STUDI KRITIS HADITS LARANGAN DAN KEBOLEHAN PEREMPUAN HAID MEMASUKI MASJID
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits
Oleh :
NINGSIH SRI RAHAYU NIM: 74211005
FAKULTAS USHULUDDIN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2012
MOTTO
صلَّى اهللُ َعلَْي ِو قَ َ ال النِ ُّ َِّب َ
سلَّم : َو َ
َ
ب َعلَ َّي ُمتَ َع ِّم ًدا ،فَ ْليَتَبَ َّوأْ َم ْق َع َدهُ ِم َن النَّا ِر (متفق عليو) َم ْن َك َذ َ Impossible is Nothing
PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan untuk, Diriku sendiri (menulis skripsi tidak hanya membutuhkan kecerdasan tetapi juga kesabaran dan ketabahan) Kedua orangtuaku yang telah memberi doa dan dukungan (al hamdulillah pak bu, akhirnya aku sarjana) dan, Untuk siapa saja yang menghargai dirinya sendiri dan orang lain
DEKLARASI
Penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi ataupun tulisan yang pernah diterbitkan oleh orang lain, termasuk juga pemikiran-pemikiran orang lain, kecuali informasi yang penulis peroleh dari referensi yang menjadi bahan rujukan bagi penelitian ini.
Semarang, 30 Juni 2012 Penulis,
Ningsih Sri Rahayu NIM. 074211005
ABSTRAKSI
Dalam lintasan sejarah, menstruasi dianggap sebagai simbol yang sarat dengan makna dan mitos. Hampir setiap suku bangsa, agama, dan kepercayaan mempunyai konsep perlakuan khusus terhadapnya. Dalam tradisi indonesia, menstruasi sering diistilahkan dengan ”datang bulan”, ”sedang kotor”, ”kedatangan tamu”, ”bendera berkibar” dan sebagainya. Istilah seperti ini juga dikenal dibelahan bumi yang lain. Bahkan masyarakat Amerika, Kanada dan Eropa pada umumnya masih menggunakanistilah yang berbau mistik, seperti: ”a crescen
moon”(bulan sabit),
”golden
blood”(darah emas),”earth”(tanah),
”snake”(ular) dan sebagainya. Masyarakat Yahudi memandang menstruasi sebagai masalah yang prinsip, karena dalam ajaran Yahudi dan Kristen siklus menstruasi dianggap sebagai kutukan tuhan terhadap hawa yang dianggap menjadi penyebab terjadinya pelanggaran disurga. Sehingga, perempuan yahudi yang haid masakannya tidak dimakan dan tidak boleh berkumpul bersama keluarga di rumahnya. Ajaran islam tidak melarang melakukan kontak sosial dengan perempuan haid. Rasulullah menegaskan bahwa: ” segala sesuatu dibolehkan untuknya kecuali kemaluannya (farji), segala sesuatu boleh untuknya kecuali bersetubuh (jima‟). Dapat dipahami bahwa islam berupaya mengikis tradisi dan masyarakat sebelumnya, yang memberikan beban berat terhadap perempuan haid. Meskipun islam telah menghapus semua mitos- mitos tentang haid, tapi perempuan menstruasi tetap mendapat perlakuan berbeda dengan perempuan ”normal”. Dalam fiqh misalnya, perempuan menstruasi dilarang untuk melakukan beberapa ibadah yang mana telah dibakukan oleh ulama-ulama fiqh dalam berbagai kitab. Beberapa hal yang diharamkan bagi perempuan haid adalah shalat, sujud tilawah, menyentuh mushaf, memasuki masjid, thawaf, i‟tikāf, membaca alquran. Memasuki masjid adalah salah satu hal terlarang bagi perempuan haid yang menjadi ikhtilaf ulama. Dalam hal ini ulama terbagi menjadi tiga pendapat, pendapat pertama yang melarag perempuan haid memasuki masjid secara muthlak
dan ini adalah pendapat madzab Maliki. Kedua,
pendapat yang melarang
melarang perempuan haid memasuki masjid dan membolehkan jika sekedar lewat, dan ini adalah pendapat Syafi‟i. Ketiga, pendapat yang membolehkan perempuan haid memasuki masjid dan ini adalah pendapat Zahiri. Kenyataan pelarangan atau pembolehan perempuan haid memasuki masjid tersebut menggunakan hadits sebagai dalil. Penting untuk kita melakukan penelitian yang berkaitan dengan hadits- hadits itu. Tahap pertama yang harus dilakukan adalah melakukan penelusuran atau pencarian pada kitab aslinya atau kitab induknya, dalam ilmu hadits disebut dengan takhrij hadits. Langkah selanjutnya adalah melakukan kritik sanad menggunakan acuan keṣaḥīḥ.an sanad yang disepakati oleh para ulama. Dalam menganalisis matan penulis menggunakan ilmu mukhtaliful hadits, karena hadits yang dikaji adalah matanmatan yang tampaknya bertentangan. Setelah melakukan penilitian, penulis menghimpun beberapa pendapat ulama dalam upaya menyelesaikan matan-matan hadits diatas yang tampaknya bertentangan, penulis berkesimpulan; 1.
Hadits pertama yang menerangkan keharaman masjid bagi perempuan haid secara mutlak bekualitas ḍa‟īf, sehingga tidak bisa dipertentangkan dengan yang lain. Hadits kedua yang menerangkan tentang perintah agar perempuan haid menjauhi al mushalla bekualitas ṣaḥīḥ, hadits ketiga dan keempat adalah satu hadits yang tidak bisa dipisahkan. Matannya menjadi sedikit berbeda karena adanya periwayatan secara makna.
2.
Makna al mushalla berbeda dengan masjid da hukum- hukum yang berlaku bagi masjid tidak berlaku bagi al mushalla. Perintah agar perempuan haid menjauhi al mushalla(tempat shalat), berlaku ketika orang-orang muslim sedang melaksanakan shalat. Karena jika perempuan haid berada ditengah- tengah orang yang sedang melaksanakan shalat dan mereka tidak shalat, seolah-olah para pemrepuan haid itu tidak menghargai keadaan itu (orang-orang yang
shalat). Jadi, selain waktu shalat perempuan haid tidak dilarang memasuki masjid. 3.
Larangan perempuan
haid
memasuki
masjid
adalah untuk
menghindari kekhawatiran menetesnya darah di masjid, jika kekhawatiran itu telah hilang secara umum perempuan haid tidak dilarang memasuki masjid.
KATA PENGANTAR Bismillāh al-Raḥmān al-Raḥīm Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, atas taufiq dan hidayah-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “STUDI KRITIS HADITS LARANGAN DAN KEBOLEHAN PEREMPUAN HAID MEMASUKI MASJID ”, disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata satu (S.1) Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak, sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Yang terhormat bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag. selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang. 2. Yang terhormat bapak Dr. Nasihun Amin, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang yang telah menyetujui pembahasan skripsi ini. 3. Bapak Ahmad Musyafiq, M.Ag dan Bapak Dr. In‟ammuzahhidin, M.Ag, selaku Kajur dan Sekjur Tafsir Hadits IAIN Walisongo Semarang. 4. Bapak Dr. Zuhad, M.A. dan H. Muhammad Sya‟roni, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing I dan Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 5. Para dosen pengajar di lingkungan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi. 6. Keluargaku, khususnya kedua orangtuaku bapak Djuri dan ibu Yunariatin yang tak henti memberi semangat kepadaku untuk terus belajar, mudahmudahan aku mampu menjadi anak yang berguna. Untuk saudaraku Umi Murti‟ah, Budi Siswanto dan Vina Hidayati, persaudaraan kita tak lekang
oleh jarak dan waktu. Untuk kedua keponakanku Ubet dan Sania yang selalu kurindukan. 7. Teman-temanku angkatan 2007, semoga semangat kita untuk selalu belajar tidak pudar dan terima kasih telah menjadi partner dalam mengarungi kehidupan kampus yang penuh suka cita. 8. Para kader HMI MPO Komisariat Tarbiyah, jangan mudah menyerah dan YAKUZA (yakin usaha sampai), teman-teman RI(rumah imajinasi) yang tak henti menyayangiku dengan gojlokannya. 9. Berbagai pihak yang secara tidak langsung telah membantu, baik moral maupun materi dalam penyusunan skripsi. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini belum mencapai kesempurnaan dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Semarang, 27 Mei 2012
Penulis
Ā Ī Ū ARABIC LETTER ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و هـ ء ي
TRANSLITERASI VOCAL PANJANG a ejaan panjang i ejaan panjang u ejaan panjang WRITTEN A B T Ṡ J Ḥ Kh D Ż R Z S Sy Ṣ Ḍ Ṭ Ẓ „ G F Q K L M N W H „ Y
SPELLING Alif Ba Ta Sa Jim Ha Kha Dal Zal Ra Zai Sin Syin Sad Dad Ta Za „ain Gain Fa Qaf Kaf Lam Mim Nun Wau Ha Hamzah Ya
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ……………….……….………………………………..........i NOTA PEMBIMBING ……………………...……..…….………………………iii HALAMAN PENGESAHAN ……………………….…....……………………...iv HALAMAN MOTTO ……………………………...…….….…............................v HALAMAN PERSEMBAHAN……………….……...……….…………………vi HALAMAN DEKLARASI ………………….……………………………….….vii HALAMAN ABSTRAK …………………….….………….…………………….ix HALAMAN KATA PENGANTAR ……….……………..…………………….xiii HALAMAN TRANSLITERASI ………….……………..…………………….xvii HALAMAN DAFTAR ISI ……………….…………………………………….xix
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………….…………………………..1 B. Rumusan Masalah…………………………….………………………….7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………….………………………….7 D. Tinjauan Pustaka…………………………………………………………8 E. Metodologi Penelitian……………………………………………………8 F. Sistematika Penelitian…………………………………………………..13
BAB II: PEREMPUAN HAID DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM A. Pengertian Haid..……………………………….…….………………….15 B. Asal Usul Darah Haid..………………………….….……………………22 C. Hukum Perempuan Haid dan Larangan –Larangan bagi PerempuanHaid……………………………………….…………………24
BAB III: HADITS TENTANG LARANGAN DAN PEMBOLEHAN PEREMPUAN HAID MEMASUKI MASJID A. Hadits Tentang Haramnya Masjid Bagi Perempuan Haid dan Junub....................................................................................................28
B. Hadits Tentang Anjuran Agar Perempuan Haid Menjauhi Tempat Shalat.............................................................................................42 C. Hadits Tentang Haid itu Bukanlah di Tangan........................................58 D. Hadits Tentang Perintah Nabi Kepada Salah Satu Istrinya yang Sedang Haid Untuk Membentangkan Sajadah di Masjid....................80
BAB IV : ANALISIS A. Nilai Sanad Masing-Masing Hadits...........................................................94 B. Penyelesaian Hadits Tentang Pembolehan dan Larangan Perempuan Haid Memasuki Masjid.......................................................101
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan..............................................................................................106 B. Saran-saran..............................................................................................107 C. Penutup....................................................................................................107
DAFTAR PUSTAKA APPENDIX DAFTAR RIWAYAT HIDUP
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG Rahim merupakan salah satu organ yang hanya dimiliki oleh perempuan.
Berbagai persoalan muncul dikarenakan perempuan memiliki rahim. Persoalan yang dihadapi perempuan memiliki implikasi yang luas dalam penataan sosial. Karena memiliki rahim perempuan harus hamil, melahirkan, menstruasi dan menopause. Fakta biologis ini secara langsung membedakan perempuan dengan laki-laki secara kodrati. 1 Menstruasi merupakan proses biologis yang terkait dengan pencapaian kematangan seks, kesuburan, ketidakhamilan, normalitas, kesehatan tubuh, dan bahkan pembaharuan tubuh itu sendiri. Menstruasi atau haid tidak hanya berkaitan masalah biologis yang secara rutin dialami kaum perempuan, tetapi juga mempunyai masalah teologis yang amat penting. Selain itu, ia juga menjadi cikal bakal dan salah satu penyebab langgengnya budaya patriakhi. Lebih dari itu, banyak tradisi berkembang dan bertahan hingga saat ini yang sesungguhnya kreasi menstruasi. Pada saat menstruasi terjadi, setiap perempuan diajarkan untuk bersikap pasif sebagai kutukan dan tidak bebas seperti biasanya sehingga proses ini digambarkan sebagai periode yang tidak normal. Padahal, menurut Ruth Herscberger menstruasi tidak lain merupakan tanda dari kesehatan telur dan uterus yang berlanjut dan tanda dari lancarnya fungsi hormon seks. Darah haid berasal dari penebalan dinding rahim untuk mempersiapkan proses pembentukan janin yang nantinya berfungsi sebagai sumber makanan bagi janin yang ada dalam kandungan seorang ibu. Menstruasi sebagai gangguan merupakan fakta sosial yang diterima sehingga berbagai sosial melihat periode menstruasi ini sesuatu yang merugikan. 2
1
Irwan Abdullah, ”Mitos Menstruasi: Konstruksi Budaya Atas Realitas Gender”,dalam Humaniora ( vol. XIV, no. 1, 2002) , hlm. 34 2 ibid, hlm. 35
1
Dalam lintasan sejarah, menstruasi dianggap sebagai simbol yang sarat dengan makna dan mitos. Hampir setiap suku bangsa, agama, dan kepercayaan mempunyai konsep perlakuan khusus terhadapnya. Dalam tradisi Indonesia, menstruasi sering diistilahkan dengan ”datang bulan”, ”sedang kotor”, ”kedatangan tamu”, ”bendera berkibar” dan sebagainya. Istilah seperti ini juga dikenal dibelahan bumi yang lain. Bahkan masyarakat Amerika, Kanada dan Eropa pada umumnya masih menggunakanistilah yang berbau mistik, seperti: ”a crescen
moon”(bulan sabit),
”golden
blood”(darah emas),”earth”(tanah),
”snake”(ular) dan sebagainya. 3 Mitos-mitos yang berkaitan menstruasi seperti, darah yang dikeluarkan sebagai kotoran atau polusi yang harus disingkarkan atau dikeluarkan dari suatu kelompok. Makna darah disini terkait dengan sakit, kematian, kehilangan kendali dan emosi. Dalam masyarakat Beng di Pantai Gading secara tegas dikatakan bahwa menstruasi dikaitkan dengan polusi dan fertilitas. Hal ini mengakibatkan larangan memasuki hutan, dilarang memasak karena dianggap kotor dan dilarang melakukan aktifitas pertanian. 4 Berbagai bentuk pengucilan juga terjadi bagi perempuan yang mengalami menstruasi. Di Papua New Guinea seorang perempuan ditempatkan di sebuah rumah yang khusus dan tidak boleh didekati laki-laki. Kepercayaan tentang roh jahat yang dbawa oleh perempuan yang mengalami menstruasi. Dalam masyarakat Toraja proses pengucilan terjadi dengan mengeluarkan mereka dari aktifitas produksi yang kemudian menyebabkan hilanganya akses perempuan. 5 Bahkan masyarakat Yahudi memandang menstruasi sebagai masalah yang prinsip, karena dalam ajaran Yahudi dan Kristen siklus menstruasi dianggap sebagai kutukan Tuhan terhadap Hawa yang dianggap menjadi penyebab terjadinya pelanggaran di Surga.6
3
Nasaruddin Umar, ”Teologi Menstruasi: Antara Mitologi dan Kitab Suci,” dalam Ulumul Quran, (Vol. 4, No. 2, 1995), hlm. 71 4 S. Edy Santoso ( ed.), Islam dan Konstruksi Seksualitas, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) hlm. 6 5 Irwan Abdullah, op. cit, hlm. 37 6 S. Edy Santoso ( ed.), op. cit, hlm. 38
Istilah menstruasi dalam literatur Islam disebut haid. Masalah haid dijelaskan dalam QS Al Baqarah ayat 222:
” Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ”haid itu adalah
kotoran.” oleh sebab itu , hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. ApAbīla mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang telah ditentukan oleh Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang yang bertobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.” 7 Ajaran Islam tidak melarang melakukan kontak sosial dengan perempuan haid. Rasulullah menegaskan bahwa: ” segala sesuatu dibolehkan untuknya kecuali kemaluannya (farji), segala sesuatu boleh untuknya kecuali bersetubuh (jima‟). Dapat dipahami bahwa Islam berupaya mengikis tradisi dan masyarakat sebelumnya, yang memberikan beban berat terhadap perempuan haid.8 Meskipun Islam telah menghapus semua mitos- mitos tentang haid, tapi perempuan menstruasi tetap mendapat perlakuan berbeda dengan perempuan ”normal”. Dalam fiqh misalnya, perempuan menstruasi dilarang untuk melakukan beberapa ibadah yang mana telah dibakukan oleh ulama-ulama fiqh dalam berbagai kitab. Beberapa hal yang diharamkan bagi perempuan haid adalah shalat, sujud tilawah, menyentuh mushaf, memasuki masjid, ṭāwaf, i‟tikāf, membaca al Quran.9 Dari delapan hal diatas larangan memasuki masjid adalah salah satu yang masih diperdebatkan oleh ulama. Dalam hal ini mereka terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, ulama yang mutlak melarang perempuan haid masuk masjid, 7
Yayasan Penyelenggara Penterjamah Pentafsir Al Quran, Al Quran dan Terjemahnya, (Departemen Agama: 2004) hlm. 36 8 S. Edy Santoso ( ed.), op. cit, hlm. 42 9 Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islāmi wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al Fikr, 2008), Hlm.537
baik itu sebentar atau lama. Pandangan ini diikuti oleh Malikiah. Kedua, golongan yang melarang perempuan haid memasuki masjid tapi membolehkan jika sekedar lewat, jika tidak ditakutkan akan mengotori masjid. Karena haram mengotori masjid dengan najis yang disebabkan oleh tinggalnya perempuan haid di masjid. Pendapat ini dianut oleh Syafi‟iyah. Sedangkan pendapat ketiga, membolehkan perempuan haid diam ataupun melewati masjid dan ini merupakan pendapat Dahiriah.10 Sedangkan Hanabilah membolehkannya dengan syarat berwudhu terlebih dahulu setelah mengeluarkan darah haid, untuk menghindari kekhawatiran menetesnya darah di masjid. 11 Perbedaan-perbedaan tersebut disebabkan perbedaan ulama dalam memahami sabda Nabi yang sekilas bertentangan. Hadits yang diriwayatkan oleh ibnu majah, dalam sabdanya Nabi melarang perempuan haid memasuki masjid
َحدَّثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَِِب َشْيبَةَ َوُُمَ َّم ُد بْ ُن ََْي ََي قَ َاَل َحدَّثَنَا أَبُو نُ َعْي ٍم َحدَّثَنَا ابْ ُن أَِِب َغنِيَّةَ َع ْن ِ ُّ وج ِ َّاْلَط ت ٍ ي َع ْن َُْم ُد ْ أَِِب ِّ اب ا ْْلَ َج ِر ْ ََخبَ َرتِِْن أ ُُّم َسلَ َمةَ قَال ْ َالذ ْىل ِّي َع ْن َج ْسَرةَ قَال ْتأ ِِ ِ ِ ُ دخل رس ِ ص ْوتِِو إِ َّن َ ص ْر َحةَ َى َذا الْ َم ْسجد فَنَ َادى بأ َْعلَى َ صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم َ ول اللَّو َُ َ َ َ 12 ٍ ُالْمس ِج َد ََل ََِي ُّل ِِلُن ٍ ِب َوََل ِِلَائ ض َْ Artinya:
Abū Bakar bin Abī Syaibah dan Muhammad bin Yahya telah menceritakan kepada kami, mereka berkata: Abū Nu‟aim telah menceritakan kepada kami, Ibnu Abī Ganiyyah telah menceritakan kepada kami, dari Abū al Khattab al Hajari, dari Mahduj al Duhli, dari Jasrah berkata: Ummu Salamah telah menceritakan kepadaku, ia berkata: Rasulullah SAW memasuki halaman masjid dan mengumumkan dengan suara yang keras. Sesungguhnya masjid tidak halal bagi orang junub dan haid. Dalam kesempatan yang lain Nabi membolehkan perempuan haid memasuki masjid, dalam hadits yang berbunyi,
ِ ت ب ِن عب ي ٍد عن الْ َق ِِ ِ َّد بْ ُن ُم َس ْرَى ٍد َحدَّثَنَا أَبُو ُم َعا ِويَةَ َع ْن ْاْل َْع َم اس ِم َع ْن ُ َحدَّثَنَا ُم َسد ْ َ ْ َُ ْ ش َع ْن ثَاب ِ ت ْ ََعائ َشةَ قَال 10
Ibnu Rusyd, Bidāyatul Mujtahid wa Nihāyatul Muqtasid, (Indonesia: Dar Ihya‟ al Kutub al ‟ArAbīyah, t.th), Juz 1, hlm.35 11 Wahbah al Zuhaili, op. cit, hlm.537 12 Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, (Lebanon: Dar al Fikr, tth) hlm. 212
ِِ ِ ِ ْ ول اللَّ ِو صلَّى اللَّو علَي ِو وسلَّم نَا ِولِ ِيِن ال َ ض فَ َق ُ ال ِل َر ُس َ َق ٌ ت إِ ِّّن َحائ ُ اْلُ ْمَرةَ م ْن الْ َم ْسجد فَ ُق ْل َ َ ََ َْ ُ 13 ِ ِ ِ ُ رس ِ َضت ت ِف يَدك ْ ك لَْي َس َ صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم إِ َّن َحْي َ ول اللَّو َُ Artinya: Musaddad bin Musarhad telah bercerita kepada kami, Abū Mu‟awiyah telah bercerita kepada kami, dari A‟masy, dari Tsābit bin ‟Ubaid, dari Qāsim, dari ‟ Āisyah berkata: Rasulullah bersabda padaku, ambilkanlah aku al khumrah (sajadah) dari masjid, ‟ Āisyah berkata: sesungguhnya aku sedang haid, Nabi bersabda: sesungguhnya haidmu bukan di tanganmu. Kenyataan pelarangan atau pembolehan perempuan haid memasuki masjid tersebut menggunakan hadits sebagai dalil. Penting untuk kita mengetahui sejarah hadits itu sendiri. Dilihat dari pencatatan dan penghimpunanya, hadits Nabi berbeda dengan al Quran. Untuk al Quran semua periwayatan ayat- ayatnya berlangsung secara mutawatir, sehingga mempunyai kedudukan sebagai qat‟i al wurud. Sedangkan hadits Nabi sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad14. sehingga tidak semua hadits Nabi mempunyai kedudukan qat‟i al wurud, bahkan terbanyak berkedudukan zanni al wurud.15 Pencatatan seluruh hadits di zaman Nabi memang sangat sulit dilakukan karena tidak setiap hadits disaksikan oleh sejumlah sahabat Nabi, khususnya yang mengerti baca-tulis. Selain itu, Nabi sendiri secara umum melarang para sahabat menulis hadits dan hanya beberapa saja yang diizinkan. 16
13
Abū Dāwud, Sunan Abī Dāwud, (Lebanon: Dar al Fikr, tth) , juz 1, hlm.68 Arti harfiah mutawatir adalah tatabu‟, yakni berurut. Sedang dalam istilah ilmu hadits ialah berita yang diriwayatkan oleh banyak orang pada setiap generasi, mulai dari generasi sahabat sampai mukharrij. Yang menurut rasio dan kebiasaan mustahil para periwayat yang jumlahnya banyak itu sepakat untuk berdusta. Kata ahad arti harfiahnya adalah satu yang merupakan jamak dari kata wahid. Arti istilah menurut ilmu hadits ialah apa yang diberitakan oleh orang seorang yang tidak mencapai derajad mutawatir. Untuk penjelasan lebih lanjut lihat. Subhi as Salih, „Ulum al Hadits wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al „Ilm li al Malayin, 1977) , hlm.146-147 15 Maksud qat‟i al wurud atau qat‟i as subut ialah absolut (mutlak) kebenaran beritanya, sedang zanni al wurud atau zanni as subut nisbi atau relatif (tidak mutlak) tingkat kebenaran beritanya. 16 Quraish Shihab,”Sekapur Sirih”, dalam Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. xi. 14
Sepeninggal Nabi, yaitu pada zaman khalifah Abū Bakar dan Umar Ibnu al Khattab, periwayatan hadits berjalan sangat hati-hati. Sahabat Nabi yang menyampaikan hadits ada yang diminta menghadirkan saksi atau melakukan sumpah sehingga kegiatan periwayatan hadits menjadi sangat terbatas. Meskipun demikian, kegiatan periwayatan hadits tidak terhenti sama sekali. Sebab kegiatan pencatatan dan penghafalan riwayat hadits yang dilakukan atas inisiatif sendiri dari para periwayat hadits terus berlangsung. 17 Khalifah umar pernah merencakan untuk menghimpun semua hadits Nabi dan ide itu sangat didukung oleh para sahabat, meskipun akhirnya rencana itu dibatalkan. Umar merasa khawatir jika rencana itu diteruskan akan mengganggu konsentrasi umat Islam dalam mempelajari dan mendalami al Quran. Selain itu, pada masa pemerintahan umar perluasan daerah Islam berlangsung sangat pesat dan orang- orang baru memeluk Islam bertambah banyak. Argumentasi umar membatalkan rencana penghimpunan hadits bukanlah karena ia tidak melihat pentingnya pennghimpunan hadits, melainkan karena kondisi umat Islam yang waktu itu dianggap belum cukup siap untuk menerima sumber ajaran Islam selain al Quran.18 Uraian diatas menunjukkan dengan jelas, bahwa sejarah pembukuan hadits sangat berbeda dengan sejarah al Quran. Kitab suci al Quran telah dibukukan dalam sebuah mushaf sejak masa Abū bakar dan diseragamkan oleh usman untuk dijadikan panduan bagi umat Islam di dunia. Berdasarkan asumsi diatas seluruh ayat al Quran tidak perlu dilakukan penelitian tentang orisinalitasnya, sedang hadits Nabi khususnya kategori ahad diperlukan penelitian untuk memastikan orisinalitasnya. Dengan penelitian itu akan diketahui apakah hadits yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya atau tidak.19 Bertolak dari permasalahan tersebut, maka hadis Nabi SAW sebelum dipahami dan diamalkan, perlu diidentifikasi terlebih dahulu serta diteliti 17
Ibid. Ibid. 19 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h1m. 18
4
orisinalitasnya dalam rangka kehati-hatian dalam mengambil hujjah atasnya. Untuk itulah penulis rasa penting untuk melakukan penelitian guna mengetahui kualitas hadits larangan dan diperbolehkannya perempuan haid memasuki masjid dan penyelesaian dari hadits tersebut.
B.
RUMUSAN MASALAH 1.
Bagaimana kualitas hadits larangan dan pembolehan perempuan haid memasuki masjid?
2.
Bagaimana penyelesaian matan hadits yang tampak bertentangan anatara larangan dan pembolehan perempuan haid memasuki masjid?
C.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Adapun tujuan dari penelitian ini adalah; 1. Mengetahui kualitas hadits larangan dan pembolehan perempuan haid memasuki masjid. 2. Mengetahui penyelesaian hadits
larangan dan pembolehan
perempuan haid memasuki masjid. Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Menambah wawasan serta memperkaya hazanah intelektual, khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya 2. Menambah kepustakaan bagi Institut, Fakultas dan Jurusan pada khususnya. 3. Untuk melengkapi sebagian dari syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu dalam bidang ilmu Tafsir dan Hadis pada Fakultas Ushuluddin IAIN walisongo Semarang.
D.
TINJAUAN PUSTAKA Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan diatas, penulis menemukan
beberapa literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas, antara lain:
Skripsi yang berjudul I‟tikaf Wanita Dalam Perspektif Hadits, yang ditulis oleh Chizanatul Ni‟mah banyak berbicara tentang praktek i‟tikaf wanita yang terjadi pada masa Nabi dan kontekstualisasi dari hadits tersebut. Artikel dalam jurnal Ulumul Quran yang berjudul “Teologi Menstruasi: Antara Mitologi dan Kitab Suci” ditulis oleh Nasarudin Umar. Dalam artikel ini Nasar menjelaskan tentang mitos-mitos yang selama ini berkembang diberbagai belahan
dunia
dan
agama-agama
sebelum
Islam,
kemudian
mengkomparasikannya dengan doktrin ajaran Islam. Tulisan berjudul mitos “Menstruasi: Konstruksi Budaya Atas Realitas Gender” karangan Irwan Abdullah yang termuat dalam jurnal Humaniora, menyajikan pemaparan tentang bentuk kekerasan simbolik yang ditimpakan kepada perempuan yang mengalami menstruasi. Penyebab masalah ini adalah konstruksi masyarakat untuk mengekang perempuan dari peran sosialnya. Melihat beberapa tinjauan pustaka diatas, penulis berkesimpulan bahwa belum ada kajian yang membahas larangan atau kebolehan perempuan haid memasuki masjid secara komprehensif. Yakni kajian kritik sanad dan matan sehingga dari hal itu bisa diketahui kualitas hadits tersebut, untuk selanjutnya apakah hadits tersebut bisa dijadikan hujjah atau tidak.
E.
