Haid, mati haid, dan HIV Oleh: Anne Monroe, MD Ada kebutuhan yang terus bertambah akan penelitian tentang efek HIV pada siklus haid dan mati haid. Perempuan HIV-positif dan dokter mereka perlu tahu apa yang akan dihadapi pada seluruh tahap kehidupan, dan perlu strategi untuk memaksimalkan perawatan di era terapi antiretroviral (ART) ini. Setelah dampak HIV pada mati haid dipahami secara lebih baik, penatalaksanaan klinis dapat dirancang secara individu untuk mencegah komplikasi jangka panjang, misalnya osteoporosis dan penyakit kardiovaskular.
Siklus haid “Normal” terkait haid adalah sangat luas. Masa siklus haid normal berjenjang mulai dari dua hingga enam hari, dengan rata-rata empat hari lamanya. Siklus haid umumnya berakhir dengan haid (datang bulan) setiap 21 hingga 35 hari, dengan kehilangan darah rata-rata 40ml setiap haid. Menstruasi normal dicirikan oleh perubahan perputaran dalam jumlah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pituitari (luteinizing hormon/LH) dan hormon yang merangsang folikel (follicle stimulating hormone/FSH) dan oleh indung telur (estrogen dan progesteron). Ketidakteraturan siklus haid adalah umum pada perempuan HIV-positif dan HIV-negatif. Amenore adalah haid tidak terjadi. Amenore primer dihubungkan dengan perempuan di atas 16 tahun yang belum pernah haid, sementara amenore sekunder adalah haid tidak terjadi selama tiga hingga enam bulan atau lebih pada perempuan yang pernah haid. Menoragia dihubungkan dengan kehilangan lebih dari 80ml darah dalam setiap siklus haid dengan masa biasa. Dysfunctional uterine bleeding (DUB) didefinisikan sebagai kehilangan lebih dari 80ml darah selama siklus dengan masa tidak biasa; menoragia dan DUB keduanya dapat mengakibatkan anemia, atau kekurangan sel darah merah. Dismenore dihubungkan dengan nyeri selama haid, yang dapat berupa keluhan kram tanpa didasari kondisi ginekologi, atau mungkin akibat endometriosis (pertumbuhan endometrius, atau jaringan lapisan rahim, di luar rahim) atau penyakit peradangan panggul (pelvic inflammatory disease/PID). Banyak keadaan yang dapat menyebabkan perdarahan haid yang tidak umum. Fibroid rahim dapat menyebabkan haid berat atau lebih lama. Infeksi saluran kelamin dapat menyebabkan perdarahan yang tidak biasa, umumnya dibarengi dengan tanda infeksi lain, seperti nyeri, cairan keluar dari vagina atau demam. Kanker pada saluran kelamin (kanker rahim, kanker endometrius) juga dapat menyebabkan perdarahan. Kondisi kesehatan lain, termasuk kelainan tiroid dan jumlah trombosit yang rendah, dapat mengganggu siklus haid. Kehilangan berat badan secara besar-besaran atau menjadi kekurangan berat badan dapat menyebabkan kekurangan hormon yang melepaskan gonadotropin untuk pengeluaran LH dan FSH, dan berakibat amenore. Disfungsi hormon yang mengganggu ovulasi (terlepasnya sel telur dari indung telur) juga dapat mengarah pada perdarahan yang tidak biasa, yang mungkin lebih umum pada perempuan HIV-positif, walaupun hasil penelitian ini belum jelas. Penggunaan narkoba (termasuk metadon) dapat mengganggu pengaturan hormon dan menyebabkan perdarahan yang tidak biasa. Berbagai pengobatan yang umum dipakai oleh perempuan HIV-positif, seperti alat KB dan megestrol asetat (Megace), juga dapat mengganggu haid. Unsur antiretroviral juga mungkin mendukung perdarahan yang tidak biasa; contoh, satu rangkaian kasus yang melaporkan perdarahan haid berat dikaitkan dengan ritonavir takaran penuh dalam satu sampel kecil perempuan muda.
