BAB II SYARAH HADITS 2.1 Syarah Hadits dan Ruang Lingkupnya 2.1.1 Pengertian Kata syarah (syarh) berasal dari kata
,
,
yang secara
bahasa berarti menguraikan dan memisahkan bagian sesuatu dari bagian yang lainnya. Dalam tradisi para penulis kitab berbahasa Arab, seperti di dalam kitab Lisan al- Arab, istilah syarah berarti memberi catatan dan komentar kepada naskah atau matan (teks) suatu kitab.1 Dengan demikian istilah syarah tidak hanya uraian dan penjelasan terhadap naskah kitab dalam batas eksplanasi, melainkan juga uraian dan penjelasan dalam arti interpretasi (disertai penafsiran), sebagaimana dapat dilihat pada keumuman kitab-kitab syarah, baik terhadap kitab hadits maupun kitabkitab lainnya. Selain itu, syarah tidak hanya berupa uraian dan penjelasan terhadap suatu matan secara keseluruhan, melainkan uraian dan penjelasan terhadap sebagian dari kitab bahkan uraian terhadap suatu kalimat atau suatu hadits pun disebut dengan syarah.2 Maka dari itu apabila dikatakan syarah suatu kitab tertentu, seperti syarah Shahih al-Bukhâri, syarah Alfiyyah al- Iraqi, syarah Qurrat al- Ayn dan lain-lain, maka yang dimaksud adalah syarah terhadap kitab tersebut secara keseluruhan. Sedangkan apabila dikatakan syarah hadits secara mutlak, ma1
Ibnu Manzhur di dalam Lisan al- Arab, tahqiq Muhammad Ahmad Hasbullah Hâsyim Muhammad asy-Syâdzali, (Riyâdh: Dâr al-Ma ârif, t. th.), jilid IV, h. 2228. 2 Mujio Nurkholis di dalam Metode Syarah Hadits, (Bandung: Fasygil Grup, 2005), h. 2.
31
ka yang dimaksud adalah syarah terhadap suatu hadits tertentu, yaitu ucapan, tindakan, atau ketetapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Istilah syarah yang dikemukakan di atas merupakan istilah syarah secara umum, yakni dipakai sebagai penjelas terhadap hadits dan terhadap tulisan para ulama, baik di bidang fiqih, ilmu hadits, ilmu kalam, maupun tulisan lainnya. Sementara itu antara hadits dan karya para ulama, terdapat perbedaan yang sangat real (nyata/jelas). Posisi hadits secara umum merupakan sumber ajaran Islam yang terpelihara dari kesalahan, sedangkan karya ulama merupakan hasil pemahaman atau ijtihad mereka yang kebenarannya relatif. Dengan demikian, syarah hadits berarti mensyarah sumber ajaran Islam yang salah satu tuntunannya adalah menggali hukum dan hikmah yang terdapat di dalamnya. Maka dari itu perlu dibedakan antara ta rîf (definisi) syarah hadits dengan definisi syarah dalam kitab hadits dalam arti umum. Mujio Nurkholis3 membedakannya sebagai berikut :
Syarah hadits adalah menjelaskan segala yang berkaitan dengan hadits baik dari keshahihan dan kecacatan sanad dan matan hadits, dan menjelaskan makna-makna hadits, dan mengeluarkan faidah-faidah hadits baik dari segi hukum maupun hikmah. Berdasarkan definisi tersebut, maka kegiatan syarah hadits secara garis besar meliputi tiga langkah, yakni: 3
Mujio Nurkholis di dalam Metode Syarah Hadits, loc .cit., h. 2.
32
1. Menjelaskan kuantitas dan kualitas hadits, baik dari sisi sanad maupun matan, dan baik secara global maupun rinci. Hal ini meliputi penjelasan tentang jalur-jalur periwayatannya, penjelasan identitas dan karakteristik para perawinya. 2. Menguraikan makna dan maksud hadits. Hal ini meliputi penjelasan makna leksikal dan gramatikal serta makna yang dimaksudkan. 3. Mengungkap hukum dan hikmah yang terkandung dalam matannya, baik yang tersirat maupun tersurat.4
2.1.2 Istilah Lain Syarah Dalam tradisi ulama penyusun kitab, dikenal sejumlah istilah bagi upaya penjelasan terhadap suatu naskah kitab, yaitu syarah, hasyiyah dan ta lîq (komentar). Pengertian syarh telah dikemukakan di atas. Untuk membedakan di antara ketiganya, selain melalui perbedaan definisi juga melalui perbedaan tehnik penulisannya. Tehnik penulisan kitab syarah biasanya menuliskan matan kitab asli seluruhnya dan menyatu dengan syarah yang ditulis di dalam kurung atau memasukkan teks syarah ke dalam teks matan dengan memasukkannya di luar tanda kurung tersebut. Namun kadang, matan kitab asli tersebut ditulis terpisah lalu diikuti dengan syarahnya. Hasyiyah berasal dari kata
,
,
yang secara bahasa
berarti menempel dan melekat. Dalam tradisi para ulama hasyiyah pada mula-
4
Mujio Nurkholis di dalam Metode Syarah Hadits, ibid., h. 3.
33
nya berarti catatan pinggir, baik terhadap matan maupun terhadap syarah, sehingga hanya ditujukan terhadap kata-kata yang benar-benar me-merlukan penjelasan. Akan tetapi, istilah ini kemudian lebih dikenal sebagai catatan dan komentar terhadap kitab syarah. Jadi, perbedaan yang menonjol antara kitab syarah dan kitab hasyiyah dalam tradisi para penulis kitab klasik adalah bahwa kitab syarah itu menjelaskan kitab matan, sedangkan hasyiyah itu umumnya merupakan syarah terhadap kitab syarah. Adapun ta lîq diambil dari kata
,
,
yang secara bahasa
berarti menggantungkan. Dalam kebiasaan para penulis kitab, ta lîq dilakukan untuk memberikan catatan khusus terhadap bagian-bagian tertentu dari sebuah kitab, baik kitab matan, kitab syarah, maupun hasyiyah, yang dipandang sangat perlu. Ta lîq biasanya dilakukan oleh Muhaqqiq.5 Para penerbit buku di Indonesia menamai orang-orang yang melakukan tugas tersebut dengan nama penyunting atau editor, sehingga dalam tradisi penerbitan di Indonesia, ta lîq disebut sebagai catatan editor atau catatan penyunting. Materi yang ditulis ta lîq sangat beragam, bisa berupa koreksi terhadap redaksi matan asli atau penjelasan dari redaksi suatu naskah dengan naskah lainnya, perbandingan pembahasan buku lain yang sejenis, penjelasan mak-
5
Orang yang mengkaji ulang naskah kitab tulisan tangan atau manuskrip untuk selanjutnya diproses ke percetakan
34
sud redaksi tertentu, dan penambahan kalimat bila diperlukan. Maka dari itu, ta lîq tidak senantiasa terdapat pada setiap halaman kitab.
2.2 Kaidah-Kaidah Memahami Sunnah (Syarah al-Hadits) Bila berinteraksi dan memahami Sunnah menerapkan kaidah yang benar, pasti memperoleh limpahan karunia, keberkahan hidup merasakan manisnya ittiba terhadap Sunnah seperti yang telah diraih oleh generasi para shahabat ridhwanullah alahim ajma în, maka manusia paling berbahagia adalah orang yang menempuh jalan (metode) yang lurus dan pemahaman yang benar, sedang manusia yang paling sengsara adalah orang yang tersesat dalam beragama dan manusia paling bingung adalah orang yang terseret ke lembah kebinasaan sementara ia mengira hal tersebut adalah sebuah mata air hidayah, namun ternyata hanyalah fatamorgana hawa nafsu dan kesesatan. Dampak kesalahan dalam memahami nash agama terutama hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam akan menimbulkan kesesatan dan kebid ahan serta penolakan terhadap kebenaran, tetapi pelakunya terkadang merasa berada di atas pemahaman yang benar dan agama yang lurus, pada dasarnya banyak orang yang membenarkan kesesatan bahkan sebaliknya mencela pendapat yang benar dan ajaran yang baik dikarenakan salah paham, maka kesalahan yang ditimbulkan dari kesalahpahaman lebih berbahaya daripada kesalahan yang timbul akibat kebodohan seperti yang ditegaskan Imam asy-Syafi i dalam syairnya:
Berapa banyak orang mencela pendapat yang benar
35
Maka sumber penyakitnya berasal dari salah paham.
6
Berikut kami cantumkan beberapa kaidah dalam memahami al-Hadits (Sunnah Rasulullah shallallahu alahi wa sallam), sebagai berikut : 2.2.1 Mengetahui Derajat Hadits7 Sangat penting dalam memahami hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam terlebih dahulu kita mengetahui derajat haditsnya, sebab jika tidak maka kita akan terjerumus ke dalam pengamalan hadits yang bukan berasal dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kaidah ini sudah semestinya bahkan harus diterapkan oleh seorang pencari ilmu, sehingga tidak muncul lagi pemahaman bahwa Walau pun dha if (bahkan terkadang maudhu sekalipun) yang penting hadits, dari itu bisa diamalkan , atau menerapkan pernyataan
Hadits dha if bisa diamalkan dalam masalah fadhaa-il al-A maal
(keutamaan amal) secara mutlak. Para ulama telah menjelaskan batasan dan persyaratan hadits dha if (lemah) yang bisa diamalkan di antaranya : 1. Imam al-Haafizh al-Sakhawi rahimahullah berkata8 : Saya mendengar syaikh (guru) kami berkata berkali-kali, dan beliau bahkan menuliskan untukku dengan tangannya sendiri, sesungguhnya syarat mengamalkan hadits dha if (lemah) ada tiga yakni : Pertama: Disepakati, bahwa dha ifnya tidak parah.
6
S. Askar, Kamus al-Azhar, (Jakarta: Senayan Publishing, 2009), cet. ke-I, h. 1184. Kaidah ini berasal dari (tambahan) penyusun sendiri. 8 Muhammad Nashiruddin al-Albaniy, Shahih al-Targhib wa al-Tarhib Hadits-Hadits Shahih tentang Anjuran dan Janji Pahala, penerjemah Izuddin Karimi dkk., (Jakarta: Pustaka Sahifa, 2007), cet. ke I, h. 63. 7
36
Kedua: Hendaknya ia (hadits tersebut) berinduk kepada pokok umum (ada nash shahih yang menguatkannya). Ketiga: Tidak meyakini bahwa ia hadits dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. 2. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaniy rahimahullah membaginya ke dalam tiga syarat 9: Pertama: Bukan hadits maudhu (palsu). Kedua: Yang mengamalkan mengetahui kedha ifannya (bahkan harus menyebutkan kedha ifannya). Ketiga: Pengamalannya tidak dilazimkan/disebarluaskan. 3. Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan10: Perkataan Ibnu Taimiyyah yang disimpulkan oleh Syaikh al-Albaniy dengan dua syarat : Pertama: Di dalam kandungannya ia membawa pahala bagi suatu amal dimana ketetapan disyari atkannya amal tersebut berdasarkan dalil syar i (ada nash syar i yang menyebutkan ditempat yang lain), kondisi ini boleh diamalkan. Kedua: Ia mengandung suatu amal yang tidak ditetapkan oleh dalil syar i, yang sebagian orang menyangka ia disyari atkan, kondisi ini tidak boleh diamalkan.
9
Muhammad Nashiruddin al-Albaniy, Terjemah Tamamul Minnah Koreksi dan Komentar Secara ilmiah terhadap Kitab Fiqhus Sunnah Karya Sayyid Sabiq, penerjemah Afifudin Said, (Pekalongan: Pustaka Sumayyah, 2009), cet. ke VII, h. 34. 10 Muhammad Nashiruddin al-Albaniy, Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, op. cit., h. 73.
37
2.2.2 Memahami Sunnah dengan Pemahaman para Shahabat Prinsip dan manhaj beragama yang benar dan lurus adalah prinsip penerapan agama para shahabat, karena penerapan dan pemahaman keislaman mereka sesuai dengan metode penerapan dan pemahaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahkan mereka beragama di atas dasar ittiba secara mutlak terhadap Rasulullah al-Amin, maka Allah al-Badi memuji mereka dalam kitab-Nya:
Artinya: (Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.
11
Jika terjadi perselisihan di antara umat Islam dalam memahami suatu hadits, maka pemahaman yang paling utama didahulukan adalah pemahaman shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, karena mereka lebih sering berinteraksi dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lebih faham terhadap makna sunnah dan lebih dekat zamannya dengan beliau, apalagi ketika beliau masih hidup setiap kesalahan yang dilakukan shahabat12 pasti mendapat teguran dan pelurusan langsung dari beliau. 11
Depertemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahan (Revisi Terbaru), (Semarang: CV Asy-Syifa , 1999), QS. Hasyr, 59: 8. 12 Perselisihan yang terjadi di antara para shahabat ridhwanullah alaihim ajma in hanya karena dua sebab asasi (mendasar), yakni; Pertama : Sifat dan tabiat manusia yang suka berselisih,
38
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menegaskan di dalam hadits beliau : ,
-
...
- ...
Artinya : Barang siapa yang hidup setelahku (sepeninggalku), niscaya dia akan melihat perselisihan (ikhtilaf) yang banyak, maka hendaklah kamu (berpegang teguh) dengan sunnahku dan sunnah khulafaa-u al-Rasyidiin al-Mahdiyyin. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi gerahammu.
