TELAAH HADITS NIKAH MUT’AH (Takhrij Terhadap Hadits Kebolehan Nikah Mut’ah)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Kewajiban dan Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam dalam Ilmu Syari’ah
Oleh : MUHAMMAD ARIF SLAMET RAHARJO NIM : 211 05 008
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2010
TELAAH HADITS NIKAH MUT’AH (Takhrij Terhadap Hadits Kebolehan Nikah Mut’ah)
SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Kewajiban dan Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam dalam Ilmu Syari’ah
Oleh : MUHAMMAD ARIF SLAMET RAHARJO NIM : 211 05 008
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2010
i
DEPARTEMEN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA Jl. Stadion 03 Telp. 0298 323706, 323433 Salatiga 50721 Website : www.stainsalatiga.ac.id e-mail :
[email protected]
ADANG KUSWAYA, Dr., MA.g DOSEN STAIN SALATIGA NOTA PEMBIMBING Lamp : 3 eksemplar Hal
: Naskah skripsi Saudara MUHAMMAD ARIF SLAMET. R
Kepada Yth. Ketua STAIN Salatiga di Salatiga Assalamu’alaikum. Wr. Wb. Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini, kami kirimkan naskah skripsi saudara : Nama
: Muhammad Arif Slamet Raharjo
NIM
: 211 05 008
Jurusan / Progdi
: Syari’ah / Ahwal Al-Syakhshiyyah
Judul
: Telaah Hadits Nikah Mut’ah (Takhrij Terhadap Hadits Kebolehan Nikah Mut’ah)
Dengan ini kami mohon skripsi saudara tersebut di atas supaya segera dimunaqosahkan. Demikian agar menjadi perhatian. Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.
Salatiga, 1 Maret 2010 Pembimbing
Dr. ADANG KUSWAYA, MA.g NIP. 19720531 199803 1 002 ii
DEPARTEMEN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA Jl. Stadion 03 Telp. 0298 323706, 323433 Salatiga 50721 Website : www.stainsalatiga.ac.id e-mail :
[email protected]
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi Saudara Muhammad Arif Slamet Raharjo dengan Nomor Induk Mahasiswa 211 05 008 yang berjudul Telaah Hadits Nikah Mut’ah (Takhrij Terhadap Hadits Kebolehan Nikah Mut’ah) telah dimunaqosyahkan dalam sidang panitia ujian Jurusan Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) pada selasa, 13 Maret 2010 dan telah diterima sebagai bagian dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.i).
Salatiga, 27 Rabi’ul Awwal 1431 H 13 Maret 2010 M.
Panitia Ujian
Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
Dr. Imam Sutomo, M.Ag NIP. 19580827 198303 1 002
Dr. H. Moh. Saerozi, M.Ag NIP. 19660215 199103 1 001
Penguji I
Penguji II
Drs. Badwan, M.Ag NIP. 19561202 198003 1 005
Drs. Mahfudz, M.Ag NIP. 19610210 198703 1 006
Pembimbing
Dr. Adang Kuswaya, M.Ag NIP.19720531 199803 1 002 iii
DEPARTEMEN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA Jl. Stadion 03 Telp. 0298 323706, 323433 Salatiga 50721 Website : www.stainsalatiga.ac.id e-mail :
[email protected]
DEKLARASI Saya yang bertanda tangan di bawa ini: Nama
: Muhammad Arif Slamet Raharjo
Nim
: 211 05 008
Jurusan / Progdi
: Syari’ah / Ahwal Al-Syakhshiyyah
Judul
: Telaah Hadits Nikah Mut’ah (Takhrij Terhadap Hadits Kebolehan Nikah Mut’ah)
Menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau pernah diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiranpikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan. Apabila di kemudian hari ternyata terdapat materi atau pikiran-pikiran orang lain di luar referensi yang peneliti cantumkan, maka peneliti sanggup mempertanggung jawabkan keaslian skripsi ini di hadapan sidang munaqosyah skripsi. Demikian deklarasi ini dibuat oleh penulis untuk dapat dimaklumi.
Salatiga, 1 Maret 2010 Yang menyatakan,
MUHAMMAD ARIF SLAMET. R NIM: 211 05 008 iv
MOTTO
…
“Katakanlah: ‘Jika aku sesat maka sesungguhnya aku sesat atas kemudharatan diriku sendiri; dan jika aku mendapat petunjuk maka itu adalah disebabkan apa yang diwahyukan Robbku kepadaku’….” (Q.S. as Sabaa’ ayat 50)
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada: 1. Allah swt, atas segala nikmat ar-rahman dan ar-rahim-Nya. 2. Rasulullah Muhammmad saw, terimalah kami menjadi ma’mummu dengan segala keterbatasan ilmu dan amal yang kami miliki. Jika ada amal kami yang keliru-keliru, itu terjadi karena silaunya mata hati kami dalam menatap terangnya risalahmu, sehingga membuat penglihatan kami tidak mampu membedakan mana utara dan mana selatan. Al-afwu minna. 3. Ayah dan Ibu, tak cukup kata ungkapakan segala rasa, hanyalah terimakasih atas semua tetesan darah, keringat dan air matamu. 4. Adikku Uswatun Chasanah dan Lpha Johan. S, thank’s for all. 5. Kepada Bapak Dr. Adang Kuswaya M.Ag, atas semua curahan motivasi dalam melakukan bimbingan skripsi ini. 6. Syabab Hizbut-tahrir dan rekan daris wilayah Semarang, Salatiga dan Surakarta. Terus kibarkan al-liwa dan ar-roya, agar rahmat Allah swt dapat tersebar ke seluruh penjuru bumi,“inna wa’dallahi haq.” 7. Ikhwan Ahlul-bait di Jokdja, Salatiga Semarang, bil-Husain asy-Syahid:“kullu yaumin asy-syura, kullu ardhin karballa.” 8. My Best Friend Her@ and NaNaNk 9. Teman-teman AS angkatan 2005. 10. Sanak-Kadang, yang telah ikut membantu dalam menyelesaikan penulisan ini, utamanya UchA, AroEm, moetholingah, kang HoEdA, bang ZiEPto, The-guH, Gus AmiEn, al-FaroeQ, serta semua yang telah menyempatkan waktunya untuk ane ganggu. Jazakumullah Khairon Katsir. 11. Kepada para Guru, Dosen, Asatidz, Murobbi, Musyrif serta karib semua yang telah mentransmitterkan pikiran-pikirannya kepada penulis. 12. Juga untuk semua makhluk hidup yang pernah melintasi ruang dan waktu perjalanan hidupku, teruslah berdialegtika amanu, jahadu, hajaru.. vv 13. Pembaca yang budiman seluruhnya.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan rahmat dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga mampu mengemban amanah sebagai khalifah di muka bumi ini. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah saw, keluarga, sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman. Penyusun menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk ini, penyusun menghaturkan ucapan terimakasih yang setulustulusnya kepada: 1. Bapak Drs. Imam Sutomo, M.Ag selaku ketua STAIN Salatiga. 2. Bapak Mubasirun, M.Ag, selaku ketua jurusan STAIN Salatiga. 3. Bapak Moh. Khusen M.Ag, M.A, selaku ketua Progdi studi Ahwalu alSyakhsiyyah STAIN Salatiga. 4. Bapak Dr. Adang Kuswaya, M.Ag, selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi ini. 5. Bapak dan Ibu dosen dan para civitas akademika lingkungan Jurusan Syari’ah Progdi Ahwalu al-Syakhsiyyah, yang telah dengan sabar dan ikhlas dalam mengampu materi-materi kuliah. 6. Para dosen serta karyawan STAIN Salatiga yang telah memberikan jalan ilmu dan pelayanan. 7. Kepada semua insan yang telah menjadi inspirasi, motivasi, penyemangat yang tidak bisa penulis tuliskan satu per satu. Billahi fi sabilil haq fastabiqul khair
vii
ABSTRAK
Raharjo, Muhammad Arif Slamet. 2010. Telaah Hadits Nikah Mut’ah (Takhrij Terhadap Hadits Kebolehan Nikah Mut’ah). Skripsi. Jurusan Syari’ah. Prorgam Studi Ahwalu al-Syakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dr. Adang Kuswaya, M.Ag.
Kata kunci: Takhrij Hadits, Hadits kebolehan nikah mut’ah.
Perdebatan hukum nikah mut’ah telah berlangsung sejak lama sehingga memunculkan dua mainstream pemikiran dalam wacana hukum Islam, yaitu yang melarang dan yang membolehkannya. Dalam masalah ini kelompok yang melarang adalah jumhur ulama Ahl as-Sunnah, sedangkan kelompok yang membolehkan adalah Syi’ah. Ulama Ahl as-Sunnah berpandangan jika nikah mut’ah tidak banyak berbeda dengan zina, karena memudahkan kehidupan freesex yang tidak terikat dengan ikatan apapun dan terlepas dari tanggung jawab perkawinan. Akan tetapi pernyataan yang dikemukakan oleh ulama Ahl as-Sunnah tersebut ditanggapi oleh otoritas Syi’ah, dengan menyatakan bahwa nikah mut’ah diperkenankan oleh Nabi Muhammad saw dan kebolehannya berlaku untuk selamanya. Alasannya lebih karena nikah mut’ah adalah rahmat Allah swt yang diberikan kepada ummat Nabi saw, dan sama sekali berbeda dengan zina. Pendapat yang dikemukakan oleh komunitas Syi’ah di atas, merupakan satu fenomena yang menarik untuk dikaji. Hal tersebut memberikan kesempatan kepada penyusun untuk menyingkap dasar hukum, yakni Hadits yang membolehkan nikah mut’ah dari riwayat kitab Hadits Ahl as-Sunnah dan Syi’ah. Dikarenakan kajian ini merupakan kajian studi takhrij hadits, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan takhrij hadits, yaitu melakukan analisis terhadap reputasi sanad dan matan, dengan maksud menemukan kejelasan status Hadits yang ditakhrij. Berdasarkan metode yang digunakan, maka terungkaplah bahwa Hadits tersebut, isi matannya merujuk kepada ayat al-Qur’an. Adapun pelarangan nikah mut’ah yang terjadi, adalah pelarangan yang bersifat administratif dari seorang kepala Negara, karena melihat penyimpangan hukum Syari’at oleh sebagian rakyatnya. viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL……………………………………………………….
i
NOTA PEMBIMBING ……………………………………………………
ii
PENGESAHAN KELULUSAN ….…………………………….................
iii
DEKLARASI………………………………………………………………
iv
MOTTO……………………………………………………………………
v
PERSEMBAHAN………………………………………………................
vi
KATA PENGANTAR……………………………..………………………
vii
ABSTRAK…..……………………………….........................……………
viii
DAFTAR ISI………………………………….........................……………
ix
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………………………………............
1
B. Penegasan Istilah……………………………………………...
8
C. Rumusan Masalah……………………………………………..
10
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………..
10
E. Telaah Pustaka…..…………………………………………….
11
F. Kerangka Teori……………..…………………………............
13
G. Metode Penelitian Skripsi……………………………….........
18
H. Sistematika Penulisan……………………………….………...
21
BAB II TINJAUAN UMUM AL-HADITS DAN NIKAH MUT’AH DALAM PERSPEKTIF AHL AS-SUNNAH DAN SYI’AH A. Al-Hadits dalam Perspektif Ahl as-Sunnah……………...........
23
B. Al-Hadits dalam Perspektif Syi’ah………………...………….
51
C. Tinjauan Umum Nikah Mut’ah……….………………............
67
ix
BAB III PELAKSANAAN TAKHRIJ HADITS A. Jalur Periwayatan Hadits Ahl as-Sunnah……………………..
79
B. Jalur Periwayatan Hadits Syi’ah……….………...…………...
103
BAB IV ANALISA MATAN HADITS A. Analisa Matan Hadits Kebolehan Nikah Mut’ah…………..… 117 B. Analisa Penghapusan Nikah Mut’ah..………...….…...……… 124 BAB V PENUTUP A Kesimpulan ……………………………………………...……
128
B. Rekomendasi..………………………………………………... 131 Daftar Pustaka Lampiran-Lampiran
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Naluri manusia untuk melanjutkan keturunan atau naluri seksual menuntut suatu pemuasan ketika bergejolak. Dalam upaya pemenuhan naluri tersebut, Allah swt tidak mau menjadikan manusia seperti hewan yang hidup bebas menuruti nalurinya. Maka dari itu, ajaran Islam melarang keras ummatnya melakukan suatu perbuatan yang bisa mengantarkan seseorang menuju pintu zina (free sex).1 Pada saat yang bersamaan, Islam juga memerangi kecenderungan sebaliknya, yakni kecenderungan untuk melawan naluri dengan melakukan pola hidup rahbaniyyah (membujang).2 Sebagai jalan keluarnya, Allah swt menjadikan lembaga pernikahan yang diatur dalam bingkai syariat Islam sebagai bentuk penghargaan serta penghormatan yang tinggi bagi harkat dan martabat manusia di antara makhluk hidup lainnya. Pintu satu-satunya yang disepakati oleh segenap ulama adalah bahwa seks halal hanyalah hubungan seks yang dilakukan oleh pasangan laki-laki perempuan yang telah terikat oleh tali pernikahan sah.3 Oleh karena pernikahan merupakan suatu pekerjaan yang menjadikan halal hubungan kelamin yang sebelumnya diharamkan, maka harus diperhatikan betul bagaimana status hukum mengenai syarat sahnya sebuah pernikahan. Dalam kajian hukum perkawinan, selama ini muncul perbedaan pendapat antara golongan Ahl as-Sunnah dan Syi’ah berkaitan tentang
1
Q.S. al-Israa’ [7] : 32. Q.S. al-Hadid [57]: 27. 3 Miftachur Rif’ah, “Perhatian Islam terhadap Kesetaraan Hubungan Suami Istri”, dalam Jurnal Ijtihad, No.1, Thn.VI, (Salatiga: Jurusan Syari’ah & P3M STAIN Salatiga, 2006), hlm 177. 2
penetapan hukum nikah mut’ah, yaitu suatu bentuk pernikahan yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam jangka waktu tertentu (ila ajalin musamma’). Mayoritas ulama Ahl as-Sunnah dan Syi’ah sepakat bahwa nikah mut’ah, berdasarkan keputusan Nabi Muhammad saw., adalah halal, dan bahwasanya kaum Muslimin telah melakukannya pada masa hidup beliau. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang ada atau tidaknya nasakh tersebut.4 Mahzab Syi’ah berkeyakinan bahwa hukum nikah mut’ah boleh atau halal sampai dengan hari kiamat. Dasar hukumnya adalah al-Qur’an surat anNisaa’ ayat 24:
… … Artinya:
“…Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (Istamta’tum) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna),….” 5
Kata istamta’a ( )اﺳﺘﻤﺘﻊdalam ayat di atas mengandung makna nikah mut’ah, baik ada anggapan bahwa ayat ini telah di-nasakh oleh ayat lain, atau sunnah atau pun yang lainnya. Menurut golongan ini, pelarangan nikah mut’ah terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab dalam peristiwa kasus Ibnu Harits.6 Penyandaran terhadap ayat al-Qur’an di atas, dinyatakan dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan dari Imam Ja’far ash-Shadiq, yakni Imam keenam bagi kalangan Syi’ah Imamiyah. Berikut bunyi teks haditsnya: 7
4
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mahzab, alih bahasa: Afif Muhammad, cet ke1, (Jakarta: Basrie Press, 1994), hlm. 109. 5 Q.S. an-Nisaa’ [4]: 24, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departeman Agama RI, cet. ke-10, Bandung: Penerbit Diponegoro, 2005, hlm. 227. 6 Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairiy an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), II: 1023, dalam “Kitab an-Nikah,” hadits no. 16. 7 Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini, Al-Kutubu al-Arba’ah, (Qum: Mu’asasah Anshoriyana, 2003), I: 78٢, dalam al-Kafi “Abwabul Mut’ah”, hadits no. 9875.
…ﻋﻦ أﺑﻲ ﺑﺼﯿﺮ ﻗﺎل ﺳﺄﻟﺖ أﺑﺎ ﺟﻌﻔﺮﻋﻦ اﻟﻤﺘﻌﺔ ﻓﻘﺎل ﻧﺰﻟﺖ ﻓﻲ اﻟﻘﺮآن ﻓﻤﺎاﺳﺘﻤﺘﻌﺘﻢ ﺑﮫ ﻣﻨﮭﻦّ ﻓﺂﺗﻮھﻦّ اﺟﻮرھﻦّ ﻓﺮﯾﻀﺔ وﻻ ﺟﻨﺎح ﻋﻠﯿﻜﻢ ﻓﯿﻤﺎ ﺗﺮاﺿﯿﺘﻢ ﺑﮫ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ اﻟﻔﺮﯾﻀﺔ Komunitas ulama yang membolehkan nikah mut’ah menganggap bahwa bentuk pernikahan ini berposisi sebagai pendamping pernikahan permanen. Karena aturan dalam nikah mut’ah memberikan keleluasaan bagi pihak laki-laki untuk membuat suatu bentuk kesepakatan bersama dengan pihak perempuan. Kesepakatan tersebut bisa berisi tentang besarnya beban nafkah bagi istri, penentuan lamanya masa pernikahan, harapan kehamilan, ataupun dalam masalah pembagian warisan, yang tentunya dalam masalah penentuan ini pihak perempuan mempunyai posisi tawar (bargaining position). Dengan demikian, perkawinan mut’ah sejauh menyangkut batasanbatasan dan persyaratan-persyaratan, adalah ‘bebas’ tergantung pada pilihan dan perjanjian antara keduanya.8 Jika calon suami tidak menyanggupi isi perjanjian tersebut, maka pernikahan tidak akan berlangsung. Inilah yang membedakannya dengan pernikahan da’im, dimana si istri mau tidak mau harus menerima si pria sebagai kepala rumah tangga dan melakukan apa yang dikatakan si suami bagi kepentingan keluarga. Pendapat di atas, didapat dari pemahaman Fiqih Ja’fari sebagai sebutan resmi untuk fiqih Mazhab Syi’ah Imamiyah. Penamaan Fiqih Ja’fari mengacu pada nama Imam Ja’far ash-Shadiq, Imam keenam bagi Syi’ah Imamiyah. Adalah beliau yang memiliki kesempatan besar untuk mengembangkan fiqih berdasarkan tradisi Ahlul-bait ketika masa transisi kekuasaan dari Dinasti Umayah ke Abbasiyah. Empat besar pemuka fiqih Ahl as-Sunnah (Hanafi, 8
Ibnu Mustafa (Ed), Perkawinan Mut’ah dalam Perspektif Hadis dan Tinjauan Masa Kini, cet. ke-2, Jakarta: Penerbit Lentera, 2003, hlm. 49.
Maliki, Syafi’i dan Hanbali) secara keilmuan bermuara kepada Imam Ja’far ash-Shadiq.9 Berbeda halnya dengan Mazhab Ahl as-Sunnah, mereka menyatakan bahwa hukum kebolehan nikah mut’ah telah dinasakh oleh ayat al-Qur’an dan Hadits. Adapun ayat al-Qur’an yang telah menasakh ayat mut’ah di atas, antara lain adalah surat al-Mu’minun ayat 5-7:
. . Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” 10
Ayat di atas berisi tentang larangan melakukan hubungan sebadan dengan wanita kecuali istri-istri yang sah dan budak yang dimiliki oleh tuannya. Adapun wanita hasil perkawinan mut’ah bukanlah termasuk istri-istri yang ditunjuk dalam ayat tersebut, bukan pula budak yang dimiliki. Pada umumnya, kalangan Ahl as-Sunnah membenarkan jika nikah mut’ah pernah diizinkan oleh Rasulullah saw dan berlaku praktiknya pada permulaan Islam, untuk kemudian dilarang oleh Khalifah Umar bin Khattab. Namun demikian, banyak juga riwayat Ahl as-Sunnah yang menyebutkan bahwa pelarangan ini terjadi ketika Rasulullah saw masih hidup. Pelarangan
9
Abdul Rouf, “Melacak Akar Pemikiran Fikih Ja’fari”, dalam Jurnal al-Huda, Vol.V, No.13, (Jakarta: Pusat Penelitian Islam al-Huda, 2007), hlm. 21. 10 Q.S. al-Mu’minun [23]: 5-7, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departeman Agama RI, hlm. 77.
tersebut terjadi dalam beberapa kali peristiwa dan masa yang berbeda. Antara lain dalam peristiwa Perang Khaibar, Fatkhul Makkah, Haji Wada’, Umrah alQadha’, dan Perang Authas.11 Selain tercantum dalam kitab Hadits Ahl as-Sunnah, terdapat juga Hadits pelarangan nikah mut’ah pada masa perang Khaibar yang tercantum dalam kitab Hadits Syi’ah.12 Namun, Abu Ja’far ath-Thusi memberikan komentar jika Hadits tersebut tertolak dengan sikap taqiyah Imam Ali bin Abi Thalib, karena kebolehan nikah mut’ah dalam Mahzab Syi’ah adalah mutlak berdasarkan ajaran para Imam, sehingga kemutlakan tersebut menghapus Hadits sebagai sikap taqiyah yang bersifat umum.13
Mayoritas ulama yang meyakini bahwa nikah mut’ah dilarang berpandangan kalau nikah mut’ah tidak memiliki fondasi pernikahan yang kokoh dan cenderung mempermudah lembaga sakral ini. Karena dalam masalah ini perempuan dianggap seolah seperti benda bayaran, dinikmati, dibayar lantas ditinggalkan. Lebih lanjut, Hartono Ahmad Jaiz memperkuat dugaan adanya efek buruk dari praktik nikah mut’ah dengan mengungkap beberapa contoh kasus korban yang disebabkan karena melakukan nikah model ini. Salah satu contohnya adalah seorang wanita yang mengidap penyakit kotor gonorhe (kencing nanah) akibat melakukan nikah mut’ah. Wanita tersebut berasal dari
11
Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusydi alQurthubi, Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtashid, (“tnp.”, “tkp.”, 1960), I: 58, dalam “Kitab Nikah”. 12 Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan ath-Thusi, al-Kutubu al-Arba’ah, I: 2120, dalam Tahdhibu al-Ahkam “Baabu Tafshili Ahkam an-Nikah”, hadits no. 91١3. 13 Ibid.
Wisma Fathimah dengan alamat Jalan Alex Kawilarang No. 63 Bandung Jawa Barat.14 Tidak kalah meresahkan, jika praktik nikah mut’ah akhir-akhir ini menjadi semacam trend dalam masyarakat Indonesia, padahal mayoritas masyarakat Indonesia bermahzab Ahl as-Sunnah. Praktek mut’ah ini bisa dijumpai di daerah Desa Kalisat, Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan, Propinsi Jawa Timur.15 Fenomena lain, dapat ditemukan di daerah Cisarua Bogor, Cikalong, Cipanas, Bandung, Indramayu, Sukabumi, dan juga berasal dari daerah penghasil ukiran terkenal Jepara,16 serta dari berbagai belahan bumi Indonesia lainnya. Rupa-rupanya, pelarangan nikah mut’ah di atas mendapat dukungan dari pihak pemerintah Indonesia. Sebagai bukti, dengan dirumuskannya definisi pernikahan, -permanen (da’im)- yang termaktub dalam pasal 1 UU Perkawinan tahun 1974: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” 17 Secara eksplisit kata “kekal” dalam pasal di atas berarti pernikahan yang bersifat permanen (da’im), lawan dari nikah temporer (mut’ah). Definisi tersebut dimaksudkan untuk meniadakan hukum kebolehan pernikahan yang hanya berlaku sementara (mut’ah). Bukti lain ialah dengan dikeluarkannya fatwa haram nikah mut’ah oleh lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berikut bunyi teks penetapannya; 14
Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, cet. ke-12, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002, hlm. 134. 15 “Ramai-Ramai Kawin Kontrak”, dalam Majalah Darul Islam, Vol. 2, No. 4, 22 Oktober-7 November 2001, hlm. 83. 16 Tabloid Detik Pos, Edisi 300, Th. IV, 1-10 Maret 2006, hlm. 22. 17 Undang- Undang perkawinan di Indonesia, Surabaya: Arkola, hlm 5.
“…Dengan memohon taufiq dan hidayah dari Allah swt.
MEMUTUSKAN Menetapkan : 1. Nikah mut`ah hukumnya adalah HARAM. 2. Pelaku nikah mut`ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku 3. Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan bila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan pembetulan sebagaimana mestinya.”18 Terlepas dari masalah di atas, ternyata nikah mut’ah mulai menjadi perbincangan hangat di kalangan ummat Islam Indonesia yang mayoritas penganut Mahzab Ahl-as-Sunnah. Terbukti dari adanya wacana penyusunan Rancangan Undang-undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan (RUU HMPA), yang isinya memperketat pernikahan sirri, nikah kontrak (mut’ah), dan poligami. Dimana dalih pengajuannya, dikemukakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfudz MD, yang kebetulan berasal dari Madura, dengan menyatakan bahwa pernikahan bawah tangan (nikah sirri) dan nikah kontrak (mut’ah) merugikan pihak perempuan.19 Berangkat dari fakta di atas, akan banyak sekali sudut pandang mengenai tema nikah mut’ah yang harus diungkap. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti kajian nikah mut’ah dengan fokus studi takhrij hadits. Adapun Hadits yang akan penulis takhrij, adalah Hadits-hadits yang membolehkan nikah mut’ah, dengan sumber riwayat kitab Hadits Ahl asSunnah dan Syi’ah.
18
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Departemen Agama RI, 2003, hlm
170-173 19
”Halal kok Dipenjara”, dalam Tabloid Media Umat, Edisi 31, 5-18 Maret 2010, hlm. 18.
B. Penegasan Istilah 1. Telaah Penelitian, penyelidikan, mempelajari dengan seksama.20 2. Hadits Menurut Mazhab Ahl as-Sunnah, Hadits didefinsikan sebagai: Setiap perbuatan dan ucapan Nabi Muhammad saw tentang penjelasan-penjelasan hukum Islam yang diceritakan oleh sahabat-sahabat dan dikumpulkan lalu dibukukan.21 Sedangkan menurut Mazhab Syi’ah Imamiyah, definisi Hadits (Sunnah) ialah setiap yang diucapkan, dikerjakan atau diakui oleh orang yang (mempunyai) sifat ma’shum yang bertalian dengan penetapan hukum dan keterangan-keterangan hukum.22 Menurut keyakinan Mazhab Syi’ah, sifat ma’shum bukan hanya dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw, akan tetapi juga berlaku bagi Imam-imam mereka. 3. Nikah Mut’ah Secara bahasa, nikah mut’ah diartikan sebagai perkawinan untuk bersenang-senang, karena di dalam perkawinan ini terdapat aturan-aturan yang memberikan keringanan beban tanggung jawab kedua belah pihak (suami-istri) dibanding tanggung jawab yang ada dalam perkawinan permanen.23
20
Zainul Bahry, Kamus Umum Khususnya Bidang Hukum & Politik, Bandung: Angkasa, 1996, hlm. 327. 21 Ibid.,hlm 101 22 Asymuni Abdurrachman, Ushul Fiqh Syi’ah Imamiyah, cet. ke-1, Yogyakarta: Bina Usaha, 1985, hlm. 18. 23 Ibnu Mustafa (Ed), Perkawinan Mut’ah dalam, hlm. 15.
4. Takhrij Menurut bahasa, kata takhrij digunakan dalam beberapa arti; mengeluarkan (istinbath), meneliti (tadrib), menghadapkan (taujih).24 C. Rumusan Masalah Berangkat dari paparan latar belakang di atas, maka penelitian ini akan di fokuskan pada permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana nikah mut’ah dalam kitab-kitab Hadits dan kitab-kitab fiqih? 2. Bagaimanakah telaah sanad Hadits yang dijadikan dasar hukum kebolehan nikah mut’ah? 3. Bagaimanakah telaah matan Hadits yang dijadikan dasar hukum kebolehan nikah mut’ah?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian Agar tidak menyimpang dari masalah-masalah yang diutarakan tersebut di atas, maka perlu dituliskan tujuan dari penelitian ini. Adapun tujuan tersebut yaitu: a. Untuk mengetahui nikah mut’ah dalam kitab-kitab Hadits dan kitab-kitab fiqih. b. Untuk mengetahui telaah sanad Hadits terhadap Hadits yang dijadikan dasar hukum kebolehan nikah mut’ah. c. Untuk mengetahui telaah matan Hadits terhadap Hadits yang dijadikan dasar hukum kebolehan nikah mut’ah. 2. Manfaat penelitian 24
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Sejarah dan Metodologinya, cet ke-1, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997. hlm. 149.
Dengan mengacu pada tema bahasan penelitian ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa: a. Pengetahuan tentang pengayaan studi takhrij hadits. b. Memberikan sumbangan khusus, berupa pengetahuan tentang segi kualitas dan kuantitas Hadits kebolehan nikah mut’ah, yang bersumber dari kitab Hadits Ahl as-Sunnah dan Syi’ah.
E. Telaah Pustaka Sejauh ini penelitian tentang nikah mut’ah menurut Syi’ah dan Ahl asSunnah telah banyak dilakukan. Dapat dikemukakan disini antara lain tulisan Badwan dalam Kawin Kontrak dalam Perspektif Sosio Filosofis. Dia mengulas aspek hukum dan relevansi nikah mut’ah dalam aplikasi kehidupan bermasyarakat, terutama ummat Islam. Pendekatan kefilsafatan ditujukan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi gagasan filosofis yang tersembunyi dibalik pelaksanaan nikah mut’ah. Menurut pandangan penulis, nikah mut’ah secara teoritis menunjukkan kesengajaan dalam rangka mengejar kepentingan individualistik dengan alasan pemenuhan hasrat seksual sebagai dasar legalitasnya. Selain itu, pernikahan model ini hanya menguntungkan pihak laki-laki saja, tanpa memperdulikan kebutuhan psikologis pihak perempuan, berupa perlindungan rasa aman, rasa kasih sayang, dan naluri untuk mengekspresikan diri dalam satu rumah tangga.25
25
Badwan, Kawin Kontrak dalam Perspektif Sosio Filosofis, cet. ke-1, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Penelitian lain, diangkat oleh Masykur dengan mengambil judul Nikah Mut’ah Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Nikah Mut’ah Menurut Syi’ah). Dia mengungkap dalil al-Qur’an dan Hadits bertema nikah mut’ah yang menjadi bahan perdebatan antara Mazhab Ahl as-Sunnah dan Syi’ah. Metode pengolahan data yang digunakan adalah metode deduktif, induktif dan komparasi. Penulis memasukkan pendapat para ulama ahli tafsir terhadap surat anNisaa’ ayat 24, yakni; al-Qurthubi, Ibn Katsir, al-Maraghi, al-Qasimy dan Syaikh Muhammad Thahir ibn Asya. Dari kalangan muhaditsin; Imam Abi Abbas Shihabuddin, Ahmad Muhammad al-Qastholany, Sayyid Sabiq, Imam Nawawi, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Hanbali dan fatwa dari MUI (Majelis Ulama Indonesia). Hasil analisa mengungkap adanya tiga alasan dibolehkannya nikah mut’ah pada waktu itu, yakni: 1. Warisan tradisi jahiliyah, kemudian dilarang pada dua kali masa. 2. Situasi peperangan yang terus menerus. 3. Karena menempuh perjalanan jauh. Kesimpulannya, nikah mut’ah boleh dikerjakan pada saat darurat. Dasar hukum penghalalannya, berpijak dari tafsir surat an-Nisaa’ ayat 24.26 Selanjutnya, Muhammad Hasyim dalam penelitiannya yang berjudul Nikah Mut’ah Perspektif Keadilan Gender, mengungkap hubungan antara nikah mut’ah dengan konsep keadilan gender. Menurutnya, pelaku nikah mut’ah tidak melakukan suatu bentuk diskriminasi. Hal ini lebih disebabkan karena salah satu syarat terjadinya nikah mut’ah adalah terjadinya kesepakatan, yang tentunya kedua belah pihak sama-sama tidak ingin terjadi 26
Masykur, Nikah Mut’ah dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Nikah Mut’ah Menurut Syi’ah), Salatiga: Skripsi Diajukan Untuk Memperoleh Gelar S.Hi Pada Jurusan Syari’ah STAIN Salatiga, 2004.
permasalahan yang berakibat fatal dikemudian hari. Kesimpulan yang didapat, bahwa nikah mut’ah harus tetap didudukkan sebagai salah satu pembinaan bertahap yang biasa dilakukan oleh Rasulullah saw dalam tugas mereformasi hukum, karena itu tidak pernah dicontohkan secara pribadi oleh beliau.27 Dari paparan judul di atas, obyek kajian yang akan penulis ambil belum pernah diteliti orang lain. Meskipun penulis menemukan beberapa karya berupa buku, skripsi serta penelitian yang membahas tentang nikah mut’ah, namun belum masuk ranah studi takhrij hadits dengan mengambil tema kebolehan nikah mut’ah.
