7
TINJAUAN PUSTAKA
Ekowisata Ekowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan wisata khusus. Kekhususan ini menjadikan ekowisata sering diposisikan sebagai lawan dari wisata massal. Perbedaannya dengan wisata massal adalah karakteristik produk dan pasar (Damanik dan Weber 2006). Ekowisata juga diartikan sebagai perjalanan wisata alam yang bertanggung jawab dengan cara mengkonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (TIES 1990 dalam Fandeli 2000). Dari definisi ini ekowisata dapat dipandang dari tiga perspektif yaitu : 1. Ekowisata sebagai produk yang merupakan semua atraksi yang berbasis pada sumberdaya alam. 2. Ekowisata sebagai pasar yang merupakan perjalanan yang diarahkan pada upaya – upaya pelestarian lingkungan. 3. Ekowisata
sebagai
pendekatan
pengembangan
yang
merupakan
metode
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan. Disini kegiatan wisata yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat lokal dan pelestarian lingkungan sangat ditekankan dan merupakan ciri khas ekowisata. Ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang mengadopsi prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan yang membedakannya dengan wisata lain. Dalam prakteknya hal ini terlihat dalam bentuk kegiatan wisata yang : a. Secara aktif menyumbang kegiatan konservasi alam dan budaya b. Melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan, pengembangan dan pengelolaan wisata serta memberikan sumbangan positif terhadap kesejahteraan mereka. c. Dilakukan dalam bentuk wisata independen atau diorganisasi dalam bentuk kelompok kecil (UNEP, 2000).
8
Dengan kata lain ekowisata adalah bentuk industri pariwisata berbasis lingkungan yang memberikan dampak kecil bagi kerusakan alam dan budaya lokal sekaligus menciptakan peluang kerja dan pendapatan serta membantu kegiatan konservasi alam itu sendiri. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi tema yang kuat dan kontroversial. Kuat karena hampir semua negara di dunia menyetujui tema ini, kontroversial karena tema ini seolah-olah menjadi retorika belaka bagi negara- negara dunia maju. Lawrence (1994) dalam Hendarto (2003) menuliskan pembangunan berkelanjutan hanya dapat dicapai jika dampak sosial dan dampak lingkungan seimbang dengan tujuan ekonomi yang diharapkan. Dalam hal pariwisata, tidak adanya dampak (zero impact) sebagai akibat dari wisatawan berupa level pencapaian minimum dari dampak negatif perlu direncanakan. Dari definisi tersebut diatas, dapat diidentifikasi beberapa prinsip ekowisata (TIES 1990 dalam Fandeli 2000), yaitu : 1. Perjalanan ke suatu tempat yang alami (involves travel to natural destinations), sering tempat tersebut jauh, ada penduduk atau tidak ada penduduk, dan biasanya lingkungan tersebut dilindungi. 2. Meminimalkan dampak negatif (minimized impact) Pariwisata
menyebabkan
kerusakan,
tetapi
ekoturisme
berusaha
untuk
meminimalkan dampak negatif yang bersumber dari hotel, jalan atau infrastruktur lainnya. Meminimalkan dampak negatif
dapat dilakukan melalui pemanfaatan
material/ sumberdaya setempat yang dapat di daur ulang, sumber energi yang terbaharui, pembuangan dan pengolahan limbah dan sampah yang aman, dan menggunakan arsitektur yang sesuai dengan lingkungan (landscape) dan budaya setempat, serta memberikan batas / jumlah wisatawan yang sesuai daya dukung obyek dan pengaturan perilakunya. 3. Membangun kepedulian terhadap lingkungan (build environmental awareness). Unsur penting dalam ekoturisme adalah pendidikan, baik kepada wisatawan maupun masyarakat penyanggah obyek. Sebelumnya semua pihak yang terintegrasi
9
dalam perjalanan wisata alam harus dibekali informasi tentang karakteristik obyek dan kode etik sehingga dampak negatif dapat diminimalkan. 4. Memberikan beberapa manfaat finansial secara langsung kepada kegiatan konservasi (provides direct financial benefits for conservation). Ekoturisme dapat membantu meningkatkan perlindungan lingkungan, penelitian dan pendidikan, melalui mekanisme penarikan biaya masuk dan sebagainya. 5. Memberikan manfaat/keuntungan finansial dan pemberdayaan pada masyarakat lokal (provides vinancial benefits and empowerment for local people). Masyarakat akan merasa memiliki dan peduli terhadap kawasan konservasi apabila mereka mendapatkan manfaat yang menguntungkan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keberadaan ekoturisme di suatu kawasan harus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (local community walfare). Manfaat finansial dapat
dimaksimalkan
melalui
pemberdayaan
atau
peningkatan
kapasitas
masyarakat lokal, baik dalam pendidikan, wirausaha, permodalan dan manajemen. 6. Menghormati budaya setempat (respect local culture). Ekoturisme disamping lebih ramah lingkungan, juga tidak bersifat destruktif, intrutif, polutan dan eksploitatif terhadap budaya setempat, yang justru merupakan salah satu “core” bagi pengembangan kawasan ekoturisme. 7. Mendukung gerakan hak azasi manusia dan demokrasi (support human right and democratic movement). Ekowisata harus mampu mengangkat harkat dan martabat masyarakat lokal yang secara umum memiliki posisi tawar yang lebih rendah, menempatkan masyarakat sebagai elemen pelaku dalam pengembangan suatu kawasan, sehingga terlibat langsung dalam pengambilan keputusan serta menentukan hak-hak kepemilikan. Pengambilan keputusan secara komprehensif, adaptif dan demokratis, melalui pendekatan comanagement (integrated bottom up and top down approach). Mengacu pada penjelasan tentang ekowisata seperti tersebut diatas, maka ada beberapa alasan untuk mengembangkan manfaat ekowisata yaitu :
10
1. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi membawa kepada peningkatan pendapatan masyarakat, sehingga menimbulkan perubahan pola konsumsi terutama dibidang jasa. 2. Jumlah penduduk yang besar membutuhkan adanya lapangan kerja dan lapangan berusaha khususnya untuk masyarakat pedesaan atau yang berada disekitar kawasan konservasi. 3. Semakin terbentuknya kesadaran masyarakat internasional maupun nasional terhadap kelestarian sumber daya hayati. 4. Pengembangan manfaat ekowisata ini dapat memberikan pendapatan atau pemasukan bagi kepentingan pemerintah dan pengelola.
Ekowisata Bahari Ekowisata bahari merupakan jenis kegiatan pariwisata yang berhubungan dengan kelautan dengan sasaran antara lain melihat/mengamati terumbu karang, berbagai jenis ikan, hewan- hewan kecil di laut (microfauna) yang dilakukan dengan cara antara lain “diving”, “snorkelling”, dan “swimming” (Garrod & Wilson 2004). Menurut Cater (2003) dalam Garrod dan Wilson (2004), wisata bahari adalah sebuah komponen dari sektor ekowisata yang lebih luas yang tumbuh dengan pesat baik nilai maupun volume. Dahuri et al. (2001) menyatakan bahwa daya tarik wilayah pesisir untuk wisatawan adalah keindahan dan keaslian lingkungan seperti kehidupan dibawah air, bentuk pantai (gua – gua, air terjun, pasir dan sebagainya) dan kekayaan jenis tumbuhan, burung dan hewan – hewan lain. Dengan demikian, cakupan kegiatan wisata ini memiliki spektrum industri yang sesungguhnya sangat luas dan bisnis yang ditawarkannya sangat beragam, antara lain jasa penyedia transportasi, kapal pesiar, pengelola pulau kecil, pengelola taman laut, hotel, restoran terapung, kawasan lepas pantai, rekreasi pantai, konvensi di pantai dan di laut, pemandu wisata alam, dan sebagainya. Tentunya industri-industri pendukung juga akan terbuka lebar antara lain jasa foto dan video, pakaian dan peralatan olahraga, jasa kesehatan, jasa keamanan laut, jasa resque, kerajinan dan cindera mata, pemasok makanan dan minuman, hiburan
11
dan lain sebagainya. Konsep wisata pesisir dan bahari di dasarkan pada view, keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya dan karaktersitik masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Perencanaan dan pelaksanaan kegiatan ekowisata bahari haruslah dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan. Pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir secara berkelanjutan haruslah dilakukan dengan
perencanaan yang matang dengan
pendekatan pengelolaan konservasi sehingga total dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsionalnya (Dahuri et al. 2001). Dalam konteks wilayah pesisir atau bahari, maka Dahuri et al. (2001) menyatakan bahwa pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan generasi sekarang tanpa mempertaruhkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Tujuan pembangunan berkelanjutan adalah memadukan pembangunan dan lingkungan sejak awal proses penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan yang strategik sampai pada penerapannya di lapangan. Lebih lanjut menurut Dahuri et al. (2001), bila suatu wilayah pesisir dibangun untuk rekreasi atau
wisata, biasanya fasilitas-fasilitas pendukung lainnya juga
berkembang pesat. Oleh karena itu perencanaan pengembangan wisata di wilayah pesisir hendaknya dilakukan secara menyeluruh termasuk antara lain inventarisasi dan penilaian sumberdaya yang cocok, perkiraan tentang berbagai dampak, hubungan sebab akibat dari berbagai tata guna lahan serta pilihan pemanfaatannya. Ceballos dan Lascurian (1992) dalam Hilyana (2001) menyatakan bahwa definisi wisata pesisir ditekankan pada aspek konservasi lingkungan pesisir dan budaya masyarakatnya secara berkelanjutan sehingga manfaat wilayah pesisir dirasakan langsung oleh masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Dengan demikian wisata pesisir (bahari) secara langsung melibatkan lingkungan yang alamiah termasuk aspek budaya dan ekologi yang berkelanjutan serta ditekankan pada penduduk disekitanya sehingga dalam jangka panjang akan melibatkan konservasi sumberdaya.
12
Dampak Dampak didefinisikan sebagai setiap perubahan yang terjadi di dalam lingkungan akibat aktivitas manusia (Soeratmo 1988) . Untuk dapat menilai terjadinya dampak, perlu adanya suatu acuan yaitu kondisi lingkungan sebelum adanya aktivitas (Soemarwoto 1988). Oleh karena itu dampak lingkungan adalah selisih antara keadaan lingkungan tanpa proyek dengan keadaan lingkungan dengan proyek. Dampak dapat berakibat positif maupun negatif (Soekartawi 1994). Dampak dari suatu kegiatan pembangunan dapat merambah kesemua aspek kehidupan yang ada di masyarakat mulai dari ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan dan keamanan (Soekartawi 1994). Selanjutnya menurut Soemarwoto (1988), penetapan suatu dampak dapat dilakukan melalui 3 (tiga) tahap yaitu : 1. Melakukan identifikasi dampak yang terjadi pada komponen lingkungan. Banyak metode telah dikembangkan untuk memudahkan identifikasi komponen mana yang akan terkena dampak dan mana yang tidak. 2. Pengukuran atau penghitungan dampak yang akan terjadi pada komponen lingkungan tersebut. 3. Penggabungan beberapa komponen lingkungan yang sangat berkaitan, kemudian dianalisis dan digunakan untuk menetapkan refleksi dari dampak komponenkomponen sebagai indikator menjadi gambaran perubahan lingkungan atau dampak lingkungan. Perkiraan dampak adalah suatu proses untuk menentukan siapa yang akan terkena dampak, dengan cara (melalui proses) seperti apa dan untuk berapa lama dampak itu berlangsung. Secara ringkas peneliti harus menyajikan; 1. siapa yang terkena dampak (who are going to be affected). Siapa menujukkan pada berapa orang yang terkena, ciri – ciri mereka bagaimana (umur, pekerjaan ; sebagai nelayan, petani, pedagang, pemerintahan, dll, pendidikan ; SD, SMP, SMA, Akademi/ Universitas, kelompok masyarakat; tokoh masyarakat, pemerintah dan sebagainya). Siapa juga bisa menunjukkan satuan analisa; individu (kepala keluarga), keluarga (istri, anak, menantu, dll) atau masyarakat.
13
2. Dalam bentuk apa (in what way) mereka terkena dampak, misalnya penduduk yang berada di sekitar atau dalam kawasan wisata bahari berdampak dalam bentuk pekerjaan sebagai pemandu, penyedia transportasi, pengelola cottage/ homestay, penyedia makanan dan minuman, penyedia honai/ pondokan, dll. 3. Berapa lama dampak itu berlangsung. Dalam penelitian diambil rentang waktu 5 tahun kebelakang. Dampak kegiatan pariwisata dari segi ekonomi sangat penting diketahui, karena hampir semua negara (suatu masyarakat) mengukur posisi dan manfaat pariwisata dalam suatu kaitannya dengan penerimaan ekonominya. Dampak ekonomi wisata antara lain: (1) Akibat terhadap neraca pembayaran; (2) Akibat untuk kesempatan kerja; (3) Akibat dalam mendistribusikan pendapatan; (4) Hasil ganda (multiplier effect); (5) Hasilnya dalam memasarkan produk-produk tertentu; (6) Hasilnya untuk sektor pemerintah (pajak); (7) Hasil “tiruan” yang mempengaruhi masyarakat; dan (8) Keperluan lainnya (Wahab, 1989 ). Canadian Environmental Assessment Review Council ( CEARC ) dalam Soemarwoto (1988) merumuskan ruang lingkup studi dampak sebagai berikut: 1. Perubahan yang berhubungan dengan kependudukan 2. Perubahan yang berhubungan dengan aspek ekonomi 3. Perubahan yang berhubungan dengan aspek budaya 4. Perubahan yang berhubungan dengan sumberdaya alam dimana penduduk sangat tergantung (misalnya terumbu karang, pesisir pantai, kelautan, dan lainnya) 5. Perubahan yang berkaitan dengan fasilitas publik (misalnya pembangunan sarana dan prasarana wisata bahari, pengembangan jasa wisata bahari, dan lainnya).
Dampak Ekowisata Pariwisata (ekowisata) dianggap sebagai salah satu sektor ekonomi penting tetapi apabila tidak dilakukan dengan benar, maka pariwisata berpotensi menimbulkan masalah atau dampak negatif terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan (Suwantoro 1997). Hal senada juga disampaikan oleh Cooper et.al. (1998) bahwa pariwisata berpeluang menimbulkan dampak ekonomi, lingkungan dan sosial budaya.
14
Yoeti (2008) menyatakan bahwa pariwisata (termasuk ekowisata) sebagai katalisator dalam pembangunan karena dampak yang diberikannya terhadap kehidupan perekonomian di negara yang dikunjungi wisatawan. Lebih lanjut Clement dalam Yoeti (2008) bahkan mengatakan bahwa bila pejabat tinggi pemerintah tidak mengerti dan tidak mendukung pengembangan pariwisata, maka keseluruhan perekonomian menderita karena sarana perekonomian akan terbengkalai atau menganggur. Dampak pariwisata (ekowisata), idealnya dilihat melalui pendekatan komprehensif. Ada keterkaitan hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara dampak lingkungan, ekonomi dan sosial. Kepincangan pada salah satu aspek akan membawa pengaruh pada aspek lainnya. Oleh karenanya tantangan pembangunan ekowisata terletak pada kemampuan untuk memfasilitasi semua kepentingan lingkungan, ekonomi dan sosial dalam proporsi yang berimbang dan saling menunjang. Pada tingkatan nasional menurut Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata
Republik Indonesia, pada tahun 2006 total penerimaan negara dari pariwisata diperkirakan 12 triliun rupiah. Untuk tingkatan daerah antara lain studi kasus di Taman Wisata Alam Baturaden – Purwokerto (Jawa Tengah) disimpulkan bahwa industri pariwisata dapat memajukan perekonomian daerah karena merupakan sektor yang padat karya, mempunyai daya serap yang besar terhadap tenaga kerja, serta mampu meningkatkan pendapatan masyarakat (Mulyaningrum 2005). Kontribusi pariwisata pada sektor ekonomi tentu berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya atau antara yang sudah berkembang dan yang baru berkembang. Faktor yang mempengaruhinya antara lain potensi wisata serta strategi dan manajemen pengembangan wisata di suatu daerah. Sunarminto (2002), menemukan bahwa di Buleleng sekalipun kegiatan ekoturisme WBPM – TNBB masih merupakan kegiatan ekonomi non basis namun memberikan kontribusi terhadap perekonomian wilayah cukup besar dengan nilai LQ (Location Quotient) 0,45 pada tahun 1995. Menurut Sunarminto (2002) bahwa sekalipun relatif kecil namun kegiatan ekoturisme wisata bahari Pulau Menjangan Taman Nasional Bali Barat (TNBB) telah memberikan
15
pendapatan langsung kepada masyarakat lokal sebesar 15 % dari prakiraan nilai ekonomi ekoturisme wisata bahari TNBB tahun 1996 yaitu sebesar ± 0,77 milyar. Fenomena perkembangan kontribusi pariwisata alam (ekowisata) terhadap perekonomian daerah tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi di negara –negara lain pun demikian. Taman Marga satwa Monkey Mia (Australia Barat) dan Harvey Bay (Queensland) telah memberikan kontribusi terhadap ekonomi regional masing – masing sebesar 5 - 11 % dan 2 - 4 % terhadap total pendapatan regional (Stoeckl et al. 2005). Di Bostwana (Afrika) salah satu lokasi wisata yaitu “Taman Buru Okavango Delta” telah memberikan peningkatan pendapatan dan lapangan kerja bagi masyarakat di Desa Sankoyo (Mbaiwa 2004). Lebih lanjut menurut Mbaiwa (2004), kemitraan usaha yang dibangun antara masyarakat dan managemen taman buru memberikan hasil berupa pendapatan tahunan bagi 34 rumahtangga di Sankoyo sebesar P 200,- pada tahun 2001 menjadi P 500,- untuk 49 rumahtangga pada tahun 2004. Terhadap
sosial
budaya
masyarakat,
pengembangan
ekowisata
juga
memungkinkan terjadinya dampak. Adanya pertemuan atau kontak antara penduduk dengan wisatawan memberikan peluang terjadinya transfer budaya baik dalam bentuk sikap maupun perbuatan atau tingkah laku. Hilyana (2001) menemukan bahwa telah terjadi pergeseran norma- norma yang selama ini berlaku dalam kehidupan masyarakat di Desa Batu Layar, Lombok Barat terutama pada masyarakat yang berprofesi sebagai pemandu wisata pada kegiatan wisata bahari di Lombok Barat, NTB. Dengan demikian jelas bahwa pariwisata (ekowisata) dapat memberikan dampak positif maupun negatif bagi ekonomi maupun sosial budaya masyarakat.
Persepsi dan Perilaku Persepsi dapat diartikan sebagai respon yang bersifat spontan dan instingtif terhadap sebuah pertanyaan atau pernyataan tentang suatu hal (Achsani et al. 2006). Persepsi menurut Krech dan Richard dalam Muliady (2005) ditentukan oleh faktor fungsional dan faktor struktural.
16
a. Faktor faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal hal lain yang termasuk apa yang kita sebut sebagai faktor-faktor personal. Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respon pada stimuli itu. Dari faktor faktor ini kemudian dikenal adanya dalil persepsi Pertama yaitu bahwa “ Persepsi bersifat selektif secara fungsional”. Dalil ini mengandung arti bahwa obyek-obyek yang mendapat tekanan dalam persepsi kita biasanya obyek-obyek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi. Faktor-faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi lazim disebut sebagai kerangka rujukan. Dalam kegiatan komunikasi kerangka rujukan mempengaruhi bagaimana orang memberi makna pada pesan yang diterimanya. Kerangka rujukan mengandung arti bahwa ketika seseorang berbicara tentang suatu hal, maka seseorang itu harus memiliki pengetahuan tentang hal tersebut sehingga seorang mahasiswa kedokteran akan sukar memahami pembicaraan tentang teori-teori komunikasi bila mahasiswa tersebut tidak memiliki latar belakang pendidikan dalam ilmu komunikasi. b. Faktor faktor struktural yang mempegaruhi persepsi semata – mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Para spikolog merumuskan prinsip prinsip persepsi yang bersifat struktural yang kemudian dikenal dengan Teori Gestalt. Menurut teori ini bila kita mempersepsi sesuatu, kita mempersepsinya sebagai suatu keseluruhan. Kita tidak melihat bagian-bagiannya lalu menghimpunannya keseluruhan. Dari prinsip ini kemudian melahirkan Dalil Persepsi Kedua yaitu bahwa Medan perseptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti. Dalil Persepsi yang ketiga yaitu bahwa sifat sifat perseptual dan kognitif dari substruktur ditentukan pada umumnya oleh sifat sifat struktur secara keseluruhan. Menurut dalil ini, jika individu dianggap sebagai anggota kelompok, maka semua sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan dipengaruhi oleh keanggotaan kelompoknya, dengan efek yang berupa asimilasi atau kontras. Terkait dengan persepsi ini, maka penelitian yang dilakukan oleh Hilyana (2001) di Lombok Barat propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mengemukakan bahwa
17
masyarakat lokal setuju dengan pengembangan pariwisata bahari di Lombok Barat karena telah memberikan manfaat dan keuntungan berupa lapangan kerja dan usaha. Perilaku adalah cara bertindak yang menunjukkan tingkah laku seseorang dan merupakan hasil kombinasi antara pengembangan anatomis, fisiologis, dan psikologis (Kast & Rosenweig 1995). Padmowihardjo (1978) dalam Nayati dan Amanah (2006) mendefinisikan perilaku sebagai pencerminan – pencerminan yang ditampakkan oleh seseorang sebagai hasil interaksi dari sifat – sifat genetis dan lingkungan. Selanjutnya dikatakan bahwa perilaku adalah keseluruhan tindakan seseorang yang dapat diamati oleh orang lain (Nayati dan Amanah 2006). Unsur perilaku terdiri dari perilaku yang tidak tampak seperti pengetahuan (cognitif) dan sikap (affectif), serta perilaku yang tampak seperti keterampilan (psychomotoric) dan tindakan nyata (action). Demikian pula Muliady (2005), mengklasifikasi karakteristik yang mempengaruhi perilaku manusia sebagai mahluk sosial kedalam tiga komponen yaitu afektif, kognitif dan konatif. Komponen afektif merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis yang terdiri dari motif sosiogenis, sikap dan emosi. Motif sosiogenis sering disebut motif sekunder antara lain motif ingin tahu,motif cinta, motif kompetensi dan lain-lain. Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara – cara tertentu terhadap objek sikap. Robbins (2002) menyampaikan bahwa sikap memang mempengaruhi perilaku. Emosi menunjukkan kegoncangan organisme yang disertai oleh gejala – gejala kesadaran, keperilakuan, dan proses fisiologis. Komponen kognitif menyangkut dengan kepercayaan. Kepercayaan memberikan perspektif pada manusia dalam mempersepsi kenyataan, memberikan dasar bagi pengambilan keputusan dan menentukan sikap terhadap objek sikap. Menurut Solomon dalam Muliady (2005), kepercayaan dibentuk oleh pengetahuan, kebutuhan dan kepentingan. Komponen Konatif menyangkut kebiasaan dan kemauan. Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yangm menetap, berlangsung secara otomatis. Sedangkan kemauan dapat
18
diartikan sebagai tindakan yang merupakan usaha seseorang untuk mencapat tujuan (Dewey & Humber dalam Muliady 2005). Selain faktor – faktor personal, perilaku seseorang juga dipengaruhi oleh faktor situasional seperti temporal, ekologis, suasana perilaku, teknologi, faktor sosial dan lain – lain. Terkait hubungan antara persepsi dan perilaku maka Achsani et al. (2006) menyatakan bahwa persepsi dapat menentukan perilaku seseorang.
Nilai dan Norma Sosial Sebagai mahluk sosial, manusia selalu berinteraksi dengan individu lain. Dalam berinteraksi diperlukan adanya aturan – aturan yang terwujud sebagai nilai dan norma. Nilai dan norma dalam masyarakat akan berbeda pada setiap masyarakat sesuai karakteristik masyarakat itu sendiri. Nilai dan norma tersebut akan dujunjung tinggi, diakui dan digunakan sebagai dasar dalam melakukan interaksi dan tindakan sosialnya. Nilai dan norma tersebut harus dijaga kelestariannya oleh seluruh anggota masyakat agar masyarakat tidak kehilangan pegangan dalam hidup bermasyarakat. Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Nilai dapat dikatakan sebagai ukuran sikap dan perasaan seseorang atau kelompok yang berhubungan dengan keadaan baik buruk, benar salah atau suka tidak suka terhadap suatu obyek baik material maupun non material (Abdulsyani 1994). Sebagai contoh, orang menganggap menolong memiliki nilai baik, sedangkan mencuri bernilai buruk. Nilai – nilai sosial kemudian berfungsi umum dalam masyarakat antara lain dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkahlaku, memotivasi seseorang dalam mewujudkan harapannya dan sebagai alat solidaritas dalam kelompok masyarakat (Abdulsyani 1994). Norma dalam masyarakat berisi tatatertib, aturan dan petunjuk standar perilaku yang pantas dan wajar. Norma sosial adalah patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat tertentu yang sering disebut peraturan sosial (Bertrand dalam Abdulsyani 1994). Nilai dan norma tidak
19
dapat dipisahkan dan selalu berkaitan. Namun secara umum dapat dibedakan yaitu norma mengandung sanksi yang relatif tegas terhadap pelanggarnya. Terkait dengan nilai dan norma masyarakat, maka Hilyana (2001) menemukan bahwa telah terjadi pergeseran norma- norma dikalangan usia muda sebagai dampak kegiatan wisata bahari di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Pergeseran ini terutama terjadi pada mereka yang berprofesi sebagai pemandu wisata.
Proses Sosial Soemardjan dan Soemardi (1980) mendefinisikan proses sosial sebagai pengaruh timbal balik antara perbagai segi kehidupan bersama. Selanjutnya ditambahkan oleh Abdulsyani (1994) bahwa proses sosial sebagai hubungan timbal balik antar invidu, individu dengan kelompok dan antar kelompok, berdasarkan potensi atau kekuatan masing – masing. Proses sosial merupakan aspek dinamis dari kehidupan masyarakat dimana terdapat proses hubungan antar manusia berupa interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia secara terus menerus. Interaksi sosial ini yang dimaksudkan oleh Soemardjan dan Soemardi sebagai pengaruh timbal balik antara kedua belah pihak. Adanya saling mengerti mengenai maksud dan tujuan dari masing – masing pihak dalam suatu hubungan sosial inilah yang kemudian melahirkan adanya interaksi. Terbentuknya interaksi sosial apabila terjadi kontak sosial dan komunikasi sosial. Proses sosial dapat terjadi dalam berbagai bentuk yaitu kerjasama, persaingan, pertikaian/pertentangan dan akomodasi.