SYARAH DAN KRITIK DENGAN METODE TAKHRÎJ HADITS TENTANG NIKAH MUT’AH KHAYBAR TANPA HIMAR Husni STAIN Malikus Saleh Aceh Junaidi Abdillah IAIN Raden Intan Lampung Abstrak Penelitian ini memfokuskan pada kajian analisa kritik hadits pada sanad dan matan hadits terkait dengan nikah mut’ah khaybar tanpa himar. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa terdapat 20 hadis yang menjelaskan tentang larangan nikah mut’aḧ tanpa larangan mengonsumsi keledai jinak. Dari sisi rawinya, seluruh hadis tersebut termasuk kategori hadis ahâd masyhur. Dari sisi matannya, semua hadis tersebut termasuk marfû’ hukmiy. Sedang dari kebersambungan sanadnya, semua hadis tersebut termasuk hadis muttasil. Alhasil, semua hadis tersebut adalah shahîh li dzâtih. Kata kunci: Kritik Hadits, Metode Takhrîj, Sanad dan Matan, Nikah Mut’ah
A. Pendahuluan Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa nikah mut’aḧ, disebut juga nikah mu`aqqat ( )الزواج المؤقتdan nikah munqathi’ ()الزواج المنقطع, adalah akad nikah yang dilakukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu satu hari, seminggu, atau sebulan. Disebut mut’aḧ karena Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
171
Husni dan Junaidi Abdillah
si laki-laki berhak memanfaatkan dan menggauli si perempuan sampai batas waktu yang ditentukan. Sayyid Sabiq menegaskan bahwa nikah mut’aḧ disepakati keharamannya oleh para imam mazhab.1 Ayat yang memiliki hubungan literal dengan mut’aḧ terdapat di dalam surat al-Nisâ� ` [4] ayat 24. Ayat ini merupakan lanjutan dari penjelasan tentang perempuan yang haram dinikahi, ayat 23.2Karena itu, penyebutan perempuan-perempuan yang telah bersuami (almuhshanat)3 yang diawali huruf waw ‘athaf harus dipahami sebagai orang yang haram dinikahi. Lanjutan ayat ini menegaskan bahwa para laki-laki halal mencari perempuan, selain yang telah disebutkan, dalam keadaan atau agar menjadi muhshin; bukan untuk menjadi musâfih.4 Artinya, manfaat yang diharapkan dari seorang perempuan itu baru halal diterima si laki-laki dengan cara pernikahan yang sah, bukan al-Sayyid Sabiq (w. 1420 H), Fiqh al-Sunnah, (Kairo: al-Fath li al-I’lam al‘Arabiy, t.th.), Juz 2, h. 27 2 Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anak perempuanmu; saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan bapakmu; saudara-saudara perempuan ibumu; anak-anak perempuan saudarasaudara lelakimu; anak-anak perempuan saudara-saudara perempuanmu; ibu-ibu menyusuimu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anakanak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tapi jika belum kamu campuri (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 3 Makna kebahasaan muhshan adalah keadaan tertahan. Muhshanah, dengan demikian, adalah perempuan yang tertahan dan muhshin adalah laki-laki yang tertahan. Tali kekang kuda disebut al-hishan, karena ia menahannya untuk menggigit kuda lain. Dalam konteks hukum, hashân bermakna terhormat (‘afifah) atau terpelihara dari perbuatan fasik, merdeka atau terpelihara dari hal-hal yang mungkin terjadi pada budak (karena kehormatannya), menikah yang menahan seorang perempuan untuk menikah lagi. Dalam ayat ini, sejalan dengan makna itu, kata muhshin, yang terdapat pada frase berikutnya, bermakna “dalam keadaan terpelihara dari zina”. Kondisi itu hanya bisa terwujud lewat nikah yang sah secara syr’iy. Lihat: Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farah al-Anshariy al-Khazrajiy al-Qurthubiy, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Tafsir al-Qurthubiy), Tahqî�q: Ahmad al-Burduniy dan Ibrahim Athfisy, (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), Juz 5, h. 120-127 4 Kata musafih berakar dari kata safah al-mâ` (menumpahkan dan mengalirkan air). Ia merupakan kiasan untuk perzinaan. Karena itu, musafih berarti orang yang berzina. Ibid., h. 127 1
172
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Syarah dan Kritik dengan Metode Takhrîj Hadits Tentang Nikah Mut’ah
lewat hubungan yang tidak sah secara syar’iy (perzinaan). Lanjutan ayat itu berbunyi:
ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ 5 ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺﭻ
Bagian inilah yang jadi perdebatan sehubungan dengan nikah mut’aḧ. Bagi orang-orang yang setuju dengan mut’aḧ, dan mereka menempati posisi minoritas dalam Islam, menganggap ayat ini memberikan peluang kebolehan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa nikah mut’aḧ memang pernah dibolehkan, namun terakhir kebolehannya itu dinasakh untuk selamanya.6 Nash yang banyak berbicara tentang mut’aḧ adalah hadis Nabi SAW yang sering dilatarbelakangi peristiwa khusus sebagai `illah pembolehan atau pelarangannya. Yang terbanyak darinya adalah kondisi perang, dan Nabi mengambil kebijakan membolehkan mut’aḧ, tapi kemudian mengharamkannya lagi.7 Salah satunya terjadi pada saat perang Khaybar. Hadis pelarangan mut’aḧ pada perang Khaybar ini juga terpilah menjadi dua bagian; pengharaman mut’aḧ berikut pelarangan mengonsumsi daging keledai (himar) piaraan dan pelarangan mut’aḧ saja tanpa disertai pelarangan mengonsumsi daging keledai. Makalah ini hendak men-takhrîj hadis pengharaman Dalam al-Qur’an dan Terjemah keluaran Departemen Agama, frase itu diartikan dengan: “…Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu…”. 6 Sa’id bin al-Musayyab menyebutkan ia di-nasakh ayat mirats, karena mut’aḧ� tidak menimbulkan hubungan kewarisan. Menurut ‘Aisyah dan al-Qasim bin Muhammad ia di-nasakh surat al-Mu`minû� n [23] ayat 5-6 yang menyebutkan bahwa orang mu’min yang menang adalah yang menjaga furuj-nya, kecuali terhadap isteri dan budak mereka. Sedang mut>aḧ� bukan nikah dan bukan perbudakan. Menurut Ibn Mas’ud, ia di-nasakh aturan thalaq, ‘iddah dan kewarisan. Al-Qurthubiy, op.cit., h. 130 7 Nikah mut’aḧ� merupakan sesuatu yang unik. Ia dilarang, setelah dibolehkan, di enam tempat: di (perang) Khaybar, di ‘Umrah al-Qadha`, saat pembebasan Makkah, perang Awthas, perang Tabuk, ketika Haji Wada`. Tapi riwat terbanyak hanya menyebutkan sebanyak dua kali, yaitu saat perang Khaybar dan pembebasan Makkah (untuk selamanya) yang terjadi pada tahun yang sama dengan perang Awthas. Lihat: Muhammad bin Isma’il al-Amir al-Kahlaniy al-Shan’aniy (w. 1182 H), Subul al-Salam, Ta’liq: Muhammad Nashir al-Din al-Albaniy (w. 1420 H), (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 2006), Juz 3, h. 346 5
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
173
Husni dan Junaidi Abdillah
nikah mut’aḧ pada perang Khaybar yang tanpa disertai pelarangan mengonsumsi daging keledai. B. Teks Hadis
Syarh dan kritik hadis dengan metode takhrîj tentang hadis larangan nikah mut’aḧ waktu perang Khaybar tanpa pelarangan mengonsumsi daging keledai jinak, diawali dengan hadis dalam kitab Bulûgh al-Marâm karya Ibn Hajar berikut: )8َخ ْيبَ َر ( ُم َّتف ٌَق َعلَ ْي ِه
قَا َل نَ َهى َر ُسو ُل َال َّل ِه ﷺ َع ْن َا ْل ُم ْت َع ِة َع َام َو َع ْن َعلَ ٍّي
Dan dari ‘Ali, ra., ia berkata: “Rasulullah Saw. melarang mut’aḧ pada tahun (perang) Khaybar”. (Muttafaq ‘Alayh)
Kutipan hadis di atas menginformasikan bahwa mashâdir alashliyyaḧ-nya adalah Shahî�h al-Bukhariy9 dan Shahî�h Muslim.10 Tapi ketika dilacak, dalam teks kedua mashâdir itu ternyata menyertakan juga larangan mengonsumsikeledai jinak. Dilâlaḧ atau tawtsîq hadis menggunakan kitab al-Jâmi’ alShaghîr,11 yang ditulis al-Suyû� thiy, dengan lafal awal “”نهى عن المتعة, Ahmad bin ‘Ali Ibn Hajar al-‘Asqalaniy, Bulûgh al-Marâm min Adillah alAhkâm, Penahkik: Samir bin Amin al-Zuhayriy, (t.tp.: t.p., 2003), Cet. Ke-7, h. 302. 9 Dalam Shahî�h al-Bukhâ� riy ada dua hadis, 5115 dan 5523, yang menyertakan larangan himar jinak. Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Bukhariy (194-256 H), Shahîh al-Imâm al-Bukhâriy, Penahkik: M. Zahir Nashir al-Nashir, (Beirut: Dar Thawq al-Nashir, 1422 H), Juz 7, h. 12 dan 95 10 Satu hadis Muslim, matan dan sanadnya berbeda dengan al-Bukhariy dan juga disertai larangan himar jinak. Abi al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayriy al-Naysaburiy, Shahîh Muslim, Penahkik: Muhammad Fu`ad ‘Abd al-Baqiy, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), Juz 2, h. 1027 11 Rumus al-Suyuthiy: kha` ( )خal-Bukhariy, mim ( )مMuslim, qaf ( )قkeduanya (Bukhariy-Muslim), dal ( )دAbi Dawud, ta` ( )تal-Tirmidziy, nun ( )نal-Nasa`iy, ha ()ه Ibn Majah, empat (٤) mereka berempat (Abu Dawud, al-Tirmidziy, al-Nasa`iy dan Ibn Majah), tiga (٣) mereka kecuali Ibn Majah, ha mim ( )حمMusnad Ahmad, ‘ayn mim ()عم ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawa`id, kaf ( )كal-Hakim dalam al-Mustadrak, kha dal ( )خدal-Bukhariy dalam al-Adab, ta` kha` ( )تخal-Bukhariy dalam Tarikh, ha` ba` ()حب Ibn Hibban dalam Shahî�h, tha` ba` ( )طبal-Thabraniy dalam al-Kabir, tha` sin ( )طسalThabraniy dalam al-Awsath, tha` shad ( )طصal-Thabraniy dalam al-Shaghî�r, shad ()ص Sa’id bin Manshur dalam Sunan, syin ( )شIbn Abi Syaybah, ‘ayn ba` (‘ )عبAbd al-Razzaq dalam al-Jâ� mi>, ‘ayn ( )عAbi Ya’la dalam Musnad, qaf tha` ( )قتal-Daruquthniy, fa` ra` ( )فرal-Daylamiy dalam Musnad al-Firdaws, ha` lam ( )حلAbi Na’im dalam al-Hulyah, ha` ba ( )هبal-Bayhaqiy dalam Syu’b al-Iman, ha` qaf ( )هقal-Bayhaqiy dalam al-Sunan, ‘ayn dal ( )عدIbn ‘Adiy dalam al-Kamil, ‘ayn qaf ( )عقal-‘Aqiliy dalam al-Dhu’afâ� `, kha` 8
174
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Syarah dan Kritik dengan Metode Takhrîj Hadits Tentang Nikah Mut’ah
ditemukan petunjuk:
)(صح- (خ) عن علي،(حم) عن جابر- نهى عن المتعة
Hal itu berarti bahwa mashâdir al-ashliyyaḧ-nya adalah Musnad Ahmad dan Shahî�h al-Bukhariy. Akan tetapi, hadis tersebut tidak hanya melarang mut’aḧ, namun juga menyertakan larangan mengonsumsi keledai jinak dalam matannya.12 Dilâlaḧ atau tawtsîq hadis memakai al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Hadîts, tulisan AJ. Weinsinck,13 dengan akar kata “”متع, ditemukan petunjuk:
نكاح المتعة, متعة النساء،) عن المتعة...( ل�أنهاكم، ينهى،نهى أ�طعمة،٢٨ ت نكاح.٣٣ صيد،٣٠-٢٥ م نكاح.٣١ نكاح،٢٨ ذبائح،٣٨ خ مغازي .٤١ ط نكاح.١٦ نكاح،٢١ دى أ�ضاحى.٤٤ جه نكاح.٣١ صيد،٧١ ن نكاح.٦ ٤٠٥14 ،٤٠٤ :٣ ،٧٩ :١ حم
Hal itu menunjukkan bahwa mashâdir al-ashliyyaḧ-nya adalah: Shahî�h al-Bukhariy,15 Shahî�h Muslim, Sunan al-Turmudziy,16 Sunan