13
Pada hakikatnya pemahaman para shahabat ridhwanullahu alahim ajma in adalah kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sehingga pemahaman mereka menjadi landasan dalam memahami alQur an dan as-Sunnah. Ketika Hasan bin Ali berada dalam suatu majlis yang sedang memperbincangkan para shahabat, beliau berkata; Sesungguhnya mereka adalah umat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, dan paling
Kedua : Berbedanya (berlebih-kurangnya) tingkat berfikir dan keilmuan di antara mereka di dalam berijtihad tentang sesuatu masalah. Lihat Abu Unaisah bin Amir Abdat, Risalah Bid ah, (Jakarta: Maktabah Mu awiyah bin Abi Sufyan, 2004), cet. ke-II, h. 12. 13 Hadits Shahih riwayat Abu Daud di dalam Sunan Abu Daud, tahqiq Muhammad Nashiruddin al-Albaniy, (Riyaadh: Maktabah al-Ma ârif, 2007), h. 832, no. 4607; at-Tirmidzi di dalam Sunan at-Tirmidzi, tahqiq Muhammad Nashiruddin al-Albaniy, (Riyaadh: Maktabah alMa ârif, 2007), h. 603, no. 2676; Ibnu Majjah, Ahmad, ad-Darimi dan al-Hakim dari jalan Irbadh bin Sâriyah radhiallahu anhu. Hadits tersebut memiliki faidah yang adhiim di antaranya: 1. Bahwa umat ini akan berselisih dengan perselisihan yang banyak dan berkepanjangan. Yang dimaksud adalah perselisihan di dalam manhaj (cara beragama). 2. Sunnah sebagai jalan keluar dari perselisihan tersebut, demikian juga perjalanan para shahabat ridhwanullahi alaihin ajma iin (Sunnah Khulafaa-u al-Rasyidiin al-Mahdiyyiin) yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, mereka mewakili sekalian (jama ah) para shahabat, sebagaimana beliau tegaskan: Artinya: Yang aku bersama para shahabatku berada di atasnya. Hadits Shahih riwayat al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, ibid., no. 2641. 3. Wajib kita berpegang kuat-kuat dengan manhaj tersebut. Bahkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menggigitnya dengan gigi gerahammu! Lihat Abu Unaisah bin Amir Abdat, Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa Ilaihi, op.cit., h. 176-177.
39
sedikit penyimpangannya, mereka merupakan kaum yang dipilih Allah alQadir untuk menjadi shahabat Nabi-Nya shallallahu alahi wa sallam, maka berusahalah untuk menyerupai akhlak dan pemahaman mereka, demi Tuhan Ka bah (Allah) sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang benar dan lurus.
14
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata : Sungguh para ulama pada setiap generasi bersepakat berhujjah dengan pemahaman shahabat baik dalam fatwa maupun ucapan mereka, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya. Maka karya-karya ulama menjadi bukti utama dan diskusi-diskusi mereka menjadi saksi kunci tentang perkara tersebut.
15
2.2.3 Mendahulukan Pemahaman Sunnah yang Didukung oleh Al-Qur an Apabila muncul perbedaan pemahaman di antara para ulama dalam mengambil kesimpulan makna sebuah hadits maka yang harus diutamakan untuk dikuatkan adalah pemahaman ulama yang didukung oleh al-Qur an, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam memahami Sunnah sebisa mungkin mengkaitkan dan mengkonfirmasikan dengan al-Qur an.16
14
Ibnu Abdil Barr di dalam Jâmi Bayân al- Ilmi wa Fadhlihi, (Beirut: Dâr Ibn Hazm dan Muassasah ar-Rayyan, 2003), cet ke-I, jilid II, h. 195. 15 Ibnu Qayyim di dalam I lâm al-muwaqqi in an Rabb al- Alâmîn, tahqiq Ishâm ad-Dîn ash-Shabâbuthiy, (Kairo: Dâr al-Hadits, 2004), jilid IV, h. 284 dan kitabnya yang telah diterjemah Panduan Hukum Islam, Alih Bahasa Asep Saefullah FM dan Kamaluddin Sa diyatulharamain, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), cet. ke-II, jilid IV, h. 580. 16 Zaenal Abidin Syamsuddin di dalam Ensiklopedi Penghujatan Terhadap Sunnah, (Jakarta: Pustaka Imam Abu Hanifah, 2007), cet. ke-I, h. 101, sekali lagi kami ingatkan bahwa ketika kita menemukan hadits secara dhahir (tampak) bertentangan dengan ayat al-Qur an maka kita harus terlebih dahulu mencari penjelasan para ulama tentang perkara tersebut, sebab mustahil (sangat tidak mungkin) sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertentangan dengan ayat al-Qur an.
40
2.2.4 Mengetahui Asbab al-Wurud Hadits Mengetahui asbab al-wurud hadits sangat membantu dalam memahami maksud Rasulullah shallallahu alahi wa sallam dalam menyampaikan hadits, sehingga metode yang terbaik dalam memahami sunnah nabawiyyah adalah meneliti sebab-sebab yang melatar belakangi hadits tersebut diucapkan, atau kenapa hadits tersebut disabdakan, ataukah hanya sekedar ijtihad beliau, atau hadits tersebut sangat kondisional ketika disampaikan. Memahami maksud hadits secara benar merupakan suatu kelaziman dengan cara mengetahui situasi yang menyebabkan nash (hadits) itu disampaikan, apakah hadits itu disabdakan sebagai penjelas bagi kejadian-kejadian tersebut atau sebagai solusi bagi sebuah permasalahan yang terjadi sehingga akan bisa ditentukan dengan jelas dan detail maksud dari hadits tersebut.17 2.2.5 Menghimpun Hadits-Hadits Semakna Mengambil sebuah kesimpulan hukum agama tanpa menghimpun hadits-hadits yang terkait dengan masalah tersebut akan menghasilkan kesimpulan yang rancu dan goncang, sebab hadits-hadits semakna bila dirangkai dengan baik maka akan membuahkan kesimpulan yang kuat dan baku.
17
Zaenal Abidin Syamsuddin, Ensiklopedi Penghujatan Terhadap Sunnah, ibid., h. 102. Berikut beberapa faidah mengetahui Asbab al-wurud al-Hadits : 1. Untuk menolong dalam memahami dan menafsirkan hadits, sebab sebagaimana diketahui bahwa pengetahuan tentang sebab-sebab terjadinya suatu itu merupakan sarana untuk mengetahui musabbab (akibat) yang ditimbulkan. 2. Mentakhshish (mengkhususkan) lafazh yang masih am (umum). 3. Untuk mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syari at (hukum). Cara untuk mengetahui asbab al-wurud sebuah hadits yaitu dengan mengumpulkan semua jalan hadits tersebut. Lihat Fatchur Rahman, Ikhthishar Mushthalahul Hadits, op. cit., h. 326-327.
41
Yahya bin Ma in berkata: Apabila kita tidak menulis hadits lebih dari tiga puluh jalan (sanad) niscaya kita tidak akan memahaminya.
18
Imam Ahmad berkata: Suatu hadits, kalau tidak engkau kumpulkan jalan-jalannya engkau tidak akan faham, karena hadits satu dengan yang lainnya saling menafsirkan.
19
Imam Ibrahim bin Sa id al-Jauhari berkata: Suatu hadits, kalau tidak ada padaku dengan seratus sanad, aku menganggap diriku yatim.
20
Merupakan suatu keharusan untuk memahami sunnah dengan pemahaman yang benar, yaitu mengumpulkan hadits-hadits shahih yang satu pembahasan supaya (hadits) yang mutasyabih bisa dikembalikan kepada yang muhkam dan yang mutlak dibawa kepada yang muqayyad, dan yang amm ditafsirkan oleh yang khash dengan cara itu akan menjadi jelas maksud dari hadits tersebut dan tidak perlu membenturkan antara makna hadits dengan makna hadits yang lain. 2.2.6 Memahami Ilmu Mukhtalif al-Hadits 2.2.6.1 Pengertian Ilmu Mukhtalif al-Hadits Istilah mukhtalif al-hadits dalam bahasa arab terdiri dari dua suku kata yakni: mukhtalif dan al-hadits, kemudian kedua kata tersebut digabung membentuk susunan idhafiyah.21 Oleh karena itu kedua kata tersebut tidak bisa dipisahkan dalam membacanya. Sebagaimana "ungkapan" atau "kata ma-
18
Al-Khatib Al-Baghdadi di dalam al-Jami li Akhlaq ar-Rawi wa Âdâb as-Sâmi , tahqiq Muhammad al-Khatib, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1994), cet ke-II, jilid I, h. 270. 19 Al-Khatib Al-Baghdadi, al-Jami li Akhlaq ar-Rawi wa Âdâb as-Sâmi , loc. cit., h. 270. 20 Syamsuddin adz-Dzahabi di dalam Siyar A lam an-Nubala, tahqiq Muhibuddin al-Umari, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), cet. ke-I, jilid XII, h. 150. 21 Idhafiyah adalah kata yang terdiri dari mudhaf dan mudhafun ilaih.
42
jemuk
22
dalam bahasa Indonesia.
Secara etimologi, mukhtalif berarti pertentangan atau perlawanan, lawan kata dari al-muttafaq (sesuai, sama),23 merupakan bentuk fa'il dari tsulatsy mazid wazan kedua bab kedua yakni
,
,
, isim maf'ul (ob-
jek) dari kata ikhtilaf. Sebagaimana kita temukan di dalam beberapa ayat alQur an dan riwayat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahkan hadits Lâ ashla lahu, berikut lafazh-lafazhnya :
... Artinya : ...Dan kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.
24
... Artinya : ...Kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan diantaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya."25
... Artinya : Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.
26
22
Kata majemuk bisa disebut juga dengan berangkai,campuran, gabungan dari berbagai ragam yang merupakan (membentuk) satu kesatuan; gabungan dari dua kata atau lebih yang membentuk satu kesatuan arti. Lihat Burhani MS dan Hasbi Lawrens di dalam Kamus Ilmiah Populer, (Jombang: Lintas Media Jombang, t.th.), h. 368. 23 Mahmud al-Thahhan di dalam Taisir Mushthalah al-hadits, (Surabaya: Bankul Indah, 1985), h. 56. 24 Depertemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahan, op. cit., QS.An-nisâ, 4: 82. 25 Depertemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahan, ibid., QS. Ali Imran, 3: 55. 26 Depertemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahan, ibid., QS. Ali Imran, 3: 105.
43
...
...
Artinya : Barang siapa yang hidup setelahku (sepeninggalku), niscaya dia akan melihat perselisihan (ikhtilaf)yang banyak...
27
Artinya : Perselisihan (ikhtilaf) umatku adalah rahmat.
28
Kedua istilah di atas bisa bermakna li al-muthawa'ah (akibat dari suatu perbuatan), li al-ittikhad (menjadikan), ziyadah al-mubalahgah (sangat, banyak), bima'na fa'ala (sesuai arti kata dasarnya), li al-musyarakah bayna alitsnayn fa aktsara (saling, yang dilakukan oleh dua pelaku atau lebih) dan li al-thalab (meminta).29 Dari makna tersebut yang paling mewakili adalah makna li al-musyarakah bayna al-itsnayn fa aktsar, sehingga mukhtalif al-hadits berarti haditshadits yang saling bertentangan. Pengertian tersebut sesuai dengan definisidefinisi secara terminologi menurut para muhaddits dan penulis kitab ulum al-hadits, yang di antaranya: 1. Mahmud al-Thahhan rahimahullah menyebutkan :
27
Hadits Shahih riwayat Abu Daud di dalam Sunan Abu Daud, tahqiq Muhammad Nashiruddin al-Albaniy, (Riyaadh: Maktabah al-Ma ârif, 2007), h. 832, no. 4607; at-Tirmidzi di dalam Sunan at-Tirmidzi, tahqiq Muhammad Nashiruddin al-Albaniy, (Riyaadh: Maktabah alMa ârif, 2007), h. 603, no. 2676; Ibnu Majjah, Ahmad, ad-Darimi dan al-Hakim dari jalan Irbadh bin Sâriyah radhiallahu anhu. 28 Hadits Lâ ashla lahu (tidak ada asal-usulnya). Berkata Ibn Hazm : Hadits ini, termasuk sejelek-jeleknya ucapan, sebab kalaulah ikhtilaf itu rahmat, berarti persatuan itu laknat. Dinuqil oleh Ustadz Aceng Zakaria di dalam al-Hidayah (Garut: Ibnu Azka Press,2004), jilid III, h. 268. Berkata al-Albaniy (tentang hadits yang dijadikan contoh tersebut) : Haditsnya bathil dan dusta. Di dalam Silsilah al-Ahadits al-Dha ifah wa al-Maudhu at , (Beirut: al-Maktabah al-Islamiy, t.th.), cet. ke-III, jilid I, h. 76. 29 Muhammad Ma'sûm, al-Amtsilah al-Tashrif, (Surabaya: Salim Nabhan, t.th), h. 22
44
"Hadits maqbul (shahih atau hasan) yang saling bertentangan dengan hadits lain yang semisal (sama-sama maqbul) dan masih bisa untuk dikompromikan."30 2. Muhyiddin rahimahullah menyebutkan :
"Munculnya dua hadits yang maknanya tampak saling bertentangan untuk dikompromikan keduanya atau di tarjih salah satunya."31 3. Ahmad 'Umar Hasyim rahimahullah menyebutkan :
"Menggabungkan hadits-hadits yang secara lahir saling bertentangan."32 4. Nuruddin Itr rahimahullah menyebutkan :
, Apa-apa (hadits) yang nampaknya saling bertentangan beserta kaidah-kaidah yang diduga (mengandung) makna yang batil, atau bertentangan dengan nash syar i yang lain.
33
5. al-Bukhari rahimahullah menyebutkan :
Munculnya dua hadits yang maknanya tampak saling bertentangan.