Haid yang tidak teratur pada perempuan HIV Perempuan HIV-positif dan dokter mereka perlu menyadari perubahan dalam siklus haid yang mungkin berhubungan dengan HIV dan pengobatannya. Banyak penelitian telah mencoba menjelaskan dampak HIV pada siklus haid, dengan hasil yang bertentangan. Kebanyakan penelitian tentang kelainan haid pada Odha perempuan dilakukan pada tahun-tahun pertama epidemi, waktu perempuan lebih sering
Dokumen ini didownload dari situs web Yayasan Spiritia http://spiritia.or.id/
Haid, mati haid, dan HIV
mempunyai penyakit berat diikuti dengan wasting. Haid yang tidak teratur pada perempuan yang memakai ART dengan HIV yang terkendali dengan baik kurang dipahami dengan baik. Dalam penelitian tentang dampak infeksi HIV pada lamanya siklus haid, diterbitkan dalam Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes edisi Mei 2000, Sioban Harrendah, PhD, dan rekan mengumpulkan data dari 802 perempuan HIV-positif dan 273 perempuan HIV-negatif. Perempuan ini mengisi buku harian haid dan menjawab pertanyaan sehubungan dengan ART dan penggunaan narkoba. Para peneliti menilai hubungan antara viral load dan jumlah CD4 dengan lamanya siklus haid. Secara keseluruhan infeksi HIV tidak meningkatkan kemungkinan terjadinya siklus lebih dari 40 hari (yaitu, interval antarhaid yang lebih lama). Tetapi, perempuan HIV-positif dengan penekanan kekebalan yang lebih berat (jumlah CD4 di bawah 200) siklus haidnya cenderung lebih lama. Para peneliti menyimpulkan bahwa status HIV berdampak kecil terhadap lamanya siklus haid, dan faktor lain – contoh, penyakit berat, usia, ras, kekurangan gizi, wasting, dan penggunaan narkoba – adalah lebih penting. Dalam penelitian sebelumnya, Keith Chirgwin, MD, dan rekan menilai 248 perempuan HIV-positif dan 82 perempuan HIV-negatif yang serupa secara demografis, dan menemukan bahwa perempuan dengan HIV lebih cenderung mengalami amenore selama lebih dari tiga bulan dan mempunyai jarak waktu lebih dari enam minggu di antara siklus haid. Tetapi, haid yang tidak teratur tidak ditemukan terkait dengan status penyakit HIV secara bermakna dalam penelitian ini. Tedd Ellerbrock, MD, dan rekan mewawancarai 197 perempuan HIV-positif dan 189 perempuan HIVnegatif untuk menilai dampak HIV pada haid. Para peneliti mengumpulkan data secara retrospektif untuk mencari kecenderungan siklus haid pada tahun sebelumnya. Penelitian ini tidak menemukan perbedaan besar antara kedua kelompok, dan tidak menemukan hubungan antara tingkat penekanan kekebalan dan haid yang tidak teratur. Tetapi, rancangan penelitian ini belum sempurna, karena perempuan yang terlibat diminta untuk mengingat ciri-ciri siklus haidnya selama satu tahun sebelum mereka diwawancarai. Sindrom wasting dikaitkan dengan HIV diketahui berdampak pada siklus haid, seperti juga muncul pada perempuan HIV-negatif – seperti atlit dan perempuan yang kurang gizi – yang kehilangan sebagian lemak tubuh dan massa tubuh tanpa lemak secara bermakna. Contoh, penelitian kecil yang dilakukan oleh Steven Grinspoon, MD, dan rekan menemukan bahwa di antara 31 perempuan HIV-positif dengan berbagai tingkatan wasting, 20 persen mengalami amenore. Pada perempuan dengan amenore, massa otot lebih rendah secara bermakna, begitu juga dengan tingkat keseluruhan estradiol (salah satu bentuk estrogen). Penelitian ini mengungkap bahwa tingkat amenore lebih tinggi pada perempuan dengan berat badan di bawah 90 persen berat badan idealnya.
Tes untuk mendiagnosis kelainan siklus haid Riwayat dan pemeriksaan fisik secara total memberi petunjuk pada dokter mengenai penyebab perdarahan haid yang tidak biasa, sehingga dapat menyarankan semua tes tambahan. Tes dan skrining tambahan ini mencakup: Tes darah • • •
Hitung darah lengkap untuk skrining anemia, jumlah trombosit yang rendah Penelitian endokrin untuk mencek berbagai tingkat kelainan hormon Penelitian koagulasi untuk mencek penyumbatan darah
Pemeriksaan rahim • • •
Pengumpulan contoh untuk tes IMS Tes pap untuk skrining kanker rahim Palpasi (periksa dengan jalan meraba) uterus dan indung telur untuk kelainan
Ultrasound (USG) rahim (bila dibutuhkan) Alat pemeriksaan USG dimasukkan ke dalam vagina untuk menilai ukuran uterus, timbulnya fibroid, ketebalan dinding rahim, kelainan indung telur, dan timbulnya endometriosis. Biopsi endometrius (bila dibutuhkan) Pipa kecil dimasukkan melalui leher rahim ke dalam uterus dan contoh dari endometrius (dinding rahim) dikumpulkan untuk tes terhadap kelainan, misalnya peradangan atau kanker.