tha ( )خظal-Khathib. Muhammad ‘Abd al-Ra`uf al-Munawiy, Faydh al-Qadir Syarh alJâmi’ al-Shaghîr, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1972), Cet. Ke-2, Juz 1, h. 24-29 12 Dua hadis Musnad Ahmad (602 dan 824) menyertakan larangan makan himar jinak. Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal al-Syaybaniy (w. 241 H), Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Penahkik: Muhammad ‘Abd al-Qadir ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub, 1971), Juz 1, h. 239 13 Rumus Mu’jam: ta` ( )تal-Tirmidziy, jim ha` ( )جهSunan Ibn Majah, ha` mim ( )حمMusnad Ahmad, kha` ( )خShahî�h al-Bukhariy, dal ( )دSunan Abu Dawud, dal ya` ( )ديSunan al-Darimiy, tha` ( )طMuwatha` Malik, mim ( )مShahî�h Muslim, dan nun ()ن Sunan al-Nasa`iy. A.J. Weinsinck (w. 1939), al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Hadîts, (Leiden: Briel, 1969), Juz 7, h. 2 dari Tanbihât wa Irsyâdât 14 Ibid., Juz 6, h. 167 15 Semua hadis Shahî�h al-Bukhariy memuat larangan himar jinak. Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Ja’fiy al-Bukhariy (194-256 H), al-Jâmi’ al-Shahîh, Pen-tahqiq: M. Fu`ad ‘Abd al-Baqiy, (Kairo: al-Mathba’ah al-Salafiyyah, 1400 H). Hadis nomor 4216, Juz 3, h. 138-139. Hadis nomor 5523, Juz 3, h. 461. Hadis nomor 5115, Juz 3, h 366367 16 Delapan hadis Shahî�h Muslim tak satupun yang menyebutkan pelarangan mut’aḧ� saja. Lima hadis pelarang di Khaybar (kitab nikah nomor 29, 30, dan 32, kitab shayd nomor 23), disertai larangan makan himar jinak. Muslim, Shahîh…, Juz 2, h. 10271028danJuz 3, h. 1537. Hadis kitab nikah nomor 25 dan 26 adalah larangan mut’aḧ� saat fath makkah. Hadis nomor 27 adalah bantahan ‘Abdullah bin Zubayr terhadap fatwa kebolehan mut’aḧ� Ibn ‘Abbas, tanpa penjelasan waktu pelarangan. Hadis nomor Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
175
Husni dan Junaidi Abdillah
al-Nasa`iy,17 Sunan Ibn Majah,18 Sunan al-Darimiy,19 Muwatha` Malik20
28 merupakan penjelasan Sabrah al-Juhaniy bahwa Rasul telah melarang mut’aḧ� . Ia juga menyebutkan penegasan Rasulullah bahwa mut’aḧ� haram sampai hari kiamat dan melarang mengambil imbalan mut’aḧ� tersebut. Di dalam matannya juga tidak disebutkan waktu pelarangan tersebut. Ibid., Juz 2, h. 1026-1027 Dua huah hadis yang disebutkan dalam Sunan al-Tirmidziy juga menyebutkan pelarangan nikah mut’aḧ� yang disertai dengan pelarangan memakan himar jinak. Lihat dalam: Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa al-Tirmidziy, al-Jâmi’ al-Kabir, Penahkik: Basysyar ‘Awwad Ma’ruf, (Beirut: Dar al-‘Arab al-Islamiy, 1996). Hadis dalam kitab nikah bab 28 (bâb mâ jâ`a fî tahrîm nikâh al-mut’aḧ) nomor 1121 (Juz 3, h. 416, himar) dan kitab ath`imah (setelah kitab al-libâs) bab 6 (bâb mâ jâ`a fî luhum al-humur al-ahliyyah) hadis nomor 1793 (Juz 3, h. 390). 17 Dalam Sunan al-Nasa`iy kitab nikah terdapat tiga buah hadis larangan mut’aḧ� pada perang Khayabar, nomor 3365, 3366 dan 3367. Hadis nomor 3367 yang secara spesifik menyebutkan pelarangan mut’aḧ� saja saat perang Kaybar, dan dua hadis pertama menyertakan pelarangan memakan himar jinak. Sedang kitab shayd pada dasarnya melarang memakan himar jinak. Dalam bab ini (tahrîm akl luhum alhumur al-ahliyyah) ada dua hadis yang menyebut mut’aḧ� , tapi menyertakan larangan memakan keledai jinak. Abi ‘Abd al-Rahman Ahmad bin Syu’ayb bin ‘Ali al-Nasa`iy (215-303 H), Sunan al-Nasa`iy, Penahkik: Muhammad Nashir al-Din al-Albaniy, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, t.th.), h. 520-521 18 Dalam Sunan Ibn Majah kitab nikah terdapat tiga hadis tentang larangan mut’aḧ� , nomor 1961, 1962 dan 1963. Tapi semuanya tidak secara spesifik hanya melarang mut’aḧ� pada perang Khaybar. Hadis pertama larangan itu pada perang Khaybar, tapi diikuti larangan makan himar jinak. Hadis kedua larangan saat haji wada’. Sedang hadis ketiga mengisahkan khuthbah ‘Umar bin al-Khaththab bahwa mut>aḧ� diizinkan sebanyak tiga kali kemudian diharamkan. Terakhir ‘Umar menegaskan siapa yang melakukan mut’aḧ� akan dirajam. Abi ‘Abdillah Muhammad bin Yazid Ibn Majah al-Qazwayniy, al-Sunan, Penahkik: Syu’ayb al-Arna`uth, (Damaskus: Dar al-Risalah al‘Alimiyyah, 2009), Juz 3, h. 136-138 19 Dalam Sunan al-Darimiy kitab adhâhaada tiga hadis tentang mut’aḧ� , 2195, 2196 dan 2197. Tapi ketiganya tidak menyebutkan larangan mut’aḧ� saja pada perang Khaybar;hadis 2195 menyebutkan pelarangan pada haji wada`,hadis 2196 pada fath Makkah. Sedang nomor 2197 menyebutkan pelarangan pada perang Khaybar, tapi dalam matannya terdapat pelarangan himar. ‘Abdullah bin ‘Abd al-Rahman al-Darimiy al-Samarqandiy (181-255 H), Sunan al-Darimiy, Penahkik: Fawaz Ahmad Zumarliy dan Khalid al-Sab’ al-‘Alimiy, (Karaci: Qadimiy Kutub Khanah, t.th.), Juz 3 h. 188-189. Sementara pada kitab nikah bab 16 (bab 21 dalam terbitan yang di-tahqî�q Zumarliy dan al-‘Alimiy) terdapat satu hadis, nomor 1990, yang juga menyertakan larangan memakan himar jinak dalam matannya. Ibid., Juz 2, h. 118 20 Dalam Muwaththa` Malik kitab nikah bab nikah al-mut’aḧ terdapat dua hadis tentang mut’aḧ� , yaitu hadis nomor 41 (1246) dan 42 (1247). Tapi keduanya juga tidak menyebutkan pelarangan mut’aḧ� saja pada waktu perang Khaybar. Hadis nomor 41 menyebutkan pelarangannya pada perang Khaybar, tapi dalam matannya terdapat
176
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Syarah dan Kritik dengan Metode Takhrîj Hadits Tentang Nikah Mut’ah
dan Musnad Ahmad. Ketika dilacak ke sumber aslinya, hanya Sunan al-Nasa`iy yang menuliskan larangan mut’aḧ, tanpa larangan makan himar jinak, saat perang mut’aḧ (nomor 3367). Dilâlaḧ atau tawtsîq hadis menggunakan Miftâh Kunûz alSunnaḧ, yang ditulis oleh Arnold John Weinsinck (w. 1939),21 dengan kata kunci “”النكاح, pada entri “ ”النهي عن نكاح المتعةditemukan petunjuk berikut:22
٤ ب٩٠ ؛ ك٢٨ ب٧٢ ؛ ك٣١ ب٦٧ ؛ ك٣٨ ب٦٤ ك٢٣ – ٢١ ح١٦ ك١٣ ب١٢ ك٢٩ ب٩ ك٣١ ب٤٢ ؛ ك٧١ ب٢٦ ك٤٤ ب٩ ك١٦ ب١١ ك٤١ ح٢٨ ٦ ب٢٣ ك٦٨ ص٢ ق٤ ك٧١٨ ح٥٥ ؛ رابع ص٤٠٥ و٤٠٤ ؛ ثالث ص١٠٣ و٩٥ ؛ ثان ص١٤٢ و١٠٣ و٧٩ �أول ص١١١23 ح-
ب خ مس بد تر نس مج مى ما تر عد ز حم ط
juga pelarangan memakan himar jinak. Sedang hadis 42 menceritakan kecaman ‘Umar terhadap praktek mut’aḧ� yang dilakukan Rabi’ah bin Umayyah (setelah Nabi wafat). Malik bin Anas (93-179 H), al-Muwatha` bi Riwayah Yahya al-Laytsiy, Penahkik: Abu Usamah Salim bin ‘Ayd al-Hilaliy al-Salafiy, (t.tp.: Majmu’ah al-Furqan al-Tijariyyah, 2003), Juz 3, h. 220-221. Lihat juga: Malik bin Anas, al-Muwatha` Riwayah Abi Mush’ab al-Zuhriy, Penahkik: Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Mahmud Muhammad Khalil, (Beirut: Mu`assasah al-Risalah, 1998), Juz 1, h. 594-595 21 Rumus Miftah Kunuz adalah: ba` kha` ( )بخShahî�h al-Bukhariy, mim sin ()مس Shahî�h Muslim, ba` dal ( )بدSunan Abi Dawud, ta` ra` ( )ترSunan al-Tirmidziy, nun sin ( )نسSunan al-Nasa`iy, mim jim ( )مجSunan Ibn Majah, mim ya` ( )مىSunan al-Darimiy, mim alif ( )ماMuwatha` Malik, zay ( )زMusnad Zayd bin ‘Ali, ‘ayn dal ( )عدThabaqat Ibn Sa’d, ha` mim ( )حمMusnad Ahmad bin Hanbal, tha` ( )طMusnad al-Thayalasiy, ha` syin ( )هشSirah Ibn Hisyam, qaf dal ( )قدMaghaziy al-Waqidiy, kaf ( )كkitab, ba` ()ب bab, ha`( )حhadis, shad ( )صshafhah, jim ( )جjuz, qaf ( )قqism, qaf alif ( )قاqabil ma qablaha bi ma ba’daha. A.J. Weinsinck (w. 1939), Miftah Kunuz al-Sunnah, Penerjemah: Muhammad Fu`ad ‘Abd al-Baqiy, (Lahore: Idarah Tarjuman al-Sunnah, 1978), h. alif 22 A.J. Weinsinck, Op. Cit., h. 509. 23 Dalam Sunan Abi Dawud, pada bab tentang nikah mut’aḧ� , ada dua hadis (2072 dan 2073), tapi tidak berbicara tentang pelarangan mut’aḧ� di perang Khaybar. Ibid., h. 509 Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
177
Husni dan Junaidi Abdillah
Kutipan di atas menjelaskan bahwa mashâdir al-ashliyyaḧ-nya adalah: Shahî�h al-Bukhariy, Shahî�h Muslim, Sunan Abu Dawud,24 Sunan al-Tirmidziy, Sunan al-Nasa`iy, Sunan Ibn Majah, Sunan al-Darimiy, Muwatha` Malik, Thabaqat Ibn Sa’d,25Musnad Zayd bin ‘Ali, Musnad Ahmad, dan Musnad al-Thayalasiy.26 Ketika dilacak ke sumber aslinya, mashâdir yang menyebutkan larangan nikah mut’aḧ tanpa larangan mengonsumsi daging keledai jinak, hanya pada Musnad al-Imâ� m Zayd bin ‘Ali,27 Dengan menggunakan al-Mu’jam al-Awsath-nya al-Thabraniy ditemukan hadis:
حدثنا منتصر بن محمد ثنا محمود بن غيلان ثنا أ�بو أ�حمد الزبيري نا شريك عن سماك بن 28 حرب عن ثعلبة بن الحكم أ�ن النبي صلى الله عليه و سلم نهى يوم خيبر عن المتعة
Dilâlaḧ dan tawtsiqyang bersifat cek-ricek menggunakan CD al-Maktabah al-Syâmilah dengan proses:
Hadis nomor 2072 menyebutkan pelarangannya pada waktu fath Makkah. Sedang hadis 2073 menegaskan pengharaman nikah mut>aḧ� dari Rasulullah SAW. Sulayman bin al-Asy’ats Abi Dawud al-Sajastaniy al-Azadiy, Sunan Abi Dawud, Penahkik: Muhammad Muhy al-Din ‘Abd al-Hamid, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, t.th.), Juz 2, h. 226-227 25 Dalam Thabaqat Ibn Sa’d, yang di-tahqî�q ‘Ali Muhammad ‘Amr, bagian 913 Sabrah bin Ma’bad al-Juhaniy, disebutkan satu riwayat tentang pelarangan mut>aḧ� , tapi itu terjadi ketika haji Wada’. Muhammad bin Sa’d bin Munî�’ al-Zuhriy (w.b230 H), Kitab al-Thabaqat al-Kabir, Penahkik: ‘Ali Muhammad ‘Amr, (Kairo: Maktabah alKhanjiy, 2001), Juz 5, h. 265 26 Satu hadis dalam Musnad al-Thayalasiy (nomor 113) bercerita tentang larangan nikah mut’aḧ� dan mengonsumsi daging keledai jinak, tapi tidak ada penjelasan kapan pelarangan itu dilakukan. Sulayman bin Dawud bin al-Jarud (w. 204 H), Musnad Abi Dawud al-Thayalasiy, Penahkik: Muhammad bin ‘Abd al-Muhsin al-Turkiy, (Ardh al-Liwa`: Hajar, 1999), Juz 1, h. 107 27 Dalam Musnad al-Imâ� m Zayd bin ‘Ali ada dua hadis. Pertama, pengharaman (hal. 40) sampai hari kiamat, tanpa keterangan waktu. Kedua (hal. 271) pelarangan saat perang Khaybar, tanpa larangan makan himar jinak. Zayd bin ‘Ali bin al-Husayn bin ‘Ali bin Abi Thalib (75-122 H), Musnad al-Imam Zayd, Dikumpulkan oleh: ‘Abd al‘Aziz bin Ishaq al-Baghdadiy, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), h. 271 28 Akan tetapi al-Thabraniy memberikan penjelasan bahwa hadis ini hanya diriwayatkan oleh Abu Ahmad dari Syurayk dan Simak. Mahmud bin Ghaylan juga meriwayatkan sendirian dari Abu Ahmad. Di damping itu, tak ada sanad lain yang diriwayatkan dari Tsa’labah selain yang ini. Abu al-Qasim Sulayman bin Ahmad alThabraniy, al-Mu’jam al-Awsath, Penahkik: Abu Mu’adz Thariq bin ‘Awdhillah bin Muhammad dan Abu al-Fadhl ‘Abd al-Muhsin bin Ibrahim al-Husayniy, (Kairo: Dar alHaramayn, 1995), Juz 8, h. 268 24
178
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Syarah dan Kritik dengan Metode Takhrîj Hadits Tentang Nikah Mut’ah
1. Setelah program Maktabah al-Syâmilah-nya dibuka, klik tabsearch (ƮŞ), kemudian muncul jendela شاشة البحث 2. Selanjutnya pilih بحث في النصوص dan memasukan kata المتعةdan خيبر pada kolom ابحث عن حميع هذه العبارة 3. Selanjutnya pilih متون الحديثdan centang/klik pilihan المجموعة كلها 4. Langkah selanjutnya adalah klik tab تنفيذ البحث.
