)
2.1.6 Penatalaksanaan Hipertensi Setiap program penanganan hipertensi bertujuan untuk mencegah terjadinya
morbiditas
dan
mortalitas
penyerta
dengan
mencapai
dan
mempertahankan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg. Efektivitas setiap program ditentukan oleh derajat hipertensi, komplikasi , biaya perawatan, dan kualitas hidup sehubungan dengan terapi. Penatalaksanaan hipertensi dapat dikelompokkan komplementer.
menjadi
3
yaitu,
farmakologis,
non
farmakologis
dan
18
Dalam dunia medis pasien hipertensi akan mendapat bermacam terapi farmakologi. Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis yang dianjurkan oleh JNC 7 yaitu: a. Diuretika , terutma jenis Thiazide (thiaz) atau Aldosteron Antagonist (aldo Ant); b. Beta Blocker (BB); c. Calcium Channel Blocker atau Calcium antagonist (CCB); d. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI); e. Angiotensin II Receptor Blocker atau AT, receptor antagonist/blocker (ARB). Masing-masing obat antihipertensi memiliki efektivitas dan keamanan dalam pengobatan hipertensi, tetapi pemilihan obat antihipertensi juga ditentukan oleh beberapa faktor seperti faktor sosio ekonomi, faktor risiko kardiovaskuler, ada tidaknya kerusakan organ target, penyakit penyerta, respon pasien terhadap obat, dan bukti ilmiah kemampuan obat antihipertensi. Sebagian besar pasien hipertensi, terapi biasanya dimulai secara bertahap, dan target tekanan darah dicapai secara progresif dalam beberapa minggu. Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah (Sudoyo, 2006). Terapi kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien adalah sebagai berikut: a. Diuretika dan ACEI atau ARB; b. CCB dan BB;
19
c. CCB dan ACEI atau ARB; d. CCB dan Diuretika; e. AB dan BB. Selain terapi farmakologis , untuk mengurangi gejala hipertensi juga diperlukan terapi non farmakologis. Terapi non farmakologis terdiri dari menghentikan
kebiasaan
merokok,
menurunkan
berat
badan
berlebih,
menurunkan konsumsi alkohol berlebih. Selain itu latihan fisik seperti olahraga ringan juga perlu dilakukan, mengurangi asupan garam serta meningkatkan konsumsi buah dan sayur (Sudoyo, 2006) Selain dua terapi diatas, masih ada satu terapi lagi bagi penderita hipertensi yaitu terapi komplementer. Saat ini terapi komplementer sendiri juga sudah mendapat perlindungan undang undang dari Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1109 Tahun 2007. Berbagai macam terapi komplementer mulai dari terapi herbal, bekam , akupunktur, meditasi, taichi, yoga, dan terapi energi.
2.2 Meditasi 2.2.1 Definisi Tjiptadinata (2002) mendefinisikan meditasi sebagai jalan penyatuan menuju ke hadirat Sang Pencipta, dengan kata lain menyatukan diri dengan keabadian. Meditasi yang dilakukan dengan benar dapat mengarahkan hidup menuju jalan keseimbangan, antara badan, pikiran dan jiwa. Meditasi adalah praktik relaksasi yang melibatkan pelepasan pikiran dari semua hal yang menarik, membebani, maupun mencemaskan dalam hidup sehari-hari. Dengan kata lain,
20
meditasi dapat melepaskan penderitaan, pemikiran baik dan buruk yang sangat subjektif
yang
secara proporsional berhubungan
langsung
dengan
kelekatan terhadap pikiran dan penilaian tertentu. Hidup merupakan serangkaian pemikiran, penilaian, dan pelepasan subjektif tiada habisnya yang secara intuitif harus dilepaskan. Dalam keadaan pikiran yang bebas dari aktivitas berpikir, ternyata manusia tidak mati, tidak juga pingsan, dan tetap sadar. Istilah kesadaran inilah yang disebut kesadaran walaupun lepas dari kegiatan berpikir, tidak pingsan bahkan juga tidak jatuh tidur (Anand Krisnha, 2003).