–2–
Haid, mati haid, dan HIV
Mati haid Mati haid adalah bagian kehidupan yang alami dan normal. Mati haid didefinisikan sebagai akhir dari haid dan dicirikan oleh 12 bulan tanpa haid. Perubahan hormon yang dikaitkan dengan mati haid termasuk peningkatan tingkat FSH dan LH dan penurunan tingkat estrogen. Di AS, akhir masa haid terjadi pada usia rata-rata 51 tahun. Ada bukti bahwa mati haid terjadi pada perempuan Amerika keturunan Afrika dengan usia lebih muda (48 tahun). Diagnosis mati haid dapat dibuat pada perempuan di atas usia 45 tahun yang sudah berhenti haid selama sedikitnya satu tahun. Mati haid adalah diagnosis klinis; tes diagnostik tidak diperlukan. Tetapi, pada perempuan yang lebih muda yang sudah berhenti haid dan tidak hamil, tes hormon terhadap kegagalan indung telur lebih dini harus dilakukan. Perempuan yang mulai memasuki masa mati haid (menjelang mati haid) mungkin mempunyai siklus yang tidak teratur dengan perdarahan sedikit atau berat. Mereka juga mungkin mengalami hot flash yaitu rasa panas yang mulai dari bagian atas wajah atau dada dan dapat menyebar hingga ke seluruh tubuh. Hot flash pada malam hari mungkin sangat tidak nyaman kalau mengganggu tidur. Gejala umum mati haid lain akibat penurunan produksi estrogen adalah penipisan vagina dan vagina yang kering, prevalensinya meningkat sejalan dengan usia semakin tua. Penipisan dinding vagina dapat menyebabkan sakit waktu berhubungan seks. Gejala mati haid lain termasuk nyeri pada payudara atau payudara yang lembek – lebih umum pada awal masa transisi mati haid dibandingkan pada mati haid lebih lanjut – dan perubahan suasana hati, seperti depresi. Gejala lain terkait perubahan suasana hati termasuk gelisah, mudah tersinggung, dan suasana hati yang sering berubah-ubah. Beberapa perempuan menjadi pelupa dan sulit berkonsentrasi. Perubahan fisiologis jangka panjang terkait dengan mati haid termasuk risiko osteoporosis (penipisan tulang) yang lebih tinggi dan penyakit kardiovaskular.
HIV dan mati haid Sebagaimana perempuan dengan HIV hidup lebih lama berkat pengobatan yang efektif, diperlukan lebih banyak penelitian tentang interaksi antara penyakit HIV, ART, dan mati haid. Perempuan HIV-positif semakin membutuhkan dukungan dan strategi untuk berhadapan dengan perubahan mati haid. Cukup banyak penelitian yang menyelidiki hubungan antara mati haid dan HIV, tetapi hasilnya juga bertentangan. Sebuah penelitian besar menilai hubungan antara penyakit HIV dan permulaan mati haid. Ellie Schoenbaum, MD, dan rekan menilai dampak infeksi HIV, ART, penggunaan narkoba jalanan, dan status kekebalan terhadap usia permulaan mati haid. Kelompok penelitian mereka melibatkan 571 perempuan, separuhnya HIV-positif. Separuh dari perempuan dalam kedua kelompok HIV-positif dan HIV-negatif memakai narkoba, dan 90 persen adalah perokok atau mantan perokok. Hampir separuhnya adalah orang Amerika keturunan Afrika, 40 persen adalah perempuan Hispanik, dan 10 persen adalah perempuan kulit putih. Dalam populasi dengan tingkat penggunaan narkoba yang tinggi, usia permulaan mati haid rata-rata adalah 46 tahun pada kelompok HIV-positif dan 47 tahun pada kelompok HIV-negatif. Kemungkinan mati haid lebih dini meningkat dengan meningkatnya penekanan terhadap kekebalan. Pada perempuan dengan jumlah CD4 di bawah 200, usia awal mati haid rata-rata adalah 42,5 tahun. Perempuan yang tingkat kegiatan fisiknya rendah juga berisiko terhadap mati haid yang lebih dini. Penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan antara indeks massa tubuh (BMI) yang rendah atau merokok dengan mati haid yang lebih dini, bertentangan dengan beberapa penelitian epidemiologi lain. Juga tidak ada hubungan yang diamati antara penggunaan ART dan mati haid yang lebih dini dalam penelitian ini. Jelas, diperlukan lebih banyak penelitian tentang dampak HIV terhadap permulaan mati haid. HIV Menopause Clinic – pertama di U.S. – diprakarsai oleh Susan Cu-Uvin, MD, direktur Immunology Center di Rumah Sakit Miriam di Providence, Rhode Island, AS. Klinik ini sedang mengumpulkan data pengamatan sebagai langkah pertama menuju penelitian skala besar tentang mati haid pada perempuan HIV-positif.
