Pencarian Keadilan di Masa Transisi. Penulis: Ifdhal Kasim J.B. Banawiratma Karlina Leksono-Supelli Yohanes da Masenus Arus Rudi M. Rizki Agung Putri Asvi Warman Adam Dhaniel Dhakidae Kusnanto Anggoro
Editor Ifdhal Kasim Eddie Sius Riyadi Desain Sampul Muka
Tata Letak
Cetakan Pertama: Desember 2002 Hak terjemahan dalam Bahasa Indonesia ada pada ELSAM Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia selain sebagai bagian dari upaya pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia
Penerbit Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jl. Siaga II No. 31, Pasar Minggu, Jakarta 12510 Telp.: 021 – 797 2662; 7919 2564. Faks: 021-79192519 Email:
[email protected] Website: www.elsam.or.id ISBN: Pencetak dan Distributor: Pustaka Pelajar Yogyakarta
Prakata Seri
Setelah lebih dari 32 tahun hidup di bawah kekuasaan pemerintahan yang otoriter dengan dukungan ideologi militerisme yang menindas, dan kembali memasuki era keterbukaan, reformasi dan demokrasi, bangsa Indonesia sepertinya tidak peduli dengan apa yang terjadi pada masa lalu. Bahkan perbincangan sistematis tentang upaya-upaya penyelesaian hukum dan politis belum menjadi agenda utama banyak kalangan, baik DPR maupun pemerintah. Kalaupun ada, orang cenderung bersikap pragmatis dan seadanya, sehingga mengabaikan prosedur dan sasaran yang sesungguhnya. Kita pun belum memiliki perangkat yang memadai untuk menangani berbagai dampak traumatik dari akibat pelanggaran HAM masa lalu. Sementara di sisi lain, dampak traumatik tersebut semakin kelihatan seperti dalam munculnya aksi-aksi kekerasan masyarakat, resistensi ataupun ketidakpatuhan (social disobedience), atau bahkan melalui keinginan dan upaya untuk melepaskan diri dari negara RI Salah satu masalah penting yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini adalah bagaimana menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu secara tepat dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Bahasan mengenai penyelesaian pelanggaran berat HAM yang terjadi di masa lalu seyogianya berada di dalam bingkai wacana “transitional justice” karena momentum awal wacana penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tersebut adalah pergantian rezim dari rezim Orde Baru yang otoriter menuju rezim baru yang lebih demokratis. Lalu, apa sebenarnya transitional justice? Pertanyaan ini penting karena wacana transitional justice lebih luas daripada “sekadar” penyelesaian kasus demi kasus pelanggaran hak asasi manusia. Landasan moralnya adalah pembentukan pemerintahan dan masyarakat yang menghormati martabat dan hak asasi manusia melalui langkah-langkah demokratis, tanpa kekerasan, dan mengacu ke tertib hukum, sehingga menjamin peristiwa serupa tidak akan terulang di masa depan. Persoalannya adalah, apa dan bagaimana sikap kita terhadap tindakan pelanggaran HAM masa lalu tersebut? Apakah dengan menghukum atau memaafkan? Apakah yang harus dibuat untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut? Bagaimana dampaknya bila tidak terselesaikan? Bagaimana nasib para korban? Dan bagaimana kita dapat menjamin untuk menghindari terjadinya kekerasan atau pelanggaran HAM yang sama pada masa depan? Banyaknya pertanyaan yang harus kita jawab bersama itulah yang menggugah kami, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menerbitkan buku seri transitional justice ini. Selama ini, debat wacana tentang masalah keadilan pada masa transisi selalu mengacu pada literatur negara lain yang nota bene terbatas penggunaannya sebagai bahan komparasi semata. Perkembangan literatur dan bahan bacaan tentang transitional justice dengan konteks Indonesia untuk keperluan konsumsi umum memang masih sangat terbatas. Untuk itulah, seri ini hadir. Untuk mengisi ruang kosong dalam wacana kajian umum tentang “bagaimana kita sebaiknya menyikapi masa lalu” yang selama ini seolah-olah terpinggirkan. Kiranya perlu dicatat bahwa berbagai tawaran dalam seri kali ini bukanlah dimaksudkan sebagai semacam pedoman penyelesaian pelanggaran berat HAM di masa lalu. Seri ini diterbitkan dengan maksud untuk mengajak kita semua menyadari bahwa ada persoalan mendasar dan mendesak yang harus kita benahi dalam praktek bernegara dan bermasyarakat di Indonesia. Mendasar, karena menyangkut harkat dan martabat manusia – yang menjadi korban kekerasan dan pelaku kekerasan itu sendiri. Mendesak, karena yang dipertaruhkan adalah pelurusan sejarah, eksistensi kekinian manusia, selain tentu saja masa depan kemanusiaan kita.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia terutama adalah masalah kemanusiaan yang secara prinsip merupakan masalah universal, bukan melulu menjadi masalah kajian satu bidang ilmu tertentu. Itulah mengapa, kendatipun semua uraiannya menukik pada satu tema yang sama, namun pendekatan yang ditawarkan dalam seri ini sangat multidimensional dengan karakter komprehensionalitas bahasan yang cukup kental. Sekaligus hal ini menggambarkan bahwa betapa sangat rumitnya kekerasan masa lalu itu baik pada tataran teoritis maupun praktis. Tidak kurang di sini ada pendekatan filosofis yang mencoba menelusup jauh ke dalam wilayah kelam kekerasan itu. Ia mempertanyakan berbagai ide dasar, gagasan, konsep, keyakinan yang menjadi pembungkus wajah keras masa lalu itu, termasuk mempertanyakan pertanyaan tentang kekerasan itu sendiri. Ada pula pendekatan historis yang menawarkan penjelajahan ruang dan waktu dengan menampilkan berbagai pengalaman negeri lain dalam penyelesaian tindak kejahatan hak asasi manusia di masa lalu. Selain itu, ada pula yang membedahnya dengan pisau analitis – sebab bagaimanapun, karakter kekerasan itu sendiri sangat beragam – namun tetap dalam bingkai komprehensif. Itulah beberapa di antara berbagai pendekatan yang ditawarkan dalam seri ini. Akhirnya, selamat membaca.
Pengantar Penerbit
Terperangkap dalam keheningan hipokrit rezim Orde Baru selama 30 tahun lebih, bangsa ini mengendap memasuki fajar reformasi setengah merangkak lunglai setengah menegak perkasa. Syahdan, fajar baru disambut dengan euforia permukaan. Perihnya luka-luka warisan masa lampau yang menusuk hati membuat bangsa ini bergumam bahwa ia tidak akan mampu berjalan gagah memasuki kancah reformasi tanpa lebih dahulu menyembuhkan luka-luka masa lalunya. Tegak di tengah riuh reformasi, di mana isu demokrasi dan hak asasi manusia menjadi primadona yang selama ini terpasung di “sarang penyamun”, bangsa ini berteriak lantang: keadilan harus ditegakkan! Yang salah harus dihukum! Pelaku pelanggaran hak asasi manusia harus diadili! Korban harus dipulihkan! Hukum harus diberdayakan! Demokrasi harus ditumbuhkan! Keadilan, supremasi hukum, demokrasi, tidak akan bisa didirikan di atas fondasi yang ringkih. Keringkihan itu bersumber dari masa lalu yang gelap tak tersibak. Sejarah berjalan terus berdasarkan logika waktu dan alamiah. Tiada kata kembali. Tetapi, masa lalu sangat potensial dan bisa menjadi masa depan. Artinya, sejarah berjalan dalam rel pengulangan demi pengulangan. Itulah yang terjadi kalau kita tidak memberikan distingsi yang jelas dan tegas antara masa lampau, sekarang dan nanti. Oleh karena itu, masa depan seperti apa yang hendak kita gapai hanya akan jelas tergambar jika kita membedakannya dengan masa lampau. Maka, membongkar masa lampau jelas menjadi hal yang niscaya selain, suka tidak-suka, harus dilakukan. Keinginan masyarakat untuk menyelesaikan berbagai kasus tindak pelanggaran HAM masa lampau, yang semula mendapat tempat dengan adanya inisiatif pemerintah untuk mengakomodasi tuntutan tersebut secara formal, akan menghadapi banyak kendala. Yang secara yuridis sudah bergulir, yaitu dengan lahirnya Undang-Undang Pengadilan HAM dan draft RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Kendati demikian, sikap akomodatif pemerintah tersebut bukan tanpa masalah. UU Pengadilan HAM, ketika masih berupa draft RUU, sejak awal sudah menghadapi tantangan berat karena penetapan dan penggunaan asas non-retroaktif dalam proses pengadilan terhadap pelaku tindak pelanggaran HAM. Sementara draft RUU KKR akan banyak menghadapi kendala, sehubungan dengan belum jelasnya prosedur kerja komisi, baik yang menyangkut penyebutan nama, kewenangan sub-poena, pengakuan, proses dan mekanisme pangambilan kesaksian, pelanggaran persidangan dan lain-lain. Juga menyangkut model komisi yang cocok dan sesuai dengan kondisi Indonesia (mementingkan korban, pelaku, reformasi sistem dan lain-lain), mekanisme kerja komisi (hubungan tim ad hoc investigasi, komisioner dan lain-lain). Dari sisi korban sendiri, juga terdapat isu kontroversial yang akan mengemuka, seperti pemaafan (forgiveness), pengampunan (amnesty), penghukuman (prosecution), rekonsiliasi, reparasi, rehabilitasi dan kompensasi. Ini belum terhitung adanya inisiatif politis dan sosial serta komitmen politis dari kalangan elite politik kita di MPR. Buku yang tengah Anda buka ini – yang kami rangkaikan dalam seri “Transitional Justice” – merupakan buku yang memuat berbagai gagasan, ide, usulan, kritik, menyangkut penyelesaian pelanggaran, kekerasan dan kejahatan terhadap hak asasi manusia di masa lalu. Berbagai pemikiran tersebut menyasar pada gagasan yang digulir ELSAM bekerja sama dengan
ii
Departemen Hukum dan HAM untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dipandang sebagai salah satu alternatif penyelesaian kekerasan masa lalu di bumi Indonesia ini. Diseminasi dan pematangan gagasan ini dilakukan melalui forum diskusi dan seminar, temu korban dan semacam public hearing. Tulisan-tulisan dalam buku ini merupakan antologi makalah dari beberapa pembicara dalam forum-forum tersebut. Tidak semua pembicara menyiapkan bahannya berupa makalah. Pemikiran mereka yang menarik kami sajikan dalam sebuah buku lain berisikan kristal-kristal hasil berbagai rangkaian diskusi dan seminar. Adapun buku ini, kendati disusun berdasarkan sistematika yang sebagaimana Anda lihat sekarang ini, namun dalam menikmatinya sidang pembaca yang terhormat tidak perlu terikat pada sistematika yang ada. Kendati demikian, sistematika seperti ini bukannya dibuat tanpa alasan. Logika penyusunannya persis seperti logika yang dibangun ketika gagasan tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini didiskusikan dan diseminarkan. Kita menyadari bahwa kalau kita bicara tentang pelanggaran hak asasi manusia (masa lalu), maka itu berarti bicara tentang hukum dan keadilan. Bicara tentang hukum dan keadilan berarti bicara tentang moral sebagai salah satu unsur esensial di dalamnya. Bicara tentang moral berarti bicara tentang sistem nilai, basic trust dan basic values. Itu berarti kita bicara tentang klaim reflektif-filosofis. Klaim jenis inilah yang patut kita jadikan dasar spirit menuju peretasan jalan bagi terbangunnya pertanggungjawaban negara terhadap berbagai kejahatan dan pelanggaran HAM di masa lalu. Demikianlah, guliran ide pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini dibangun dengan pertama-tama mencarikan pijakannya pada upaya meretas jalan menuju pertanggungjawaban tersebut, yang dalam buku ini diwakili oleh empat tulisan dalam Bagian Pertama. Tetapi, mengapa masa lalu harus dipertanggungjawabkan? Selain telah terungkap secara refllektif dalam Bagian Pertama, persoalan ini dikupas secara lebih dalam pada Bagian Kedua. Selain itu, dalam Bagian Kedua ini dipersoalkan masalah waktu dan aktor pelanggaran dan kejahatan masa lalu tersebut. Kita memang bicara soal kejahatan negara di masa lalu. Sampai di manakah yang namanya masa lalu itu? Persoalan jangkauan waktu “masa lalu” itu kemudian berkelindan dengan persoalan “aktor”. Kedua masalah inilah yang menjadi fokus kajian terhadap “masa lalu yang harus dipertanggungjawabkan”, yang diurai dalam Bagian Kedua ini. Kesemua refleksi dan wawasan serta kajian dalam Bagian Pertama dan Kedua di atas ditutup dengan uraian tentang persoalan kerangka normatif yang sine qua non dalam masalah kejahatan dan pelanggaran HAM di masa lalu itu. Di sini diuraikan persoalan tentang konsep tanggung jawab negara berdasarkan perspektif hukum internasional. Selain itu, juga diuraikan tentang hak dasar berupa right to know the truth sebagai kerangka normatif pengungkapan kebenaran. Masalah normatif ini kemudian bertemu dengan realitas dilematis soal diberi atau tidaknya amnesti terhadap pelaku kejahatan masa lalu tersebut dalam suasana transisional. Penyingkapan dilema ini tidak untuk membuat kita mundur dan kecut, tetapi sebaliknya untuk membuat kita awas dan cermat. Sebab, bagaimanapun juga, kejahatan hak asasi manusia (masa lalu) telah menjadi keprihatinan global dan mondial; dalam perspektif politik dan hukumnya, telah menjadi keprihatinan internasional, dan dalam perspektif humanisme, telah menjadi keprihatinan universal. Jadi, mengapa kita tidak segera memulainya? Selamat membaca. Lectori salutem!
Daftar Isi Pengantar Seri Pengantar Penerbit Daftar Isi
PENDAHULUAN
BAGIAN PERTAMA:
MERETAS JALAN BAGI PERTANGGUNGJAWABAN
1. “Jalan Ketiga” bagi Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Masa Lalu Ifdhal Kasim 2. Berdamai dengan Masa Lampau: Antara Pengampunan dan Penghukuman Karlina Leksono-Supelli 3. Berjuang Mengungkap Kebenaran dan “Mengadili” Masa Lampau: Pengalaman Negeri Tertindas Agung Putri 4. Tindakan Manusiawi demi Kebenaran dan Keadilan J.B. Banawiratma
BAGIAN KEDUA:
MASA LALU YANG HARUS DIPERTANGGUNGJAWABKAN
5. Lembaran Kelam yang Harus Disingkap: Masalah Periodisasi dan Cara Pengungkapannya Asvi Warman Adam 6. Kesalahan Itu Dimulai pada 1 Oktober 1965 Dhaniel Dhakidae 7. Aktor yang Sangat Berperan di Masa Lalu Kusnanto Anggoro
BAGIAN KETIGA:
KERANGKA NORMATIF BAGI PERTANGGUNGJAWABAN
8. Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Masa Lalu Rudi M. Rizki 9. The Right to Know the Truth: Kerangka Normatif Pengungkapan Kebenaran Yohanes da Masenus Arus 10. Dilema Simalakama: Amnesti di Masa Transisi Politik Ifdhal Kasim
Biografi Penulis Indeks
Pendahuluan: Pencarian Keadilan di Masa Transisi
Masalah pertanggungjawaban atas pelanggaran berat hak asasi manusia di masa Orde Baru merupakan salah satu isu yang sangat pelik yang kita hadapi sekarang. Sebagai masyarakat yang baru keluar dari penindasan otorianisme Orde Baru, kita dihadapi oleh keharusan untuk menjawab warisan kekerasan yang ditinggalkan oleh rezim Orde Baru. Persisnya pertanggungjawaban seperti apa yang harus kita tagih kepada pemerintahan transisi sekarang dalam rangka menangani warisan kekerasan rezim Orde Baru tersebut? Perkara ini bukanlah perkara yang dapat dengan mudah kita cari jawabannya secara final. Secara retorik, masalah ini sering ditampilkan dalam kontras memilih salah satu dari alternatif ini: melupakannya, atau mengingatnya? Melihat begitu krusialnya masalah ini pada masa transisi sekarang, kami dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mencoba mengambil inisiatif memprakarsai perbincangan dan perdebatan di seputar masalah pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Kami mengundang para ahli dari pelbagai disiplin ilmu, praktisi, para korban, dan aktivis hak asasi manusia turut terlibat aktif dalam tukar-pikiran dan gagasan tentang langkah seperti apa yang harus kita ambil berkenaan dengan pertanggungjawaban atas pelanggaran di masa lalu itu. Wacana inilah yang ingin kami perluas dengan menerbitkan kegiatan pertukaran pikiran tersebut. Pandangan dan pikiran yang disampaikan dan diperdebatkan pada forum-forum pertukaran pikiran itulah yang kami untaikan kembali di dalam buku ini. Buku ini hanya menyajikan sebagian dari rangkaian perbincangan di forum-forum pertukaran pikiran yang pernah kami selenggarakan. Terutama kami ambil dari salah satu seminar dan lokakarya yang kami adakan pada tanggal 13-17 April 2000 di Jakarta dengan mengambil tema: “Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia: Antara Kebenaran dan Keadilan”. Bagian yang tidak tersaji di dalam buku ini, kami rencanakan diterbitkan pada buku berikutnya dalam rangkaian pembahasan tema “transitional justice” tersebut.
Menghadapi Masa Lalu Seperti disinggung di muka, tema pokok yang ingin diketengahkan buku ini adalah isu pertanggungjawaban pemerintahan “baru” (transisi) atas pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh rezim sebelumnya (yang otoriter atau totaliter itu). Dalam kata lain, buku ini ingin mengetengahkan suatu diskusi mengenai bagaimana suatu masyarakat post-otorianisme menghadapi masa lalunya yang gelap itu (to came to term with the past). Lebih spesifik lagi, buku ini ingin memulai suatu diskusi yang lebih serius mengenai langkah apa yang harus kita ambil berkenaan dengan kekejaman rezim otoriter Orde Baru yang telah menyebabkan jutaan orang Indonesia jadi korbannya. Mereka yang
1
menjadi korbannya itu bukan hanya terbatas pada satu kelompok (yang secara ideologis dimusuhi oleh Orde Baru), tetapi meliputi hampir semua kelompok di dalam masyarakat yang bersikap kritis dengan kekuasaan ketika itu. Bab I buku ini, di bawah subtema “Meretas Jalan bagi Pertanggungjawaban”, mengetengahkan diskusi mengenai isu pokok yang dipaparkan di atas. Di dalamnya tersaji empat pembahasan, yang masing-masing ditulis oleh Ifdhal Kasim, Karlina Leksono-Supelli, Agung Putri, dan J.B. Banawiratma. Dengan mengacu pada literatur “transitional justice” – yang merebak dalam sepuluh tahun terakhir ini, masing-masing penulis melihat betapa sangat kompleks pemasalahan yang dihadapi masyarakatmasyarakat transisional, termasuk masyarakat Indonesia, ketika ingin menagih pertanggungjawaban atas kekejaman yang dilakukan oleh rezim sebelumnya. Kompleksitas itu terlihat dari berkait-kelindannya beragam faktor yang harus mereka simak dengan kecermatan yang tinggi, antara lain, jenis kediktatoran ataupun otoritarianisme rezim politik terdahulu; bentuk kekejaman atau pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi; situasi dan kondisi niscaya yang harus dipertimbangkan agar kediktatoran tidak terulang; dan kekuatan pemerintahan transisi yang baru terbentuk dan sumber dayanya. Masalahnya kemudian bukan hanya keharusan memenuhi kewajiban negara (state duty) untuk mengusut dan mengadili pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia, melainkan bagaimana meletakkan kewajiban negara tersebut dalam konteks politik transisional itu sendiri. Ifdhal Kasim melalui tulisannya yang berjudul “Jalan Ketiga bagi Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di Masa Lalu”, mengajukan tawaran “jalan ketiga” dalam usaha menjawab masalah pertanggungjawaban oleh rezim transisi saat ini berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia oleh rezim sebelumnya (Orde Baru), tanpa mencederai prinsip human rights violation must be punished. Pilihannya bukanlah hitam putih atau memilih salah satu dari opsi menghukum, memaafkan dan melupakan, tetapi justru membuat kombinasi yang mungkin dari pilihan-pilihan tersebut. Realitas politik yang muncul di masa transisi, mau tidak mau, harus dipertimbangkan ketika hendak merumuskan kebijakan berkaitan dengan penanganan atas pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Aspek-aspek dari tema inilah lebih lanjut dibahas dengan detail dalam tulisan-tulisan Karlina Leksono-Supelli, Agung Putri dan J.B. Banawiratma.
Dari Mana Dimulai? Tetapi apa sih yang kita maksud dengan masa lalu? Pertanyaan berikut ini menjadi pokok bahasan yang ditampilkan pada bab II. Bab ini kami beri subjudul “Masa Lalu yang Harus Dipertanggungjawabkan”, mengetengahkan uraian mengenai batas waktu yang kita defenisikan sebagai “masa lampau” itu. Masa lampau yang menjadi perhatian kita bukanlah masa lalu yang terlalu jauh ke belakang, misalnya hingga masa Perang Babat dan seterusnya (masa pra-Indonesia). Juga bukan pula masa Indonesia di bawah kekuasaan kolonial Belanda, dan sesudahnya (seperti kekejaman Westerling di Makasar). Tetapi suatu kurun waktu kekejaman yang belum lama berlalu, yang dampak dan memori kolektif masyarakat atas kurun waktu tersebut masih terus membayang dan
2
membuat masyarakat terpolarisasi ke dalam sekat-sekat ideologis dan etnis. Kurun waktu di mana kekuasaan otoriter mengisi lembaran sejarah Indonesia dengan kekejaman dan memecah belah masyarakat dalam permusuhan abadi. Kurun waktu inilah yang relevan untuk diungkap, bukan untuk membalas dendam tetapi demi keperluan menganyam kembali sekat-sekat sosial yang telah diluluhlantakkan itu. Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI, mengusulkan batas waktu yang dimaksud dengan “masa lalu” itu dimulai dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan berakhir pada bulan Mei 1998. Itulah periode yang diusulkannya untuk diselidiki pelanggaran-pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi, sebagai keperluan untuk menganyam kembali rekonsiliasi di antara kelompok-kelompok masyarakat. Seperti kita ketahui, kurun waktu sebelum Orde Baru (1959-1965) merupakan kurun waktu yang “panas” dalam sejarah politik kita, yang melibatkan pihak kiri di satu sisi dan kanan di sisi yang lain –yang hingga kini keretakannya masih terasa. Pengungkap kebenaran kurun waktu ini menurut Asvi memberi jalan bagi pengungkapan pada periode berikutnya, yakni kurun waktu Orde Baru (1965-1998). Dengan demikian, proses investigasi ini nantinya mencakup dua rezim politik. Pada era Demokrasi Terpimpin, 5 Juli 1959 sampai 30 September 1965 dan selama rezim politik Orde Baru dinilai dari 1 Oktober 1965 sampai 22 Mei 1998. Secara keseluruhan terbagi dua periode, periode pertama 6 tahun dan periode kedua selama 33 tahun, jumlah keseluruhan selama 39 tahun. Masa lampau yang dirumuskan Asvi di atas mendapat tantangan dari Daniel Dhakidae. Peneliti senior dari Harian KOMPAS itu cenderung memulainya dari regim Orde Baru, yakni 1 Oktober 1965 sampai 22 Mei 1998. Karena pada periode inilah terjadi apa yang dikenal dengan gross violation of human rights, yang skalanya tidak tertandingi oleh regim Demokrasi Terpimpin Soekarno. Kriterianya untuk mengatakan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada kurun waktu itu sebagai gross violations adalah: Pertama, pelanggaran itu prosesnya terjadi secara sistematis. Kedua, pelanggaran itu dikerjakan oleh state apparatus yang mendapat dukungan dari institusi kekerasan yang ada dalam masyarakat, kurang lebih institutionalized crime. Ketiga, dilakukan dengan massal dengan korban yang massal pula (massive consequences against the people). Keempat, hal itu kemudian menyebabkan hubungan yang tidak eimbang antara pelaku dan korban (asymetric relations between the pepretrators and victims), di mana terjadi proses pelemahan satu kelompok atau lebih oleh kekuatan negara, yang mendapat dukungan massal dari berbagai kekuatan dalam masyarakat. Terakhir, pada ujung berikutnya, berhubungan dengan persoalan hukum dan keadilan – yang tentu saja menjadi basis terdalam dari seluruh persoalan tersebut. Berangkat dari titik tolak konsep gross violation of human rights itulah lulusan Universitas Cornell itu menetapkan 1 Oktober 1965 sebagai titik awal. Sekiranya semua kriteria di atas digunakan untuk membedah seluruh pelanggaran hak asasi manusia yang ada di Indonesia, maka dengan sendirinya tidak satu pun peristiwa yang bisa menyamai apa yang dikerjakan oleh rezim Orde Baru sejak 1 Oktober 1965. Itulah mengapa 1 Oktober 1965 merupakan simpul pertama yang harus dijadikan titik tolak investigasi dari segala tindak kekerasan politik selama berlangsungnya rezim Orde Baru; ia merupakan titik awal dari segala macam kekacauan yang terjadi selama ini. Dari sanalah berasal
3
seluruh rasionalisasi sistem politik, sistem pendidikan, sistem kebudayaan, yang semakin otoriter yang pada gilirannya nanti semakin meningkat menjadi totaliter; ia menjadi semacam tune in print dari seluruh sejarah Indonesia. Rekonsiliasi dengan demikian bukanlah ujung dari suatu hasil akhir, melainkan merupakan awal dari seluruh proses berikutnya. Kusnanto Anggoro memberi ulasan terhadap aktor yang sangat berperan pada periode yang dirumuskan Daniel di atas. Aktor itu adalah TNI. Seperti kita ketahui, aktor yang seharusnya netral itu telah digunakan oleh pemegang kekuasaan Orde Baru sebagai “tukang pukul” untuk mempertahankan kekuasaannya. Peneliti senior dari CSIS itu mencoba menguraikan pada kita latar belakang keterlibatan aktor tersebut dalam kehidupan politik Orde Baru – yang kita tahu telah menyebabkan berbagai peristiwa pelanggaran berat hak asasi manusia di masa itu. Digambarkannya pula tentang doktrin yang mempengaruhi organisasi itu, persepsi mereka atas ancaman, dan problem yang mereka hadapi dalam situasi transisi politik saat ini. Commission of Truth and Reconciliation bisa jadi diperlukan, kata Kusnanto, mungkin bukan sebagai alternatif malainkan sebagai komplemen bagi komisi-komisi yang sudah ada maupun perlu dibentuk kemudian.
Melunaskan Tanggung Jawab Sebagai penutup uraian, pada bab terakhir diketengahkan pembahasan tentang kerangka normatif dari perbincangan pada bab-bab terdahulu. Kira-kira pertanyaannya adalah, apakah memang ada alasan hukum untuk menagih pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi di masa lalu? Kalau ada, bagaimana persisnya tanggung jawab itu? Rudi M. Rizki memulainya dengan merujuk pada konsep tanggung jawab negara (state responsilibity) atas pelanggaran hak asasi manusia. Menurut hakim non-karir pada Pengadilan Hak Asasi Manusia itu, pada dasarnya suatu negara bertanggungjawab secara internasional apabila dipersalahkan telah melakukan perbuatan (act atau omission) yang telah mengakibatkan tindak pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional ataupun dari sumber hukum internasional lainnya. Dalam konteks ini, boleh dikatakan aspek hukum pidana internasional sangat strategis peranannya dalam proses penegakkan hak asasi manusia. Sejak Pengadilan Penjahat Perang di Nuremberg dan Tokyo pascaPerang Dunia II, perlindungan hak asasi manusia secara internasional mulai menemukan bentuknya. Boleh dikatakan konsep pertanggungjawaban negara tersebut saat ini semakin dikokohkan; kewajiban tersebut telah menjadi ius cogens sehingga tidak ada lagi alasan untuk mengingkarinya. Kalau di atas sudah dipaparkan mengenai kewajiban negara, berikutnya yang menjadi pokok bahasan adalah aktualisasi kewajiban tersebut di suatu negara yang baru keluar dari pengalaman otoriterianisme – atau yang lebih dikenal dengan “transisi”. Yohanes da Masenus Arus, seorang aktivis hak asasi manusia, menelisik pemenuhan kewajiban suci tersebut berdasarkan pengalaman negara yang sedang mengalami transisi. Menurut dia, kewajiban transisional di semua negara berada jauh melampaui upaya
4
hukum atau tidak sekadar membawa pelaku ke hadapan pengadilan. Proses transisi sebenarnya tidak saja merupakan proses reparasi dan rehabilitasi terhadap nasib masyarakat, bangsa dan negara, tetapi juga memiliki keterkaitan dengan dekonstruksi masa lampau yang bisu, dipalsukan atau massa rakyat yang diam dan traumatik. Dalam konteks inilah Yohanes bicara tentang the right to know the truth -- yang secara normatif sering dirujuk timbul dari pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Hak masyarakat atau korban untuk mengetahui kebenaran (victim right to know) tersebut mengimplikasikan timbulnya kewajiban negara untuk mengingat (state duty to remember). Ibarat sekeping mata uang yang memiliki dua sisi, keduanya harus berjalan seiring dan tidak dapat dipertukarkan. Kewajiban mengingat inilah yang harus dipenuhi oleh negara ketika berhadapan dengan masa lalunya – sebagai pengejewantahan pemenuhan atas hak korban untuk mengetahui. Apa persisnya yang dimaksud dengan hak untuk mengatahui kebenaran (the rights to know the truth) itu? Louis Joinet, Pelapor Khusus PBB yang merumuskan “Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights Through Sanction to Combat Impunity”, mendefenisikannya sebagai berikut: “Setiap masyarakat memiliki hak yang tak dapat dicabut untuk mengetahui kebenaran tentang peristiwa-peristiwa masa lampau, dan tentang lingkungan serta alasan-alasan yang membawa, melalui pola-pola pelanggaran hak asasi manusia skala berat, ke para pelaku yang menyebabkan terjadinya kejahatan tersebut. Pelaksanaan hak ini secara penuh dan efektif akan sangat mendasar perannya bagi upaya mencegah terjadinya kembali tindakan-tindakan tersebut pada masa yang akan datang”.
Singkatnya hukum telah memastikan tanggung jawab negara dengan gamblangnya. Yang menjadi pertanyaan kita berikutnya adalah bagaimana kalau kewajiban “suci” tersebut disimpangi oleh negara, antara lain dengan pemberian amnesti kepada para pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia? Nah isu kontroversial inilah akan coba dibahas oleh Ifdhal Kasim pada bagian akhir bab ini. Seperti diketahui, beberapa negara transisional mencoba mengatasi masalah pelanggaran berat hak asasi di masa lalu (di masa otoritarian) dengan memberikan amnesti secara cuma-cuma kepada para pelaku (blanket amnesty) – yang biasanya adalah para petinggi militer di negara itu. Pemberian amnesti itu dilakukan dengan tujuan untuk menghidari perlawanan dari para pelaku (yang masih kuat secara politik), yang dapat mengganggu demokrasi yang masih labil di masa transisi. Itulah mengapa sebagian besar negara transisional (penguasa rezim politik baru) memilih mengajak bekerja sama para pelaku tersebut untuk bersama-sama menyelamatkan demokrasi yang masih “bayi” itu. Menyelematkan demokrasi lebih diutamakan ketimbang mengajukan mereka ke pengadilan. Tampak betapa keadilan telah dipertukarkan dengan stabilitas rezim! Yang menjadi pokok masalah adalah apakah pemberian amnesti tersebut (meskipun dengan alasan mendahulukan demokrasi) sejalan dengan kewajiban “suci” negara untuk melakukan pengusutan? Atau, apakah langkah tersebut merupakan suatu pelanggaran serius terhadap kewajiban ius cogens? Isu-isu inilah yang coba dijelajahi dalam pembahasan Ifdhal Kasim – yang bukan hanya mencoba membahasnya secara teoretis dilema tersebut, tetapi juga dengan membahas pengalaman (kasus) praktik di
5
Afrika Selatan (yang berbeda dengan praktik amnesti di negara-negara Amerika Latin). Pemberian amnesti tampak seperti “todongan senjata” di meja perundingan!
*** Penerbitan buku ini kami harapkan dapat memberi sumbangan bagi usaha kita belakangan ini dalam menagih pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia di masa Orde Baru. Atau katakanlah, buku ini ingin memberi sumbangan dalam pencarian keadilan di masa transisi politik saat ini. Makanya kemunculan buku ini tidak sekadar sebagai pemenuhan kebutuhan informasi, bahwa ada sederetan pilihan untuk menyelesaikan tindak pelanggaran hak asasi manusi di masa lampau – sebagaimana terlihat dalam praktik di negara-negara transisional terdahulu. Lebih dari itu kemunculan buku ini merupakan tantangan atau ajakan berdialog guna bersama-sama mencari jawaban awal tentang kerumitan masa transisi yang sedang berlangsung di negeri ini. Pada akhirnya, tersimpan harapan di dada, bahwa jawaban awal tersebut nantinya dapat dijadikan pijakan bersama guna mendorong gerakan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di masa lampau yang terjadi di negeri ini. Akhirnya kepada semua pihak yang terlibat dalam keseluruhan proses tukarpikiran yang kami selenggarakan, kami menyampaikan perhargaan dan terima kasih sebesarnya. Dengan memperbincangkan masa lalu, kita terhindar dari usaha “tumpas kelor” atas ingatan – seperti yang dilakukan rezim Orde Baru. Tidak lupa, kepada sidang pembaca, kami ucapkan selamat membaca. (Ifdhal Kasim)
6
BAGIAN PERTAMA MERETAS JALAN BAGI PERTANGGUNGJAWABAN
Bagian pertama ini berisikan empat tulisan yang secara umum menyasar pada konsep dasar pertanggungjawaban negara terhadap pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Konsep pertanggunggungjawaban tersebut ditilik dari berbagai perspektif semisal filosofis-antropologis, sosio-historis, dan hukum hak asasi manusia internasional. Tulisan pertama, “Jalan Ketiga bagi Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Masa Lalu”, menghadirkan dilema yang dihadapi negara dalam menangani pelanggaran masa lalu, dilema yang selama ini sangat kental mewarnai berbagai perdebatan dan praksis seputar isu penanganan masa lalu tersebut. Tulisan ini tidak cuma menghadirkan dilema tersebut dengan kejernihan pencerapan yang cermat, tetapi juga dengan menawarkan sebuah jalan alternatif yang menjanjikan kendati tampak bagaikan “mendayung di antara dua karang”. Karakteristik dilematis yang senada juga ditampilkan oleh tulisan kedua, “Berdamai dengan Masa Lampau: Antara Pengampunan dan Penghukuman”. Hanya saja, jika dalam tulisan pertama lebih ditonjolkan perspektif konsep hak asasi manusia internasional, dalam tulisan kedua digali hal-hal yang bersifat antropologis dan filosofis. Di sini penulis mencoba menjawab berbagai pertanyaan mendasar semisal “mengapa kejahatan masa lalu harus dipertanggungjawabkan”, “mengapa korban berhak mendapatkan keadilan”, “kalau kita memilih berdamai, apa alasannya dan apakah itu bisa menyumbang masa depan kehidupan bernegara yang lebih demokratis dan adil”, “mengapa pelaku dihukum dan hukuman seperti apa yang layak dipertanggungjawabkan secara kemanusiaan, dan apa benar bahwa hukuman itu memiliki effect of deterrence”, dan beberapa pertanyaan lain yang memang sangat urgen untuk kita renungkan bersama. Tulisan keempat, “Tindakan Manusiawi demi Kebenaran dan Keadilan”, melontarkan aspek filosofis yang lebih spesifik lagi yaitu soal moral atau etika. Di sini dipertanyakan soal apakah sebuah tindakan itu, kendati demi tujuan mulia seperti demi kebenaran dan keadilan”, memang dapat dipertanggungjawabkan secara etis atau tidak. Pokok persoalannya di sini adalah bukan soal “benar” dan “salah”, tetapi soal “baik” dan “buruk”. Kendatipun sebuah tindakan penghukuman terhadap kejahatan dianggap sesuai dengan aturan hukum positif, atau bahkan memenuhi “rasa keadilan” berdasarkan common sense, tetapi itu tidak berarti bahwa tindakan tersebut memenuhi persyaratan etis. Ini menjadi penting untuk kita bahas karena bahkan kejahatan masa lalu itu pun mendasarkan tindakan brutalnya demi sebuah ideologi, sebuah keyakinan, sebuah politik hukum, sebuah “aturan main” yang sah pada waktu itu, tetapi itu toh tidak berarti dapat dibenarkan secara etis. Pertanyaan etis atas tindakan kita sangat mendasar karena dengan itu kita tidak mengulang kesalahan logika yang sama dalam menindaki kejahatan negara masa lalu, yang kalau tidak demikian bisa jadi di masa depan, tindakan kita itu akan dianggap sebagai kejahatan juga oleh generasi yang lain. Pertimbangan etis mencoba memperkecil kemungkinan itu. Ketiga perspektif di atas dilengkapi dengan kajian sosiohistoris dalam tulisan ketiga, “Berjuang Mengungkap Kebenaran dan Mengadili Masa Lampau: Pengalaman Negeri Tertindas”. Di sini penulisnya tidak cuma memaparkan pengalaman negara-negara yang mengalami masa transisi dari rezim otoritarian ke rezim demokratis dalam menangani pelanggaran masa lalu, melainkan juga mencoba mengkaji berbagai kelemahan dan kelebihannya yang dilengkapi dengan tawaran alternatif untuk konteks Indonesia.
1
“Jalan Ketiga” bagi Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Masa Lalu Ifdhal Kasim∗
… boleh jadi, langkah yang paling rendah tingkat ketidakpuasannya, adalah jangan mengajukan ke pengadilan, jangan menghukum, jangan memaafkan, dan yang terpenting, jangan melupakan.1
KUTIPAN yang dipetik di atas berasal dari Samuel P. Huntington. Pakar politik kenamaan itu, yang mengamati gelombang transisi politik di berbagai negara, bermaksud memberikan wejangan kepada kalangan aktivis pro-demokrasi di negara-negara yang baru lepas dari cengkraman rezim otoriter berkenaan dengan cara menyikapi masa lalu mereka yang kelam. Masyarakat-masyarakat yang dikuasai oleh rezim otoriter atau totaliter itu mengalami masa-masa yang sulit dan kejam di bawah pemerintahan rezim tersebut; mereka disiksa, dihilangkan, diancam, dibunuh dan sebagainya – pendeknya semua hak mereka diberangus dengan sewenang-wenang. Kekejaman-kekejaman itu dilakukan dan dibenarkan atas nama “pembangunan”, “stabilitas politik”, “menumpas ekstrem kiri” atau sebagaimana di negara-negara Amerika Latin disebut sebagai “perang kotor melawan gerakan subversif kiri”. Tidak mengherankan apabila hampir semua rezim otoriter/totaliter itu memiliki “satuan khusus” yang bekerja secara efektif menjalankan operasi “pemberangusan” demi kepentingan rezim otoriter tersebut.2 Selain itu, hampir semua rezim itu mendapat dukungan internasional, baik secara finansial maupun legitimasi pemerintahannya. Kini, setelah rezim-rezim otoriter/totaliter itu digulingkan oleh rakyatnya sendiri, pemerintahan baru di negara-negara ini (yang dikuasi oleh kekuatan-kekuatan politik prodemokrasi) dituntut untuk menyelesaikan penyalahgunaan kekuasaan –berupa pelanggaran berat hak asasi manusia manusia (gross violation of human rights) yang dilakukan rezim sebelumnya itu. Mau tidak mau pemerintah-pemerintah yang baru melepaskan diri dari otoritarian atau totalitarian itu harus melunaskan akuntabilitas3 yang belum dibayar oleh rezim ∗ 1
2
3
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta. Samuel P. Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (Cambridge: Cambridge University Press, 1991). hlm. 231. Sebagai ilustrasi, di Argentina di bawah rezim junta militer “satuan khusus” itu diberi nama “pasukan pembunuh” dan telah membunuh lebih dari 10.000 orang. Tindakan ini dikenal dengan sebutan “Dirty War” terhadap kaum subversif kiri. Penyelidikan mengenai kekejaman di Argentina itu telah direkam dalam laporan Komisi Orang Hilang, yang diterbitkan dengan judul Nunca Mas (NY:Farrar Straus Giroux, 1986). Saya menggunakan istilah ini sebagai padanan dari istilah “accountability”, yang dapat dimaknai sama dengan istilah “responsibility”. Seperti diketahui, hukum hak asasi manusia internasional memberikan kewajiban kepada Negara untuk melakukan penyelidikan, mengajukan ke pengadilan, dan menghukum
1
otoriter sebelumnya itu. Sekaranglah saatnya akuntabilitas terhadap masa lalu itu ditagih. Tetapi justru di sinilah letak masalahnya; akuntabilitas atas masa lalu itu ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan! Keinginan untuk memenuhi tuntutan tersebut ternyata harus pula memperhitungkan realitas politik yang muncul dari proses transisi itu sendiri. Inilah masalah pelik yang dihadapi oleh masyarakat-masyarakat transisi.4 “Kita,” tulis Guillerlmo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter,5 “berada dalam situasi yang secara etis, dan juga politis, sangat sulit untuk menjatuhkan pilihan.” Masalah inilah yang sekarang kita hadapi. Sebagai masyarakat yang baru lepas dari rezim otoriter Orde Baru, kita juga dituntut untuk menyelesaikan warisan yang ditinggalkan oleh rezim yang lalim itu, khususnya berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran berat hak asasi manusia yang pernah dibuatnya, yang hingga sekarang tidak pernah dipertanggungjawabkannya. Mulai dari pembunuhan massal di awal Orde Baru hingga ke Tragedi Mei 1998 dan Tragedi Trisakti dan Semanggi. Seperti diketahui, pelanggaranpelanggaran berat hak asasi manusia tersebut dibantah dan dibenarkan atas nama “pembangunan”, “stabilitas politik” atau “ekstrem kiri”. Wajar sekali apabila pelanggaranpelanggaran itu tidak pernah dipertanggungjawabkan melalui suatu pengadilan yang independen. Tanggung jawab yang belum dilunaskan oleh rezim sebelumnya itulah yang sekarang harus dipertanggungjawabkan oleh pemerintah saat ini. Memang pemerintahan sekarang ini sedang menghadapi situasi transisi politik, tetapi kondisi objektif ini tidak dapat dijadikan alasan oleh pemerintahan baru untuk menolak menunaikan tanggung jawab tersebut.6
4
5
6
pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Pembahasan mengenai isu ini lihat Naomi Roth-Ariaza, “State Responsibilty to Investigate and Prosecute Human Rights Violations in International Law”, California Law Review, 78, 1990. Kajian terhadap isu ini telah melahirkan sebuah bidang baru yang menantang, yang disebut dengan “transitional justice”. Literatur mengenainya, belakangan ini, bertumbuh dengan pesat. Saya ingin menunjukkan beberapa di antaranya, yang tentu saja sangat berpengaruh, yakni karya-karya: Juan E. Mendez, “Accountability for Past Abuses”, Human Rights Quarterly 19 (1997, 255-82); Richard L Siegel, “Transitional Justice: A Decade of debate and Experience”, Human Rights Quarterly 20 (1998), 431-54; Michelle Parlevliet, “Considering Truth: Dealing with a Legacy of Gross Violations Human Rights,” Netherlands Quarterly of Human Rights 16 (1998), 141-74; Aryeh Neier, “What Should Be Done about the Guilty,” New York Review of Book, February, 1990; Jose Zalaquett, “Balancing Ethical Imperatives and Political Constraints: The Dilemma of New Democracies Confronting Pas Human Rights Violations,” Hastings Law Journal 43 (1992), 1425-38; Neil J. Kritz, ed., Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Regime, vols. 1-3 (Washington, D.C.,: Institute of Peace Press, 1995); James A. McAdam, ed., Transtional Justice and the Rule of Law in New Democracies (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1997); Naomi Roht-Arriaza, ed., Impunity and Human Rights in International Law and Practice (New York: Oxford University Press, 1995); Aryeh Neier, War Crimes: Brutality, Genocide, Terror, and the Struggle for Justice (New York: Times Book, 1998); Carla Hesse & Robert Post, Human Rights in Political Transitions: Gettysburg to Bosnia (New York: Zone Books, 1999); Prisilia Heyner, The Unspeakable Truth: Confronting State Terror and Atrocity (new York: Rouutledge, 2001). Lihat O’Donnel dan Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, (Jakarta: LP3ES, 1993). hlm. 44. Untuk mendapatkan argumen yang lebih rinci berkaitan dengan isu ini, silahkan periksa Juan E. Mendez, “Accountability for Past Abuses”, Human Rights Quarterly, 19 (1997); dan Dianne F. Orentlicher, “Settling Accounts: The Duty to Prosecute Human Rights Violation of A Prior Regime”, The Yale Law Journal, Vol 100.
2
Nah, sama seperti masyarakat-masyarakat transisi lainnya, kita dihadang oleh tiga pertanyaan ketika mau menyelesaikan pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu: apakah menyelesaikannya dengan mengajukan ke pengadilan (to punish)?; atau menyelesaikannya dengan cara melupakannya (to forget)?; atau menyelesaikannya dengan cara memaafkannya (to pardon)? Huntington, sebagaimana dikutip di awal tulisan ini, menawarkan advis jangan melakukan satu pun di antara tiga opsi yang dikatakannya itu. Tampaknya Huntington lebih mementingkan terlebih dahulu menjaga stabilitas bagi pemerintahan demokrasi baru tersebut ketimbang mengutamakan akuntabilitas dan keadilan terhadap masa lalu. Padahal di sinilah letak masalahnya. Masa lalu itu tidak bisa ditutup begitu saja sebagaimana menutup sebuah buku, karena ia akan terus membayangi perjalanan suatu bangsa. George Santayana mengatakan, “mereka yang tidak peduli dengan masa lalu, dihukum untuk mengulanginya.” Saya akan mengajukan argumen “jalan ketiga”7 dalam usaha menjawab masalah akuntabilitas terhadap masa lalu tersebut. Saya memandang, akuntabilitas terhadap masa lalu bukan hanya melulu difokuskan pada tuntutan hukum semata, tetapi harus juga dilihat sebagai bagian dari suatu proses pembangunan kembali tatanan moral dan nilai-nilai yang telah dirusak di masa rezim otoritarian di masa lalu. Kedua langkah ini bukan merupakan dua langkah yang terpisah satu sama lain, tetapi keduanya sering kali diperlukan secara bersamaan. Halaman-halaman berikut tulisan ini akan membentangkan argumen tentang jalan ketiga itu.
Menghadapi Masa Lalu: Menukar Keadilan dengan Penyelesaian Politik? Akuntabilitas terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu bukanlah perkara yang dapat dengan mudah ditangani oleh pemerintah-pemerintah transisi. Secara objektif banyak di antara pemerintah-pemerintah transisi itu dihadapkan dengan kebutuhan untuk menyelamatkan terlebih dahulu proses transisi ke demokrasi ketimbang mendahulukan pemenuhan kewajiban internasionalnya dalam menangani pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu. Kebutuhan sangat mendesak itu pada akhirnya membuat mereka sangat memperhitungkan risiko yang bakal timbul dari keputusan yang mereka pilih berkaitan dengan menangani masalah akuntabilitas atas masa lalu.8 Realitas objektif inilah yang membuat tidak mudah bagi pemerintahan transisi menangani masa lalunya yang penuh ketidakadilan itu dengan lugas; kebanyakan dari mereka menghadapi dilema yang disebut oleh Diane Orentlicher,9 seorang pakar kenamaan di bidang hak asasi manusia, sebagai dilema “Hobson’s choice”, yakni suatu dilema memilih antara kelangsungan hidup pemerintahan baru itu dengan prinsip-prinsip yang melandasi eksistensi dirinya yang harus pula ditegakkan. Situasi yang dipaparkan di atas sebenarnya menggambarkan keringkihan dari banyak pemerintah transisi. Keringkihan itu sangat terasa pada negara yang transisi politiknya lahir 7
8
9
Istilah “jalan ketiga” ini saya pinjam dari Uskup Agung Desmond Tutu dari Afrika Selatan, yang memainkan peranan penting dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan. Lihat bukunya, No Future Without Forgiveness (New York: Doubleday, 1999). Penjelasan yang mendalam mengenai situasi ini, dengan latar belakang pengalaman pemerintahanpemerintahan transisi di Amerika Latin, lihat Jose Zalaquett, “Confronting Human Rights Violations Committed by Former Government”, dalam State Crime: Punishment or Pardon (Aspen Institute, 1989). Lihat Dianne F. Orentlicher, “Settling Accounts: The Duty to Prosecute Human Rights Violation of A Prior Regime”, The Yale Law Journal, Vol 100.
3
dari proses politik yang dinegosiasikan10 seperti tampak pada kasus Afrika Selatan atau Uruguay. Di sini kita lihat sebuah proses negosiasi yang panjang berlangsung antara kekuatan politik apartheid dan oposisi untuk menentukan transformasi sistem politik bertahap menuju sistem politik lebih demokratis. Termasuk di dalamnya dirundingkan pula soal bagaimana menyelesaikan pelanggaran berat hak asasi manusia yang dilakukan oleh rezim sebelumnya. Hasilnya adalah berupa sebuah kesepakatan mengenai diberikannya amnesti bagi mereka yang bersalah di masa lalu.11 Proses yang sama juga terlihat dengan gamblang pada kasus Uruguay. Di sini berlangsung negosiasi yang sengit antara politisi sipil dan militer untuk melapangkan jalan menuju sistem politik lebih demokratis. Hasilnya hampir serupa dengan Afrika Selatan, pemerintahan baru memberi garansi kepada kekuatan militer bahwa tidak akan ada proses prosekusi terhadap mereka melalui apa yang dikenal dengan Naval Agreement.12 Jadi tampak yang dipentingkan oleh pemerintahan baru yang lahir dari proses negosiasi politik adalah mengamankan terlebih dahulu demokrasi yang masih sangat ringkih itu ketimbang mengutamakan penghukuman yang mungkin dapat merusak proses konsolidasi ke arah demokrasi. Hal yang berbeda kita saksikan pada negara yang proses transisi politiknya tidak mengambil jalan negosiasi.13 Seperti tampak pada transisi politik di Yunani, pemerintahan baru di bawah perdana menteri Constantine Karamanlis tidak menghadapi dilema yang sama peliknya dengan apa yang dihadapi pemerintahan baru yang dihasilkan melalui proses negosiasi politik. Transisi politik di Yunani bukan dihasilkan melalui negosiasi, melainkan melalui perlawanan politik rakyat terhadap rezim junta-militer (dipimpin oleh para kolonel) yang mulai merosot legitimasinya akibat kekalahan mereka dalam perebutan Siprus dengan Turki. Rezim junta-militer yang berkuasa sejak tahun 1967 itu akhirnya ditumbangkan, rakyat Yunani kemudian memilih Karamanlis melalui pemilihan umum yang demokratis sebagai perdana menteri. Ketika dukungan rakyat mencapai puncaknya – dengan memanfaatkan faktor-kator kekalahan militer di Siprus, dukungan luas masyarakat, dan percobaan kudeta militer yang gagal – Karamanlis bergerak cepat menyiapkan “kebijakan pembalasan yang
10
Huntington mengolongkan proses transisi seperti itu ke dalam pola transplacement atau ruptforma, yakni suatu proses transisi terjadi dari hasil kerja sama antara kelompok oposisi dan kelompok pemerintah. Untuk pembahasan mengenai hal ini lihat Huntington, Gelombang Ketiga Demokratisasi (Jakarta: Grafiti Press, 1995).
11
Alex Boraine, wakil ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan, dengan gamblangnya menyatakan hal ini. Katanya: “In South Africa the transition was essentially determined by political compromise … It is morally defensible to argue that amnesty is the price we had to pay for peace and stability”. Lihat Boraine, “Justice in Cataclysm: Criminal Tribunals in the Wake of Mass Violence”, Speech, July 20, 1999. Lihat juga MR Rwelamira, “Punishing Past Human Rights Violations: Considerations in the South African Context” dalam MR Rwelamira & G Werle (eds.), Confronting Past Injustices, Durban: Butterworths, 1996, hlm. 7. Presiden Uruguay, Sanguinetti, mengatakan: “mana yang lebih adil – mengkonsolidasikan perdamain di suatu negeri dimana hak-hak asasi manusia terjamin pada masa kini – atau mencari keadilan ke masa lampau yang bisa membahayakan perdamaian itu”. Untuk pembahasan kasus Uruguay, lihat Robert K. Goldman, Amnesty Laws and International Law: A Specific Case (International Commission of Jurist, Prosiding, 1993), h. 209-222. Huntington menyebut negara yang menjalani transisi politik seperti itu sebagai menjalani pola replacement: suatu proses transisi politik yang dipelopori oleh kelompok oposisi, dan rezim otoriter digulingkan. Untuk detailnya lihat Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta: Grafiti Press, 1995.
12
13
4
cepat, tegas, dan dapat diandalkan, akan tetapi juga terbatas”14 dalam menangani persoalan masa lalu. Sembilan bulan memerintah, Karamanlis berhasil menyeret para pejabat tinggi junta-militer ke pengadilan, dan pengadilan menyatakan mereka bersalah melakukan pengkhianatan tingkat tinggi.15 Pengadilan ini dikenal luas sebagai “junta-trials”. Isu ketidakadilan masa lalu itu pun lenyap dari percaturan politik Yunani. Singkatnya, kebijakan yang dipilih sangat terkait dengan pola transisi di masingmasing negeri. Tabel di bawah ini menggambarkannya lebih lanjut, yang sekaligus menunjukkan betapa berbedanya realitas politik yang dihadapi negeri-negeri transisi tersebut dengan negara-negara pemenang perang pada masa Perang Dunia II. Saat itu, negara-negara pemenang perang, dapat memaksakan kehendak mereka untuk menyeret para penjahat perang (yang nota bene adalah negara yang kalah perang) ke pengadilan militer internasional tanpa mendapat perlawanan balik dari pihak yang kalah. Sebabnya sangat nyata, yaitu bahwa mereka (negara yang kalah perang itu) sudah bertekuk-lutut; sudah kehilangan baik kekuasaan politik maupun militernya sehingga tidak mungkin lagi membuat perlawanan.16 Seperti diketahui, sejarah kemudian mencatat pengadilan atas penjahat perang baik melalui pengadilan Nuremberg maupun pengadilan Tokyo, sebagai tonggak penting yang meletakkan dasar bagi penuntutan dan penghukuman atas kejahatan-kejahatan serupa di masa depan. Hal itu berbeda dengan konteks politik yang dihadapi oleh negeri-negeri transisional di mana orang yang ingin mereka seret ke pengadilan itu justru masih menguasai arena kekuasaan negara. Inilah dilema yang mereka hadapi. Tabel 1: Kebijakan-kebijakan yang dipilih di masa transisi Hasil Kebijakan Tuntutan publik
Tuntutan militer Kuat Kuat
Komisi Kebenaran Uruguay (KKR) Brazil (KKR) Chili (KKR) Afrika Selatan (KKR) El Salvador (KKR) Guatemala (KKR) Haiti (KKR) Namibia (-) Kamboja (-) Korea Selatan (-) Indonesia (-)
Lemah
14
15
16
Lemah Pengadilan Yunani (P) Yugoslavia (P) Malawi (P) Bolivia (P + KKR) Argentina (P + KKR) Jerman Barat (P + KKR) Ethiopia (P + KKR) Rwanda (P + KKR) Philipina (KKR) Uganda (KKR) Chad (KKR)
Tak ada Angola (-) Mozambik (-)
Tak ada Rumania (-)
Alivizators dan Diamandouros, “Politics and the Judiciary in the Greek Transition to Democracy,” dalam James McAdams (ed), Transitional Justice and the Rule of Law in New Democracies (University of Notre Dame Press, 1997), hlm. 27 – 60. Pendek kata, di seluruh Yunani, telah disidangkan antara 100 hingga 400 perkara tindak penyiksaan, dan banyak dinyatakan bersalah telah melanggar hak asasi manusia di pengadilan-pengadilan itu. Untuk lebih detailnya lihat laporan Amnesty Internasional, “Torture in Greece: The First Torturer’s Trial, 1975 (London: Amnesty International, 1977). Lihat Jose Zalaquett, “Balancing Ethical Imperative and Political Constraints: The Dilemma of New Democracies Confronting Past Human Rights Violations”, Hasting Law Journal, Vol 43, 1992.
5
Bulgaria (-) Cekoslovakia (-) Polandia (-) Hungaria (-)
Sumber: Elin Skaar, “Truth commissions, trials or nothing? Policy Options in democratic transitions”, Third World Quarterly, Vol 20, No. 6, 1999.
Kebenaran atau Keadilan: Kaum Purists vs. Pragmatists Pemaparan di atas menggambarkan dengan terang betapa keringkihan politik di negeri-negeri transisional memaksa mereka harus terlebih dahulu menyelamatkan demokrasi yang masih labil di masa transisi. Dalam konteks inilah, negeri-negeri transisi itu memilih kebijakan yang dapat menghindarkan mereka dari risiko akan berbaliknya proses transisi kembali ke sistem otoriter – atau dalam kata-kata Rosenberg – mengambil kebijakan yang menghindari “the dragon on the pation should not be awakened”.17 Seperti tampak pada tabel yang disajikan di atas, kebijakan yang lebih banyak dipilih oleh negeri-negeri transisional tersebut adalah mendirikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)18 ketimbang memilih jalan pengadilan. Ada juga negara yang memilih keduanya secara bersamaan. Sekali lagi, pilihanpilihan kebijakan itu, tidak bisa dilepaskan dari konteks transisi politik yang dihadapi masingmasing negeri transisional tersebut. “Jalan keluar” yang dipilih negeri-negeri transisi itu tak pelak lagi akhirnya memicu perdebatan sengit. Michel Feher19 menggambarkan perdebatan itu sebagai debat antara kaum purists dan kaum pragmatists. Kaum puris – yang diwakili oleh organisasi-organisasi hak asasi manusia, dengan berpegang pada konsep retributive justice – mempersoalkan kebijakan tersebut karena dinilai sebagai langkah terselubung hendak mempertukarkan keadilan dengan penyelesaian politik. Kalkulasi realpolitic yang mendasari pemilihan kebijakan tersebut oleh para elite politik di negeri-negeri transisional dipandang sebagai pengabaian terhadap kewajiban hukum internasional yang harus disandang oleh negara-negara tersebut, yakni kewajiban untuk melakukan penyelidikan dan penghukuman terhadap pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia. Apalagi, kejahatan-kejahatan hak asasi manusia yang terjadi di masa lalu itu memiliki karakter jus cogens,20 yang membawa implikasi legal bagi negara untuk menghukum pelakunya – sebagai kewajiban negara terhadap masyarakat internasional secara keseluruhan (obligatio erga omnes).
17 18 19
20
Tina Rosenberg, .. Pembahasan yang detail mengenai KKR, lihat tulisan Agung Putri dalam buku ini (bab 3). Michel Feher, “Terms of Reconciliation”, dalam Carla Hesse & Robert Post, Human Rights in Political Transitions: Gettysburg to Bosnia (New York: Zone Books, 1999). hlm. 325-338. Sementara Ruti G. Teitel memberi label masing-masing dengan kelompok realis dan kelompok idealis, lihat bukunya, Transitional Justice (NY: Oxford University Press, 2000). Kejahatan-kejahatan yang memiliki status jus cogens adalah (i) kejahatan terhadap kemanusiaan; (ii) kejahatan genosida; (iii) kejahatan perang; dan (iv) penyiksaan, yang memberi implikasi obligatio erga omnes kepada Negara untuk menghukumnya. Amnesti tidak diperbolehkan untuk kejahatan dalam kategori ini. Untuk pembahasan mendalam mengenai topik ini silahkan baca Cherif Bassiouni, “International Crimes: Jus Cogens and Obligatio Erga Omnes,” Law and Contemporary Problems, Vol. 59, No. 4, 1996.
6
Dalam pandangan yang demikian, kaum puris tetap mengedepankan jalan pengadilan dalam menangani kejahatan di masa lalu, sekalipun negeri-negeri itu berada dalam situasi transisi politik. Konteks politik yang dihadapi tidak bisa dijadikan dasar pembenaran bagi tidak dilakukannya penyelidikan dan penghukuman bagi para pelaku kejahatan di masa lalu.21 Jalan pengadilan diperlukan untuk menegaskan hukum yang melarang kejahatan-kejahatan serius tersebut – yang dalam istilah Kant disebut “radical evil” – dan menegaskan kembali cita-cita hukum, dengan menghukum pelakunya secara setimpal. Dengan demikian kejahatan serupa tidak terulang lagi di masa depan.22 Menyingkat argumen-argumen kalangan puris itu, saya ingin mengetengahkan pandangan salah seorang tokoh kuncinya, dalam kutipan di bawah ini: Pengajuan ke pengadilan diperlukan untuk menegaskan keluhuran nilai-nilai dan norma-norma demokrasi dan untuk mendorong masyarakat agar mempercayai nilai-nilai dan norma-norma tersebut. Kalau kejahatan-kejahatan serius tidak diselidiki dan pelaku-pelakunya tidak dihukum tidak akan ada pertumbuhan keyakinan terhadap kejujuran secara nyata, tidak ada penanaman norma-norma demokrasi dalam masyarakat pada umumnya; dan karenanya tidak terjadi konsolidasi demokrasi yang sesungguhnya.23
Sementara, kalangan pragmatis, yang lebih mengedepankan proses fasilitasi transisi politik ke demokrasi, bertahan dengan argumen bahwa jalan yang mereka tawarkan adalah strategi “yang paling mungkin” dalam situasi transisi politik yang dihadapi. Jalan yang mereka pilih merupakan discretion atas prinsip umum mengenai kewajiban negara (state obligation) khususnya kewajiban untuk melakukan penyelidikan dan penghukuman. Carlos Nino – penasihat kebijakan hak asasi manusia pemerintahan Alfonsin (Argentina) – merupakan salah seorang pendukung terkemuka argumen ini. Dalam salah satu tulisannya yang menanggapi Orentlicher,24 ia berargumentasi bahwa pelaksanaan kewajiban hukum internasional yang berlaku umum itu haruslah diletakkan dalam situasi faktual (sui generis) yang dihadapi masing-masing negara. Bukannya diterapkan tanpa pandang bulu. Memaksakan kewajiban tersebut tanpa mempertimbangkan dengan cermat situasi faktual yang dihadapi pemerintahan transisi justru akan berdampak kontra-produktif dengan tujuan kolektif yang hendak dicapai, yakni akan memprovokasi terjadinya kekerasan dan kembali ke pemerintahan otoriter! Tampaknya bagi kalangan pragmatis yang pokok adalah menyelamatkan terlebih dahulu demokrasi yang masih sangat labil itu.25 Menurut mereka pengkonsolidasian demokrasi merupakan prasyarat mutlak bagi proses penuntutan ke pengadilan. Inilah situasi 21
22
23 24
25
Kenneth Roth, Direktur Eksekutif Human Rights Watch, dengan mengambil contoh Haiti, mengingatkan bahaya bila jalan pengadilan tidak dilakukan. Katanya: “Haiti illustrates the dangers of ignoring accountability for past violent abuse in the haste to secure a ‘transition to democracy’. Each time a supposedly reformist regime took power, Haitian were asked to forget the past, to look forward to new era. Sooner or later, this impunity emboldened forces to resume the killing”. Lihat Kent Roth, “Human Rights in Haitian Transition to Democracy” dalam Hesse & Post (eds.), Human Rights in Political Transition: Gettysburg to Bosnia (NY: Zone Book, 1999). hlm 126. Richard Goldstone, mantan penuntut umum pengadilan internasional untuk bekas-Yugoslavia, bahkan menegaskan: “Without justice, without acknowledgment, future evil leaders will more easily be able to manipulate history grievances”. Lihat Goldstone, “Preface” dalam Hesse & Post (eds.) Human Rights in Political Transitions: Gettysburg to Bosnia (NY: Zone Book, 1999) hlm.11. Dikutip dari Lawrence Weschler, A Miracle, A Universe: Settling Account with Torturers, 1990. Lihat Carlos Nino, “The Duty to Punish Past Human Rights Abuses of Human Rights Put Into Contexts: The Case of Argentina,” The Yale Law Journal, Vo. 100, hlm. 2619-2640. Dalam kata yang lain, Sanguinetti (presiden Uruguay) merumuskannya dengan: “If the Frence were still thinking about the Night of St. Bartholomew, they’d be slaughtering each other to this day.”
7
spesifik yang dihadapi negeri-negeri transisi. Menurut Nino dalam situasi demokrasi yang masih sangat labil itu sangat tidak realistis memaksakan kewajiban internasional terhadap negeri-negeri tersebut. Karena alasan ini, Nino menyarankan agar kewajiban tersebut diambil alih oleh masyarakat internasional. Katanya:26 “... konteks faktual barangkali akan membuat frustasi usaha pemerintah untuk mengajukan penuntutan terhadap mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran berat hak asasi manusia, kecuali dengan risiko akan menyulut kekerasan lebih lanjut dan kembali ke pemerintahan non-demokratis. Dalam kasus-kasus demikian, masyarakat internasional akan menanggung tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban tersebut”.
Perdebatan yang dipaparkan di atas menunjukkan kegigihan yang serius dalam menjawab masalah pertanggungjawaban pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Tetapi tidak berarti kedua pandangan yang saling bersaing itu tidak memiliki kelemahan. Kelemahan paling menonjol dari pandangan kaum puris adalah mengabaikan situasi spesifik yang dihadapi negara-negara transisional. Sebaliknya, kelemahan mendasar dari pandangan kaum pragmatis justru terletak pada tekanannya yang berlebihan pada realpolitic. Karena itu, saya tidak tertarik terjebak ke dalam perdebatan itu yang mengharuskan memilih salah satu antara kebenaran atau keadilan (trade-off between truth and justice). Justru sebaliknya, saya melihat kedua pandangan itu bisa dicari sintensisnya. Kedua jalan itu, antara kebenaran dan keadilan, bukan merupakan jalan yang terpisah sama sekali. Tetapi bisa saling melengkapi. Apalagi, seperti dikatakan Aryeh Neier,27 hasil akhir dari kedua jalan yang dipertentangkan itu tidaklah seperti yang dibayangkan oleh para penganjurnya. Katanya: “Saya tidak mengklaim bahwa mengakui dan mengungkapkan kebenaran mengenai pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu, atau menghukum orang-orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut, akan mencegah terulangnya pelanggaran di masa depan. Saya ragu ada bukti yang meyakinkan tentang hal itu. Hal yang sama juga dapat dikatakan bagi penentangnya, yang dikemukakan oleh para penganjur amnesti, bahwa amnesti dapat memajukan rekonsiliasi. Sedangkan kalau suatu pemerintahan transisi berusaha menghukum orang yang bersalah atas pelanggaran masa lalu, maka ia mengambil risiko membiarkan orang tersebut merebut kembali kekuasaan. Hasil yang manapun adalah mungkin. Apakah orang yang bersalah diberi amnesti atau dihukum hanyalah satu di antara banyak faktor yang mempengaruhi pola peristiwa di suatu negara.”
Jalan Ketiga: Mendayung di Antara Dua Karang Pemaparan di atas menunjukkan dengan gamblang, bahwa menagih akuntabilitas pelanggaran hak asasi manusia setelah suatu masa penghancuran tatanan keadilan yang panjang di bawah suatu rezim otoritarian atau totaliter bukanlah suatu perkara yang mudah. Menurut saya, di masa transisi politik, masalahnya bukanlah terletak pada keharusan memilih antara keadilan atau kebenaran, tetapi masalah sebenarnya terletak pada ketepatan mengambil langkahlangkah yang mungkin dapat dikerjakan dan paling kondusif untuk membangun kembali suatu tatanan moral dan hukum berdasarkan situasi-situasi khusus yang dihadapi. Apa yang dibutuhkan dalam situasi transisi politik sering kali merupakan kombinasi dari “apa yang ideal” dengan “ apa yang mungkin dilakukan”. 26 27
Lihat catatan kaki no. 23. Aryeh Neier, “What should be done about the guilty?” The New York Review of Books, 1 Februari 1990.
8
Dalam konteks inilah saya ingin mengajukan “Jalan Ketiga”, yakni suatu kombinasi antara jalan pengadilan dan pengungkapan kebenaran. Kedua jalan itu bukanlah dua jalan yang terpisah satu sama lain – sebagaimana dikemukakan oleh kalangan puris maupun pragmatis – tetapi bisa saling melengkapi (complementary). “Jalan Ketiga” yang saya ajukan ini bukan dalam pengertian yang sama sebagaimana yang digunakan Uskup Agung Desmond Tutu.28 Dalam pengertian Tutu, “Jalan Ketiga” merupakan bentuk penghindaran dari dua jalan ekstrem antara pengadilan (model Nuremberg) dan amnesti umum (blanket amnesty), dengan menawarkan amnesti secara individual kepada pelaku yang memberi pengakuan akan keterlibatannya dalam suatu peristiwa pelanggaran hak asasi manusia. Jalan ketiga dalam gagasan Uskup Agung itu tampak diposisikan sebagai penganti (substitute) dari pengadilan. Di sinilah letak perbedaan fundamentalnya dengan “Jalan Ketiga” dalam gagasan yang saya kemukakan, yang tidak ingin mengganti peran pengadilan. Pengadilan, bagaimanapun, harus tetap dipertimbangkan sebagai salah satu unsur penting dalam merumuskan kebijakan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. “Jalan Ketiga” dalam gagasan saya adalah pengkombinasian antara jalan pengadilan dan jalan pengungkapan kebenaran. Keduanya bukan merupakan jalan yang sama sekali terpisah satu sama lain, tetapi sering kali keduanya dibutuhkan secara bersamaan pada konteks tertentu. Sebab umumnya, pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lampau sering kali merupakan pelanggaran yang disponsori oleh negara dan ditutup dengan sangat rapi – sehingga semua hal yang berkaitan dengan pelanggaran tersebut dapat dibantah oleh mereka. Kekejaman brutal yang dilakukan memang sengaja untuk disembunyikan! Pengungkapan kebenaran dalam keadaan demikian memiliki signifikansi yang sangat besar. Inilah konteksnya mengapa diperlukan pengungkapan kebenaran, selain jalan pengadilan. Melalui mekanisme ini dimungkinkan suatu proses bagi pembukaan tabir hitam yang selama ini dipasang, dan korban yang selama ini tak bersuara mendapat kesempatan membuka suaranya. Jadi yang diperlukan bukan hanya menghukum para pelaku, tetapi juga (yang tidak kalah penting) adalah menunjukkan bagaimana kejahatan pelaku berhasil dipastikan. Dalam level yang lebih makro, pengungkapan kebenaran tersebut akan menegaskan kembali keabsahan norma-norma yang selama ini telah dilanggar. Katakanlah misalnya tentang larangan pembunuhan, norma tersebut ditegaskan kembali keabsahannya: setiap orang yang melakukan tindak pidana itu pasti akan dihukum. Persisnya norma-norma inilah yang dijungkirbalikkan pada masa rezim otoriter: membunuh menjadi absah; ia menjadi bagian dari cara memerintah. Inilah konteksnya mengapa diperlukan pengakuan bersalah dari pelaku (negara), dan diikuti dengan permintaan maaf secara resmi. Sebutlah misalnya pengakuan bersalah dari institusi militer, ia akan membawa implikasi yang jauh lebih penting ketimbang menghukum lima atau lima belas perwira di antara ratusan perwira. Karena mereka yang dihukum itu akan bebas kembali, tetapi mereka tidak pernah mau mengakui kesalahannya. Dilihat dari sudut pembangunan kembali tatanan moral dan hukum, penghukuman tersebut tidak membawa penegasan akan keabsahan norma yang telah dilanggar: mereka tetap menganggap pembunuhan itu absah, tidak melanggar hukum. Inilah mengapa pembangunan kembali tatanan moral dan hukum menjadi bagian yang penting dalam merumuskan kebijakan menyelesaikan masa lalu. Pengakuan bersalah dan permintaan maaf tersebut harus pula diikuti oleh pemulihan kembali para korban. Hal ini dapat dilakukan dengan mengambil langkah-langkah seperti 28
Lihat Desmond Tutu, No Future Without Forgiveness, (NY: Doubleday, 1999).