METODOLOGI PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Penelitian ini berjenis penelitian kualitatif yang merupakan penelitian
pustaka (library research). Pendekatan kualitatif sesuai
diterapkan untuk
penelitian ini karena penelitian ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan mengidentifikasi informasi. 20 Dalam hal ini adalah hadits- hadits larangan dan pembolehan perempuan haid masuk masjid. Secara garis besar penelitian ini dibagi dalam dua tahap, yaitu pengumpulan data dan pengelolaan data. 2. Sumber Data
20
Bagong Suyanto(ed.), Metode Penelitian Sosial, (Jakarta: Kencana, 2007),hlm. 174
Sumber data penelitian ini terbagi dua, yaitu sumber primer dan sekunder. Sumber primer yang dimaksud adalah kitab-kitab hadits mu‟tabarah yang memuat hadits yang akan penulis teliti, diantaranya; Shahīh Bukhāri, Shahīh Muslim, Sunan al Tirmizi, al Nasā‟i, Abī Daud, Ibnu Mājah, dan Musnad Ahmad. Sumber sekunder yaitu sumber-sumber yang berupa buku-buku, artikel penelitan yang terkait dalam bidang tersebut diatas, yang berfungsi sebagai alat bantu dalam memahami hal ini. Seperti kitab-kitab syarah hadits, kitab-kitab yang menjelaskan tentang cabang- cabang ilmu hadits, dan buku yang berhubungan dengan masalah yang penulis bahas. 3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang penulis gunakan adalah metode dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal- hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, majalah, dan sebagainya. 21 Karena penelitian ini menggunakan hadits sebagai kajian utama, maka penelusuran atau pencarian hadits pada berbagai kitab sebagai sumber asli hadits yang bersangkutan perlu dilakukan. Yang mana dalam sumber tersebut ditemukan secara lengkap matan dan sanad sanad hadits yang bersangkutan. Dalam ilmu hadits hal itu disebut dengan metode takhrij hadits.22 4. Metode Analisis Data Tahap pertama yang dilakukan untuk mengetahui kualitas hadits adalah kritik sanad hadits. Dalam menetapkan kualitas hadits diperlukan kaedah yang baku atau setidaknya dibakukan oleh ulama hadits. Sebagaiman dikemukakan al Nawawi bahwa kriteria hadits shahih adalah;
ٍ ٍوذ وَلَ عِلَّة ِ ما اتَّصل سنَ ُده بِالع ُد ِ ِ َ الضابِ ِط َّ ول ُ ُ َ ََ َ َ ي من َغي ُش ُذ “Yaitu hadits yang bersambung sanadnya oleh rawi yang adil dan ḍābiṭ serta terhindar dari syużūż dan „illat” Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kaedah mayor kesahihan hadits adalah:
21
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998) , hlm. 206 22 M. Syuhudi Ismail, op. cit, hlm. 43
a) Sanadnya bersambung 23 b) Seluruh rawi dalam sanad teresebut „adil24 c) Seluruh rawi dalam sanad tersebut ḍābiṭ 25 d) Haditsnya terhindar dari syużūż 26 23
Untuk mengetahui persambungan sanad, dilakukan tahapan sebagai berikut: 1. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti 2. Mempelajari sejarah hidup masing- masing periwayat 3. Menelaah ṡīgat dalam tahamul wa ada‟ al hadits. Mayoritas ulama telah menetapkan delapan metode yang biasa digunakan dalam tahamul wa ada‟ al hadits. Delapan metode itu adalah: a. Al sima‟(murid mendengar dari sang guru),ṡīgat yang dipakai seperti: sami‟tu, haddasani(na), akhbarani(na) b. Al qira‟ah (murid membaca tulisan atau hafalan kepada guru), seperti: qara‟tu ‟ala fulan, qara‟tu ‟ala fula wa ana asma‟ufa aqarra bih c. Al ijazah (guru memberikan izin muridnya untuk mengajarkan atau meriwayatkan hadits) seperti, ajazana, ajazali, dan anbani ijazah d. Al munawalah (guru menyerahkan kitab atau lembaran catatan hadits kepada muridnya, agar meriwayatkan hadits tersebut dengan sanad darinya), seperti, nawalani, nawalana e. Al mukatabah (guru menuliskan hadits yang diriwayatkannya untuk diberikan kepada muridnya, baik dengan ijazah atau tidak) ṡīgat yang biasa dugunakan kataba ilayya fulan, akhbarani bihi mukatabah, dan akhbarani bihi kitabah f. Al i‟lam (guru memberitahukan kepada muridnyabahwa ia telah mendengar suatu hadits atau kitab hadits, namun informasi tersebut tidak disusul dengan) ṡīgat yang biasa digukan: akhbarana i‟laman g. Al wasiyyah (guru mewasiatkan kitab hadits yang diriwayatkannya kepada orang lain) ṡīgat yang digunakan: awsa ilayya h. Al wijadah (murid menemukan tulisan hadits yang diriwayatkan oleh gurunya) ṡīgat yang digunakan: wajadtu bi khatti fulan, haddasana fulan,, wajadtu fi kitabi fulan bi khattihi haddasana fulan. Lihat, A. Hasan Asy‟ari ‟Ulamai, Melacak Hadits Nabi SAW (Semarang: Rasail, 2006) hlm. 26- 28 24 Adapun term „adil („adalah) secara etimologis berarti pertengahan, lurus, condong kepada kebenaran. Dalam ilmu hadits rawi yang „adil yaitu rawi yang menegakkan agama Islam, dihiasi akhlak yang baik, terhindar dari dari kefasikan juga hal-hal yng merusak muru‟ah. Kaedah rawi hadits yang „adil adalah: 1. Beragama Islam dan menjalankan agamanya dengan baik 2. Berakhlak mulia 3. Terhindar dari kefasikan 4. Terpelihara muru‟ahnya. Lihat, A. Hasan Asy‟ari Ulamai, Op. cit, hlm.29 25 secara etimologis ḍābiṭ berarti menjaga sesuatu. Sedangkan dalam ilmu hadits rawi yang ḍābiṭ adalah rawi yang hafal betul dengan apa yang diriwayatkan dan mampu menyampaikan dengan baik hafalannya, ia juga memahami dengan betul biladiriwayatkan secara makna, ia memelihara hafalan dengan catatan dari masuknya unsur perubahan huruf dan penggantian serta pengurangan didalamnya bila ia menyampaikan dari catatannya. Lihat, A. Hasan Asy‟ari Ulamai, op. cit, hlm. 29 26 mengenai definisi syāż pada sanad hadits, terdapat tiga pendapatdalam terminologi ilmu hadits. Pertama, pendapat al syafi‟i, ia mengatakan bahwa hadits baru dinyatakan syāż apabila hadits yang diriwayatkan oleh perawi ṡiqah bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang juga ṡiqah. Kedua, pendapat al khalili yang menyatakan bahwa sebuah hadits dinyatakan syāż apabila hanya memiliki satu jalur saja,baik diriwayatkan oleh rawi ṡiqah atau tidak, baik bertentangan maupun tidak. Ketiga, pendapat al Naisaburi. Hadits dikatakan syāż
e) Haditsnya terhindar dari „illat.27 Untuk dapat menentukan kredibilitas periwayat penulis menggunakan ilmu jarh wa ta‟dīl sebagai acuan. Bila terdapat pertentangan dalam jarh dan ta‟dīl terhadap seorang periwayat, ada tiga pendapat; a) Jarh
didahulukan
secara
mutlak,
sekalipun
yang
menta‟dīlbanyak orang. b) Bila yang menta‟dīl lebih banyak, maka didahulukan ta‟dīlnya. c) Bila terjadi pertentangan antara jarh dan ta‟dīl tidak dapat dikukuhkan kecuali adanya dalil yang menguatkan salah satunya.28 Setelah melakukan kritik terhadap sanad hadits selanjutnya adalah melakukan kritik matan. Langkah teknis dalam dalam kritik matan adalah memahami tolok ukur kesahihan matan dan menganalisis hadits dengan berbagai pendekatan. Menurut Shalahuddin al Adhabi, bahwa kriteria kesahihan matan ada empat a) Tidak bertentangan dengan petunjuk alQuran29
apAbīla hjadits tersebut diriwayatkan oleh seorang rawi stiqah namun tidak terdapat rawi ṡiqah lainnya yang meriwayatkan hadits tersebut. Dari ketiga pendapat ini, menurut Syuhudi Ismail pendapat al Syafi‟i adalah yang banyak dipegangi oleh ulama hadits. Sedangkan syāż pada matan hadits didefinisikan sebagai adanya pertentangan atau ketidaksejalanan riwayat seorang rawi yang menyendiri dengan seorang rawi yang lebih kuat hafalan dan ingatannya. Pertentangan atau ketidaksejalanan tersebut adalah dalam hal menukil matan hadits, sehingga terjadi penambahan, pengurangan, perubahan tempat (maqlub) dan berbagai bentuk kelemahan dan cacat lainnya. Lihat, Umi Sumbullah, Kritik Hadits Pendekatan Historis Metodologis (Malang: UIN Malang Press, 2008) hlm.70 dan 103 27 „Illat merupakan sebab-sebab tersembunyi yang dapat merusak keṣaḥīḥan hadits yang secara lahir tampak ṣaḥīḥ. Dalam aspek sanad, ibnu Taymiyah mengatakan bahwa hadits yang mengandung ‟illat adalah haits yang secara lahir tampak baik, ternyata setelah diteliti didalamnya terdapat rawi yang ghalt (banyak melakukan kesalahan), sanadnya mauquf (hanya sampai pada sahabat) atau mursal (hanya riwayat sahabat dari sahabat lain), bahkan ada kemungkinan masuknya hadits lain pada hadits tersebut. Sedangkan yang dimaksud ‟illat pada matan adalah suatu sebab terenbunyi yang terdapat pada matan hadits yang secara lahir tampak ṣaḥīḥ, baik berupa masuknya redaksi lain pada hadits tertentu, atau redaksi yang dirnaksud memang bukan lafad-lafad yang mencerminkan sebagai hadits Nabi, sehingga seringkali bertentangan dengan nash-nash yang lebih kuat akurasinya. Lihat, Umi Sumbullah, op. cit, hlm.73 dan 108 28 Muhammad Abdul Hay, Al Raf‟u wa al Takmīl fi Al Jarhi wa Ta‟dīl,( Dar al Salam, tth) hlm.116
b) Tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat 30 c) Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah 31 d) Susunannya menunjukkan sabda Nabi. Dalam menganalisis matan penulis menggunakan pendekatan historis dan sosiologis. Pendekatan historis akan menekankan pada pertanyaan mengapa Nabi bersabda demikian? Bagaimana kondisi historis sosia kultural masyarakat pada saat itu? Serta mengamati proses terjadinya peristiwa tersebut. Sedangkan pendekatan sosiologis mempelajari bagaimana dan mengapa tingkah laku sosial yang berhubungan dengan ketentuan hadits yang akan dibahas. 32 Dalam penelitian ini kandungan matan haditsnya tampak bertentangan, sehingga penulis dituntut untuk
menggunakan pendekatan yang tepat untuk
menyelesaikan pertentangan matan yang bersangkutan. Ulama tidak sepakat dengan sebutan matan yang bertentangan, sebagian ulama menyebutnya mukhtaliful hadits, sebagian lagi menyebutnya mukhalafatul hadits, dan pada umumnya menyebutnya at ta‟arud.33 Ulama sependapat bahwa hadits-hadits yang tampak bertentangan harus diselesaikan sehingga hilanglah pertentangan itu. Dalam penyelesaian itu ulama berbeda pendapat. Ibnu Hazm secara tegas menyatakan bahwa matan-matan hadits yang bertentangan harus diamalkan. Ibnu Hazm menekankan perlunya penggunaan istisna‟(pengecualian atau exception) dalam penyelasaian ini. Menurut asy Syafi‟i matan-matan hadits yang bertentangan mungkin saja yang satu bersifat global (mujmal) dan yang satunya bersifat rinci (mufasar), bisa juga yang satu bersifat umum („āmm) dan yang lainnya bersifat khusus (khāss),
29
Al Quran menjadi dasar hidup Nabi saw, sementara hadits adalah rekaman terhadap aktualisasi Nabi saw atas nilai- nilai al Quran. Jadi hadits tidak mungkin bertentangan dengan al Quran. 30 Mengingat aktualisasi diri Nabi saw merupakan satu kesatuan, sehingga seluruh perbuatan atau ucapan beliau yang terkait dengan penjabaran al quran tidak bisa dipisahkan- pisahkan. 31 Aktualisasi Nabi saw terikat oleh ruang dan waktu, oleh karenanya untuk menguju suatu rekaman yang disandarkan pada Nabi saw salah satunya tidak bertentangan dengan sosio historis yang ada pada saat hadits Nabi direkam. Lihat, A. Hasan Asy‟ari ‟Ulamai, op. cit, hlm.70 32 Abdul Mustaqim, dkk, Paradigma Integrasi- Interkoneksi Dalam Memahami Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2009) hlm. 8 33 M. Syuhudi Ismail, op. cit, hlm.142
mungkin yang satu sebagai penghapus (an nāsikh) dan yang lainnya sebagai yang dihapus (al mansūkh).34 Penyelesaian yang dikemukakan Ibnu Hajar al Asqalani tampaknya lebih akomodatif, karena dalam praktek penelitian matan tahap ini lebih memberikan alternatif yang relevan dan lebih hati-hati. Keempat tahap itu adalah at taufiq atau al jam‟u, an nāsikh wa al mansūkh, at tarjīh, dan at tauqif.35 Menurut Yusuf Qardawi kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran, karena itu adanya pertentangan matan itu hanya tampak luarnya saja dalam kenyataan yan haqiqi. Oleh karena itu kita wajib menghilangkan pertentangan itu dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan antara kedua nash, yang demikian lebih utama daripada melakukan tarjīh. Sebab pentarjīhan berarti mengabaikan salah satu dan mengamalkan yang lainnya. 36 Dari berbagai pendapat ulama hadits tentang mukhtaliful hadits, penulis mencoba menyeleasikan hadits- hadits yang penulis teliti dengan cara al jam‟u. Menurut sebagian besar ulama cara ini merupakan pilihan utama sepanjang cara itu memungkinkan.
F.
SISTEMATIKA PENULISAN Bab satu, berisikan pendahuluan yang
menyajikan latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab dua, berisi uraian tentang hukum perempuan haid Islam. Uraian ini meliputi defisnisi haid, kedudukan perempuan haid pra Islam dan hukum- hukum wanita haid setelah datangnya Islam. Bab tiga meliputi pemaparan hadits Nabi tentang larangan dan pembolehan perempuan haid masuk masjid. Yang meliputi penyajian redaksional hadits dan diikuti dengan penyajian rijalul hadits.
34
Muhammad bin Idris al Syāfi‟ī, Iktilaful Hadits,( Beirut: Dar al Kutub al ‟Ilmiah, 1986) hlm.40 35 M. Syuhudi Ismail, op. cit, hlm. 144 36 Yusuf Qardawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi SAW. ter. Muhammad al Baqir (Bandung: Karisma, 1993), hlm.118
Bab empat, analisis sanad dan matan dengan berbagai perangkat ulumul hadits. Analaisis sanad meliputi penelitian terhadap kualitas periwayat dan persambungan sanad, juga meneliti kemungkinan adanya syużūż dan „ilat dalam sanad. Sedangkan penelitian matan diperlukan untuk menyelasaikan matan yang tampak bertentangan Hal ini untuk menentukan kualitas hadits dan pada akhirnya akan diketahui kehujjahan hadits tersebut setelah mengetahui kualitasnya. Bab lima, berisi penutup, yang meliputi kesimpulan dari seluruh upaya yang telah penulis lakukan dalam penelitian ini beserta saran-saran dan penutup.
BAB II PEREMPUAN HAID DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM
A. Pengertian Haid 1.
Pengertian Haid Haid secara bahasa adalah mengalirnya sesuatu. Dalam munjid fi
al lugah kata haid -tanpa menjelaskan asal usul dan padanannyaberasal dari kata ḥaḍa-ḥaiḍan yang diartikan dengan keluarnya darah dalam waktu dan jenis tertentu37. Berbeda dengan pernyataan di atas, menurut al Lihyani dan Ibnu Sukait dalam Lisan al ‟Arab kata ḥaḍa dan ḥasya mempunyai arti yang sama yaitu mengalir dan menempel. Sedangkan menurut Abū Sa‟id kata ḥaḍa mempunyai arti yang sama dengan jaḍa.38 Secara syara‟, haid adalah darah yang keluar dari rahim perempuan dalam keadaan sehat dan tidak karena melahirkan atau sakit pada waktu tertentu.39 Dalam al-Qur'an lafad haid disebutkan empat kali dalam dua ayat; sekali dalam bentuk fi'il muḍāri‟ present and future (yaḥīḍ) dan tiga kali dalam bentuk ism maṣdar (al-maḥīḍ). Masalah haid dijelaskan dalam firman Allah surat Al Baqarah ayat 222 ” Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ”Haid itu adalah kotoran.” oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari 37
Louis Ma‟luf, Al Munjid Fi Al Lughah, (Beirut: Dar al Masyriq, 1987), hlm. 164 Abu al Fadl Jamaluddin Muhammad bin Makram, Lisan al „Arab, (Beirut: Dar Shard, t.th), hlm.142 39 Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al Fikr, 2008), Hlm.524 38
51
wanita diwaktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang telah ditentukan oleh Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang yang bertobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.”40 Sebab turunnya ayat ini dijelaskan dalam hadits riwayat Ahmad bin Hanbal dari Anas. Dalam hadits tersebut diceritakan bahwa jika perempuan yahudi haid masakannya tidak dimakan dan tidak boleh berkumpul bersama keluarga di rumahnya. Salah seorang sahabat menanyakan hal itu kepada Nabi, kemudian Nabi berdiam sementara maka turunlah ayat tersebut di atas. Setelah ayat itu turun, Rasulullah bersabda "lakukanlah segala sesuatu (kepada isteri yang sedang haid) kecuali bersetubuh". Pernyataan Rasulullah ini sampai kepada orangorang Yahudi, lalu orang-orang Yahudi dan mantan penganut Yahudi seperti shock mendengarkan pernyataan tersebut. Apa yang selama ini dianggap tabu tiba-tiba dianggap sebagai "hal yang alami" (adzan). Kalangan mereka bereaksi dengan mengatakan apa yang disampaikan oleh laki-laki itu (Rasulullah) adalah suatu penyimpangan dari tradisi besar kita. Usayd bin Hudayr dan Ubbad bin Basyr melaporkan reaksi tersebut kepada Rasulullah; lalu wajah Rasulullah berubah karena merasa kurang enak terhadap reaksi tersebut dan kami (Usayd ibn Hudayr dan Ubbad bin Basyr) mengira beliau marah kepada mereka berdua. Mereka berdua langsung keluar (sebelumnya) beliau menerima air susu hadiah dari mereka berdua. Lalu Rasulullah mengutus orang untuk mengejar mereka dan memberi mereka minum susu, sehingga mereka berdua tahu bahwa rasulullah tidak marah kepada mereka. 41 Masalah
haid
juga
diceritakan dalam
hadits
Nabi
yang
diriwayatkan olah Bukhāri,
40
Yayasan Penyelenggara Penterjamah Pentafsir Al Quran, Al Quran dan Terjemahnya, (Departemen Agama: 2004) hlm. 36 41 Abū Al Fida‟ Ismail Ibnu Katsir, Tafsir al Quran al „Adzim,(Beirut: dar al fikr, 1986) hlm.259, lihat juga Abu Hasan „Ali bin Hamid al Wahdi al Naisaburi, Asbabun Nuzul, (Beirut: Dar al Fikr, 1986) hlm.46
Aisyah berkata,” kami keluar bersama Nabi untuk melaksanakan haji. Ketika kami sampai di Sarif, aku mengalami haid. Lalu Nabi menghampiriku, dan saat itu aku hanya menangis. Nabi kemudian bertanya,” apa yang membuatmu menangis?” aku menjawab: ‟ sepertinya aku tidak bisa berhaji tahun ini,‟ rasulullah bersabda,” apakah engkau sedang haid?” aku menjawab,”ya” rasulullah bersabda …………
فان ذلك شئ كتبو اهلل على بنات ادم
Itu adalah sesuatu yang telah allah tetapkan untuk anak- anak perempuan adam‟. 42 Biasanya perempuan pertama kali haid ketika berumur duabelas sampai lima belas tahun. Terkadang ada juga perempuan yang sudah mengalami haid sebelum atau setelah umur tersebut. Keadaan ini tergantung kondisi fisik dan psikisnya. Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan umur untuk perempuan haid, sehingga ketika ada perempuan yang mengalami haid sebelum atau sesudah batasan usia tersebut bisa dipastikan darah yang keluar dari rahim perempuan adalah darah penyakit dan bukan darah haid. Perbedaan itu disebabkan tidak adanya penjelasan dari nash mengenai hal itu. Para ulama menetapkan batasan itu dengan melihat kebiasaan dan keadaan perempuan. Menurut Hanafi usia perempuan ketika pertama kali haid adalah sembilan tahun qamariah atau tiga ratus lima puluh empat hari dan umur berhentinya haid adalah limapuluh lima tahun. Sedangkan menurut maliki, perempuan itu mengalami haid dari umur sembilan tahun sampai tujuhpuluh tahun. Menurut Syafii tidak ada batasan umur bagi terhentinya masa haid, selama perempuan itu hidup haid masih mungkin terjadi padanya. Tetapi biasanya sampai umur enampuluh dua. Hambali batas akhir umur perempuan haid adalah limapuluh tahun, hal ini berdasarkan qaul
42
Abu Abdullah Mehammad Bin Isma‟il al Bukhari, Matan al Bukhari, ( Singapura: Matba‟ah „Usman Mar‟i, t.th), juz.1, hlm. 490
‟aisyah ”ketika perempuan sampai umur limapuluh tahun, dia sudah keluar dari batasan haid” dan ia juga menambahkan :” perempuan tidak hamil setelah ia berumur limapuluh tahun” 43 Ad-Darimi berkata,” setelah melihat pendapat yang berbeda tentang hal tersebut, ia berkata,‟ semua pendapat itu menurutku salah. Karena semua pendapat itu didasarkan pada keluarnya darah haid. Maka, jika sudah keluar darah dari rahim perempuan pada keadaan bagaimanapun atau usia berapapun pastilah ia haid.” pendapat itu juga yang dipakai ibnu taimiyah, kapan saja perempuan haid, walaupun usianya kurang dari sembilan tahun atau lebih dari limapuluh tahun ia tetap dihukumi haid. Karena hukum haid itu dikaitkan dengan keluarnya darah tersebut dan bukan pada usia tertentu.44 Sesungguhnya haid disifati dengan sifat yang asli, salah satunya haid adalah darah yang keluar dari rahim. Seperti firman allah dalam surat Al Baqarah:228 .......
”.....tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada allah dan hari akhirat....45 Menurut para mufassir, makna arhamihinna dalam ayat ini adalah haid atau hamil, sehingga sifat asli haid adalah darah yang keluar dari rahim sedangkan istihaḍah adalah darah yang keluar karena adanya pembuluh darah yang terputus.46 Ciri- ciri darah haid menurut Nabi adalah sebagai berikut, 43
Wahbah al Zuhaili, op. cit, hlm.524 Abu Ubaidah Usamah bin Muhammad al Jamal, Shahih Fiqih Wanita,(Surakarta: Insan Kamil, 2010), hlm. 33-34 45 Yayasan Penyelenggara Penterjamah Pentafsir Al Quran, Op.Cit, hlm.37 46 Fakhrur Razi, Tafsir al Kabir,(Beirut: Dar al Kutub al Alamiah, t.th) hlm. 62, menurut mufasir lain seeperti Thabari dan Ibnu Katsir maknanya juga haid dan hamil. 44
a) Warnanya hitam b) Pekat c) Mencolok dikarenakan sangat panas d) Keluarnya darah tersebut untuk memberikan manfaat e) Baunya berbeda dengan darah- darah yang lain f) 2.
Warnanya sangat merah47
Perbedaan Haid, Nifas, dan Istihadhah Ada tiga macam darah yang keluar dari kemaluan perempuan: a) Darah haid b) Darah nifas c) Darah istihadhah Haid adalah darah yang keluar dari rahim perempuan dalam
keadaan sehat dan tidak karena melahirkan atau sakit yang terjadi pada waktu tertentu. Nifas adalah darah yang keluar dari rahim dengan sebab melahirkan, baik itu keuarnya itu bersamaan ketika melahirkan, setelahnya ataupun sebelumnya dua atau tiga hari disertai rasa sakit. Istihadhah adalah darah yang tidak biasa dan bukan bersifat alamiah dari fisik perempuan, melainkan karena adanya pembuluh darah yang terputus. Hukum perempuan istihaḍah ada tiga, yaitu: 1. Seperti hukum perempuan suci dan tidak dikenai hukum perempuan haid ataupun nifas. 2. Disunahkan berwudhu setiap mau melaksanakan shalat
47
Ibid, hlm.63
3. Penghitungan siklus haid dan istihadahah dengan beberapa cara: pertama, dengan membedakan sifat darah haid dan darah istihadhah. kedua, dengan melihat kebiasaan haid yang sebelumnya.
ketiga
dengan
melihat
kebiasaan
haid
perempuan pada umumnya. Sedangkan hukum nifas sama dengan haid, segala sesuatu yang diharamkan bagi perempuan haid juga haram bagi perempuan nifas. Tetapi ada beberapa hukum yang berbeda antara haid dan nifas, yaitu: a) Iddah Masa iddah itu dihitung dari haid bukan nifas. Karena jika thalak terjadi sebelum melahirkan, maka habisnya iddah setelah ia melahirkan bukan karena nifasnya. Dan jika thalak terjadi setelah melahirkan, perempuan tersebut menunggu masa haidnya sebagai masa iddahnya b) Masa ila‟ Ila‟ itu dihitung selama masa haid dan tidak dihitung selama masa nifas. Yang dimaksud dengan ila‟ adalah seorang suami bersumpah untuk tidak menggauli istrinya selamanya atau lebih dari empat bulan. Maka, jika suami telah bersumpah kemudian istri memintanya untuk berjima‟, dijadikanlah masa empat bulan sebagai masa sumpahnya. Jika sudah habis masa empat bulan ia boleh berjima‟ atau berpisah karena permintaan istrinya. Selama masa tersebut, jika istri mengalami nifas itu tidak dihitung bagi suami dan ditambahkan selama empat bulan sesuai dengan hitungan masanya. Berbeda dengan haid, maka masa haidnya dihitung bagi suami. c) Tanda Baligh
balighnya seorang perempuan ditandai dengan haid dan bukan dengan nifas. Karena seorang perempuan tidak mungkin bisa hamil sampai ia haid. Maka tanda balighnya perempuan itu dengan keluarnya darah haid dan itu pasti terjadi sebelum melahirkan. 48 3.
Masa Haid dan Masa Suci Para ulama berbeda pendapat mengenai lamanya masa haid,
menurut syafii dan ahmad paling sedikitnya haid adalah sehari semalam dan paling lama adalah limabelas hari. Sedangkan menurut Abu Hanifah paling sedikit tiga hari tiga malam dan jika kurang dari itu disbut darah fasad dan paling lama haid adalah sepuluh hari. Menurut Maliki tidak ada batasan minimal dan batas maksimal bagi haid, walau hanya keluar satu tetes sudah terhitung haid.49 Sedangkan sedikitnya masa suci diantara haid menurut jumhur ulama adalah limabelas hari. Karena dalam satu bulan biasanya perempuan mengalami siklus haid dan suci, sedangkan maksimal haid adalah limabelas hari sehingga minimal suci adalah limabelas hari juga.50 Menurut hanabilah sedikitnya suci diantara haid adalah tigabelas hari. Seperti yang diriwayatkan Ahmad dari ‟Ali,” sesengguhnya seorang perempuan yang ditalak suaminya datang kepada Ali. Dia berkata bahwa sedang haid dihari yang ketigabelas.51 B. Asal Usul Darah Haid Kata haid adalah istilah khusus yang digunakan dalam al quran. Istilah ini tidak ditemukan dalam teks taurat ataupun injil. Istilah 48
Abu Ubaidah Usamah bin Muhammad al Jamal, Shahih Fiqih Wanita,(Surakarta: Insan Kamil, 2010), hlm. 62 49 Wahbah al Zuhaili, op. cit, hlm. 527. lihat juga, Abdurrahman al Jaziri, Kitab al Fiqh ‟ala al Madzahib al Arba‟ah(Beirut: dar al kutub al „alamiah, 1990) hlm.119 50 Wahbah Zuhaili, ibid. 529, Abdurrahman al Jaziri, ibid. 119 51 Ibid, hlm.529
sebelumnya adalah menstruasi, kata menstruasi (mens) berasal dari bahasa indo-eropa. Akar katanya dalah manas, mana, atau men, yang sering juga disingkat ma, artinya sesuatu yang berasal dari dunia gaib kemudian menjadi makanan suci yang diberkahi lalu mengalir kedalam tubuh yang memberikan kekuatan bukan hanya pada jiwa tapi juga fisik. Mana juga berhubungan dengan kata mens(latin) yang keudian menjadi kata mind (pikiran) dan moon (bulan). Keduanya memiliki makna yang berkonotasi spiritual. Dalam bahasa yunani men berarti month (bulan), sehingga perempuan yang mendapat menstruasi sering kita sebut sedang datang bulan. Menurut kepercayaan umat nasrani darah menstruasi muncul bersamaan dengan terjadinya dosa asal (original sin). Seperti diceritakan dalam injil bahwa akibat rayuan hawa/ eva, adam lengah dan memakan buah terlarang, akibatnya keduanya menerima kutukan. Dalam injil ditegaskan bahwa: ”Manusia itu menjawab:‟ perempuan yang kamu tempatkan disisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan‟. 52 Dalam Kitab Talmud (Eruvin 100b) disebutkan bahwa akibat pelanggaran Hawa/Eva di Sorga maka kaum perempuan secara keseluruhan akan menanggung 10 beban penderitaan: 1. Perempuan akan mengalami siklus menstruasi, yang sebelumnya Hawa/ Eva tidak pernah mengalaminya. 2. Perempuan yang pertama kali melakukan persetubuhan akan mengalami rasa sakit. 3. Perempuan akan mengalami penderitaan dalam mengasuh dan memelihara anak-anaknya. Anak-anak membutuhkan perawatan, pakaian, kebersihan, dan pengasuhan sampai dewasa. Ibu merasa risih manakala pertumbuhan anakanaknya tidak seperti yang diharapkan. 4. Perempuan akan merasa malu terhadap tubuhnya sendiri. 52 52
Nasaruddin Umar, ”Teologi Menstruasi: Antara Mitologi dan Kitab Suci,” dalam Ulumul Quran, (Vol. 4, No. 2, 1995), hlm.71. Sebagaimana dikutip dari Injil edisi bahasa Indonesia.
5. Perempuan akan merasa tidak leluasa bergerak ketika kandungannya berumur tua. 6. Perempuan akan merasa sakit pada waktu melahirkan. 7. Perempuan tidak boleh mengawini lebih dari satu laki-laki. 8. Perempuan masih akan merasakan hubungan seks lebih lama sementara suaminya sudah tidak kuat lagi. 9. Perempuan sangat berhasrat melakukan hubungan seks terhadap suaminya, tetapi amat berat menyampaikan hasrat itu kepadanya. 10. Perempuan lebih suka tinggal di rumah. 53 Dalam ajaran Islam darah haid disebut al adzan karena darah tersebut adalah darah yang tidak sehat dan tidak diperlukan lagi oleh organ tubuh wanita. Bahkan kalau darah itu tinggal dalam perut perempuan akan menimbulkan masalah, karena itu disebut adzan. 54 Jadi darah haid tidak ada hubungannya dengan dosa bawaan ataupun sesuatu yang bersifat mistis. Menstruasi merupakan salah satu ciri yang menandai masa peburtas perempuan. Menstruasi pertama kali biasanya dialami oleh perempuan sekitar usian sepuluh tahun, namun bisa juga lebih dini atau lebih
lambat.
Menstruasi
merupakan
fitrah
perempuan
yang
menandakan perempuan tersebut sehat dan sistem reproduksinya berjalan dengan baik. Menurut ilmu kesehatan darah yang keluar saat menstruasi
merupakan
darah
akibat
peluruhan
dinding
rahim(endotrium). Darah tersebut mengalir dari rahim menuju leher rahim, kemudian keluar melalui vagina. 55
C. Hukum Perempuan Haid dan Larangan-Larangan Bagi Perempuan Haid 1.
53
Hukum Perempuan Haid
Ibid, hlm.71, sebagaimana dikutib dari Rabbi DR I.Epstein(editorship), HebrewEnglish Edition Of Babilonia Talmud, vol.2(Erubin), hlm. 100b 54 Ibid, hlm.77 55 Nur Najmi Laila, Buku Pintar Menstruasi, (Yogyakarta: Buku Biru, 2011) hlm.15
Dalam tradisi fiqh, terdapat lima hukum yang berkaitan dengan perempuan haid, sebagaimana yang dirumuskan oleh para ahli fikih. Yakni: a)
Perempuan yang haid wajib mandi setelah selesai masa haidnya
b)
Haid sebagai pertanda baligh.
c)
Penentuan kosongnya rahim seorang perempuan pada masa iddah dengan haid. Sebab, pada dasarnya hikmah iddah adalah untuk mengetahui kosongnya rahim.
d)
Penghitungan mulainya masa iddah dengan haid, menurut madzab Hanafi dan Hanbali. Karena mereka memaknai lafadh tslasata quru‟ dengan haid. Iddahnya perempuan yang tidak hamil otomatis selesai dengan selesainya haid yang ketiga dan haid yang terjadi ketika talak tidak terhitung. Sedangkan menurut madzab maliki dan syafi‟i quru‟ berarti at thuhru, maka penghitungan iddah dimulai dengan masa suci dan berakhirnya masa iddah dengan mulainya haid yang ketiga. Masa suci saat jatuhnya talak terhitung dalam hitungan tsalasata quru‟ walaupun cuma sebentar.
e)
Ditetapkannya kafarah atau hukuman karena melakukan jima‟ pada masa haid56
2.