F. Kerangka Teori Mengikuti arti bahasanya, Sunnah adalah jalan keagamaan yang ditempuh oleh Nabi Muhammad saw, yang tercermin dalam perilakunya yang suci. Sedangkan Hadits sendiri bersifat umum, meliputi sabda dan perbuatan Nabi saw, maka Sunnah khusus berhubungan dengan perbuatan-perbuatan beliau.28 Dilihat dari segi jumlah periwayatannya, Hadits dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Hadits mutawatir dan Hadits ahad, berikut uraiannya: 1. Hadits Mutawatir a. Menurut istilah, Hadits mutawatir didefinisikan sebagai Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta.29 Adapun Hadits mutawatir tersebut dibagi menjadi dua bagian: 1) Mutawatir lafdhi, yaitu mutawatir redaksinya; dan 27
Muhammad Hasyim, Nikah Mut’ah Perspektif Keadilan Gender, Salatiga: Skripsi Diajukan Untuk Memperoleh Gelar S.Hi Pada Jurusan Syari’ah STAIN Salatiga , 2001. 28 Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, alih bahasa Tim Pustaka Firdaus, cet. ke5, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm. 23. 29 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, cet. ke-3, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 96.
2) Mutawatir ma’nawi, yaitu Hadits yang isinya diriwayatkan secara mutawatir dengan redaksi yang berbeda-beda.30 2. Hadits Ahad Hadits ahad, adalah Hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau sejumlah orang tetapi jumlahnya tidak sampai kepada jumlah perawi Hadits mutawatir.31 Hadits ahad menunjukkan kepada pengetahuan yang sifatnya teoritis (al-’ilmu an-nadhari), yaitu pengetahuan yang tegak karena adanya teori dan dalil. Ditinjau berdasarkan jumlah jalur Haditsnya, Hadits ahad dibagi menjadi tiga bagian: a. Hadits masyhur, adalah Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih –di setiap tingkatannya- asalkan (jumlahnya) tidak mencapai derajat mutawatir. b. Hadits ’aziz, adalah Hadits yang perawinya berjumlah tidak kurang dari dua orang di seluruh tingkatan (thabaqat) sanadnya. c. Hadits gharib, adalah Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi, sendirian. Dilihat dari segi kualitas jalur periwayatannya, Hadits dibagi menjadi tiga kelompok: 1. Hadits Shahih Hadits shahih adalah Hadits yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah saw atau kepada sahabat atau kepada tabi’in, bukan Hadits yang syadz dan terkena illat, yang menyebabkannya cacat dalam penerimaannya. 30 31
Muh. Zuhri, Hadis Nabi, hlm. 84-85. Munzier Suparta, Ilmu Hadis, hlm. 109.
2. Hadits Hasan Hadits hasan ialah Hadits yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun tidak terlalu kuat ingatannya, dan terhindar dari keganjilan seta penyakit. Hadits hasan ini terbagi dalam dua jenis, yaitu Hasan li dzatih (hasan dengan sendirinya) dan Hasan li ghairih (hasan dengan topangan Hadits lain). 3. Hadits Dha’if Hadits dha’if menempati urutan ketiga dalam pembagian Hadits. Batasannya yang paling tepat adalah, Hadits yang padanya tidak terdapat ciri-ciri Hadits shahih atau Hadits hasan.32 Sementara itu menurut Syi’ah, Hadits diartikan sebagai setiap yang diucapkan, dikerjakan atau diakui oleh orang yang mempunyai sifat ma’shum yang bertalian dengan penetapan hukum dan keterangan-keterangan hukum.33 Dalam memandang dan menyikapi teks-teks Hadits, ulama Syiah memilki perbedaan pandangan dan sikap. Secara umum pandangan dan sikap berbeda ini terwakili dalam 2 kelompok besar, yaitu golongan akhbari dan ushuli. Syi’ah akhbari yang sedikit jumlahnya, memandang bahwa Hadits yang terdapat dalam empat kitab Hadits mereka, yakni al-Kafi, Man laa Yakhdhuruhu al-Faqih, Tahdzibu al-Ahkam dan Al-Istibshar semuanya shahih. Oleh karena itu mereka tidak membagi Hadits tersebut dalam derajat shahih, hasan dan dha’if. Adapun Syi’ah ushuli sebagai golongan mayoritas, menetapkan jalan istinbath dengan menganggap bahwa Hadits dari empat
32 33
Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, hlm. 141-158. Asymuni Abdurrachman, Ushul Fiqh Syi’ah Imamiyah, hlm. 18.
kitab mereka tidak semuanya shahih. Sehingga perlu dikaji dan dianalisa menggunakan ilmu musthalah hadits.34 Menurut Syi’ah ushuli, Hadits bila ditinjau dari segi jumlah periwayatan dibagi menjadi dua kelompok: 1. Hadits Mutawatir Hadits mutawatir adalah Hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang mencapai jumlah yang amat besar sehingga tidak mungkin mereka berbohong dan salah.35 2. Hadits Ahad Hadits ahad adalah Hadits yang tidak mencapai derajat tawatur. Hadits ahad ini diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni Hadits musnad dan Hadits mursal. Masih menurut Syi’ah ushuli, Hadits bila ditinjau dari segi kualitas perawinya, terbagi menjadi empat kelompok, dimana keempatnya merupakan pecahan dari Hadits musnad. Berikut pembagiannya a) Hadits shahih, ialah semua Hadits yang semua perawinya orang-orang Syi’ah Itsna ’asyariyah yang adil. b) Hadits muwattsaq, ialah Hadits yang semua perawinya dari orangorang tsiqah kaum muslimin atau sebagian dari orang-orang Syi’ah yang adil dan sebagian lagi kaum muslimin yang lain yang adil. c) Hadits hasan, ialah Hadits yang semua perawinya tergolong orangorang yang terpuji dikalangan ulama rijalul hadits.
34
Ibid., hlm. 20. Musidul Millah,“Mengenal Kitab al-Ibtisar Karya al-Tusi”, dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 10, No. 2, Juli 2009, hlm. 283. 35
d) Hadits dha’if, ialah Hadits yang ditunjang dengan amal fuqaha. Hadits ini sebagian perawinya tidak tsiqah, tetapi sebagian Haditsnya diamalkan oleh para ulama. Sementara teori pernikahan menurut jumhur ulama hubungan seksual hanya sah dan diperbolehkan melalui nikah permanen saja dan membatalkan nikah mut‘ah, maka dalam konsep Syi‘ah selain melalui nikah permanen, hubungan seksual juga diperbolehkan melalui nikah temporer (mut‘ah). Adapun kebolehan nikah mut’ah tersebut didasarkan pada al-Qur’an surat anNisaa’ ayat 24. Lain halnya dengan al-Qurthubi, yang menyatakan bahwa hampir semua ulama menafsirkan surat an-Nisaa’ ayat 24 dengan nikah mut’ah, yang ditetapkan sejak permulaan Islam. Namun, kebolehan ini telah dilarang dengan adanya riwayat dari Aisyah dan Qasim bin Muhammad, yang menyatakan bahwa surat an-Nisaa’ ayat 24 telah dinasakh oleh surat alMu’minun ayat 5. Demikian juga dicantumkan riwayat Daruquthni, dimana Ali bin Abi Thalib mendengar sabda Rasulullah saw, bahwa nikah mut’ah telah dilarang setelah turun ayat nikah, thalak, iddah dan waris.36
G. Metode Penelitian Skripsi Setiap kegiatan ilmiah untuk lebih terarah dan rasional diperlukan suatu metode yang sesuai dengan obyek yang dikaji. Karena metode berfungsi sebagai cara mengerjakan sesuatu guna mendapatkan hasil yang memuaskan, seperti yang diinginkan oleh setiap peneliti. Berdasarkan asumsi di atas, penulis menggunakan hal-hal tersebut di bawah ini: 36
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthubi, Al-Jami’ al-Ahkam alQur’an, (Beirut: Dal al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), V-VI: 75-76.
1. Jenis Penelitian Untuk mendapatkan data yang diperlukan, penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan atau library research, karena data yang dibutuhkan dalam penelitian ini berasal dari bahan pustaka. 2. Sifat Penelitian Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif-analitis. Maksud dari deskriptif-analitis disini adalah, menjelaskan data-data yang diteliti kemudian menganalisanya dengan konsentrasi studi takhrij hadits. Adapun obyek penelitian ini adalah Hadits dengan matan kebolehan nikah mut’ah, yang memuat ayat al-Qur’an.
3. Teknik Pengumpulan Data Adapun sumber data yang dipakai dalam penelitian mencakup sumber data primer dan sumber data sekunder. a. Sumber data primer diperoleh dari kitab Hadits Mahzab Ahl as-Sunnah dan Mahzab Syi’ah, yang memuat Hadits kebolehan nikah mut’ah, dan kitab rijalul-hadits yang memuat biografi para rawi. b. Sumber data sekunder, yakni tulisan-tulisan lain yang berkaitan dengan tema ilmu Hadits dan nikah mut’ah yang diperoleh dari berbagai kitab, jurnal dan buku pendukung maupun informasi dari berbagai media lainnya. 4. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan takhrij hadits, yakni pendekatan dengan menemukan data-data berupa Hadits yang dijadikan dasar hukum kebolehan nikah mut’ah dari
kitab Hadits Ahl as-Sunnah dan Syi’ah, untuk kemudian dilakukan pelacakan biografi rawi sanad Hadits dan analisis matan dengan maksud menemukan status Hadits tersebut. 5. Analisis Data Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mentakhrij sanad dan matan Hadits berkenaan dengan tema kebolehan nikah mut’ah. Hasil yang ingin dicapai adalah mendapatkan suatu kejelasan tentang status kualitas dan kuantitas Hadits yang dijadikan dasar dibolehkannya nikah mut’ah. Adapun metode yang akan ditempuh adalah sebagai berikut: a. Analisis sanad Hadits Adapun pemaparan langkah-langkah manualnya, berikut ini: 1) Menentukan Hadits bermatan kebolehan nikah mut’ah yang memuat ayat al-Qur’an. 2) Untuk Hadits riwayat Ahl as-Sunnah, dengan cara mencari potongan Hadits tersebut di dalam kamus Hadits al-Mu’jam alMufahras li Alfaadzil-Hadits an-Nabawi, karya A.J. Wensinck. Untuk kemudian merujuk pada kitab Hadits Mazhab Ahl asSunnah, yaitu: Shahih Muslim, Shahih Bukhari, Musnad Ahmad dan Mushonaf Ibnu Abi Syaibah. 3) Untuk Hadits riwayat Syiah, langsung merujuk pada kitab Hadits Mahzab Syi’ah, yaitu: Al-Kutub al-Arba’ah, dengan isi kandungan kitab Al-Kaafi, Manlaa Yahduruh al-Faqih, Tahdzibu al-Ahkam dan Al-Istibshar. 4) Setelah terkumpul semua, kemudian disusun bagan sanad periwayat Hadits tersebut.
5) Mengadakan penelitian dan telaah otentitas sanad dengan memakai kitab rijalul-hadits. 6) Menentukan dan menilai kualitas sanad masing-masing Hadits berdasarkan penelusuran telaah sanad. b. Analisis matan Hadits 1) Metode Komparatif Metode komparatif ialah memaksakan dengan tegas untuk menentukan kesamaan atau perbedaan, sehingga hakikat obyek dipahami secara murni. Metode ini akan penulis gunakan dalam rangka mengolah matan Hadits kebolehan nikah mut’ah, untuk dihadapkan pada tafsir ayat mut’ah dan Hadits-hadits lainnya. 2) Metode Induktif Metode induktif akan penulis gunakan dengan menempatkan teks, dalam hal ini Hadits, sebagai data empiris yang dibentang bersama teks-teks lain agar “berbicara sendiri-sendiri” selanjutnya ditarik kesimpulan.37
H. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan diformulasikan sebagai berikut: Bab pertama, meliputi uraian perbedaan dasar penetapan hukum nikah mut’ah antara Mahzab Syi’ah dan Ahl as-Sunnah, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian skripsi dan sistematika penulisan.
37
Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis Sebuah Tawaran Metodologis, cet ke-1, Yogyakarta: LESFI, 2003, hlm. 64.
Bab kedua, adalah pokok bahasan umum tentang Hadits dan nikah mut’ah. Pada bab ini dijabarkan Ilmu Hadits dengan rincian tinjauan umum Hadits, ilmu Hadits dan klasifikasi Hadits menurut Mahzab Ahl as-Sunnah dan Syi’ah, dilanjutkan dengan pemaparan konsep nikah mut’ah. Bab ketiga, ialah pelaksanaan takhrij hadits. Adapun langkah kerjanya, yakni memilih Hadits kebolehan nikah mut’ah yang bersumber dari kitab Hadits Mazhab Ahl as-Sunnah dan Syi’ah, dengan matan Hadits yang merujuk kepada ayat al-Qur’an sebagai pendukung kebolehan nikah mut’ah. Dalam bab ini difokuskan pada telaah persambungan sanad dan reputasi para perawi Hadits, untuk kemudian dinilai derajat kekuatannya. Bab keempat, berisi analisa matan Hadits. Bab ini akan diuraikan kandungan matan Hadits, dengan dilakukan syarah terhadap Hadits kebolehan nikah mut’ah tersebut, juga alasan pelarangan nikah mut’ah oleh Khalifah Umar bin Khattab. Bab kelima, merupakan penutup dari skripsi, yang berisi kesimpulan dan rekomendasi.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HADITS DAN NIKAH MUT’AH DALAM PERSPEKTIF AHL AS-SUNNAH DAN SYI’AH
A. Hadits Dalam Perspektif Ahl As-Sunnah Semua mazhab dalam Islam sepakat akan pentingnya peranan Hadits dalam berbagai disiplin ajaran Islam termasuk tafsir, fiqih, akhlak dan lainnya. Dewasa ini, sulit menemukan seorang individu yang mengklaim bahwa alQuran sudah menjabarkan seluruh prinsip-umum ajaran Islam berikut rinciannya tanpa bantuan as-Sunnah dan al-Hadits. Ada beberapa alasan kuat yang mendukung pemakaian as-Sunnah sebagai hujjah, yakni: Pertama, adanya nash-nash dari al-Qur’an yang memerintahkan agar patuh dan tunduk kepada Nabi Muhammad saw.38 Kedua, Sunnah Nabi saw pada dasarnya adalah penyampaian (tabligh) risalah Tuhan.39 Ketiga, nash-nash al-Qur’an yang ada menerangkan bahwa Nabi saw berbicara atas nama Allah swt.40 Keempat, ayat-ayat al-Qur’an dengan jelas menerangkan kewajiban iman kepada Rasul.41 Adapun Sunnah tersebut mempunyai posisi strategis terhadap alQur’an,
yaitu
sebagai
penjelasan.
Fungsi
penjelasan
tersebut
dideskripsikan sebagai berikut:
38
Tafshil al-Mujmal, yaitu mendeskripsikan keglobalan al-Qur’an,
Takhshish al-‘Am, yaitu menspesifikasikan keumuman al-Qur’an.
Q.S. an-Nisaa’ [4]: 59 & 80, al-Ahzab [33]: 36. Q.S. al-Maa-idah [5]: 67. 40 Q.S. an-Najm [53]: 3-4, an-Nisaa’ [4]: 113. 41 Q.S. al-A’raaf [7]: 158, an-Nuur [24]: 62 39
bisa
Taqyid al-Muthlaq, yaitu mengikat kemutlakan al-Qur’an.
Ilhaq far’[in] min Furu’ al-‘Ahkam bi Ashlih, yaitu mengikutkan salah satu derivate hukum dengan pokonya yang terdapat dalam al-Qur’an.42
1. Pengertian Hadits Menurut Ahl as-Sunnah a. Ta’rif Hadits Jumhur ulama ahli Hadits kalangan Ahl as-Sunnah, mendefinisikan Hadits sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya.43 Menurut pendapat para ahli Hadits, terutama dari angkatan baru, sesungguhnya Sunnah dan Hadits memiliki pengertian yang sama, yang satu bisa digunakan untuk yang lain. Masing-masing berkaitan dengan ucapan, perbuatan, atau penetapan Nabi saw. Namun, apabila keduanya dikembalikan kepada asal-usul kesejarahan, terdapat sedikit perbedaan antara keduanya dalam penggunaan, baik dari segi bahasa maupun istilah. Mengikuti arti bahasanya, Sunnah adalah jalan keagamaan yang ditempuh oleh Nabi Muhammad saw, yang tercermin dalam perilakunya yang suci. Sedangkan Hadits sendiri bersifat umum, meliputi sabda dan perbuatan Nabi saw, maka Sunnah khusus berhubungan dengan perbuatanperbuatan beliau.44 Dalam uraian di atas, istilah Sunnah disamakan pengertiannya dengan istilah Hadits sebagaimana dinyatakan oleh ulama Hadits pada umumnya, yakni segala sabda, perbuatan, taqrir dan sifat Rasulullah
42
Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih Membangun Paradigma Berfikir Tasyri’, cet. ke-1, Bogor: Al-Ahzar Press, 2003, hlm. 84. 43 Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahu’l Hadits, cet. ke-3, Bandung: PT al-Ma’arif, 1981, hlm. 6. 44 Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, alih bahasa Tim Pustaka Firdaus, cet. ke5, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm. 23.
saw.45 Batasan “perkataan, perbuatan dan pembenaran Rasulullah saw” menegaskan, bahwa susunan kalimat yang ada dalam Sunnah adalah berasal dari beliau. Bukan dari Allah swt, meskipun maknanya adalah wahyu dari Allah swt, sama dengan al-Qur’an.46 Akan tetapi, terdapat perbedaan antara al-Qur’an dengan Sunnah. Jika al-Qur’an merupakan wahyu, baik susunan lafadz maupun maknanya dari Allah swt, maka Sunnah maknanya dari Allah swt, sedangkan susunan lafadznya berasal dari Nabi saw selain al-Qur’an. Dari aspek rangkaian sanad paling akhir, Hadits diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yakni: 1) Hadits marfu’, ialah Hadits yang secara spesifik telah disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, pengakuan (taqrir) atau sifat. 2) Hadits mauquf, ialah Hadits yang diriwayatakan dari sahabat, baik berupa kata-kata maupun perbuatan. Inilah yang disebut oleh kebanyakan ahli fiqih dan Hadits dengan sebutan atsar as-shahabah. 3) Hadits maqthu’, ialah Hadits yang terhenti sampai tabi’in, baik dalam bentuk kata-kata maupun perbuatan. Ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, dan merupakan Hadits mauquf yang paling lemah.47 Selanjutnya bila dilihat dari segi materi dan esensinya, Hadits digolongkan menjadi tiga bagian, yakni:
45
M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, cet. ke1, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, hlm. 13. 46 Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik Spiritual, cet. ke-2, Bogor: Al-Ahzar Press, 2007, hlm. 265. 47 Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih Membangun Paradigma, hlm. 84.
1) Berupa perkataan (qauliyyah), ialah perkataan yang pernah beliau ucapkan dalam berbagai bidang, seperti hukum (syari’at), akhlaq, ‘aqidah, pendidikan dan sebagainya. 2) Berupa perbuatan (fi’liyyah), merupakan penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan syari’at yang belum jelas cara pelaksanaannya. Misalkan cara bersembahyang dan cara menghadap qiblat dalam sembahyang sunnat di atas kendaraan yang sedang berjalan. 3) Berupa persetujuan (taqririyyah), ialah keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau.48 Untuk menerima Hadits dari Nabi Muhammad saw, unsur-unsur seperti pemberita, materi berita dan sandaran berita, satupun tidak dapat ditinggalkan. Para Muhadditsin menciptakan istilah-istilah untuk unsurunsur itu dengan nama Rawi, Matan dan Sanad Hadits. 1) Rawi Menurut bahasa, rawi adalah bentuk faa’il dari:
ّروى – ﯾﺮوى – رواﯾﺔ – ﻓﮭﻮ – راو – وذاك – ﻣﺮوى Artinya, orang yang memindahkan, menyampaikan (memberitakan). Riwayat adalah bentuk masdarnya, yang artinya ialah pemindahan atau pemberitaannya itu sendiri. Sedangkan marwi (ism maf’ul) artinya ialah sesuatu yang dipindahkan.49 Menurut istilah, rawi ialah orang yang meyampaikan atau menuliskan dalam satu kitab apa-apa yang pernah didengar dan
48
Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahu’l Hadits, hlm. 6-9. Hady Mufa’at Ahmad, Dirasah Islamiyah tentang Dasar-Dasar Ilmu Hadits dan Musthalahnya, Semarang: CV. Sarana Aspirasi, 1994, hlm. 19-20. 49
diterimanya dari seorang (gurunya). Bentuk jama’nya ruwah dan perbuatan menyampaikan Hadits tersebut dinamakan merawikan Hadits.50 2) Matan Matan menurut bahasa didefinisikan sebagai apa-apa yang mengeras dan meninggi dari tiap-tiap sesuatu.51 Sedang menurut istilah yakni pembicaraan (kalam) atau materi berita yang dicover oleh sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Nabi saw, shahabat atau tabi’in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi Muhammad saw, maupun perbuatan shahabat yang tidak disanggah oleh Nabi saw. 52
3) Sanad Menurut bahasa, sanad artinya ialah sandaran, yang kita bersandar kepadanya, atau apa-apa yang meninggi dari tanah. Adapun menurut istilah Muhadditsin, sebagai berikut; sanad ialah jalannya matan, yaitu silsilah (rentetan) rawi-rawi yang menukilkan matan dari asalnya yang pertama, atau jalan yang dapat menghubungkan matan Hadits kepada Nabi Muhammad saw.53 Dalam bidang Ilmu Hadits, sanad merupakan neraca untuk menimbang shahih atau dha’if-nya suatu Hadits. Andaikata salah seorang dalam sanad-sanad itu ada yang fasik atau yang tertuduh
50
Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahu’l-Hadits, hlm. 14. Hady Mufa’at Ahmad, Dirasah Islamiyah tentang, hlm. 18. 52 Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahu’l-Hadits, hlm. 23. 53 Hady Mufa’at Ahmad, Dirasah Islamiyah tentang, hlm. 19. 51
dusta, maka dha’if-lah Hadits itu. Hingga tak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum. b. Sejarah Penulisan Hadits Ahl as-Sunnah Sejarah mencatat, evolusi pembukuan Hadits telah berjalan selama lebih kurang 12 abad lamanya. Setidaknya di kalangan pemerhati Hadits, muncul dua pola besar dalam mengklasifikasikan Hadits. Dimana pola yang pertama menggunakan pendekatan sejarah (historis), dan yang kedua dengan melihat hasil kodifikasiannya. Pola pertama, yakni menggunakan pendekatan sejarah, semisal tulisan Hasbi ash-Shiddieqy dalam bukunya Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,54 yang membagi pembentukan Hadits menjadi tujuh periode: 1) Masa pertama, ialah: masa wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasarnya dari permulaan Nabi saw dibangkit hingga beliau wafat pada tahun 11 H (dari 13 S.H – 11 H). 2) Masa kedua, ialah: masa membatasi riwayat, masa Khulafaur Rasyidin (12 H – 40 H). 3) Masa ketiga, ialah: masa berkembang riwayat dan perlawatan dari kota ke kota untuk mencari Hadits, yaitu masa sahabat kecil dan tabi’in besar (41 H – akhir abad pertama H). 4) Masa keempat, ialah: masa pembukuan Hadits (dari pemulaan abad kedua H hingga akhirnya). 5) Masa kelima, ialah: masa mentahshiskan Hadits dan menyaringnya (awal abad ketiga, hingga akhirnya).
54
T.M Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, cet. Ke-8, Jakarta: Bulan Bintang, 1988, hlm. 46-47.
6) Masa keenam, ialah: masa menapis kitab-kitab Hadits dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus (dari awal abad keempat hingga jatuhnya Baghdad tahun 656 H). 7) Masa ketujuh, ialah: masa membuat syarah, membuat kitab-kitab takhrij, mengumpulkan Hadits-hadits hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum serta membahas Hadits-hadits zawaid (656 H hingga dewasa ini). Adapun pola kedua, yakni dengan melihat hasil kodifikasi kitab Hadits, diikuti oleh Zubayr Shiddiqy. Dia adalah seorang guru besar di Islamic Culture Calcuta University India, yang dalam tulisannya dengan judul “Hadith A Subject of Keen Interest” dalam –Hadith and Sunnah Ideals Realities- mengklasifikasikan kitab Hadits dalam 11 bentuk, yaitu shahifah, ajza’, rasail, musannafat, musnad, mu’jam, jami’, sunan, mustadrakat, mustakhrajat dan arba’iniyat. Dalam penilaian derajat keshahihan kitab Hadits Ahl as-Sunah, adDahlawy membaginya dalam empat tingkatan,55 yakni: 1) Tingakatan pertama, terbatas hanya pada Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan Al-Muwattha’ Malik bin Anas. Di sana diberikan klasifikasi Hadits: yang mutawatir, yang shahih, ahad, dan hasan. 2) Tingkatan kedua, terdiri dari Jami’ Imam Tirmidzi, Sunan Abu Daud, Musnad Ahmad bin Hanbal dan Mujtaba’ Imam Nasa’i. 3) Tingkatan ketiga, terdiri dari beberapa kitab yang mengandung banyak kelemahan, yaitu keganjilan, kemungkaran dan keragu-raguan, di samping keadaan tokohnya yang tertutup. Misalnya Musnad Ibnu Abi
55
Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, hlm. 118-119.
Syaibah, Musnad ath-Thayalisi, Musnad Abdu Ibn Humaid, Musnad Abdurrazaq, serta kitab–kitab al-Baihaqi, ath-Thabari dan athThahawi. Tingkatan ketiga ini belum dapat diorientasikan serta dijabarkan dari segi ilmu dan hukum.
4) Tingkatan keempat, terdiri dari karangan-karangan yang ditulis tidak dengan
sungguh-sungguh,
pada
abad-abad
terakhir.
Adapun
sumbernya adalah cerita dari mulut ke mulut, dari orang yang senang menasihati, kaum sufi dan para sejarawan yang tidak adil, suka membuat bid’ah dan menurut nafsu. Di dalamnya termasuk tulisantulisan Ibnu Mardawih, Ibnu Syahin dan Ubay asy-Sayikh. Tentunya Tingkatan keempat ini tidak akan dijadikan pedoman oleh seseorang yang memahami Hadits Nabi Muhammad saw, karena merupakan sumber nafsu dan bid’ah. Secara khusus para ahli Hadits sama berorientasi pada kedua Tingkatan pertama dan Tingkatan kedua. Dari keduanya mereka merumuskan dasardasar akidah dan syari’at. 2. Ilmu Hadits Menurut Ahl as-Sunnah a. Ilmu Hadits yang Berkaitan dengan Sanad 1) Rijalul-Hadits Rijal adalah bentuk jama’ dari rajul, artinya para kaum pria. Ilmu rijalul-hadits ialah ilmu pengetahuan yang di dalam ilmu itu dibahas hal ihwal dan sejarah kehidupan para rawi dari kalangan sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in.56 Disamping sahabat, tabi’i dan
56
Hady Mufa’at Ahmad, Dirasah Islamiyah tentang, hlm. 36.
tabi’it-tabi’in, dalam ilmu ini juga dibahas muhadlramin, mawaly dan hal-hal yang berpautan dengannya.
a) Sahabat; menurut bahasa adalah bentuk jama’ dari sahaby, atinya yang empunya, yang menyertai, kawan (teman) yang selalu bersama-sama kita. Menurut istilah ahli-ahli Hadits, ialah orang Islam yang dapat bertemu dan bergaul dengan Rasulullah saw dalam keadaan beriman dan mati pula di dalam imannya.57 b) Tabi’in; menurut kebanyakan ahli Hadits yaitu, orang-orang yang menjumpai sahabat dalam keadaan iman dan Islam, dan mati dalam keadaan Islam, baik perjumpaannya itu lama maupun sebentar. c) Muhadlramin; ialah orang-orang yang mengalami hidup pada zaman jahiliyah dan hidup pada zaman Nabi Muhammad saw dalam keadaan Islam, tetapi tidak sempat menemuinnya dan mendengarkan Hadits daripadanya. d) Mawaly; ialah para rawi dan ulama’ yang semula asalnya budak. Orang yang memerdekakan budak disebut dengan maula dan hak perwaliannya disebut wala’. 58 2) Al-Jarhu wa al-Ta’dil Muhadditsin memberikan definisi ilmu al-jarh wa al-ta’dil, dengan ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan para rawi dan segi diterima atau tidaknya riwayat-riwayat mereka.59 Al-jarh, menurut
lughat, bermakna melukakan badan yang karenanya
mengalirkan darah. 57
Ibid Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahu’l-Hadis, hlm. 255 59 Hady Mufa’at Ahmad, Dirasah Islamiyah tentang, hlm. 39. 58
Al-jarh menurut istilah ahli Hadits, ialah nampak suatu sifat pada perawi yang merusakkan keadilannya, atau mencederakan hafadhannya, karena itu gugurlah riwayatnya. Adapun ta’dil menurut istilah, yaitu mensifatkan perawi dengan sifat-sifat yang menetapkan kebersihannya dari pada kesalahan-kesalahan,
lalu
nampaklah
keadilannya dan diterimalah riwayatnya. 60 Lafadh-lafadh yang digunakan untuk men-ta’dilkan dan mentajrihkan rawi-rawi itu bertingkat-tingkat. Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, 61 yakni: Tingkatan dan lafadh-lafadh untuk menta’dilkan rawi-rawi: Pertama: segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan lafadh-lafadh yang berbentuk af’aluttafdhil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenis. Misalnya:
أوﺛﻖ اﻟﻨّﺎس: orang yang paling tsiqah, أﺛﺒﺖ اﻟﻨّﺎس ﺣﻔﻈﺎ وﻋﺪال: orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya, إﻟﯿﮫ اﻟﻤﻨﺘﮭﻰ ﻓﻰ اﻟﺜّﺒﺖ: orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya, ﺛﻘﺔ ﻓﻮق اﻟﺜّﻘﺔ: orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah.