9
kompensasi, rehabilitasi, satisfaction, atau bahkan jaminan bagi tidak terulangnya pelanggaran di masa depan (guarantees of non-repetition). Tanpa disertai dengan langkah pemulihan terhadap para korban, pengakuan bersalah dan permintaan maaf negara tersebut menjadi kehilangan makna. Tetapi mengapa kedua jalan tersebut dikombinasikan, mengapa tidak cukup dengan pengadilan saja? Pengadilan, dalam hal ini pengadilan pidana, dirancang untuk menegakkan hukum positif atau tata keadilan yang sudah ada. Bukan dirancang untuk membangun kembali tata keadilan yang sudah diluluhlantakkan di masa rezim otoritarian. Selain itu, seperti dikatakan Paul van Zyl,29 “pengadilan memiliki efek penjelas yang terbatas; ia hanya menyorot kesalahan individual bukan sistem secara keseluruhan”. Makanya, diperlukan kombinasi dengan jalan yang lain, yang membuka pintu bagi usaha pembangunan kembali tatanan moral dan keadilan yang telah remuk-rendam itu. “Jalan Ketiga” yang diargumentasikan di sini, dengan demikian, menuntut langkah-langkah pengkombinasian yang tepat dari kedua jalan tersebut – seperti mendayung di antara dua karang.
Relevansi dan Kelayakannya bagi Kita Transisi politik di Indonesia tidak sepenuhnya menyebabkan kekuatan politik lama (Orde Baru) tersingkir dari arena kekuasaan politik.30 Pemilihan Umum, yang diharapkan akan menyingkirkan kekuatan politik lama secara demokratis dan damai dari kekuasaan negara, ternyata di luar yang diharapkan justru memastikan masuknya kembali kekuatan tersebut ke dalam kekuasaan negara. Partai Golkar, salah satu pilar penting kekuatan politik lama, berhasil keluar sebagai kekuatan politik kedua dari pemilihan umum yang diselenggarakan di bawah pemerintahan Habibie itu. Hasil Pemilu ini membuat kekuatan-kekuatan politik penentang Orde Baru (pro-reformasi), yang gagal muncul sebagai kekuatan dominan di arena kekuasaan negara, menempuh jalan perundingan dengan kekuatan-kekuatan politik lama (baik militer maupun Golkar). Hal ini tampak dengan tetap diberikannya kursi kepada militer di DPR sebanyak 38 kursi sampai Pemilu 2004. Secara lebih gamblang peta kekuatan politik setelah pemilihan umum itu dapat dilihat dari distribusi peroleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tabel di bawah memperlihatkannya (tabel 2). Terlihat kekuatan-kekuatan politik utama Orde Baru seperti Golkar dan militer masih tetap memiliki pengaruh yang besar dalam sistem kekuasaan politik yang sekarang. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) memang memperoleh kursi terbanyak, tetapi hal ini tidak berarti merupakan kemenangan kelompok pro-demokrasi. Kepentingan politik aliran yang dibawa oleh masing-masing partai-partai politik reformis 29
30
Dikutip dari Priscilla B. Heyner, The Unspeakable Truth: Confronting State Terror and Atrocity (NY: Roudtledge, 2001). Penyingkiran kekuatan politik lama menjadi salah satu isu perdebatan yang panas di kalangan kekuatan prodemokrasi. Empat Tokoh Ciganjur, yang mengeluarkan Deklarasi Ciganjur, lebih memilih jalan Pemilihan Umum dengan tetap mengakui eksistensi pemerintahan Habibie. Empat Tokoh ini mendorong pemerintahan Habibie segera melaksanakan Pemilu. Sebaliknya dengan kelompok mahasiswa, mereka juga memilih jalan Pemilu tetapi tidak dilaksanakan oleh pemerintahan Habibie. Mereka menuntut pembentukan “Komite Rakyat”, yang akan menunjuk “presidium” untuk melaksanakan pemerintahan dan menyelenggarakan Pemilihan Umum. Komite Rakyat juga bertugas menyusun UU Pemilu yang demokratis. Tapi gagasan kelompok mahasiswa ini tidak mendapat dukungan Empat Tokoh Ciganjur tersebut. Akhirnya Pemilu yang seperti ditawarkan Empat Tokoh itu yang diselenggarakan.
10
(partai politik yang lahir setelah Orde Baru), yang mendapat kursi di DPR, telah melahirkan persaingan politik di antara mereka yang pada akhirnya melupakan mereka pada agendaagenda reformasi. Mau-tidak-mau, kekuatan-kekuatan politik reformasi itu, harus merundingkan agenda-agenda reformasi yang akan dijalankan dengan dengan kekuatankekuatan politik lama tersebut. Termasuk dalam hal mencari penyelesaian terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia di masa Orde Baru. Tabel 2: Pembagian Kekuasaan di DPR Partai Politik
Kursi
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Megawati) Golongan Karya (Akbar Tanjung) Partai Kebangkitan Bangsa (Gus Dur) Poros Tengah (Amien Rais dan lain-lain): Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Reformasi (PAN and PK) Partai Bulan Bintang (PBB) Front Nasionalis (KKI) Front Islam (PDU) Front Kristen (PDKB) Militer/ Polisi (diangkat)
Total
Persentase
153 120 51
30.6 24.0 10.2
58 41 13 12 9 5 38 500
11.6 8.2 2.6 2.4 1.8 1.0 7.6 100
Sumber: Kompas (2000)
“Jalan Ketiga” merupakan pilihan yang kondusif di tengah realitas politik yang lahir dari proses transisi politik demikian itu –yang menurut Arief Budiman mengarah pada model transplasi Huntington.31 Jalan pengadilan seperti yang dipilih Karamanlis di Yunani jelas akan mendapat perlawanan yang keras dari kekuatan-kekuatan politik lama yang nota bene masih menguasai arena kekuasaan negara, yang pasti akan mempersulit pemerintahan transisional memfasilitasi konsolidasi ke arah demokrasi. Sebabnya jelas, pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi di masa rezim Orde Baru bukanlah pelanggaran yang sporadis tetapi merupakan pelanggaran yang disponsori oleh negara atas nama “pembangunan” dan “stabilitas nasional”. Dengan karakter pelanggaran yang demikian, maka para pelakunya sangat terkait dengan aktor-aktor politik yang menguasai kekuasaan negara di masa itu, yaitu Soeharto, tentara dan kekuatan politik yang dibentuk oleh mereka. Kekuatan-kekuatan politik Orde Baru itu tidak sepenuhnya tergusur dari kekuasaan politik di masa transisi sekarang, dan karena itu akan berusaha melawan setiap usaha menuntut pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia di masa itu. Begitu pula sebaliknya, bila jalan amnesti umum (national amnesty) yang dipilih (sebagaimana yang pernah ditawarkan Gus Dur dengan “dialog nasional”), maka akan mendapat perlawanan dari kalangan korban, kelompok-kelompok pro-demokrasi, atau masyarakat pada umumnya – yang pasti akan mempengaruhi legitimasi pemerintahan transisional. Karena, seperti diketahui, kelompok-kelompok inilah yang menggerakkan “reformasi” – yang berhasil memaksa Soeharto turun dari kursi kepresidenan – sehingga melahirkan pemerintahan transisional. Mengabaikan tuntutan kelompok-kelompok ini, yang 31
Lihat Arief Budiman, “Krisis 1998: Perubahan dan Kontinuitas di Indonesia,” dalam Harapan dan Kecemasan: Menatap Arah Reformasi Indonesia (Yogyakarta, Bigraf Publishing, 2000).
11
jelas menuntut tanggung jawab rezim di masa lalu, pasti akan membawa risiko runtuhnya legitimasi pemerintahan saat ini yang tidak mampu menarik garis pembeda antara dirinya dengan rezim Orde Baru di masa lalu. Melupakan masa lalu atau menutup buku dengan kejahatan rezim Orde Baru bukanlah jalan yang “aman” bagi pemerintahan saat ini. “Jalan Ketiga” menurut saya dapat menengahi resistensi masing-masing kekuatan tersebut. Relevansinya bukan saja demi menjaga stabilitas demokrasi yang masih labil itu, tetapi juga tidak beresiko melanggar hukum internasional tentang kewajiban negara dalam menghukum kejahatan-kejahatan yang memiliki karakter jus cogen. Kita tidak perlu mengulangi Afrika Selatan, yang banyak dikecam sebagai melanggar hukum internasional karena kebijakan amnestinya.
Penutup Tulisan ini telah menguraikan dengan panjang-lebar tentang jalan yang dipilih negeri-negeri transisional dalam menangani warisan pelanggaran berat hak asasi manusia yang ditinggalkan rezim sebelumnya. Berdasarkan pengalaman dari negeri-negeri transisional yang lebih dulu menghadapi masa lalunya itu, tulisan ini mengajukan penyelesaian “Jalan Ketiga” dalam upaya menangani pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi di masa Orde Baru. Jalan ini diargumentasikan sebagai kondusif dengan konteks transisi politik yang berlangsung di Indonesia, selain sejalan dengan akuntabilitas yang dituntut oleh hukum internasional – khususnya berkaitan dengan tanggung jawab negara dalam menyelidiki dan mengadili pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia. Seperti negara-negara transisional lainnya, kita juga tidak bisa mengelak dari tanggung jawab universal tersebut. Penyelesaian atas pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lampau dengan demikian menjadi tolak ukur yang penting dalam proses transisi ke demokrasi. Tanpa ada keberanian menyelesaikan bagian-bagian yang paling menyakitkan di masa lalu itu, kita tidak mungkin dapat menata dan mengembangkan demokrasi di masa depan. Karena itu saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip nasihat yang diberikan O’Donnel dan Schmitter32 kepada para aktivis demokrasi dan hak asasi manusia di negeri-negeri transisional. Di bawah ini saya turunkan: “Sukar untuk membayangkan bagaimana suatu masyarakat dapat berfungsi sampai suatu tingkat yang akan menghasilkan dukungan sosial dan ideologis bagi demokrasi politik jika tidak disertai dengan keberanian menyelesaikan bagian-bagian yang paling menyakitkan di masa lalu. Dengan menolak berkonfrontasi dan membebaskan diri dari kekuatan-kekuatan dan kebencian paling dalam, suatu masyarakat tidak hanya menguburkan masa lalunya, tetapi juga nilai-nilai etis paling dasar yang mereka butuhkan untuk menciptakan masa depan yang bergairah.”
***
32
Lihat catatan kaki no. 5
12
2 Berdamai dengan Masa Lampau: Antara Pengampunan dan Penghukuman Karlina Supelli
“Kejahatan dilakukan oleh manusia. Kejahatan tidak dilakukan oleh maujud abstrak bernama nasionalisme. Korban-korban bukanlah sesuatu yang abstrak, sekalipun sering kali menjadi abstraksi ketika jumlah mereka mencapai ribuan” (Louis Arbour, Ketua Jaksa Penuntut International Criminal Tribunal untuk bekas Yugoslavia).
Pengantar
Selama hampir seperempat abad terakhir, banyak negara di berbagai belahan dunia mengalami peralihan bentuk kekuasaan dari pemerintahan yang bersifat ororiter ke demokratis. Dalam proses transisi, berbagai kasus kekerasan termasuk kejahatan kemanusiaan yang dilakukan rezim politik terdahulu umumnya mulai tampil ke permukaan. Hal inilah yang mengharuskan pemerintahan transisi menentukan langkah untuk menyikapinya. Upaya proses penyelesaian pelanggaran HAM dalam suasana seperti itu tidaklah sederhana karena hal itu tidak hanya melibatkan proses hukum tetapi juga kepentingan politik yang lebih luas. Dalam beberapa kasus, upaya penyelesaiannya selalu berbarengan dengan ketidakstabilan politik dalam pemerintahan yang baru terbentuk. Belum lagi, ada saja upaya pengambilalihan kembali kekuasaan oleh pihak-pihak yang masih terkait dengan rezim politik terdahulu. Padahal, sejak pasca-perang dunia II, isu demokratisasi dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan sudah didengungkan di seluruh dunia. Namun demikian, upaya penyelesaian hukum terhadap pelaku dan penanggung jawab pelanggaran HAM selalu melahirkan dilema antara proses penegakan keadilan dan kepentingan politik. Hal
2
itu oleh Tina Rosenberg dilukiskan sebagai sebuah drama besar abad ini, baik yang menyangkut moral, politik, maupun filosofis.1 Begitu pula pada aras praktiknya, terdapat ketegangan antara kebutuhan pengungkapan fakta selengkap mungkin – fakta yang berkaitan dengan sebab-sebab terjadinya pelanggaran HAM serta jenis pelanggaran maupun keluasannya – dengan kebutuhan untuk membiarkan dan melupakan begitu saja peristiwa kekerasan yang sudah terjadi. Ketegangan itu timbul karena, di satu sisi, korban menghendaki ditegakkannya keadilan berdasarkan kebenaran masa lalu, sementara di sisi lain, pihak pelaku berkehendak melanggengkan kekebalan hukum (impunity) yang selama ini sudah mereka nikmati dengan menafikan hak korban atas keadilan dan reparasi (pemulihan; soal pemakaian istilah “reparasi” dalam konteks Indonesia, silahkan lihat “Kata Pengantar” Ifdhal Kasim untuk buku karya Theo van Boven, Tentang Mereka yang Menjadi Korban: Hak Korban atas Restitusi, Kompensasi dan Rehabilitasi, ELSAM, 2002, ed.). Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan landasan filosofis bagi upaya penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi dalam masa pemerintahan terdahulu, khususnya di Indonesia semasa rezim politik Orde Baru. Titik berangkatnya adalah keadilan dan penghormatan terhadap martabat manusia. Namun sebelum itu, akan ditinjau contoh di beberapa negara yang sudah menjalankan upaya penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa lampaunya. Hal ini dimaksudkan untuk melihat berbagai kendala yang mungkin muncul. Pengambilan contoh ini tidak dimaksudkan untuk meniru begitu saja model-model yang telah diterapkan di negara-negara lain itu, tetapi hanya dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Kendatipun konsep HAM merupakan konkretisasi dari pengakuan terhadap martabat manusia, namun praktik penyelesaian terhadap pelanggarannya sangat bergantung pada banyak faktor yang terdapat di negara bersangkutan. Setidaknya ada tujuh elemen yang turut menentukan, yaitu: pertama adalah jenis kediktatoran ataupun ortoritarianisme rezim politik terdahulu; kedua adalah bentuk kejahatan dan pelanggaran HAM yang terjadi; ketiga adalah tingkat kompleksitas masyarakat; keempat adalah sejarah dan upaya politik negara yang bersangkutan; kelima 1
Tina Rosenberg, “Afterword”, dalam Martin Meredicth, Coming to Terms, New York: Public Affairs, 1999.
3
adalah situasi dan kondisi niscaya yang harus dipertimbangan agar kediktatoran tidak terulang; keenam adalah kekerasan yang berlangsung menjelang terjadinya transisi pemerintahan; serta ketujuh adalah kekuatan pemerintahan transisi yang baru terbentuk dan sumber dayanya.2
Belajar dari Pengalaman Negara Lain: Keadilan dan Kompromi Politik
Masa transisi merupakan momentum yang sangat strategis bagi rezim politik baru dalam mengantarkan proses menuju demokrasi. Namun demikian, terdapat dua kesulitan yang sangat mendasar; dan pemulihan terhadap dua kesulitan tersebut tidak serta merta mampu mencukupi pemulihan tata sosial-budaya-politik masyarakat yang telah dipengaruhi oleh tindak kekerasan rezim politik terdahulu. Dua kesulitan itu adalah pertama, pemenuhan kebutuhan dasar kebertahanan hidup masyarakat yang merupakan keniscayaan kondisi masa transisi; dan, kedua, menghentikan kekerasan dan pelanggaran HAM. Berbarengan dengan itu, kerumitan juga muncul dari sisi korban sendiri. Mereka sangat membutuhkan pengakuan atas kejadian yang telah menimpanya. Padahal mereka baru lepas dari situasi opresif sistematis, situasi yang membuat mereka, pada umumnya, terjebak dalam lingkaran mirip “sindroma pasca-trauma”. Sebagian besar masyarakat (baik korban maupun bukan) masih hidup dalam ruang yang penuh kebisuan, ketakutan, kemarahan, dendam, kehendak melupakan, bahkan mati rasa. Sementara itu, pelaku kejahatan kemanusiaan yang masih menggenggam sisa-sisa kekuatan akan melakukan berbagai cara dan upaya, termasuk intimidasi dan kekerasan, untuk merebut kembali kekuasaan guna mencegah terungkapnya tindakan kejahatan yang mereka lakukan di masa lalu. Mereka sangat berkepentingan melanggengkan suasana kebisuan di atas. Selama masa transisi, juga terdapat kekhawatiran akan munculnya konflik baru, karena pemerintahan transisi harus bergulat dalam ketegangan antara mengetahui atau tidak mengetahui, antara menuturkan atau membisu, mengingat atau melupakan atau, lebih luas lagi, antara memilih korban atau pelaku. Hal inilah yang membuat setiap negara dalam memilih strategi guna menjalani masa transisinya berbeda satu sama lain. Ada negara yang menggelar pengadilan nasional, seperti di Yunani yang mengadili dan 2
Ibid.
4
menghukum belasan pemimpin rezim militer, termasuk dua mantan presidennya. Hal yang berbeda terjadi pada pemerintahan demokratis Spanyol, yang berhasil melewati masa transisi menuju demokrasi. Padahal pemerintahan baru tersebut tidak melakukan apa-apa pasca-kematian diktator Jenderal Franco tahun 1975 yang telah berkuasa selama 40 tahun. Lain lagi dengan Chili. Kendatipun pemerintahan Pinochet telah berakhir pada tahun 1990, namun ia tetap menjabat sebagai Panglima AD. Presiden Patricio Aylwin membentuk sebuah komisi kebenaran yang menerima laporan pelanggaran dan melaksanakan hearing. Akan tetapi, kurangnya dukungan menyebabkan proses hukum untuk mengadili pelaku secara sistematis tidak berlangsung dan berjalan baik. Aylwin memang menyampaikan maaf secara resmi dan memberikan reparasi pada korban serta membentuk badan guna menelusuri nasib korban penculikan. Tindakan itu menunjukkan langkah penegakan keadilan “sebatas yang mungkin”.3 Hubungan politik dengan pemimpin diktator rezim terdahulu membuat pemerintah baru harus melakukan banyak kompromi melalui “politik kesepakatan”, guna mencegah tindakan tegas terhadap pelaku pelanggaran HAM.4 Pemerintah Republik Cehnya mengambil langkah lain setelah berhasil membentuk pemerintahan non-komunis pada akhir tahun 1989. Mereka menerapkan peraturan melarang setiap orang yang pernah aktif dalam kegiatan polisi rahasia atau yang terlibat dalam rezim komunis untuk tidak menduduki jabatan tinggi baik di pemerintahan, universitas, maupun perusahaan negara. Mereka juga membuka arsip polisi rahasia untuk kepentingan korban yang hendak mengetahui kejadian yang menimpa mereka dan keluarga. Sayangnya, dalam pelaksanaannya, peraturan tersebut justru menghasilkan tekanan seperti masa kekuasaan rezim politik komunis. Mereka yang namanya tercantum dalam “daftar” dinyatakan tidak mempunyai hak untuk mempertanyakan putusan yang menimpanya. Jika dalam daftar nama seseorang terdapat
3
Africa Watch, Vol. 4, No. 11, 1992
4
Menurut Graeme Simpson, Proposed Legislation on Amnesty/Indemnity and the Establishment of a Truth Commission, hal itu diserahkan kepada Menteri Kehakiman Afrika Selatan, Dullah Omar.
5
huruf “b” maka secara otomatis ia akan dikategorikan sebagai bekas anggota polisi rahasia, tanpa keterangan tambahan lain.5 Afrika Selatan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM dan konflik meluas yang terjadi semasa pemerintahan apartheid. Dalam prosesnya, berlangsung penyelidikan serta pengakuan pelaku di hadapan publik, penghukuman atau pengampunan, reparasi korban baik real maupun simbolis, serta reformasi institusi yang selama ini mendukung rezim apartheid. Pengakuan pelaku dianggap penting oleh Afrika Selatan, dengan maksud memerangi rasisme, karena sebagian besar warga kulit putih tutup mata terhadap kejahatan apartheid yang dilakukan atas nama kepentingan mereka. Pengakuan pelaku kejahatan kemanusiaan dapat membantu masyarakat menyadari bagaimana sebuah sistem yang selama itu dinikmati sebetulnya telah membuat jutaan orang menderita. Hal sebaliknya juga berlaku bagi pelaku anti-apartheid, yang melakukan kekerasan balik sebagai pembalasan. Pada dasarnya, mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM dengan jalan seperti itu bermanfaat bagi upaya penegakan supremasi sipil. Namun itu bukan hal yang gampang diwujudkan. Uruguay merupakan contoh negara yang boleh dikatakan tidak berhasil membawa pelaku kejahatan kemanusiaan pada proses hukum, bahkan secara praktis tidak memberikan kompensasi kepada korban ataupun pengakuaan publik mengenai apa yang sesungguhnya terjadi. Padahal, Uruguay, pada tahun 1970-an, merupakan negara yang memiliki rasio tahanan politik yang relatif tinggi dibanding jumlah penduduknya. Ironisnya hanya 6 kasus yang diselidikinya meskipun komisi investigasi menyebutkan 164 orang hilang antara tahun 1973 dan 1982.6 Hal itu terjadi karena adanya perjanjian Naval Club Pact, sebuah perjanjian semasa menjelang pemilu 1984 antara elite partai politik dengan perwakilan militer, mengenai jaminan yang memungkinkan militer tetap mampertahankan kekuasaannya meski dalam porsi tertentu
5
Presiden Vaclav Havel semula menolak peraturan ini, sekalipun akhirnya menandatanganinya. Ia sebelumnya mengusulkan hanya mereka yang terbukti akan membahayakan atau merugikan orang lain yang tidak boleh memegang jabatan tinggi di Pemerintahan (Lihat Tina Rosenberg, “Afterword”, op. cit.,1999).
6
Di Uruguay, mandat untuk melaksanakan investigasi tidak diberikan pada komisi independen, melainkan pada badan militer (lihat Graeme Simpson, op. cit.).
6
serta jaminan tidak adanya tuntutan hukum atas kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukan kalangan militer. Setelah terpilih menjadi presiden pada bulan Maret 1985, Sanguinetti membebaskan tahanan politik dan sempat menjalankan tuntutan hukum terhadap militer dan polisi yang terlibat tindak kejahatan kemanusiaan. Namun pada pertengahan 1986, ia memberikan amnesti politik dengan persetujuan Parlemen (setelah diumumkannya pernyataan 17 Jenderal pensiunan yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM). Ia mengeluarkan UU yang menghentikan semua tuntutan hukum terhadap anggota militer. UU ini kemudian dikuatkan dengan referendum 1989.7 Pengalaman Argentina menunjukkan pencapaian maksimal yang diperoleh berkat adanya kehendak politik8 untuk proses penegakan keadilan lewat jalur hukum dengan cara mengadili dan menghukum pelaku. Namun demikian, hal itu sering kali memperlihatkan kenyataan pahit dan mengandung risiko ketidakstabilan politik. Pelaku (militer) masih memiliki pengaruh dan sisa-sisa kekuasaan yang dapat menekan pemerintah. Ketegangan antara pemerintah yang baru dengan pimpinan junta militer terjadi karena pihak militer dituntut bertanggung jawab atas ribuan kasus penghilangan paksa.9 Hal itu menyebabkan Presiden Raoul Alfonsin harus mengeluarkan UU yang mengatur penyelenggaraan peradilan HAM di Mahkamah Militer. UU yang sama juga melindungi pelaku yang bertindak atas perintah atau yang mematuhi perintah,10 padahal prinsip hukum internasional tidak mengizinkan dijadikannya “kepatuhan kepada pemerintah” sebagai alasan untuk melakukan kejahatan berat terhadap kemanusiaan. Peraturan itu dikeluarkan ketika pemerintahan Alfonsin baru saja mengadili dan menghukum 5 dari 9 anggota junta militer yang terbukti terlibat tindak kejahatan
7
Afrika Watch, op. cit. Lihat juga Joel Krieger (ed.), Oxford Companion to Politics of the World, Oxford: Oxford University Press,1993.
8
Afrika Watch, op. cit. hlm. 8.
9
Argentina membentuk komisi kebenaran dengan nama National Commission on Disappeared Person. Komisi berhasil mengumpulkan 50.000 lembar bukti-bukti yang disampaikan dalam sebuah ringkasan berjudul Nunca Más (Never Again). Dalam laporan itu tercantum 9.000 kasus (nama) penghilangan paksa (jumlah sesungguhnya dapat mencapai 30.000 orang; lihat Marguerite Guzman Bouvard, Revolutionizing Motherhood, the Mothers of the Plaza de Mayo, Wilmington: SR Books, 1994).
10
Undang-Undang Pemerintah Argentina No. 23.049.
7
terhadap HAM, kendatipun bukan pelaku langsung. Bahkan ia pun harus menetapkan batas waktu untuk pengajuan tuntutan.11 Tekanan militer tidak berhenti di situ. Pada tahun 1983, sekelompok perwira militer menuntut amnesti dengan cara menekan pemerintah dengan jalan kekerasan. Bahkan antara tahun 1983 (saat junta militer jatuh) sampai tahun 1990 telah berlangsung empat kali percobaan kudeta. Tekanan serupa juga tejadi pada diri Presiden Carlos Menem (suksesor Alfonsin), sehingga ia harus mengeluarkan amnesti kepada anggota militer yang semasa pemerintahan Alfonsin sudah terbukti bersalah melalui pengadilan. Putusan tersebut merupakan tindakan yang tidak pernah disetujui bahkan menyebabkan keluarga korban merasa tidak dihargai dan tidak menerima keadilan yang menjadi hak mereka.12 Uraian singkat di atas memperlihatkan dua kutub kontradiktif dalam upaya penyelesaian masalah pelanggaran HAM dalam masa pemerintahan transisi. Di satu pihak ada kepentingan pemerintah baru guna memperoleh jaminan kesetiaan militer dan aparat keamanan, yang sebagian besar masih merupakan warisan pemerintah terdahulu. Di pihak lain, ada tuntutan dan keharusan untuk membersihkan pemerintahan baru dari tindakan dan pengaruh kekerasan rezim politik terdahulu.13 Sementara itu, pemerintahan baru mempunyai kewajiban untuk, bukan hanya mengungkapkan secara jujur kepada rakyat mengenai sistem yang telah menyebabkan penderitaan begitu banyak warga masyarakatnya dan yang dampaknya merambah hingga ke sendi-sendi kehidupan bersama, melainkan juga memperjuangkan penegakan
nilai-nilai keadilan dan
pelaksanaan tertib hukum.
Persoalan Indonesia: Watak Otoriter Rezim, Pelanggaran HAM, dan Masyarakat Bisu 11
Afrika Watch, op. cit., hlm. 8, 1992
12
Atas protesnya, Hebe de Bonafini, salah seorang ibu yang anaknya hilang dan pernah menjadi pimpinan The Mothers of the Plaza de Mayo, diajukan ke pengadilan dengan tuduhan menghina Presiden Menem. Dalam Konferensi pers setelah didakwa, Hebe mengatakan bahwa dengan memberikan pengampunan kepada militer, itu menunjukkan bahwa presiden tidak menghormati dan telah menghina rakyat. (lihat Bouvard, op.cit., hlm. 214).
13
Lihat Graeme Simpson, Tell No Lies, Claim No Easy Victory, makalah dalam konferensi Dealing with Apartheid and the Holocaust, Yale Law School, 1998
8
Pemerintah Republik Indonesia saat ini tidak lepas pula dari kewajiban menyelesaikan serangkaian pelanggaran HAM yang terjadi semasa rezim politik Orde Baru. Hal ini bukan semata-mata karena terikat pada kewajiban internasional guna mematuhi Deklarasi Universal HAM dan beberapa konvensi yang sudah diratifikasi. Lebih dari itu, tindak kejahatan kemanusiaan telah menimbulkan begitu banyak korban yang sampai saat ini belum pernah diselesaikan secara hukum. Korban dan atau keluarganya belum menerima pengakuan atau pemulihan atas hak mereka sebagaimana harusnya. Kekerasan dan berbagai tindak sewenang-wenang yang terjadi pada masa lampau telah berpengaruh besar dalam tata kehidupan bersama. Masyarakat seperti diyakinkan bahwa kekerasan merupakan satu-satunya jalan penyelesaian terhadap ketidaksesuaian pendapat. Padahal kekerasan sesungguhnya justru merupakan ungkapan paling nyata dari ketiadaan kehendak pemerintah guna berkomunikasi dalam upaya menciptakan kesatuan politik.14 Sepanjang kepemimpinan rezim politik Orde Baru baik individu maupun kelompok telah mengalami berbagai bentuk pelanggaran atas hak-hak asasinya yang berlangsung dalam berbagai tingkatan, langsung ataupun tidak langsung, terbuka ataupun terselubung. Berbagai pelanggaran itu terentang mulai dari pelanggaran atas hak berkumpul dan berserikat, hak berpendapat, hak atas mata pencaharian, sampai pelanggaran HAM berat yang menurut hukum internasional masuk dalam kategori kejahatan kemanusiaan.15 Berbagai bentuk kejahatan kemanusiaan yang terjadi selama periode Orde Baru bukan merupakan peristiwa sporadis kasus demi kasus yang saling terpisah, melainkan 14
Hannah Arendt menyebutkan kekerasan sebagai “komunikasi bisu”, dalam The Human Condition, Chicago: The University of Chicago Press, 1998.
15
Kejahatan kemanusiaan adalah tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari sebuah serangan yang meluas atau sistematis, yang diarahkan pada penduduk sipil, berupa: (a) pembunuhan; (b) pemusnahan; (c) perbudakan; (d) pemaksaan pemindahan penduduk; (e) pemenjaraan atau bentuk penghilangan kebebasan fisik lainnya yang melanggar prinsip fundamental hukum internasional; (f) penyiksaan; (g) perkosaan; (h) penganiayaan berdasarkan sentimen kultural, agama, gender atau dasar lain yang secara universal dinyatakan tidak boleh dilakukan di bawah hukum internasional; (i) penghilangan paksa; (j) kejahatan apartheid; (k) bentuk tindakan tidak manusiawi lainnya yang secara sengaja bermaksud membuat penderitaan luar biasa, luka serius pada badan, mental dan kesehatan psikis. Tindakantindakan ini melanggar hukum kriminal internasional dan lebih daripada pelanggaran HAM biasa (berdasarkan Statuta Roma mengenai Pengadilan Kriminal Internasional, 1998, pasal 7).
9
merupakan peristiwa sistematis yang berpusat pada pelanggengan kekuasaan. Watak sistematis ini dapat dilihat dari pelaku tindak pelanggaran HAM dan korbannya. Pelakunya adalah pejabat pemerintah baik sipil, militer maupun polisi atau mereka yang didukung negara melalui sikap yang mengabaikan atau membiarkan terjadinya tindak kekerasan. Sedangkan korbannya adalah mereka yang menunjukkan resistensi terhadap kebijakan pemerintah, sekalipun sering kali rakyat biasa yang tidak tahu apa-apa ikut dijadikan korban sebagai bagian dari aksi teror dan intimidasi. Di sektor industri, korban umumnya adalah kalangan buruh yang menolak kebijakan upah rendah atau berbagai peraturan perusahaan yang tidak adil dan tidak manusiawi. Sedangkan pada masyarakat umum, korbannya adalah rakyat yang menolak penggusuran tanah dengan penggantian tidak wajar yang dilakukan atas nama pembangunan. Di kelompok organisasi nonpemerintah dan mahasiswa, korbannya adalah mereka yang aktif menentang politik otoriter rezim Orde Baru serta aktif mempersoalkan pelanggaran HAM. Selama kepemimpinan rezim politik otoriter Orde Baru, pelanggaran HAM yang terjadi mempunyai skala, jenis, jumlah, dan penyebaran yang amat luas. Bahkan, umumnya kekerasan terjadi secara diam-diam sehingga sebab musabab dan dampaknya tidak pernah diketahui masyarakat. Sekalipun ada kekerasan yang berlangsung cukup terbuka untuk diketahui, namun pada saat yang sama keikutsertaan politik masyarakat dikikis secara sistematis dari kehidupan publik melalui penguasaan episteme dan wacana publik. Selama kurun waktu lebih dari tiga dasawarsa, masyarakat hampir-hampir tidak menyadari adanya kepentingan politik yang bersembunyi di belakang berbagai peristiwa kekerasan. Tidak sedikit masyarakat yang berpendapat, bahkan percaya, bahwa pemerintah beserta aparatnya mempunyai alasan yang kuat untuk melakukan berbagai tindakan kekerasan di luar proses hukum. Situasi tersebut didefinisikan sebagai keadaan darurat, demi stabilitas keamanan. Begitu pula halnya, pada saat diketahui dari berbagai pemberitaan di media massa, masyarakat mulanya prihatin dan ikut mengutuk, tetapi pada akhirnya menerima begitu saja penjelasan yang disampaikan pemerintah. Berbagai bentuk kejahatan kemanusiaan akhirnya diterima sebagai kesalahan individu dalam menginterpretasikan perintah atau yang umum dikenal sebagai kesalahan prosedur dalam menjalankan
tugas.
Persoalan
kemudian
dapat
dianggap
selesai
dengan
10
memindahtugaskan pelaku atau penanggung jawab pelaksananya. Sementara posisi korban dinafikan begitu saja. Guna memperkokoh posisinya, rezim politik Orde Baru menciptakan mekanisme kontrol politik yang ketat dan meluas pada seluruh sendi kehidupan masyarakat. Kontrol ini dilakukan melalui pemandulan dan pelarangan berbagai organisasi massa serta lembaga kemasyarakatan yang berada di luar jangkauan penguasa, seraya kemudian membentuk berbagai organisasi yang berada di bawah kontrol pemerintah. Sebagaimana pemerintahan otoriter lainnya, rezim politik Orde Baru bukan hanya menuntut kepatuhan, tetapi juga keterlibatan masyarakat dalam sistem yang represif dan terkontrol total. Tentu saja hal itu memiliki implikasi pada masyarakat luas; mereka semakin kehilangan kemampuan untuk menangani masalah kesehariannya. Dalam kondisi demikian inilah, berkembang suasana saling curiga dan tidak percaya. Selain itu, terjadi pengelompokan golongan yang semakin berkembang di bawah berbagai bentuk ketidakadilan yang hanya menguntungkan golongan yang berpihak kepada penguasa. Ini merupakan bibit konflik potensial dalam masyarakat yang mana tinggal menunggu pemicu saja. Pemicunya sering kali tidak jelas asal usulnya atau hanya berupa pertikaian individual saja, namun berakhir dengan kerusuhan. Hal itu semakin menguntungkan pemerintah karena kian dapat mengabsahkan tindakan represif. Sangat kecil kelompok yang berani mendengarkan dan menyampaikan secara terbuka suara korban. Kebanyakan masyarakat, kalau bukan membisu, cenderung larut dalam penyangkalan atau penolakan terhadap suara korban. Stigma politik pada korban seperti GPK, ekstrem kanan atau kiri, kelompok yang hendak mengganti Pancasila dan tuduhan sebagai anggota PKI, tampaknya sangat efektif dalam rangka membuat masyarakat menjauh dari korban. Risiko sosial-politik akan melekat pada diri seseorang yang memperlihatkan keberpihakannya pada korban. Pelanggaran HAM berat selama Orde Baru sudah dimulai sejak awal pemerintahannya tahun 1965, dengan jumlah korban jiwa, penganiayaan dan penahanan dalam jumlah yang sangat besar tanpa proses hukum sama sekali.16 Setelah itu, sejumlah 16
Untuk korban peristiwa G30S 1965, Laporan Resmi Komisi Pencari Fakta yang diketuai oleh Dr. Soemarmo Sastroatmodjo (10 January 1966) memang hanya menyebutkan korban manusia sejumlah 78.500 orang dan korban penahanan 106.000 orang. Berdasarkan survei yang dilakukan mahasiswa dari Bandung dan Jakarta yang disponsori AD tercatat 800.000 orang dibunuh di Jawa Tengah dan Jawa
11
besar korban terus berjatuhan akibat bermacam-macam bentuk kejahatan kemanusiaan di berbagai tempat di Indonesia, dari Aceh17 sampai Papua Barat. Ironisnya, pemerintah, khususnya aparat militer sebagai pelaksana, sama sekali tidak merasa bersalah atas kejahatan yang telah berlangsung, atau tegasnya, yang mereka lakukan itu. Mereka tidak mempunyai pemahaman, atau lebih tepatnya menolak konsep pelanggaran HAM. Mereka adalah mesin penjaga keamanan, sementara “pengacau liar” adalah kelompok sesat yang harus diluruskan, bila perlu dengan jalan kekerasan. Kekerasan diadministrasikan dan dijalankan sebagai pemenuhan tugas.
Berhubungan dengan Masa Lampau: Pentingnya Proses Hukum, Tetapi Seberapa Mungkin?
Untuk sebuah pemerintahan, pengakuan secara terbuka atas tindak kejahatan kemanusiaan oleh negara serta penyelesaiannya merupakan garis demarkasi yang memilah otoritarianisme dan demokrasi. Tranformasi dari masa lampau yang penuh dengan ketidakadilan dan berbagai pelanggaran HAM menuju pemerintahan demokratis yang ditandai dengan penghormatan terhadap martabat manusia tidak dapat berlangsung utuh tanpa upaya sungguh-sungguh untuk menyingkap latar belakang putusan politik serta tindakan pelaku dan upaya menegakkan keadilan bagi korban.
Timur serta 100.000 di Bali, sedang 100.000 lainnya tersebar di berbagai propinsi lain (Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999). Sudomo selaku Pangkopkamtib pada tahun 1976 menyebutkan jumlah antara 45.000 sampai 500.000 (Tempo, 10 Juli 1976). Harian Kami 27 Juli 1967 melaporkan bahwa jumlah korban yang ditahan di seluruh Indonesia menurut Jaksa Agung mencapai 200.000 orang. 17
Tanpa bermaksud mereduksi korban pada semata-mata angka, data ini cukup memberikan gambaran mengenai luasnya bentuk kejahatan hak asasi di Aceh. Data yang secara kasar ini dicatat oleh sejumlah organisasi non-pemerintah (antara lain Koalisi NGO-HAM Aceh): korban Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh selama 1989-1998 adalah berupa penghilangan paksa sebanyak 1.158 kasus, pembunuhan di luar proses pengadilan 1.321 kasus, penyiksaan 3.430 kasus, kekerasan seksual temasuk perkosaan 209 kasus, perampasan 160 kasus; total 7.878 kasus pelanggaran dan kejahatan HAM. Sementara itu DOM juga telah menyebabkan 3.000 perempuan menjanda dan 16.375 anak kehilangan salah satu atau kedua orang tua mereka. Banyak laporan menyebutkan jumlah korban DOM di Aceh mencapai 30.000 jiwa. Pada tanggal 7 agustus 1998, pemerintah secara resmi mencabut status DOM untuk wilayah Aceh; namun sejak tanggal itu sampai dengan Juli 1999 saja terjadi 57 kasus penculikan, 148 kasus pembunuhan di luar proses pengadilan, 24 kasus penyiksaan dan 130 kasus penahanan sewenangwenang (data Forsola: Forum Solidaritas untuk Aceh, 1999).
12
Berbagai peristiwa masa lampau yang lewat begitu saja tanpa proses hukum bukan hanya merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum di negara ini, melainkan juga telah menghancurkan tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat jatuh ke dalam upaya mencari bentuk keadilannya sendiri, sering kali berupa “pengadilan kilat” di jalanan yang mengerikan. Namun proses hukum saja, sekalipun sangat penting, tidaklah mencukupi untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM dalam proses transisi. Karena proses peradilan hanya akan berpusat pada pelaku individual atas peristiwa kekerasan tertentu dengan maksud menunjukkan keterlibatan dan tanggung jawab seseorang dalam proses kejahatan. Proses peradilan tidak mampu memberi gambaran yang lebih luas mengenai pola pelanggaran HAM. Apalagi yang terjadinya secara sistematis dalam kurun waktu yang sangat panjang, serta melibatkan banyak pelaku di tempat yang berbeda-beda. Padahal gambaran tersebut diperlukan untuk memberikan pemahaman akan politik penguasa yang menjadi akar kekerasan selama ini dengan dampak luka yang sangat dalam di hati masyarakat. Oleh karena itu, menjadi sangat mendasarlah untuk mengajukan pertanyaan: bagaimanakah proses penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi semasa kekuasaan rezim politik Orde Baru akan dilaksanakan, terutama di tengah situasi politik yang cukup rumit? Pertanyaan ini secara khusus sangat krusial dan relevan untuk diajukan ketika pelanggaran yang terjadi itu amat luas serta melibatkan kelompok yang sedikit banyak masih memegang akses terhadap kekuasaan, langsung atau tak langsung, baik militer maupun sipil. Pertanyaan ini penting karena transitional justice lebih luas daripada penyelesaian kasus demi kasus pelanggaran HAM. Landasan moralnya adalah pembentukan pemerintahan dan masyarakat yang menghormati martabat manusia melalui langkahlangkah demokratis, tanpa kekerasan, dan mengacu pada tertib hukum. Upaya ini pada akhirnya mampu menjamin bahwa perstiwa serupa tidak akan terulang di masa depan. Proses hukum masa transisi memang sangat penting karena akan berperan besar dalam menghapus praktik kekebalan hukum yang selama ini dinikmati pelaku. Ini
13
menjadi syarat untuk keberhasilan penegakan keadilan di masa-masa selanjutnya.18 Proses hukum yang benar akan membangun kepastian dan keadilan hukum dengan menunjukkan bahwa pelaku, betapapun kuatnya, tidak berada di atas dan di luar hukum, tetapi juga sekaligus dapat dituntut atau dihukum di luar prosedur hukum. Tata hukum menciptakan komunitas, di mana setiap anggotanya dipagari dan dilindungi oleh hukum serta lembaga-lembaganya secara pasti dan adil. Pasti, berarti setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi. Setiap pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi menurut hukum juga. Ini mengindikasikan keputusan pengadilan bersifat bebas dari kekuasaan atau kepentingan apa pun. Sementara adil berarti hukum berlaku umum untuk semua orang di negara ini, dalam situasi yang sama akan diperlukan sama.19 Bagaimanapun, secara realistis harus diakui bahwa untuk menangani semua kasus pelanggaran masa lampau, sistem peradilan yang ada sekarang ini tidak akan mampu dalam waktu terbatas, baik dari segi perangkat hukum maupun sarana penunjangnya. Pengalaman di banyak negara menunjukkan ketika proses hukum hendak dijalankan, ternyata hanya beberapa kasus yang dapat sampai ke prosedur tuntutan dan penghukuman karena adanya kendala politik. Dari segi teknis pelaksanaan, prosedur pengadilan pelanggaran HAM memerlukan penyidik, jaksa, dan hakim independen. Pengadilan itu sendiri harus memenuhi standar internasional menyangkut hukum dan pembelaan. Dibutuhkan biaya yang sangat besar guna memungkinkan semua proses berjalan. Selain itu, bukti-bukti yang dibutuhkan sering kali disembunyikan pelaku dengan begitu rapinya. Juga sering kali terjadi bahwa pelaku mempunyai kekuasaan untuk mengintimidasi saksi-saksi. Bahkan di tingkat pengadilan itu sendiri, pelaku yang mampu secara ekonomi dapat memperoleh dukungan tim pengacara yang handal. Situasi ini masih ditambah dengan pengalaman kesulitan pada masa lampau guna memperoleh peradilan yang fair. Banyak contoh menunjukkan bagaimana pengadilan menangani tindak pelanggaran HAM berat akhirnya menjadi ajang permainan kekuasaan 18
Douglass Cassel, dalam diskusi ELSAM-Ford Foundation: Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Urgensi dan Permasalahannya, Jakarta, Februari 2000.
19
Lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999, Bab IV.
14
dan politik. Untuk menyebut contoh, pengadilan kasus penculikan aktivis bahkan sampai diistilahkan “Peradilan Nurani” karena para pelaku di tingkat lapangan mengaku melakukan penculikan terhadap aktivis atas dorongan nurani mereka sendiri, demi panggilan suara hati untuk menjaga keamanan negara. Karena peradilan itu sendiri merupakan lembaga yang memerlukan reformasi. Institusi-institusi yang terkait di dalam dan dengannya, baik kepolisian, kejaksaan, maupun kehakiman, merupakan bagian dari sistem yang pernah ikut terlibat dalam berbagai pelanggaran HAM semasa rezim politik Orde Baru. Bahkan tidak jarang mereka ikut memanfaatkan hukum demi kepentingan penguasa. Kesulitan berikutnya menyangkut hukum positif yang masih menuntut verifikasi objektif atas kebenaran kesaksian korban atau para saksi lainnya. Dalam sistem peradilan, berlaku proses pembuktian kebenaran formal-yudisial yang mengharuskan setiap klaim atau informasi dari korban atau saksi atas tindakan pelaku diuji berdasarkan ketentuan-ketentuan formal. Pengujian akan terpusat di sekitar kriteria objektif yang menanggalkan apa saja yang tidak terbukti sebagai informasi yang berhubungan langsung dengan tindakan pelaku. Padahal informasi kontekstual seperti inilah yang justru sering kali berperan dalam kasus pelanggaran HAM yang dilandasi oleh kepentingan politik kekuasaan.20 Peradilan hanya mengambil fakta-fakta terbatas. Bukti-bukti fisik pun, ketika proses peradilan berlangsung, sering kali sudah hilang akibat tenggang waktu yang lama antara kejadian dan proses pembuktian. Dengan mengikuti alur mekanisme seperti itu, tuntutan pembuktian akan berhadapan dengan kesulitan yang luar biasa, terutama, misalnya, dalam kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di masa lampau. Pelaku semakin diuntungkan dan korban semakin dirugikan karena pengadilan harus menentukan kebenaran kesaksian korban yang melawan bukti dari begitu banyak pelaku melalui sistem uji-silang. Sekali lagi, hanya pelaku individual di tingkat operasional yang umumnya terjaring oleh pengadilan. Selain itu, peradilan juga tidak mempunyai sarana untuk memberikan reparasi kepada korban. Salah satu ancaman terbesar bagi kredibilitas sistem hukum dan institusi peradilan dalam masa transisi adalah kegagalan dalam proses penempuhan tuntutan hukum 20
Lihat acuan catatan kaki No. 14.
15
terhadap pelaku pelanggaran HAM. Bukan hanya kekebalan hukum akan terus berlanjut dan pelaku berhasil melumpuhkan sarana pencapaian keadilan, tetapi juga tercipta landasan yang kian kokoh berdasarkan manipulasi sistem dan kerja lembaga peradilan. Dengan menyelenggarakan pengadilan, negara merasa sudah menjalankan kewajiban menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM, terlepas dari fair atau tidaknya, dan terlepas dari apakah korban menerima pemulihan atau terpenuhi tuntutan keadilannya. Pengalaman
banyak
pemerintahan
transisi
menunjukkan
penyelesaian
pelanggaran HAM di pengadilan tidak selalu berhasil memenuhi rasa keadilan masyarakat, khususnya korban. Pengadilan koneksitas kasus pembunuhan Tengku Bantaqiyah dan ke-56 santrinya di Aceh dapat kita jadikan sebagai contoh. Selain ternyata pengadilan koneksitas masih menerima perbedaan perlakuan hukum antara warga negara sipil dan militer, pengadilan tersebut juga gagal membongkar motif politik yang ada di belakang peristiwa pembunuhan. Penuntutan pun berhenti pada pelaku lapangan, sedangkan penanggung jawab langsung berdasarkan garis komando ternyata hanya berperan sebagai saksi. Kendatipun masyarakat Aceh menolak pengadilan yang dinilai tidak dapat memenuhi harapan keadilan ini, namun pemerintah tetap melaksanakannya dengan alasan inilah satu-satunya model pengadilan yang mungkin sekarang ini. Dengan perkataan lain, ada kepentingan politik pemerintah guna menunjukkan bahwa tuntutan masyarakat Aceh sudah dipenuhi. Jika kejadian seperti ini terus berlanjut, semakin banyak pihak yang kehilangan kepercayaan terhadap kepastian dan keadilan yang disuguhkan oleh sistem hukum di Indonesia. Adakah jalan lain bagi penyelesaian?
Sebuah Catatan tentang Sebutan “Korban”
Sebelum kita melihat kemungkinan lain guna penyelesaian pelanggaran HAM selama rezim politik Orde Baru, di sini perlu ditegaskan mengapa kata “korban” dipergunakan sejak awal tulisan ini dan akan terus dipertahankan. Penegasan ini penting mengingat pembahasan selanjutnya akan berpusat pada pemikiran mengenai martabat manusia dan hubungannya dengan korban.
16
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, korban diartikan sebagai orang yang menjadi menderita (mati dsb.) akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dsb. Ada juga makna lain yang bersifat kriminal, tetapi yang berhubungan dengan tindak pelanggaran berat HAM. Kata “korban” sudah sering kali dihindari,21 khususnya dalam proses pendampingan dan pemberdayaan, baik oleh kelompok lembaga non-pemerintah maupun oleh para konselor di ruang-ruang psikiatri. Sebagai pengganti dipergunakan kata “survivor” karena dalam bahasa Indonesia belum ditemukan padanan kata yang tepat. Namun perbedaan antara korban dan survivor harus dipahami lebih dari sekadar perbedaan semantik. Kata “korban” mengandung risiko politis dan psikologis. Kebanyakan korban pelanggaran berat HAM yang bertahan hidup adalah survivor dalam dua pengertian. Pertama, setelah mengalami kekerasan (fisik) dan atau psikologis mereka mampu bertahan hidup dan melanjutkan kehidupan mereka sehari-hari betapapun harus mengalami penderitaan cacat fisik. Namun lebih dari itu, kebanyakan korban dan atau keluarganya menderita trauma yang sangat dalam. Sebagai korban, banyak dari mereka sudah berhasil melampaui tahap terberat sindroma pasca-trauma, bahkan ikut dalam perjuangan membela HAM atau terlibat dalam berbagai kegiatan sosial. Kedua, sementara sebagian lainnya masih terus menerus dihantui bayangan kejadian yang pernah menimpa mereka atau keluarga – sekalipun belasan atau puluhan tahun telah lewat – namun dalam keadaan itu mereka tetap bertahan menjalani kehidupan sehari-hari, terlepas dari kehidupan macam apa yang mereka jalani itu. Kata “survivor” mengacu pada kemampuan korban untuk bertahan dalam memanfaatkan sisa-sisa kekuatan personal yang masih ada dalam diri, sementara sebutan “korban” seakan-akan menunjuk pada sifat pasif yang justru bertentangan dengan daya atau kemampuan itu. Pada saat berurusan dengan proses penyelesaian pelanggaran HAM, yang hendak dituju adalah dampak tindakan pelaku dan pengambil keputusan yang telah memunculkan kelompok orang yang menderita. Kemampuan korban untuk bertahan hidup dan menjalani masa-masa traumatis, hampir semuanya (apalagi ketika negara
21
Bandingkan dengan kritik feminis terhadap konstruksi perempuan sebagai korban (Bell Hook, Feminist Theory from Margin to Center, Boston: South End Press, 1984). Sementara, Naomi Wolff (Fire with Fire, London: Chatto & Windus, 1993) menekankan solidaritas yang didasarkan atas kekuatan dan
17
belum menjalankan kewajibannya terhadap korban) merupakan hasil perjuangan sendiri dan keluarga serta lingkungan terdekat ataupun pendamping (biasanya LSM). Dengan demikian, tidaklah relevan menghubungkan kemampuan bertahan korban dengan tindakan pelaku. Dalam konteks pelanggaran atau kejahatan HAM, yang ada adalah hubungan antara pelaku dan korban. Dengan alasan inilah kata korban dipergunakan. Sekalipun demikian, tidaklah mudah bagi kita untuk membuat sebuah perampatan dikotomis yang tegas antara korban dan pelaku. Tidak dapat disangkal, banyak kejadian yang menunjukan korban sekaligus pelaku, atau sebaliknya pelaku menjadi korban. Kasus kerusuhan Mei 1998 adalah contoh yang jelas. Sekelompok orang dirangsang untuk menjarah toko-toko. Akan tetapi, ketika para penjarah itu asyik “menjalankan tugasnya”, toko-toko itu dibakar. Mereka diperangkap dan menjadi korban pembakaran sengaja oleh pihak-pihak tertentu. Akibatnya, timbul persepsi bahwa mereka memang “sah” untuk diperlakukan demikian karena berstatus penjarah. Hal yang sangat nyata terjadi pula pada konflik menjelang dan pasca-jajak pendapat di Timor Lorosae. TNI merekrut ribuan orang Timor Lorosae menjadi anggota milisi pro-integrasi. Kemudian sebagian dari mereka dicampakkan militer Indonesia karena masalahnya dianggap sudah selesai. Sebagian lagi dalam operasi penghancuran karena dituduh “kepala dua” sementara ratusan lainnya kehilangan rumah, keluarga dan harta benda mereka. Sebagian dari mereka yang baru direkrut umumnya berasal dari kalangan rakyat pekerja yang tidak memahami persoalan dan melihat dinas militer sebagai
jalan
keluar
dari
kesengsaraan
yang
berlarut-larut,
sekalipun
harus
mempertaruhkan nyawa atau menghadapi sesama mereka sendiri.22
Hak Asasi Manusia : “Buah-Buahan” Pengalaman Akan Kezaliman
sumber daya yang dibagi bersama (perempuan) dan bukan shared-victimization yang cenderung melihat perempuan sebagai kelompok korban yang lemah dan pasif. 22
Kesulitan untuk begitu saja membuat kategori tegas untuk pelaku disampaikan oleh Hilmar Farid, “Mereka yang Coba Dilumpuhkan: Ekonomi Politik Kekerasan dan Korban di Indonesia”, makalah disampaikan dalam Workshop on Violence Conflict in Indonesia: Analysis, Representation, Resolution, University of Melbourne, 6-7 Juli 2000.
18
Mengutip Langer bahwa the logic of law will never sense of the illogic of genocide,23 terhadap korban pelanggaran HAM berat dan atau keluarganya, hampir-hampir tidak ada tindakan yang dapat dengan memadai mengkompensasikan kejadian yang sudah mereka alami.24 Penganiayaan begitu berat, sehingga bagi korban yang masih bertahan hidup, pengalaman masa
lalunya itu sulit dituturkan. Sebuah upaya perlu dilakukan bagi
penyampaian ulang pengalaman korban dengan kata-kata. Penuturan yang berlangsung dalam forum legal formal memiliki banyak keterbatasan dan sering kali justru menimbulkan dampak pereduksian baik pengalaman maupun akibat kekerasan yang pernah dan sedang dirasakan korban.25 Namun demikian, keterbatasan tersebut, bagaimanapun juga, tidak menjadi alasan untuk membiarkan ketakteraturan korban dan kebisuan masyarakat terus berlanjut. Pada gilirannya, hal tersebut justru akan semakin memperkuat posisi pelaku. Sebagai negara hukum, seharusnya setiap korban kejahatan dan atau pelaku korban pelanggaran HAM, berhak atas keadilan melalui proses hukum. Setiap hak mempunyai pendasaran hukum, sehingga negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan menegakkan penghormatan terhadapnya. Korban dapat melapor dan negara tidak dapat menyangkal kewajibannya guna menanganinya. Jika pelaku terbukti bersalah, ia akan menerima sanksi yang sesuai dengan tata tertib hukum yang mengatur pelaksanaannya. Pada titik inilah paham hak menemukan maknanya sebagai sebuah klaim yang sah, yang mengimplikasikan kewajiban untuk dihormati oleh pihak yang kepadanya tuntutan hak tersebut ditujukan. (Mengenai bagaimana ”klaim” itu diperoleh akan diuraikan dalam bagian lain di bawah ini). Sehingga dalam negara hukum setiap anggota masyarakat diperlakukan sama menurut hukum resmi yang berlaku dan hukum itu harus sesuai dengan HAM. 23
Lawrence L. Langer, Admiting the Holocaust, New York: Oxford University Press,1995.
24
Bahkan upaya dunia pasca-perang dunia II untuk melahirkan konsep kejahatan terhadap kemanusiaan, tetap tidak pernah mampu berbicara untuk korban secara individual. Untuk para korban, konsep besar itu merupakan abstraksi seluruh dunia demi penegakan keadilan atas nama kemanusiaan, namun tidak pernah cukup untuk menamakan secara personal teror yang mereka rasakan (lihat selanjutnya).
25
Martha Minow, Facing History after Genocide and Mass Violence: Between Vengeance and Forgiveness, Boston: Beacon Press, 1998. Untuk rincian situasi korban dan kondisi pasca-trauma lihat Judith Herman, Trauma and Recovery, New York: Basic Books, 1997.
19
Paham HAM didasarkan pada pengakuan atas hak-hak yang dimiliki manusia dalam keutuhannya.26 Sebagai makhluk jasmani, manusia terancam oleh paksaan kekuatan jasmani dan oleh gangguan terhadap prasyarat-prasyarat material kehidupannya. Dengan mengakui hak (seseorang) atas tindakan dan benda-benda, masyarakat mengakui kedaulatan (seseorang) atas benda dan tindakan(nya), dan dengan begitu mengakui keutuhan(nya). Hormat terhadap manusia menjadi nyata dan konkret dalam hormat terhadap hak-haknya.27 Paham HAM didasarkan pada pengakuan atas hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena martabatnya sebagai manusia. Setiap manusia tidak hanya hidup sebagai pribadi yang merdeka, sama, merasa aman. Ia juga berhubungan dengan manusia lain serta kelompok-kelompok sosial tetapi harus tetap dapat menikmati hak-hak miliknya tanpa diganggu gugat, tidak ditindas oleh suatu tirani dan dapat mengemukakan pendapatnya dengan bebas, dapat mencari nafkah, dan lain-lain. Hak asasi dimiliki setiap orang secara independen dari penerimaan atau pemberlakuannya. Sebagaimana seseorang tidaklah mungkin berhenti menjadi manusia, maka ia pun tidak mungkin berhenti kehilangan hak-hak asasinya sebagai manusia. Ia mungkin menerima perlakuan tidak manusiawi, tetapi itu tidak menghilangkan kepemilikannya atas HAM. Bisa saja negara tempat ia tinggal tidak kondusif bagi pengajuan tuntutan jika terjadi pelanggaran. Tetapi semua itu tidak menyebabkan ia tidak memiliki HAM. HAM tidak dapat dipisahkan, dicabut, dialihkan atau dihilangkan dari diri seseorang. Perkembangan paham ini berkaitan erat dengan prinsip moral bahwa setiap orang diciptakan sama, dan itu menyebabkan adanya hak-hak alamiah (natural rights) yang tidak dapat dilepaskan dari diri setiap orang.28 Sekalipun demikian, proses pengakuan ke tingkat formal berjalan melalui perjuangan politik dan sosial yang sangat panjang. Prosesnya berlangsung di atas pengalaman yang penuh kepedihan dari berbagai golongan
26
Franz Magnis-Suseno, op.cit., 1999.
27
Ibid.
28
Ini adalah pengaruh filsafat John Locke (1632-1704) yang meletakkan dasar untuk pengakuan hak dasar tertentu manusia yang tidak dapat dipindahkan, yang harus dijamin oleh penguasa. Lihat Charles I. Sherman (ed.), Treatise of Civil Government, New York: Appelton-Century Crofts Inc., (dari Second Treatise), 1937.
20
di dunia yang mengalami perlakuan tidak adil dan tidak manusiawi. (Perjuangan itu sudah dimulai jauh sebelum lahirnya Magna Charta Libertatum di Inggris pada abad ke13 (tahun 1215). Piagam tersebut membatasi kekuasaan raja sekaligus merumuskan hakhak warga negara dan memunculkan larangan melakukan penahanan, penghukuman dan perampasan harta benda dengan sewenang-wenang. Kemudian, pada abad ke-17, “bergemalah” penyataan hak kebebasan melawan kesewenang-wenangan raja-raja absolut di Eropa dengan lahirnya Habeas Corpus (1679) yang sepuluh tahun kemudian diikuti lahirnya Bill of Rights – kedua-duanya lahir di Inggris; Bill of Rights itu sendiri sangat kental dengan pengaruh filsuf Inggris, John Locke – ed.) Abad ke-19 di Eropa merupakan abad perjuangan borjuasi untuk negara konstitusional melawan negara feodal dan absolut; kemudian diikuti oleh gerakan perlawanan kaum pekerja menentang keduanya sekaligus, baik feodalisme maupun borjuasi. Sementara itu, di Amerika Serikat berlangsung perjuangan penghapusan perbudakan yang melibatkan perang sipil (civil war). Dan memasuki era pasca-perang dunia II muncul gerakan di seluruh dunia berupa perjuangan dari wilayah-wilayah jajahan guna mengakhiri kolonialisme. Ini diikuti dengan perjuangan panjang untuk penghapusan diskriminasi berdasarkan ras dan jenis kelamin, perjuangan hak-hak perempuan dan hakhak anak, yang semuanya masih berlangsung hingga sekarang. Perjuangan panjang itu memakan banyak sekali korban, selain itu tentu saja terdapat begitu banyak kecurangan serta mitos-mitos dalam setiap deklarasi tentang hak yang pernah muncul.29 Namun keseluruhannya merupakan bagian dari gerakan sistematis guna mengakhiri berbagai praktik kezaliman yang menyangkal martabat manusia.30 Penggodokan langsung pemikiran menyangkut nilai-nilai kemanusiaan terjadi sebagai akibat langsung dari Perang Dunia II. Masyarakat internasional menjadi sadar akan tiadanya bahasa hukum dan politik yang dapat mengutuk kejahatan Nazi yang membunuh warga negaranya sendiri semata-mata karena mereka orang Yahudi. Kejahatan itu seakan-akan menjadi sahih dengan berdiri di atas alasan kedaulatan negara. 29
Lihat Antonio Cassese, Hak Asasi Manusia di Dunia yang Berubah, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994, khususnya Bab II.
30
Untuk catatan ringkas mengenai dokumen-dokumen awal terpenting yang berhubungan dengan hak-hak asasi manusia lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982.
21
Baru setelah pengadilan Nuremberg (1945-1946) digelar, pejabat pemerintah dan militer yang terlibat pembunuhan jutaan manusia harus mempertanggungjawabkan tindakannya kepada masyarakat internasional. Banyak kritik terhadap pengadilan Nuremberg karena berlangsung sebagai “pengadilan para pemenang”31 atas musuh yang kalah perang. Lepas dari itu, pengadilan Nuremberg memberi inspirasi tentang kejahatan terhadap kemanusiaan. Pelakunya dikategorikan sebagai hostes humani generis, musuh seluruh umat manusia, dan dapat dituntut secara hukum dengan melewati batas-batas negara. Konsep ini – sekalipun juga bukan tanpa kritik – dapat dimengerti lewat argumen yang disampaikan oleh filsuf Karl Jasper: umat manusia dapat hancur jika negara diizinkan melakukan kejahatan seperti itu32 (genocide yang dilakukan oleh Nazi terhadap orang-orang Yahudi). Uraian ini tampak penting. Penting karena pemahaman terhadap hak asasi manusia tidak hanya berhenti pada konsep “hak” saja. Pemahaman seperti itu hanya akan mereduksi pesan humanisasi bila dibawa pada sekadar tuntutan hukum. Hak asasi adalah upaya menerjemahkan keyakinan bersama tentang martabat manusia ke dalam bahasa hukum yang konkret. Di sinilah argumen menyangkut pengakuannya menjadi sangat penting. Apakah dasar objektifnya? Apa landasan keyakinan itu? Tidaklah cukup mengatakan bahwa keyakinan itu dapat terbukti benar dengan sendirinya (self-evident) karena mengacu pada prinsip moral dan refleksi etis atas nilai-nilai hakiki manusiawi, sehingga harus diakui. Kuncinya adalah bagaimana melihat proses kelahirannya; pengakuan terhadap butir demi butir hak asasi sebetulnya diperoleh berdasarkan hadirnya kesadaran bersama akibat pengalaman kezaliman. Pengalaman ini memungkinkan adanya pemahaman mengenai tindakan mana yang dinilai tidak adil, tindakan mana yang berupa kejahatan kelompok yang lebih lemah, tindakan mana yang berupa pengambilan harta benda sewenang-wenang, dan lain-lain. Pemahaman bersama inilah yang kemudian membuahkan kesepakatan dialogis akan perlunya secara prinsip menyatakan ada tindakan yang merupakan pengingkaran terhadap martabat manusia, dan tindakan seperti itu tidak 31
Lihat misalnya Martha Minow, 1998, atau Jay A. Baird, dalam pengantar untuk From Nuremberg to My Lai, Lexington: D.C Heath, 1972.
32
Wawancara yang dimuat dalam Der Monat, dikutip dari Hannah Arendt, Eichmann in Jerussalem: A Report on the Banality of Evil, New York: Penguin Books, 1964.
22
boleh dibiarkan. Hak asasi merupakan titik temu antara konsepsi tentang manusia dan tentang masyarakat.
Hak Asasi Manusia: Humanisasi Hidup
Sekarang jelas bagi kita bahwa sesungguhnya HAM merupakan bagian dari kesadaran menyeluruh mengenai humanisasi hidup. Mula-mula kesadaran ini terungkap sebagai prinsip-prinsip moral, namun, sekali lagi, pengakuan dan penetapannya sebagai hak asasi berdiri di atas landasan pengalaman yang tidak didasarkan atas kepentingan subjektif, tapi atas penderitaan manusia akibat perbuatan manusia lainnya. Di sinilah hak-hak asasi mendapatkan penguatannya. Ia bukan sesuatu yang diciptakan dari andaian-andaian moral yang tidak mengakar ke pengalaman dan pemahaman bersama.33 Ia lahir dari kesadaran kritis atas sejarah kemanusiaan. HAM mendapat tempatnya yang kuat dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diterima anggotanya pada tahun 1945. Pada tanggal 10 Desember 1948 sidang umum PBB menerima Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM atau UNDHR – United Nations Declaration of Human Rights). Menurut deklarasi ini, persoalan HAM mengakar dalam martabat serta sebagai syarat perdamaian dan keamanan domestik dan internasional.34 Namun yang harus dicatat, deklarasi itu merupakan perumusan yang sebagian besar lahir di dunia Barat. Sekalipun demikian, bentuk penghormatan terhadap martabat manusia harus diperluas sampai meliputi seluruh masyarakat dunia. Wilayah33
Franz Magnis-Suseno mengutip Oelmuller yang mengacu ke Habermas untuk menunjukkan penetapan suatu tuntutan sebagai HAM merupakan hasil proses dialogal dalam masyarakat. Wacana yang bebas dari tekanan kekuasaan merupakan prosedur pengorientasian dan pembenaran. Hanya dengan prosedur itu pada zaman sekarang tujuan moral dan politis yang mengikat semua, masih dapat dibenarkan (Franz Magnis-Suseno, 1999).
34
Deklarasi itu diumumkan sebagai sebuah standar yang berlaku umum untuk seluruh rakyat di semua negara. Sebuah norma bersama bagi apa yang perlu diwujudkan oleh semua bangsa. Deklarasi tidak mengikat secara hukum, namun merupakan norma moral. Deklarasi tidak dimaksudkan untuk merumuskan kewajiban-kewajiban hukum yang dapat dipaksakan untuk membuatnya menjadi hidup dan mempunyai prosedur yang akan berperan dalam penegakan HAM di sebuah negara. Deklarasi diperlengkapi dengan kesepakatan-kesepakatan internasional yang merupakan instrumen yang menentukan status yuridisnya. Dalam hal ini, persetujuan tersebut dipahami sebagai penerimaan Piagam HAM lebih daripada sebagai keterikatan moral, sehingga yurisdiksi negara yang sudah menentukan persetujuannya tidak bisa lagi mengabaikan materi HAM. Pentingnya pengakuan formal-konstitusional terhadap HAM untuk memberi jaminan bahwa hukum yang berlaku di sebuah negara tidak disalahgunakan oleh penguasa guna menindas rakyatnya.