–3–
Haid, mati haid, dan HIV
Sebagai tambahan, sejumlah penelitian sedang dilakukan untuk menentukan dampak infeksi HIV dan ART terhadap risiko pengembangan penyakit kardiovaskular dan osteoporosis. Dampak ini mungkin bertumpuk pada perempuan HIV-positif yang sudah mati haid dan memakai ART.
Osteopenia dan osteoporosis Dalam jurnal Acquired Immune Deficiency Syndromes edisi 20 Februari 2004, Sara Dolan, NP, dan rekan melaporkan penelitian yang membandingkan risiko osteopenia – penipisan tulang, sebuah pendahuluan dari osteoporosis (kehilangan tulang yang lebih parah) – pada perempuan HIV-positif dan HIV-negatif. Para peneliti menemukan bahwa perempuan dengan HIV lebih mungkin mempunyai osteopenia, bahkan setelah disesuaikan untuk umur dan BMI. Pengunaan ART sebelumnya tidak terlihat dampak yang bermakna terhadap kepadatan tulang. Penelitian ini menemukan bahwa fungsi haid yang tidak normal dikaitkan dengan kepadatan tulang yang lebih rendah, dan bahwa perempuan yang mempertahankan berat badan awal mereka lebih mungkin dapat mempertahankan massa tulang, dibandingkan dengan mereka yang mengalami wasting terkait HIV. Penelitian oleh Julia Arnsten, MD, dan rekan dengan Menopause Study AS, diterbitkan dalam Clinical Infectious Diseases edisi 1 April 2006, menganalisis data dari 263 perempuan HIV-positif dan 232 yang HIV-negatif; usia rata-rata adalah 44 tahun, kebanyakan belum mati haid, dan kira-kira tiga perempatnya sedang memakai ART. Secara keseluruhan, perempuan HIV-positif mempunyai kepadatan mineral tulang (BMD) yang lebih rendah pada panggul dan pangkal tulang belakang: 27 persen perempuan HIV-positif mempunyai BMD yang rendah, banding 19 persen peserta yang HIV-negatif.
Risiko kardiovaskular Perempuan yang sudah mati haid lebih berisiko terhadap penyakit kardiovaskular karena tingkat estrogennya menurun. Odha yang memakai ART juga lebih berisiko terhadap penyakit kardiovaskular, karena obat antiretroviral (ARV) tertentu (terutama protease inhibitor/PI) dapat mengarah pada peningkatan kolesterol low-density lipoprotein (LDL atau ‘buruk’) dan trigliserid. Efek samping ini cukup lazim: berbagai penelitian menunjukkan bahwa hampir 20 persen pasien pengguna ART mengembangkan hiperlipidemia (tingkat lemak dalam darah yang tinggi). ARV juga dapat menyebabkan resistansi insulin dan diabetes melitus (toleransi glukosa yang kurang), yang juga meningkatkan risiko penyakit jantung.