Kedua: memperkuat ke-tsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk keadilan dan ke-dhabitannya, baik
60
M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, cet. ke-6, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, hlm. 204-205. 61 Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahu’l-Hadis, hlm. 273- 278.
sifatnya yang dibubuhkan itu selafadh (dengan mengulangnya) maupun semakna. Misalnya:
ﺛﺒﺖ ﺛﺒﺖ: orang yang teguh (lagi) teguh, ﺛﻘﺔ ﺛﻘﺔ: orang yang tsiqah (lagi) tsiqah, ﺣﺠّﺔ ﺣﺠّﺔ: orang yang ahli (lagi) petah lidahnya, ﺛﺒﺖ ﺛﻘﺔ: orang yang teguh (lagi) tsiqah, ﺣﺎﻓﻆ ﺣﺠّﺔ: orang yang hafidh lagi petah lidahnya ﺿﺎﺑﻂ ﻣﺘﻘﻦ: orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya Ketiga: menunjuk keadilan dengan suatu lafadh yang mengandung arti kuat ingatannya. Misalnya:
ﺛﺒﺖ: orang yang teguh (hati dan lidahnya), ﻣﺘﻘﻦ: orang yang meyakinkan (ilmunya), ﺛﻘﺔ: orang yang tsiqah, ﺣﺎﻓﻆ: orang yang hafidh (kuat hafalannya), ﺣﺠّﺔ: orang yang petah lidahnya. Keempat: menunjuk keadilan dan kedhabitan, tetapi dengan lafadh yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan dalil (tsiqah). Misalnya:
ﺻﺪوق: orang yang sangat jujur, ﻣﺄﻣﻮن: orang yang dapat memegang amanah, ﻻﺑﺄس ﺑﮫ: orang yang tidak cacat. Kelima: menentukan kejujuran rawi, tetapi tidak terpaham adanya kedhabitan. Misalnya:
ﻣﺤﻠّﮫ اﻟﺼّﺪق: orang yang berstatus jujur, ﺟﯿّﺪ اﻟﺤﺪﯾﺚ: orang yang baik haditsnya, ﺣﺴﻦ اﻟﺤﺪﯾﺚ: orang yang bagus haditsnya, ﻣﻘﺎرب اﻟﺤﺪﯾﺚ: orang yang haditsnya berdekatan dengan hadits orang lain yang tsiqah. Keenam: menunjuk arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebut di atas yang diikuti dengan lafadh “insyaAllah”, atau lafadh tersebut ditasghir-kan (pengecilan arti), atau lafadh itu dikaitkan dengan satu pengharapan. Misalnya:
ﺻﺪوق إﻧﺸﺎءاﷲ: orang yang jujur, insya Allah, ﻓﻼن أرﺟﻮ ﺑﺄن ﻻ ﺑﺄس ﺑﮫ: orang yang diharapkan tsiqah, ﻓﻼن ﺻﻮﯾﻠﺢ: orang yang sedikit kesalihannya, ﻓﻼن ﻣﻘﺒﻮل ﺣﺪﯾﺜﮫ: orang yang diterima haditsnya. Para ahli Ilmu Hadits mempergunakan Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang di-ta’dhilkan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Sedang Haditshadits para rawi yang di-ta’dhilkan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila di kuatkan oleh Hadits perawi lain. Tingkatan dan lafadh-lafah untuk mentajrih rawi-rawi. Pertama: menunjuk kepada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafadh-lafadh yang berbentuk af’alut-tafdhil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenisnya dengan itu. Misalnya
أوﺿﻊ اﻟﻨّﺎس: orang yang paling dusta, اﻛﺬب اﻟﻨّﺎس: orang yang paling bohong, إﻟﯿﮫ اﻟﻤﻨﺘﮭﻰ ﻓﻰ اﻟﻮﺿﻊ: orang yang paling top kebohongannya.
Kedua: menunjuk kesangatan cacat dengan mengunakan lafadh berbentuk sighat muballagah. Misalnya:
ﻛﺬّاب: orang yang pembohong, وﺿّﺎع: orang yang pendusta, دﺟّﺎل: orang yang penipu. Ketiga: menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong atau lain sebagainya. Misalnya:
ﻓﻼن ﻣﺘّﮭﻢ ﺑﺎﻟﻜﺬب: orang yang dituduh berbohong,
اوﻣﺘّﮭﻢ ﺑﺎﻟﻮض: orang yang dituduh dusta, ﻓﻼن ﻓﯿﮫ اﻟﻨّﻆ: orang yang perlu diteliti, ﻓﻼن ﺳﺎﻗﻂ: orang yang gugur, ﻓﻼن ذاھﺐ اﻟﺤﺪﯾﺚ: orang yang haditsnya hilang, ﻓﻼن ﻣﻨﺘﺮوك اﻟﺤﺪﯾﺚ: orang yang ditinggalkan haditsnya. Keempat: menunjuk kepada berkesangatan lemahnya. Misalnya:
ﻣﻄﺮح اﻟﺤﻲ: orang yang dilempar haditsnya, ﻓﻼن ﺿﻌﯿﻒ: orang yang lemah, ﻓﻼن ﻣﻮدود اﻟﺤﺪﯾﺚ: orang yang ditolak haditsnya. Kelima: menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya. Misalnya:
ﻓﻼن ﻻﯾﺤﺘﺞّ ﺑﮫ: orang yang tidak dapat dibuat hujjah haditsnya, ﻓﻼن ﻣﺠﮭﻮل: orang yang tidak dikenal identitasnya, ﻓﻼن ﻣﻨﻜﺮاﻟﺤﺪﯾﺚ: orang yang mungkar haditsnya. ﻓﻼن ﻣﻀﻄﺮب اﻟﺤﺪي: orang yang kacau haditsnya, ﻓﻼن واه: orang yang banyak duga-duga. Keenam:
mensifati
rawi
dengan
sifat-sifat
yang
menunjuk
kelmahannya, tetapi sifat itu berdekatan dengan ’adil. Misalnya:
ﺿﻌّﻒ ﺣﺪﯾﺜﮫ: orang yang didha’ifkan haditsnya, ﻓﻼن ﻣﻘﺎل ﻓﯿﮫ: orang yang diperbincangkan, ﻓﻼن ﻓﯿﮫ ﺧﻠﻒ: orang yang disingkiri, ﻓﻼن ﻟﯿّﻦ: orang yang lunak, ﻓﻼن ﻟﯿﺲ ﺑﺎﻟﺤﺠّﺔ: orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya, ّ ﻓﻼن ﻟﯿﺲ ﺑﺎﻟﻘﻮ: orang yang tidak kuat. ى Orang-orang yang di-tajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkat keempat, Haditsnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang ditajrih menurut tingkatan kelima dan keenam, haditsnya masih dapat dipakai sebagai i’tibar (tempat membanding). Adapun kitab-kitab Jarh wat-Ta’dhil, antara lain
Ma’rifatur-Rijal, ad-Adlu’afa, at-Tsiqat, al-Jarh wat-Ta’dlil, Mizanul I’tidal, dan Lisanul Mizan. 3) Tawarikhir-Ruwah Tawarih menurut bahasa adalah jama’ dari dari tarikh, yang artinya sejarah. tarikhur ruwah sama dengan sejarah ruwah. Menurut ‘urf muhadditsin, ilmu tawarikhur ruwah ialah Ilmu pengetahuan untuk mengetahui riwayat hidup para rawi Hadits dan hal-hal yang bersangkutan dengan periwayatan Hadits.62 Dalam ilmu ini diterapkan hal ihwal para rawi, tanggal lahir dan tanggal wafatnya, guru-gurunya, orang-orang yang menjadi muridnya, kota dan kampung halamannya, perantaraannya, kapan kunjungan-kunjungan yang dilakukan ke negeri-negeri yang berbedabeda. Mendengarnya Hadits dari sebagian guru sebelumnya dan sesudah ia berusia lanjut, dan lain sebagainya, yang ada sangkut pautnya dengan masalah perhaditsan. Kitab-kitab Tawarikhir-Ruwah, antara lain: At-Tarikhul Kabir, Tarikh Nisabur, Tarikh Baghdad, dan Tahdzibul Kamal fi Asmair-Rijal. 4) Thabaqatir-Ruwah Sebagaimana Ilmu tawarikhir-ruwah, maka Ilmu thabaqatirruwah juga merupakan bagian dari Ilmu rijalul-hadits, hanya saja pada Ilmu tawari dibahas tentang biografi dari masing-masing rawi, sedang para rawi tersebut dalam satu atau beberapa golongan berdasarkan alat pengikatnya. Arti thabaqah menurut bahasa berarti pengikat. Adapun thabaqatir-ruwah menurut Ahli Hadits, yakni ilmu pengetahuan yang
62
Hady Mufa’at Ahmad, Dirasah Islamiyah tentang, hlm. 41-42.
dalam pembahasannya ditujukan kepada kelompok orang-orang yang berserikat dalam satu alat pengikat yang sama.63 Pengelompokkan
(penggolongan)
karena
perjumpaannya
dengan Nabi Muhammad saw disebut sahabat, dalam periwayatan Hadits sahabat. Sahabat ini dimaksudkan dalam thabaqah pertama rawi-rawi Hadits yang berjumpa dengan sahabat termasuk thabaqah kedua, tabi’it tabi’in adalah orang-orang yang berjumpa dengan tabi’in, maka mereka ini dimasukkan sebagai thabaqah ketiga, dan seterusnya.
b. Ilmu Hadits yang Berkaitan dengan Matan 1) Gharib al-Hadits Ilmu gharib al-hadits adalah ilmu yang dengannya diketahui ma’na perkataan yang jauh dari pengertian biasa dan tersembunyi, tidak dapat dicapai dengan mudah tanpa memayahkan pikiran.64 Berangkat dari definisi di atas dapat diketahui bahwa pokok pembahasan Ilmu gharib al-hadits ialah kata-kata yang musykil, susunan kata-kata yang sulit-sulit dan sukar dipahami atau bahkan tidak dapat diketahui apa arti dan maksudnya oleh setiap orang pada umumnya, kecuali orang-orang tertentu saja. Kemusykilan itu boleh jadi karena sudah tidak popular lagi penggunaannya atau bahkan sudah tidak digunakan lagi dalam pergaulan sehari-hari. Mengetahui ilmu ini sangat penting untuk menghindarkan kesalahan dalam menafsirkan matan Hadits, karena 63 64
Ibid.,hlm. 43. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu, hlm. 308.
penafsirannya hanya didasarkan atas perkiraaan dan taqlid kepada pendapat seseorang yang bukan ahlinya. 2) Mukhtalif al-Hadits Ada saja persoalan yang akan dihadapi dalam rangka memahami Hadits, di samping persoalan-persoalan di muka. Kadangkadang ditemukan Hadits-hadits yang saling bertentangan. Kalau sebuah hadits shahih bertentangan dengan Hadits dha’if, tentu akan dimenangkan
yang
shahih,
atau
Hadits-hadits
yang
saling
bertentangan. Setelah diperiksa, ternyata salah satunya berasal dari Nabi saw, yang lain tidak. Maka dengan mudah memilih Hadits yang dari Nabi saw, kemudian menyingkirkan yang selainnya. Namun, ketika ada Hadits yang saling bertentangan, setelah diteliti, ternyata keduanya berasal dari Nabi saw. Untuk mengatasi pertentangan ini para ulama berusaha mencari penyelesaian. Ilmunya disebut mukhtalif al-hadits.
Menurut
bahasa,
ikhtilaf
artinya
perselisihan
atau
pertentangan. Pemikiran ini muncul karena para ulama menemukan realita, bahwa secara harfiyah, Hadits itu bertentangan.65 Lebih jelasnya, ilmu mukhtalif al-hadits ini membahas Haditshadits yang secara lahiriah bertentangan, namun ada kemungkinan dapat diterima dengan syarat. Mungkin dengan cara membatasi kemutlakan atau keumumannya dan lainnya, yang bisa disebut sebagai ilmu talfiq al-hadits. 3) Nasikh al-Hadits wa al-Mansukh Menurut bahasa, kata nasikh adalah isim faa’il dari: 65
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Sejarah dan Metodologinya, cet ke-1, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997. hlm. 122
ﻧﺴﺦ – ﯾﻨﺴﺦ – ﻧﺴﺨﺎ – ﻓﮭﻮ – ﻧﺎﺳﺦ Artinya, yang membatalkan, sedang mansukh ialah isim maf’ul daripadanya, artinya yang dibatalkan.66 Ilmu ini membahas Haditshadits yang bertentangan dan tidak mungkin diambil jalan tengah. Hukum Hadits yang satu menghapus (menasikh) hukum Hadits yang lain (mansukh), yang datang dahulu disebut mansukh, dan yang muncul belakangan dinamakan nasikh.67 Ilmu nasikh al-hadits wa al-mansukh sangat penting artinya bagi orang-orang yang memperdalam ilmu-ilmu syari’at. Sebab dengan ilmu ini orang akan dapat mengetahui Hadits-hadits yang telah dihapuskan hukumnya, karena telah datangnya hukum yang baru, atau tegasnya akan dapat diketahui Hadits-hadits nasikh, mansukh, mukhtalif dan muhkam. Adapun ulama yang menulis kitab ini, antara lain: Ahmad Ibn Ishaq ad-Dinary, Muhammad Ibn Bahar alAshbahany, Ahmad Ibn Muhammad an-Nahs. Kemudian datanglah Muhammad Ibn Musa al-Hazimy, yang menyusun kitabnya al-I’tibar. 4) Asbabul Wurud al-Hadits Sesuai dengan namanya, ilmu ini menyingkap sebab-sebab timbulnya Hadits. Kalau di dalam Ilmu al-Qur’an dikenal ada Ilmu asbabul wurud al-hadits. Terkadang, ada Hadits yang apabila tidak diketahui sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan. Disamping itu, ilmu ini mempunyai fungsi
66 67
Hady Mufa’at Ahmad, Dirasah Islamiyah tentang, hlm. 47. Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, hlm. 116.
lain untuk memahami ajaran Islam secara komprehensif.68 Adapun faedah-faedah mengetahui Ilmu asbabul wurud al-hadits, antara lain: a) Untuk menolong, memahami dan menafsirkan al-Hadits. b) Untuk mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syari’at Islam.
c) Sebagaimana diketahui bahwa lafadh nash itu kadang-kadang dilukis dalam kata-kata yang bersifat umum, sehingga untuk mengambil kandungan isinya memerlukan dalil yang mentakhsishkannya. d) Untuk mentakhsishkan hukum, bagi orang yang berpedoman qaidah Ushul-fiqh “al-‘ibratu bikhushushi’s-sabab” (mengambil satu ibarat itu hendaknya dari sebab-sebab yang khusush). Biarpun menurut pendapat yang kuat dari golongan Ushuliyun berpedoman dengan “al-‘ibratu bi’umumi’l-lafadh, la bikhushushi’s-sabab” (mengambil suatu ‘ibarat itu hendaknya berdasar pada lafadh yang umum, bukan sebab-sebab yang khusush).69 Ulama yang mula-mula menyusun kitab ini, ialah: Abu Hafsah Umar Ibn Muhammad Ibn Raja al-Ukhbary, kemudian ditulis pula oleh Ibrahim Ibn Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah alHusainy, dalam kitabnya al-Bayan wat Ta’rif yang telah dicetak dalam tahun 1329 H. 4)‘Illal al-Hadits Pada lughat, kata ‘illal berasal dari ‘alla – ya’ullu – ‘illatan = maridl, artinya sakit, lawan dari shahih- sehat. Menurut ‘urf 68 69
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Sejarah, hlm. 143-144. Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahu’l-Hadis, hlm. 286-287.
Muhadditsin ialah ilmu yang membahas tentang yang samar lagi tersembunyi dari segi yang mencacatkan suatu Hadits. Seperti memutashil-kan (menganggap bersambung) suatu Hadits yang sebenarnya sanad itu munqathi’ (terputus), merafa’kan (mengangkat sampai kepada Nabi saw) berita yang mauquf (yang hanya sampai kepada sahabat), menyisipkan suatu Hadits pada Hadits yang lain, meruwetkan sanad dengan matannya atau lain sebagainya.70 Peranan ilmu ini adalah menyingkap cacat tersembunyi yang setelah cacat itu dibuka dapat diketahui bahwa Hadits yang kelihatan shahih itu sebenarnya tidak shahih. Hadits yang kelihatannya mempunyai sanad yang bersambung, setelah diperiksa oleh orang yang ahli, ternyata terputus. Atau, nama periwayat yang tercantum dari sanad Hadits ternyata diketahui tidak sesuai dengan dengan nama yang sebenarnya.71 Ulama yang menulis kitab illal al-hadits ini, ialah: Ibn al-Madiny, Ibn Abi Hatim, kitab beliau ini sangat baiknya dinamai: Kitab Ilalil Hadits. c. Ta’rif Takhrij Hadits Menurut Ahl as-Sunnah Generasi
ulama
terdahulu
belum
memerlukan
adanya
pengetahuan Hadits, kaidah dan asal-usul yang kini disebut asal-usul takhrij, sebab telaah mereka terhadap sumber-sumber syari’at sangat luas. Kontak mereka dengan sumber-sumber asli Hadits amat kuat. Ketika memerlukan sebuah Hadits untuk dijadikan dalil, dengan mudah mereka bisa merujuk dari kitab mana Hadits itu berada. Akan tetapi, setelah berabad-abad, muncul problem karena kelemahan 70 71
Hady Mufa’at Ahmad, Dirasah Islamiyah tentang, hlm. 51-52. Muh. Zuhri, Hadis Nabi Sejarah, hlm. 144-145.
penguasaan generasi penerus mengetahui sumber Hadits/ riwayat. Di sisi lain, tidak semua Hadits dimuat dalam buku rujukan berkualitas layak. Itu sebabnya diperlukan penelusuran dalil, yang lazim disebut takhrij.72 Menurut bahasa, takhrij dan istikhraj masing-masing adalah bentuk mashdar, dan dalam “al-Amtsilatu Tahsrifiyah” masing-masing terurai sebagai berikut:
وذاك – ﻣﺨﺮّج- ﺧﺮّج – ﯾﺨﺮّج – ﺗﺨﺮﯾﺠﺎ – ﻓﮭﻮ – ﻣﺨﺮّخ اﺳﺘﺨﺮج – ﯾﺴﺘﺨﺮﺣﺞ– إﺳﺘﺨﺮاﺟﺎ – وذاك – ﻣﺴﺘﺨﺮج Artinya, mengeluarkan sesuatu dari sesuatu tempat, sedangkan isim fa’ilnya ialah mukharrij (orang yang mengeluarkan sesuatu dari sesuatu tempat; dan isim maf’ulnya adalah mukharraj, mustakhraj (sesuatu yang dikeluarkan).73 Menurut ahli Hadits, istilah takhrij adalah menunjukkan tempat Hadits pada sumber aslinya yang mengeluarkan Hadits tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan. Dengan demikian, men-takhrij berarti melakukan dua hal, yaitu: pertama, berusaha menemukan para penulis Hadits itu sendiri dengan rangkaian silsilah sanadnya dan menunjukannya pada karya-karya mereka. Kedua, memberikan penilaian kualitas Hadits. Sementara kegunaan takhrij ini, dipahami untuk beberapa kepentingan: 1) Menjelaskan tentang Hadits kepada orang lain dengan menyebutkan para periwayat dalam sanad Hadits tersebut.
72 73
Ibid., hlm. 149. Hady Mufa’at Ahmad, Dirasah Islamiyah tentang, hlm. 24.
2) Mengeluarkan dan meriwayatkan satu Hadits dari beberapa kitab, atau guru, atau teman. 3) Menunjukkan kitab-kitab sumber Hadits, yakni menyebutkan letak sebuah Hadits dalam berbagai kitab yang didalamnya ditemukan Haditsnya secara lengkap dengan sanad masing-masing.74 Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa takhrij hadits memilki sasaran dan tujuan menelusuri satau atau beberapa Hadits. Adapun kegiatan ini dimulai dari pertanyaan: 1) Hadits yang dimaksud berada dalam kitab apa saja, dan diriwayatkan melalui berapa jalur. 2) Kemudian, siapa saja tokoh Hadits yang meriwayatkan Hadits tersebut di masing-masing jalur. Di sini ditelusuri satu persatu, bagaimana reputasi tokoh dalam dunia Hadits. 3) Dari penelusuran ini dapat disimpulkan, apakah Hadits tersebut melalui jalur yang berkualitas (sanad shahih) atau tidak. Demikian juga, apakah Hadits tersebut bersambung sanadnya atau tidak. 75 Metode yang biasa dilakukan dengan menggunakan kitab AlMu’jam al-Mufahras li Alfaadzil-Hadits an-Nabawi, berisi sembilan kitab-kitab Hadits yang terkenal, antara lain: Kutubus-Sittah, Musnad ad-Darimi, Musnad Ahmad dan Muwattha’ Imam Malik.
Kitab Al-Mu’jam al-Mufahras tersebut disusun oleh seorang orientalis, yaitu A.J. Wensinck (1882-1939 M), seorang guru bahasa
74 75
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Sejarah, hlm. 150. Ibid.
Arab di Universitas Leiden Belanda.76 Semasa hidupnya, ia belajar kepada Houstma, De Goeje, Snouck Hougronje, dan dikemudian hari A.J Wensinck menggantikan posisi Snouck Hougronje di Universitas Leiden pada tahun 1927.77 3. Klasifikasi Hadits Menurut Ahl as-Sunnah Dilihat dari segi kuantitas pembawanya, Hadits dibagi menjadi dua kelompok, yakni: a. Hadits Mutawatir Menurut istilah, Hadits mutawatir didefinisikan sebagai Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang, yang biasanya mustahil sepakat berdusta, dari sejumlah orang yang sama mulai dari sanad pertama hingga terakhir.78 Dari definisi tersebut, tampak jelas bahwa Hadits mutawatir tidak akan terpenuhi kecuali memenuhi empat syarat: 1) Diriwayatkan oleh banyak rawi. Terdapat perselisihan mengenai jumlah minimal tentang banyaknya rawi. Menurut pendapat yang terpilih, paling sedikit ada 10 orang. 2) Jumlah bilangan rawi tersebut terdapat pada seluruh tingkatan (thabaqat) sanad. 3) Menurut kebiasaan, mustahil mereka sepakat untuk berdusta. 4) Khabar mereka disandarkan kepada panca indera.79
76
Najmiyah, “Miftah Kunuz al-Sunnah karya A.J. Wensinck”, dalam Jurnal Studi IlmuIlmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 10, No.2 (Yogyakarta: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 302. 77 Abdurrahman Badawi, dkk, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2003), hlm. 312. 78 Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih Membangun Paradigma, hlm. 76. 79 Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, cet. ke-1, alih bahasa Abu Fuad, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah), 2005, hlm. 20.
Hadits mutawatir ini memberikan faidah pengetahuan yang yakin dan pasti (al-’ilm al-yaqiny al-dhahury), artinya Hadits tersebut benarbenar meyakinkan, manusia harus betul-betul membenarkan secara pasti, sama halnya dengan menyaksikan sendiri suatu perkara. Adapun Hadits mutawatir dibagi menjadi dua bagian, yaitu: Mutawatir Lafzhi, yaitu mutawatir redaksinya; dan Mutawatir Ma’nawi, yaitu Hadits yang isinya/ kandunganya diriwayatkan secara mutawatir dengan redaksi yang berbeda-beda.80 b. Hadits Ahad Hadits ahad adalah Hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih yang tidak memenuhi syarat mutawatir.81 Hadits ahad menunjukkan kepada pengetahuan yang sifatnya teoritis (al-’ilmu annadhari), yaitu pengetahuan yang tegak karena adanya teori dan dalil. Ditinjau berdasarkan jumlah jalur haditsnya, Hadits ahad dibagi menjadi tiga bagian: 1) Hadits masyhur, adalah Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih –di setiap tingkatannya-, asalkan (jumlahnya) tidak mencapai derajat mutawatir. 2) Hadits ’aziz, adalah Hadits yang perawinya berjumlah tidak kurang dari dua orang di seluruh tingkatan (thabaqat) sanadnya. 3) Hadits gharib, adalah Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi, sendirian. Sementara Hadits bila ditinjau dari aspek kualitas pembawanya, dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: 80 81
Muh. Zuhri, Hadis Nabi, hlm. 84-85. Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih Membangun Paradigma, hlm. 77.
a. Hadits Shahih Hadits shahih adalah Hadits yang sanadnya sambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah saw atau kepada sahabat atau kepada tabi’in, bukan Hadits yang syadz dan terkena illat, yang menyebabkannya cacat dalam penerimaannya.82 Dari definisi di atas, tampak jelas bahwa syarat-syarat sebuah Hadits agar bisa digolongkan sebagai Hadits shahih harus memenuhi lima syarat, yaitu: a. Sanadnya bersambung (muttashil), ada yang marfu’ (disandarkan kepada Nabi saw), dan ada yang mauquf (disandarkan kepada sahabat Nabi saw).83 b. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat ‘adil. Menurut lughat, ‘adil ialah
mardli,
maqbulusy-syahadah:
orang
yang
diterima
kesaksiannya.84 c. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabit, yaitu orang yang kuat ingatannya, artinya bahwa ingatnya lebih banyak dari lupanya.85 d. Sanad Hadits itu terhindar dari syudzzudz, dalam arti haditsnya tidak menyelisihi dengan Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lebih tsiqah dibandingkan dirinya. e. Sanad Hadits itu terhindar dari ‘illat, yaitu haditsnya tidak ma’lul (cacat). ‘Illat adalah penyebab samar lagi tersembunyi yang bisa
82
Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu., hlm. 141. H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah, cet. ke-2, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, hlm. 127-128. 84 M. Hasbi Ash-Shiddiqey, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, hlm. 32. 85 Fatcur Rahman, Ikhtisar Musthalahu’l-Hadits,hlm. 99. 83
mencemari shahih-nya sebuah Hadits, meski secara dhahir kelihatan terbebas dari cacat.86 Adapun hukum Hadits shahih wajib diamalkan sesuai dengan ijma’ (kesepakatan) ahli Hadits, begitu pula menurut ahli ushul dari para fuqaha. Hadits shahih bisa dijadikan hujjah (argumen) syar’i. Seorang muslim tidak dibiarkan meninggalkan pengamalan Hadits shahih.87 b. Hadits Hasan Hadits hasan adalah Hadits yang diriwayatkan dari dua arah (jalur), dan para perawinya tidak tertuduh dusta, tidak mengandung syadz yang menyalahi Hadits-hadits shahih. Dalam definisi lain disebutkan, Hadits hasan ialah Hadits yang sanadnya bersambung, oleh periwayat yang adil namun tidak terlalu kuat ingatannya, dan terhindar dari keganjilan serta penyakit.88 Hadits hasan terbagi dalam dua jenis: Hasan li dzatih (hasan dengan sendirinya) dan Hasan li ghairih (hasan dengan topangan Hadits lain). Hukum dari Hadits hasan ialah bisa dijadikan sebagai hujjah (argumen), sebagaimana Hadits shahih, meskipun dari segi kekuatannya berbeda.
Seluruh
fuqaha
menjadikannya
sebagai
hujjah
dan
mengamalkannya, begitu pula sebagian besar pakar Hadits dan ulama ushul, kecuali mereka yang memiliki sikap keras. Sebagian ulama yang lebih longgar mengelompokkanya dalam Hadits shahih, meski mereka mengatakan tetap berbeda dengan Hadits
86
Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, hlm. 39-40. Ibid, hlm. 41. 88 Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu, hlm. 151 87
shahih yang telah dijelaskan sebelumnya. Mereka itu seperti al-Hakim, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. 89 c. Hadits Dha’if Hadits dha’if menempati urutan ketiga dalam pembagian Hadits. Batasannya yang paling tepat adalah: Hadits yang padanya tidak terdapat ciri-ciri hadits shahih atau Hadits hasan.90 Hadits dha’if memiliki jenis yang amat beragam sesuai dengan berat ringannya kadar dha’if periwayatannya, sama seperti yang dijumpai pada Hadits shahih. Ada yang berupa Hadits dha’if, ada yang sangat dha’if, ada yang wahi, munkar, dan yang paling rendah adalah maudhu’. Menurut para ahli Hadits dan yang lainnya, boleh meriwayatkan Hadits-hadits dha’if, dengan mempermudah sanad-sanadnya tanpa ada pejelasan kedha’if-annya –kecuali Hadits-hadits maudhu’, tidak boleh meriwayatkannya melainkan harus disertai penjelasan keadaanya-, itu pun dengan dua syarat: 1) Tidak terkait dengan perkara akidah, seperti sifat-sifat Allah. 2) Tidak dalam posisi menjelaskan hukum-hukum syara’ yang terkait dengan masalah halal dan haram.91
B. Hadits Dalam Perspektif Syi’ah Golongan Syi’ah, biasa diidentifikasikan dengan golongan yang mendukung Ali bin Abi Thalib sebagai Ahlul-baitnya.92 Syi’ah memiliki
89
Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, hlm. 53. Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu, hlm. 158. 91 Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, hlm. 77. 92 Asymuni Abdurrachman, Ushul Fiqh Syi’ah Imamiyah, cet. ke-1, Yogyakarta: Bina Usaha, 1985, hlm. 1 90
pemikiran yang berbeda dengan aliran lainnya. Ia identik dengan konsep kepemimpinan (imamah) yang merupakan tonggak keimanan Syi’ah. Dalam perjalanan sejarahnya, kaum Syi’ah pecah menjadi beberapa golongan atau aliran, antara lain: Imamiyah, adalah sutau aliran yang menumpahkan iman atau kepercayaan yang sepenuh-penuhnya kepada Ali bin Abi Thalib dan anakanaknya. Mereka mempunyai i’tikad yang teguh bahwa manusia itu tidak boleh tidak harus mempunyai Imam atau menantikan Imam, yang akan lahir pada akhir masa, membawa keadilan yang penuh untuk dunia ini. Kinasiyah, (yang kini sudah tidak ada lagi) adalah suatu aliran yang menjatuhkan pilihan Imam Muhammad Ibn Hanifah, semua mereka itu sahabat-sahabatnya, yang digelarkan juga Kisan. Zaidiyah, adalah suatu aliran yang memilih Imamnya Zaid Ibn Ali Ibn Husain, dengan alasan dialah yang terberani dan selalu keluar dengan pedang, dan dialah anak dari Ali bin Abi Thalib dengan Fathimah, satu-satu Imam yang alim dan berani. Ismailiyah, adalah suatu aliran yang menjatuhkan pilihan Imamnya kepada Ismail anak Ja’far ash-Shadiq, sesudah bapaknya. Fathaniyah, adalah suatu aliran yang menjatuhkan pilihan Imamnya kepada Abdullah al-Fath, anak Imam Ja’far ash-Shadiq, yang menurut mereka berhak menjadi Imam sesudah bapaknya. Waqiyah, adalah suatu aliran yang ingin melihat pemilihan Imam hanya jatuh kepada Ali al-Kazim. Nawusiyah, adalah suatu aliran yang berkeyakinan bahwa pemilihan Imam hanya tertentu bagi Ja’far Ibn Muhammad ash-Shadiq. Mereka
berkeyakinan bahwa ash-Shadiq itu belum mati dan tidak akan mati, ia akan lahir kembali di bumi ini dan akan mengatur masyarakat, dan dialah yang berhak digelarkan al-Mahdi.93 Semua aliran-aliran di atas sudah tidak ada lagi, kecuali mayoritas yang tinggal sekarang ini masuk dalam golongan Itsna ‘Asyariyah, yakni pecahan dari aliran Syi’ah Imamiyah, yang mempunyai anggapan bahwa keturunan Musa al-Kadzim sampai al-Hadi Qaim adalah Imam-imam mereka, sehingga Imam mereka berjumlah 12, yakni: Ali bin Abi Thalib al-Murtadha, Hasan Ibn Ali al-Mujtaba, Husain Ibn Ali asy-Syahid, Zainal Abidin Ibn Husain as-Sajjad, Muhammab Ibn Ali al-Baqir, Ja’far Ibnu Muhammad ashShadiq, Musa Ibnu Ja’far al-Kadzim, Ali Ibnu Musa ar-Ridha, Muhammad Ibnu Ali al-Jawad at-Taghi, Muhammad Ibnu Ali al-Hadi at-Taqiy, Al-Hasan Ibnu Ali al-Asykari az-Zaky, Muhammad Ibnu Hasan al-Hadi al-Qaim alHujjah.94 Melalui uraian di atas, didapatkan suatu kejelasan, bahwa yang akan dibahas di sini hanyalah Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah. Lebih lanjut, Abubakar Aceh menuturkan tentang dua perkara terpenting bagi Mazhab Itsna Asy’ariyah, yang bagi mazhab ini merupakan pokok keyakinannya. Pertama, mengenai ushul atau keyakinan dasar, yaitu keyakinan harus mempunyai Imam, Imamah, sehingga tiap penganut aliran Syi’ah ini diwajibkan mengakui kedua belas orang tersebut di atas. Dengan demikian, barangsiapa meninggalkan keyakinan terhadap kedua belas Imam itu, baik sesudah mengetahui atau tidak, disengaja atau tidak disengaja, meskipun ia
93
Abubakar Aceh, Perbandingan Mahzab Syi’ah Rasionalisme dalam Islam, cet. ke-2, Semarang: CV. Ramadhani, 1980, hlm. 99-100. 94 Asymuni Abdurrachman, Ushul Fiqh Syi’ah Imamiyah, hlm. 2.