2.2.2 Sejarah Meditasi Beberapa referensi awal , meditasi ditemukan dalam Alkitab, dan dalam Weda Hindu dari sekitar abad 15 SM. Sekitar abad ke 6 sampai abad ke 5 SM, bentuk-bentuk meditasi dikembangkan di Cina Tao dan Buddha India. Di barat, oleh 20 BCE Philo dari Alexandria menulis pada beberapa bentuk "latihan rohani" yang melibatkan perhatian (prosoche) dan konsentrasi dan oleh Plotinus abad ke-3 telah mengembangkan teknik meditasi. Canon Pali, yang pada abad ke-1 SM menganggap meditasi Buddhis India sebagai langkah menuju keselamatan. Pada abad ke-12, praktek tasawuf dalam agama Islam termasuk teknik meditasi yang spesifik, dan pengikutnya mempraktekkan kontrol pernapasan dan pengulangan kata suci. Dalam Kristen Barat praktek meditasi berkembang pada abad ke-6 dari pembacaan Alkitab di antara biarawan Benediktin disebut Lectio Divina, yaitu ilahi membaca. Empat langkah formal sebagai "tangga" yang
21
didefinisikan oleh biarawan Guigo II pada abad ke-12 dengan istilah Latin lectio, meditasi, oratio, dan contemplatio (yaitu membaca, merenungkan, berdoa, merenungkan).
2.2.3 Lapisan Kesadaran Manusia Menurut Anand Krisnha (2003) meditasi bila diartikan sama dengan perluasan kesadaran. Hasil akhir dari meditasi adalah samadhi atau keseimbangan. Setelah mencapai keseimbangan diri seseorang yang menekuni meditasi tidak akan merasa gelisah, tidak khawatir, tidak takut dan tidak cemas. Dalam perjalanan mencapai keseimbangan diri ini, ada beberapa hal tentang manusia yang perlu dipahami. Manusia memiliki begitu banyak lapisan kesadaran, diantaranya ada lima lapisan yang dalam ajaran Hindu disebut Panca Kosha yaitu: 1. Lapisan fisik (Anna Maya Kosha), yang ditentukan oleh makanan. Makanan yang dikonsumsi menentukan kesehatan fisik. Dalam kegiatan sehari-hari setiap orang
menggunakan lapisan fisik yang
dimana lapisan ini dikendalikan oleh lapisan berikutnya; 2. Lapisan energi (Prana Maya Kosha) merupakan lapisan yang dapat diperoleh dari alam sekitar
contohnya lewat pernafasan, makan,
minum dan sebagainya. Manusia maupun makhluk hidup lainnya mungkin dapat hidup tanpa makan dan minum dalam beberapa hari bahkan minggu. Tetapi sudah pasti manusia tidak dapat hidup tanpa
22
nafas, tanpa energi. Lapisan energi ini juga dikendalikan oleh lapisan berikutnya; 3. Lapisan mental/emosional (Mano Maya Kosha), pikiran yang kacau juga akan membuat nafas seseorang menjadi kacau. Seseorang yang dalam keadaan marah akan terlihat terengah-engah sedangkan bila dalam keadaan tenang nafas juga ikut tenang. Seluruh kepribadian manusia dikendalikan oleh lapisan mental dan emosional. Lapisan mental merupakan merupakan mind (pikiran ) yang dimana akumulasi dari mind menciptakan keinginan. Lapisan emosional berarti sebuah rasa. Rasa dapat mengendalikan pikiran (mind); 4. Lapisan intelejensia (Vigyana Maya Kosha), Intelejensia mungkin dapat diterjemahkan sebagai budi pekerti. Intelejensia membuat seseorang menjadi bijak yang didapat berdasarkan pengalaman– pengalaman yang diperoleh dalam kehidupan; 5. Lapisan spiritual (Anad Maya Kosha), atau lapisan kesadaran murni merupakan pemekaran dari setiap lapisan diatas manusia. Spiritualitas tidak dapat berkembang tanpa landasan intelejensia. Intelejensia tidak akan berkembang bila mental dan emosi tidak terkontrol , begitu pula seterusnya pada lapisan sebelumnya. Lapisan kesadaran murni merupakan hasil akhir pemekaran kepribadian manusia. Seseorang yang telah memiliki lapisan spiritual maka ia bisa dikatakan sehat secara keseluruhan.