Dari proses tersebut diketahui bahwa hadis tersebut terdapat dalam mashâdir al-ashliyahsebagai berikut:Musnad al-Imâm Abî Hanifah (80-150 H), Musnad Abi ‘Awwânah (w. 175 H), Syarh Ma’aniy al-Atsaral-Thahawiy (229-321 H), Mu’jam Ibn al-A’rabiy (246-340 H), al-Mu’jam al-Awsath al-Thabraniy (260-360 H), Mu’jam al-Shahabah al-Baghawiy (w. 317 H), Hilyah al-Awliya` Abu Nu’aym (w. 430 H), alSunan al-Kubra al-Bayhaqiy (w. 458). Secara keseluruhan, mashâdir al-ashliyyaḧ hadis pelarangan mut’aḧ, tanpa larangan mengonsumsi daging keledai jinak, saat perang Khaybar adalah: No 1 2 3 4
Dilâlaḧ
Mashâdir al-Ashliyyaḧ
Bulûgh al-Marâm Al-Jâmi’ al-Shaghîr Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Hadîts Miftâh Kunûz al-Sunnaḧ
5
Al-Mu’jam al-Awsath
6
CD al-Maktabah al-Syâmilah
Sunan al-Nasa`iy (w. 303 H)
Musnad al-Imâm Zayd bin ‘Ali (75-122 H) Al-Mu’jam al-Awsathli al-Thabrâniy (260360 H)
Musnad al-Imâm Zayd bin ‘Ali (75-122 H) Musnad al-Imâm Abî Hanîfah (80-150 H), Al-Umm li al-Syâfi`iy (150-204 H), lima hadis Musnad Abi ‘Awwânah (w. 175 H), Sunan alNasa`iy (w. 303 H), Syarh Ma’aniy al-Atsarli al-Thahâwiy (229-321 H), Mu’jam Ibn alA’râbiy (246-340 H), Min Hadîts Khaytsamah bin Sulaymân (250-343), dua hadis alMu’jam al-Awsath al-Thabrâniy (260-360 H), Mu’jam al-Shahâbah li al-Baghawiy (w. 317 H), Hilyah al-Awliya`liAbî Nu`aym (w. 430 H), al-Sunan al-Kubra li al-Bayhaqiy (w. 458), AlTamhîd li Ibn `Abdil Barr (368-463 H), Tarîkh Baghdâd li al Khathîb al-Baghdâdiy (w. 463 H).
Jadi, mashâdir al-ashliyyaḧ secara keseluruhan adalah:
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
179
Husni dan Junaidi Abdillah
1. Musnad al-Imâm Zayd bin ‘Ali (75-122 H), 2. Musnad Abu Hanîfah (80-150 H), 3. Al-Umm li al-Syâfi`iy (150-204 H), 4. Sunan al-Nasâ`iy (w. 303 H), 5. Mu’jam al-Shahâbah al-Baghawiy (w. 317 H), 6. Lima hadis Musnad Abi ‘Awwânah (w. 175 H), 7. Syarh Ma’aniy al-Atsar al-Thahawiy (229-321 H), 8. Mu’jam Ibn al-A’râbiy (246-340 H), 9. Min Hadîts Khaytsamah bin Sulaymân (250-343), 10. Dua hadis al-Mu’jam al-Awsath al-Thabraniy (260-360 H), 11. Hilyah al-Awliyâ` Abu Nu`aym (w. 430 H), 12. Al-Sunan al-Kubrâ al-Bayhaqiy (w. 458 H), 13. Al-Tamhîd li Ibn `Abdil Barr (368-463 H). 14. Tarîkh Baghdâd li al Khathîb al-Baghdâdiy (w. 463 H).
C. Anasir Hadis, Daftar Rawi Sanad dan Diagram/Silsilah Sanad 1. Anasir Hadis a. Rawi dan Sanad Rawi dan sanad hadis dari mashâdir al-ashliyyaḧdi atas adalah: 1) Musnad al-Imâm Zayd bin ‘Ali (hal. 271): (1) ‘Ali bin Abi Thalib, (2) al-Husayn bin ‘Ali, (3) ‘Ali bin al-Husayn, (4) Zayd bin ‘Ali. 2) Musnad Abu Hanîfah (nomor 91): (1) Ibn ‘Umar, (2) Nafi’, (3) Abi Hanifah, (4) ‘Utsman bin Dinar, (5) Muhammad bin alMughlis (Abu Ja’far), (6) Ja’far bin Muhamamd, (7) Ahmad bin Muhammad bin Sa’id al-Hamdzaniy. 3) Al-Umm (nomor 3390): (1) ‘Ali bin Abi Thalib, (2) Muhammad bin ‘Ali, (3) ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Ali, (4) al-Hasan bin Muhammad bin ‘Ali, (5) Ibn Syihab, (6) Malik bin Anas, (7) alSyâfi`iy. 4) Musnad Abi ‘Awwânah (4074): (1) ‘Ali bin Abi Thalib, (2) Muhammad bin ‘Ali, (3) ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Ali, (4) alHasan bin Muhammad bin ‘Ali, (5) Ibn Syihab, (6) Malik bin Anas, (7) Yahya bin Sa’id al-Anshariy (8) ‘Abd al-Wahhab al-Tsaqafiy, (9) Sulayman bin Dawud al-Hasyimiy, (10) Muhammad bin Isma’il bin Salim al-Makiy, dan (11) Abu ‘Awwânah. 5) Musnad Abi ‘Awwânah (nomor 4076): (1) Malik bin Anas, (2) 180
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Syarah dan Kritik dengan Metode Takhrîj Hadits Tentang Nikah Mut’ah
6)
7)
8)
9)
10)
11)
12)
13)
Yahya bin Sa’id, (3) Isma’il bin ‘Iyasy, (4) al-Ma’afiy bin ‘Imran, (5) Abu Humyd al-Himshiy, (6) Abu ‘Awânah. Musnad Abi ‘Awânah (nomor 4083): (1) ‘Abdullah bin ‘Umar (2) Salim bin ‘Abdillah (3) Ibn Syihab, (4) Umar bin Muhammad bin Zayd al-‘Umariy (5) Ibn Wahhab, (6) Yunus bin ‘Abd al-A’la, dan (7) Abu ‘Awwânah. Musnad Abi ‘Awânah (4084): (1) Ibn ‘Umar (2) Salim, (3) alZuhriy (4) Manshur bin Dinar (5) Ibn Fudhayl, (6) ‘Ali bin Harb, (7) Abu ‘Awwânah. Musnad Abi ‘Awânah (7646): (1) ‘Ali bin Abi Thalib, (2) Muhammad bin ‘Ali, (3) ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Ali, (4) alHasan bin Muhammad bin ‘Ali, (5) Ibn Syihab (6) Malik bin Anas (7) Yahya bin Sa’id al-Anshariy (8) ‘Abd al-Wahhab al-Tsaqafiy, (9) Sulayman bin Dawud al-Hasyimiy, (10) Muhammad bin Isma’il al-Sha`igh, dan (11) Abu ‘Awwânah. Syarh Ma’aniy al-Atsar (nomor 4311): (1) Ibn ‘Umar (2) Salim bin ‘Abdillah (3) Ibn Syihab (4) ‘Umar bin Muhammad al-‘Umariy (5) Ibn Wahab, (6) Yunus, dan (7) al-Thahawiy Sunan al-Nasa`iy (nomor 3367): (1) ‘Ali bin Abi Thalib, (2) Muhammad bin ‘Ali, (3) al-Hasan bin Muhammad bin ‘Ali, (4) ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Ali, (5) Ibn Syihab (6) Malik bin Anas (7) Yahya bin Sa’id (8) ‘Abd al-Wahhab (9) Muhammad bin al-Mutsanna (10) Muhammad bin Basyar (11) ‘Umar bin ‘Ali dan (12) al-Nasa`iy. Mu’jam Ibn al-A’rabiy (nomor 150): (1) ‘Ali bin Abi Thalib, (2) Muhammad bin ‘Ali, (3) ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Ali, (4) alHasan bin Muhammad bin ‘Ali, (5) Ibn Syihab, (6) Malik bin Anas, (7) Yahya bin Sa’id al-Anshariy, (8) al-Tsaqafiy ‘Abd al-Wahhab, (9) Sulayman bin Dawud al-Hasyimiy, (10) Muhammad bin Isma’il, dan (11) Ibn al-A’rabiy. Min Hadîts Khaytsamah bin Sulaymân: (1) Ibn ‘Umar, (2) Nafi’, (3) Abi Hanifah, (4) `Ubaydillah, (5) Abu Ya`qub Ishaq bin Yassar, (6) Khaytsamah. Al-Mu’jam al-Awsath al-Thabraniy (nomor 3447): (1) ‘Ali bin Abi Thalib, (2) Muhammad bin ‘Ali, (3) ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Ali, (4) al-Hasan bin Muhammad bin ‘Ali, (5) al-Zuhriy, (6) Yahya bin Sa’id (7) Zufar bin al-Hudzayl, (8) Syaddad bin Hakim,
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
181
Husni dan Junaidi Abdillah
14)
15)
16)
17)
18)
19)
182
(9) Hamdan bin Dzi al-Nun al-Lakhmiy, (10) al-Hasan bin ‘Ali alSarakhsiy, dan (11) al-Tahabraniy Al-Mu’jam al-Awsathal-Thabraniy (nomor 8600): (1) Tsa’labah bin al-Hakam, (2) Simak bin Harb, (3) Syurayk, (4) Abu Ahmad al-Zubayriy, (5) Mahmud bin Ghaylan, (6) Muntashir bin Muhammad, dan (7) al-Thabraniy Mu’jam al-Shahabahli al-Baghawiy (1181): (1) Sabrah bin ‘Awsajah, (2) al-Rabi’ bin Sabrah, (3) Yunus bin Abi Farrah, (4) Marwan bin Mu’awiyah, (5) Surayj bin Yunus, (6) ‘Ibad bin Muhammad, dan (7) al-Baghawiy. Hilyah al-Awliya` (Juz 3, h. 177): (1) ‘Ali bin Abi Thalib, (2) Muhammad bin ‘Ali, (3) ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Ali, (4) al-Hasan bin Muhammad bin ‘Ali, (5) al-Zuhriy, (6) Yahya bin Sa’id al-Anshariy, (7) ‘Abdullah bin ‘Amr, (8) ‘Abdullah bin Ja’far al-Raqqiy, (9) Abu Syu’ayb, (10) Muhammad bin ‘Ali bin Hubays, (11) Muhammad bin Ahmad bin al-Husayn, dan (12) Abu Na’im Al-Sunan al-Kubra li al-Bayhaqiy (nomor 14148): (1) ‘Abdullah bin ‘Umar, (2) Salim bin ‘Abdillah, (3) Ibn Syihab, (4) ‘Umar bin Muhammad bin Zayd bin ‘Abdullah bin ‘Umar, (5) Ibn Wahhab, (6) Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abd al-Hakam, (7) Muhammad bin Ya’qub, (8) Abu al-‘Abbas, (9) Abu Bakar bin al-Hasan, (10) Abu Zakariya bin Abi Ishaq, (11) Abu ‘Abdillah al-Hafizh, dan (12) al-Bayhaqiy. Al-Tamhîd li Ibn `Abdil Barr: (1) ‘Ali bin Abi Thalib, (2) Muhammad bin ‘Ali, (3) ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Ali, (4) al-Hasan bin Muhammad bin ‘Ali, (5) Ibn Syihab, (6) Malik bin Anas, (7) Yahya bin Sa`îd al-Anshâriy, (8) `Abd al-Wahhâb bin `Abd al-Majîd, (9) Muhammad bin al-Mutsannâ, (10) Ja`far bin Muhammad alFaryâbiy, (11) `Aliy bin Muhammad ibn `Umar al-Harâniy, (12) Abû Thâhir Muhammad bin Ahmad bin `Abdillâh, (13) Khalf bin Qâsim. Târikh Madînah al-Salâm, (1) ‘Ali bin Abi Thalib, (2) Muhammad bin ‘Ali, (3) ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Ali, (4) al-Hasan bin Muhammad bin ‘Ali, (5) Ibn Syihab, (6) Malik bin Anas, (7) Yahya bin Sa`îd al-Anshâriy, (8) `Abd al-Wahhâb bin `Abd al-Majîd, (9) Muhammad bin Yahyâ bin Fayyâdl al-Zammâniy, (10) Ahmad