23
wilayah jajahan Barat dapat memakainya sebagai pedoman penuntutan dan perjuangan mengenai tatanan negara yang sejalan dengan martabat manusia. Martabat manusia diharapkan menjadi titik berangkat dan “kode perilaku” untuk semua hubungan antarmanusia dalam hidup bersama. Orang lain dihormati sebagai pribadi, bukan ciptaan atau hadiah orang lain, masyarakat, atau negara. Manusia hidup pertama-tama karena dia menerima penghidupan itu dari Tuhan. Dengan hidup, manusia menjalani kehidupan. Namun kehidupan sekaligus memaknakan manusia sebagai hadir bersama (koeksistensi), baik bersama dengan manusia lain, maupun mahluk lain dan benda-benda. Kenyataan sederhana ini melahirkan implikasi yang sangat luas, yaitu hidup seseorang adalah miliknya sendiri. Tapi yang perlu dicatat menurut alur pikiran ini konteks kesetaraan dengan manusia lain, dalam arti sama-sama merupakan mahluk ciptaan Tuhan, sehingga tidak ada orang memiliki hidup orang lain. Keutuhan manusia terletak dalam kedaulatan atas dirinya sendiri. Namun kenyataan manusia hadir bersama di dunia melahirkan pertanyaan, bagaimanakah ia akan berhubungan dengan orang lain, yang seperti juga dirinya, merupakan makhluk berdaulat atas dirinya sendiri? Untuk memahaminya, kita berangkat dari situasi guna bisa menjalani kehidupan secara wajar. Manusia memerlukan kondisi-kondisi yang menjamin bahwa perbuatan orang lain atau sekelompok orang bukan saja tidak akan menyebabkan kematiannya (yang bertentangan dengan hak yang paling hakiki manusia, yaitu hak hidup), melainkan juga bahwa tindakan-tindakan itu tidak akan menyebabkan seseorang sebagai pribadi tidak bisa mengambil keputusan penting menyangkut hidupnya sendiri. Selanjutnya, dalam ke-hadir-an bersama itu, kesadaran etisnya pun timbul, kesadaran yang menyebabkan ia tidak akan membiarkan munculnya situasi yang menyebabkan kebinasaan kehidupan orang lain, atau membiarkan situasi yang menyebabkan orang lain menjalani kehidupan secara tidak manusiawi. Hakikat hak dan kewajiban dengan begitu dikembalikan lagi ke pertimbangan yang mendahului semua kenyataan – meminjam bahasa filsuf Levinas – pertama-tama
24
ada perjumpaan dengan orang lain.35 Struktur sebagai manusia, dalam pengertiannya yang paling konkret adalah bertanggung jawab terhadap orang lain.
Penghukuman: Bukan Sebuah Pembalasan
Dari landasan pemikiran di atas terbentuk prinsip dan asal mula semua hukum yang benar, yaitu berupa penjalinan antara martabat manusia yang tidak dapat dihilangkan36 dan eksistensi bersama di dunia. Baru kemudian hukum memperoleh makna sebagai gerak guna mewujudkan keadilan. Landasan tuntutan hukum atas pelanggaran hak asasi adalah keyakinan bahwa kejahatan bukan hanya melukai korban sebagai individu, tapi juga melukai kemanusiaan secara umum yang norma-norma hukumnya dilanggar. Pelaku diajukan ke pengadilan tidak hanya dengan landasan telah melakukan kejahatan terhadap korban secara individu, tetapi karena tindakannya mengancam masyarakat secara umum. Ada sebuah prinsip abstrak keadilan yang mengatasi korban sebagai individu, di mana prinsip inilah yang menghubungkan korban dengan masyarakat lainnya. Pengertian ini bukan berarti depersonalisasi korban, karena nilai setiap manusia tetap sebagai personal dan harus menjadi landasan yang tidak bisa diganggu gugat dalam hukum. Sangat tepatlah Hannah Arendt37 yang menyatakan bahwa kalau toh pelaku pelanggaran HAM dibawa ke pengadilan, itu tidak lain karena tubuh politik itu sendiri memerlukan pemulihan, dan tertib masyarakat-lah yang telah dirusak dan harus diperbaiki. Dengan perkatan lain, norma-norma hukum itulah yang harus menang, bukan semata-mata korban sebagai individu. Pernyataan ini bukan lalu dimaksudkan untuk mereduksi penderitaan korban ke aspek hukum, melainkan justru menunjukkan pengakuan terhadap sebuah wacana dialogis yang telah melahirkan hukum. Hukum adalah himpunan norma kelakuan manusia yang disepakati masyarakat; norma yang
35
Emanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority (terj. Alphonso Lingis); Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969.
36
Theo Huijbers, op. cit, 1988.
37
Hannah Arendt, op. cit., 1964.
25
memang dituntut pelaksanaannya dan sekaligus “memaksa” ditindaknya pelaku pelanggaran demi penyelenggaraan kehidupan bersama. Jika dikaitkan dengan kejahatan hak asasi yang disponsori atau dibiarkan oleh penguasa, maka upaya hukum adalah penunjukan kejahatan apa pun yang dilakukan oleh individu-individu yang dapat diidentifikasi, bukan oleh maujud abstrak bernama negara, nasionalitas dan lain-lain. Penghukuman bukan merupakan pembalasan. Tindak kekerasan itu sendiri, tidak dapat disangkal, hampir selalu melahirkan kekerasan lanjutannya demi pembalasan dendam. René Girard38 mengembalikan reaksi ini kepada hasrat, dalam arti bahwa semua upaya untuk membela korban menjadi sahih, termasuk dengan melakukan tindak kekerasan balik. Balas-membalas yang terjadi dalam konflik berkepanjangan di Ambon dan kepulauan Maluku, ataupun yang terjadi di Kalimantan Barat, sampai budaya Carok di Madura, atau Siri di Sulawesi Selatan, adalah contoh keyakinan di masyarakat bahwa kekerasan harus diselesaikan, kalau perlu dengan kekerasan pula, atas nama kesucian korban. Sementara reaksi kebalikannya yang berupa diam, harus dengan jujur dan rendah hati diakui, bukan karena korban tidak menghendaki pembalasan, melainkan bisa juga karena korban tidak mempunyai kemampuan untuk membalas. Dalam beberapa kasus, korban yang sedang dalam proses mengatasi tahap sindroma pasca-trauma, ataupun keluarganya, acap kali menciptakan fantasi jika saja pelaku mengalami apa yang sudah ia timpakan kepadanya atau kepada keluarganya, mungkin penderitaan mereka akan berkurang. Dalam lokakarya dengan korban pelanggaran HAM dari berbagai daerah di Indonesia,39 seorang gadis yang ibunya mengalami penganiayaan dan penangkapan sewenang-wenang bertutur. Ia menuturkan kisah tersebut sambil tenggelam dalam kepedihan membayangkan penderitaan ibunya. Dalam keputusasaan mengupayakan keadilan untuk ibunya, ia membayangkan dirinya yang akan memberi penyelesaian adil untuk ibunya. Dengan tuturan tersendat-sendat gadis itu mengaku bahwa ia kerap 38
René Girard, Violence and the Sacred (penerjemah P. Gregory), Baltimore: John Hopkins University Press, 1978.
39
Lokakarya ini diselenggarakan oleh ELSAM sebagai kelanjutan Seminar Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia: Antara Kebenaran dan Keadilan, 13 dan 14 April 2000, di Jakarta.
26
berkhayal dapat menyakiti bahkan dapat membunuh pelaku. Khayalan itu bukan semata imajinasi akan tindakan balas dendam, melainkan impian untuk menghentikan tindakan sewenang-wenang yang ia saksikan. Dari telaah psikiatri terhadap korban kekerasan, Judith Herman40 menunjuk gejala sejenis. Khayalan tentang melakukan tindakan balik secara tidak sadar memang kadang muncul dalam benak korban karena pengalaman ketidakberdayaan yang pernah dialami. Dengan khayalan, korban mengharap akan mendapatkan kembali kekuatan untuk mengatasi daya-daya yang menyebabkannya menjadi korban. Akan tetapi, telaah selanjutnya memperlihatkan bayangan seperti itu ternyata lebih banyak membawa korban pada situasi tekanan kejiwaan yang lebih berat daripada menolongnya. Jika diterjemahkan ke dalam prinsip hukum tentang kesetaraan dan hak-hak individual, maka pembalasan atau pembayaran yang setara dengan tindak pelanggaran yang dilakukan pelaku menemukan bentuknya dalam bentuk penghukuman retributif. Gagasan retribusi mendorong penghukuman yang didasarkan atas pertimbangan tindakan pelaku telah menimbulkan penderitaan dan rasa sakit yang luar biasa pada korban. Oleh karena itu, masyarakat harus menghukum pelaku sesuai dengan penderitaan yang telah ia timbulkan.41 Secara teoretis, hukuman retribusi berbeda dengan pembalasan. Landasan idealnya adalah kesetaraan harkat setiap orang. Melalui retribusi, masyarakat diandaikan mengkoreksi cara pandang yang ada di belakang tindakan pelaku di mana korban dilihat sebagai orang yang lebih rendah martabatnya sehingga bisa diperlakukan sewenangwenang Dalam praktiknya, penghukuman yang bersifat retributif ini seperti menghukum tetapi tidak mencegah apa-apa. Akibatnya penghukuman menjadi seperti tindakan balas dendam, yang justru bertentangan dengan tujuan hukum untuk memperbaiki keadaan. Pembalasan dalam bentuk apa pun sebetulnya hanya merupakan penukaran peran antara pelaku dengan korban. Dari banyak pengalaman kekerasan, tindakan membalas ternyata membuat korban terus-terus terkungkung dalam ingatan pedih akan kekerasan, penghinaan dan kebencian. Padahal hasilnya tidak selalu menjamin perubahan, sekalipun 40
Judith Herman, Trauma and Recovery, New York: Basic Books, 1992.
41
Jeffrey Murphy & Jean Hampton, Forgiveness and Mercy, New York: Cambridge University Press, 1988.
27
melalui sistem hukum. Semua variasi kesakitan yang bisa diderita tubuh manusia, penganiayaan dan kematian, pernah muncul sebagai sanksi dalam sistem hukum hampir di semua negara; sekalipun sudah melewati uji coba di tempat yang berbeda-beda, pemerintah, adat-istiadat dan agama, penghukuman tak pernah menghasilkan efek sebagaimana yang diharapkan.42 Tidak pernah ada jaminan kejahatan tidak akan terulang atau akan berhenti setelah pemberian hukuman. All punishment is in itself evil, tulis tokoh utilitarianisme Inggris abad ke-18 Jeremy Bentham. Penghukuman memang dapat merupakan kejahatan sendiri. Sebagai bagian dari sistem peradilan penghukuman sering kali muncul sebagai ketidakadilan. The Crime of Punishment,43 intimidasi dan penganiayaan perlahan-lahan, tulis Karl Meninger.44 Penghukuman menimbulkan penderitaan dan rasa sakit ketika ia pada saat yang sama dimaksudkan untuk meningkatkan kebaikan dan kebahagiaan keseluruhan masyarakat. Hukum diperlukan demi kelangsungan hidup manusia secara manusiawi. Pembenaran terhadap hukum dan undang-undang didasarkan atas dicapai atau tidaknya kebaikan dalam masyarakat, sesuai tempat dan jangka waktu tertentu. Maka penghukuman, menurut paham non-retributif, hanya sahih jika bermanfaat untuk mencegah kedurjanaan dan penderitaan yang lebih besar. Penghukuman tidak
42
Edward Livingstone, Remarks on the Expediency of Abolising the Punishment of Death, sebagaimana dikutip dari John Hosteettler, The Politics of Punishment, Chichester: Barry Rose Law Pub., 1931.
43
Karl Meninger, The Crime of Punishment, Saturday Review, 1968.
44
Kita bisa membaca kekejaman penghukuman melalui banyak esai dan lebih lagi karya sastra. Lihat misalnya, Sehari dalam Kehidupan Ivan Denisovich dan Gulag Archipelago (Solzhenitsyn), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (Pramoedya Ananta Toer), The House of the Dead (Dostoievsky). Sebagai ilustrasi dikutipkan di sini dari The House of the Dead (1912): “… Malam yang sama, sebelum barak ditutup, ketika sudah gelap, aku berjalan menyusuri pagar kayu runcing. Sebuah perasaan sedih yang berat membebani jiwaku … Sebuah pemikiran tak pernah membiarkanku tenang – sebuah pertanyaan tak terpecahkan … Sering kali kejahatan yang satu tidak bisa diperbandingkan dengan yang lainnya. Dua pembunuh membunuh dengan alasan yang begitu berbeda … mereka menerima hukuman yang sama … seorang gelandangan, kelaparan hingga hampir separuh mati, dikejar oleh sekumpulan polisi, mempertahankan kebebasan, hidupnya. Ia disamakan dengan penjahat yang membunuh anak-anak semata-mata untuk menghibur diri, kesenangan merasakan darah hangat mengalir di tangannya … Mereka semua dikirim ke kamp kerja paksa; sekalipun lama hukuman mungkin berbeda namun tidaklah terlalu banyak, sementara ada beribu-ribu jenis kejahatan … tetapi mengapa memikirkan pertanyaan yang tidak ada penyelesaiannya?”
28
mempunyai landasan pembenaran jika dampaknya justru menambah penderitaan masyarakat.45 Landasan material untuk putusan penghukuman harus diletakkan di masa depan, dan bukan sebagai pembalasan terhadap peristiwa di masa lampau. C.S. Lewis46 bahkan menolak penghukuman sebagai metode penggentaran terhadap orang-orang yang kirakira berpotensi melakukan kejahatan serupa di masa depan. Menghukum orang in terrorem47 dan menjadikannya sebagai contoh untuk yang lain, berarti memanfaatkan orang tersebut sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Menghukum orang dengan sekeras-kerasnya untuk menggentarkan berarti menghukum seseorang atas nama kumpulan kejahatan yang pernah ada, dan kejahatan yang belum tentu terjadi di masa depan. Sementara orang yang akan melakukan kejahatan, apalagi yang tersistematisasi, hanya merasa gentar setelah hukuman dijatuhkan, tetapi tidak sebelum ia melakukan kejahatan. Idealnya, hukuman harus tidak memberi kesempatan berlangsungnya kejahatan.48 Setiap zaman sudah memperlihatkan ketidakberhasilan efek menakut-nakuti ini. Penjahat-penjahat kemanusiaan muncul dari waktu ke waktu menandai setiap masa. Abad ke-20 saja terus menerus mencatat tragedi demi tragedi akibat kekuasaan dan berbagai perang ideologi. “Sejarah tidak pernah mengulang diri” seperti kata filsuf Voltaire, tetapi “manusia senantiasa.” Kita pun menjadi saksi atas gugurnya klaim Pengadilan Nuremberg yang menggentarkan penjahat kemanusiaan untuk tidak lagi melakukan pembunuhan massal. Namun ada begitu banyak kekejaman yang terus berlangsung sejak 45
Lihat Samuel Enoch Stumph, “Utilitarianism of Bentham and Mill” dalam Philosophy History and Problem, New York: McGraw-Hill, 1971,
46
C.S. Lewis, “The Humanitarian Theory of Punishment”, dalam God in the Dock, London: Curtis Brown, 1970.
47
Menimbulkan teror.
48
Semua perdebatan itu pada intinya bukan menolak penghukuman terhadap pelaku kejahatan, melainkan mencari landasan yang adil bagi bentuk-bentuk penghukumannya. Sehingga bebas dari kemungkinan semata-mata sebagai bentuk formal-konstitusional pembalasan dendam. Atau di lain pihak menghukum orang dengan tidak berimbang demi mencapai tujuan menggentarkan masyarakat agar tidak melanggar hukum, atau sebaliknya tidak menghukum dengan landasan penghukuman tidak menyumbang apa-apa untuk perbaikan masyarakat. Untuk keperluan itu, kita dapat mengacu ke John Rawls, bagian “Punishment” dari “Two Concepts of Rules” bagian I, Philosophical Review, LXIV, 1955, hlm. 3-13. Lihat juga tulisan menarik tentang kedua jenis landasan penghukuman ini oleh James Broyles, “The Devils Due: A Philosophical Fable”, dalam Joel Feinberg (ed.), Reason and Responsibility, Belmont California: Wadsworth Pub., 1988.
29
itu. Orang dibunuh secara massal di Kamboja, Kurdistan, Bosnia, Uganda, Rwanda, Palestina, Srilangka, bekas Yugoslavia dan di Indonesia sendiri. Sebaliknya, konsep hostes humani generis yang memungkinkan diterapkannya hukum humaniter internasional, ternyata lumpuh juga di tangan badan-badan internasional. Dunia internasional tidak memberlakukan konsep tersebut terhadap banyak penjahat kemanusiaan. Israel juga tidak mau belajar dari pengalaman masa lampau. Seakan malah mengizinkan kekerasan, pelanggaran terhadap kemanusiaan dan pembunuhan massal atas nama penderitaan masa lampau. Dunia internasional, kalau tidak lumpuh sama sekali ketika berhadapan dengan kekejaman terhadap kemanusiaan, hanya memberikan kecaman setengah-setengah sehingga cenderung jatuh ke propaganda politik sebatas pengutukan verbal. Sayangnya tidak melakukan tindakan yang mengarah ke keadilan. Dalam menghadapi berbagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, upaya pembela kemanusiaan menjadi seperti kerja Sisifus, yang dihukum menjalani siksaan tak terperikan dengan mengerahkan seluruh dirinya untuk tidak menyelesaikan apa pun.49 Bagaimanapun, interpretasi seperti yang dimaknakan Camus50 terhadap mite ini yang mungkin harus dicatat. Pada saat Sisifus memandang sejenak pekerjaan yang harus diulanginya tanpa mengetahui kapan itu akan berakhir, itulah saat kesadaran, semuanya belum tuntas. Sisifus mengajarkan kesetiaan tinggi dan keyakinan, semua yang manusiawi bersumber dari yang manusia.51 Tanpa bermaksud jatuh ke romantisme perjuangan melawan kejahatan, lewat mite ini kita dapat memahami perjuangan tanpa akhir dan tanpa letih, dalam penegakan keadilan. Maka penghukuman, jika kembali ke pemikiran Aristoteles, harus merupakan
49
Mite Sisifus menceritakan ia dihukum oleh dewa guna mendorong sebuah batu raksasa ke puncak gunung. Batu itu kemudian menggelinding lagi akibat beratnya sendiri. Sisifus lalu memandang batu yang meluncur itu. Ia menuruni kembali lereng gunung untuk mendorongnya kembali naik ke puncak. Demikianlah sepanjang zaman. Ia dihukum untuk melakukan kerja yang sama berulang-ulang. Kisah ini seperti menyampaikan tidak ada siksaan yang lebih mengerikan untuk manusia daripada melakukan pekerjaan yang tak berguna dan tanpa harapan. Namun Camus menyampaikan pemaknaan yang khas.
50
Albert Camus, Mite Sisifus, Pergulatan dengan Absurditas (terj. Apsanti D.), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
51
Tepatlah Camus ketika lalu menuliskan bahwa perjuangan ke puncak gunung itu sendiri cukup untuk mengisi hati seorang manusia.
30
sebuah tindakan yang bersifat remedial untuk menghasilkan kebaikan moral.52 Dengan begitu penghukuman harus menekankan sifat edukatif dan restoratif, dengan memberi kesempatan pelaku guna memperbaiki diri. Penghukuman harus dilaksanakan dengan landasan mengembalikan keadilan yang terkoyak akibat tindakan pelaku, dan bukan menempatkannya dalam penghinaan. Jika kembali melihat beberapa contoh yang sudah berlangsung di berbagai negara dalam suasana transisi, maka pengadilan dan penghukuman pelanggar HAM, dalam jumlah besar, dimaksudkan untuk mentransformasikan kemarahan atau kepedihan yang bersifat pribadi ke pencarian kebenaran yang bersifat publik. Sebagian besar prosesnya lebih bersifat simbolis dan politis daripada penerapan tertib hukum yang ketat. Hanya saja, jika tidak dilaksanakan dengan cermat, proses ini dapat berbalik menjadi ajang pembalasan dendam dan bukan mengakhirinya. Contoh paling nyata tentang hal ini terjadi di Rwanda; di sana pelaku bertanggung jawab terhadap pembunuhan massal 800.000 orang pada tahun 1994.53 Di sana pemerintah menyiapkan sebuah peradilan nasional. Sekitar 115.000 orang ditangkap. Baik peradilan internasional untuk Rwanda yang dibentuk Dewan Keamanan PBB di Arusha, Tanzania, maupun peradilan nasional negara-negara itu sendiri, diselenggarakan tahun 1997. Kebanyakan tersangka dalam peradilan nasional Rwanda tidak didampingi oleh pembela yang memadai dan tidak mendapatkan cukup kesempatan untuk mengajukan uji silang kesaksian. Pada tahun 1998, ribuan masyarakat menyaksikan eksekusi terhadap 22 orang yang dituduh bersalah atas pembunuhan tersebut. Para pejabat pemerintahan menyatakan bahwa putusan hukuman tersebut merupakan penerapan tertib hukum di Rwanda dan langkah yang akan menghentikan gelombang kekerasan berlatar belakang kebencian etnis yang sudah berjalan sejak tahun 1962. Protes dunia internasional bahwa peradilan tersebut tidak memenuhi standar keadilan tidak mendapat tanggapan.
Maaf dan Pengampunan
52
Aristoteles, Ethics, Penguin Classics,1976.
53
Lihat Marta Minow, op. cit., 1998.
31
Situasi apa yang tepat guna menempatkan proses penghukuman dalam konteks Indonesia sekarang. Terdapat tuntutan keadilan korban yang demikian banyaknya, ada tuntutan untuk menghukum pelaku kejahatan kemanusiaan di masa lampau. Ada pula kebutuhan masyarakat guna menjelang masa depan yang bebas dari dendam. Sementara itu kebanyakan pelaku sampai saat ini belum terjangkau oleh proses hukum, karena prosesnya selama ini juga belum pernah memberi jaminan kepastian dan keadilan. Lepas dari itu, di Indonesia pun berlangsung jenis kekerasan dan konflik massa yang menjatuhkan banyak korban dari kedua belah pihak yang bertikai. Konflik di Ambon misalnya, masing-masing dari kedua belah pihak yang bertikai mengklaim bahwa kelompok mereka-lah yang paling menjadi korban dan lalu menuntut keadilan hanya untuk pihaknya. Kita juga berhadapan dengan berpuluh ribu mantan tahanan politik dampak berbagai peristiwa termasuk G-30-S yang bahkan tidak pernah secara formal menerima tuduhan atas kesalahan mereka, tetapi seluruh keluarga dan kerabat mereka ikut menjadi tertuduh dan terhukum di mata masyarakat. Diperlukan sebuah langkah yang arif untuk penyelesaian begitu banyak kejahatan politik di masa lampau tanpa sedikit pun mengecilkan arti penderitaan korban, tetapi juga tidak memilih jalan yang menghasilkan efek pembalasan. Di tengah situasi yang demikian kompleks, kita mulai mendengar anjuran untuk memaafkan dan sedikit pelontaran permintaan maaf atas kesalahan dan kekejaman pada kasus-kasus tertentu masa lampau. Dari sudut korban dan masyarakat umumnya, pemberian maaf sering diartikan bahwa korban atau keluarganya bukan hanya tidak akan melakukan pembalasan, melainkan juga bahwa mereka dituntut untuk tidak melakukan tindakan apa pun yang sifatnya tuntutan pertanggungjawaban atas peristiwa yang dialami. Tanggung jawab memang diandaikan melekat dalam permintaan maaf. Maaf hakikatnya melibatkan pengakuan atas kesalahan dari pihak-pihak yang bertanggung jawab. Maaf adalah cermin welas asih. Pemberian maaf dari korban menunjukkan perubahan perasaan korban terhadap pelaku yang telah membuatnya menderita, dan mewakili perubahan sikap dalam berhubungan dengan penderitaan serta kemarahan yang selama ini ia pendam dalam dirinya.
32
Tindakan memaafkan dan hubungan yang kemudian tercipta selalu bersifat hubungan personal (sekalipun tidak individual).54 Artinya apa yang sudah dilakukan dimaafkan demi siapa yang melakukan itu. Itu sebabnya proses pengakuan menjadi sangat penting agar maaf dapat lahir, “Kami sungguh ingin memaafkan tetapi tidak tahu siapa yang akan kami maafkan,” kata seorang anak korban di Afrika Selatan yang ayahnya mati setelah dianiaya dengan sangat keji oleh polisi di Port Elizabeth.55 Maaf merupakan proses transformasi hubungan antara korban dan pelaku. Itu sebabnya orang tidak dapat memaafkan dirinya sendiri. Hanya orang yang terkena akibat tindakan orang lain yang dapat menerima dan memberi maaf. Korban tak berhak memberi maaf atas nama korban lainnya. Sekalipun korban menyatakan akan memberi maaf secara pribadi kepada pelaku, tidak serentak berarti tuntutan hukum begitu saja lepas dari pelaku. Maaf tidak berhubungan dengan tindakan yang seharusnya dijalankan oleh sebuah sistem hukum yang bersifat impersional.56 Maaf juga tidak sama dengan pengampunan dalam pengertian legal. Dalam kenyataannya, negara, khususnya pada masa pemerintahan transisi tidak jarang mengambil alih pemberian maaf dan melembagakannya lewat proses pengampunan. Tindakan ini kerap dilakukan dengan tidak mendengarkan suara korban. Bahkan tidak jarang praktiknya mendahului pengungkapan kebenaran mengenai peristiwa kejahatan dan penyelidikan mengenai sebab-sebab kejahatan. Tindakan ini secara
tidak
langsung
menyetarakan
pengampunan
dengan
keadilan,
tanpa
memperhitungkan hak korban. Wacana maaf yang hendak dibangun demi proses rekonsiliasi masa transisi kemudian beralih pada semata-mata proses permohonan dan pelaksanaan amnesti oleh pelaku. Maka pengampunan, yang hakikatnya adalah kemurahan hati, jika dipilahkan dari keadilan justru melahirkan suatu tindakan tak kenal ampun. Sebuah paradoks. Memang kemurahan hati, dalam bahasa Lewis57 hanya mungkin berkembang jika tumbuh dari celah-celah batu karang keadilan.
54
Hannah Arendt, op. cit., 1998.
55
Lihat Desmond Tutu, No Future without Forgiveness, Bab 7: “We do want to forgive but we don’t know whom to forgive”, London: Rider, 1999.
56
Lihat Jeffrey Murphy dan Jean Hampton, op. cit., 1988.
57
C.S. Lewis, op. cit., 1970.
33
Maaf dan penghukuman bukan sesuatu yang saling berlawanan. Penghukuman adalah alternatif dari maaf;58 keduanya sama-sama bertujuan memutus rantai tindakan tidak manusiawi. Dikatakan demikian, karena jika tidak ada upaya penghentian, maka kekerasan
dapat
berlangsung
terus-menerus
bagaikan
lingkaran.
Sedangkan
pengampunan dalam bentuk legal (hanya) dapat diberikan dengan pertimbangan sangat hati-hati dan adanya alasan untuk itu. Penentuan alasan harus bersumber dari suara korban, kebisuan harus dipecah. Kebisuan yang terjadi selama ini menjadi salah satu alat pertahanan pelaku. Hal itu sebetulnya memanfaatkan dengan baik apa yang oleh Judith Herman disebut sebagai hasrat kebanyakan manusia untuk see, hear, and speak no evil.
Bersama-sama Menolak The Crime of Silence
Tindak pelanggaran HAM di Indonesia kebanyakan berlangsung secara diam-diam. Kalaupun diketahui masyarakat, hampir selalu berhasil dibenarkan dengan alasan yang justru semakin memojokkan korban. Proses isolasi korban akan berhasil dengan baik apabila masyarakat melihat dengan kritis mengenai pembunuhan massal, pemenjaraan dan pembuangan tanpa proses pengadilan (kecuali untuk beberapa tokoh) yang terjadi pasca-G30S, di mana peristiwa tersebut tidak sekadar peristiwa politik biasa, tapi juga tragedi yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan. Ironi memang ketika kebanyakan orang Indonesia melihat peristiwa itu bukan sebagai sebuah tragedi.59 Situasi yang tercipta waktu itu, dan pengisolasian pengetahuan masyarakat sesudahnya, menyebabkan sebagian besar masyarakat Indonesia hidup dalam keyakinan bahwa pembunuhan dan penganiayaan itu merupakan suatu keniscayaan
atas nama
pemerintah (waktu itu). Orang juga dibuat menerima bahwa peristiwa itu terjadi sebagai “epilog peristiwa kontra-revulusioner G30S”, yaitu antara lain kemarahan massa yang meluap-luap terhadap PKI.60
58
Hannah Arendt, op. cit., 1998.
59
Lihat catatan kaki No. 16.
60
Resume Laporan Komisi Pencari Fakta, butir (b) menyebutkan: “… meletusnya emosi rakyat yang meluap-luap terhadap PKI yang dianggapnya sebagai dalang dan pelaku dari peristiwa G30S terutama di daerah-daerah di mana telah terdapat keadaan tegang antara golongan PKI dan golongan non-PKI sebagai akibat pada waktu-waktu sebelum dicetuskannya G30S pada tanggal 1 Oktober.”
34
Lepas dari banyak alasan yang membuat banyak orang marah dan khawatir terhadap praktik politik PKI, korban tetaplah merupakan kelompok yang pada saat itu tidak bisa lain kecuali harus menerima pembinasaan kilat balik secara fisik dan atau sosial, sampai ke seluruh sanak keluarga.61 Tragedi berikutnya adalah moralitas yang kemudian dikembangkan telah
disalahgunakan dan dibelokkan menjadi etika semu.
Tidak kalah serunya sejarah dikonstruksi guna menekan secara sistematis ingatan masyarakat. Penguasaan mental subjek yang hidup di bawah rezim totaliter dimulai dengan mengambil ingatan masyarakat62 dan proses pelupaan terorganisir. Korban dan mereka yang bersimpati terhadap korban dibungkam dan disingkirkan sehingga menjadi tidak tampak, dan pada akhirnya terlupakan. Pelupaan dan pembisuan itu terjadi akibat penyangkalan dan atau pembiaran yang tidak bekerja secara individual. Stigmatisasi dan desolidarisasi korban, terjadi di hampir seluruh Indonesia seperti di Lampung (kasus Warsidi), Tanjung Priok, Aceh, Papua, Timor Lorosae dan lainnya. Mereka menamakan korban dan atau keluarganya sebagai gerakan pengacau liar atau gerakan pengacau keamanan. Ketegangan pelaku dan korban dengan sengaja dialihkan ke aras publik, namun wacananya sudah dibentuk demi kepentingan penguasa, dalam hal ini berperan sebagai pelaku. Masyarakat tidak berani menolong korban karena percaya bahwa korban memang patut menerima tindak kekerasan akibat ulahnya sendiri. Hal itulah yang menyebabkan bahwa dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lampau telah dan tetap terjadi pengingkaran martabat manusia dan penolakan terhadap korban. Namun yang terjadi di Indonesia pada masa lampau tidak hanya berhenti di situ, karena terjadi pula penghilangan atas ingatan yang dapat memegang kesaksian atas masa lampau. Pentingnya pengungkapan kebenaran adalah karena kita sebetulnya sedang ditantang dan dihadapkan ke tanggung jawab yang oleh Bertrand Russell disebut sebagai
61
Di antara pembunuhan dan pemenjaraan, terdapat ratusan ribu anggota keluarga, kerabat, teman, saksisaksi, yang selama puluhan tahun hidup di dalam ketakutan yang bisu. Tanpa bisa bertutur, mereka tercerai-berai, menerima penghinaan atas martabat kemanusiaan, hidup di antara masyarakat namun tercerabut dari lingkungan sosialnya dan kehilangan atau tidak mendapat kesempatan mencari nafkah yang wajar.
62
Lihat Paul Connerton, How Societies Remember, Cambridge: Cambridge University Press, 1989.
35
pencegahan lebih lanjut kejahatan kebisuan (the crime of silence).63 Perjuangan masyarakat korban sekarang ini adalah perjuangan melawan upaya pelupaan paksa yang tak kenal henti. Seperti dituliskan Milan Kundera, pemerintah otoriter selalu berhasil memaksakan apa yang harus diingat dan apa yang harus dilupakan.64 Sementara, kesadaran kita akan masa lampau yang ditemukan dalam ingatan, sangat penting dan menentukan guna menjalani masa kini. Bagaimana masa lampau direkam sangat mempengaruhi bagaimana masa kini diperlakukan dan bagaimana masa depan akan dihadapi. Setiap kelompok sosial yang berbeda akan mengingat dan melupakan masa lampau dengan cara berbeda.65 Jika kita menoleh ke negara lain, hal yang mencolok di bekas Yugoslavia adalah situasi di mana masa lampau terus-menerus menyiksa karena “masa lampau itu bukanlah sebuah masa yang sudah benar-benar lampau,” tulis Michael Ignatieff.66 Aturan hidup mengikuti urutan waktu kemarin, hari ini dan esok. Tetapi waktu sepertinya serentak. Masa lampau dan kini merangkai diri dalam gumpalan-gumpalan fantasi, mitos, distorsi dan kebohongan yang berkesinambungan. Ignatieff melanjutkan, banyak wartawan mengatakan, ketika mendengar kisah kekejaman, mereka sukar sekali memastikan apakah kisah tersebut berasal dari kejadian kemarin, ataukah tahun 1941, atau 1841, atau 1441. Bukanlah terlalu banyak mengingat atau terlalu sedikit melupakan yang ingin ditekankan di sini, tetapi menyingkap tabir yang menutup diam-diam masa lampau. Penyingkapan tabir merupakan pengungkapan kebenaran yang bertujuan merancang jalan menuju ke masa depan. Maka yang selanjutnya diperlukan setelah proses pengungkapan ini berlangsung bukan lagi ingatan, tetapi mengingat. Ini berarti bukan usaha mengembalikan seluruh gambar penderitaan yang akan terus dipertahankan, melainkan proses dinamis memilah serta menenun potongan-potongan masa lampau dan masa kini.67 Dengan perkataan lain, terjadi tranformasi ingatan personal ke momen-momen peringatan (akan peristiwa) yang bersifat publik. 63
Bertrand Russel, Speech to First Meeting of Members of the War Crimes Tribunal, London, 13 November 1966, dari Autobiography (London: Allen & Unwin, 1969), Vol. III.
64
Milan Kundera, The Book of Laughter and Forgetting, New York: Knopf, 1980.
65
Paul Connerton, op. cit., 1989.
66
Sebagaimana dikutip Marta Minow, op. cit., 1998.
67
Lihat Joseph Glennmuller, sebagaimana dikutip Marta Minow, op. cit., 1998.
36
Komisi Kebenaran: Penciptaan Bahasa Kebenaran
Kejahatan masa lampau tidak selalu berhasil ditempatkan sebagai bagian dari masa lampau, kecuali ada upaya melakukan demikian. Ketika proses peradilan yang panjang dan memakan biaya sangat besar tidak mungkin dilakukan, mendengarkan suara korban merupakan langkah minimal yang harus dilakukan guna tidak membiarkan amnesia politik terus berlanjut. Baru setelah itu langkah adil dan arif yang memungkinkan perdamaian dengan masa lampau dapat ditentukan, demi pemaknaan kembali nilai-nilai kehidupan bersama. Sebagian korban dan keluarganya mungkin sudah berhasil berdamai dengan diri pribadi dan seluruh penderitaannya sehingga tidak menghendaki tuntutan hukum. Namun, sesungguhnya mereka masih memerlukan penyingkapan di hadapan publik mengenai pengalaman penderitaannya demi diterimanya kembali diri dan anggota keluarganya oleh masyarakat. Menciptakan situasi yang sedikit banyak memaksa korban memberi maaf tanpa memberi kesempatan kepadanya didengarkan dan mendapatkan pengakuan bahwa mereka adalah korban tindak pelanggaran HAM, sama dengan menggandakan beban penderitaan. Penting sekali untuk menggarisbawahi catatan tersebut, bahwa pertimbangan ini tidak berhubungan
dengan “pembalasan” atas nama korban, atau proses pensucian
korban. Seakan-akan korban adalah orang atau kelompok yang tidak pernah bersalah dan karena itu memegang hak eksklusif sebagai pememberi maaf, menyatakan kebenaran dan menentukan perdamaian. Mendengarkan suara korban harus dilihat sebagai bagian dari perjuangan panjang masyarakat guna mengambil kembali bagian realitas yang selama ini dikuasai dan dinamai secara sepihak. Mendengar suara korban melalui proses penuturan publik adalah gerak bersama guna mengambil kembali bahasa yang selama ini direnggut dari masyarakat, untuk menyatakan pengalaman melalui perspektif masyarakat sendiri. Pengambilan realitas yang pernah direnggut ini harus sekaligus merupakan proses transendensi. Artinya, melampaui bahasa yang ada, dalam jangka waktu sangat lama dimaknai oleh kelompok dominan dan berkuasa. Ini berarti prosesnya harus diawali dengan menciptakan bahasa bersama yang berpegang kepada kejujuran dan ketulusan
37
sebuah dunia bersama. Tanpa pelampauan ini, bisa muncul proses berbahaya yang akan menghasilkan keadaan serupa. Hanya korban yang memiliki hak penuh untuk menuliskan sejarah. Sementara pihak lainnya kemudian merasa seluruh sejarahnya dikuburkan. Luka lama yang mengering pun diikuti dengan pembukaan luka baru. Dalam pengertian pelampauan ini penuturan dan penerimaan bersama atas kebenaran akan memulihkan tatanan sosial-budaya yang koyak oleh pengalaman kekerasan berkepanjangan. Proses penuturan kisah traumatis korban beralih sebagai sebuah kesaksian. Kesaksian mengandung sekaligus dimensi pribadi yang bersifat confessional dan spiritual, serta aspek publik yang politis dan judicial.68 Penuturan dan kesaksian berdasarkan pengalaman pribadi dapat menemukan dimensi baru yang lebih luas. Sehingga kisah-kisah traumatis bertransformasi menjadi “cerita baru” yang bukan lagi mengenai penghinaan dan rasa malu, melainkan mengenai penegakan kembali martabat kemanusiaan dan kehormatan.69 Melalui penuturan kepada dan pengakuan publik atas kesengsaraan yang mereka alami, korban memperoleh kembali dunia yang selama ini hilang. Melampaui hubungan pelaku-korban, masyarakat berhak atas pengetahuan tentang peristiwa yang sudah menimpa negerinya. Sejarah adalah kisah progesif pendukung kekuasaan, maka sejarah akan memproduksi subjek untuk tetap hidup dalam kekinian yang seluruh wacananya dipegang oleh kekuasaan. Pengakuan publik akan berperan penting dalam mengungkapkan struktur ketidakadilan kekuasaan dan politik kekerasan yang selama ini terjadi. Suara korban dan keluarganya sendiri sangat bervariasi. Sebagian mungkin hanya mempunyai tuntunan individual sederhana seperti pembuatan nisan di kuburan anaknya yang meninggal akibat siksaan, sebagian menghendaki pemulihan nama baik, sebagian menghendaki reparasi simbolis atas kejadian yang menimpanya, sebagian menuntut jalan hukum untuk pelaku, tidak jarang satu suara berkontradiksi dengan suara lainnya. Sebuah kelompok mungkin memerlukan pengungkapan kebenaran dan penegakan keadilan melalui proses hukum, kelompok lain mungkin lebih membutuhkan tindakan saling 68
I. Agger dan S.B. Jensen, “Testimony as Ritual and Evidence in Psychotheraphy for Political Refugees”, dalam Journal of Traumatic Stress No. 3, 1990.
69
Richard Mollica, “The Trauma Story Care of Refugee of Survivors of Violence and Torture” dalam Post-Traumatic Therapy and Victims of Violence (penyunting F. Ochberg), New York: Brunner, 1988.
38
memaafkan daripada penyelidikan atas kasus demi kasus yang mengungkap kebenaran, karena mungkin justru akan menguak luka dan melahirkan perasaan dendam tak berkesudahan. Pada titik ini sangat penting untuk memilah kebutuhan berbeda korban dari periode yang berbeda pula. Pada akhirnya suara korban yang berbeda satu sama lain menjadi bagian dari keseluruhan tantangan guna memulai proses rekonsiliasi, dalam sebuah masyarakat yang ingatannya masih dipenuhi dengan beragam peristiwa kekerasan.
Langkah-Langkah Mendasar
Berangkat dari paparan di atas, setidaknya ada tiga langkah penting dalam upaya berdamai dengan masa lampau. Pertama memulihkan hak-hak korban dan keluarganya melalui proses reparasi. Reparasi adalah semua upaya atau tindakan yang mencakup pengakuan, rehabilitasi, restitusi dan kompensasi,70 baik yang bersifat konkret seperti akses pelayanan kesehatan bagi korban yang masih memerlukan rehabilitasi fisik atau fasilitas pendidikan bagi anak-anak korban, serta pelayanan sosial lainnya, maupun yang bersifat simbolis seperti penamaan jalan, hari-hari peringatan dan lain-lain. Reparasi memang tidak mungkin menidakjadikan atau meniadakan begitu saja peristiwa kejahatan yang sudah menimpa korban dan keluarganya atau membawa kembali apa yang sudah hilang. Reparasi berperan memulihkan korban dan keluarganya, serta memulihkan hubungan sosial masyarakat. Proses reparasi menuntut kepekaan agar tidak menimbulkan kesan seakan-akan penderitaan non-material dapat dibayar dengan sesuatu yang material. Menjadi penting untuk mendahului proses reparasi dengan proses membangun dukungan korban dan keluarganya serta sosialisasi pemahaman mengenai pelanggaran hak serta arti dan dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari. Kedua, pertanggungjawaban hukun atas kejahatan yang dilakukan oleh pelaku dengan membuka kemungkinan pemberian amnesti, tetapi diikuti dengan pertimbangan yang sangat cermat dan persyaratan ketat yang tidak mengabaikan keadilan. Di sini menjadi sangat penting bagi proses penentuan secara terbuka, kategori pelaku dan 70
Lihat RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Bab I, Pasal 1, butir 5, disusun oleh ELSAM.
39
penanggung jawab yang bisa memperoleh pertimbangan amnesti dan yang tidak mungkin mendapatkanya. Mereka yang tidak masuk dalam kategori ini harus melalui jalan hukum. Ketiga, reformasi kebijakan dan lembaga peradilan untuk memungkinkan penegakan tertib hukum. Komisi Kebenaran dapat dilihat sebagai salah satu bentuk upaya penyelesaian pelanggaran hak asasi. Ia bisa memberi banyak kemungkinan pengurangan ketidakpastian proses penyelesaian lewat jalur hukum karena terlalu banyaknya kasus yang harus ditangani. Komisi Kebenaran juga dapat melaksanakan apa yang tidak mungkin dijalankan pengadilan menyangkut kebutuhan korban dan keluarganya. Penting dicatat bahwa sasaran akhir dari komisi kebenaran bukanlah semata mengungkapkan dan menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM. Karena penyelesaian itu sendiri bukan tujuan akhir, tetapi salah satu sarana yang memungkinkan transformasi masyarakat menuju masyarakat sipil yang demokratis dan memberikan penghormatan yang tinggi terhadap martabat manusia. Jika diperlukan pengungkapan berbagai bentuk kejahatan politik masa lampau, pengakuan terhadap kesalahan, penuntutan hukum, pemaafan ataupun pengampunan, reparasi individual ataupun simbolis, maka ini semua adalah bagian dari upaya guna pengembangan makna baru dalam hubungan bermasyarakat, yang akan menemukan aktualitasnya dalam berbagai situasi yang berbeda di masa depan. Langkah praktis mengungkapkan kebenaran melalui Komisi Kebenaran harus dimulai dengan dua hal. Pertama, mendefinisikan “masa lampau”, yaitu kurun waktu terjadinya pelanggaran dan kejahatan hak asasi yang meluas dari pemerintah terdahulu. Ini berarti menjawab pertanyaan, sejauh mana kita mundur dalam mengungkap kebenaran? Kedua, menentukan jenis pelanggaran dan kejahatan hak asasi yang akan diproses melalui Komisi Kebenaran. Sebagaimana sudah beberapa kali disebutkan, skala kejahatan yang amat luas tidak memungkinkan semua jenis pelanggaran hak asasi itu diproses, sehingga fokus ditujukan kepada pelanggaran HAM berat.
Berjalan ke Depan: Maaf dan Janji, di antara Nilai-Nilai Dasar Hukum
40
Tidak ada jalan pendek dan mudah untuk menyelesaikan kejahatan masa lampau. Tetapi harapan untuk itu tidak pernah pupus, sekalipun masyarakat yang tampaknya sedang terkunci dalam kebekuan situasi akibat masa lampaunya. Dalam bagian pengantar untuk buku Hannah Arendt, Human Condition,71 Margaret Canovan menuliskan sebuah kenyataan yang saya pinjam guna mengambarkan situasi kita selama ini, yakni semakin lebarnya jurang antara kekuasaan dan tanggung jawab. Itulah sebabnya merefleksikan tindakan yang sudah pernah kita lakukan merupakan hal yang tidak bisa ditunda lagi. Dalam buku itu, Arendt membesarkan hati ketika mengingatkan bahwa keyakinan dan harapan dalam urusan-urusan manusia senantiasa muncul dari kenyataan bahwa manusia-manusia baru lahir ke dunia. Setiap manusia unik dan setiap orang mampu menghadirkan inisiatif yang dapat menghentikan rantai kejadian yang berasal dari tindakan sebelumnya, tetapi sekaligus penuh dengan ketidakpastian. Manusia tidak selalu mampu mengontrol efek tindakannya, yang sering kali amat mengerikan, manusia pun tidak mungkin melenyapkan lagi perbuatan yang sudah ia lakukan. Sekalipun demikian, menurut Arendt ada tiga hal yang dapat menjadi penyembuh dari berbagai situasi yang muncul sebagai akibat ketidakteramalkannya tindakan manusia. Yang pertama adalah kemungkinan atau daya guna melakukan tindakan baru yang menginterupsi tindakan sebelumnya. Hanya saja, kemungkinan ini tidak dapat memulihkan kerusakan yang sudah ditimbulkan oleh perbuatan masa lampau, tidak juga menjamin masa depan yang lebih pasti. Di sinilah kapasitas tindakan manusia, yaitu daya untuk memaafkan, yang dapat mengobati luka masa lampau. Kapasitas memaafkan yang tidak dilepaskan dari kapasitas berikutnya, yaitu kemampuan manusia untuk membuat dan memegang teguh janji, akan membatasi ketidakpastian tindakan manusia. Maaf dan janji saling menenun, sebuah jalinan tindakan dan tuturan.72 Keduanya bergantung kehadiran dan tindakan orang lain, karena tidak seorang pun dapat memaafkan dirinya sendiri atas perbuatannya terhadap orang lain dan tak seorang pun akan merasa cukup terikat ke janjinya sendiri. Maaf dapat mengobati, karena maaf bukan sekadar re-act (atas tindakan). Maaf adalah sebuah tindakan baru yang sekalipun 71
Lihat acuan dalam catatan kaki No. 14, khususnya bab V, sub-bab 33.
72
Ibid.
41
mengacu kepada tindakan sebelumnya tetapi tidak lagi terikat kepadanya. Dengan begitu, maaf membebaskan baik korban yang memberi maaf maupun pelaku yang meminta dan menerima maaf dari konsekuensi pembalasan pribadi atau kolektif atas perbuatan sebelumnya. Inilah juga makna hukum, yaitu mengalihkan kemarahan pribadi ke suatu sistem impersonal. Sebagai sebuah tindakan baru, maaf menampakkan dimensi yang sesungguhnya, yaitu penghormatan terhadap manusia. Semata-mata demi hormat terhadap manusia lainnya, seseorang akan memaafkan orang yang bertindak jahat terhadapnya, demi kebaikan orang itu. Implikasi moralnya adalah “Saya tetap tidak mengingkari kemanusiaan sekalipun saya mengalami pengingkaran nilai-nilai diri saya sebagai manusia. Maka saya memaafkan.” Justru karena dimensi ini jugalah orang tidak mungkin mendapatkan maaf dari dirinya sendiri. Sebagai sebuah tindakan baru, maaf juga membuka kemungkinan hubungan baru. Seiring dengan itu, janji di wilayah publik mengandung daya memberi kepastian kepada hubungan itu. Janji seseorang secara pribadi bisa jadi tidak dapat diandalkan, tetapi ketika banyak orang setuju untuk berjanji bersama demi masa depan, maka kesepakatan yang tercipta itu akan tampak bagaikan pulau-pulau kepastian yang muncul di tengah lautan ketidakpastian. Keduanya lahir dari keinginan terdalam manusia untuk hidup bersama dengan manusia lainnya demi menghadirkan kenyataan hidup yang paling menakjubkan, yaitu bahwa manusia-manusia baru akan lahir. Masa depan adalah manusia-manusia baru ini. Bagaimanapun juga, tetap harus dicatat dengan tinta tebal bahwa, sebagaimana sudah dituliskan di atas, maaf tidak berhubungan dengan sistem hukum. Semua harapan baru ini hanya menjadi mungkin ketika hukum sudah berhasil kembali ke nilai-nilai dasarnya, yaitu kesamaan yang menjamin bahwa segenap anggota masyarakat diperlakukan sama berdasarkan kriteria yang berlaku untuk semua, dan kebebasan yang berarti hukum menjamin ditanganinya kekerasan dari pihak yang tidak berhak. Selain itu, ada solidaritas, yang berarti negara menjadi wadah tempat masyarakat hidup bersama dengan
perasaan
sepenanggungan,
adil dan
dalam
penghormatan
kesediaan
mempertanggungjawabkan tindakannya.(*)
saling
atas
sesama,
bertanggung
perasaaan
senasib
jawab
serta
3 Berjuang Mengungkap Kebenaran dan “Mengadili” Masa Lampau: Pengalaman Rakyat Negeri Tertindas
Agung Putri
Pengantar: Transisi Politik
Seperti sedang kita saksikan, ternyata lengsernya Soeharto tidak serta merta memberi harapan baru bagi pembentukan masyarakat yang demokratis, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, serta lenyapnya monopoli kekayaan di tangan segelintir orang. Seketika itu pula berbagai masalah menghadang; masalah itu bisa dikatakan baru – belum pernah terjadi dan simptomnya pun belum pernah tampak – bisa juga dikatakan laten – selama ini bagai bara dalam sekam yang kemudian mengepul-ngepul ketika angin reformasi meniupnya. Sebut saja beberapa di antaranya: konflik antaragama, tuntutan otonomi dan kemerdekaan berbagai daerah di luar Jawa, pertikaian antarpolitisi, belum lagi naiknya harga barang, meningkatnya kriminalitas atau kejahatan sosial hingga bangkrutnya perusahaan-perusahaan yang berimplikasi pada pemecatan massal buruh pabrik dan bank. Masalah
tersebut
muncul
sebagai
konsekuensi
logis
redamnya
konflik
sosial-ekonomi-politik puluhan tahun yang menjadi pemicu keruntuhan rezim Soeharto. Merujuk istilah ilmuwan politik, dewasa ini Indonesia tengah memasuki tahapan transisi dari kepemimpinan otoriter menuju pemerintahan yang lebih demokratis. Namun demikian, apakah demokrasi merupakan bentuk akhir dari transisi sekarang? Ataukah justru sebaliknya? Tak seorang pun ilmuwan politik mampu menemukan jawaban pasti, karena hal itu berbarengan dengan hilangnya orientasi gerakan reformasi yang justru kontra-produktif dengan bangunan proses demokrasi. Namun demikian, jika kita bandingkan dengan pengalaman negara-negara lain, pengalaman Indonesia bukanlah sesuatu yang luar biasa. Pada akhir dekade 1980-an penggulingan pemerintahan yang melahirkan transisi politik telah melanda belahan Eropa
1
Timur seiring dengan jatuhnya pemerintahan Uni Soviet. Malah beberapa negara di Amerika Latin sudah lebih dahulu mengalaminya sekitar paruh kedua tahun 80-an. Demikian pula di Asia, khususnya Filipina, China, Vietnam dan Kamboja. Tampaknya transisi itu sendiri tetap saja berlangsung hingga saat ini, 10 tahun sudah lamanya. Tergulingnya pemerintahan melalui pengambilalihan kekuasaan oleh suatu organisasi politik secara cepat berlangsung di Uganda (1979), Kamboja (1979), Ethiopia (1992) dan Zaire – kemudian berubah menjadi Congo (1997). Ada pula gerakan sosial yang bersifat massif menuntut turunnya sang presiden melalui kemenangan pemilu, seperti yang terjadi di Portugal (1975), Brazil (1985), Chili (1990), Argentina (1983) maupun berbagai negara di kawasan Eropa Timur, termasuk negara-negara di Afrika, Hungaria, Tanzania dan Afrika Selatan (1994). Bahkan di beberapa negara, tak terjadi proses penggulingan kekuasaan; pemerintah terdahulu dipaksa bernegosiasi dengan pemberontak, misalnya terjadi di Uganda, El Salvador, Kamboja, Mozambik, Rusia dan negara-negara bekas negara bagian Uni Soviet lainnya. Kecenderungan terakhir menunjukkan, pemerintahan baru hasil penggulingan rezim diktator dengan sengaja menempuh jalur negosiasi untuk mencapai kompromi dengan bekas pemerintahan terdahulu. Langkah ini terpaksa ditempuh guna mendapatkan birokrat berpengalaman yang mampu mengelola pemerintahan. Umumnya, kekuatan demokratis memiliki keahlian dalam mengorganisir massa, tetapi tidak berpengalaman mengelola pemerintahan. Selama
berlangsungnya
proses
transisi,
rakyat
senantiasa
menuntut
pertanggungjawaban pemerintah otoriter atas korupsi, berbagai tindakan represif dan skandal politik lainnya. Salah satu yang kontroversial adalah kenyataan di mana pemerintahan terdahulu yang telah terguling itu terlibat dalam pelanggaran Berat HAM atau lebih jauh tindak kejahatan kemanusiaan. 1
1
Perbuatan ini merupakan watak
Kejahatan terhadap kemanusiaan menurut Statuta Roma tentang Pengadilan Kriminal Internasional, 1998, pasal 7, adalah semua tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari sebuah serangan yang meluas atau sistematis, yang diarahkan pada penduduk sipil, yaitu: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pemaksaan pemindahan penduduk; e. pemenjaraan atau bentuk penghilangan kebebasan fisik lainnya yang melanggar prinsip fundamental hukum internasional; f. penyiksaan; g. perkosaan, perbudakan seks, pelacuran paksa, paksaan hamil, sterilisasi paksa dan bentuk kekerasan seksual lainnya; h. penganiayaan atas kelompok atau kolektif yang dapat diidentifikasi berdasarkan politik, rasial, nasional, etnis, kultural, agama, gender atau dasar lain yang diakui secara universal tidak boleh dilakukan di bawah hukum internasional; i. penghilangan paksa; j. kejahatan apartheid; k. bentuk tindakan tidak manusiawi lainnya yang secara sengaja bermaksud membuat peneritaan luar biasa, luka serius pada
2
pemerintahan otoriter, tetapi tindakan itu pula yang paling disangkal oleh mantan pejabat pemerintahan terdahulu itu. Kendati demikian, tuntutan rakyat tidak bisa dihindari oleh pemerintahan baru. Kepercayaan rakyat akan lebih terbangun bila mereka melihat adanya itikad pemerintah baru untuk menegakkan hukum, menghapuskan pengistimewaan terhadap segelintir orang, dan mengakui bahwa pelanggaran HAM masa lampau tidak bisa ditolerir, tidak boleh dibiarkan tanpa penanganan baik terhadap pelaku maupun terhadap korban, dan tidak boleh terulang lagi. Prasyarat utama bagi penegakan demokrasi adalah penyelesaian tindak pelanggaran HAM serta kejahatan kemanusiaan masa lampau. Pada dasarnya proses demokratisasi di segala bidang dapat lebih cepat terjadi bila kekuatan demokratis dapat langsung mengambil alih kekuasaan otoriter dan menjadi kekuatan dominan. Sayangnya, itu tidak selalu dapat dilakukan. Cepat atau bertahapnya proses perubahan politik bukanlah pilihan individual, namun sangat tergantung pada kondisi politik masing-masing negeri. Penggulingan pemerintahan otoriter secara bertahap misalnya, berarti ada proses kompromi dengan kekuatan lama yang dapat berimplikasi pada proses transisi lebih lama. Ada kemungkinan, pejabat rezim politik terdahulu yang masih berada di pemerintahan masih ingin merebut kekuasaannya kembali. Di Chili misalnya, sekalipun rezim politik Pinochet terguling, namun ia masih memegang jabatan sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata. Tampakya perubahan politik di Indonesia juga berlangsung secara bertahap. Pasca-lengsernya Soeharto, kita tidak hanya menghadapi dominasi militer dalam politik, tapi juga partai pendukung Soeharto masih menjadi salah satu partai terkuat hingga saat ini. Ini semua membuat pertanggungjawaban pemerintah transisi atas tindak pelanggaran masa lampau menjadi tidak mudah. Tidak ada “juklak” yang pasti mengenai cara pemerintahan terdahulu mempertanggungjawabkan perbuatannya di masa lampau, karena pengalaman setiap negara dalam menjalani proses transisi berbeda-beda. Salah satu yang menentukan adalah seberapa jauh elemen pemerintahan otoriter terdahulu masih menguasai politik dalam negeri. Unsur lainnya adalah seberapa dalam masalah sosial, ekonomi dan politik yang diwariskan oleh pemerintahan terdahulu ke pemerintahan baru. badan, mental dan kesehatan psikis. Semua tindakan ini merupakan kejahatan yang melanggar hukum kriminal internasional dan lebih dari pelanggaran HAM.
3
Transisi politik di Indonesia sudah berlangsung lama, sejak tahun 1998 lalu. Dari rentang waktu ini kita melihat sulitnya meminta pertanggungjawaban pemerintahan terdahulu atas perbuatannya di masa lampau baik itu masalah korupsi, kolusi dan nepotisme maupun kejahatan kemanusiaan yang berlangsung selama 32 tahun. Pengalaman berbagai negara yang bergulat dengan masalah ini cukup baik untuk menjadi salah satu bahan masukan. Tentu tak ada yang merupakan tipe ideal. Yang penting diperhatikan adalah ketekunan dan keuletan masyarakatnya dalam mencari alternatif apa pun untuk menghadapi tantangan politik serta kecermatan dalam menentukan langkah penyelesaiannya. Setiap negara memiliki ciri khasnya sendiri. Pada akhirnya, Indonesia juga harus menemukan caranya sendiri guna penyelesaian tindak pelanggaran HAM masa lampau.
“Mengadili” Masa Lampau dan Kompleksitas yang Melingkupinya
Penyelesaian tindak pelanggaran HAM masa lampau senantiasa menjadi salah satu titik ketegangan
baik
antara
pemerintah
dengan
rakyat,
pemerintah
dengan
kelompok-kelompok oposisi, kekuatan internasional, penanam modal, dan lainnya. Melupakan masa lampau serta berkonsentrasai pada masa kini dan mendatang merupakan cara penyelesaian yang paling sederhana untuk ditempuh. Namun, cara itu tidak akan memuaskan rakyat. Di Indonesia, ide semacam itu sudah muncul dari satu dua orang jenderal dan pimpinan politik. Hal ini memunculkan kekhawatiran tidak diselesaikannya tindak pelanggaran HAM masa lampau. Ide ini jelas menunjukan tetap dipertahankannya impunity (~ “kebal hukum”) yang merupakan penyakit utama rezim politik terdahulu. Sebaliknya, rakyat mengharapkan semua pelaku tindak pelanggaran HAM dan kejahatan politik yang menimpanya segera dibawa ke pengadilan dan pelakunya dihukum. Dalam beberapa peristiwa politik, rakyat secara langsung dapat menjadi hakim politik dalam “pengadilan rakyat”. Peristiwa revolusi Prancis menunjukkan, anggota keluarga kerajaan Louis XIV dan banyak pejabatnya tewas dipenggal alat Guillotine. Menjelang akhir abad 20, pengadilan rakyat terjadi lagi atas keluarga Presiden Nicolae Ceausecu di Rumania.
4
Selain pengadilan rakyat, terjadi pula apa yang disebut dengan pengadilan “para pemenang”. Pengadilan terhadap pelaku kejahatan dilakukan oleh penguasa yang legitimate atas nama rakyat atau kemanusiaan. Sebut saja sebagai misal, Barisan Revolusioner Fidel Castro dan Ernesto “Che” Guevara yang mengadili pejabat pemerintahan Fulgencio Batista di Havana, Kuba, tahun 1960-an. Contoh pengadilan “pemenang” yang terkenal adalah pengadilan internasional terhadap pimpinan Nasional-Sosialis Jerman (NAZI) dan pimpinan militer Jepang. Proses pengadilan tersebut berlangsung di Nuremberg dan Tokyo. 2 Pengadilan ini mengadili perbuatan tindak kejahatan kemanusiaan, genosida, dan kejahatan perang yang paling besar dan paling lama. Hasil dari proses peradilan telah mempengaruhi pembentukan hukum kriminal internasional, instrumen HAM, dan pembentukan pengadilan kriminal internasional tahun 1998. Sekalipun pengadilan Nuremberg dan Tokyo dapat dikatakan sebagai pengadilan penyelesaian secara tuntas pertanggungjawaban tindak kejahatan kemanusiaan, tetapi pengadilan tersebut tidak serta merta memenuhi rasa keadilan korban. Peradilan terhadap pemerintahan Vichy di Prancis malah menjadikan rakyat Prancis bosan. Proses di meja pengadilan memakan waktu puluhan tahun, sementara masyarakat Prancis sudah berkembang memasuki kehidupan ekonomi yang lebih baik. Kesan yang muncul kemudian sekadar hanya mengungkit-ungkit peristiwa lampau. Bahkan pengadilan tersebut ternyata tidak menyentuh korban. Padahal mereka adalah korban Perang Dunia II; perang yang telah meninggalkan masalah berupa ratusan juta manusia tercerabut dari kampungnya tanpa bisa kembali.3 Pergeseran demografi massal terjadi, belum lagi jutaan korban tewas, korban luka atau menderita trauma. Dari identitas mereka, terdapat 90% warga sipil biasa yang tidak ikut berperang menjadi korban. Tidak terdapat strategi global mengatasi dampak perang dunia pada masyarakat di Eropa maupun di Asia. Target pengadilan ini adalah penghukuman4 lebih demi kepentingan si pemenang. 2
Pengadilan Tokyo berbeda dengan pengadilan Nuremberg. Pengadilan ini hanya mengadili pimpinan Jepang atas tuduhan pelanggaran terhadap personil Sekutu dan perdamaian internasional. Tetapi baik sekutu maupun pemerintah Jepang tidak pernah sekalipun menjatuhkan hukuman bagi tindak pelanggaran berat HAM tentara Jepang terhadap rakyat bangsa Asia lainnya.
3
Eric Hobsbawm, The Age of Extreme, Short Story of Twentieth Century, London: Penguin, 1998.
4
Pada tanggal 30 Oktober 1945, panglima tertinggi pasukan sekutu memerintahkan pengawasan terhadap semua guru dan petugas administrasi yang mendukung ultra-nasionalisme dan militerisme. Komite lokal
5
Pengadilan rakyat maupun pengadilan pemenang merupakan harapan terselubung dalam tiap gerakan demokrasi di mana pun. Slogan-slogan seperti “gantung!”, “seret!” yang terpampang di spanduk-spanduk demonstrasi jalanan merupakan sebuah cerminan. Sayangnya harapan sederhana dan murni ini dengan mudah dimanipulasi elite politik. Terlebih lagi bila proses nyata transisi tidak dihitung secara cermat, seperti yang terjadi di Rumania. Pengadilan rakyat yang sejati mensyaratkan kekuatan rakyat benar-benar memimpin perubahan politik. Sementara itu, pengadilan internasional membutuhkan campur tangan kekuatan internasional luar biasa besar. Karakteristik pengadilan juga membuat model ini perlu diperlakukan hati-hati. Sekalipun telah dianggap bahwa sistem hukum sudah baik dan demokratis, namun ada kondisi yang tidak dapat dipungkiri: pengadilan selalu dilaksanakan oleh lembaga pemerintah, seluruh prosesnya berlangsung di gedung peradilan serta dengan pejabat peradilan yang ditunjuk. Rakyat hanya diposisikan sebagai penonton dari luar. Belum lagi jika ternyata sistem hukum sudah lama tidak berfungsi, bobrok dan korup serta aparat penegak hukum menjadi bagian dari lingkaran rezim politik terdahulu. Selain ciri transisi politik dan sistem hukumnya yang sedikit digagas di atas, ternyata ciri pelanggaran masa lampau itu sendiri juga merupakan persoalan. Pelanggaran masa lampau yang hendak diadili begitu rumit. Pemberlakuan sebuah hukum nyata-nyata tidak mampu mencakup bentuk kejahatan yang dilakukan secara kolektif, sistematis, terorganisir dan disponsori negara. Ia hanya melayani kejahatan individu warga sipil terhadap individu lainnya. Sementara, kejahatan yang tumbuh dalam kebijakan negara dan lembaga pelaksananya, yang kemudian melahirkan mekanisme kekerasan dan akhirnya melebur dalam kehidupan masyarakat, belum terakomodasi dalam bentuk hukum yang berlaku. Padahal mekanisme kekerasan adalah sistem pemerintahan itu sendiri. Sehingga jika kita mencari pelaku kekerasan, seluruh masyarakat itulah pelaku atau pelaksana sistem otoriter tersebut. Persis demikian halnya jika kita hendak menuntut pertanggungjawaban memeriksa 1.300.000 pendidik dan memecat 7000 orang. Awal Januari 1946, keluar petunjuk untuk “pemecatan aparat yang tidak dikehendaki dari dinas-dinas publik”. Sedangkan komisi militer sekutu mengadili 5.500 orang Jepang untuk kejahatan perang. Sebanyak 900 orang dieksekusi dan 3500 dijatuhi hukuman penjara. 28 pimpinan Jepang diajukan ke pengadilan khusus militer internasional di Tokyo. Tujuh orang dijatuhi hukuman mati dan 16 dihukum penjara seumur hidup. Lihat Daan Bronkhorst, Truth and Reconciliation, Amnesty Internasional, 1995, hlm. 47-48.
6
partai Golkar atas banyaknya pembunuhan selama 32 tahun. Mungkinkah kita menyeret seluruh pegawai negeri di Indonesia (karena mereka adalah anggota Golkar) ke depan meja hijau karena mereka membiarkan pembunuhan terjadi dan melanggengkan sistem otoriter? Kekerasan yang melebur dalam sistem pemerintahan telah melahirkan ribuan kasus dan berlangsung selama puluhan tahun. Terlebih lagi berbagai kasus tersebut tak pernah diselesaikan, sehingga dampaknya semakin meluas dari wilayah korban, keluarga korban hingga masyarakat luas. Munir (koordinator KONTRAS) pernah menyatakan di hadapan publik bahwa terdapat 14.000 kasus orang hilang. 5 Bagaimana menyelesaikan kasus sebanyak itu dalam waktu singkat, mulai dari menuntut pertanggungjawaban pelaku hingga pemulihan korban? Belum lagi menyebut jenis kekerasan lain, pembunuhan massal, perkosaan, perusakan harta benda dan lain sebagainya. Berapa lama pengadilan akan berlangsung hingga semua pihak terpuaskan? Sementara itu, ada kekerasan tertentu yang bersumber pada sistem nilai yang dengan sengaja dilembagakan pemerintah, seperti apartheid di Afrika Selatan. Kecurigaan rasial telah membuat ras kulit putih dengan sengaja menindas ras kulit hitam dan sebaliknya ras kulit hitam dengan sengaja melakukan kekerasan terhadap ras kulit putih sebagai perlawanan terhadap sistem tersebut. Dari gambaran ini agaknya pengadilan tidak mungkin menjadi pemain tunggal dalam penyelesaian pelanggaran masa lampau. Pengadilan juga bukan tujuan akhir keadilan dan kebenaran. Kompleksitas ini membawa kita ke sebuah tantangan untuk menyelesaikan.
Komisi Kebenaran
Di beberapa negara saat ini berkembang satu cara menyelesaikan pelanggaran masa lampau dengan membentuk sebuah komisi khusus. Komisi tersebut bekerja di luar pengadilan, parlemen maupun eksekutif. Pertama, hal yang dilakukan oleh komisi tersebut adalah menyelidiki ulang fakta-fakta pelanggaran HAM. Berdasarkan laporan penyelidikan tersebut dibuat sejumlah tindakan. Komisi ini serupa dengan KPP HAM (Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia), TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) atau TPF (Tim Pencari Fakta) yang dibentuk oleh Komnas HAM, DPR, dan 5
Kompas, Kamis, 27 April 2000.