Larangan-Larangan Bagi Perempuan Haid Ada delapan hal yang dilarang bagi perempuan haid, yakni sebagai
berikut: a) Shalat b) Sujud tilawah 56
Wahbah al Zuhaili, op. cit, hlm.534
c) Menyentuh mushaf d) Masuk masjid e) Thawaf f)
I‟tikaf
g) Membaca al quran h) Thalak57 Dari beberapa larangan diatas tiga hal yang menjadi ikhtilaf para ulama yaitu, 1. Masuk Masjid dalam hal ini ulama terbagi menjadi tiga pendapat, pendapat
pertama yan melarag perempuan
haid
memasuki masjid secara muthlak dan ini adalah pendapat madzab maliki. Kedua,
pendapat yang
melarang melarang perempuan haid memasuki masjid dan membolehkan jika sekedar lewat, dan ini adalah pendapat syafii. Ketiga, pendapat yang membolehkan perempuan haid memasuki masjid dan ini adalah pendapat ẓahiri.58 2. Menyentuh Mushaf Jumhur ulama mengakui kemu‟jizatan al Quran sehingga melarang menyentuh al Quran bila tidak mempunyai wudhu, berhadas kecil saja dilarang apalagi yang berhadas besar seperti haid. Sedangkan bagi Ẓahiri tidak
dilarang
mempunyai
menyentuh
wudhu.
mushaf
Perbedaan
ini
walau
tidak
disebebakan
perbedaan memahami ayat dalam Qs. Al waqi‟ah:79 ini, 57
Ibid, hlm.535-539 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid,(Indonesia: Dar Ihya‟ al Kutub al ‟Arabiyah, t.th), juz.1, hlm.35 58
Tidak menyentuhnya kecuali disucikan (Qs. Al waqi‟ah:79)59
orang-orang
yang
Menurut Daud al Ẓahiri al quran yang dimaksud oleh ayat diatas bukanlah al quran yang sekarang kita lihat, tetapi al quran yang bukan makhluk dan tersembunyi di lauh al mahfudh. Sedangkan mushaf yang kita pegang saat ini adalah makhluk, sehingga tak perlu dalam keadaan suci tuk menyentuhnya dan orang haid maupun junub juga tidak dilarang menyentuhnya. 60 3. Membaca Al-Quran. Para ulama yang mengharamkan perempuan haid membaca al quran berpedoman pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Tirmiżi dan Ibnu Mājah dari Ibnu Umar, yang berbunnyi
َلتقرأ اِلائض وَلاِلنب شيئا من القرآن “Janganlah perempuan yang haid dan orang junub membaca sesuatupun dari al Quran” 61 Menurut sebagian yang lain hadits itu ḍa‟īf, sehingga tidak bisa dijadikan landasan hukum. Ibnu Taimiyah berkata: melarang perempuan haid membaca al Quran sama sekali bukanlah sunnah dari Nabi.62
59
Yayasan Penyelenggara Penterjamah Pentafsir Al Quran, op. cit, hlm.538 Abu Muhammad bin Hazm, al Muhalla, (Beirut: Dar al Fikr, t.th) hlm.77 61 Muhammad bin „Isa bin Saurah, Sunan al Tirmiżi,(Beirut: Dar al Kutub al „Alamiyah, t.th) , juz.1, hlm.221, lihat juga, Muhammad bin Yazīd, Sunan Ibnu Mājah, (Lebanon: Dar al Fikr, t.th), juz.2, hlm.242 62 Abu Ubaidah Usamah bin Muhammad al Jamal, op. cit, hlm.48 60
D. Hadits Sebagai Hujjah Hukum 1. Kedudukan hadits ṣaḥīḥ dan hasan dalam berhujjah Ulama hadits maupun fikih sepakat menggunakan hadits ṣaḥīḥ dan hasan sebagai hujjah. Hadits ṣaḥīḥ dan hasan mempunyai sifat yang dapat diterima(maqbūl). Periwayat hadits hasan hafalannya kurang sempurna dibandingkan dengan periwayat hadits ṣaḥīḥ, tetapi periwayat hadits hasan masih dikenal sebagai orang yang jujur dan jauh dari perbuatan dusta.63 Hadits maqbūl menurut sifatnya dibagi menjadi dua. Pertama, dapat diterima menjadi hujjah dan diamalkan(hadits maqbūl ma‟mul bih). Kedua, hadits maqbūl yang tidak dapat dapat diamalkan. Hadits maqbūl yang ma‟mul bih, ialah: a. Hadits muhkam adalah hadits yang tidak mempunyai pertntengan dengan hadits lain yang dapat mempengaruhi artinya. Dikatakan muhkam karena dapat diamalkan dengan pasti tanpa keraguan sedikitpun. b. Hadits mukhtalif yang dapat dikompromikan c. Hadits rajih adalah sebuah hadits yang terkuat diantara hadits yang berlawanan d. Hadits nasikh adalah hadits yang datang lebih akhir, yang menghapuskan ketentuan hukum hadits sebelumnya. 64 Hadits maqbūl yang ghairu ma‟mul bih, ialah: a. Hadits mutasyabih adalah hadits yang sukar dipahami maksudnya karena tidak dapat diketahui ta‟wilnya. 63
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalah al Hadits, (Bandung: al Ma‟arif, 1974), hlm.143
64
Ibid, hlm. 144
b. Hadits mutawaqqaf fih adalah dua buah hadits maqbūl yang tidak dapat dikompromikan, ditarjihkan, dan dinasakhkan sehingga hadits ini dibekukan untuk sementara. c. Hadits marjuh adalah sebuah hadits yang ditenggang oleh hadits maqbūl lain yang lebih kuat. d. Hadits mansukh adalah hadits maqbūl yang dihapuskan oleh hadits maqbūl yang datang kemudian. e. Hadits maqbūl yang maknanya berlawanan dengan al quran, hadits mutawatir, akal sehat dan ijma‟ ulama. 65 2. Kedudukan hadits ḍa‟īf dalam berhujjah Ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya hadits ḍa‟īf diriwayatkan untuk berhujjah. Dalam hal ini terbagi menjadi tiga pendapat: 66 Pertama, melarang secara mutlak meriwayatkan segala macam hadits ḍa‟īf. Baik untuk menetapkan hukum maupun untuk memberikan sugesti keutamaan amal. Ini adalah pendapat Ibnu Bakar al ‟Arabi. Kedua,
membolehkan mengamalkan
hadits
ḍa‟īf dengan
melepaskan sanadnya dan tidak menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan amal(fadhail al a‟mal). Bukan untuk menetapkan hukum-hukum syariat. Ini adalah pendapat Ahmad bin Hanbal, Abdur Rahman bin Mahdy dan Abdullah bin Mubarak. Ketiga, membolehkan berhujjah dengan hadits ḍa‟īf untuk fadhail al a‟mal dengan beberapa syarat, yaitu;67 65
Ibid, hlm.147 Ibid, hlm. 229 67 Ibid, hlm.230
66
a. Hadits ḍa‟īf yang keḍa‟īfannya tidak tidak keterlaluan. Oleh karena itu hadits ḍa‟īf yang disebabkan rawinya pendusta dan banyak salah tidak dapat dijadikan hujjah, kendatipun untuk fadail al a‟mal. b. Dasar a‟mal yang digunakan oleh hadits ḍa‟īf tersebut masih dibenarkan oleh hadits yang maqbūl(hadits ṣaḥīḥ dan hasan). Artinya hadits ḍa‟īf tersebut memiliki muttabi‟ hadits ṣaḥīḥ. Hadits
muttabi‟
adalah
hadits
yang
mengikuti
periwayatan rawi lain sejak pada gurunya atau gurunya guru. Sedangkan periwayat yang mengikuti periwayatan seorang guru atau gurunya guru dari rawi lain disebut muttabi‟.68 Apabila periwayat yang lebih dari satu orang itu menerima hadits tersebut dari guru yang sama maka hadits itu disebut hadits mutabi‟ tamm, jika periwayat tersebut menerima hadits tersebut dari guru-guru yang berbeda maka hadits yang dimaksud disebut dengan hadits mutabi‟ qashir. 69 Dengan bahasa yang lebih mudah muttabi‟ adalah periwayat yang menjadi pendukung sanad lain ditingkat selain sahabat. Bila dukungan itu terletak ditingkat sahabat disebut dengan syahid. Menurut Ibnu Katsir
hadits
syahid
adalah
jika
sebuah
hadits
diriwayatkan secara makna dari jalur lain, yang berasal dari sahabat yang berbeda. 70
68 69
Ibid, hlm. 107 Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995),
hlm. 124 70
Abu al Fida‟ Ismail Ibnu Katsir, Ikhtisar „Ulum al Hadits, disyarah oleh Muhammad Syakir dan diberi judul: Al Bā‟iṡ al Ḥaṡiṡ fi Ikhtisar „Ulum al Hadits,(Kairo: Dar Ibnu al Jauzi, 2008), hlm.36
c. Dalam mengamalkan tidak mengitikadkan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber dari Nabi. Tetapi dengan tujuan untuk kehati-hatian belaka.71
71
Fatchur Rahman, op. cit, hlm.230
BAB III HADITS TENTANG LARANGAN DAN KEBOLEHAN PEREMPUAN HAID MEMASUKI MASJID E. Hadits Tentang Haramnya Masjid Bagi Perempuan Haid dan Junub Hadits tentang haramnya masjid bagi perempuan haid dan junub, menurut hasil takhrij diriwayatkan dalam Sunan Abī Dāwud: satu riwayat, juz I, halaman 60, Sunan Ibnu Mājah: satu riwayat, juz I, halaman 212.72 Berikut ini riwayat hadits tersebut dalam Sunan Abī Dāwud:
ٍ ِِ ال َحدَّثَْت ِِن َ َت بْ ُن َخلِي َفةَ ق ٌ َحدَّثَنَا ُم َسد ُ ََّد َحدَّثَنَا َعْب ُد الْ َواحد بْ ُن ِزيَاد َحدَّثَنَا ْاْلَفْ ل ِ َجسرةُ بِْنت دجاجةَ قَال ول ُ ت َعائِ َشةَ َر ِض َي اللَّوُ َعْن َها تَ ُق ْ ُ ت ََس ْع َ َ َ ُ َْ َ ِ ِ ِ ُ جاء رس َص َحابِِو َشا ِر َعةٌ ِف الْ َم ْس ِج ِد ْ صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم َوُو ُجوهُ بُيُوت أ َ ول اللَّو َُ َ َ ِِ ِِ ِ َ فَ َق ُّ ِوت َع ْن الْ َم ْسجد ُُثَّ َد َخ َل الن َ ُال َو ِّج ُهوا َىذه الْبُي ْصلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم َوََل َ َِّب ِال و ِّجهوا ى ِذه ِ ْ َي َ ُ َ َ صةٌ فَ َخَر َج إِلَْي ِه ْم بَ ْع ُد فَ َق َ صنَ ْع الْ َق ْوُم َشْيئًا َر َجاءَ أ َْن تَْن ِزَل في ِه ْم ُر ْخ 73 ٍ ٍ ِوت َع ْن الْ َم ْس ِج ِد فَإِ ِّّن ََل أ ُِح ُّل الْ َم ْس ِج َد ِِلَائ ض َوََل ُجنُب َ ُالْبُي Artinya:
”Mūsaddad telah menceritakan kepada kami, „Abdul Wāhid bin Ziyād telah menceritakan kepada kami, al Aflatu bin Khalīfah menceritakan kepada kami, dia berkata telah menceritakan kepada saya Jasrah bintu Dajājah berkata, saya mendengar „Āisyah RA. berkata: Rasulullah saw telah datang dan rumah para sahabat menghadap ke masjid, Nabi bersabda palingkan rumah ini dari masjid. Kemudian Nabi masuk dan para sahabat membiarkan rumahnya seperti dulu tuk mengharap turunnya rukhsah. Maka Nabi keluar dan bersabda: palingkan rumah ini dari masjid, sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi perempuan haid dan orang junub.” Riwayat hidup para rawi di atas adalah sebagai berikut: 1. Abū Dāwud
72
Kesimpulan ini penulis peroleh setelah melakukan takhrīj al-hadīts. Selain dilakukan secara manual seperti mencari langsung ke kitab Mu‟jam al Mufahras li al Faẓi al Hadits Al Nabawi, mentakhrij hadits juga bisa dilakukan dengan menggunakan media CD-ROM Mausu‟ah al Hadits al Syarif al Kutub al Tis‟ah.. Cara yang disebutkan kedua yang penulis pilih untuk kegiatan penelitian ini, yakni dengan menggunakan ḥāḍa beserta derivasinya sebagai kata kunci. 73 Abū Daud Sulaimān bin al Asy‟ats,Sunan Abū Daud, (Beirut: dar al fikr, t.th), juz1, hlm. 60
28
Nama lengkap: Sulaimān bin al asy‟aś bin Ishāq al Sijistani. Beliau dinisbatkan kepada tempat kelahirannya Sijistan ( terletak antara Irak dan Afganistan ). Beliau dilahirkan dikota tersebut pada tahun 202H dan wafat pada tahun 275H di kota Basrah. Guru dalam periwayatan hadits: Sulaimān bin Harb, Usman bin Abī Syaibah, al qa‟Nabi, Mūsaddad bin Mursahad, Muslim bin ibrāhīm, dll. murid dalam periwayatan hadits: puteranya „Abdullah, nasāi, tirmiži, Ahmad bin Muhammad bin Harun, Ibrāhīm bin Hamdan, Muhammad bin Yahya bin Mirdas Komentar kritikus hadits a) Mūsa bin Harun: Abū Dāwud diciptakan kedunia ini untuk hadits dan diakhirat untuk surga. b) Al Hakim Abū „Abdullah: Abū Dāwud imamnya ahli hadits pada masanya. 74 c) Mūsa bin Harun: saya tidak melihat orang yang lebih utama dari dia. d) Mūsalamah bin Qāsim: Ṡiqah zahid75 Tidak ada seorang kritikus pun yang mencela Abū Dāwud. Pujian yang diberikan padanya juga pujian yang bernilai tinggi. Dengan demikian pernyataan yang mengatakan bahwa ia menerima hadits di atas dari Mūsaddad bin mursahad dengan metode as sama‟ dapat dipercaya. Itu berarti bahwa sanad antara Abū Dāwud dan Mūsaddad dalam keadaan bersambung. 2. Mūsaddad bin Mursahad Nama lengkapnya: Mūsaddad bin Mursahad bin Mūsarbal al Asadi (wafat: 228H) Guru dalam bidang hadits: Ismā‟īl bin ‟Ulaiyah, Umayyah bin Khḍalid, Bisyrun bin Mufaḍal, Abū Waki‟ al jarah, ja‟far bin Sulaimān. 74
Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, Tahdzib al Kamal fi al Asma‟ al Rijal, (Beirut: dar al fikr, t.th), juz 8 hlm.7-14 75 Ahmad bin Hajar al „„Asqalānī, Tahdzib al Tahdzib, (Beirut: dar al kutub al „ilmiah, t.th), juz 4, hlm. 152
Murid dalam periwayatan hadits: Bukhārī, Abū Dāwud, Yahya bin Muhammad bin Yahya al Duhali Pernyataan para kritikus hadits tentang dirinya: a) Ishāq bin Mansur: Ṡiqah b) Abū Zur‟ah: orang yang tidak cacat c) Ibnu Hibbān mencatumkannya dalam kitab Ṡiqāt.76 Tidak ada kritikus hadits yang mencelanya, semua kritikus mengakui keṠiqahannya. Dengan demikian pernyataan yang mengatakan bahwa ia menerima hadits dari „Abdul Wāhid bin Ziyād dengan metode sama‟ dapat dipercaya. Sehingga sanad antara dia dan „Abdul Wāhid bin Ziyād bersambung. 3. „Abdul Wāhid bin Ziyād Nama lengkapnya: „Abdul Wāhid bin Ziyād al ‟Abdi(w.170 H) Guru dalam periwayatan hadits: Aflatu bin Khalīfah, Sulaimān al A‟masy, ‟Ashim al Ahwal, Hajjāj bin Arṭāh, Habīb bin Abī ‟Amrah, dll. Murid dalam periwayatan hadits: Mūsaddad bin Mursahad, ‟Affan bin Muslim, Qutaibah bin Sa‟id, Yahya bin Hasan, dll. Komentar kritikus hadits a) Abū Zur‟ah: Ṡiqah b) an Nasāi: laisa bihi ba‟sun c) Muhammad bin Sa‟ad: Ṡiqah, katsir al hadits d) ad Darimi: Ṡiqah77 „Abdul Wāhid bin Ziyād dinilai Ṡiqah pleh kritikus hadits, sehingga riwayat haditsnya dapat diterima. Dengan demikian sanad antara dia dan aflatu adalah bersambung. 4. Aflatu bin Khalīfah Nama lengkapnya: Aflatu bin Khalīfah al ‟Amiri ada juga yang mengatakan Fulaitu al ‟Amiri.(t.th) Guru dalam bidang hadits: Jasrah bintu Dajājah, 76 77
Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, op. cit, juz 18, hlm. 41-48 Ibid, juz 12 ,hlm. 117-119
Murid dalam bidang hadits: Sufyān as Sauri, „Abdul Wāhid bin Ziyād, Abū Bakar bin Abbās, Pernyataan para kritikus hadits tentang dirinya: a) Abū Hātim: dia syaikh b) Ad Daruqutni: dia shalih78 c) Al Khatabī: dia Majhūl d) Ahmad bin Hanbal: Ma ara bihi ba‟sun. e) Ibnu Hazm: tidak terkenal dan tidak diketahui keṡiqahannya79 Aflatu bin Khalīfah adalah orang yang diperselisihkan keṡiqahannya. Abū Khātim dan ad Daruqutni memujinya tetapi dengan pujian yang paling bawah dan mendekati tajrih. Sedangkan ahmad bin hanbal mencelanya tetapi juga dengan lafal yang paling bawah dan hampir mendekati ta‟dil. Jadi, Aflatu adalah rawi yang diperselisihkan dan membutuhkan muttabi‟. 5. Jasrah bintu Dajājah Nama lengkapnya: Jasrah bintu Dajājah al ‟Amiri, al Kufīyah Guru dalam periwayatan hadits: „Ali bin Abī Thalib, Abū Dar al Gifari, ‟Āisyah, Ummu Salamah. Murid dalam periwayatan hadits: Aflatu bin Khalīfah, „Umar bin „Umair bin Makhduj, Qudamah bin „Abdullah, Makhduj ad Duhli. Pernyataan para kritikus hadits tentang dirinya: a) Ahmad bin „Abdullah al ‟Ijli: termasuk tabi‟iyah, dia ṡiqah b) Ibnu Hibbān: Ṡiqah80 c) Bukhārī: Jasrah „Ajāib d) Ibnu Hajar al ‟Asqalānī: Maqbūlah, jika ada periwayat lain yang menjadi muttabi‟nya. e) Ibnu Hazm: Batil81
78 79
Ibid, juz 2, hlm. 307 Muhammad bin Ahmad, Mizan al I‟tidal, (Beirut: Dar al Kutub al „Ilmiah, t.th), Juz 7,
hlm.59 80 81
Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, op. cit, juz 22, hlm. 307 Muhammad bin Ahmad, op. cit, Juz 12, hlm 435
Jasrah bintu Dajājah adalah periwayat yang diperselisihkan oleh para kritikus hadits. Banyak kritikus yang memujinya, tapi banyak juga yang mencelanya. Ibnu Hazm mengatakan bahwa haditsnya batil. Tetapi kritik ibnu hazm sangat berhubungan dengan hadits yang diriwayatkan oleh jasrah, yang mana hadits itu ditolak oleh ibnu hazm karena tidak sesuai dengan ajaran ẓahiri yang membolehkan wanita haid memasuki masjid. Setelah kritikan ibnu hazm ini banyak kritikus yang juga mengkritiknya. Sikap yang moderat ditunjukkan oleh Ibnu Hajar yang mengatakan bahwa Jasrah Maqbūlah, tetapi diterimanya dengan syarat adanya muttabī‟. 6. ‟Āisyah binti Abū Bakar Nama lengkap: ‟Āisyah binti Abū Bakar Ummul Mu‟minin, ibunya Ummu Ruman binti ‟Amir ‟Uwaimir bin Abdul Syamsin Guru dalam periwayatan hadits: Nabi, Hamzah bin „Umar al Aslami, Sa‟ad bin Abī Waqas, „Umar bin Khattab, Abū bakar, Judamah binti Wahab al Asadiyah, Fatimah al Zahra binti Rasulillah Murid dalam periwayatan hadits: ibrāhīm bin Yazīd at Taimi, Ishāq bin Thalhah bin Ubaidillah, Sa‟id bin Mūsayyab, Pernyataan para kritikus tentang dirinya: a) ‟Aṭa‟ bin Abī Rabah: afqahun nas b) Abū Mūsa al Asy‟ari: keutamaan „Āisyah dengan wanita lain seperti keutamaan roti terhaadap semua makanan c) Hisyam bin ‟Urwah: aku tidak melihat seorang yang lebih ‟alim tentang fiqih daripada „Āisyah82 „Āisyah termasuk sepuluh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Beliau juga istri Nabi yang cerdas dan faqih, sehingga fatwafatwanya banyak diminta orang. Para kritikus hadits tidak ada yang mencelanya. Dengan melihat hubungan Nabi dan „Āisyah, maka „Āisyah termasuk salah satu sahabat yang tidak diragukan kejujuran dan kesahihannya dalam meriwayatkan hadits. Lambang periwayatan yang 82
Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, op. cit, juz 22, hlm. 372-377
digunakan adalah qāla, yang oleh sebagian ulama lambang ini kedudukannya sama dengan ‟an ataupun anna. Karena „Āisyah seorang ṡiqah tanpa syarat, maka sanad antara dirinya dan Nabi bersambung. Skema sanad dari Sunan Abū Dāwud tentang haramnya masjid bagi perempuan haid dan junub
َصهىَّللاََ َعهَ ٍْ َِهَ َو َسه َى َِ َََسسىل َ َّللا َال َ َل َعَائِ َش َح ََس ًِعْد
َذَمىل
َاخ َح َ َخس َْشجََ ِت ُْدََد ََخ َلَاَن ًَُِحذَثَ ْر ٍَْ ِْاْلَ ْفهَدََتٍََْ َخه َخفَ َحk َحذثَ َُا
َال َ َل
ََعثْذََ ْان َىا ِح َِذَتٍََْ ِصٌَاد َحذثَ َُا َي َسذد َحذثََُا اتىَداوود
Berikut ini riwayat Ibnu Mājah:
َحدَّثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَِِب َشْيبَ َة َوُُمَ َّم ُد بْ ُن ََْي ََي قَ َاَل َحدَّثَنَا أَبُو نُ َعْي ٍم َحدَّثَنَا ابْ ُن ِ ُّ وج ِ َّاْلَط َخبَ َرتِِْن ٍ ي َع ْن َُْم ُد ْ أَِِب َغنِيَّةَ َع ْن أَِِب ِّ اب ا ْْلَ َج ِر ْ َالذ ْىل ِّي َع ْن َج ْسَرةَ قَال ْتأ ت ْ َأ ُُّم َسلَ َمةَ قَال ِ ِ ُ دخل رس ص ْر َحةَ َى َذا الْ َم ْس ِج ِد فَنَ َادى بِأ َْعلَى َ صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم َ ول اللَّو َُ َ َ َ 83 ٍ ُصوتِِو إِ َّن الْمس ِج َد ََل ََِي ُّل ِِلُن ٍ ِب َوََل ِِلَائ ض َْ َْ Artinya:
Abū Bakar bin Abī Syaibah dan Muhammad bin Yahya telah menceritakan kepada kami, mereka berkata: Abū Nu‟aim telah menceritakan kepada kami, Ibnu Abī Ganiyyah telah menceritakan kepada kami, dari Abū al Khattab al Hajari, dari Mahduj al Duhli, dari Jasrah berkata: Ummu Salamah telah menceritakan kepadaku, ia berkata: Rasulullah SAW memasuki halaman masjid dan mengumumkan dengan suara yang keras. Sesungguhnya masjid tidak halal bagi orang junub dan haid. Riwayat hidup para rawi di atas adalah sebagai berikut: 1. Ibnu Mājah Nama asli: Muhammad bin Yazīd al Raba‟i, beliau terkenal dengan sebutan Abū Abdillah bin Mājah al Qazwini. Ibnu Mājah adalah nama yang terkenal dari nenek moyang yang berasal dari kota Qazwin, salah satu kota di iran. Beliau ddilahirkan dikota tersebut pada tahun 207H dan wafat pada bulan Ramadhan, tahun 273H. Guru dalam periwayatan hadits: Ibrāhīm bin Dinar, Abū al Hasan „Ali bin Ibrāhīm, Ishāq bin Muhammad Komentar kritikus hadits a) Al Khalili: Ṡiqah kabīr84 Tidak ada seorang kritikus pun yang mencela Ibnu Mājah. Pujian – pujian yang diberikan juga pujian yang beperingkat tinggi dan tertinggi. Dengan demikian pernyataan yang menyatakan bahwa ia menerima hadits dari Abū bakar bin Abī Syaibah dengan metode as Sama‟ dapat
83 84
Muhammad bin Yazīd, Sunan Ibnu Mājah, (Lebanon: Dar al Fikr, t.th),juz.1 hlm. 212 Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, op. cit, juz 17, hlm. 355
dipercaya kebenarannya. Itu berarti pula bahwa sanad antara ibnu Mājah dan Abū Bakar bin Abī Syaibah dalam keadaan bersambung. 2. Abū Bakar bin Abī Syaibah Nama lengkap: „Abdullah bin Muhammad bin Ibrāhīm bin Usman bin Khawasati al ‟Abasi dan terkenal dengan julukan Abū Bakar bin Abī Syaibah Guru dalam periwayatan hadits: Yahya bin ‟Abdul Malik bin Abī Ganiyah, Waki‟ al Jarah, Abī Naim Faslu bin Dukain Murid dalam periwayatan hadits: Bukhārī, Muslim, Ibnu Mājah, Ibrāhīm bin Ishāq, Ahmad bin Hanbal komentar kritikus hadits a) Abū Hātim: Ṡiqah b) Ibnu Fani‟: Ṡiqah Tsabt c) Al ‟Ijli: Hafid lil hadis85 Tidak ada kritikus hadits yang mencelanya, mereka menilai Abū Bakar bin Abī Syaibah adalah orang yang Ṡiqah. Sehingga hadits yang diriwayatkannya bisa diterima dan sanad antara dia dan Muhammad Yahya adalah bersambung. 3. Muhammad bin Yahya Nama lengkap: Muhammad bin Yahya bin „Abdullah bin Khalid bin Faris bin Duaib ad Dhuhli, terkenal dengan sebutan Abū „Abdullah an Naisabūri. Meninggal pada tahun 252H. Guru dalam periwayatan hadits: Abū Nuaim al Fadlu bin Dukain, Abī „Amir al Aqadi, Ya‟qub bin Ibrāhīm, Abī Ahmad bin Zubair Murid dalam periwayatn hadits: Bukhārī, Ibnu Mājah, Abū Dāwud, Tirmiżī, dan Nasāi Komentar kritikus hadits a) Abū Hātim: Ṡiqah b) Nasāi: Ṡiqah c) Abū Dāwud: amirul mu‟minin fi al hadits86 85
Ibid, juz 10, hlm. 283-287
Muhammad bin yahya dinilai sebagai orang yang Ṡiqah oleh para kritikus hadits. Pernyataan yang mengatakan bahwa dia menerima hadits dari Abū nuaim dengan metode as sama‟ dapat dipercaya. Sehingga sanad antara dia dan gurunya adalah bersambung. Abū Nu‟aim
4.
Nama lengkapnya: al Fadlu bin Dukain, Amru bin Hamād bin Zahir bin Darhim al Qurasiy, terkenal dengan sebutan Abū Nu‟aim al Malai al Kufī dan al Fadlu bin Dukain Guru dalam periwayatan hadits: abdul m‟Alik bin hamid bin Abī ghaniyah, Jarīr bin Hazm, Hātim bin Ismā‟īl, ahmad bin Muhammad bin hanbal Murid dalam periwayatan hadits: Bukhārī, Muhammad bin Yahya ad Dhuhli, Abū bakar „Abdullah bin Abī Syaibah, Ibnu Mājah, Abū Dāwud. Komentar kritikus hadits a) Abū Khātim: Syaikh b) Abū Zur‟ah: tidak pernah q mengenal dua lelaki yang lebih tsabit dari Abū Nu‟aim dan ‟Affan c) Al ‟Ijli: ṡiqah tsabt fil hadits87 Tidak ada kritikus yang mencela pribadi Abū Nu‟aim, pujian yang diberikan padanya juga pujian yang bernilai tinggi. Secara umum riwayat haditsnya diterima dan sanad antara ia dan gurunya dalam hadits ini adalah bersambung. Ibnu Abī Ganiyah
5.
Nama lengkap: „Abdul Malik bin Hamid bin Abī Ganiyah al Khuza‟i al Kufī guru dalam periwayatan hadits: Abū al Khatab al Hajari, Abū Ishāq al Syaibani, al Hikam bin „Utaibah. Murid dalam periwayatan hadits: Abū Nuaim al Fadl, „Umarah bin Basyr, Ismā‟īl bin Ayas, Komentar kritikus hadits a) Yahya bin Ma‟īn: Ṡiqah 86
Ibid, juz 17, hlm. 322-329
87
Ibid, juz.10, hlm. 62-75
b) al ‟Ijli: Ṡiqah c) Ibnu Hibbān menyebutkannya dalam kitab Ṡiqāt karangannya88 d) al ‟Ijli: Ṡiqah89 Tidak ada kritikus yang mencela ibnu Abī Ganiyyah, dia dikenal sebagai orang yang Ṡiqah. Pernyataan yang mengatakan bahwa ia menerima riwayat hadits dari Abū al Khatab al Hajari adalah dapat dipercaya. Sehingga sanad antara dia dan gurunya adalah bersambung. Abū al Khatab al Hajari
6.
Nama lengkap: „Umar bin „Umair Guru dalam periwayatan hadits: Zaid bin Wahb al Hajari, Mahduj ad Dhuhli Murid dalam periwayatan hadits: „Abdul Malik bin Abī Ganiyah, „Ali bin Abbās Komentar kritikus hadits a) Ibnu Hajar: Majhūl90 b) Abū Sa‟īd al Khudri: Majhūl91 Para kritikus hadits menilai Abū al Khatab al Hajari Majhūl. Majhūl adalah pernyataan yang menghilangkan kepercayaan dalam suatu riwayat. Dengan demikian ia adalah orang yang cacat dan tidak diterima haditsnya. 7.
Mahduj al Duhli
Nama lengkap: Mahduj al Duhli Guru dalam periwayatan hadits: Jasrah Murid dalam periwayatan hadits: Komentar kritikus hadits a) Ibnu Hajar: Majhūl b) Al Baqi: Lam Yutsiq (tidak Ṡiqah) 92
88
Ibid, juz.12, hlm. 35-36 Ahmad bin Hajar al „Asqalānī, op. cit, juz 6, hlm 349 90 Ibid, juz 12, hlm77 91 Muhammad bin Ahmad, op. cit, Juz 7, hlm 361 92 Ahmad bin Hajar al „Asqalānī, op. cit, juz 10, hlm 49 89
tidak ada kritikus hadits yang memuji pribadi Mahduj al Duhli. Semua kritikus menilai dia orang yang tidak Ṡiqah. Dengan demikian, dia tidak dipercaya dalam meriwayatkan hadits. 8.
Jasrah bintu Dajājah93
9.
Ummu Salamah
Nama lengkap: Hindun bintu Abī Umayyah, dinikahi oleh Nabi pada bulan syawal tahun 20H setelah perang badar. Dikenal dengan sebutan Ummu Salamah al Qurasyiyah karena sebelumnya menikah dengan Abī Salamah bin abdul asad yang meninggal karena syahid dalam perang. Ummu Salamah meninggal pada tahun 62H. Guru dalam periwayatan hadits: Nabi, Abī salamah, fatimah bintu Rasulullah Murid dalam periwayatan hadits: Jasrah bintu Dajājah, Usamah bin Zaid bin Harisah, al Aswad bin Yazīd an Nakha‟i, Sa‟īd bin Mūsayyab. Komentar kritikus hadits Semua mukharij meriwayatkan hadits darinya. Beliau adalah ummu al mu‟minin yang tidak diragukan lagi keṡiqahannya.94
93 94
Sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya. Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, op. cit, juz 22, hlm. 438
Skema sanad dari Sunan Ibnu Mājah tentang haramnya masjid bagi perempuan haid dan junub
سسىلَّللاَصهىَّللاَعهٍهَوسهى َ
أ ّوَسهًح َ َأَ ْخ َث َش ْذ ًُِ خسشج َ لَا َن ْ دَ
ع ٍََْ
يحذوجَانزههً َ ع ٍََْ أتىَانخطابَانهدشي َ ع ٍََْ إتٍَأتًَغرٍح َ َحذثََُا أتىَانُعٍى َ َحذثََُا
َحذثََُا أتىَتكشَاتٍَأتًَشٍثح َ
يحًذَتٌٍَحً َ
َحذثََُا
َحذثََُا إتٍَياخح َ
Skema sanad gabungan dari Sunan Abū Dāwud dan Sunan Ibnu Mājah
سه َىَ صهىَّللاََ َعهَ ٍْ َِهَ َو ََ َسسىلََّللاََِ َ
عَائِ َشحََ
أ ّوَسهًح َ أَ ْخثَ َش ْذ ًُِ
َس ًِعْدَ اخ َحَ َخس َْشجََ ِت ُْدََد ََخ َ لَا َن ْ دَ
ع ٍََْ
لَاَنَ َحذثَ ْر ًُِ َْ kخ ْاْلَ ْفهَدََتٍََْ َخهٍِفَ َحَ
يحذوجَانزههً َ ع ٍََْ
َحذثََُا
أتىَانخطابَانهدشي َ
َعثْذََ ْان َىا ِح َِذَتٍََْ ِصٌَادَ
ع ٍََْ
َحذثََُا ي َسذدَ
إتٍَأتًَغرٍح َ َحذَثََُا
َحذثََُا
اتىَداوود
أتىَانُعٍى َ َحذثََُا
َحذثََُا
أتىَتكشَاتٍَأتًَ شٍثح َ َحذثََُا
يحًذَتٌٍَحً َ َحذثََُا إتٍَياخح َ
F. Hadits Tentang Anjuran Agar Perempuan Haid Menjauhi Tempat Shalat Hadits tentang anjuran perempuan haid menjauhi tempat shalat, diriwayatkan oleh; Bukhārī: 5 riwayat, juz.1 hlm. 173, juz.2 hlm. 83, juz.4 hlm.50, 54, 56, Muslim: 1 riwayat, juz.1 hlm. 240, Nasāi: 1 riwayat, juz.2 hlm.135, Ahmad: 1 riwayat, juz 6 hlm. 29295 Matan riwayat Bukhārī
ٍ ِ ِ ُ ال حدَّثَنا ي ِز ِ ِ ت ْ َيم َع ْن ُُمَ َّمد َع ْن أ ُِّم َع ِطيَّةَ قَال َ َ َ َ َيل ق َ َحدَّثَنَا ُم َ يد بْ ُن إبْ َراى َ وسى بْ ُن إ َْسَاع ِ اِليَّض ي وم الْعِ َيدي ِن وذَو ِ ِِ ي َوَد ْع َوتَ ُه ْم َويَ ْعتَ ِزُل ْ ات َ َاْلُ ُدوِر فَيَ ْش َه ْد َن ََج َ اعةَ الْ ُم ْسلم َ ْ َ َ ُْ أُم ْرنَا أَ ْن ُُنْر َِج ََ ْ ِ ِ ال لِت ْلبِسها ص ِ ِ َّ َ ت ْامرأَةٌ يا رس احبَتُ َها ْ ٌ َس َْلَا ج ْلب ُ َّاِلُي َ َ ْ ُ َ َاب ق َ ض َع ْن ُم ُ َ َ َ ْ َص ََّّل ُى َّن قَال َ ول اللو إ ْح َدانَا لَْي ِم ْن ِج ْلبَ ِاِبَا ٍ ِ ِ ِ ِ ِِ َِّب َ ََوق َّ ِت الن ُ ين َحدَّثَْت نَا أ ُُّم َعطيَّةَ ََس ْع َ ال َعْب ُد اللَّو بْ ُن َر َجاء َحدَّثَنَا ع ْمَرا ُن َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن سي 96 ِ صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ِبََذا َ Artinya:
Mūsa bin Ismā‟īl telah menceritakan kepada kami, ia berkata Yazīd bin ibrāhīm telah menceritakan kepada kami dari Muhammad dari Ummu „Athiyah berkata perempuan haid dan perempuan yang telah dewasa diperintahkan untuk keluar pada hari raya idul fitri, dan hendaklah mereka menyaksikan jamaah muslimin dan doa orang-orang mukmin dan hendaklah perempuan haid menjauhi tempat shalat. Perempuan itu bertanya, wahai Rasul salah satu dari kami tidak mempunyai jilbab, Nabi bersabda; hendaklah mereka meminjam jilbab temannya. „Abdullah bin Raja‟ berkata, „Imran telah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Sirīn telah menceritakan kepada kami, Ummu „Athiyah telah menceritakan kepada kami, saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda seperti di atas. Riwayat hidup dari periwayat hadits di atas adalah; 1.