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Syarah dan Kritik dengan Metode Takhrîj Hadits Tentang Nikah Mut’ah
bin `Umayr bin Yûsuf al-Dimasyqiy, (11) Abû Sa`îd `Abdullâh bin Muhammad bin `Abdilwahhâb al-Râziy, (12) Yahyâ bin `Aliy alBukhâriy. Secara keseluruhan, rawi dan sanad hadis larangan nikah mut’aḧ, minus larangan makan himar jinak, berjumlah 67 orang. Lengkapnya dapat dilihat pada TABEL DAFTAR RAWI SANAD (di )bawah
b. Matan Sementara matan hadis larangan nikah mut’aḧ, tanpa larangan mengonsumsi daging keledai jinak, adalah: No
1 2 3 4 5 6
7 8
Mashâdir al-Ashliyyaḧ
مسند ال إ�مام زيد بن علي ƨǨȈǼƷĺƗƾǼLjǷ ȆǠǧƢnjdzơǵƢǷȎdzǵȋơ (4074)ƨǻơȂǟĺƗƾǼLjǷ مسند �أبي عوانة )(4076
مسند �أبي عوانة )(4083
مسند �أبي عوانة )(4084 مسند �أبي عوانة )(7646 شرح معاني ال آ�ثار للطحاوي
9
183
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
Matan
نَهَى َر ُس ُ عَن ِن َك ِاح ا ْل ُم ْت َع ِة عَا َم َخ ْي َب َر الله ﷺ ْ ول ِ الله يوم خيبر عن نكاح المتعة نهى رسول ِ عَن ُم ْت َع ِة الن َِّس ِاء يَ ْو َم َخ ْي َب َر نَهَى ْ َح َّر َم َر ُس ُ الله ﷺ ُم ْت َع َة الن َِّس ِاء يَ ْو َم َخ ْي َب َر ول ِ َ�أنَّ ال َّن ِب َّي نَهَى يَ ْو َم َخ ْي َب َر ع َْن ُم ْت َع ِة الن َِّس ِاء َ�أنَّ َر ُج ًلا َس َأ� َل َع ْب َد ال َّل ِه ْب َن عُ َم َر ع َِن « ا ْل ُم ْت َع ِة، َق َالَ :ح َرا ٌمَ ،ف َق َال ِ :إ�نَّ ُف َلانًا َي ُق ُ ول ِفيهَاَ ،ف َق َال: َوال َّل ِه لَ َقدْ َع ِل َم َ�أنَّ َر ُس َ ول ال َّل ِه َ ح َّر َمهَا يَ ْو َم َخ ْي َب َر ين َو َما ُكنَّا ُم َسا ِف ِح َ عَن ُم ْت َع ِة الن َِّس ِاء، َجا َء َر ُج ٌل ِ إ�لَى ا ْب ِن عُ َم َرَ ،ف َس َأ�لَ ُه ْ َف َق َالِ :ه َي َح َرا ٌمَ ،ف َق َال ال َّر ُج ُلَ :ف ِ إ�نَّ ُف َلانًا يَزْعُ ُم، َق َال�ِ :إ َّنهَا َح َل ٌ الَ ،ف َق َال :لَ َقدْ َع ِل َم َ�أنَّ َر ُس َ ول ال َّل ِه عَن ُم ْت َع ِة الن َِّس ِاء يَ ْو َم َخ ْي َب َر َو َق َال: ﷺ “ نَهَى ْ ُ ين «ه َي َح َرا ٌم» َ ،و َما كنَّا ُم َسا ِف ِح َ ِ َح َّر َم َر ُس ُ الله ﷺُ ،م ْت َع َة الن َِّس ِاء يَ ْو َم َخ ْي َب َر ول ِ
الله ْب َن عُ َم َر ع َِن ا ْل ُم ْت َع ِة َ�أنَّ َر ُج ًلا َس َأ� َل َع ْب َد ِ َف َق َالَ :ح َرا ٌمَ .ق َالَ :ف ِ إ�نَّ ُف َلانًا يَ ُق ُ ول ِفيهَا َق َال: الله لَ َقدْ َع ِل َم َ�أنَّ َر ُس َ الله ﷺ َح َّر َمهَا يَ ْو َم ول ِ « َو ِ ُ ين» َخ ْي َب َر َ ,و َما كنَّا ُم َسا ِف ِح َ
Husni dan Junaidi Abdillah
10 11 12 13 14 15 16
سنن النسائي
َح َّر َم َر ُس ُ الله ﷺ ُم ْت َع َة الن َِّس ِاء يَ ْو َم َخ ْي َب َر ول ِ
كتاب المعجم أ لل�عرابي من حديث خيثمة بن سليمان القرشي المعجم أ ال�وسطللطبراني )(3447 المعجم أ ال�وسط للطبراني )(8600 معجم الصحابة للبغوي
17 18
التمهيد لابن عبد البر
نَهَى َر ُس ُ الله ﷺ َي ْو َم َخ ْي َب َر ع َْن ُم ْت َع ِة الن َِّس ِاء ول ِ
نَهَى َر ُس ُ الله ﷺ ع َْن ُم ْت َع ِة الن َِّس ِاء يَ ْو َم َخ ْي َب َر ول ِ أ عَن ا ْل ُم ْت َع ِة َ�نَّ ال َّن ِب َّي ﷺ نَهَى يَ ْو َم َخ ْي َب َر ِ الله ﷺ عن متعة النساء عام خيبر نهى رسول ِ
َ�أنَّ َر ُس َ اح الله ﷺ َح َّر َم ِفي َغ ْز َو ِة َخ ْي َب َر ِن َك َ ول ِ ا ْل ُم ْت َع ِة الله ْب َن عُ َم َر َر ِض َي الل ُه عَ ْن ُه َما َ�أنَّ َر ُج ًلا َس َأ� َل عَ ْب َد ِ ع َِن ا ْل ُم ْت َع ِة َف َق َالَ « :ح َرا ٌم « َ ,ق َالَ :ف ِ إ�نَّ ُف َلانًا الله لَ َقدْ عُ ِل َم َ�أنَّ َر ُس َ يَ ُق ُ ول ول ِفيهَا َ ,ف َق َالَ « :و ِ الله َص َّلى الل ُه َع َل ْي ِه َو َس َّل َم َح َّر َمهَا يَ ْو َم َخ ْي َب َر َو َما ِ ين ح ف ا س م ُكنَّا ُ َ ِ ِ َ نَهَى َر ُس ُ ول ال َّل ِه ﷺ يَ ْو َم َخ ْي َب َر ع َْن ُم ْت َع ِة الن َِّس ِاء
حلية أ ال�ولياء أل�بي نعيم
السنن الكبرى للبيهقي
19
نَهَى َر ُس ُ الله ﷺ يَ ْو َم َخ ْي َب َر ع َْن ُم ْت َع ِة الن َِّس ِاء ول ِ
نَهَى َر ُس ُ الله ﷺ يَ ْو َم َخ ْي َب َر ع َْن ُم ْت َع ِة الن َِّس ِاء ول ِ
تاريخ مدينة السلام
Dari dua puluh hadis di atas, dapat teridentifikasi ragam matan-matannya yang memiliki kemiripan sebagai berikut: No 1 2 3
Mashâdir al-Ashliyyaḧ
Matan
نَهَى َر ُس ُ عَن ِن َك ِاح ا ْل ُم ْت َع ِة َعا َم الله ﷺ ْ ول ِ َخ ْي َب َر
مسند ال إ�مام زيد بن علي مسند �أبي حنيفة
الله ﷺ يوم خيبر عن نكاح نهى رسول ِ المتعة
أ ال�م لل إ�مام الشافعي ,مسند �أبي عوانة, ) (4084المعجم أ ال�وسطللطبراني ) ,(3447معجم الصحابة للبغوي,
عَن ُم ْت َع ِة الن َِّس ِاء يَ ْو َم َخ ْي َب َر نَهَى ْ
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
184
Syarah dan Kritik dengan Metode Takhrîj Hadits Tentang Nikah Mut’ah
مسند �أبي عوانة) ,(4076سنن النسائي ,من حديث خيثمة بن سليمان القرشي ,المعجم أ ال�وسط للطبراني ),(8600التمهيد لابن عبد البر ,تاريخ مدينة السلام مسند �أبي عوانة ) (4074و مسند �أبي عوانة ) (7646و المعجم أ لل�عرابي و حلية أ ال�ولياء أل�بي نعيم
4
5
مسند �أبي عوانة )(4084
6
مسند �أبي عوانة ,(4083شرح معاني ال آ�ثار للطحاوي ,السنن الكبرى لالبيهقي
7
نَهَى َر ُس ُ عَن ُم ْت َع ِة الله ﷺ َي ْو َم َخ ْي َب َر ْ ول ِ الن َِّس ِاء
َح َّر َم َر ُس ُ الله ﷺ ُم ْت َع َة الن َِّس ِاء يَ ْو َم َخ ْي َب َر ول ِ َجا َء َر ُج ٌل ِ�إلَى ا ْب ِن عُ َم َرَ ،ف َس َأ�لَ ُه ع َْن ُم ْت َع ِة الن َِّس ِاء، َف َق َالِ :ه َي َح َرا ٌمَ ،ف َق َال ال َّر ُج ُلَ :ف ِ إ�نَّ ُف َلانًا َيزْعُ ُم، َق َال ِ :إ� َّنهَا َح َل ٌ الَ ،ف َق َال :لَ َقدْ عَ ِل َم َ�أنَّ َر ُس َ ول ال َّل ِه ﷺ “ نَهَى ع َْن ُم ْت َع ِة الن َِّس ِاء َي ْو َم َخ ْي َب َر َو َق َال: ين «ه َي َح َرا ٌم» َ ،و َما ُكنَّا ُم َسا ِف ِح َ ِ �أن رجلا أ س�ل عبد الله بن عمر عن المتعة قال
حرام فقال �إن فلانا يقول فيها فقال والله لقد علم �أن رسول الله ﷺ حرمها يوم خيبر وما كنا مسافحين
1. Daftar Rawi Sanad Untuk mengetahui lahir-wafat, rutbah jarh wa ta’dil dan thabaqaḧ� rawi sanad dibuat daftar dengan menggunakan kitab Tahdzîb al-Kamal (al-Miziy), Tahdzîb al-Tahdzîb (Ibn Hajar al‘Asqalaniy), Mizan al-I’tidal (al-Dzahabiy), dan kitab lain yang dibutuhkan ketika tidak terdapat di dalam kitab yang telah disebutkan. Daftar rawi sanad hadis di atas adalah: Thabaqât
RJT
ST
Thdzb
T
S
1
صحابى
S
1
S S
S
185
1 1
1
)L/W (H
J
W 40
له صحبة
…
صحابى
73/74
صحابى
61
صحابى
60-80
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
L
4
Rawi Sanad
No
Ali bin Abi Thalib
1
Al-Husayn bin ‘Ali
3
Sabrah bin ‘Awsajah ‘Abdullah bin ‘Umar Tsa’labah bin alHakam
2 4 5
Husni dan Junaidi Abdillah
6
Muhammad bin Ali al-Hanafiyyah
80
8
Abdullah bin Muhammad
99
7 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 27 28 29 30 31
186
‘Ali bin al-Husayn Al-Hasan bin Muhammad
Salim bin ‘Abdillah Nafi’
Al-Rabi’ bin Sabrah Zayd bin ‘Ali
Simak bin Harb
80
Yahya bin Sa’id alAnshariy Abu Hanifah
Yunus bin Abi
80
Farwah al-Ghasaniy Manshur bin Dinar
93
ثقة ثبت
99/ 100
ثقة فقيه
106
ثبت عابد فاضل ثقة ثبت فقيه مشهور
120
ثقة
122
ثقة
123
ثقة ساء حفظه
143/144
ثقة ثبت
150
فقيه مشهور
125
الفقيه الحافظ
150
ثقة
...