7
pemerintah semasa Habibie. Kedua, komisi ini memiliki wewenang lebih besar, karena cakupan penyelidikannya berdasarkan periode waktu bukan pada kasus atau peristiwa tertentu. Tampaknya komisi khusus semakin dilihat sebagai alternatif penting dari langkah penyelesaian masa lampau. Dari tahun ke tahun semakin banyak negara yang coba membentuk komisi kebenaran, karena cara kerjanya mempertimbangkan prinsip HAM. Pertanggungjawaban mantan pejabat dilakukan bukan karena tekanan politik tetapi berdasarkan hasil pengungkapan fakta. Orientasi komisi lebih diarahkan pada kepentingan korban, bukan semata menghukum pelaku. Metode pengungkapan faktanya dilakukan dengan jalan membuka kesempatan bagi saksi dan korban untuk menceritakan pengalamannya. Komisi ini dianggap ikut membantu proses pemulihan korban, karena lebih melibatkan publik daripada pengadilan yang kepentingannya hanya diwakili jaksa penuntut. Selain itu komisi juga dapat masuk ke wilayah kebijakan: ia dapat mengajukan rekomendasi perubahan sistem hukum, pengadilan, militer dan sebagainya. Dengan demikian, komisi menjadi tempat mendorong demokratisasi lebih maju tanpa pertumpahan darah atau pemberontakan. Berbagai komisi kebenaran berkembang di berbagai negara sejak dekade 1970-an. Setidaknya sudah lebih dari 25 negara dari berbagai benua yang mendirikan komisi kebenaran. Mulanya, komisi hanya menjadi perhatian terbatas masyarakat negara tersebut, seperti di Uganda yang tidak diketahui publik. Sehingga, ketika 6 tahun kemudian pemerintah Uganda membuat komisi serupa, banyak orang menganggapnya sebagai komisi pertama. Komisi kebenaran mulai mendapat perhatian luas ketika berdiri setelah pergantian rezim politik. Komisi kebenaran Argentina merupakan komisi yang mengundang perhatian luas. Peristiwa penggulingan kekuasaan di negara itu sendiri sudah menjadi peristiwa internasional,
sehingga
memaksa
pemerintahan
baru
untuk
belajar
mengatasi
pengalamannya dari negara lain. Dalam hal membentuk komisi kebenaran, Argentina belajar dari Bolivia. Pengalaman negara-negara tertentu mampu mendorong banyak negara lain membentuk komisi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lampau. Chili belajar dari Argentina. Guatemala belajar dari Chili, Argentina dan El Salvador. Paraguay dan
8
Uruguay belajar dari Argentina, Chili dan Guatemala. Demikian pula di benua Afrika. Afrika Selatan, yang terkenal dengan TRC-nya (Truth and Reconciliation Commssion), belajar dari Uganda, Malawi dan pengalaman dari negara-negara di Amerika Latin. Tidak hanya di belahan Amerika dan Afrika, usaha penyelesaian dengan mengungkap fakta juga berlangsung di Eropa Timur setelah rezim satu partai ambruk. Sedangkan di Asia, komisi serupa juga pernah dibentuk di Filipina, Sri Lanka dan India. Di samping itu, ahli-ahli HAM di masing-masing negara saling memberi konsultasi pada negara lainnya. José Zalaquett (Chili) membantu komisi di Afrika Selatan. Sebelumnya ia berkesempatan menjadi observador di Argentina. Ia kemudian juga terlibat dalam penyelesaian di Eropa Timur. Beberapa anggota komisi di tingkat nasional itu kemudian membuat tulisan refleksi atau kritik yang dibaca luas di kalangan intelektual seperti Jaime Malamud Goti – seorang anggota komisi di Argentina, Fateh Azzam (Palestina), André du Toit dari komisi di Afrika selatan. Kaum akademikus luar negeri juga semakin terlibat dalam memberikan masukan bagi komisi di negara tertentu seperti yang dialami oleh Margaret Popkin. Sementara itu, universitas-universitas terkemuka di dunia mulai membuka kajian tentang perdamaian dan rekonsiliasi, mengadakan seminar-seminar internasional dengan tema yang sama. Tidak kurang upaya ini didorong oleh semakin terlibatnya badan internasional seperti PBB dalam kerja komisi di negara tertentu. Secara umum terdapat kesan bahwa kerja komisi di berbagai negara memiliki kesamaan, yaitu mengungkap fakta. Hanya terdapat perbedaan dalam metode mengungkap fakta dan tindak lanjut setelah fakta terungkap. Nama yang digunakan oleh tiap negara juga berbeda-beda. Jika dalam tulisan ini digunakan istilah “Komisi Kebenaran” maka itu hanya untuk kemudahan penyebutan saja. Di antara berbagai bentuk komisi yang didirikan, ada yang berhasil merampungkan tugasnya ada yang tidak. Ada komisi yang membawa akibat jauh lebih baik dari yang ditargetkan, ada yang tidak. Menariknya, tidak semua komisi berdiri setelah suatu pemerintahan terguling. Seperti yang terjadi di Uganda tahun 1974, komisi penyelidik justru dibentuk oleh Presiden Idi Amin Dada sendiri untuk menyelidiki pembunuhan yang terjadi semasa pemerintahannya.
9
Konteks Politik Terbentuknya Komisi-Komisi Kebenaran
Munculnya komisi kebenaran tidak lepas dari fenomena hilangnya ketegangan politik selama perang dingin dan runtuhnya rezim hasil kudeta militer di berbagai negara serta perkembangan internasional lainnya. Perang dingin dengan luar biasa telah mempengaruhi watak politik banyak pemerintahan di dunia, terutama negara berkembang yang memiliki ketergantungan dengan negara kubu liberal Amerika Serikat atau kubu sosialis Uni Soviet atau Cina. Sebagai kelanjutan perang dingin tahun 1950-1960-an, politik luar negeri pemerintah Amerika Serikat berusaha mencegah meluasnya pengaruh Uni Soviet atau Cina di negara-negara miskin kawasan Asia, Amerika Latin dan Afrika. Untuk itu dengan giat Amerika Serikat mendukung sekutu militernya atau membantu penggulingan pemerintahan demokratis. Di Guatemala (tahun 1954) dinas intelejen Amerika Serikat membantu merancang penggulingan presiden terpilih Jacobo Arbenz. Sejak itu, Guatemala hanyalah fenomena dari kudeta militer ke kudeta berikutnya. Di Kongo, Amerika Serikat dengan beberapa negara Eropa Barat (Belgia, Prancis dan Inggris) mendukung upaya kudeta Jenderal Mobutu, kelompok Tshombe dan gerakan separatis propinsi Katanga terhadap pemerintahan negara baru Kongo, pimpinan Patrice Lumumba yang didukung oleh Uni Soviet. Konflik politik berakhir dengan pembunuhan Patrice Lumumba dan naiknya Jenderal Joseph Mobutu. Tahun 1966, Amerika Serikat membantu penggulingan Kwame Nkrumah, seorang Presiden Nasionalis (anti-kolonial, anti-imperialis) serta mengantarkan Ghana ke pemerintahan diktator militer. Demikian pula dengan naiknya Jenderal Suharto di Indonesia sejak tahun 1966.6 Sepanjang dekade 70-an hingga paruh pertama 80-an, kita saksikan pemerintahan militer menjamur di mana-mana. Gerakan separatis muncul di berbagai negara yang
6
Keterlibatan Amerika Serikat di seluruh dunia dilancarkan oleh badan intelijennya, CIA. Operasi badan ini dalam bentuk operasi tertutup melalui lembaga-lembaga legal atau stasiun-stasiunnya di tiap-tiap negara. Hal ini membuat Congress tidak selalu mengetahui sepak terjangnya. Dalam beberapa kasus, keterlibatan intensif itu terungkap dan mampu menjatuhkan presiden saat itu, seperti skandal Watergate yang menjatuhkan Presiden Nixon. Uraian rinci mengenai operasi CIA di berbagai negara dapat dilihat pada William Blum, Killing Hope, US Military and CIA Interventions since World War II, Montroe, Maine: Common Courage Press, 1996. Khusus mengenai keterlibatan CIA dalam penggulingan Soekarno, lihat tulisan Peter Dale Scott, Kudeta Angkatan Darat, Jakarta: Teplok Press, 2000.
10
menyebabkan perang saudara berlangsung lama tanpa penyelesaian, bahkan memancing invasi langsung oleh pasukan Amerika Serikat. Di Haiti, pemerintahan diktator militer menggenggam kekuasaan sejak tahun 1957 hingga tahun 1990. Tahun 1971, Haiti diserahkan pada Jean-Claude Duvalier (Baby Doc) oleh ayahnya sendiri Francois Duvalier (Papa Doc). Sang anak melanjutkan gaya pemerintahan tangan besi ayahnya. Rezim Baby Doc berakhir pada tahun 1986 setelah dipaksa melarikan diri. Kudeta demi kudeta kemudian terus mengisi lembar sejarah Haiti hingga tahun 1990. Pada tahun 1973, kantor kepresidenan Salvador Allende di Chili diserbu pasukan militer pimpinan Jenderal Pinochet. Sejak itu rezim politik militer tak tertaklukkan hingga tahun 90-an. Pada tahun yang sama, Uruguay juga jatuh ke tangan militer sambil menyingkirkan kelompok gerilyawan Tupamaro. Pada tahun 1974, “perang kotor” berlangsung di Argentina yang membawanya dalam genggaman militer hingga tahun 1983. Amerika Serikat juga memberi “lampu hijau” bagi invasi Indonesia ke Timor-Portugis bulan Desember 1975. Begitu pula sebelum tahun 1971, Idi Amin Dada, dikenal sebagai “penjagal” yang memerintah rakyat Uganda, diteruskan oleh penggantinya, Milton Obote sebelum digulingkan tahun 1986. Militerisasi memang menyebar ke mana-mana, terutama setelah jatuhnya Saigon ke tangan gerakan rakyat dan larinya militer Amerika dari tanah Vietnam tahun 1975. Amerika Serikat mulai meningkatkan bantuan militernya baik peralatan perang, pelatihan, hingga personil militer ke berbagai negara. Bantuan tersebut dipergunakan guna membantu militer setempat menumpas gerakan rakyat, yang sebagian besar memiliki hubungan atau didukung oleh pemerintah Uni Soviet. Di lain pihak, pada dekade 1970-an, kawasan Amerika Latin dan Afrika cukup panas oleh bangkitnya pemberontakan rakyat melawan rezim kolonial. Tahun 1974 terjadi pemberontakan kolonial atas pemerintahan Portugis di Guinea Bissau, Angola dan Mozambik. Pada tahun 1978, partai demokratis Afghanistan memplokamirkan negara merdeka Afghanistan. Setahun kemudian, setelah perang berkepanjangan, gerakan nasionalis masyarakat kulit hitam di Zimbabwe (ZANU) berhasil memenangkan konsesi kekuasaan atas pemerintahan kulit putih Rhodesia melalui jalur perundingan di London.
11
Cukup menarik, di tengah arus kuat militerisme dan ketegangan dua kubu negara adi-kuasa, pecah revolusi sosial di benua Eropa yaitu di Portugal (1974), Spanyol, dan Yunani, untuk mengakhiri pemerintahan diktator militer. Di penghujung tahun 1970, Amerika
Serikat
menggulingkan
kembali
sekutunya.
terkejut
karena
Pemberontak
sejumlah
FSLN
di
pemberontakan Nikaragua
berhasil
menggulingkan
pemerintahan diktator Anastacio Somoza. Di Grenada, Maurice Bishop, seorang pengacara lulusan London, memimpin gerakan revolusioner New Jewel Movement, mengambil alih kekuasaan Eric Gairy dan menjalankan program sosialis di negerinya. Di belahan timur bumi ini, ada kejutan lain dengan terjungkalnya Shah Reza Pahlevi, boneka Amerika Serikat di wilayah Timur Tengah oleh revolusi sosial pimpinan Khomeini. Situasi tersebut ternyata tidak mengurangi ekspansi militer Amerika Serikat ke kawasan mana pun. Pemerintah Amerika Serikat tidak menghentikan campur tangannya sekalipun kemenangan dicapai oleh gerakan rakyat, gerakan sosialis atau gerakan nasionalis, terutama jika itu dicapai berkat dukungan Uni soviet. Akibatnya adalah terjadi perang berkepanjangan. Paling tragis terjadi di Angola, setelah berhasil mencapai kemerdekaan (1975), negara ini justru terbelah-belah ke dalam berbagai faksi politik. Masing-masing faksi mendapat dukungan dari Amerika Serikat, Uni Soviet dan Cina. Amerika Serikat mendukung kelompok FNLA. Dalam usaha melawan MPLA dukungan Uni Soviet dan kelompok UNITA dukungan Cina, Amerika telah menyeret negara tetangga, Zimbabwe, Kongo dan Afrika Selatan sebagai batu pijakan. Berbagai konflik rumit ini membawa Angola ke dalam perang berkepanjangan hingga tahun 1990-an. Nasib buruk juga dialami rakyat Afghanistan. Partai demokratis dukungan Uni Soviet di Afghanistan memproklamasikan kemerdekaan negara itu tahun 1978. Setahun kemudian, perang sipil melawan kelompok Mujahidin dan kelompok pimpinan Hekmatyar dimulai. Setelah runtuhnya Uni Soviet kelompok Mujahidin mengambil alih pemerintahan. Peperangan dan kekerasan semakin meluas memasuki dekade 1980-an. Dekade ini dibuka oleh perang besar Iran-Irak selama 8 tahun. Dari Libya, Muammar Qaddafi melawan imperialis Amerika Serikat dengan menyebarkan tentara-tentara perlawanan ke berbagai negara. Tahun 1982 pecah perang Malvinas, Argentina melawan Inggris. Amerika Serikat yang saat itu dipimpin oleh kaum republikan dengan Ronald Reagan dan George Bush sebagai “komandannya” juga membuat langkah militer yang menentukan
12
dengan melakukan serangkaian invasi ke Grenada (1984). Sepanjang tahun 1980-an Amerika Serikat bertubi-tubi menjatuhkan bom ke kota Tripoli, Libya, untuk membunuh Qaddafi beserta keluarganya. Mereka juga melakukan invasi ke Panama pada tanggal 20 Desember 1986 dan menangkap Manuel Norriega dengan tuduhan melakukan perdagangan obat bius. Dalam tahun 1980 itu juga selama 12 bulan terjadi kudeta militer di Bolivia, Guatemala dan Honduras. Di Bolivia, pemerintahan militer berdiri dengan satu tujuan, menumpas pemberontak Movimiento de la Izquerda Revolucionaria (MIR). Militerisasi dunia sepanjang tahun 1970-an hingga pertengahan tahun 1980-an menjadi lengkap dengan perlombaan senjata nuklir, pembuatan pangkalan militer di berbagai kawasan dan pabrik-pabrik senjata. Periode ini melahirkan “kasta militer” atau “kasta yang memerintah”, seiring dengan genjotan pembangunan berorientasi pertumbuhan ekonomi, pemantapan industri dan pembukaan pasar internasional diberbagai negara berkembang.7 Situasi segera berbalik, ketika dunia memasuki periode ke dua tahun 1980-an yang terus terjadi hingga berakhirnya abad 20. Terpicu oleh keruntuhan negara Uni Soviet, perubahan bergulir seperti bola salju. Demonstrasi rakyat bergulir di Rumania, Bulgaria, Cekoslovakia dan Yugoslavia. Jerman kembali bersatu setelah tembok Berlin dibobol rakyat. Republik-republik merdeka Lithuania, Latvia, Armenia di selatan Uzbekistan, Tadjikistan, dan bekas negara-negara bagian Uni Soviet lainnya berdiri. Di belahan dunia yang lain juga berlangsung demonstrasi rakyat mementang diktator militer. Pemerintahan militer di Argentina, setelah kurang lebih 9 tahun berkuasa, terguncang akibat kekalahannya dalam perang Malvinas. Jenderal Luis Garcia Meza di Bolivia dikalahkan oleh pemimpin sipil tahun 1982. Milton Obote di Uganda digulingkan Yoweri Museveni pada tahun 1986. Di Paraguay, 30 tahun pemerintahan Jenderal Alfredo Stroessner dijungkirkan oleh tangan kanannya, Jenderal Andrés Rodriguez (1989), yang kemudian menjalankan reformasi kebebasan sipil. Penggulingan diktator paling dramatis terjadi di Filipina dengan kaburnya Jenderal Ferdinand Marcos dan penyerbuan rakyat ke Istana Malacanang pada tahun 1986. Peristiwa besar pertengahan dekade 80-an mempengaruhi konstelasi politik internasional. Militerisme menjadi momok dan tidak lagi populer. Perang Iran-Irak segera 7
Aijaz Ahmad, In Theory, Classes, Nations, Literature, New York: Verso, 1992, hlm. 73
13
berakhir di tahun 1989. Uni Soviet menarik mundur pasukannya dari Afghanistan dan perang berhenti di tahun 1990-an. Demikian pula di Angola. Tekanan Amerika Serikat terhadap Libya juga mengendur di akhir dekade 80-an. Fenomena ini membuat dikecamnya invasi Amerika Serikat ke Irak dan NATO ke Kosovo. Anti-militerisme mengental di tahun 1990-an. Rakyat menentang dominasi militer di Korea Selatan, Thailand, Indonesia, Zaire (kemudian menjadi Kongo) dan Afrika Selatan. Itu sebabnya Timor Timur juga beroleh kemerdekaan di tahun 1990-an. Sementara itu, berkuasanya rezim politik militer dalam periode lampau ternyata membawa masalah lanjutan, yaitu bagaimana mencegah terulangnya kebrutalan masa lampau. Di tingkat internasional propaganda perdamaian dilancarkan di mana-mana. PBB menetapkan tahun 2000 sebagai tahun perdamaian. Beberapa negara kemudian mencoba melakukan eksperimen penyelesaian masa lampau dengan membentuk komisi kebenaran. Berakhirnya ketegangan dua kubu adidaya tersebut ternyata tidak menutup kenyataan tetap berlangsungnya kekerasan dan dominasi militer di Rwanda, Kosovo, Pakistan, Birma dan wilayah lainnya. Ini juga tidak berarti lenyapnya kepentingan militer Amerika Serikat di Asia Pasifik, Eropa, dan Afrika.
Komisi Kebenaran di Berbagai Negara
Seperti dinyatakan di atas, eksperimen penyelesaian persoalan masa lampau dengan membentuk komisi kebenaran dapat dilacak mulai dari tahun 1970-an.8 Dari perjalanannya kemudian terlihat bentuk komisi ini mengalami perkembangan dan perbaikan. Komisi-komisi awal mirip dengan tim penyelidik kasus tertentu. Nama yang dipakai juga menunjukkan tugas utamanya. Tuntutan rakyat untuk mengetahui kejelasan nasib orang-orang hilang membuat Presiden Idi Amin Dada terpaksa membentuk Komisi Penyelidik atas Orang Hilang pada tanggal 25 Januari 1971. Mandat komisi adalah menyelidiki penculikan yang diduga dilakukan oleh pasukan militer sepanjang periode pertama pemerintahan Idi Amin. Komisi dipimpin oleh seorang hakim berkebangsaan Pakistan, dibantu oleh dua orang petugas 8
Penjelasan umum tentang komisi kebenaran di berbagai negara mengacu pada Priscilla Hayner, “Fifteen Truth Commission, 1974-1994”, Human Right Quarterly, dan Daan Bronkhorst, loc. cit.
14
kepolisian dan seorang petugas militer Uganda. Komisi berwenang memeriksa dokumen-dokumen resmi pemerintah, mengambil bukti-bukti dan membuka kesempatan bagi saksi untuk memberikan kesaksian. Selain itu, komisi juga mendengar 545 kesaksian yang dilakukan secara terbuka, kecuali ada permintaan lain. Runtutan usaha komisi tersebut berhasil mendokumentasi 308 kasus. Akhirnya komisi berkesimpulan bahwa Unit Penyelamatan Publik dan Biro Riset Negara – badan keamanan khusus yang didirikan Idi Amin Dada – merupakan badan yang bertanggung jawab atas tindakan penculikan. Komisi mengajukan rekomendasi antara lain perlunya refomasi di tubuh kepolisian dan militer, sekaligus memberi pelatihan khusus bagi aparat penegak hukum mengenai hak-hak legal warga negara. Namun demikian, ternyata Idi Amin Dada tidak mempublikasikan laporan komisi apalagi menjalankan rekomendasinya. Malahan empat orang anggota komisi justru menjadi target kekerasan. Hakim berkebangsaan Pakistan dipecat dari kedudukannya di pemerintahan. Seorang lagi dituduh melakukan pembunuhan dan dijatuhi hukuman mati, sedang yang lain melarikan diri ke luar negeri. Laporan dari komisi penyelidik ini memiliki arti penting, setidaknya pendukung Idi Amin di tingkat internasional menjadi tahu mengenai tingkah laku sekutunya. Patut dicatat, komisi ini didirikan tidak dalam situasi transisi politik dan justru dibentuk oleh pemerintah otoriter itu sendiri. Sebelumnya, pernah berdiri komisi penyelidik yang didirikan di negara baru Banglades setelah berakhirnya perang brutal melawan pemerintah Pakistan tahun 1971. Tugasnya adalah menyelidiki tindak kejahatan perang, dan hasilnya sekitar 300.000 orang dituduh telah melakukan tindakan tersebut. Pada tahun 1973, seluruh tersangka mendapat amnesti umum dari pemerintah Banglades. Selanjutnya, pada tahun 1977 di India berdiri sebuah komisi penyelidik yang disebut Shah Commission of Inquiry. Komisi ini diperintahkan untuk menyelidiki berbagai tindak kekerasan selama negara dalam keadaan darurat sejak tanggal 25 Juni 1975. Hasil sementaranya dilaporkan setahun kemudian. Eksperimen komisi kebenaran mulai berperan lebih penting ketika dilahirkan dalam persentuhannya dengan transisi politik suatu negara. Terbukti pada dekade 80-an, komisi kebenaran bergulir di tengah entusiasme rakyat menghapuskan otoriterisme, mencopot pejabat korup, mengejar aparat pelaku kekerasan. Komisi menjadi isu nasional dan internasional. Pembentukannya diperdebatkan oleh tiap faksi politik. Pada saat yang
15
sama, komisi diberi mandat luar biasa besar. Badan ini tidak cuma menyelidiki kasus-kasus kejahatan, tetapi juga dituntut mengungkap struktur kekerasan pemerintahan masa lampau yang telah memelihara kekerasan begitu lama. Mungkin Bolivia adalah negara pertama Amerika Latin yang menempuh jalur ini guna menyelesaikan persoalan masa lampau. Bulan Oktober 1982, pasca-kemenangan gerakan demokratis, Presiden Hernán Siles Zuazo mendirikan Komisi Nasional Penyelidikan Atas Orang Hilang. Komisi terdiri dari 8 komisioner yang berasal dari unsur pejabat departemen hukum, wakil parlemen, wakil senat, wakil dari tiap angkatan dalam militer, wakil federasi tani dan organisasi HAM. Mereka mengumpulkan kesaksian terhadap 155 kasus orang hilang yang terjadi antara tahun 1967 – 1982, bahkan berhasil menemukan jejak keberadaan korban dari beberapa kasus. Komisi yang sangat terkenal ini mendapat dukungan penuh rakyat, namun kurang didukung oleh faksi-faksi politik elite. Akibatnya, mandat kerjanya menjadi sangat terbatas: hanya menyelidiki kasus orang hilang tetapi tidak bisa menyelidiki kasus penyiksaan, penangkapan dan penahanan ilegal. Ditambah lagi sumber pendanaan komisi sangat tipis membuat proses kerja komisi tidak optimal. Pembentukan komisi tersebut berimplikasi pada pemerintahan baru yang mendapat tantangan dari rezim politik terdahulu, ketika memasuki tahap penuntutan pelaku. Tahun 1986, parlemen Bolivia menetapkan proses peradilan kriminal bagi Jenderal Garcia Meza, Menteri Dalam Negeri Luis Arce Gomez serta menteri lainnya dan komandan tertinggi junta, sejumlah anggota militer, polisi dan kelompok para militer. Setelah beberapa kali hadir di pengadilan, Garcia Meza dan beberapa tersangka lainnya lari bersembunyi. Pengadilan mereka tertunda. Akhirnya bulan April 1993, pengadilan memutuskan 30 tahun penjara tanpa kehadirannya di pengadilan. Pengalaman Bolivia, nyaris sama dengan yang terjadi di Uruguay dan Zimbabwe. Setelah 11 tahun di bawah rezim politik militer, pada bulan April 1985 parlemen Uruguay menetapkan dibentuknya Komisi Investigasi mengenai Situasi “Orang Hilang” dan Sebab-Sebabnya. Selama 7 bulan komisi bekerja dan menghasilkan laporan yang memuat 164 kasus orang hilang selama 11 tahun pemerintahan militer. Kasus-kasus itu kemudian diajukan ke Mahkamah Agung.
16
Berbeda dengan parlemen yang mendukung kerja komisi ini, presiden justru menentang usaha penyelidikan masa lampau. Presiden menuduh komisi memasuki wilayah praktik politik, bukan kegiatan HAM. Laporan komisi diumumkan ke publik tetapi tidak disebarluaskan. Namun komisi sendiri juga punya kesalahan dalam merumuskan tugasnya: mandat komisi hanya menyelidiki kasus orang hilang, padahal pelanggaran HAM yang paling sering terjadi adalah penahanan ilegal dan penyiksaan. Sementara, militer tidak pernah mengakui perbuatan itu dan menangkisnya dengan alasan bahwa itu hanyalah tindakan yang dilakukan karena terpaksa. Pengalaman ini menjadi pelajaran, bahwa mandat komisi harus ditentukan berdasarkan atas pengalaman korban sehingga cakupan investigasinya luas. Kejadian serupa juga terjadi di Zimbabwe; laporan komisi tidak diumumkan karena tekanan pemerintah. Komisi penyelidik itu dibentuk tahun 1985, dua tahun setelah penumpasan brutal pemberontakan di Matabeleland.
Komisi bekerja atas perintah
presiden dan diketuai seorang pengacara. Karena laporan tersebut disembunyikan pemerintah, maka rakyat pun melakukan protes yang kemudian berkembang menjadi tuntutan politik reformasi di negeri itu. Pengalaman komisi kebenaran di Filipina berakhir dengan ironis. Perubahan politik negeri ini cukup monumental dan nyaris sempurna. Kekuatan rakyat secara dramatis menggulingkan rezim politik diktator militer Marcos. Namun kemudian ternyata, rakyat mengalami kegagalan karena tidak mampu mengawal proses transisi. Mulanya pemerintahan baru di bawah Corazon Aquino-Cojuangco menyatakan bahwa pemerintah akan menjamin penghormatan HAM sepenuhnya. Di antara serangkaian kebijakannya, lahir komisi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lampau, yang disebut Philippine Commission on Human Right – PCHR. José Diokno, seorang senator dan pengacara terkenal, memimpin komisi itu bersama dengan Suster Mariani Dimaranan, salah seorang pejuang HAM terkemuka semasa pemerintahan Marcos dan pendiri organisasi HAM terbesar TFDP. Mandat komisi adalah menyelidiki kasus orang hilang, pembunuhan di luar hukum, pembantaian, penyiksaan, blokade pangan dan pelanggaran HAM lainnya, yang dilakukan aparat pemerintah, baik atas nama pribadi maupun atas nama pemerintah. Komisi diberi wewenang untuk memanggil pelaku serta memberi perlindungan bagi mereka yang
17
bersaksi. Untuk mendukung proses investigasi, kementerian lain diminta membantu kerja komisi. Sekitar 700 kasus dari TFDP dan dari sumber lain telah diajukan agar diinvestigasi lebih lanjut oleh komite. Komisi juga mendapat mandat membuat rekomendasi bagi tindakan pemulihan korban dan penghukuman orang-orang yang sudah dibuktikan kesalahannya. Persoalan menjadi sangat sensitif begitu proses penyelidikan memasuki tahap penuntutan. Pada titik ini, komisi berhadapan dengan itikad dan komitmen politik pemerintah, yang sejak penggulingan Marcos situasi politiknya semakin memburuk. Negosisasi dan kompromi yang ditawarkan Cory kepada politisi pendukung Marcos mulai mengalami krisis. Juan Ponce Enrille (sekutu Cory dalam menggulingkan Marcos) beralih menekan dan berencana menyingkirkannya. Pemberontakan kelompok-kelompok militer terjadi di mana-mana. Di lain pihak, gerakan rakyat semakin meningkatkan tekanan terhadap Cory untuk segera menyingkirkan pendukung Marcos di pemerintahan. Politik bergeser dengan munculnya “pahlawan-pahlawan militer” penyelamat negara. Akhirnya, Cory Aquino berkeputusan, pengadilan aparat militer akan mengganggu dan menghancurkan stabilitas politik. Sikap ini membuat komite berkesimpulan dan menilai ketidakmampuan pemerintah mengambil langkah-langkah mendasar. Karena itu, Suster Mariani dan anggota komite lainnya mengundurkan diri setelah 14 bulan bekerja. Senator Diokno juga perlahan mengundurkan diri karena sakit. Komite macet tanpa pernah secara resmi ditutup, bahkan secara ironis tidak membuat laporan apa pun. Uganda merupakan satu-satunya negara yang dua kali mendirikan komisi. Bila di tahun 1974 komisi penyelidik bekerja di bawah tekanan rezim politik otoriter Idi Amin, hal itu tidak terjadi di tahun 1986. Setelah Milton Obote berhasil disingkirkan, pemerintahan Yoweri Museveni mendirikan Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Komisi ini dijalankan oleh Menteri Kehakiman, Jaksa Agung dan dipimpin seorang hakim agung. Komisi ini mendapat mandatnya guna menyelidiki pelanggaran HAM dengan time limit sejak kemerdekaan (1962) hingga Januari 1986. Adapun bentuk pelanggaran yang ditangani berupa kasus penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan pembunuhan oleh aparat keamanan. Bahkan komisi juga diminta mencari solusi terbaik guna mencegah berulangnya pelanggaran HAM.
18
Dukungan publik yang luar biasa ditunjukkan dengan adanya kesaksian yang dilakukan secara terbuka, disiarkan di televisi dan radio. Sayangnya, entusiasme rakyat tidak mendapat respon positif, yang justru datangnya dari komisi. Pekerjaan mulia tidak kunjung tuntas dan tidak membuahkan kesimpulan. Bahkan komisi sempat berhenti kerja selama 4 bulan dengan alasan kekurangan dana. Setahun kemudian komisi menerima bantuan dari Ford Foundation (1987). Tapi tahun 1991 komisi kembali menghadapi kesulitan dana. Setelah 8 tahun bekerja tanpa hasil, rakyat mulai curiga adanya tujuan politik di balik niat pembentukan komisi. Pada dekade 90-an, seiring dengan perubahan politik tiap negeri, semakin banyak negara membentuk komisi kebenaran, antara lain Chili, Chad, Republik Cehnya, Sri Lanka, Jerman, Polandia, Bulgaria, Rumania, Albania, El Salvador, Brasil, Mexico, Nikaragua, Togo, Nigeria, Ethiopia, Sudan, Thailand, Zimbabwe, Ghana, Burundi, Honduras dan Malawi. Komisi terakhir dibentuk di Afrika Selatan dan Guatemala yang menyelesaikan tugasnya tahun 1998. Komisi itu ada yang bersifat permanen maupun ad hoc. Beberapa komisi mulai mengembangkan mandatnya dengan menyentuh masalah pemulihan korban. Visi pendirian komisi juga berkembang, tidak semata-mata demi terungkapnya kejahatan masa lampau, namun sekaligus menjadi medium penyelesaian damai antar-berbagai kekuatan politik. Komisi makin mendapat perhatian internasional. Beberapa di antaranya melibatkan badan-badan internasional seperti di Rwanda dan El Salvador. Komisi pertama di tahun 1990-an berdiri di Chad. Pada tanggal 29 Desember 1990, sebulan setelah terpilih, Presiden Chad mendirikan Komisi Penyelidikan atas Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan, Tindakan yang Dilakukan oleh Mantan Presiden Habré dan Rekan-Rekannya. Kewenangan komisi di samping menyelidiki tindak pelanggaran Berat HAM, juga diperintahkan menyelidiki penyalahgunaan keuangan negara. Komisi dijalankan oleh 12 orang yang terdiri dari 2 orang hakim, 4 orang petugas polisi kehakiman, 2 orang petugas administrasi, tata usaha serta sekretaris dan dipimpin seorang jaksa. Seperti di Uganda, komisi ini juga kekurangan dana dan mendapat tekanan dari kalangan militer. Kendati demikian, komisi berhasil menyusun laporan dan mampu mengidentifikasi individu pelaku berikut kejahatan yang harus dipertanggungjawabkan. Foto individu itu juga dilampirkan dalam laporan. Ketika diumumkan pada bulan Mei
19
1992, orang terkejut akan faktanya yang begitu rinci. Beberapa pejabat tinggi pemerintahan baru ternyata tercantum dalam daftar. Selain itu terungkap juga keterlibatan pemerintah asing dalam memberi dana dan melatih pelaku pelanggaran HAM. Keberhasilan ini menaikkan reputasi pemerintahan baru. Komisi kebenaran Rwanda didirikan dan dijalankan oleh organisasi HAM Rwanda yang bekerja sama dengan koalisi Organisasi HAM Amerika Serikat, Kanada, Prancis dan Burkina Faso dengan nama Komisi Internasional Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Rwanda. Keterlibatan badan internasional tak terelakkan karena perang berdarah di kawasan itu telah melibatkan Prancis dan Belgia. Dasar pendiriannya adalah perjanjian antara pemerintah dan oposisi bersenjata yang dirundingkan di Arusha, Tanzania, pada akhir tahun 1992, yang menghasilkan Perjanjian Arusha. Jadi komisi ini tidak dibentuk oleh pemerintah ataupun parlemen. Meski pemerintah tidak mengundang maupun mendirikan komisi itu, tetapi presiden secara resmi menyambut kehadirannya. Komisi menunjuk 10 orang komisioner yang terdiri dari pengacara, hakim, anggota organisasi HAM, ahli forensik dan pihak lain yang mewakili delapan bangsa berbeda. Selama dua minggu komisi bekerja membongkar kuburan
massal,
melakukan
wawancara,
mengkaji
dokumen
pemerintah
dan
mendengarkan kesaksian. Kerja mereka disiarkan di radio dan dibicarakan di mana-mana. Bulan Januari 1993 pekerjaan tersebut selesai. Laporan komisi mendapat kredibilitas internasional. Tetapi sebenarnya, pemerintah maupun militer tidak suka dengan kehadiran komisi ini. Dua hari sebelum komisi tiba di Rwanda, terjadi lima kali serangan terhadap orang-orang yang diduga akan memberikan kesaksian. Lebih buruk lagi, setelah komisi pergi, pasukan militer membantai sekitar 300 sampai 500 jiwa. Sebaliknya, laporan komisi mendapat sambutan luas baik di Rwanda maupun di Eropa. Sekitar 2.000 eksemplar laporan telah tersebar di belahan Eropa. Laporan itu bahkan mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah Prancis dan Belgia, yang terlibat dalam konflik etnis dan mendukung tindakan represif pemerintahan Rwanda. Pemerintah Belgia mulai mengkaji ulang posisinya.
Sedangkan
pemerintah
Prancis,
walaupun
agak
segan
mengakui
keterlibatannya, dua hari setelah laporan diumumkan, memenuhi tuntutan penarikan pasukan setelah dilakukan gencatan senjata.
20
Apa yang dialami Ethiopia berbeda dengan beberapa negara di atas. Setelah tergulingnya Presiden Mengistu Haile-Mariam, pemerintahan baru segera menangkap semua orang yang dianggap bertanggung jawab atas kekerasan semasa rezim politik Mengistu. Sayangnya, tindakan tersebut berlangsung sewenang-wenang dan tanpa dasar yang jelas. Sekitar 2.000 orang pegawai pemerintah dan aparat keamanan ditahan dengan tuduhan tindak pelanggaran HAM, kejahatan perang dan penyalahgunaan kekuasaan. Organisasi HAM dan masyarakat luas mulai memprotes tindakan itu dan berhasil memaksa pemerintah guna memperbaiki kinerja dengan melakukan penyelidikan resmi. Pemerintah Ethiopia tidak membentuk komisi melainkan mendirikan sebuah kantor penyidikan. Komisi yang berdiri pada pertengahan tahun 1992 dan resmi bekerja pada awal tahun 1993 bertugas membuat rekaman sejarah mengenai tindak kekerasan selama 17 tahun dan membawa mereka yang bertanggung jawab atas tindak pelanggaran HAM dan atau korupsi ke pengadilan. Mereka tidak hanya menyelidiki arsip kementerian pertahanan dan kementrian dalam negeri tetapi juga tumpukan informasi lainnya. Di samping itu, mereka juga mengkaji ulang tiap kasus yang tersangkanya sudah ditahan, dan hasilnya lebih dari 1.000 orang tahanan dinyatakan bebas. Di Honduras (1993), Komisi Nasional untuk Perlindungan HAM mengumumkan nama-nama yang bertanggung jawab atas hilangnya 184 warga sipil. Sedangkan Brasil pada tahun 1996 mendirikan badan HAM dan berhasil mengungkap 111 orang tahanan di Sao Paolo yang telah dibunuh polisi militer tahun 1992. Di Mexico, Komisi Nasional HAM melaporkan berbagai rupa peristiwa penculikan. Sedangkan Nikaragua, dengan kemenangan gerakan Sandinista yang kemudian diikuti pembentukan komisi tripartit, telah melaporkan kematian 10 orang anggota kelompok oposisi. Dari sejumlah komisi yang pernah berdiri sejak tahun 1970-an, ada beberapa komisi yang gagal menunaikan tugasnya, seperti kegagalan komisi di Filipina, Sri Lanka dan Bulgaria. Beberapa lainnya berhasil, tetapi laporan tidak diumumkan ke publik dan tidak ada tindak lanjut atas komisi, misalnya di Uganda, Paraguay, Bolivia dan Thailand. Di Thailand, kementerian pertahanannya melakukan penyelidikan terhadap kematian dan hilangnya korban demonstrasi bulan Mei 1992, tapi hasilnya tidak diumumkan ke publik. Selama ini, kita hanya terkesima dengan peristiwa dramatis penggulingan diktator tanpa mengikuti apa yang terjadi sesudah “drama” berakhir. Dari kerja komisi di atas
21
terlihat bahwa babak paling sulit justru setelah panggung politik ditutup. Transisi politik yang dibarengi dengan ketidakpastian politik membutuhkan jalan keluar. Karenanya, komisi kebenaran menuntut otoritas politik besar untuk bekerja. Namun situasi transisional otoritas politik besar pun masih harus diuji jika tidak ingin tenggelam dalam ketidakpastian politik lebih lanjut. Kalau suatu komisi berhasil melewatinya, maka itu akan memperkuat dan mendorong transisi ke arah demokrasi. Secara umum bisa dilihat ada tiga situasi politik yang membuat komisi di berbagai negara memiliki strategi dan fokus kerja berbeda-beda. Pertama, kekerasan politik pemerintahan diktator militer. Kedua, kekerasan politik pemerintahan satu partai. Ketiga, kekerasan akibat konflik bersenjata. Afrika Selatan merupakan negeri dengan kekerasan oleh ketiga situasi itu. Pada bagian berikut akan diuraikan beberapa komisi terpenting yang mewakili tiga situasi politik tersebut.
Penyelesaian Kekerasan oleh Pemerintahan Diktator Militer
Di antara berbagai negara yang menempuh jalan membentuk komisi kebenaran bagi penyelesaian kekerasan pemerintahan diktator militer, terdapat dua negara di Amerika Latin yang penting diperhatikan, yaitu Argentina dan Chili.
Argentina
Sesaat setelah jatuhnya pemerintahan Isabel Peron melalui kudeta militer bulan Maret 1976, rezim politik militer mulai melancarkan operasi penumpasan gerakan rakyat. Dalam waktu 8 tahun, pembunuhan ekstrayudisial, penculikan, penyiksaan telah memakan korban sekitar 10.000 jiwa. Rezim politik itu mulai mengalami krisis setelah gagal mendapatkan kepulauan Falkland dalam perang Malvinas dengan Inggris pada awal tahun 1980-an. Sejak itu, proses reformasi mulai berlangsung dan represi pemerintah melunak. Namun mayoritas kekuasaan terpenting masih berada di tangan kalangan jenderal. Pada akhir tahun 1983, pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan pengampunan umum (amnesti) bagi semua orang yang melakukan kekerasan selama “perang melawan subversi” antara
22
bulan Mei 1973 hingga Juni 1982. Amnesti ini dibenarkan sebagai jalan untuk rekonsiliasi nasional Dipilihnya Raúl Alfonsin sebagai presiden pada tahun 1983 menandai mulainya suasana kebebasan sipil. Ia mulai menjalankan serangkaian tindakan penyelidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak pelanggaran HAM serta memberi kompensasi pada korban. Kebijakan dan langkah tersebut dikonkretkan dengan diawali pembentukan Komisi Nasional untuk Orang Hilang (Conadep) yang dipimpin seorang novelis, Ernesto Sabato. Conadep juga membuka berbagai cabang di beberapa kota besar demi efektivitas kerja. Begitu komisi ini berdiri, segera mengalir berbagai kesaksian baik dari korban itu sendiri maupun dari keluarga korban (yang sudah meninggal). Organisasi-organisasi HAM menyerahkan hasil dokumentasi mereka. Staf komisi mengecek tempat-tempat penahanan, kuburan tak dikenal dan kantor-kantor kepolisian. Banyak pelarian politik luar negeri kembali dan memberikan kesaksiannya. Kantor-kantor kedutaan dan konsulat Argentina dibuka bagi mereka yang memberikan kesaksian di luar negeri. Potongan-potongan kesaksian rakyat disiarkan televisi nasional selama dua jam. Komisi bekerja sama secara erat dengan keluarga orang hilang guna mencari keberadaan korban. Setiap saat komisi juga melakukan konferensi pers untuk melaporkan proses perkembangan penyelidikan. Bulan September 1984, Conadep menuntaskan tugasnya dan menyerahkan laporan pada presiden. Laporan setebal 50.000 halaman dengan judul Nunca Más (= never again) berisi bukti-bukti dan dokumentasi berbagai kasus serta lampiran daftar 9.000 nama orang hilang. Laporan itu kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dan terjual habis. Berdasarkan laporan tersebut, Alfonsin kemudian membuat gebrakan lanjutan. Ia menganulir kebijakan pengampunan umum terhadap para jenderal, yang sempat dikeluarkan oleh pemerintah terdahulu. Ia juga mendorong proses pengadilan bagi individu penanggung jawab tindak pelanggaran Berat HAM masa lampau. Tuntutan pemerintah, pertama-tama mengarah pada komandan dari tiga angkatan militer yang kebetulan pula anggota pemerintahan junta militer. Bulan Desember 1984, pengadilan federal Buenos Aires menggelar sidang pertama terhadap para komandan ini. Pengadilan berlangsung secara terbuka selama lima bulan. Meskipun bukan pelaku langsung, sembilan orang anggota junta militer diseret ke pengadilan atas tuduhan bertanggung jawab terhadap kejahatan kemanusiaan yang berlangsung di berbagai daerah yang menjadi wilayah
23
“kontrol” mereka. Pengadilan menjatuhkan vonis penjara seumur hidup pada Jenderal Jorge Videla dan Admiral Emilio Massera, sedang tiga lainnya diganjar penjara masing-masing selama 16, 8 dan 4 tahun, sisanya dibebaskan. Keputusan ini ditetapkan bulan Desember 1986 oleh Mahkamah Agung. Sementara pemeriksaan dan pengadilan beberapa perjabat tinggi militer berjalan, militer semakin menentang proses itu. Bom berjatuhan di seluruh negeri. Pemerintah kemudian melakukan penyiasatan dengan mengeluarkan kebijakan yang menetapkan batas pengajuan aduan kejahatan hanya 60 hari, lebih dari waktu itu tidak diperkenankan lagi. Kebijakan yang dikenal dengan Punto Final berimplikasi pada berbagai organisasi HAM, keluarga korban dan korban sendiri berlomba-lomba memasukan pengaduannya. Pengadilan kebanjiran pengaduan dan mulai kewalahan. Padahal masih banyak pengaduan yang belum diproses dan tidak jelas nasibnya. Kebijakan ini pun ternyata tidak cukup “menenteramkan” militer. Pada bulan April 1987, sekelompok perwira muda di bawah pimpinan Letkol. Aldo Rico menduduki barak militer di Buenos Aires setelah seorang perwira yang dituduh melakukan penyiksaan, mencari perlindungan ke tempat itu. Mereka menuntut pengampunan bagi perwira tertuduh tersebut dan pemecatan terhadap semua jenderal yang gagal mencegah pengadilan itu. Namun, berkat dukungan rakyat, pemerintah berhasil mengakhiri pemberontakan tersebut. Sayangnya, pada bulan Juni 1989 pemerintah mengeluarkan kebijakan yang secara efektif mengampuni sebagian besar anggota militer, khususnya di jajaran bawah Kepala Komando Wilayah atau sub-Wilayah. Kebijakan ini tidak berlaku bagi tindak kejahatan tertentu, misalnya perkosaan. Langkah ini diambil dengan tujuan untuk meredakan keresahan tentara jajaran bawah yang beranggapan bahwa pada akhirnya merekalah yang “harus” menanggung beban “perang kotor” tersebut; merekalah yang akhirnya diseret ke pengadilan dan dihukum. Sementara, sang atasan yang mengeluarkan perintah tetap tak tersentuh bahkan pangkatnya dipromosikan. Ketika kandidat kubu Peron, Carlos Menem, terpilih sebagai presiden pada tanggal 6 Oktober dan 29 Desember 1990, lagi-lagi keluar kebijakan pengampunan. Presiden mengampuni 39 orang aparat militer, bersama komandan lain yang sudah terbukti kesalahannya di pengadilan, termasuk 164 orang tentara yang dituduh terlibat usaha menggulingkan pemerintahan Alfonsin.
24
Surutnya itikad pemerintah mendorong proses demokratisasi tidak lain karena pengadilan dibuat menjadi kunci penyelesaian masa lampau. Padahal peradilan itu sendiri masih memiliki tiga kelemahan mendasar. Pertama, tidak ada rumusan yang jelas bagaimana pengadilan HAM dapat menyumbang pada proses demokratisasi dalam kehidupan politik di Argentina. Kedua, pengajuan individu ke pengadilan melalui proses seleksi yang jelas akan mengundang protes. Ketiga, sistem itu sendiri memang tidak mampu menghadapi masalah HAM.9 Beban besar ini membuat semua pihak, kalangan militer maupun masyarakat korban dan organisasi HAM terus-menerus menguji posisinya (baca: netralitas). Hakim tidak pernah mampu mengatasi masalah karena setiap pihak senantiasa punya alasan untuk menuduh pengadilan bias politik. Tekanan terus-menerus datang dari berbagai pihak kepentingan membuat anggota pengadilan federal Buenos Aires mengundurkan diri satu persatu. Situasi menjadi lebih buruk ketika tindakan itu dianggap oleh militer dan pendukungnya sebagai pengakuan akan bias politik. Segi lain yang patut ditanggapi ialah soal pengungkapan kebenaran, ternyata yang menjadi pokok perhatian hanyalah sekitar kejahatan rezim diktator militer. Baik pemerintah maupun masyarakat memiliki kesamaan pandangan mengenai tindak pelanggaran HAM: keduanya melihat bahwa pelanggaran HAM itu disponsori negara, dan merupakan bagian dari strategi rezim militer pasca-pengambilalihan kekuasaan tahun 1976. Padahal, kekerasan negara sesungguhnya sudah tumbuh sebelum kudeta dilancarkan. Saat itu, kalangan menengah khawatir dengan meningkatnya aktivitas gerilyawan yang muncul akhir tahun 1960-an. Mereka mendukung berbagai kerja kelompok paramiliter yang berkaitan dengan pemerintahan Peronis. Kelompok politik sayap kanan secara aktif terlibat dalam represi brutal sebagai pasukan pembunuh paramiliter dan kelompok vigilante. Selain sebagai menteri Kesejahteraan Sosial, José Lopez Rega juga memimpin kelompok Aliansi Anti-Komunis Argentina (tripel A) yang dibantu oleh faksi-faksi di tubuh polisi, militer dan kelompok sayap kanan. Pengikut Gereja Katolik fanatik mendoakan pembunuhan terhadap mahasiswa dan buruh dapat menyulut semangat patriotik demi menyingkirkan “unsur masyarakat yang tak dapat 9
Jaime Malamud-Goti, “Punishing Human Rights Abuses in Fledging Democracies: The Case of Argentina”, dalam Naomi Roht-Arriaza, Impunity and Human Rights in International Law and Practice, New York: Oxford University Press, 1995, hlm. 164-165. Uraian tentang masalah penghukuman dan pengampunan di Argentina sebagian besar diambil dari artikel ini.
25
diperbaiki lagi”. Jadi militer tidak sendirian dalam melancarkan serangan “anti-subversif”. Dengan demikian, terdapat unsur kesengajaan yang mempersempit kesalahan hanya pada militer guna menghindari konfrontasi dengan kelompok politik paling besar di masyarakat. Di samping proses peradilan, pemerintah membuat juga langkah pemulihan korban sebagaimana rekomendasi laporan Nunca Más. Ditetapkan uang pensiun setara dengan 75% gaji minimum pada 23.466 orang korban. Sedangkan untuk bekas tahanan politik, pada tanggal 23 Desember 1991 dikeluarkan UU No. 24.043 yang menetapkan pemberian kompensasi uang bagi seluruh tapol yang ditahan selama periode 1976-1983. UU ini juga secara rinci memuat cara pemberian kompensasi. Cara pemberiannya dihitung berdasarkan jumlah hari penahanan korban. Jika korban meninggal semasa penahanan, maka kompensasi dihitung dari masa penahanan ditambah sejumlah uang yang nilainya setara dengan 5 tahun masa penahanan. Bagi korban yang menderita luka serius selama penahanan, kompensasi dihitung dari masa penahanan ditambah dengan sejumlah uang yang nilainya setara dengan masa penahanan 5 tahun yang sudah dikurangi 30%. Pelaksanaan UU ini dibebankan pada kantor HAM dari kementerian Dalam Negeri.10 Namun dalam pelaksanaannya tidaklah mudah, karena untuk mendapatkan kompensasi, korban harus membuktikan lama penahanan melalui surat penahanan dan surat pembebasan. Sementara, militer menolak memberikan surat yang diperlukan korban, karena itu berarti mereka mengakui penahanan. Pemerintah sendiri juga tidak cukup kuat untuk memaksa militer membuka dokumen-dokumen mengenai penahanan. Pada sisi lain, korban sendiri tidak mau menerima kompensasi, karena curiga pemerintah beritikad untuk menyuap mereka. Hal ini sebagai konsekuensi dari pemerintah yang telah memberikan pengampunan pada pelaku tindak pelanggaran HAM sebelum diadili. Pengampunan memang bisa diimbangi dengan pemberian kompensasi tetapi tidak bisa menggantikan pengadilan. Bagaimanapun pemerintah wajib mengidentifikasi kejahatan pelaku. Grafik proses transisi di Argentina menunjukkan penurunan dari langkah awal yang sudah berhasil. Pilihan pengadilan sebagai satu-satunya langkah penyelesaian masa lampau ternyata merupakan tindakan yang tidak mengkalkulasi masih kuatnya dominasi militer dalam politik. Lebih penting lagi pemerintah tidak mempertimbangkan bagaimana 10
Lihat Jayni Edelstein, Rights, Reparations and Reconciliation, Some Comparative Notes, makalah July 27, 1994, Centre for the Study of Violence and Reconciliation, Johannesburg, South Africa.
26
jika proses penghukuman mengalami kegagalan. Betapapun eksperimen Argentina merupakan pelajaran yang penting karena ia berjalan paling jauh di antara negara-negara Amerika Latin dalam mempertemukan antara proses pengadilan dengan segala keterbatasannya dan proses “pengungkapan kebenaran”.
Chili
Chili merupakan negara kecil di tanjung selatan benua Amerika dengan proses politik yang paling menarik perhatian internasional. Kudeta berdarah di Chili berlangsung dramatis. Salvador Allende, sang presiden, bunuh diri di kantornya setelah istana La Moneda dijatuhi bom oleh angkatan bersenjata yang dipimpin Jenderal Augusto Pinochet.11 Sejak tragedi itu, ribuan orang hilang dan sekitar 3.000 orang melarikan diri ke luar negeri. Nyaris seluruh pendukung Allende, termasuk pejabat pemerintah, mati. Carlos Prats, panglima angkatan bersenjata masa pemerintahan Allende, dibunuh tahun 1974. Duta besar untuk Amerika Serikat, Orlando Leterier, dibunuh tahun 1976. Nasib serupa juga menimpa petugas PBB dan warga Spanyol di tahun 1976. Percobaan pembunuhan dialami pimpinan partai Demokratis Kristen, Bernardo Leighton, di Italia tahun 1974. Kudeta yang dikenal dengan kode Operasi Jakarta membuat shock dunia internasional. Pembunuhan, penculikan terus berlangsung di bawah kebijakan “anti-subversi” hingga tahun 1978. Chili berada dalam genggaman diktator militer Pinochet selama 17 tahun. Perlawanan massif terhadap tindak kekerasan politik itu baru muncul satu dekade kemudian. Antara tahun 1983-1984 rakyat yang didukung Gereja Katolik melakukan demonstrasi besar-besaran menentang pemerintahan Pinochet. Gerakan ini berhasil mendorong diselenggarakannya plebisit nasional pada tanggal 5 Oktober 1988 dengan hasil mayoritas “no” (tidak).12 11
Politik nasional Chili selalu menggemparkan masyarakat internasional. Ketika Salvador Allende terpilih sebagai Presiden tahun 1970, dunia gempar karena untuk pertama kalinya kemenangan gerakan sosialis diperoleh melalui pemilu dan bukan dengan jalan revolusi. Begitu juga dengan kejatuhannya tahun 1973.
12
Sesuai dengan konstitusi buatan pemerintahan Pinochet tahun 1980, plebisit dapat diadakan untuk mengetahui pendapat rakyat tentang suatu pemerintahan. Dengan kemenangan dari hasil plebisit tahun 1988 periode reformasi di Chili dimulai. Para pemimpin gerakan mulai melakukan negosiasi dengan pemerintahan sebelumnya antara lain tentang pelaksanaan pemilihan umum secara terbuka dan pencabutan beberapa pasal dalam konstitusi itu, salah satunya adalah pasal tentang pelarangan gerakan Marxis.
27
Menyusul kemenangan rakyat, diselenggarakan pemilu yang terbuka pada bulan Maret 1990; dan Patricio Aylwin, kandidat dari koalisi kiri tengah (concertación) yang memimpin gerakan demokrasi, terpilih sebagai presiden. Kemenangannya disambut secara dramatis sebagai kemenangan rakyat. Ia sengaja memilih lokasi berpidato di stadium (gelanggang olahraga) yang sangat terkenal sebagai tempat penyekapan dan pembantaian ratusan ribu manusia. Di hadapan kurang lebih 80.000 warga Santiago dan jutaan pemirsa televisi, Aylwin menyatakan Chili perlu “mengungkap kebenaran dan keadilan, sejauh kemampuan”. Selama berpidato, nama korban penghilangan paksa satu persatu muncul di sebuah layar raksasa. Namun di kemudian hari berikutnya presiden terpilih mulai masuk forum negosiasi dengan kelompok Pinochet. Reformasi yang dicita-citakan concertación harus menghadapi manuver Pinochet. Jenderal ini menuntut partai-partai dalam koalisi sepakat menerima struktur perundangan yang ditetapkan militer. Sebelumnya, ia sudah membuat kebijakan berupa jaminan jabatan bagi pegawai negeri (tidak ada pemecatan) dan penyatuan mahkamah agung dengan pengadilan konstitusional. Pinochet segera melakukan
konsolidasi
kekuasaan
dalam
komando
angkatan
bersenjata.
Ia
mengintegrasikan 19.000 polisi rahasia CNI ke dalam badan intelijen militer dan menghancurkan arsip-arsip rahasia polisi.13 Dengan negosiasi ini, presiden baru ini mewarisi masalah besar berupa tindak kekerasan rezim politik terdahulu. Pada bulan Maret 1990, presiden Aylwin membentuk Komisi Nasional untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi.14 Mandatnya adalah “menyumbang demi diperolehnya klarifikasi kebenaran secara menyeluruh mengenai pelanggaran paling berat yang berlangsung selama ini”; membuat “gambaran selengkap mungkin mengenai pelanggaran tersebut, latar belakang dan situasi yang mempengaruhinya”;
13
Alexander Wilde, “A Conspiracy of Consensus: Chile’s Transitional Democracy”, makalah seminar Legacies of Authoritarianism: Cultural Production, Collective Trauma and Global Justice, Madison, University of Wisconsin, April 3-5, 1998.
14
Komisi Chili adalah komisi pertama yang menggunakan konsep rekonsiliasi dan secara tegas dicantumkan sebagai bagian dari namanya. Komisi dibentuk melalui keputusan Menteri Dalam Negeri No. 355 tanggal 25 April 1990 dan ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Dasar komisi ini tidak sekuat komisi di Argentina yang dibentuk oleh parlemen. Oleh karena partai-partai oposisi di parlemen masih memperdebatkan dasar legislasi komisi tersebut, dan demi mengejar waktu, akhirnya komisi ditetapkan oleh pemerintah. Lihat Jorge Mera, “Chile: Truth and Justice under the Democratic Government”, dalam Naomi Roht-Arriaza, loc. cit.
28
serta “mengungkap fakta untuk mengidentifikasi korban dan mengetahui nasib maupun keberadaannya”. Identifikasi korban hanya pada korban mati atau hilang, karena pelanggaran ini merupakan yang paling serius serta disangkal militer sekuat mungkin. Tindak penyiksaan sebenarnya termasuk pelanggaran besar namun komisi tidak mengidentifikasi korbannya, karena akan membuat kerja komisi terlalu luas sementara waktu kerjanya terbatas. Komisi ini dipimpin oleh seorang mantan senator radikal Raúl Rettig dengan 8 orang anggota, di antaranya beberapa akademisi, hakim konservatif dan anggota lain yang memiliki reputasi kerja HAM. Para anggota ini mewakili berbagai faksi politik. Komisi bekerja selama 9 bulan untuk menyelidiki 3.400 kasus, yang setidaknya memiliki tiga tahap kerja. Tahap awal, pengumpulan fakta di mana komisi banyak dibantu oleh berbagai organisasi HAM dan Departemen HAM dari Komisi Perdamaian dan Keadilan Santiago. Dukungan informasi juga datang dari Palang Merah Internasional (ICRC). Sayangnya komisi tidak dapat meminta informasi dari pihak militer, baik melalui cara pemanggilan atau meminta dokumen. Militer menolak dengan dalih bahwa menurut ketentuan UU yang berlaku, setelah 5 tahun arsip harus dihancurkan. Untungnya komisi masih bisa mendapatkannya dari catatan-catatatan medis. Tahap kedua, komisi mendengarkan kesaksian korban dan keluarga korban. Kesaksian diberikan ketika komisi mengadakan kunjungan ke daerah-daerah dan dilakukan di kantor pemerintah setempat. Banyak keluarga korban yang baru pertama kali menceritakan pengalaman traumatisnya setelah dipendam puluhan tahun. Di samping banyak juga yang bercerita tentang keadaan hidupnya setelah anggota keluarganya menjadi korban. Tahap ketiga, 60 orang staf komisi mulai memilah data, membuat uraian singkat, menyatakan pendapat dan rekomendasi untuk kemudian dipelajari oleh komisioner. Tiap hari seorang komisioner harus membaca 100 – 200 kasus bersama dua ahli hukum dan didiskusikan keesokan harinya. Dari hasil diskusi itu, dibuat langkah lanjutan dengan uji ulang atau dibatalkan karena tidak relevan. Dibutuhkan kecermatan melihat apakah korban secara kebetulan terbunuh atau karena keterlibatannya dalam politik. Kejelian memeriksa nama yang sama dalam tempat pencatatan yang berbeda. Uji ulang dilakukan berkali-kali dengan memeriksa catatan penduduk, bukti tidak menikah, tidak pergi ke luar negeri,
29
catatan tentang aktivitas politiknya, catatan tentang proses penangkapannya hingga dapat ditetapkan bahwa seseorang telah “hilang”. Dari proses ini, terdapat 2.100 kasus yang dapat dijelaskan secara detail. Cara menyelidiki kasus serinci mungkin membuat komisi di Chili terlihat berbeda dari komisi-komisi di negara lain. Terdapat 2.920 kasus sesuai dengan mandat kerja komisi, dengan 2.025 kasus ditetapkan sebagai tindak pelanggaran HAM yang dilakukan aparat keamanan berupa 1.068 kasus pembunuhan, serta 957 korban hilang. Sisanya, 90 kasus pelanggaran dilakukan oleh oposisi bersenjata. Sebanyak 95% korban adalah laki-laki, dua pertiganya berusia antara 20-40 tahun. Korban buruh dan petani jauh lebih banyak daripada mahasiswa. Terdapat 641 kasus yang belum dapat disimpulkan sedang sekitar 100 kasus dibatalkan. Laporan akhir komisi setebal 1.800 halaman terdiri dari 1.094 halaman deskripsi kronologis kasus pembunuhan, orang hilang, termasuk yang dibunuh oleh kelompok oposisi bersenjata. Bagian terpenting laporan ini adalah bagaiam di mana komisi berhasil mengungkapkan cara bekerjanya dinas intelejen militer. Sedangkan 74 halaman belakang merupakan bab khusus, mengenai pemulihan korban yang berisi ratusan saran dan usulan. Bagian ini dibagi tiga katagori. Pertama, reparasi: komisi mengusulkan dilakukannya rehabilitasi publik bagi korban dengan mendirikan monumen, mengeluarkan sertifikat kematian korban “hilang”, standar pensiun keluarga korban, perawatan medis, tunjangan pendidikan, perumahan dan sebagainya. Kedua, pencegahan: komisi mengusulkan perbaikan sistem hukum baik itu mengenai ratifikasi instrumen HAM internasional, penyediaan data penahanan tiap orang, penghukuman bagi mereka yang menyembunyikan informasi keberadaan orang hilang dan sebagainya. Ketiga, keadilan dan rekonsiliasi: sebagai bab terakhir yang membahas persoalan kebenaran, di mana penekanan pembahasan terletak pada soal membawa pelaku ke pengadilan. Laporan diserahkan kepada Presiden Aylwin pada bulan Febuari 1991 dan mendapat sambutan luas. Setelah itu secara resmi ia menyatakan permintaan maaf kepada korban dan keluarganya atas nama negara dan memerintahkan tentara untuk mengakui keterlibatannya dalam tindak kekerasan. Sebelumnya, presiden sudah membuat langkah-langkah simbolik seperti pembebasan tapol. Ia juga mengambil jenazah “musuh utama” rezim politik Pinochet, Presiden Salvador Allende, dari makam pribadi di pantai
30
pasifik, untuk disemayamkan di pemakaman umum Santiago. Sebelum dikubur ulang, jenazah mendapat upacara kematian secara terhormat dalam ibadah nasional di Gereja Katedral, kemudian diarak menempuh jalan-jalan utama Santiago menuju ke pemakaman. Pemerintah juga mendukung pembongkaran 20 mayat di kuburan tersembunyi sekitar pekuburan Pisagua. Dan pada akhir tahun 1990, bersama berbagai organisasi HAM, pemerintah sepakat mendirikan monumen korban rezim politik diktator. Laporan ini tak luput dari kritikan militer maupun kelompok kiri dan kanan. Kalangan kiri mengkritik laporan dengan menyatakan bahwa Presiden Salvador Allende justru bertanggung jawab atas terjadinya polarisasi politik di masyarakat. Sementara kalangan kanan menganggap kelompok kiri menjadi penyebab seluruh kesalahan itu. Tensi perdebatan semakin meningkat menjadi ketegangan ketika pada bulan April 1991 seorang intelektual sipil rezim Pinochet, Jaime Guzmán, dibunuh oleh kelompok ekstrem kiri. Pada bulan September tahun itu juga, Agustín Edwards, salah seorang raja media, diculik. Lima tahun kemudian, Desember 1996, penculik Edwards dari kelompok kiri melarikan diri dengan menggunakan helikopter dari penjara Santiago. Serangkaian kejadian tersebut mampu menghentikan diskusi publik tentang laporan Rettig. Perhatian publik pada HAM berubah pada terorisme. Di tahun 1992, laporan komisi tak pernah muncul lagi. Puluhan ribu kopi ditarik dari peredaran dan disimpan di gudang untuk menghindari perpecahan politik lebih lanjut. Memasuki tahap penuntutan, Aylwin menghadapi tantangan militer lebih keras lagi. Memang sejak awal, proses ini sudah dihadang oleh pemberian amnesti rezim politik terdahulu pada semua anggota militer yang terlibat kekerasan sejak kudeta berlangsung (1973) hingga Maret 1978. Guna menyiasati kebijakan tersebut diajukan tafsiran berdasarkan yurisprudensi Chili. Sekalipun amnesti diberikan, investigasi atas fakta tetap dijalankan, sehingga sekitar 200 kasus dapat diproses di pengadilan pada tahun 1993 dan 800 kasus lainnya ditunda sementara tetapi bisa dibuka kembali bila terdapat bukti baru. Militer berang dengan proses itu. Pada tanggal 28 Mei 1993, sekelompok pasukan militer berseragam perang berkumpul di depan Istana Presiden dan menuntut penghentian penyelidikan atas mereka. Pemerintah terpaksa membuka kembali negosiasi dengan militer dan parlemen. Militer menuntut kasus dipercepat dan dengar pendapat tidak boleh menimbulkan sakit hati dari pihak militer. Sementara itu, beberapa politisi dan anggota
31
parlemen mengusulkan kebijakan sejenis “punto final” di Argentina dan mengakhiri investigasi. Sebaliknya, Aylwin meminta militer mengakui secara publik bahwa mereka bertanggung jawab atas tindak kekerasan masa lampau. Bahkan ia juga meminta militer memberi informasi mengenai lokasi korban. Seketika itu pula militer menolak permintaan tersebut. 15 Artinya, Aylwin mendapat tantangan serius – berarti tatanan moral tidak sepenuhnya bisa dibangun kembali. Reaksi militer terus berlanjut di masa pemerintahan Eduardo Frei Ruiz-Tagle, pengganti Aylwin. Kepala Carabinero, Rodolfo Stange Oelckers berkeras menolak pemecatannya. Padahal terungkap data 16 polisi terbukti bersalah melakukan pembunuhan atas tiga pimpinan serikat buruh pada tahun 1985. Tahun 1995, mahkamah agung menemukan data yang menyebutkan mantan direktur DINA (dinas intelejen Chili), Manuel Contreras, bersama kepala operasi DINA, Pedro Espinoza, sebagai pelaku pembunuhan Duta Besar Orlando Letelier. Contreras melarikan diri ke daerah pedalaman diikuti tentara lainnya. Meski pada akhirnya setelah sekian waktu, akhirnya pelaku bersedia menerima tuntutan. Di Chili, terdapat tiga hambatan mendasar bagi proses kerja komisi. Pertama, kebalikan dengan di Argentina di mana kerja komisi sangat terhambat karena fokus penyelidikan semata pada tindak kekerasan militer, sedang dalam proses kerja komisi di Chili hambatan justru muncul karena definisi tindak kekerasan kurang terfokus pada militer. Identifikasi tindak pelanggaran berat HAM yang diselidiki komisi hanya berupa tindakan aparat keamanan maupun orang lain dan sekadar untuk tujuan politik semata. Akibatnya, yang kemudian terjadi di Chili adalah berkembangnya pemahaman bahwa kekerasan yang terjadi semata-mata merupakan pertikaian antarkelompok, bukan pembantaian ekstrayudisial dan sistematis oleh militer. Kedua, pengadilan tidak bisa menyelidiki kasus yang terjadi sebelum tahun 1978. Kasus orang hilang dianggap sebagai kejahatan sipil biasa, kalaupun ada tentara yang mengaku melakukan perbuatan di tahun tersebut, kasusnya diproses di peradilan militer. Ketiga, usulan komisi agar terdapat UU perlindungan saksi dan korban tidak diterima parlemen. Meski demikian, terdapat hal baru dan penting yang dapat dirujuk dari komisi ini, yaitu dilaksanakannya sebagian besar rekomendasi laporan Rettig dan dibahas di 15
Ibid., hlm. 180-184.
32
Parlemen. Ini membuat komisi kebenaran Chili menjadi salah satu komisi terpenting sampai saat ini. Pada tanggal 8 Febuari 1992, ditetapkan berdirinya Korporasi Nasional untuk Reparasi dan Rehabilitasi. Korporasi ini merupakan model paling baik untuk mewujudkan rekomendasi komisi kebenaran karena ada mekanisme yang ditetapkan guna pelaksanaannya. Mandatnya adalah melakukan koordinasi, mempromosikan dan melaksanakan tindakan yang sesuai dengan rekomendasi komisi. Korporasi ini menetapkan uang pensiun tiap bulan sekitar US $350 bagi korban dan keluarga korban yang namanya tercantum dalam laporan komisi.16 Badan ini juga diminta menyediakan bantuan medis, konsultasi psikologis bagi keluarga korban (termasuk keluarga korban penyiksaan dan korban pelarian di luar negeri), subsidi pendidikan menengah dan tinggi bagi anak-anak korban. Paguyuban keluarga korban yang menerima bantuan ini menganggapnya sebagai langkah positif, meskipun belum memenuhi rasa keadilan pihak keluarga korban dan atau korban sendiri. Korporasi juga diminta melacak sisa-sisa korban orang hilang, mengungkap kasus yang belum diselesaikan komisi Rettig dan menyusun dokumen-dokumen komisi.
Penyelesaian Kekerasan oleh Pemerintahan Satu Partai
Tantangan demokratisasi pada rezim partai sosialis berbeda dengan rezim diktator militer. Sekalipun penggulingan pemerintahan berlangsung cepat di beberapa negara, namun gerakan demokratisasi tidak serta merta mampu menggantikan mesin politik pemerintahan terdahulu. Negara sosialis dibangun lewat mesin birokrasi khusus yang di dalamnya melekat sistem intelijen sipil, demi menghadapi kepungan imperium kapitalisme. Birokrasi yang telah mengunci kebebasan sipil ini tidak mudah diubah, sehingga gerakan pro-demokrasi menghadapi kenyataan pahit. Pemerintahan terdahulu tidak cuma mengandalkan militer dan polisi rahasia guna mengawasi masyarakat melainkan juga anggota sipil partai, pejabat dari tingkat pusat hingga daerah dan berbagai organisasi massa pendukungnya. Nyaris seluruh elemen masyarakat membantu polisi rahasia dan dinas intelejen sebagai informan.
16
“Summary of the Truth and Reonciliation Commission Report”, National Education Campaign for Truth and Human Rights, Chilean Human Rights Commission/Centro IDEAS, Ministry of Foreign Affairs of
33
Secara umum ada tiga masalah yang dihadapi gerakan demokrasi di negara-negara Eropa Timur. Pertama, soal reformasi institusional. Gerakan demokrasi menuntut hapusnya dominasi partai komunis; hal itu tidak cukup hanya dengan mengganti personil struktural pemerintahan. Struktur pertanggungjawaban di tubuh tentara dan polisi harus pula diubah, sehingga mereka tidak lagi tunduk pada hierarki partai tetapi pada pejabat terpilih. Demikian pula dengan sistem pengadilan, perdagangan, hingga universitas dan sekolah-sekolah. Kedua, masalah penentuan siapa yang bertanggung jawab terhadap berlangsungnya tindak kekerasan. Seperti diketahui, partai komunis mengontrol seluruh sendi kehidupan, sehingga berimplikasi pada ribuan orang yang akan dituduh melakukan kejahatan mulai dari problem kesalahan mengelola ekonomi, kerusakan lingkungan hingga sampai perlakuan tahanan politik. Selain itu sebagian besar tindakan lebih berbentuk “kolaborasi” ketimbang pelanggaran HAM. Tindakan itu sendiri tidak ada definisi hukumnya. Ketiga, soal korban dan kompensasi. Sulit menentukan siapa yang bisa dianggap korban dan seperti apa bentuk kompensasinya. Pada kasus tertentu, tahanan politik atau orang yang dipecat dari jabatan karena alasan politik, itu bisa dilakukan. Tapi ini sulit pada kasus orang yang dicegah untuk menikmati pendidikan, dilarang bekerja sesuai bidang keahliannya, atau difitnah oleh polisi rahasia.17
Cekoslovakia
Pemerintahan baru Cekoslovakia berdiri pasca-terjadinya “revolusi beludru” (1989). Guna mengatasi berbagai masalah yang ada, pemerintah melakukan pembersihan bekas agen polisi rahasia beserta kolaboratornya. Pembersihan dilakukan dengan mengacu pada informasi dan dokumen yang tersimpan dalam arsip lembaga polisi rahasia pemerintahan terdahulu. Kebijakan pembersihan (lustration) atau pensucian dimulai dengan memeriksa masa lampau pejabat puncak dan beberapa kandidat parlemen. Pembersihan yang dilakukan secara ad hoc itu berdasarkan sumber yang tidak lengkap dan hasilnya tidak diumumkan. Sehingga, rakyat tetap ragu dan mencurigai pimpinan baru.