95
Bukhārī
Penulis sengaja tidak meneliti semua sanad untuk hadits di atas, dikarenakan jumlah sanad yang terlalu banyak. Jika sanad yang dipilih sudah dapat memenuhi kaedah keshahihan sanad, maka sanad yang lain hanya menjadi penguat bagi hadits tersebut. Tetapi jika hadits yang penulis teliti belum dapat diterima sebagai hadits shahih maka penelitian biasa dilanjutkan pada sanad yang lain. 96 Abū Abdullah Muhammad Bin Isma‟il al Bukhari, Matan al Bukhari, ( Singapura: Matba‟ah „Usman Mar‟i, t.th.), juz.2, hlm. 83
Nama lengkap: Muhammad bin Ismā‟īl bin Ibrāhīm bin al Mugirah bin Bardizabah(194-252 H.) Guru dalam periwayatan hadits: ‟Ubaidillah bin Mūsa, „Abdullah al Anshari, Ahmad bin Khalid, Murid dalam periwayatan hadits: Tirmiżī, ibrāhīm bin Ishāq, ibrāhīm bin Mūsa al Jauzi, an Nasāi, „Abdullah bin Ahmad bin „Abdul Salam, Abū Zur‟ah, Ibnu Khuzaimah. 97 Komentar kritikus hadits a) Ibnu Khuzaimah: aku tidak melihat orang dibawah langit ini yang lebih mengetahui dan hafal Nabi melebihi Bukhārī b) At Tirmiżī: aku tidak melihat orang lebih mengetahui makna ‟Ilal dan rijāl melebihi Muhammad bin Ismā‟īl c) Muhammad bin Yahya ad Duhli: pergilah kamu Sekalian kepada laki-laki yang Shalih ini (Bukhārī) dan dengarkanlah semua fatwanya, d) Musalamah: Ṡiqah jalīl.98 Tidak ada kritikus hadits yang mencela Bukhārī, bahkan pujian yang diberikan padanya adalah pujian yang berpredikat tinggi dan tertinggi. Seperti kita tahu pula bahwa kitab shahih Bukhārī adalah kitab yang populer dan banyak digunakan haditsnya. Dengan demikian pernyataan yang mengatakan bahwa ia menerima riwayat hadits dari Mūsa bin Ismā‟īl dapat dipercaya. Sehingga sanad antara ia dan Mūsa bin Ismā‟īl adalah bersambung. 2.
Mūsa bin Ismā‟īl
Nama lengkap: Mūsa bin Ismā‟īl al Minqari(w.223h) Guru dalam periwayatan hadits: Jarīr bin Hāzim, Mahdi bin Maimun, Hamam bin Yahya, Yazīd bin Ibrāhīm, Hamād bin Salamah Murid dalam periwayatan hadits: Bukhārī, Abū Dāwud, Ahmad bin al Hasan at Tirmiži, Abū zur‟ah, Abū Hātim, 97 98
Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, op. cit, juz 16, hlm. 86-109 Ahmad bin Hajar al „„Asqalānī, op. cit, juz 9, hlm45
Komentar kritikus hadits a) Mūsa bin Ismā‟īl: Ṡiqah, ṣadūq. b) Abū hātim: Ṡiqah c) Al ‟Ijli: Ṡiqah d) Ibnu Hibbān mencantumkan namanya dalam kitab Ṡiqāt Tidak ada kritikus yang mencela Mūsa bin Ismā‟īl, dia termasuk orang yang Ṡiqah. Sehingga riwayat haditsnya dapat dipercaya. 3.
Yazīd bin Ibrāhīm
Nama lengkap: Yazīd bin Ibrāhīm al Tasturi(w.161h) Guru dalam periwayatan hadits: al Hasan, ibnu Sirīn, Ibnu Abī Malakiyah, Aṭa‟‟, Qatadah, Amru bin Dinar Murid dalam periwayatan hadits: Waki‟, Abdurrahman bin Mahdi, Abdul Malik bin Ibrāhīm, Yazīd bin Harun, Sulaimān bin Harb. Komentar kritikus hadits a) Ahmad bin Hanbal: Ṡiqah b) Abū Zur‟ah: Ṡiqah c) Abū hātim: Ṡiqah d) An nasāi: Ṡiqah e) Ibnu ‟Adi: hadits- hadits yang diriwayatkan olehnya Maqbūl kecuali hadits yang diriwayatkan dari Qatadah dari Anas. Orang yang ditulis haditsnya, la ba‟sa bihi f) Ibnu Sa‟ad: Ṡiqah tsabt g) Ibnu Hibbān mencatatnya dalam kitab ṡiqāt. h) Ibnu Hajar: Ṡiqah tsabt, kecuali riwayat dari Qatadah layyin (lemah).99 Secara umum Yazīd dinyatakan Ṡiqah oleh kritikus hadits, kecuali dalam peristiwa tertentu ia dinyatakan lemah. Dengan demikian haditsnya dapat dipercaya. 4.
99
Muhammad
Ibid, juz 11, hlm269-270
Nama lengkap: Muhammad bin Sirīn al Anshari, Abū Bakar bin Umrah al Bashri. Saudara dari Anas bin Sirīn, Ma‟bad bin Sirīn, Yahya bin Sirīn, Hafṣah bin Sirīn, Karimah bin Sirīn. Tuannya Anas bin Malik Guru dalam periwayatan hadits: Anas bin Malik, Ummu Athiyah al Anshari, „Āisyah ummul mu‟minin, saudaranya Hafṣah bintu Sirīn, saudaranya Ma‟mad bin Sirīn Murid dalam periwayatan hadits: Ayyub bin as Sakhtani, Habīb bin Syahid, Salmah bin „Alqamah, Imran al Qattan, Yazīd bin Ibrāhīm, Komentar kritikus hadits a) Ahmad bin Hanbal: Muhammad bin Sirīn termasuk orang yang Ṡiqah b) Yahya bin Ma‟īn: Ṡiqah c) Al ‟ijli: tabi‟in, Ṡiqah.100 Semua kritikus memuji pribadi Muhammad bin Sirīn dan menilai dia adalah orang Ṡiqah. Sehingga riwayat haditsnya dapat diterima. 5.
Ummu „Athiyah
Nama lengkap: Nusaibah, ada juga yang mengatakan Nasibah bin Ka‟ab, ada juga yang mengatakan bintu al Haris. Guru dalam periwayatan hadits: Nabi, „Umar bin Khathab, Murid dalam periwayatan hadits: Muhammad bin Sirīn, Hafṣah bin Sirīn, Anas bin Malik, Ummu Syarāhil. Dll. Komentar kririkus hadits a) Abū „Umar: termasuk sahabat wanita yang masyhur.101 b) Ibnu Hajar: sahabat yang terkenal dari Madinah. Secara umum sahabat adalah orang yang diakui keṡiqahannya. Tidak ada kritikus yang mencela Ummu Athiyah, sehingga riwayat haditsnya dapat diterima. 6.
„Abdullah bin Raja‟
Nama lengkap: „Abdullah bin Raja‟ bin „Umar, ada yang menyebutnya Abū Amru al Gadani(w. 210h) 100 101
Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, op. cit, juz 16, hlm. 345-348 Ibid, juz 22, hlm. 436-437
Guru dalam periwayatan hadits: Ikrimah bin ‟Ammar, Israil, Syu‟bah, Harb bin Syidad, ‟Imran al Qatthan, dll. Murid dalam periwayatan hadits: Bukhārī, an Nasāi, Ibnu Mājah, Abū Dāwud, Abū Hātim, Usman ad Darimi, dll. Komentar kritikus hadits a) Ibnu Ma‟īn: syaikh, ṣadūq, la ba‟sa bihi, sering melakukan taṣhif. b) Amru bin „Ali; ṣadūq, banyak membuat kesalahan dan taṣhif, tidak dapat dijadikan hujjah. c) An Nasāi: laisa bihi ba‟sun d) Ibnu Hibbān mencatat namanya dalam kitab Ṡiqāt e) Ya‟qub bin Sufyān: Ṡiqah f) Bukhārī meriwayatkan hadits darinya limabelas hadits. 102 Dalam meriwayatkan hadits „Abdullah bin Raja‟ dinilai sering melakukan kesalahan dan taṣhif oleh Ibnu Ma‟īn dan Amru bin „Ali. Kritikan tidak berhubungan dengan kualitas pribadi dan agama, tetapi berhubungan dengan kualitas intelektualnya. Sehingga kritikan itu tidak menggugurkan haditsnya, hanya mengurangi kualitas hadits yang diriwayatkannya. 7.
‟Imran
Nama lengkap: ‟Imran bin Dāwud al ‟ummi, terkenal dengan sebutan Abū al ‟Awwam al Qatthan al Bashri.(t.th) Guru dalam periwayatan hadits: Qatadah, Muhammad bin Sirīn, Ma‟mar bin Rasyīd, Sulaimān al Taimi, Muhammad bin Hajadah, dll. Murid dalam periwayatan hadits: „Abdullah bin Raja‟, Ibnu Mahdi, Salam bin Qutaibah, Amru bin ‟Aṣim, Muhammad bin Bilal, dll. Komentar kritikus hadits a) Ahmad bin Hanbal: saya harap dia adalah orang yang shalih dalam hadits b) Ibnu Ma‟īn: laisa bi al qawi, Yahya bin Sa‟id tidak meriwayatkan darinya 102
Ahmad bin Hajar al „Asqalānī, op. cit, juz 5, hlm 187-189
c) An Nasāi: ḍa'īf d) Ibnu ‟Adi: orang yang ditulis haditsnya e) Ibnu Hibbān menuliskan namanya dalam kitab Ṡiqāt f) Al Saji: Ṣadūq, Ṡiqah g) Bukhārī: Ṣadūq yahmu h) Al ‟Ijli: Ṡiqah i) Ibnu Hajar: ṣadūq yahmu j) Al Hakim: ṣadūq k) Ad Daruquthni: kaṡirul mukhalafah, al wahmu.103 ‟Imran dinilai sebagai orang yang ṣadūq, tetapi dia juga dinilai wahm (keraguan yang sering berakibat menjadi kesalahan). Sehingga riwayat haditsnya diterima tetapi kualitasnya dibawah hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang Ṡiqah.
103
Ibid, juz 8, hlm 110-111
Skema sanad dari Imam Bukhārī tentang perintah agar permpuan haid menjauhi tempat shalat
صهىَّللاَ َعهَ ٍْ ِهَ َسسى َلَّللاَِ َ َو َسه ََى َس ًِعْدَ َطٍ َحَ أ ِّوَع ِ ع ٍََْ
حذثُا
ٍشٌٍََ ي َحًذَتٍْ ِ َس ِ ع ٍََْ
حذثُا
ٌَ ِضٌذَتٍَْإِت َْشا ِهٍ َىَ الَ لَ َ
ِع ًْ َشاٌَ حذثُا
حذثُا
يى َسىَتٍَْإِ ْس ًَا ِعٍ َمَ حذثُا ٌَ ِضٌذَ تٍَْ إِت َْشاهَِ ٌ ََى
َعثْذَّللاَِتٍَْ َس َخاءَ الَ َل َ انثخاسي
Matan yang diriwayatkan oleh Nasāi;
ِ ِ ت َ ََخبَ َرنَا َع ْم ُرو بْ ُن ُزَر َارَة ق ْ َصةَ قَال ْأ َ وب َع ْن َح ْف َ ُّيل َع ْن أَي ُ ال َحدَّثَنَا إ َْسَع ِول اللَّو ِ ول اللَّ ِو صلَّى اللَّو علَي ِو وسلَّم إََِّل قَالَت بِأَبا فَ ُق ْل ِ ََسع َ ت َر ُس َ ت أ ُُّم َع ِطيَّةَ ََل تَ ْذ ُك ُر َر ُس ْ ََكان َْتأ ُ َ َ ْ َ ََ َْ ُ ِ َ َصلَّى اللَّو علَي ِو وسلَّم ي ْذ ُكر َك َذا وَك َذا فَ َقالَت نَعم بِأَبا ق ِ ض ْ اْلُ ُدوِر َو ْ ات ُ ال لَي ْخ ُر ْج الْ َع َوات ُق َو َذ َو ُ َّاِلُي َ َ َْ ْ َ ُ َ َ ََ َْ ُ 104
ِ ِِ صلَّى ْ ي َولْيَ ْعتَ ِزْل َ َويَ ْش َه ْد َن الْع َيد َوَد ْع َوَة الْ ُم ْسلم ُ َّاِلُي َ ض الْ ُم
“Amru bin Zura‟ah telah menceritakan kepad kami, berkata Ismā‟īl telah menceritakan kepada kami, dari Ayyub, dari Hafṣah berkata, Ummu Athiyah tidak pernah menyebut Rasulullah dengan sebutan abi, apakah kamu pernah mendengar Rasulullah bersabda begini dan begitu, maka dia (Ummu Athiyah) menjawab, ya dengan menyebut abi. Rasulullah bersbada: hendaklah perempuan dewasa, gadis pemilik kerudung dan perempuan haid keluar untuk menyaksikan shalat id dan doa-doa muslimin, hendaklah mereka menjauhi tempat shalat.” 1. An Nasāi Nama lengkap: Ahmad bin Syuaib bin „Ali bin Sinan bin Bahri bin Dinar, terkenal dengan sebutan Abū Abdurrahman an Nasāi al Qadhi al Hafizh. Meninggal di palestina pada tahun 303H. Menurut ad Żahabi umurnya adalah 88tahun. 105 Guru dalam periwayatan hadits: Ishāq bin Ibrāhīm bin Hasyim bin Zamil, Abū Bakar Muhammad bin „Ali bin Hasan, Ibrāhīm bin Ishāq bin Ibrāhīm bin Ya‟qub, Abū al Qāsim Yusuf bin Ya‟qub. Komentar kritikus hadits a) Ad daruqutni: hujjah b) Abū Ahmad bin ‟Adī: imam dari imamnya orang Islam.106 Tidak ada seorang kritikus pun yang mencela Nasāi. Pujian yang diberikan padanya adalah pujian yang bernilai tinggi dan tertingga. Pernyataan yang mengatakan bahwa ia menerima hadits dari Amru bin 104
Abū Abdurrahman Ahmad bin Syuaib, Sunan al Nasāi,juz.2 (Beirut: Dar al Fikr Alamiah, t.th), hlm.135 105 Ahmad bin Hajar al „Asqalānī, op. cit, juz 1, hlm.34 106 Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, op. cit, juz 1, hlm.151-158
zura‟ah dapat dipercaya. Sehingga sanad antara dia dan gurunya adalah bersambung. 2. Amru bin Zura‟ah Nama lengkap: ‟Amru bin Zura‟ah bin Waqid al Kilabi(w.238h) Guru dalam periwayatan hadits: Abū Bakar bin ‟Ayyas, Hasyim bin Abdul Waris, Marwan bin Muawiyah, al Qāsim bin Malik, dll. Murid dalam periwayatan hadits: Bukhārī, Muslim, an Nasāi, Ahmad bin Salamah an Naisabūri, al Hasan bin Sufyān, dll. Komentar kritikus hadits a) An Nasāi: Ṡiqah b) Muhammad bin Abdul Wahab: Ṡiqah Ṡiqah c) Ibnu Hajar: Ṡiqah tsabt.107 Tidak ada seorang kritikus pun yang mencela Amru bin Zura‟ah. Pujian yang diberikan padanya adalah pujian yang bernilai tinggi dan tertingga. Pernyataan yang mengatakan bahwa ia menerima hadits dari gurunya dapat dipercaya. Sehingga sanad antara dia dan gurunya adalah bersambung. 3. Ismā‟īl Nama lengkap: Ismā‟īl bin Ibrāhīm bin Miqsam al Asadi, lahir di kufah dan anak laki-laki dari Ibrāhīm bin Ismā‟īl bin „Ulayyah(110- 193h) Guru dalam periwayatan hadits: Ishāq bin Suwaid, Ayyub bin Abī Tamimah, Hajjāj bin Abī „Usman, Yahya bin Abī Ishāq, Yunus bin Ubaid, dll. Murid dalam periwayatan hadits: ibrāhīm bin Dinar, Amru bin Zura‟ah an Naisabūri, Yahya bin Ma‟īn, Muhammad bin Salam, dll. komentar kritikus hadits a) An Nasāi: Ṡiqah tsabt b) Yahya bin Ma‟īn: Ṡiqah, ṣadūq, wara‟ c) Syu‟bah: sayyidul muhaddisin.108 107 108
Ahmad bin Hajar al „„Asqalānī, op. cit, juz 8, hlm 30-31 Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, op. cit, juz 2, hlm. 128-132
Tidak ada seorang kritikus pun yang mencela Ismā‟īl. Pujian yang diberikan padanya adalah pujian yang bernilai tinggi dan tertingga. Pernyataan yang mengatakian bahwa ia menerima hadits dari ayyub dapat dipercaya. Sehingga sanad antara dia dan gurunya adalah bersambung. 4. Ayyub Nama lengkap: ayyub bin Abī tamimah, namanya adalah Kaisan(66-131h) Guru dalam periwayatan hadits: Hasan Bashri, Ibrāhīm bin Maisarah, ‟Amru bin Sa‟id at Tsaqafi, Aṭa‟ bin Abī Rabah, Abdurrahman bin al Qāsim, Hafṣah bintu Sirīn, Muhammad bin Sirīn, dll. Murid dalam periwayatan hadits: Ismā‟īl bin ‟Ulayyah, Hammād bin Salamah, Abdul Malik bin Abdul Azīz, Syu‟bah bin al Hajjāj, Sulaimān al A‟masy,dll. Komentar kritikus hadits a) An Nasāi: Ṡiqah tsabt b) Muhammad bin Sa‟ad: Ṡiqah tsabt c) Abū Hātim: Ṡiqah.109 d) Ad Daruquthni: al hufad al atsbat.110 Ayyub adalah orang yang mendapat pujian dari kritikus hadits. Jadi, riwayat haditsnya dapat diterima dan sanad antara dia dan gurunya adalah bersambung. 5. Hafṣah Nama lengkap: Hafṣah bin Sirīn, Ummu Hudail al Anshariyah al Bashriyah. Saudara perempuan Muhammad Sirīn(w. 101h).111 Guru dalam periwayatan hadits: Anas bin Malik, Ummu ‟Athiyah al Anshari, Yahya bin Sirīn Murid dalam periwayatan hadits: Ayyub as Sahtayani, Qatadah, Hisyam bin Hassan, „Abdullah bin ‟Aun, ‟Ashim al Ahwal Komentar kritikus hadits a) Al ‟Ijli: Ṡiqah 109
Ibid, juz 2, hlm. 404-408 Ahmad bin Hajar al „Asqalānī, op. cit, juz 1, hlm 349 111 Ibid, juz 12, hlm 438 110
b) Ibnu Hibbān mencatat namanya dalam kitab Ṡiqāt. c) Yahya bin Ma‟īn: Ṡiqah.112 Hafṣah adalah orang yang dinilai Ṡiqah oleh para kritikus hadits. Dengan demikian riwayat haditsnya adalah dapat dipercaya. 6. Ummu Athiyah113
112 113
Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, Op. cit, juz 22, hlm. 314 Lihat dalam penjelasan sebelumnya.
Skema sanad dari Imam Nasāi tentang perintah Nabi kepada perempuan haid agar menjauhi tempat shalat
ََصهىَّللاَ َعهَ ٍْ ِه َ َِسسى َلَّللا َو َسه ََى ََ َل ال ََطٍ َح ِ أ ُّوَع َ لَان َد َص َح َ َح ْف ٍََْ ع َُّىب َ ٌَأ ٍََْ ع َإِ ْس ًَ ِعٍم َحذثََُا
َال َ َل
َاسَج َ َع ًْشوَتٍَْص َس أَ ْخ َث َشََا ًانُسائ
Matan hadits yang diriwayatkan Muslim;
ٍ ت َّ الربِي ِع َّ َح َّدثَِِن أَبُو ْ َوب َع ْن ُُمَ َّمد َع ْن أ ُِّم َع ِطيَّةَ قَال ٌ َّالزْىَرِاّنُّ َحدَّثَنَا ََح ُ ُّاد َحدَّثَنَا أَي ِ أَمرنَا تَع ِِن النَِِّب صلَّى اللَّو علَي ِو وسلَّم أَ ْن ُُنْرِج ِف الْعِ َيدي ِن الْعواتِق وذَو ض أَ ْن ْ اْلُ ُدوِر َوأ ََمَر ْ ات ْ ََ َ َّاِلُي َ َّ َ َ َ ََ ْ َ َ ََ َْ ُ 114 ِ ِ ي َ صلَّى الْ ُم ْسلم َ يَ ْعتَ ِزلْ َن ُم
“Abū al Rabi‟ az Zahrani menceritakan kepadaku, Hammād menceritakan kepada kami, Ayyub menceritakan kepada kami, dari Muhammad, dari ummu „Athiyah, ia berkata: Rasulullah memerintahkan kami untuk mengajak perempuan pemilik hijab keluar pada hari id dan memerintahkan perempuan haid untuk menjauhi tempat shalat orang-orang muslim.” 7. Muslim115 8. Abū Rabi‟ az Zahrani Nama lengkap: Sulaimān bin Dāwud al ‟Ataki, terkenal dengan sebutan Abū al Rabi‟ az Zahrani al Bashri.(w. 234) Guru dalam periwayatan hadits: Malik, Hammād bin Zaid, Ismā‟īl bin Ja‟far, Ismā‟īl bin Zakaria, Jarīr bin Hāzim, ibnu al Mubarak. Murid dalam periwayatan hadits: Bukhārī, Muslim, Abū Dāwud, an nasāi melalui riwayat ‟Ali bin Sa‟id bin Jarīr Komentar kritikus hadits a) Ibnu Qani‟: Ṡiqah, ṣadūq b) Mūsalamah bin Qāsim: Ṡiqah c) Ibnu Hibbān mencatatnya dalam kitab Ṡiqāt d) Abū Rabi‟ az Zahrani adalah orang yang dinilai ṡiqah dan dicatat haditsnya. 116 9. Hammād Nama lengkap: Hammād bin Zaid bin Dirham, kunyahnya Abū Ismā‟īl al Bashri(w.180h) Guru dalam periwayatan hadits: Aban bin Taglib, Anas bin Sirīn, Ayyub as Sakhtiyani, Jamil bin Murrah, Salamah bin ‟Alqamah
114
Muslim bin al Hajjāj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah, t.th), juz. , hlm. Lihat dalam penjelasan sebelumnya 116 Ahmad bin Hajar al „Asqalānī, op. cit, juz 4, hlm 171-172 115
Murid dalam periwayatan hadits: Sa‟id bin Manshur, Abū ar Rabi‟ Sulaimān bin Manshur, „Abdullah bin Abdul Wahab, Shalih bin „Abdullah, Ahmad bin Ubadah. Komentar kritikus hadits a) Abdurrahman bin Mahdi: aku tidak pernah mengetahui orang yang lebih faqih dari Hammād bin Zaid di Basrah. b) Abū Zur‟ah: Hammād bin Zaid lebih tsabit daripada Hammād bin ‟Alqamah dalam banyak hal. c) Ibnu Hibbān: jiwanya dipenuhi dengan hafalan hadits, dan dia tidak meriwayatkan hadits kecuali yang dia hafal. 117 d) Al Khalili: Ṡiqah muttafaq alaih. 118 Tidak kritikus hadits yang mencelanya, ia dinilai sebagai orang yang Ṡiqah. Sehingga haditsnya diterima. 10. Ayyub 11. Muhammad 12. Ummu Athiyah119
117
Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, op. cit, juz 5, hlm. 165-167 Ahmad bin Hajar al „Asqalānī, op. cit, juz 3, hlm 11 119 Lihat dalam penjelasan sebelumnya 118
Skema sanad dari Imam Muslim tentang perintah Nabi kepada perempuan haid agar menjauhi tempat shalat
َسه َى ََ َو َ ًانُ ِث َ َصهىَّللاَ َعهَ ٍْ ِه َال َ َل ََطٍ َح ِ أ ِّوَع ْ لَا َن َد
ٍََْ ع
َي َحًذ ٍََْ ع َأٌَُّىب َحذثََُا ََحًاد َحذثََُا َ ًَُّ َِ ٍعَانض ْه َشا ِ أتىَانش ِت ًُِ ََحذث يسهى
Skema sanad gabungan dari berbagai mukharij
صهىَّللاَ َعهَ ٍْ ِهَ َسسى َل َِ َّللا َ َو َسه ََى َس ًِعْدَ لَ ََ ال َطٍ َحَ أ ِّوَع ِ ع ٍََْ
ع ٍََْ
ص َحَ َح ْف َ
ٍشٌٍََ ي َحًذَتٍْ ِ َس ِ َحذثََُا
ع ٍََْ
ع ٍََْ
ٌَ ِضٌذَتٍَْإِت َْشا ِهٍ َىَ
ُّىبَ أٌَ َ َحذثََُا
ع ٍََْ َإِ ْس ًَ ِعٍمَ الَ َل َ
َحذثََُا
َحذثَ َُا
اسَجَ َع ًْشوَتٍَْص َس َ أَ ْخثَ َشََا انُسائً
َحًادَ َحذثََُا َ ٍعَانض ْه َشا َِ ًَُّ أتىَانش ِت ِ َحذثًَُِ يسهى
َحذثََُا
ِع ًْ َشاٌَ َحذثََُا
الَ َل َ
يى َسىَتٍَْإِ ْس ًَا ِعٍ َمَ
َعثْذَّللاَِتٍَْ َس َخاءَ
َحذثَ َُا
الَ لَ َ تخاسي
G. Hadits Tentang Haid itu Bukanlah di Tangan Setelah melakukan penelusuran terhadap hadits ini ditemukan dari berbagai kitab hadits kecuali Shahih Bukhārī. Hadits- hadits ini diriwayatkan oleh Muslim: tiga riwayat, juz.1, hlm.244, 245, 245; Abū Dāwud: satu riwayat, juz.1, hlm.68; At Tirmiżī: satu riwayat, juz.1, hlm.64; An Nasāi: dua riwayat, juz.1 hlm.146, 147; Ibnu Mājah: satu riwayat, juz.1, hlm.208 Muslim meriwatkan hadits ini dengan berbagai redaksi yang sedikit berbeda.
ٍ ْو َحدَّثَنَا ََْيَي بْن ََْيَي وأَبُو بَ ْك ِر بْن أَِِب َشْيبَةَ وأَبُو ُكري ال ْاْل َخَر ِان َحدَّثَنَا َ ََخبَ َرنَا َوق َ َب ق ْ ال ََْي ََي أ ُ َ َ ُ َ َ َ ٍ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ أَبُو ُم َعا ِويَةَ َع ْن ْاْل َْع َم ت ْ َش َع ْن ثَابت بْ ِن ُعبَ ْيد َع ْن الْ َقاس ِم بْ ِن ُُمَ َّمد َع ْن َعائ َشةَ قَال ِِ ِ ِ ْ ول اللَّ ِو صلَّى اللَّو علَي ِو وسلَّم نَا ِولِ ِيِن ض ُ ال ِل َر ُس َ َق ْ َاْلُ ْمَرَة م ْن الْ َم ْسجد قَال ٌ ت إِ ِّّن َحائ ُ ْت فَ ُقل َ َ ََ َْ ُ 120 ِ ِ ِ َضت ت ف يَدك َ فَ َق ْ ك لَْي َس َ ال إِ َّن َحْي
“Yahya bin Yahya, Abū Bakar bin abi syaibah, dan Abū kuraib telah menceritakan kepada kami, telah menceritakan kepada kami Abū Muawiyah, dari A‟masy, dari Tsabit bin Ubaid, dari Qāsim bin Muhammad, dari „Aisyah, dia berkata, Nabi telah bersabda kepadaku: Ambillah sajadah ini dari masjid. Aisyah berkata: sesengguhnya aku sedang haid, Nabi bersabda: sesungguhnya haidmu bukanlah ditanganmu.” 1. Imam Muslim Nama lengkap: Abū Husain Muslim bin al Hajjāj al Qusyairy. Beliau dinisbatkan kepada Niasabury karena beliau adalah putra kelahiran Naisabur, pada tahun 204H. Yakni kota kecil di Iran bagian timur laut. Beliau juga dinisbatkan pada nenek moyangnya Qusyair bin Ka‟ab bin Rabi‟ah bin Shasha‟ah suatu keluarga bangsawan besar.(w.261 H.) Guru dalam periwayatan hadits: Yahya bin Yahya an Naisaburi, Abū Bakar bin Abī Syaibah, Murid dalam periwayatan hadits: Abū Hātim, Abū Isa at Tirmiżī, Yahya bin Sa‟id, Ibnu Khuzaimah. 121 Komentar kritikus hadits a) Mūsalamah bin Qāsim: Ṡiqah Jalil b) Ibnu Abī Hātim: Ṡiqah122 120 121
Muslim bin al Hajjāj, op. cit, juz.1 , hlm.244 Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, op. cit, juz 18, hlm.68-73
Para ahli kritik hadits tidak ada yang mencela Imam Muslim. Pujian- pujian yang diberikan juga pujian yang berperingkat tinggi dan tertinggi. Dengan demikian, pernyataan yang menyatakan bahwa ia menerima hadits dari Abū Kuraib dengan metode as sama‟ dapat dipercaya. Berarti juga sanad antara Imam Muslim dan Abū Kuraib statusnya bersambung. 2. Abū Kuraib Nama lengkap: Muhammad bin al ‟Ulai bin Kuraib al Hamdani , terkenal dengan sebutan Abū Kuraib al Kufī. Guru dalam periwayatan hadits: muawiyah bin hisyam al qasshari, Abū muawiyah, Abū kh‟Alid al Ahmar, „Abdullah bin Idris, Ibrāhīm bin Yusuf bin Ishāq Murid dalam periwayatan hadits: al jama‟ah, „Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Abū Hātim, Abū Zur‟ah. Komentar kririkus hadits a) Abū Hātim: ṣadūq b) An Nasāi: la ba‟sa bihi, pada tempat yang lain ṡiqah c) Ibnu Hibbān mencantumkan namanya dalam kitab ṡiqāt.123 d) Mūsallamah bin Qāsim: cukup ṡiqah e) Menurut Zahrah Bukhārī meriwatkan darinya 75 hadits dan muslim 556 hadits.124 Para kritikus hadits ada yang menilai Abū Kurai Ṡiqah, ada juga yang menilai Ṡiqah. Karena tidak ada kritikus yang mencelanya maka riwayat haditsnya dapat dipercaya. 3.
Yahya bin Yahya
Nama lengkap: Yahya bin Yahya bin Bakar bin Abdurrahman, Abū Zakaria an Naisaburi Guru dalam periwayatan hadits: Abū Mu‟awiyah Muhammad bin Hāzim, al Laitsu bin Sa‟īd, Malik bin Anas, Yahya bin Salim. 122
Ahmad bin Hajar al „Asqalānī, op. cit, juz 10, hlm 114-115 Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, op. cit, juz 17, hlm.113-114 124 Ahmad bin Hajar al „Asqalānī, Op. cit, juz 9, hlm 343 123
Murid dalam periwayatan hadits: Bukhārī, Muslim, „Abdullah bin Abdurrahman ad Darimi, Ahmad bin Salamah an Naisaburi, Tirmiżī, Nasāi. Komentar kritikus hadits a) Ahmad bin Hanbal: Ṡiqah b) An Nasāi: Ṡiqah al sabt.125 Tidak ada kritikus hadits yang mencelanya, bahkan an nasāi memberikan pujian yang tertinggi. Dengan demikian riwayat haditnys dapat dipercaya. 4.
Abū Bakar bin Abī Syaibah126
5.
Abū Muawiyah
Nama lengkap:
Muhammad bin Khāzim at tamami, terkenal dengan
sebutan Abū Muawiyah ad Daruri. Lahir pada tahun 113H dan meninggal pada tahun 194H. Guru dalam periwayatan hadits: Sulaimān al A‟masy, Hisyam bin Hasan, Yahya bin Sa‟īd al Anshari, Abī Malik al Asyja‟i. Murid dalam periwayatan hadits: Yahya bin Yahya an Naisaburi, Abū Bakar „Abdullah bin Muhammad bin Abī Syaibah, Abū Mūsa Muhammad bin al Mutsanna, Ahmad bin Hanbal. Komentar kritikus hadits a)
Al ‟Ijli: cukup Ṡiqah
b) Nasāi: Ṡiqah c)
Abū Dāwud: seorang murjiah,
d) Ibnu Hibbān mencantumkannya dalam kitab Ṡiqāt.127 e)
Ibnu Sa‟ad: Ṡiqah, banyak dari haditsnya mudallas dan dia seorang murjiah.128 Para kritikus hadits menilai Abū muawiyah bersifat ṡiqah.
Sebagian kritikus mengemukakan bahwa Abū Muawiyah murji‟ah. 125
Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, op. cit, juz 20, hlm.356 Lihat dalam penjelasan sebelumnya 127 Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, op. cit, juz 16, hlm.233-237 128 Ahmad bin Hajar al „„Asqalānī, op. cit, juz 9, hlm 121-122 126
Tampaknya yang dimaksudkan oleh kritikan itu berhubungan dengan paham teologi, bukan paham politik. Kejujuran seseorang dalam menyampaikan suatu berita tidak ditentukan oleh paham teologi yang dianutnya. Matan hadits tersebut juga tidak aada hubungannya dengan masalah paham murji‟ah. Karenanya pernyataan yang menyatakan bahwa Abū muawiyah menerima hadits dari al a‟masy dapat dipercaya meskipun menggunakan lambang ‟an dalam periwayatannya. Dengan demikian sanad dari Abū mu‟awiyah dan a‟masy bersambung. 6.