Menangani mati haid Walaupun mati haid adalah proses alami, banyak perempuan mencari bantuan medis untuk menangani gejala mati haid, baik gejala jangka pendek seperti hot flash dan vagina yang kering serta komplikasi jangka panjang yang lebih berat seperti peningkatan risiko osteoporosis dan penyakit kardiovaskular. Belum lama ini, diyakini secara luas bahwa terapi pengganti hormon/ hormone replacement therapy (HRT) – mengganti estrogen, dengan atau tanpa menambahkan progesteron – dapat mengurangi gejala mati haid secara aman sekaligus membantu perempuan mencegah dampak buruk jangka panjang akibat menurunnya tingkat estrogen. Tetapi beberapa tahun belakangan ini, data dari penelitian longitudinal besar menunjukkan bahwa risiko HRT melampaui manfaatnya untuk banyak perempuan. Women’s Health Initiative (WHI) adalah sebuah kelompok penelitian yang dirancang untuk meneliti HRT jangka panjang. Salah satu penelitian menilai gabungan terapi estrogen/progestin (progesteron sintetis) banding plasebo pada lebih dari 160.000 perempuan yang sudah mati haid, dengan masa tindak lanjut rata-rata lebih dari lima tahun. Pada 2002, kelompok estrogen/progestin dalam penelitian dihentikan karena ditunjukkan bahwa perempuan yang menerima kombinasi HRT jangka panjang mengalami peningkatan dalam risiko penyakit kardiovaskular, penyakit serebrovaskular (stroke), deep vein thrombosis (penyumbatan darah), dan kanker payudara. Tetapi penelitian mengungkap beberapa dampak yang bermanfaat terkait dengan HRT: penurunan angka patah tulang dan kanker usus. Kelompok penelitian dengan estrogen-saja (yang termasuk perempuan yang pernah histerektomi dan oleh karenanya tidak berisiko terhadap kanker uterus) kemudian dihentikan setelah data menunjukkan bahwa penambahan estrogen tidak mengurangi risiko serangan jantung dan sedikit meningkatkan risiko stroke.
–4–
Haid, mati haid, dan HIV
Menangani gejala Gejala akut sering membaik secara spontan karena fluktuasi tingkat hormon berkurang menjelang mati haid dan pada awal mati haid. Perempuan dengan hot flash yang berat mungkin dapat peringanan dengan HRT estrogen/progestin takaran rendah untuk jangka pendek. Pengganti HRT untuk hot flash termasuk memakai antidepresan selective seratonin reuptake inhibitor (SSRI), yang paling lazim venlafaxin. Beberapa perempuan memakai produk kacang kedelai atau jamu seperti black cohosh (Cimicifuga racemosa) atau evening primrose (Oenothera biennis) – yang mengandung unsur sejenis estrogen disebut pitoestrogen – untuk mengurangi hot flash, perut kembung, dan ketidakstabilan suasana hati. Dr.Cu-Uvin mencatat bahwa ada bukti yang bertentangan dari uji coba klinis terhadap terapi jamu, tetapi pasiennya ingin mencoba produk kacang kedelai, dia menyarankan 4080 mg isoflavon setiap hari selama enam bulan. (Namun adalah penting bagi perempuan HIV-positif untuk konsultasi dengan dokternya sebelum memulai rejimen suplemen, karena beberapa jamu dan suplemen makanan dapat berinteraksi dengan obat antiretroviral dan obat lainnya.) Solusi untuk vagina yang kering dan menipis adalah memakai krim estrogen yang dioleskan atau pelumas saat melakukan hubungan seks. Juga ada cincin silikon yang mengeluarkan estrogen (estrogen-releasing silicone ring/Estring) yang dapat dimasukkan ke dalam vagina dan dipakai selama tiga bulan sekali pakai untuk mengurangi gejala atrofi vagina. Penggunaan estrogen pada vagina tidak berisiko sama seperti pada HRT sistemik.
Menghindari komplikasi jangka panjang Salah satu dampak baik HRT yang ditunjukkan pada penelitian WHI adalah penurunan risiko patah tulang. Tetapi, ada intervensi lain yang dapat mengurangi bahaya osteopenia dan osteoporosis tanpa risiko terkait dengan HRT. Asupan makanan berkalsium dan vitamin D yang cukup sangatlah penting – perempuan yang sudah mati haid membutuhkan 1.500mg kalsium per hari serta juga 400 unit vitamin D (800 unit untuk perempuan di atas 70 tahun). Olahraga angkat beban juga membantu mempertahankan massa tulang. Tambahan, berbagai obat dapat mencegah dan bahkan memulihkan osteoporosis: • Bisfosfonat: alendronate, risedronat, ibandronat • Selective estrogen receptor modulator (SERM): raloksifen, tamoksifen Serupa juga, ada banyak cara untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular. Langkah pertama adalah mengubah gaya hidup, termasuk olahraga, memakan makanan rendah lemak, dan berhenti merokok. Statin – obat seperti atorvastatin dan simvastatin – mengurangi kolesterol LDL dan tingkat trigliserid serta membantu menurunkan risiko penyakit jantung. Cara lain termasuk menatalaksana diabetes, dan untuk beberapa orang (dan atas petunjuk dokter), memakai aspirin setiap hari.