iman kepada tiga pokok ajaran atau ushul Islam, yaitu tauhid, nubuwwah dan mi’ad, menurut mazhab ini, ia bukan orang Syi’ah, hanya orang Islam biasa. Kedua, pokok yang terpenting bagi aliran ini, yang mengenai furu’ atau cabang Islam, ialah tidak menyeleweng atau ta’assub, wajib ada saksi pada waktu menjatuhkan talak, dan terbuka bab ijtihad, dan lain-lain masalah yang tidak terdapat pada aliran Islam yang lain.95 Mengenai persoalan tersebut. ditetapkan bahwa barangsiapa yang menentang hukum furu’ itu dengan mengetahui sungguh-sungguh adanya hukum itu dalam Mazhab Syi’ah, maka ia keluar dari Syi’ah. 1. Pengertian Hadits Menurut Syi’ah Imamiyah a. Ta’rif Hadits Syi’ah Imamiyah Syi’ah Imamiyah memiliki sumber Hadits dan jalur sanad yang berbeda dengan golongan Ahl as-Sunnah. Hadits dalam wacana keilmuan Syi’ah diartikan sebagai ucapan, tindakan, dan pembenaran melalui diamnya Rasulullah saw dan para Imam ma’shum. Oleh karenanya, segala sesuatu yang berasal dari Imam sama kedudukannya dengan yang berasal dari Rasulullah saw,96 dengan tetap memandang bahwa kesempurnaan para Imam mereka berada dibawah posisi kesempurnaan Rasulullah saw dan di atas kesempurnaan manusia biasa.97 Kata ma’shum tersebut, mempunyai arti kualitas batin akibat pengendalian diri, yang memancar dari sumber keyakinan, ketakwaan dan wawasan yang luas; ia menjamin manusia melawan semua jenis dosa dan
95
Abubakar Aceh, Perbandingan Mahzab Syi’ah, hlm. 100-101. Muhammad al-Mudzaffar, Aqaid al-Imamiyah, cet. ke-9, (Beirut: Dar al-Shafwah, 1992), hlm. 93-95. 97 Muhammad Husain al-Kasyif al-Githa, Ashlu al-Syi’ah wa Ushuluha, cet. ke-6, (Beirut: Muassasah al-A’lami lil Mathbu’at, 1993), hlm. 83. 96
penyelewengan moral.98 Syeikh al-Mufid menjelaskan definisi ishmah sebagai berikut: Ishmah itu tidak dapat mencegah kekuasaan mengerjakan yang buruk, tidak pula dapat mendorong mengerjakan yang baik, dan oleh karena itu makna ishmah dalam aliran Imamiyah ialah, bahwa orang yang ma’shum itu berbuat yang wajib dengan ada keharusan meninggalkannya, meninggalkan yang haram dengan ada kekuasaan melakukannya, dengan denikian orang yang ma’shum itu tidak meninggalkan yang wajib dan tidak memperbuat yang diharamkan.”99 Adapun kema’shuman seorang Imam tersebut, disandarkan pada alQur’an surat al-Ahzab ayat 33, yakni “ayat penyucian” (ayat ath-thahir), satu ayat yang menguraikan kesucian dan karakter khas mereka100 Juga dalam Hadits yang dikenal dengan dua amanat (tsaqalain): Wahai manusia, jangan kalian lupakan dua warisan ini. Selama kalian berpegang teguh pada keduanya kalian tidak akan tersesat; Kitabullah dan keluargaku.101 Titik kesimpulannya, Hadits dalam pandangan Syi’ah Imamiyah, bukan hanya berasal dari Rasulullah saw (al-hadits nabawi), akan tetapi juga berasal dari dua belas Imam mereka (al-hadits al-mawali). Meminjam kata-kata Imam Syi’ah ke-6, Ja’far ash-Shadiq, “Haditsku adalah Hadits ayahku Muhammad Ibn Ali al-Baqir), dan Hadits ayahku adalah Hadits kakekku (Ali Ibn Husain Ibn Ali Ibn Abi Thalib), dan Hadits kakekku adalah Hadits Husain (Husain Ibn Ali Ibn Abi Thalib), dan Hadits Husain adalah Hadits Hasan (Hasan Ibn Ali Ibn Abi Thalib), dan Hadits Hasan 98
Sayid Mujtaba Musawi Lari, Imam Penerus Nabi Muhammad Saw Tinjauan Historis, Teologis dan Filosofis, alih bahasa: Ilham Mashuri, cet. ke-1, (Jakarta: Lentera, 2004), hlm. 188. 99 Abubakar Aceh, Perbandingan Mahzab Syi’ah, hlm. 103. 100 Sayid Mujtaba Musawi Lari, Imam Penerus Nabi Muhammad Saw, hlm. 197. 101 Ibid., 205.
adalah Hadits amirul mu’minin (Ali Ibn Abi Thalib), dan Hadits amirul mu’minin adalah Hadits Rasulullah saw, dan Hadits Rasulullah saw pada hakekatnya berasal dari Allah swt.102 b. Sejarah Penulisan Hadits Syi’ah Imamiyah Tradisi penulisan Hadits Mazhab Syi’ah sebenarnya dimulai dari Ali bin Abi Thalib. Ia menulis sebuah shahifah yang berisi tentang hukumhukum diyat yang diberatkan kepada keluarga, dan lain-lainnya. Shahifah ini kemudian lebih dikenal dengan nama shahifah Ali. Selain itu, Ali bin Abi Thalib juga menulis Hadits-hadits lain ke dalam kitab yang panjangnya konon tujuh hasta, ditulis dengan petunjuk-petunjuk dari Rasulullah saw, di atas kulit riq, mungkin perkamen, yang biasa digunakan orang sebagai pengganti kertas waktu itu. Dalam kitab ini terkumpul segala macam bab fiqh, Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ahlul-bait, sekali dinamakan “kitab” sekali dinamakan “jami’ah”.103 Setelah datangnya masa keghaiban Imam Mahdi, para pengikut Ahlul-bait berusaha membukukan kembali Hadits-hadits yang tercecer tersebut. Usaha ini dimulai dari kitab-kitab yang masih tersisa, melalui periwayatan langsung dari orang ke-orang hingga sampai kepada Rasulullah saw, atau ke salah satu di antara Imam Dua Belas. Hasil yang dicapai dari usaha di atas, membuahkan antara lain empat kitab Hadits utama, yang sekarang dikenal dengan nama al-Kutub al-Arba’ah. berikut uraian keempat kitab Hadits tersebut: 1) Al-Kafi
102
O. Hashem, “Problematika Seputar Otentitas Hadis di Kalangan Sunnah Syi’ah”, dalam Jurnal al-Huda, Vol..I, No.2, (Jakarta: Pusat Penelitian Islam al-Huda, 2000), hlm. 50. 103 Abubakar Aceh, Perbandingan Mahzab Syi’ah, hlm. 177.
Kitab al-Kafi merupakan karya tsiqat al-Islam, Abu Ja’far ibn Yaqub Ibn Ishaq al-Kulaini al-Razi, wafat tahun 328/ 329 H. Kitab ini disusun dalam waktu yang cukup panjang, selama 20 tahun. Menurut al-Khunsari, secara keseluruhan Hadits-hadits dalam al-Kafi berjumlah 16.190 Hadits. Sementara dalam hitungan al-Majlisi 16.121, Agha Buzurg al-Tihrani sebanyak 15.181 dan Ali Akbar al-Gaffari: 15.176.104 Kitab al-Kafi adalah sebuah karya yang amat lengkap dan luas, yang dibagi menjadi tiga bagian: al-Ushul, al-Furu’ dan al-Raudhah. Ushul al-Kafi tersebut dibagi menjadi delapan bab, dan sebagaian besar dibagi menjadi bagian (abwab). Furu’ al-Kafi memuat uraian rincian hukum Islam, yang mencakup perilaku manusia terhadap Tuhan dan hubungan sesama manusia. Dalam Furu’ berisi lebih banyak Hadits daripada Ushul, ada 26 bab. Sedangkan Raudhah alKafi, al-Kulaini tidak mengikuti metode sistematika yang digunakan dalam Ushul dan Furu’. Hadits-hadits tersebut tersusun satu dengan yang lain dalam urutan yang tampaknya hampir tidak beraturan, sehingga tidak sistematis seperti yang disajikan pada dua bagian lain.105 2) Man laa Yakhdluruhu al-Faqih Kitab Man laa Yakhdluruhu al-Faqih merupakan karya alSyaikh ash-Shaduq. Syaikh Shaduq Adalah gelar yang diberikan kepada Abu Ja’far Muhammad Ibn Ali Ibn Babawaih al-Qummi, wafat pada tahun 381 H. Kitab ini merangkum 9.044 Hadits dalam masalah 104
M. Alfatih Suryadilaga, Studi Kitab Hadis, cet. ke-1, Yogyakarta: Teras, 2003, hlm. 313. I.K.A . Howard, “Al-Kutub al-Arba’ah: Empat Kitab Hadits Utama Mazhab Ahlulbait,” dalam Jurnal al-Huda, Vol..II, No.4, (Jakarta: Pusat Penelitian Islam al-Huda, 2001), hlm. 12-14. 105
hukum. Kitab Man laa Yakhdluruhu al-Faqih ini, sebagian besar berkaitan dengan masalah yurisprudensi fiqih (furu’), dan tidak diatur dalam bab-bab tetapi dalam bagian yang lebih kecil (abwab). mencakup berbagai masalah seperti puasa dan haji secara berurutan. Dalam hal ini Syaikh Shaduq telah membuat sebuah ringkasan hukum yang berguna untuk umat Syi’ah awam masa itu.106 3) Tahdzibu al-Ahkam fi Syarh al-Muqni’a Kitab Tahdzibu al-Ahkam fi Syarh al-Muqni’a merupakan karya Syaikh al-Taifah Abu Ja’far Muhammad ibn al-Hasan ath-Thusi. Ia dilahirkan di Tus, Iran, pada tahun 385 H, dan wafat di tahun 385 H. Kitab ini memuat 13.095 Hadits. 4) Al-Istibshar fima Ikhtalaf minal-Akhbar Kitab Al-Istibshar fima Ikhtalaf minal-Akhbar, juga merupakan karya Abu Ja’far Muhammad ath-Thusi. Menurut ath-Thusi, Hadits yang terhimpun dalam kitabnya ini berjumlah 5.511 buah. Secara sistematika, kitab Al-Istibshar fima Ikhtalaf minalAkhbar disusun berdasarkan bab-bab fiqih yang sepintas mengingatkan kita terhadap kitab-kitab sunan dalam kajian Hadits Ahl as-Sunnah. Namun jika diperhatikan, secara garis besar kitab ini terdiri dari 23 kitab (pokok pembahasan) yang kemudian diperinci dalam bentuk abwab (sub pokok) yang masih membawahi bab-bab kecil didalamnya. Pada dasarnya kitab ini dibagi menjadi tiga bagian; dua bagian
106
Ibid., hlm. 17.
pertama, mencakup persoalan ibadah; kedua, mencakup persoalan mu’amalah dan hal lainnya.107 Di antara keempat kitab tersebut di atas, al-Kafi karya al-Kulaini merupakan sumber rujukan utama dalam berbagai persoalan, baru kemudian diikuti oleh tiga kitab berikutnya. Namun jika dicermati, penetapan urutan kitab tersebut tampaknya bukan dikarenakan kualitas Hadits yang terhimpun di dalamnya, tetapi karena kemunculannya. Keutamaan al-Kafi dapat diumpamakan seperti al-Muwattha’ karya Malik bin Anas dalam jajaran al-kutub al-tis’ah dari segi kemunculannya. 2. Ilmu Hadits Menurut Syi’ah Imamiyah Secara umum, ulama Syi’ah Imamiyah memiliki perbedaan sikap ketika menghadapi teks-teks Hadits dalam kitab Hadits mereka, utamanya dalam al-kutub al-arba’ah. Pola sikap yang berbeda ini terwakili dalam 2 kelompok besar, yakni Akhbari dan Ushuli. Kelompok akhbari adalah kelompok Syiah Imamiyah yang menyatakan bahwa Hadits-hadits yang telah terhimpun dalam al-kutub alarba’ah tidak memerlukan penelitian lebih lanjut dan dirasa sudah cukup dengan anggapan bahwa semuanya shahih. Tokoh-tokoh kelompok ini diantaranya adalah al-Kulaini, Ibnu Babawaih al-Qummi dan al-Mufid. Sedangkan kelompok ushuli adalah mereka yang memandang perlunya ijtihad, dan bahwa landasan hukum itu terdiri dari al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan ‘aqli. Mereka juga meyakini bahwa Hadits-hadits yang terdapat dalam keempat kitab pegangan itu, sanadnya ada yang shahih, muwattasaq, hasan dan dha’if. Maka dari itu, diperlukan sebuah kajian 107
Musidu Millah, “Mengenal Kitab al-Isbtisar Karya al-Tusi”, dalam Jurnal Studi IlmuIlmu al-Qur’an dan Hadis, Vol.10, No.2, (Yogyakarta: Jurusan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 289.
terhadap sanadnya pada saat akan diamalkan atau dijadikan landasan hukum. Kelompok ini dimotori oleh Syarif al-Murtada dan ath-Thusi.108 Perselisihan antara akhbari dan ushuli dalam pemikiran fiqih Syi’ah di atas, hampir sama dengan perselisihan pendapat antara ahl alHadits dengan ahl-Ra’yu dalam pemikiran empat mahzab fiqih Ahl asSunnah, yang membedakan ialah terletak pada akar masalahnya. Jika pertentangan akhbari dan ushuli dalam Mazhab Syi’ah itu membawa implikasi teologis-politis yang sangat fundamental dalam perumusan fiqih politik Syi’ah, yang puncaknya melahirkan teori dan ideologi Wilayah alFaqih (kekuasaan politik di tangan ulama), sementara pertentangan dalam Mazhab Ahl as-Sunnah (ahl al-Hadits dan ahl-Ra’yu) tidak berimplikasi kepada persoalan fundamental perumusan kerangka teologis-politis. Perbedaan akhbari dan ushuli tersebut, dipicu oleh perbedaan pendapat mengenai masalah kedudukan wakil umum (nuwwah al-‘amm) pasca ghaibnya Imam. Ulama akhbari mempunyai pendapat bahwa yang berhak atas kekuasaan politik hanyalah para Imam saja, mereka tidak setuju jika ulama dianggap sebagai para wakil umum (nuwwah al-‘amm) dari para Imam. Oleh karena itu, dalam pandangan mereka, ulama tidak berhak atas kekuasaan politik. Sementara itu, ulama ushuli merumuskan sebuah pemikiran yang berbeda dengan ulama akhbari. Dimana dalam pemikiran ulama ushuli, diyatakan bahwa para penguasa selain para Imam adalah tidak sah, karena mereka dipandang telah merampas hak kekusaan para Imam. Karena ulama dalam pandangan teori politik ulama ushuli dianggap sebagai para 108
hlm, 613.
Masudul Hasan, History of Islam, (Delhi: Adam Publishers & Distributers, 1995), jilid. I,
wakil umum (nuwwah al-‘amm), maka kekuasaan politik pasca Imam menjadi hak ulama. a. Metode kritik Sanad Ulama Syi’ah mensyaratkan beberapa kriteria yang harus terpenuhi, terkait dengan klasifikasi seorang perawi yang maqbul. Kriteria tersebut, antara lain: Islam, baligh, berakal, ‘adil, dhabith dan sebagian besar ulama Imamiyah menambahkan syarat “iman”. Maksud dari kata “iman” tersebut adalah bahwa seorang perawi haruslah seorang penganut Madzhab Imamiyah Itsna ‘Asyariyyah.109 Untuk menilai shahih atau tidaknya sebuah Hadits, para ulama Syi’ah dalam kajian sanad telah memberikan beberapa kriteria yang harus dipenuhi, diantaranya: 1) Sanadnya bersambung kepada Imam ma’sum tanpa terputus. 2) Seluruh periwayat dalam sanad berasal dari kelompok Imamiyah dalam semua tingkatan. 3) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat ‘adil, dhabit.110 Berkenaan dengan riwayat yang berasal dari Ahl al-Sunnah, sebagian ulama Syiah membolehkan dengan beberapa ketentuan: 1) Hadits itu diriwayatkan dari para Imam yang ma’shum. 2) Tidak menyelisihi riwayat yang dituliskan oleh para ulama Syiah. 3) Tidak menyelisihi amalan yang selama ini ada di kalangan mereka. Dalam menilai al-jarh seorang perawi Hadits, Syiah Imamiyah megklasifikasikannya berikut ini:
109
Muhammad Ridha al-Muzhaffar, Ushul Fiqih, cet. ke. 2 (Nejef: Dar al-Nu’man, 1967). Muhammad Abu Zahra’, al-Imam al-Sadiq Hayatuhu wa ‘Asruhu wa Fiqhuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm 425-426. 110
1) Akidah yang batil. Tentu yang dimaksud adalah jika sang perawi bukanlah pengikut Imamiyah. 2) Cacatnya ke’adalahan perawi, seperti jika ia melakukan dosa besar dan terus-menerus melakukan dosa kecil. 3) Hafalan yang buruk. 4) Jika seorang perawi banyak meriwayatkan dari perawi-perawi yang dhu’afa dan majhulun. 5) Jika perawi itu berasal dari kalangan Bani Umayyah, kecuali jika ia seorang pengikut Imamiyah. b. Metode kritik matan Secara umum, Syiah Imamiyah melakukan kritik matan dengan empat cara yang juga sebenarnya diakui dan digunakan oleh kalangan Ahl al-Sunnah, yaitu: 1) Menimbang matan Hadits dengan al-Qur’an. Para Imam Syiah telah menyatakan kewajiban memaparkan Hadits-hadits yang diriwayatkan dari mereka kepada al-Qur’an, maka yang sesuai dengan al-Qur’an, itulah yang benar. Akan tetapi, jika Hadits itu menyelisihi al-Qur’an, maka tidak bisa dijadikan pegangan. 2) Menimbangnya dengan as-Sunnah. Syiah Imamiyah memandang bahwa as-Sunnah merupakan sumber tasyri’ kedua setelah al-Quran, dan hal ini disepakati oleh semua kaum muslimin. Akan tetapi, sebagaimana telah dijelaskan, definisi as-Sunnah menurut Syi’ah adalah ucapan, tindakan dan pembenaran melalui diamnya Nabi saw dan para Imam ma’shum.
3) Menimbangnya dengan Ijma’. Syi’ah –sebagaimana juga Ahl as-Sunnah- memandang ijma’ sebagai salah satu sumber tasyri’ dalam Islam. Hanya saja, terminologi ijma’ dalam pandangan mereka berbeda dengan terminologi ijma’ menurut Ahl as-Sunnah. Menurut Syi’ah, ijma’ adalah konsensus ulama dari suatu mahzab di kalangan ummat, dan ijma’ itu sendiri bukan sebagai hujjah sejati yang mandiri, tetapi dipandang menjadi hujjah sejauh dalam ijma’ itu ada pendapat para Imam yang ma’shum.111 4) Menimbangnya dengan akal. Maksud dari akal disini adalah hukum-hukum yang digali sendiri oleh akal, seperti keharusan menolak semua kemudharatan dan menghukumi jahatnya memberikan hukuman tanpa penjelasan. Menurut mereka, kebaikan dan keburukan dapat diketahui oleh akal sekalipun tanpa bimbingan wahyu. Menarik untuk disimak, sekalipun di satu sisi pintu ijtihad terbuak selebar-lebarnya, di mana siapa saja boleh berijtihad asal memenuhi syarat ijtihad, di sisi lain ulama-ulama Syi’ah mewajibkan orang awam bertaklid atau merujuk dalam urusan agama mereka kepada seorang mujtahid yang memenuhi syarat. Antara lain: hidup, diakui kemampuan dan kredibilitas ijtihadnya, ‘adil, ibadah, takwa, wara’, istiqamah, tidak cinta dunia, dan tidak melakukan perbuatan dosa, besar maupun kecil. Syarat taklid mujtahid hidup ini menuntut adanya orang-orang atau intitusi yang terus-menerus menangani 111
Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Syi’ah fi al-Mizan, cet.ke-10, (Beirut: Dar al-Jawwad, 1989), hlm. 321.
maslah taklid ini. Dari sini lalu lahirlah apa yang kemudian populer dengan istilah marja’iyah. Ulama-ulama yang dipilih oleh masyarakat sebagai tempat untuk bertaklid atau ber-ittiba’ ini disebut marja’. 3. Klasifikasi Hadits Menurut Syi’ah Dilihat dari segi kuantitas pembawanya, Syiah Imamiyah membagi Hadits menjadi dua kelompok, yaitu: a. Maqthu’, ialah Hadits yang diyakini datangnya dari ma’shum. a. Hadits mutawatir,
adalah Hadits
yang diriwayatkan oleh
sekelompok orang yang mencapai jumlah yang amat besar sehingga tidak mungkin mereka berbohong dan salah.112 b. Hadits yang disertai qarinah yang menyampaikan pada keyakinan datangnya dari ma’shum. Kedua-duanya dapat dijadikan hujjah dari segi sanad. b. Ghoiru Maqthu’ al-Shodru, ialah khabar yang tidak mencapai derajat yang menyampaikan pada tingkat meyakinkan datangnya dari ma’shum, biasa juga disebut khabar ahad. Hadits ahad tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu: a. Musnad Hadits musnad, ialah Hadits yang sanadnya itu meliputi semua namanama perawi yang menukil Hadits tersebut dari ma’shum sampai kepada kita. b. Mursal Hadits mursal, ialah Hadits yang sanadnya tidak mencakup semua nama-nama perawi. 112
Musidul Millah,“Mengenal Kitab al-Ibtisar Karya al-Tusi”, dalam Jurnal Studi IlmuIlmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 10, No. 2, Juli 2009, hlm. 283
Menurut Syi’ah Imamiyah, Hadits bila ditinjau dari aspek kualitas pembawanya, terbagi menjadi dua kelompok yakni, mu’tabar dan ghoiru mu’tabar. Keduanya adalah pecahan dari Hadits musnad. Berikut uraiannya: a. Mu’tabar, ialah semua Hadits musnad yang dapat dipercayai datang dari ma’shum. Hadits ini terdiri dari 4 kelompok, yaitu: 1) Hadits shahih, ialah Hadits yang semua perawinya orang-orang Syi’ah Itsna ’Asyariyah yang adil. 2) Hadits muwattsaq, ialah Hadits yang semua perawinya dari orangorang tsiqah kaum muslimin atau sebagian dari orang-orang Syi’ah yang adil dan sebagian lagi kaum muslimin yang lain yang adil. 3) Hadits hasan, ialah Hadits yang semua perawinya tergolong orangorang yang terpuji dikalangan ulama rijalul hadits. 4) Hadits dha’if, ialah Hadits yang ditunjang dengan amal fuqaha. Hadits ini sebagian perawinya tidak tsiqah, tetapi sebagian haditsnya diamalkan oleh para ulama. Tentang kedudukan keempat macam Hadits di atas untuk berhujjah, maka Hadits yang shahih menempati urutan yang pertama, karena dapat diterima oleh semua ulama ushul, sedang kedua, ketiga dan keempat menempati urutan kedua karena bisa menjadi hujjah hanya oleh sebagian besar ulama ushul. b. Ghairul Mu’tabar, ialah Hadits musnad tetapi tidak meyakinkan berasal dari ma’shum. Adapun Mursal di atas, dibagi menjadi dua bagian, yakni:
a. Mursalnya orang tsiqah, ialah apa yang disandarkan pada ma’shum, oleh seseorang yang ahli rijalul-hadits, dengan rasa tenteram menerima
Hadits
itu
karena
mengerti
bahwa
perawi
tidak
meriwayatkan kecuali dari seorang yang tsiqah. b. Mursalnya orang yang tidak tsiqah, ialah apa yang disandarkan pada ma’shum oleh seseorang perawi yang tak dikenal bagaimana meriwayatkannya. Hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah.113
C. Tinjauan Umum Nikah Mut’ah Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “Nikah” ialah: Melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah swt.114 Sedangkan tujuan dari pernikahan itu sendiri yakni sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur’an:
. Artimya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” 115 113
Asymuni Abdurrachman,Ushul Fiqh Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (UndangUndang No.1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan), Yogyakarta: Liberti, 2004, hlm 8. 115 Q.S. ar-Ruum [30]: 21, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departeman Agama RI, cet. ke-10, Bandung: Penerbit Diponegoro, 2005, hlm. 324. 114
Mawaddah warahmah adalah anugerah Allah swt yang diberikan kepada manusia, ketika manusia melakukan pernikahan. Hal yang demikian tidak disebutkan Allah swt ketika binatang ternak berpasangan untuk berkembangbiak. Karena tugas selanjutnya bagi manusia dalam lembaga pernikahan adalah untuk membangun peradaban dan menjadi khalifah di dunia.116 1. Definisi Nikah Mut’ah Mut’ah berasal dari kata mata’a, yamta’a, mat’an wa mut’atan, artinya kenikmatan atau kesenangan, nikah atau perkawinan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan dalam jangka waktu tertentu.117 Kamus Arab mendefinisikan mut’ah sebagai “kesenangan, kegembiraan, kesukaan.” Akar katanya, م- ت, berarti “membawa.” Sebuah “perkawinan mut’ah” adalah perkawinan di mana akad yang ditetapkan akan berakhir pada periode waktu tertentu.118 a. Definisi Nikah Mut’ah Menurut Ulama Ahl as-Sunnah Ulama dari kalangan Ahl as-Sunnah, Muhammad Ali ashShabuni mengatakan bahwa nikah mut’ah adalah seorang laki-laki yang menyewa seorang wanita dengan memberikan mahar sampai waktu yang telah ditentukan atas kesepakatan bersama, yang telah dibatasi waktunya baik sebulan atau dua bulan, sehari atau dua hari kemudian dia ditinggalkan setelah batas waktunya habis.119
116
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Perbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan,1999, hlm 214. 117 Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, hlm. 1344. 118 Sachiko Murata, Lebih Jelas tentang Mut’ah Perdebatan Sunni & Syi’ah, cet. ke-1, alih bahasa: Tri Wibowo Budi Santoso, (Jakarta: Sri Gunting, 2001), hlm. 41. 119 Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, Rawa’ih al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr), 1996, I: 361.
Syaikh Sayyid Sabiq menyatakan bahwa nikah mut’ah disebut juga nikah sementara atau nikah terputus, karena laki-laki menikahi seorang perempuan hanya untuk sehari atau seminggu atau sebulan. Dinamakan nikah mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja.120 Adapun Yusuf Qardhawi mendefinisikan nikah mut’ah dengan ikatan nikah antara seorang laki-laki dan perempuan, untuk suatu masa yang mereka sepakati bersama, dengan upah tertentu.121 b. Definisi Nikah Mut’ah Menurut Ulama Syi’ah Ja’far Murtadha al-Almili, seorang ulama Syi’ah menjelaskan perkawinan mut’ah sebagai ikatan tali perkawinan antara seorang lakilaki dan wanita, dengan mahar yang telah disepakati, yang disebut dalam akad, sampai pada batas waktu yang telah ditentukan. Dengan berlalunya waktu yang diberikan oleh laki-laki, maka berakhirlah ikatan pernikahan tersebut tanpa memerlukan proses perceraian.122 Sementara Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah, mengartikan nikah mut’ah sebagai hubungan suami-istri sementara yang diadakan melalui akad tertentu yang disebutkan di dalamnya masa (batas perkawinan) dan mahar di samping pokok perkawinan itu sendiri.123 Adapun menurut Ja’far Subhani, nikah mut’ah adalah pernikahan seorang perempuan merdeka jika tidak ada perintang, -
120
Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqush Sunnah, (Beirut: Dar al Fikr, 1992), II: 35. Yusuf Qardhawi, Halal Haram dalam Islam, cet. ke-3, alih bahasa Wahid Ahmadi, Jasiman, Khozin Abu Faqih, Kamal Fauzi (Solo: Era Inter Media, 2003), hlm. 268. 122 Ja’far Murtadha al-Almili, Nikah Mut’ah dalam Islam Kajian Ilmiah dari Berbagai Mazhab, cet. ke-1, alih bahasa: Abu Muhammad Jawad, (Jakarta: Yayasan as-Sajjad, 1992), hlm. 17. 123 Sayid Muhammad Husain Fadhlullah, Dunia Wanita dalam Islam, alih bahasa: Muhammad Abdul Qadir al-Kaff, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2000), hlm. 255. 121
berupa hubungan nasab, persusuan, status sudah bersuami, dalam masa ‘iddah, dan larangan-larangan syari’at lainnya- dengan mahar tertentu hingga batas waktu tertentu atas dasar keridhaan dan kesepakatan. Jika batas waktu itu telah berakhir, berakhir pula pernikahan itu tanpa ada talak. Jika telah bercampur, ia harus menunggu masa ‘iddah dalam talak, –bagi yang belum menopause- kalau ia masih mengalami haid. Jika ia tidak mengalami haid, masa ‘iddahnya adalah 45 hari. 124 2. Ketentuan Nikah Mut’ah Jumhur ulama Ahl as-Sunnah hanya mengenal nikah permanen saja dan membatalkan nikah mut’ah, sementara dalam konsep Syi’ah selain melalui nikah permanen, hubungan seksual juga diperbolehkan melalui nikah mut’ah, maka pencantuman rukun-rukun nikah mut’ah menurut Ahl as-Sunnah tidak perlu disebutkan. Jurisprudensi Syi’ah menetapkan empat macam rukun mut’ah, antara lain: a. Sighat Akad Nikah (ijab-qabul) Adanya ijab dan qabul dengan mempergunakan dua kata yang dapat menunjukkan atau menimbulkan pengertian yang dimaksud dan rela dengan pernikahan mut’ah dengan cara yang dimengerti kedua belah pihak. Dengan demikian, maka tidak sah dengan hanya sekedar adanya perasaan rela dalam hati dari kedua belah pihak (suami dan istri) atau dengan saling memberi (sesuatu) sebagaimana yang berlaku
124
Ja’far Subhani, yang Hangat & Kontroversial dalam Fiqih, cet. ke-1, alih bahasa: Iwan kurniawan, (Jakarta: Penerbit lentera, 1994), hlm. 100.
pada kebanyakan akad (transaksi) atau dengan tulisan ataupun pula dengan isyarat (kecuali orang bisu). 125 Syarafuddin al-Musawi mengatakan, “Perkawinan mut’ah terjadi apabila seorang wanita yang tidak terhalang oleh syari’at bagi dirinya untuk menikahkan dirinya kepada seorang lelaki mengucapkan kalimat ijab:
زوّﺟﺘﻚ – أﻧﻜﺤﺘﻚ – ﻣﺘّﻌﺘﻚ ﻧﻔﺴﻰ ﺑﻤﮭﺮ… ﻟﻤﺪّة Engkau kukawinkan – kunikahkan - kumut’ahkan atas diriku dengan mas kawin ‘sekian’ (…rupiah/ benda yang berharga lainnya), selama ‘sekian’ (… hari/ bulan/ tahun atau selama masa tertentu yang harus disebut dengan waktu yang pasti dan jelas).” 126 Kemudian lelaki yang tidak ada halangan syari’at untuk menikahi perempuan itu segera –tanpa diselingi dengan kalimat lainmenjawab dengan kalimat:
ﻗﺒﻠﺖ اﻟﻤﺘﻌﺔ: Aku terima mut’ah… ﻗﺒﻠﺖ اﻟﺘﺰوﯾﺦ: Aku terima kawin… ﻗﺒﻠﺖ اﻟﻨﻜﺎح: Aku terima nikah… Dan pernikahan tetap sah seandainya diringkas saja dengan kalimat seperti:
ﻗﺒﻠﺖ: Aku terima … رﺿﯿﺖ: Aku rela …127 Maka kalimat ijab-qabul di atas telah mengikat pasangan wanita dan lelaki yang berucap itu mengesahkan mereka menjadi pasangan suami125
Amir Muhammad al-Quzwayni, Nikah Mut’ah Antara Halal dan Haram, cet. ke-5, alih bahasa: M. Djamaluddin Miri, (Jakarta: Yayasan as-Sajjad, 1995), hlm. 9. 126 Ibnu Mustafa (Ed), Perkawinan Mut’ah dalam Perspektif Hadis dan Tinjauan Masa Kini, cet. ke-2, Jakarta: Penerbit Lentera, 2003, hlm. 77. 127 Amir Muhammad al-Quzwayni, Nikah Mut’ah Antara, hlm. 11.