Al A‟masy
Nama lengkap: Sulaimān bin Mihran al Asadi al Kahili Guru dalam periwayatan hadits: tsAbīt bin ubaid, anas bin m‟Alik, thalhah bin Musharif, ‟Adi bin Tsabit, Yahya bin Wasab Murid dalam periwayatan hadits: Abū Muawiyah al Dharari, Abīdah bin Humaid, Jarīr bin Hāzim, Jarīr bin Abdul Humaid. Komentar kritikus hadits a) Ishāq bin Mansur: Ṡiqah b) An Nasāi: Ṡiqah tsabt.129 Al A‟masy adalah orang yang dinilai Ṡiqah oleh kritikus hadits, sehingga riwayat haditsnya dapat diterima.
7. Tsabit bin Ubaid Nama lengkap: Tsabit bin Ubaid al Anshari al Kufī Guru dalam periwayatan hadits: Anas bin Malik, Zaid bin Tsabit, al Qāsim bin Muhammad bin Abī Bakar as Shidiq, al Mughirah bin Syu‟bah, kaab bin ‟Ajrah. Murid dalam periwayatan hadits: Sulaimān al A‟masy, al Hajaj bin Arṭāh, Mi‟sar bin Kadam, Abdul Malik bin Humaid bin Abī Ganiyah, Sufyān as Sauri. Komentar kritikus hadits a) An Nasāi: Ṡiqah.130 129
Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, op. cit, juz 8, hlm.106-114
b) Ibnu Sa‟ad: Ṡiqah c) Ibnu Hibbān mencantumkan dalam kitabnya al Ṡiqah.131 Tidak seorang kritikus hadits pun yang mencelanya, dan ia dikenal sebagai orang yang Ṡiqah. Dengan demikian berita yang dibawanya adalah dapat dipercaya. 8.
Qāsim bin Muhammad
Nama lengkap: al Qāsim bin Muhammad bin Abī Bakar as Shidiq, meninggal pada tahun 107h Guru dalam periwayatan hadits: „Abdullah bin Abbās, Muawiyah bin Abī Sufyān, „Abdullah bin „Umar, Abū Hurairah, Asma‟ bin Qais Murid dalam periwayatan hadits: Tsabit bin Ubaid, „Abdullah bin ‟Aun, Yahya bin Sa‟īd al Anshari, „Umar bin Sa‟īd bin Abī Husain Komentar kritikus hadits a) Ahmad bin „Abdullah al ‟Ijli: Ṡiqah, rajul al shalih.132 b) Ibnu Hibbān menyebutnya sebagai tabiin yang ṡiqah.133 Qāsim bin Muhammad dikenal sebagai tabi‟in yang ṡiqah dan haditsnya diterima. 9. „Āisyah134
130
Ibid, juz 3, hlm.236 Ahmad bin Hajar al „Asqalānī, op. cit, juz 2, hlm 9 132 Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, op. cit, juz 15, hlm.184-189 133 Ahmad bin Hajar al „Asqalānī, op. cit, juz 8, hlm.301 134 Lihat dalam penjelasan sebelumnya 131
Skema sanad dari mukharij Imam Muslim tentang bolehnya perempuan haid mengambil sesuatu dari masjid
َصهىَّللاََ َعهَ ٍْ ِهَ َّللا َ َسسىل ِ َو َسه ََى لَ ََ ال عَائِ َشحََ ع ٍََْ
لَان ْ دَ
ْانمَا ِس ِىَت ٍَِْي َحًذَ ع ٍََْ دَت ٍَِْعثٍَْذَ ثَا ِت ِ شَ ْاْلَ ْع ًَ ِ او ٌَحََ أَتىَي َع ِ َحذثََُا أَتىَك َشٌْةَ
َحذثََُا ٌَحْ ٍَىَتٌٍََْحْ ٍَى
َحذثَ َُا
أَتىَتَ ْك ِشَتٍَْأَتًَِ َش ٍْثَ َحَ َحذثَ َُا
يسهى َ
Matan kedua dari riwayat Muslim;
ِ ِ ِاج واب ِن أَِِب َغنِيَّةَ عن ثَاب ٍ َْحدَّثَنَا أَبُو ُكري ت بْ ِن ُعبَ ْي ٍد َع ْن ْ َ ٍ ب َحدَّثَنَا ابْ ُن أَِِب َزائ َد َة َع ْن َح َّج َْ َ ٍ ِ ِ ت ْ َالْ َقاس ِم بْ ِن ُُمَ َّمد َع ْن َعائ َشةَ قَال ِِ ِ ِ ْ ول اللَّ ِو صلَّى اللَّو علَي ِو وسلَّم أَ ْن أُنَا ِولَو ض ُ أ ََمَرِّن َر ُس ٌ اْلُ ْمَرَة م ْن الْ َم ْسجد فَ ُق ْلت إِ ِّّن َحائ ُ َ َ ََ َْ ُ 135 ِ ت ِف يَدك ْ ال تَنَ َاولِ َيها فَِإ َّن َ فَ َق ْ ضةَ لَْي َس َ اِلَْي
“Abū Kuraib telah menceritakan kepada kami, Ibnu Abī Zaidah telah menceritakan kepada kami, dari Hajjāj dan Ibnu Abī Ganiyyah, dari Tsabit bin Ubaid, dari Qāsim bin Muhammad, dari ‟Aisyah, ia berkata: Nabi memerintahkan kepadaku untuk mengambil sajadah dari masjid, maka aku berkata: sesungguhnya aku sedang haid, Nabi bersabda: ambillah sajadah itu, sesungguhnya haidmu bukanlah ditanganmu.” 1. Muslim 2. Abū Kuraib136 3. Ibnu Abī Zaidah Nama lengkap: Zakaria bin Abī Zaidah, namanya adalah Khalid bin Maimun bin Fairuz (147 H) Guru dalam periwayatan hadits: Khalid bin Salamah, Sa‟īd bin Amru bin Asywa‟, Abdul Malik bin „Umair, Firas bin Yahya al Hamdani, Murid dalam periwayatan hadits: Yahya bin Sa‟īd al Qattan, Yazīd bin Harun, Waki; bin Jarrah, Abū Sa‟īd al Anshari Komentar kririkus hadits a) Yahya bin Ma‟īn: Shalih b) Ahmad bin Hanbal: Ṡiqah c) An Nasāi: Ṡiqah d) Abū Dāwud: Ṡiqah, kadang mentadliskan hadits. 137 Ibnu Abī Zaidah dikenal sebagai orag ṡiqah, meskipun menurut Abū Dāwud kadang ia mentadliskan hadits. Tetapi karena tidak adanya penjelasan tentang tadlis yang ia lakukan, maka riwayat tetap bisa diterima, mengingat banyak pujian yang diberikan oleh kritikus hadits selainnya.
135
Muslim bin al Hajjāj, op. cit, juz.1 , hlm.245 Lihat dalam penjelasa sebelumnya 137 Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, op. cit, juz 6, hlm.309-311 136
4. Hajjāj Nama lengkap: Hajjāj bin Arṭāh bin Tsaur bin Hubairah bin Syarahil, Abū Arṭāh al Kufī al Qadhi Guru dalam periwayatan hadits: Tsabit bin Ubaid, Jailah bin Sahim, Aṭa‟‟ bin Abī Rabah, Amru bin Syuaib, al Qāsim bin Abī Barrah. Murid dalam periwayatan hadits: Hamād bin Zaid, Hamād bin Salamah, Sufyān as Sauri, al Qāsim bin Nafi‟ al Madani, „Abdullah bin Numair Komentar kritikus hadits a) An Nasāi: laisa bihi ba‟sun b) Abdurrahman bin Yusuf bin Khuras: kadang-kadang mudallis dan kadang-kadang hafid lil hadits c) Abū Ahmad bin ‟Adi: orang-orang mencela dia karena melakukan tadlis terhadap az Zuhri dan yang lainnya, kadang-kadang juga melakukan kesalahan dalam periwayatan. Tapi ia bukanlah pendusta dan ia orang yang ditulis haditsnya. d) Bukhārī meriwayatkan darinya dalam kitab al Adab.138 e) Ibnu Hibbān menuliskannya dalam kitab Ṡiqah. 139 5. Ibnu Abī Ganiyah 6. Tsabit bin Ubaid 7. Al Qāsim bin Muhammad 8. „Āisyah140
138
Ibid, juz 4, hlm.136-140 Ahmad bin Hajar al „Asqalānī, op. cit, juz 2, hlm.174 140 Lihat dalam penjelasan sebelumnya 139
Skema sanad dari mukharij Imam Muslim tentang bolehnya perempuan haid mengambil sesuatu dari masjid
َصهىَّللاَ َعهَ ٍْ ِهَ َسسىلَّللاِ َ َو َسه ََى أَ َي َشًَِ عَائِ َش َحَ لَانَ ْ دَ
ع ٍََْ
ْانمَا ِس ِىَت ٍَِْي َحًذَ ع ٍََْ دَت ٍَِْع َثٍْذَ ثَا ِت ِ ع ٍََْ
ع ٍََْ
ات ٍَِْأَ ِتًَ َغ ٍُِحََ
َحداجَ
ع ٍََْ
ع ٍََْ ًَصا ِئ َذَجَ اتٍَْأَ ِت َ َحذثََُا أَتىَك َشٌْةَ َحذثََُا يسهى
Matan ketiga yang diriwayatkan oleh Muslim berbunyi;
ِ ٍ ِاِت ُكلُّهم عن ََيَي ب ِن سع ِ ٍ ال ُزَىْي ٌر َحدَّثَنَا َ َيد ق َ ْ َ ْ ْ َ ْ ُ ٍ َح َّدثَِِن ُزَىْي ُر بْ ُن َح ْرب َوأَبُو َكام ٍل َوُُمَ َّم ُد بْ ُن َح ال َ َََْي ََي َع ْن يَِز َيد بْ ِن َكْي َسا َن َع ْن أَِِب َحا ِزٍم َع ْن أَِِب ُىَريْ َرةَ ق ِ ِ ِ ُ ب ي نَما رس ت إِ ِّّن َ صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ِف الْ َم ْس ِج ِد فَ َق ْ َب فَ َقال َ ال يَا َعائ َشةُ نَا ِول ِيِن الث َّْو َ ول اللَّو ُ َ َ َْ 141 ِ ِِ ِ َضت َ ض فَ َق ْ ك لَْي َس َ ال إِ َّن َحْي ٌ َحائ ُت ِف يَدك فَنَ َاولَْتو
“Zuhair bin Harb, Abū Kāmil, dan Muhammad bin Hātim telah menceritakan kepadaku, seluruhnya dari Yahya bin Sa‟īd, Zuhair berkata Yahya telah menceritakan kepada kami, dari Yazīd bin Kaisan, dari Abī hazim, dari Abū Hurairah, dia berkata: Rasulullah berada diantara kami ketika di masjid, beliau bersabda: wahai „Aisyah ambillah baju itu,dia berkata: sesungguhnya aku sedang haid, Nabi bersabda: sesungguhnya haidmu bukanlah ditanganmu, maka ambillah.” 1. Muslim142 2. Zuhair bin Harb Nama lengkap: Zuhair bin Harb bin Syaddad al Harasyi. Meninggal pada tahun 234h. Guru dalam periwayatan hadits: Yahya bin Sa‟īd al Qattan, Yazīd bin Harun, Ahmad bin Ishāq al Hadhrami, Zaid bin Hubab, „Abdullah bin Numair, Ya‟qub bin Ibrāhīm Murid dalam periwayatan hadits: Bukhārī, Muslim, Abū Dāwud, Ibnu Mājah, Ibrāhīm bin Ishāq al Harani, Komentar kritikus hadits a) Yahya bin Ma‟īn: Ṡiqah b) Abū Hātim: ṣadūq c) An Nasāi: Ṡiqah ma‟mun d) Al Husain bin Fahmun: Ṡiqah tsabt.143 Zuhair bin Harb dikenal sebagai orang yang Ṡiqah dan riwayat haditsnya diterima. 3. Abū Kāmil
141 142
Muslim bin al Hajjāj, Shahih Muslim………………..juz.1 , hlm.246 Lihat dalam penjelasan sebelumnya
143
Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, op. cit, juz 6, hlm.335-336
Nama lengkap: Fudail bin Husain bin Thalhah al Basri, meninggal pada tahun 237h Guru dalam periwayatan hadits: Yahya bin Sa‟īd al Qattan, „Abdul Wāhid bin Ziyād, Basyar bi Mufaḍal, Ismā‟īl bin ‟Ulayah, Sulaim bin Akhḍar. Murid dalam periwayatan hadits: muslim, Bukhārī, Abū Dāwud, an Nasāi, Zakaria bin Yahya al Sijzi Komentar kritikus hadits a) Ibnu Hibbān mencantumkannya dalam kitab al Ṡiqāt.144 b) Ibnu Abī Hātim: Ṡiqah.145 Tidak ada kritikus yang mencelanya dan ia dikenal sebagai orang yang Ṡiqah. Jadi, riwayat haditsnya dapat dipercaya. 4. Muhammad bin Hātim Nama lengkap: Muhammad bin Hātim bin Maimun al Bagdadi, kunyahnya Abū „Abdullah Guru dalam periwayatan hadits: Yahya bin Sa‟īd al Qattan, Yazīd bin Harun, Yunus bin Muhammad, „Abdullah bin Numair, Ya‟qub bin Ibrāhīm Murid dalam periwayatan hadits: Muslim, Abū Dāwud, al Hasan bin Sufyān an Nasāi, „Abdullah bin Shalih, Abū Hātim Muhammad bin Idris Komentar kritikus hadits a) Ad Daruqutni: Ṡiqah b) Abdul Baqi bin Qani‟: ṣadūq c) Ibnu
Hibbān
mencamtumkan
namanya
dalam
kitab
Ṡiqāt
karangannya. 146 d) Ibnu Hajar: ṣadūq, kadang- kadang wahm. 147 Tidak ada kritikus yang mencelanya, hanya ibnu hajar mengatakan bahwa ia wahm. Tetapi hal itu tidak membuat riwayatnya tertolak, karena wahm bukanlah sebuah cacat yang parah bagi periwayat hadits. Dengan demikian haditsnya dapat dipercaya. 144
Ibid, juz.15, hlm. 99-100 Ahmad bin Hajar al „„Asqalānī, op. cit, juz 8, hlm.261 146 Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, op. cit, juz 16, hlm.181-182 147 Ibid, hlm.472 145
5. Yahya bin Sa‟īd Nama lengkap: yahya bin Sa‟īd bin farrukh al qattan at tamimi, terkenal dengan sebutan Abū Sa‟īd al basri Guru dalam periwayatan hadits: Yazīd bin kaisan, Ismā‟īl bin Abī kh‟Alid, sufyān as shauri, Abū hayan al taimi, m‟Alik bin anas Murid dalam periwayatan hadits: Abū Kāmil fudail bin husain al juhdi, Muhammad bin hātim bin maimun al samin, Abū Mūsa Muhammad bin al Mūsanna Komentar kritikus hadits a) Abū hātim: Ṡiqah hafid b) An Nasāi: Ṡiqah tsabt c) Abū Zurah: Ṡiqah hufad.148 Yahya bin Sa‟īd dikenal sebagai orang yang Ṡiqah, bahkan pujianpujian yang diberikan kepadanya adalah pujian yang tertinggi. Sehingga riwayat haditsnya dapat dipercaya. 6. Yazīd bin Kaisan Nama lengkap: Yazīd bin Kaisan al Yasykuri, Abū Ismā‟īl. Ada juga yang mengatakan Abū Manin Guru dalam periwayatan hadits: Salman bin Hāzim al Asyja‟i, Ma‟bid al Azhar Murid dalam periwayatan hadits: „Abdul Wāhid bin Ziyād, Yahya bin Sa‟īd al Qattan, Abū Khalid al Ahmar, Marwan bin Muawiyah al Fazari, Komentar kritikus hadits a) Ishāq bin Mansur: Ṡiqah b) Abū Hātim: ditulis haditsnya, saduq c) Dicantumkan oleh Ibnu Hibbān dalam kitab Ṡiqātnya. 149 Tidak ada kritikus yang mencelanya dan riwayatnya dapat dipercaya. 7. Abī Hāzim Nama lengkap: Salman, Abū Hāzim al Asyja‟i al Kufī 148 149
Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, op. cit, juz 20, hlm.98-99 Ibid, hlm. 370
Guru dalam periwayatan hadits: Abū Hurairah, al Hasan bin „Ali bin Abī Thalib, al Husain bin „Ali bin Abī Thalib, „Abdullah bin Zubair, „Abdullah bin „Umar bin Khathab,(meninggal pada masa Khalīfah „Umar bin Abdul Azīz) Murid dalam periwayatan hadits: Yazīd bin Kaisan, harun bin Sa‟īd, Muhammad bin Marwan ad Duhli, Fudhail bin Gazwan, Thalhah bin Muṣarrif Komentar kritikus hadits a) Abū Dāwud: Ṡiqah b) Rawa al jama‟ah.150 c) Ibnu Sa‟ad: Ṡiqah d) Ibnu Hibbān mencantumkannya dalam kitab tsiqaah. 151 Abū Hāzim adalah orang yang Ṡiqah dan diterima riwayatnya. 8. Abū hurairah Nama lengkap: Abū Hurairah ad Dusi al Yamani, para ulama berbeda pendapat tentang namanya yang asli dan juga nama ayahnya. Ada yang mengatakan namanya ‟Abdur Rahman Ṣakhra, pendapat yang lain mengatakan namanya Ibnu Ganam, ada juga yang mengatakan namanya adalah „Abdullah bin ‟Aid.(w. 59 H.) Guru dalam periwayatan hadits: Nabi, Abū Bakar, „Umar, al Fadlu Ibnu Abbās bin Abdul Muthalib, Ubay bin Ka‟ab, Usamah bin Zaid, ‟Āisyah, dll. Murid dalam periwayatan hadits: Ibnu Abbās, Ibnu „Umar, Anas, Jābir, Marwan, dll. Komentar kritikus hadits a) Ibnu „Umar: Abū Hurairah lebih baik dariku dan lebih tahu (hadits) b) Ibnu Hajar: shahabat yang besar dan hafidz. 152 Abū Hurairah adalah sahabat yang banyak meriwayatkan hadits, meskipun ia banyak dikritik oleh para Orientalis tetapi hal itu tidak 150
Ibid, juz. 7, hlm.422-423 Ahmad bin Hajar al „Asqalānī, op. cit, juz 4, hlm.123 152 Ibid, juz 12, hlm. 237-240 151
mengurangi keṠiqahannya. Dengan demikian riwayat haditsnya dapat dipercaya.
Skema sanad dari mukharij Imam Muslim tentang bolehnya perempuan haid mengambil sesuatu dari masjid
ََصهىَّللاَ َعهَ ٍْ ِه َ َِسسىلَّللا ََ َو َسه َى َال َ ل َأَ ِتًَه َشٌ َْشَج ٍََْ ع َاصو َ أَ ِت ِ ًَح ٍََْ ع ٌٌَََ ِضٌذََت ٍَِْ َك ٍْ َسا ٍََْ ع ٌََحْ ٍَىَت ٍَِْ َس ِعٍذ ٍََْ ع َأَتىَ َكا ِيم
ََحا ِذى َ ٍْي َحًذَت ًََُِحذث يسهى
ََحذثَََُِا ََحشْ ب َ ٍْص َهٍْشَت
Matan riwayat an Nasāi;
ٍ ِال حدَّثَنا ََيَي بن سع ال َ َال ق َ َال َح َّدثَِِن أَبُو َحا ِزٍم ق َ َيد َع ْن يَِز َيد بْ َن َكْي َسا َن ق ْأ َ ُ ْ َ ْ َ َ َ ََخبَ َرنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن الْ ُمثَ ََّّن ق َأَبُو ُىَريْ َرة ِ ِ ِ ُ ب ي نَما رس ت إِ ِّّن ََل َ َصلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ِف الْ َم ْس ِج ِد إِ ْذ ق ْ َب فَ َقال َ ال يَا َعائ َشةُ نَا ِول ِيِن الث َّْو َ ول اللَّو ُ َ َ َْ 153 ِِ ِ َ َُصلِّي ق ُس ِف يَدك فَنَ َاولَْتو َأ َ ال إنَّوُ لَْي “Muhammad bin al Mutsanna telah mengabarkan kepada kami, dia berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa‟id, dari Yazid bin Kaisan, dia berkata, Abū Hazim telah menceritakan kepada kami, dia berkata, Abū Hurairah telah berkata, kami berada diantara Rasulullah di masjid ketika beliau bersabda: wahai „Aisyah ambillah baju itu, ia berkata; sesungguhnya aku sedang tidak shalat, Nabi bersabda: sesungguhnya haidmu bukanlah ditanganmu, maka ambillah.” Rawi dari hadits hadits di atas adalah sebagai berikut; 1.
An Nasāi154
2.
Muhammad bin al Mutsanna
Nama lengakap: Muhammad bin al Mutsanna bin Ubaid bin Qais bin Dinar, terkenal dengan sebutan Abū Mūsa al Bashri(w.252) Guru dalam periwayatan hadits: Yahya bin Sa‟id al Qatthan, Hajjāj bin Minhal, Ishāq bin Yunus, al Walid bin Muslim, Abū Muawiyah, dll. Murid dalam periwayatan hadits: al jama‟ah, Abū hātim, Abū zur‟ah komentar kritikus hadits a) Ahmad bin Hanbal: Ṡiqah b) Abū Mūsa: hujjah c) Shalih bin Muhammad al Hafid: ṣadūq d) Abū hātim: Shalih al hadits, ṣadūq e) An Nasāi: la ba‟sa bihi f) Ibnu Hibbān mencantumkan namanya dalam kitab Ṡiqāt.155 g) Ad Duhli: Ṡiqah h) Ad Daruquthni: Ahad al Ṡiqah.156 153
Abū Abdurrahman Ahmad bin Syuaib, op.cit, hlm.146 Lihat dalam penjelasan sebelumnya 155 Ibid, juz. 17, hlm.189- 192 154
3.
Yahya bin Sa‟id
4.
Yazīd bin Kaisan
5.
Abū Hāzim
6.
Abū Hurairah Skema sanad dari mukharij Imam Nasāi tentang bolehnya perempuan haid mengambil sesuatu dari masjid
ََصهىَّللاَ َعهَ ٍْ ِه َ ََِسسىلَّللا َو َسه ََى َأَتىَه َشٌ َْشَج َال َ َل َاصو َ أَت ِ ىَح َال َ َل
ًُِ ََحذث
ٌٌَََ ِضٌذََ ْتٍَ َ َك ٍْ َسا َال َ َل
ٍََْ ع
ٌََحْ ٍَىَتٍَْ َس ِعٍذ َحذثََُا ْ ٍْي َحًذَت َانًثَُى َال َ َل
ا ْخثَ َشََا
ًانُسائ
156
Ahmad bin Hajar al „Asqalānī, Tahdzib al Tahdzib…………juz 1, hlm.34
Matan kedua yang diriwayatkan oleh Nasāi
ِ ِ ِ ْشحوأ ِ ال َح َّدثَنَا َج ِر ٌير َع ْن ْاْل َْع َم ِ َخبَ َرنَا قُتَ ْيبَةُ َع ْن َعبِ َيد َة َع ْن ْاْل َْع َم ش َ َيم ق ْأ َ َخبَ َرنَا إ ْس َح ُق بْ ُن إبْ َراى ِ ت ب ِن عب ي ٍد عن الْ َق ِِ َ َاس ِم ابْ ِن ُُمَ َّم ٍد ق ُت َعائِ َشة ْ َال قَال ْ َ ْ َُ ْ َع ْن ثَاب ِِ ِ ِ ْ ول اللَّ ِو صلَّى اللَّو علَي ِو وسلَّم نَا ِولِ ِيِن ول ُ ال َر ُس َ ض فَ َق ُ ال ِل َر ُس َ َق ٌ ت إِ ِّّن َحائ ُ اْلُ ْمَرةَ م ْن الْ َم ْسجد فَ ُق ْل َ َ ََ َْ ُ ِ ِ ِ ُضت ك ِف يَ ِد ِك ْ صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم لَْي َس َ ت َحْي َ اللَّو 157 ِ ِ ِْ ش ِِبَ َذا ِ ال إِ ْس َح ُق أَنْبَأَنَا أَبُو ُم َعا ِويَةَ َع ْن ْاْل َْع َم اْل ْسنَاد مثْ لَو َ َق “Qutaibah telah mengabarkan kepada kami, dari „Abidah, dari A‟masy, tahwil ishaq bin ibrahim telah menceritakan kepada kami, dia berkata jariri telah menceritakan kepada kami, dari a‟masy, dari tsabit bin „ubaid, dari Qāsim bin Muhammad, dia berkata, „Aisyah berkata: Rasulullah bersabda kepadaku: ambillah sajadah itu dari masjid, aku berkata: sesungguhnya aku nsedang haid, Rasul bersabda; sesungguhnya haidmu bukanlah ditanganmu, maka ambillah. Ishaq berkata, Abū muawiyah telah menceritakan kepada kami, dari A‟masy dengan sanad seperti di atas.” 1. An Nasāi158 2. Qutaibah Nama lengkap: Qutaibah bin Sa‟īd bin Jamili bin Tharif bin „Abdullah al tsaqafi. Menurut Abū Ahmad namanya adalah Yahya bin Sa‟īd, Qutaibah adalah laqab sedangkan menurut Abū „Abdullah bin Mandah namanya adalah „Ali.( 148- 174H) Guru dalam periwayatan hadits: Abīdah bin Humaid, Hātim bin Ismā‟īl al madani, Hammād bin Zaid, Hajjāj bin Muhammad al Missi. Murid dalam periwayatan hadits: Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Sa‟īd ad Darimi, al jama‟ah kecuali Ibnu Mājah Komentar kritikus hadits a) Abū hātim: Ṡiqah b) An Nasāi: Ṡiqah, ṣadūq.159 c) Bukhārī meriwayatkan darinya sebanyak 308 hadits dan muslim sebanyak 668.160
157
Abū Abdurrahman Ahmad bin Syuaib, Sunan al Nasāi........, hlm 147 158 Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. 159 Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, Tahdzib al Kamal …………….juz 15, hlm.236-247 160 Ahmad bin Hajar al „„Asqalānī, Tahdzib al Tahdzib…………juz 1, hlm.34
Tidak ada kritikus hadits yang mencelanya, semua kritikus menilai dia Ṡiqah. Sehingga riwayat haditsnya dapat diterima dan sanad antara dia dan gurunya adalah bersambung. 3. Abīdah Nama lengkap: Abīdah bin Humaid bin Syu‟aib at Taimi (107-190h) Guru dalam periwayatan hadits: Sulaimān al A‟masy, „Abdul Azīz bin rafi‟, abdul m‟Alik bin rafi‟, Yazīd bin Abī Ziyād, yusuf bin shuaib Murid dalam periwayatan hadits: qutaibah bin Sa‟īd, Muhammad bin hātim, „Abdullah bin Muhammad al adrafi, Muhammad bin salam Komentar kritikus hadits a) Ahmad bin Hanbal: laisa bihi ba‟sun b) Yahya bin Ma‟īn: Ṡiqah c) An Nasāi: laisa bihi ba‟sun.161 d) Ad Daruquthni: Ṡiqah e) Ibnu Hibbān mencantumkannya dalam kitab Ṡiqah. f) Al ‟Ijli: la ba‟sa bihi.162 Dia adalah orang yang Ṡiqah dan dipercaya riwayatnya. 4. Al A‟masy163 5. Ishāq bin Ibrāhīm Nama lengkap: Ishāq bin Ibrāhīm bin Makhlad bin Ibrāhīm bin Mathrin(w.177H.) Guru dalam periwayatan hadits: Jarīr bin Abdul Humaid al Razi, Abū Muawiyah Muhammad bin Hāzim, waki‟ bin Jarah, Ya‟qub bin Ibrāhīm, Mu‟ad bin Hisyam Murid dalam periwayatan hadits: al jama‟ah kecuali Ibnu Mājah, Ahmad bin Sa‟īd ad Darimi, Muhammad bin Aflah Komentar kritikus hadits
161
Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, op. cit, juz 15, hlm.236-247 Ahmad bin Hajar al „Asqalānī, op.cit, juz 1, hlm.34 163 Lihat dalam penjelasan sebelumnya 162
a) Abū Hātim: aku berkata kepada Abū Zur‟ah bahwa Ishāq bin Ibrāhīm adalah orang yang hafid sanad dan matan hadits. Benar-benar mengagumkan, tidak pernah melakukan kesalahan, dan dikaruniai hafalan yang bagus. b) Abū Zur‟ah: aku tidak melihat orang yang lebih hafidh dari Ishāq c) Ad Darimi: orang yang menguasai barat dan timur.164 Tidak ada kritikus yang mencelanya dan ia dikenal sebagai orang yang Ṡiqah. Sehingga riwayat haditsnya dapat dipercaya. 6. Jarīr Nama lengkap: Jarīr bin Abdul Humaid bin Qurthin, terkenal dengan Abū „Abdullah ar Razi. Lahir di Ayyah (sebuah desa di Asbahan), dan tumbuh di Kufah Guru dalam periwayatan hadits: Sufyān as Sauri, Sulaimān al A‟masy, Ubaidillah bin „Umar, Aslam bin al Minqari, Sulaimān at Tamimi Murid dalam periwayatan hadits: ahmad bin Muhammad bin hanbal, ibrāhīm bin syammas, Ishāq bin Mūsa al Anshari, Sa‟īd bin Manshur, Ishāq bin Ismā‟īl Komentar kritikus hadits a) An Nasāi: Ṡiqah b) Abdurrahman bin Yusuf bin Khurasy: ṣadūq.165 c) Abū Ahmad al Hakim: Ṡiqah d) Al Khalili: Ṡiqah muttafaq alaih. 166 Tidak ada seorang kritikus yang mencelanya. Para kritikus mengakui bahwa ia adalah orang yang Ṡiqah. Dengan demikian pernyataan bahwa ia menerima hadits dari tsabit bin ubaid dapat dipercaya. Karena sanad antara dia dan tsabit bersambung. 7. Tsabit bin Ubaid 8. Al Qāsim bin Muhammad 9. „Āisyah 164
Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, Op. cit, juz Ibid, juz.3, hlm.357-364 166 Ahmad bin Hajar al „Asqalānī, Tahdzib al Tahdzib…………juz 4, hlm.66 165
10. Abū Mu‟awiyah167 Skema sanad dari mukharij Imam Nasāi tentang bolehnya perempuan haid mengambil sesuatu dari masjid
ََصهىَّللاَ َعهَ ٍْ ِه َ َِسسىلَّللا َو َسه ََى ََ َل ال ََعَا ِئ َشح ْ َلَان َد َْانمَا ِس ِىَت ٍَِْي َحًذ َال َ َل
ٍََْ ع
َدَت ٍَِْعثٍَْذ ِ ثَا ِت ٍََْ ع َْ َش ِ ًَ اْل ْع ٍََْ ع
ٍََْ ع
ََاوٌَح ِ أَتىَي َع
ََخ ِشٌش
ٍََْ ع
َال َ َل
َحذثََُا
أَ ْخثَ َشََا ًانُساَئ
Lihat dalam penjelasan sebelumnya
ٍََْ ع َلرَ ٍْثَح
َإِس َْحكَتٍَْإِ ْت َشا ِهٍ َى أَ ْخثَ َشََا
167
َََع ِثٍ َذج
Skema sanad gabungan dari berbagai mukharij
َصهىَّللاَ َعهَ ٍْ ِهَ َسسىلَّللاِ َ َو َسهَ ََى
الَ َل َ عَائِ َش َحَ
أَتىَه َشٌ َْشَجَ
ٍَ لَان ْ دَََ ع َْ
الَ لَ َ اصوَ أَت َ ىَح ِ ع ٍََْ
ْانمَا ِس ِىَت ٍَِْي َحًذَ
الَ َحذثًَُِ لَ َ ٌَ ِضٌذََ ْتٍَ َ َك ٍْ َساٌََ
ع ٍََْ دَت ٍَِْعثٍَْذَ ثَاتِ ِ ع َْ ٍَ شَ ْاْلَ ْع ًَ ِ
ع ٍََْ ات ٍَِْأَ ِتًَ َغ ٍُِح
َحداجَ
ع ٍََْ َع ِثٍ َذجََ ع ٍََْ لرَ ٍْثَحَ
َخ ِشٌشَ َحذثَ َُا س َحكَ إِ َْ
او ٌَحََ أَتىَي َع ِ أَتٍَْأَ ِتًَ َش ٍْ َثحََ َحذثََُا
اتٍَْأَ ِتًَ َصائِ َذَجَ
َحذثَ َُا ٌَحْ ٍَىَ
َََا ْخ َث َشََا
ٌَحْ ٍَىَتٍَْ َس ِعٍذَ ع ٍََْ ي َحًذَتٍَْ َحذثََُا َحاذِىَ أَتىَك َشٌْةَ
ع ٍََْ أَتىَ
َحذثََُِ ي
َحذثََُا
ا ْخثَ َشََا انُسائً
يسهى َ
َحذثََُا صهٍَْشَ
َكا ِيمَ َحذثََُِ َحذثََُِ ي ي
َحذثََُا ي َحًذَ
H. Hadits Tentang Perintah Nabi Kepada Salah Satu Istrinya yang Sedang Haid Untuk Membentangkan Sajadah di Masjid. Hadits tentang perintah Nabi kepada istrinya yang sedang haid untuk membentangkan sajadah di masjid ada dalam beberapa kitab, Sunan An Nasāi: dua riwayat, juz.1 hlm.147; juz.2, hlm. 123 dan Musnad Ahmad bin Hanbal: dua riwayat, juz6 hlm. 331, 334. Matan yang diriwayatkan oleh Nasāi,
ٍ أَخب رنَا ُُم َّم ُد بن مْنصوٍر عن س ْفيا َن عن مْنب وذ َع ْن ُ َ ْ َ َ ُ ْ َ ُ َ ُ ْ َ ََْ ِ ت ْ َأ ُِّمو أ ََّن َمْي ُمونَةَ قَال ِ ِ ُ َكا َن رس ض ُع َرأْ َسوُ ِف ِح ْج ِر إِ ْح َدانَا فَيَْت لُو الْ ُق ْرآ َن َوِى َي َ َصلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم ي َ ول اللَّو َُ 168 ِ ِ ِِ ِِ ِ ِ ض ٌ وم إِ ْح َدانَا ِبُ ْمَرتو إِ ََل الْ َم ْسجد فَتَْب ُسطُ َها َوى َي َحائ ٌ َحائ ُ ض َوتَ ُق “Muhammad bin Mansur telah menceritakan kepada kami, dari sufyan, dari manbud, dari ibunya, sesungguhnya maimunah berkata: Rasulullah meletakkan kepala dipaha salah satu dari kami yang sedang haid dan Rasul membaca alquran, kemudian salah satu dari kami berdiri dengan membawa sajadah kemasjid dan membentangkannya padahal dia sedang haid.” 1. Muslim 2. Muhammad bin Manshur Nama lengkap: Muhammad bin Manshur bin Tsabit bin Khalid al Khiza‟i(w.252) Guru dalam periwayatan hadits: Khallâd bin Yahya, Sufyān bin ‟Uyainah, Marwan bin Muawiyah, al Walid bin Muslim, Ya‟qub bin Muhammad. Murid dalam periwayatan hadits: An Nasāi, Ibrāhīm bin Muhammad bin al Hasan, Ibrāhīm bin Mūsa, Zakariya bin Yahya, „Abdullah bin Shalih al Bukhārī. Komentar kritikus hadits a) Ad Daruquthni: Ṡiqah 168
Abū Abdurrahman Ahmad bin Syuaib, Sunan al Nasāi........juz.2, hlm 123
b) Ibnu Hibbān meuliskan namanya dalam kitab tsiqāh. 169 c) An Nasāi: Ṡiqah.170 d) Muhammad bin Manshur adalah orang yang Ṡiqah dan dipercaya riwayat haditsnya. 3. Sufyān Nama lengkap: Sufyān bin ‟Uyainah bin Abī ‟Imran. Sufyān hidup di Makkah dan meninggal di situ pula. Guru dalam periwayatan hadits: Sa‟īd bin Hassān, Abī Hāzim Salamah bin Dinar, Zabad bin Sa‟ad, Sulaimān al A‟masy, Manbūd bin Abī Sulaimān. Murid dalam periwayatan hadits: Ibrāhīm bin Dinar, Ishāq bin Ismā‟īl, Hajjāj bi Minhal, Muhammad bin Manshur, Muhammad bin Yahya. 171 Komentar kritikus hadits a) Ahmad bin hanbal: aku tidak pernah melihat salah seorang fuqaha‟ yang lebih paham tentang quran dan sunnah daripa Sufyān bin ‟Uyainah b) Ibnu Sa‟ad: Ṡiqah tsabt, banyak dari haditsnya yang dijadikan hujjah c) Abū Hātim: Ibnu ‟Uyainah Ṡiqah. 172 Tidak ada seorang kritikus yang mencelanya. Para kritikus mengakui bahwa ia orang yang Ṡiqah. Dengan demikian pernyataan yang mengatakan bahwa ia menerima riwayat hadits dari Manbūd dapat dipercaya. Sehingga sanad antara dia dan Manbūd dalam keadaan bersambung. 4. Manbūd Nama lengkap: Manbūd bin Abī Sulaimān al Makki, ada yang mengatakan namanya Sulaimān, Manbūd adalah laqabnya Guru dalam periwayatan hadits: ummuhu, ‟Utbah bin Muhammad, Murid dalam periwayatan hadits: Ibnu Juraij, ‟Amru bin Sa‟īd, Ibnu ‟Uyainah, dll.