Chile. 17
Tiga pokok soal ini diajukan oleh Kathleen E. Smith, Decommunization after the “Velvet Revolution” in East Central Europe, dalam Naomi Roht-Arriaza, loc. cit. hlm. 86-87.
34
Parlemen kemudian memutuskan membuat komisi yang secara khusus akan menyelidiki kekerasan selama revolusi November 1989. Komisi menjalani tugas mahaberat karena harus memeriksa semua wakil majelis federal, para menteri dan wakilnya serta pegawai kepresidenan. Komisi menemukan sendiri dua anggota tim pembersihan tahap pertama yang berstatus agen polisi rahasia, sehingga banyak yang melakukan kritik terhadap eksistensi komisi. Kubu yang mendukung usaha ini mulai berpandangan bahwa komisi bekerja setengah hati. Sementara itu, kubu yang menentangnya memandang pembongkaran tragedi masa lampau hanya semakin menambah luka dan tidak menyelesaikan masalah. Perdebatan ini berkembang menjadi ketegangan politik dengan saling tuduh satu sama lain. Tekanan publik yang terus menerus mampu memaksa dikeluarkannya UU tentang pembersihan yang lebih menyeluruh pada Oktober 1991. UU tersebut menetapkan pemberhentian kerja dengan kriteria, barang siapa antara bulan Febuari 1948 hingga November 1989 menjadi anggota kesatuan keamanan negara (StB), baik yang terdaftar sebagai agen tingkat daerah maupun informan, kolaborator ideologis, kolaborator StB, sekretaris partai komunis Cekoslovakia dan partai komunis Slovakia beserta anggotanya sampai tingkat daerah, anggota milisi, anggota komite aksi dan siswa sekolah militer di Uni Soviet. Mereka semua juga dilarang menduduki posisi dalam badan administrasi negara, badan militer Cekoslovakia, kepolisian, kantor kepresidenan, kantor majelis Federal, dewan nasional Cehnya dan Slovakia, radio dan televisi, perusahaan negara, perusahaan dagang luar negeri, organisasi bersubsidi bank negara, mahkamah agung, akademi ilmu pengetahuan dan lain-lain hingga tahun 1996.18 Juga dinyatakan dalam UU tersebut, semua individu di atas usia 18 tahun dapat mengajukan permohonan sertifikat “bersih diri” tidak terdaftar sebagai informan. Implikasi peraturan tersebut, sekitar 200.000 orang telah mengajukan permohonan itu kepada komisi parlemen. Kemudian, berlangsunglah pemecatan besar-besaran terhadap semua orang yang terbukti berkolaborasi dengan dinas rahasia. Hingga 31 Desember 1996, tercatat 198 pegawai diadili dan diperkirakan sekitar 300.000 orang terlibat. Namun tujuan yang diharapkan rakyat tidak terpenuhi, karena UU tersebut tidak membuat gradasi kesalahan dan tidak juga mengurai apa yang memotivasi seseorang 18
Rude Pravo, 5 Oktober 1991, lihat Kathleen E. Smith, ibid. hlm. 92.
35
dalam memberikan informasi. Bahkan, tidak ada kebijakan memaafkan orang-orang yang kesalahannya kecil, seperti hanya sekali memberikan informasi yang tak terlalu penting. Ditambah lagi lustration hanya “membersihkan” informan kecil. Elite pengambil kebijakan tetap bebas karena namanya tidak tercatat di kepolisian rahasia. Rakyat mulai ragu dengan keakuratan dokumen kepolisian rahasia. Sekalipun demikian, terdapat sejumlah pengadilan terhadap pelaku tindak kekerasan pada demonstrasi bulan November 1989. Sekretaris pertama partai komunis cabang Praha dijatuhi hukuman 4 tahun untuk tindakan memerintahkan penindasan demonstrasi. Bekas Menteri Dalam Negeri dan wakilnya diadili karena penangkapan sewenang-wenang. Model Cekoslovakia tersebut juga terjadi di Bulgaria. Pada bulan Desember 1992 keluar UU Panev yang mengharuskan semua individu sebagai pemegang posisi kunci di lembaga akademis memiliki surat tertulis tentang pekerjaannya di masa lampau dan aktivitasnya dalam partai komunis. Jika individu tersebut merupakan pemegang posisi kunci partai komunis atau badan keamanan negara atau lembaga pendidikan partai, maka ia akan dipecat. Tahun 1994 pemerintah Bulgaria telah memecat sekitar 9.000 orang manajer perusahaan, 14.000 pegawai agen keamanan negara, 90% administrator pemerintah dan sepertiga dari seluruh diplomat.19
Rumania
Drama penumbangan rezim politik Ceausescu berujung pada ketidakjelasan politik Rumania. Padahal tumbangnya kekuasaan Ceausescu merupakan kesempatan bagi elite politik guna membersihkan rezim politik baru dari masa lampau dengan cara membongkar skandal rezim dan menuntut pertanggungjawaban personilnya. Pengadilan mulai digelar dengan mengadili pimpinan rezim, Nikolae dan Elena Ceausescu. Bersamaan dengan itu, semua personel Agen Dinas Informasi Rumania dipecat. Proses pengadilan berlangsung rahasia dan digelar oleh sebuah peradilan militer yang sengaja dibentuk secara khusus. Bahkan status tahanan baru diumumkan secara resmi tiga hari setelah penangkapan orang yang dituduh. Publik sendiri baru dapat mengetahui 19
Daan Bronkhorst, loc. cit.
36
jalannya peradilan setelah pukul 04.00 waktu setempat setelah menunggu semalaman, melalui potongan-potongan peristiwa peradilan yang ditayangkan di televisi nasional. Presiden Ceausescu didakwa telah melakukan kejahatan genosida atas 60.000 korban, percobaan melarikan diri dengan membawa aset luar negeri. Proses pengadilan yang berlangsung tidak hanya bersifat rahasia, tapi juga berlangsung secara tidak adil. Pengacara terdakwa sendiri berlaku seperti jaksa. Terdakwa tidak diberi kesempatan guna menyatakan banding maupun permohonan keringanan hukuman, saat dijatuhi hukuman mati. Proses eksekusi langsung dilaksanakan di akhir pengadilan. Televisi dengan sengaja memperlihatkan tubuh pasangan bekas pemimpin Rumania tergolek dengan lubang-lubang peluru dan ceceran darah. Proses pengadilan selain digelar di ibu kota negara, Bucharest, juga digelar di 41 daerah lain di Rumania. Sepanjang tahun 1990, berturut-turut pimpinan puncak partai komunis dan pemerintahan diseret ke meja hijau. Tetapi hampir semua proses pengadilan itu berujung dengan pembebasan tersangka. Tanggal 27 Januari 1990 digelar pengadilan untuk empat orang bekas pembantu terdekat Ceausescu. Mereka dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dan hartanya disita. Tetapi bulan April 1993, Mahkamah Agung meninjau keputusan tersebut, tuduhan genosida berubah menjadi pembunuhan tak disengaja dan masa penahanan berkurang menjadi 10 dan 17 tahun. Setahun kemudian, semua tersangka dibebaskan dengan alasan perawatan kesehatan atau berkelakuan baik. Hal yang sama juga terjadi pada pengadilan Timisoara20 pada bulan Maret 1990. Lebih dari 24 orang anggota securitate dan polisi dituduh melakukan pembantaian dan penghilangan jenazah. Prose pengadilan berlangsung selama 2 tahun dengan mendengar 500 orang saksi. Tetapi di penghujung sidang, tuduhan tersebut berubah menjadi pembunuhan biasa. Putusan pengadilan menjatuhkan hukuman bagi 8 orang tersangka penjara antara 15 hingga 20 tahun, 6 orang dibebaskan, seorang meninggal dunia dan 10 orang lainnya dibebaskan karena melewati masa penahanan. Pada akhirnya mereka semua dibebaskan dengan alasan kesehatan. 20
Pada tanggal 16 Desember 1989, terjadi demonstrasi karena Uskup Laszlo Tokes dari Gereja Reformasi Hungaria dipindahkan secara paksa. Ini terjadi di kota Timisoara, terletak di barat daya Rumania, berbatasan dengan Serbia dan Hungaria. Demonstrasi berubah menjadi penembakan membabi buta oleh pasukan militer atas perintah langsung Nicolae Ceausescu. Dari pengadilan terungkap, setidaknya 40 mayat telah dikapalkan diam-diam ke Bucharest guna menghilangkan jejak pembantaian. Daftar nama korban tewas dan luka dari rumah sakit Timis dihancurkan.
37
Ending yang sama juga terjadi pada hasil pengadilan atas komite eksekutif Partai Komunis Rumania bulan Juli 1990. Tuduhan genosida terhadap mereka diubah oleh jaksa militer menjadi memancing terjadinya tindakan pembunuhan. Sekali lagi, pada bulan Maret 1991 pengadilan militer meringankan tuduhan atas 9 orang anggota komite dengan memberlakukan tuduhan keterlibatan pembunuhan dan mengabaikan kewajiban. Sementara anggota lain dibebaskan atau menerima penangguhan penahanan. Pada akhirnya, 3 orang terpidana dibebaskan dengan alasan berkelakuan baik selama penahanan, sedang lainnya dengan alasan kesehatan. Keluarga Ceausescu yang diseret ke pengadilan dengan tuduhan keterlibatan pembunuhan hingga penyalahgunaan uang negara juga menikmati keuntungan. Nicu Ceausescu, anak termuda pasangan Ceausescu diadili karena memberi perintah tembak pada demonstran bulan Desember 1989 di kota Transylvania. Di kota tersebut, ia menjadi sekretaris pertama partai komunis. Pada awalnya, ia dihukum 20 tahun atas tuduhan genosida. Setelah banding, tuduhan menjadi lebih ringan, yaitu memancing terjadinya tindak pembunuhan berbahaya dan kepemilikan senjata api ilegal.
Di akhir proses
pengadilan, Nicu Ceausescau hanya dihukum karena memiliki senjata api ilegal dengan hukuman penjara selama 5 tahun. Setelah menjalani setengahnya, ia mendapat pengurangan waktu penahanan dengan alasan kesehatan. Begitu pula dengan Andruta Ceausescu, saudara laki-laki Nicolae Ceausescu, bekas letnan jenderal securitate, semula dihukum penjara selama15 tahun dengan tuduhan pembunuhan berbahaya terhadap 7 orang warga sipil dan penyalahgunaan senjata api pada peristiwa tanggal 21-22 Desember 1989. Namun diam-diam ia mendapatkan pembebasan sementara dengan alasan menjalani perawatan kesehatan. Jika melihat proses ini semua, hanya pasangan presiden yang memikul beban tindak kekerasan dan menerima hukuman berat. Sekalipun penuntutan dan penghukuman berlangsung, tetapi sesungguhnya tidak pernah terungkap skandal apa pun yang telah dilakukan rezim politik Ceausescu. Pengadilan Rumania tidak memiliki prinsip pengambilan keputusan pengadilan. Banyak kalangan mempertanyakan, apa yang berlangsung di Rumania tersebut merupakan peradilan HAM atau investigasi penyalahgunaan keuangan oleh anggota keluarga Ceausescu. Tindakan mana yang merupakan tanggung jawab individual dan tindakan apa
38
yang merupakan kewajiban atau perintah, tidak begitu jelas distingsinya dalam proses tersebut. Karenanya pengadilan tidak berhasil memenuhi salah satu tujuan pemerintahan baru yaitu menegakkan hukum dalam tatanan demokratis.21 Sebenarnya, banyak kalangan yang meragukan eksistensi pemerintahan baru Rumania. Kejanggalan sesungguhnya dapat dilihat dari perubahan sikap militer dalam kurun waktu sehari. Sejak tanggal 16 hingga 22 Desember 1989, militer membantai demonstran habis-habisan, namun secara tiba-tiba berubah menjadi pendamping dan pelindung demonstran dalam demonstrasi penentuan nasib Ceausescu tanggal 23 Desember 1989. Pada saat yang sama, berlangsung pertemuan pertama di antara klik elitr yang mempersatukan diri dalam Front Penyelamat Nasional. Ion Iliescu tampil mewakili front tersebut. Padahal, ia tidak hanya sebagai anggota terpenting nomenklatura, tapi juga sebagai pejabat tinggi partai komunis sebelum dipecat dari komite sentral tahun 1984. Lima bulan kemudian ia terpilih sebagai presiden Rumania pasca-komunis. Anggota front lainnya adalah para jenderal dan beberapa orang pembantu terdekat Ceausescu. Kegagalan pengadilan mempertebal ketidakpercayaan pada sistem hukum dan pemerintah. Banyak kalangan mulai mendengungkan perlunya pengungkapan kebenaran yaitu dibongkarnya skandal negara dan bukan untuk membalas atau memberi hukuman setimpal pada pelaku. Pada bulan Desember 1993, diajukan RUU yang memungkinkan individu memeriksa informasi tentang dirinya dari dokumen polisi negara. Tetapi usulan itu tidak menjadi agenda prioritas legislatif, sehingga proses lustration itu tidak pernah terjadi. Awal tahun 1991, senat Rumania menetapkan berdirinya sebuah komisi untuk menyelidiki kekerasan saat demonstrasi bulan Desember 1989. Ironisnya hingga paruh kedua tahun 1993 komisi baru mendengarkan seorang saksi. Senator Dumitrescu kemudian mengundurkan diri dari jabatan ketua komisi untuk memprotes kurangnya kerja sama dengan pemerintah. Perjalanan mengungkap kebenaran juga terganjal oleh nuansa politisasi yang amat kental dari berbagai pihak atas peristiwa tersebut. Manipulasi informasi terjadi di mana-mana. Bahkan mampu menyeret komisi untuk mencari
21
Edwin Rekosh, “Romania: A Persistence Culture of Impunity”, dalam Naomi Roht-Arriaza, loc. cit., hlm. 129.
39
kesimpulan-kesimpulan peristiwa tanpa berhasil mengungkap siapa korban, apa yang terjadi dan siapa yang melakukan. Tantangan di atas menunjukkan bahwa Rumania merupakan contoh kegagalan transisi politik sekalipun pengadilan heroik telah dilakukan.
Jerman
Berbeda dengan negara-negara Eropa Timur lainnya, pemerintahan Republik Demokratis Jerman (Jerman Timur) tidak digulingkan melainkan meleburkan diri dengan wilayah Jerman Barat. Jerman Timur, sebagai sebuah negara, menjadi lenyap, yang kemudian melahirkan Jerman bersatu. Namun penyatuan dua negara Jerman tersebut tidak membuat penyelesaian pelanggaran berat HAM masa lampau menjadi lebih mudah. Hal yang paling sulit adalah menuntut pertanggungjawaban rezim penguasa Jerman Timur masa lampau, karena sudah tidak ada lagi entitas politik maupun klik elite yang bercokol. Meski demikian, pengadilan terhadap pelaku tindak kekerasan masa lampau tetap dilaksanakan, seperti terhadap Erich Honecker, ketua Partai Persatuan Sosialis – SED yang berkuasa saat itu. Pengadilan juga digelar untuk bekas anggota Dewan Pertahanan Nasional, Heinz Keßler, Fritz Streletz, Heinz Albrecht untuk peran mereka dalam proses pembuatan keputusan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah. Tetapi sesungguhnya yang lebih penting bagi masyarakat Jerman bersatu adalah pembongkaran skandal kekerasan pemerintahan Jerman Timur. Dalam hal ini, Agen Keamanan Negara (Stasi) merupakan bentuk paling konkret yang dapat menjelaskan pelaksanaan kebijakan rezim kekerasan masa lampau. Stasi bukan agen rahasia biasa, karena ia juga dapat mencampuri kehidupan orang, mempengaruhi karier seseorang dan secara sistematis memanfaatkan kelemahan manusia dengan menggunakan informasi rinci yang dikumpulkannya. Diperkirakan, arsip Stasi memiliki dokumen tertulis sepanjang 180 km jika digelar dan sekitar 20 juta halaman data dalam bentuk mikrofilm. Dengan data sebesar dan sebanyak itu, tidak terbayangkan berapa juta orang yang kehidupan pribadinya telah diawasi oleh agen negara ini, belum lagi lembaga atau organisasi swasta maupun publik, anggota pers, dan penyiaran.
40
Runtuhnya dominasi kekuasaan agen Stasi membuat semua orang sedikit lega. Namun demikian, muncul ketegangan baru, di mana orang saling curiga akan keterlibatan masing-masing di masa lampau. Banyak orang beramai-ramai membersihkan diri dan saling tuduh. Sebelum dokumen Stasi dibuka resmi, sudah terjadi pasar gelap dokumen-dokumen yang dicuri dari bekas agen sendiri. Dokumen itu digunakan untuk memeras, mengancam dan memancing keresahan masyarakat. Media massa termasuk salah satu pembeli utama dokumen. Nilai politis dokumen Stasi begitu tinggi, lebih-lebih jika dokumen tersebut mampu menjelaskan masa lampau orang-orang penting yang berperan dalam politik saat ini. Cita-cita demokratisasi segera hancur tatkala diketahui bahwa ternyata banyak pemimpin yang memiliki keluarga atau teman merupakan informan agen rahasia tersebut. Oleh karenanya, pembongkaran dokumen Stasi merupakan kebijakan terpenting pemerintah Jerman bersatu. Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Dokumen Stasi pada tahun 1991. Menurut kebijakan ini, setiap warga berhak mencari informasi tentang data dirinya, lengkap tentang siapa yang memberi informasi dan informasi tentang siapa. Ini
adalah bagian dari pemulihan hak warga atas kehidupan pribadinya. 22 Untuk
menjalankan UU tersebut, pemerintah mempekerjakan sekitar 3.406 orang guna pengelolaan dokumen Stasi dengan 14 cabang di berbagai daerah. Hingga bulan Maret 1991, pemerintah menerima 600.000 permohonan untuk melihat data pribadi dan sekitar 1.250.000 permohonan penyelidikan dan pengujian dokumen tentang mereka. Akan tetapi, seperti yang terjadi di Cekoslovakia dan negara lain, pembukaan dokumen Stasi tidak serta merta mengurangi ketegangan. Begitu banyak orang yang dulunya bekerja sebagai informan, sehingga pemecatan massal pegawai negeri tak terhindarkan. Sebanyak 60 % pegawai pendidikan dan guru sekolah dibebastugaskan karena riwayat “masa lampau”-nya. Namun, tindakan pemecatan ini masih diragukan keadilannya karena secara resmi Stasi mempekerjakan 110.000 pegawai, padahal masih 22
Tujuan UU ini adalah: a. Memfasilitasi akses individu pada data pribadi yang disimpan agen rahasia negara; b. Melindungi individu dari kerugian-kerugian atas terlanggarnya hak atas kehidupan pribadi; c. Menjamin dan mendorong dilakukannya pengkajian kembali kegiatan agen rahasia negara secara historis, politis dan yuridis; d. Memberi akses bagi lembaga swasta maupun publik atas informasi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan UU ini. Pembahasan rinci tentang undang-undang ini lihat Graeme Simpson, Proposed Legislation on Amnesty/Indemnity and the Establishment of a Truth and Reconciliation Commission, diusulkan pada Menteri Keadilan, Mr. Dullah Omar MP, Juni 1994, Centre for the Study of Violence and Reconciliation, 1994.
41
terdapat jutaan informan tak resmi. Akibatnya, tidak ada data yang akurat mengenai hal ini. Terlebih lagi, ternyata sebelum terjadinya perubahan politik, sudah banyak data yang dihancurkan. Sekitar 20.000 kantong dokumen dalam keadaan rusak dan 18 mesin penghancur ditemukan di depot sentral Berlin. Hal ini menambah tensi ketegangan politik di Jerman. Menghadapi kekacauan tersebut, pada tahun 1992 parlemen Jerman menetapkan berdirinya komisi khusus yang bertugas menyelidiki serta memberikan gambaran akurat peristiwa dan praktik tindak kekerasan di Jerman Timur. Kurun waktu peristiwa dan praktik pelanggaran Berat HAM yang diselidiki berkisar antara tahun 1949-1989. Komisi ini bernama Komisi Studi untuk Mengkaji Sejarah dan Konsekuensi dari Pemerintahan Diktator SED di Jerman, dengan keanggotaan 16 orang dari parlemen dan 11 orang warga sipil yang mewakili partai politik di parlemen, termasuk wakil Partai Sosialis Demokratis pengganti partai SED. Komisi ini diketuai seorang aktivis HAM, dengan tugas mengkaji aparatur represif Stasi serta pelaksanaan sistem pengadilan dan penjara. Puluhan “acara” dengar pendapat dibuka di wilayah Jerman Timur. Banyak kelompok bermunculan mendiskusikan warisan SED di wilayah tersebut. Bahan-bahan penting yang dikumpulkan mencapai 150.000 halaman. Selanjutnya,
pada
bulan
Mei
1995
pemerintah
Jerman
mendirikan
Enquête-Kommission dengan tugas “mencari jalan keluar guna mengatasi berbagai akibat yang ditimbulkan kediktatoran SED dalam proses penyatuan kembali Jerman”. Tiga masalah yang harus diatasi komisi ini adalah (i) pengaruh ideologis SED, (ii) militerisasi masyarakat, dan (iii) penetrasi aparatur keamanan Stasi ke dalam masyarakat.
Penyelesaian Kekerasan Akibat Konflik Bersenjata
Rezim politik diktator militer menjadi sangat kejam setelah pemberontakan sipil mengalami kekalahan, seperti di Peru dan Bolivia. Hingga bulan April 2000, pemerintah Bolivia masih bertindak ala pemerintahan tahun 1970-an dengan memberlakukan UU darurat setelah terjadinya pemogokan umum menentang swastanisasi air minum. Namun demikian, hal ini tidak berlaku di El Salvador dan Guatemala, di mana kekejaman pemerintah berlangsung seiring dengan perlawanan gerilyawan. Selama 30 tahun, terjadi
42
perang tanpa pemenang. Memasuki periode 90-an, rezim politik tersebut mulai “melunak”. Langkah-langkah perdamaian mulai dilakukan dan disepakati pembentukan komisi guna penyelidikan tindak kekerasan selama perang.
El Salvador
Pemberontakan petani yang terkenal tahun 1932 berakhir dengan pembantaian massal. Hal itu bukan berarti kematian bagi proses pemberontakan rakyat, demonstrasi petani, buruh dan mahasiswa. Tahun 1960, misalnya, ribuan mahasiswa Universitas Nasional kembali berdemonstrasi menentang segala tindakan represi. Pemerintah menyambutnya dengan penyerbuan polisi dan rentetan tembakan membabi buta ke kampus, menghancurkan ruang-ruang kelas dan laboratorium, menyiksa rektor universitas, membunuh seorang pegawai perpustakaan dan memperkosa para mahasiswi. Pemberontakan memang padam, tetapi gejolak perlawanan massa arus bawah tetap berlangsung. Untuk menandingi kekuatan konservatif, berbagai gerakan bersekutu membentuk koalisi antara kelompok tengah dan kiri dalam pemilu tahun 1970. Proses menuju kemenangan koalisi tersebut dapat digagalkan oleh kekuatan konservatif. Pilihan gerakan
yang
dijalankan
kemudian
dalam
bentuk
gerilya
perkotaan
dengan
mendengungkan ketidakpercayaan terhadap parlemen. Pada awal tahun 1980-an, Menteri Pendidikan Salvador, Samayoa, di depan kamera televisi menyatakan mundur dan bergabung dalam kelompok gerilya. Sebelumnya sudah banyak partai-partai politik, pemimpin dan aktivis serikat buruh, organisasi tani serta ulama dan pekerja gereja yang terlibat dalam perang gerilya kota. Gerakan pembebasan berhasil mempersatukan diri di bawah satu front yaitu Frente Farabundo Marti para la Liberacion Nacional (FMLN); front ini menjalankan gerilya secara efektif dan tidak terkalahkan. Pemerintah segera mengambil serangkaian tindakan guna meredam gerakan gerilya kota. Dilancarkan operasi penyerangan dengan semprotan DDT, penembakan pada demonstran di plaza San Salvador awal tahun 1980-an dan pembunuhan Uskup Agung San Salvador, Oscar Ronulfo Romero, yang menggemparkan dunia, serta lemparan bom ke tengah kerumunan pelayat di saat pemakamannya.
43
Ekskalasi penyerangan menunjukkan grafik peningkatan sepanjang dekade 80-an. Ribuan petani dibantai, kampung-kampung beserta sawah ladang dihancurkan dengan bom-bom napalm serta hujan tembakan dari pesawat udara. Pengungsi dalam negeri meningkat, kelaparan merajalela. Kematian massal menjadi kenyataan sehari-hari. Operasi ini dilakukan guna memotong jaringan logistik dan informasi gerilyawan. Dalam waktu singkat jumlah pasukan militer ditingkatkan. Belum lagi masih ditambah dengan pembentukan milisi-milisi sipil sekitar 11.000 orang. Persenjataan juga ditingkatkan seperti pesawat tempur, pesawat pengintai yang dilengkapi dengan peralatan pengawas dan bom. Semua dimungkinkan berkat kerja sama dan dukungan dari militer pemerintah Amerika Serikat. Untuk menunjukkan eksistensinya, FMLN melakukan serangan terhadap pemerintah pada tanggal 16 November 1989. Serangan tersebut segera dibalas dengan datangnya satu unit berseragam yang dilatih Amerika Serikat ke kampus Universitas Amerika Tengah dan menghabisi nyawa 6 orang pastor Jesuit termasuk Rektor, Wakil Rektor dan Kepala Lembaga HAM, seorang perempuan dan anaknya. Dengan munculnya peristiwa yang mengguncangkan dunia itu, pemerintah Amerika Serikat mendapat kritikan keras karena tidak menghormati HAM dengan mendukung angkatan bersenjata El Salvador. Sebaliknya, FMLN berhasil memperluas dukungan moral dari dalam maupun luar negeri. Posisi gerakan ini makin kuat dengan berhasil memaksa pemerintah membuka ruang negosiasi. Perundingan damai untuk mengakhiri peperangan segera dimulai. Proses negosiasi berlangsung hingga tahun 1992 di bawah pengawasan PBB dengan hasil perjanjian perdamaian di San José, Costa Rica, pada tanggal 26 Juli 1990. Perjanjian tersebut menyatakan, negara mengakui tanggung-jawabnya untuk menghormati dan menjamin HAM sebagaimana ditetapkan hukum nasional maupun konvensi internasional yang sudah ditandatangani pemerintah. Sedangkan FMLN diakui memiliki kapasitas, kehendak serta komitmen untuk menghormati martabat manusia. Perjanjian tersebut juga menyatakan perlu diambilnya langkah segera untuk menghindari praktik penghilangan nyawa, integritas, keamanan atau kebebasan individual. 23 Dari sana, lahirlah ONUSAL (Misi
23
Tercakup juga dalam perjanjian itu agenda masalah yang harus dipecahkan yaitu masalah angkatan bersenjata, reformasi internal fungsi keamanan dari angkatan bersenjata, sistem peradilan, sistem
44
Pengawas PBB di El Salvador), sebuah misi verifikasi badan PBB yang memiliki kewenangan luas guna mengawasi situasi HAM. Sekalipun terdapat kesepakatan mengakhiri tindak kekerasan antara kedua belah pihak, namun hal itu belum cukup sebagai jaminan tidak adanya pengulangan tindak kekerasan, mengingat masih lemahnya sistem hukum dan peradilan yang dapat berakibat pada tidak tercapainya penyelesaian yang adil. Oleh karena itu, disepakati mekanisme penyelesaian kasus kekerasan. Pertama, berupa komisi ad hoc yang dirancang guna membereskan militer. Mandatnya sebatas memberi rekomendasi pemindahan atau pemecatan petugas keamanan. Kedua, berupa komisi kebenaran. Tugasnya lebih luas yaitu menyelidiki dan mengkaji tindak kekerasan yang dilakukan semua pihak selama perang (sejak tahun 1980) dan membuat rekomendasi tindakan legal, politis, maupun administratif berdasarkan hasil penyelidikan, termasuk tindakan pencegahan serta langkah-langkah promosi rekonsiliasi nasional. Komisi ad hoc terdiri dari tiga orang anggota yang ditetapkan sekjen PBB setelah berkonsultasi dengan pihak-pihak yang bertikai, dengan kriteria orang yang “diakui independensitasnya dan memiliki reputasi demokratis yang tidak terbantahkan”. Dua orang anggota berasal dari militer yang memiliki hubungan dengan Partai Demokratis Kristen, sedangkan seorang lainnya adalah pengacara internasional yang pernah menjadi pelapor khusus PBB di Iran. Komisi bertugas selama 3 bulan guna mengevaluasi pejabat militer aktif yang tercatat melakukan atau mentolerir pelanggaran HAM. Berbeda dengan komisi sebelumnya, kerja komisi ini tidak saja mengarah pada elite angkatan darat dan tentara tingkat rendah, tapi juga mengkaji unit intelijen yang terlibat dalam aktivitas kelompok-kelompok sipil bersenjata. Hal ini menjadi stimulan bagi rakyat yang sudah frustasi bangkit kembali setelah mengetahui berbagai manipulasi politik oleh para elite. Komisi ad hoc menyerahkan laporannya (23 September 1992) pada Presiden Cristiani dan Sekjen PBB. Atas permintaan sang Presiden, rekomendasi komisi ini bersifat rahasia. Komisi merekomendasikan pemberhentian dan pemindahtugasan sebanyak 102 orang militer aktif. Persoalan menjadi sangat sensitif ketika rekomendasi komisi hendak dilaksanakan. Pimpinan militer bersama sekutunya menuduh rekomendasi itu bias dan pemilihan umum, reformasi konstitusi dan masalah sosial ekonomi. Penetapan agenda ini dilakukan dalam kesepakatan Caracas tanggal 21 Mei 1990.
45
tidak adil, dengan alasan nama pejabat sudah disebut lebih dulu tanpa ada kesempatan membela diri. Presiden Cristiani akhirnya juga membatalkan pelaksanaan rekomendasi itu dengan dalih yang sama dan beranggapan beberapa di antara nama itu berperan penting dalam proses perdamaian, seperti Menteri Pertahanan Jenderal René Emilio Ponce. Ia dilaporkan telah memerintahkan pembunuhan 6 pastor Jesuit akhir tahun 1989 di kampus Amerika Tengah, tetapi juga terlibat dalam proses perdamaian. Betapapun sulitnya pelaksanaan rekomendasi tersebut, tetapi proses ini memperlihatkan kemampuan kalangan sipil mengevaluasi pejabat militer. Berhadapan dengan soal masa lampau ternyata masalahnya lebih rumit lagi. Komisi penyelidik yang pernah dibentuk tahun 1985 bekerja setengah hati dan hasilnya tidak membawa perubahan.24 Hal itu mengakibatkan ketidakpercayaan rakyat pada komisi apa pun. Di samping itu, baik pemerintah maupun FMLN terus bertikai tentang kasus yang patut diselidiki. Keduanya mengusulkan daftar kasus yang berbeda dan tidak berhasil menemukan kata sepakat. Demikian pula, tidak ada kata sepakat tentang individu yang tepat untuk bekerja pada komisi. Akhirnya, kedua pihak setuju untuk menyerahkan penyelesaian tersebut pada komisi yang dibentuk PBB dan mempercayakan proses kerja komisi pada orang asing. Tanggal 16 Januari 1992 Perjanjian Chapultepec ditandatangani; perjanjian ini menetapkan pembentukan komisi kebenaran untuk El Salvador. Setelah berkonsultasi dengan semua pihak yang bertikai, Sekjen PBB kemudian menunjuk tiga orang anggota komisi. Ketiga orang penggerak komisi tersebut cukup memenuhi kriteria sebagai komisioner yang dihormati dalam skala internasional. Mereka adalah Belisario Betancur (mantan Presiden Colombia), Thomas Buergenthal (Profesor Hukum di Universitas George Washington dan mantan presiden pengadilan Antar-Amerika) serta mantan Menteri Luar Negeri Venezuela, Reinaldo Figueredo 24
Pada tahun 1985, Amerika Serikat mendanai pembentukan Komisi untuk Menyelidiki Tindakan Kriminal, sebagai bagian dari usaha reformasi peradilan. Lima buah kasus besar ditetapkan sebagai target penyelidikan komisi, yaitu: a. Pembunuhan Uskup Agung Oscar Romero; b. Pembunuhan dua penasihat Reforma Agraria warga Amerika Serikat dan pimpinan lembaga Reforma Agraria warga El Salvador di hotel Sheraton bulan Januari 1981; c. Penculikan dan pembunuhan wartawan Amerika Serikat, John Sullivan bulan Desember 1980; d. Pembunuhan oleh kelompok sipil bersenjata di daerah Armenia tahun 1981, dan; e. Pembantaian 16 orang petani di Las Hojas oleh sebuah operasi gabungan angkatan darat dan kelompok milisi. Meskipun komisi dipimpin oleh orang-orang sipil, tetapi pejabat militer mengontrol seluruh penyelidikannya, sehingga tidak ada pelaku yang berhasil diajukan ke pengadilan kecuali pelaku peristiwa hotel Sheraton. Komisi kebenaran yang dibentuk kemudian menuntut dibubarkannya badan ini karena badan ini membiarkan terus berlangsungnya pelanggaran HAM.
46
Planchart. Komisioner dibantu sekiar 20-30 orang staf ahli seperti pengacara, sosiolog, antropolog, ahli forensik dan pekerja sosial serta beberapa administrator. Dukungan dana datang dari negara-negara anggota PBB, penyumbang terbesar datang dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Untuk memahami wewenang komisi ini, ada hal yang penting dicatat: ternyata perjanjian itu memberi dua tugas yang khusus dan mendasar. Pertama, komisi diminta menyelidiki tindak kekerasan yang serius, yang implikasinya begitu rupa sehingga khalayak perlu tahu kebenarannya. Kedua, perjanjian tersebut mengakui perlunya mengakhiri gejala impunity aparat keamanan dan sepakat menyerahkan pemecahannya pada komisi kebenaran. 25 Artinya, komisi tidak hanya bertugas mengungkapkan fakta kekerasan tetapi harus menyelidiki akar impunity dalam sistem pemerintahan dan hukum di El Salvador. Untuk tugas berat tersebut, komisi hanya diberi waktu kerja selama 6 bulan saja. Kerja komisi tersebut diiawali dengan membuat penilaian umum atas temuan awal sebelum menyelidiki kasus-kasus khusus. Hal itu disebabkan karena komisi tersebut dipercaya oleh anggota penandatangan perjanjian untuk menentukan kasus-kasus apa saja yang akan diselidiki. Maka, keputusan komisi mengenai kasus menjadi sangat penting dan politis, kecuali kasus yang sudah menjadi perhatian publik internasional, seperti pembunuhan Uskup Romero. Komisi harus berhati-hati dalam mengkaji watak tiap kasus, melihat keseluruhan peristiwa, menimbang pandangan tiap pihak yang bertikai, informasi dari korban dan keluarganya dan sumber lain. Komisi mencatat lebih dari 22.000 pengaduan tentang tindak kekerasan serius yang terjadi antara Januari 1980 hingga Juli 1991. Secara langsung komisi menerima pengaduan lebih dari 7.000 kasus di berbagai kantor komisi yang didirikan di berbagai daerah. Selain mewawancarai ratusan saksi, komisi juga mengadakan pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat, pejabat pemerintah, presiden, anggota kabinet, mahkamah agung, menteri pertahanan, panglima angkatan bersenjata, kalangan gereja, pimpinan FMLN, wakil media massa, pimpinan organisasi buruh dan tokoh masyarakat pedesaan serta elite partai politik. Mereka
47
mengumpulkan informasi dari berbagai organisasi HAM dalam dan luar negeri, pemerintah asing dan lembaga asing non-pemerintah. Komisi juga melakukan kunjungan ke berbagai daerah yang diduga menjadi tempat terjadinya tindak kekerasan. Dari proses kerja pengumpulan data, dapat disimpulkan lebih dari 60% kasus adalah pembunuhan ekstrayudisial, 25% penculikan dan 20% penyiksaan. Menurut kesaksian, 85% kasus dilakukan aparat negara, kelompok paramiliter yang punya kaitan dengan aparat keamanan dan regu pembunuh. Sedang tindak kekerasan yang dilakukan FMLN tercatat 800 kasus dan nyaris setengahnya merupakan tindakan pembunuhan ekstrayudisial.26 Secara khusus, komisi tersebut berhasil menyelidiki sekitar 30 kasus. Terhadap setengah dari jumlah tersebut, komisi berhasil mengidentifikasi individu yang terbukti terlibat, memerintahkan dan melindungi tindak kekerasan. Sebanyak 40 orang aparat keamanan terbukti bertanggung jawab, seperti Menteri Pertahanan El Salvador, Jenderal René Emilio Ponce dan wakilnya Jenderal Juan Orland Zepeda. Enam orang lainnya merupakan anggota FMLN. Namun telah disepakati pula, komisi tersebut bukan pengganti proses pengadilan yang bisa menentukan hak dan kewajiban individu secara hukum. Komisi tidak dapat menghadapkan saksi dan pelaku sekaligus. Karenanya Komisi mendapat wewenang untuk menjalankan aktivitasnya secara rahasia dan menggunakan semua informasi yang dianggap berguna dan handal. Sebagai hasil kerja penyelidikannya, komisi merekomendasikan setidaknya enam hal. Pertama, tindakan pemecatan dari lembaga militer maupun pemerintahan bagi individu yang terbukti terlibat kekerasan. Kedua, penyusunan RUU untuk menetapkan pemberhentian kerja dari kantor publik selama 10 tahun bagi mereka yang terbukti terlibat serta larangan menduduki posisi di lembaga pertahanan nasional dan keamanan publik. Ketiga, reformasi pengadilan perubahan konstitusi guna mengakhiri pemusatan kekuasaan di tangan mahkamah agung, termasuk pengalihan kewenangan dari hakim pengadilan tingkat rendah ke dewan nasional pengadilan. Keempat, penguatan kantor ombudsman yang baru. Kelima, perbaikan administrasi penahanan, ratifikasi konvensi internasional HAM, menerima yurisdiksi pengadilan HAM Antar-Amerika. Keenam, sebagai bentuk 25
Penjelasan lebih lanjut lihat tulisan khusus salah seorang anggota komisi, Thomas Buergenthal, “The United Nations Truth Commission for El Salvador”, Vanderbilt Journal of Transnational Law, Oktober 1994, hlm. 2.
26
Ibid., hlm. 18.
48
rekonsiliasi nasional, komisi merekomendasi pemberian kompensasi material bagi korban dengan dana dari satu persen bantuan asing dan kompensasi moral. Rekomendasi komisi memang lebih menekankan pada reformasi sistem peradilan, karena menjadi titik krusial sepanjang proses negosiasi perdamaian. Sistem pengadilan El Salvador tidak independen dan tidak efektif karena peran politik, militer, korupsi serta ketakutan masyarakat yang begitu besar. Pejabat pengadilan diangkat dengan kriteria politik atau ikatan keluarga. Kejahatan politik dan kematian yang janggal jarang diselidiki serta banyak hakim yang diintimidasi. Karena ini pula, komisi tidak mengajukan rekomendasi proses pengadilan, komisi mengkritik cara Mahkamah Agung, Mauricio Gutiérrez Castro dalam menangani kasus pembantaian di El Mozote. Laporan komisi berjudul From Madness to Hope diserahkan pada PBB dan diumumkan pada tanggal 15 Maret 1993 oleh Sekjen PBB, Boutros Boutros-Ghali. Tak lama setelah itu, komisi mulai dikritik. Ada pihak yang mempertanyakan kredibilitas dan validitas aktor internasional yang terlibat masalah dalam negeri. Militer El Salvador menanggapinya dengan pernyataan tertulis menteri pertahanan yang disiarkan televisi nasional. Tindakan komisi dianggap ilegal dan keluar dari mandat. Di lain pihak, terdapat pula kritikan terhadap komisi yang dianggap gagal menyelidiki aspek penting dari kekerasan yaitu pasukan pembunuh. Tetapi secara umum, laporan itu diterima dengan baik oleh aktivis HAM El Salvador dan Amerika serikat. Kurang dari lima hari setelah pengumuman laporan, parlemen mengeluarkan amnesti umum. Akibatnya kesempatan melakukan tindak lanjut atas pelaku kekerasan makin kecil. Tampaknya, ada keengganan pemerintah El Salvador guna melaksanakan rekomendasi komisi untuk memberi kompensasi korban kekerasan. Meski demikian, secara bertahap pemerintah melakukan berbagai perubahan. Di bawah rumusan konstitusi dan mekanisme pemilihan hakim yang baru, mahkamah agung dan hakim di jajaran bawah tidak dipilih lagi dalam pemilihan hakim bulan Juni 1994. Sebagai gantinya, ditunjuk pengacara terhormat dari berbagai spektrum politik dan tidak berafiliasi pada partai politik. Pengadilan yang baru mengakui bahwa salah satu tugasnya adalah membersihkan badan peradilan dari masalah impunity. Akibat tekanan kuat PBB, pemerintahan Cristiani pada tahun 1993 akhirnya menyetujui penanganan persoalan tindak kekerasan dari kelompok pembunuh sipil
49
terutama terhadap pimpinan FMLN karena mengganggu proses perdamaian. Ia juga setuju pembentukan kelompok kerja yang terdiri dari anggota ombudsman HAM, wakil pemerintah dan divisi HAM ONUSAL. Tugas kelompok kerja ini adalah menyelidiki kelompok bersenjata ilegal yang bermotif politik. Bagaiamanapun juga, Kasus El Salvador harus menjadi catatan karena pemerintah yang menerima kehadiran komisi kebenaran merupakan pemerintahan yang melakukan operasi kekerasan terhadap warga sipil. Transisi dalam pemerintahan sesungguhnya tak terjadi.
Guatemala
Keberhasilan negosiasi di El Salvador tampaknya memberi inspirasi kepada negara-negara Eropa dan Amerika Serikat untuk mendukung usaha yang sama di Guatemala. Mereka mendesak pemerintah Guatemala segera membuat langkah perdamaian dengan pihak gerilyawan. Lebih-lebih mereka tidak melihat arti penting represi militer setelah tumbangnya rezim komunis di Eropa Timur dan Uni Soviet. Rakyat Guatemala mengalami nasib yang sama dengan El Salvador, di mana kekuatan militer secara massif menyerang gerakan gerilya yang tumbuh di pedalaman. Sementara di tingkat elite, kudeta militer silih berganti memimpin pemerintahan. Tindakan tersebut mendapat dukungan penuh Amerika Serikat dalam bentuk dana, peralatan, pelatihan hingga personil maupun penasihat militer. Amerika Serikat berkepentingan di kawasan ini, terutama setelah Kuba (1959) dan Nikaragua (1979) berhasil mendongkel sekutunya. Perang berkepanjangan di Guatemala bermula sejak tahun 1960,27 di mana sebuah percobaan kudeta atas pemerintahan korup Jenderal Miguel Ydígoras Fuentes yang memimpin sejak tahun 1958 mengalami kegagalan. Kegagalan itu membuat sejumlah tentara membangun aliansi dengan partai terlarang PGT, mengorganisir petani, buruh dan
27
Sesungguhnya, situasi politik demokratis telah runtuh sejak tahun 1954 ketika Presiden Jacobo Arbenz digulingkan dalam sebuah kudeta militer. Akan tetapi, bentuk perlawanan tangguh terhadap pemerintah militer dan juga pembasmiannya oleh pemerintah baru dimulai di tahun 1960. Apa yang disebut perang sipil secara menentukan baru terjadi sejak tahun 1960 tersebut. Penjelasan kronologis lihat Patrick Ball, Paluk Kobrak, dan Herbert F. Spirer, State Violence in Guatemala, 1960 – 1996: A Quantitative Reflection, Centro Internacional para Investigaciones en Derechos Humanos, CIIDH, 1999.
50
mahasiswa di sepanjang kawasan timur Guatemala (wilayah timur Zacapa dan Izabal) dan sekitar ibu kota. Sebaliknya Ydígoras pun makin memperketat cengkeramannya. Situasi politik Guatemala kembali guncang ketika kekuasaan Jenderal Ýdígoras direbut oleh bekas menteri pertahanan Kolonel Enrique Peralta Azurdia (1963). Selanjutnya, tahun 1966 diselenggarakan pemilihan umum, Julio César Méndez Montenegro, seorang pengacara dan profesor universitas terkemuka tampil sebagai presiden. Banyak kalangan berharap iklim demokrasi akan tumbuh. Tetapi ternyata presiden sipil ini tidak mampu menahan tekanan militer, malahan justru mampu memaksanya guna menandatangani perjanjian keamanan dengan militer. Bahkan pada saat kemenangannya terjadi penculikan besar-besaran terhadap 28 aktivis PGT. Sepanjang pemerintahan Julio César Méndez Montenegro, pihak militer menggelar program penumpasan dengan membom desa-desa di wilayah kendali gerilya, yang menyebabkan antara 2.800 hingga 8.000 orang tewas. Pemerintah membangun jaringan mata-mata dari kalangan masyarakat sipil, sehingga dalam periode 60-an menjamur kelompok teror klandestin yang sebetulnya adalah militer berbaju sipil. Peran CIA dalam hal ini sangat penting. Tidak mengherankan bila gerilyawan kemudian mengarahkan sasaran serangan juga pada warga sipil yang dianggap mata-mata militer, diplomat asing dan penasihat-penasihat militer Amerika Serikat. Semasa pemerintahan Fernando Romeo Lucas García (1978-1982), teror dan pembunuhan semakin melembaga di kalangan masyarakat sipil perkotaan. Dimulai suatu cara baru pembunuhan yaitu pembunuhan selektif yang dilakukan oleh orang tak berseragam, bersenjata berat, secara terang-terangan pada siang hari di tengah keramaian kota. Pembunuhan secara mencolok mata masyarakat ini terjadi pada Sekretaris Jenderal Asosiasi Mahasiswa sebuah universitas, Oliverio Castañeda de León dan Alberto Fuentes Mohr, pimpinan Partai Sosial Demokratis. Tak luput dari pembunuhan keji tersebut adalah Manuel Colom Argueta, mantan wali kota Guatemala. Bahkan Manuel Argueta dengan sengaja dikejar oleh para pembunuh menggunakan helikopter untuk menimbulkan efek teror pada masyarakat. Sementara itu, di daerah pedalaman, operasi militer mulai merambah ke wilayah barat, propinsi El Quiché, khususnya daerah hutan Ixcán dan Ixil di selatan. Di daerah ini hidup suku Indian Maya. Mereka dimobilisasi melalui rekruitmen paksa. Unit-unit
51
pasukan tak tetap ditempatkan di berbagai basis militer. Militer melancarkan sebuah operasi besar dikenal dengan nama Operación Ceniza (operasi debu) di wilayah penghasil kopi dan di San Martín wilayah Chimaltenango. Pembunuhan massal dan pembakaran berbagai desa terjadi secara terencana dan sistematis dengan menggunakan orang-orang suku Indian hasil rekruitmen paksa. Sebanyak 15 ribu tentara turut menyapu seluruh wilayah El Quiché hingga Huehuetenango dan semua wilayah perbatasan dengan Mexico. Akibatnya ribuan orang keluar kampung menyelamatkan diri. Tahun 1982, Lucas García dikudeta oleh José Efraín Ríos Montt (1982-1983). Ketika itu seluruh negeri tercekam teror, dengan kekerasan sebagai mencapai puncaknya. Ia memadukan strategi pembunuhan dan kontrol atas penduduk dalam hal pangan, pembentukan desa-desa yang dimiliterkan, sistem pertahanan sipil yang memaksa warga desa mengawasi warga lainnya. Setiap bulan, terjadi 800 kasus pembunuhan dan penculikan. Ini belum lagi puluhan ribu kasus pembunuhan yang tak terekam. Dalam waktu kurang dari setahun aparat keamanan di bawah Montt bertanggung jawab atas 43% pembunuhan. Ia juga merancang strategi bumi hangus berupa pembakaran desa, sawah ladang dan ternak dengan satu tujuan yaitu menghapuskan populasi di zona operasi gerilya. Strategi pembunuhan selektif diubah menjadi strategi yang disebut Ríos Montt sebagai “menguras laut tempat ikan berenang”.28 Situasi yang parah serta makin meruyaknya pelanggaran Berat HAM di Guatemala membangkitkan perhatian internasional. Kritik dan tekanan pada dekade 90-an terhadap pemerintah semakin gencar, datang dari organisasi dalam negeri maupun luar negeri, berikut para pelarian politik. Pemerintahan pun melunak. Parlemen menunjuk Ramiro de León Carpio menjadi Ombudsman pemerintah untuk HAM. Ramiro kemudian menjadi presiden tahun 1993. Ia tidak berhasil memangkas kekuasaan tentara tetapi setahun kemudian ia berhasil membuat pemerintah membuka perundingan dengan gerilyawan. Perkembangan ini berlanjut dengan ditandatanganinya perjanjian perdamaian HAM pada bulan Maret 1994 di Mexico, antara pemerintah dan kelompok gerilya URNG (Serikat Nasional Revolusioner Guatemala). Perjanjian itu memuat bagian khusus tentang “komitmen menghapuskan impunity”. Isinya antara lain, pertama, kedua belah pihak sepakat mengambil tindakan yang diperlukan untuk menghapus impunity. Kedua, 28
Ibid., hlm. 38.
52
pemerintah tidak akan mendorong dibuatnya undang-undang yang menghalangi pengadilan dan penghukuman atas pelaku pelanggaran HAM. Ketiga, mengupayakan perbaikan hukum pidana khususnya kejahatan serius, penculikan, pembunuhan kilat. Keempat, mendorong pengakuan bahwa tindakan tersebut adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Kelima, tidak akan dibuat pengadilan dengan yurisdiksi khusus yang justru menjadi tempat tumbuhnya impunity. Keenam, pemerintah juga menyepakati penguatan ombudsman HAM. Ketujuh, memerangi kelompok pembunuh klandestin. Kedelapan, tidak akan menciptakan pasukan pertahanan sipil “sepanjang tak ada alasan untuk melakukannya”. Kesembilan, memberi perlindungan khusus bagi aktivis HAM serta bantuan bagi korban. Untuk melaksanakan perjanjian itu, pemerintah juga setuju dengan pembentukan misi verifikasi PBB di Guatemala yang disebut Misión de las Naciones Unidas en Guatemala (MINUGUA). Misi ini bekerja selama satu tahun dengan fungsi antara lain menerima pengaduan pelanggaran HAM, mengevaluasi efektivitas lembaga-lembaga nasional dalam mengatasi pelanggaran HAM dan membantunya menjadi lebih efektif. Misi tidak berurusan dengan pelanggaran masa lampau dan hanya mengamati masalah yang terjadi sesudah misi itu terbentuk. Sementara, untuk menyelesaikan kekerasan masa lampau, kedua belah pihak sepakat mendirikan sebuah komisi khusus, yang disebut Komisi untuk Penjelasan Historis Tentang Pelanggaran HAM dan Tindak Kekerasan yang Menyebabkan Penderitaan Bagi Rakyat Guatemala. Ini adalah komisi kebenaran. Garis besar rencana komisi ini ditandatangani oleh pemerintah dan wakil URNG bulan Juni 1994 di Oslo. Komisi beranggotakan tiga orang, yaitu seorang moderator PBB untuk perundingan perdamaian, individu yang ditunjuk oleh moderator dan seorang akademisi. Berbeda dengan komisi di El Salvador, komisi ini dibentuk dan dijalankan oleh orang Guatemala sendiri di bawah wewenang perjanjian perdamaian tersebut, bukan oleh badan internasional. Staf komisi, begitu juga para ahli yang dibutuhkan komisi sebagian besar berasal dari Guatemala. Sejak awal, komisi ini sangat dibantu oleh organisasi HAM, organisasi masyarakat adat, organisasi perempuan, korban kekerasan, asosiasi-asosiasi profesional dan lain-lain. Dukungan dana datang dari berbagai negara, Austria, Belgia, Kanada, Denmark, Jerman, Itali, Jepang, Belanda, Norwegia, Swedia, Swis, Inggris, Irlandia Utara, Amerika Serikat
53
dan Uni Eropa. Amerika Serikat memberi dukungan khusus dengan membuka dokumen-dokumen rahasianya yang telah diklasifikasi. PBB mengerahkan para ahli dan dukungan materi, demikian juga badan-badan di bawahnya, UNICEF, UNCHR, UNOPS, UNDP. Pengadilan internasional untuk Yugoslavia secara khusus meminjamkan para ahlinya untuk membantu komisi ini. Dukungan logistik datang dari misi PBB MINUGUA. Komisi ini mendasarkan temuannya pada ribuan kesaksian yang langsung didengar. Informasi penting diperoleh dari hasil mendampingi korban yang selamat, wawancara dengan para mantan kepala negara dan panglima tertinggi militer maupun dengan pihak gerilyawan. Ribuan halaman dokumen dari pihak-pihak yang berkonfrontasi dan berbagai sumber sekunder menjadi sumber penting lainnya. Komisi memperkirakan selama 30 tahun konflik bersenjata sejak tahun 1962 hingga 1994 telah terbunuh dan hilang lebih dari 200.000 orang. Ditemukan data pasukan militer dan paramiliter yang bertanggung jawab atas 93% kekerasan. Korban terbesar adalah komunitas suku Indian Maya. Kelompok gerilyawan juga melakukan kekerasan terhadap militer dan warga sipil. Kelompok ini melakukan kekerasan sebesar 3%.29 Dalam rekomendasinya, komisi ini mengusulkan enam tindakan utama. Pertama, pengembalian martabat korban dan keluarganya melalui permintaan maaf secara publik, pengakuan bertanggung jawab dan membuat monumen korban. Kedua, pemulihan korban berupa pencanangan program pemulihan nasional, penyelidikan nasib orang hilang serta menetapkan status legalnya, mencari dan menggali kuburan tersembunyi. Ketiga, penguatan budaya saling menghormati dan pengawasan HAM berupa penyebaran dan pengajaran isi laporan komisi, pendidikan, ratifikasi konvensi internasional, memasukan standar hukum humaniter internasional dalam hukum nasional, perlindungan bagi pembela HAM. Keempat, penguatan proses demokrasi, berupa perbaikan serta penguatan sistem peradilan, undang-undang rekonsiliasi nasional, reformasi hukum berupa reformasi undang-undang konstitusi militer, refomasi legislasi militer, perundangan tentang aparatur intelijen negara, pembuatan doktrin militer baru, reformasi pendidikan militer dan lain-lain. Kelima, rekomendasi lain-lain guna terciptanya perdamaian dan harmoni nasional berupa penyelidikan dan pengkajian masa lamapu, partisipasi politik masyarakat 29
Guatemala Memory of Silence, Tz’inil na ‘tab’al, Report of the Commission for Historical Clarification, Conclusion and Recommendations, hlm. 10-11.
54
adat, penghapusan rasisme dan penindasan masyarakat adat. Serta keenam, pembentukan badan yang bertanggung jawab mempromosikan dan memantau pemenuhan rekomendasi tersebut. Setelah komisi ini merampungkan tugasnya, semakin banyak organisasi HAM meneruskan usaha verifikasi tersebut dengan membongkar kuburan-kuburan tersembunyi, mendengar kesaksian dan pelacakan kasus lebih lanjut. Organisasi petani paling besar di El Quiché,
CUC
bersama
CONAVIGUA
mengorganisir
pembongkaran
kuburan
tersembunyi. Usaha-usaha ini dengan segala cara telah dicegah. Yang paling mengejutkan adalah terbunuhnya Uskup Agung Guatemala, Juan José Gerardi Conedera sesudah dua hari uskup mengumumkan hasil temuannya. Ia memimpin sebuah proyek yang disebut Pemulihan Memori Sejarah (Recuperacíon de la Memoria Histórica-REMHI) dan menghasilkan 3 jilid laporan berjudul Guatemala: Nunca Más. Sang Uskup tewas dengan pukulan batu beton di kepala tepat di depan kediamannya oleh orang tak dikenal pada tanggal 26 April 1998. Peristiwa ini kembali mengguncang masyarakat nasional dan internasional. PBB kembali menekan pemerintah untuk menaati perjanjian damai. Komisi ini masih mengandung sejumlah kelemahan.30 Pertama, yang diselidiki adalah pelanggaran HAM di Guatemala sebagai akibat “konflik bersenjata”. Istilah konflik bersenjata mengaburkan kenyataan, karena sebagian besar kekerasan justru dilakukan dalam operasi militer pemerintah. Kedua, batasan waktu penyelidikan komisi tidak jelas yaitu “sejak dimulainya konflik bersenjata”. Ketidakjelasan waktu ini membuat beban komisi menjadi berat. Bahkan menurut sejumlah penjelasan, konflik itu sudah mulai 40 tahun yang lalu ketika pemerintahan Jacobo Arbenz digulingkan. Ketiga, secara eksplisit dinyatakan bahwa hasil temuan komisi tidak bisa dipakai untuk membawa kasus ke pengadilan. Komisi juga memutuskan untuk tidak menyebut nama pelaku kekerasan. Sikap ini berbeda dengan komisi di negara lain, Argentina, Chili dan El Salvador. Dan yang paling penting, kedua belah pihak tidak diikat komitmen untuk melaksanakan rekomendasi komisi. Sama dengan di El Salvador, kelemahan ini harus dipahami dalam konteks bahwa sesungguhnya transisi politik tidak terjadi dalam tubuh pemerintahan. 30
Naomi Roht-Ariazza, “Case Studies: Latin America, Overview”, dalam Naomi Roht-Ariazza, loc. cit., hlm. 158-159.
55
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan
Komisi ini merupakan komisi yang paling banyak dibicarakan dan menjadi acuan masyarakat bangsa-bangsa sebagai model penyelesaian kekerasan masa lampau. Kepopulerannya melampaui proses yang sama terjadi di Guatemala. Paling tidak ada tiga hal yang menyebabkannya. Pertama, masalah apartheid sudah menjadi masalah internasional. Sekretaris Jenderal PBB memiliki staf khusus untuk menangani masalah ini. Proses transisi dari pemerintahan partai nasionalis yang menjalankan sistem apartheid ke pemerintahan antiapartheid tidak lepas dari campur tangan PBB. Kedua, konflik di Afrika Selatan mengandung serta memiliki semua masalah yang dihadapi negara lain. Mulai dari otoritarianisme hingga militerisme yang dijalankan oleh satu partai dominan selama 48 tahun pemerintahan apartheid. Masalah kekerasan masa lampau berlangsung bukan karena penyalahgunaan kekuasaan tetapi berasal dari suatu sistem yang dikembangkan atas dasar azas rasialisme. Meski demikian, di Afrika Selatan juga terdapat oposisi bersenjata yang kuat dan berhasil memaksa pemerintahan otoriter bernegosiasi. Secara umum, transisi politik di Afrika Selatan tidak cuma peralihan pimpinan pemerintahan tetapi menyeret ke dalamnya perubahan sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Sistem apartheid telah berurat akar dalam pribadi seluruh masyarakat dan secara praktis membelah masyarakat dalam kelompok-kelompok ras. Tantangan ini belum pernah dihadapi komisi di negara lain dan pembentukan komisi ini dipandang sesuatu yang baru. Ketiga, pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi berlangsung dalam proses yang sama. Sebagian besar komisi yang pernah ada terfokus pada pengungkapan fakta. Pengampunan baru diberikan setelah mendapat tekanan politik. Sementara di Afrika Selatan, pengampunan merupakan bagian dari rancangan awal. Pengungkapan kebenaran dilakukan baik oleh korban maupun pelaku. Di dalam proses ini, pengampunan diberikan dan rekonsiliasi terjadi. Di lain pihak, berkembang kecenderungan menjadikan komisi di Afrika Selatan sebagai tipe ideal. Masyarakat internasional, demikian pula PBB, kemudian memandang komisi kebenaran sebagai jawaban penyelesaian proses transisi politik suatu negara. Yang
56
dilupakan adalah komisi lahir sebagai uji coba, hasil pergulatan mendalam atas kerumitan transisi politik. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah nama resmi komisi yang dibentuk di Afrika Selatan. Lahirnya komisi ini lekat dengan proses negosiasi ketat antara pimpinan partai nasionalis, pemerintah apartheid Afrika Selatan yang memimpin Afrika Selatan sejak tahun 1948 di satu pihak dengan kekuatan oposisi ANC pimpinan Nelson Mandela, PAC, Inkhata Freedom Party dan partai-partai kecil serta organisasi politik lainnya. Dalam perjalanannya ANC kemudian memimpin pihak oposisi dalam proses negosiasi dengan partai nasional dan pemerintah Apartheid. Komisi ini lahir karena reaksi dan usaha pemerintah yang akan memberikan amnesti umum bagi pelaku tindak pelanggaran masa lampau. Pernyataan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi baru muncul di bagian penutup dari konstitusi tentang persatuan nasional. Transisi politik dimulai pada awal tahun 1990-an. Masyarakat Afrika Selatan dan dunia dibuat terperangah oleh serangkaian tindakan politik presiden terpilih, F. W. de Klerk.31 Ia tidak hanya mencabut keputusan “negara dalam keadaan darurat” yang berlaku selama 4 tahun (Juni 1990), tapi juga mencabut beberapa kebijakan kontroversial, seperti pelarangan partai oposisi ANC, PAC, SACP dan kelompok lainnya yang diberlakukan sejak tahun 1960-an. Ia juga mencabut kebijakan pembatasan 33 organisasi massa termasuk organisasi buruh terbesar Cosatu. Selain itu, ia juga membebaskan tahanan politik, menghapuskan pembatasan bagi mantan tapol, mengurangi masa penahanan tapol menjadi 6 bulan ditambah dengan perawatan kesehatan dan penanganan hukum. Bahkan secara resmi, de Klerk menyatakan akan membebaskan Nelson Mandela. Di hadapan parlemen pada bulan Februari 1991, Klerk mengumumkan niat baiknya guna pencabutan peraturan yang menjadi pilar sistem apartheid, yaitu (i) UU tanah tahun 1913 dan 1936, (ii) UU penetapan wilayah hidup kelompok-kelompok sosial, (iii) UU registrasi penduduk. Rangkaian perubahan tersebut berjalan semakin maju dengan disepakatinya penandatanganan perjanjian perdamaian nasional pada bulan September 1991 oleh pemerintah, ANC dan Inkatha. Kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan forum demokrasi Afrika Selatan yang berbasis 18 partai politik-Codesa. Deklarasi
57
pembentukannya menetapkan Codesa untuk bekerja merumuskan sebuah konstitusi yang menjamin Afrika Selatan sebagai negara yang bersatu, demokratis, non-rasial dan non-sexis. Penghapusan sistem apartheid memasuki tahap yang semakin pelik saat membicarakan masalah pembagian kekuasaan.32 Untuk itu, akan dibentuk pemerintahan sementara sebagai penggerak roda pemerintahan dan mempersiapkan penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Namun demikian, negosiasi di tingkat ini menghadapi jalan buntu. Para perunding mempermasalahkan besarnya kekuasaan eksekutif. Tidak ada kata sepakat dalam hal prosentase suara yang dibutuhkan untuk sebuah keputusan parlemen. Bahkan, nasib sisa tahanan politik yang belum dibebaskan tidak berhasil diputuskan. Sementara itu, para penentang rezim apartheid menuntut perubahan politik secepatnya. Hal ini terutama didorong oleh meningkatnya pemberontakan masyarakat kulit hitam yang berskala lebih besar dari pemberontakan tahun 1980-an. Menghadapi ledakan kekerasan tersebut pemerintah segera membentuk komisi penyelidik yang diketuai oleh hakim Goldstone guna mengetahui sebab peristiwa dan menemukan pelakunya. Sementara itu, di tingkat internasional, di depan sidang Dewan Keamanan, Nelson Mandela mendesak kehadiran PBB guna mencegah kekerasan dan mempercepat transisi menuju kekuasaan mayoritas. Ia mengusulkan pengiriman utusan khusus guna menyelidiki sebab kekerasan dan memberi rekomendasi guna mengakhiri tindak kekerasan dan pemantauan situasi selanjutnya. Akhirnya, utusan khusus Sekjen PBB dikirim ke negeri itu. Dalam laporannya kepada dewan keamanan, Sekjen PBB menyatakan ada tiga usulan mengenai perlunya menempatkan pengamat PBB di Afrika Selatan agar perjanjian perdamaian nasional yang sudah ditandatangani semua pihak dapat ditaati. Pertama, perlunya komisi Goldstone menyelidiki beragam tindakan kekerasan yang telah dilakukan, tidak hanya oleh aparat keamanan pemerintah tetapi juga berbagai agen swasta, sayap militer ANC dan PAC, pasukan polisi Buthelezi di wilayah Kwazulu. Kedua, mengusulkan pada pemerintah untuk 31
Sesungguhnya, upaya perubahan politik telah dimulai sejak kepemimpinan P. W. Botha melalui serangkaian dialog. Tekanan PBB dan perubahan politik dunia akhir tahun 1980-an memberi pengaruh penting bagi usaha tersebut.
32
Proses transisi politik menjelang pembentukan komisi kebenaran dapat dilihat pada, Lynn Berat, “South Africa: Negotiating Change?”, dalam Naomi Roht-Arriaza, loc. cit., hlm. 268-269.
58
memberi otoritas lebih besar pada komisi tersebut. Ketiga, Sekjen PBB juga mengusulkan dibuatnya kebijakan pengampunan bagi semua pelaku politik. Usulan terakhir Sekjen PBB sesungguhnya mempertajam perdebatan tentang pertanggungjawaban pelaku kekerasan. Masalah ini merupakan salah satu yang paling sulit dalam negosiasi politik Afrika Selatan. Pemerintah partai nasionalis sejak awal mendorong pemberian pengampunan secara umum dan menjadikannya itu alat tawar bagi pembebasan seluruh tahanan politik. ANC menolak usulan itu dan berpendapat pengampunan hanya dapat dilakukan dalam situasi pemerintahan transisi dan apabila rakyat menyetujui. Selain itu, pengampunan hanya diberikan setelah terungkap tindakan aparat keamanan masa lampau dan keberpihakan mereka dalam kekerasan di wilayah-wilayah otonom, pengampunan hanya bagi kejahatan masa lampau dan tidak untuk kejahatan yang dilakukan selama proses negosiasi berlangsung. Namun demikian, pemerintahan de Klerk terus berusaha memasukkan usulan pengampunan itu ke parlemen. ANC berusaha memperluas dukungan menentang pengampunan umum bagi pelaku dengan mengambil langkah strategis, yaitu mendirikan komisi guna menyelidiki kejahatan yang dilakukan anggotanya. Komisi dibentuk pada bulan Maret 1992. Lawan politiknya tidak tergugah guna mengambil langkah yang sama. Bahkan kelompok sayap kanan membentuk komisi serupa untuk menyelidiki tindakan aktivis ANC di kamp pengungsian. Sekali lagi Nelson Mandela membentuk komisi penyelidik pada bulan Januari 1993 yang diketuai oleh seorang pengusaha kulit hitam Afrika Selatan dan dibantu oleh seorang hakim Zimbabwe dan pengacara dari Amerika Serikat. Tetapi masalah penyelesaian pelanggaran HAM masa lampau tetap tidak terpecahkan sampai akhir tahun 1993. Ancaman pemberontakan juga menyebar di kalangan militer dan kelompok sayap kanan. Sekalipun pemerintah mengupayakan penyelesaian dengan membentuk komisi Goldstone, pemerintah gagal membuat upaya tindak lanjut. Kegagalan pemerintah tersebut disebabkan, pertama, tuntutan pertanggungjawaban pelaku pelanggran Berat HAM berlangsung dalam suasana rahasia. Akibatnya, timbul kesan bahwa pemerintah menyeleksi pelaku dan tetap menyembunyikan kekerasan yang dijalankan secara resmi. Kedua, pemerintah enggan membawa yang bersalah ke pengadilan. Ketiga, pemerintah kurang bersimpati pada korban dan keluarganya. Sebaliknya ANC memandang
59
penyelesaian pelanggaran masa lampau harus didasarkan pada standar hukum internasional. Bagaimanapun juga, negosiasi politik berhasil merancang suatu konstitusi sementara yang mencakup kepentingan partai mayoritas maupun kepentingan kelompok minoritas. Akhirnya, sebuah pemilu yang demokratis diselenggarakan untuk kali pertama pada tahun 1994. Ini membuahkan kemenangan ANC dan naiknya Nelson Mandela sebagai
presiden.
Langkah
pertama
pemerintahan
baru
adalah
menetapkan
Undang-Undang Promosi Persatuan Nasional dan Rekonsiliasi. Dalam salah satu pasalnya ditetapkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Setelah 2 tahun diperdebatkan di parlemen, komisi tersebut baru bekerja secara sungguh-sungguh pada tahun 1996. Komisi ini didirikan dengan melaksanakan salah satu prinsip pengampunan yang diargumentasi oleh ANC bahwa pengampunan baru dapat diberikan setelah kenyataan diungkapkan. Komisi menegaskan bahwa:33 ♦ Pengampunan hanya bisa diberikan untuk tindakan politik yang dilakukan oleh organisasi politik atau anggota aparat keamanan ketika menjalankan tugas dan kewajibannya. Pengampunan tidak akan diberikan untuk tindakan yang dilakukan demi keuntungan pribadi, kebencian dan tidak ada hubungannya dengan tujuan apa pun. Ciri “politik” tiap tindakan diuji dari motivasinya, konteks peristiwa dan pembuktian apakah tindakan itu diperintahkan dan disetujui atasan atau tidak. ♦ Korban adalah mereka yang menerima akibat pelanggaran Berat HAM yang menderita luka fisik dan psikis, kehilangan harta benda atau akibat-akibat buruk lainnya. Korban adalah keluarga korban dan orang-orang lain yang terkena dampak. ♦ Pelanggaran HAM yang menjadi perhatian adalah pembunuhan, penculikan, percobaan pembunuhan, perlakuan tidak baik atau penyiksaan yang terjadi sejak 1 Maret 1960 hingga 5 Desember 1993 ♦ Komisi memiliki wewenang memanggil orang, menyita dokumen, artikel dan mengambil sumpah. Orang yang dipanggil wajib menjawab meski dari jawabannya akan terungkap kesalahannya.