istri sampai pada batas ketentuan waktu yang telah diucapkan itu. Seandainya terbalik, suami yang mengucapkan qabul terlebih dahulu dengan berkata: “Aku mengawinimu dengan mas kawin sekian … dan untuk jangka waktu sekian …,” maka pernikahan tersebut tetap sah. Ucapan ijab-qabul diutamakan menggunakan bahasa Arab, namun juga dibolehkan menggunakan bahasa setempat. Nikah mut’ah menjadi tidak sah apabila mempergunakan kalimat yang lain seperti:
ﻣﻠّﻜﺖ Aku milikkan (mallaktu)…
وھﺒﺖ Aku berikan (wahabtu)…
أﺟّﺮت Aku sewakan (ajjartu)….128 b. Calon Suami dan Istri Seorang muslim dianjurkan melakukan akad mut’ah hanya dengan muslimah yang suci. Di sini yang dimaksudkan dengan “suci” (afifah) oleh para penulis klasik adalah seorang yang tidak pernah melakukan zina dan mengikuti syari’at dalam aktivitasnya. Dua atribut “Muslim” dan “Suci” diturunkan dari perkataan dua Imam: Imam alRidha ditanya, “Apakah mungkin bagi seorang lelaki untuk melakukan pernikahan mut’ah dengan seorang Yahudi atau Kristen?” Dia menjawab, “Aku lebih suka jika dia melakukan mut’ah dengan muslimah yang merdeka.” Untuk pertanyaan tentang melaksanakan mut’ah, Imam Ja’far ash-Shadiq mengatakan, “Diperbolehkan. Jadi menikahlah dengan wanita suci, jangan yang lain, karena Allah swt telah berfirman, Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Karena 128
Ibid, hlm. 10-11.
itu engkau tidak boleh memberikan kehormatanmu di mana engkau merasa tidak aman dengan dirhammu.” 129 Adapun ketentuan syar’i tentang wanita yang haram (tidak boleh) untuk melakukan nikah mut’ah dengan seorang lelaki, –sama seperti wanita yang haram untuk melakukan nikah permanen- yaitu: 1) Wanita yang masih terikat dalam perkawinan dengan suaminya. 2) Wanita yang sedang berada dalam masa iddah. 3) Ibu kandung. 4) Nenek dari pihak ayah atau ibu. 5) Ibu tiri atau janda ayah yang sudah digauli. 6) Saudara kandung perempuan. 7) Saudara perempuan ayah atau ibu (bibi). 8) Keponakan perempuan. 9) Saudara perempuan istri (ipar) selama istri masih hidup atau belum bercerai. 10) Janda istri dari anak/ cucu (menantu perempuan) yang telah digauli. 11) Anak kandung/ anak tiri yang ibunya telah digauli.130 c. Periode Waktu (mudda) Periode atau jangka waktu ini harus disebutkan sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, baik lama maupun sebentar saja dan pula harus disepakati bentuk waktunya, seperti berapa hari, bulan atau tahun secara tegas dan jelas sehingga tidak bisa lebih atau kurang dari jangka waktu yang telah ditentukan 129 130
Sachiko Murata, Lebih Jelas tentang, hlm. 49 Ibnu Mustafa (Ed), Perkawinan Mut’ah dalam, hlm. 79-80.
tersebut, dan pula harus ditentukan macam kalender yang diinginkan, apakah Masehi atau Hijriyah.131 Batas waktu yang disepakati oleh calon suami-istri mut’ah harus diucapkan dengan jelas, jika tidak atau lupa menyebutkannya maka ijab-qabul itu akan mengikat menjadi perkawinan da’im. Lantas untuk melepas ikatan perkawinan ini diperlukan ucapan talak yang harus disaksikan oleh dua orang yang adil. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam Mazhab Ahl asSunnah yang tidak mengharuskan dua saksi dalam ucapan talak. Juga terdapat perbedaan tentang dua orang saksi dalam pernikahan yang menurut Mahzab Ahl as-Sunnah adalah wajib. Dalam Mahzab Syi’ah saksi pada waktu nikah hanya sunah, dan wajib pada waktu talak. d. Mahar Ketika proses ijab-qabul, disebutkan mahar (mas kawin) yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dan menentukan kadarnya, baik dari segi bentuk mapun jumlahnya dengan cara-cara yang dapat menghilangkan kesalah-fahaman. Selain itu, mahar tersebut harus milik dari suami itu sendiri yang diperolehnya secara halal baik sedikit atau pun banyak, bahkan meskipun berupa segenggam makanan. Wanita boleh meminta seluruh mahar pada awal pernikahan. Dalam kasus ini pria tidak boleh mengambil kembali mahar itu, apa pun keadaanya, kecuali untuk beberapa alasan akadnya tidak sah sejak awal. 3. Aturan Nikah Mut’ah
131
Amir Muhammad al-Quzwayni, Nikah Mut’ah Antara, hlm. 12.
Selain keempat rukun nikah mut’ah di atas, secara garis besar aturan-aturan nikah mut’ah dalam kitab-kitab ulama Mazhab Ja’fari, adalah sebagai berikut: a. Wali Nikah Sebagaimana akad-akad yang lain, seorang wanita dibolehkan melakukan ijab-qabul dengan cara mewakilkan kepada walinya. Menurut ulama Syi’ah, ijab-qabul khususnya untuk janda bisa dilakukan tanpa wali, sedang untuk gadis harus seiizin walinya. Dalam Mahzab Ahl as-Sunnah hanya Imam Hanafi yang membolehkan nikah tanpa wali. b. Perpisahan Perpisahan
dalam
perkawinan
mut’ah
berlaku
dengan
sendirinya ketika batas waktu yang disepakati berakhir tanpa talak. Dan jika dikehendaki oleh salah satu pihak untuk berpisah sebelum batas
waktumya
dapat
dilakukan
dengan
cara
pihak
lelaki
menghibahkan (memberikan) sisa waktunya kepada pihak wanita. Misalnya dengan ucapan pihak lelaki dengan mengatakan, “Saya hibahkan sisa waktu yang ada dalam perkawinan kita kepadamu.”132 c. Masa Iddah Wanita yang dikawini secara mut’ah harus beriddah terhitung setelah habisnya masa perkawinan yang telah disepakati sebelumnya, atau bila seandainya suaminya telah menghibahkan masa mut’ahnya kepadanya sehingga tanpa perlu adanya perceraian karena si wanita
132
Ibnu Mustafa (Ed), Perkawinan Mut’ah. dalam, hlm. 81.
akan langsung berpisah dari suaminya itu dan tidak boleh rujuk kembali, maka dalam hal ini iddahnya adalah sebagai berikut: 1) Apabila si isteri sudah pernah disetubuhi, dan dia bukan anak kecil dan bukan pula wanita tua yang sudah tidak berhaid lagi, maka iddahnya adalah dua kali haid (menstruasi) dengan catatan, bahwa haidnya berlaku secara teratur. 2) Apabila umurnya sudah mencapai masa haid (+ 9 – 10 th.) namun belum juga berhaid, maka iddahnya adalah 45 hari. 3) Apabila sedang dalam keadaan hamil, maka iddahnya dipilih yang paling lama, antara melahirkan atau dua kali masa haid. 4) Apabila ditinggal mati suami, maka iddahnya empat bulan sepuluh hari bagi yang tidak hamil, sedangkan yang hamil maka dipilih waktu yang paling lama, antara melahirkan atau dua kali masa haid.133 d. Anak Hasil Perkawinan Mut’ah Anak hasil perkawinan mut’ah adalah anak sah berdasar syara’i. Dia memilki semua hak yang dimilki oleh anak-anak sah lainnya, tanpa ada pengecualian, baik hak-hak syar’i maupun moral.134 Anak tersebut dinisbahkan pada nama ayahnya dan berhak mendapat perlakukan dan hak waris yang sama dengan anak dari pernikahan da’im baik dari pihak ayah maupun ibu. Anak itu diikutkan pada suami yang pernah melakukan hubungan badan sekalipun sang suami melakukan ‘azl, karena wanita yang dikawin mut’ah itu sah (secara syar’i) sebagai istrinya. 133
Amir Muhammad al-Quzwayni, Nikah Mut’ah Antara, hlm. 12-13. Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, cet. ke-1, alih bahasa: Afif Muhammad, (Jakarta: Basrie Press, 1994), hlm. 111. 134
Jadi pendek kata, perempuan yang dinikah mut’ah adalah istri yang hakiki, da anaknya pun anak yang hakiki. Tidak ada perbedaan di antara dua pernikahan –pernikahan da’im dan perenikahan mut’ahkecuali satu hal. Yaitu, dalam pernikahan mut’ah tidak ada pewarisan dan pemberian nafkah di antara suami-isteri kecuali yang disayaratkan dalam akad nikah, seperti halnya ‘azl. Perbedaan-perbedaan parsial ini merupakan perbedaan dalam hukum, bukan dalam esensi.135 e. Waris dan Nafkah Dalam perkawinan mut’ah ditekankan pada masalah mahar (pemberian barang berharga dari suami kepada isteri yang diucapkan ketika ijab-qabul), namun bentuk perkawinan ini tidak mewajibkan saling mewarisi antara suami-isteri, juga tidak ada kewajiban nafkah dan pembagian malam bagi isteri dari suami mut’ah, kecuali ada perjanjian-perjanjian terlebih dahulu.136
135 136
Ja’far Subhani, yang Hangat & Kontroversial, hlm. 100 Ibid, hlm. 81-82.
BAB III PELAKSANAAN TAKHRIJ HADITS
Hadits yang akan penulis takhrij bersumber dari kitab Hadits Mahzab Ahl as-Sunnah dan Mahzab Syi’ah, dengan klasifikasi adanya kesamaan matan, namun berbeda jika dilihat dari segi jalur periwayatan. Mengenai alasan pemilihan Hadits dibawah ini, disandarkan pada dua aspek, yakni disamping Hadits yang dimaksud memiliki matan kebolehan nikah mut’ah juga memuat ayat al-Qur’an sebagai legitimasi kebolehan nikah mut’ah. A. Jalur Periwayatan Hadits Ahl as-Sunnah 1. Teks Hadits Ahl as-Sunnah Tentang Kebolehan Nikah Mut’ah: 137
Dalam Shahih Muslim,
disebutkan:
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪاﷲ ﺑﻦ ﻧﻤﯿﺮ اﻟﮭﻤﺪاﻧﻲ ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻲ ووﻛﯿﻊ واﺑﻦ ﺑﺸﺮﻋﻦ إﺳﻤﺎﻋﯿﻞ ﻋﻦ ﻛﻨﺎ ﻧﻐﺰو ﻣﻊ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻟﯿﺲ ﻟﻨﺎ ﻧﺴﺎء: ﺳﻤﻌﺖ ﻋﺒﺪاﷲ ﯾﻘﻮل:ﻗﯿﺲ ﻗﺎل أﻻ ﻧﺴﺘﺨﺼﻰ؟ ﻓﻨﮭﺎﻧﺎ ﻋﻦ ذﻟﻚ ﺛﻢ رﺧﺺ ﻟﻨﺎ أن ﻧﻨﻜﺢ اﻟﻤﺮأة ﺑﺎﻟﺜﻮب إﻟﻰ أﺟﻞ ﺛﻢ ﻗﺮأ:ﻓﻘﻠﻨﺎ ّ ﯾﺎأﯾّﮭﺎ اﻟّﺬﯾﻦ آﻣﻨﻮا ﻻﺗﺤﺮّﻣﻮا ﻃﯿّﺒﺎت ﻣﺎأﺣﻞّ اﷲ ﻟﻜﻢ وﻻﺗﻌﺘﺪوا إنّ اﷲ ﻻﯾﺤﺐ:ﻋﺒﺪاﷲ اﻟﻤﻌﺘﺪﯾﻦ 138
Dalam Shahih al-Bukhari,
disebutkan:
ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ رﺿﻲ اﷲ، ﻋﻦ ﻗﯿﺲ، ﻋﻦ إﺳﻤﺎﻋﯿﻞ، ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺧﺎﻟﺪ:ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﻋﻮن أﻻ ﻧﺨﺘﺼﻲ؟: ﻓﻘﻠﻨﺎ، ﻛﻨﺎ ﻧﻐﺰو ﻣﻊ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ وﻟﯿﺲ ﻣﻌﻨﺎ ﻧﺴﺎء:ﻋﻨﮫ ﻗﺎل ﯾﺎ أﯾّﮭﺎ اﻟّﺬﯾﻦ آﻣﻨﻮا: ﺛﻢ ﻗﺮأ، ﻓﺮﺧﺺ ﻟﻨﺎ ﺑﻌﺪ ذﻟﻚ أن ﻧﺘﺰوج اﻟﻤﺮأة ﺑﺎﻟﺜﻮب،ﻓﻨﮭﺎﻧﺎ ﻋﻦ ذﻟﻚ ﻻ ﺗﺤﺮّﻣﻮا ﻃﯿّﺒﺎت ﻣﺎ أﺣﻞّ اﷲ ﻟﻜﻢ 139
Ahmad bin Hanbal,
137
meriwayatkan:
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), II: 1022-1023, dalam ”Kitab an-Nikah”, hadits no. 11. 138 Al-Imam Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), V-VI: 228, dalam “Kitab at-Tafsir Surat al-Maa’idah”, hadits no. 4615. 139 Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, cet. I, (Beirut: alMaktab al-Islami, 1978), I: 420.
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪاﷲ ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻰ ﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﯿﺪ ﺛﻨﺎ اﺳﻤﺎﻋﯿﻞ ﻋﻦ ﻗﯿﺲ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﻗﺎل ﻛﻨﺎ ﻧﻐﺰوﻣﻊ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ وﻟﯿﺲ ﻟﻨﺎ ﻧﺴﺎء ﻓﻘﻠﻨﺎ ﯾﺎرﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ أﻻ ﻧﺴﺘﺨﺼﻰ؟ ﻓﻨﮭﺎﻧﺎ ﻋﻨﮫ ﺛﻢ رﺧﺺ ﻟﻨﺎ ﺑﻌﺪ ﻓﻰ أن ﻧﺘﺰوج اﻟﻤﺮأة ﺑﺎﻟﺜﻮب إﻟﻰ أﺟﻞ ﺛﻢ ﻗﺮأ ﻋﺒﺪاﷲ }:ﯾﺎ أﯾّﮭﺎ اﻟّﺬﯾﻦ آﻣﻨﻮا ﻻﺗﺤﺮّﻣﻮا ﻃﯿّﺒﺎت ﻣﺎأﺣﻞّ اﷲ ﻟﻜﻢ وﻻ ﺗﻌﺘﺪوا إنّ اﷲ ﻻﯾﺤﺐّ اﻟﻤﻌﺘﺪﯾﻦ{ meriwayatkan:
140
Abu Syaibah,
ﺣﺪﺛﻨﺎ وﻛﯿﻊ ﻗﺎل :ﻧﺎ إﺳﻤﺎﻋﯿﻞ ﻋﻦ ﻗﯿﺲ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﻗﺎل :ﻛﻨﺎ ﻣﻊ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ وﻧﺤﻦ ﺷﺒﺎب ﻗﺎل :ﻓﻘﻠﻨﺎ :ﯾﺎرﺳﻮل اﷲ أﻻ ﻧﺨﺘﺼﻲ؟ ﻗﺎل)) :ﻻ(( ،ﺛﻢ رﺧﺺ ﻟﻨﺎ أن ﻧﻨﻜﺢ اﻟﻤﺮأة ﺑﺎﻟﺜﻮب إﻟﻰ اﻷﺟﻞ ﺛﻢ ﻗﺮأ ﻋﺒﺪاﷲ }:ﯾﺎأﯾّﮭﺎ اﻟّﺬﯾﻦ آﻣﻨﻮاﻻ ﺗﺤﺮّﻣﻮا ﻃﯿّﺒﺎت ﻣﺎ أﺣﻞّ اﷲ ﻟﻜﻢ{ 2. Bagan Sanad Hadits Ahl as-Sunnah
Nabi Muhammad saw
Abdullah bin Mas’ud )(w. 32 H
Qays bin Abi Hazm )(w. 94/ 86/ 84 H
Isma’il bin Abi Khalid )(w. 145/ 146 H
Muhammad bin ‘Ubaid )(w. 203 H
Abi Abdullah/ Numair / Abu Hisyam )(w. 220 H 140
Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abu Syaibah al-Kufi al-‘Abasi, Al-Kitabu alMushonaf fi al-Hadits wa al-Atsar (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), III: 547, dalam “Kitab fil Nikaaha al-Mut’ah wa Hammatuha”, hadits no. 17073
Muhammad bin Bisyrin (w.203 H) Waki’ bin al-Jaroh (w. 205 H) Abdullah bin Numair (w.199 H)
Muhammad bin Abdullah bin Numair (w. 234 H)
Khalid bin Abdullah (w. 172 H)
Abdullah bin Numair (w.199 H)
Waki’ bin Jaroh (w. 205)
Amru bin ‘Aun (w. 225 H)
Imam Muslim Imam Bukhari Ahmad bin Hanbal Abu Syaibah (w. 261 H) (w. 256 H) (w. 241 H) (w. 265 H) 3. Takhrij terhadap Persambungan Sanad dan Reputasi Rawi Hadits Setelah dikemukakan rangkaian sanad yang dibuat dalam suatu bagan di atas, berikut adalah pembahasan profil dan riwayat hidup masingmasing para perawi Hadits. Jalur Muslim a. Imam Muslim Nama lengkap Imam Muslim adalah Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi Abu al-Hasan an-Naisaburi al-Khafidz. Tokoh ini berasal dari Marwazi dan ayahnya dari Sirjis. Imam Muslim lahir tahun 204 H, dan wafat pada 26 Rajab tahun 261 H.141 Tokoh ini banyak menulis kitab, di antara kitab shahih-nya yang masyhur adalah: Kitab Al-Ilal, Kitab Auham al-Muhadditsin, Kitab Man Laisa lahu illa Rawin Wahid, Kitab Thabaqat at-Tabi’in, Kitab alMukhadlramin, Kitab al-Musnad al-Kabir ‘ala Asma ‘ar-Rijal, dan Kitab Jami’ al-Kabir ‘alal-Abwab. Bersama dengan Kitab Shahih
141
hlm. 171.
M. Alawi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadits, cet. ke 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006,
Bukhari, Kitab Shahih Muslim termasuk dalam kategori kitab paling shahih sesudah al-Qur’an.142 Berhubung Imam Muslim sudah dikenal sebagai seorang penulis kitab Hadits yang handal, maka penelusuran lebih jauh terhadapnya tidak perlu dilakukan.
b. Muhammad bin Abdullah Melalui jalur periwayatan Imam Muslim, nama tokoh ini disebut secara terang, yakni Muhammad bin Abdullah bin Numair al-Hamdani al-Kharufi Abu Abdurrahman al-Kufi al-Hafidz. Hal inilah yang membuat peneliti mudah menemukan nama ini dalam kitab Tahzibu atTahzib. Kode hurufnya ‘ain, yang berarti dia rijal dari kutubusittah. Muhammad bin Abdullah bin Numair al-Hamdani meninggal pada bulan Sya’ban tahun 234 H. Dengan demikian tokoh ini bertemu dengan Imam Muslim (w. 261 H). Muhammad bin Abdullah meriwayatkan Hadits dari bapaknya (Muhammad bin Bisyrin al-’Abdi), Waki’ bin al-Jaroh, Zayid bin al-Hubab dan lainnya. Murid-muridnya antara lain: Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Daud dan Ibn Majah. Berkata Ibn al-Junaid, “Tidaklah aku melihat seorang pun di Kuffah yang menyamai Abdullah bin Numair, dia termasuk laki-laki yang cerdik, berilmu dan faham akan as-Sunnah.” Ibn Hibban menilai tokoh ini termasuk orang yang “al-hufadhul muttaqqin” dan ahli waro’ dalam agamanya. Ibn Wadhoh menambahkan, bahwa tokoh ini termasuk seorang yang “tsiqatun katsirul-hadits ‘alimu bihi”, dan Ibn Qani’ 142
Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, alih bahasa: Tim Pustaka Firdaus, cet. ke5, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm. 367.
menyebut “tsiqatun tsabtun”. Menurut Zahroh, tokoh ini meriwayatkan 22 Hadits dari Bukhari dan 573 Hadits dari Imam Muslim. 143 ‘Ajali alKufi, Abu Hatim, Nasa’i, dan Ibn Hibban merekomendasikan bahwa Muhammad bin Abdullah al-Hamdani seorang yang tsiqah. Dari sekian banyak komentar, az-Zuhdi mengungkap bahwa tokoh ini adalah seorang yang fakir. Akan tetapi, kondisi kefakiran tidaklah menjadikan marjuh bagi seorang perawi Hadits. Ditambah lagi dengan informasi dari kitab Taqribu Tahzib, yang menyebutkan bahwa Muhammad bin Abdullah al-Hamdani sebagai perawi yang “tsiqatun khafidzu fadholi”,144 maka dipastikan tokoh ini termasuk ‘adil dan dhabit, haditsnya shahih. c. Abdullah bin Numair Abdullah bin Numair al-Hamdani adalah bapak dari Muhammad bin Abdullah al-Hamdani. Dengan demikian menjadi mudahlah penulis melacak tokoh ini. Nama lengkapnya yakni Abdullah bin Numair alHamdani al-Kharufi Abu Hisyam al-Kufi, kode hurufnya ‘ain. Menurut anaknya, dia lahir pada tahun 115 H, kemudian meninggal tahun 199 H. Abdullah bin Numair meriwayatkan Hadits dari Isma’il bin Abi Khalid, Hasyim bin Urwah, Abdullah bin Amru. Abu Hatim menyebut “mustaqimul-amr”.
Al-Ajali
menilai
“tsiqatun
shalihul-hadits”,
kemudian ’Ibn Sa’id menyatakan “tsiqatu katsirul hadits shaduq”. Ibn Hibban dan mayoritas ulama menilai tsiqah terhadap tokoh ini.145 Berhubung tidak ada seorang ulama pun yang mencacatnya, ditambah predikat yang diberikan oleh kitab Taqribu Tahzib berupa 143
Ibn Hajar al-Asqolani, Kitab Tahzibu at-Tahzib, IX: 251. Ibn Hajar al-Asqolani, Taqribu Tahzib, II: 100. 145 Ibn Hajar al-Asqolani, Kitab Tahzibu at-Tahzib, VI: 52. 144
“tsiqatun shohibul-hadits min ahl as-sunnah“, maka Abdullah bin Numair termasuk orang yang ‘adil dan dhabit, haditsnya shahih. d. Waki’ bin al-Jaroh Dari sekian banyak nama Waki’, hanya ada satu nama Waki’ bin al-Jaroh. Nama ini didapat dari biografi Muhammad bin Abdullah alHamdani, bahwa dia meriwayatkan Hadits dari Waki’ bin al-Jaroh. Dalam kitab Tahzibu at-Tahzib, nama lengkapnya yaitu Waki’ bin alJaroh bin Mulikh ar-Roasi Abu Sufyan al-Kufi al-Hafidz, dengan kode huruf ‘ain. Menurut Harun bin Hatim, tokoh ini lahir pada tahun 128 H, lantas Khalifah dan lainnya menyatakan bahwa Waki’ bin al-Jaroh meninggal umur 77 (205 H). Banyak pujian yang datang kepadanya, sebut saja Abdullah bin Ahmad yang mengatakan, “Tidak ada orang yang lebih menjaga ilmu dan lebih tajam ingatanya daripada Waki’,” dia juga pernah mendengar bapaknya yang memuji Waki’ dengan sebutan “al-hafidz” sebanyak tiga kali. Abdurrahman bin Mahdi berkata “katsiran” sebanyak dua kali, Abu Na’im menilai “faqih”. Abu Mu’awiyah, Abdurrahman bin Ibrahim, al-‘Ajali dan Ibn Hibban, menyebut Waki’ adalah seorang yang tsiqah dan “hafidzu muttaqin”, dan masih banyak lagi komentar bernada pujian yang ditujukan Waki’ bin al-Jaroh.146 Dari berbagai komentar yang ada, tidak seorang pun memberikan komentar yang bersifat marjuh kepada Waki’ bin al-Jaroh. Ditambah dengan informasi dari Kitab Taqribu Tahzib yang menyebut Waki’ bin
146
Ibid., XI: 110-112.
al-Jaroh sebagai seorang yang tsiqatun hafidzun ’abid”,147 maka tokoh ini termasuk orang yang ‘adil dan dhabith, haditsnya shahih. e. Muhammad bin Bisyrin Dalam jalur periwayatan Imam Muslim, tokoh ini hanya disebut Ibn Bisyrin, lantas peneliti meneliti biografi Muhammad bin Abdullah. Ternyata ada nama anak dari Bisyrin, yaitu Muhammad bin Bisyrin, yang sekaligus sebagai periwayat Hadits dari Isma’il bin Abi Khalid. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Bisyrin bin al-Furafashah bin al-Mukhtar al-Khafidz al-‘Abdi Abu Abdullah al-Kufi, kodenya huruf ‘ain. Bukhari dan Ibn Hibban menyatakan tokoh ini wafat tahun 203 H. Berkata Utsman, Ibn Hibban, Ya’qub bin Syaibah, Nasa’i, Ibn Qani’, Ibn Syahin dan lainnya menyatakan Muhammad bin Bisyrin seorang yang tsiqah. Utsman bin Abi Syaibah berkata, Muhammad bin Bisyrin adalah seorang yang “tsiqatun tsabtun”. Kemudian Muhammad bin Sa’di menilainya “tsiqah katsirul-hadits”, Ibn Junaid menyatakan “lam yakun bihi ba’sa”, Al-Ajuri berkata bahwa tokoh ini dikenal sebagai penghafal Hadits di wilayah Kuffah.148 Kitab Taqribu Tahzib menginformasikan, tokoh ini menyandang predikat “tsiqatun” dan ” hafidzun”.149 Melihat berbagai komentar yang bernada pujian di atas, serta tidak adanya jarh, maka Muhammad bin Bisyrin tergolong orang yang ‘adil dan dhabith, haditsnya shahih.
Melihat masa hidup Muhammad bin Bisyrin (w. 203 H), Waki’ bin al-Jaroh (w. 205 H) dan Abdullah bin Numair (w. 199 H), lantas 147
Ibn Hajar al-Asqolani, Taqribu Tahzib, II: 273-274. Ibid., IX: 64. 149 Ibn Hajar al-Asqolani, Taqribu Tahzib, II: 58. 148
sanad menghendaki ketiganya menerima Hadits dari Isma’il bin Abi Khalid (w. 146 H), maka dipastikan ketiganya bertemu dengan Isma’il bin Abi Khalid. f. Isma’il bin Abi Khalid Dalam mencari tokoh ini, peneliti melacak melalui biografi Khalid bin Abdullah al-Haitsami, dimana ia meriwayatkan Hadits dari seorang yang bernama Isma’il bin Abi Khalid. Adapun kitab Tahzibu atTahzib memuat dua nama Isma’il bin Abi Khalid, yakni Isma’il bin Abi Khalid al-Ahmasi dan Isma’il bin Abi Khalid al-Fadaki, akan tetapi peneliti yakin bahwa yang dimaksud adalah Isma’il bin Abi Khalid alAhmasi, dengan kode huruf ‘ain. Alasannya, karena tokoh ini pernah meriwayatkan Hadits dari Qays bin Abi Hazm. Menurut Bukhari, Isma’il bin Abi Khalid al-Ahmasi wafat pada tahun 146 H. Al-Khathib menyatakan bahwa Isma’il meninggal tahun 110 H, akan tetapi Ibn Hibban berkeyakinan bahwa Isma’il meninggal pada tahun 145 atau 146 H. Pendapat yang lebih bisa dipercaya adalah pendapat yang datang dari Ibn Hibban dan Bukhari. Karena pendapat tersebut diperkuat oleh informasi kitab Taqribu Tahzib, yang menyebut bahwa tokoh ini meninggal pada tahun 146 H. 150 Dengan demikian, Isma’il al-Ahmasi bertemu dengan Khalid bin Abdullah (w. 182 H). Isma’il al-Ahmasi meriwayatkan Hadits dari bapaknya, Abdullah bin Abi Auf, Qays bin Abi Hazm, Amru bin Harits, Zaid bin Wahab, Abi Bakar bin Amarah dan lainnya. Sedangkan muridnya yaitu Syabili bin Auf, Al-Harits bin Syabil, Thariq bin Syihab dan lainnya.
150
Ibn Hajar al-Asqolani, Taqribu Tahzib, I: 93.
Mayoritas ulama bersepakat bahwa Isma’il al-Ahmasi seorang perawi yang dapat dipercaya. Hal ini ditandai dari banyaknya pujian yang datang kepadanya. Sebut saja Ibn Hibban, yang menilai Ismail bin Abi Khalid dengan predikat tsiqah dan seorang“syaikhun shalihan”, kemudian Ya’qub bin Sufyan menilai “amiyan hafidzan tsiqatan”. Ibn ‘Aiyanah berkata, Isma’il al-Ahmasi termasuk murid yang paling dahulu dan seorang penghafal Hadits dari al-Ahmasi. Bukhari menyatakan tokoh ini meriwayatkan sebanyak 300 Hadits.151 Serta masih banyak lagi pujian yang mendukung ketsiqahan Isma’il bin Abi Khalid al-Ahmasi. Karena tidak ada penilaian yang menjatuhkannya, Isma’il bin Abi Khalid al-Ahmasi termasuk perawi yang ‘adil dan dhabit, haditsnya shahih. g. Qays bin Abi Hazm Berbekal petunjuk dari biografi jalur periwayat Isma’il di atas, dikatakan bahwa Isma’il pernah meriwayatkan Hadits dari Qays bin Abi Hazm. Dalam kitab Tahzibu at-tahzib terdapat 94 nama Qays, akan tetapi hanya ada satu nama Qays bin Abi Hazm. Petunjuk inilah yang memudahkan peneliti menemukan sosok Qays bin Abi Hazm, disebut juga Abdu Auf bin al-Harits bin Auf al Bajali al-Ahmasi Abu Abdullah al-Kufi, kode hurufnya adalah ‘ain. Menurut riwayat Ibn Hibban, Qays meninggal tahun 84 atau 86 atau 94 H.152 Maka bisa dihitung tahun wafatnya Qays terpaut 52/ 60/ 62 tahun dengan wafatnya Isma’il bin Abi Khalid al-Ahmasi (w. 146 H). Kalau sanad Hadits ini menghendaki Qays menyampaikan Hadits kepada 151 152
Ibn Hajar al-Asqolani, Kitab Tahzibu at-Tahzib, I: 254-255. Ibid., VIII: 347.
Isma’il bin Abi Khalid al-Ahmasi, maka kitab Tahzibu at-Tahzib menyebut hubungan itu. Terlepas dari kontroversi tahun meninggalnya, tokoh ini pernah hidup pada jaman jahiliyah untuk kemudian mendatangi Nabi Muhammad saw dengan tujuan menyatakan bai’at kepadanya. Dalam masalah Hadits, Qays meriwayatkan Hadits dari bapaknya, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Bilal budak Abu Bakar, Ibn Mas’ud alAnshari dan generasi sahabat lainnya. Komentar yang mengandung al-jarh datang dari Ali bin alMadani, dengan menyatakan bahwa Qays sebagai periwayat Hadits dari Bilal, akan tetapi dia belum pernah melihat Qays bertemu dengan Bilal, begitu pula halnya ketika dia meriwayatkan Hadits dari Uqbah bin Amir. Penilaian yang berbeda datang dari Abu Hazm, dengan memberikan predikat “rijalun kamilun”. Adapun sekumpulan sahabatnya menilai “muttaqin riwayah”, Abu Sa’id dan lainnya menyatakan tsiqah.153 Komentar ini diperkuat oleh kitab Taqribu Tahzib, yang menjelaskan bahwa Qays bin Hazm seorang perawi yang tsiqah.154 Dari berbagai komentar di atas, ditemukan adanya pernyataan dari Ali al-Madani yang melihat Qays belum pernah bertemu dengan Bilal dan Uqbah ketika meriwayatkan Hadits dari keduanya. Menurut peneliti pendapat ini lemah, mengingat Qays datang sendiri kehadapan kepada Nabi Muhammad saw untuk berbai’at, disamping itu banyak juga komentar yang menyatakan bahwa pernah Qays meriwayatkan Hadits dari banyak sahabat Nabi saw, mustahil dia tidak bertemu dengan Bilal dan Uqbah. 153 154
Ibid., VIII: 347. Ibn Hajar al-Asqolani, Taqribu Tahzib, II: 32.