34
Dengan definisi-definisi di atas, dapat dirumuskan bahwa ilmu Mukhtalif al-Hadits menurut para Muhaddits adalah sebagai berikut :
30
Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushthalah al-hadits, op. cit., h. 56. Muhyi ad-Din di dalam al-Taqrib wa Taysir lima'rifati Sunan al-Basyir al-Nadzir, (Beirut: Dâr al-Kutub, 1985), h. 90. 32 Ahmad 'Umar Hasyim, Qawâ'id Ushul al-Hadits, (Beirut: Dâr al-Fikr, ,t.th), h. 30. 33 Nuruddin Itr di dalam Manhaj an-Naqd fî Ulûm al-Hadits, (Beirut: Dâr al-Fikr alMu ashir, 1997), cet. ke-3, h. 337. 34 Mut ab bin Salim bin Jabar al-Khumsiy di dalam Manhaj al-Imam al-Bukhari fî Mukhtalif al-Hadits wa Atsaruhu fî Fahmi al-Hadits an-Nabawi, (Saudi Arabiyah: Universitas Ardan Fakultas Syari ah, 2010), h. 5. 31
45
"I lmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antara hadits-hadits yang berlawanan lahirnya, baik dengan men-takhshis keumumannya, men-taqyid kemutlakannya atau dengan cara membawanya kepada beberapa kejadian (yang relevan dengan hadits) dan jalan-jalan ta'wil yang lain."35
"I lmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling berlawanan, untuk menghilangkan perlawanannya itu atau mengkompromikan keduanya, sebagaimana halnya membahas hadits-hadits yang sukar dipahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikatnya."36
"I lmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antara hadits-hadits yang berlawanan pada lahirnya."37
"I lmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan, karena adanya kemungkinan dapat dikompromikan, baik dengan cara men-taqyid terhadap hadits-hadits yang muthlaq atau men-takhshish terhadap hadits-hadits yang umumatau dengan cara membawanya kepada beberapa kejadian dan lain-lain."38
35
Abdul 'Aziz al-khuliy di dalam Tarikh Funun al-Hadits, (Jakarta: Diana Mega Berkah Utama, t.th), h. 213. 36 Fatchur Rahman di dalam Ikhtisar Mushthalah al-Hadits, op. cit., h. 335 yang beliau nuqil dari Muhammad Ajaj al-Khatib di dalam Ushul al-Hadits Ulûmuhu wa Mushthalahuhu, (Mesir: Dâr al-Fikr, 1989), h. 283. Ini pun dinuqil oleh Ahmad Sutarmadi di dalam Al-Imam alTirmidzi Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqh, (Jakarta: Logos, 1998), h. 122. 37 T.M. Hasbi al-Shiddieqiy di dalam Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 143. 38 Subhi al-Shalih di dalam Ulûm al-Hadits wa Mushthalahuh, (Beirut: Dâr al-'Ilmi, 1977), h. 27 yang dikutip Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 85.
46
Meskipun redaksi definisi-definisi di atas berbeda-beda, akan tetapi pada prinsipnya sama-sama menunjukkan objek yang serupa yaitu haditshadits yang saling berlawanan secara lahirnya dapat dikompromikan kandungannya, baik dengan jalan membatasi (taqyid) ke-muthlaq-annya, maupun dengan mengkhususkan (takhshish) keumumannya, atau dengan jalan lain yakni al-naskh, al-tarjih dan al-takhyir atau tawaqquf. Berkata Imam asy-Syafi i rahimahullah:
,
Apabila seorang yang tsiqah menyampaikan hadits dari seorang yang tsiqah sampai (marfu ) kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka hadits tersebut telah tsabit dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan kita tidak boleh meninggalkan satu hadits pun yang datang dari Rasulullah selamanya, kecuali ia mendapatkan ada hadits lain dari Rasulullah yang menyelisihinya.
39
2.2.6.2 Metode Ahli Ilmu dalam Menyelesaikan Hadits yang Ikhtilaf Usaha untuk mengumpulkan dua buah hadits maqbul yang nampaknya saling berlawanan maknanya itu disebut talfiq al-hadits . Ketika datang dua hadits yang maqbul (shahih atau hasan) dan nampaknya saling bertentangan, maka para ulama hadits menempuhnya dengan menggunakan ilmu Mukhtalif al-Hadits yaitu dengan empat metode yakni ;
39
Muhammad bin Idris asy-Syafi i di dalam al-Umm, tahqiq Rif at Fauzi Abdul Muthallib, (Kairo: Dâr al-Wafâ-i, 2001), cet. ke-I, jilid VIII, h. 513.
47
1. Al-Jam u (dikompromikan) Apabila menemukan dua hadits yang maqbul (hasan atau shahih) dan nampak saling ta arudh (kontradiksi), hadits-hadits yang saling bertentangan tersebut wajib diamalkan, jika hadits-hadits tersebut masih memungkinkan untuk dijama .40 Di dalam cara ini para ulama menempuhnya dengan jalan men-takhshis-kan hadits yang umum, men-taqyid-kan hadits yang mutlak. Contoh ialah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiallahu anhu :
:
, -
-[
]
Artinya : Bila air itu sebanyak dua kullah41 tidak dapat menjadi najis.
42
Hadits tersebut nampaknya berlawanan dengan mafhum hadits dari Abu Sa id al-Khudriy radhiallahu anhu, berkata :
: -
, -[
:
]
Artinya : Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda; Sesungguhnya air itu su-
40
Fatchur Rahman di dalam Ikhtishar Ulumul Hadits, op. cit., h. 151, 152 dan 335. 1 Kullah ± 250 kati, 2 kullah ± 500 kati atau sepenuh tempat yang berukuran panjang, lebar dan tinggi masing-masing 1 ¼ hasta. 42 Hadits Shahih riwayat Abu Daud di dalam Sunan Abu Daud, op. cit., h. 17, no. 63 dan 65, Bab. Mâ Yunajjisu al-Mâ-u; at-Tirmidzi di dalam Sunan At-Tirmidzi, op.cit., h. 27, no. 67, Bab. Mâ Jâ-a Anna al-Mâ-a Lâ Yunajjisuhu Syai-un; an-Nasâ-iy di dalam Sunan An-Nasâ-i, tahqiq Muhammad Nashiruddin al-Albaniy, (Riyaadh: Maktabah al-Ma ârif, 2007), h. 17 dan 59, no. 52 dan 328 Bab. At-Tauqif fî al-Mâ-i ; Ibnu Majjah di dalam Sunan Ibnu Majjah, tahqiq Muhammad Nashiruddin al-Albaniy, (Riyaadh: Maktabah al-Ma ârif, 2007), h. 104, no. 1517, Bab. Miqdâr al-Mâ-i alladzi Lâ Yanjusu, Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah. Lihat Abu al-Fadhlu Ahmad bin Ali bin Hajar al- Atsqalaniy di dalam Bulugh al-Maram min Adillah alAhkam, (Surabaya: Dâr al- Ilmi, t.th), h. 3, no. 5, Bab. Al-Miyâh. 41
48
ci, tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu,43 (pada riwayat lain ada tambahan) selain bila berubah rasa, warna atau baunya .
44
Mafhum hadits Abdullah bin Umar radhiallahu anhu tersebut menetapkan kesucian air yang sebanyak dua kullah secara mutlak, baik berubah sifatnya, rasa dan baunya maupun tidak berubah sama sekali. Sedang hadits Abu Sa id radhiallah anhu menetapkan kesucian air yang tidak berubah sifat-sifatnya, baik air sebanyak dua kullah atau kurang dari dua kullah.45 Cara mengkompromikannya ialah dengan mentakhsis keumuman hadits itu satu sama lain, yakni; a. Keumuman hadits pertama, bahwa setiap air yang mencapai jumlah dua kullah, adalah suci, ditakhsis oleh hadits kedua. Sebagai hasil pengkompromiannya ialah bahwa air yang sebanyak dua kullah itu dapat menjadi najis bila berubah rasa, warna dan baunya. b. Keumuman hadits kedua, tentang kesucian air yang tidak berubah sifatsifatnya, ditakhsis oleh hadits pertama, hingga melahirkan suatu ketetapan, bahwa air itu dapat menjadi najis bila jumlahnya kurang dari dua kullah.46
43
Hadits Shahih riwayat at-Tirmidzi di dalam Sunan at-Tirmidzi, ibid., h. 26-27, no. 66, Bab. Inna al-Mâ-a Lâ Yunajjisuhu Syai-un; Abu Daud di dalam Sunan Abu Daud, ibid., h. 17, no. 66-67, Bab. Mâ Jâ-a Fî Bi-r al-Bidhâ ah; An-Nasâ-i di dalam Sunan An-Nasâ-i, ibid., h. 59, no. 326-327, Bab. Dzikr Ba-r al-Bidhâ ah. 44 Hadits Dha if yang didha ifkan oleh Abu Hatim, riwayat Ibnu Majjah di dalam Sunan Ibnu Majjah, op. cit., h. 104, no. 521, Bab. Al-Hiyadh. Riwayat tersebut dengan jalan Abu Umamah al-Bahili radhiallahu anhu, namun riwayat ini dha if karena rawi Rasyid bin Sa id adalah rawi yang Mughaffal dalam periwayatannya, Abu Hatim pun mendha ifkannya. Lihat Abu al-Fadhlu Ahmad bin Ali bin Hajar al- Atsqalaniy di dalam Bulûgh al-Marâm min Adillah alAhkâm, op. cit., h. 2-3, no. 2-3, Bab. al-Miyâh. 45 Bagi kami (penyusun), contoh yang dikemukakan oleh Fatchur Rahman di atas kurang tepat, karena hadits yang dikatakan ta arudh tersebut salah satunya dha if (lemah). 46 Muhammad bin Ismâ îl al-Kahlâniy al-Shan âniy di dalam Subul al-Salâm Syarh Bulugh al-Marâm min Jam i Adillah al-Ahkâm, (Bandung: Maktabah Dahlân, t.th), jilid I, h. 16-17, jika pembaca ingin mendapatkan keterangan lebih lengkap lagi, maka silahkan meruju ke kitab Ta liiqah alaa al- Ilal li ibn Abi Hatim disusun oleh Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin
49
2. An-Nasikh Setelah menggunakan jalan yang pertama dan belum ditemukan jalan kesepakatannya atau jalan tengah, maka para muhaddits47 menempuh jalan kedua yaitu mengutamakan hadits yang nasikh dari yang mansukh. 1) Pengertian Ilmu pengetahuan yang membahas tentang hadits yang datang kemudian berfungsi sebagai penghapus terhadap ketentuan hukum yang berlawanan dengan kandungan hadits yang datang lebih dahulu disebut ilmu Nasikh dan Mansukh. Nasikh secara bahasa adalah penghilangan (
), pemindahan (
),
seperti terdapat di dalam beberapa ayat al-Qur an, sebagai berikut :
... Artinya : Ayat mana saja yang Kami nasakhkan (hapus).
48
Sedangkan kata mansukh adalah isim maf ul dari kata nasakh itu sendiri yang berarti yang dihapus. Para Muhadditsin dan penulis kitab ulum al-hadits memberikan pengertian ilmu Nasikh dan Mansukh secara lengkap di antaranya Nuruddin Abdul Haadiy al-Maqdisi, pentahqiq Saamii bin Muhammad bin Jaadillah, (Riyaadh: Maktabah Adhwa u as-Salaf, 2003), cet. ke-I, h. 13-21 pembahasan no. 96. 47 Muhaddits adalah orang yang banyak menghafal hadits, serta mengetahui celaan dan pujian (jarh dan ta dil) bagi para rawi. Muhaddits menurut pandangan ulama salaf, sama dengan hafizh yaitu orang yang luas pengetahuannya tentang hadits-hadits yang berhubungan dengan riwayah dan dirayah. Arti lainnya, gelar ahli hadits yang dapat menshahihkan hadits dan dapat menta dilkan serta menjarhkan rawinya; ia harus menghafal hadits-hadits, mengetahui rawi yang wahm (banyak purbasangka), illah hadits dan istilah-istilah para muhadditsin. Mereka yang mendapat gelar ini antara lain al-Hafizh al- Iraqiy dan Ibnu Hajar al- Atsqalaniy, dinuqil dari Ahmad Lutfi Fathullah dalam Hadits-hadits Lemah dan Palsu dalam Kitab Durratun Nashihin [Keutamaan Bulan Rajab, Sya ban dan Ramadhan], (Jakarta: Darus Sunnah, 2007), cet. ke-3, h. 140 dan 137-138. 48 Departemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahan, op. cit., QS. al-Baqarah, 2: 106.
50
Itr rahimahullahu :
Mengangkat syari at hukum yang datang lebih dahulu dengan hukum (syari at) yang datang kemudian.
49
Menurut Muhammad bin Shaalih al- Utsaimin rahimahullahu:
Terangkatnya (dihapusnya, pent) hukum suatu dalil syar i atau lafazhnya dengan dalil dari al-Kitab atau as-Sunnah.
50
Adapun menurut Fatchurrahman, yakni ; Nasikh dan Mansukh adalah ilmu yang membahas hadits-hadits yang saling berlawanan maknanya yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi hukum yang terdapat pada sebagiannya, karena ia sebagai nasikh (penghapus) terhadap hukum yang terdapat pada sebagian yang lain, karena ia sebagai mansukh (yang dihapus). Karena itu hadits yang mendahului adalah sebagai mansukh dan hadits yang terakhir adalah sebagai nasikh.
51
2) Jalan-jalan untuk Mengetahui Suatu Hadits tersebut Nasikh atau Mansukh Adapun jalan-jalan (cara-cara) untuk mengetahui adanya nasakh (penghapusan) suatu hadits itu antara lain52 : a) Dengan penjelasan dari nash atau dari syari sendiri, yang da49
Muhyi ad-Dîn Abu Zakaria al-Nawawiy al-Dimasyqiy al-Syafi i di dalam Muqaddimah al-Nawawiy fî Ulûm al-Hadits, penta lîq Sa d al-Dîn bin Muhammad al-Kubbiy, (Beirut: alMaktabah al-Islamiy, 1996), cet. ke-I, h. 48; Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyuthiy di dalam Tadrîb al-Râwiy fî Syarh Taqrîb al-Nawawi, Penta lîq Abu Abdurrahman Shalah bin Muhammad bin Uwaidhah, (Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyyah, 1996), cet. ke-I, h. 111. 50 Muhammad bin Shaalih al- Utsaimin, Prinsip Ilmu Ushul Fiqih (al-Ushul min Ilm alUshul), penerjemah Abu Shilah dan Ummu Shilah, (http://tholib.wordpress.com, 2007), h 81. 51 Fatchur Rahman di dalam Ikhtisar Mushthalahul Hadits, op. cit., h. 331. Yang beliau nuqil dari Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits wa Ulumuhu, op. cit., h. 288. 52 Muhyi ad-Dîn Abu Zakaria al-Nawawiy al-Dimasyqiy al-Syafi I, Muqaddimah alNawawiy fî Ulum al-Hadits, op. cit., h. 48 dan Fatchur Rahman di dalam Ikhtisar Mushthalahul Hadits, ibid., h. 332.