23
2.2.4 Langkah-Langkah Meditasi Dalam meditasi yang perlu diperhatikan adalah sebuah langkah-langkah atau metode yang tersitematika dengan jelas dan benar. Sebab meditasi dengan teknik dan langkah-langkah yang jelas akan membawa orang pada sebuah ketenangan. Meditasi akan berbeda dengan duduk membiarkan pikiran terpusat pada satu bentuk objek tertentu. Meditasi adalah sebuah jalan untuk merelaksasikan pikiran. Dengan demikian diharapkan akan dapat membantu manusia menuju pada sebuah keadaan yang lebih tenang dari sebelumnya. Adapun langkah-langkah meditasi adalah sebagai berikut:
1. Mengambil posisi duduk yang nyaman. Dengan kata lain membuat diri senyaman mungkin, tidak harus berada dalam posisi padmasana. Dengan melakukan ini, kita mulai mengendorkan saraf-saraf yang sebelumnya tegang karena berbagai macam aktivitas pekerjaan yang rumit. Duduk untuk pria dapat dilakukan dengan bersila, sedangkan wanita juga dapat melakukannya dengan posisi yang sama. Dengan kata lain, tidak harus seorang wanita yang hendak melakukan meditasi, duduk bertimpuh. 2. Setelah duduk setenang mungkin, maka mulai dengan mengambil ancangancang untuk pengaturan nafas pertama, atau dengan nama pranayama awal. Adapun langkah untuk melakukan pranayama awal adalah dengan menghirup udara perlahan lewat dua lubang hidung yang sering disebut dengan Kumbaka. Setelah itu biarkan nafas di dada sejenak atau tahan
24
sejenak yang sering disebut Purwaka, kemudian hembuskan perlahan yang disebut dengan Recaka. 3. Setelah itu, mata menatap ujung hidung. Ini hanya dilakukan oleh mereka yang melakukan meditasi untuk mendpatkan peningkatan. Untuk mengendurkan saraf, menatap ujung hidung tidak dianjurkan karena akan membuat orang tersebut semakin tertekan. Maka dapat dilakukan dengan cara memejamkan mata atau membiarkan mata tertutup sedikit. 4. Kemudian barulah melakukan inti meditasi itu sendiri, yakni membiarkan pikiran lepas bebas tanpa tertekan dan tertumpu pada satu objek tertentu. 5. Pada tahapan selanjutnya, pikiran yang sudah dibiarkan bebas, akan disertai dengan nafas yang juga masuk dan keluar secara perlahan. Tidak perlu mengatur nafas sampai pada titik sebelumnya, sebab hal itu hanya akan membawa si pelaksana meditasi akan semakin tertekan.
Setelah melakukan meditasi sebaiknya si pelaksana meditasi minum air putih segelas yang sebelumnya diletakan di wilayah meditasi. Ini akan membantu melancarkan peredaran darah dan menenangkan pikiran. Dalam keyakinan Agama Hindu, air yang ditempatkan pada wilayah meditasi ini, akan mampu merekam pesan-pesan baik yang ada di sekitarnya. Menurut Emoto (2006), bahwa air yang mendapatkan gelombang yang baik di sekitarnya, akan merubah kristalnya sendiri sehingga memberikan efek positif (kesembuhan) bagi peminum air itu sendiri.
25
Untuk semakin memperkuat reaksi dari meditasi yang dilakukan, maka dapat juga membaca mantra di bawah ini: Om Asato Ma sad gayama, Tamaso ma jyotir gamaya, mrtyum ma amrtam gamaya “Ya Tuhan, bimbinglah kami dari kegelapan pikiran menuju ketenangan, bimbinglah kami dari ketidak tahuan menuju kesadaran pengetahuan dan bimbinglah kami dari kematian menuju kehidupan yang abadi”. Meditasi ini dilakukan dalam waktu yang tidak terlalu berdekatan. Maka maksimal seseorang melakukan meditasi dalam sehari adalah sebanyak dua kali. Pagi hari ketika matahari terbit dan sore hari ketika matahari terbenam. Durasi waktu yang diperlukan untuk melakukan meditasi adalah antara 10 sampai dengan 15 menit.
2.3 Kaitan Meditasi Dengan Pengaturan Tekanan Darah Pada dasarnya meditasi merupakan suatu usaha untuk mengelola sistem yang ada pada otak. Dalam otak manusia terdapat tiga sistem yang bekerja. Sistem tersebut meliputi sistem sensoris, motoris , dan asosiasi. Setiap harinya sel saraf selalu menerima rangsangan dari luar. Saat salah satu sel saraf menerima stimulus atau rangsangan dari luar, stimulus tersebut akan diteruskan ke sel berikutnya sampai pada sel otak. Selanjutnya didalam otak, stimulus tersebut akan diolah secara integratif, koordinatif, dan asosiatif
26
dengan simpanan pengalaman dan keinginan untuk diputuskan respon yang harus diberikan (Guyton, 2008). Sistem saraf otonom merupakan bagian sistem saraf yang mengatur kebanyakan fungsi viseral tubuh. Sistem ini membantu mengatur tekanan arteri, motilitas gastrointestinal, sekresi gastrointestinal, pengosongan kandung kemih, berkeringat , suhu tubuh, dan masih banyak lainnya. Beberapa diantaranya hampir semua diatur oleh sistem saraf otonom, sedangkan yang lainnya hanya sebagian. Sistem saraf otonom diaktifkan oleh pusat-pusat yang terletak di medula spinalis, batang otak dan hipotalamus. Penjalaran sinyal otonomik eferen ke berbagai organ diseluruh tubuh dapat dibagi dalam dua subdivisi utama yang disebut sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis (Guyton, 2008). Serabut-serabut saraf simpatis dan parasimpatis menyekresikan salah satu dari bahan transmiter sinaps ini yaitu asetilkolin atau norepinefrin. Sebagian besar ujung
saraf
simpatis
mensekresikan
norepinefrin.