Dengan melihat berbagai komentar di atas, maka dapat dipastikan jarh tersebut tidak berpengaruh terhadap kulaitas ‘adil dan dhabitnya, lantas dapat dipastikan bahwa Hadits darinya adalah shahih. h. Abdullah bin Mas’ud Dari keempat jalur periwayatan tersebut di atas, ketika menyebut tokoh ini hanya mencantumkan nama Abdullah, dimana dalam penukilan Hadits di atas, tokoh inilah yang membaca al-Qur’an surat al-Maa’idah ayat 87. Dari sekian banyak nama Abdullah dalam kitab Tahzib, hanya satu nama yakni Abdullah bin Mas’ud (Ibn Mas’ud) yang sudah terkenal sebagai Imam Qira’ati.155
Masalah di atas didukung melalui sabda Nabi Muhammad saw: “Ambilah al-Qur’an dari empat orang: Abdullah (bin Mas’ud), Salim (sahaya Abu Hudzaifah), Muadz bin Jabal, dan Ubay bin Ka’ab.” Menurut para ahli Hadits, kalau disebutkan “Abdullah” saja, yang dimaksudkan adalah Abdullah bin Mas’ud ini.156 Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghafal bin Khabib bin Syamikh bin Mahzumi bin Shohalah bin Kahl bin al-Kharits bin Tamim bin Sa’id bin Hudzail bin Madrukah bin Ilyas Abu Abdur-Rahman al-Hadzuli, dengan kode huruf ‘ain.157 Abdullah bin Mas’ud merupakan Sahabat keenam yang paling dahulu masuk Islam. Abdullah bin Mas’ud hijrah ke Habasyah dua kali, serta mengikuti semua peperangan bersama Nabi saw. Dalam perang
155
Manna Khalil al-Qothan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, alih bahasa Mudzakir AS, cet. ke 6, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2006), hlm. 247. 156 Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu, hlm. 344. 157 Ibn Hajar al-Asqolani, Kitab Tahzibu at-Tahzib, VI: 25.
Badar ia berhasil membunuh Abu Jahal.158 Menurut Bukhari Abdullah bin Mas’ud wafat di Madinah sebelum sahabat Utsman. Nu’aim dan lainnya berpendapat, ia meninggal pada tahun 32 H. Gurunya yaitu Sa’id bin Mu’adz, Umar dan Shofwan bin ‘Asl. Muridnya yakni Abdurrahman (anaknya), Abu Ubaidah, Abu Sa’id al-Khudri, Qays bin Abi Hazm dan lainnya. 159 Dalam riwayat hidupnya baik Abdullah bin Mas’ud dan Qays bin Abi Hazm pernah mengalami masa jahiliyah untuk kemudian berbai’at kepada Nabi saw, maka pertemuan dengan Abdullah bin Mas’ud adalah sebuah keniscayaan. Dalam tradisi penulisan ilmu Hadits Ahl as-Sunnah dikenal rumus “ash-shohabatu kulluhum ‘udhulun”, bahwa semua sahabat adalah termasuk periwayat yang ‘adil, maka Hadits Abdullah bin Mas’ud termasuk dalam kategori shahih, karena dia termasuk golongan sahabat. Jalur Bukhari a. Imam Bukhari Nama lengkap Imam Bukhari adalah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizyah al-Ju’fi al-Bukhari, dijuluki Abu Abdillah al-Bukhari.160 Berhubung Imam Bukhari dikenal sebagai penulis kitab besar Al-Jami’ ash-Shahih yang merupakan kitab paling shahih sedunia setelah al-Qur’an al-Majid,161 maka penelusuran terhadapnya tidak diperlukan. Hanya saja, perlu dicantumkan disini bahwa ia hidup antara tahun 194-256 H. 158
Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu, hlm. 344. Ibn Hajar al-Asqolani, Kitab Tahzibu at-Tahzib, VI: 25. 160 Syihabuddin Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-Asqolani, Kitab Tahzibu at-Tahzib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), IX: 25. 161 Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu, hlm. 365-366 159
b. Amru bin Aun Dalam kitab Tahzibu at-Tahzib, hanya ada satu nama Amru bin Aun, dengan nama lengkapnya yakni Amru bin Aun bin Aus bin alJu’di
Abu
Utsman
al-Wasthi al-Bizarul
Khafidz.
Kode
yang
dicantumkan di sebelah namanya adalah ‘ain, artinya, ia seorang rijal kutubus sittah. Artinya juga, ia rijal Bukhari, Muslim dan Ahmad bin Hanbal. Amru bin Aun pernah meriwayatkan Hadits dari Khalid bin Abdullah, Abdussalam bin Harbi, Abu Mu’awiyah dan lainnya. Tidak disebutkan kapan tokoh ini lahir, namun disebutkan dia meninggal pada tahun 225 H. Melihat tahun wafatnya ini, Imam Bukhari bertemu dengannya. Komentar datang dari Ibn Hibban dan al-Ajuli, yang menilai Amru bin Aun termasuk orang yang tsiqah dan termasuk “rijalan Sholikhan”. Komentar Ibrahim bin al-Junaid, Amru mendapat pujian yang banyak dari ulama. Abu Hatim menilainya “tsiqatun hujjah”, dan selalu menjaga semua haditsnya. Demikian pula menurut Abu Daud dan Bukhari.162 Sedangkan kitab Taqribu Tahzib menyimpulkan bahwa Amru bin Aun sebagai seorang yang “tsiqatun tsabtun”.163 Berhubung tidak ada al-jarh terhadap tokoh ini, maka Amru bin Aun termasuk orang yang ‘adil dan dhabith, haditsnya shahih. c. Khalid bin Abdullah Untuk memudahkan dalam mencari tokoh yang dimaksud, peneliti menggunakan metode, yaitu dengan melihat “kepada siapa” dan 162
Ibn Hajar al-Asqolani, Kitab Tahzibu at-Tahzib, VIII: 76. Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqolani, Taqribu Tahzib, (Beirut: Dar al-Kutub al‘Alamiyyah, 1993), I: 746. 163
“darimana” tokoh yang dimaksud meriwayatkan Hadits? Rupa-rupanya, tokoh yang haditsnya diriwayatkan oleh Amru bin Aun dan juga sebagai periwayat Hadits dari Isma’il bin Abi Khalid, adalah Khalid bin Abdullah bin Abdurrahman bin Yazid ath-Thahan Abu al-Haitsami, dengan kode hurufnya‘ain. Khalid bin Abdullah lahir pada tahun 115 H, namun terjadi beda pendapat dalam penentuan tahun wafatnya, dimana Abdul Hamid bin Bayan, Ya’qub bin Sufyan dan Ali bin Abdullah bin Mubasyirun mengatakan tahun 179 H, sementara Khalifah dan Muhammad bin Sa’di berpendapat tahun 182 H. Lantas kitab Taqribu Tahzib menjelaskan, tokoh ini wafat pada tahun 182 H.164 Apabila membandingkan tahun wafatnya Khalid bin Abdullah dengan tahun wafatnya Amru bin Aun (w. 225 H), terpaut 43 tahun. Meski jauh, kitab Tahzibu at-Tahzib menginformasikan Amru bin Aun meriwayatkan Hadits dari Khalid bin Abdullah, itu berarti keduanya pernah bertemu. Abdullah bin Ahmad mengatakan, bahwa Khalid bin Abdullah seorang yang “tsiqatun shalikhan” dalam masalah agamanya.
Abu
Hatim menyebutnya “tsiqatun shahihul-hadits,” Tirmidzi menilai “tsiqatun hafidzun”. Berkata Abu Daud dan Ishaq al-Azraq “Saya belum pernah melihat orang yang lebih utama daripada Khalid.” Sementara Ibn Sa’di, Abu Zar’ah dan Nasa’i menyebutnya sebagai seorang yang tsiqah. Kitab Taqribu Tahzib menginformasikan bahwa tokoh ini termasuk
164
Ibn Hajar al-Asqolani, Taqribu Tahzib, I: 259.
perawi Hadits yang“tsiqotun tsabtun”. 165 Karena tidak ada marjuh dari seorang ulama-pun, maka Khalid bin Abdullah termasuk orang yang ‘adil dan dhabit, haditsnya shahih. Adapun biografi tokoh dari jalur Imam al-Bukhari, mulai dari Isma’il ibn Abi Khalid dan seterusnya, sampai dengan Nabi Muhammad saw sudah diuraikan pada jalur Al-Bukhari. Jalur Ahmad bin Hanbal a. Ahmad bin Hanbal Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hasan al-Syaibani. Beliau lahir di Baghdad pada tahun 164 H, dan wafat tahun 241 H di kota ini juga.166 Tokoh ini mempunyai banyak karangan, diantaranya Kitab al-Ilal, kitab Az-Zuhd, tafsir An-Nasikh wal-Mansukh, kitab Fadla’il ash-Shahabah, kitab Al-Asyribah, dan sebagainya. Kitabnya yang paling masyhur dan terbesar adalah al-Musnad. Di dalamnya memuat 18 musnad yang diawali dengan Musnad al-Asyrah.167 Kitab Musnad Ibnu Hanbal memuat 40.000 Hadits musnad, yang diulang-ulang
ada
sekitar
10.000
buah.
Putranya
Abdullah
menambahkan ke dalamnya sekitar 10.000 Hadits. Begitu pula Ahmad Ibn Ja’far al-Qathi’i –rawi yang meriwayatkan dari Abdullahmemberikan beberapa tambahan. Abdullah bin Ahmad itulah yang mengurutkan kitab Musnad karangan ayahnya, sehingga terjadilah kerancuan dalam kitab tersebut. Imam Ahmad meninggal sebelum
165
Ibn Hajar al-Asqolani, Kitab Tahzibu at-Tahzib, III: 87. Ibnu Jauziy, Manaqib al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah alIslamiyyah, 1349 H), hlm. 76. 167 Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu, hlm. 363. 166
sempat
memperbaikinya.
Adapun
yang
mengurutkan
Musnad
berdasarkan huruf Hijaiyah (abjad) adalah Al-Hafidh Abu Bakar Muhammad bin Abdillah al-Muqaddasu al-Hanbali.168 Nasa’i dan Syafi’i menilai Ahmad bin Hanbal tsiqah, Abu ‘Ashim “ahsanu al-faqih”, Al-‘Ajuli “tsiqatu tsabtun”, kemudian Ibn Hibban menilai “hafidz muttaqinan-faqiha”.169 Meskipun muncul kerancuan dalam kitab Musnadnya, hal ini tidaklah menimbulkan jarh bagi Ahmad bin Hanbal, karena penyebab utama dari masalah ini berawal dari kecerobohan Abdullah, anaknya. Walhasil, kitab Musnad tetap masuk dalam golongan kitab yang diakui keshahihannya (kutubusittah). Dengan demikian dia termasuk orang yang ‘adil dan dhabit, haditsnya shahih. Hadits dengan jalur Ahmad bin Hanbal, tokoh Abdullah bin Numair sudah dibahas dalam urutan jalur Imam Muslim. Akan tetapi setelah Abdullah bin Numair, urutan rawi tidak langsung menuju Isma’il bin Abi Khalid, namun diriwayatkan oleh bapaknya Abdullah bin Numair (Abu Hisyam). b. Abu Hisyam Dalam sanad Hadits, tokoh ini hanya disebut bapak dari Abdullah bin Numair. Kemudian peneliti melacak nama bapaknya, yaitu Numair al-Hamdani al-Kharufi atau biasa disebut Abu Hisyam al-Kufi. Dalam kitab Tahzib, terdapat nama Abu Hisyam al-Kufi, yang biasa disebut AlQasim bin Katsir bin al-Nai’man al-Askandarani. Kode huruf adalah sin dan ta, maka dia termasuk rijal dari at-Tirmidzi dan Nasa’i. Nama guru 168 169
Ibid.,hlm. 364. Ibn Hajar al-Asqolani, Kitab Tahzibu at-Tahzib, I:.64-65.
Abu Hisyam, diantaranya Abu Syarih, Abdurrahman bin Syarih bin Abdullah
al-Maghfuri
al-Iskandarani,
Sulaiman
bin
al-Qasim.
Sedangkan muridnya, Muhammad bin Sahal bin ‘Askari, Abdullah bin Abdurrahman ad-Daromi, al-Barwi, Zayid bin Sunan al-Bashori dan lainnya. Abu Hatim menilai Abu Hisyam sebagai seorang “shalihu alhadits”, sedang Nasa’i berkomentar tsiqah. Ibn Yunus mengungkapkan bahwa Abu Hisyam termasuk orang Irak yang bertempat tinggal di Iskandariyah, dia termasuk lelaki yang shalih, dan meninggal dunia mendekati (kurang-lebih) tahun 220 H.170 Melihat komentar para ulama, tokoh ini termasuk seorang yang ‘adil dhabith, ditambah tidak ada jarh terhadapnya, maka haditsnya shahih. c. Muhammad bin ’Ubaid Kitab Tahzib memuat 20 nama Muhammad bin ’Ubaid, lantas peneliti melakukan pelacakan terhadap nama-nama Muhammad bin ’Ubaid. Hasil yang diperoleh, ternyata hanya ada satu nama Muhammad bin ’Ubaid yang meriwayatkan Hadits dari Isma’il bin Abi Khalid, yakni Muhammad bin Ubaid bin Abi Amiyah, biasa juga disebut Isma’il atThanafusi Abu Abdurrahman al-Kufi, dengan kode huruf disamping namanya adalah ‘ain. Informasi tentang masa hidupnya, ia lahir di tahun 124 H dan wafat pada tahun 203 H. Berkata Muhammad bin Utsman, sesungguhnya Muhammad bin ’Ubaid seorang yang “tsiqotun wa-atsabatuhum”, Al-fadholi dan al‘Ajuli menilai tsiqah. Ya’qub bin Syaibah menyebut “kaysa”, dan Ibnu
170
Ibid.
Sa’di menilai tokoh ini “tsiqah katsirul hadits”. Harb memuji tokoh ini sebagai lelaki yang dapat dipercaya. Selain berbagai komentar yang bernada memuji, terdapat juga cacat pada tokoh ini, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Ajuri dengan menyatakan bahwa Muhammad bin ’Ubaid pernah memukul anaknya yang bisu.171 Kitab Taqribu Tahzib, menilainya “tsiqotun yukhfadzu”.172 Memperhatikan berbagai komentar di atas, memang terdapat banyak pujian yang datang kepadanya, namun belum istimewa. Karena muncul jarh yang melemahkannya, maka periwayat ini memang dhabit namun kurang dalam masalah ke‘adilannya. Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa haditsnya bukan shahih dan bukan pula dha’if, akan tetapi hasan. Adapun biografi tokoh Hadits riwayat Ahmad bin Hanbal, mulai dari Isma’il bin Abi Khalid dan seterusnya sampai dengan Nabi Muhammad saw sudah diuraikan pada jalur Imam Muslim dan AlBukhari. Jalur Abu Syaibah a. Abu Syaibah Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim bin Utsman bin Khawasuti al-‘Abasi Abu Syaibah bin Abi Bakr bin Abu Syaibah al-Kufi. Beliau wafat di bulan Ramadhan pada tahun 265 H. melihat tahun wafatnya ini, Abu Syaibah bertemu dengan Muhammad bin Abdullah (w. 234 H).
171 172
Ibid., IX: 291-292. Ibn Hajar al-Asqolani, Taqribu Tahzib, II: 110.
Tokoh ini meriwayatkan Hadits dari Amru bin Hafsh bin Ghayats, Hafizh ibn ‘Aun, Abdullah bin Musa dan lainnya. Sedang yang meriwayatkan Hadits darinya, yakni Nasa’i, Ibnu Majah, Abu Hatim, Thobari, Abu Daud. Menurut Khalil, Musailamah bin Qasim al-Andalusi Kufi, dan Ibnu Hiban memiliki pendapat bahwa Abu Syaibah termasuk orang yang tsiqah. Walaupun kitab Haditsnya berada pada tingkatan ketiga, namun karena Abu Syaibah termasuk guru dari para penyusun kitab Hadits yang terkenal, maka penelusuran terhadapnya tidak perlu dilakukan. Adapun biografi tokoh dari jalur Abu Syaibah, mulai dari Muhammad bin Abdullah, kemudian bapaknya, lantas Isma’il bin Abi Khalid dan seterusnya sampai dengan Nabi Muhammad saw sudah diuraikan pada jalur Al-Bukhari, Imam Muslim dan Ahmad bin Hanbal. 4. Kesimpulan Hadits Riwayat Ahl as-Sunnah Melihat bagan sanad Hadits riwayat Ahl as-Sunnah di atas, menginformasikan bahwa Hadits tersebut diriwayatkan oleh satu orang generasi sahabat yang bernama Abdullah bin Mas’ud sampai generasi tabi’it-tabi’in yang bernama Isma’il bin Abi Khalid, maka Hadits tersebut berpredikat Hadits ahad, karena jumlah rawi-rawi dalam thabaqat (lapisan) pertama, kedua dan ketiga dalam periwayatannya hanya satu orang. Lebih lanjut, dalam sanadnya terdapat tiga orang yang menyendiri –terhitung dari generasi sahabat sampai generasi tabi’it-tabi’in- dalam meriwayatkan, maka Hadits di atas masuk dalam kategori Hadits gharib.
Dengan klasifikasi Hadits muthlak-fard, mengingat penyendirian rawi dalam periwayatan Hadits tentang personalianya. Sedangkan, bila ditinjau dari segi matannya ditemukan adanya penyendirian, yakni matan Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berbeda dengan matan Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad bin Hanbal dan Abu Syaibah. Dimana, Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tanpa dibubuhi kata (” )إﻟﻰ أﺟﻞilaa ajalin” setelah kata (” )ﺑﺎﻟﺜﻮبbits-tsaubi”. Oleh karena itu, Hadits tersebut dapat dikatakan gharib pada sanad dan gharib pada matan. Hadits riwayat Ahl as-Sunnah di atas, terdiri dari empat jalur isnad. Apabila masing-masing jalur isnad tersebut diurai secara sendiri-sendiri, maka hasilnya sebagai berikut: a. Imam Muslim, Muhammad bin Abdullah, Abdullah bin Numair dan Waki’ al-Jaroh dan Ibn Bisyrin, Isma’il bin Abi Khalid, Qays bin Abi Hazm, Abdullah bin Mas’ud. b. Imam al-Bukhari, ‘Amru bin Aun, Khalid bin Abdullah, Ismai’il bin Abi Khalid, Qays bin Abi Hazm, Abdullah bin Mas’ud. c. Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin Numair, Abu Hisyam, Muhammad bin ‘Ubaid, Isma’il bin Abi Khalid, Qays bin Abi Hazm, Abdullah bin Mas’ud. d. Abu Syaibah, Waki’ bin al-Jaroh, Isma’il bin Abi Khalid, Qays bin Abi Hazm, Abdullah bin Mas’ud. Berdasarkan penelusuran sanad yang dilakukan, dari keempat jalur isnad di atas dipastikan semuanya bersambung. Terbukti dengan diketahuinya tahun wafat dari masing-masing perawi. Kalaupun ada
beberapa periwayat Hadits yang terpaut agak jauh tahun wafatnya, Tahzibu at-Tahzib menginformasikan adanya pertemuan tersebut. Terlebih lagi jumhurul-muhaditsin berpendapat, bahwa seorang yang menerima Hadits sewaktu masih kanak-kanak atau masih dalam keadaan kafir atau dalam keadaan fasik, dapat diterima periwayatannya, bila disampaikannya setelah masing-masing dewasa, memeluk agama Islam dan bertaubat. Banyak para sahabat yang menerima Hadits sewaktu beliau masih belum dewasa, seperti al-Hasan, al-Husain, Ibnu Abbas, Nu’man bin Basyir dan lain sebagainya. Adapun dari segi kualitas sanad, setelah dilakukan pendalaman jarh wa ta’dlil, dapat dilaporkan sebagai berikut. a. Jalur imam Muslim, semua tokohnya terpercaya, dan tidak ada cacat. Maka nilai dari jalur ini adalah shahih. b. Jalur Imam al-Bukhari, semua tokohnya terpercaya dan tidak ada cacat, ditambah lagi semua perawinya pemilik kutubus sittah. Artinya, semua perawi dalam jalur ini seorang rijal kutubus sittah. Maka jalur ini nilainya shahih. c. Jalur Ahmad bin Hanbal, terdapat tokoh yang bernama Muhammad bin ‘Ubaid yang terkena jarh, disebabkan memukul anaknya yang bisu. Otomatis mengurangi ke’adilannya. Karena itu Hadits jalur Ahmad bin Hanbal ini nilainya hasan. d. Jalur Abu Syaibah, semua perawinya terpercaya dan tidak ada cacat. Maka nilai jalur ini nilainya shahih. Dari keempat jalur isnad tersebut, hanya satu jalur isnad yang bernilai hasan, sementara isnad lainnya bernilai shahih. Walaupun ketiga isnad
Hadits tersebut bernilai shahih, namun terdapat penyendirian dalam hal sanad dan matan, maka tidak dapat dikatakan Hadits shahih. Dengan asumsi inilah, maka Hadits kebolehan nikah mut’ah yang memuat ayat al-Qur’an sebagai dasar legitimasinya, yang dinukil dari kitab Hadits Ahl as-Sunnah, bernilai Hadits ahad-gharib-muthlak-fard, dengan spesifikasi gharib pada sanad dan gharib pada matan.
B. Jalur Periwayatan Hadits Syi’ah 1. Teks Hadits Syi’ah Tentang Kebolehan Nikah Mut’ah Dalam Kitab Al-Kafi,
173
disebutkan:
ﻋﺪّة ﻣﻦ أﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻋﻦ ﺳﮭﻞ ﺑﻦ زﯾﺎد وﻋﻠﻲ ﺑﻦ إﺑﺮاھﯿﻢ ﻋﻦ أﺑﯿﮫ ﺟﻤﯿﻌﺎ ﻋﻦ اﺑﻦ أﺑﻲ ﻧﺠﺮان ﻋﻦ ﻋﺎﺻﻢ ﺑﻦ ﺣﻤﯿﺪ ﻋﻦ أﺑﻲ ﺑﺼﯿﺮ ﻗﺎل ﺳﺄﻟﺖ أﺑﺎ ﺟﻌﻔﺮﻋﻦ اﻟﻤﺘﻌﺔ ﻓﻘﺎل ﻧﺰﻟﺖ ﻓﻲ اﻟﻘﺮآن ﻓﻤﺎ اﺳﺘﻤﺘﻌﺘﻢ ﺑﮫ ﻣﻨﮭﻦ ﻓﺂﺗﻮھﻦ اﺟﻮرھﻦ ﻓﺮﯾﻀﺔ وﻻﺟﻨﺎح ﻋﻠﯿﻜﻢ ﻓﯿﻤﺎ ﺗﺮاﺿﯿﺘﻢ ﺑﮫ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ اﻟﻔﺮﯾﻀﺔ 174
Dalam Kitab Man laa Yakhdluruhu al-Faqih,
disebutkan:
إﻧﮫ ﺳﺌﻞ ﻋﻦ:وروى اﻟﺤﺴﻦ ﺑﻦ ﻣﺤﺒﻮب ﻋﻦ أﺑﺎن ﻋﻦ أﺑﻲ ﻣﺮﯾﻢ ﻋﻦ أﺑﻲ ﺟﻌﻔﺮ)ع( ﻗﺎل اﻟﻤﺘﻌﺔ ﻓﻘﺎل إن اﻟﻤﺘﻌﺔ اﻟﯿﻮم ﻟﯿﺴﺖ ﻛﻤﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﻗﺒﻞ اﻟﯿﻮم إﻧﮭﻦ ﻛﻦ ﯾﺆﻣﻦ ﯾﺆﻣﺌﺬ ﻓﺎﻟﯿﻮم ﻻ .ﯾﺆﻣﻦ ﻓﺎﺳﺄﻟﻮا ﻋﻨﮭﻦ وأﺣﻞ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وآﻟﮫ اﻟﻤﺘﻌﺔ وﻟﻢ ﯾﺤﺮﻣﮭﺎ ﺣﺘﻰ ﻗﺒﺾ وﻗﺮأ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس وﻗﺪ اﺧﺮﺟﺖ.ﻓﻤﺎ اﺳﺘﻤﺘﻌﺘﻢ ﺑﮫ ﻣﻨﮭﻦ إﻟﻰ أﺟﻞ ﻣﺴﻤﻰ ﻓﺂﺗﻮھﻦ اﺟﻮرھﻦ ﻓﺮﯾﻀﺔ ﻣﻦ اﷲ اﻟﺤﺠﺞ ﻋﻠﻰ ﻣﻨﻜﺮﯾﮭﺎ ﻓﻲ ﻛﺘﺎب إﺛﺒﺎت اﻟﻤﺘﻌﺔ 175
Dalam Kitab Tahdzibu al-Ahkam, 173
disebutkan:
Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini, al-Kutubu al-Arba’ah, (Qum: Mu’assasah Anshoriyana, 2003), I: 78٢, dalam Kitab al-Kafi “Abwaabu al-Mut’ah”, hadits no. 9875. 174 Abu Ja’far ash-Shoduq Muhammad bin Babawaih al-Qummi, al-Kutub al-Arba’ah, I: 1441, dalam Kitab Man Laa Yakhdhuruhu al-Faqih, ”Baabu al-Mut’ah”, hadits no. 4591. 175 Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan ath-Thusi, al-Kutub al-Arba’ah, II: 2120, dalam Kitab Tahdhibu al-Ahkam, ”Bab Tafshili Ahkami an-Nikah”, hadits no. 9107.
ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﯾﻌﻘﻮب ﻋﻦ ﻋﺪة ﻣﻦ أﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻋﻦ ﺳﮭﻞ ﺑﻦ زﯾﺎد وﻋﻠﻲ ﺑﻦ إﺑﺮاھﯿﻢ ﻋﻦ أﺑﯿﮫ ﺟﻤﯿﻌﺎ ﻋﻦ اﺑﻦ أﺑﻲ ﻧﺠﺮان ﻋﻦ ﻋﺎﺻﻢ ﺑﻦ ﺣﻤﯿﺪ ﻋﻦ أﺑﻲ ﺑﺼﯿﺮ ﻗﺎل ﺳﺄﻟﺖ أﺑﺎ ﺟﻌﻔﺮ)ع( ﻋﻦ اﻟﻤﺘﻌﺔ ﻓﻘﺎل ﻧﺰﻟﺖ ﻓﻲ اﻟﻘﺮآن ﻓﻤﺎ اﺳﺘﻤﺘﻌﺘﻢ ﺑﮫ ﻣﻨﮭﻦ ﻓﺂﺗﻮھﻦ اﺟﻮرھﻦ ﻓﺮﯾﻀﺔ وﻻ
ﺟﻨﺎح ﻋﻠﯿﻜﻢ ﻓﯿﻤﺎ ﺗﺮاﺿﯿﺘﻢ ﺑﮫ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ اﻟﻔﺮﯾﺾة
disebutkan:
176
Dalam Kitab Al-Istibshar,
ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﯾﻌﻘﻮب ﻋﻦ ﻋﺪة ﻣﻦ أﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻋﻦ ﺳﮭﻞ ﺑﻦ زﯾﺎد وﻋﻠﻲ ﺑﻦ إﺑﺮاھﯿﻢ ﻋﻦ أﺑﯿﮫ ﺟﻤﯿﻌﺎ ﻋﻦ اﺑﻦ أﺑﻲ ﻧﺠﺮان ﻋﻦ ﻋﺎﺻﻢ ﺑﻦ ﺣﻤﯿﺪ ﻋﻦ أﺑﻲ ﺑﺼﯿﺮ ﻗﺎل ﺳﺄﻟﺖ أﺑﺎ ﺟﻌﻔﺮ)ع( ﻋﻦ اﻟﻤﺘﻌﺔ ﻓﻘﺎل ﻧﺰﻟﺖ ﻓﻲ اﻟﻘﺮآن ﻓﻤﺎ اﺳﺘﻤﺘﻌﺘﻢ ﺑﮫ ﻣﻨﮭﻦ ﻓﺂﺗﻮھﻦ اﺟﻮرھﻦ ﻓﺮﯾﻀﺔ وﻻ ﺟﻨﺎح ﻋﻠﯿﻜﻢ ﻓﯿﻤﺎ ﺗﺮاﺿﯿﺘﻢ ﺑﮫ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ اﻟﻔﺮﯾﻀﺔ
176
Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan ath-Thusi, al-Kutub al-Arba’ah, II: 2620, dalam Kitab al-Ibtishar “Baabu Tahlili al-Mut’ah”, hadits no. 3589.
2. Bagan Sanad Hadits Syi’ah Abu Ja’far ash-Shadiq
Abu Bashir
Abu Maryam
Ashim bin Humaid
Abaana
Ibnu Abi Najran
al-Hasan bin Mahbub
Abiha Jami’an
Abu Ja’far Muhammad al-Qummi
Sahl bin Ziyad Ali bin Ibrahim
Muhammad Ibn Hasan Muhammad Ibn Aqil
‘Iddatu min Ashabina
Abu Ja’far Muhammad ath-Thusi
Abu Ja’far bin Ya’qub al-Kulaini
2. Takhrij terhadap Persambungan Sanad dan Reputasi Rawi Hadits Setelah dikemukakan rangkaian sanad yang dibuat dalam bagan di atas, langkah berikutnya adalah melacak profil dan riwayat hidup masingmasing para perawi Hadits tersebut. Rupa-rupanya, Mazhab Syi’ah memiliki kitab rijal-hadits tersendiri, yang memuat para perawi Hadits mereka. Adapaun judul kitab rijal-hadits tersebut, antara lain: a. Tanqih al-Maqal fi Ahwal ar-Rijal, merupakan kitab al-jarhu wa atta’dil Syi’ah yang terbesar dan terlengkap. Kitab ini adalah karya pemimpin Mazhab Ja’fariyyah, Ayatullah Mamaqani.177 b. Kitab al-Rijal, karya Ahmad bin Ali an-Najasyi (w.450 H). c. Kitab al-Rijal, karya Syaikh ath-Thusi, yang lebih dikenal dengan Rijal ath-Thusi. d. Ma'alim al-‘Ulama, karya Muhammad bin Ali bin Syahr Asyub (w.588 H.). e. Minhaj al-Maqal, karya Mirza Muhammad al-Astrabadi (w.1.020 H). f. Itqan al-Maqal, karya Syaikh Muhammad Thaha Najaf (w.1.323 H). g. Rijal al-Kabir, karya Syaikh Abdullah al-Mumaqmiqani, seorang ulama abad ini.178
Meskipun telah mendapatkan informasi berbagai judul kitab rijalul-hadits Syi’ah di atas, namun peneliti belum menemukannya.
177
Syaikh Muhibbuddin al-Khatib, Mungkinkah Sunnah & Syi’ah Bersatu, (website: www.muslim.or.id,/ Email:
[email protected]), tulisan diterbitkan oleh: Pustaka Muslim, hlm. 20. 178 Musidul Millah,“Mengenal Kitab al-Ibtisar Karya al-Tusi”, dalam Jurnal Studi IlmuIlmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 10, No. 2, Juli 2009, hlm. 296.