140-an
Zufar bin al-Hudzayl
110
Malik bin Anas
93
179
106
181/182
‘Abd al-Wahhab bin `Abd al-Majî�d
110
194
Ibn Wahhab
125
Syarik bin ‘Abdillah bin Abi Syarik ‘Abdullah bin ‘Amr Isma’il bin ‘Iyasy Marwan bin Mu’awiyah
Muhammad b. Fudhayl
Al-Mu`affa bin `Imran al-Himyariy
ثقة
117
Ibn Syihab al-Zuhriy ‘Umar b. Muhammad al-‘Umariy
ثقة
101
مجهول قال ابن :َم ِعين ضعيف
158
177/178
:َق َال َ�أ ُبو ُز ْرعَ َة َصا ِلح 7
ٌِث َق ٌة َم ْأ�مُون
وثقه ابن معين إ�مام دار الهجرة
180
ثقة فقيه صدوق عن �أهل بلده
193
الحافظ وثقه ابن معين
195
ثقة شيعى
201
ٌَص ُد ْوق
197
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
ثقة حافظ عابد
2
S
3
T
3
T
4 3 3 3 4 4 4
T T T T T T T
6
TT
6
TT
6 6
TT TT
6
TT
8
TT
6
7
TT
TT
8
TTT
8
TTT
8 8 9 9 9
TTT TTT TTT TTT TTT
Syarah dan Kritik dengan Metode Takhrîj Hadits Tentang Nikah Mut’ah
32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58
Abu Ahmad alZubayriy Muhammad bin Idris al-Syâ� fi`iy ‘Utsman bin Dinar
Syaddad bin Hakim `Ubaydullah bin
150 124
Mû� sâ� al-`Î�siy Sulayman bin Dawud
Abu Humayd Ahmad bin Muhammad alAzdiy al-Himshiy
‘Ibad bin Muhammad Ahmad bin Muhammad bin alHajjâ� j Abu Syu’ayb
9
TTT
9
TTT
9
TTT
ثقة جليل
10
TTT
ثقة حافظ
10
TTT
الحافظ ثقة ثقة
10
TTTT
10
TTTT
10
TTTT
ثقة
10
TTTT
249
ثقة حافظ
10
TTTT
ثقة
10
TTTT
252
ثقة ثبت
10
TTTT
ثقة
10
TTTT
264
صدوق
11
TTTT
11
TTTT
213 219
240 246 167 167 170
252 264
متروك
‘Ali bin Harb
Hamdan bin Dzi alNun al-Lakhmiy
لا شيء مستقيم الحديث ثقة يتشيع
المجدد
204
239
Muhammad bin Mirwan al-Qathan
Ahmad bin Muhammad bin Sa’id Muhammad b. ‘Abdillah b. ‘Abd al-Hakam Muhammad bin Ahmad bin al-Husayn Ishâ� q bin Yasâ� r bin Muhammad Muhammad bin Isma’il al-Sha`igh
TTT
235
Mahmud bin Ghaylan
Yunus bin ‘Abd al-A’la
209
9
220
Surayj bin Yunus
Muhammad bin Basyar Muhammad bin alMutsanna
ثقة ثبت
219
‘Abdullah bin Ja’far al-Raqqiy Bakr bin Khalf Muhammad bin Yahya bin Fayadl ‘Umar bin ‘Ali
203
182
188
TTT
265
صدوق
11
TTTT
267
صدوق
11
TTTT
268
ثقة
11
TTTT
250-an
صدوق
11
TTTT
ثقة حافظ
11
TTTT
صدوق
11
TTTT
273 276 282
281- 290
203
9
292 292
مستقيم الحديث
TTTT
مجهول متهم بالوضع
TTTT
ثقة أم�مون
12
TTTT
12
TTTT
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
187
Husni dan Junaidi Abdillah
59
Ja`far bin Muhammad
61
Abu ‘Awâ� nah
316
63
Husayn bin Muhammad bin Mawdud al-Haraniy
318
60
62
64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79
188
Al-Nasa`iy
207 215
Al-Baghawiy
Ja’far bin Muhammad bin Marwan alQathan Ahmad bin `Umayr bin Yusuf alDimasyqiy Al-Thahawiy
Al-Hasan bin ‘Ali alSarkhasiy
`Aliy bin Muhammad bin `Umar bin Hafsh Ahmad b. M. alHamadzaniy Ibn al-A’rabiy
Muntashir bin Muhammad
303
317
230 229
249 246
321 323 332
276
353
260
360
Muhammad bin Ahmad bin al-Husayn
مجهول الحال متهم بالكذب
ثقة أم�مون
`Abdullâ� h bin `Umar bin Ishâ� q al-Jawhariy
`Abd al-Malik bin Muhammad alRas`aniy
مجهول
…
346
279
ثقة ثبت
ثقة حافظ
247
Muhammad bin Ahmad bin `Abdillâ� h al-Dzuhliy
صدوق له غرائب
340 343
Al-Thabraniy
لا يحتج بحديثه9
320
217
Muhammad bin ‘Ali bin Hubaysy
ثقة �إمام حافظ 1
Khaytsamah bin Sulayman
Abu al-‘Abbas Muhammad b. Ya’qub
ثقة ثقة ثبت حافظ علماء الحديث و�أثباتهم
301
مجهول الحال
359 367
ُم َحدَّ ث عصره ثقة حافظ :قال �أبو ُن َعيم ثقة حافظ ثبت ثقة
مجهول الحال
377
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
ثقةثبت
12 12
TTTTT
13
TTTTT
13
TTTTT
12
TTTTT
13
TTTTT
TTTTT
13
TTTTT
13
TTTTT
TTTTT
14
TTTTT
13
TTTTT
14
TTTTT
14
TTTTT
14
TTTTT
14
TTTTT
15
TTTTT
15
TTTTT
15
TTTTT
15
TTTTT
16
TTTTT
Syarah dan Kritik dengan Metode Takhrîj Hadits Tentang Nikah Mut’ah
80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91
`Abdullah bin Muhammad bin `Abd al-Wahhab Khalf bin al-Qâ� sim bin Sahal al-Azdiy
289
382
Abu ‘Abdillah alHafizh Al-Hakim
321
405
Abu Bakar bin alHasan al-Qadhiy
325
Abu Zakariya bin Abi Ishaq Abu Nu’aym
Yahya bin `Aliy bin Ahmad al-Bukhariy Al-Bayhaqiy
`Abdullah bin `Aliy `Aliy bin `Abdillah bin `Aliy Ibn `Abd al Barr Al-Khathib alBaghdadiy
336 384
368 392
ثقة ثقة حافظ
393
إ�مام المحدثين ثقة نبي ًلا صالحا زاهدًا ً
414
ثقة
421 430 432 458
463 463
مجهول الحال مجهول الحال
ثقة وما كان به أب�س ثقة حافظ
حافظ �إمام فقيه ثقة حجة
16
TTTTT
17
TTTTTT
17
TTTTTTT
17
TTTTTTT
17
TTTTTTT
19
TTTTTTT
16
17
TTTTT
TTTTTT
18
TTTTTTT
19
TTTTTTT
18
TTTTTTT
19
TTTTTTT
2. Diagram atau Silsilah Sanad Dalam bentuk diagram, rawi sanad hadis di atas dapat dilihat pada gambar diagram atau silsilah sanad sebagaimana terlampir. D. Taqsîm atau Kualifikasi Hadis
Dilihat dari rawinya, hadis ini tidak termasuk kategori hadis mutawatir, karena memang jumlah râ� wiy tiap tingkatannya tidak mencapai jumlah mutawatir. Akan tetapi, secara keseluruhan hadis ini bisa dikatakan sebagai hadis ahad masyhur.29 Dari sisi matan, pernyataan larangan atau pengharaman nikah mut’aḧ� yang disebutkan Hadits masyhur diriwayatkan 3 (tiga) perawi atau lebih pada setiap thabaqaḧ(tingkatan) dan belum mencapai mutawatir. Muhammad bin ‘Abd al-Rahman bin Muhammad bin Abi Bakar bin ‘Utsman bin Muhammad al-Sakhawiy, al-Tawdhih al-Abhar li Tadzkirah Ibn al-Mulaqqin fi ‘Ilm al-Atsar, Pen-tahqî�q: ‘Abdullah bin Muhammad ‘Abd al-Rahim, (t.tp. Maktabah Adhwa` al-Salaf, 1998), h. 48 29
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
189
Husni dan Junaidi Abdillah
sahabat Nabi di sini tergolong marfû’, khususnya marfu’ hukmiy.30 Alhasil, hadis ini adalah shahî�h li dzâ� tih. Sedang dari aspek kebersambungan sanadnya, seluruh hadis yang berjumlah 19 jalur sanad, semuanya muttasil sampai kepada Rasû� lullah. Termasuk hadis dari Musnad Abi ‘Awanah nomor 4076, yang sanadnya hanya sampai ke Malik bin Anas, sepintas lalu dapat dikatakan terputus dan termasuk hadis mu’dhal.31 Akan tetapi kalau diperhatikan lebih teliti, maka akan kelihatan bahwa hadis tersebut bersambungan. Sebab Abu ‘Uwanah sendiri menuliskan “bi isnadih” (ǽƽƢǼLJƜƥ) yang memberikan isyarat bahwa hadis 4076 ini sesuai dengan sanad hadis sebelumnya, 4075, yang juga menyandarkan (dengan lafal yang sama, bi isnadih) kepada hadis 4074 yang memilii sanad lengkap dan bersambungan, seperti telah disebutkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa hadis ini juga bersambungan, sebagaimana bersambungannya hadis nomor 4074. E. Tashhîh & I`tibar
Berangkat dari penjelasan diagram pohon sanad, diketahui terdapat 12 hadis yang shahih li dzati, yaitu dariMusnad Zayd bin ‘Ali, Al-Umm li al-Syâfi`iy, Sunanal-Nasa`iy, Syarh Ma’aniy al-Atsar li alThahawiy,MusnadAbi ‘Awanah (nomor 4074, 4076, 4083 dan 7646), Mu’jam Ibn al-A’rabiy, Hilyah al-Awliya` li Abi Nu’aym, al-Sunan al-Kubra lial-Bayhaqiy serta al-Tamhîd li Ibn `Abd al-Barrkhusus yang melalui jalur Muhammad bin Ahmad al-Dzuhliy. Dari 12 tersebut, 9 hadis diriwayatkan oleh Shahabat `Ali t, yaitu hadis yang terdapat dalam Musnad Zayd bin ‘Ali, Al-Umm li alSecara lahiriyah matan hadis ini memang berasal (diucapkan) dari sahabat (mawqûf). Tetapi pada dasarnya ia menempati posisi hadis marfû’. Hadis yang termasuk kategori ini di antaranya yang menjelaskan tentang peristiwa-peristiwa masa lalu (seperti awal penciptaan), peristiwa masa depan (seperti hari kiamat), khabar tentang perbuatan yang dijamin pahala atau dosa secara spesifik, perbuatan sahabat yang tidak ada peluang ijtihad (seperti shalat kusuf yang dilakukan Ali, yang tiap rakaatnya lebih panjang dari dua rakaat shalat biasa), perkatan atau perbuatan yang dilakukan di masa Nabi tanpa kritikan. Termasuk di dalamnya adalah perkataan sahabat yang berisi perintah atau larangan dari Nabi. Lihat: Mahmud al-Thahhan, Taysir Mushthalah al-Hadits, (Iskandaria: Markaz al-Huda li al-Dirasat, 1415 H), h. 99100 31 Hadis mu’dhal adalah hadits yang sanadnya terputus dua orang rawi dalam dua thbaqahsecara berturut-berturut. 30
190
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Syarah dan Kritik dengan Metode Takhrîj Hadits Tentang Nikah Mut’ah
Syâfi`iy, Sunanal-Nasa`iy, MusnadAbi ‘Awanah (nomor 4074, 4076, dan 7646), Mu’jam Ibn al-A’rabiy, Hilyah al-Awliya` li Abi Nu’aym, serta alTamhîd li Ibn `Abd al-Barr sedangkan 3 hadis sisanya diriwayatkan oleh Sahabat Ibn `Umar t, yaitu Syarh Ma’aniy al-Atsar li al-Thahawiy, MusnadAbi ‘Awanah nomor 4083, al-Sunan al-Kubra lial-Bayhaqiy. Dan satu hadis yang masuk kategori hasan li dzatih, yaitu yang ada dalam Tarîkh al-Madînah al-Salâm li al-Khathîb al-Baghdâdiy karena di dalam rangkaian sanadnya terdapat Yahyâ� bin `Aliy yd dinilai Mâ Kâna bihi Ba`s oleh Khathî�b al-Baghdâ� diy, danAhmad bin `Umayr bin Yusuf al-Dimasyqiy yang dinilai shudûq oleh al-Dzahabiy. Sedangkan 6 hadis lain, yaitu yang dari Musnad Abiy Hanîfah, Mu`jam al-Shahâbah al-Baghawiy,32 MusnadAbi ‘Awanah No. 4084, Min Hadîts al-Khaytsamah, Mu`jam al-Awsath li al-Thabrâniy No. 3447 & 8600,33 adalah dinilai dla`î�f.Namun kemudian secara keseluruhan hadis-hadis tersebut beranjak martabatnya menjadi hasan li ghayrih, baik karena didukung oleh muttabi` maupun syâhid. F.
Tathbîq atau Aplikasi Hadis Dari sisi tathbîq, hadis larangan nikah mut’aḧ� pada perang Khaybar ini termasuk dalam kategori maqbul ma’mul bih. Dalam hal larangan mut’aḧ� , hadis-hadis tersebut bisa dikelompokan sebagai hadis muhkam. Tetapi kalau yang dimaksud adalah aspek sejarah pelarangannya, beberapa hadis di atas bisa dikategorikan sebagai hadis mukhtalif. Sebab terdapat berbagai riwayat lain yang menyebutkan bahwa objek larangan yang ditegaskan Nabi pada saat perang Khaybar itu adalah mengonsumsikeledai jinak.34 Ibn Qayyim malah menegaskan bahwa waktu pelarangan mut’aḧ� yang benar bukan pada perang Khaybar, melainkan pada saat fath Makkah.35
Mu’jam al-Shahabah al-Baghawiy (1181), sanadnya muttashil, tapi râ� wiynya tidak dhâ� bith, dua râ� wiy-nya majhul, yaitu Yunus bin Abi Farrah al-Ghasaniy dan ‘Ibad bin Muhammad. 33 Al-Mu’jam al-Awsath al-Thabraniy nomor 3447, sanadnya muttashil, tapi râ� wiynya tidak dhâ� bith. Karena al-Hasan bin ‘Ali al-Sarakhsiy adalah râ� wiy yang majhul. Dan terdapat Muntashir bin Muhammad yang termasuk râ� wiy majhul di hadis nomor 4084. 34 Ahmad bin ‘Ali Ibn Hajar Abu al-Fadhl al-‘Asqalaniy (773-852 H), Fath alBariy Syarh Shahîh al-Bukhariy, Penahkik: ‘Abd al-‘Aziz bin ‘abdillah bin Baz, (t.tp.: alMaktabah al-Salafiyyah, t.th.), Juz 9, h. 168 35 Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub bin Sa’d Syams al-Din Ibn Qayyim 32
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
191
Husni dan Junaidi Abdillah
Lebih lanjut Ibn Qayyim menjelaskan bahwa ada empat pendapat tentang waktu pengharaman nikah mut’aḧ� : Pertama, pada saat perang Khaybar, dan pendapat ini dianut oleh sebagian ulama, di antaranya adalah Imam al-Syafi’iy.36 Kedua, pada saat fath Makkah, dan ini merupakan pendapat Ibn ‘Uyaynah dan beberapa ulama lain. Ketiga, pada perang Hunayn. Pendapat ini pada dasarnya sama dengan pendapat kedua, karena perang Hunayn beriringan dengan fath Makkah. Keempat, pada saat haji Wada’. Sebagian râ� wiy meduganya sebagai perpanjangan dari fath Makkah.37 Sementara dasar Ibn Qayyim menetapkan bahwa waktu pelarangannya adalah saat fath Makkah adalah riwayat yang terdapat dalam Shahî�h Muslim yang menyebutkan bahwa para sahabat melakukan mut’aḧ� dengan izin Rasulullah saat fath Makkah. Kalau ia telah diharamkan saat perang Khaybar, maka yang terjadi adalah dua kali pe-naskh-an. Sementara itu, dua kali naskh itu adalah sesuatu yang mustahil dalam syari’ah dan tidak pernah terjadi sama sekali. Di samping itu, saat perang Khaybar tidak ada perempuan muslim sama sekali; adanya cuma permpuan Yahudi. Padahal pembolehan perempuan Yahudi terjadi jauh setelah perang Khaybar berlangsung. Sebelum fath Makkah, kaum Muslimin sendiri tidak pernah punya minat untuk menikahi perempuan-perempuan dari kalangan musuh mereka.38 G. Mufradât dan Maksud Lafal
Dari 14 mashâdir ashliyah, yang secara detail hadisnya berjumlah 19 buah, jika dikelompokkan berdasarkan kemiripan redaksi, maka didapatkan 7 kelompok hadis sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Dalam redaksi intinya, 11 hadis menggunakan frasa ()نهى al-Jawziy (691-751 H), Zad al-Ma’ad fi Huda Khayr al-‘Ibad, Pen-tahqî�q: Syu’ayb alArna`uth dan ‘Abd al-Qadir al-Arna`uth, (Beirut: Mu`assasah al-Risalah, 1998), Juz 5, h. 101-102 36 Hadis dengan matan yang sama dijadikan dasar pengharaman mut>aḧ� oleh al-Syafi’iy. Muhammad bin Idris al-Syafi’iy (150-204 H), al-Umm, Pen-tahqî�q: Rif’at Fawziy ‘Abd al-Muthalib, (Manshurah: Dar al-Wafa`, 2001), Juz 8, h. 434. Juga: Muhammad bin Idris al-Syafi’iy (150-204 H), al-Umm, Pen-tahqî�q: Hassan ‘Abd alMannan, (Amman: Bayt al-Afkar al-Dawliyyah, t.th.), h. 1477-1478 37 Ibn Qayyim, Zad…, Juz 3, h. 403 38 Ibid., h. 403-404