51
lam hal terakhir itu ialah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pribadi. Berikut contoh haditsnya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;
:
,
...
, -
,
-
Artinya : Aku pernah melarangmu menziarahi kubur, kemudian ziarahlah. Dan aku pun pernah melarang makan daging binatang kurban selama lebih tiga hari, kemudian makanlah sesukamu.
53
Larangan menziarahi kubur telah dinasakh dengan nash yang terdapat dalam matan hadits itu sendiri, demikian pula halnya larangan makan daging binatang kurban selama tiga hari, telah dinasakh dengan nash yang terdapat dalam rangkaian hadits itu sendiri. b) Dengan penjelasan dari shahabat. Berikut contoh hadits nasikh yang dijelaskan oleh shahabat, berkata Jabir radhiallahu anhu;
: -
-
53
Hadits Shahih riwayat Muslim di dalam Mukhtashar Shahih Muslim, tahqiq Muhammad Nashiruddin al-Albaniy, (Riyaadh: Maktabah al-Ma aarif, 1996), cet. ke III, h. 133, no. 496, Kitab al-Janâ-iz Bab. Fî Ziyârah al-Qubur wa al-Istighfar lahum. Hadits tersebut mempunyai dua Syahid yakni dari Ibnu Mas ud yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah di dalam Sunan Ibnu Majjah, op. cit., h. 276, no. 1571 dengan sanad yang dha if dan dari jalan Buraidah yang diriwayatkan oleh atTirmidzi di dalam Sunan at-Tirmidzi, op. cit., h. 357, no. 1510.
52
Artinya : Yang terakhir dari dua kejadian yang berasal dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ialah meninggalkan wudhu bekas tersentuh api.
54
c) Dengan mengetahui tarikh hadits. Contoh hadits yang diriwayatkan oleh Syaddad radhiallahu anhu ketika beliau melihat seorang berjalan bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka Nabi bersabda;
: -
-
Artinya : Batallah puasa orang yang membekam dan orang yang dibekam.
55
Menurut Imam asy-Syafi i rahimahullahu hadits tersebut telah dinasakh oleh hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu;
-
,
-[
]
Artinya : Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah berbekam, padahal beliau sedang ihram56 (menambahkan pada
54
Hadits Shahih riwayat Abu Daud di dalam Sunan Abu Daud, op. cit., h. 37, no. 192 Bab. Fî Tarki al-Wudhu Mimma Massat an-Nâr; an-Nasâ-i di dalam Sunan an-Nasâ-i, op. cit., h. 3738, no. 185, Bab. Tarku al-Wudhu-i Mimma Ghayarat an-Nâr. 55 Hadits Shahih riwayat Abu Daud di dalam Sunan Abu Daud, ibid., h. 415, no. 2367, Bab. Fî ash-Shâ-im Yahtajim dan hadits tersebut mempunyai dua Syawahid yaitu dari Tsauban dan Abu Hurairah diriwayatkan oleh Ibnu Majjah di dalam Sunan Ibnu Majjah, op. cit., h. 294, no. 1679,1680 dan 1681, Bab. Mâ Jâ-a fî al-Hijâmah li ash-Shâ-im. 56 Hadits Shahih riwayat An-Nasâ-i di dalam Sunan an-Nasâ-i, op.cit., h, 441, no. 2845, 2846 dan 2847, Bab. al-Hijâmah li al-Muhrim; Ibnu Majjah di dalam Sunan Ibnu Majjah, ibid., h. 294, no. 1682, Bab. Mâ Jâ-a fî al-Hijâmah li ash-Shâ-im;Abu Daud di dalam Sunan Abu Daud, ibid., h. 319-320, no. 1835 dan 1836, Bab. al-Muhrim Yahtajim.
53
lafazh yang lain) dan beliau sedang berpuasa.
57
Di sebabkan hadits dari Syaddad tersebut disabdakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada tahun 8 Hijriah, yakni saat-saat dikuasainya kembali kota mekah, sedang hadits dari Ibnu Abbas disabdakan Nabi shallallahu alahi wa sallam pada tahun 10 Hijriah, yakni pada saat haji wada . 3. Tarjih Metode menyelesaikan hadits yang mukhtalif (bertentangan) setelah tidak bisa dengan menggunakan nasikh dan mansukh, maka para ulama menjelaskan dengan mengetahui dari dua hadits tersebut mana yang rajih dan yang marjuh. Maka ketika diketahui hadits tersebut yang rajih dan yang marjuh, para muhaddits sepakat hadits rajih yang diutamakan untuk diamalkan dan hadits yang marjuh ditinggalkan. Berikut salah satu contoh mentarjih hadits :
: -
-
Artinya : Dari I bnu Abbas radhiallahu anhuma, bahwasannya ia berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menikahi Maimunah dan beliau dalam keadaan haram (ihram).
58
57
Hadits Shahih riwayat Abu Daud di dalam Sunan Abu Daud, ibid., h. 319-320, no. 1835 dan 1836, Bab. al-Muhrim Yahtajim. Dan hadits yang lafazhnya secara utuh semuanya dha if, lihat Abu Daud di dalam Sunan Abu Daud, ibid., h. 416, no. 2373 juga at-Tirmidzi di dalam Sunan at-Tirmidzi, op. cit., h. 191 dan 205, no. 225, 773 dan 839. 58 Hadits Shahih riwayat Imam Bukhari lihat Ibnu al-Jauzi di dalam Shahih al-Bukhari Ma a Kasyf ak-Musykil, (Mesir: Daar al-Hadits, 2008), jilid II, h. 30, no. 1837, Bab Nikâh alMuhrim, serta jilid III, h. 608, no. 4258-4259 Bab Tazwîj al-Muhrim dan h. 226-227, no. 1837, Bab Umrah al-Qadhâ, Muslim di dalam Mukhtashar Shahih Muslim, op. cit., h. 212, no. 815, Bab
54
:
: :
, -
Artinya : Maimunah binti al-Hârits radhiallahu anhaa menyampaikan kepadaku (Yazid bin al-Ashim); Bahwasannya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menikahinya (Maimunah) dan dia (Rasulullah) dalam keadaan halal (Tahallul).
59
Kedua hadits di atas secara dhahir shahih, namun pada matannya tanaqudh (bertentangan). Para ulama menempuh jalan tarjih, dikarenakan tidak bisa ditautsiq (dikompromikan) dan tidak ada riwayat tarikhnya untuk melakukan nasikh-mansukh. Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albaniy60 rahimahullah di dalam catatan kaki mukhtashar Shahih Muslim menyebutkan bahwa; Hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhu adalah Syadz di kalangan para Muhaqqiqin karena bertentangan dengan hadits dari Maimunah radhiallahu anhaa yang mana beliau sendiri sebagai pelaku dalam kejadian tersebut, dan Imam asy-Syafi i rahimahullah pun menjelaskan bahwa hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhu tersebut Syadz di dalam kitabnya al-Umm, dan hadits dari Maimunah memiliki beberapa syahid di antaranya dari Uts-
an-Nahyu an Nikâh al-Muhrim wa Khithbatihi; Abu Daud di dalam Sunan Abu Daud, ibid., h. 321, no. 4258-4259, Bab al-Muhrim Yatazawwaj; an-Nasâ-iy di dalam Sunan an-Nasâ-iy, op. cit., h. 440, no. 2837-2841, Bab ar-Rukhshah fî an-Nikâh li al-muhrim; Ibnu Majjah di dalam Sunan Ibnu Majjah, op. cit., h. 340, no. 1965, Bab al-Muhrim Yatazawwaj. 59 Hadits Shahih riwayat Imam Muslim di dalam Mukhtashar Shahih Muslim, ibid., h. 212, no. 816, Bab an-Nahyu an-Nikâh al-Muhrim wa Khithbatihi; Abu Daud di dalam Sunan Abu Daud, ibid., h. 321, no. 1843, Bab al-Muhrim Yatazawwaj; Ibnu Majjah di dalam Sunan Ibnu Majjah, ibid., h. 340, no. 1964, Bab al-Muhrim Yatazawwaj. 60 Zakiy ad-Din Abd al- Adzim al-Mundziri, Mukhtashar Shahih Muslim, ibid., h. 212.
55
man bin Affan, dan Abu Rafi
61
ridhwanullahi alaihim ajma în.
Mentarjih hadits dapat ditinjau dari beberapa jalan, berikut kami jelaskan cara mentarjih hadits62 : 1). Dari jurusan sanad (i tibar as-Sanad). a). Hadits yang rawinya banyak, merajih hadits yang rawinya sedikit. b). Hadits yang diriwayatkan rawi besar, merajih hadits yang diriwayatkan rawi kecil. c). Hadits yang rawinya lebih tsiqah, merajih hadits yang rawinya kurang tsiqah. 2). Jurusan matan (i tibar al-Matn). a). Hadits yang mempunyai arti haqiqi merajih hadits yang mempunyai arti majazi. b). Hadits yang mempunyai petunjuk maksud dari dua segi, merajih hadits yang mempunyai petunjuk maksud dari satu segi. 3). Jurusan madlul. Mengikuti kaidah yang mengatakan, al-Mutsbit muqaddamun alâ anNafi , yaitu madlul yang positif merajih madlul yang negatif. 4). Jurusan dari luar (al-Umur al-Kharajah). Pada jalan ini dalil berupa qauliyah (perkataan) merajih dalil yang fi liyyah (perbuatan).
61
Dengan berkata Ketika itu aku adalah perantara antara keduanya. Lihat Muhammad bin Shâlih al- Utsaimîn di dalam Kaidah Ilmiyyah Usul Fiqih, yang saya dapat dari www. Maktabah Abu Syeikha bin Imam al-Magety/-mail :
[email protected]. h. 94. 62 Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, op. cit., h. 158.
56
4. Tawaquf Jalan terakhir yakni tawaquf adalah mengamalkan hadits yang telah ditarjih, maka hadits yang marjuh tersebut ditawaqufkan, sampai datang penjelasan yang lebih kuat dan shahih (benar), dan jika kedua hadits tersebut mempunyai kekuatan secara hukum yang tabi dan syahid berjumlah dan mempuyai derajat keshahihan yang sama, maka dipilih salah satunya untuk diamalkan,63 bukan kedua hadits tersebut ditawaqufkan, karena ada kemungkinan kedua atsar (riwayat) tersebut salah satunya benar. Maka dari penjelasan tawaquf tidak bisa lepas dari metode ketiga yakni tarjih, kedua-duanya harus bersamaan. Al- Utsaimîn rahimahullah di dalam kitab ushul fiqih beliau mengatakan bahwa tidak ada contoh hadits yang ditawaqqufkan (didiamkan), dan apabila tidak ada dalil yang merajih salah satu dari dua hadits (riwayat) tersebut maka wajib untuk mengamalkan kedua hadits tersebut pada apa-apa yang tidak terjadi pertentangan di dalamnya, dan tawaqquf pada bentuk hal yang saling bertentangan tersebut.64 2.2.6.3 Sebab-Sebab Terjadinya Ikhtilaf Ilmu Mukhtalif al-Hadits termasuk salah satu dari ilmu-ilmu hadits (ulum al-hadits) yang sangat diperlukan oleh para Muhaddtsin, fuqaha dan lainnya, dalam mempertahankan sunnah dari tanggapan negatif. Oleh karena itu ditulis oleh para ulama untuk menangkis tanggapan negatif itu. Bagi pencari ilmu yang hendak memetik hukum dari dalil-dalilnya hendaklah 63
Contoh seperti ini hampir tidak ditemukan. Lihat Muhammad bin Shâlih al- Utsaimîn di dalam Kaidah Ilmiyyah Usul Fiqih, op. cit., h. 94 dan 96-97, perkataan ini serupa dengan perkataan Imam al-Thahawiy. 64
57
mempunyai pengetahuan mendalam, pemahaman yang kuat, mengetahui keumuman dan kekhususannya, mengenal kemutlakan dan kemuqayyadannya dari dalil-dalil tersebut. Ia tidak cukup hanya menghafal hadits-hadits, jalan dari sanad-sanadnya, dan lafazh-lafazhnya (matan-matan) tanpa mengetahui ketentuan-ketentuannya dan tanpa memahami dengan sebenar-benarnya. Dengan adanya ilmu ini, sangat berfungsi untuk menyelesaikan perbedaan pendapat di antara kalangan para ulama mujtahid. Sebelum memulai pembahasan tentang hal ini, maka perlu sekali untuk kita amalkan bahwa dalam menghadapi perbedaan di antara para ulama, kita harus mengedepankan sikap berbaik sangka (husnu al-dzan) kepada para ulama mujtahid yang telah banyak meninggalkan ilmu yang sangat bermanfaat bagi kita semua. Bahwa mereka (para ulama) tidaklah sekali-kali berani menghalalkan apa-apa yang Allah dan Rasul-Nya haramkan demikian juga sebaliknya. Jika ternyata ada di antara pendapat mereka yang bertentangan, maka itu disebabkan beberapa sebab sebagaimana yang akan kita bahas dalam bab ini. Kemudian hendaklah kita memiliki akhlak seperti akhlaknya ahli ilmu. Yaitu menghargai setiap pembahasan yang didasari dengan ilmu (bukan taqlid), karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun menghargai para shahabat meskipun sering terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Coba kita renungkan cerita Nabi Daud alaih al-Salam dan anaknya Nabi Sulaiman alaih al-Salam ketika keduanya memutuskan hukum dengan ijtihad-nya masing-masing dan berbeda pendapat. Yaitu tentang perkara satu kebun yang
58
dirusak oleh kambing satu kaum. Dalam hal ini ijtihad Nabi Sulaiman alaih al-Salam lebih tepat dari ijtihad bapaknya (Nabi Daud alaih al-Salam), tapi ternyata Allah Azza wa Jalla tidak mencela keputusan Nabi Daud alaih alSalam yang salah dalam ijtihadnya bahkan menghargai keduanya. Allah alKarîm berfirman :
. Artinya : Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambingkambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu. 65 Ini menunjukkan bahwa Allah al-Hamîd memuji keduanya meskipun yang benar dalam hal ini adalah Nabi Sulaiman alaih al-Salam dan Nabi Daud alaih al-Salam sendiri setelah mengetahui ijtihad anaknya, ia mengakui bahwa inilah keputusan yang haq dan tepat, lalu ia pun ruju .66 Berikut beberapa sebab terjadinya perbedaan (ikhtilaf) pendapat di antara para Ulama : 1.