169
Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, Tahdzib al Kamal …………….juz.17, hlm.260-261 170 Ahmad bin Hajar al „Asqalānī, Tahdzib al Tahdzib…………juz 9, hlm.417 171 Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, op. cit, juz.7, hlm.268-382 172 Ahmad bin Hajar al „„Asqalānī, op. cit, juz 4, hlm.106
Komentar kritikus hadits a) Ishāq bin Mansur: Ṡiqah b) Ibnu Hibbān mencamtumkan namanya dalam kitab Ṡiqah c) Yahya bin Ma‟īn: Manbūd Ṡiqah d) An Nasāi meriwayatkan darinya satu hadits e) Ibnu Hajar: Maqbūl. 173 Tidak kritikus yang mencelanya, sehingga riwayat haditsnya diterima. Dengan demikian sanad antara dia ibunya bersambung. 5. Ummuhu Nama lengkap: ummu Manbūd bin Abī Sulaimān Guru dalam periwayatan hadits: Maimunah istri Nabi Murid dalam periwayatan hadits: anak laki-lakinya Manbūd bin Sulaimān Komentar kritikus hadits a) Ibnu Hajar: Maqbūlah. 174 Ummu Manbūd adalah orang yang tidak begitu dikenal sebagai orang yang meriwayatkan hadits, tetapi ia Maqbūlah menurut ibnu hajar. Karena jarangnya literatur yang menerangkan siapa dia, riwayat haditsnya hanya bisa diterima apabila ia mempunyai muttabi‟ yang kuat.
6. Maimunah Nama lengkap: Maimunah bintu al Haris al Hilaliyah, istri Nabi yang dinikahi pada tahun ke enam hijrah(w.66h) Guru dalam periwayatan hadits: Nabi Murid dalam periwayatan hadits: al ‟Aliyah bintu Sabi‟, „Abdullah bin Abbās, „Abdullah bin Syaddad, Aṭa‟ bin yasar, dll. 175 Komentar kritikus hadits Maimunah adalah sahabat dan sekaligus Ummul Mu‟minin yang tidak diragukan lagi keṠiqahannya. 173
Ibid, juz.10, hlm.265 Ibid, juz.12, hlm.433 175 Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, Tahdzib al Kamal …………….juz.22, 174
hlm.434
Skema sanad dari mukharij Imam Nasāi tentang perintah Nabi kepada istrinya yang sedang haid untuk membentangkan sajadah di masjid
َصهىَّللاََ َعهَ ٍْ َِهَ َو َسه َى َ َََِسسىلََّللا ٌَََكا ََيًٍْىََ َح َ َأ ٌ
ْ َلَان َد
َأ ِّي ِه ٍََْ ع ََي ُْثىر ٍََْ ع ٌََسَ ْف ٍَا ٍََْ ع َي َحًذََتٍََْ َي ُْصىس أَ ْخثَ َشََا ًانُسائ
Matan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad;
ِ َّ حدَّثَنَا عب ُد َ ََخبَ َرنَا ابْ ُن ُجَريْ ٍج ق ْ َخبَ َرِّن َمْنبُوذٌ أ ََّن أ َُّموُ أ ْ ال أ ْ الرزَّاق َوابْ ُن بَ ْك ٍر قَ َاَل أ َْ َ َُخبَ َرتْو ِ ِ ِ ٍ َّصلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم إِ ْذ َد َخل َعلَْي َها ابْ ُن َعب اس ِّ ِأَنَّ َها بَْي نَا ى َي َجال َسةٌ عْن َد َمْي ُمونَةَ َزْو ِج الن َ َِّب َ ِ ضةُ ِم ْن الْيَ ِد لَ َق ْد ْ ِن َوأَيْ َن َ َك َشعِثًا ق ْ َض فَ َقال َ َت َما ل ْ َفَ َقال َ اِلَْي ََّ َُي ب ٌ ال أ ُُّم َع َّما ٍر ُمَر ِّجلَِِت َحائ ْتأ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ض ُّ َِكا َن الن ٌ ض قَ ْد َعل َم أَن ََّها َحائ ٌ صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم يَ ْد ُخ ُل َعلَى إِ ْح َدانَا َوى َي ُمتَّكئَةٌ َحائ َ َِّب ِ اع َدةً وِىي حائِض فَيت ِ ََّكئ علَي ها أَو ي ْدخل علَي ها ق ِ ِ َّك ُئ ِف َ ْ َ ُ ُ َ ْ َ ْ َ ٌ فَيَتَّك ُئ َعلَْي َها فَيَْت لُو الْ ُق ْرآ َن َوُى َو ُمت َ ٌ َ َ َ ِ ِحج ِرىا فَيْت لُو الْ ُقرآ َن ِف ِحج ِرىا وتَ ُق ِ ال ابْ ُن بَ ْك ٍر ْ ُط لَو َ َص ََّّلهُ وق ُ ض فَتَْب ُس ٌ وم َوى َي َحائ َ اْلُ ْمَرةَ ِف ُم ُ َ َْ َ َْ ْ 176 ِ ضةُ ِم ْن الْيَد ْ ِن َوأَيْ َن َ اِلَْي ََّ َُي ب َ ُُخَُْرتَوُ فَي ْ صلِّي َعلَْي َها ِف بَْي ِِت أ “Abdul Razak dan Ibnu Bakar telah menceritakan kepada kami, mereka berdua berkata, Ibnu Jaraij telah mengabarkan kepada kami, dia berkata bahwa Manbud telah mengabarkan kepada saya, sesungguhnya ibunya telah menceritakan kepadanya, ketika aku sedang duduk bersama maimunah datanglah Ibnu Abbas, dia (Maimunah) berkata: wahai anakku mengapa rambut dikepalamu kusut, dia (Ibnu Abbas) menjawab, Ummu „Ammar orang yang biasa menyisirku sedang haid. Maka maimunah berkata: wahai anakku sesungguhnya haid itu bukanlah ditangan. Suatu hari Rasulullah menghampiri salah satu dari kami (istrinya) yang sedang hadih dan beliau tahu kalau istrinya sedang haid, kemudian beliau bersantai santai dipahanya dan membaca al Quran. Kemudian salah satu dari kami berdiri dan membentangkannya sajadah ditempat shalat beliau padahal dia sedang haid. (Ibnu Bakar berkata: Nabi shalat disajadah itu didalam rumah) jadi anakku apakah haid itu berada ditangan” 1. Ahmad bin Hanbal Nama lengkap: Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad asy Syaibani, Abū Abdillah al Marwazi al Baghdadi(164-241 H) Guru dalam periwayatan hadits: Sufyān bin ‟Uyainah, Yahya bin Sa‟īd al Qattan, Yazīd bin Harun bin Wadi, Abdul Razaq bin Hammām, dll. Murid dalam periwayatan hadits: Bukhārī, Muslim, Yahya bin Ma‟īn, dan dua orang putranya, ‟‟Abdullah dan Shalih. Komentar kritikus hadits
176
Ahmad bin Hanbal, Musnad al Imam Ahmad bin Hanbal, juz.6 ( Beirut: Dar al Kutub al Alamiah, t.th) hlm.334
a) Ibnu Ma‟īn: saya tidak melihat orang yang lebih baik(pengetahuannya di bidang hadits) melebihi Ahmad. b) Al Qattan: tidak orang yang datang kepada saya yang kebaikannya melebihi Ahmad. Dia itu hiasan umat Islam(khususnya di bidang hadits) c) Asy Syafi‟i: saya keluar dari baghdad dan dibelakang saya tidak ada yang lebih paham tentang Islam, lebih zuhud, lebih wara‟, dan lebih berilmu melebihi Ahmad. d) An nasāi: ahmad itu salah seorang ulama yang Ṡiqah ma‟mun. e) Ibnu Hibbān: hafidz mutqin faqih. f) Ibnu Sa‟ad: Ahmad itu Ṡiqah tsabt ṣadūq.177 Tidak ada seorang kritikus pun yang mencela ahmad bin hanbal. Pujian yang diberikan kepadanya juga pujian yang berperingkat tinggi dan tertinggi. Dengan demikian pernyataan yang menyatakan bahwa ahmad menerima riwayat hadits dari abdul razaq dengan metode as sama‟ dapat dipercaya. Maka, sanad antara dia dan abdul razaq adalah bersambung. 2. Abdul Razak Nama lengkap: Abdul Razaq bin Hammām bin Nafi‟ al Humairi( 126211h) Guru dalam periwayatan hadits: Ibrāhīm bin Yazīd, Sufyān bin Uyainah, „Abdullah bin Ziyād bin Sam‟an, Abdul Malik bin Abdul Azīz bin Juraij. Sa‟id bin Abdul Azīz. dll Murid dalam periwayatan hadits: ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Ishāq bin Manshur, Hajjāj bin Yunus, Yahya bin Ma‟īn, Harun bin Ishāq, dll. 178 Komentar kritikus hadits a) An Nasāi: fihi nadharun (orang yang perlu dipertimbangkan) b) Abū Hātim: ditulis haditsnya dan bisa dijadikan hujjah c) Ibnu Hibbān mencantumkan namanya dalam kitab al Ṡiqāt. 177
178
Ahmad bin Hajar al „Asqalānī, Tahdzib al Tahdzib…………juz 1, hlm.66
Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, Tahdzib al Kamal …………….juz.11, hlm.448-452
d) Abū Dāwud: Ṡiqah e) Al ‟Ijli: dia Ṡiqah Syiah. f) Abū Zur‟ah: Abdul Razaq adalah orag tsabt haditsnya. 179 Banyak kritikus hadits memberikan pujian untuknya, tapi menurut an nasāi dia adalah orang yang perlu dipertimbangkan. Hal itu tidak mempengasruhi keṡiqahannya, karena an Nasāi tidak menjelaskan dalam hal apa ia perlu dipertimbangkan. Seperti yang kita ketahui juga bahwa an Nasāi termasuk kritikus yang mutasyadid, da lafadh tajrih yang ia berikan adalah tajrih yang paling rendah dan mendekati ta‟dil. Walaupun Abdul Razaq seorang syiah tapi dia bukan orang yang fanatik terhadap satu Khalīfah. Semua Khalīfah duhirmati dengan penghormatan yang sama. Oleh karena itu ia dinilai sebagai rawi yang dapat dipercaya dalam meriwayatkan hadits. Dengan demikian antara dia dan ibnu bakr bersambung. 3. Ibnu Bakr Nama lengkap: Muhammad bin Bakr bin ‟Usman al Barasani(w. 204 H) Guru dalam periwayatan hadits: Aiman bin Nābil, Usman bin Sa‟ad, Hisyam bin Hasān, Abdul Humaid bin Ja‟far bin Hamād bin Salamah, Ibnu Juraij, dll. Murid dalam periwayatan hadits: Ahamd bin Hanbal, Ishāq, yahya bin Ma‟īn, Abū Bakar bin Abī Syaibah, Harūn, Ishāq bin Manshur, dll. Komentar kritikus hadits a) Ahmad bin Hanbal: Shalih b) Ibnu Ma‟īn: Ṡiqah c) Abū Dāwud: Ṡiqah d) Al ‟Ijli: Ṡiqah e) Ibnu Sa‟ad: Ṡiqah f) Abū Hātim: syaikh, orang yang ṣadūq g) Ibnu Hibbān mencantumkannya dalam kitab Ṡiqah h) An Nasāi: laisa bi al qawi i) Ibnu Hajar: ṣadūq, kadang- kadang salah dalam meriwayatkan 179
Ahmad bin Hajar al „Asqalānī, op. cit, juz , hlm.280
j) Ad Dhahabī: dalam sebuah hadits basrah melakukan idraj, yang sebenarnya merupakan qaul ‟Urwah tetapi kesalahan itu tidak menghilangkan keṠiqahannya. 180 Hanya an Nasāi yang mencelanya, tetapi celaan itu tidak mengurangi keṠiqahannya mengingat banyak sekali kritikus yang memujinya. Mungkin celaan itu berhubungan dengan kesalahan yang perna ia lakukan. Dengan demikian pernyataan yang mengatakan bahwa ia menerima riwayat hadits dari ibnu juraij dapat dipercaya dan sanad antara ia dan ibnu juraij adalah bersambung. 4. Ibnu Juraij Nama lengkap: Abdul Malik bin Abdul Azīz bin Juraij(w.149h) Guru dalam periwayatan hadits: Ja‟far bin Muhammad, Humaid bin Thuwail, „Abdullah bin „Umar al Ma‟mari, Usman bin Abī Sulaimān, Manbūd bin Abī Sulaimān, dll. Murid dalam periwayatan hadits: Ja‟far bin ‟Aun, Abdul Razaq bin Hamam, Muhammad bin Bakr, Muhammad bin Ja‟far, Hisyam bin Sulaimān, dll. Komentar kritikus hadits a) Ahmad bin Hanbal: ahli ilmu b) Yahya bin Ma‟īn: Ṡiqah dari setiap apa ia riwayatkan yang ada dalam catatannya. c) Az Zuhri: laisa bisyain. 181 d) Muhammad bin „Umar: Ṡiqah dan banyak haditsnya e) Ibnu Hibbān menuliskan namanya dalam kitab Ṡiqah dengan tambahan, menurutnya ibnu juraij adalah ahli fiqh dari hijaz tetapi dia orang yang melakukan tadlis. f) Al ‟Ijli: Ṡiqah.182 Ibnu Juraij adalah orang yang diperselisihkan, menurut sebagian kritikus ia dikenal sebagai orang Ṡiqah tetapi menurut yang lain ia dikenal 180 181
Ibid, juz.9, hlm.64-65 Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, Tahdzib al Kamal …………….juz.12,
hlm.55-62 182
Ahmad bin Hajar al „„Asqalānī, Op. cit, juz ,6 hlm.359-360
sebagai orang yang sering melakukan tadlis. Bahkan menurut az Zuhri dia laisa bi syai, padahal lafad tersebut adalah lafal tajrih peringkat ketiga menurut al iraqy dan al harawi. Sehingga ia adalah orang diterima haditsnya tetapi bersayarat. 5. Manbūd 6. Ummuhu183
183
Lihat dalam penjelasan sebelumnya
Skema sanad dari mukharij Imam Ahmad tentang perintah Nabi kepada istrinya yang sedang haid untuk membentangkan sajadah di masjid
ََصهىَّللاَ َعهَ ٍْ ِه َ َِسسىلَّللا َو َسه ََى ََيًٍْىََ َح
َأ ِّي ِه َ َأ ٌ ََي ُْثىر ًَِأَ ْخثَ َش َاتٍَْخ َشٌْح أَ ْخثَ َشََا َاتٍَْتَ ْكش
َعثْذَانشصاق
َحذثَ َُا
َحذثَ َُا احًذ
Matan kedua yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad;
ٍ ِ ت ْ ََحدَّثَنَا ُس ْفيَا ُن َع ْن َمْنبُوذ َع ْن أ ُِّمو قَال ِ َاس فَ َقالَت يا ب ِن ما ل ِ ُكْن ٍ َّاىا ابْ ُن َعب ال أ ُُّم َع َّما ٍر ُمَر ِّجلَِِت َ َك ق َ ك َشعثًا َرأْ ُس َ َ ََّ ُ َ ْ ُ َ َت عْن َد َمْي ُمونَةَ فَأَت ِ ُ اِليضةُ ِمن الْي ِد َكا َن رس ِ صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم يَ ْد ُخ ُل َعلَى ْ َض قَال ََّ َُي ب ٌ َحائ َ ول اللَّو َُ َ ْ َ َْْ ِن َوأَيْ َن ْ تأ ِ ِ ِ ِ ِ وم إِ ْح َدانَا ِِبُ ْمَرتِِو َ َض فَي ٌ ض ُع َرأْ َسوُ ِف ح ْج ِرَىا فَيَ ْقَرأُ الْ ُق ْرآ َن َوى َي َحائ ٌ إِ ْح َدانَا َوى َي َحائ ُ ض ُُثَّ تَ ُق 184 ِ
ِ ِِ ِ ضةُ ِم ْن الْيَد ْ ِن َوأَيْ َن َ اِلَْي َ َفَت ََّ َُي ب ٌ ض ُع َها ِف الْ َم ْسجد َوى َي َحائ ْ ضأ
“Sufyān telah menceritaka kepada kami, dari Manbūd, dari ibunya, dia berkata: ketika aku sedang bersama Maimunah datanglah Ibnu Abbas, dia (Maimunah) berkata: wahai anakku mengapa rambut dikepalamu kusut, dia (Ibnu Abbas) menjawab, Ummu „Ammar orang yang biasa menyisirku sedang haid. Maka Maimunah berkata: wahai anakku sesungguhnya haid itu bukanlah ditangan. Suatu hari Rasulullah menghampiri salah satu dari kami(istrinya) dan beliau meletakkan kepala di paha salah satu dari kami yang sedang haid dan Rasul membaca alquran, kemudian salah satu dari kami berdiri dengan membawa sajadah kemasjid dan membentangkannya padahal dia sedang haid, jadi anakku apakah haid itu berada ditangan” Periwayat dari hadits di atas adalah; 1. Ahmad 2. Sufyan 3. Manbūd 4. Ibunya 5. Maimunah185
184 185
Ahmad bin Hanbal, Musnad al Imam………………, juz.6 hlm.331 Periwayat di atas telah dijelaskan pada bagian sebelumnya
Skema sanad dari mukharij Imam Ahmad tentang perintah Nabi kepada istrinya yang sedang haid untuk membentangkan sajadah di masjid
ََصهىَّللاَ َعهَ ٍْ ِه َ ّللا ِ ََسسىل َو َسه ََى ََيًٍْىََ َح ْ لَا َن َد أ ِّي َِه ٍََْ ع ََي ُْثىر ٍََْ ع ٌََس ْف ٍَا َحذثََُا احًذ
Skema sanad dari berbagai mukharij tentang perintah Nabi kepada istrinya yang sedang haid untuk membentangkan sajadah di masjid
ََو َسه َى َ َّللا ِ َسسىل َ َصهىَّللاَ َعهَ ٍْ ِه
َََيًٍْىََ َح
َأ ِّي ِه ٍََْ ع
َ َأ ٌ
ََي ُْثىر ًَِ أَ ْخ َث َش
ٍََْ ع ٌََس ْف ٍَا ٍََْ ع َي َحًذَتٍَْ َي ُْصىس أَ ْخثَ َشََا ًانُسائ
َاتٍَْخ َشٌْح
َحذثَ َُا
أَ ْخ َث َشََا َاتٍَْتَ ْكش
َعثْذَانشصاق
َحذثََُا
َحذثََُا احًذ
BAB IV ANALISIS A. Nilai Sanad Masing- Masing Hadits 1. Hadits tentang haramnya masjid bagi perempuan haid dan junub hadits yang menerangkan bahwa masjid haram bagi perempuan haid dan junub hanya terdapat dalam sunan Ibnu Mājah dan Sunan Abī Dawūd. Tetapi dengan matan yang sedikit berbeda: a) Dalam Sunan Abī Dawūd Abū Dawūd adalah periwayat terakhir dan mukharij hadits ini. Ia menerima dari riwayat hadits dari Musaddad. Dalam sanad ini Jasrah sebagai periwayat ketiga sekaligus periwayat dibawah sahabat adalah orang yang diperselisihkan, sebenarnya banyak pujian yang diberikan pujian yang diberikan padanya. Menurut al Qattan semua itu tidak cukup karena Ibnu Hazm telah mengatakan bahwa haditsnya batil, hingga akhirnya banyak kritikus yang mencelanya. Pernyataan Ibnu Hazm ini erat kaitannya dengan pribadinya sebagai pengagum dzahiri yang membolehkan wanita haid memasuki masjid. Jadi kritik Ibnu Hazm tidak bisa diterima begitu saja. Selain karena pernyataan Ibnu Hazm para kritikus juga mencelanya karena meriwayatkan hadits untuk Aflatu bin Khalifah, yang mana ia juga banyak dikritik oleh kritikus hadits. Menurut Ahmad bin Hanbal Aflatu bin Khalifah ma ara bihi ba‟sun, yang mana pernyataan itu adalah lafal tajīh yang paling bawah menurut Ibnu Hajar al „Asqalani. Karena adanya satu periwayat yang diperselisihkan dan satu periwayat yang dinilai tidak ṡiqah, maka sanad hadits ini tidak bisa dikatakan ṣaḥīḥ. Meskipun sebenarnya derajatnya ḍa‟īfnya juga tidak terlalu. b) Dalam Sunan Ibnu Mājah
93
Ibnu Mājah berstatus sebagai periwayat terakhir sekaligus mukharij hadits, yang mana dia menerima riwayat hadits dari Abū Bakar bin Abī Syaibah dengan metode as sama‟. Dalam sanad Imam Tirmidzi ada dua periwayat yang mendapat celaan dari kritikus hadits, mereka adalah Abū al Khatab al Hajari dan Mahduj ad Duhli. Abū Khathab al Hajari dinilai majhūl, sedangkan Makhduj ad Duhli dinilai tidak ṡiqah. Mereka berdua adalah periwayat yang berurutan. Jadi, dilihat dari kecatatannya sanad ini termasuk cacat yang parah. Jika dilihat dari sanad ini saja tanpa melihat sanad yang lain, maka bernilai ḍa‟īf. Kesimpulan Dua sanad dari hadits ini mempunyai kelemahan. Sanad Abū Dawūd berasal dari ‟Āisyah dan sanad Ibnu Mājah dari Ummu Salamah, sehingga hadits yang diriwayatkan ‟Āisyah menjadi syahid untuk hadits Ummu Salamah. meskipun begitu keduanya diriwayatkan oleh Jasrah bintu Dajajah yang diperselihkan keṡiqahannya. Pada tingkatan periwayat kedua Jasrah adalah satu-satunya orang yang meriwayatkan hadits ini, jadi ketiadaan muttabi‟ juga mempengaruhi derajad hadits ini. Muttabi‟ yang memiliki sanad yang kuat akan mampu meningkatkan sanad yang diteliti. 186 Aflatu bin Khalifah (rawi dalam sanad Abū Dawūd yang dikritik) memiliki muttabi‟ dari sanad Ibnu Mājah, yaitu Makhduj ad Duhli. Tetapi sanad dari ibnu Mājah juga bukan sanad yang kuat, karena Makhduj dan Abū al Khatab dinilai sebagai orang yang tidak
ṡiqah.
Sehingga
muttabi‟
tersebut
tidak
mampu
mengangkat derajad hadits ini.
186
hlm.45
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi,(Jakarta: Bulan Bintang, 1992)
Dengan melihat banyak kekurangan pada sanad hadits ini, maka hadits ini sanaduhu ḍa‟īf. Meskipun dengan keḍa‟īfan yang tidak terlalu parah, hadits ini tetap tidak bisa dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum. Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal hadits ḍa‟īf bisa dijadikan hujjah dalam menerangkan keutamaan amal dan cerita-cerita.187 2.
Hadits tentang perintah agar perempuan haid menjauhi tempat shalat a) Dalam Ṣaḥīḥ Bukhāri Bukhāri meriwayatkan hadits ini dengan banyak sanad yang berbeda, penulis hanya mengambil dua sanad. Sekiranya dua sanad tersebut sudah dapat mewakili yang lainnya. Periwayat dalam sanad dari jalur Musa bin Ismā‟īl tidak ada yang dicela oleh kritikus hadits. Bahkan pujian-pujian yang diberikan kepada mereka adalah pujian yang tinggi dan tertinggi. Meskipun dalam periwayatan banyak yang menggunakan shighat ‟an tapi hal itu tidak mengurangi kualitas hadits tersebut, karena keṡiqahan periwayat telah menutupi kekurangan itu. Sedangkan dari jalur Abdullah bin Raja‟, dua periwayat mendapat celaan dari sebagian kritikus. Abdullah bin Raja‟ oleh Ibnu Ma‟īn dinilai ṣadūq tetapi juga dinilai sering melakukan tashif, bahkan oleh amru bin ali dia dinilai sering melakukan kesalahan dan tashif, sehingga haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah. Periwayat lain yang dikritik adalah ‟Imran bin Dawūd, oleh Nasāi ia dinilai ḍa‟īf . Menurut ad Daruquthni dia mukhalafah wa al wahmu. Meskipun ada juga kritikus yang memujinya, tetapi kita tidak bisa mengabaikan kritikan itu, apalagi lafad ta‟dīl yang diberikan oleh kritikus hadits adalah lafadh ta‟dīl yang rendah,
187
hlm.229
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalah al Hadits, (Bandung: Al Ma‟arif, 1974),
yang hampir mendekati tajrīh.188 Untuk itu sanad ini membutuhkan muttabi‟ dari sanad yang lain untuk meningkatkan kwalitasnya. b) Dalam Sunan Nasāi Imam Nasāi dalam hal ini adalah periwayat terakhir sekaligus mukharij. An Nasāi menerima riwayat matan hadits ini dari ‟Amru bin Zura‟ah dan dia diakui ṡiqah oleh kritikus hadits. Selain ‟Amru bin Zura‟ah semua periwayat dalam sanad ini juga dinilai ṡiqah, sehingga sanad ini bernilai ṣaḥīḥ. c) Dalam Ṣaḥīḥ Muslim Imam Muslim adalah mukharij dari sanad ini, ia menerima hadits juga dari ‟Amru bin Zura‟ah. Rangkaian sanad muslim sama persis dengan sanad an Nasāi, sehingga nilai haditsnya juga sama. Kesimpulan Dari empat sanad yang penulis teliti, hanya satu sanad dari Abdullah bin Raja‟ yang dinilai kurang kuat Tetapi sanad itu mendapat muttabi‟ dari sanad yang lain yang kuat sehingga kualitas hadits ini terangkat. Hadits dari Bukhāri yang berasal dari Musa bin Ismā‟īl nilainya lebih tinggi dari hadits riwayat Nasāi maupun Muslim. Karena hadits riwayat Bukhāri
jumlah sanadnya adalah
empat orang sedangkan riwayat Nasāi berjumlah lima orang. Hadits yang melalui rijal al hadits yang sedikit jumlahnya (hadits ‟ali) dapat memperkecil noda- noda yang terdapat pada sanad, daripada hadits yang bersanad banyak (hadits nazil).189 Meskipun hadits ini memiliki banyak sanad tapi semua haditsnya hanya bersumber dari Ummu ‟Athiyah, jadi hadits ini adalah hadits ahad pada tingkatan sahabat. 188
Seperti penilaian Ahmad bin Hanbal yang mengatakan saya harap dia orang yang shalih. Menurut Ibnu Abī Hatim, Ibnu Shalah, Ad Dzahabi dan An Nawawi lafal itu adalah peringkat ke.4 dan mereka hanya membagi lafal ta‟dīl menjadi 4 kecuali Ad Dzahadi yang membaginya menjadi 5. menurut Ibnu Hajar, lafal tersebut adalah peringkat ke-6 sekaligus peringkat terakhir dalam peringkat ta‟dīl menurunya. Lihat, Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis( Jakarta: Bulan Bintang, 1998) hlm.174. 189 Fatchur Rahman, op. cit, hlm.234
3. Hadits Tentang Haid itu Bukanlah di Tangan a) Ṣaḥīḥ Muslim Sanad untuk matan hadits dari mukharij Imam Muslim berjumlah tiga, sanad pertama periwayatnya adalah sebagai berikut: ”Muslim mendapat riwayat hadits dari Yahya bin Yahya, Abū Bakar bin Abī Syaibah, dan Abū Kuraib, ketiganya dari Abū Muawiyah, dari A‟masy, dari Tsabit bin Ubaid, dari Qāsim bin Muhammad, dari ‟Āisyah.” Dari semua periwayat diatas tidak ada periwayat yang dinilai cacat oleh kritikus hadits. Meskipun Abū Muawiyah murjiah tetapi hal itu tidak mempengaruhi keṡiqahannya dalam meriwayatkan hadits dan kritikan berhubungan dengan paham teologi dan bukan paham politik. Dengan demikian semua periwayat diatas dapat diakui kebenarannya dalam meriwayatkan hadits. Sanad kedua dari muslim adalah sebagai berikut: ”Imam muslim mendapat riwayat hadits dari Abū Kuraib, dari Abī Zaidah, dari Hajjaj, dari Ibnu Abī Ganiyyah, dari Tsābit bin ‟Ubaid, dari Qāsim bin Muhammad dari ‟Aisyah.” Dari semua periwayat diatas ada seorang yang dinilai kurang baik oleh kritikus hadits. Hajjaj bin Arthah dinilai sebagai orang yang sering melakukan kesalahan dan tadlis. Tetapi dia diakui sebagai orang yang jujur dan bukanlah pendusta dan ia adalah orang yang ditulis haditsnya. Kritikan tersebut berhubungan dengan kualitas keilmuannya dan bukan kualitas kepribadiannya. Bukhāri juga meriwayatkan hadits darinya tetapi dalam bab adab. Jadi, riwayat muhammad bin hatim bisa diterima. Secara umum sanad diatas maqbūl tetapi kualitas haditsnya dibawah ṣaḥīḥ, Kecuali didukung oleh sanad- sanad lain, yang dapat meningkatkan kualitasnya. Sanad ketiga periwayatnya adalah sebagai berikut:
”Imam Muslim mendapat riwayat dari Zuhair bin Harb, Abū Kamil dan Muhammad bin Hatim, semuanya berasal dari Yahya bin Sa‟id, dari Yazid bin Kaisan, dari Abī Hāzim, dari Abū Hurairah.” Semua periwayat diatas dinilai ṡiqah oleh kritikus hadits. Hanya muhammad bin hatim oleh Ibnu Hajar dinilai ṣadūq tetapi wahm (keraguan yang rawan menjadikan kesalahan). Sehingga hal itu mengurangi kualitas sanad ini, tetapi sanadnya tetap diterima. Karena tidak mungkin ia melakukan kesalahan dalam semua riwayat haditsnya. b) Sunan an Nasāi Sanad untuk matan ini yang diriwayatkan oleh Nasāi berjumlah dua, sanad pertama periwayatnya adalah sebagai berikut: ” An Nasāi menerima riwayat dari Muhammad bin al Mutsanna, dari Yahya bin Sa‟id, dari Yazid bin Kaisan, dari Abū Hāzim, dari Abū Hurairah.” Periwayat diatas seluruhnya dinilai ṡiqah oleh kritikus hadits, sehingga riwayat haditsnya adalah ṣaḥīḥ. Sanad kedua periwayatnya sebagai berikut: ” An Nasāi menerima riwayat hadits dari Qutaibah, dari ‟Abidah; juga menerima dari Ishāq bin Ibrāhīm, dari Jarīr, dari A‟masy, dari Tsābit bin Ubaid, dari Qāsim bin Muhammad dari ‟Aisyah. Selain itu juga menerima riwayat dari Ishāq dari Abū Muawiyah dari A‟masy, dengan sanad seperti diatas.‟ Sanad dari Nasāi para periwayatnya tidak ada yang mendapat kritikan dari kritikus hadits. Dengan demikian, periwayat tersebut diakui kebenarannya dalam meriwayatkan hadits. Kesimpulan Dari lima sanad yang penulis teliti, sanad kedua riwayat muslim terdapat seorang rawi yang mendapat kritikan yaitu Hajjaj bin Arṭah. Tetapi ia memiliki muttabi‟ dari sanad yang lain yang kuat, yaitu A‟masy, Ibnu Abī Ganiyah, dan Yahya bin Sa‟id. Hadits
diatas diriwayatkan oleh dua sahabat yang berbeda, yaitu Abū Hurairah dan ‟Āisyah. Sehingga hadits ‟Āisyah menjadi syahid bagi hadits yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah begitu juga sebaliknya. Dengan adanya syahid semakin mengukuhkan bahwa berita ini benar- benar berasal dari Nabi. Secara global dapat dinyatakan bahwa keseluruhan jalur hadits ini marfu‟ dengan rijal yang ṡiqah dan sanad yang bersambung, sehingga dapat dinyatakan bahwa hadits ini sanadnya ṣaḥīḥ. Hadits ini masuk kategori ahad garib pada sanad awalnya dan mencapai ahad masyhur pada sanad bawah. 4.