Mengingat keberadaan kitab rijalul-hadits tersebut belum familiar bagi kalangan Muslim Ahl as-Sunnah maupun bagi komunitas Syi’ah Indonesia. Untuk itulah, penelitian ini hanya menampilkan biografi Imam Jafar ash-Shadiq sebagai sandaran akhir Hadits, dan biografi para penulis kitab Hadits Syi’ah. a. Ja’far ash-Shadiq Nama sebanarnya dari Ja’far ash-Shadiq ialah Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq. Ja’far ash-Shadiq hidup antara tahun 83-148 H. Ayahnya Muhammad al-Baqir, anak Ali Zainal Abidin, anak Husain, anak Ali bin Abi Thalib. Ibunya bernama Fatimah anak dari alQasim anak cucu dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Khalifah kedua setelah Nabi Muhammad saw. Konon itu sebabnya maka Ja’far memakai nama di belakangnya ash-Shadiq, dan tidak pernah menyerang tiga Khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib.179 tokoh ini merupakan Imam keenam dalam tradisi teologi Syi’ah, yang dikenal sebagai ma’sum. b. Abu Ja’far al-Kulaini Nama lengkap al-Kulaini adalah Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq al-Kulaini al-Razi. Ia merupakan faqih dan perawi Hadits Mazhab Syi’ah yang paling tersohor pada belahan kedua abad ketiga, dan belahan pertama abad keempat Hijriyah. Sebagai seorang ahli Hadits, al-Kulaini memiliki banyak guru dari kalangan ulama Ahlul-bait dan murid dalam kegiatan transmisi Hadits. Di antara para gurunya adalah Ahmad bin Muhammad bin ‘Ashim al-Kufi, Hasan bin Fadhl bin Zaid al-Yamani, Muhammad bin 179
Abubakar Aceh, Perbandingan Mahzab Syi’ah Rasionalisme dalam Islam, cet. ke-2, Semarang: CV. Ramadhani, 1980, hlm. 111.
Hasan ash-Shaffar, Sahal bin Ziyad al-Adami ar-Razi, Muhammad bin Hasan ath-Tha’i, Muhammad bin Ismail an-Naisyaburi, Ahmad bin Mihran, Ahmad bin Idris al-Qummi dan Abdullah bin Ja‘far al-Himyari. Sedangkan murid-murid dari al-Kulaini antara lain Ibn Abi Rafi’ ashShaimuri, Ahmad bin Ahmad al-Katib al-Kufi, Ahmad bin Ali bin Sa’id al-Kufi, Abu Ghalib Ahmad bin Zurari, Ja‘far bin Muhammad bin Qawlawaih al-Qummi, Ali bin Muhammad bin Musa ad-Daqqaq, Muhammad bin Ibrahim an-Nu’mani (Ibn Abi Zainab), Muhammad bin Ahmad ash-Shafwani, Muhammad bin Ahmad as-Sinani az-Zahiri yang bermukim di kota Rei, Muhammad bin Ali Jiluyeh, Muhammad bin Muhammad bin ‘Isham al-Kulaini dan Harun bin Musa.180 Karya-karya yang dihasilkan oleh al-Kulaini, antara lain: Kitab Tafsir al-Ru’ya, Kitab al-Rijal, Kitab al-Rad ala al-Qaramitah, Kitab arRasail: Rasa’il al-Aimmmah alaih al-salam, al-Kafi: (Ushul al-Kafî, Furu‘ al-Kafi ,Raudhah al-Kafî), Kitab ma-Qila fil al-Aimmah alaih alsalam min al-Syi’r, Kitab al-Dawajin wa al-Rawajin, Kitab al-Zayyu wa al-Tajammul, Kitab al-Wasail, Kitab al-Raudah.181 Menurut Ibn al-Asir, sosok al-Kulaini merupakan salah satu pemimpin Syi’ah dan ulama’nya. Sementara Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Razi mengatakan bahwa al-Kulaini termasuk Imam Mazhab Ahlul-bait, paling alim dalam mazhabnya, mempunyai keutamaan dan terkenal.182 Masih dalam konteks tersebut, al-Fairuz Abadi mengatakan bahwa al-Kulaini merupakan fuqaha Syi’ah. Muhammad Baqir al180
http://www.al-shia.org/html/id/shia/bozorgan/08.htm: Syaikhul Masyayikh, Muhammad Al-Kulaini (259 – 329 H.), akses hari Jum’at, 29 januari 2010. 181 Al-Kulaini, Muqaddimah Usul al-Kafi al-Kulaini, ditahqiq oleh Ali Akbar al-Gifari, (Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1388.H), I: 26. 182 Ibid., hlm. 21.
Majlisi dan Hasan al-Dimsati mengungkap bahwa al-Kulaini ulama yang dapat dipercaya dan karenanya dijuluki dengan tsiqat al-Islam.183 Pujian lain juga dikemukakan oleh ath-Thusi yang mengatakan bahwa sosok al-Kulaini dalam kegiatan Hadits dapat dipercaya (tsiqat) dan mengetahui banyak tentang Hadits. Penilaian senada juga diungkap oleh al-Najasyi yang mengatakan bahwa al-Kulaini adalah pribadi yang paling tsiqat dalam Hadits.184 Di dalam kitab-kitab Hadits yang membahas tentang sosok alKulaini tidak ditemukan adanya celaan terhadapnya. Oleh karena itu, kapasitas dan kepribadiannya dalam kegiatan transmisi Hadits dapat dipertanggungjawabkan. Tidak banyak keterangan yang didapat dari berbagai buku sejarah mengenai tahun lahirnya al-Kulaini, namun terdapat informasi bahwa dia meninggal pada tahun 328 atau 329. H (939/ 940. M), jenazahnya dikebumikan di pintu masuk Kuffah.
c. ‘Iddatu min ashabina Salah satu ciri khas dari kitab Hadits al-Kafi yang dapat ditemui adalah fenomena peringkasan sanad. Sanad sebagai mata rantai jalur periwayat Hadits dimulai dari sahabat sampai ulama Hadits terkadang ditulis lengkap dan terkadang membuang sebagian sanad atau awalnya dengan alasan atas beberapa konteks tertentu. Seperti ketika al-Kulaini telah menulis lengkap sanad pada Hadits yang dikutip di atas Hadits yang diringkas. Demikian juga, al-Kulaini kadang meringkas dengan 183 184
Ibid. Ibid., hlm. 22-23.
sebutan dari sejumlah sahabat kita (ashabuna), dari fulan dan seterusnya. Adapun maksud tersebut tidak lain adalah sejumnlah periwayat yang terkenal. Demikian juga dengan kata-kata ‘iddah (sejumlah) dan jama’ah (sekelompok) yang dapat menunjukkan upaya peringkasan sanad.185 Jika al-Kulaini menyebut sejumlah sahabat kami dari Ahmad Ibn Muhammad Ibn al-Barqi, maka yang dimaksud adalah Ali Ibn Ibrahim, Ali Ibn Muhammad Abdullah Ahmad Ibn Abdullah dari ayahnya dan Ali Ibn al-Husain al-Sa’dabadi. Demikian juga jika al-Kulaini menyebut sejumlah sahabat dari Sahl Ibn Ziyad, maka yang dimaksud tidak lain adalah Muhammad Ibn Hasan dan Muhammad Ibn Aqil. Apabila alKulaini menyebut dari sahabat kami dari Ahmad Ibn Muhammad Ibn Isa, maka maksudnya adalah Muhammad Ibn Yahya, Ali Ibn Musa alKamandani, Dawud Ibn Kawrah, Ahmad Ibn Idris dan Ali Ibn Ibrahim.186 Dalam penulisan Hadits, peringkasan sanad ditulis “‘iddatu min ashabina” dari Sahl Ibn Ziyad, berarti yang dimaksud adalah Muhammad Ibn Hasan dan Muhammad Ibn Aqil. d. Abu Ja’far al-Qummi Nama lengkap al-Qummi adalah Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Babawaih al-Qummi, meninggal pada tahun 381 H. Al-Qummi mendapatkan gelar Syaikh Shaduq karena keluasan pengetahuan dan reputasinya untuk kebenaran. Syeikh Shaduq pernah belajar dari guru-guru kalilber yang tak terbilang banyaknya, dan banyak dikenal oleh pakar-pakar Islam, diantaranya: Ali Ibn Babawaih al-Qummi, sang ayah, Muhammad Ibn 185
Hasan Ma’ruf al-Hasani, “Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi”, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 6, Juli-Oktober 1992, hlm. 39-41 186 Ibid,. hlm. 39.
Hasan Ibn Walid, Ahmad Ibn Ali Ibn Ibrahim al-Qummi, Ali Ibn Muhammad Al-Qazvini, Abu Ja’far Muhammad Ibn Ya’qub al-Kulaini, dan lainnya. Di antara murid-murid yang pernah menimba ilmu dari Syaikh Shaduq adalah: Syaikh Mufid, Muhammad Ibn Muhammad Ibn Nu’man, Husain Ibn Abdillah, Harun Ibn Musa at-Tal’akburi, Husain Ibn Ali Ibn Babawaih al-Qummi, saudaranya, dan Hasan Ibn Husain Ibn Babawaih al-Qummi, keponakannya.187 Karyanya adalah kitab Man laa yakhdhuruhu al-Faqih, yang termasuk dalam empat kitab Hadits utama Syi’ah. Selain itu menyusun pula kitab Kamaluddin wa Itmamun Ni’mah, Al-Amali, Shifatusy Syî’ah, ‘Uyun Akhbarir Ridha a.s., Mushadafatul Ikhawan, Al-Khishal, ‘Ilalusy Syara`i’. e. Abu Ja’far ath-Thusi Nama lengkap ath-Thusi adalah Abu Ja’far Muhammad ibn Hasan ibn Ibrahim ibn Ali ath-Thusi, dengan julukan Syaikhut-Tha’ifah (Pembesar Mazhab Syi’ah). Lahir pada bulan Ramadhan 385 H, di Thus, Khurasan, salah satu kota besar di Iran. Dia adalah seorang faqih besar, muhaddits kenamaan, dan ilmuwan tersohor. Ath-Thusi memulai pendidikannya di kota tempat kelahirannya, lantas pada tahun 408 H dia berangkat ke Baghdad, yang konon disana ath-Thusi pernah berguru kepada Imam Syafi’i terlebih dahulu, untuk kemudian belajar kepada Syaikh Mufid (w.413 H).188 Pada masa kepemimpinan Syarif al-Murtadha sampai meninggal pada tahun 436 H, Syaikh ath-Thusi berhubungan dekat dengan Syarif al-Murtadha. Karena 187
http://www.al-shia.org/html/id/shia/bozorgan/14.htm: Ra`îsul Muhadditsin, Syeikh Shaduq, akses hari Jum’at, 29 januari 2010. 188 Musidu Millah, “Mengenal Kitab al-Isbtisar Karya al-Tusi”, dalam Jurnal Studi IlmuIlmu al-Qur’an dan Hadis, Vol.10, No.2, (Yogyakarta: Jurusan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 285.
keluasan pengetahuan dan keulamaannya menjadikan ath-Thusi penerus alamiah dari Syarif al-Murtadha sebagai pemuka Islam Syi’ah. Ceramahnya sangat menarik sehingga Khalifah Abbasiah, al-Qadir billah, menghadiri kuliahnya dan menghormatinya.189 Murid ath-Thusi berjumlah tiga ratus orang, dan ratusan ulama dari pengikut Mazhab Ahlu as-Sunnah juga pernah menimba ilmu darinya.
AtThusi menyusun dua kitab terkenal yang masuk dalam jajaran al-kutu al-arba’ah (empat kitab hadits utama Mazhab Ahlul-bait). Kitab tersebut diberi nama Tahzib al-Ahkam fi Syarh al-Muqni’a, dapat diartikan sebagai “Pemurnian Ilmu Hukum dalam Penjelasan yang Mencukupi”, yang pada maksud awalnya merupakan komentar untuk kitab Hadits “Yang Mencukupi” (al-Muqni’a) kumpulan Hadits oleh Syaikh al-Mufid, guru ath-Thusi.190 Kitab kedua yakni al-Ibtishar, yang merupakan ringkasan dari kitab sebelumnya, kitab Tahyib al-Ahkam. Selain kedua kitab Hadits tersebut, ath-Thusi juga menyusun berbagai karya tulis lain, antara lain: An-Nihayah, Al-Mabsuth, Al-Kilaf, Al-Mufshih fî Al-Imamah, Laa Yasa‘ Al-Mukallaf Al-Ikhlal bihi dan ‘Uddah Al-Ushul (dalam bidang ilmu Ushul Fiqih), Ar-Rijal, Al-Fihrist, Muqaddimah fî ‘Ilm Al-Kalam, Ijaz fî Fara’idh Ar-Risalah, dan lainnya. Najasyi, seorang ulama yang hidup sezaman dengan ath-Thusi berkomentar, “Abu Ja‘far ath-Thusi adalah salah seorang ulama yang 189
I.K.A . Howard, “Al-Kutub al-Arba’ah: Empat Kitab Hadits Utama Mazhab Ahlulbait,” dalam Jurnal al-Huda, Vol.II, No.4, (Jakarta: Pusat Penelitian Islam al-Huda, 2001), hlm. 18. 190 Ibid., hlm. 19.
agung, tsiqah, dan murid guru kami, Abu Abdillah al-Mufid yang tersohor.” Allamah Sayid Bahrul ‘Ulum, salah seorang tokoh Mazhab Ja‘fariyah dan seorang ulama yang paling bertakwa di dunia Islam berkata, “ath-Thusi adalah tokoh Mazhab Imamiyah yang tersohor, pemegang bendera syariat Islam, dan Imam Mazhab Syi‘ah setelah periode para Imam ma‘shum. Berkenaan dengan segala pengetahuan yang berhubungan dengan masalah agama, ia adalah orang yang dapat dipercaya. Ia adalah ahli yang ulung dalam bidang Ushuluddin dan Furu‘uddin dan peneliti yang handal dalam bidang ilmu rasional dan tekstual. Lebih dari itu, ia adalah Syaikhut Tha’ifah kita dan pemimpin Mazhab Syi‘ah secara mutlak.”191 4. Kesimpulan Hadits Riwayat Ahl as-Sunnah Melihat bagan sanad Hadits riwayat Ahl as-Sunnah di atas, menginformasikan bahwa Hadits tersebut diriwayatkan dari Imam ma’sum oleh dua orang, yakni Abu Bashir dan Abu Maryam. Maka, dalam teori Ilmu Hadits Syi’ah golongan ushuli, Hadits tersebut masuk dalam klasifikasi Hadits ahad. Adapun istilah penyebutannya adalah Hadits maqthu’, karena penyandarannya kepada generasi tabi’in (Ja’far ashShadiq), bukan kepada Rasulullah saw atau kepada generasi sahabat. Meskipun menurut Ahl as-Sunnah Hadits maqthu’ merupakan Hadits mauquf yang paling lemah, namun dalan pandangan Syi’ah, Hadits maqthu’ mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Hadits marfu’. Mengingat dalam keyakinan Syi’ah, segala sesuatu yang datang dari
191
http://www.al-shia.org/html/id/shia/bozorgan/21.htm:Syaikh Abu Pendiri Hauzah Najaf (385 – 460 H.), akses hari Jum’at, 29 januari 2010.
Ja‘far
ath-Thusi,
seorang Imam ma’sum, adalah sama kedudukanya dengan yang datang dari Rasulullah saw. Sementara menurut teori Ilmu Hadits Syi’ah golongan akhbari, Hadits di atas berpredikat Hadits shahih. Karena golongan ini meyakini bahwa semua kitab Hadits mereka (kutubu al-arba’ah) semuanya shahih. Hadits riwayat Syi’ah di atas, terdiri dari empat jalur isnad. Apabila masing-masing jalur isnad tersebut diurai secara sendiri-sendiri, maka hasilnya sebagai berikut: a. Abu Ja’far Al-Kulaini, ‘Iddatu min ashabina (Muhammad Ibn Hasan dan Muhammad Ibn Aqil), Sahl Ibn Ziyad dan Ali Ibn Ibrahim, Abihi Jami’an, Ibn Abi Najran, ’Ashim Ibn Humaid, Abu Bashir. b. Abu Ja’far al-Qummi, al-Hasan Ibn Mahbub, Abaana, Abu Maryam. c. Abu Ja’far ath-Thusi, Muhammad Ibn Ya’qub (al-Kulaini), Iddatu min ashabina (Muhammad Ibn Hasan dan Muhammad Ibn Aqil), Sahl Ibn Ziyad dan Ali Ibn Ibrahim, Abihi Jami’an, Ibn Abi Najran, ’Ashim Ibn Humaid, Abu Bashir. d. Abu Ja’far ath-Thusi mengeluarkan Hadits ini dalam dua kitab haditsnya (Kitab Tahzhibu al-Ahkam dan Kitab Ibtishar), yang rangkaian sanadnya sama dengan poin c di atas. Dari keempat jalur isnad di atas, peneliti belum bisa menilai derajat keshahihan masing-masing Hadits, mengingat: a. Para perawi Hadits Syi’ah tidak tercantum dalam kitab rijalul-hadits Ahl as-Sunnah, misalnya: Tahzibu at-Tahzib dan Tahzibu al-Kamal. b. Memang ditemukan beberapa perawi Syi’ah yang tercantum dalam kitab rijauull-hadits Ahl as-Sunnah, yakni Lisanul-Mizan, namun
karena minimnya informasi nama guru perawi, nama murid, komentar para ulama dan tahun lahir, menyebabkan pelacakan sulit dilakukan. c.
Peneliti belum menemukan kitab rijalul-hadits Syi’ah yang dimaksud, mengingat kitab tersebut belum familiar di kalangan Muslim Ahl asSunnah dan kalangan Syi’ah Indonesia. Ditambah lagi ada semacam keyakinan, bahwa yang mempunyai kewenangan untuk melakukan takhrij-hadits adalah otoritas marja’.
d. Ada semacam tarik-ulur antara kebolehan ber-ijtihad dengan kewajiban ber-taklid. Hal ini bisa dipahami, mengingat adanya pokok keyakinan mereka yang menyatakan bahwa kalau ada orang yang mengaku dirinya Syi’ah, namun menentang hukum furu’uddin Syi’ah dengan mengetahui sungguh-sungguh adanya hukum itu dalam Mazhab Syi’ah, maka ia telah keluar dari Syi’ah. e. Imbasnya mereka sangat hati-hati dalam menetapkan derajat suatu Hadits, karena dalil ini merupakan landasan pokok mereka dalam menetapkan hukum fiqih dalam Mazhab Syi’ah. Dengan asumsi inilah, maka Hadits kebolehan nikah mut’ah yang memuat ayat al-Qur’an sebagai dasar legitimasinya, yang dinukil dari kitab Hadits Syi’ah bernilai: a. Shahih, apabila menggunakan teori Ilmu Hadits Syi’ah akhbari b. Ahad, apabila menggunakan teori Ilmu Hadits Syi’ah ushuli. c. Adapun dari segi kualitasnya, belum bisa dinilai karena peneliti belum menemukan kitab rijalul-hadits Syi’ah.
BAB IV ANALISA MATAN HADITS
A. Analisa Matan Hadits Kebolehan Nikah Mut’ah 1. Analisa Matan Hadits Riwayat Ahl As-Sunnah Imam Muslim, Ahmad bin Hanbal dan Abu Syaibah telah mengeluarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Qays dari Abdullah bin Mas’ud, yang berkata: “Kami bersama Rasulullah saw dalam suatu peperangan, sedangkan kami tidak membawa isteri-isteri kami. Kemudian kami bertanya kepada Rasulullah saw: “Bolehkah kami ikhtisa (mengebiri) diri kami?” Beliau melarang kami berbuat demikian, lalu memberi izin kami untuk menikahi wanita dengan mahar sehelai baju pada waktu tertentu. Kemudian Ibn Mas’ud membacakan surat al-Maa’idah ayat 87:
Adapun Imam Bukhari, - dalam Bab III (hlm. 100)- meriwayatkan Hadits dengan matan berbeda, yakni tanpa dibubuhi kata (” )إﻟﻰ أﺟﻞilaa ajalin”/ pada waktu tertentu setelah kata (” )ﺑﺎﻟﺜﻮبbits-tsaubi”/ dengan mahar sehelai baju. Meskipun Hadits di atas adalah gharib pada sanad dan gharib pada matan, namun matan Hadits tetap perlu diungkap.
Hadits diatas menjelaskan, bahwa dibolehkannya melakukan nikah mut’ah berdasarkan pada surat al-Maa’idah ayat 87. Menarik untuk
disimak, adanya korelasi antara ayat tersebut dengan nikah mut’ah. Berikut akan diapaparkan tafsir ayat tersebut berikut asbabun-nuzul-nya. M. Quraish Shihab menuturkan, surat al-Maa’idah ayat 87 turun berkenaan dengan pelarangan Nabi Muhammad saw kepada sejumlah sahabatnya yang ingin melakukan amal kebaikan secara berlebihan, yakni sebagian ingin melakukan shalat semalam suntuk, sebagian lagi berjanji tidak akan menggauli wanita, dan lainnya akan berpuasa terus menerus.192 Dalam tafsir mufradat disebutkan, kata (“ )ﻻﺗﻌﺘﺪواlaa ta’tadu”/ jangan melampaui batas dengan bentuk kata yang menggunakan huruf ta, bermakna keterpaksaan, yaitu di luar batas yang lumrah. Larangan melampaui batas ini, dapat juga berarti mengharamkan yang halal atau sebaliknya yang merupakan pelampauan batas kewenangan, karena hanya Allah swt yang berwenang untuk menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Juga disebutkan, bahwa pada masa jahiliyah kaum musyrik dengan mengatas-namakan Allah swt, sering mengharamkan sekian banyak hal yang halal.193
Pada hakekatnya, ketika Allah swt melarang ataupun membolehkan sesuatu, pastilah memupunyai maksud tujuan didalamnya. Secara umum, ditetapkannya syari’at Islam adalah dalam rangka mencapai kemaslahatan dan menolak kemudharatan bagi kelangsungan hidup manusia. Untuk dari itulah, Allah swt memerintahkan kepada orang-orang beriman supaya
192
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, cet. ke-1, (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2001), III: 173. 193 Ibid.
jangan terlalu mudah menghukumi suatu hal menurut nafsunya, tanpa merujuk kepada nash-nash yang hakiki. Kaitannya dengan nikah mut’ah, pesan yang ingin disampaikan dalam Hadits riwayat Ibnu Mas’ud diatas, secara implisit berisi peringatan bagi orang-orang yang beriman, supaya jangan terlalu mudah melakukan pelarangan terhadap praktik nikah mut’ah yang dibolehkan oleh Allah swt, tanpa adanya alasan yang bersifat syar’i. Hal ini terjadi karena belum adanya kejelasan tentang dasar hukum nikah mut’ah, baik itu yang bersifat melarang ataupun sebaliknya. Hal ini akan berbeda ketika Allah swt mengharamkan babi,194 berzina,195 atau mencuri,196 itu langsung dari Allah swt dan qoth’i dalalah atas hukumnya. Hadits diatas bila berdiri sendiri, akan muncul penafsiran bahwa dibolehkannya nikah mut‘ah waktu itu hanyalah bersifat rukhsakh, dengan tujuan menjaga kemungkinan terjadinya perbuatan kurang baik yang mungkin dilakukan para tentara Islam. Dalam pada itu, terdapat juga Hadits yang isinya membolehkan nikah mut’ah pada masa aman atau dalam keadaan normal, misalnya: “… dari Jabir bin Abdullah dan Salamah bin Akwa, keduanya berkata: “Kami kedatangan seorang juru bicara Rasulullah saw yang mengatakan: ‘Sesungguhnya Rasulullah saw telah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah.” 197
194
Q.S. al-Maa’idah [5]: 3. Q.S. al-Israa’ [17]: 32 & an-Nuur [24]: 2. 196 Q.S. al-Maa’idah [5]: 38. 197 Al-Imam Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiyyah, 1992), II: 1022. dalam ”Kitab an-Nikah,” hadits no. 14. 195
“… diriwayatkan dari Atha’, ia berkata: “Setelah Jabir bin Abdullah selesai melakukan umrah, kami berkunjung kerumahnya, kemudian ada sekelompok orang bertanya kepadanya tentang sesuatu lalu mereka menyebut mut’ah, maka Jabir berkata: ‘Kami melakukan mut’ah pada masa Rasulullah saw, masa Abu Bakar, hingga akhir masa kekhalifahan Umar bin Khattab.”198 Riwayat Muslim menyebutkan, …“Sehingga Umar bin Khattab melarangnya karena kasus Amru Ibn Harits.” 199 Ketiga Hadits diatas jelas-jelas menjelaskan bahwa dibolehkannya nikah mut’ah bukan hanya pada situasi darurat saja, akan tetapi juga berlaku dalam keadaan normal. Adapun ketiga periwayatan tadi bersumber dari kitab Hadits yang terkenal keshahihannya dikalangan Mazhab Ahl asSunnah, yakni Shahih Muslim dan Musnad Ahmad bin Hanbal. 2. Hadits Riwayat Syi’ah Abu Ja’far al-Kulaini, Abu Ja’far ash-Shaduq al-Qummi dan Abu Ja’far ath-Thusi, dalam masing-masing kitab Haditsnya, telah menukil Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bashir dan Abu Maryam. Keduanya berkata: “Aku bertanya kepada Abu Ja’far ash-Shadiq tentang mut’ah,” maka Abu Ja’far ash-Shadiq menjawab: “Mut’ah itu diturunkan melalui alQur’an surat An-Nisaa’ ayat 24.”
198
Imam Ahmabd bin Hanbal, Musnad al-Ahmad bin Hanbal, cet. ke-1, (Beirut: AlMaktabu al-Islami, 1978), III: 80. 199 Imam Muslim, Shahih Muslim, II:.1023. “Kitab an-Nikah,” hadits no. 16.
… Menurut Allamah Thabathaba’i, dhamir kata ”bihi” ( )ﺑﮫpada kata
ﻓﻤﺎ اﺳﺘﻤﺘﻌﺘﻢ ﺑﮫ ﻣﻨﮭﻦ ﻓﺎﺗﮭﻦseolah-olah kembali kepada apa yang ditunjukkan oleh firman Allah swt: ” واﺣﻞ ﻟﻜﻢ ﻣﺎ وراء ذﻟﻜﻢDan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian”, yakni melakukan maksudnya. Maka ”ma” ()ﻣﺎ menunjukkan lit-tauqid (menentukan waktu); “minhunna” ( )ﻣﻨﮭﻦadalah muta’alliq pada kata “istamta’tum” ()اﺳﺘﻤﺘﻌﺘﻢ. Sehingga maknanya: Apabila kamu telah mendapatkan wanita untuk kamu mut’ahi, maka berikanlah kepadanya maharnya sebagai suatu kewajiban.200 Bisa juga ”ma” ( )ﻣﺎdi sini adalah ma-maushul, dan kata “istamta’tum” ( )اﺳﺘﻤﺘﻌﺘﻢmenjadi shilah-nya; dhamir ”bihi” ( )ﺑﮫkembali kepada maushul; kata “minhunna” ( )ﻣﻨﮭﻦsebagai penjelas maushul. Sehingga maknanya: Salah seorang yang kamu memut’ahi di antara wanita, maka berikanlah kepadanya maharnya sebagai suatu kewajiban.201 Singkatnya, firman Allah swt:
… ... Merupakan tafri’ (pencabangan) dari firman yang mendahului –karena posisi fa- sebagai tafri’ juz’i atas kulli (sebagian atas keseluruhan), tanpa perlu diragukan. Demikian itu karena firman yang mendahului, yakni:
200
Al-Allamah Thabathaba’i, Al-Mizan fi Tafsiril Qur’an, (Beirut: Muasasah al-A’lama lil Mathbu’at, 2120 H), IV: 278. 201 Ibid.
… ... ”Mencari wanita dengan hartamu untuk memelihara kesucian bukan untukl berzina”, sebagaimana telah dijelaskan, meliputi pernikahan dan pemilikan budak wanita. Dengan demikian, maka firman Allah swt:
… ... adalah tafri’ kulli atas yang kulli atau tafri’ juz’i dari bagian-bagian yang juz’i atas kulli yang terbagi.202 Kalangan Mufasssirin Ahl as-Sunnah juga mengakui bahwa surat an-Nisaa’ ayat 24 turun berkenaan tentang nikah mut’ah, antara lain a) Penafsiran al-Baghowi Al-Baghowi menulis, kata “famastamta’tum” mengandung ikhtilaf antara nikah da’im dan nikah mut’ah. Beliau mengakui, bahwa inti pokok dari ayat 24 surat an-Nisaa’ ini adalah nikah mut’ah, untuk kemudian dilarang oleh Rasulullah saw melalui riwayat Saburoh dan Ma’bad al-Juhani.203 b) Penafsiran Ibn Katsir Ibn Katsir menuliskan, bahwa surat an-Nisaa’ ayat 24 secara umum menunjuk kepada nikah mut’ah. Nikah mut’ah ini awalnya diperbolehkan pada masa awal Islam, untuk kemudian di-nasakh.204 c) Penafsiran al-Zamakhsyari
202
Ibid. Al-Imam ‘Aladdin Ali bin Muhammad bin Ibrahim bin al-Baghowi, Tafsirul Khozin alMusaama lubattu Ta’wili fi Ma’aanittanzili, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), II: 45. 204 Al-Imam Abu al-Fida’ al-Hafidz Ibn Katsir ad-Dimsyaqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, (Beirut: Dar al-Rosyad al-Haditsah, 1992), I: 586-587. 203
Menurut al-Zamakhsyari, ayat 24 dari surat an-Nisaa’ turun dalam hubungannya dengan nikah mut’ah selama tiga hari ketika terjadi fatkhul makkah, untuk kemudian nikah mut’ah tersebut mengalami pelarangan.205 Terlepas dari itu, A. Mudjab Mahali dalam kitabnya yang berjudul Asbabun Nuzul studi pendalaman al-Qur’an Surat al-Baqarah - an-Nas, 206
menuliskan bahwa surat an-Nisaa’ ayat 24 diturunkan pada waktu
terjadinya perang Authas, ketika salah seorang kaum muslimin mendapatkan tawanan perang berupa seorang wanita yang masih bersuami. Dalam paragraf lain disebutkan, ayat ini diturunkan sehubungan dengan kemenangan kaum muslimin dalam perang Hunain. Adapun meletusnya perang Hunain atau Authas ini terjadi pada bulan Syawwal tahun 8 Hijriyyah, berarti ayat ini adalah ayat Madaniyah. B. Analisa Penghapusan Ayat Mut’ah 1. Analisa Ayat al-Qur’an yang Menghapus Ayat Mut’ah. Al-Qurthubi dalam kitab Al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an,207 menulis pendapat dari Aisyah dan Qasim bin Muhammad yang menyatakan bahwa surat an-Nisaa’ ayat 24 telah dinasakh (dihapus) oleh surat al-Mu’minun ayat 5. Selain itu dicantumkan pula riwayat Daruquthni, dimana Ali bin Abi Thalib mendengar sabda Rasulullah saw, bahwa nikah mut’ah dilarang setelah turun ayat nikah, thalak, iddah dan waris. Adapun jawaban dari permasalahan tersebut, adalah:
205
Al-Imam Abi al-Qasim Jarullah Mahmud bin Umar bin Muhammad az-Zamakhsyari, alKasyaff, (Beirut: Dar al-Kutib al-‘Ilmiyyah, 1995), I: 488. 206 A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul studi pendalaman al-Qur’an Surat al-Baqarah - anNas, Jakarta: P.T Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 219 207 Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthubi, Al-Jami’ al-Ahkam alQur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), V-VI: 75-76.