Suatu hadits telah sampai kepada satu imam tapi hadits ini tidak
sampai kepada imam yang lain. Hal yang semacam ini bukan saja terjadi di antara para tabi in atau tabi ut tabi in bahkan di kalangan para
65
Departemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahan, op.cit., QS. al-Anbiyâ, 21: 78-79. Imâd ad-Dîn Abu al-Fidâ bin Katsir di dalam Tafsir al-Qur an al- Adzîm, (Kairo: alMaktabah al-Taufiqiyyah, t.th), jilid V, hal 263-266. 66
59
shahabat sendiri banyak sekali kejadian seperti ini. Sebab telah sama kita ketahui, tidak semua shahabat dapat hadir di majlis Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Para shahabat yang hadir di majlis Nabi shallallahu alaihi wa sallam, mereka meriwayatkan apa-apa yang mereka dengar dan saksikan, adakalanya kepada shahabat atau kepada para tabi in. Oleh sebab itu terjadilah perbedaan pengetahuan tentang Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahkan sampai orang yang paling dekat dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam sekali pun seperti Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin al-Khathab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib ridhwanullahu alaihim ajma în tidak sedikit hadits yang tidak sampai kepada mereka, bagaimanakah dengan orang-orang yang sesudah mereka dan sesudah mereka. 2.
Adakalanya suatu hadits itu sampai kepada satu imam dengan jalan
yang lemah (dha if), tapi sampai kepada imam yang lain dengan jalan (sanad) yang shahih. 3. Sesuatu hadits sampai kepada satu imam yang menurut pendapatnya sendiri hadits itu lemah, dan hadits yang sama sampai kepada imam yang lain dan menurut pendapatnya haditsnya shahih. Baik mereka yang melemahkan maupun yang menshahihkan mempunyai alasanalasan menurut kemampuannya masing-masing. Sebab adakalanya seorang rawi itu telah dikenal keadaannya dan keadilannya oleh segolongan ulama. Tapi hal ini tersembunyi oleh yang lainnya sehingga mereka menganggapnya rawi itu majhul atau sampai kepada mereka
60
tentang kecacatannya. Sebab tidak ada seorang pun rawi yang selamat dari cacat, baik cacatnya itu beralasan atau tidak.67 4.
Dalam satu masalah, suatu hadits telah sampai kepada beberapa
imam, namun di antara mereka telah ada yang lupa, apa yang pernah ia terima atau riwayatkan. Sehingga waktu dia memberi fatwa menyalahi dari yang lainnya. Karena ia menganggap tidak ada haditsnya masalah yang semacam ini pun terjadi di kalangan para shahabat. 5.
Suatu hadits telah sampai kepada satu imam tapi menurut
pendapatnya hadits itu telah di-mansukh (dihapus hukumnya). Hadits yang sama sampai kepada imam yang lain, tetapi menurut pendapatnya hadits tersebut tetap mempunyai hukum (tidak di-mansukh). 6.
Mereka mendapat beberapa hadits yang secara dzahirnya saling
bertentangan. Lalu di antara mereka ada yang menempuh jalan jama , sedangkan yang lainnya menempuh jalan tarjih. Ini semua menurut kesanggupan mereka masing-masing. Setelah mereka sepakat mengatakan bahwa jalan jama
harus didahulukan dari jalan tarjih. Dengan
demikian, mereka yang menempuh jalan tarjih, beranggapan bahwa hadits-hadits tersebut tidak memungkinkan lagi untuk di-jama ,
67
Hanya sebagai contoh untuk kita ketahui bahwa Ibnu Lahi ah al-Mishriy adalah salah satu qadhi yang jujur, dia lemah karena hafalannya yang campur aduk kecuali dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abadilah ( Abadilah yang tiga) mereka yaitu Abdullah bin al-Mubarak, Abdullah bin Wahab dan Abdullah bin Muqri. Keterangan ini kami temukan di dalam Muqaddimah shahih al-Targhib wa al-Tarhib, op. cit., jilid I, h. 21 dan pada kitab Tamam alMinnah fî Ta lîq ala fiqh al-Sunnah, op. cit., h. 427, keduanya disusun oleh Muhammad Nashiruddin al-Albaniy; Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abdul Haadî ad-Dimasyqî ash-Shaalihî di dalam Thabaqaat Ulamaa al-Hadîts, tahqiq Akram al-Bûsyî dan Ibrahim azZîbaq, (Beirut: Muassasah ar-Risaalah, 1996), cet. ke-II, jilid I, h. 350-352, no. 207.
61
sedangkan mereka yang menempuh jalan jama beranggapan bahwa hadits-hadits tersebut masih bisa di-jama . 7.
Mereka berbeda penafsiran dalam lafazh-lafazh hadits yang gha-
rib68 (asing, jauh, aneh dan susah dipahami). 8.
Kadang-kadang suatu hadits sampai kepada satu imam yang ia fa-
ham dari bahasa hadits itu ternyata berbeda dengan bahasa yang biasa dipakai oleh Nabi shallallahu alahi wa sallam dan para shahabatnya. Ini disebabkan karena negeri tempat tinggal imam-imam itu berlainan. Adakalanya lafazh-lafazh hadits itu di negerinya mempunyai arti yang berbeda dengan negeri yang lain. Ini disebabkan karena bahasa Arab itu mempunyai jangkauan yang luas sekali. 9.
Satu hadits sampai kepada satu imam dengan lafazh yang asli. Ha-
dits tersebut pun sampai kepada imam yang lain tapi dengan riwayat bi al-ma na, apa yang ia faham dari riwayat bi al-ma na itu menyalahi riwayat dengan lafazh yang aslinya. Ini disebabkan karena rawi lafazh yang asli itu salah faham dalam menangkap maksud riwayat yang asli tersebut, lalu ia riwayatkan secara makna yang justru menyalahi lafazh aslinya. Lalu kedua riwayat tersebut diterima oleh para ulama mujtahid. 10. Mereka berselisih di dalam kaidah-kaidah ushul fiqih. 11. Mereka berbeda pendapat tentang tujuan firman Allah al-Rahman dan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Di antara mereka ada yang berpegang kepada dhahirnya nash-nash tersebut. Sedangkan 68
Gharib adalah lafazh-lafazh dalam matan hadits yang sulit dan sukar dipahamkan, karena jarang sekali digunakan. Saya nuqil dari Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, op.cit., h. 321.
62
yang lain berpegang kepada arti yang dimaksud oleh nash-nash tersebut.69 2.2.6.4 Kekeliruan-kekeliruan dalam Memahami Ilmu Mukhtalif alHadits Kami sengaja menjelaskan tentang beberapa kekeliruan dalam memahami ilmu Mukhtalif al-Hadits ini untuk menyebutkan beberapa alasan yang memperkuat hujjah sebagian pendapat di dalam memahami hadits yang dijadikan dalil di dalam pokok pembahasan skripsi ini, berikut beberapa kesalahan yang kami temukan : 1.
Membagi bahwa adanya macam-macam pertentangan hadits (ikhtilaf al-hadits) di antaranya; Pertentangan antara al-Hadits dengan al-Qur'an.70 Abdul Qadir Hasan menyebutnya dengan al-tanaqudh bayna al-
hadits wa al-Qur'an.71 Hadits-hadits yang tidak sejalan dengan alQur'an harus ditinggalkan sekalipun sanadnya shahih, karena al-Qur'an berfungsi sebagai penentu hadits untuk dapat diterima dan bukan sebaliknya.72
69
Pembahasan tersebut saya nuqil dari Abdul Hakim bin Amir Abdat di dalam al-Masâ-il, (Jakarta: Darus Sunnah, 2006), cet. ke III, jilid II, h. 266-275 yang beliau ringkas dari Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah di dalam kitabnya Raf ul Malam anil Aimatil A lam, ad Dahlawi di dalam Hujjatul Baalighah dan al-Inshaf fii Asbabul Ikhtilaf juga Syaikh Ali al-Khafif di dalam Asbabu Ikhtilafi Fuqaha. 70 Mereka menolak hadits dengan cara memper-tentangkan antara al-Hadits dengan alQur an atau sebaliknya, al-hadits dengan al-Hadits dan al-Hadits dengan akal, dengan kaidah tersebut secara tidak langsung menuduh para penukil dan perawi hadits (Ulama Hadits) telah keliru (salah) dalam menyampaikan dan meriwayat hadits. 71 Abdul Qadir Hasan di dalam Ilmu Musthalah al-Hadits, (Bandung: CV Diponegoro, 1996), h. 216. 72 Bustamin M. Isa, Metodologi Kritik Hadits, (Jakarta: Grafindo Persada, 1994), h. 72. Renungkanlah perkataan imam asy-Syafi i berikut: Setiap yang dihukumkan (diputuskan) oleh
63
Sejak masa khulafa al-rasyidin para shahabat pun telah melakukan kritik hadits dengan cara menghadapkannya dengan al-Qur'an, dan mereka menolak semua hadits yang bertentangan dengan al-Qur'an73, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh 'Aisyah radhiallahu anhaa terhadap hadits 'Umar radhiallahu anhu yang menerangkan "Mayit74 disiksa karena tangisan keluarganya." Di dalam masalah ini sebenarnya hadits-hadits tentang hal tersebut bisa didudukkan pada hukumnya masing-masing, bahkan kedua hadits tersebut saling menjelaskan antara satu dengan yang lainnya, sehingga bagaimana mungkin hadits tersebut dikatakan saling kontradiktif antara satu dengan yang lainnya.75 Semua ulama hadits sepakat bahwa ilmu mukhtalif al-hadits ialah ilmu yang hanya menjelaskan tentang terjadinya pertentangan di antara hadits bukan antara hadits dengan al-qur an, maka dari itu kita harus
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka itu adalah pemahamannya dari al-Qur an. (Muqaddimah tafsir al-Qur an al- Adzim oleh ibnu Katsir). Dan telah berkata Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu:
, Sesungguhnya akan datang manusia yang mereka membantah kamu dengan syubhat-syubhat dari (ayat-ayat) al-Qur an, maka lawanlah mereka dengan al-Hadits (yakni hadapilah mereka dengan membawakan al-Hadits sebagai penjelas al-Qur an), karena sesungguhnya ahli hadits itu lebih tahu tentang kitab Allah (al-Qur an). Hadits riwayat imam Ad-Dârimi. Lihat Abu Unaisah, al-Masâil, op. cit., jilid V, h. 17-18. 73 Pernyataan ini perlu diteliti kembali, sepengetahuan penulis pada zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam kejadiannya justru sebaliknya yakni; para shahabat menerima semua hadits yang dating walau pun tidak terdapat hukumnya secara rinci atau sama sekali tidak ada di dalam alQur an. 74 Lihat Muhammad bin Idris asy-Syafi i di dalam al-Umm, op. cit., jilid X, h. 216-217, tentang pertentangan tersebut telah dijawab oleh imam Ibnu Qutaibah rahimahullah di dalam kitab beliau Ta wil Mukhtalif al-Hadits, tahqiq Muhammad Abdurrahman, Alih Bahasa team Foksa, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), cet. ke-I, h. 414-431, kami pun menjelaskannya di akhir pembahasan selanjutnya. 75 Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa id bin Hazm di dalam al-Ihkâm fî Ushûl alAhkâm, tahqiq Ahmad Muhammad al-Syakir, (Beirut: Dâr al-Ifâq al-Jadîdah, t.th), jilid I, h. 104.
64
meyakini bahwa al-Qur an selamanya tidak akan bertentangan dengan al-Hadits kecuali dua sebab yakni hadits tersebut tidak maqbul (mardud) atau kita tidak memahami hadits tersebut dalam artian bahwa akal kita yang tidak beres (jahil di dalam ilmu hadits). Kita mengetahui bahwa al-Qur an berhajat kepada al-Sunnah (alHadits) sebagai penafsir, sebagaimana firman Allah al-Jabbar :
... Artinya : Dan Kami turunkan kepadamu al-Dzikra (Al-Quran), agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berpikir.
76
Di bawah ini kami mengutip beberapa kaidah yang sangat penting yang telah dijelaskan secara jelas oleh Ustadz Abu Unaisah bin Amir Abdat rahimahullah :77 Kaidah pertama : Bahwa ayat al-Qur an selamanya tidak akan bertentangan dengan ayat al-Qur an yang lain, dan bahwa ayat alQur an saling menafsirkan antara satu dengan yang lainnya. Kaidah kedua : Bahwa al-Hadits selamanya tidak akan bertentangan dengan al-Qur an dengan syarat hadits tersebut shahih dan belum dimansukh (dihapus hukumnya). Tidak seorang pun juga yang selalu mempertentangkan antara al-Hadits dengan ayat al-Qur an atau sebaliknya (serta kaidah-kaidah syubhat lainnya) melainkan jahil 76
Depertemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahan, op.cit.,QS. An-Nahl, 16: 44. Abu Unaisah bin Amir Abdat, Al-Masaa-il, op. cit., jilid III, h. 37-41 dan 80-83 dan Menanti Buah Hati dan Kado untuk yang Dinanti, (Jakarta: Mu awiyah bin Abi Sufyan, 2007), h. 31-33, catatan kaki no. 8. 77
65
terhadap dua asas dan mendasar sekali dari dua kaidah besar, yakni; 1) Jahil terhadap manhaj ilmiyyah para shahabat dalam memahami alQur an dan al-Hadits. Manhaj mereka ialah: Berpegang dengan keumuman dan kemutlakan ayat untuk menerima hadits-hadits yang datang secara rinci meski pun tidak terdapat di dalam al-Qur an dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam diperintahkan untuk memberikan bayan (penjelas) kepada manusia sebagaimana disebutkan di dalam surah an-Nahl ayat 44 di atas. Dan ini adalah satu dari keumuman dan kemutlakan ayat, ayat tersebut menjadi dasar bahwa hadits adalah dasar hukum Islam yang kedua setelah al-Qur an. Dan al-Haditslah yang menjelaskan al-Qur an. Tidak boleh dipisah-pisahkan antara al-Hadits dengan al-Qur an selamanya harus bersama. Hadits wajib diterima secara keseluruhannya tidak boleh sebagiannya dipakai dan sebagiannya lagi ditinggalkan. Oleh karena itu seorang tidaklah mungkin (mustahil) dapat memahami dan mengamalkan al-Qur an bahkan Islam tanpa al-Sunnah atau al-Hadits. Ayat tersebut lalu dijelaskan oleh ayat yang lain dari surah al-Hasyr [59]: 7 menyebutkan :
...