Hadits tentang perintah Nabi agar istrinya yang haid mengambil sajadah yang ada dalam masjid a) Sunan Nasāi sanad pada jalur an Nasāi, riwayat itu ia terima dari Muhammad bin Mansur, dari Sufyān, dari Manbūd, dari ibunya, dari Maimunah, di rafa‟kan kepada rasulullah. Dari semua periwayat diatas tidak ada periwayat yang mendapat kritik dari kritikus hadits yang sampai membuat riwayatnya tertolak. Hanya ummu Manbūd orang yang tidak begitu dikenal dalam periwayatan hadits, tetapi menurut Ibnu Hajar dia maqbūlah. Maqbūlah (diterima) biasanya digunakan untuk periwayat yang memiliki riwayat sedikit, bila ada muttabi‟ maka diterima dan bila tidak maka masuk dalam layyin al hadits. b) Musnad Ahmad Ahmad memiliki dua sanad, pertama, ia menerima riwayat dari ‟Abdul Razak dan ibnu bakr, keduanya dari Ibnu Juraij, dari Manbūd, dari ibunya, dari Maimunah, di rafa‟kan kepada Rasulullah. Dari seluruh rawi diatas ada dua orang yang dikritik oleh an Nasāi, yaitu Abdul Razak dan Ibnu Bakar. Tetapi kritikan itu tidak bisa diterima karena jumlah kritikus yang memuji mereka lebih banyak
dan an Nasāi juga tidak menyebutkan sebab-sebab mengapa ia mengkritiknya. Sanad kedua ia terima dari Sufyān, dari Manbūd, dari ibunya, dari maimunah. Sanad ini seperti jalur sanad yang lain, dimana periwat 1, periwayat 2, periwayat 3 tidak berbeeda dengan sanad yang lain. Kesimpulan Setelah melihat semua jalur sanad diatas, semua riwayatnya dari tingkat sahabat berasal dari maimunah dan tingkat dibawahnya adalah Ummu Manbūd, dibawahnya lagi Manbūd. Ummu Manbūd dan Manbūd dinilai maqbūl, dimana penilaian itu masuk dalam layyin al hadits bila tidak ada muttabi‟ dan dalam hadits ini tidak ada muttabi‟ dari sanad lain. Sehingga hadits ini saadnya bernilai ḍa‟īf tetapi bukan ḍa‟īf yang mempunyai cacat yang parah dan hampir mendekati ḥasan.
B. Penyelesaian Hadits Tentang Pembolehan Dan Larangan Perempuan Haid Memasuki Masjid. Hadits pertama riwayat Abū Dawūd dan Ibnu Mājah bernilai ḍa‟īf sehingga ia tidak bisa dipertentangkan dengan hadits lainnya yang bernilai ṣaḥīḥ. Hadits kedua yang melarang perempuan haid memasuki masjid adalah hadits yang berbunyi:
ِ ِ ِ ِِ ي َوْليَ ْعتَ ِزْل ْ اْلُ ُدوِر َو ْ ات َ ض َويَ ْش َه ْد َن اْلع َيد َوَد ْع َوَة اْل ُم ْسلم ُ ليَ ْخ ُر ْج اْل َع َوات ُق َو َذ َو ُ َّاِلُي صلَّى ْ ُ َّاِلُي َ ض اْل ُم
“Hendaklah perempuan dewasa, gadis pemilik kerudung dan perempuan haid keluar untuk menyaksikan shalat id dan doa-doa muslimin, hendaklah mereka menjauhi tempat shalat.” Menurut ibnu hajar yang dimaksud al mushalla bukanlah masjid, tetapi pelaksanaan shalat itu sendiri. Dari hadits diatas menurut al Kirmani, hukum perempuan keluar dan menyaksikan shalat id adalah sunnah dan hukum perempuan haid menjauhi orang-orang shalat adalah wajib. Menurut Ibnu al Munir hikmah dari perempuan haid menjauhi
tempat orang- orang yang
shalat, karena keberadaan mereka dengan orang-orang yang shalat dan mereka tidak shalat tampak seperti mereka meremehkan keadaan tersebut.190 Hadits ini tidak tepat jika dijadikan sebagai dalil untuk melarang perempuan haid memasuki masjid. Hadits ini menekankan pada perintah Nabi untuk para perempuan agar mereka keluar rumah pada hari raya dan menyaksikan orang-orang muslim yang sedang berdoa. Hadits- hadits yang membolehkan perempuan haid memasuki masjid berbunyi,
ِِ ِ ِ ْ نَا ِولِ ِيِن ِ َضت ت ِف َ ض فَ َق ْ ك لَْي َس ْ َاْلُ ْمَرَة م ْن الْ َم ْسجد قَال َ ال إِ َّن َحْي ٌ ت إِ ِّّن َحائ ُ ت فَ ُق ْل يَ ِدك
”Ambillah sajadah ini dari masjid. ‟Aisyah berkata: sesengguhnya aku sedang haid, Nabi bersabda: sesungguhnya haidmu bukanlah ditanganmu.” Ulama berbeda pendapat dalam menentukan makna min al masjid. Al Qadi ‟Iyad berpendapat bahwa lafad itu terkait dengan lafad qāla, sehingga maknanya menjadi ”Nabi bersabda kepada ‟Āisyah dan beliau berada di masjid.” Atau dengan kata lain Nabi berada di masjid dan memerintahkan ‟Āisyah yang berada diluar masjid untuk memberikan sajadah kepada beliau yang sedang i‟tikāf didalam masjid. Jika Nabi memerintahkan ‟Āisyah untuk masuk kedalam masjid Nabi tidak menggunakan takhsis al yad.191 Pendapat kedua adalah pendapat al Nasāi, al Tirmizi, Ibnu Mājah, al Khattabi yang mengatakan bahwa hadits itu dipahami sebagaimana zahir matannya dan tidak ada tersembunyi dari lafad itu. Sehingga artinya adalah Nabi bersabda pada ‟Āisyah untuk memberikan sajadah dari masjid. 192 Pendapat ini dikuatkan dengan hadits dibawah ini;
ِ ِ ُ َكا َن رس ض ُع َرأْ َسوُ ِف ِح ْج ِر إِ ْح َدانَا فَيَْت لُو الْ ُق ْرآ َن َوِى َي َ َصلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم ي َ ول اللَّو َُ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ض ٌ وم إ ْح َدانَا ِبُ ْمَرتو إ ََل الْ َم ْسجد فَتَْب ُسطُ َها َوى َي َحائ ٌ َحائ ُ ض َوتَ ُق
“Suatu hari rasulullah menyandarkan kepalanya dipaha salah satu dari kami yang sedang haid dan Rasul membaca al Quran, kemudian salah satu 190
Ahmad bin ‟Ali bin Hajar al ‟Asqalani, Fathul Bari Syarhu Ṣaḥīḥ al Bukhari, (Beirut: Dar al Ma‟rifat, t.th), juz.2, hlm.8 191 Abu Zakariyā Muhyi al Din Yahya Bin Syaraf al Nawawi, Al Manhāj Syarh Ṣaḥīḥ Muslim bin al Hajjāj,(Beirut: Dar al Ihya‟ al Turās al „Arabi, t.th), juz 3, hlm.208 192 Ibid, hlm. 209
dari kami berdiri dengan membawa sajadah ke masjid dan membentangkannya padahal dia sedang haid.” Hadits diatas adalah hadits keempat yang penulis teliti. Jika melihat kedua matan diatas secara terpisah, antara matan yang pertama dan kedua seolah berdiri sendiri. Tetapi setelah melihat matan yang diriwayatkan Ahmad terlihat bahwa pada matan pertama dan kedua bukanlah hadits yang berbeda.
ِ ِ ِ ٍ َّصلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم إِ ْذ َد َخل َعلَْي َها ابْ ُن َعب اس ِّ ِى َي َجال َسةٌ عْن َد َمْي ُمونَةَ َزْو ِج الن َ َِّب َ ِ ضةُ ِم ْن ْ ِن َوأَيْ َن َ َك َشعِثًا ق ْ َض فَ َقال َ َت َما ل ْ َفَ َقال َ اِلَْي ََّ َُي ب ٌ ال أ ُُّم َع َّما ٍر ُمَر ِّجلَِِت َحائ ْتأ ِ ِ ِ ِ ِ ض قَ ْد ُّ ِالْيَد لَ َق ْد َكا َن الن ٌ صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم يَ ْد ُخ ُل َعلَى إِ ْح َدانَا َوى َي ُمتَّكئَةٌ َحائ َ َِّب ِ ِ ََّكئ علَي ها أَو ي ْدخل علَي ها ق ِ ِ ِ ًاع َدة ٌ َّها َحائ َ ْ َ ُ ُ َ ْ َ ْ َ ٌ ض فَيَتَّك ُئ َعلَْي َها فَيَْت لُو الْ ُق ْرآ َن َوُى َو ُمت َ َعل َم أَن ِ َّكئ ِف ِحج ِرىا فَيْت لُو الْ ُقرآ َن ِف ِحج ِرىا وتَ ُق ِ ِ ِ ِ ُ ض فَتَْب ُس ٌ وم َوى َي َحائ ٌ َوى َي َحائ ُط لَو ُ َ َْ َ َْ ْ ُ ض فَيَت ضةُ ِم ْن ْ ِن َوأَيْ َن ْ َ َص ََّّلهُ وق َ اِلَْي ََّ َُي ب َ ُال ابْ ُن بَ ْك ٍر ُخَُْرتَوُ فَي َ اْلُ ْمَرةَ ِف ُم ْ صلِّي َعلَْي َها ِف بَْي ِِت أ الْيَ ِد
“Ketika aku sedang duduk bersama Maimunah datanglah Ibnu Abbas, dia (Maimunah) berkata: wahai anakku mengapa rambut di kepalamu kusut, dia (Ibnu Abbas) menjawab, Ummu „Ammar orang yang biasa menyisir rambutku sedang haid. Maka Maimunah berkata: wahai anakku sesungguhnya haid itu bukanlah ditangan. Suatu hari rasulullah menghampiri salah satu dari kami (istrinya) yang sedang haid dan beliau tahu kalau istrinya sedang haid, kemudian beliau bersantai santai dipahanya dan membaca al quran. Kemudian salah satu dari kami berdiri dan membentangkannya sajadah ditempat shalat beliau padahal dia sedang haid. (Ibnu Bakar berkata: Nabi shalat di sajadah itu didalam rumah) jadi anakku apakah haid itu berada ditangan” Setelah melihat matan ketiga yang diriwayatkan Ahmad, ada kemungkinan terjadinya periwayatan secara makna. Karena matan pertama, kedua, dan ketiga intinya adalah haid itu bukanlah ditangan. Berbeda dengan yang dipahami oleh orang arab pada masa itu yang menganggap kotor segala hal yang berhubungan dengan perempuan haid. Jadi, antara matan pertama, kedua
dan ketiga bukanlah hadits yang
berbeda, tetapi karena adanya periwayatan secara makna maka mengalami
perubahan dan kesalahpahaman redaksi. 193 Hadits diatas tidak dengan jelas menyebutkan bahwa perempuan haid boleh memasuki masjid, tetapi dengan melihat redaksi yang menyebutkan bahwa „Āisyah atau istri Nabi lain yang sedang haid diperintahkan untuk membentangkan sajadah di masjid, menjadi petunjuk kebolehan perempuan haid memasuki masjid. 194 Hadits diatas sebenarnya tidak bertentangan secara mutlak. Nabi memerintahkan perempuan haid untuk menjauhi tempat shalat dalam konteks pelaksanaan shalat idul fitri. Keberadaan perempuan haid ditengah- tengah perempuan lain yang sedang melaksanakan shalat jelas pemandangan yang tidak bagus. Sedangkan perintah Nabi pada „Āisyah untuk mengambilkan sajadah dari masjid, konteksnya sedang tidak ada pelaksanaan shalat dan mengambil sajadah itu tidak membutuhkan waktu yang lama, sehingga tidak
193
Syuhudi Ismail, Metodologi Peneliitian Hadits, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1992)
hlm.124 194
Secara etimologi masjid diambil dari kata dasar sajada yang artinya tunduk, patuh. Sedangkan dalam hukum Islam sujud berarti meletakkan dahi, ujung hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua ujung jari kaki ke tanah yang merupakan salah satu rukun shalat. Dari pengertian sujud maka masjid dapat didefinisikan sebagai tempat atau bangunan yang memiliki batas yang jelas yang didirikan khusus sebagai tempat beribadah umat Islam kepada Allah SWT. khususnya shalat. lihat, Makhmud Syafei, Masjid Dalam Perspektif Sejarah dan Hukum Islam (pdf, diakses pada tanggal 20 mei 2012), hlm.1 Untuk membedakan masjid dengan bangunan yang bukan masjid diharuskan adanya batasan yang jelas. Sehingga muncullah definisi khusus, yaitu masjid dalam pengertian tempattempat yang digunakan untuk sholat (mawadhi‟ ash-sholat), atau tempat-tempat yang digunakan untuk sujud (mawdhi‟ as-sujud). Lihat, Muhammad bin Ismail al San‟ānī, Subul al Salam, (Semarang: Toha Putra, t.th), juz.1, hlm.152 Definisi khusus ini untuk membedakan berlakunya hukum masjid bagi sebuah kompleks bangunan masjid yang luas dan terdiri dari beberapa bangunan atau ruang untuk berbagai keperluan. Sebab adakalanya sebuah kompleks masjid itu memiliki banyak ruangan, atau mungkin mempunyai dua lantai, mempunyai kamar khusus untuk penjaga masjid, mempunyai ruang sidang/rapat, toko, teras, tempat parkir, dan sebagainya. Bahkan ada masjid yang lantai dasarnya kadang digunakan untuk acara resepsi pernikahan, pameran, dan sebagainya. Ruang- ruang yang dimaksud diatas tidak dihukumi sebagaimana hukum masjid meskipun satu komplek dengan masjid. Karena bangunan tersebut tidak difungsikan sebagaimana fungsi masjid. Lihat, hukum perempuan haid berdiam di masjid dalam majalah online ”Al Hijrah”,( http://alhijrah.cidensw.net/index.php?option=com_content&task=view&id=79, diakses tanggal 6 juni 2012). Sedangkan hukum teras masjid, dikembalikan fungsi awal masjid sebagai tempat shalat atau tempat sujud. Jika teras masjid memang difungsikan sebagai tempat shalat maka teras masjid juga dihukumi sebagaimana hukum masjid. Hal ini sesuai dengan kaidah “Al Harīmu lahu hukmu mā huwa harīmūn lahu” yang artinya: “Sekelilingnya sesuatu memiliki hukum yang sama dengan hukum yang berlaku pada sesuatu tersebut.” Lihat, Jalaluddīn Abdurrahma al Suyūti, Al Asybah wa al Nazāir,(Surabaya: Al Hidayah, t.th), hlm. 86
ada kekhawatiran dari Nabi akan menetesnya darah haid di masjid yang dapat mengotori kesucian masjid.
Hal ini tidak bertentangan dengan rasio dan kaidah ushul fiqih yang berbunyi:
اَلاِلكم يدور مع علتو وجودا اوعداما “Hukum selalu tergantung dari ada atau tidaknya ilat “195 Selain mengkompromikan dengan kedua hadits di atas dengan melihat konteksnya, ada kemungkinan juga bahwa hadits dari „Āisyah mengandung pengertian umum(„āmm) yang artinya perempuan haid dibolehkan masuk masjid jika hanya sebentar dan hadits yang melarang mengandung pengertian khusus(khass) yang artinya pelarangan tersebut ketika di masjid sedang ada shalat jama‟ah. Hukum kedua hadits diatas dapat diterapkan dalam kondisinya masingmasing. Sehingga tidak ada salah satu hadits yang menjadi kuat dan yang lain dilemahkan. Hadits mukhtalif diatas juga tidak termasuk nasikh dan mansukh karena tidak diketahui secara pasti mana yang datang lebih dulu dan mana yang datang kemudian. Pengkompromian hadits dengan tidak menghilangkan salah satu hukum dari hadits tersebut adalah cara yang paling tepat untuk menyelesaikan hadits mukhtalif. Selain mengkompromikan hadits- hadits diatas, acuan keṣaḥīḥan matan yang yang paling utama adalah tidak bertentangan dengan al Quran. Salah satu fungsi hadits adalah penjelas yang terperinci dari al quran, tidaklah mungkin pemberi penjelasan bertentangan dengan yang dijelaskan196. Termasuk tentang hadits hukum perempuan haid memasuki masjid. Maka penulis mencoba
195
Ṣālih bin Muhammad Hasan, Majmu‟ Al Qawāid Al Bahiyyah „Ala Manẓūmah Al Qawāid Al Fiqhiyyah,(Arab Saudi: Dar al Ṣami‟i li an Nasyr wa al Tauzi‟, 2000), hlm.112, lihat juga; Muhammad bin Ibrāhīm al Hafnawi, Dirāsah Uṣūliyah fī al Quran al Karim, (Kairo: Maktabah wa Maṭba‟ah al Faniyah, 2002), hlm.376 196 Yusuf Qardawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi SAW. ter.Muhammad al Baqir (Bandung: Karisma, 1993), hlm. 93
menghadapkan hadits- hadits diatas dengan ayat al quran yang berkaitan dengan hal diatas. Ayat yang dimaksud adalah Q.S An Nisa ayat 43: ”Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.”197 Dalam memahami ayat diatas ulama berbeda pendapat; pertama ayat diatas mengandung majaz, dimana lafadh tersebut makhżuf yang dikira-kira bermakna maudhu‟ as shalah. Sehingga artinya menjadi janganlah kamu mendekati tempat
shalat. Sedangkan lafad
‟Ābiri Sabil merupakan
pengecualian dari larangan untuk mendekati tempat shalat. Pendapat kedua, dari ayat diatas tidak ada lafad yang makhduf dan ayat itu dipahami sebagaimana nashnya. ‟Ābiri Sabil dimaknai sebagai musafir yang kehabisan air dan dia dalam keadaan junub. Sehingga dia tetap boleh mengerjakan shalat karena alasan tadi. Hukum perempuan haid juga berlaku demikian karena diqiyaskan dengan orang junub. 198 Dari penjelasan diatas diketahui bahwa ayat ini tidak memiliki arti tunggal, yang dengan jelas menyebutkan larangan atau pembolehan wanita haid memasuki masjid. Sehingga ayat ini tidak bisa dijadikan landasan untuk menolak hadits karena dianggap bertentangan dengannya. Nash hadits ini juga selaras dengan sejarah waktu itu, yang mana menempatkan perempuan haid sebagai makhluk yang sedang mendapat kutukan. Sehingga harus dikucilkan dari masyarakat, bahkan dari lingkungan keluarganya sendiri. agama Islam mempunyai pandangan yang optimistis terhadap kedudukan dan keberadaan perempuan. 199 Termasuk terhadap hal-
197
Yayasan Penyelenggara Penterjamah Pentafsir Al Quran, Al Quran dan Terjemahnya, (Departemen Agama: 2004) hlm. 86 198 Ibnu Rusyd, Bidāyatul Mujtahid wa Nihāyatul Muqtasid,(Indonesia: Dar Ihya‟ al Kutub al ‟Arabiyah, t.th), juz1, hlm.35 199 Nasaruddin Umar, ”Teologi Menstruasi: Antara Mitologi dan Kitab Suci,” dalam Ulumul Quran, (Vol. 4, No. 2, 1995), hlm.77
hal yang berhubungan dengan larangan- larangan bagi perempuan haid yang merugikan. Dalam banyak kesempatan Nabi menegaskan kebolehan melakukan kontak sosial dengan wanita haid. Seperti riwayat diatas yang diceritakan oleh ‟Aisyah, Abū Hurairah, Maimunah ataupun sahabat yang lain. Sedangkan riwayat yang melarang perempuan haid bercampur dengan orangorang shalat juga menunjukkan kebijaksanaan Nabi dalam menyikapi sikap orang Yahudi terhadap perempuan haid. Meskipun hadits yang mengharamkan masjid bagi orang haid berkualitas ḍa‟īf, tetapi keḍa‟īfan yang tidak terlalu parah. Itu artinya masih ada kemungkinan berita itu benar-benar datang dari Nabi. Dalam sebuah hadits yang berbunyi
رحم اهلل املتسروَلت من النساء “Allah mencintai perempuan yang bercelana” Asabab al wurud dari hadits itu adalah: diceritakan dari Abū Hurairah,” Rasulullah telah memberi keterangan kepada kami sambil duduk di depan pintu masjid, tiba-tiba lewatlah seorang wanita menunggangi seekor tunggangan. Ketika itu dia berusaha menjauhi Rasulullah, hewannya terpeleset dan wanita itu jatuh terpelanting (pakaiannya sedikit terbuka). Rasulullah berpaling, namun dikatakan oleh orang yang melihatnya bahwa ia bercelana. Rasulpun bersabda seperti di atas.200 Peristiwa di atas secara tersirat menunjukkan bahwa kultur masyarakat pada waktu itu, masih banyak perempuan yang tidak memakai celana. Celana yang dimaksud bisa jadi celana dalam atau celana panjang, tapi jika melihat kejadian di atas lebih tepat jika diartikan celana dalam dan sangat mungkin pada masa Nabi atau pada tahun 600an Masehi banyak perempuan yang belum memakai celana dalam. Sangat wajar jika Nabi melarang perempuan memasuki masjid karena jika darah haid keluar pasti langsung menetes di masjid, dan tidak melarang ‟Āisyah yang sedang haid untuk mengambilkan 200
Ibnu Hamzah al Husaini, Asbabul Wurud, Latar Belakang Historis Timbulnya HaditsHadits Rasul, terj. H.M. Suwarto Wijaya dan Zafrullah Salim, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), juz.2, hlm.370
sajadah di masjid. Karena mengambil sajadah hanya sebentar dan tidak ada kekhawatiran Nabi akan menetesnya darah haid di masjid.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah melakukan penelitian tentang hadits larangan dan kebolehan perempuan haid memasuki masjid, penulis menyimpulkan sebagai berikut, 1.
Hadits yang menceritakan tentang keharaman masjid bagi perempuan haid dan junub kualitasnya ḍa‟īf dan tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum, hadits yang menceritakan tentang perintah agar perempuan haid menjauhi al mushalla kualitasnya ṣaḥīḥ. Ditinjau dari jumlah periwayatnya termasuk hadits ahad. Sedangkan hadits yang menceritakan tentang perintah Nabi kepada ‟Aisyah untuk membentangkan sajadah di masjid ketika dia sedang haid dan hadits tentang perintah Nabi kepada salah satu istrinya yang sedang haid untuk membentangkan sajadah di masjid merupakan hadits yang sama. Terjadinya perbedaan redaksi dikarenakan periwayatan secara makna. Kualitas hadits itu adalah ṣaḥīḥ dan jika ditinjau dari jumlah periwayatnya termasuk hadits ahad.
2.
Dalam menyelesaikan matan-matan hadits diatas yang tampaknya bertentangan, penulis berkesimpulan; a) Hadits
pertama
bekualitas
ḍa‟īf
,
sehingga
tidak
bisa
dipertentangkan dengan yang lain. Hadits kedua bekualitas ṣaḥīḥ, hadits ketiga dan keempat adalah satu hadits yang tidak bisa dipisahkan. Matannya menjadi sedikit berbeda karena adanya periwayatan secara makna dan berkualitas ṣaḥīḥ. b) Perintah agar perempuan haid menjauhi al mushalla (tempat shalat) dan masjid, berlaku ketika orang-orang muslim sedang melaksanakan shalat. Karena jika perempuan haid berada ditengah-tengah orang yang sedang melaksanakan shalat dan mereka tidak shalat, seolah-olah para perempuan haid itu tidak menghargai keadaan itu (orang-orang yang shalat).
c) Larangan perempuan haid memasuki masjid adalah untuk menghindari kekhawatiran menetesnya darah di masjid, jika kekhawatiran itu telah hilang secara umum perempuan haid tidak dilarang memasuki masjid.
B. Saran-saran Setelah melakukan penelitian ini tampaknya perlu ditindak lanjuti dengan penelitian berikutnya yaitu meneliti secara seksama makna dari haditshadits tentang larangan dan kebolehan perempuan haid memasuki masjid. Masalah ini adalah masalah ikhtilaf, sehingga masih terbuka untuk mengadakan penelitian terhadapnya. Melihat keadaan perempuan islam saat ini yang banyak melakukan aktivitas di masjid penting kiranya mengadakan penelitian mengenai hal ini, sehingga mampu menghasilkan produk hukum yang komprehensif. Peneliti juga merasa bahwa apa yang telah dilakukan belum sepenuhnya menyelesaikan persoalan, oleh sebab itu masih membutuhkan kritik konstruktif dari berbagai pihak yang memiliki konsern di bidang kajian tafsir dan hadis Nabi SAW. Selebihnya, peneliti berharap apa yang telah dilakukan ini ada manfaatnya khususnya bagi peneliti sendiri, dan umumnya bagi, pembaca laporan penelitian skripsi ini.