33
Daan Bronkhorst, loc. cit.
60
Komisi ini diketuai oleh Uskup Desmond Tutu dengan wakil Dr. Alex Boraine, seorang mantan pendeta methodis dan politisi. Komisi berjalan independen dan memiliki staf penuh waktu. Tetapi mereka juga bekerja sama dengan lembaga-lembaga non-pemerintah. Sebanyak 17 orang komisioner dipilih dari sekitar 50 nama yang lolos seleksi oleh suatu panel yang diketuai oleh penasihat hukum Presiden Nelson Mandela. Sebelumnya ada tiga ratusan nama calon dari masyarakat sipil, organisasi keagamaan dan kelompok-kelompok lainnya. Publik dapat mengkritik semua calon tersebut. Dari 17 nama tersebut 6 orang perempuan termasuk Yasmin Sooka, Presiden Konferensi Dunia Agama dan Perdamaian untuk wilayah Afrika Selatan. Komisi bekerja selama 12 bulan. Ini dapat diperpanjang setelah ditetapkan oleh presiden tetapi tidak lebih dari 6 bulan. Dalam komisi terdapat tiga komite. Masing-masing komite dipimpin seorang anggota komisi yang dibantu tenaga ahli. Pertama, Komite Pelanggaran HAM. Komite ini diperkuat dengan sebuah unit investigasi yang bertugas untuk menetapkan identitas korban, mengajukan usulan reparasi, menerima dan mencatat segala bentuk pengaduan, mengumpulkan serta menerima dokumen yang berkaitan dengan pelanggaran HAM dan membuat rekomendasi. Informasi yang dimiliki komite ini harus bisa diketahui komite lainnya. Kedua, Komite Amnesti yang diketuai seorang mantan hakim agung. Komite ini menetapkan pengampunan atau hukuman kompensasi pada siapa pun yang mengajukan permohonan amnesti. Pengampunan diberikan setelah pengakuan jujur diungkapkan dan telah diuji motivasinya. Pengungkapan ini dilakukan secara publik, kecuali anggota komite dan hakim agung memutuskan lain. Komite tidak punya wewenang guna berfungsi sebagai pengadilan tetapi komite dapat memanggil saksi dan memeriksa semua dokumen. Presiden mengumumkan nama-nama orang yang diberi amnesti beserta penjelasan rinci tentang tindakan-tindakan yang mendapat amnesti. Batas waktu permohonan amnesti adalah sampai tanggal 15 Desember 1996. Waktu ini kemudian diperpanjang hingga tanggal 31 Mei 1997. Ketiga, Komite Reparasi dan Rehabilitasi yang bertugas mengkaji masalah rehabilitasi dan reparasi korban berdasarkan identitas, nasib dan keberadaan korban, termasuk sifat dan kedalaman penderitaan korban. Komite ini juga dapat membuat usulan
61
tindakan mendesak di bidang reparasi. Setelah berkonsultasi dengan Menteri Keuangan, Presiden menetapkan jumlah dana bagi korban. Korban bisa mengajukan kompensasi yang akan dibayar sesuai dengan ketersediaan dana sebagaimana ditetapkan Presiden.
Perjalanan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Komisi mulai bekerja pada bulan Februari 1996 dan menghadapi 100.000 kasus potensial – menurut data organisasi-organisasi HAM. Menurut Desmond Tutu, komisi tidak akan mampu menangani kasus satu per satu. Karena faktor ketidakmampuan menangani kasus satu per satu, maka arah kerja komisi lebih terfokus pada pengungkapan kekerasan dan kemungkinan adanya pola kekerasan tertentu. Selain itu, komisi juga membuat rekomendasi perubahan struktur guna menjamin tidak terulangnya tindakan. Dukungan resmi pada Komisi datang pertama kali dari ANC dan partai nasionalis, kemudian diikuti oleh partai demokratis, IFP (Inkhata Freedom Party), angkatan bersenjata Afrika Selatan-SADF (South Africa Defence Force) dan penggantinya SANDF (South African National Defence Force) serta Polisi-SAP (South African Police). Selanjutnya pernyataan dukungan beruntun datang dari gereja, media dan kalangan pengusaha. Sekalipun demikian, komisi ini tetap menghadapi tantangan besar, terutama di Komite Amnesti. Komite ini menetapkan batas akhir perngajuan amnesti pada tanggal 15 Desember 1996. Akan tetapi, karena sampai batas tersebut tidak banyak yang mengajukan amnesti maka waktu diperpanjang sampai tanggal 31 Mei 1997. Setelah masa perpanjangan, komite amnesti menerima ribuan permohonan amnesti. Sampai bulan Mei 1997, terdapat 7.700 usulan amnesti. Komite kewalahan karena untuk menyelesaikan proses keseluruhan tersisa waktu 100 hari saja. Sampai akhir batas waktu,
PAC
mengajukan 460 usulan. ANC pada hari yang sama mengajukan amnesti dua kelompok masing-masing 50 dan 300 orang, termasuk di dalamnya 40 orang anggota pimpinan ANC, antara lain Menteri Pertahanan Joe Modise dan wakilnya, Ronnie Kasrils dan juga yang sekarang menjadi presiden Afrika Selatan, Thabo Mbeki. Hanya 20 orang mantan polisi dan 30 orang tentara yang mengajukan amnesti dan hanya satu orang anggota IFP mengajukan amnesti. Selain itu, ada 21 ajuan dari anggota AWB (Afrikaner Resistance Movement) dan beberapa orang bekas anggota biro kerja sama sipil.
62
Pada dasarnya amnesti memang merupakan isu paling problematis selama proses transisi politik di Afrika Selatan.34 Ini menjadi masalah pelik bagi partai-partai politik karena sepanjang sejarah apartheid, mereka terlibat dalam berbagai tindak kekerasan. Ketegangan ini juga dipicu oleh sikap pejabat tinggi, antara lain bekas presiden P.W. Botha dan F.W. de Klerk yang menolak mengajukan amnesti. Botha bersikukuh bahwa dia tidak akan meminta pengampunan atas apa yang dilakukannya demi negara, Tuhan, dan rakyat Afrika Selatan. Sikap tokoh-tokoh penting ini tentu saja berpengaruh pada komitmen umum partai politik terhadap komisi, serta dapat mengganggu kewibawaan Komite Amnesti sebagai organ integral Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi kemudian mencoba melakukan pendekatan pribadi lewat suatu pertemuan empat mata antara Botha dan Uskup Tutu. Di sini, sikap Botha terlihat kontradiktif. Ia meminta Presiden Mandela membatalkan pengadilan bagi para jenderal dan sebagai gantinya mereka mengajukan kasusnya ke Komite Amnesti. Artinya, ia mengakui perbuatan para jenderal itu dapat masuk dalam yurisdiksi komisi. Padahal ia sendiri adalah panglima tertinggi dan menteri pertahanan ketika para jenderal atas perintahnya telah melakukan kekerasan. Sementara, de Klerk juga menolak mengajukan amnesti, yang hanya akan berarti mengakui kesalahannya, dengan argumen bahwa tindakannya, sebagaimana yang biasa diambil aparat keamanan untuk menghadapi pemberontakan dan terorisme, harus dibedakan dari “pelanggaran berat yang tak dapat ditolerir”. Dari pihak ANC sendiri, komite menghadapi soal permintaan ANC untuk tidak mengungkap nama-nama bekas intel pemerintah dengan alasan tidak ingin menghukum orang demi sisa hidup mereka. Tetapi Alex Boraine mengatakan urusan transparansi adalah sesuatu yang fundamental walaupun komisi juga menghargai sifat kerahasiaan ANC sebagai sesuatu yang darurat. Desmond Tutu menambahkan bahwa sangat penting untuk menjaga integritas kerja komisi, sehingga komisi bisa menentukan masalah apa yang dapat diungkap ke publik dan apa yang tidak. Komite Amnesti kerap juga bersinggungan dengan kasus-kasus yang diproses di pengadilan. Telah ditetapkan, kasus yang diproses oleh Komite Amnesti hanya kasus berhubungan dengan tindakan politik, selebihnya merupakan wewenang pengadilan. 34
Problematik isu amnesti secara rinci diuraikan dalam Brian Frost, Struggling to Forgive, Harper Collins Pub., 1998, hlm. 138.
63
Namun ada kasus yang sudah diproses di pengadilan tetapi berakhir di Komite Amnesti. Dirk Coetzee terbukti bersalah telah membunuh seorang pengacara Griffiths Mxenge di Durban. Ia kemudian mengajukan amnesti ke komite dan dikabulkan. Demikian pula dari ANC, ia kemudian dimaafkan. Kebijakan ini diambil setelah melihat betapa si pelaku sangat menderita karena perbuatannya sendiri, sekalipun saudara korban, Dr. Fumbatha Mxenge, sesungguhnya menghendaki hukuman setimpal berdasarkan keputusan pengadilan. Demikian pula ketika Nelson Mandela memutuskan untuk membahas pemberian amnesti pada 34 orang pendukung Afrikaner Resistance Movement (AWB) yang pernah melancarkan pengeboman di suatu daerah. Pada saat itu, pengadilan sudah memutuskan memberi hukuman 26 tahun penjara bagi 5 orang anggota AWB, 8 tahun untuk 2 orang dan tiga lainnya mendapat masa tahanan lebih singkat. Tindakan Mandela diprotes oleh ketua pengacara HAM karena dianggap mempromosikan anarki. Kasus Jenderal Viljoen juga demikian. Di depan komite amnesti, Viljoen mengakui sebagai perencana operasi penggagalan pemilu tahun 1994 untuk mencegah naiknya Mandela dan ia mendapat amnesti Masalah amnesti semakin kontroversial ketika semakin mendekati kunci kekerasan pemerintahan apartheid, yaitu para perencana dan pembuat kebijakan kekerasan. Beberapa tokoh yang penting di sini salah satunya adalah Komandan Polisi Eugene de Kock. Ia diseret ke pengadilan dan dikenai tuduhan pembunuhan, penjarahan, perampokan harta benda dan kejahatan demi keuntungan pribadi. De Kock dituduh telah memimpin unit kepolisian khusus bernama Vlakplaas untuk menjalankan operasi pembunuhan aktivis anti-pemerintah dan berkolabaroasi dengan penentang ANC memancing kerusuhan politik. Bekas anggota kesatuan ini telah mengakui perbuatannya di depan komisi Goldstone. Oleh pengadilan, De Kock akhirnya dinyatakan terbukti bersalah telah melakukan 89 tindakan pelanggaran Berat HAM. Jumlah reputasi memalukan tersebut lebih kecil bila dibandingkan 121 tuduhan yang ditimpakan padanya, termasuk tuduhan enam kali pembunuhan. Tapi kemudian de Kock mengajukan permohonan amnesti atas kesalahan tertentu yang masuk dalam kriteria Komite Amnesti. Di sini, ia mendapat pengampunan. Lebih parah adalah kasus Jenderal Magnus Malan, mantan Menteri Pertahanan periode
64
1980-1991. Jenderal ini ditangkap di Durban tanggal 2 November 1995 bersama 10 pejabat senior militer lainnya atas tuduhan pembunuhan 13 orang warga sipil tahun 1983 termasuk perempuan dan anak-anak. Di depan pengadilan, Jenderal Malan tidak mengakui perbuatannya. Hal ini membuat pengadilan menyatakan bahwa kasusnya tidak termasuk wewenang Komite Amnesti. Ketika Jenderal Malan bertemu dengan komisi, ia mengakui perbuatannya, tetapi dengan dalih bahwa itu adalah tindakan legal bagian dari kebijakan pemerintah. Terlihat di satu pihak bahwa Komite Amnesti berhasil mendesak para perencana kekerasan mengungkapkan perbuatannya sehingga seluruh jaringan kekerasan sistem apartheid dapat dijelaskan. Ini penting untuk membuat kebijakan agar kekerasan masa lampau tidak berpeluang terulang lagi. Di lain pihak, sekalipun yang diampuni oleh Komite Amnesti hanya tindakan dengan kriteria tertentu, tetapi hal itu tetap mempengaruhi kemampuan peradilan meminta pertanggungjawaban individu. Memang ada hal yang sudah berhasil dan belum dicapai oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi berhasil mengungkapkan kondisi buruk HAM masa lampau dengan mudah melalui pemeriksaan dokumen-dokumen pemerintah dan melalui pengakuan pelaku serta saksi. Tetapi, hingga akhir masa kerja, ketika laporan harus selesai bulan Juni 1998, permintaan amnesti masih banyak dan tidak semua mampu diselesaikan. Termasuk di sini adalah pengungkapan dan pengakuan pembunuhan pimpinan terpenting ANC, Steve Biko dan Chris Hani. TRC juga belum berhasil membuat mantan presiden P.W. Botha datang menghadap dan menjelaskan mengenai operasi penyerangan ke perbatasan, program perang kimia dan biologi serta pembunuhan aktivis kulit hitam. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan adalah komisi yang paling banyak dibicarakan orang, menjadi bahan perdebatan kalangan akademisi, politisi, diplomat seluruh dunia. Bagaimanapun juga, komisi ini adalah komisi yang paling lama disiapkan. Pembentukannya melalui perdebatan panjang di parlemen Afrika Selatan, konsultasi dengan para ahli hukum di berbagai negara dan badan PBB. Persiapan pembentukan komisi dimulai dari penetapan tujuan, fungsi dan individu anggota hingga anggaran kerja dan tindak lanjut kerja komisi. Selain itu muncul berbagai perdebatan baru dalam komisi ini yang belum pernah terjadi pada masa komisi serupa sebelumnya. Misalnya, masalah rencana komisi meminta
65
pertanggungjawaban pelaku kejahatan apartheid. Langkah tersebut dipandang sebagai tantangan serius bagi pengadilan kriminal internasional ICC, sebab kejahatan apartheid adalah kejahatan internasional yang masuk dalam yurisdiksi ICC. Kebetulan, pada masa itu tengah diproses pembentukan pengadilan internasional.35 Yang terpenting, hingga saat ini komisi Afrika Selatan boleh dianggap sebagai capaian terbaik penyelesaian pelanggaran masa lampau dengan menempatkan kepentingan korban sebagai titik tolak utama.
Penutup
Jalan tempuh penyelesaian pelanggaran HAM masa lampau melalui Komisi Kebenaran selalu lekat dengan watak transisi politik di tiap negeri. Namun kerumitan penyelesaian masa lampau juga akhirnya menuntut pada komisi hak-hak yang sama yaitu hak untuk mengetahui kebenaran (right to know the truth), hak atas keadilan (right to justice) dan hak atas martabat manusia (right to human dignity). Sehingga, walaupun pembentukan komisi sarat dengan kepentingan politik elite, mau tak mau komisi harus menjalankan pekerjaan dasar yang tidak bisa dihindari. •
Komisi harus mengungkap fakta. Kebenaran yang diperoleh dari fakta harus mencerminkan kenyataan secara jelas dan jernih. Kebenaran harus bisa menjadi dasar untuk mengubah kebijakan yang mensponsori kekerasan masa lampau. Kebenaran yang manipulatif akan teruji, apakah demokratisasi berlanjut atau terhenti.
•
Komisi harus mampu menjelaskan tanggung jawab individu atas kekerasan masa lampau.
Selain
itu,
komisi
juga
harus
bisa
mempertimbangkan
bentuk
pertanggungjawaban individu yang paling tepat. Akhirnya komisi juga harus bisa menjelaskan bagaimana pengampunan dapat diberikan. •
Di lain pihak, komisi harus mampu merumuskan posisinya di hadapan lembaga peradilan. Apakah komisi menggantikan fungsi pengadilan ataukah hanya sebagai pelengkap lembaga peradilan. Komisi harus bisa menjelaskan arah keadilan yang ingin dicapai dalam kerjanya.
35
Diskusi tentang kejahatan apartheid dalam konteks hukum kriminal internasional lihat Graeme Simpson, “South Africa’s Truth and Reconciliation Commision: Some Lessons for Societes in Transition” makalah tidak diterbitkan.
66
•
Komisi juga harus bisa menjelaskan fungsinya dalam menyelesaikan trauma korban, keamanan korban dan kerugian yang dialami korban akibat kekerasan masa lampau.
Komisi seperti ini selalu dihadirkan di tengah ketidakpercayaan masyarakat yang mendalam atas sistem hukum dan sistem peradilan yang ada. Oleh karena itu, jika sebuah komisi kebenaran gagal menjawab dan memenuhi kebutuhan manusia akan hak-hak dasarnya atas penyelesaian kejahatan masa lampau, maka hal itu akan berakibat fatal bagi upaya demokratisasi itu sendiri.(*)
67
4 Tindakan Manusiawi demi Kebenaran dan Keadilan J.B. Banawiratma
Percakapan mengenai kebenaran dan keadilan harus ditempatkan dalam cakrawala tindakan
manusiawi.
Cakrawala
manusiawi
membuka
kemungkinan
untuk
memperjuangkan kebenaran dan keadilan dalam bentuk yang plural dengan mempertimbangkan nilai-nilai “lain” yang tidak boleh diabaikan. Seseorang yang diperkosa selayaknya menuntut jernihnya kebenaran dan terwujudnya keadilan, meski keadaan sebelum diperkosa tidak pernah bisa dipulihkan. Begitu pula dengan seorang yang anaknya dibunuh, kendatipun sang anak yang dibunuh tidak akan hidup kembali, sudah selayaknya ia menuntut terbukanya kebenaran dan terlaksananya keadilan. Demikian juga halnya dengan rakyat yang ditindas dan dirampok oleh penguasa selama 30 tahun lebih, sudah selayaknyalah mereka menuntut disingkapnya kebenaran dan ditegakkannya keadilan, meski kerugian masa dan jaringan sosial yang sudah busuk tidak mudah disembuhkan. Demi kebenaran dan keadilan, tindakan manusiawi macam apakah yang secara kontekstual seharusnya dijalankan?
Ketidakadilan dan Kebohongan
Salah satu sebab situasi krisis berkepanjangan yang kita alami sekarang ini adalah akibat dari perilaku kekerasan, ketidakadilan dan kebohongan yang dijalankan oleh rezim politik Orde Baru, di mana praktik politiknya dijalankan melalui empat perangkat utamanya, yaitu: (1) militer; (2) hukum, undang-undang dan ketetapan-ketetapan yang menjadi aturan main dalam kehidupan bernegara; (3) informasi; dan (4) ideologi yang sering didukung oleh budaya dan agama. Ditambah lagi, pemerintah membangun hubungan yang saling
2
membutuhkan dan menguntungkan dengan pelaku bisnis besar. Pada akhirnya berlangsunglah apa yang disebut dengan kolusi. Kolusi pemerintah yang tidak adil, korup dan nepotis dengan pelaku bisnis besar itu kemudian merugikan kaum buruh, petani dan korban lain. Secara definitif yang menjadi korban tidak memandang status baik itu yang menyangkut minoritas, suku, ras, agama, gender maupun usia, yang martabat serta hak-hak asasinya dinjak-injak atau tidak diindahkan. Sistem dan struktur yang tidak adil telah merasuki segala bidang dan tataran hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga tidak mudah melakukan perubahan dalam waktu yang relatif singkat. Indonesia lahir dari masyarakat majemuk yang melawan penjajah kolonialisme Barat. Ironisnya, dalam perjalanan sejarah selanjutnya, ia dibentuk dan disatukan dari atas oleh pemerintah yang ororiter dan represif. Masyarakat belum pernah mendapat kesempatan guna mengolah proses kesatuan secara autentik berdasarkan nilai positif yang berangkat dari macam-macam perbedaan yang ada beserta dengan hak asasinya guna berpartisipasi bagi keseluruhan bangsa dan negara. Yang terjadi adalah penyatuan represif dari atas. Dalam situasi semacam itu, hubungan SARA yang sensitif dibuat menjadi semakin sensitif dan dimanipulasikan oleh gaya pemerintah yang memecah belah dan menguasai, devide et impera. Bentuk ketidakadilan yang biasanya dikemukakan oleh feminis sebagai ketidakadilan terhadap perempuan dapat juga menggambarkan ketidakadilan secara umum (bdk. Isasi-Diaz, 1995). Setidaknya terdapat lima bentuk ketidakadilan dari perspektif ini, yaitu: (1) dominasi atau marginalisasi; (2) subordinasi atau diskriminasi; (3) eskploitasi atau beban yang tidak adil; (4) kekerasan; dan (5) pembakuan atau imperialisme budaya. Ketidakadilan yang kita rasakan telah meresap pada semua bidang kehidupan baik itu ekonomi, politik, budaya, religi maupun ekologi. Bahkan, lebih jauh lagi, ketidakadilan itu telah masuk pada semua tataran kehidupan mulai dari pribadi, keluarga, lingkungan kerja, masyarakat, bangsa dan negara. Ketidakadilan kelas, gender, lingkungan hidup serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM) bertali-temali. Kecuali itu, masyarakat juga tidak dapat terpisahkan dari situasi ketidakadilan global. Ketidakadilan dalam praktiknya, biasanya didukung dengan kebohongan. Secara konkret alat kebohongan itu berupa informasi bohong melalui media massa maupun
3
indoktrinasi penguasa dan birokrat. Kebohongan juga ditampilkan melalui slogan-slogan kultural dan religius. Ideologi tertutup yang disebarluaskan secara indonktrinatif tidak jarang didukung oleh umat beragama yang membenarkan kepentingan penguasa. Dukungan kaum agamawan secara konkret berupa rumusan yang dogma agama secara salah. Perjuangan menegakkan keadilan di berbagai bidang baik politik, ekonomi, dan budaya harus berhadapan dengan sistem dan struktur kekuasaan yang kuat. Alasan utamanya adalah karena sistem dan struktur kekuasaan telah berlangsung lama dengan dukungan berbagai perangkat yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang tidak terlepas dari cakrawala perubahan sistem dan struktur itu sendiri. Gerakan yang berangkat dari masyarakat bawah membutuhkan kesadaran kritis yang terus-menerus serta bangunan organisasi yang kuat pula.
HAM, Keadilan dan Kepedulian
Percakapan mengenai hak asasi manusia (HAM) di Indonesia selama rezim politik Orde Baru sering diberi keterangan dengan pemahaman khusus “Indonesia” dan ditekankan kesatuannya dengan kewajiban. Sebenarnya, menekankan kewajiban tidaklah meleset andai kata pemahaman kewajiban itu dimengerti dengan kerangka berpikir yang utuh, yaitu dalam paradigma holistik secara konsisten. Sayangnya, kekhususan hubungan dengan kewajiban itu diterangkan sedemikian rupa sehingga dapat digunakan hanya untuk membenarkan hak orang kuasa dan kuat saja. Sedang kewajiban itu berlaku bagi rakyat kecil dan lemah. Jer basuki mawa bea (demi kesejahteraan diperlukan korban) kemudian berarti orang kecil dan lemah wajib menjadi korban demi kesejahteraan. Sedangkan orang besar dan kuat berhak menikmati keuntungan. Dengan kata lain, pemahaman akan makna HAM selalu dipakai guna melegitimasi praktik penghisapan dan penindasan. Selain itu pertimbangan mengenai persoalan HAM dengan paradigma holistik juga memasukkan dimensi pengalaman akan Yang Ilahi. Oleh karenanya, kiranya lebih mudah untuk menggambarkan kenyataan agama yang mengacu pada pengalaman itu (bdk. Pieris
4
1996: 15-28; O’Murchu 1997: 17-26; Banawiratma dan Mueller 2000: 98-99 dan 173-189). Paradigma
holistik-kosmis
berbeda
dengan
paradigma
sekular-mekanistis.
Memandang kenyataan dunia dengan paradigma yang satu akan menghasilkan gambaran yang berbeda dari gambaran yang diungkapkan dengan paradigma yang lain. Jalan pikiran dan struktur argumentasinya juga berbeda. Ikhwalnya bukanlah mana yang benar dan mana yang salah, melainkan mana yang lebih komunikatif dan lebih berguna bagi komunitas kontekstual. Rupanya dalam konteks Indonesia dan Asia umumnya paradigma holistik lebih mengena. Masing-masing paradigma mempunyai kekuatan dan kelemahannya. Kelemahan paradigma holisitik-kosmis dengan tekanan pada aspek sosial-religius, sering dimanfaatkan oleh penguasa-penguasa despotis guna mengklaim bagi dirinya suatu hak eksklusif atas nama masyarakat sebagai suatu organ yang utuh. Demikian pula halnya dengan rezim politik Orde Baru; rezim ini melakukan hal serupa melalui ideologi kesatuan, keselarasan, kekeluargaan, maupun penggunaan bahasa agama bagi kelangsungan dan suksesnya program pemerintah. Secara sederhana perbedaan itu dapat digambarkan sebagai berikut:
5
Paradigma sekular-mekanistis
Paradigma holistik-kosmis
1. Kenyataan dunia ini dilihat sebagai 1. Kenyataan dunia ini dilihat sebagai yang berbeda dengan Yang Ilahi, dan
yang menyatu dengan Yang Ilahi, dan
didekati
dari
didekati secara utuh dalam kesatuan
itu,
dengan Yang Ilahi.
pengalaman
secara akan
terpisah Yang
Ilahi
meskipun barangkali Yang Ilahi tidak ditolak. 2. Alam merupakan sacramentum (tanda) 2. Alam merupakan instrumentum (sarana)
dari kehadiran Yang Ilahi, yang dialami
untuk menyembah Yang Ilahi. Manusia,
melalui bentuk ungkapan perempuan
tanpa memperhitungkan unsur dan
dan laki-laki. Unsur dan perspektif
perspektif perempuan, menguasai dan
perempuan masuk dalam pengalaman
mengolah alam sebagai ketaatan kepada
akan Yang Ilahi.
Yang Ilahi. 3. Komunitas 3. Individu ditekankan, bahkan merupakan titik
tolak
dan
orientasi
dalam
memandang kenyataan hidup.
–
termasuk
ciptaan
non-human – merupakan titik tolak dan orientasi dalam memandang kenyataan hidup.
4. Keluhuran martabat manusia dimengerti 4. Keluhuran martabat dan hak manusia terutama dimengerti secara individual.
dari
tanggung
jawab
untuk
menempatkan diri dalam dan ikut serta memelihara alam semesta.
5. Keseluruhan lebih besar dari pada 5. Keseluruhan sama dengan jumlah dari bagian-bagian.
Setiap
sistem
atau
jumlah bagian-bagian. Segala sesuatu merupakan bagian-bagian yang secara
struktur merupakan bagian-bagian yang
terus-menerus
terisolir, otonom, tidak bertali-temali.
proses
yang
bertali-temali, ditandai
suatu oleh
6
interdependensi dan ko-operasi timbal balik. 6. Metafor dasariah adalah holon (Yun: 6. Metafor dasariah adalah mesin.
keseluruhan).
7. Semua bentuk kehidupan mempunyai 7. Modifikasi dan perubahan diakibatkan
potensi khusus (innate) untuk mengatur
oleh atau terjadi dari luar. Perubahan
diri.
atau perbaikan menuntut interferensi
diakibatkan oleh atau terjadi dari dalam,
dan manipulasi mekanis.
atau barangkali oleh pelaku perubahan
Perubahan
dan
penyembuhan
dari luar.
8. Karena keseluruhan lebih besar dari 8. Setiap
aspek
melalui
pada jumlah dari bagian-bagian, maka
observasi, kuantifikasi, pemotongan,
pengertian manusia selalu parsial dan
dan
manipulasi.
penalaran
dipelajari
Ada
dominasi
harus selalu terbuka untuk pengertian
logis-rasional
terhadap
baru dan lebih penuh. Untuk itu
daya-daya manusiawi lainnya.
digunakan daya imaginasi.
9. Semua potensi terbuka dalam proses, 9. Mesin dapat dikontrol, segala sesuatu digambarkan dengan proses mekanis.
yang ditempatkan dan dipelihara dalam keseluruhan.
Penggunaan paradigma holistik memerlukan reinterpretasi ajaran agama. Agama dalam perspektif tradisi Kristiani sering menghubungkan persoalan HAM dengan keluhuran martabatnya sebagai Citra Allah. Dalam kerangka berpikir itu, persoalan HAM merupakan tuntutan dari keluhuran martabat manusia sendiri dan selanjutnya keluhuran martabat manusia didasarkan pada kenyataan bahwa manusia adalah Citra Allah. Citra Allah
7
dipahami secara individual, oleh karenanya persoalan HAM juga dipahami secara individual. Namun pada saat yang lain manusia juga menguasai ciptaan non-human. Penafsiran ulang mengenai Citra Allah mengemukakan aspek-aspek sosial dan aspek gender sekaligus. Citra Allah bukanlah hanya laki-laki, melainkan laki-laki dan perempuan. Dikemukakan juga aspek pemeliharaan ekologis yang melekat pada Citra Allah. Paradigma holistik mengartikan manusia Citra Allah sebagai kesatuan kolektif, corporate personality. Sebagai Citra Allah, manusia ikut serta menanggung pemeliharaan kreatif terhadap alam semesta. Dengan demikian, makhluk non-human langsung mendapat tempat dalam tanggung jawab manusia. Cerita sekitar penciptaan dalam Kitab Kejadian tidak menampilkan hak, melainkan kewajiban untuk menjaga saudara (lihat Kej 4:9). Keluhuran manusia tidak menjadi sumber hak, melainkan dilihat dari tanggung jawabnya. Jalan pikirannya bukanlah: “oleh karena Manusia adalah Citra Allah, maka ia bermartabat luhur, dan oleh karena itu mempunyai hak asasi”. Paradigma holistik mengemukakan jalan pikiran sebaliknya: “Manusia adalah Citra Allah, karena mempunyai tanggung jawab bersama guna memelihara ciptaan, dan di situlah keluhuran martabat manusia ditentukan”. Lalu, di manakah tempat hak individu? Hak individu merupakan seruan: “Dalam keseluruhan alam semesta ini, saya mempunyai tempat untuk hidup serta berkembang dan memiliki kehendak untuk berpartisipasi sebagai wujud tanggung jawab. Jangan merampas tempat dan partisipasi saya”. Dalam perspektif paradigma holistik, percakapan mengenai kewajiban terutama mempunyai arah dari yang kuat dan kuasa menuju yang lemah, menderita dan tak berdaya. Sedangkan kewajiban yang lemah, menderita dan tidak berdaya adalah memberdayakan diri kemudian menuntut partisipasi. Kepedulian utama akan hak asasi adalah menyuarakan jeritan orang-orang yang tertindas dan tidak berdaya. Dari perspektif ini tepatlah Robert F. Drinan memberi judul bukunya yang membahas persoalan HAM, Cry of the Oppressed (1987). Mereka itu mengalami situasi dan perlakuan yang tidak manusiawi. Dari situ muncul imperatif etis "jangan merampas hak asasi mereka", "jangan membiarkan situasi dan perlakuan yang tidak manusiawi". Hak asasi bukanlah ikhwal penerapan kebenaran abstrak pada situasi konkret. Ia merupakan kenyataan apa yang humanum konkret, yang terdapat dalam
8
kebudayaan tertentu, terdapat juga pada semua orang, dan akhirnya pada semua kebudayaan. Hak asasi mencakup semua segi kehidupan yang sangat luas seperti hak hidup, hak atas makanan, hak ekonomi, hak politik dan kultural serta hak atas kebebasan beragama. Dalam berbagai pernyataan ajaran Gereja Katolik mengenai hak asasi terdapat pergeseran tekanan. Pada mulanya berangkat dari daftar yang inklusif, yang memasukkan persoalan HAM secara sangat luas ke penegasan pada dua butir pokok, hak atas perkembangan dan hak atas partisipasi. Kedua butir pokok tersebut sekarang merupakan persoalan yang semakin mendasak penanganannya. Bermacam-macam perspektif hak bukan berarti tanpa ketegangan satu sama lain. Dunia Pertama mempunyai perspektif yang berbeda dengan Dunia Ketiga. Dunia Pertama lebih merasakan kebutuhan guna memperjuangkan hak sipil dan politik. Mereka lebih mengumandangkan hak yang menyangkut kebebasan. Landasan utamanya adalah the freedom of the individual person. Sedangkan Dunia Ketiga lebih menekankan perjuangannya pada hak berkembang. Sebuah hak yang menyangkut kebutuhan pokok hidup manusia, yakni makan, sandang, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan. Perumusan masalah secara ekstrem adalah “manakah yang lebih mendesak dan harus diperjuangkan lebih dahulu, kebebasan atau makanan?” Pilihannya adalah pada mereka yang tidak mempunyai hak kedua-duanya, tidak mempunyai makanan maupun kebebasan. Mereka yang miskin, lapar dan terlantar biasanya juga tidak mempunyai kebebasan guna berpartisipasi dalam seluruh proses pengambilan kebijakan baik ekonomi maupun politik. Maka dari itu, dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, hak mereka itulah yang harus mendapat prioritas utama. Perbedaan refleksi mengenai hak asasi antara Dunia Pertama dan Dunia Ketiga ternyata terus bergulir tanpa mencapai titik temu (lihat Evans dan Frazer Evans, 1983; Hollenbach, 1979; Pieris, 1988). Kendati demikian, David Hollenbach, seorang teolog dari Weston School of Theology, Cambridge, Massachusetts, USA, sangat terkesan pada hasil refleksi teologis Dunia Ketiga yang dibuat oleh Gustavo Gutierrez (Peru). Di sana tidak muncul istilah keluhuran martabat manusia dan HAM. Namun pada waktu yang sama kita juga terkesan, pada hasil refleksi Hollenbach sendiri yang tidak menekankan individu, yang biasa ditekankan oleh tradisi Barat. Pemikiran Hollenbach menampilkan titik temu
9
antara Dunia Pertama dan Dunia Ketiga, yakni pada preferential option for the poor, pilihan mendahulukan kaum miskin. Dia mengusulkan, perjuangan membela HAM harus menegaskan prioritas. Berangkat dari sana ia merumuskan tiga prioritas moral yang sifatnya strategis. Pertama, kebutuhan orang miskin mempunyai prioritas atas keinginan orang kaya. Kedua, kebebasan orang tertindas mempunyai prioritas atas kebebasan orang yang berkuasa. Ketiga, partisipasi kelompok-kelompok marginal mempunyai prioritas atas pelestarian tata masyarakat yang mengesampingkan mereka. Kaum miskin juga merupakan komunitas yang paling menjadi korban kalau terjadi kerusakan lingkungan hidup. Sebab, mereka tidak mempunyai sumber alternatif untuk hidup. Memperjuangkan penegakkan HAM menjadi satu dengan memperjuangkan pemeliharaan makhluk non-human. Sebagaimana kita lihat di atas, dalam paradigma holistik-kosmis terdapat hubungan langsung antara manusia dengan ciptaan non-human. Titik temu percakapan mengenai penegakan HAM dari Dunia Pertama dan dari Dunia Ketiga sebenarnya dapat diperkuat dengan pemahaman dalam paradigma holistik-kosmis. Dalam paradigma holistik-kosmis, dialog dan kerja sama antar-umat beragama sebagai tanggung jawab asasi tidak hanya berlaku dengan orang dan umat yang beragama lain, melainkan juga dengan orang dan umat dalam agama yang sama. Hal ini semakin jelas kalau kita menempatkannya dalam pengalaman manusiawi akan Yang Ilahi. Pengalaman akan Yang Ilahi terjadi dalam paradoks langsung dan tidak langsung (mediated immediacy). Orang mengalami Yang Ilahi secara langsung, tidak hanya menurut kata orang dan tidak diwakili oleh orang lain. Pengalaman itu terjadi melaui proses mediasi, entah itu orang lain, manusia, teks Alkitab atau barang-barang dan kejadian di dunia ini. Pengalaman itu tidak pernah exhaustive dan final. Orang tidak pernah mampu menguasai Yang Ilahi. Praktik hidup beragama merupakan mediasi guna pengalaman akan Yang Ilahi. Meski praktik agama menawarkan pengalaman langsung akan Yang Ilahi, namun tetap merupakan mediasi yang terbatas. Maka dari itu agama lain dan pengalaman orang lain dapat memperkaya keterbatasan hidup beragama masing-masing orang dan masing-masing umat. Dialog dan kerja sama memang merupakan tuntutan sosiologis dalam kehidupan bersama guna mewujudkan tiga prioritas moral strategis di atas. Arti pentingnya adalah pertimbangan yang dikemukakan dalam paradigma holistik-kosmis di sini dapat mengangkat aspek lain yang mendasar dan
10
berguna bagi memperkembangkan pengalaman religius yang autentik dan kehidupan beragama yang konsisten. Dalam pandangan Masdar F. Mas’udi hubungan erat antara ibadat dan keterlibatan sosial dengan memperjuangkan keadilan merupakan cita-cita dalam penghayatan hidup agama (Islami). Idealnya hal semacam itu tampak dalam penjelasannya mengenai hubungan antara shalat dan zakat:
Keduanya ibarat dua sisi dari mata uang yang sama, yang pertama, shalat merupakan sisi keislaman (kepasrahan) pada Tuhan untuk dimensi “jati diri” manusia yang personal, subjektif, ke dalam dan latent, sedang zakat adalah sisi keislaman jati diri manusia kepada Tuhan pada dimensinya yang sosial, objektif, ke luar dan manifest. (1991: 87). Dalam tradisi Kristiani, iman tanpa perbuatan itu berarti mati. Kritik tajam dilontarkan oleh Yesus kepada para ahli Kitab dan kaum Farisi antara lain berbunyi:
Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepeluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasih dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan. (Mat. 23: 23). Penekanan pada formalitas agama membuat para ahli Kitab dan orang-orang Farisi melupakan belas kasih dan keadilan, sebagai wujud kesetiaan kepada Allah yang mereka sembah. Berhadapan dengan mereka itu Yesus menekankan keadilan dan belas kasih. Keadilan dan belas kasih bukanlah pembalasan dendam, bukanlah “mata ganti mata dan gigi ganti gigi” (Mat 5:38), melainkan keadilan sekaligus kepedulian, menuju persaudaraan semua orang. Kemudian bagaimanakah caranya memahami keadilan? Paling mudah secara negatif, yakni melawan ketidakadilan, yang konkret dialami dan dengan mudah dirumuskan. Dalam surat edaran "Keadilan Ekonomis Bagi Semua Orang: Ajaran Sosial Katolik dan Ekonomi Amerika Serikat" (1986) para Uskup Amerika Serikat menyebutkan empat bentuk keadilan, yaitu: Pertama, keadilan tukar-menukar (iustitia commutativa) menyangkut hubungan antar-pribadi (juga pribadi yuridis) dan bersifat partikular. Kedua,
11
keadilan pembagian (iustitia distributiva) menyangkut pembagian benda dan harta dan bersifat partikular. Ketiga, keadilan sosial (iustitia socialis) menyangkut kepentingan umum (bonum communae) serta bersifat menyeluruh dan integral. Keempat, keadilan partisipasi (iustitia contributiva) menyangkut prinsip subsidiaritas dan bantuan sedemikian rupa sehingga bisa membantu diri sendiri. Penting untuk dibedakan antara ketidakadilan perorangan dengan ketidakadilan sosial atau struktural atau melembaga. Ketidakadilan yang menyangkut hubungan perorangan lebih mudah diamati. Seorang karyawan merasa diperlakukan tidak adil kalau menerima gaji jauh lebih rendah dari temannya dengan masa kerja sama dan situasi keluarga kurang lebih sama. Seorang murid merasa diperlakukan tidak adil kalau mendapat nilai lebih rendah dari temannya yang mengerjakan tugas yang sama. Hal yang berbeda terjadi pada ketidakdilan sosial atau struktural, di mana proses pengamatannya jauh lebih sulit. Karena tidak hanya menyangkut hubungan perorangan, melainkan meresapi lembaga-lembaga kemasyarakatan dengan segala struktur atau jaringannya dan mendapat wujud di situ. Ketidakadilan sosial dan ketidakadilan perorangan saling berkaitan dan memperkuat satu sama lain. Orang perorangan mudah jatuh dalam perbuatan tidak adil karena terjerat oleh jaringan sosial yang tidak adil. Ketidakadilan struktural membuat orang-perorangan mudah menjalankan perbuatan yang tidak adil. Sebaliknya, memperjuangkan keadilan sangatlah sulit, bahkan mengandung banyak risiko. Ketidakadilan sosial merupakan semacam virus yang bebas beterbangan dalam udara yang terus-menerus kita hirup sehari-hari. Tindakan perorangan tidak mencukupi, sehingga harus diusahakan dengan tindakan yang bersifat struktural guna mengatasi ketidakadilan struktural. Namun hal itu tidak berarti bahwa usaha perorangan tidak perlu. Diperlukan pribadi-pribadi yang berani seperti nabi. Sosok pribadi yang sanggup melepaskan diri dari formalitas membeku, melepaskan institusi-institusi dan aturan-aturan yang menyimpang dari pengalaman inti beragama. Nabi perintis semacam itu biasanya mendapat tantangan (terbentur sistem dan jaringan) tidak hanya dari luar melainkan juga dari kelompoknya sendiri. Namun, tanpa adanya pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok semacam itu, bagaimana mungkin terjadi perubahan sosial yang lebih adil?
12
Pemahaman kita mengenai keadilan perlu juga dihubungkan dengan cita-cita untuk mewujudkan perdamaian. Dahulu perdamaian dipahami sebagai tidak ada perang. Namun sekarang ini perdamaian harus dimengerti secara lebih luas, bukan hanya tidak ada perang melainkan juga tidak ada ketidakadilan. Dengan kata lain keadilan menjadi syarat utama tercapainya perdamaian. Tidak ada perdamaian tanpa keadilan. Pada titik ini sangat penting menghubungkan moral keadilan (justice) dengan moral kepedulian dan bela rasa (care, compassion). Ketegangan antara dua model ini paling jelas diwakili oleh L. Kohlberg (1981) dengan moral keadilan dan C. Gilligan (1982) dengan moral kepedulian. Moral keadilan tidak memasukkan care dan compassion dalam pilihan dan tindakan moralnya, suatu unsur pertimbangan moral yang sangat penting bagi kaum perempuan. Dengan menghubungkan dua model itu akan tampak perjuangan melalui jalur hukum sangat penting, tetapi hal itu tidak cukup. Diperlukan perjuangan melalui jalur lain seperti menemani korban melalui semacam crisis centre. Tradisi Kristiani (Injil) menyebut bersama-sama keadilan, belas kasih dan kesetiaan sebagai yang terpenting dalam tindakan moral. Nilai-nilai kepedulian dan belas kasih merupakan unsur penting guna dipertimbangkan bagi pelaksanaan rekonsiliasi dan pengampunan.
Kebenaran dan Kejujuran
Kebenaran (truth) dalam alur pikiran ini sangat berkaitan dengan kejujuran (truthfulness). “Truth is the fit or correspondence between reality and understanding” (Pintos, 1996: 305). Lawan dari kebenaran adalah keliru (error or falshood), yang berada dalam horizon pengetahuan yang benar. Kalau kenyataannya 100 orang dibunuh oleh militer dan yang diketahui berdasarkan informasi 70 orang dibunuh atau 100 orang mati dalam peperangan, maka di sini pengetahuan keliru, informasi atau pengetahuan tidak sesuai dengan kenyataan, tidak benar. Pada dataran ini dibutuhkan penemuan data dan fakta (fact finding) yang tepat. Selanjutnya, kalau tahu 100 orang dibunuh militer namun tetap diam saja, maka apa yang benar pada dataran pengetahuan tidaklah benar pada dataran etis. Kebenaran (etis) sangat erat berhubungan dengan kejujuran. “Truthfulness consists rather of the fit or correspondence between what is said and the person who says it, the coherence of thought
13
and action” (Pintos, 1996: 305). Lawan dari kejujuran (penuh kebenaran) adalah penipuan atau kebohongan (deceit or lie), yang berada dalam horizon etika. Kebenaran dan kejujuran perlu diwujudkan dalam bentuk afirmasi atau konfrontasi terhadap informasi yang ada berdasar pengetahuan yang tepat dan benar. Tidak akan ada keadilan sebagaimana digambarkan di atas tanpa kebenaran, dan kebenaran yang tidak terwujud dalam keadilan dipertanyakan oleh kejujuran. Kebenaran pada dataran pengetahuan akan mendukung kebenaran pada dataran etis dan selayaknya menjadi satu dalam tindakan manusiawi yang jujur. Oleh karena etika merupakan tindakan manusiawi, maka bermacam-macam nilai manusiawi masuk dalam pertimbangan, seperti kebenaran, keadilan dan kepedulian serta belas kasih. Keadilan tanpa belas kasih akan melupakan unsur pengampunan. Bahkan dapat melahirkan pembalasan dendam dengan kekerasan. Cara kekerasan untuk mengubah situasi menurut Dom Helder Camara dalam bukunya, “Circle of Violence”, akan menggulirkan kekerasan berikutnya. Pada dataran tindakan etis terdapat kemungkinan pilihan dan tindakan plural, di mana masing-masing dapat mempertanggungjawabkan pilihan dan tindakannya secara etis. Namun kebenaran etis yang didukung kebenaran pengetahuan bukanlah sekadar kebenaran pragmatis, yang benar adalah yang berguna. Yang berguna untuk penguasa belum tentu berguna untuk rakyat. Yang berguna untuk rakyat barangkali harus dipikirkan secara kritis dalam hubungan dengan nilai-nilai yang lain dan kegunaan yang lebih luas serta dalam jangka panjang.
Rekonsiliasi dan Pengampunan
R. Schreiter (1998) mengemukakan pertimbangannya mengenai proses rekonsiliasi individual dan rekonsiliasi sosial. Rekonsiliasi individual terjadi apabila kemanusiaan korban (victim) yang telah dirusak oleh kejadian traumatis telah dipulihkan. Pemulihan semacam itu (mungkin) dipersiapkan oleh komunitas yang mendampingi. Rekonsiliasi mengantar korban memasuki ruang baru, bukan kembali ke keadaan terdahulu. Kejadian traumatis tidak dilupakan, namun menuju kehidupan baru guna mengatasi kejadian itu beserta akibatnya. Rekonsiliasi individual menyangkut pengalaman personal, menyentuh
14
kemanusiaan korban dan kemampuan untuk berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri serta dengan orang lain. Korban mengalami kuasa Tuhan yang menyembuhkan. Dari sana kita diantar guna memohon pengampunan Tuhan bagi penjahat, korban sendiri juga mengampuni dengan harapan penjahat itu bertobat. Pengampunan bukanlah melupakan masa lampau, melainkan mengingat masa lampau dengan cara yang baru. Ingatan tetap ada, namun sudah ditransformasikan. Ingatan tidak lagi menguasai masa kini dan pembalasan tidak ada lagi, meskipun tuntutan keadilan tetap ada. Rekonsiliasi individual dan sosial mempunyai ciri-ciri yang serupa. Keduanya ingin keluar dari kungkungan masa lampau demi masa depan yang lebih baik, di mana perusakan dan pemerkosaan kemanusiaan baik individu maupun kelompok tidak terjadi lagi. Keduanya ingin mengubah hubungan melalui pemulihan kemanusiaan korban dan pertobatan pada pihak masyarakat. Rekonsiliasi individual penting dan akan memperkuat rekonsiliasi sosial. Namun yang harus dicatat keduanya merupakan hal yang berbeda, sebab masyarakat bukan hasil dari penjumlahan individu saja. Rekonsiliasi sosial menyangkut tindakan moral yang perlu dijalankan dan perbuatan yang perlu diperbaiki. José Zalaquett, ketua komisi “Truth and Reconciliation” dari Chili menjelaskan rekonsiliasi sosial sebagai pengampunan dan pendamaian yang harus dimengerti sebagai proses membangun kembali tata moral masyarakat yang lebih sehat daripada penghukuman. Rekonsiliasi menempuh jalan penyembuhan. Rekonsiliasi merupakan tindakan moral dan perjalanan spiritual, bukan sekadar tugas yang dimulai dan diakhiri pada saat tertentu. Tinggal di masa lampau tidak membawa penyembuhan. Tapi berjalan menuju masa depan membutuhkan perubahan ke arah tata sosial yang menjauhkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dari berbagai bentuk “pemerkosaan” keluhuran martabat manusia dan HAM. Komisi nasional HAM menjadi tanda pembelaan keluhuran martabat manusia dan penegakan HAM. Badan-badan semacam Truth and Reconciliation Commission, komisi kebenaran dan pendamaian, perukunan kembali, bisa menjadi simbol kesungguhan sosial untuk menempuh proses rekonsiliasi secara serius dan akan menumbuhkan kepercayaan serta solidaritas satu sama lain. Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan) yang sudah bergerak dapat dilihat sebagai semacam komisi “Truth and Reconciliation” itu.
15
R. Schreiter menggambarkan tugas dan pekerjaan komisi-komisi semacam itu dengan menunjuk empat hal sebagaimana dikemukakan oleh Daan Bronkhorst. Pertama, mereka harus berusaha menemukan kebenaran mengenai yang sesungguhnya terjadi pada waktu kekerasan berlangsung. Kebenaran itu menyangkut jumlah mereka yang mati maupun motif-motif kejahatan yang ada. Tanpa pengungkapan kebenaran, masyarakat akan tetap hidup dalam memori kolektif yang terpecah. Kedua, proses yang ditempuh harus memperkuat hukum. Perlu diusahakan adanya sikap hormat terhadap hukum. Sayangnya pada masa lampau hukum telah dipakai untuk melegitimasikan proses kekerasan. Sehingga diperlukan juga hukum yang melindungi individu dan kelompok dari segala tindak kekerasan. Ketiga, proses harus berjalan secara demokratis dan terbuka untuk diperiksa. Proses ini diharapkan sebanyak mungkin orang ikut serta, terutama korban. Keempat, harus diusahakan jalan guna memperbaiki nasib korban. Sehingga mereka dapat menuntut kembali sekurang-kurangnya sebagian dari kehilangannya. Rekonsiliasi tanpa kebenaran dan keadilan menjadi rekonsiliasi palsu, sebagaimana kerap terjadi pada rekonsiliasi yang dipaksakan oleh rezim politik Orde Baru. Fasilitator rekonsiliasi semacam itu tidak akan mendapat kepercayaan rakyat. Berangkat dari keempat tindakan tersebut tampaklah bahwa rekonsiliasi tidak terpisahkan dengan kebenaran dan keadilan. Rekonsiliasi merupakan proses perjalanan dari kejadian dan memori masa lampau melalui cerita yang benar menuju masa depan penuh pengharapan. Pengampunan dalam rekonsiliasi individual merupakan keputusan korban untuk tidak lagi dikuasai oleh akibat kejadian masa lampau dan merupakan pilihan bebas masa depan. Sebagaimana dalam pengampunan dan rekonsiliasi individual, sebenarnya yang berhak memberikan pengampunan adalah korban sendiri. Hal ini merupakan standar pokok yang tidak boleh dilupakan, meski pengampunan telah diberikan pengadilan. Keadilan bagi korban tidak bisa ditinggalkan. Sehubungan dengan rekonsiliasi sosial terdapat dua macam pengampunan, yang dapat dipandang sebagai sejajar dengan rekonsiliasi individual. Pertama adalah persoalan amnesti, yang berasal dari kata Yunani, amnestia, yang berarti “kelalaian” atau “kelupaan”. Memberi amnesti berarti secara legal melupakan perbuatan yang telah dilakukan. Apa pun yang telah diperbuat tidak akan diperiksa, pelaku kesalahan tidak perlu
16
menjawab tuntutan atau dipersalahkan bahkan dihukum sesuai dengan perbuatannya. Amnesti ini pada umumnya digunakan oleh pihak pemenang untuk menciptakan iklim kehendak baik, dan melakukan kerja bersama dengan lawannya yang kalah. Perlawanan masa lampau dilupakan, yang penting membangun kerja sama ke arah masa depan. Amnesti sering digunakan untuk mencegah munculnya kekerasan lagi. Amnesti diberikan oleh pemerintah yang dipilih oleh rakyat setelah tumbangnya rezim diktator militer. Pemimpin militer mungkin minta amnesti untuk diri mereka dan pasukannya. Sebagai gantinya, mereka tidak akan menggulingkan pemerintah yang dipilih oleh rakyat. Pada permusuhan dan perang saudara mungkin dibutuhkan amnesti oleh kedua belah pihak, agar mereka dapat bersama-sama lagi membangun bangsa. Demikian yang terjadi di El Salvador. Kedua, pengampunan dalam rekonsiliasi sosial bisa juga berarti tidak dihukum. Kesalahan tidak dilupakan, hanya tidak dihukum. Jadi terbuka kemungkinan untuk pemeriksaan, pengadilan dan keputusan bersalah seperti yang terjadi di Korea Selatan. Tampaknya proses ini lebih berat. Mengakui kesalahan tidaklah mudah dan tidak ringan. Namun dalam pengampunan semacam ini, sekurangnya-kurangnya kesalahan yang ada dibenarkan sebagai kesalahan, diakui dan diterima. Dengan demikian kebenaran diceritakan dan memori kolektif tidak terpecah-pecah.
Pemberdayaan
Pelaku utama dalam mengatasi ketidakadilan yang telah berlangsung lama adalah para korban sendiri. Oleh karena itu, pelayanan mesti diarahkan pada pemberdayaan korban (empowering victims) dengan disangga oleh kesadaran kritis dan kesatuan organisatoris yang kuat dari kaum buruh, kaum tani, kaum perempuan dan komponen bangsa lainnya. Pemberdayaan rakyat menyentuh seluruh bidang kehidupan, menyangkut ekonomi, politik dan budaya dengan disangga oleh berbagai kelompok orang, baik laki-laki maupun perempuan. Pemberdayaan rakyat tidak dapat melupakan kaum perempuan yang dimarginalisasikan. Tanpa keadilan bagi kaum perempuan tidak terjadi keadilan bagi semua orang. Kaum perempuan tak boleh ditinggalkan dalam seluruh proses pemberdayaan rakyat. Pemberdayaan rakyat juga tidak dapat melupakan dimensi pemeliharaan lingkungan hidup. Karena pembangunan yang lebih mementingkan
17
pengembangan industrialisasi akan menambah kehancuran lingkungan hidup. Kalau lingkungan hidup rusak, maka kaum miskin tak berdaya yang pertama-tama menjadi korban, karena mereka tidak mempunyai alternatif lain. Demikianlah tindakan membela kebenaran dan menegakkan keadilan menuntut usaha pemberdayaan rakyat yang tidak berdaya, yang menjadi satu dengan perjuangan keadilan gender dan pemeliharaan lingkungan hidup serta penegakan HAM. Pemberdayaan rakyat merupakan tanggung jawab asasi guna membela keluhuran martabat manusia beserta hak-haknya untuk hidup dan berpartisipasi dalam semua bidang kehidupan.(*)
BAGIAN KEDUA MASA LALU YANG HARUS DIPERTANGGUNGJAWABKAN Ketiga tulisan dalam bagian kedua ini secara umum mempersoalkan periodisasi atau jangkauan waktu yang disebut “masa lalu” itu dan mengikhtiarkan kemungkinan menyingkap dan mengungkapkan kejahatan masa lalu tersebut. Di sini juga dibicarakan soal siapa sebenarnya yang dimaksud dengan pelaku pelanggaran di masa lalu itu. Asvi Warman Adam dan Dhaniel Dhakidae mempersoalkan masalah periodisasi ini. Asvi dalam tulisannya, “Lembaran Kelam yang Harus Disingkap: Masalah Periodisasi dan Cara Pengungkapannya”, mengisyaratkan bahwa masa lalu itu bisa saja dimulai sejak zaman Tunggul Ametung, atau sejak zaman Orde Lama, tetapi lebih tepat jika fokusnya dialamatkan ke masa Orde Baru berdasarkan kuantitas dan kedahsyatan kejahatannya. Asvi juga menguraikan soal modus pengungkapan kebenaran berdasarkan perspektif ilmu sejarah, selain mencoba mempertanyakan soal kalau terjadi rekonsiliasi maka siapa saja pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Dhaniel mempertajam soal periodisasi ini dengan memastikan bahwa “masa lalu” itu dimulai dari tanggal 1 Oktober 1965. Dengan demikian, bahasan Dhaniel lebih difokuskan pada masa Orde Baru. Ia kemudian menemukan tiga simpul yaitu kekerasan dan pembunuhan terhadap anggota PKI, kekejaman militeristik terhadap gerakan Islam, dan berbagai peristiwa semisal Peristiwa Tanjung Priok, Lampung, DOM di Aceh, kekerasan di Papua dan Timor-Timur. Kusnanto Anggoro dalam “Aktor yang Sangat Berperan di Masa Lalu” mengemukakan argumen-argumen yang jernih bahwa militer-lah pelaku utama di balik setiap tragedi kekerasan masa lalu di negeri ini. Apa pun kebijakan politik pemerintahan kita, watak inheren militer tetaplah demikian, apalagi jika elite politik berjalin tangan dengan militer berupa kebijakan dwifungsi TNI atau memberikan peran sosial politik dalam porsi besar kepada militer. Kusanto menegaskan bahwa etika, budaya dan kinerja satuan-satuan militer tidak sejajar dengan persoalan HAM. Keterlibatan militer dalam masalah-masalah non-militer di berbagai tingkat kebijakan (policy formulation, decision making dan policy implementation) membuka peluang sangat besar terhadap terjadinya tindak pelanggaran HAM. Demokratisasi hubungan sipil-militer merupakan satu-satunya jawaban yang mungkin (possible) dapat mengurangi tindak pelanggaran yang dilakukan oleh kalangan militer terhadap HAM. Selain itu, upaya mengungkap tindak pelanggaran HAM yang telah dilakukan kalangan militer akan membuka diskursus dalam bidang remembering or forgetting, pardon or punish sebelum pada akhirnya dapat ditemukan format, mekanisme dan institusi yang sesuai untuk menangani berbagai pelanggaran.
5 Lembaran Kelam yang Harus Disingkap: Masalah Periodisasi dan Cara Pengungkapannya Asvi Warman Adam
Pengantar
Sejak kapankah terjadinya kekerasan yang merupakan bagian dari tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah air kita? Tentu tidak mudah untuk menjawab persoalan tersebut; sampai sekarang dalam perdebatannya masih terdapat tarik-menarik mengenai awal mulanya. Ada yang mengawalinya sejak kemerdekaan Republik. Ada pula yang beranggapan dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan ada pula yang mengawalinya sejak zaman Tunggul Ametung, pada abad XIII Masehi. Basis argumentasinya menyebutkan bahwa waktu itu telah berlangsung intrik politik yang menyebabkan terjadinya pembunuhan politik. Kisah mengenai intrik politik masa kerajaan tersebut bisa dilihat dalam buku Pramoedya Ananta Toer, yang berjudul Arok Dedes. Guna menelusuri pertanyaan di atas, terlebih dahulu kita harus mendefinisikan apa itu tindak kekerasan. Dalam definisi saya terdapat dua tingkat mengenai tindak kekerasan. Pertama adalah tindak kekerasan yang terjadi pada tingkat elite. Pada tingkat ini telah terjadi bentuk kekejaman yang dilakukan oleh elite politik. Di sini saya sebutkan Sultan Iskandar Muda yang memerintah di Aceh antara tahun 1607-1636. Di samping memiliki beberapa kehebatan, sang Sultan dikenali Beaulieu, seorang laksamana Prancis yang pernah berkunjung ke Aceh, “Sebagai seorang yang sangat kejam karena tega menyiksa perempuan sampai tiga jam lebih.” Dan menurutnya lagi, Sultan Iskandar Muda pada suatu ketika sedang menggendong cucunya. Tiba-tiba cucunya menangis. Kemudian disuruhnya bayi dalam gendongan tersebut diam. Sayangnya sang bayi tetap menangis. Seketika itu pula sang Sultan naik pitam seraya berkata, “Kamu masih bayi saja sudah berani melawan saya, apa jadinya kalau sudah gede?” Dan sang cucu itu langsung dihempaskan ke dinding sehingga tewas. Akan tetapi keterangan ini perlu
2
dikonfirmasikan dengan sumber yang lain. Tapi paling tidak, kisah ini telah memberikan gambaran pada kita bahwa citra Sultan Iskandar Muda itu tidaklah seindah seperti yang kita baca dalam buku pelajaran sejarah. Kedua adalah kemudian tindak kekerasan yang terjadi pada tingkatan masyarakat. Pada masa pemerintahan raja-raja di Nusantara sebelum kedatangan bangsa Eropa, sudah dikenal budaya yang disebut oleh pengamat asing dengan istilah “amok”. Kata amok itu sendiri sudah masuk ke dalam kamus bahasa Prancis sejak tahun 1832. Tavernier, pada abad ke 17, melukiskan pengalamannya di daerah Banten. Dia menceritakan suatu hari sedang berjalan-jalan, tiba-tiba seorang lelaki menghunus kerisnya dan membunuh siapa saja yang ditemuinya, sampai akhirnya sang lelaki itu terbunuh karena dikeroyok orang. Peristiwa tersebut terjadi pada masa pra-kolonial. Prof. Henk Schulte Nordholt dari Universitas Amsterdam mempunyai pendapat yang tergolong kritis bagi kalangan sejarawan Belanda sendiri. Ia beranggapan bahwa pemerintah kolonial Belanda telah menyumbang banyak dalam proses munculnya budaya kekerasan di Indonesia. Menurutnya, kekerasan secara sistematis justru muncul pada zaman kolonial Belanda. Jadi seakan-akan bangsa ini belajar kekerasan dari Pemerintah Kolonial Belanda. Dalam makalahnya, “Geneology of Violance”, ia menunjukkan data antara tahun 1885-1910 sebanyak 100 ribu – 125 ribu orang tewas menjadi korban tentara kolonial. Angka 100 ribu itu sama dengan jumlah penduduk kota Semarang pada tahun 1910. Korban yang paling banyak jatuh karena Belanda mengirim pasukan Marzosenya ke Aceh (semacam Kopassus sekarang) yang menewaskan sekitar 75 ribu rakyat Aceh atau 15 % penduduk wilayah tersebut waktu itu. Henk juga mencatat bahwa perlawanan rakyat Indonesia paling menonjol pada saat pemerintah kolonial Belanda menerapkan Politik Etis menjelang dekade 1900-an. Perlawanan tersebut diredam pemerintah kolonial dengan kekerasan bersenjata. Kemudian, di sini saya kutip Eren Paul van Veer yang mencatat bahwa dari tahun 1873 sampai 1942 perang Aceh itu sudah terjadi sebanyak empat kali. Mungkin yang meletus pada masa rezim politik Orde Baru ini adalah perang Aceh yang kelima? Perang Aceh itu bukan hanya berkaitan dengan soal taktik dan strategi militer, melainkan juga dipenuhi dengan provokasi, teror dan kekejaman politik lainnya yang banyak menelan korban.
3
Meski demikian, sejarawan Onghokham, dalam diskusi terbatas di Bentara Budaya 20 Mei 2000 mengatakan bahwa korban kekerasan setelah tahun 1945 jauh lebih besar bila dibanding dengan masa sebelum kemerdekaan. Dengan kata lain, masa 350 tahun keberadaan pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia memakan korban lebih sedikit dari pada 35 tahun Indonesia diperintah oleh bangsanya sendiri. Pada titik inilah diperlukan pengungkapan dan penelusuran jejak-jejak masa lampau. Ini tidak saja berguna sebagai proses pencarian kebenaran, tapi juga upaya memutus mata rantai tindak kekerasan yang akan berlanjut. Pada kesempatan diskusi yang sama, Parakitri T. Simbolon mengungkapkan kebenaran merupakan prasyarat utama dari proses rekonsiliasi. Rekonsiliasi berarti pengungkapan kebenaran, mengakui kesalahan dan memaafkan semua itu. Namun dalam konteks kasus Soeharto, Mahfud MD, pakar hukum tata negara yang kebetulan juga menjadi Menteri Pertahanan (selama rezim Gus Dur yang berusia tidak sampai 2 tahun, ed.), mengusulkan dilakukan “pemutihan” saja demi menjaga keutuhan bangsa. Pendapat ini disandarkan pada pemikiran rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran. Bagi Mahfud MD, meski Soeharto telah dilengserkan, tapi ternyata ia masih sangat kuat. Berbagai ledakan bom, penembakan gedung DPR, kerusuhan terjadi di berbagai daerah setiap saat terjadi, manakala ada usaha guna menyeret ia dan keluarganya ke pengadilan. Itu semua menjadi indikasi bahwa ia masih mempunyai pendukung yang memiliki tenaga profesional, dana (termasuk uang palsu?) dan masih mampu mengerahkan massa demonstrasi mendukungnya. Dan celakanya lagi, pengacara yang mendukung bekas orang terkuat negeri ini begitu dimanja oleh pers terutama media elektronik. Bila tahun 1966-1967 orang takut membela Soekarno yang telah dijadikan Soeharto sebagai tahanan rumah, kini malah orang berebut menjadi pembela sang mantan Presiden yang patut diadili karena menyebabkan 800.000 kesengsaraan rakyatnya.
Kapan Diawalinya?
Sebelum menindaklanjuti pertanyaan tersebut, perlulah kiranya menelisik terlebih dahulu klasifikasi tindak pelanggaran HAM. Setidaknya, ada banyak pertanyaan yang sekarang berkembang mengenainya. Apakah tindak pelanggaran HAM itu merupakan bagian dari
4
suatu kebijakan atau sekurang-kurangnya kultur dari suatu sistem politik? Apakah itu dapat dikaitkan dengan karakter suatu rezim politik yang memerintah? Atau apakah pelanggaran HAM itu akibat dari bekerjanya sebuah sistem politik tertentu? Setidaknya terdapat dua pandangan yang sampai saat ini berkembang dalam upaya mengklasifikasikan tindak pelanggaran berat HAM. Pertama, ada kecenderungan mereduksi cakupan akar tindakan pelanggaran tersebut pada alasan-alasan krusial yang menyertai dan mendasari berbagai tindak pelanggaran HAM. Tindak pelanggaran HAM apa pun bentuknya selalu berakar dari suatu alasan faktual dan tertentu. Maka, ukurannya bukan terletak pada kurun waktu, tetapi terletak pada sejumlah kasus pelanggaran HAM berat itu sendiri. Kedua, ada anggapan bahwa sejumlah besar tindak pelanggaan HAM itu merupakan akibat dari bekerjanya suatu sistem. Karena itu, upaya pengungkapannya dan penyelesaiannya harus dimulai dari berdirinya sebuah rezim politik tertentu. Berangkat dari kerangka tersebut, kita akan menguji sejauh mana berbagai usulan mengenai batasan kurun waktu terjadinya tindak pelanggaran HAM. Salah satunya adalah diawali dari peristiwa politik 1 Oktober 1965 sampai Oktober 1999, dengan kasus Semanggi II. Dalam kurun waktu tersebut telah terjadi berbagai tindak pelanggaran berat HAM yang didukung oleh struktur dan kultur rezim politik yang berkuasa. Tanggal 1 Oktober 1965 merupakan titik awal dari proses berkuasanya rezim politik Soeharto yang menandai adanya pola baru dalam politik yang memungkinkan terjadinya tindak pelanggaran berat HAM. Daniel Dhakidae (wawancara di Republika, 19 April 2000) mendukung gagasan permulaan investigasi mencari kebenaran berangkat dari tanggal 1 Oktober 1965. Menurutnya dalam kurun waktu sejak tahun 1965 itu telah berlangsung tiga simpul ketidakadilan. Simpul pertama merupakan titik awal dari segala jenis kekacauan yang terjadi di negara ini. Simpul kedua, menurut dia, telah terjadi ketidakadilan terhadap kelompok gerakan politik Islam, termasuk kasus Tanjung Priok (1984), Lampung, dan lain-lain. Sedangkan simpul ketiga adalah maraknya kasus pelanggaran HAM belakangan ini, mulai dari peristiwa penghilangan mahasiswa, sampai kerusuhan Mei 1998. Ketiga simpul tersebut di luar tindak pelanggaran HAM yang berlangsung di tiga daerah, Aceh, Timor-Timur dan Papua Barat.
5
Seperti diketahui bersama, usulan tersebut memunculkan kontra-argumen berupa penolakan terhadap ditetapkannya tanggal 1 Oktober 1965 sebagai titik awal. Penolakan tersebut muncul dari kalangan militer dan kelompok gerakan politik Islam garis “keras”. Penolakan tersebut juga ditujukan pada keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan dibentuk. Kalangan gerakan politik Islam garis keras memiliki anggapan proses pencarian kebenaran itu hanya memprioritaskan kepentingan para mantan PKI dan kelompok kiri. Lebih dari itu, muncul pula tuduhan sebagai upaya untuk membangkitkan kembali kekuatan komunis di Indonesia. Bukan persoalan yang mudah untuk menjawabnya. Sedangkan, di pihak lain, kalangan militer sendiri sangat sensitif dengan awalan tersebut, mengingat keterlibatan militer dalam berbagai tindak kekerasan politik selama berlangsungnya rezim politik Orde Baru. Berangkat dari klasifikasi dua pandangan tindak pelanggaran HAM di atas, kemudian juga lahir banyak pandangan yang masing-masing berlainan dalam persoalan penentuan
awal
proses
investigasinya.