...
Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
78
Ayat ini menjadi dasar untuk menerima baik perintah maupun 78
Depertemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahan, ibid., QS. Al-Hasyr, 59/7.
66
larangan semua al-Hadits yang datang secara rinci meskipun tidak terdapat hukumnya satu persatu di dalam al-Qur an. Dalam hal ini para Shahabat dan pengikut-pengikut mereka sampai hari ini, termasuk di dalamnya imam yang empat menerima semua hadits tersebut dengan berpegang dengan keumuman ayat di atas dan kemutlakannya. 2)
Jahil terhadap perjalanan ilmiyyah para ulama.79 Berikut adalah contoh Hadits maqbul yang dikatakan bertentangan
dengan ayat al-Qur an atau sebaliknya; Kita baca di dalam buku Ikhtishar Mushthalahul Haditsnya Fatchur Rahman menukil sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Aisyah
radhiallahu anhaa tentang Nabi shallallahu alaihi wa sallam disihir oleh seorang Yahudi yang bernama Lubaid bin A sham, ujarnya:
... -
-...
Artinya : Dari Aisyah radhiallahu anha, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah disihir oleh seorang dari kalangan Yahudi.... Aisyah berkata; sehingga terbayang oleh beliau seakan-akan mendatangi istrinya, padahal tidak mendatanginya ...
80
79
Salah satunya adalah jika mendapatkan dua hadits yang secara dhahir bertentangan, mereka menyelesaikannya dengan Ilmu Mukhtalaif al-Hadits, bukan mengandalkan ra yu (pikiran) semata, akan dijelaskan pernyataan mereka tentang parkara tersebut pada sub pokok berikutnya. 80 Hadits Shahih riwayat Bukhâriy lihat Ibnu al-Jauzi di dalam Shahih al-Bukhâri ma a Kasyf al-Musykil, op. cit., jilid IV, h. 76-80, no. 5763, 5765 dan 5766, Kitab At-Thib; Muslim lihat Ibnu Mundzir di dalam Mukhtashar Shahih Muslim, op. cit., h. 375, no. 1445, Kitab ar-Ruqiya. Di dalam mengomentari hadits di atas Syaikh al-Albaniy mengatakan : Dan ketahuilah, bahwa hadits ini sanadnya shahih tanpa adanya keraguan, diriwayatkan oleh asy-Syaikhân dan selain keduanya dari jalan Hisyam bin Urwah dari Bapaknya dari Aisyah, dan hadits ini memiliki Syahid dari hadits Zaid bin Arqam riwayat Ahmad bin Hanbal dengan sanad yang shahih, juga Ibnu
67
Sayyid Qutub81, Abu Bakar al-Jashash dan Muhammad Abduh mengingkari hadits tersebut, karena berlawanan dengan ayat al-Qur an. Allah al-Haq membohongkan tuduhan orang kafir terhadap tersihirnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dalam firman-Nya Qur an Surat alIsrâ [17]: 47 menyebutkan :
... Artinya : Ketika orang-orang zalim itu berkata: "Kamu tidak lain hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang kena sihir."82 Jikalau orang mempercayai riwayat tersebut, berarti membenarkan tuduhan orang-orang musyrik yang mendustakan al-Qur an. Karena itu biarkan hadits itu shahih (maqbul), tetapi tak dapat diamalkan.83 Imam al-Mazari rahimahullahu berkata:
Sebagian ahli bid ah
tidak menerima hadits ini karena dianggap mengurangi dan meragukan derajat kenabian , beliau melanjutkan: Semua alasan tersebut tidak bisa diterima karena hujjah telah menetapkannya bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam seorang manusia yang jujur dalam menyampaikan risalah dan beliau shallallahu alaihi wa sallam dipelihara oleh Allah Azza wa Jalla dari kesalahan ketika menyampaikan wahyu-Nya. Sa ad dengan jalan yang lain dan juga sanad yang shahih, diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas, Sa id bin al-Musayyab dan Ikrimah radhiallahu anhum. Telah salah Rasyid Ridha rahimahullah dan para pengikutnya di dalam mendha ifkan hadits ini, disebabkan bertentangan dengan ayat alQur an Surat al-Isrâ [17]: 47. Lihat catatan kaki di dalam Mukhtashar Shahih Muslim ketika mengomentari hadits tersebut. 81 Berkata Sayyid Qutub: Hadits tersebut ditolak karena tidak mutawatir dan ditentang oleh ayat al-Qur an yakni surat al-Israa yang akan dijelaskan setelah ini. Lihat Zaenal Abidin di dalam Ensilopedi Penghujatan Terhadap Sunnah, op. cit., h. 75 yang beliau nukil dari kitab tafsir Sayyid Qutub ketika beliau berkomentar tentang surat al-Falaq. 82 Depertemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahan, op.cit., QS. Al-Isrâ, 17: 47. 83 Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, op.cit., h. 147-149.
68
Adapun yang berkaitan dengan perkara dunia yang bukan menjadi tujuan utama dari risalah dan kenabian, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam seperti manusia biasa yakni bisa terkena musibah dan terjangkit penyakit, serta terkena sihir yang berpengaruh ke jasadnya.
84
Kaidah ketiga : al-Hadits dengan al-Hadits selamanya tidak akan bertentangan dengan syarat hadits-hadits tersebut shahih dan belum dimansukh (dihapus) hukumnya. Jenis pertentangan tersebut menurut Abdul Qadir Hasan disebut sebagai tanaqudh al-riwayatayn (pertentangan antara dua riwayat), selanjutnya ia mengatakan: Sepanjang pengetahuan saya, tidak terdapat satu pun sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang betul-betul bertentangan dengan sabdanya yang lainnya, hanya ada riwayat perjalanannya yang nampak berlawanan dengan riwayat lain.
85
Kaidah yang keempat : Dalil-dalil naqli (al-Qur an dan al-Hadits) dan dalil-dalil aqli (akal) selamanya tidak akan bertentangan dengan syarat shahih akalnya dan sharih (tegas) bukan akal yang saqim (sakit) dan idhthirab (goncang). Adapun hadits-hadits yang bertentangan dengan akal yang shahih dan sharih termasuk ke dalam hadits maudhu . Fatchur Rahman86 menyebutkan bahwa ciri-ciri hadits maudhu (palsu) yang terdapat pada 84
Qadhi Iyad menambahkan : Dengan demikian nyatalah bahwa sihir itu hanya menguasai jasad dan beberapa anggota tubuhnya yang nampak dan sihir tersebut tidak mampu menguasai akal sehat dan keimanan beliau shallallahu alaihi wa sallam. Lihat Zaenal Abidin di dalam Ensiklopedi Penghujatan Terhadap Sunnah, op. cit., h. 272-274 yang beliau nukil dari Fath alBaari. 85 A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah al-Hadits, op.cit., h. 217. 86 Fatchur Rahman, ikhtishar Mushthalahul Hadits, op. cit., h. 171.
69
matan adalah apabila makna matan hadits tersebut bertentangan dengan al-Qur an, hadits mutawatir87, ijma dan akal yang shahih dan sharih (tegas). Namun semua itu diawali dari penelitian hadits tersebut dengan ilmu Takhrij al-Hadits, karena dengan ilmu tersebut kita secara langsung bisa mengidentifikasi sebuah hadits tersebut maudhu (palsu) atau tidak. Berikut salah satu contoh hadits maqbul (shahih atau hasan) yang dikatakan bertentangan dengan akal; Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu
anhu bahwa Nabi Ibrahim
alaihi al-sallam pernah
berdusta tiga kali, ujarnya:
: (
) -
, - ...
(
)
Artinya : Nabi Ibrahim alaihi al-sallam tidak pernah berdusta selain hanya tiga kali. Yang dua kali berdusta mengenai zat Allah Azza wa Jalla, yaitu tentang perkataannya: Aku sakit dan perkataannya: Bahkan pemimpin mereka (patung yang besar) yang membuatnya demikian . Dan yang satu lagi tentang keadaan Sarah... 88 Pada hadits tersebut dikatakan tidak bisa diterima, dengan alasan bahwa menganggap dusta kepada Nabi dan Rasul, tidak dapat diterima oleh akal yang sehat, sebab beliau Nabi Ibrahim alaihi al-sallam telah diakui oleh al-Qur an dan al-Sunnah tentang kejujurannya.
87
Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang rawi dalam setiap thabaqah, sehingga mustahil mereka semua sepakat untuk berdusta. Lihat Ibnu Qutaibah, Ta wil Mukhtalif al-Hadits, op.cit., h. 13; Mahmud ath-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits, op. cit., h. 19. 88 Hadits Shahih diriwayatkan oleh Muslim lihat Ibnu Mundzir di dalam Mukhtashar Shahih Muslim, op. cit., h. 420-421, no. 1610, Kitab Dzikr al-Anbiyâ wa Fadhlihim.
70
Di dalam memahami hadits di atas syaikh Salim bin Ied menyebutkan hal itu (berbohong) terjadi dalam keadaan takut yang sangat manusiawi yang menimpa Nabi Ibrahim alahi al-sallam, sehingga keadaan tersebut membolehkan untuk dilakukannya larangan, sebagaimana kaidah fiqih menyebutkan; Keadaan darurat membolehkan dilakukannya larangan. Dan meski dusta itu buruk dan menimbulkan yang tidak baik, namun demikian hal itu bisa saja berubah menjadi hal yang baik, dan hal tersebut (yang dilakukan oleh Nabi Ibrahin alaihi al-Salam) salah satu darinya.89 2. Adanya pemahaman bahwa adanya kaidah Shahih sanad dha if matan .90 Hal tersebut dipahami karena adanya pembagian dari macammacam ikhtilaf al-hadits pada sebab yang pertama di atas menyebutkan adanya pertentangan antara hadits dan al-qur an91 dan juga dari penjelasan salah satu kaidah yang menyebutkan :
89
Syaikh Salim bin Ied al-Hilali di dalam Kisah Shahih para Nabi, Alih Bahasa M. Abdul Ghoffar E.M, (Bogor: Pustaka Imam asy-Syafi i, 2009), cet. ke-II, jilid I, h. 275. 90 Lihat Modul Mushthalah al-Hadits Program Tatsqif Ma had Bina Ukhuwah disusun oleh Yayasan Bina Usaha, (Karawang: Yayasan Bina Ukhuwah, 2005), h. 14; Aceng Zakaria di dalam al-Hidayah, op. cit., jilid I, h. 44 dan jilid III, h. 209. Dengan kaidah tersebut secara tidak langsung menuduh (su u al-dhan) bahwa para ulama hadits (khususnya dua penulis kitab ash-Shahihain) kurang paham dalam ilmu yang agung yakni Mushthalah al-Hadits dan semua ilmu yang berkaitan dengan kritik hadits. 91 Maksudnya : Hadits tersebut dinilai dha if matan karena bertentangan dengan ayat alQur an, dengan hujjah ; ... ( ) Dan di antara kriteria (hadits yang saqim/sakit = dha if) adalah bertentangan dengan nash alQur an Lihat Aceng Zakaria, al-Hidayah, op. cit., jilid I, h. 44. Menurut penulis : Sepintas pendapat tersebut sangat tepat, tetapi coba kita perhatikan!, apakah seperti itu kita (khususnya para ulama hadits) menghukumi derajat sebuah hadits? Pernyataan
71
,
Tidak talazum92 (kaitan/hubungan) antara sanad dengan matan dalam hal keshahihannya, sebab terkadang sanad shahih karena memenuhi persyaratan/kriteria, baik kesinambungan sanad maupun yang lainnya padahal matannya tidak shahih, karena terdapat syad-syad padanya. Atau kadang tidak shahih karena tidak memenuhi persyaratan shahih padahal isinya (matan) shahih dengan jalan yang lain (oleh riwayat lain).
93
Dari kaidah tersebut, maka disimpulkan bahwa suatu hadits yang sanadnya shahih bisa menjadi dha if disebabkan matannya dha if karena bertentangan dengan salah satu ayat al-Qur an. Ustad Abu Unaisah mendha ifkan matan hadits yang telah nyata sanadnya shahih dengan jalan membenturkan langsung dengan ayat al-Qur an adalah terburu-buru bahkan kesalahan yang sangat fatal, pahamkanlah! 92 Istilah para pakar mantiq; saling berkaitan atau saling menetapkan, seperti jika seorang muslim pasti ia shalat. Jadi maksud tidak talazum antara sanad dan matan ialah tidak berarti setiap sanad shahih pasti matan shahih bisa saja berarti sanad shahih tetapi matannya dha if dan sebaliknya. Lihat Aceng Zakaria, al-Hidayah, op. cit., jilid I, h. 45 pada catatan kaki. 93 Aceng Zakaria di dalam al-Hidayah, op. cit., jilid I, h. 44-45 dan jilid III, h. 198, no. 4 yang beliau nuqil dari kitab Minhah al-Mughits, h. 10, para Ulama ahli hadits di dalam perjalanan ilmiah mereka meneliti sebuah hadits, tatkala mendapatkan sebuah hadits yang telah ada hukumnya (derajat) seperti Shahih, Hasan, Dha if, Maudhu (palsu) dan Laa Ashla Lahu (tidak ada asal-usulnya) mereka (para Ulama hadits) tidak akan berhenti sampai di sini. Tetapi mereka tetap saja melanjutkan pemeriksaan, karena ilmu tidak mempunyai tempat perhentian. Untuk hadits shahih lidzatihi yang telah memiliki kekuatan tersendiri walaupun tanpa bantuan dari luar karena telah memenuhi syarat-syarat hadits shahih, mereka tetap saja akan mencari thariq (Jalan atau Mutaba ah) dan Syahidnya. Sehingga apabila mereka mendapatkannya, maka hadits itu akan mempunyai kekuatan di atas kekuatan yang telah ada. Kemudian dapatlah diketahui apakah hadits itu Gharib atau Aziz atau Masyhur (semuanya masuk ke dalam hadits ahad) atau mutawatir. Semuanya tersebut sebagai fadhilah atau keutamaan yang sangat besar dalam membela Sunnah Nabi yang mulia shallallahu alaihi wa sallam. Untuk Hasan Lidzatihi maka mereka akan mencari thariq dan syahidnya untuk menaikkan derajat hadits itu menjadi Shahih Lighairih. Untuk yang dha if, maka mereka akan berusaha keras semampu mereka untuk mencari dan meneliti tabi dan syahidnya yang sama derajat kelemahannya, apalagi yang lebih ringan kelemahannya, bukan yang dibawahnya. Karena kalau dengan derajat yang dibawahnya, niscaya hadits itu akan menjadi ambruk bukan naik bahkan semakin lemah di atas kelemahannya. Oleh karena itu di antara perkataan ilmiah mereka, Banyaknya thuruq tidak menjadi jaminan bahwa hadits itu akan menjadi naik derajatnya. Lihat Abu Unaisah bin Amir Abdat, al-Masaa-il, op. cit., jilid X, h. 346347.