192
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Syarah dan Kritik dengan Metode Takhrîj Hadits Tentang Nikah Mut’ah
untuk mengartikulasikan bentuk pelarangan, 7 hadis menggunakan frasa ()ح ّرم, serta satu hadis awalnya menggunakan frasa ()نهى, kemudian ditegaskan dengan frasa ()حرم. Selain karena sudah maklum sesuai kaidah ushul, bahwasanya hukum asal dari pelarangan itu adalah menunjukkan hukum haram,39juga karena dalam redaksi hadis lain, jelas tersurat frasa ()حرم, sehingga sudah dapat dipastikan bahwa yang dimaksud dengan larangan dalam hadis ini adalah bermakna haram jika dilakukan. Kemudian dalam substansi perbuatan mukallaf yang dilarangnya, yaitu nikah mut`ah, dari 19 buah hadis, hanya 2 hadis yang menggunakan frasa (3 ,) نكاح المتهةhadis dengan frasa ( )المتعةsaja, serta sisanya 13 hadis menggunakan frasa ()متعة النساء. Namun meski demikian, tidak ada perbedaan mendasar, bahkan ketiga bentuk kalimat tersebut menunjukkan ke arah makna yang sama, yaitu nikah mut`ah yang didefinisikan sebagai bentuk perkawinan yang dibatasi oleh waktu, baik tertentu/pasti maupun tidak ditentukan, yang kemudian perkawinan tersebut berakhir sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan dengan tanpa memerlukan talak.40 Mut’ah berasal dari mata’a, yamta’u, mat’an wa mut’atan yang berarti kesenanganatau kenikmatan. Secara umum nikah mut’ah bisa diartikan sebagai perkawinan dengan akad dan jangka waktu tertentu. Ada pula ulama fikih yang mendefinisikannya dengan “akad seorang laki-laki kepada wanita tertentu, sepertisehari, seminggu, atau sebulan”.Defenisi lain yang hampir sama juga dikemukakan oleh ulama madzhab Syafi’idan Maliki, yang pada dasarnya menunjuk adanya pembatasan waktu tertentu.Menurut ulama madzhab Syafi’i, madzhab Hanbali, dan Madzhab Maliki, nikah mut’ahdisebut juga dengan nikah muaqat (nikah yang dibatasi waktunya). Akan tetapi, ulamamadzhab
Sebagaimana dikutip oleh al-Isnawiy (w. 772 H) dan al-Zarkasyiy (w. 794 H), al-Imam al-Syâ� fi`iy menyatakan ketika membahas al-Ilal fiy al-Ahâ� dî�ts dalam kitabnya al-Risâ� lah, bahwa sesuatu yang dilarang oleh Rasû� lullâ� h maka hukumnya haram, kecuali terdapat dalil yang menunjukan bahwa hal tersebut tidak haram (َو َما ُ )نَهَى عَ ْن ُه َر ُس. Lihat َف ُه َو عَ َلى الت َّْح ِر ِيم َحتَّى يَ ْأ� ِت َي َد َلالَ ٌة َع َلى َ�أ َّنهَا �إ َّن َما َ�أ َرا َد ِب ِه َغ ْي َر الت َّْح ِر ِيم- َص َّلى ال َّل ُه عَ َل ْي ِه َو َس َّل َم- ول ال َّل ِه `Abdurrahmâ� n bin Hasan al-Isnawiy, Nihâyah al-Sawl Syarh Minhâj al-Wushûl, (Beirut: Dâ� r al-Kutub al-`Ilmiyah, 1420), h. 178, dan Badruddî�n Muhammad al-Zarkasyi, alBahr al-Muhîth fiy al-Ushûl al-Fiqh, (t.t: Dâ� r al-Kitabiy, 1414), juz. 3, h. 366. 40 Wizâ� rah al-Awqâ� f, al-Mawsû`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah, (Kuwait: Thaba`a al-Wizâ� rah, 1427), juz. 41, h. 333. 39
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
193
Husni dan Junaidi Abdillah
Hanafi ada perbedaan antara nikah mut’ah dan muaqqat. Akad dalam nikah mut’ah menggunakan kata-kata mut’ah seperti kalimat mata’tuka nafsi. Sedangkan pada nikah muaqqat tidak demikian.41 Nikah mut’ah disebut juga nikah munqati’ (terputus). Dalam seluruh hadis ini pun dijelaskan waktu pelarangan nikah mut`ah tersebut dengan frasa ( )عام خيبرdalam satu hadis, sedangkan sisanya 18 hadis menggunakan frasa ()يوم خيبر, maknanya sama saja yaitu pada saat perang Khaybar. Selanjutnya ada 4 hadis yang dalam redaksinya terdapat dialog antara seorang sahabat dengan Ibn `Umar, mempertanyakan tentang hukum nikah mut`ah, sementara sebagian sahabat ada yang menilainya halal. Kemudian Ibn `Umar menjawab bahwaRasulullâ� h telah melarang dan mengharamkannya, serta ditambahkan bahwa kita semua, umat Islam, bukanlah kelompok orang-orang yang suka melacur (كن مسافحين ّ )وما.
H. Asbâbal-Wurûd Perang Khaibar terjadi di penghujung bulan Muharram tahun 7 Hijriah. Khaibar adalah nama daerah yang dihuni oleh orang-orang Yahudi, terletak 100 mil dari Madinah, di belahan utara ke arah Syam (Syiria). Setelah mengadakan perdamaian dengan pihak Quraisy, melalui Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw. memfokuskan perhatian untuk mengatasi kemelut yang ditimbulkan oleh orangorang Yahudi yang bersekutu, selain orang-orang Yahudi yang tinggal di seputar Madinah. Kemelut dengan orang-orang Yahudi yang disebut terakhir ini untuk sementara telah dianggap beres. Orang Yahudi Khaibar cukup berbahaya. Sebab, mereka punya tentara sebanyak 10.000 orang, wilayah mereka berbenteng sangat kuat, memiliki perlengkapan senjata yang cukup banyak, dan cerdik mengadu domba, menghasut dan kasak-kusuk. Lambat atau cepat mereka pasti membahayakan kaum Muslimin. Oleh karena itu Nabi mempersiapkan pasukan yang akan 41 Dalam pandangan Hanafi, keharaman mut’ah telah jadi ijma’ sahabat. Hanafi jugamengemukakan beberapa penjabaran mengenai perbedaan hadis dan penafsiran sahabat tentang mut’ah.Lebih lengkap lihat: As-Sarkhosyi, 1993, AlMabsuth, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah), juz.5, h. 155.
194
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Syarah dan Kritik dengan Metode Takhrîj Hadits Tentang Nikah Mut’ah
berangkat ke Khaibar pada penghujung bulan Muharram tahun itu juga. Pasukan ini berkekuatan 1.600 orang. Hanya 200 orang saja yang mengendarai kuda.Perang Khaibar menelan korban 93 orang dari pihak Yahudi dan 15 orang dari pihak Islam. Dari sekilas penjelasan perang Khaibar tersebut, jelaslah bahwasanya di wilayah Khaibar, mayoritas wanita-wanita tersebut adalah kaum Yahudi. Oleh karenanya, Ibn Qayim berpendapat, pada saat perang Khaybar sebenarnya tidak terjadi nikah mut`ah, sehubungan saat itu wanita-wanita di lokasi adalah bangsa Yahudi yang tidak boleh dinikahi. Sehingga hadis pelarangan nikah mut`ah itu yang tepat adalah bukan pada saat perang Khaibar, melainkan pada saat penaklukan Mekah. Namun kondisi tersebut menurut Ibn Hajar al-`Asqalaniy, tidak berarti menafikan adanya nikah mut`ah pada saat perang Khaybar.42 Dan hal ini pun sebenarnya tidak mempengaruhi terhadap kesahihan hadis-hadis tentang pelarangan nikah mut`ah pada saat perang Khaibar. I. Istinbath Ahkam dan Hikmah
Merujuk kepada poin tashhih, ketika sudah jelas bahwasanya hadis tentang pelarangan nikah mut`ah itu adalah sahih, maka para ulama sepakat menghukumi haram terhadap perbuatan nikah mut`ah, dan selain itu, akad yang dilakukannya pun dinilai batal.43 Sehingga dengan batalnya akad nikah mut`ah, maka sejatinya setelah akad dilangsungkan, tidak ada istilah suami dan isteri, juga darinya tidak timbul hukum saling mewarisi. Demikian pula tidak diwajibkan kepada laki-laki pelaku nikah mut`ah untuk memberikan mahar, dan nafkah. Namun jika saja terjadi hubungan intim, maka ia wajib membayar mahar mitsil. Serta jika dari nikah mut`ah itu melahirkan keturunan, maka anak tersebut dapat di-ilhaq-kan kepada bapak biologisnya, karena dalam hal ini terdapat unsur syubhat, yaitu syubhat al-`aqd. Dan selain itu, jika telah terjadi hubungan intim, maka semenjak itu terdapat hubungan mushaharah (kemertuaan), baik dari laki-laki maupun wanitanya kepada anak-anak dan orangtua masing-masing. Adapun hikmah dilarangnya nikah mut’ah, khususnya Ibn Hajar al-`Asqalaniy, Fath al-Bâriy Syarh Shahîh al-Bukhâriy, (Beirut: Dâ� r al-Ma`rifah, 1379), j. 9, h. 170. 43 Wizâ� rah al-Awqâ� f, al-Mawsû`ah….j. 41, h. 334. 42
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
195
Husni dan Junaidi Abdillah
di kalangan kaum Sunni adalah untuk menjaga martabat wanita itu sendiri. Dengan melihat syarat dan rukun nikah mut’ah yang sangat ‘sederhana’, maka wanita tak ubahnya bagai barang mainan, yang pada akhirnya dapat menjerumuskan seorang wanita dalam lembah pelacuran terselubung. Karena wanita yang dinikahi dengan menggunakan cara nikah mut’ah pada hakikatnya hanya untuk pemuas nafsu belaka (bersenang-senang dalam waktu sesaat). Padahal dalam Islam, lembaga pernikahan dibentuk dalam rangka menjunjung harkat dan martabat wanita. Syarat dan rukun nikah adalah salah satu bentuk nyata bagaimana Islam memuliakan wanita. Tanpa memenuhi syarat dan rukun nikah, maka seorang laki-laki tak akan bisa menikahi seorang wanita dan membentuk sebuah lembaga pernikahan. Tujuan disyari’atkannya lembaga pernikahan adalah untuk mewujudkan keluarga yang bahagia, sakinah, mawaddah wa rahmah. Usaha mewujudkan keluarga bahagia, sakinah mawadah wa rahmah tidak dapat diwujudkan hanya dalam waktu sesaat atau dalam waktu singkat (sehari atau dua hari), namun diperlukan rentang waktu yang panjang dengan pembinaan yang simultan antara suami dan isteri. Karena pada tahapan selanjutnya, tugas lembaga pernikahan adalah membentuk peradaban dan menjadi khalifah di muka bumi (dunia). J. Musykilat fi Tafhim dan Tathbiq
Selain memiliki tujuan ideal membentuk keluarga bahagia sakinah, mawaddah wa rahmah, pernikahan juga menjadi benteng dari salah satu dosa besar yang disebutkan Nabi, yaitu zina. Artinyya, kesenagnan yang diharapkan melalui perzinaan, yang secara tegas diharamkan, dapat dipenuhi melalui pernikahan, yang secara tegas dinyatakan halal. Akan tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa terdapat sementara orang yang merasa “tertantang” untuk mencoba menikmati kesenangan terlarang dan berupaya agar hubungan itu tidak berubah menjadi haram. Dalam konteks ini, kebetulan mut’aḧ� dapat dijadikan sebagai solusi. Entah merupakan suatu pemahaman yang bersifat kebetulan atau Allah menghendaki seperti itu, di dalam al-Qur’an memang ada cantolan yang dapat dijadikan sebagai pijakan pembenarannya, yaitu surat al-Nisâ� ` [4] ayat 24 seabgaimana telah disebutkan di atas. Kalau dianalisa lebih dalam, setidaknya ada empat persoalan mendasar yang harus jadi perhatian agar maksud hadis di atas, 196
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Syarah dan Kritik dengan Metode Takhrîj Hadits Tentang Nikah Mut’ah
pengharaman mut’aḧ� , dapat direalisasikan secara maksimal. Pertama, pemahaman terhadap surat al-Nisâ� ` [4] ayat 24. Lengkapnya ayat tersebut berbunyi:
ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘﭙ ﭚ ﭛ ﭜﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Menurut penulis, ayat tersebut menghendaki laki-laki dan perempuan menjadi muhshan, karena memang perkawinan yang sah, bukan dengan yang haram, akan membuat seseorang menjadi terhormat dan terpelihara dari maksiat. Oleh karena itu, silahkan kawin dengan perempuan yang dihalalkan, selain yang perempuan yang telah disebutkan pada ayat sebelumnya, bukan semata-mata untuk mencari “kesenangan”. Kesenangan di sini, dalam ayat tersebut disebutkan dengan menggunakan kata istamta’ (yang seakar dengan kata mut’aḧ� ). Ketika perkawinan dan hubungan suami isteri telah dilakukan, apapun yang terjadi setelahnya (bercerai atau tidak), maka wajib menyerahkan mahar yang menjadi hak si perempuan (isteri). Artinya, bolehnya menikmati kesenangan (istimtâ� ’) dalam ayat itu merupakan akibat hukum dari akad nikah yang sah yang telah dilakukan; bukan kesenangan yang terpisah dari akad nikah yang sah tersebut. Akad nikah yang dimaksud tentu saja akad nikah ideal, yang memenuhi syarat dan rukun, serta tidak dikaitkan dengan syarat yang bertentangan dengan tujuannya. Dalam konteks ini, penentuan batas waktu pernikahan merupakan sesautu yang tidak sejalan dengan Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
197
Husni dan Junaidi Abdillah
tujuan nikah. Sebab indikasi yang muncul dari pernyataan benci Allah terhadap thalak menghendaki pernikahan itu tanpa batas waktu. Kedua, tak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa hadis (tidak popular?) yang memberikan peluang pembenaran mut’aḧ� . Dalam hal ini, karena keterbatasan waktu dan sumber, penulis hanya menelusuri hadis-hadis yang dalam khazanah Sunniy. Di antaranya adalah hadis yang terdapat dalam musnad Ahmad berikut:
: َق َال، َع ْن ِع ْم َرا َن ْب ِن ُح َص ْي ٍن، َع ِن ا ْل َح َس ِن، ٌ َ�أ ْخ َب َرنَا ُح َم ْيد،ٌ َحدَّ ثَنَا َح َّماد،َحدَّ ثَنَا َع َّف ُان 44 َو َل ْم َين ِْز ْل ِفيهَا َنه ٌْي، َف َل ْم َي ْن َهنَا َع ْنهَا تَ َم َّت ْعنَا َع َلى َعه ِْد ال َّن ِب ِّي
Telah menyampaikan hadis ‘Affan, telah menyampaikan hadis Hammad, telah mengkhabarkan Humayd, dari al-Hasan dari ‘Imran bin Hushayn, katanya: “Kami melakukan mut’aḧ di masa Nabi SAW, sementara beliau tidak melarang kami, dan tidak ada (wahyu) yang diturunkan yang melarangnya.