Menurut
saya,
itu
semua
dapat
“direkonsiliasikan”, dengan dasar bahwa semua tindak pelanggaran HAM dapat disebutkan kasus per kasus; dapat juga digabungkan menjadi satu rangkaian yang terjadi dalam suatu sistem politik tertentu. Sehingga, dalam proses kerja nantinya tidak terpancang pada satu rezim politik saja dan bisa dilakukan lebih dari satu rezim politik. Karena, bagaimanapun juga, kapan pun tanggal yang dipilih hendaknya terdapat gambaran berbagai kasus yang dijadikan sasaran utama dari proses investigasi. Jadi, kalau memang tidak bisa diawali dari tanggal 1 Oktober 1965 sebagai akibat respons politik dari kalangan gerakan politik Islam garis keras dan militer, maka dapat muncul pada tanggal 5 Juli 1959. Sepanjang periode 5 Juli 1959 sampai 1 Oktober 1965 itu juga terjadi tindak pelanggaran HAM, yang antara lain dilakukan oleh kelompok kiri. Jadi, PKI dan underbouw-nya melakukan aksi sepihak dan lain-lain dengan menggunakan kekerasan. Begitu pula dengan persoalan yang dihadapi oleh Taufik Ismail dan kawan-kawannya di kalangan budayawan. Berangkat dari alasan tersebut, saya mengusulkan agar periode investigasi terjadinya tindak pelanggaran HAM berat dimulai sejak lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan berakhir pada bulan Mei 1998. Pilihan scope temporal yang diawali 5 Juli 1959 setidaknya memiliki tiga alasan pokok. Pertama, pada tahun tersebut dikeluarkannya
6
Dekrit Presiden, yang menandai dimulainya zaman Demokrasi Terpimpin. Pada masa itulah kekuasaan mulai memusat pada negara bukan lagi di tangan rakyat. Kita ketahui pula, sebelumnya (1956) Mohammad Hatta telah mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Sehingga Soekarno saat itu menjadi pemegang kekuasaan tunggal. Kedua, memang dalam proses rekonsiliasi nantinya diperlukan adanya ketulusan yang tidak hanya datang dari satu pihak. Tetapi ia harus datang dari banyak pihak dari berbagai elemen bangsa yang hidup dan berkembang di negeri ini. Namun demikian, mengingat adanya persoalan memori kolektif yang berakar pada peristiwa politik tahun 1965-1966, yang kemudian secara terus-menerus direproduksi oleh rezim politik Orde Baru, maka terdapat kesulitan untuk mengubahnya dalam waktu sesaat. Padahal, proses hegemoni telah terjadi selama rentang waktu tiga dekade lebih. Karenanya, ada kebutuhan akan pertimbangan strategis guna dimasukkannya tindak kekejaman dan kekerasan yang terjadi masa sebelum tahun 1965. Ketiga, pada tingkat masyarakat sendiri masih terdapat trauma bahkan masih curiga kalau nantinya ada pengungkapan siapa korban, siapa pelaku dan siapa algojonya. Sehingga, hal penting yang tidak boleh diabaikan adalah perlu ditekankannya kesadaran bahwa proses rekonsiliasi ini bukan sebagai ajang balas dendam. Sementara itu, akhir dari proses investigasi ini dijatuhkan pada peristiwa kerusuhan Mei 1998. Karena, bagaimanapun juga, proses kerja ini harus juga berkesudahan. Bila diakhiri pada masa Pemerintahan Habibie, akan terdapat protes dari kalangan lain, mengapa masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid tidak dimasukkan. Bila kasus Semanggi II dimasukkan, juga akan muncul pertanyaan kenapa kasus Atambua tidak diikutsertakan. Dengan demikian, proses investigasi ini nantinya mencakup dua rezim politik. Pada era Demokrasi Terpimpin, 5 Juli 1959 sampai 30 September 1965 dan selama rezim politik Orde Baru dinilai dari 1 Oktober 1965 sampai 22 Mei 1998 (hari lengser-nya Presiden Soeharto dengan menyerahkan tongkat pemerintahan kepada Habibie, ed.). Secara keseluruhan terbagi dua periode, periode pertama 6 tahun dan periode kedua selama 33 tahun, jumlah keseluruhan selama 39 tahun. Kita dapat saja mengusut tindak pelanggaran HAM yang terjadi sampai pada jaman penjajahan Belanda. Dapat diselidiki tindak kekerasan yang dilakukan Kapten
7
Westerling, karena terjadi justru pada saat setelah Indonesia Merdeka. Demikian pula dengan kekerasan yang terjadi pada zaman pendudukan Jepang, di mana kekejaman terhadap Romusha maupun terhadap yugun ianfu (perempuan pribumi yang dijadikan “penghibur” tentara Jepang). Kasus yang terakhir ini masih belum selesai sampai hari ini. Perlu dicatat, pada tanggal 8-12 Desember 2000 di Tokyo diselenggarakan pengadilan internasional atas kejahatan perang terhadap perempuan yang dilakukan serdadu Jepang selama perang Asia Timur Raya. Momentum itu dapat digunakan untuk kampanye aksi senada di Indonesia. Namun yang jelas, semuanya itu tidak ada kaitannya dengan persoalan rekonsiliasi nasional yang kita inginkan. Dengan demikian, batasannya adalah selama berlangsungnya pemerintahan Republik Indonesia. Pada titik ini pun kita tidak bisa menghindari adanya usulan untuk memulai proses investigasi mencari kebenaran diawali sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik. Namun yang perlu dicatat, komisi kebenaran dan rekonsiliasi menurut saya tidak berurusan dengan daftar statistik pelanggaran HAM, karena harus ada kasus yang jelas. Begitu pula dengan munculnya tuntutan yang datang dari korban PRRI/Permesta di Padang, di mana terjadi pula tindak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kalangan militer Indonesia pada tahun 1958, baik itu berupa pembunuhan, tindak perkosaan dan banyak lagi. Namun demikian, kasus itu sifatnya adalah clash fisik antar-dua kekuatan militer. Berbeda dengan lainnya.
Kasusnya Apa?
Seperti saya sebutkan di atas, selain penetapan tanggal, hal lain yang juga penting dibutuhkan persoalan prioritas kasus. Dalam ilmu sejarah dikenal istilah seleksi. Tidak semua data yang ditemukan atau dimiliki perlu dimasukkan dalam pembahasan semua topik penelitian. Dalam hal ini, dikenal prinsip relevansi dan signifikansi. Kedua prinsip tersebut menjadi patokan dalam memilih dan memilah data. Untuk mengimplementasikan kedua prinsip tersebut, ukurannya sangat sederhana. Pertama, terletak pada jumlah korban tewas. Kedua, durasi berlangsungnya peristiwa tersebut, bertahun-tahun atau hanya satu hari. Ketiga, terletak pada tingkat kekejaman atau keganasan dari suatu tindak kejahatan. Hal ini dapat diungkap atau diverifikasi
8
melalui kesaksian lisan, nantinya dapat dijadikan salah satu unsur kriteria. Liputan media massa – meskipun ada yang menganggap hal ini tidak selalu atau tidak mutlak berhubungan dengan jumlah korban maupun tingkat kekejaman – juga patut diperhitungkan. Peristiwa yang diliput media massa secara intensif dan luas akan menjadi bagian dari memori kolektif masyarakat. Kasus Atambua, sebagai contoh, yang menyebabkan kematian tiga orang personil UNHCR mendapat liputan luas baik dalam skala nasional maupun internasional. Sebagai perbandingan, Komisi Nasional untuk Orang-Orang Hilang (CONADEP) di Argentina hanya menyelidiki peristiwa yang berlangsung selama tujuh tahun (1976-1983). Sedangkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan melakukan investigasi terhadap berbagai tindak kekerasan yang terjadi selama 34 tahun (1960-1994). (Ini saya kutip dari tulisan Parakitri, walaupun penjumlahan tahunnya saya sesuaikan). Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan ternyata meneliti lebih panjang dari periode yang telah ditetapkan. Bahkan, dalam laporannya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan mengungkapkan latar belakang masalah sampai masa kolonial. Dalam konteks Indonesia, terdapat sepuluh kasus yang menonjol sepanjang 5 Juli 1959 sampai Mei 1998 yang memiliki kriteria relevan dan signifikan. Pertama, mulai dari aksi sepihak yang dilakukan kelompok kiri sebelum peristiwa politik nasional 1 Oktober 1965, dengan korban kelompok Islam. Kedua, pembantaian 1965-1966 dengan korban orang-orang PKI. Ketiga, pembuangan tahanan politik di kamp pulau Buru (1969-1979), dengan korban orang-orang komunis. Keempat, kasus Timor-Timur dengan korban warga masyarakat Timor-Timur sendiri. Kelima, kasus Aceh dengan korban warga masyarakat Aceh. Keenam, kasus Papua Barat dengan korban masyarakat Papua. Ketujuh, kasus Petrus (penembakan misterius) dengan korban preman jalanan. Kedelapan, kasus Tanjung Priok 1984 dengan korban kelompok Islam. Kesembilan, 27 Juli 1996 dengan korban warga atau simpatisan PDI. Kesepuluh, kerusuhan 13-14 Mei 1998 dengan korban warga maysarakat luas, khususnya warga etnis Tionghoa. Dari sepuluh peristiwa yang disebutkan di atas, sembilan kasus di antaranya terjadi pada masa rezim politik Orde Baru, hanya ada satu kasus yang berlangsung pada era rezim politik Demokrasi Terpimpin. Sembilan kasus tersebut sebetulnya mengarah
9
pada Jenderal Seoharto. Penyebutan beberapa kasus tersebut bukan berarti hanya peristiwa tersebut yang masuk dalam kategori dan kriteria tindak pelanggaran HAM di tanah air. Banyak lagi tindak pelanggaran HAM lainnya. Namun, tentu perlu kita sepakati terlebih dahulu, ada pelanggaran yang diprioritaskan penanganannya. Menurut saya, kesepuluh kasus tersebut dengan berbagai alasan temasuk dalam kategori yang didahulukan. Pada masa Demokrasi Terpimpin, tepatnya pada tahun 1960-an terjadi berbagai aksi kekerasan yang terutama dilakukan kelompok kiri yang saat itu sedang berada di atas angin. Dalam Pemilu pertama tahun 1955 PKI termasuk empat besar. Ditambah lagi adanya pergolakan di beberapa daerah tahun 1958 di Sumatra dan Sulawesi yang telah menyebabkan Partai Masyumi dan PSI dibubarkan Presiden Soekarno. Sehingga, saingan PKI semakin berkurang. Bagian ini perlu diuraikan secara panjang lebar. Demikian juga, pelaksanaan Landreform di berbagai pedesaan yang menyebabkan pertikaian antara kelompok BTI (Barisan Tani Indonesia) dengan Kyai yang memiliki tanah cukup luas. Benih konflik antara kelompok Islam dengan PKI telah muncul saat itu. Tahun-tahun pra-1965 merupakan masa yang menyakitkan bagi umat Islam yang selalu dikenang dan dilestarikan dalam buku pelajaran sejarah. Peristiwa ini selalu diingat sebagai masa penuh cobaan terhadap umat Islam yang disingkirkan dan dihujat oleh kelompok “anti-Tuhan”. Memori kolektif yang disebarkan dan ditanamkan melalui rumah ibadah dan acara ritual keagamaan akan sulit dihapus tanpa penjelasan yang komperehensif. Bila masa ini tidak diusut secara konperehensif pula, pasti akan mucul penolakan dari umat Islam terhadap Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tanggal 1 Oktober 1965, menurut pendapat saya, harus ditegaskan sebagai tanggal kelahiran rezim politik Orde Baru. Karena dalam suplemen bagi guru sejarah (yang belum terbit) tentang peristiwa-peristiwa yang kontroversial, salah satu peristiwa kontroversial yang dibahas adalah tentang kapan lahirnya rezim politik Orde Baru. Dalam salah satu bab dari buku tersebut dikemukakan beberapa tanggal yang dicalonkan sebagai tanggal kelahiran rezim politik Orde Baru, yaitu 10 Januari 1966 ketika pertama kali demonstrasi Tritura (Tri Tuntutan Rakyat, ed.), 11 Maret 1966 pada saat keluarnya Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret, ed.), 31 Agustus 1966 saat seminar AD II yang menghasilkan rumusan Orde Baru, dan tanggal 23 Februari 1967 saat penyerahan
10
kekuasaan Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto. Bila salah satu tanggal itu dipilih maka persoalan 1 Oktober 1965 tidak termasuk dalam kepemimpinan rezim politik Orde Baru. Sehingga, menurut hemat saya, harus dipertegas bahwa peristiwa politik nasional 1 Oktober 1965 dan pembantaian massal 1965-1966 merupakan awal Orde Baru, bukan akhir Rezim Demokrasi Terpimpin. Tanggal 1 Oktober 1965, Jenderal Seoharto mulai menguasai keadaan. Pada sore harinya keluar pengumuman Peperalda Jaya yang melarang terbit semua surat kabar kecuali kepunyaan militer sendiri, Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Dengan demikian seluruh informasi telah dikusai oleh militer. Berita yang terbit oleh kedua koran tersebut direkayasa untuk mengambinghitamkan PKI sebagai dalang G 30/S yang didukung oleh Gerwani sebagai biang kejahatan moral. Informasi itu yang kemudian dijadikan bahan pelajaran sejarah di Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Dengan demikian, tanggal 1 Oktober 1965 adalah tanggal di mana Soeharto mulai merebut kekuasaan sekaligus mempertahankan kekuasaan dengan memonopoli informasi serta mengawetkan kekuasaan dengan jalan merekayasa sejarah. Banyak sumber yang memberitakan perihal jumlah korban pembantaian tahun 1965-1966 terutama di Jawa, Sumatara dan Bali. Jumlah korban pembantaian tahun tersebut tidak mudah diketahui secara pasti. Dari 39 artikel yang dikumpulkan Robert Cribb (1990: 12) jumlah banyak korban berkisar dari 78.000 sampi dua juta jiwa. Bila semuanya dijumlah kemudian dibagi 39, didapat angka rata-rata 430.590 jiwa. Ia juga mengatakan bahwa pembantaian 1965 dilakukan dengan memakai alat yang sangat sederhana seperti pisau, golok dan senjata api. Tidak ada kamar gas seperti yang dilakukan Nazi. Orang yang dieksekusi juga tidak dibawa jauh dari tempatnya sebelum dibantai. Biasanya mereka terbunuh di dekat rumahnya. Ciri lain dari kejadian tersebut biasanya berlangsung pada malam hari. Proses pembunuhannya berlangsung relatif cepat, hanya beberapa bulan. Sedangkan Nazi memerlukan waktu bertahun-tahun, begitu pula dengan Khmer Merah memerlukan tempo empat tahun. Pembantaian PKI itu tidak dilakukan secara sitematis dengan pola bervariasi dari suatu daerah ke daerah lainnya, karena mendapat dukungan dari beberapa faktor. Pertama, budaya amok yang dipercayai paling tidak oleh pengamat Barat sebagai unsur penopang dari terjadinya tindak kekerasan. Kedua, konflik di daerah-daerah antara
11
golongan komunis dan non-komunis terutama para Kyai sudah mulai tampak sejak tahun 1960-an. Ketiga, militer diduga juga berperan dalam menggerakkan kemarahan massa rakyat. Keempat, faktor provokasi oleh media massa juga menyebabkan geramnya masyarakat. Peran media militer dalam hal ini, Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, juga sangat krusial. Surat kabar inilah yang mula-mula menyebarkan berita sadis mengenai tindakan Gerwani yang menyilet kemaluan para jenderal. Padahal berdasarkan visum et repertum dokter, seperti yang diungkap oleh Bennedict Anderson (1987), jenasah itu hanya mengalami luka tembak dan memar terkena gagang senjata atau terbentur dinding sumur. Berita tentang kekejaman kelompok perempuan kiri ini yang menjadi picu kemarahan masyarakat. Pada titik ini, dalam peristiwa pembantaian massal tahun 1965-1966, perlu dipisahkan antara konflik antarmasyarakat dengan kejahatan yang dilakukan oleh negara. Pertikaian antarkelompok masyarakat meskipun memakan banyak korban dapat diselesaikan. Dengan kata lain, terjadinya konflik horizontal antara anggota kelompok masyarakat itu bisa didamaikan. Antara Banser NU dengan kelompok kiri, itu bisa dilakukan dengan proses rekonsiliasi dan seharusnya itu sudah dilakukan pada tahun 1965 atau tahun 1966. Sayangnya, hal itu tidak terjadi selama kekuasaan rezim politik Orde Baru. Rezim politik Orde Baru malah mencoba mereproduksi kekerasan secara terus-menerus untuk mengawetkan tindakan represi dan memberikan legitimasi eksistensi mereka. Yang lebih parah adalah kejahatan yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakatnya. Pertama, menyangkut dugaan keterlibatan militer terutama di daerah Jawa Tengah dalam pembunuhan massa orang-orang yang berhaluan politik kiri. Menurut Cribb, “Dalam banyak kasus pembunuhan baru dimulai setelah kedatangan kesatuan elite militer di tempat kejadian.” Mereka memberikan perintah untuk melakukan berbagai tindak kekerasan atau memberi contoh pada masyarakat. Sehingga perlu diusut keterlibatan militer dalam peristiwa tersebut. Karena, menurut Cribb pula, itu dilakukan untuk menciptakan kerumitan masalah, “Semakin banyak tangan yang berlumuran darah dalam menghancurkan komunisme, nantinya semakin banyak tangan yang akan menentang kebangkitan kembali PKI dan dengan demikian tidak ada yang dituduh
12
sebagai sponsor pembantaian.” Kedua, kejahatan negara yang terus dipraktekan selama berlangsungnya rezim politik Orde Baru. Banyak tahanan politik PKI yang dibuang ke pulau Buru dan kemudian dilepaskan tanpa adanya pengadilan. Bahkan, terhadap anak-cucu mereka juga dikenakan ketentuan yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Dari segi jumlah korban jiwa, jelas jumlah yang diakibatkan oleh tindak kekerasan masa pra-1965 jauh lebih kecil korbannya dibandingkan dengan pembantaian tahun pasca-1965. Namun, saya sengaja menyandingkan dan menghubungkan masa pra-1965 dengan pasca-1965 dengan mengatakan pembunuhan massal yang dilakukan Umat Islam, terutama Banser NU di Jawa Timur itu hanya merupakan reaksi dari konflik sosial yang telah tumbuh sebelumnya. Dan keduanya dapat melakukan proses rekonsiliasi. Namun kejahatan negara terhadap masyarakat harus tetap diusut, termasuk kejahatan negara dalam menjalankan operasi militer terutama yang dilakukan di Jawa Tengah dalam rangka membasmi warga PKI sampai ke akar-akarnya.
Modus Pengungkapan Kebenaran
Dalam proses ini, tampaknya bukan hanya persoalan periodisasi tindak pelanggaran HAM saja yang penting, tetapi juga perlu dipikirkan lebih jauh mengenai pola dan modus pengungkapan kebenaran. Dari segi ilmu sejarah, tentu harus dilakukan penelitian terhadap berbagai peristiwa atau kasus yang telah disebutkan di atas. Sumber primer (seperti arsip dan kesaksian korban) dan sumber sekunder (seperti laporan dan surat kabar) perlu digali lebih jauh. Ada baiknya jika proses ini mendapatkan dukungan usaha yang dilakukan oleh Arsip Nasional RI yang bekerja sama dengan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara untuk mempersiapkan Keppres tentang penarikan berbagai arsip yang dimiliki kalangan militer (TNI dan Polri) ke Arsip Nasional RI. Berdasarkan Undang-Undang Kearsipan tahun 1971, hal itu sebetulnya sudah diatur namun rupanya, UU tersebut dianggap perlu diperkuat dengan Keppres. Kesaksian korban dapat diperoleh melalui metode sejarah lisan. Sebaiknya, program ini dilakukan secara nasional dengan anggaran negara dan dilakukan oleh lembaga seperti LIPI, Arsip Nasional RI, dan Universitas.
13
Apalagi, persoalan pelanggaran HAM tidak hanya menyangkut persoalan fisik semata, tapi juga mental psikologis. Ironisnya, hal itu berkaitan dengan adanya kebijakan pemerintah seperti dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengakibatkan tercabutnya HAM bagi kelompok masyarakat tertentu. Termasuk juga belum dicabutnya TAP MPRS No. XXV tahun 1966 yang dijadikan oleh pejabat Pemerintah sebagai alasan untuk tidak menghapuskan peraturan perundang-undangan yang dianggap berada di bawah TAP MPRS tersebut. Adalah intruksi Mendagri Amir Mahmud No. 32 Tahun 1981 tentang “Pembinaan dan Pengawasan eks-Tapol/Napol G 30 S/PKI yang melarang mereka semua itu bekerja di lingkuangan ABRI atau PNS (termasuk BUMN) dan sebagai guru, menjadi anggota parpol dan golkar, pers, dalang, lurah, lembaga bantuan hukum dan pendeta. (Baca penjelasan Pemerintah tentang skrining mental ideologis untuk pegawai negari, calon PNS, dan lainnya, 8 September 1988).
Rekonsiliasi Antar-Siapa?
Pluralitas bangsa Indonesia merupakan hal yang harus dijadikan pertimbangan untuk melakukan rekonsiliasi, sehingga, paling tidak ada banyak hal yang harus direkonsiliasikan. Pertama, hendaknya harus terjadi proses rekonsiliasi yang sifatnya lintas ideologi antara orang-orang Islam dengan kelompok eks-komunis. Istilah “eks” itu menunjukkan terdapatnya kelompok yang sudah tidak lagi menganut ideologi komunisme. Ini saya kira yang perlu disampaikan juga kepada kalangan umat Islam. Seperti pengakuan Sobron Aidit kepada Ramadhan KH dalam buku Kisah Intel dan Sebuah Warung yang baru saja terbit. Menurut Sobron, kini yang harus kita tegakkan bukan komunisme tetapi demokrasi. Demokrasi sejati yang didambakan seluruh umat masusia secara menyeluruh. Kini aku berpihak kepada demokrasi, bukan (pada) diktator proletariat seperti ide dan paham komunisme. Kedua, rekonsiliasi harus bersifat lintas etnis, misalnya rekonsiliasi antara orang Dayak dengan orang Madura. Begitu juga dengan proses rekonsiliasi juga dibutuhkan oleh BBM (Bugis, Buton dan Makasar) dengan berbagai suku di Papua. Di samping itu, hendaknya usaha itu juga melibatkan etnis Tionghoa dalam berbagai sektor kehidupan di Indonesia di masa yang akan datang.
14
Ketiga, kemudian juga rekonsiliasi yang sifatnya lintas antar-pemeluk agama. Hal itu sangat dibutuhkan oleh orang-orang di Ambon, antara pemeluk agama Islam dengan pemeluk agama Nasrani. Tapi yang paling krusial nantinya terletak pada hubungan antara sipil dan militer. Mengapa saya katakan ini? Karena, semua pemberontakan yang terjadi sepanjang sejarah Indonesia melibatkan kelompok bersenjata yang bernama militer. Semua kekerasan berdarah sepanjang sejarah Indonesia merdeka juga menyangkut pihak militer yang selalu korban adalah pihak sipil, tentu saja ditambah sedikit dari militer. Hubungan sipil dan militer itu yang akan menentukan apakah di masa datang masih akan terjadi tindak pelanggaran HAM. Untuk menuju proses rekonsiliasi, tampaknya proses rehabilitasi dapat dianggap sebagai langkah awalnya. Bahkan dalam beberapa hal, persoalan rehabilitasi itu bisa dilihat dari konsekuensi logis dari tercapainya proses rekonsiliasi. Secara definitif, proses rehabilitasi dapat dibagi dalam dua hal. Pertama adalah rehabilitasi fisik, berupa penggantian material terhadap kerugian yang diderita kerena tuduhan politik yang tidak terbukti bahkan tidak pernah diperiksa di pengadilan. Kedua adalah rehabilitasi mental, walaupun ini bukan persoalan yang ringan tapi pemulihan nama baik merupakan upaya yang harus segera dilakukan sifatnya, di mana selama tiga dekade lebih, banyak orang yang dituduh terlibat peristiwa G30S/PKI beserta keluarganya telah disisihkan sebagai anggota masyarakat. Mereka dianggap sebagai penyakit yang menjijikan dan bisa menular. Bagaimana menghapus stigma politik masa lampau? Caranya dengan melakukan kampanye melalui media massa baik cetak maupun elektronik dan pelajaran sekolah. Perlu diupayakan pelurusan sejarah guna penciptaan memori kolektif baru bangsa ke depan. Semua korban rezim politik Orde Baru harus bersuara, merintih bahkan berteriak untuk mengisahkan pengalaman pahit masa lampaunya. Mereka harus mengungkapkan kebenaran. Sejarawan (dan juga pers) harus lebih memberi perhatian kepada “sejarah korban” ini. Sementara itu, pengadilan terhadap pendukung rezim politik Orde Baru, Soeharto dan kroninya harus tetap dilanjutkan. Dalam pengadilan itu akan terungkap sedikit banyaknya tentang praktek politik yang melanggar hukum dan HAM semasa berlangsungnya kekuasaan rezim politik Orde Baru. Jadi, bukan hanya soal uang yayasan yang hanya secuil dari kejahatan yang dilakukan Soeharto. Jika tidak puas dengan
15
pengadilan Nasional, seyogianya kelompok reformis juga menuntut diadakannya pengadilan internasional terhadap Jenderal Soeharto yang oleh Bennedict Anderson dituduh bertanggung jawab terhadap kematian tidak wajar 800.000 warga Indonesia semasa berkuasa. Biarlah Kejaksaan Agung terus berjalan dengan pengadilan secara “kecil-kecilan” terhadap Soeharto dan putra-putrinya. Tapi secara bersamaan perlu adanya tuntutan dari kelompok reformis guna digelarnya Mahkamah Internasional terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Soeharto dan rezim politiknya selama 33 tahun.
Penutup
Paling tidak ada dua hal yang harus dikerjakan, jangka pendek dan jangka menengah atau panjang. Dalam jangka pendek, perlu adanya upaya pencabutan peraturan yang melanggar HAM dan menghalangi rujuk nasional seperti TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, Instruksi Mendagri No. 32/1981. Di samping itu, perlu didirikan lembaga yang mendorong terbentuknya proses rekonsiliasi. Sedangkan untuk jangka menengah atau panjang, perlu dilakukan usaha sungguh-sungguh untuk mengikis habis sisa-sisa rezim politik Orde Baru, baik itu yang berupa institusi maupun pemikiran, fisik maupun mental. Langkah pertama adalah pembubaran partai Golkar dan dinyatakan sebagai partai terlarang, tapi pengikutnya bisa mendirikan partai baru. Mereka juga tidak akan “dipulau-burukan” atau dalam KTP mereka tidak akan diberi tanda EG (eks Golkar). Kedua, buku pelajaran di sekolah perlu diadakan perombakan. Perlu dilakukan penulisan ulang terhadap buku-buku pelajaran sejarah yang ada sekarang, yang kebanyakan bersumber pada buku versi rezim Orde Baru. Untuk itu, Menteri Pendidikan Nasional perlu membentuk tim pelurusan sejarah.(*)
6 Kesalahan Itu Dimulai pada 1 Oktober 1965 Dhaniel Dhakidae
Pengantar
Dalam membincangkan persoalan pembentukan dan operasionalisasi Truth and Reconciliation Commission (TRC atau KKR = Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi), berhasil atau tidak berhasil (dalam arti efektif) sangat bergantung dari hidupnya satu “paham” tentang kesalahan masa lampau dalam suatu negara. Bagaimana negara memandang kesalahan yang telah dilakukannya pada masa lampau? Kemudian bagaimana pula sikap dan posisi yang harus diambil negara dalam proses selanjutnya? Harus diingat, dalam sejarah perjalanannya, rezim politik yang memerintah di Indonesia tidak pernah mengungkapkan rasa bersalahnya atas tindak pelanggaran yang telah dilakukan pada satu titik tertentu, yang kemudian disusul dengan ekspresi sikap bahwa republik ini meminta maaf karena kesalahan yang telah diperbuatnya kepada rakyat. Salah satu yang saya ingat sebagai perkecualian adalah pengampunan yang dilakukan Presiden Soekarno kepada Jenderal A.H. Nasution. Tidak hanya itu, Nasution saat itu juga dipulihkan kembali pangkat kemiliterannya setelah terlibat dalam peristiwa politik 17 Oktober 1952, sebuah peristiwa politik yang pada titik tertentu dapat disejajarkan dengan peristiwa politik 1 Oktober 1965. Jenderal Nasution bersama sejumlah perwira tinggi lainnya, yang terlibat peristiwa politik 17 Oktober 1952, harus menerima konsekuensinya: dipindahkan, dipecat, atau diturunkan pangkatnya. Namun, semua yang terjadi dengan peristiwa politik tersebut berada dalam kerangka intra-state-competition, antara DPR dan militer, dengan Presiden Soekarno sebagai penengah. Sehingga apa yang kemudian dilakukan Presiden Soekarno memberi maaf, bukan meminta maaf.
2
Memberi maaf itu lebih sebagai action orang yang di atas dan memberi pengampunan kepada orang yang berada di bawah. Hal serupa juga dilakukan Presiden Soekarno, memberi pengampunan kepada pasukan PRRI/Permesta. Namun demikian, yang harus dicatat semua masalah yang dimaafkan Presiden Soekarno di atas tidak termasuk dan tidak bisa digolongkan sebagai gross violation of human rights (pelanggaran berat HAM), dalam arti sebagaimana kita pahami sekarang. Mengapa? Karena kasusnya melibatkan semua kekuatan negara dan institusi kekerasan masyarakat yang hampir seimbang. Dalam kasus Nasution, misalnya, telah terjadi ketegangan politik yang melibatkan pemerintah dan militer. Sedangkan dalam kasus PRRI/Permesta, melibatkan kekuatan militer dengan militer. Terdapat kompetisi yang hampir seimbang antara PRRI/Permesta dengan militer. Sehingga, hal itu menjadi urusan serdadu melawan serdadu, bukan urusan rakyat (society) dengan negara (state), karena hampir seluruh kekuatan PRRI/Permesta itu adalah perwira menengah yang berpangkat Kolonel. Mereka mengorganisasikan perlawanan
rakyat
dari
berbagai
daerah
untuk
“mempertanyakan”
eksistensi
Pemerintahan Pusat. Jadi, hampir tidak bisa dibilang telah terjadi tindak pelanggaran HAM berat. Paling yang bisa disebut, telah terjadi semacam war atrocities, kekerasan perang. Tampaknya, masa transisi sekarang menjadi momentum yang tepat untuk mempertegas pilihan kita sebagai bangsa terhadap “paham” kesalahan masa lampau di republik ini. Bukan lagi negara memberi maaf, tetapi meminta maaf atas kesalahan masa lampau, terlebih lagi pada tindakan pelanggaran berat HAM yang telah dilakukan negara.
Gross Violation of Human Rights
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah kapan terjadinya pelanggaran berat HAM dan apa saja kriterianya? Pertanyaan ini dimunculkan bukan hanya karena merupakan proses awal dari pendefinisian tindak pelanggaran berat HAM. Selain itu, proses tersebut juga akan dijadikan titik tolak untuk mendorong adanya suatu gerak KKR lebih lanjut. Untuk menelusurinya, paling tidak ada lima kriteria yang dapat didefinisikan dalam tulisan ini, yang minimal menjadi jawaban awal guna pemenuhan pertanyaan di
3
atas. Pertama adalah bahwa telah terjadi tindak pelanggaran HAM yang prosesnya berlangsung secara sistematis. Artinya, terjadinya tindak pelanggaran tersebut berlangsung secara rapi, teratur tahap demi tahap. Dan, praktik pelanggarannya berlangsung dalam intensitas dan frekuensi tinggi dengan kriteria khusus untuk keperluan politik tertentu. Kedua, pelanggaran tersebut dikerjakan oleh state aparratus (militer) yang mendapat dukungan dari suatu institusi kekerasan yang ada dalam masyarakat, kurang lebih institutionalized crime. Ketiga, kejahatan tersebut dilakukan dengan massive consequences againts the people, berlangsungnya sebuah peristiwa yang bersama-sama dengan pelaku yang massal pula. Keempat, hal itu kemudian menyebabkan asymetric relations between the prepetrators and victims, di mana terjadi proses pelemahan satu kelompok atau lebih oleh kekuatan negara, yang mendapat dukungan secara massal dari berbagai kekuatan masyarakat. Kekuatan yang tidak berimbang itu kemudian dimanfaatkan pula oleh negara untuk menghancurkan kekuatan lain. Kelima, baru kemudian pada ujung berikutnya, tentu saja persoalan tersebut berhubungan dengan hukum, keadilan dan sebagainya yang tentu saja menjadi basis terdalam dari seluruh persoalan. Dalam masa transisi menuju demokrasi seperti sekarang ini, kita harus segera mungkin mencari kebenaran dari berbagai bentuk tindak pelanggaran HAM di segala bidang yang terjadi pada masa lampau. Berangkat dari kriteria sebagaimana disebutkan di atas, proses investigasi untuk menelusuri jejak-jejak masa lampau dengan mengumpulkan berbagai data, fakta, dan informasi akan tidak pelanggaran HAM masa lampau menjadi persoalan yang amat signifikan. Pada titik ini, kita sudah mencapai tahapan yang sifatnya sangat pragmatis. Di mana letak sifat pragmatis itu? KKR tidak bisa dan tidak boleh bekerja dengan sifat unlimited time period. Selain itu, juga harus jelas scope persoalan yang akan dibahas. Itu metode dasar yang harus dipenuhi dari suatu kerja KKR. Ini akan diuraikan lebih lanjut. Sekarang mari kita periksa, sejak kapan seluruh upaya investigasi seharusnya dikerjakan. Kalau sekiranya semua kriteria di atas kita pakai untuk membedah dan mengklasifikasikan seluruh tindak pelanggaran HAM yang ada di Indonesia, maka dengan sendirinya tidak satu pun peristiwa yang bisa menyamai apa yang telah dikerjakan oleh rezim politik Orde Baru sejak 1 Oktober 1965. Mengapa? Peristiwa
4
tersebut tidak saja telah melahirkan ketegangan kehidupan sosial-politik. Lebih dari itu terdapat pula implikasi yang berupa serangkaian pembunuhan massal terhadap orang-orang yang berhaluan politik komunis, di mana praktiknya terjadi secara sistematis, berantai dan berlangsung secara masif pula. Meskipun terkesan adanya konflik horizontal akibat ketegangan di masyarakat, namun tidak bisa dipungkiri praktik eksekusi langsung ekstra-yudisial tersebut dikerjakan oleh KOPKAMTIB (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan militer beserta seluruh jajarannya. Ironisnya, hal itu ditunjang tanpa pamrih oleh hampir semua institusi kekerasan yang masih tumbuh subur dalam masyarakat. Menurut saya, KOPKAMTIB merupakan satu institusi yang hanya bisa ditandingi oleh Gestapo-nya Hitler. Karenanya, ia merupakan institusi yang hampir tidak boleh lepas dari semua pembicaraan kita dalam konteks kejahatan rezim politik Orde Baru. Dikomandoi tiga orang (Soeharto, Soemitro dan Soedomo), dibuatlah kategorisasi ABC yang sifatnya most inhuman yang pernah ada dalam perjalanan sejarah republik ini. Kategori A merupakan orang yang dituduh langsung sebagai pelaku yang terlibat langsung dalam peristiwa G30S. Sedangkan kategori B dituduhkan kepada orang yang merupakan tokoh penting, artinya bisa kaum intelektual, dokter, akademisi, seniman dan seterusnya. Serta, yang termasuk kategori C adalah rakyat biasa yang hanya ikut-ikutan. Meskipun hanya ikut-ikutan, selama berlangsungnya Pemerintahan Orde Baru mereka harus diindoktrinasi demi pelurusan “ideologi”. Berangkat dari persolan kategorisasasi itu saja, sebetulnya sudah terdapat suatu gambaran universal kejahatan yang telah dilakukan rezim politik Orde Baru. Sayangnya, sampai sekarang belum ada orang yang mempersoalkan keberadaan Soemitro, meskipun yang bersangkutan sudah almarhum. Orang hanya kenal Soemitro sebagai seorang nasionalis dari militer. Padahal, ia merupakan salah satu dari tiga serangkai pemimpin KOPKAMTIB; ketiganya menjadikan sistem politik Orde Baru memberlakukan tindakan yang bersifat trans-historis. Yang namanya trans-historis itu sangat mengerikan, yang tidak pernah dibayangkan masyarakat Indonesia sebelumnya, di mana tidak hanya berlangsung proses penghapusan hidup seseorang, tapi juga terjadi tuduhan dari kalangan militer kepada pribadi-pribadi yang berlaku tidak hanya secara vertikal namun sekaligus juga secara lateral.
5
Secara vertikal, itu artinya seluruh yang boleh dibilang histori, kalau sekiranya ada seseorang yang pernah berurusan dalam hidupnya dengan gerakan komunisme tahun 1926 atau 1948, itu artinya ia terlibat pula dalam peristiwa politik 1 Oktober 1965. Begitu pula siapa yang terlibat dalam tragedi politik nasional 1 Oktober 1965, kalau dia punya anak, dia punya cucu, dia punya cicit, mereka semua harus pula ikut menanggung dosa yang dibikin oleh kakek dan nenek moyangnya. Sedangkan yang berlaku secara lateral, yaitu kalau seseorang yang dianggap terlibat dalam peristiwa politik tersebut punya adik sepupu, saudara sepupu, adik ipar, kakak ipar atau hanya karena dia menjadi mertua, mereka semua turut menanggungnya. Sehingga, seluruh dosa orang itu secara trans-historis harus ditanggung oleh siapa pun yang dianggap memiliki hubungan dengan korban. Seluruh dosa orang secara trans-historis harus ditanggung oleh siapa pun itu menjadi semakin hebat pada kurun waktu antara pertengahan tahun 1970-an sampai pertengahan 1980-an, di mana persoalan tersebut dipecah-pecah lagi menjadi beberapa konsep yang harus dikerjakan aparat keamanan dan birokrasi. Konsep-konsep semacam bersih lingkungan dan bersih diri itu harus diterima korban tanpa pernah ada pembelaan. Bersih lingkungan itu adalah pelaksanaan dari paham trans-historis mengenai pembersihan keterlibatan salah satu anggota keluarga yang menyebabkan semua terkena implikasinya. Sedangkan konsep bersih diri lebih mengarah pada siapa pun yang pernah berurusan dengan ideologi Marxisme dengan sendirinya dianggap tidak bersih diri.
Perilaku Politik Orde Baru
Dulu, pada saat rezim politik Orde Baru berada pada puncak kejayaannya, yang mempersoalkan peristiwa kudeta 1 Oktober 1965 dianggap merupakan sesuatu yang berlebihan. Mempersoalkan hal itu dengan sendirinya akan berhadapan dengan realitas sosial-politik dan ekonomi, di mana setelah puluhan tahun lewat, Orde Baru berjalan dan memperlihatkan kinerja yang baik. Pertumbuhan Ekonomi terus menaik mencapai 8% dan middle class Indonesia sudah mulai tegak berdiri. Kita semua pun hampir sampai pada kesimpulan bahwa memeriksa kembali peristiwa politik nasional 1 Oktober 1965 merupakan sesuatu pekerjaan yang sifatnya buang waktu saja.
6
Mengapa demikian? Karena semua yang sifatnya kontra-argumen dengan wacana politik Orde Baru akan patah. Derajat “kebuasan” kekuasaan sudah tidak terkendali selama berlangsungnya rezim politik Orde Baru. Penghancuran berbagai institusi politik berlangsung demikian hebatnya. Sehingga, tidak ada institusi politik satu pun yang berjalan dengan baik. Mahkamah tidak bekerja sebagai fungsi mahkamah, tapi manjadi tempat transaksi jual beli “keadilan dan pengadilan”. Polisi tidak bisa bekerja sebagai polisi, kejaksaan, kehakiman sampai departemen tidak berjalan sebagaimana mestinya. Demikian pula halnya dengan Departemen Agama yang oleh Gus Dur disebut sebagai tempat transaksi jual beli agama. (Perhatikan Pidato Gus Dur hari pertama setelah terpilih menjadi Presiden di Bali Canti Sena). Ironisnya, hampir semua kita mendukung praktik politik yang dilakukan rezim politik Orde Baru. Di dunia kampus tidak hanya gagasan Orde Baru saja yang masuk, tapi juga secara fisik. Organisasi serdadu yang disebut Resimen Mahasiswa (Menwa), selain menjadi alat kontrol negara terhadap dunia kampus, juga menjadi sarana pendukung dari jalannya proses kerja rezim politik Orde Baru. Selama tiga puluh tahun lebih telah diajarkan kebohongan di Republik ini, mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga tingkat yang paling tinggi, Perguruan Tinggi. Kita telah secara tidak fair memposisikan PKI dalam sejarah Republik sejak tahun 1965. Selalu direproduksi secara terus-menerus, PKI membunuh tujuh Jenderal Angkatan Darat. Kebohongan itu dicetak berulang-ulang dalam buku pelajaran sejarah dan di berbagai penerbitan surat kabar. Kita beramai-ramai menyiram air untuk menumbuhkan kebohongan yang begitu besar selama puluhan tahun. Ini semua adalah urusan kita sebagai bangsa dengan peristiwa politik nasional 1 Oktober 1965. Sehingga, bila ingin melihat Orde Baru menjadi hal yang penting maka itu bukan karena alasan yang melahirkannya. Akan tetapi, harus terdapat penilaian yang berangkat dari kerangka political-economic consequences yang lahir akibat perilaku Orde Baru. Bahkan, selama berlangsungnya kekuasaan rezim politik Orde Baru, terjadi pula apa yang sering disebut oleh banyak kalangan dengan proses hegemonic meaning mengenai pembangunan. Hal itu membuat kita tidak sadar dan sampai hampir tidak punya malu mengangkat Soeharto menjadi Bapak Pembangunan. Juga, hampir tidak punya malu, artis Titik Puspa mendendangkan lagu Bapak Pembangunan dan lain sebagainya.
7
Kendati demikian, ada banyak usaha untuk memahami apa yang sesungguhnya telah menjadi latar belakang dari peristiwa politik nasional 1 Oktober 1965. Usaha tersebut dikerjakan dengan sistematis untuk mencari penjelasan tentang apa yang persis terjadi pada hari-hari tersebut. Yang berani menentang secara langsung pada awalnya itu hanya Cornell Paper, sebuah hasil pencarian data yang dikerjakan oleh Bennedict Anderson dan kawan-kawannya dari University of Cornell. Tulisan ilmiah itu kemudian menjadi bahan nista selama tiga puluh tahun lebih di negeri ini. Orang tidak boleh membaca dan tidak boleh menyebarluaskannya, karena bertentangan dengan versi resmi pemerintah. Selain itu, terdapat pula usaha yang dilakukan oleh beberapa individu penulis yang namanya bisa dideretkan, seperti Profesor Wertheim, Brackman dan lain sebagainya. Setidaknya, ada puluhan judul buku, artikel, dan macam-macam yang memeriksa peristiwa politik nasional 1 Oktober 1965. Begitu pula dengan munculnya kesaksian yang dituturkan pelaku sejarah sendiri, seperti kesaksian Latief, Kesaksian Ganis Harsono dan kesaksian Angkatan Udara dan lain-lain. Semua itu menjadi kesaksian menuju pada beberapa kesimpulan yang hampir tidak terbantahkan termasuk oleh Angkatan Darat sendiri. Kesimpulan yang utama adalah peristiwa politik 1 Oktober 1965 yang merupakan persoalan intern Angkatan Darat. Tampaknya, kesimpulan itu tidak akan terbantahkan. Kalau sekiranya Angkatan Darat ingin melakukan bantahan, maka hal itu dapat menjadi hal yang kontraproduktif bagi perjalanan sejarah Angkatan Darat sendiri. Dengan begitu ia justru akan semakin menunjukkan wajahnya yang bopeng dan kriminal. Secara propaganda, hal itu sudah tidak mampu lagi dilakukan, apalagi secara akademis maupun secara penelitian. Banyak fakta yang mengarah pada kesimpulan peristiwa politik nasional 1 Oktober 1965 merupakan persoalan intern Angkatan Darat: kudeta yang dijalankan perwira-perwira Angkatan Darat yunior terhadap para Jenderal Angkatan Darat senior. Kudeta itu dikerjakan oleh Untung, Latief dan kawan-kawannya terhadap Jenderal Achmad Yani dan seluruh jajarannya. Mengapa? Karena dianggap perwira senior tersebut sudah menyeleweng dari etika keprajuritan. Mereka tidak saja sudah bergaya hidup mewah, berfoya-foya dalam kehidupan kesehariannya dan korup. Mereka juga dianggap oleh perwira yunior sudah berani melawan pemimpin besar Revolusi Bung
8
Karno. Sehingga, perwira-perwira menengah itu benar dengan seluruh perencanaan mengadakan kudeta intern Angkatan Darat. Kesimpulan yang kedua, Soeharto dapat dipastikan terlibat dalam peristiwa politik nasional 1 Oktober 1965. Sejauh mana keterlibatannya dapat dipersoalkan, artinya apakah terlibat merencanakan, terlibat mengeksekusi atau yang lainnya. Tetapi dengan sendirinya Soeharo sudah sangat terlibat dalam seluruh urusan kudeta junior officer, Kolonel Kepala dengan satu Brigjend tersebut. Mereka semuanya adalah perwira-perwira yang berasal dari Kodam Diponegoro di Semarang, sebuah tempat di mana Soeharto pernah menjabat sebagai Pangdam. Sehingga dengan jelas keterlibatan Soeharto bisa dirunut dari sana. Seberapa tingkat derajat keterlibatannya, itulah yang menjadi bahan perdebatan. Akan tetapi, yang penting untuk dicatat, persoalan kudeta Angkatan Darat 1 Oktober 1965 tersebut mendapat dukungan penuh dari Amerika Serikat. Amerika Serikat sangat berkepentingan dengan mandeknya perkembangan Partai Komunis di Indonesia. Sekiranya gerakan Angkatan Darat ini bisa menjadi bahan memprovokasi PKI, hal itu akan dimanfaatkannya. Seterusnya Amerika Serikat mendukung hampir semua gerakan yang sifatnya kontra-komunis. Perwira-perwira Angkatan Darat merupakan kelompok yang tidak suka dengan perkembangan Partai Komunis Indonesia. Sehingga, apa yang dilakukan Angkatan Darat yang berhubungan dengan menghambat perkembangan partai komunis mendapat tunjangan penuh dari Amerika Serikat. Hal itu diakui oleh Amerika Serikat sendiri pada saat pembongkaran arsip, yang menunjukkan keterlibatan negara adidaya tersebut, mulai menjelang kejatuhan rezim politik Demokrasi Terpimpin. Peranan intelijen (CIA) dan kedutaan Amerika Serikat di Indonesia atau sekurang-kurangnya atase militernya telah memberikan list siapa-siapa yang bisa dan boleh dibunuh karena masuk golongan ABC tadi. Ini persoalan perang dingin antara blok kapitalis dengan blok komunis. Semakin cepat komunisme itu hancur di muka bumi, semakin baik untuk Amerika Serikat. Keterlibatan Soeharto dalam peristiwa politik nasional 1 Oktober 1965 semakin kuat dengan berbagai bukti yang ada. Kemudian, ia dan militer menjalankan kudeta terang-terangan tanggal 11 Maret 1966. Mereka mengambil alih kekuasaan yang sah dari Presiden Soekarno. Sampai detik ini, belum ada yang dapat menunjukkan kerangka Surat
9
Perintah Sebelas Maret (Supersemar) secara utuh. Mereka tidak berani menunjukkan dokumen yang asli, karena isinya sama sekali bukan penyerahan kekuasaan kepada Soeharto tetapi urusan membereskan keamanan. Sehingga, yang terjadi pada tanggal 11 Maret 1966 adalah kudeta terang-terangan Angkatan Darat di bawah pimpinan Jenderal Soeharto untuk mengambil alih seluruh kepemimpinan dari rezim politik Demokrasi Terpimpin.
Tiga Simpul Ketidakadilan
Lalu apa artinya semua itu? Pembunuhan 80.000 sampai dua juta jiwa orang itu adalah mass murder for wrong reason. PKI dan anggotanya harus menanggung akibat dari sesuatu yang tidak dibuatnya. Sehingga, apa yang dikerjakan tanggal 1 Oktober 1965 merupakan pusat dari satu historical mistake. Dari sana berasal seluruh rasionalisasi sistem politik, sistem pendidikan, sistem kebudayaan yang semakin otoriter yang pada gilirannya nanti semakin meningkatkan otoritarianisme. Pada titik inilah kejadian 1 Oktober 1965 merupakan simpul pertama yang harus dijadikan titik tolak investigasi dari segala tindak kekerasan politik selama berlangsungnya rezim politik Orde Baru. Ia merupakan titik awal dari segala macam kekacauan yang terjadi selama ini. Ia menjadi tune in print dari seluruh sejarah Indonesia. Semua yang dimulai dari 17 Agustus 1945 berubah hampir total dengan terjadinya peristiwa politik nasional 1 Oktober 1965. Perubahannya terletak pada lahirnya neo-fasisme militer, yang mungkin tidak terlalu banyak urusan dengan kita. Tetapi, dia tiba-tiba menjadi banyak urusan dengan kita karena sejak saat itu terjadi apa yang dikenal dengan istilah gross violation of human rights yang berlangsung secara sistematis. Semua tindak kejahatan yang berlangsung mulai dari pembunuhan, eliminasi sampai kejahatan yang sifatnya ideologis dikerjakan oleh rezim politik Orde Baru. Semua itu berlangsung atas dasar apa yang diistilahkan most murder for wrong reason; di situlah tragedi yang luar biasa telah berlangsung. Sehingga, tidak ada peristiwa politik mana pun di Indonesia ini yang mampu menyaingi tragedi kemanusiaan 1965-1966. Tampaknya, hanya ada dua peristiwa dunia bisa berdiri sejajar bersanding bersama tragedi
10
kemanusiaan 1965-1966, yaitu Hitler dengan seluruh urusan Nazi dan Polpot dengan seluruh urusan di Kamboja. Simpul kedua adalah seluruh praktik kekerasan yang dilakukan militer terhadap gerakan Islam. Kekerasan dilakukan militer terhadap gerakan Islam yang sebetulnya Islam Politik. Tidak ada yang membedakan secara substantif, mulai dari Wilhelmina, masuk ke Soekarno sampai ke Soeharto, yang selalu berprinsip sama simpelnya yaitu memberi kebebasan kepada umat Islam dalam menjalankan ibadahnya. Tetapi, setelah terjadi apa yang disebut dengan political Islam, haknya harus dibabat dari akarnya. Prinsip ini dipakai Belanda, dipakai Soekarno maupun Soeharto. Di sini, kita tidak menyebut Jepang, karena sedikit berbeda urusannya. Sehingga, kemenangan Khomeini di Iran sangat menakutkan militer di Indonesia. Semua yang menjadi political Islam langsung dipotong di sini. Gerakan politik Islam sendiri baru menjadi sesuatu yang dilihat menggangu Orde Baru setelah kemenangan Khomeini atas rezim politik Syah Iran. Hampir semua kekerasan terhadap gerakan Islam berlangsung setelah peristiwa tersebut. Simpul ketiga adalah beberapa peristiwa yang berdasar atas wilayah geografi dan jenis persoalan khusus, seperti peristiwa Tanjung Priok (1984), Lampung dengan Talang Sari-nya, Aceh dengan DOM-nya dan lain-lain, termasuk peristiwa kekerasan politik yang terjadi di wilayah Papua Barat dan Timor-Timur. Secara spesifik, apa yang terjadi di dua wilayah terakhir tersebut juga merupakan imbas dari tragedi politik nasional 1965. Timika adalah proyek pertama dari perjanjian dengan modal asing yang dikerjakan oleh rezim politik Orde Baru, bukan proyek yang lain. Ia merupakan tempat Penanaman Modal Asing (PMA) pertama yang ditandatangani sebagai hasil Undang-Undang PMA tahun 1967. Sedang Timor-Timur merupakan wilayah yang “ditakuti” sebagai tempat berkembangnya ideologi komunis. Ia merupakan wilayah kelanjutan perang dingin. Menyusul kemudian kejahatan yang sifatnya forced disappearance terhadap aksi mahasiswa dan kekerasan terhadap buruh antara tahun 1994-1999. Tiga simpul tersebut di atas yang menjadi titik strategis dari seluruh upaya mengerjakan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia.
Bagaimana dengan Simpul 5 Juli 1959?
11
Komplikasi yang terjadi pada simpul 5 Juli 1959 sama sekali berbeda dengan 1 Oktober 1965. Sebagaimana telah dibahas sedikit di atas, 1 Oktober 1965 melahirkan neo-fasisme militer yang dampaknya mengerikan. Memang ada sedikit kalangan yang beranggapan bahwa lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 bukan sekadar sebagai sarana pembubaran Konstituante, juga merupakan momentum untuk mengalahkan kekuatan gerakan politik Islam di Indonesia. Namun bila ditelisik lebih komperehensif, lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pada dasarnya karena Presiden Soekarno mendapat pengaruh dan tekanan yang hebat dari kalangan militer. Mereka sangat berkepentingan dengan pembubaran Parlemen dan kembali ke UUD 1945. Sehingga, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak bisa diartikan sebagai kekalahan gerakan politik Islam saja, tapi kekalahan society secara keseluruhan terhadap kekuatan militer. Society kala itu mendapat dukungan yang hebat dari Masyumi, PKI, NU, PNI dan beberapa partai politik lainnya. Sehingga peristiwa tersebut bukan merupakan kekalahan gerakan politik Islam belaka. Militer pulalah yang mengganggu proses jalannya persidangan Konstituante di Bandung. Banyak anggota Konstituante yang diteror di rumahnya masing-masing. Mereka pula yang membuat segala kekacauan di berbagai daerah di Indonesia, persis seperti yang sekarang terjadi. Ketika Konstituante dibubarkan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, baru berhenti semua peristiwa Maluku, Aceh dan di beberapa daerah lainnya. Bila dilihat dari data statistik waktu itu, militer mulai duduk di Parlemen kira-kira sebanyak 35 orang. Secara prosentase mereka mulai masuk dalam Parlemen sekitar 40-50%. Begitu pula pada saat terjadinya proses reshuffle, mereka malah menambah jumlah orang menjadi 38 orang dan mencapai puncaknya dengan Orde Baru pada tahun 1971, di mana 100 orang ditetapkan berada di Parlemen. Sejak saat itu pula hampir semua Bupati dan Gubernur berada di tangan kalangan militer. Dan itu semua bukan dimulai dari tahun 1965, tapi sejak tahun 1959. Jadi, peristiwa 1959 harus dilihat sebagai titik awal naiknya kekuatan militerisme dan hancurnya society. Kendati dengan Dekrit Presiden, namun itu bukan berarti pula kemenangan Bung Karno sebagai pemimpin negara atas rakyatnya. Memang Bung Karno bersikap sangat keras terhadap kekuatan militer DI/TII. Namun kekerasan Bung Karno itu lebih karena
12
tekanan kalangan Angkatan Darat. Bung Karno memang banyak “omong”, tetapi ia bukan penguasa tunggal sebagaimana disangkakan banyak kalangan. Apalagi, berbagai kejadian di sekitar 5 Juli 1959 sudah dimaafkan Bung Karno secara terbuka. Bahkan, seorang Kolonel dari Permesta sudah bisa berdagang lagi dan kelak menguasai HPH. Begitu pula dengan Nasution, ia kemudian mendapatkan kepangkatannya kembali. Bila dikomplikasikan, maka kurun waktu antara tahun 1959 dengan 1965 merupakan hal yang sama sekali berbeda. Tahun 1965 telah menghasilkan satu model neo-fasisme militer di Indonesia. Sedangkan tahun 1959 tidak terjadi hal semacam itu. Sehingga tahun 1959 tidak memiliki relevansi bila dijadikan titik tolak awal bagi proses investigasi kerja rekonsiliasi.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Metode dan Metodologi
Proses kerja yang dilakukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi bukan merupakan proyek menulis buku sejarah. Ia merupakan kerja yang melibatkan keputusan dan kebijakan politik besar. Sehingga, negara harus terlibat secara aktif, karena menyangkut kepentingan rakyat secara umum. Mobilisasi dukungan untuknya harus dilakukan secara besar pula. Kerja ini sifatnya nasional, sehingga tidak bisa kita mendirikan KKR hanya di satu daerah saja. Setidaknya, dari jumlah komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang sudah dicatat, terdapat empat puluh komisi di tiga puluh enam negara, di empat benua yang didirikan selama kurun waktu antara tahun 1971 sampai dengan tahun 1995. Lima komisi didirikan di wilayah Asia, di Eropa terdapat enam komisi, Afrika memiliki empat belas komisi dan di Amerika Latin terdapat sebelas komisi (lih. Daan Bronkhorst, 1995: hlm. 85-89). Jumlah komisi yang cukup banyak itu kira-kira bisa menunjukkan bagaimana derajat pelanggaran HAM itu telah terjadi di belahan dunia ini. Di Afrika luar biasa derajat pelanggarannya, sesudah itu baru di Amerikan Latin, Eropa dan terakhir di Asia. Ada banyak komisi yang dibentuk secara bersama-sama pemerintah dan masyarakat. Ada pula yang dibentuk oleh parlemen, dibentuk oleh badan eksekutif (baik itu Kejaksaan, Departemen Pertahanan), termasuk terdapat komisi yang dibentuk oleh PBB dan yang terakhir ada komisi khusus yang dibentuk oleh Human Rights
13
Organization dalam suatu negara. Adapun jumlah komisi yang dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat menduduki jumlah terbanyak dengan dua puluh enam komisi, yang dibentuk
parlemen
sebanyak
tiga
komisi,
yang
dikerjakan
eksekutif
dan
macam-macamnya sebanyak tujuh komisi, sedang PBB membentuk satu komisi dan komisi khusus terdapat tiga komisi. Akan tetapi, saya tidak akan masuk ke wilayah deskripsi komisi kebenaran di beberapa negara itu. Karenanya, saya hanya membuat catatan ringkas seperti di atas. Sekarang yang lebih penting adalah melihat apa yang telah dihasilkan dari proses kerja komisi tersebut. Semua komisi itu menghasilkan sebagian besar adalah berupa laporan resmi komisi kepada publik. Saya tidak menganggap enteng laporan resmi yang dihasilkan oleh komisi. Komisi yang dibentuk oleh parlemen menghasilkan laporan, begitu pula yang dibentuk oleh badan eksekutif juga menghasilkan laporan resmi. Sayangnya, tidak satu pun laporan yang telah dihasilkan komisi dari pihak eksekutif ditindaklanjuti. Malah, di salah satu negara, hasil laporan eksekutif itu berupa amnesti umum. Seperti pengampunan umum mirip yang dibikin Soekarno terhadap militer PRRI/Permesta? Hasil yang paling serius adalah dari PBB. Sedangkan human rights commission sendiri tidak berhasil membuat laporan. Hanya El Savador yang menjalankan komisi dengan tindak lanjut yang berarti. Itu semua menunjukkan begitu ruwetnya proses kerja dan urusan KKR. Kasus yang paling serius adalah di Jerman, karena seluruh komisinya dibentuk untuk melihat kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Stazi di Jerman Timur. Stazi merupakan sebuah institusi militer yang mirip dengan KOPKAMTIB di Indonesia. Proses investigasi terhadap kejahatan yang dilakukan Stazi itu dikerjakan dengan sangat serius di Jerman Barat. Begitu juga dengan Argentina dan beberapa tempat lain. Kesemuanya mengalami kesulitan yang sangat berarti. Banyak soal yang menyebabkan keruwetan proses kerja tersebut, bisa dari persoalan politik, hukum maupun pendanaan. Di samping persoalan tersebut, terdapat keruwetan yang tidak kalah pentingnya bahkan ia merupakan hal yang fundamental sebelum kerja komisi lebih lanjut. Keruwetan tersebut berasal dari metode dan metodologi, bagaimana cara bekerjanya, bagaimana cara menyusun laporannya, dan lain sebagainya?
14
Untuk kasus Indonesia, mari kita lupakan dulu kesulitan yang sifatnya datang dari persoalan politik, hukum dan pendanaan. Saya akan masuk saja ke wilayah metode dan metodologi terlebih dahulu, di mana persoalan tersebut merupakan keruwetan yang sifatnya jauh lebih pragmatis untuk diperdebatkan. Keruwetan utamanya adalah terletak pada penetapan waktu, time limit. Membentuk KKR bukan merupakan pekerjaan main-main. Ia harus mempunyai sasaran peristiwa yang jelas dan scope temporal yang tegas pula. Ia tidak bisa bekerja tanpa batas dan tidak bisa bekerja tanpa ada suatu rumusan sasaran peristiwa yang jelas pula. Kalau sekiranya kasusnya dimulai dari kudeta Angkatan Darat pada 1 Oktober 1965 sebagai titik tolaknya, keruwetan kita adalah harus berurusan dalam rentang waktu yang begitu panjang selama 35 tahun. Demikian pula bila kita mau berurusan dengan gerakan politik Islam, kira-kira terdapat rentang waktu sepanjang 20 tahun. Berurusan dengan Aceh kira-kira terdapat durasi waktu 12 tahun. Begitu pula dengan Timor-Timur, terdapat bentangan waktu selama 24 tahun. Bahkan Papua Barat waktunya hampir sepanjang zaman. Menurut saya, kalau sekiranya kita mampu bekerja, yang paling ideal dan harus dikerjakan adalah berangkat dari kudeta Angkatan Darat 1 Oktober 1965. Memang terdapat keruwetan yang luar biasa. Keruwetan itu tidak hanya datang dari komplikasi politik, komplikasi hukum maupun pendanaan, tetapi juga terdapat keruwetan yang datangnya dari metode dan metodologi. Pertimbangan segi waktu saja sudah memberikan pekerjaan rumah yang bahkan hampir boleh dikatakan tak terpikulkan. Dengan demikian, pekerjaan ini harus didukung oleh semua pihak, khususnya oleh pemerintah Republik Indonesia. Pendeknya, semua resources harus dikerahkan untuk proses kerja komisi ini nantinya. Kita bisa belajar dari kerja keras komisi serupa di Jerman dan Argentina. Pemerintahan Jerman mendukung secara penuh upaya pengusutan segala tindak kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Stazi. Begitu pula dengan pemerintahan Argentina, ia mendukung secara penuh seluruh gerakan untuk memeriksa jenderal-jenderal yang terlibat dalam tindak kejahatan sekitar tahun 1970-an sampai dengan 1980-an.
Kesimpulan
15
Beban kerja yang begitu hebat yang harus dipikul KKR, menurut Vaclav Havel ketika memberikan pandangannya tentang keberadaan komisi, “Sangat ajaib untuk tahu sesudah berdasawarsa lamanya sejarah telah dipalsukan, digelapkan dengan seluruh kekuatan yang diberikan oleh dan yang dimiliki negara. Telah berlangsung proses manipulasi ideologis dan manipulasi historis, tetapi hampir tidak ada satu pun yang dilupakan masyarakat.” Tampaknya, di Indonesia pun sama saja. Usaha rezim politik Orde Baru untuk menutupi seluruh tindak kejahatan kemanusiaannya – kendati hampir tidak masuk akal kita, sampai tindakan terbodoh sekalipun yang dibikin sekadar untuk menutupinya – toh tidak satu pun yang dilupakan masyarakat Indonesia. Sehingga, menurut Daan Bronkhorst, seluruh urusan HAM yang dikerjakan sekarang ini merupakan upaya melawan satu kealpaan sejarah. Sehingga, dari mana KKR bertolak, menurut saya, berangkat dari kudeta Angkatan Darat 1 Oktober 1965 dengan seluruh konsekuensi kemanusiaannya. Waktu itulah yang merupakan titik terpenting dan titik terkuat dalam sejarah kemanusiaan di Indonesia, di mana crime of humanity dilakukan baik oleh Soeharto secara pribadi maupun oleh Angkatan Darat sebagai satu kesatuan. Meskipun nantinya terdapat kesulitan yang luar biasa, namun itu memang harus dihadapi. Namun demikian, yang harus segera dipecahkan terlebih dahulu dan sifatnya mendesak adalah keruwetan yang sifatnya pragmatis, yaitu persoalan metode dan metodologi. Di sana penentuan scope kerja dan time limit-nya perlu ditentukan secara tepat dan jelas. Baru kemudian dilanjutkan ke persoalan yang lebih ideal dan lebih besar. Sebagai kalam penutup tulisan ini, yang harus menjadi catatan kita adalah rekonsiliasi jangan menjadi ujung dari hasil akhir. Justru, rekonsiliasi merupakan awal dari seluruh proses berikutnya.(*)
7 Aktor yang Sangat Berperan di Masa Lalu Kusnanto Anggoro
Dwifungsi TNI telah membawa pengaruh yang sangat besar terhadap pengelolaan pemerintahan dan terjadinya tindak pelanggaran HAM selama kekuasaan rezim politik Orde Baru. Doktrin TNI dan keberpihakannya pada penguasa telah melahirkan budaya militer. Dan, inklinasinya pada stabilitas telah menyebabkan TNI cenderung menggunakan kekerasan terhadap gerakan-gerakan sosial. Institusi militer mulai dari komando daerah hingga intelijen hanya menjadi soko guru dalam pelaksanaan kebijakan. Elite militerlah yang merupakan salah satu penyebab terjadinya pelanggaran HAM di Indonesia. Berkurangnya peran politik militer pada pembuatan kebijakan tidak dengan sendirinya menghapus seluruh jaringan pengaruh militer dan budaya kekerasan. Konfigurasi politik Indonesia masa transisi mungkin akan menyebabkan opsi mengungkap kebenaran dan menuntut keadilan pada akhirnya harus berkompromi dengan keadilan transisional (transitional justice). Public pressure mutlak diperlukan sebagai conditioning yang akan mempengaruhi tawar-menawar politik (political bargaining) yang berkembang dalam elite militer, dalam konteks hubungan sipil-militer.
Militer dan Politik Orde Baru
Perwujudan peran militer dalam politik Indonesia telah melewati suatu perjalanan panjang. Berderet keterlibatan militer dalam wilayah politik tidak terbantahkan. Meski senantiasa mengalami pasang surut, militer telah memainkan peran politik tertentu sejak masa perjuangan kemerdekaan. Kemudian, peranannya semakin meluas pada pertengahan dasawarsa 1950-an. Pada akhirnya, militer menempatkan dirinya sebagai peranan yang paling dominan pada masa transisi dari Demokrasi Terpimpin menuju Demokrasi Pancasila.
2
Setelah depolitisasi kehidupan kepartaian berhasil dilakukan selama paruh awal dasawarsa 1970-an, campur tangan militer dalam politik menjadi semakin hegemonik. Mereka memasuki semua jajaran lembaga negara mulai tingkat pusat hingga daerah, terutama dalam birokrasi pemerintahan dan lembaga perwakilan. Militer tidak saja tumbuh sebagai suatu institusi yang kuat, tetapi lebih dari itu ia menguasai struktur politik bayangan Departemen Dalam Negeri.1 Tidak jarang mereka menjadi penentu dari resolusi konflik politik internal berbagai partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Keterlibatan mereka memperoleh landasan konstitusional melalui pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPRS No.4 (1978) dan UU No. 20 Tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara (1982). Meskipun demikian, dalam batas-batas tertentu, telah terjadi banyak perubahan penting dalam peta perimbangan kekuatan politik, khususnya setelah Suharto berusaha mengalihkan basis politiknya dari militer ke kelompok Islam awal dasawarsa 1990-an. Sejak saat itu, pucuk pimpinan militer tetap memainkan peranan tertentu dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan politik. Namun demikian, pada saat yang sama, telah terjadi pengurangan peran institusi militer. Keterlibatan TNI dalam pemerintahan menurun drastis, seperti diperlihatkan dari menyusutnya jumlah personil TNI dalam pemerintahan dan perusahaan-perusahaan negara. Untuk pertama kalinya dalam 30 tahun, jabatan Ketua Umum mesin politik Orde Baru, Golongan Karya, gagal direnggut militer. Keterlibatan institusi dan atau elite militer merupakan instrumen rezim birokrasi otoriter, ataupun istilah-istilah lain yang sering dirujuk untuk itu, yang pada intinya memperkuat kecenderungan monopoli pengambilan keputusan pada pemerintah. Derajat keterlibatan militer dalam politik berbeda dari waktu ke waktu. Terlihat kuat derajat keterlibatan itu seiring dengan meningkatnya kekuatan Soeharto. Ketika Soeharto berhasil mengukuhkan dirinya sebagai pusat kekuasaan hegemonik sejak pertengahan dasawarsa 1980-an, stabilitas rezim otoriter birokratik tidak lagi disangga oleh institusi militer, tetapi oleh politik informal antara elite militer dan pusat kekuasaan. Padahal, institusi militer telah memainkan peranan yang sangat penting pada dasawarsa sebelumnya. Barangkali dapat dikatakan bahwa derajat keterlibatan militer dalam politik telah mengalami transisi dari 1
Richard Tanter, “The Totalitarian Ambitions Intelligence and Security, Agencies in Indonesia”, dalam Arief Budiman (ed.), State and Civil Society in Indonesia, Clayton: Monash University, hlm. 215-88.
3
“model institusional” ( institutional model ) kepada “model personalis” (personalist modeL).2 Secara kuantitatif, jumlah perwakilan militer di DPR menyusut dari 100 menjadi 75, personil militer yang menduduki jabatan-jabatan birokrasi pemerintahan juga berkurang. Pada saat yang sama, perwira-perwira yang pernah menjadi ajudan Presiden mulai menduduki jabatan-jabatan kunci pada institusi kemiliteran. Hubungan patron-clientship ini tampaknya menjadi sarana efektif bagi Soeharto untuk mengendalikan elite militer. Gejala seperti itu mempunyai arti penting untuk menafsirkan sampai sejauh mana pengurangan kuantitatif peran militer mencerminkan perubahan derajat dan ruang lingkup keterlibatan politik militer. Termasuk ketika perwakilan militer dalam lembaga legislatif dikurangi menjadi 38 pada masa pasca-Soeharto. Dalam politik, “kekuasaan” (power) dan “pengaruh” (influence) mempunyai kaitan yang erat. Indonesia dikenal sebagai negara dengan sistem politik yang lebih banyak diwarnai oleh politik informal (informal politics) daripada politik organisasi rasional.3 Perubahan organisasional tidak dengan sendirinya mencerminkan perubahan sikap politik. Tidak tertutup kemungkinan pengurangan jumlah personil militer dalam lembaga negara maupun dalam jajaran birokrasi pemerintahan hanya bermakna simbolik, tidak substantif. Setidaknya terdapat tiga alasan yang mendasari keterlibatan militer dalam wilayah politik. Pertama adalah “tugas sejarah”. Kedua adalah “terdapatnya ancaman terhadap keamanan nasional”. Ketiga adalah “keinginan militer untuk mempertahankan kepentingan mereka sendiri”.4 Memang harus diakui, perkembangan hidup setiap orang maupun institusi tidak berhasil sepenuhnya melepaskan diri dari persoalan historis. Namun demikian, persoalan historiografi politik tidak identik dengan historisisme. Pengalaman sejarah bermanfaat untuk melihat masa depan. Penafsisran sejarah secara monopolistis merupakan sikap anti-demokrasi. 2
Felipe Agilero, “Toward Civilian Supremacy in Latin America”, dalam Larry Diamond et al., Consolidating the Third Wave Democracies: Themes and Perpectives, Baltimore: The John Hopkins University Press, 1997, hlm. 40-57.