72
Abdul Hakim berkata, Saya pernah menanyakan perkara ini kepada alAllamah Ali Hasan94 rahimahullah, beliau menjawab; Paham ini sangat bathil dan tidak pernah dipahami oleh para ahli hadits .
95
Beliau
(Abu Unaisah) melanjutkan penjelasannya bahwa yang dimaksud adalah hadits tersebut secara dhahirnya shah, namun di dalam matannya terjadi tanaqudh (pertentangan) dengan hadits yang lain, maka para ulama menyelesaikannya dengan ilmu Mukhalif al-Hadits, bukan mempertentangkan antara al-Hadits dengan ayat al-Qur an.96 Al-Qur an dan as-Sunnah selamanya tidak akan pernah bertentangan, karena keduanya adalah wahyu dari Allah al-haq, dengan syarat hadits tersebut telah tsabit (Shahih atau Hasan) dan belum dimansukh (dihapus) hukumnya. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Hazm.97 Hanya ada dua kemungkinan bila terjadi ta arrud: Pertama, hadits tersebut tidak tsabit (dha if)98 dan kedua, orang tersebut salah dalam memahami atau tidak dapat memahami kedua wahyu tersebut, dengan kata lain ra yu (fikiran) orang tersebutlah yang ta arrud (bertentangan) bukan wahyu. 94
Salah satu murid senior dari Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâniy. Di dalam salah satu ceramah beliau ketika membahas tentang buku beliau Pengantar Ulûm al-Hadits. 96 Jika pembaca ingin melihat contohnya, silahkan baca dipembahasan telah lalu tentang cara mentarjih hadits pada skripsi ini. 97 Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa id bin Hazm di dalam al-Ihkâm fî Ushûl alAhkâm, op.cit., jilid I, h. 104. 98 Contoh yang tepat lihat Aceng Zakaria, al-Hidayah, op. cit., jilid III, h. 210 yang dinuqil penulis dari cacatan kaki Muhammad bin Ismâ îl al-Kahlâniy al-Shan âniy, Subul al-Salâm Syarh Bulugh al-Marâm min Jam i Adillah al-Ahkâm, (Bandung: Maktabah Dahlân, t.th), jilid IV, h. 91. Al-Albaniy menyebutkan hadits tersebut tidak ditemukan di kitab ad-Daruquthniy, bahkan hadits tersebut dinilai dha if oleh al-Albaniy. Keterangan tersebut kami temukan di dalam kitab Muhammad bin Ismâ îl al-Kahlâniy al-Shan âniy, Subul al-Salâm Syarh Bulugh al-Marâm Takhrij Hadits berdasarkan Takhrij Kitab-Kitab Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaniy, Alih Bahasa Ali Nur Medan dkk., (Jakarta: Darus Sunnah, 2009), cet. ke-III, jilid III, h. 570. 95
73
Berkata Imam asy-Syafi i rahimahullahu:
Sunnah (al-Hadits) selamanya tidak akan bertentangan dengan Kitab Allah (alQur an).
99
Berkata Ibnu Hajar al- Atsqalaniy rahimahullahu :
:
] [ 4- 3 Dan penting untuk diketahui bahwasannya dua hadits yang shahih dari
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selamanya tidak akan bertentangan, karena Beliau shallallahu alaihi wa sallam tidaklah mengucapkan sesuatu kecuali berdasarkan wahyu (Tidaklah yang diucapkan itu menurut hawa nafsu, tiada lain kecuali wahyu yang diwahyukan: an-Najm; 3-4) tiada lain ta arudh (pertentangan) terjadi (disebabkan) dari buruknya (kurangnya) pemahaman manusia terhadap perkataannya shallallahu alaihi wa sallam.
100
Dan juga Ibnu Khuzaimah berkata rahimahullahu :
, Aku tidak pernah mengetahui (mendapatkan) ada dua hadits yang saling bertentangan, maka barang siapa yang di sisinya (mendapatkan/menemukan) maka datangkan kepadaku dengannya (hadits yang bertentangan) niscaya akan aku jinakkan (dapat didudukkan).
101
99
Muhammad bin Idris asy-Syafi i di dalam al-Umm, op. cit., jilid I, h. 86. Ibnu Hajar al- Atsqalaniy di dalam Syarh Nukhbah al-Fikr fî Mushthalah Ahlu al-Atsar, pensyarah Abu Mu adz Thariq bin Audhillah bin Muhammad, (Riyâdh: Dâr al-Mughni, 2009), cet. ke-I, h. 208. 101 Engkos kosasih pada ceramah beliau ketika mengajar pelajaran Ulûm al-Hadits tahun ajaran 2007/2008 semester IV, yang beliau nuqil dari kitab Tadrib ar-Rawi dan Fath al-Mughits. 100
74
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâh berkata:
. Bahkan segala sesuatu yang telah diketahui dengan akal yang sharîh (tegas), maka tidak didapati dari Rasûlullâh Shallallâhu alaihi wa Sallam melainkan akal itu menyetujuinya dan membenarkannya .102 Dan juga al- Utsaimîn rahimahullahu berkata :
,
,
,
, .
,
.
Tidak mungkin terjadi pertentangan antara nash-nash pada satu masalah dari sisi yang tidak mungkin untuk di-jama', atau di-naskh, atau ditarjih; karena nash-nash tidaklah saling membatalkan, dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menjelaskan dan menyampaikan, akan tetapi terkadang yang demikian terjadi pada pendapat seorang mujtahid yang disebabkan keterbatasannya. Wallahu A'lam.
103
Ahmad Hasan menjelaskan bahwa, kita sudah percaya sepenuhnya, bahwa al-Qur an itu adalah Kalamullah, dan Allah Dzul Jalâli wa alIkram mempunyai kesempurnaan, maka dari itu tidak akan bertentangan antara al-Qur an dengan al-Qur an bahkan al-Qur an dengan
102
Abu Unaisah di dalam Lau Kaana Kharan Lasabaquunaa ilaihi, (Jakarta: Maktabah Mu awiyyah bin Abi Sufyan, 2009), cet. ke IV, h. 33 yang beliau nuqil dari perkataan Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah dalam Dâr-u Ta ârudhil Aqli wan Naqli dan ar-Raddu alal Manthiqiyyin. 103 Muhammad bin Shâlih al- Utsaimîn, Kaidah Ilmiyyah Usul Fiqih, op. cit., h. 96-97.
75
Hadits Rasul-Nya al-Amin, bila nampak bertentangan tiada lain dikarenakan kita tidak mampu mendudukkannya.104 Kedua pemahaman di atas105, di latar belakangi dengan adanya kritik terhadap salah satu riwayat Abu Hurairah, Umar bin Khaththab
104
A. Hasan, Soal Jawab, (Bandung: CV Diponegoro Bandung, 2004), jilid I-II, h. 19-20. Yakni; 1) Adanya pembagian macam-macam pertentangan hadits (ikhtalaf al-hadits) di antaranya; Pertentangan antara al-Hadits dengan al-Qur'an dan, 2) Pemahaman bahwa adanya kaidah Shahih sanad dha if matan . Selain dengan alasan kritik Aisyah terhadap Umar dan Ibnu Umar radhiallahu anhumaa, para pembenci sunnah (Qadiyaniah, Qur aniyun, Zindiqiyun dan para pemalsu hadits) menyebarkan beberapa hadits palsu agar para pencari ilmu terpengaruh dengan adanya kaidah-kaidah bathil tersebut dengan membawakan hadits yang mereka sandarkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, berikut hadits-haditsnya; 105
,
,
,
.1
Akan tersebar kedustaan atas namaku. Maka apa yang kalian dengar dengan mengatas namakan aku, maka timbanglah dengan al-Qur an. Apabila sesuai, maka aku benar-benar telah mengatakannya dan apabila bertentangan, aku tidak bertanggungjawab terhadap ucapan tersebut. Hadits tersebut menurut Ibnu Taimiyyah dha if dan Syekh al-Albaniy menyebutkan hadits tersebut hadits Maudhu al-Mukhtaliqah (palsu yang dibuat-buat). Lihat Muhammad Nashiruddin alAlbaniy di dalam al-Hadits Hujjah bi nafsih fî al- Aqâid wa ak-Ahkâm, (Riyaadh: Maktabah alMa ârif, 2005), cet. ke-I, h. 19 buku tersebut telah diterjemahkan dengan judul Berhujjah dengan Hadits Ahad dalam Masalah Akidah dan Hukum, Alih Bahasa Darwis, (Jakarta: Darus Sunnah, 2008), cet. ke-I, h. 28-29. .2 Jika kalian disampaikan (diriwayatkan) sebuah hadits dariku yang sejalan dengan kebenaran maka ambillah, saya (Nabi) sama juga mengatakannya (meriwayatkannya) atau tidak. Ibnu al-Jauzi mengutip dari al-Uqaili, bahwa redaksi seperti itu tidak memiliki sanad yang shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan al-Asy ats ini memang meriwayatkan hadits munkar. Ia (Ibnu al-Jauzi) juga mengutip dari Yahya bin Ma in bahwa hadits ini dipalsukan oleh kaum zindik, serta dari al-Khaththabi ia mengutip bahwa hadits ini batal, tidak ada asal sama sekali baginya. Imam al-Bukhari mengatakan hadits ini munkar. Lihat Syamsuddin Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabiy di dalam Mîzan al-I tidâl fî Naqd ar-Rijâl, tahqiq dan ta lîq Ali Muhammad Mu awwadh, (Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyyah, 1995), cet. ke-I, jilid I, h. 425. no. 996. : , .3 Sungguh aku tidak tahu (mengerti), salah seorang di antara kalian disampaikan (diriwayatkan) hadits dariku, dan dalamkeadaan bersandar di tempat duduknya ia berkata: Bacalah al-Qur an. Perkataan apapun yang baik, maka aku (Nabi) telah mengatakannya. Al-Albaniy di dalam Sunan Ibnu Majjah menyebutkan hadits ini sangat dha if. Lihat Ibnu Majjah di dalam Sunan Ibnu Majjah, op. cit., h. 16-17, no. 21, Bab Ittiba Sunnah Rasulillah shallallahu alaihi wa sallam.
.4
76
dan Abdullah bin Umar, Abu Musa ridhwanullah alaihim ajma în oleh Aisyah radhiallahu anha yakni tentang riwayat: Sesungguhnya mayit akan disiksa karena tangisan keluarganya. Kami ketemukan di beberapa majelis ilmu dan juga kitab-kitab fiqih menyebutkan bahwa
Aisyah radhiallahu
anhaa pernah
melakukan kritik terhadap matan hadits yang shahih sanadnya yakni; 1) Muhgirah bin Syu bah radhiallahu anhu :
,
-
Artinya : Barang siapa yang diratapi, maka dia akan diazab pada hari kiamat dengan sebab ratapan kepadanya. 2) 107
106
Abdullah bin Umar radhiallahu anhu :
:
... ,
Apa yang datang kepada kalian dariku,maka hadapkanlah dengan Kitab Allah. Jika sesuai, maka aku telah mengatakannya, dan jika bertentangan, maka aku tidak mengatakannya. Aku mesti sesuai dengan Kitab Allah dan dengannya Allah membimbingku. Ibnu Abdil Barr mengatakan redaksi seperti ini tidak shahih dari beliau, dan ia (Ibnu Abdil Barr) mengutip dari Abdurrahman bin Mahdi, bahwa para zindik dan Khawarij telah memalsukan hadits ini. Sejumlah ahli hadits telah membantah hadits-hadits tersebut dengan mengatakan, kami akan memperhadapkan hadits-hadits ini dengan Kitab Allah (al-Qur an). Setelah kami perhadapkan, ternyata semuanya bertentangan. Karena di dalam al-Qur an kami tidak menemukan ayat yang menyatakan bahwa hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak boleh diterima kecuali yang sejalan dengannya. Justru kami menemukan penjelasan di dalam al-Qur an agar meneladani beliau, mentaatinya dan memperingatkan dengan keras agar tidak menentang perintahnya dalam keadaan apapun. Lihat Salahudin Ahmad al-Adlabi di dalam Metodologi Kritik Matan Hadits, Alih Bahasa H.M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), cet. ke-I, h. 204-206. 106 Hadits Shahih riwayat Bukhari, Muslim dan dari jalan Umar bin al-Khaththab, lihat Ibnu al-Jauzi di dalam Shahih al-Bukhari ma a Kasyf al-Musykil, op. cit., jilid I, h. 548. no. 1291-1292; Ibnu Majjah di dalam Sunan Ibnu Majjah, ibid., h. 279, no. 1593; Muhammad Nashiruddin alAlbaniy di dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, op. cit., jilid VI, h. 294, no. 3519-3520. 107 Kata al-Mayyit menggunakan huruf alif lam (Isim ma rifat). Dalam kaidah bahasa Arab kalau ada isim (kata benda) yang di bagian depannya memakai huruf alim lam, maka benda tersebut tidak bersifat umum (bukan arti dari benda yang dimaksud). Oleh karena itu kata Mayyit dalam hadits di atas adalah tidak semua mayit, tetapi mayit tertentu (khusus), yaitu mayit yang sewaktu hidupnya tidak memberi nasihat kepada keluarganya tentang haramnya nihayah.