C. Penutup Demikian akhirnya dengan mengucap alhamdulillahi rabbil alamin proses penelitian skripsi ini dapat diselesaikan sekalipun masih banyak kesalahan dan kekurangan di dalamnya. Terima kasih, semoga bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mustaqim, dkk, Paradigma Integrasi- Interkoneksi Dalam Memahami Hadits, Yogyakarta: Teras, 2009 Abdurrahman al Jaziri, Kitab al Fiqh ‟Ala al Madzahib al Arba‟ah, Beirut: Dar al Kutub al „Alamiah, 1990 Abū Al Fida‟ Ismail Ibnu Katsir, Tafsir al Quran al „Adzim, Beirut: Dar al Fikr, 1986. ..................................................., Ikhtisar „Ulum al Hadits, disyarah oleh Muhammad Syakir dan diberi judul: Al Bā‟iṡ al Ḥaṡiṡ fi Ikhtisar „Ulum al Hadits, Dar Ibnu al Jauzi: Kairo, 2008 Abū Abdurrahman Ahmad bin Syuaib, Sunan al Nasāi, Beirut: Dar al Fikr Alamiah, t.th Abū Daud Sulaimān bin al Asy‟ats, Sunan Abī Daud, Beirut: Dar al Fikr, t.th Abu Fadl Jamaluddin Muhammad bin Makram, Lisan al „Arab, Beirut: Dar Shard, t.th Abu Hasan „Ali bin Hamid al Wahdi al Naisaburi, Asbabun Nuzul, Beirut: Dar al Fikr, 1986 Abu Muhammad bin Hazm, Al Muhalla, Beirut: Dar al Fikr, t.th Abu Ubaidah Usamah bin Muhammad al Jamal, Shahih Fiqih Wanita, Surakarta: Insan Kamil, 2010 Ahmad bin ‟Ali bin Hajar al ‟Asqalani, Fathul Bari Syarhu Shahih al Bukhari, Beirut: Dar al Ma‟rifat, t.th Ahmad bin Hajar al „Asqalānī, Tahdzib al Tahdzib, Beirut: Dar al Kutub al „Ilmiah, t.th Ahmad bin Hanbal, Musnad al Imam Ahmad bin Hanbal, Beirut: Dar al Kutub al Alamiah, t.th Al Quran dan Terjemahnya ,Yayasan Penyelenggara Penterjamah/ Pentafsir Al Quran, Departemen Agama: 2004. Bagong Suyanto(ed.), Metode Penelitian Sosial, Jakarta: Kencana, 2007
Fahrur razi, Tafsir al Kabir, Beirut: Dar al Kutub al Alamiah, t.th Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalah al Hadits, Bandung: al Ma‟arif, 1974 Hasan Asy‟ari ‟Ulamai, Melacak Hadits Nabi SAW, Semarang: Rasail, 2006. Ibnu Hamzah al Husaini, Asbabul Wurud, Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits-Hadits Rasul, terj. H.M. Suwarto Wijaya dan Zafrullah Salim, Jakarta: Kalam Mulia, 2002 Ibnu Rusyd, Bidayatul Hidayah wa Nihayatul Muqtasid, Indonesia: Dar Ihya‟ al Kutub al ‟Arabiyah, t.th Irwan Abdullah, Mitos Menstruasi: Konstruksi Budaya Atas Realitas Gende dalam Humaniora, nomor 1 volume 14 2002. Jalaluddīn Abdurrahma al Suyūti, Al Asybah wa al Nazāir, Surabaya: Al Hidayah, t.th Jamal al Din Abī al Hajjāj Yusuf al Mizzi, Tahdzib al Kamal Fi al Asma‟ al Rijal, Beirut: dar al fikr, t.th Louis Ma‟luf, Al Munjid Fi Al Lughah, Beirut: Dar al Masyriq, 1987 Makhmud Syafei, Masjid Dalam Perspektif Sejarah dan Hukum Islam, pdf, diakses pada tanggal 20 mei 2012 Muhammad Abdul Hay, Al Raf‟u wa al Takmīl fi Al Jarhi wa Ta‟dīl, Dar al Salam, t.th Muhammad bin Ibrāhīm al Hafnawi, Dirāsah Uṣūliyah fī al Quran al Karim, Kairo: Maktabah wa Maṭba‟ah al Faniyah, 2002 Muhammad bin „Isa bin Saurah, Sunan al Tirmiżi, Beirut: Dar al Kutub al „Alamiyah, t.th Muhammad bin Ahmad,
Mizan al I‟tidal, Beirut: Dar al Kutub al
„Ilmiah, t.th Muhammad bin Idris al Syāfi‟ī, Iktilaful Hadits, Beirut: Dar al Kutub al ‟Ilmiah, 1986 Muhammad bin Ismail al San‟ānī, Subul al Salam, Semarang: Toha Putra, t.th
Muhammad bin Yazīd, Sunan Ibnu Mājah, Lebanon: Dar al Fikr, t.th Muslim bin al Hajjāj, Shahih Muslim, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah, t.th Nasaruddin umar, Teologi Menstruasi: Antara Mitologi dan Kitab Suci dalam Ulumul Quran, nomor 2 volume 4, 1995. Nur Najmi Laila, Buku Pintar Menstruasi, Yogyakarta: Bukubiru, 2011. S. Edy Santoso ( ed.), Islam dan Konstruksi Seksualitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Ṣālih bin Muhammad Hasan, Majmu‟ Al Qawāid Al Bahiyyah „Ala Manẓūmah Al Qawāid Al Fiqhiyyah, Arab Saudi: Dar al Ṣami‟i li an Nasyr wa al Tauzi‟, 2000 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1998 Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992. ......................., Kaidah Keshahihan Sanad Hadis, Jakarta: bulan bintang, 1995. Umi Sumbullah, Kritik Hadits Pendekatan Historis Metodologis, Malang: UIN Malang Press, 2008. Wahbah Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar al Fikr, 2008. Yusuf qardawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi SAW. ter.Muhammad al Baqir, Bandung: Karisma, 1993 http://alhijrah.cidensw.net/index.php?option=com_content&task=view&id =79, diakses tanggal 6 juni 2012
APENDIKS
اِلديث اَلول" ََل أ ِ ض َوََل ُجنُ ٍ ُح ُّل ال َْم ْس ِج َد لِ َحائِ ٍ ب" ٍ ِِ اج َة ت بْ ُن َخلِي َفةَ قَ َ َحدَّثَنَا ُم َسد ٌ ال َحدَّثَْت ِِن َج ْسَرةُ بِْن ُ َّد َحدَّثَنَا َعْب ُد الْ َواحد بْ ُن ِزيَاد َحدَّثَنَا ْاْل َْف لَ ُ ت َد َج َ قَالَ ِ ول ت َعائِ َشةَ َر ِض َي اللَّوُ َعْن َها تَ ُق ُ ْ ت ََس ْع ُ ال و ِّجهوا ى ِذهِ ِِ ِ ِ ِ جاء رس ُ ِ صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم َوُو ُجوهُ بُيُوت أ ْ َص َحابِو َشا ِر َعةٌ ِف الْ َم ْسجد فَ َق َ َ ُ َ ول اللَّو َ َ َ َُ ِ ِ ِ ِ صنَ ْع الْ َق ْوُم َشْيئًا َر َجاءَ أَ ْن تَْن ِزَل في ِه ْم وت َع ْن الْ َم ْسجد ُُثَّ َد َخ َل النِ ُّ صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم َوََلْ يَ ْ الْبُيُ َ َِّب َ ال و ِّجهوا ى ِذهِ اْلب يوت عن اْلمس ِج ِد فَِإنِّي ََل أ ِ ِ ِ ُح ُّل ال َْم ْس ِج َد لِ َحائِ ٍ ض ُر ْخ َ صةٌ فَ َخَر َج إلَْيه ْم بَ ْع ُد فَ َق َ َ ُ َ ُ ُ َ َ ْ َ ْ َوََل ُجنُ ٍ ب
Sunan Abi dawud, juz1, hlm.60
َحدَّثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَِِب َشْيبَةَ َوُُمَ َّم ُد بْ ُن ََْي ََي قَ َاَل َحدَّثَنَا أَبُو نُ َعْي ٍم َحدَّثَنَا ابْ ُن أَِِب َغنِيَّةَ َع ْن أَِِب وج ُّ ِ اْلَطَّ ِ ت ي َع ْن َُْم ُد ٍ ْ اب ا ْْلَ َج ِر ِّ َخبَ َرتِِْن أ ُُّم َسلَ َمةَ قَالَ ْ الذ ْىل ِّي َع ْن َج ْسَرَة قَالَ ْ تأْ ِِ ِ دخل رس ُ ِ ِ ص ْوتِِو إِ َّن ال َْم ْس ِج َد ََل ص ْر َحةَ َى َذا اْل َم ْسجد فَنَ َادى بأ َْعلَى َ صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم َ ول اللَّو َ َ َ َ َُ ِ يَ ِح ُّل لِ ُجنُ ٍ ب َوََل ل َحائِ ٍ ض صلَّى" ْحيَّ ُ ْم َ ْن ال ُ ض ال ُ اِلديث الثاّن" َويَ ْعتَ ِزل َ
Sunan Ibnu Majah,juz.1 hal.212
ٍ ال حدَّثَنا ي ِز ُ ِ ِ ِ ِ ت يم َع ْن ُُمَ َّمد َع ْن أ ُِّم َع ِطيَّةَ قَالَ ْ يل قَ َ َ َ َ َحدَّثَنَا ُم َ يد بْ ُن إبْ َراى َ وسى بْ ُن إ َْسَاع َ اِليَّض ي وم الْعِ َيدي ِن وذَو ِ ِ ِِ ي َوَد ْع َوتَ ُه ْم َويَ ْعتَ ِز ُل ات ْ اْلُ ُدوِر فَيَ ْش َه ْد َن ََجَ َ اعةَ الْ ُم ْسلم َ أُم ْرنَا أَ ْن ُُنْر َِج ُْ َ َ ْ َ ْ ََ ِ ال لِت ْلبِسها ص ِ ت ْامرأَةٌ يا رس َ َّ ِ ِ احبَتُ َها ِم ْن ْحيَّ ُ ض َع ْن ُم َ ال ُ س َْلَا ج ْلبَ ٌ اب قَ َ ُ ْ َ َ ص ََّّل ُى َّن قَالَ ْ َ َ َ ُ ول اللو إ ْح َدانَا لَْي َ ِج ْلبَ ِاِبَا ٍ ِ ِ ِ ِ ِِ صلَّى َوقَ َ ت النِ َّ ين َحدَّثَْت نَا أ ُُّم َعطيَّةَ ََس ْع ُ َِّب َ ال َعْب ُد اللَّو بْ ُن َر َجاء َحدَّثَنَا ع ْمَرا ُن َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن سي َ اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ِِبَ َذا
Shahih Bukhari, juz2, hlm.83
ٍ ٍ حدَّثَنَا َعْب ُد اللَّ ِو بْن َعْب ِد الْوَّى ِ ت اب قَ َ وب َع ْن ُُمَ َّمد َع ْن أ ُِّم َع ِطيَّةَ قَالَ ْ ال َحدَّثَنَا ََحَّ ُ اد بْ ُن َزيْد َع ْن أَيُّ َ َ ُ َ ِ ِ ِ ِ اْلُ ُدوِر صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم بأَ ْن ُُنْر َِج الْ َع َوات َق َو َذ َوات ْ أ ََمَرنَا نَبِيُّ نَا َ وعن أَيُّوب عن ح ْف ِ ِ ال أَو قَالَت اْلعواتِق و َذو ِ ِ ِ ْن ات ْ اْلُ ُدوِر َويَ ْعتَ ِزل َ صةَ بنَ ْح ِوه َوَز َاد ِف َحديث َح ْف َ ََْ َ َْ َ َ صةَ قَ َ ْ ْ َ َ َ َ َ صلَّى ْحيَّ ُ ْم َ ال ُ ض ال ُ
Ibid, juz.1 hlm.17,
ِ َح َّدثَنَا ُع َم ُر بْ ُن َح ْف ٍ ت ص قَ َ صةَ َع ْن أ ُِّم َع ِطيَّةَ قَالَ ْ ال َحدَّثَنَا أَِِب َع ْن َعاص ٍم َع ْن َح ْف َ ُكنَّا نُؤمر أَ ْن َُنْرج ي وم الْعِ ِ َ الن ِ َّاس يد َح ََّّت ُُنْر َِج الْبِكَْر ِم ْن ِخ ْد ِرَىا َح ََّّت ُُنْر َِج ْ ض فَيَ ُك َّن َخ ْل َ اِلُيَّ َ ُ َ َْ َ ْ َُ ِ ِ ِ ِ فَيُ َكبِّ ْر َن بِتَ ْكبِ ِيى ْم َويَ ْد ُعو َن بِ ُد َعائ ِه ْم يَ ْر ُجو َن بََرَكةَ َذل َ ك الْيَ ْوم َوطُ ْهَرتَوُ
Ibid, juz 1, hlm.173
ي َع ْن ابْ ِن َع ْو ٍن َع ْن ُُمَ َّم ٍد قَ َ َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن الْ ُمثَ ََّّن قَ َ ال َحدَّثَنَا ابْ ُن أَِِب َع ِد ٍّ ت أ ُُّم َع ِطيَّةَ ال قَالَ ْ ال ابن عو ٍن أَو الْعواتِق َذو ِ اِليَّض والْعواتِق و َذو ِ ِ ات ْ ِ اْلُ ُدوِر فَأ ََّما ات ْ اْلُ ُدور قَ َ ْ ُ َ ْ ْ َ َ َ َ أُم ْرنَا أَ ْن َُنُْر َج فَنُ ْخر َِج ُْ َ َ َ َ َ َ َ ِِ ص ََّّل ُى ْم ْ ض فَيَ ْش َه ْد َن ََجَ َ ْن ُم َ اعةَ الْ ُم ْسلم َ اِلُيَّ ُ ي َوَد ْع َوتَ ُه ْم َويَ ْعتَ ِزل َ
Ibid, juz.4, hlm.56
ال حدَّثَنَا عب ُد الْوا ِر ِ وب َع ْن َح ْف َ ِ ِ ِ ِ ٍ ت ث قَ َ ين قَالَ ْ ال َحدَّثَنَا أَيُّ ُ صةَ بْنت سي َ َحدَّثَنَا أَبُو َم ْع َمر قَ َ َ َْ َ ِِ صر ب ِِن َخلَ ٍ ت أ ََّن َزْو َج َ فَأَتَْيتُ َها فَ َح َّدثَ ْ ت ْامَرأَةٌ فَنَ َزلَ ْ ُكنَّا َنَْنَ ُع َج َوا ِريَنَا أَ ْن َيَُْر ْج َن يَ ْوَم الْعيد فَ َجاءَ ْ ت قَ ْ َ َ ت َغزو ٍ ِ ِ ِ ِ أ ِ ات صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم ثْن َ ِْت َع ْشَرةَ َغ ْزَوًة فَ َكانَ ْ ت أْ ْ ُخت َها َغَزا َم َع النِ ِّ َِّب َ ُختُ َها َم َعوُ ف س ِّ َ َ ِ ِ س إِذَا ََلْ يَ ُك ْن ت يَا َر ُس َ ضى َونُ َدا ِوي الْ َك ْل َمى فَ َقالَ ْ فَ َقالَ ْ وم َعلَى الْ َم ْر َ ت فَ ُكنَّا نَ ُق ُ ول اللَّو أ ََعلَى إ ْح َدانَا بَأْ ٌ ِ ِِ ال لِت ْلبِسها ص ِ ت احبَتُ َها ِم ْن ِج ْلبَ ِاِبَا فَ ْليَ ْش َه ْد َن ْ ي قَالَ ْ اْلَْي َر َوَد ْع َوَة اْل ُم ْؤمن َ َْلَا ج ْلبَ ٌ اب أَ ْن ََل ََتُْر َج فَ َق َ ُ ْ َ َ ِ ِ ََسع ِ ِ َِّب ت نَ َع ْم بِأَِِب َوقَ لَّ َما ذَ َكَر ْ ت ِف َك َذا َوَك َذا قَالَ ْ صةُ فَلَ َّما قَد َم ْ ت النِ َّ ت أ ُُّم َعطيَّةَ أَتَْيتُ َها فَ َسأَْلتُ َها أ َ ْ َح ْف َ صلَّى اللَّو علَي ِو وسلَّم إََِّل قَالَت بِأَِِب قَ َ ِ اْل ُدوِر أَو قَ َ ِ ِ اْلُ ُدوِر ات ْ ْ ال اْل َع َوات ُق َو َذ َو ُ ال ليَ ْخ ُر ْج اْل َع َوات ُق َذ َو ُ ات ُْ ْ َ ُ َْ ََ َ ِِ ت َْلَا َش َّ صلَّى َولْيَ ْش َه ْد َن ْ ي قَالَ ْ ْحيَّ ُ ت فَقُ ْل ُ اْلَْي َر َوَد ْع َوةَ الْ ُم ْؤمن َ ْم َ ض َويَ ْعتَ ِز ُل ال ُ وب َوا ِْلُيَّ ُ ض ال ُ ك أَيُّ ُ اِليَّض قَالَت نَعم أَلَيس ا ِْلائِض تَ ْشه ُد عرفَ ٍ ات َوتَ ْش َه ُد َك َذا َوتَ ْش َه ُد َك َذا ُْ ُ ْ َ ْ ْ َ َ ُ َ َ َ
Ibid, juz.4, hlm.54
ٍ ت الربِي ِع َّ َح َّدثَِِن أَبُو َّ وب َع ْن ُُمَ َّمد َع ْن أ ُِّم َع ِطيَّةَ قَالَ ْ الزْىَرِاّنُّ َحدَّثَنَا ََحَّ ٌ اد َحدَّثَنَا أَيُّ ُ أَمرنَا تَع ِِن النَِِّب صلَّى اللَّو علَيوِ وسلَّم أَ ْن ُُنْرِج ِف الْعِ َيدي ِن الْعواتِق وذَو ِ ض أَ ْن ات ْ ْحيَّ َ اْلُ ُدوِر َوأ ََم َر ال ُ ََ ْ َّ َ ْ ََ َ َ َ َ ُ َْ ََ َ ي ْعتَ ِزلْن مصلَّى ال ِ ِ ين ْم ْسلم َ َ َُ َ ُ
Shahih Muslim, juz.1, hlm.240
ِ ِ ت َخبَ َرنَا َع ْم ُرو بْ ُن ُزَر َارَة قَ َ صةَ قَالَ ْ أْ وب َع ْن َح ْف َ يل َع ْن أَيُّ َ ال َحدَّثَنَا إ َْسَع ُ ول اللَّوِ ول اللَّ ِو صلَّى اللَّو علَي ِو وسلَّم إََِّل قَالَت بِأَبا فَ ُق ْل ِ ََسع ِ ت َر ُس َ ت أ ُُّم َع ِطيَّةَ ََل تَ ْذ ُك ُر َر ُس َ َكانَ ْ ت أَْ ُ َ ْ َ ُ َْ ََ َ صلَّى اللَّو علَي ِو وسلَّم ي ْذ ُكر َك َذا وَك َذا فَ َقالَت نَعم بِأَبا قَ َ ِ ِ ض ات ْ ْحيَّ ُ اْلُ ُدوِر َوال ُ ال ليَ ْخ ُر ْج الْ َع َوات ُق َو َذ َو ُ َ ْ َْ َ َ ُ َْ ََ َ َ ُ ِ ِ وي ْش َه ْد َن الْعي َد و َد ْعو َة ال ِ صلَّى ْحيَّ ُ ْم َ ين َولْيَ ْعتَ ِز ْل ال ُ ََ ض ال ُ ْم ْسلم َ َ َ ُ
Sunan Nasai, juz.2, hlm.135
ِ ِ وب َع ْن َح ْف َ ِ ِ ِ ِ ت ين قَالَ ْ يل أ ْ َخبَ َرنَا أَيُّ ُ صةَ بْنت سي َ َحدَّثَنَا إ َْسَاع ُ ِ ِ صر ب ِِن َخلَ ٍ ت ُختَ َها َكانَ ْ َ فَ َح َّدثَ ْ ت ْامَرأَةٌ فَنَ َزلَ ْ ُكنَّا َنَْنَ ُع َع َوات َقنَا أَ ْن َيَُْر ْج َن فَ َقد َم ْ ت أ ََّن أ ْ ت ََْت َ ت قَ ْ َ َ ِ ِ ِ ِ ِ رج ٍل ِمن أ ْ ِ صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم قَ ْد َغَزا َم َع َر ُسول اللَّو َ َص َحاب َر ُسول اللَّو َ َُ ْ ٍ ضى ت َم َعوُ ِس َّ ت َغَزَوات قَالَ ْ اثْنَ َ ِْت َع ْشَرةَ َغ ْزَوةً قَالَ ْ وم َعلَى الْ َم ْر َ تأْ ُخ ِِت َغَزْو ُ ت ُكنَّا نُ َدا ِوي الْ َك ْل َمى َونَ ُق ُ ِ فَسأَلَت أُخ ِِت رس َ ِ ِ س لِ َم ْن ََلْ يَ ُك ْن َْلَا صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم فَ َقالَ ْ ول اللَّو َ َ ْ ْ َُ ت َى ْل َعلَى إ ْح َدانَا بَأْ ٌ ِ ِِ ال لِت ْلبِسها ص ِ ت فَلَ َّما احبَتُ َها ِم ْن ِج ْلبَ ِاِبَا َولْتَ ْش َه ْد ْ ي قَالَ ْ اْلَْي َر َوَد ْع َوةَ الْ ُم ْؤمن َ ج ْلبَ ٌ اب أَ ْن ََتُْر َج فَ َق َ ُ ْ َ َ ِ ت رس َ ِ ِ ِ ِ ول َك َذا َوَك َذا صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم يَ ُق ُ قَد َم ْ ت أ ُُّم َعطيَّةَ فَ َسأَلْتُ َها أ َْو َسأَلْنَ َ ول اللَّو َ اىا َى ْل ََس ْع َ ُ ِ قَالَت وَكانَت ََل تَ ْذ ُكر رس َ ِ ال ت نَ َع ْم بَْيبًا قَ َ ت بَْيبًا فَ َقالَ ْ صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم أَبَ ًدا إََِّل قَالَ ْ ْ َ ْ ول اللَّو َ ُ َُ ِ ِ ِ ض فَيَ ْش َه ْد َن ْ اْلُ ُدوِر َو ْ ات ْ ات ْ اْلَْي َر َوَد ْع َوةَ اْلُ ُدوِر أ َْو قَالَ ْ ت الْ َع َوات ُق َوذَ َو ُ ليَ ْخ ُر ْج الْ َع َوات ُق ذَ َو ُ اِلُيَّ ُ ِِ صلَّى ْحيَّ ُ ْم َ ْن ال ُ الْ ُم ْؤمن َ ض ال ُ ي َويَ ْعتَ ِزل َ فَ ُقلْت ِْل ُِّم ع ِطيَّةَ ْ ِ س يَ ْش َه ْد َن َعَرفَةَ َوتَ ْش َه ُد َك َذا َوتَ ْش َه ُد َك َذا ض فَ َقالَ ْ َ ُ اِلَائ ُ ت أ ََولَْي َ
Musnad Ahmad, juz6, hlm 292
ضتَ ِ ك ض فَ َق َ اِلديث الثالث " نَا ِولِينِي الْ ُخ ْم َرَة ِم ْن ال َْم ْس ِج ِد قَالَ ْ ال إِ َّن َح ْي َ ت فَ ُقل ُ ْت إِنِّي َحائِ ٌ ت فِي يَ ِد ِك" لَْي َس ْ و َحدَّثَنَا ََْيَي بْن ََْيَي وأَبُو بَ ْك ِر بْن أَِِب َشْيبَةَ وأَبُو ُكريْ ٍ ال ْاْل َخَر ِان َحدَّثَنَا أَبُو َخبَ َرنَا َوقَ َ ب قَ َ ال ََْي ََي أ ْ ُ َ ُ َ َ َ َ ٍ ٍ ِ ِ ِ ُم َعا ِويَةَ َع ْن ْاْل َْع َم ِ ت ش َع ْن ثَابِت بْ ِن ُعبَ ْيد َع ْن اْل َقاس ِم بْ ِن ُُمَ َّمد َع ْن َعائ َشةَ قَالَ ْ ال ِل رس ُ ِ ض صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم نَا ِولِينِي الْ ُخ ْم َرةَ ِم ْن ال َْم ْس ِج ِد قَالَ ْ ت فَ ُقل ُ ْت إِنِّي َحائِ ٌ ول اللَّو َ قَ َ َ ُ ضتَ ِ ت فِي يَ ِد ِك فَ َق َ ك لَْي َس ْ ال إِ َّن َح ْي َ
Shahih Muslim juz.1, hlm. 244
ت ب ِن عب ي ٍد عن الْ َق ِ ِ ِِ َحدَّثَنَا أَبُو ُكريْ ٍ اس ِم بْ ِن ب َحدَّثَنَا ابْ ُن أَِِب َزائِ َد َة َع ْن َح َّج ٍ اج َوابْ ِن أَِِب َغنيَّةَ َع ْن ثَاب ْ َُ ْ َ ْ َ ٍ ِ ت ُُمَ َّمد َع ْن َعائ َشةَ قَالَ ْ أَمرِّن رس ُ ِ ال ض فَ َق َ صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم أَ ْن أُنَا ِولَوُ الْ ُخ ْم َرَة ِم ْن ال َْم ْس ِج ِد فَ ُقل ُ ْت إِنِّي َحائِ ٌ ول اللَّو َ ََ َ ُ ِ ت فِي ي ِدكِ ْح ْي َ تَ نَ َاول َ يها فَِإ َّن ال َ ضةَ لَْي َس ْ َ
Ibid hlm.245,
ِ اِت ُكلُّهم عن ََيَي ب ِن سعِ ٍ ِ ٍ ال ُزَىْي ٌر َحدَّثَنَا ََْي ََي يد قَ َ َح َّدثَِِن ُزَىْي ُر بْ ُن َح ْرب َوأَبُو َكام ٍل َوُُمَ َّم ُد بْ ُن َح ٍ ُ ْ َ ْ ْ َ ْ َ ال َع ْن يَِز َيد بْ ِن َكْي َسا َن َع ْن أَِِب َحا ِزٍم َع ْن أَِِب ُىَريْ َرةَ قَ َ
ب ي نَما رس ُ ِ ِِ ِ ت إِنِّي صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ِف الْ َم ْس ِج ِد فَ َق َ ب فَ َقالَ ْ ال يَا َعائ َشةُ نَا ِوليني الث َّْو َ ول اللَّو َ َْ َ َ ُ ك لَيس ْ ِ ِ ِ ال إِ َّن ح ْي َ ِ َحائِ ٌ ت في يَدك فَ نَ َاولَْتوُ ض فَ َق َ َ ضتَ ْ َ Ibid, hlm.245
ت ب ِن عب ي ٍد عن الْ َق ِ ِِ َّد بْ ُن ُم َس ْرَى ٍد َحدَّثَنَا أَبُو ُم َعا ِويَةَ َع ْن ْاْل َْع َم ِ اس ِم َع ْن َعائِ َشةَ َحدَّثَنَا ُم َسد ُ ش َع ْن ثَاب ْ َُ ْ َ ْ ت قَالَ ْ ِ ال ِل رس ُ ِ ال ض فَ َق َ صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم نَا ِولينِي الْ ُخ ْم َرَة ِم ْن ال َْم ْس ِج ِد فَ ُقل ُ ْت إِنِّي َحائِ ٌ ول اللَّو َ قَ َ َ ُ رس ُ ِ ضتَ ِ ت فِي يَ ِد ِك ك لَْي َس ْ صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم إِ َّن َح ْي َ ول اللَّو َ َُ
Sunan Abi Dawud, juz.1, hlm.68
ت ب ِن عب ي ٍد عن الْ َق ِ ِِ َحدَّثَنَا قُتَ ْيبَةُ َحدَّثَنَا َعبِ َيدةُ بْ ُن َُحَْي ٍد َع ْن ْاْل َْع َم ِ ال اس ِم بْ ِن ُُمَ َّم ٍد قَ َ ش َع ْن ثاب ْ َُ ْ َ ْ ال ِل رس ُ ِ ِ ْت صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم نَا ِولِينِي الْ ُخ ْم َرةَ ِم ْن ال َْم ْس ِج ِد قَالَ ْ ت قُل ُ قَالَ ْ ول اللَّو َ ت ِل َعائ َشةُ قَ َ َ ُ ضتَ ِ ت فِي يَ ِد ِك ض قَ َ ك لَْي َس ْ ال إِ َّن َح ْي َ إِنِّي َحائِ ٌ ِ يث حسن ِ ال أَبو ِعيسى ح ِد ُ ِ يح َوُى َو قَ َ يث َعائ َشةَ َحد ٌ َ َ ٌ َ صح ٌ ال َوِف الْبَاب َع ْن ابْ ِن ُع َمَر َوأَِِب ُىَريْ َرَة قَ َ ُ َ َ قَ و ُل ع َّام ِة أَى ِل الْعِْل ِم ََل نَعلَم ب ي نَ هم اختِ ََّلفًا ِف َذلِك بِأَ ْن ََل ب ْأس أ َْن تَت نَاوَل ْ ِ ض َشْيئًا ِم ْن َ ْ ُ َْ ُ ْ ْ ْ َ ْ اِلَائ ُ َ َ َ َ الْ َم ْس ِج ِد
Sunan Tirmizi, juz.1, hlm. 241
ِ ِ شحوأْ ِ ال َحدَّثَنَا َج ِر ٌير َع ْن ْاْل َْع َم ِ َخبَ َرنَا قُتَ ْيبَةُ َع ْن َعبِ َيد َة َع ْن ْاْل َْع َم ِ ش يم قَ َ أْ َخبَ َرنَا إ ْس َح ُق بْ ُن إبْ َراى َ ت ب ِن عب ي ٍد عن اْل َق ِ ِِ اس ِم ابْ ِن ُُمَ َّم ٍد قَ َ ت َعائِ َشةُ ال قَالَ ْ َع ْن ثَاب ْ َُ ْ َ ْ ِ ال ِل رس ُ ِ ال ض فَ َق َ صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم نَا ِولينِي الْ ُخ ْم َرةَ ِم ْن ال َْم ْس ِج ِد فَ ُقل ُ ْت إِنِّي َحائِ ٌ ول اللَّو َ قَ َ َ ُ رس ُ ِ ضتُ ِ ك فِي يَ ِد ِك صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم لَْي َس ْ ت َح ْي َ ول اللَّو َ َُ ِ ِ ش ِِبَ َذا ِْ ال إِ ْس َح ُق أَنْبَأَنَا أَبُو ُم َعا ِويَةَ َع ْن ْاْل َْع َم ِ قَ َ اْل ْسنَاد مثْ لَوُ
Sunan Nasai, juz.1 , hlm.147
ال حدَّثَنا ََيَي بن سعِ ٍ ال ال قَ َ ال َح َّدثَِِن أَبُو َحا ِزٍم قَ َ يد َع ْن يَِز َيد بْ َن َكْي َسا َن قَ َ أْ َخبَ َرنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن الْ ُمثَ ََّّن قَ َ َ َ ْ َ ْ ُ َ أَبُو ُىَريْ َرَة ِ ب ي نَما رس ُ ِ ِِ ت إِنِّي ََل صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ِف الْ َم ْس ِج ِد إِ ْذ قَ َ ب فَ َقالَ ْ ال يَا َعائ َشةُ نَا ِوليني الث َّْو َ ول اللَّو َ َْ َ َ ُ ُصلِّي قَ َ ِ ت س فِي يَ ِد ِك فَ نَ َاولَ ْ أَ ال إنَّوُ لَْي َ اق َع ِن الْبَ ِه ِّي َع ِن ابْ ِن ُع َمَر َحدَّثَنَا َح َس ٌن َحدَّثَنَا ُزَىْي ٌر َع ْن أَِِب إِ ْس َح َ
Ibid, hlm.146
ت صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم قَ َ ال لِ َعائِ َشةَ نَا ِولِينِي الْ ُخ ْم َرةَ ِم ْن ال َْم ْس ِج ِد فَ َقالَ ْ َح َدثْ ُ ت إِنِّي قَ ْد أ ْ أ ََّن النِ َّ َِّب َ ضتُ ِ ك فِي يَ ِد ِك فَ َق َ ال أ ََو َح ْي َ
Musnad Ahmad, juz.5, hlm.325
ِ َح َو ِ ت ص َع ْن أَِِب إِ ْس َح َق َع ْن اْلبَ ِه ِّي َع ْن َعائ َشةَ قَالَ ْ َحدَّثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَِِب َشْيبَةَ َحدَّثَنَا أَبُو ْاْل ْ ِ ال ِل رس ُ ِ ال ض فَ َق َ صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم نَا ِولينِي الْ ُخ ْم َرةَ ِم ْن ال َْم ْس ِج ِد فَ ُقل ُ ْت إِنِّي َحائِ ٌ ول اللَّو َ قَ َ َ ُ ضتُ ِ ك فِي يَ ِد ِك لَْي َس ْ ت َح ْي َ
Sunan Ibnu Majah, juz.2, hlm.293
ِ ِ ِ ض وتَ ُقوم إِح َدانَا بِ ُخمرتِوِ اِلديث الرابيع " يَ َ ض ُع َرأْ َسوُ في ح ْج ِر إِ ْح َدانَا فَ يَْت لُو الْ ُق ْرآ َن َوى َي َحائِ ٌ َ ُ ْ َْ ِ ِِ ِ ض" سطُ َها َوى َي َحائِ ٌ إلَى ال َْم ْسجد فَ تَْب ُ ٍ ِ ت صوٍر َع ْن ُس ْفيَا َن َع ْن َمْنبُوذ َع ْن أ ُِّمو أ ََّن َمْي ُمونَةَ قَالَ ْ أْ َخبَ َرنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن َمْن ُ ِ َكا َن رس ُ ِ ض صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم يَ َ ض ُع َرأْ َسوُ فِي َح ْج ِر إِ ْح َدانَا فَ يَْت لُو الْ ُق ْرآ َن َوى َي َحائِ ٌ ول اللَّو َ َُ ِ ِِ ِ ِِ َوتَ ُق ُ ِ ض سطُ َها َوى َي َحائِ ٌ وم إ ْح َدانَا بالْ ُخ ْم َرة إلَى ال َْم ْسجد فَ تَْب ُ
Sunan Nasai, juz1, hlm. 147, juz2, hlm.123
حدَّثَنَا عب ُد َّ ِ َخبَ َرنَا ابْ ُن ُجَريْ ٍج قَ َ َخبَ َرِّن َمْنبُوذٌ أ ََّن أ َُّموُ أ ْ ال أ ْ الرزَّاق َوابْ ُن بَ ْك ٍر قَ َاَل أ ْ َ َْ َخبَ َرتْوُ ِ ِ ِ ِ صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم إِ ْذ َد َخل َعلَْي َها ابْ ُن َعبَّ ٍ ت اس فَ َقالَ ْ َّها بَْي نَا ى َي َجال َسةٌ عْن َد َمْي ُمونَةَ َزْو ِج النِ ِّ َِّب َ أَن َ َ اِلي ِ ِ ِ صلَّى ك َشعِثًا قَ َ ض فَ َقالَ ْ َما لَ َ ِن َوأَيْ َن َْْ َ ضةُ م ْن الْيَد لَ َق ْد َكا َن النِ ُّ َي بُ ََّ ال أ ُُّم َع َّما ٍر ُمَر ِّجلَِِت َحائ ٌ َِّب َ تأْ ِ َّكئةٌ حائِض قَ ْد علِم أَنَّها حائِض فَيت ِ ِ ِ ِ َّك ُئ َعلَْي َها فَيَْت لُو اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم يَ ْد ُخ ُل َعلَى إ ْح َدانَا َوى َي ُمت َ َ ٌ َ َ َ َ ٌ َ اع َدةً وِىي حائِض فَيت ِ َّكئ علَي ها أَو ي ْدخل علَي ها قَ ِ ِ َّك ُئ ِف ِح ْج ِرَىا فَيَْت لُو الْ ُق ْرآ َن ِف الْ ُق ْرآ َن َوُى َو ُمت ٌ َ ْ َ ْ َ ُ ُ َ ْ َ َ َ َ ٌ َ ِحج ِرىا وتَ ُق ِ ِ صلِّي َعلَْي َها ص ََّّلهُ وقَ َ سُ وم َوى َي َحائِ ٌ ال ابْ ُن بَ ْك ٍر ُخ ْم َرتَوُ فَ يُ َ ط لَوُ الْ ُخ ْم َرةَ في ُم َ َْ َ ُ ض فَ تَْب ُ ِ ِ ضةُ ِم ْن الْيَ ِد ْح ْي َ َي بُنَ َّي َوأَيْ َن ال َ في بَ ْيتي أ ْ
Musnad Ahmad juz.6, hlm.334
ٍ ِ ت َحدَّثَنَا ُس ْفيَا ُن َع ْن َمْنبُوذ َع ْن أ ُِّمو قَالَ ْ ِ ِ ُكْن ِ اىا ابْ ُن َعبَّ ٍ ض ك قَ َ ك َشعثًا َرأْ ُس َ ِن َما لَ َ اس فَ َقالَ ْ ت يَا بُ ََّ ال أ ُُّم َع َّما ٍر ُمَر ِّجلَِِت َحائ ٌ ُ ت عْن َد َمْي ُمونَةَ فَأَتَ َ اِليضةُ ِمن الْي ِد َكا َن رس ُ ِ صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم يَ ْد ُخ ُل َعلَى إِ ْح َدانَا َوِى َي قَالَ ْ َي بُ ََّ ول اللَّو َ َُ ِن َوأَيْ َن َْْ َ ْ َ تأْ ِ ِ ِ ِ ِ ض ُع َها فِي وم إِ ْح َدانَا بِ ُخ ْم َرت ِو فَ تَ َ ض فَيَ َ ض ُُثَّ تَ ُق ُ ض ُع َرأْ َسوُ ِف ح ْج ِرَىا فَيَ ْقَرأُ الْ ُق ْرآ َن َوى َي َحائ ٌ َحائ ٌ ِ ضةُ ِم ْن الْيَ ِد ْح ْي َ ال َْم ْس ِج ِد َوى َي َحائِ ٌ َي بُنَ َّي َوأَيْ َن ال َ ضأ ْ
Ibid, juz.6, hlm.331
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Ningsih Sri Rahayu
TTL
: Bojonegoro, 17 september 1987
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat asal
: Kedungadem, Bojonegoro, Jawa Timur
Alamat sekarang
: Tanjungsari, Ngalian, Semarang
Pendidikan
: SD Negeri Megale 1, lulus tahun 2000 SLTP Negeri 1 Kedungadem, lulus tahun 2003 MA at Tanwir Sumberjo Bojonegoro, lulus 2007 IAIN Walisongo Semarang, lulus tahun 2012