Hadis di atas tidak termasuk hadis shahî�h, karena ia adalah pernyataan sahabat (mawqû� f) dan di dalam terdapat dua râ� wiy yang cacat yaitu Humayd dan al-Hasan. Mereka berdua memang diakui seabgai tsiqaḧ� . Akan tetapi keduanya popular sebagai râ� wiy yang suka melakukan tadlis. Al-Hasan bukan hanya popular sebagai râ� wiy yang suka tadlis, ia juga popular sabgai râ� wiy yang benyak melakukan irsal. Kalau matan hadis di atas mau diterima, tapi ia bertentangan dengan matan hadis yang jauh lebih kuat darinya, yang menyatakan bahwa Rasulullah telah melarang nikah mut’aḧ� dan menyatakan keharamannya sampai hari kiamat. Hadis di atas justru akan lebih lemah posisinya kalau disandingkan dengan pendapat yang menyatakan bahwa kebolehan nikah mut’aḧ� telah di-nasakh oleh aturan tentang nikah, ‘iddah, dan kewarisan. Ada beberapa kelemahan yang membuat nikah mut’aḧ� tidak dapat dipertahankan. Di bidang kewarisan, misalnya, nikah Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad alSyaybaniy (164-241 H), Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Pen-tahqî�q: Sy’ayb alArna`uth, dkk., (Beirut: Mu`assasah al-Risalah, 1999), Juz 33, h. 165. Hadis dengan matan yang sama juga dapat ditemui dalam al-Mu’jam al-Kabir al-Thabraniy. Sulayman bin Ahmad al-Thabraniy, al-Mu’jam al-Kabir li al-Thabraniy, Pen-tahqî�q: Hamdiy ‘Abd al-Majid al-Salafiy, (Mosul: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hukm, 1983), h. 4333 44
198
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Syarah dan Kritik dengan Metode Takhrîj Hadits Tentang Nikah Mut’ah
mut’aḧ� sama sekali tidak memunculkan hubungan kewarisan antara suami-isteri mut’aḧ� . Hal itu justru memperlemah posisi perempuan dalam wacana hukum secara keseluruhan. Sebab persoalan kewarisan bukan hanya masalah bagian harta, tapi berkaitan dengan penempatan perempuan sebagai “bagian” dari keluarga, yang ia melahirkan anak si laki-laki tersebut dan bertanggung jawab atas pendidikan mereka. Ketiga, nikah yang sah merupakan salah satu media mewujudkan salah satu maqâ� shid al-syarî�’ah, yaitu memelihara keturunan dan kehormatan. Tak dapat dipungkiri bahwa mut’aḧ� , sesuai dengan penamaannya dengan istimtâ’, dilakukan lebih banyak karena dorongan kesenangan. Agar kesenangan itu maksimal, maka kedua belah pihak akan berupaya meminmalisir hal-hal yang akan mengganggunya, seperti keturunan dan tanggung jawab jangka panjang (makanya batas waktu jadi sangat penting). Sampai di sini saja sudah kelihatan bahwa para pihak hanya bersedia dapat “untung”, tapi mengelak dari tanggung jawab. Sikap seperti itu justru tidak sejalan dengan pesan Nabi SAW berikut:
ٍ َع ْن َم ْخلَ ِد بْ ِن ُخفَا،ب ٍ َح َّدثَنَا ابْ ُن أَ�بِي ِذ ْئ،َح َّدثَنَا أَ� ْح َم ُد بْ ُن يُونُ َس َع ْن َعا ِئ َش َة،َ َع ْن ُع ْر َوة،ف 45 ِالض َما ِن َّ ا ْل َخ َر ُاج ب: قَا َل َر ُسو ُل ال َّل ِه َص َّلى ال َّل ُه َعلَ ْي ِه َو َس َّل َم: قَا َل ْت،َر ِض َي ال َّل ُه َع ْن َها
Telah menyampaikan hadis Ahmad bin Yunus, telah menyampaikan hadis Ibn Abi Dzi’b dari Mukhallad bin Khufaf dari ‘Urwah dari A’isyah ra., katanya: “Rasulullah SAW bersabda: “Keuntungan dengan jaminan (tanggung jawab)”.
Anggap saja tidak dilakukan “penghentian” kelahiran. Akan tetapi anak-anak yang lahir dari nikah mut’aḧ� seperti itu akan memperrumit tata hubungan dan tata hukum masyarakat Islam saat ini. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah secara fikih, tapi tidak
Abu Dawud, Sunan…. Juz 3, h. 284. Sumber lain untuk substansi yang sama: Ahmad bin Syu’ayb Abu ‘Abd al-Rahman al-Nasa`iy (w. 303 H), Sunan al-Nasa`iy (bi Ahkâm al-Albaniy), Pen-tahqî�q: Abu ‘Ubaydah Masyhur bin Hasan Al Salman, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, t.th.), h. 688. Al-Nasa`iy, al-Sunan…, Juz 6, h. 18. Muhammad bin ‘Isa bin Sawrah bin Musa bin al-Dhahhak al-Tirmidziy (209-297 H), al-Jâmi’ alKabir (Sunan al-Tirmidziy), Pen-tahqî�q: Basysyar ‘Awwad Ma’ruf, (Beirut: Dar alGharb al-Islam, 1996), Juz 2, h. 561. Ibn Majah, al-Sunan…, Juz 3, h. 353. Juz 40, h. 272. Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban bin Mu’adz bin Ma’bad al-Tamimiy Abu Hatim (w. 354 H), Shahîh Ibn Hibban bi Tartib Ibn Bilban, Pen-tahqî�q: Syu’ayb alArna`uth, (Beirut: Mu`assasah al-Risalah, t.th.), Juz 11, h. 298. Al-Thayalasiy, Musnad…, Juz 3, h. 73. Dan masih banyak sumber lain. 45
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
199
Husni dan Junaidi Abdillah
dicatatkan, saja saat ini sudah membuat perdebatan dan kekhawatiran para pakar hukum; memunculkan gejolak dan kritikan dari para pihak yang mengambil posisi “membela” si anak. Serta memusingkan para perumus dan penegak hukum. Keempat, satu hal yang tak dapat dipungkiri adalah munculnya fenomena desakralisasi ikatan perkawinan yang sudah mengglobal. Awalnya, hampir semua peradaban menganggap bahwa menikah adalah pranata social yang harus diikuti oleh masyakat beradab. Meskipun dari dulu perzinaan tetap saja terjadi, tapi pernikahan tetap saja jadi ikatan yang dicita-citakan dan dianggap sebagai jalan yang harus ditempuh. Namun secara perlahan, berawal dari dunia belahan Barat, ikatan yang mengatur hubungan laki-laki dan perempuan mulai semakin longgar. Hubungan yang awalnya hanya “dihalalkan” antara suami isteri dapat dilakukan tanpa kecaman dan tanpa rasa malu. Anak yang dilahirkan dari hubungan itupun sudah tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang menjadi ‘aib bagi orang tuanya. Konsekwensi logisnya, kalau hubungan itu dapat dilakukan tanpa nikah dan kalau anak yang dilahirkan tetap jadi anak sah mereka berdua, maka tidak ada lagi arti penting pernikahan formal. Justru nikah formal itu akan menjadi “ikatan” yang membebani para pihak. Sementara dalam Islam, sakralitas pernikahan terletak bukan pada pembolehan hubungan suami isteri dan keabsahan anak. Sakralitas pernikahan itu justru terletak pada kepatuhan kepada Allah Sang Khalik dan pengikutan kepada Sunnah Muhammad sang Rasul. Di sinilah letak tawhid dalam nikah, dan di sinilah perbedaan paling fundamental antara pernikahan dalam Islam dengan pernikahan di luarnya. Kecenderungan umum yang berlaku, di manapun dan kapanpun, selama tidak sejalan dengan maqâ� shid al-syarî�’ah, selamanya dilarang Allah untuk diikuti. Cukuplah kita renungkan pesan Allah dalam surat al-An’â� m [6] ayat 116 berikut:
ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ
ﯩﯪﯫﯬ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)
200
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Syarah dan Kritik dengan Metode Takhrîj Hadits Tentang Nikah Mut’ah
Kelima, satu kecenderungan yang dimiliki oleh seluruh manusia, dengan variasi yang relative berbeda, adalah dorongan psikis untuk melakukan sesautu yang aneh, unik, menantang, atau malah menyimpang. Bahasa sederhana yang digunakan al-Qur’an adalah thaghâ, musrif (isrâf), baghâ, ‘âdûn, zhulmdan sebagainya.46Dalam konteks hubungan suami-isteri, hubungan yang secara meyainkan dibolehkan adalah hubungan yang didasari oleh nikah yang sah. Orang-orang yang melakukan watha` dalam ikatan seperti itulah yang termasuk orang yang menjaga furuj, seperti dimaksud surat al-Mu’minun. Sementara orang yang mencari-cari jalan lain di luar itu, merekalah yang disebut sebagai orang yang melampai batas (alMu`minû� n [23] ayat 7). Kalau hubungan laki-laki perempuan, khususnya hubungan kelamin, dipilah mengikuti pemilahan lazim hukum Islam, maka hubungan yang halal adalah yang didasari nikah yang sah. Sedang hubungan yang haram adalah zina. Sementara yang ada di antara keduanya, salah satunya, adalah mut’aḧ� . Untuk yang berniat baik meninggalkan mut’aḧ� , sudah cukup kuat pesan Nabi berikut dijadikan sebagai sandaran:
َّ َع ِن، َع ِن ا ْب ِن َع ْو ٍن، َحدَّ ثَنَا ا ْب ُن َ�أ ِبي َع ِد ٍّي،َحدَّ ثَ ِني ُم َح َّم ُد ْب ُن ا ْل ُم َثنَّى َس ِم ْع ُت،الش ْع ِب ِّي َحدَّ ثَنَا ا ْب ُن، َع ِل ُّي ْب ُن َع ْب ِد ال َّل ِه َس ِم ْع ُت ال َّن ِب َّي:ُال ُّن ْع َما َن ْب َن بَ ِش ٍير َر ِض َي ال َّل ُه َع ْنه َّ َع ِن، َحدَّ ثَنَا َ�أ ُبو َف ْر َو َة،ُع َي ْي َن َة َس ِم ْع ُت: َق َال، َس ِم ْع ُت ال ُّن ْع َما َن ْب َن بَ ِش ٍير: َق َال،الش ْع ِب ِّي َّ َس ِم ْع ُت، َع ْن َ�أ ِبي َف ْر َو َة، َحدَّ ثَنَا ا ْب ُن ُع َي ْي َن َة،و َحدَّ ثَنَا َع ْب ُد ال َّل ِه ْب ُن ُم َح َّم ٍدr ال َّن ِب َّي ،الش ْع ِب َّي َ�أ ْخ َب َرنَا،و َحدَّ ثَنَا ُم َح َّم ُد ْب ُن َك ِث ٍيرr َع ِن ال َّن ِب ِّي،َُس ِم ْع ُت ال ُّن ْع َم َان ْب َن بَ ِش ٍير َر ِض َي ال َّل ُه َع ْنه َّ َع ِن، َع ْن َ�أ ِبي َف ْر َو َة،ُس ْف َي ُان : َق َال،ُ َع ْن ال ُّن ْع َم ِان ْب ِن بَ ِش ٍير َر ِض َي ال َّل ُه َع ْنه،الش ْع ِب ِّي ُ ا ْل َح َل: َق َال ال َّن ِب ُّي َف َم ْن تَ َر َك َما ُش ِّب َه،ال بَ ِّي ٌن َوا ْل َح َرا ُم بَ ِّي ٌن َوبَ ْي َن ُه َما ُ�أ ُمو ٌر ُم ْش َت ِبه ٌَة َ�أ ْو َش َك، َو َم ِن ا ْج َت َر َ�أ َع َلى َما يَ ُش ُّك ِف ِيه ِم َن ا ْل ِ إ� ْث ِم، َك َان ِل َما ْاس َت َب َان َ�أ ْت َر َك،َع َل ْي ِه ِم َن ا ْل ِ إ� ْث ِم Penegasan tentang kecenderungan dasar manusia untuk melampaui batas ini dapat dilihat salah satunya dalam surat al-’Alaq [96] ayat 6. Sementara di antara ancaman buat orang-orang yang melampaui batas dapat ditemukan dalam al-Nâ� zi’â� t [79] ayat 37-39 dan al-Nabâ� ` [78] ayat 21-22 46
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
201
Husni dan Junaidi Abdillah
وش ْك َ�أ ْن ُي َوا ِق َع ُه ِ َوا ْل َم َع،َ�أ ْن ُي َوا ِق َع َما ْاس َت َب َان ِ اصي ِح َمى ال َّل ِه َم ْن َي ْرتَ ْع َح ْو َل ا ْل ِح َمى ُي
)(رواه البخاري
47
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu ‘Adiy dari Ibnu ‘Aun dari AsySa’biy aku mendengar An-Nu’man bin Basyir radliallahu ‘anhuma aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan diriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin ‘Abdullah telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah telah menceritakan kepada kami Abu Farwah dari Asy-Sa’biy berkata, aku mendengar An-Nu’man bin Basyir telah menceritakan kepada kami berkata, aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan diriwayatkan pula ‘Abdullah bin Muhammad dari Ibnu ‘Uyainah dari Abu Farwah aku mendengar Asy-Sa’biy aku mendengar An-Nu’man bin Basyir radliallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Abu Farwah dari Asy-Sa’biy dari An-Nu’man bin Basyir radliallahu ‘anhu berkata, telah bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada perkara yang syubhat (samar). Maka barangsiapa yang meninggalkan perkara yang samar karena khawatir mendapat dosa, berarti dia telah meninggalkan perkara yang jelas keharamannya dan siapa yang banyak berdekatan dengan perkara samar maka dikhawatirkan dia akan jatuh pada perbuatan yang haram tersebut. Maksiat adalah larangan-larangan Allah. Maka siapa yang berada di dekat larangan Allah itu dikhawatirkan dia akan jatuh pada larangan tersebut”.