Kesimpulan Pengetahuan tentang haid dan mati haid pada perempuan HIV-positif sudah meningkat sejak awal epidemi, tetapi masih banyak yang belum diketahui. Karena perempuan bertahan hidup lebih lama dengan HIV, hal ini menjadi semakin penting untuk menentukan perawatan yang optimal untuk mati haid secara sehat. Seperti juga banyak aspek perawatan HIV, penanganan gejala dan komplikasi mati haid harus dirancang khusus untuk masing-masing pasien. Dr. Cu-Uvin mencatat bahwa banyak pasiennya menolak memakai HRT meskipun untuk jangka pendek karena mereka takut dengan komplikasinya, tetapi penambahan estrogen tetap menjadi pilihan yang baik untuk beberapa perempuan, dan risiko mutlak terhadap komplikasi seperti serangan jantung dan stroke tetap kecil. Sampai lebih banyak diketahui, perempuan HIV-positif disarankan untuk melakukan pemeriksaan rutin sebagaimana yang disarankan sesuai dengan kelompok usia mereka: • Mamogram (skrining kanker payudara): mamogram disarankan setiap satu sampai dua tahun sekali pada usia 40 tahun, kemudian setahun sekali setelah usia 50 tahun. Juga disarankan untuk melakukan pemeriksaan payudara sendiri setiap bulan.
–5–
Haid, mati haid, dan HIV
• Tes Pap (skrining kanker leher rahim): perempuan HIV-positif harus melakukan tes pap dua kali pada tahun pertama setelah diagnosis HIV, selanjutnya setahun sekali. • Ukuran kolesterol: Untuk Odha yang tidak memakai ART, kolesterol harus diukur secara rutin dimulai pada usia 45 tahun. Orang yang lebih berisiko tinggi terhadap penyakit jantung (perokok, penderita diabetes, atau orang yang keluarganya mempunyai riwayat penyakit jantung) harus mulai mengukur kolesterol pada usia 20 tahun. Kolesterol harus diukur sebelum mulai ART, tiga sampai enam bulan setelah mulai terapi, dan sedikitnya setahun sekali waktu memakai ART. • Ukuran tekanan darah: tekanan darah disarankan diukur sedikitnya dua tahun sekali. • Skrining kanker usus: tes untuk kanker usus (colonoscopy atau flexible sigmoidoscopy) harus dimulai pada usia 50. Bila hasil colonscopy-nya normal, ulangi setiap sepuluh tahun, bila hasil sigmoidoscopynya normal, ulangi setiap lima tahun. • Tes diabetes: skrining gula darah untuk diabetes. Pasien yang sedang memakai ART harus melakukan tes darah satu sampai tiga bulan setelah mulai terapi dan selanjutnya sedikitnya setiap tiga hingga enam bulan. • Skrining osteoporosis: tes kepadatan tulang untuk menskrining terhadap osteoporosis disarankan untuk semua perempuan pada usia 65 tahun. Perempuan mungkin perlu dites lebih awal bila berat badannya kurang dari 75 kg, memakai terapi steroid secara kronis, berkulit putih atau ras Asia, atau merokok. Saat ini tidak ada perubahan terhadap usulan ini yang didasari oleh status HIV atau pemakaian ART; pasien yang memakai ART harus membahasnya dengan dokter mereka untuk menentukan apakah tes lebih awal diperlukan. • Skrining infeksi menular seksual (IMS): perempuan HIV-positif yang mempunyai beberapa pasangan seks disarankan untuk melakukan skrining terhadap sifilis, gonore dan klamidia dua tahun sekali, karena infeksi ini mungkin lebih parah untuk orang dengan penekanan kekebalan. Perempuan harus membicarakan haid yang tidak teratur yang mengganggu atau gejala mati haid dengan dokter mereka dan bersama-sama mencari cara penanganannya secara individu . Artikel asli: Menstruation, Menopause, and HIV, BETA Winter 2007 http://www.sfaf.org/beta/2007_win/menstruation.html
–6–