77
Artinya : Berkata I bnu Umar, ... Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda; Sesungguhnya mayat itu akan disiksa dengan sebab ditangisi oleh keluarganya. Dikatakan oleh sebagian
108
alim bahwa
Ummu al-Mukminîn
( Aisyah) radhiallahu anhaa menolak hadits tersebut dengan salah satu Kalamullah yakni, al-Qur an surat Fathir, 35: 18 berbunyi:
... Artinya : Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain. Dan hadits tersebut pun telah ditolak oleh Aisyah ummu alMukminin, dengan riwayatnya bahwa;
, , ,
,
,
:
Artinya : Amrah binti Abdurrahman mendengar Aisyah, diberitahukan kepadanya ( Aisyah) tentang perkataan Abdullah bin Umar, bahwasannya mayit disiksa sebab ditangisi oleh yang hidup (keluarganya), maka Aisyah berkata (berdoa) semoga Allah mengampuni Abu Abdurrahman ( Abdullah bin Umar), bahwasannya dia ( Abdullah bin Umar) bukanlah seorang pendusta, akan tetapi mungkin dia lupa atau salah, tiada lain Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pergi melewati orang Yahudi (yang meninggal) yang sedang ditangisi, maka
108
Hadits shahih riwayat Bukhari, lihat Ibnu al-Jauzi di dalam Shahih al-Bukhari ma a Kasyf al-Musykil, op. cit., jilid I, h. 545-547. no. 1286-1287; At-Tirmidzi di dalam Sunan atTirmidzi, op. cit., h. 238-239, no. 1002 dan 1004 dan dari jalan Abu Musa al-Asy ari diriwayatkan oleh al-Hakim.
78
Rasullah bersabda : Dan sesunggunhya dia benar-benar akan diazab di kuburnya . 109 Mengatakan bahwa ada hadits shahih yang bertentangan dengan alQur an, hadits shahih bertentangan dengan hadits shahih adalah kesalahan yang sangat fatal, sebab tidak mungkin Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang diutus oleh Allah al-Hamid memberikan keterangan yang bertentangan dengan keterangan Allah yang mengutus beliau. Dari segi riwayat/sanad, hadits Mughirah bin Syu bah, Umar dan Ibnu Umar ridhwanullahu alaihim ajma în tidak terbantahkan lagi keshahihannya, hadits-hadits tersebut diriwayatkan di dalam kitab Jami ash-Shahih (Bukhari dan Muslim). Adapun dari segi pemahamannya, hadits tersebut sudah ditafsirkan oleh para ulama dengan dua tafsiran sebagai berikut110 : Pertama : Hadits tersebut berlaku bagi mayit yang ketika hidupnya menge-tahui bahwa keluarganya (anak dan istrinya), pasti akan meronta-ronta (nihayah) apabila dia mati. Kemudian dia tidak mau menasihati keluar-ganya dan tidak berwasiat agar mereka tidak menangisi kematiannya. Orang seperti inilah yang mayitnya akan disiksa apabila ditangisi oleh keluarganya.
109
Hadits shahih riwayat Muslim, Mukhtshar shahih Muslim, op. cit., h. 126, no. 465, Kitab al-Janaaiz Bab. Al-Mayyit Yu adzdzab bi Bukaa-i al-Hayyi. 110 Muhammad Nashiruddin al-Albaniy di dalam Tanya Jawab di dalam Memahami alQur an, alih bahasa WWW. KAMPUNGSUNNAH.ORG, (Jakarta: Pustaka at-Tauhid, t.th), h. 810 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, op. cit., jilid VI, h. 294-295 pada catatan kaki.
79
Adapun orang yang sudah menasihati keluarganya dan berpesan agar tidak berbuat nihayah, tapi kemudian ketika dia mati keluarganya masih tetap meratapi dan menangisinya, maka orang-orang seperti ini tidak terkena ancaman dari hadits tersebut. Demikianlah, ketika kita memahami tafsir dari hadits di atas jelaslah bagi kita bahwa hadits shahih tersebut tidak bertentangan dengan bunyi ayat 18 surat al-Fathir : Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain. Karena pada hakikatnya siksaan yang dia terima adalah akibat kesalahan/kelalaian dia sendiri yaitu tidak mau menasihati dan berdakwah kepada keluarga. Inilah penafsiran dari para ulama terkenal, di antaranya Imam an-Nawawi. Kedua : Adapun tafsiran kedua adalah tafsiran yang dikemukakan oleh sya-ikh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah di beberapa tulisan beliau bahwa yang dimaksud dengan azab (siksaan) dalam hadits tersebut adalah bukan azab kubur atau azab akhirat. Tapi maksud azab tersebut hanyalah rasa sedih dan duka cita, karena mendengar ratapan dan tangisan dari keluarganya.111 3. Memahami bahwa metode tarjih yaitu dengan mengamalkan hadits yang rajih dari hadits yang marjuh dengan mengatakan bahwa, 111
Muhammad Nashiruddin al-Albaniy di dalam Tanya Jawab di dalam Memahami alQur an, loc. cit., h. 9; Salahuddin ibn Ahmad al-Adlabi di dalam Metodologi Kritik Matan Hadits, op. cit., h. 90, Menurut Syaikh al- Allamah Muhammad Nashiruddin al-Albaniy rahimahullah, tafsiran seperti itu bertentangan dengan beberapa dalil, di antaranya adalah riwayat Mughirah bin Syu bah radhiallahu anhu Sesungguhnya mayit itu akan disiksa pada hari kiamat disebabkan tangisan dari keluarganya. Pendapat yang lebih rajih adalah pendapat pertama, dan hadits dari Umar, Mughirah dan Ibnu Umar serta Aisyah ridhwanullah alaihim ajma in tidak bertentangan bahkan saling menjelaskan, dimana hadits dari Aisyah sebagai penjelas asbab al-wurud hadits tersebut (dari tiga shahabat lainnya).
80
hadits yang dikeluarkan oleh imam al-Bukhari dan imam Muslim lebih kuat (rajih) dan didahulukan dari hadits yang dikeluarkan oleh imam yang lainnya. Dalam masalah ini muncul anggapan bahwa, apabila kita mendapatkan dua hadits yang ta arudh (saling bertentangan) yang satu diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan yang kedua diriwayatkan oleh Imam Muslim, maka mereka berkesimpulan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang didahulukan pengamalannya dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dengan pertimbangan bahwa derajat hadits Imam Bukhari lebih diutamakan setelah hadits Muttafaqun alaihi (Rawâhu syaikhan)112 karena beliau lebih selektif di dalam meneliti hadits.113 Pendapat tersebut lebih tepatnya dimasukkan ke dalam ketinggian derajat hadits, bukan di dalam masalah tarjih, ilmu tersebut (rajih dan marjuh) telah dijelaskan di dalam pembahasan metode para ahli ilmu di dalam menyelesaikan hadits yang ikhtilaf/ta arudh (bertentangan).
112
Lafazh muttafaqun alaih atau rawâhu syaikhan atau bahkan akhrajahu asy-Syaikhan ada pula akhrajahu al-Bukhari wa Muslim maksudnya sama saja yakni hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan imam Muslim, namun ada terdapat perbedaan pemahaman kadang-kadang lafazh muttafaqun alaih dimaksudkan hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari, imam Muslim dan ditambah imam Ahmad. Lihat Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, op.cit., h. 32-33, dan jika ingin mengetahui contohnya baca penjelasan tentang hadits Rasulullah menikahi Maimunah di dalam pembahasan mengetahui rajih dan marjuh di dalam skripsi ini. 113 Dengan kalimat Shahih Bukhâry didahulukan dari Shahih Muslim, karena Bukhâry di dalam menetapkan kaidah ittishal sanad (kebersambungan sanad) mensyaratkan tidak hanya mengharuskan perawi semasa dengan orang yang meriwayatkan hadits itu sebagaimana Muslim mensyaratkannya, tetapi mengharuskan adanya pertemuan antara mereka walaupun sekali, sedangkan Muslim hanya mensyaratkan perowi semasa saja dengan gurunya. Lihat Modul Mushthalah al-Hadits Program Tatsqif Ma had Bina Ukhuwah disusun oleh Yayasan Bina Usaha, op. cit., h. 12; juga Abuddin Nata di dalam Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008), Edisi Revisi, h. 240 pada catatan kaki.
81
2.2.7 Mengetahui Gharib al-Hadits114 Rasulullah shallallahu alahi wa sallam adalah orang yang paling fasih berbahasa Arab, ketika beliau shallallahu alaihi wa sallam berbicara dengan para shahabat menggunakan bahasa Arab yang fasih dan mudah difahami, karena para shahabat termasuk orang Arab asli yang tidak pernah kesulitan mencerna bahasa Arab dan tidak pernah terpengaruh oleh bahasa orang ajam (non Arab) maka mereka tidak mengalami kesulitan dalam memahami bahasa agama yang bersumber dari al-Qur an dan hadits. Akan tetapi dengan perjalanan waktu dan pembauran antara bangsa Arab dengan orang ajam, terjadi interaksi dan komunikasi dengan orang non Arab sehingga menimbulkan perubahan cara berdialek dan berbahasa yang membuat kemampuan orang Arab dalam berbahasa menjadi lemah dan bahasa mereka bercampur dengan bahasa orang ajam, serta mereka semakin jauh dari bahasa Arab yang fasih. Oleh karena itu banyak orang Arab menemukan kesulitan dalam berbahasa Arab yang fasih dan tidak mampu memahami hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan mudah karena mereka tidak mampu mengetahui semua lafazh hadits-hadits Nabi secara baik seperti para pendahulu mereka. Maka para ulama bangkit untuk menyusun beberapa kitab seputar gharib al-hadits, yaitu manuskrip yang menjelaskan lafazh hadits yang sulit diketahui maknanya. Jika seorang ulama, penuntut ilmu (syara ) dan seorang muslim secara umum ingin memahami hadits yang baik, maka hendaklah dia merujuk 114
Lafazh-lafazh dalam matan hadits yang sulit lagi sukar dipahami, karena jarang sekali digunakan, Fatchur Rahman dalam Ikhtisar Mushthalahul Hadits, op. cit., h. 321.
82
kepada kitab-kitab gharib al-hadits, di antaranya: (1) Gharib al-Hadits oleh al-Harawi, (2) Gharib al-Hadits oleh Abu Ishaq al-Harbi, (3) Gharib alHadits oleh Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (157-224 H), (4) Gharib ashShahihain oleh al-Humaidi, (5) An-Nihayah fî Gharib al-Hadits wa al-Atsar oleh Ibnu Atsir (544-606 H), (6) Al-Faiq fî Gharib al-Hadits oleh Abu alQashim Jarullah Mahmud bin Umar az-Zamakhsyariy (468-538 H) dan (7) Kitab an-Nihayah merupakan kitab yang terlengkap dan paling bermanfaat di antara beberapa kitab Gharib al-Hadits yang ada, dan lain-lain. 2.2.8 Merujuk kepada Kitab Syarah Mu tabar Termasuk kaidah yang penting dalam memahami hadits adalah merujuk kepada kitab-kitab syarah, karena di dalamnya terdapat penjelasan tentang gharib al-hadits, keterangan nasikh-mansukh, fiqh al-hadits dan metode dalam mendudukkan riwayat-riwayat yang tampaknya bertentangan, maka seorang tidak bisa meremehkan apalagi menampik kitab-kitab syarah. Para ulama hadits telah meninggalkan untuk kita manuskrip besar yang terdiri dari kitab-kitab syarah yang menguraikan dan menjabarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam secara baik dan sempurna. Dan setiap ulama yang hidupnya lebih dekat dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dari sisi zaman dan tempat, penjelasannya akan semakin mendekati kebenaran dan lebih sesuai dengan maksud agama. Kitab-kitab syarah hadits yang paling bagus menjadi rujukan dalam memahami sunnah adalah kitab-kitab yang penyusunannya lebih dekat zamannya dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, penulisnya
83
beraqidah lurus dan memiliki perhatian besar terhadap takhrij al-hadits (penjabaran status hadits) dan darajah al-hadits (penetapan derajat hadits) baik dari segi shahih dan dha ifnya, sehingga pembaca mendapatkan kepastian dalam menerima dan menolak sebuah hadits. Demikian pula kitab-kitab syarah yang penyusunannya paling jauh dari fanatik madzhab, membela firqah sesat, tercemar dengan tendensi pribadi dan ambisi hawa nafsu sebab suatu hadits bisa saja dipalingkan dari makna sebenarnya tanpa disertai dalil yang rajih demi untuk membela kebid ahannya, kesesatan dan kesalahan madzhab. Di antara contoh beberapa kitab syarah hadits yang kredibel dan kapabel adalah: (1) Syarh as-Sunnah oleh Imam al-Baghawi, (2) Fath alBâri oleh Ibnu Rajab al-Hambali, (3) Fath al-Bâri Syarh Shahih al-Bukhari oleh Ibnu Hajar al- Atsqalani, (4) Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim oleh Imam an-Nawawi, (5) Aun al-Ma bud Syarh Sunan Abu Daud oleh Imam Abu Thayyib, (6) Aridhah al-Ahwâdzi dan Tuhfah al-Ahwâdzi Syarh Sunan atTirmidzi oleh Imam Ibnu al- Arabi dan Syaikh Abu al-Ala Mubarakfuri serta (7) Al-Fath ar-Rabbâni Syarh Musnad Ahmad bin Hanbal oleh Syaikh Ahmad Albana as-Sa ati dan lain-lain.
84