Setelah
norepinefrin
disekresikan oleh ujung – ujung saraf, kemudian akan berpindah ke seluruh jaringan organ dengan cara transpor aktif, difusi, atau dengan bantuan enzim yang berefek pada kerja organ tersebut. Efek dari perangsangan saraf simpatis dan parasimpatis yang berkaitan dengan hipertensi terletak pada organ jantung dan pembuluh darah. Perangsangan saraf simpatis pada jantung akan mengakibatkan naiknya frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung. Sebaliknya perangsangan saraf parasimpatis akan menimbulkan efek yang berlawanan dari saraf simpatis (Guyton, 2008).
27
Perangsangan saraf simpatis dan parasimpatis juga memberikan efek pada pembuluh darah sistemik dan tekanan arteri. Sebagian besar pembuluh darah sistemik akan berkontriksi bila ada perangsangan saraf simpatis. Tekanan arteri ditentukan oleh faktor daya dorong darah dari jantung dan tahanan terhadap aliran darah yang melewati pembuluh darah perifer. Perangsangan dari saraf simpatis meningkatkan daya dorong oleh jantung dan tahan darah , yang biasanya menyebabkan peningkatan tekanan arteri (Guyton, 2008). Tahap awal dari latihan meditasi adalah duduk dengan tenang kemudian mengatur gerak pernafasan mulai pernafasan dada dan perut. Saat sampai pada alam meditasi, dimana keadaan tersebut berada pada tingkat relaksasi yang dalam. Bila dikaitkan dengan gelombang otak, maka kondisi meditasi berada pada gelombang theta. Gelombang theta menandakan aktivitas neuron-neuron pada otak berfrekuensi 4 sampai 7 siklus perdetiknya. Menurunnya aktivitas neuron pada otak juga akan berdampak pada kerja neuron saraf simpatis untuk mensekresikan norepinefrin. Efek dari menurunnya norepinefrin pada organ jantung, akan menurunkan kontraktilitas dari jantung itu sendiri. Selain jantung, penurunan aktivitas saraf simpatis juga berdampak pada pembuluh darah. Kontriksi pembuluh darah akan berkurang bila terjadi penurunan aktivitas saraf simpatis pada pembuluh darah yang terkait. Efek ini tentu sangat berdampak positif bagi penderita hipertensi dimana tekanan darah
dipengaruhi oleh kontraktilitas jantung dan kontriksi
pembuluh darah yang dipengaruhi oleh kerja saraf simpatis seperti yang diuraikan pada mekanisme fisiologis tekanan darah .
28
Faktor stres dan emosi juga dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vaskontriksor. Dimana pada saat bersamaan dengan rangsang emosi, korteks adrenal akan mensekresikan kortisol yang dapat memperkuat respon kontriksi (Smeltzer, 2002). Saat relaksasi dalam pada tahap meditasi, dimana kondisi emosi dan stress juga akan menurun sehingga respon kelenjar adrenal yang mensekresikan kortisol akan menurun dan kontriksi pembuluh darah juga akan berkurang. Selain itu meditasi juga dapat memicu lebih banyak endhorpine dan melatonin (Setiawan, 2001). Efek ini sangat positif bagi penderita hipertensi. Dalam jurnal yang diterbitkan di India oleh Dr. Neeta A. Patel (2012) yang berjudul Effect Of Rajayoga Meditation Over High Blood Pressure, didapatkan hasil setelah melakukan latihan Meditasi Raja Yoga selama 8 minggu terjadi penurunan yang signifikan pada tekanan darah sistolik dengan rata-rata penurunan 14 mmHg. Sedangkan tekanan darah diastolik turun dengan rata-rata 6 mmHg. . Hasil ini dianalisis bahwa terdapat perbedaan tekanan darah yang signifikan sebelum dan sesudah dilatih meditasi raja yoga dengan nilai p-value sebesar 0,0001 dibandingkan dengan taraf signifikansi sebsar 5% atau 0,05 (p-value < 0,05) Meditasi merupakan salah satu teknik untuk mencapai relaksasi. Potter & Perry (2005) menjelaskan perubahan fisiologis akibat melakukan teknik relaksasi antara lain menurunkan tekanan darah, menurunkan frekuensi jantung, dan meningkatkan konsentrasi. Relaksasi juga mampu meningkatkan rasa kebugaran dan memperbaiki kemampuan mengatasi stresor.