K. Penutup Dari paparan sebelumnya dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat 20 hadis yang menjelaskan tentang larangan nikah mut’aḧ� tanpa larangan mengonsumsi keledai jinak. 2. Dari sisi rawinya, seluruh hadis tersebut termasuk kategori hadis ahâd masyhur. Dari sisi matannya, semua hadis tersebut termasuk marfû’ hukmiy. Sedang dari kebersambungan sanadnya, semua hadis tersebut termasuk hadis muttasil. Alhasil, semua hadis tersebut adalah shahîh li dzâtih. Al-Bukhariy, al-Jâmi’…, Pen-tahqî�q: M. Fu`ad ‘Abd al-Baqiy, Juz 2, h. 74
47
202
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Syarah dan Kritik dengan Metode Takhrîj Hadits Tentang Nikah Mut’ah
Daftar Pustaka A.J. Weinsinck (w. 1939), al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Hadîts, (Leiden: Briel, Juz 7, 1969)
A.J. Weinsinck (w. 1939), Miftah Kunuz al-Sunnah, Penerjemah: Muhammad Fu`ad ‘Abd al-Baqiy, (Lahore: Idarah Tarjuman alSunnah, 1978). Abd al-Fattah bin al-Sayyid ‘Ajamiy bin al-Sayyid al-‘Asas al-Murshifiy al-Mishriy (w. 1409 H), Hidayah al-Qariy Ila Tajwid Kalam alBariy, (Madinah: Maktabah Thabiyyah, Juz 2, t.th.)
Abdullah bin ‘Abd al-Rahman al-Darimiy al-Samarqandiy (181-255 H), Sunan al-Darimiy, Penahkik: Fawaz Ahmad Zumarliy dan Khalid al-Sab’ al-‘Alimiy, (Karaci: Qadimiy Kutub Khanah, Juz 3, t.th.) Abdurrahmâ� n bin Hasan al-Isnawiy, Nihâyah al-Sawl Syarh Minhâj alWushûl, (Beirut: Dâ� r al-Kutub al-`Ilmiyah, 1420)
Abi ‘Abd al-Rahman Ahmad bin Syu’ayb bin ‘Ali al-Nasa`iy (215-303 H), Sunan al-Nasa`iy, Penahkik: Muhammad Nashir al-Din alAlbaniy, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, t.th.). Abi ‘Abdillah Muhammad bin Yazid Ibn Majah al-Qazwayniy, al-Sunan, Penahkik: Syu’ayb al-Arna`uth, (Damaskus: Dar al-Risalah al‘Alimiyyah, Juz 3, 2009)
Abi al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayriy al-Naysaburiy, Shahîh Muslim, Penahkik: Muhammad Fu`ad ‘Abd al-Baqiy, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Juz 2, 1991)
Abi Hatim Muhammad Ibn Hibban bin Ahmad al-Tamimiy (w. 354 H), Masyahir ‘Ulama` al-Amshar, Penahkik: Majdiy bin Manshur alSyiwariy, (Beirut: Dar al-Kurub al-‘Ilmiyyah, 1995).
Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Syaybaniy (164-241 H), Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Pen-tahqî�q: Sy’ayb al-Arna`uth, dkk., (Beirut: Mu`assasah alRisalah, Juz 33, 1999) Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farah alVol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
203
Husni dan Junaidi Abdillah
Anshariy al-Khazrajiy al-Qurthubiy, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Tafsir al-Qurthubiy), Tahqî�q: Ahmad al-Burduniy dan Ibrahim Athfisy, (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, Juz 5, 1964)
Abu al-Fida` Zayn al-Din Qasim Ibn Quthlu Bugha al-Suduniy (w. 902 H), al-Tsiqât min Man lam Yaqa’ fi al-Kutub al-Sittah, Penahkik: Syadiy bin Muhammad bin Salim Ali Nu’man, (Yaman: Markaz al-Nu’man li al-Buhuts wa al-Dirasat al-Islamiyyah, Juz 5, 2011) Abu al-Qasim Sulayman bin Ahmad al-Thabraniy, al-Mu’jam al-Awsath, Penahkik: Abu Mu’adz Thariq bin ‘Awdhillah bin Muhammad dan Abu al-Fadhl ‘Abd al-Muhsin bin Ibrahim al-Husayniy, (Kairo: Dar al-Haramayn, Juz 8, 1995)
Abu al-Thayyib Nayif bin Shalah bin ‘Ali al-Manshuriy, Irsyad al-Qashiy wa al-Daniy Ila Tarajim Syuyukh al-Thabariy, Kata Pengantar: Sa’d bin ‘Abdillah al-Humayd, (Riyadh: Dar al-Kiyan, t.th.) Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali bin Tsabit bin Ahmad bin Mahdiy al-Khathib al-Baghdadiy, Tarikh Baghdad, Penahkik: Basysyar ‘Awwad Ma’ruf, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islamiy, Juz 15, 2002)
Ahmad bin ‘Ali Ibn Hajar Abu al-Fadhl al-‘Asqalaniy (773-852 H), Fath al-Bariy Syarh Shahîh al-Bukhariy, Penahkik: ‘Abd al-‘Aziz bin ‘abdillah bin Baz, (t.tp.: al-Maktabah al-Salafiyyah, Juz 9, t.th.) Ahmad bin ‘Ali Ibn Hajar Abu al-Fadhl al-‘Asqalaniy, Tahdzîb al-Tahdzîb, (Hiderabat: Majlis Da`irah al-Ma’rif al-Nizhamiyyah, Juz 9, 1335 H) Ahmad bin ‘Ali Ibn Hajar al-‘Asqalaniy, Bulûgh al-Marâm min Adillah al-Ahkâm, Penahkik: Samir bin Amin al-Zuhayriy, (t.tp.: t.p., 2003). Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal al-Syaybaniy (w. 241 H), Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Penahkik: Muhammad ‘Abd al-Qadir ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub, Juz 1, 1971)
Ahmad bin Syu’ayb Abu ‘Abd al-Rahman al-Nasa`iy (w. 303 H), Sunan al-Nasa`iy (bi Ahkâm al-Albaniy), Pen-tahqî�q: Abu ‘Ubaydah Masyhur bin Hasan Al Salman, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, t.th.) 204
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Syarah dan Kritik dengan Metode Takhrîj Hadits Tentang Nikah Mut’ah
al-Sayyid Sabiq (w. 1420 H), Fiqh al-Sunnah, (Kairo: al-Fath li al-I’lam al-‘Arabiy, Juz 2, t.th.)
As-Sarkhosyi, 1993, Al-Mabsuth, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, juz.5) Badruddî�n Muhammad al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhîth fiy al-Ushûl alFiqh, (t.t: Dâ� r al-Kitabiy, juz. 3, 1414) Ibn Hajar al-`Asqalaniy, Fath al-Bâriy Syarh Shahîh al-Bukhâriy, (Beirut: Dâ� r al-Ma`rifah, juz. 9, 1379) Ibn Khallikan, Abû� al-`Abbas al-Irbiliy, Wafayat al A`yan wa Anba Abna’ al-Zaman, (Beirut: Dar al-Shadr, juz. 6, 1900) Mahmud al-Thahhan, Taysir Mushthalah al-Hadits, (Iskandaria: Markaz al-Huda li al-Dirasat, 1415 H)
Malik bin Anas (93-179 H), al-Muwatha` bi Riwayah Yahya al-Laytsiy, Penahkik: Abu Usamah Salim bin ‘Ayd al-Hilaliy al-Salafiy, (t.tp.: Majmu’ah al-Furqan al-Tijariyyah, Juz 3, 2003) ______, al-Muwatha` Riwayah Abi Mush’ab al-Zuhriy, Penahkik: Basysyar ‘Awwad Ma’ruf dan Mahmud Muhammad Khalil, (Beirut: Mu`assasah al-Risalah, Juz 1, 1998)
Mughlathay bin Qalij bin ‘Abdillah al-Bakjiriy al-Mishriy (w. 762 H), Ikmal Tahdzîb al-Kamal fi Asma` al-Rijal, Penahkik: Abu ‘Abd al-Rahman ‘Adil bin Muhammad dan Abu Muhamamd Usamah bin Ibrahim, (t.tp.: al-Faruq al-Haditsah, Juz 5, 2001) Muhammad ‘Abd al-Ra`uf al-Munawiy, Faydh al-Qadir Syarh al-Jâmi’ alShaghîr, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, Cet. Ke-2, Juz 1, 1972)
Muhammad bin ‘Abd al-Rahman bin Muhammad bin Abi Bakar bin ‘Utsman bin Muhammad al-Sakhawiy, al-Tawdhih al-Abhar li Tadzkirah Ibn al-Mulaqqin fi ‘Ilm al-Atsar, Pen-tahqî�q: ‘Abdullah bin Muhammad ‘Abd al-Rahim, (t.tp. Maktabah Adhwa` al-Salaf, 1998) Muhammad bin ‘Isa bin Sawrah bin Musa bin al-Dhahhak al-Tirmidziy (209-297 H), al-Jâmi’ al-Kabir (Sunan al-Tirmidziy), Pen-tahqî�q: Basysyar ‘Awwad Ma’ruf, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islam, Juz 2, 1996) Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub bin Sa’d Syams al-Din Ibn Qayyim Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
205
Husni dan Junaidi Abdillah
al-Jawziy (691-751 H), Zad al-Ma’ad fi Huda Khayr al-‘Ibad, Pen-tahqî�q: Syu’ayb al-Arna`uth dan ‘Abd al-Qadir al-Arna`uth, (Beirut: Mu`assasah al-Risalah, Juz 5, 1998)
Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman al-Dzahabiy, Siyar al A`lam alNubala, (Beirut: Muassasah al-Risalah, juz. 9, 1985) Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman al-Dzahabiy, Tadzkirah al-Huffazh, Penahkik: ‘Abd al-Rahman bin Yahya al-Ma’lamiy, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Juz 1, 1998) Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman al-Dzahabiy, Tadzkirah al-Huffazh, Penahkik: Zakariya ‘Imarat, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Juz 3, 1998)
Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman al-Dzahabiy, Tarikh al-Islam wa Wafiyat al-Masyahir wa al-A’lam, Penahkik: ‘Umar ‘Abd alSalam Tadmuriy, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, Juz. 3, 1991) Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman al-Dzahabiy, Tarikh al-Islam wa Wafiyat al-Masyahir wa al-A’lam, Penahkik: ‘Umar ‘Abd alSalam Tadmuriy, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, Juz 15, 1991) Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban bin Mu’adz bin Ma’bad al-Tamimiy Abu Hatim (w. 354 H), Shahîh Ibn Hibban bi Tartib Ibn Bilban, Pen-tahqî�q: Syu’ayb al-Arna`uth, (Beirut: Mu`assasah al-Risalah, Juz 11, t.th.) Muhammad bin Idris al-Syafi’iy (150-204 H), al-Umm, Pen-tahqî�q: Hassan ‘Abd al-Mannan, (Amman: Bayt al-Afkar al-Dawliyyah, t.th.) Muhammad bin Idris al-Syafi’iy (150-204 H), al-Umm, Pen-tahqî�q: Rif’at Fawziy ‘Abd al-Muthalib, (Manshurah: Dar al-Wafa`, Juz 8, 2001) Muhammad bin Isma’il al-Amir al-Kahlaniy al-Shan’aniy (w. 1182 H), Subul al-Salam, Ta’liq: Muhammad Nashir al-Din al-Albaniy (w. 1420 H), (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, Juz 3, 2006)
Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Bukhariy (194-256 H), Shahîh al-Imâm al-Bukhâriy, Penahkik: M. Zahir Nashir al-Nashir, (Beirut: Dar Thawq al-Nashir, Juz 7, 1422 H) Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Ja’fiy al-Bukhariy (194-256 H), 206
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Syarah dan Kritik dengan Metode Takhrîj Hadits Tentang Nikah Mut’ah
al-Jâmi’ al-Shahîh, Pen-tahqiq: M. Fu`ad ‘Abd al-Baqiy, (Kairo: al-Mathba’ah al-Salafiyyah, 1400 H)
Muhammad bin Sa’d bin Munî�’ al-Zuhriy (w.b230 H), Kitab al-Thabaqat al-Kabir, Penahkik: ‘Ali Muhammad ‘Amr, (Kairo: Maktabah alKhanjiy, Juz 5, 2001)
Sulayman bin Ahmad al-Thabraniy, al-Mu’jam al-Kabir li al-Thabraniy, Pen-tahqî�q: Hamdiy ‘Abd al-Majid al-Salafiy, (Mosul: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hukm, 1983) Sulayman bin al-Asy’ats Abi Dawud al-Sajastaniy al-Azadiy, Sunan Abi Dawud, Penahkik: Muhammad Muhy al-Din ‘Abd al-Hamid, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, Juz 2, t.th.)
Sulayman bin Dawud bin al-Jarud (w. 204 H), Musnad Abi Dawud alThayalasiy, Penahkik: Muhammad bin ‘Abd al-Muhsin al-Turkiy, (Ardh al-Liwa`: Hajar, Juz 1, 1999)
Wizâ� rah al-Awqâ� f, al-Mawsû`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah, (Kuwait: Thaba`a al-Wizâ� rah, juz. 41, 1427)
Zayd bin ‘Ali bin al-Husayn bin ‘Ali bin Abi Thalib (75-122 H), Musnad al-Imam Zayd, Dikumpulkan oleh: ‘Abd al-‘Aziz bin Ishaq alBaghdadiy, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.)
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
207
Husni dan Junaidi Abdillah
halaman ini bukan sengaja dikosongkan
208
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits