TINJAUAN PUSTAKA
Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri dari berwisata dan mengunjungi kawasan alamiah yang relatif tidak terganggu, dengan niat untuk melihat, mempelajari, mengagumi keindahan alam flora, fauna, termasuk aspek-aspek budaya baik di masa lampu maupun sekarang yang mungkin terdapat di kawasan tersebut. Ekowisata berarti pula melibatkan masyarakat setempat dalam proses sehingga mereka dapat memperoleh keuntungan sosial-ekonomi. Pengertian ekowisata mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Namun pada hakekatnya, pengertian ekowisata adalah suatu bentuk wisata yang bertanggungjawab terhadap kelestarian area yang masih alami, menerima manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya masyarakat setempat (Fandeli dan Muklison, 2000). Menurut Wiratno, et al (2004) pengertian ekowisata adalah kegiatan perjalanan ke daeah-daerah yang masih alami dengan kepedulian terhadap lingkungan hidup dan masyarakat sekitar. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh para peminat-peminat khusus terhadap kawasan pelestarian alam dan bersifat tidak massal. Kegiatan ini bisa dilakukan di tempat-tempat terbuka yang relatif belum terjamah atau tercemar dengan khusus untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan dengan tumbuh-tumbuhan satwa liarnya (termasuk potensi kawasan berupa ekosistem, keadaan iklim, fenomena alam, kekhasan jenis tumbuhan dan satwa liar) juga semua manifestasi kebudayaan yang ada (termasuk tatanan
Universitas Sumatera Utara
lingkungan sosial-budaya) baik dari masa lampau maupun masa kini di tempattempat tersebut dengan tujuan untuk melestarikan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Pengertian tentang ekowisata mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Bila diterjemahkan dengan benar istilah ecotourism memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia yaitu ekowisatawanisme atau wisata ekologis. Dalam bahasa Indonesia istilah ecotourism diterjemahkan menjadi “ekowisata”, yaitu pariwisata yang berwawasan lingkungan (Hakim, 2004). Terlaksananya serangkaian kegiatan pengelolaan kawasan TNGL sudah semestinya dilakukan secara bersamaan dan seimbang antara kegiatan yang bersifat perlindungan dan pengamanan kawasan; pelestarian dan pengawetan sumber plasma nuftah; serta pemanfaatan sumber daya alam bagi kesejahteraan masyarakat. Kawasan taman nasional, menurut Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dikelola dengan tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budi daya, pariwisata dan rekreasi.
Kawasan Wisata Kawasan Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Kawasan taman wisata alam dikelola oleh pemerintah dengan upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Suatu kawasan taman wisata alam dikelola berdasarkan kajian rencana pengelolaan yang meliputi kajian aspek-aspek ekologi, teknis, ekonomis dan sosial budaya (Saleh, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Kekayaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya dapat dimanfaatkan secara arif dan bijaksana. Menurut Fendeli dan Mukhlison (2000), pemanfaatan yang konservatif keragaman hayati dan ekosistemnya dapat dilaksanakan dengan pengembangan sebagai obyek dan daya tarik wisata. Pariwisata sebagai green industry akan dapat mengerem laju pengrusakan sumberdaya alam dan lingkungan. Namun demikian, apabila tidak direncanakan dengan konsep pembangunan pariwisata berwawasan lingkungan, kerusakan lingkungan akan terjadi.
Kawasan Konservasi Kawasan konservasi menurut Wiratno, et al (2004) merupakan kawasan yang digolongkan dalam kawasan pelestarian alam yaitu taman nasional, taman wisata alam dan taman hutan raya; dan kawasan suaka alam yaitu cagar alam, suaka margasatwa, hutan lindung dan taman buru. Istilah kawasan konservasi tidak dijumpai dalam UU No. 5 Tahun 1990, sedangkan dalam UU No. 41 Tahun 1999 muncul pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Sedangkan hutan konservasi dibagi dalam suaka alam, hutan pelestarian alam dan taman buru. Untuk kawasan seperti hutan lindung dan hutan produksi bila mempunyai obyek alam sebagai daya tarik ekowisata dapat pula dikembangkan untuk pengembangan ekowisata. Area alami seperti suatu ekosistem sungai, danau, Rawa, rawa gambut, yang berada di hulu maupun di muara sungai dapat pula dipergunakan untuk ekowisata. Ciri-ciri kawasan konservasi menurut Mc Kinnon et al (1993) dalam Fandeli dan Mukhlison (2000) adalah:
Universitas Sumatera Utara
1. Keunikan ekosistemnya. 2. Adanya sumberdaya fauna yang telah terancam kepunahan. 3. Keanekaragaman jenis baik flora maupun faunaPanorama atau ciri biofisik yang memiliki nilai estetika. Konservasi melibatkan berbagai faktor ekologi fisik, sosial ekonomi dan budaya masyarakat sebagai sebuah kesatuan. Namun sayangnya secara umum praktek-praktek konservasi di Indonesia cenderung masih belum memperlihatkan keterlibatan penduduk lokal. Akibatnya, hampir setiap kawasan konservasi masih belum diterima secara sosial ekonomi dan budaya oleh masyarakat lokal. Masyarakat lokal belum merasa memiliki kawasan konservasi karena mereka dilarang melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya yang berupa kawasan konservasi, tanpa diberi alternatif pemecahannya. Akibatnya, hampir sebagian besar kawasan konservasi tidak luput dari gangguan penduduk sekitar kawasan konservasi itu.
Pariwisata Alam di Indonesia Rekreasi adalah penggunaan waktu senggang secara menyenangkan. Dalam hal ini rekreasi merupakan hal yang semata-mata menyenangkan dan merupakan bagian dari variasi hidup sehari-hari yang rutin. Rekreasi juga merupakan kegiatan memperoleh sesuatu yang diinginkan, dan ditinjau dari segi psikologis, memberikan pengalaman dan inspirasi terhadap individu yang melakukan rekreasi. Dengan beberapa defenisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kegiatan rekreasi merupakan kegiatan yang dapat menimbulkan kepuasan rohani dan kesegaran jasmani bagi yang melakukannya. Dengan
Universitas Sumatera Utara
rekreasi diharapkan akan tercipta suatu kondisi psikologis tertentu sebagai usaha untuk melepaskan segala kerutinan di dalam hidupnya (Suwantoro, 2000) Pengembangan alam didukung oleh unsur alam Indonesia yang merupakan potensi utama kepariwisataan alam yang mampu menyuguhkan beragam daya tarik yang sangat besar, baik unsur-unsur flora, fauna, geologi, danau, pantai, maupun gejala-gejala alamnya sendiri yang menjadi ciri khasnya. Modal daya tarik kepariwisataan dan keanekaragaman ini belum merupakan jaminan untuk mendatangkan wisatawan, masih diperlukan berbagai upaya meningkatkan kunjungan wisatawan dengan meningkatkan pengelolaan, pelayanan dan penyediaan sarana wisata alam (IPB, 2001).
Pengembangan Taman Nasional sebagai Obyek Wisata Taman nasional sebagai salah satu sumberdaya alam yang mempunyai keindahan, keunikan, dan kekhasan ekosistem dapat dijadikan sebagai salah satu tujuan wisata. Taman nasional menurut IUCN diartikan sebagai suatu kawasan yang cukup luas yang terbuka untuk umum dimana pengunjung dapat mencapainya dengan menggunakan kendaraan umum dan juga dapat dengan menggunakan kendaraan pribadi. Taman nasional harus cukup luas, dimana terdapat satu atau lebih macam ekosistem dengan kekhasannya sendiri-sendiri yang perlu dijaga kelestariannya. Keseluruhan potensi Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) tersebut di atas merupakan sumber daya ekonomi yang bernilai tinggi dan sekaligus merupakan media pendidikan dan pelestarian lingkungan yang dapat dikembangkan untuk memunculkan kesadaran konservasi dan sikap berwawasan lingkungan bagi pengunjung.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai taman nasional, maka pengelolaan di TNGL, harus meliputi aspek perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan. Taman nasional menurut UU No. 5 tahun 1990 adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Untuk mewujudkan ketiga aspek tersebut, pengelolaan TNGL ditekankan pada pemeliharaan integritas proses-proses yang menghasilkan entitas-entitas ekologi yang ada di dalamnya. Di dalam kegiatan pengembangan wisata alam sangat dibutuhkan peran serta masyarakat untuk mengembangkan wisata alam di suatu daerah yang diperlukan kerjasama dengan masyarakat sekitar, yang pelaksanaannya telah dijamin oleh suatu wadah lembaga atau badan hukum untuk mengelola dan memanfaatkannya sebagai atraksi wisata. Menurut Suwantoro (2000) peran serta masyarakat ada dua, yaitu: 1. Peran serta aktif, yaitu dilaksanakan secara langsung, baik perorangan maupun berkelompok, secara sadar maupun berinisiatif dan berkreasi dalam melibatkan diri dalam kegiatan pengusahaan pariwisata alam. 2. Peran serta pasif, yaitu adanya kesadaran untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan melalui penyuluhan atau dialog dengan pemerintah, serta memberikan informasi akan pentingnya pelestarian sumber daya alam di sekitar kawasan obyek wisata alam. Kegiatan kepariwisataan terbatas pada zona konservasi (limited used zone). Antara lain untuk taman rekreasi hiburan dan kegiatan-kegiatan atraksi
Universitas Sumatera Utara
untuk menarik pengunjung lebih banyak. Kegiatan dan investasi diarahkan pada pengisian sarana toko-toko, souvenir, restoran sehari-hari, dan penginapan (Soemitro, 1990). Usaha (investasi) umumnya tidak terlepas dari faktor yang ikut menentukan keberhasilan usaha tersebut. Faktor yang merupakan kondisi penentu tersebut meliputi; kawasan usaha, pengunjung, pasar dan peraturan. Pemanfaatan areal alam untuk ekowisata mempergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan ini dilaksanakan dengan lebih menitikberatkan pelestarian dibanding pemanfaatan. Kemudian pendekatan lainnya adalah pendekatan pada keberpihakan kepada masyarakat setempat agar mampu mempertahankan budaya lokal dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan (Fandeli, 2002). Dalam Saleh (2000) dijelaskan bahwa pengusahaan ekowisata dalam kawasan hutan dan kawasannya harus bersasaran: A. Melestarikan hutan dan kawasannya B. Mendidik semua orang untuk ikut melestarikan hutan yang dimaksud, baik pengunjung, karyawan perusahaan sendiri sampai masyarakat yang ada di hutan dan sekitarnya. C. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, agar dengan demikian tidak mengganggu hutan. Sebagian besar kawasan ataupun obyek wisata yang terdapat di Kawasan Ekosistem Leuser belum dikelola dan dikembangkan sesuai dengan prinsip dan kriteria ekowisata. Beberapa obyek cenderung berkembang ke arah pariwisata yang bersifat massal dan tidak didukung dengan perencanaan jangka panjang,
Universitas Sumatera Utara
Sebagian bahkan dikelola dengan sistem kontrak dengan mengharapkan kunjungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan daya dukung kawasan ini lambat laun semakin membuat masyarakat lokal terpinggirkan, keuntungan sesaat hanya didapatkan sekelompok orang-orang tertentu dan aspek pelestarian sering diabaikan untuk menghindari pengeluaran yang dianggap sebagai pengeluaran tambahan yang tidak perlu karena dapat mengurangi keuntungan pengelola. Pengelolaan
taman
nasional
untuk
bidang
kepariwisataan
harus
direncanakan dengan baik sehingga taman nasional dapat diandalkan sebagai salah satu tujuan wisata, dengan tidak meninggalkan azas kelestarian (Sudrajat dan Istanto, 1988). Menurut Soemitro (1990), jasa wisata alam adalah produk umum, artinya setiap orang yang menikmati jasa wisata itu bukan rival bagi konsumen lain. Suatu produk umum dapat saja dijadikan sebagai produk privat, misalnya dijaga atau dipagari sehingga hanya orang-orang yang bersedia membayar dengan harga yang ditetapkan oleh pemilik atau operator boleh diberi kesempatan untuk menikmati.
Konsep Sistem Nilai Ekonomi Nilai adalah merupakan persepsi manusia, tentang makna sesuatu obyek tertentu (sumberdaya hutan) bagi orang (individu) tertentu, tempat dan waktu tertentu pula. Persepsi itu sendiri merupakan ungkapan, pandangan, persepsi seseorang (individu) tentang atau terhadap sesuatu benda, dengan proses pemahaman melalui panca indera yang diteruskan ke otak untuk proses pemikiran, dan disini berpadu dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat tersebut. Oleh karena itu, sumberdaya hutan yang dinyatakan oleh suatu masyarakat di tempat tertentu akan beragam tergantung
Universitas Sumatera Utara
pada persepsi setiap anggota masyarakat tersebut, demikian juga keragaman nilai mencakup besar nilai maupun macam nilai yang ada (IPB, 2001). Penilaian ekonomi penggunaan sumberdaya alam hingga saat ini telah berkembang pesat. Di dalam kajian ilmu ekonomi sumberdaya dan lingkungan, perhitungan-perhitungan tentang
biaya lingkungan sudah cukup
banyak
berkembang. Menurut Hufscmidt et al (1987) secara garis besar metode penilaian manfaat ekonomi (biaya lingkungan) suatu sumberdaya alam dan lingkungan pada dasarnya berorientasi pada pasar. Nilai ekonomi adalah seluruh barang dan jasa yang secara langsung memberikan manfaat berupa pendapatan, sedangkan manfaat yang tidak berupa pendapatan tidak dipandang sebagai nilai ekonomi (Davis dan Johnson, 1987). Nilai ekonomi atau total nilai ekonomi suatu sumberdaya secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu nilai penggunaan (use value) dan nilai intrinsik (non use value). Selanjutnya dijelaskan bahwa nilai penggunaan (use value) dibagi menjadi nilai penggunaan langsung (direct use value), nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value) dan nilai pilihan (option value).
Teknik Penilaian Ekonomi Untuk menghitung manfaat dari suatu proyek pembangunan fasilitas tanaman wisata atau taman nasional digunakan metode pendekatan biaya perjalanan (Travel Cost Based Approach). Pendekatan biaya perjalanan adalah salah satu cara menilai manfaat yang diperoleh konsumen yaitu pengunjung taman wisata dalam memanfaatkan barang lingkungan (Hufshcmidf, el al, 1987). Teknik biaya perjalanan (Travel cost) adalah salah satu teknik penilaian ekonomi yang menentukan rekreasi dari kawasan konservasi dengan melihat
Universitas Sumatera Utara
kesediaan membayar (willingness to pay) para pengunjung dan menunjukkan bahwa nilai kawasan konservasi bukan hanya dari tiket masuk saja tapi juga mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan pengunjung menuju lokasi, ini juga menunjukan bahwa para pengujung lebih sering bersedia membayar lebih besar dari tiket masuk aktual ke taman nasional (Dixon and Sherman, 1990).
Universitas Sumatera Utara