Pertama: Pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini dimansukh oleh surat al-Mu’minun ayat 5, tidaklah sesuai dengan kaidah nasikhmansukh. Karena ayat-ayat dari surat al-Mu’minun itu turun di Mekkah, sedangkan ayat nikah mut’ah turun di Madinah. Tidak mungkin ayat Makkiyah menasakh ayat Madaniyah. Kedua: Pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini dimansukh oleh ayat tentang waris (an-Nisaa’: 12), ayat talak dan ayat tentang jumlah isteri (an-Nisaa’: 3), tidak sesuai dengan kaidah, karena hubungan ayat-ayat tersebut dengan ayat mut’ah bukan hubungan nasikh-mansukh, tetapi hubungan ‘am dan khas, muthlaq dan muqayyad. Ketiga: Pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini dimansukh oleh ayat tentang iddah (al-Baqarah: 228/ ath-Thalaq: 1), ini adalah pendapat yang tidak berdasar sama sekali. Karena hukum iddah juga berlaku dalam nikah mut’ah di samping dalam nikah permanen. Jika ada perbedaan masa iddah dalam nikah permanen dan nikah mut’ah, hal ini dita’wil dengan takhsikh (pengkhususan) bukan penasikhan (penghapusan). Keempat: Pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini dimansukh oleh ayat tentang wanita-wanita yang haram dinikahi (an-Nisaa’: 23), ini pendapat yang mengherankan. Karena, pertama, seluruh pembicaraan tentang wanita-wanita yang haram dinikahi dan tentang hukum nikah adalah satu pembicaraan yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Maka, bagaimana mungkin dapat digambarkan bila mukaddimah pembicaraan tentang nikah mut’ah menasakh penutup pembicaraan tentangnya? Kedua, dari segi apapun ayat tersebut tidak menunjukkan larangan terhadap pernikahan selain nikah permanen. Ayat
tersebut hanya menjelaskan golongan wanita yang haram dinikahi, kemudian keterangan selanjutnya membolehkan menggauli wanita selain mereka melalui pernikahan atau pemilikan budak wanita, yang dalam hal ini termasuk dalam nikah mut’ah.208
2. Analisa Hadits Penghapus Ayat Mut’ah Kajian riwayat Hadits Ahl as-Sunnah menyebutkan, pelarangan nikah mut’ah terdapat dalam beberapa kali waktu dan tempat. Hal ini tercermin dari adanya Hadits pelarangan mut’ah dalam berbagai versi, antara lain: “…diriwayatkan dari Al-Hasan bin Muhammad bin Ali dan sudaranya (‘Abdullah), dari bapak-bapaknya: “Sesungguhnya Ali r.a berkata pada Ibnu Abbas: ”Sesunguhnya Rasulullah saw telah melarang nikah mut’ah dan daging keledai piaraan pada masa (perang) Khaibar.”
209
“… diriwayatkan dari Abu ‘Umais, dari Iyas bin Salamah, dari ayahnya, berkata: “Rasulullah saw memberikan rukhsah pada hari Authas untuk melakukan mut’ah selama tiga hari. Kemudian beliau melarangnya.” 210 “… Sabrah al-Juhani meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya berkata: “Rasulullah saw di hari Fatkhul Makkah mengizinkan kami melakukan nikah mut’ah ketika kami memasuki kota Makkah,
208
Al-Allamah Thabathaba’i, Al-Mizan fi Tafsiril Qur’an, hlm. 281-282. Al-Imam Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyah, 1992), V: 452. dalam “Kitab an-Nikah”, hadits no. 5115. 210 Al-Imam Muslim, Shahih Muslim, II: 1025. dalam “Kitab an-Nikah,” hadits no. 19. 209
kemudian kami tidak keluar dari Makkah, sampai beliau melarang kami melakukan nikah mut’ah.” 211 “… diriwayatkan oleh Abdul Warits, dari Isma’il bin Umayyah, dari az-Zuhri berkata: “Sesungguhnya kami bersama dengan Umar bin Abdul Azis dan beliau mengingatkan kami tentang nikah mut’ah, maka seorang laki-laki berkata tentang perkataan Rabi’ bin Saburah: “Aku bersaksi bahwa ayahku pernah ikut bersama Rasulullah dan beliau telah melarang nikah mut’ah pada peristiwa Haji Wada’.” 212 Ibnu Rusydi menulis, bahwa pelarangan nikah mut’ah juga terjadi pada waktu Umrah Qadha’,213 namun tidak dicantumkan sumber haditsnya. Dengan melihat informasi kelima Hadits diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pelarangan nikah mut’ah oleh Hadits riwayat Ahl asSunnah, terjadi dalam lima kali tempat dan waktu. Masing-masing, jika diurutkan tahunnya, adalah sebagai berikut: a. Perang Khaibar, terjadi pada bulan Muharram tahun 7 Hijriyah. b. Umrah al-Qadha’, terjadi pada bulan Dzulqa’dah tahun 7 Hijriyah. c. Fatkhul Makkah, terjadi pada bulan Ramadhan tahun 8 Hijriyah. d. Perang Authas (Hunain), terjadi pada bulan Syawwal tahun 8 Hijriyah. e. Haji Wada’, terjadi pada bulan Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah. Setelah mengkaji informasi tahun terjadinya pelarangan mut’ah riwayat Hadits Ahl as-Sunnah diatas, langkah selanjutnya yakni dengan mengkomparasikannya dengan tahun diturunkannya ayat mut’ah (Q.S. an-
211
Ibid.,hadits no. 22. Imam al-Hafizh Abu Daud Sulaiman bin Asy’ats as-Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), II: 92-93, hadits no. 2082.. 213 Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Ibn Rusydi alQurthubi, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul al-Muqtashid, (“tnp.”, “tkp.”, 1960), Juz I: 58, dalam “Kitab Nikah”. 212
Nisaa’ 24). Rupa-rupanya terdapat keanehan di sini, dimana Hadits yang selama ini digunakan sebagai penghapus ayat Mut’ah, yakni pada waktu perang Khaibar, Umrah al-Qadha’, Fatkhul Makkah dan perang Authas muncul lebih dahulu dibandingkan dengan kemunculan ayat nikah mut’ah. Dalam ilmu nasikh-mansukh, penggunaan semua Hadits tersebut tidak relevan. Seharusnya, yang menghapus turun belakangan daripada yang dihapus. Lantas, hanya tinggal satu Hadits yang mengungkap tentang pelarangan mut’ah yang munculnya setelah turunnya ayat mut’ah, yakni pelarangan nkah mut’ah pada waktu Haji Wada’. Akan tetapi, Hadits tersebut bukanlah Hadits mutawatir, sehingga periwayatannya masuk dalam kategori zhonny. Terlepas dari semua itu, kalangan Syi’ah dengan tegas menolak semua Hadits pelarangan nikah mut’ah diatas. Mereka berargumen bahwa semua riwayat pelarangan itu, hanya dinukil secara sepihak oleh kalangan Ahl as-Sunnah dan tidak terdapat dalam kitab-kitab Hadits Syi’ah. Semestinya kalangan Ahl as-Sunnah mempergunakan Hadits-hadits yang keshahihannya telah disepakati oleh kedua belah pihak, -Ahl as-Sunnah dan Syi’ah- sehingga bisa dipastikan memang berasal dari Rasulullah . Satu-satunya riwayat yang disepakati oleh kedua belah pihak –Ahl as-Sunnah dan Syi’ah- adalah riwayat pelarangan nikah mut’ah yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Berikut bunyi haditsnya: “Diriwayatkan bahwa Khalifah ‘Umar bin Khattab berkata: “Dua mut’ah yang di masa Rasulullah saw diizinkan dan sekarang aku larang keduanya,
yaitu mut’ah haji dan mut’ah wanita”, (dalam lafadz lain disebutkan: “Saya mengharamkan keduanya”).214 Al-Allamah Sayyid Muhammad Taqi al-Hakim berpendapat, bahwa yang menyebabkan Umar bin Khattab mengharamkan nikah mut’ah ialah: ”Adanya sebagian muslimin yang menyelahgunakan syari’at ini sehingga nalurinya terdorong untuk mengharamkan secara mutlak.” 215 Ibn Hazm dan Al-Baquri berpendapat: Penyebab Umar bin Khattab mengharamkan nikah mut’ah ialah karena beliau melihat adanya orang yang menyalahgunakan syari’at nikah mut’ah tersebut. Sebagian orang mengatakan, bahwa yang dilarang oleh Umar bin Khattab ialah nikah yang tidak disaksikan oleh saksi-saksi yang adil atau yang tidak sempurna syarat-syaratnya.216 Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa kebolehan nikah mut’ah berdasarkan pada penafsiran ayat al-Qur’an, yakni surat an-Nisaa’ ayat 24. Adapun Hadits yang membolehkan atau melarang nikah mut’ah tersebut, sama-sama belum termasuk Hadits mutawatir (qoth’i).
214
Allamah as-Sayyid Murtadha al-Asykari, Mu’alim Madrasatain, (Teheran: Mu’assasah al-Bi’tsah, 1405 H), hlm. 272. 215 Ja’far Murtadha al-Almili, Nikah Mut’ah dalam Islam Kajian Ilmiah dari Berbagai Mazhab, cet. ke-1, alih bahasa: Abu Muhammad Jawad, (Jakarta: Yayasan as-Sajjad, 1992), hlm. 104. 216 Ibid., hlm. 105.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengungkap nilai Hadits yang dijadikan dasar hukum kebolehan nikah mut’ah, yang memuat ayat alQur’an, bersumber dari kitab Hadits Ahl as-Sunnah dan Syi’ah. Dalam bab-bab sebelumnya, telah dipaparkan jawaban atas semua rumusan masalah penelitian, berdasarkan analisis dari bahan-bahan pustaka yang relevan. Dari seluruh pembahasan tersebut dapat disimpulkan berikut ini: 1. Ulama Ahl as-Sunnah dan Syi’ah sama-sama sepakat bahwa nikah mut’ah dibolehkan pada masa awal Islam. Hanya saja, keduanya berbeda pendapat mengenai waktu dan tempat dilakukannya larangan nikah mut’ah. ulama Ahl as-Sunnah mendakwa adanya riwayat pelarangan nikah mut’ah ketika Rasulullah saw masih hidup. Pendapat tersebut ditolak oleh ulama Syi’ah, dengan alasan tidak adanya riwayat tersebut dalam kitab Hadits mereka. 2. Menurut Ahl as-Sunnah, sandaran Hadits hanya ditujukan kepada Rasulullah saw, lain halnya dengan Mazhab Syi’ah, dimana sebuah Hadits bukan hanya disandarkan kepada Nabi saw, akan tetapi juga tertuju kepada Imam mereka. Karena dalam pandangan Syi’ah, selain Rasulullah saw, para Imam mereka juga memiliki sifat ma’sum. 3. Dalam mengklasifikasikan kuantitas Hadits, kalangan Ahl as-Sunnah dan Syi’ah bersepakat dengan membaginya menjadi dua bagian, yakni Hadits mutawatir dan ahad. Akan tetapi, keduanya berbeda pendapat ketika mengklasifikasikan Hadits menurut kualitas perawinya. Dimana Ahl as-
Sunnah membagi Hadits menjadi tiga kelompok, yakni: shahih, hasan dan dha’if. Sementara kalangan Syi’ah membaginya menjadi empat kelompok, yakni: shahih, muwattsaq, hasan dan dha’if. 4. Kitab Hadits Ahl as-Sunnah, selain memuat Hadits yang bermatan kebolehan nikah mut’ah juga memuat Hadits yang bermatan larangan nikah mut’ah. Adapun larangan tersebut terjadi dalam beberapa kali peristiwa dan masa yang berbeda, yakni pada waktu Perang Khaibar, Fatkhul-Makkah, Haji Wada’, Umrah al-Qadha’ dan Perang Authas. 5. Sementara dalam kitab Hadits Syi’ah, hanya Hadits yang bermatan kebolehan nikah mut’ah. Meskipun terdapat
Hadits yang bermatan
larangan nikah mut’ah pada masa perang Khaibar, namun Hadits tersebut tertolak dengan sikap taqiyah Imam Ali, karena kebolehan nikah mut’ah dalam Mahzab Syi’ah adalah mutlak berdasarkan ajaran para Imam. 6. Ulama Ahl as-Sunnah dan Ulama Syi’ah memiliki kesamaan istilah dalam mendefinisikan nikah mut’ah, yakni pernikahan sementara waktu dan adanya kesepakatan bersama tentang besarnya mahar. Namun, keduanya berbeda dalam menetapkan hukumnya. Dimana kalangan Syi’ah menyatakan
kebolehannya,
sementara
Ahl
as-Sunnah
meyakini
keharamannya. Sehingga, dalam tradisi fiqih Ahl as-Sunnah tidak dikenal adanya rukun dan aturan nikah mut’ah. 7. Juris Syi’ah menetapkan empat rukun nikah mut’ah, antara lain: ijabqabul, pasangan calon suami-istri, periode waktu dan mahar. Untuk aturan dan ketentuannya, yang berupa wali nikah, perpisahan, masa iddah, anak hasil perkawinan mut’ah, waris dan besarnya nafkah, ditentukan dalam bahasan tersendiri, yang berbeda dengan nikah da’im.
8. Setelah dilakukan proses telaah sanad, diperoleh informasi bahwa Hadits tentang kebolehan nikah mut’ah riwayat Ahl as-Sunnah, yang memuat ayat al-Qur’an sebagai dasar legitimasinya, bernilai Hadits ahad-gharibmuthlak-fard, dengan spesifikasi gharib pada sanad dan gharib pada matan. Adapun gharib pada sanad dikarenakan terdapat tiga orang yang menyendiri –terhitung dari generasi sahabat sampai generasi tabi’ittabi’in- dalam meriwayatkan Hadits. Sedangkan gharib pada matan dikarenakan Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tanpa dibubuhi kata (” )إﻟﻰ أﺟﻞilaa ajalin” setelah kata (” )ﺑﺎﻟﺜﻮبbits-tsaubi”. 9. Adapun Hadits kebolehan nikah mut’ah, dengan jalur Syi’ah berpredikat shahih, apabila menggunakan teori Ilmu Hadits Syi’ah akhbari. Sebaliknya, Hadits tersebut masuk dalam kategori Hadits ahad, apabila menggunakan teori Ilmu Hadits Syi’ah ushuli. Adapun dari segi kualitasnya, belum bisa dinilai karena peneliti belum menemukan kitab rijalul-hadits Syi’ah, disebabkan oleh beberapa hal. 10. Analisa matan Hadits menginformasikan bahwa Hadits kebolehan nikah mut’ah didasarkan pada penafsiran oleh Al-Allamah Thabathaba’i terhadap surat an-Nisaa’ ayat 24. 11. Adanya ayat al-Qur’an yang menghapus ayat mut’ah tidaklah relevan. Begitu juga, adanya Hadits menghapus ayat nikah mut’ah tidaklah sesuai dengan kaidah nasikh-mansukh. B. Rekomendasi Dalam kajian takhrij hadits ini, penulis sama sekali tidak bermaksud menetapkan kepastian hukum nikah mut’ah, dalam arti masih dibukanya pintu bagi peneliti lain untuk mengkaji secara kritis studi takhrij hadits tentang
nikah mut’ah dari sisi yang berbeda.. Untuk itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak, sangat penulsi nantikan, demi sempurnanya tujuan penetapan syari’at, utamanya dalam kajian hukum nikah mut’ah. Selanjutnya, bagi pihak-pihak yang mempunyai wewenang dalam masalah ini, diharap agar membuat hukum secara jelas tentang nikah mut’ah. Bila hal ini terwujud, maka jumlah pihak yang suka memperturutkan hawa nafsunya dapat ditekan. Penulis melihat, Undang-undang perkawinan yang berlaku saat ini, belum memuat aturan yang dinyatakan dengan jelas tentang status hukum nikah mut’ah. Karena, dengan adanya kejelasan sebuah aturan, diharapkan ketentraman dan keamanan sosial di hati rakyat dapat terwujud. Sebagai khatimah, hanya kepada Allah swt jualah penulis memohon petunjuk dan bimbingan dalam mempelajari ayat-ayat-Nya, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Qul indzolaltu fainnama adzillu ‘alla nafsi, wa inihtadaitu fabimaa yukhi ilayya robbi….
DAFTAR PUSTAKA
A. Kelompok Al-Qur’an dan Tafsir. Al-Baghowi, Al-Imam ‘Aladdin Ali bin Muhammad bin Ibrahim. 1995. Tafsirul Khozin al-Musaama Lubattu Ta’wili fi Ma’aanittanzili. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Qurthubi, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshori. 1993. Al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an. Beirut: Dal al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Az-Zamakhsyari, Al-Imam Abi al-Qasim Jarullah Mahmud bin Umar bin Muhammad. 1995. al-Kasyaff. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah.
Departeman Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Penerbit Diponegoro.
Mahali, A. Mudjab. 2002. Asbabun Nuzul studi pendalaman al-Qur’an Surat alBaqarah - an-Nas. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada.
Ibn Katsir, Al-Imam Abi al-Fida’ al-Hafidz. 1992. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim. Beirut: Dar al-Rosyad al-Haditsah.
Shihab, M. Quraish. 2001. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an. Ciputat: Penerbit Lentera Hati.
Thabathaba’i, Al-Allamah. 2120. Al-Mizan fi Tafsiril Qur’an. Beirut: Mu’assasah al-A’lama lil Mathbu’at.
B. Kelompok Hadits dan Rijal Hadits. Abu Syaibah, Abu Bakr Abdullah bin Muhammad. 1995. Al-Kitabu al-Mushonaf fi al-Hadits wa al-Atsar. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Asykari, Allamah as-Sayyid Murtadha. 1405 H. Ma’alim Madrasatain. Teheran: Mu’assasah al-Bi’tsah.
Al-Asqolani, Syihabuddin Ahmad bin ‘Ali bin Hajar. 1984. Kitab Tahzibu atTahzib. Beirut: Dar al-Fikr.
. 1993. Taqribu Tahzib. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah.
Al-Bukhari, Al-Imam Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il. 1992. Shahih alBukhari. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah.
Al-Kulaini, Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub, Abu Ja’far ash-Shaduq Muhammad bin Babawaih al-Qummi, Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan ath-Thusi. 2003. Al-Kutubu al-Arba’ah: al-Kafi, Man laa Yakhdhuruhu alFaqih, Tahdhibu al-Ahkam, al-Ibtishar . Qum: Mu'assasah Anshoriyana.
An-Naisaburi, Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy. 1992. Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah.
As-Sijistani, Imam al-Hafizh Abu Daud Sulaiman bin Asy’ats. 1996. Sunan Abi Dawud. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah.
Hanbal, Imam Ahmad. 1978. Musnad al-Ahmad bin Hanbal. Beirut: Al-Maktabu al-Islami.
C. Kelompok Ilmu Hadits dan Ushul Fiqih. Abdurrachman, Asymuni. 1985. Ushul Fiqh Syi’ah Imamiyah. Yogyakarta: Bina Usaha.
Abdurrahman, Hafidz. 2003. Ushul Fiqih Membangun Paradigma Berfikir Tasyri’. Bogor: Al-Ahzar Press.
Ahmad, Hady Mufa’at. 1994. Dirasah Islamiyah tentang Dasar-Dasar Ilmu Hadits dan Musthalahnya, Semarang: C.V. Sarana Aspirasi. Al-Kulaini. 1388 H. Muqaddimah Ushul al-Kafi al-Kulaini, ditahqiq oleh Ali Akbar al-Gifari. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah.
Al-Maliki, M. Alawi. 2006. Ilmu Ushul Hadits. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Muzhaffar, Muhammad Ridha. 1967. Ushul Fiqih. Nejef: Dar al-Nu’man.
As-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Alih bahasa Tim Pustaka Firdaus. 2002. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ash-Shiddieqy. T.M Hasbi. 1988. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.
. 1995. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.
Ismail, M.Syuhudi. 1995a. Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press.
. 1995b. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang.
Rahman, Fatchur. 1981. Ikhtishar Musthalahu’l Hadits. Bandung: PT al-Ma’arif.
Suparta, Munzier. 2002, Ilmu Hadis. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suryadilaga, M. Alfatih, 2003 Studi Kitab Hadis. Yogyakarta: Teras.
Thahan, Mahmud. 2005. Ilmu Hadits Praktis. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Zuhri, Muh. 2003. Telaah Matan Hadis Sebuah Tawaran Metodologis. Yogyakarta: LESFI. . 1997. Hadis Nabi Sejarah dan Metodologinya. Yogyakarta: Tiara Wacana. D. Kelompok Fiqih. Abu Zahra’, Muhammad. “t.th”. Al-Imam al-Sadiq Hayatuhu wa ‘Asruhu wa Fiqhuhu. Beirut: Dar al-Fikr.
Aceh, Abubakar. 1980. Perbandingan Mahzab Syi’ah Rasionalisme dalam Islam. Semarang: CV. Ramadhani
Al-Almili, Ja’far Murtadha. Nikah Mut’ah dalam Islam Kajian Ilmiah dari Berbagai Mazhab. Alih bahasa: Abu Muhammad Jawad. 1992. Jakarta: Yayasan as-Sajjad.
Al-Musawi, A. Syarafuddin. Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syi’ah. Alih bahasa Mukhlis B.A. 1989. Bandung: Penerbit Mizan.
Al-Quzwayni, Amir Muhammad. Nikah Mut’ah antara Halal dan Haram. Alih bahasa: M. Djamaluddin Miri. 1995. Jakarta: Yayasan as-Sajjad.
Badwan. 2004. Kawin Kontrak dalam Perspektif Sosio Filosofis. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Departemen Agama. 2003. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: Departemen Agama RI.
Fadhlullah, Sayid Muhammad Husain. Dunia Wanita dalam Islam. Alih bahasa: Muhammad Abdul Qadir Al-Kaff. 2000. Jakarta: Penerbit Lentera.
Ibn Rusydi, Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad. 1960. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul al-Muqtashid. “tnp.”, “tkp.”
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mahzab. Alih bahasa: Afif Muhammad. 1994. Jakarta: Basrie Press.
Murata, Sachiko. Lebih Jelas tentang Mut’ah Perdebatan Sunni & Syi’ah. Alih bahasa: Tri Wibowo Budi Santoso. 2001. Jakarta: Sri Gunting. Mustafa Ibnu (Ed). 2003. Perkawinan Mut’ah dalam Perspektif Hadis dan Tinjauan Masa Kini. Jakarta: Penerbit Lentera.
Sabiq, Syaikh Sayid. 1992. Fiqush Sunnah. Beirut: Dar al Fikr.
Soemiyati. 2004. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No.1 Tahun 1974, tentang Perkawinan). Yogyakarta: Liberti.
Subhani, Ja’far. yang Hangat & Kontroversial dalam Fiqih. Alih bahasa: Iwan Kurniawan. 1994 . Jakarta: Penerbit Lentera.
Qardhawi, Yusuf. Halal Haram dalam Islam. Alih bahasa: Wahid Ahmadi, Jasiman, Khozin Abu Faqih, Kamal Fauzi. 2003. Solo: Era Inter Media.
E. Kelompok Lain. Abdurrahman, Hafidz. 2007. Diskursus Islam Politik Spiritual. Bogor: Al-Ahzar Press.
Al-Githa, Muhammad Husain al-Kasyif. 1993. Ashlu al-Syi’ah wa Ushuluha. Beirut: Muassasah al-A’lami lil Mathbu’at.
Al-Mudzaffar, Muhammad. 1992. Aqaid al-Imamiyah. Beirut: Dar al-Shafwah.
Al-Qothan, Manna Khalil. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Alih bahasa: Mudzakir AS. 2006. Jakarta: Litera Antar Nusa.
Badawi, Abdurrahman, dkk. 2003. Ensiklopedi Tokoh Orientalis. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara.
Bahry, Zainul. 1996. Kamus Umum Khususnya Bidang Hukum & Politik. Bandung: Angkasa.
Hasan, Masudul. 1995. History of Islam. Delhi: Adam Publishers & Distributers Lari, Sayid Mujtaba Musawi. Imam Penerus Nabi Muhammad Saw Tinjauan Historis, Teologis dan Filosofis. Alih bahasa: Ilham Mashuri. 2004. Jakarta: Lentera.
Hasyim, Muhammad Nikah Mut’ah Perspektif Keadilan Gender. Skripsi tidak diperbitkan. Salatiga: Jurusan Syari’ah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
Jaiz, Hartono Ahmad. 2002. Aliran dan Paham Sesat di Indonesia. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Masykur. 2004. Nikah Mut’ah dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Nikah Mut’ah Menurut Syi’ah). Skripsi tidak diperbitkan. Salatiga: Jurusan Syari’ah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
Mughniyah, Muhammad Jawad. 1989. Al-Syi’ah fi al-Mizan. Beirut: Dar alJawwad.
Mutolingah, Telaah Terhadap Hadis-Hadis tentang Kesaksian Wanita (Takhrij Terhadap Hadis-Hadis tentang Kesaksian Wanita). Skripsi tidak diperbitkan. Salatiga: Jurusan Syari’ah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
Shihab, M. Quraish. 1999. Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Perbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan. Jauziy, Ibnu. 1349 H. Manaqib al-Imam Ahmad bin Hanbal. Mesir: Maktabah alTijariyyah al-Islamiyyah.
.1994. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. .Undang- Undang perkawinan di Indonesia, Surabaya: Arkola.
F. Kelompok Artikel Jurnal dan Majalah. Al-Hasani, Hasan Ma’ruf . 1992. “Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi”. Jurnal al-Hikmah, Juli-Oktober (VI): 39-41.
Hashem, O. 2000. “Problematika Seputar Otentitas Hadis di Kalangan Sunnah Syi’ah”. Jurnal al-Huda, I (II): 50.
Majalah Darul Islam. 22 Oktober-7 November 2001.“Ramai-Ramai Kawin Kontrak”. II (IV): 83.
Millah, Musidul. 2009. “Mengenal Kitab al-Ibtisar Karya al-Tusi”. Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis. X (II): 283, 296.
Najmiyah. 2009. “Miftah Kunuz al-Sunnah karya A.J. Wensinck”. Jurnal alStudi Ilmu-Ilmu Qur’an dan Hadis. X (II): 302.
Tabloid Detik Pos. 1-10 Maret 2006. Edisi 300/ Th. IV: 22
Tabloid Media Umat. Edisi 31. 5-18 Maret 2010. ”Halal kok Dipenjara”. (XXXI): 18
Rif’ah Miftachur, “Perhatian Islam Terhadap Kesetaraan Hubungan Suami Istri”. Jurnal Ijtihad, I (VI): 177.
Rouf, Abdul. 2007. “Melacak Akar Pemikiran Fikih Ja’fari”. Jurnal al-Huda. V(XIII): 21.
Howard, I.K.A. 2001. “Al-Kutub al-Arba’ah: Empat Kitab Hadits Utama Mazhab Ahlulbait”. Jurnal al-Huda. II (IV): 12-14.
G. Kelompok Situs Internet. Syaikh Muhibbuddin al-Khatib, Mungkinkah Sunnah & Syi’ah Bersatu, (website: www.muslim.or.id,/ Email:
[email protected]), tulisan diterbitkan oleh: Pustaka Muslim, hlm. 20.
http://www.al-shia.org/html/id/shia/bozorgan/08.htm: Syaikhul Masyayikh, Muhammad Al-Kulaini (259 – 329 H.), akses hari Jum’at, 29 januari 2010. http://www.al-shia.org/html/id/shia/bozorgan/14.htm: Ra`îsul Muhadditsin, Syeikh Shaduq, akses hari Jum’at, 29 januari 2010.
http://www.al-shia.org/html/id/shia/bozorgan/21.htm: Syaikh Abu Ja‘far AthThusi, Pendiri Hauzah Najaf (385 – 460 H.), akses hari Jum’at, 29 januari 2010
Lampiran I A. Footnote Ayat Al-Qur’an BAB I No.
Hlm
Footnote
Terjemahan
1.
1
1
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.”
2.
1
2
“Kemudian kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul kami dan kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan kami berikan kepadanya Injil dan kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orangorang fasik.”
Hlm
Footnote
Terjemahan
23
1
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
BAB II No. 1.
“Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” “Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
2.
23
2
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” 3.
23
3
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran)
menurut kemauan hawa nafsunya.” “Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” “Barangsiapa
mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” 4.
23
4
“Katakanlah: "Hai manusia Sesungguhnya Aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimatkalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk".
“Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
BAB IV No.
Hlm
Footnote
Terjemahan
1.
119
3
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas,
kecuali yang sempat kamu menyembelihnya….” 2.
119
4
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”
3.
119
5
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Lampiran II B. Bagan Hadits 1. Pembagian Hadits Menurut Ahl As-Sunnah a. Menurut Segi Jumlah Periwayatan (Kuantitas) Hadits
HADITS
Mutawatir
Lafzhi
Ahad
Ma’nawi
Masyhur
‘Azis
Gharib
b. Menurut Segi Penerimaan dan Penolakan (Kualitas) Hadits HADITS
Shahih
Hasan
li Dzatih
Dhaif
Sangat dha’if
2. Pembagian Hadits Menurut Syi’ah
Dha’if
li Ghairih
Wahi
Munkar
Maudhu’
HADITS
Maqthu’
Mutawatir
Ghoiru Maqthu’ al-Shodru
Al Muqtaron bimaa Yafid al-Qath’i
Musnad
Mu’tabar
Shahih
Mursal
Ghoiru al-Mu’tabar
Muwattsaq
Tsiqoh
Hasan
Ghoiru al-Tsiqoh
Dhoi’if al-munajizu bi ‘amali al-fuqoha
DAFTAR NILAI SKK
Nama: Muhammad Ari Slamet. R
Jurusan: Syrai’ah
Nim : 211 05 008
Progdi: Ahwalu Al-Syakhsiyyah
No.
Jenis Kegiatan
1.
Orientasi Program Studi dan Pengenalan Kampus OSPEK, (BEM STAIN Salatiga) Dauroh Marhalah I Angkatan X, (KAMMI daerah Semarang) Seminar Nasional dan Silaturahim Antar Agama, (BEM STAIN Salatiga) Milad tahun 2006, (LDK Darul Amal STAIN Salatiga) Seminar I, (HMJ Tarbiyah STAIN Salatiga) Pendidikan Pers Tingkat Dasar LPM Dinamika STAIN Salatiga) Konsolidasi Alumni, Kader & Tabligh Kerakyatan, (PMII Kota Salatiga) Seminar Nasional, (HMJ Syari’ah STAIN Salatiga)
2. 3.
4. 5. 6.
7.
9. 10.
11.
12. 13.
14. 15.
16. 17.
Pelaksanaan 24-27 Agustus 2005 2005 17 Desember 2005 12 Maret 2006 15 Mei 2006 16-19 Desember 2006 6 November 2007 28 Februari 2008
Bedah Buku “Buktikan Cintamu”, (LDK Darul Amal 22 Maret 2008 STAIN Salatiga) Pelatihan Advokasi, (BEM & HMJ Syari’ah STAIN 8 April 2008 Salatiga) Saresehan Milad VI (LDK 6 Mei 2008 Darul Amal STAIN Saltiga) Diskusi Publik Kebangkitan Indonesia, (DPD II Hizbut20 Mei 2008 tahrir Kota Semarang) Seminar Jurnalis & Fotografi, 30 Agustus (FKWM Jawa Tengah) 2008 Workshop Leadership bagi Mahasiswa, (SEMA, DEMA, 10-12 HMJ SYARI’AH STAIN November 2008 Salatiga) Masa Ta’aruf Mahasiswa, 11 September (IMM Kota Salatiga) 2008 Halqah Islam & Peradaban, 30 November (DPD I Hizbut-tahrir Jawa 2008
Keterangan Nilai Peserta
Peserta Peserta
Peserta Peserta Peserta
Peserta
Peserta Peserta
Peserta
Peserta Peserta
peserta Panitia
Peserta Peserta
18.
19. 20.
Tengah) Seminar dan Silaturrohmi Nasional, (Forum Mahasiswa Syari’ah se-Indonesia) Musyawarah Besar, (HMJ Syari’ah STAIN Salatiga) Konggres Mahasiswa Islam Indonesia , (BKLDK Nasional)
16 Desember 2008 20 Desember 2008 18 Oktober 2009
Panitia
Panitia Peserta
Salatiga, Maret 2010 Mengetahui, Pembantu Ketua Bidang Akademik
Drs. Miftahuddin, M.Ag NIP: 150 268 215
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Muhammad Arif Slamet Raharjo
Tempat / Tanggal Lahir
: Magelang, 2 April 1982
Warga Negara
: Indonesia
Riwayat Pendidikan
:
-
SD Negeri I Gondowangi, Sawangan, lulus tahun 1994
-
SLTP Negeri I Sawangan, lulus tahun 1997
-
SMK Pelayaran Putra Samodera Yogyakarta, lulus tahun 2000
-
Jurusan Syari’ah, Progdi Ahwal Al-Syakhshiyyah, STAIN Salatiga, masuk tahun 2005.
Pengalaman Organisasi: -
Hizbut Tahrir Indosesia Kota Salatiga.
Salatiga, 1 Maret 2010 Penulis,
MUHAMMAD ARIF S . R NIM: 211 05 008