3
Guilermo O’Donnell, “Illusions About Consolidation”, ibid., hlm. 46-7.
4
Beberapa yang dapat menjadi rujukan untuk masalah itu adalah, antara lain, Ulf Sundhaussen “The Millitary: Structure, Procedures, and Effects on Indonesian Society”, dalam Karl D. Jackson and Lucian W. Pye (ed.), Political Power and Communication in Indonesia, Berkeley: University of California Press, 1978: hlm. 45-81; Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia, Ithaca, NY: Cornell University Press, 1978; Ian MacFarling, The Dual Function of the Indonesian Armed Forces, Canberra: Australia Defence Studies Centre, February 1996; dan Indria Samego et al., Bila ABRI Menghendaki, Bandung: Penerbit Mizan, 1997.
4
Seperti digambarkan oleh Milan Kundera, transisi rezim di beberapa negara Eropa Timur hingga kini tidak sepenuhnya berhasil mencapai konsolidasi demokrasi, karena elite politik di negara-negara tersebut tetap memegang kendali atas penafsiran sejarah. Demokrasi seharusnya membuka peluang bagi terjadinya penafsiran-penafsiran baru. Fakta kesejarahan hendaknya ditafsirkan secara kritis dalam semangat dekonstruktif, dengan memperhatikan konteks sosial di mana fakta itu terjadi. Melepaskan koteks politik dari sebuah fakta kesejarahan adalah sebuah upaya untuk melestarikan kekuasaan; dengan demikian, hal itu tentu saja bertentangan dengan semangat demokrasi. Konsolidasi demokrasi didefinisikan sebagai suatu proses ketika semua pelaku politik menerima dan melaksanakan kerangka konsitusional yang berlaku. Namun konstitusionalitas tidak dengan sendirinya identik dengan konstitusionalisme. Dalam banyak kesempatan, ketentuan-ketentuan konstitusional justru merupakan belenggu terhadap berbagai upaya demokratisasi. Louis Althusser pernah mengatakan bahwa upaya menegakkan “perangkat ideologi” (ideological apparatus), “perangkat negara” (state apparatus), “perangkat kultural” (cultural apparatus) sering kali pada akhirnya bermuara pada rumusan legalistis. Artinya, hanya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Bagi kaum legalis, hal itu sendiri tidak terlalu menjadi persoalan kendatipun hukum itu sendiri sering kali telah merupakan bagian dari instrumen untuk melestarikan kekuasaan. Ketika kekuasaan eksekutif memainkan peran dominan dalam konstruksi hubungan antarlembaga tinggi negara maka “menegakkan hukum” dapat identik dengan melanggengkan dominasi eksekutif. Jika demikian, maka tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan semangat devolusi kekuasaan negara yang seharusnya menjiwai setiap transisi demokratis. Kombinasi antara mesianisme, historisme dan konstitusionalisme itu memainkan peranan penting dalam menentukan derajat keterlibatan suatu institusi dalam proses politik. Khususnya seberapa besar sebuah institusi dominan, termasuk militer, siap menghadapi perubahan peranannya. Internalisasi dan sosialisasi yang masif tentang apa yang dimengerti sebagai peran mesianisme, historisisme dan konstitusionalisme itu, yang terjadi dalam institusi sendiri maupun dalam hubungannya dengan institusi lain, pada akhirnya dapat menjadi kekuatan hegemonik yang mengambat perubahan. Sampai seberapa besar kekuatan tersebut akan melentur, dengan memberikan ruang gerak yang lebih besar pada perubahan dan
5
sekaligus mengurangi konservatifisme, hal itu sangat dipengaruhi oleh pertimbangan objektif terutama kepentingan korporatif mulai dari kepentingan ekonomi, kepentingan politik, maupun kepentingan ideologis. Gagasan tentang memberikan kompensasi kepada kalangan militer di beberapa negara Amerika Latin dalam masa transisi bertolak dari kecenderungan ini. Karenanya perumusan peran baru militer dan penerimaan militer pada peran baru itu akan menjadi suatu proses negosiasi antara kelompok militer dan sipil. Secara teoretis, perumusan peran baru tersebut akan menjadi resultante dari tuntutan hegemonisme dan fleksibilitas dalam proses negosiasi berupa pembagian wewenang antara kekuasaan sipil dan militer.
Doktrin Bela Negara dan Persepsi-Diri Peran Militer
Telah terjadi berbagai perkembangan menarik dalam dua belas bulan pertama setelah tumbangnya kekuasaan Soeharto. Markas Besar mengeluarkan konsep “redefinisi reposisi dan reaktualisasi” peran militer dalam kehidupan bangsa.5 Berbagai pernyataan resmi yang muncul di publik tidak lagi dipenuhi dengan kedudukan militer Indonesia sebagai “stabilisator dan dinamisator”. Telah lahir rumusan paradigma baru, militer “tidak selalu harus di depan, tidak lagi menduduki tetapi mempengaruhi, itu pun tidak secara langsung, siap membagi peran dengan pihak sipil dalam pengambilan keputusan penting”. Penataan kembali organisasi militer juga dilakukan di lingkungan Markas Besar TNI sendiri, antara lain dengan menghapus jabatan Kepala Staf Sosial Teritorial. Bulan April 1998, Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Wiranto memutuskan agar tetap mempertahankan kedudukan itu atau kembali ke jajaran militer. Polisi dipisahkan dari komando militer. Dalam berbagai kesempatan, istilah “peran sosial politik” digantikan dengan istilah lain, “peran dan dharma bakti dalam kehidupan bangsa”.
5
“Redefinisi, Reposisi dan Reaktualisasi Peran ABRI dalam Kehidupan Bangsa”, Widya Dharma, Edisi Khusus 1999, hlm. 81-106.
6
Perubahan paradigma, konsep organisasi dan pengenalan istilah baru itu tidak banyak mengubah substansi. Pemikiran militer masih diwarnai dengan diksi dan retorika lama. 6 Pemekaran institusi intelijen militer dilakukan untuk menampung masalah yang jauh lebih luas dari masalah “keamanan”. Selain itu, mulai dilakukan penambahan jumlah daerah komando militer, mungkin kembali akan mencapai jumlah seperti pada akhir dasawarsa 1980-an. Masih menjadi pertanyaan tentang kondisi sosial, di mana militer berkehendak memberi ruang gerak yang lebih besar bagi proses politik demokrasi yang antara lain ditandai dengan kepatuhan militer pada keputusan politik uang dibuat oleh elite sipil. Dinamika politik kontemporer yang menyangkut negosiasi antara kalangan sipil dan militer dan atau perbedaan pendapat di kalangan militer maupun sipil, tentu saja akan memainkan peranan di dalamnya. Namun demikian, pada akhirnya perwujudan peran politik itu akan sangat ditentukan oleh bagaimana militer memandang transisi demokrasi itu sendiri. Banyak alasan yang dapat disebut mengapa militer harus melibatkan diri dalam percaturan politik baik itu berdasarkan persoalan historis, obsesi pada stabilitas nasional dan kepentingan institusi sebagaimana disebutkan di atas. Dua alasan yang pertama bersifat subjektif, yang dapat dirinci lebih lanjut menjadi beberapa unsur, terutama sejarah perjuangan dan doktrin keamanan. Anggapan militer adalah “tentara pejuang” dan sekaligus “pejuang tentara” serta “masalah sipil bukan masalah baru bagi kalangan militer”. Anggapan tersebut kemudian dikukuhkan dalam doktrin pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Hankamrata) yang sampai sekarang masih kuat bersemayam di kalangan elite militer. Kelihatan sekali bila anggapan tersebut tanpa dipengaruhi oleh faktor generasi dan kecabangan. Sangat kuat tertanam diktum Clausewitzian yang menyatakan “perang merupakan kelanjutan dari politik dengan cara lain”. Sama kuatnya dengan konsep “Jalan Tengah” (The Middle Way) yang dirumuskan sesepuh militer, Jenderal Abdul Haris Nasution pada tahun 1958. Baginya militer “bukan sekadar alat pemerintah sebagaimana berlaku di negara-negara Barat, bukan pula alat partai sebagaimana di negara-negara Komunis, apalagi semacam rezim militer yang mendominasi negara”. Clausewitz, Sudirman dan Nasution, telah mendasari pandangan militer yang sangat kuat hingga kini. Sehingga, “misi dari setiap angkatan bersenjata, di mana pun juga, tidak pernah terlepas dari politik”. 6
Observasi, Sarasehan Postur Kekuatan Hankamneg, Bandung, 11-12 Mei 1999.
7
Konservatifisme pemikiran yang sepenuhnya tercermin dalam kehidupan politik merupakan masalah yang lebih rumit. Obsesi mengenai disintegrasi bangsa sangat besar, termasuk di kalangan perwira menengah. Kemajemukan masyarakat Indonesia berdasarkan garis etnik dan agama paling sering disebut sebagai ancaman terhadap integritas dan integrasi nasional. Dalam beberapa kasus, semangat mesianisme, superioritas disiplin dan organisasi masih dapat ditemukan dalam pemikiran elite militer. Bahkan sebagian elite militer masih berpandangan, “tanpa kehadiran militer, Indonesia sudah menjadi sebuah negara komunis atau negara Islam”. Selain itu, berbeda dari politisi sipil yang sering kali menggunakan sentimen primordial sebagai instrumen mobilisasi politik, “militer adalah suatu institusi nasional”. Sistem demokrasi parlementer, pada saat militer tidak melibatkan dirinya dalam wilayah politik praktis merupakan masa yang dinilainya penuh dengan ketidakstabilan politik, sehingga menutup peluang Indonesia melakukan proses pembangunan nasional. Hingga tingkat tertentu, muncul kesadaran baru mengenai aspirasi regionalis pada dasawarsa 1950-an, yang terjadi karena ketimpangan pembagian aset kekuasaan, terutama ekonomi, sehingga bukan semata-mata karena kecenderungan sentrifugal masyarakat plural. Sebagian besar elite militer memandang ancaman disintegrasi itu adalah ketidakmampuan pemerintah pusat mengemban fungsinya menciptakan masyarakat adil dan makmur. Tuntutan kemerdekaan Aceh dan Timor Timur, diakui sebagai konsekuensi dari penerapan pendekatan keamanan (security approach). Pemerintah kurang sensitif pada tuntutan daerah. Mereka juga beranggapan bahwa sebagian besar faktor yang menjadi latar belakang gejolak sosial dan kekerasan massa yang terjadi belakangan adalah “akibat dari kekeliruan strategi pembangunan”. Kebijakan yang dipandang sesuai untuk menghadapi ancaman terhadap integrasi dan atau stabilitas politik itu adalah “pemerintahan yang kuat”, “kedewasaan politisi sipil” dan “inklusi partisipasi”.7 “Militer adalah bhayangkari negara” demikian bunyi doktrin.8 Mereka tidak pernah menafsirkan peran itu dalam pengertian terbatas, misalnya hanya menghadapi ancaman luar yang bersifat militer. Dogmatisme di kalangan elite militer mempunyai peran pada masa damai
7
Survey.
8
Doktrin yang dirujuk dalam paragraf ini adalah Pancasila, UUD 1945, Sapta Marga, Sumpah Prajurit, Delapan Wajib ABRI, dan Sebelas Asas Kepemimpinan ABRI.
8
maupun perang. Itu merupakan salah satu prinsip yang dipandang sesuai dengan doktrin seperti dalam butir-butir Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Meskipun rakyat merupakan unsur negara yang paling dominan, namun hal itu tidak secara eksplisit terdapat dalam doktrin-doktrin militer, selain hanya dalam sikap-sikap sosial sebagaimana tertuang dalam Delapan Wajib ABRI. Bagi mereka, negara adalah “seperangkat sistem administratif, hukum dan birokrasi”. Pada titik ini terdapat reduksionisme dalam mengidentifikasi “kepentingan pemerintah” dengan “kepentingan negara”. Dogmatisme sangat kuat tertanam di kalangan elite militer. Pandangan mereka tidak banyak berubah secara substantif selama hampir tiga dasawarsa belakangan. Bisa dirunut dari apa yang pernah dikatakan Wakil Panglima Angkatan Darat Panggabean dalam Seminar TNI-AD ke II (25-31 Agustus 1966), militer “mengutamakan dukungan politik bagi pemerintah”. Nuansa baru yang dapat ditangkap, seperti terlihat dari pernyataan Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Wiranto pada waktu itu, pemerintah yang kuat itu kini ditafsirkan sebagai “pemerintahan yang memperoleh dukungan masyarakat”.9 Gejala reduksionis tidak terlalu besar hanya di kalangan purnawirawan atau mereka yang tidak mempunyai kedudukan komando struktural dan atau akses pada pemerintahan. Mereka menyadari “identifikasi pemerintah dengan negara merupakan sesuatu yang pada awalnya didorong oleh pertarungan politik”. Menurut pandangan mereka, sudah saatnya “militer tidak sekadar menjadi alat kekuasaan tetapi harus membela kepentingan rakyat”. Kredibilitas ABRI yang paling penting terletak di mata rakyat, bukan di mata elite pemerintahan”.10 Namun pandangan serupa itu kelihatannya tidak terlalu kuat di kalangan perwira, sebagian besar karena keterbatasan mereka terhadap hierarki komando militer. Seorang perwira mengatakan bahwa “sebenarnya sering terjadi diskusi antara kami dengan atasan, namun pada akhirnya kami tidak bisa menolak perintah”.11 Terlihat kedudukan formal, khususnya kedekatan dengan kebijakan pemerintah atau kedudukan struktural dalam pemerintahan, mempengaruhi bagaimana elite militer menentukan sikapnya terhadap 9
The Jakarta Post, 2 Agustus 1999.
10
Interview, 5 Maret 1999.
11
Interview, 1 April 1999.
9
perubahan. Karenanya, pucuk pimpinan militer sangat menentukan bagi sikap militer terhadap politik. Kendati proses demokratisasi terus berjalan, namun konservatifisme semacam itu tampaknya tidak mudah untuk dihindari. Salah satu faktor yang memperkuat kecenderungan tersebut adalah doktrin militer itu sendiri, di mana belum terlihat pergeseran penafsiran secara substansial mengenai peran kebhayangkaraan militer dalam konstruksi negara (kesatuan), ideologi negara dan konstitusi negara. Memang dalam banyak kesempatan, militer mulai beranggapan bahwa membuka koridor yang lebih luas bagi partisipasi politik rakyat merupakan gejala yang tidak mungkin dihindari. Secara resmi, posisi militer berada pada “reformasi harus segera dimulai tetapi tetap terkendali”, militer akan “melaksanakan dan menyelamatkan reformasi”.12 Namun pertanyaannya kemudian adalah, apakah hal itu dapat dilaksanakan? Sementara, arus pemikiran yang berkembang di kalangan militer kelihatannya masih menjadi kendala pokok bagi proses reformasi sendiri. Seberapa jauh reformasi politik dapat dilakukan? Serta posisi dan peran apakah yang ingin dimainkan militer dalam proses itu? Sangat kuat pandangan elite militer mengenai keterlibatan mereka dalam politik adalah “suatu hak sejarah”, “keharusan untuk mempertahankan keamanan nasional” dan “mewujudkan profesionalisme”.13 Persepsi diri yang paling sering muncul adalah identifikasi militer sebagai “penyelamat bangsa”, “penjaga konstitusi negara” dan “penjaga persatuan dan kesatuan”. Referensi pengalaman sejarah perjuangan kemerdekaan menyebabkan militer tidak membedakan tugas-tugas militer dan sipil. Oleh karenanya, mereka “dalam situasi apa pun akan selalu berpartisipasi dalam pembangunan”.14 Tak jarang persepsi diri seperti itu masih diperkuat pula dengan kecenderungan mesianistis dan keunggulan organisasi militer dibanding organisasi sipil. Sementara itu, pemerintah sendiri merupakan institusi berwenang untuk mengeluarkan perundangan yang berkaitan dengan bisnis, di mana militer terlibat secara aktif, baik dalam proses perumusan perundangan-undangan maupun praktik bisnisnya. Dukungan dan identifikasi dengan kepentingan pemerintah tersebut berkaitan dengan kepentingan ekonomi 12
Susilo Bambang Yudhoyono, “Peran ABRI Pasca-Pemilu 1999”, Widya Dharma, Edisi Khusus 1999 (Bandung: SESKOABRI), hal. 44-51.
13
Interview, 7 April 1999.
14
Interview, 1 April 1999.
10
militer. Tercatat dalam sejarah, perubahan rezim politik dari Demokrasi Terpimpin ke Orde Baru tidak saja membuka peluang masuknya perwira-perwira militer ke sektor pemerintahan, tapi juga perusahaan-perusahaan negara. Praktik tersebut secara otomatis memberi sumbangan bagi kegiatan operasional militer.
15
Sehingga, militer sangat berkepentingan dalam
membangun korporasi guna mempertahankan keterlibatannya dalam politik, khususnya untuk mendukung pemerintah yang berkuasa. Namun demikian, di lingkungan militer sendiri muncul persepsi mengenai keuntungan itu hanya dinikmati oleh “kalangan-kalangan tertentu”, “tidak secara nyata memberikan kontribusi pada institusi militer”. Hanya lebih dimaksudkan untuk memenuhi kriteria “employment oriented” daripada “mission oriented”.16 Dengan adanya berbagai gejala seperti itu, maka memang sukar untuk mengharapkan militer akan sepenuh hati memberi dukungan pada transisi demokrasi yang sedang berjalan. Sekurang-kurangnya dalam pengertian bahwa inklinasinya berpihak pada pemerintahan yang berkuasa akan lebih besar daripada kekuatan yang menentangnya.
Persepsi Militer tentang Demokrasi dan Demokratisasi
Demokratisasi secara sederhana dapat ditafsirkan sebagai proses transisi dari sistem politik otoriter menjadi sistem politik yang lebih demokratis. 17 Dalam pengertian elite militer, demokratisasi itu tidak lebih dari segenap usaha untuk membangun sebuah sistem “dari rakyat,
15
Indria Samego, et al., Bila ABRI Berbisnis, Bandung: Penerbit Mizan, 1998, hlm. 127-130.
16
Survey.
17
Kedua bentuk itu merupakan format ideal dan ekstrem. Dalam spektrum yang merentang dari sistem otoriter hingga demokrasi dikenal beberapa varian sistem politik, di antaranya semi-otoritarian dan semi-demokratis. Secara teoretis sangat mungkin terbentuk suatu sistem delegative democracy, ketika perwakilan dengan pertanggungjawaban berkala, yang sering kali tanpa mempersoalkan akuntabilitas, dianggap sebagai sistem yang telah merepresentasikan demokrasi; atau electoral democracy, ketika formalitas lebih menentukan kedemokrasian suatu sistem. Pada semi-otoriter, atau dictaduras (kediktaturan terbatas), pemerintah memberi kesempatan dan hak hidup kepada kelompok kepentingan dan partai oposisi, sekalipun kelompok-kelompok dan partai-partai itu tidak berfungsi dengan baik karena terbelenggu oleh korporatisme dan atau patrimonialisme. Dalam sistem semi-demokratis, dictablandas (demokrasi terkendali), pejabat-pejabat yang dipilih melalui suatu pemilihan umum hanya memiliki kekuasaan efektif terbatas. Dalam pandangan saya, kedua-duanya adalah demokrasi delegatif yang lebih menitikberatkan pada ukuran
11
oleh rakyat dan untuk rakyat”. Gagasan reformasi politik yang paling penting adalah mengatur kembali hubungan antara “rakyat” (the society) dan negara (the state) dalam sebuah masyarakat negara, atau dalam istilah Aristotelian, polity. Menurut sistem demokrasi, negara memberi perlindungan pada rakyat atas kebebasan individu dan kelompok. Selain itu, negara menjamin pluralisme menyeluruh bagi masyarakat sipil dan partai politik, menyelenggarakan peradilan yang bebas dan menyediakan lembaga kontrol untuk akuntabilitas publiknya, sehingga harus terdapat ruang untuk membatasi kekuasaan negara, misalnya dengan perimbangan kekuasaan (check and balances), antarlembaga negara. Pada saat yang sama, hubungan itu juga memerlukan mekanisme partisipatorik untuk melindungi kepentingan dan menjamin hak-hak rakyat, baik partisipasi yang dilakukan melalui “masyarakat politik” (political society) maupun masyarakat madani (civil society). Kualitas pelaksanaan kedua aras itu dinilai dari prinsip libertarian, khususnya kebebasan menyatakan aspirasi politik dan menuntut pertanggungjawaban elite politik atas kinerja pemerintahan. Pandangan elite politik termasuk militer, mengenai apa yang dianggapnya sebagai pertimbangan kultural, kesiapan ekonomi dan kohesi sosial dalam masyarakat akan sangat menentukan sampai seberapa jauh elite politik itu mempersiapkan institusi politik demokrasi. Pertimbangan tersebut akan menentukan derajat dan kualitas partisipasi politik. Stabilitas dan kedewasaan demokrasi hanya akan terbentuk dalam suasana perimbangan antara kemampuan berbagai institusi politik untuk menampung tuntutan partisipasi. Pernyataan aspirasi dan kepentingan politik melalui saluran ekstra-parlementer akan terjadi jika terdapat defisit partisipasi institusi politik. Gejala seperti itu akan secara langsung menghadapkan massa dengan militer, di mana kegiatan ekstra-parlementer dianggap sebagai sesuatu yang berada di luar koridor demokrasi dan dapat mengancam stabilitas. Seperti dikemukakan sebelumnya, kecenderungan obsesif pada stabilitas masih kuat di kalangan elite militer. Kesiapan mereka untuk mendukung dan berpartisipasi dalam politik demokratis sangat tergantung pada bagaimana mereka memahami institusi-institusi yang dipandangnya
sebagai
pengejawantahan
kedaulatan
rakyat.
Melonjaknya
ancaman
kontestasi elektoral daripada partisipasi liberal. Dalam tulisan ini, saya beranggapan bahwa hakikat dari demokratisasi adalah peningkatan ruang gerak bagi partisipasi liberal.
12
regionalitas pada pertengahan dasawarsa 1950-an diakui sebagai konsekuensi dari banyak faktor. Termasuk kecenderungan “sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat”. Di kalangan militer mulai ada yang berpikir tentang delegasi wewenang, dalam bentuk pembagian otoritas antara pusat-daerah dan lebih penting lagi pembagian sumber daya ekonomi karena hal itu dapat mencegah timbulnya ancaman regionalitas seperti sekarang. Ini tentu merupakan sesuatu yang berharga. Pada tingkat gagasan, kehendak untuk delegasi wewenang itu sendiri tidak sejajar dengan dogma-dogma kepemimpinan dan pengorganisasian militer. Namun apakah dengan berkembangnya gagasan mengenai delegasi wewenang itu kemudian tercermin dalam konseptualisasi militer mengenai demokrasi politik? Soal federalisme merupakan masalah yang tidak mudah ditelusuri dalam konteks pandangan militer. Namun yang jelas, selama masa transisi, militer cenderung bersikap reaktif dalam beberapa isu pengaturan kembali lembaga-lembaga negara dan hubungan pusat-daerah. Kurangnya inisiatif tersebut lebih banyak disebabkan karena kedudukan formal militer dalam sistem pemerintahan Indonesia. Pemahaman mereka mengenai hubungan antara pluralisme politik, salah satu indikator penting demokratisasi, tentu merupakan faktor lain. Kelihatannya cukup terdapat variasi dalam pandangan militer mengenai partisipasi dan institusionalisasi politik. Menarik untuk disimak “banyaknya partai bukan masalah disintegrasi bangsa”. Namun mereka masih memandang politisi sipil memiliki kecenderungan mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya sendiri daripada kepentingan nasional. Pluralisme dan perbedaan pendapat mulai mereka akui sebagai bagian yang inherent dalam masyarakat. Meski perbedaan mengenai tujuan maupun cara untuk mencapai tujuan “harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundangan, hukum dan konstitusi”.18 Liberalisme seperti dipraktikkan pada masa demokrasi parlementer, dianggap militer sebagai “ajang perebutan kekuasaan politik tanpa membawa pembangunan bangsa” dan “bermuara pada berkembangnya aspirasi separatisme”.19 Tidak banyak di antara mereka yang menyadari stabilitas pemerintahan masa itu berada dalam sistem pemerintahan parlementer, bukan presidensial seperti masih ingin mereka pertahankan. Dengan kata lain, masih terdapat 18
Interview, 30 Maret 1999; 11 Mei 1999.
19
Interview, 30 Maret 1999.
13
berbagai persoalan dengan pemahaman kalangan militer tentang hubungan antara sistem pemerintahan dengan stabilitas politik. Arus pemikiran paling kuat di kalangan mereka adalah “banyaknya partai akan membawa konsekuensi pada terbentuknya suatu pemerintahan yang lemah”. Keinginan untuk membangun suatu pemerintahan yang kuat tentu tidak dengan sendirinya bertentangan dengan semangat demokratisasi. Masa transisi selalu memerlukan perimbangan antara pemberian ruang partisipasi politik dan pembentukan institusi politik yang dapat menyangga suatu pemerintahan yang demokratis dan efektif. Persoalan akan timbul jika demokratisasi dipandang sebagai suatu proses yang dalam dirinya sendiri membawa nilai-nilai dan moralitas demokratis. Terutama mengenai sampai seberapa jauh kalangan militer dapat menerima bentuk-bentuk partisipasi politik yang tidak pernah mereka kenal selama Orde baru. Dalam hal ini terlihat dengan jelas legalisme atau statisme masih sangat kuat di kalangan elite militer. Rujukan-rujukan pada “supremasi hukum”, “sejauh tidak menganggu kepentingan masyarakat luas” dan “masih berada dalam koridor budaya bangsa” jauh lebih sering muncul dalam wacana militer dibanding, “kedaulatan rakyat”, “persamaan kesempatan” dan “keterbukaan”. Dari sudut teori, kecenderungan seperti itu sangat penting. Transisi demokrasi memang selalu menghadapi dilema yang tidak mudah diatasi sebelum pada akhirnya berakhir pada rezim otoriter baru atau terbentuknya suatu sistem demokrasi yang lebih mapan. Dalam proses transisi liberalisasi tidak selalu harus identik dengan demokratisasi. Liberalisasi adalah devolusi kekuasaan dan kedaulatan pada rakyat, sesuatu unsur transisi demokrasi yang lebih banyak berkaitan dengan kualitas demokrasi, khususnya dengan derajat “persaingan” (competitiveness) dan “keterwakilan” (representativeness) politik sebagaimana seharusnya tercermin dalam institusi politik dan pemerintahan. Semakin kompetitif kehidupan antar-partai dan kekuatan-kekuatan lain, serta semakin inklusif lembaga-lembaga seperti itu melibatkan warga masyarakat, akan semakin demokratis pula suatu sistem politik itu. Tentu, tingkat kompetisi tidak semata-mata dilihat dari berapa banyak jumlah kekuatan politik yang diperbolehkan hidup. Tetapi juga apakah benar-benar terdapat kompetisi di antara mereka? Sebaliknya demokratisasi boleh jadi berhenti pada sebuah titik, ketika rezim memberikan hak-hak politik kepada rakyat “untuk berpartisipasi secara bebas dalam memilih perwakilan politik yang akan menentukan atau mempengaruhi
14
kebijakan negara”. Dalam konteks itu, tidak terlalu menjadi masalah apakah proses perumusan kebijakan berlangsung dalam suasana kompetitif serta inklusif. Menggunakan kerangka seperti itu, menarik untuk disimak bahwa militer tidak membedakan gagasan liberalisasi dan demokratisasi. Bagi mereka, demokratisasi identik dengan liberalisasi, suatu bangunan dan proses politik yang hampir selalu dikaitkan dengan ancaman terhadap integrasi nasional dan ketidakstabilan politik. Alasan-alasan mengenai kekhususan budaya bangsa, ketidaksiapan elite politik sipil dan kedewasaan politik rakyat merupakan alasan yang sering disebut sebagai pertanda demokrasi liberal, sebagaimana pada pertengahan dasawarsa 1950-an. Sebelumnya, disinggung ukuran-ukuran restriktif – antara lain “supremasi hukum”, “sesuai ketentuan yang berlaku” dan “kepentingan umum”– merupakan ukuran koridor liberalisasi. Sambutan positif pada pencabutan SIUPP, kebebasan dalam membentuk partai politik dan pengurangan jumlah wakil militer di lembaga-lembaga legislatif merupakan unsur penting dari komitmen elite militer pada proses demokratisasi. Hal yang sama berlaku untuk proses pemilihan umum. Selama pemilihan umum sudah “sesuai dengan ketentuan yang berlaku dilaksanakan secara LUBER maka tidak ada lagi persoalan dengan legitimasi pemerintahan.20 Mereka telah menganggap legislasi perundangan politik (UU Partai Politik, Pemilihan Umum dan Susunan serta Kedudukan MPR) sebagai sesuatu yang telah memenuhi kriteria demokrasi,21 sekalipun prosesnya tidak melibatkan partai-partai baru. Dalam sistem demokrasi, masyarakat madani (civil society) memainkan peranan yang sama pentingnya dengan, dan tidak sepenuhnya dapat digantikan oleh, masyarakat politik (political society).22 Istilah masyarakat politik dimengerti sebagai arena perjuangan masyarakat untuk menyatakan dan memperjuangkan kepentingannya melalui persaingan untuk menguasai kekuasaan pemerintah dan birokrasi negara. Sedangkan masyarakat madani merupakan arena berbagai gerakan sosial menyatakan kepentingan mereka tanpa keharusan untuk terlibat dalam masyarakat politik. Mereka adalah kelompok kepentingan, lembaga swadaya masyarakat, ataupun asosiasi sosial berlandaskan pada kepentingan profesi, regionalitas, kultural dan sosial. 20
Interview, 27 April 1999.
21
Interview, 11 Mei 1999.
15
Kedemokrasian suatu tatanan sosial mensyaratkan sistem berbangsa dan bernegara (polity), di mana pemerintah berfungsi untuk mewujudkan kepentingan rakyat dengan membuka akuntabilitasnya terhadap kendali masyarakat politik maupun masyarakat madani. Rakyat mempunyai saluran untuk menyatakan pendapat dan kepentingannya melalui masyarakat madani maupun masyarakat politik. Dalam transisi demokrasi, masyarakat madani sering kali memainkan peranan penting untuk membangun kesadaran politik rakyat, termasuk kesadaran mendukung rezim-rezim yang dihasilkan oleh pemerintahan. Terdapat berbagai variasi mengenai masalah ini. Namun, merupakan gejala yang menarik bagaimana militer melihat perkembangan institusi demokrasi, khususnya mengenai berseminya partai-partai politik pada masa transisi. Sebagian dari mereka melihatnya sebagai sesuatu yang wajar dan bermanfaat bagi proses transisi demokrasi. Partai politik adalah institusi penting sarana ekspresi sekaligus untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Mereka menganggap pertumbuhan partai politik itu sebagai salah satu perwujudan dari pluralitas sosial dan kultural. Bagi mereka “demokrasi menjamin perbedaan aspirasi politik maupun identitas kultural kelompok dalam masyarakat”. Namun sebagian yang lain menganggap gejala tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk menyatakan aspirasinya. Bagi kalangan yang disebut belakangan munculnya berbagai partai baru hanya “merupakan instrumen elite politik untuk memperjuangkan kepentingan pribadi”. Menariknya kedua perspektif ini sepakat untuk tidak perlu membatasi jumlah partai-partai politik, sekalipun dengan persyaratan “selama mereka bergerak dalam jalur konstitusi”.22 Namun sejauh menyangkut kehidupan masyarakat madani, militer masih tampak kuat dengan adanya berbagai tindakan reservasi. Pers diakui sebagai unsur penting dalam masyarakat demokrasi. Namun kebebasan tetap harus dilaksanakan secara bertanggung jawab “mengingat kesadaran politik masyarakat masih rendah”. 23 Hal serupa juga terjadi pada berkembangnya institusi independen seperti LSM. Hanya sedikit yang menghargai tumbuhnya LSM sebagai sarana untuk “meningkatkan kendali masyarakat dan institusi politik atas penyalahgunaan kekuasaan negara” atau “membangkitkan kesadaran partisipasi demokrasi, memberi stimulasi pada partisipasi politik dan mengajarkan kepada rakyat nilai-nilai toleransi 22
Survey.
23
Interview, 5 Maret 1999; 6 Maret 1999.
16
dalam kehidupan bermasyarakat”.24 Sebagian besar menganggap “banyak kegiatan LSM yang (hanya) mendukung kepentingan asing dan menjual kepentingan nasional bagi kepentingan sendiri” dan “setelah bangunan sistem demokrasi dalam proses parlementarian terbentuk, mereka akan kehilangan fungsinya”. Tumpuan pada partai politik sebagai sarana penyalur aspirasi utama dalam masyarakat demokrasi seperti dibayangkan elite militer akan membawa implikasi penting bagi konstruksi pemikiran mereka mengenai hubungan negara dan masyarakat (state-society relations). Gejala itu menunjukkan adanya arus utama gagasan tentang demokrasi dalam militer yang disebut dengan demokrasi elektoral (electoral democracy). Hampir tidak ada variasi pendapat menurut generasi, kecabangan, maupun kedudukan dalam politik. Sesuai dengan perkembangan sosial-ekonomi masyarakat, elite militer beranggapan proses demokratisasi merupakan proses gradual. Dimulai dari tahapan “dari pemerintah, oleh pemerintah untuk rakyat”, melalui tahapan “dari pemerintah bersama rakyat, oleh pemerintah bersama rakyat, untuk rakyat”. Pelaksanaan sistem parlementer, yang dalam batas tertentu merupakan sistem yang paling demokratis ditinjau dari segi representasi politik, masih dianggap sebagai “lahan yang kuat bagi disintegrasi”.25 Dilupakan sistem parlementer yang pernah diterapkan yang ditandai dengan ketidakstabilan politik itu bukan merupakan sistem presidensial, ketika stabilitas sistem pemerintahan sangat ditentukan oleh politik dalam parlemen. Konservatifisme atau sekurang-kurangnya sikap hati-hati terhadap reformasi lembaga-lembaga politik masih sangat besar. Kecenderungan seperti ini tidak mustahil akan membawa konsekuensi yang sangat penting. Bukan hanya bagi format demokrasi masa depan, tetapi juga bagi proses transisi demokrasi itu sendiri. Teori ilmu politik memahami hal itu dalam beberapa konsep, antara lain “demokrasi liberal” (liberal democracy) dan “demokrasi elektoral” (electoral democracy).26 Sayangnya, toleransi kalangan militer terhadap partisipasi politik ekstra-parlementer berupa demonstrasi dan pemogokan buruh sangat rendah. Keinginan elite militer untuk membatasi perannya pada politik formal, dengan dalih “dalam koridor hukum yang berlaku”, 24
Interview, 27 April 1999; 6 Maret 1999.
25
Interview, 11 Mei 1999.
26
Diamond, “Introduction”, Consolidating the Third Wave Democracies, hal. xiii-xlvii.
17
akan sangat menentukan ke arah mana demokratisasi akan berkembang. Pada saat yang sama, kecenderungan seperti itu juga berarti demokrasi mungkin cukup dilakukan dalam bentuk “kontestasi elektoral tanpa partisipasi liberal” atau sebaliknya “partisipasi liberal tanpa kontestasi elektoral”. Militer sudah akan merasa puas dengan apa yang oleh Alain Rouquies disebutnya sebagai “demokrasi otoriter” (authoritarian democracy), 27 ketika demokrasi ditopang oleh hukum dan perundangan, tanpa mempersoalkan bagaimana hukum dan perundangan itu disusun.
Operasi Militer Selain Perang dan Etika Penggunaan Kekuatan Militer
Keamanan terhadap ancaman internal (konflik domestik) kelihatannya masih akan mendominasi pemikiran strategis di Indonesia. Pluralisme sosial, ketimpangan ekonomi, disparitas regional menjadikan upaya bina-bangsa tetap menjadi soal serius. Persatuan Indonesia seperti diikrarkan dalam Sumpah Pemuda 1928, selama ini lebih direkat oleh sejarah penjajahan dan perjuangan menentangnya. Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 mempunyai tugas untuk bina-bangsa. Ironisnya berbagai peristiwa yang terjadi dalam beberapa bulan belakangan ini di berbagai daerah menunjukkan institusi negara tidak dapat menunaikan tugasnya guna memperkuat imagined community keindonesiaan. Common history menghadapi kolonialisme kelihatannya perlu dijelmakan dalam wujud yang lebih konkret, berupa common platform dan komitmen untuk menegakkan keadilan sosial dengan menggunakan instrumen yang lebih appropriate, terutama ketentuan hukum yang demokratis. Berbagai kondisi sosial yang bisa menimbulkan pertikaian seperti yang belakangan terjadi tidak dengan sendirinya menghilang dari kehidupan. Perbedaan kepentingan yang timbul dapat dikarenakan adanya persaingan ekonomi, perbedaan agama dan kultur, maupun sentimen nasionalis. Namun itu semua tidak selamanya buruk, bisa jadi justru konstruktif. Apa yang dapat dicegah dan apa yang harus dicegah bukanlah sebab-sebab pertikaian yang muncul secara alami, tetapi the pursuit of divergent interest dengan menggunakan senjata. Sekali lagi, 27
Alain Rouquies, “Militer di Amerika Latin”, dalam Guillermo O’Donnell, Philippe C. Schmitter, dan Laurence Whitehead (eds.), Transisi Menuju Demokrasi: Tinjauan Berbagai Perspektif, terj. Ade Armando dan Widjanarko S., Jakarta: LP3ES, 1993, hlm. 190.
18
titik intervensi hanya dapat dilakukan manakala kemampuan mulai diwujudkan dalam bentuk kekerasan dan untuk tujuan-tujuan koersif. Operasi militer selain perang seharusnya lebih berkaitan dengan aspek stability and support operation pada otoritas sipil mengenai berbagai hal tersebut. Tidak diragukan upaya itu dapat meliputi juga operasi-operasi counterinsurgency, counter-drug trade dan berbagai tindakan polisionil lainnya. Operasi militer selain perang tidak identik dengan civic mission. Secara praktis, satuan militer dapat untuk sementara mengurangi beban polisi. Sebab itu harus dibuat rule of engagement yang jelas dan membedakan, misalnya, antara demonstrasi damai dan unjuk kekerasan lainnya, termasuk armed rebellion. Sekalipun tuntutan stabilitas dan potensi konflik masa depan memberi relevansi baru atas operasi militer selain perang, namun tampaknya persoalan legitimasi dari berbagai operasi seperti itu tidak mudah diselesaikan. Tidak mudah mengaitkan konsep “pencegahan konflik” dengan military operation other than war. Antara keniscayaan dan legitimasi kelihatannya terdapat persoalan serius. Di satu pihak, pembedaan antara konflik internal (civil war, intra-state, domestic conflict) terlalu sederhana untuk menggambarkan pola pertikaian yang mungkin terjadi. Definisi mengenai bangsa dan minoritas terlalu kabur sehingga dalam banyak kasus tidak relevan. Selain itu, dominasi prinsip-prinsip tradisional seperti kedaulatan nasional, non-interference dan inviolability of borders kini tengah menghadapi tentangan serius dari hak-hak asasi dan hak-hak minoritas, prinsip intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention) dan penentuan nasib sendiri (self-determination). Barangkali operasi militer selain perang memang dapat memainkan peran dalam penyelesaian dan pencegahan konflik, terutama jika anggapan dasarnya diletakkan pada “penggunaan kekuatan” merupakan instrumen yang sah untuk maksud tersebut. Kendati demikian, operasi militer tersebut niscaya memerlukan persyaratan tertentu. Merupakan persoalan sulit untuk menjawab apakah satuan-satuan tempur reguler (militer) dapat dan boleh memainkan peran dalam pencegahan konflik. Di satu pihak, kemampuan militer memang secara teoretis dapat dilibatkan dalam berbagai upaya pencegahan dan penyelesain konflik. Satuan militer dapat memainkan peranan sebagai pihak ketiga untuk penyelesaian konflik. Pada tingkat internasional, satuan militer mempunyai kemampuan untuk menunaikan misi power mediation, peace keeping dan peace enforcement. Namun
19
implementasi dari gagasan pencegahan konflik, keberatan pokok terhadap operasi militer selain perang tampaknya terletak pada penggunaan kekerasan yang di mana pun juga selalu dibatasi oleh moralitas, norma, etika, nilai universal, hukum (nasional dan internasional) yang berlaku. Lebih problematis lagi bila persoalan legitimasi atas penggunaan kekuatan militer untuk menghadapi ancaman tersebut. Dalam hal ini harus dibedakan dengan tegas pengertian kekuatan (force), kekerasan (violence) dan pemaksaan (coercion). Kekuatan adalah instrumen yang digunakan atau dapat digunakan untuk menimbulkan kekerasan. Kekerasan lebih menitikberatkan perhatiannya pada akibat kerusakan fisik yang ditimbulkan oleh penggunaan kekuatan. Pemaksaan lebih memusatkan perhatiannya pada pelaku yang menggunakan kekuatan dengan cara kekerasan. Operasi militer selain perang oleh karenanya dapat dibedakan menjadi tiga ketegori penggunaan kekuatan. Pertama adalah pemaksaan tanpa menggunakan kekuatan dan kekerasan. Kedua adalah kekuatan dan kekerasan tanpa pemaksaan. Ketiga adalah pemaksaan tanpa penggunaan kekuatan fisik dan kekerasan. Pembagian berdasarkan penggunaan resources militer ini berlaku dan dapat diterapkan dalam empat misi utama operasi militer selain perang. Pada tingkat lain terdapat tiga tujuan utama guna pencegahan konflik. Pertama, mencegah berkembangnya isu yang dapat menjadi biang silang selisih antar-beberapa pihak yang memiliki tujuan berbeda. Secara khusus, sejauh menyangkut optimalisasi penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan, berlaku adagium bahwa one ounce of prevention is far better than a ton of delayed intervention. Oleh sebab itu pencegahan dini (early prevention) lebih baik dibanding penyelesaian terlambat (late prevention). Sekalipun demikian, upaya untuk membangun, mempertahankan dan memperkuat perdamaian merupakan sesuatu yang lebih penting daripada sekadar menunda perselisihan atau menyembunyikan perbedaan. Ini membawa konsekuensi luas. Menghapus benih-benih konflik sosial berkepanjangan tidak bisa dilakukan dengan cara kekerasan. Terdapat keharusan untuk menjawab berbagai masalah yang menyangkut kebutuhan dasar manusia dan keharusan untuk membangun kualitas hubungan yang mantap antar-kelompok. Dan yang paling pokok adalah tidak mungkin dengan menggunakan cara-cara militer. Kedua, membatasi resources yang terlibat dalam konflik dengan membangun kesepakatan baru. Harus dibedakan dengan tegas kemampuan militer sebagai force, coercion
20
atau violence. Hanya dalam kasus konflik kekerasan berkepanjangan, militer bisa digunakan sebagai simbol dan kekuatan pemaksa. Namun harus dibatasi pada tingkat unjuk kekuatan dan tidak perlu digunakan dengan kekerasan. Cara-cara militer hanya dapat digunakan untuk menghadapi konflik kekerasan. Sedang perselisihan yang belum mencapai threshold penggunaan kekerasan, tidak bisa dihadapi dengan kekuatan militer. Perbedaan tujuan, cara dan persepsi tanpa melibatkan unsur-unsur kekuatan, kekerasan dan pemaksaan, seharusnya dihadapi dengan cara-cara yang proporsional dan realistis. Ini berarti bahwa prinsip pertahanan diri (self-defence) dan pembatasan jumlah korban (damage limitation) harus selalu ditegakkan dalam setiap upaya pencegahan konflik. Konflik yang tidak menggunakan kekerasan harus tidak dihadapi dengan kekuatan senjata, untuk mencegah eskalasi konflik dengan memperhatikan kepentingan bersama. Tujuan inti dari operasi selain perang adalah untuk mengembalikan post-conflict neutralizing forces, termasuk dengan peran sosial. Peran militer selama masa damai dalam tatanan masyarakat yang non-konflik seyogianya merupakan peran sosial (civic mission) atau kegiatan yang sangat terbatas guna support to civilian authorities, bukan merupakan “operasi militer”. Ketiga, kemampuan militer hanyalah merupakan sebagian dari kemampuan nasional. Penggunaan kekuatan militer hanya dapat dilakukan setelah usaha lain gagal. Ini berarti harus ada koordinasi dengan institusi negara yang lainnya. Sebab itu, pembagian wewenang dalam menciptakan stabilitas sosial serta meredam konflik. Perlu transparansi dan akuntabilitas setiap operasi. Ini berarti penggelaran kekuatan militer hanya dapat dilakukan setelah terlebih dahulu ada pernyataan dari pemegang otoritas sipil mengenai risiko kekerasan yang harus dihadapi oleh masyarakat luas. Operasi militer hanya dapat dilakukan setelah kepemimpinan menilai aparat penegak hukum, termasuk polisi, dipandang tidak lagi mampu menyelesaikan persoalan konflik. Semua persyaratan tersebut menunjukkan penggunaan kekuatan militer untuk menyelesaikan dan meredam konflik harus bersifat sementara (temporary) dengan sasaran atau mandat yang jelas. Prinsip kesementaraan ini sangat diperlukan. Karena yang terjadi di lapangan harus segera di-infuse kepada perumus dan pengambil kebijakan (civilian government), termasuk struktur politik lokal yang otoritatif, guna mencegah timbul dan berkembangnya konflik yang tidak perlu. Adalah wewenang dan kompetensi pemerintahan
21
sipil guna memperbaiki distorsi subjektif dan faulty images antara pihak yang bertikai. Kekuatan militer tidak bisa memainkan peran ini. Dalam kasus tertentu, pemerintahan sipil memang bisa mengundang militer. Namun undangan itu hanya merupakan undangan yang legitimate jika pemerintah sipil merupakan suatu pemerintahan demokratis. Tidak banyak yang dapat dilakukan militer guna melakukan pencegahan konflik yang terjadi karena faktor-faktor objektif, seperti ketimpangan struktural. Hal tersebut hanya dapat dikurangi melalui proses demokratisasi (ekonomi, politik dan kultural) serta berbagai upaya membangun multikulturalisme – tidak dengan kekuatan militer.
Demokratisasi Hubungan Sipil Militer dan HAM: Suatu Catatan Penutup
Etika, budaya dan kinerja satuan-satuan militer tidak sejajar dengan persoalan HAM. Keterlibatan militer dalam masalah-masalah non-militer di berbagai tingkat kebijakan (policy formulation, decision making dan policy implementation) membuka peluang sangat besar terhadap terjadinya tindak pelanggaran HAM. Demokratisasi hubungan sipil-militer merupakan satu-satunya jawaban yang mungkin (possible) dapat mengurangi tindak pelanggaran yang dilakukan oleh kalangan militer terhadap HAM. Kecenderungan pengendalian sipil secara subjektif (subjective civilian control) terhadap militer masih menjadi ciri utama hubungan sipil-militer di Indonesia. Apa yang saat ini sudah dicapai, bisa jadi hanya bersifat sementara. Supremasi sipil pada tingkat pengambilan keputusan di tingkat pusat – antara Presiden dengan Markas Besar TNI belum ada fondasi legal maupun institusional yang dengan baik mengatur tata hubungan antara prajurit dan masyarakat atau antara institusi militer dan institusi-institusi sipil. Saat ini TNI masih mengalami disorientasi dan demoralisasi karena berbagai tekanan domestik maupun internasional terhadap tindak pelanggaran HAM yang telah mereka lakukan. Namun pandangan mereka terhadap hubungan antara negara dan masyarakat maupun tentang demokrasi, seperti dijelaskan sebelumnya, bisa menyebabkan problema baru dalam konteks hubungan sipil-militer di masa depan. Untuk jangka yang dapat diperhitungkan ke depan (immediate future) faksionalisasi di kalangan tentara bisa menimbulkan masalah di lapangan, seperti penyimpangan, insubordinasi, disinformasi dan lain sebagainya. Democratic control of
22
the armed forces oleh masyarakat sipil (civil society) dan masyarakat politik (political society) merupakan keharusan. Ini akan menghadapi berbagai kendala, khususnya karena banyak persoalan politik yang terkait di dalamnya. Mutual suspicion kelihatannya tetap akan menandai hubungan sipil-militer di Indonesia di masa mendatang. Upaya mengungkap tindak pelanggaran HAM yang telah dilakukan kalangan militer akan membuka diskursus dalam bidang remembering or forgetting, pardon or punish sebelum pada akhirnya dapat ditemukan format, mekanisme dan institusi yang sesuai untuk menangani berbagai pelanggaran. Anatomi dan dinamika konflik di Indonesia, yang begitu diverse, terlepas dari ada atau tidaknya rekayasa dalam institusi yang ideal. Commission of Inquiries (Komisi Penyelidik Pelanggaran – KPP) dalam format yang sekarang berkembang yang diprakarsai kalangan masyarakat sipil maupun semi pemerintah, merupakan salah satu dari berbagai cara. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bisa jadi diperlukan, mungkin bukan sebagai alternatif melainkan sebagai komplemen bagi komisi-komisi yang sudah ada maupun perlu dibentuk kemudian. Di tengah berbagai komplikasi pada institutional building, pada akhirnya sangat mungkin yang akan berkembang adalah “keadilan transisional” (transitional justice); prinsip-prinsip keadilan tidak dapat mengelak dari tuntutan guna mengakomodasi political bargaining dalam konteks hubungan sipil-militer, yang tidak terlepas dari dinamika internal dalam quarters politik sipil maupun politik militer. Tentu, kemungkinan ini harus diminimalisasi. Sebab, prinsip keadilan secara absolut perlu dikemukakan sebagai public pressure guna mempengaruhi proses tersebut. Ini akan sangat penting bagi legal mandate yang (seharusnya) diberikan oleh konstitusi atau konsensus nasional, keputusan politik dan atau perundang-undangan kepada institusi itu. Dalam jangka pendek, sampai Agustus 2000, terdapat keharusan untuk merumuskan peran TNI dalam politik Indonesia. Prinsip supremasi sipil dalam pengambilan keputusan dan rumusan mengenai peran utama militer (pertahanan) harus dituangkan dalam konstitusi negara. Demikian pula halnya dengan peran secondary role dan stability and support maupun dalam diplomasi. Jangka menengah dan panjang perlu dibina confidence building measures antara militer dan institusi-institusi sipil. Dalam tingkat ini perlu dilakukan legalisasi peran
23
militer yang tertuang antara lain dalam UU Pertahanan maupun Doktrin Pertahanan dan etika militer dalam masyarakat yang demokratis. Selain itu, diperlukan juga membangun hubungan yang demokratis antara institusi sipil dan militer. Perundangan diperlukan untuk memberi peluang bagi masyarakat sipil dan masyarakat politik untuk dapat melakukan pengawasan (transparency dan accountability) terhadap berbagai kebijakan Markas Besar TNI dan Departemen Pertahanan. Persoalan anggaran pertahanan, modernisasi persenjataan, force restructuring dan hal-hal lain yang menyangkut sumber ekonomi (anggaran maupun non-anggaran) militer. Markas Besar TNI perlu menyusun Buku Putih Pertahanan (Defence White Paper) secara rasional berdasarkan pada capability based assessment, bukan pada threat-based assessment, dan kemudian menyebarluaskannya kepada masyarakat. Pada saat yang sama, militer itu sendiri dituntut memiliki technical expertise untuk menjadi kontrol efektif terhadap kebijakan militer sendiri.(*)
BAGIAN KETIGA KERANGKA NORMATIF BAGI PERTANGGUNGJAWABAN
Kesemua refleksi dan wawasan serta kajian dalam Bagian Pertama dan Kedua di depan ditutup dengan uraian tentang persoalan kerangka normatif yang sine qua non dalam masalah kejahatan dan pelanggaran HAM di masa lalu itu. Di bagian ketiga ini diuraikan persoalan tentang konsep tanggung jawab negara berdasarkan perspektif hukum internasional. Selain itu, juga diuraikan tentang hak dasar berupa right to know the truth sebagai kerangka normatif pengungkapan kebenaran. Masalah normatif ini kemudian bertemu dengan realitas dilematis soal diberi atau tidaknya amnesti terhadap pelaku kejahatan masa lalu tersebut dalam suasana transisional. Tulisan pertama, “Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Hak Asasi Manusia” menguraikan selain apa esensi tanggung jawab negara itu sendiri tetapi juga menguraikan sejarah perkembangan konsep tanggung jawab negara itu dalam hukum internasional. Tanggung jawab negara pada dasarnya selalu bermakna dwidimensional dalam kaitannya dengan pelanggaran HAM masa lalu, yaitu tanggung jawab untuk menuntut, mengadili, dan menghukum pelaku dan tanggung jawab untuk memberikan keadilan dan reparasi kepada korban berupa restitusi, rehabilitasi dan kompensasi. Soal sejarahnya, konsep ini selain berdasar pada pemahaman filsafat politik kebernegaraan, tetapi terutama berakar pada pengalaman empiris di mana Pengadilan Nuremberg terhadap NAZI Jerman menjadi embrionya. Sekarang ini setiap instrumen HAM selalu dengan sendirinya mengusung konsep itu. Persoalan tanggung jawab negara ini kemudian tampaknya berkelindan erat dengan hak dasar korban yaitu “to know the truth”, di mana hak tersebut mendatangkan kewajiban bagi negara untuk mengungkapkan kebenaran. Ini merupakan salah satu tanggung jawab negara di samping tanggung jawab untuk melakukan penghukum (prosecution) dan pengadilan (trial). Pengungkapan kebenaran juga menjadi salah satu elemen dalam remedi atau upaya hukum yang efektif. Embrio empirisnya juga bermula dari Pengadilan Nuremberg yang konsep-konsep etis-normatifnya sudah termaktub secara implisit dalam Deklarasi HAM Universal. Ifdhal Kasim kembali hadir menutup buku ini dengan tulisannya, “Dilema Simalakama: Amnesti di Masa Transisi Politik”, yang mengetengahkan soal pengkajian kemungkinan beserta dampaknya atas kebijakan memberikan amnesti atau hukuman kepada pelaku pelanggaran masa lalu dalam masa transisi politik. Ifdhal menguraikan dilema ini secara akademis ketat dalam konteks hukum internasional (hak asasi manusia dan hukum pidana internasional) dengan mempertanyakan kompatibilitas pemberian amnesti dengan hukum internasional yang dilengkapi dengan sebuah “studi kasus” Afrika Selatan. Dari sini mudah-mudahan kita bisa menemukan alternatif dalam mengambil langkah yang cerdik sembari tetap mengindahkan aspek akuntabilitas dan kompatibilitas serta etis-normatif.
8 Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Masa Lalu Rudi M. Rizki
Latar Belakang Persoalan tanggung jawab negara (state responsibility) atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat (gross violation of human rights)1, sering kali timbul ke permukaan menyusul tumbangnya suatu rezim politik otoriter yang digantikan rezim politik baru yang lebih demokratis. Tuntutan pertanggungjawaban atas pelanggaran berat HAM yang telah dilakukan rezim politik terdahulu diajukan kelompok-kelompok dalam masyarakat kepada rezim politik baru. Dalam rezim politik baru tersebut terdapat sebuah situasi dan kondisi yang menjamin kebebasan mengemukakan berbagai tuntutan. Hal itu sejalan dengan alam reformasi yang menjunjung tinggi proses penegakkan demokrasi dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Situasi seperti itu yang sekarang berlangsung di Indonesia: sebuah fenomena yang pernah terjadi di beberapa negara yang mengalami pergantian rezim politik dari otoriter menuju pemerintah yang lebih demokratis seperti di Argentina, Chile, El Salvador, Filipina dan Uruguay. Tuntutan tersebut pada intinya menghendaki agar dilakukan proses penyelidikan terhadap berbagai kasus tindak pelanggaran berat HAM masa lampau. Terdapat dua pengharapan yang sifatnya berbeda satu sama lain dari proses tersebut. Harapan pertama, kepada pelaku dikenakan proses pengadilan dan penghukuman atas kejahatan yang telah dilakukannya. Harapan kedua, pada sisi korban terdapat proses pemberian ganti rugi atau rehabilitasi atas perilaku yang telah diterimanya. Tuntutan tersebut sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban negara atas tindakan pelanggaran berat HAM. Prinsip tersebut telah dikembangkan sejak diadilinya semua pimpinan Nazi Jerman di Nuremberg, karena telah melakukan tindak kejahatan kemanusiaan. Sejak saat itu, masyarakat internasional memiliki keyakinan bahwa semua negara berkewajiban menghormati HAM, yang efektivitasnya sangat bergantung dari adanya jaminan penegakan melalui proses hukum. Dalam perkembangan selanjutnya, hukum internasional semakin mengukuhkan pentingnya pertanggungjawaban secara hukum atas tindak pelanggaran HAM, baik yang termasuk kategori pelanggaran berat maupun kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity). Berbagai instrumen hukum HAM internasional secara tegas mencantumkan 1
Dalam beberapa kasus pelanggaran berat HAM yang kerap terjadi di berbagai negara, jenis-jenis pelanggaran tersebut berupa penghilangan secara paksa (enforced dissappearance), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing) dan penyiksaan (torture). Penjelasan Pasal 104 UU No. 39/1999 menyatakan bahwa yang termasuk pelanggaran berat HAM adalah genosida (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan (torture), penghilangan orang secara paksa (enforced disappearance) dan diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination).
2
kewajiban negara guna menghukum pelaku kejahatan terhadap integritas fisik seseorang. Penafsiran resmi dari berbagai badan internasional dan regional, maupun pendapat dari kalangan pakar terkemuka mengenai instrumen-instrumen tersebut secara berulang-ulang menekankan betapa pentingnya proses pengadilan dan pengukuman terhadap pelaku atas tindak pelanggaran berat HAM yang telah dilakukan. Selain itu, konvensi-konvensi internasional mengenai HAM juga mengukuhkan tentang arti pentingnya ganti rugi atau rehabilitasi bagi korban tindak pelanggaran berat HAM. Prinsip yang mendasari kewajiban tersebut, dan merupakan satu-satunya cara untuk menjamin perlindungan HAM, adalah mempertahankan perlindungan hak asasi dan perlindungan hukum yang efektif dari pelanggaran terhadapnya. Intinya, setiap pelaku kejahatan yang amat kejam terhadap HAM harus dihukum, dan korban harus dijamin guna mendapatkan ganti rugi yang memadai.2 Sementara kewajiban negara guna menghukum pelaku tindak pelanggaran berat HAM semakin dipertegas dalam hukum internasional. Kendati demikian dalam praktiknya terdapat beberapa negara yang tidak atau belum mampu menaatinya, karena setiap negara yang berada dalam masa transisi akibat pergantian rezim politik otoriter menuju yang demokratis dihadapkan pada dilema yang sangat sulit. Di satu sisi, pemenuhan kewajiban internasional guna melaksanakan proses hukum terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan adalah sejalan dengan semangat demokrasi dan supremasi hukum yang sedang dibangun. Namun pada sisi lain, penuntutan terhadap pelaku atau yang paling bertanggung jawab terhadap tindak pelanggaran HAM dapat mengundang tindak kekerasan yang baru. Hal itu tentu saja dapat membahayakan proses demokratisasi yang sedang dibangun, apalagi jika kodisinya masih amat rapuh. Hal ini disebabkan, pada masa lampau umumnya kalangan militer merupakan institusi yang paling memonopoli penggunaan kekerasan. Bahkan terdapat beberapa negara yang justru mengalami tindak pelanggaran berat HAM secara sistematis dan besar-besaran seperti Argentina, Chili, El Salvador dan Uruguay secara terang-terangan menerapkan impunity. Impunitas merupakan tindakan yang tidak melaksanakan penuntutan hukum atau pembebasan penghukuman terhadap pelaku melalui peraturan perundang-undangan tentang pemberian pengampunan (amnesty law). Walaupun pembentukan peraturan perundang-undangan semacam itu merupakan hak konstitusional dari negara masing-masing, namun hal itu tidak mencerminkan komitmen guna melaksanakan kewajiban yang dibebankan oleh hukum internasional.3 Perspektif Indonesia Tumbangnya rezim politik Orde Baru yang digantikan rezim politik reformasi menimbulkan meluasnya tuntutan atas kezaliman rezim politik terdahulu yang dianggap bertanggung jawab atas tindak pelanggaran berat HAM yang terjadi di berbagai daerah (Aceh,Timor Timur, Tanjung Priok, Irian Jaya – sekarang disebut Papua, Lampung, kasus penghilangan aktivis mahasiswa dan lain-lain). Bahkan ada yang mulai mempersoalkan 2
Diane F. Orientlicher, “Addressing Gross Human Abuses: Punishment and Victim Compensation,” dalam Louis Henkin and John Lawrence Hargrove (Ed), “Human Right: An Agenda for the Next Century”, Studies in Transnational Policy No. 26, the American Society of International Law, Washington D.C.,1994, hlm. 425-426.
3
Lihat: Geofrey Robertson Q.C., Crimes Against Humanity: The Struggle for Global Justice, Allen Lane The Penguin Press, Middlesex, 1999, hlm. 238-244.
3
pembunuhan ekstra-yudisial yang dilakukan secara besar-besaran dalam memberantas sisa-sisa pemberontak G30S, serta kasus Penembakan Misterius (Petrus) yang terjadi pada tahun 1980-an. Tuntutan tersebut banyak diajukan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang didirikan berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993 (sekarang ini kedudukan Komnas HAM semakin kukuh secara yuridis dan politis dengan ditetapkan melalui UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Komnas HAM, ed.). Beberapa di antaranya telah diselidiki dan ditindaklanjuti dengan diajukannya beberapa terdakwa ke pengadilan. Sayangnya, proses dan keputusan yang dihasilkannya belum dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat, terlebih lagi keadilan bagi korban. Sementara itu terdapat banyak kasus tindak pelanggaran berat HAM lainnya yang sudah direkomendasikan Komnas HAM, namun sama sekali belum ditindaklanjuti secara hukum; bahkan masih banyak kasus lain yang sama sekali belum diselidiki. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan kesan bahwa sistem hukum Indonesia tidak mampu atau tidak berkehendak melakukan penyelesaian secara hukum berbagai kasus di atas sesuai dengan kewajiban internasional berdasarkan prinsip tanggung jawab negara. Pada masa Pemerintahan Habibie, telah dirumuskan Undang-Undang (UU) No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Komnas HAM. 4 UU tersebut telah mengadopsi norma-norma hukum HAM yang universal. Di sana juga termuat prinsip-prinsip pertanggungjawaban negara atas pelanggaran HAM yang pada intinya telah sejalan dengan norma-norma hukum internasional mengenai hal tersebut. Pasal 7 UU ini menyatakan : (1) Setiap orang berhak untuk menggunakan semua hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia. (2) Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional. Sedangkan penegasan mengenai tanggung jawab negara atas pelanggaran HAM secara tersirat dapat ditemukan dalam pasal 8 yang berbunyi: “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah”. Dari ketentuan di atas, ada tiga hal yang dapat disimpulkan. Pertama, bahwa penuntutan hukuman terhadap pelaku pelanggaran berat HAM dapat dilakukan dengan menggunakan acuan norma-norma hukum HAM internasional. Kedua, pelaksanaan proses hukum guna mengadili dan menghukum pelaku merupakan tanggung jawab pemerintah. Ketiga, apabila pemerintah gagal atau tidak mampu melaksanakannya maka tidak tertutup kemungkinan bagi digunakannya mekanisme internasional guna menyelesaikannya. Untuk mengadili pelaku tindak pelanggaran berat HAM, berdasarkan ketentuan dalam UU No. 39 Tahun 1999, perlu dibentuk Pengadilan HAM melalui UU yang harus direalisasikan paling lambat dalam jangka waktu empat tahun. Selama pengadilan tersebut belum terbentuk, pengadilan terhadap pelaku pelanggaran berat HAM diselenggarakan di pengadilan yang berwenang. (Institusi yang dimaksud penulis telah terbentuk melalui UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, ed.). 4
Disahkan pada tanggal 23 September 1999, Lembaran Negara Tahun 1999 No. 165. Untuk selanjutnya disebut UU No. 39 Tahun 1999.
4
Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Berat HAM Pertanggungjawaban negara merupakan suatu prinsip yang sangat fundamental dalam hukum internasional yang bersumber dari sifat dasar sistem hukum internasional serta doktrin kedaulatan dan persamaan negara. 5 Pada dasarnya, suatu negara bertanggung jawab secara internasional apabila dipersalahkan telah melakukan perbuatan (act or commission) yang telah mengakibatkan tindak pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional ataupun dari sumber hukum internasional lainnya.6 Dalam konteks tindakan yang salah menurut hukum internasional (international wrongly act), Rancangan Pasal-Pasal Tentang Tanggung Jawab Negara merupakan hasil kerja Komisi Hukum Internasional (international delict). Pasal 19 rancangan tersebut menyatakan bahwa semua pelanggaran terhadap kewajiban internasional adalah tindakan melawan hukum secara internasional. Berdasarkan konsep tanggung jawab negara, suatu negara bertanggung jawab apabila melanggar kewajiban hukum internasional. Komisi Hukum Internasional kemudian menyatakan bahwa pelanggaran terhadap kewajiban negara yang digolongkan sebagai international wrongly act, di dalamnya mencakup tindak pelanggaran berat HAM, yang juga dikategorikan sebagai kejahatan internasional (international crimes). Walaupun belum secara mapan tertuang dalam konvensi, hukum internasional telah memberikan landasan yang kokoh bagi efektivitas penghukuman terhadap pelaku pelanggaran berat HAM, baik yang dikategorikan dalam pertanggungjawaban pidana maupun perdata. Kewajiban negara untuk menghukum pelaku tindak pelanggaran HAM telah dikembangkan dalam berbagai instrumen hukum HAM, baik yang bersifat global maupun yang regional. Bahkan hukum kebiasaan internasional secara tegas melarang segala bentuk pembebasan hukuman terhadap tindak pelanggaran berat HAM yang dilakukan secara sistematis. Pertanggungjawaban, baik secara pidana maupun perdata, atas pelanggaran berat HAM memiliki dasar pemikiran yang sama antar-keduanya. Keduanya memberikan peringatan keras agar diketahui secara publik, karena pelanggaran HAM dapat menimbulkan akibat hukum yang serius. Peringatan tersebut terutama ditujukan kepada pihak yang berpotensi melakukan tindak pelanggaran HAM. Di samping itu, pertanggungjawaban ini ditujukan juga guna membantu upaya berlangsungnya proses rehabilitasi korban. Walaupun dasar pemikiran yang kedua ini lebih jelas mengarah pada pertanggungjawaban secara perdata, namun pemidanaan pelaku dapat turut serta membantu proses perbaikan harkat dan martabat korban.
5
M.N. Shaw, International Law, Grotius Publication Limited, (2nd Edition) 1986, hlm. 406. Pasal 3 Rancangan Pasal-pasal tentang Tanggung Jawab Negara dari Komisi Hukum Internasional (ILC) menyebutkan : There is an internationally wrongful act of a State when: (a) conduct consisting of an act or commission is attributable to the State under international law; and (b) that conduct constitutes a breach of an international obligation of an international obligation of the State.
6
Sumber hukum internasional berdasarkan Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice – ICJ, ed.) meliputi empat hal, yaitu: (a) Perjanjian internasional, (b) Hukum kebiasaan internasional, (c) Prinsip umum hukum, (d) Keputusan pengadilan dan ajaran dari pakar hukum terkemuka.
5
Namun demikian, landasan dan tujuan dari kedua sistem pertanggungjawaban tersebut berbeda satu sama lain. Pemidanaan terhadap pelaku tindak pelanggaran HAM didasarkan kepada salah satu fungsi pidana yaitu sebagai fungsi pencegahan (deterrence rationale), karena hukum internasional mewajibkan negara-negara untuk melakukan pengadilan bagi pelaku tindak kejahatan kemanusiaan. Pemidanaan tersebut dianggap sebagai cara yang paling efektif agar kejahatan kemanusiaan tidak terulang lagi di masa mendatang. Sebaliknya, kegagalan penghukuman pelaku tindak pelanggaran terhadap norma yang mendasar dari harkat dan martabat manusia akan dianggap sebagai “license” bagi terulang kembalinya proses pelanggaran berat HAM di masa mendatang. Kewajiban negara untuk menghukum pelaku kejahatan, lebih merupakan kewajiban terhadap masyarakat internasional secara keseluruhan (erga omnes obligatio) 7 dibandingkan sebagai kewajiban terhadap individu. Walaupun pertanggungjawaban perdata juga mengandung fungsi pencegahan, tetapi titik beratnya terletak pada kepentingan korban, yaitu untuk mengganti kerugian yang diderita korban. Ganti rugi ini di samping berbentuk uang bisa juga terwujud dalam bentuk lain berdasarkan kebutuhan khusus atau kebutuhan yang mendesak bagi korban. Misalnya, memberikan pekerjaan kepada seorang korban yang telah dicabut haknya untuk bekerja karena dianggap sebagai lawan politik dari rezim politik terdahulu. Contoh lain, seorang korban penyiksaan diberi perawatan kesehatan dengan tanggungan biaya negara. Dalam kasus Estrella v. Uruguay, 8 Komite HAM secara tegas mewajibkan negara bertanggung jawab atas tindak pelanggaran HAM (dalam hal ini penyiksaan) untuk memberikan remedi yang efektif, termasuk pembayaran ganti rugi kepada korban, serta menjamin agar pelanggaran serupa tidak terulang lagi pada masa yang akan datang. Komite HAM (Human Rights Committee) yang dibentuk berdasarkan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (The International Covenant on Civil and Political Rights) pada tahun 1982, dalam suatu komentar umum terhadap Kovenan tersebut menegaskan: setiap negara harus melindungi HAM secara efektif melalui berbagai mekanisme pengawasan. Mekanisme pengawasan dilakukan dalam dua hal. Pertama, pengaduan terhadap pelanggaran harus diselidiki secara efektif oleh suatu otoritas yang berwenang. Kedua, orang-orang yang bersalah harus bertanggung jawab dan korban pelanggaran harus memperoleh remedi yang efektif, termasuk pemberian ganti rugi. Mengenai pertanggungjawaban pidana yang menuntut pertanggungjawaban secara individual, beberapa tindak pelanggaran HAM digolongkan ke dalam pelanggaran berat serta dikategorikan sebagai kejahatan internasional. Aspek hukum pidana internasional sangat strategis peranannya dalam proses penegakkan HAM. Sejak Pengadilan Penjahat Perang di Nuremberg dan Tokyo pasca-Perang Dunia II, perlindungan HAM secara internasional mulai menemukan bentuknya. Prinsip kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dikembangkan dari Nuremberg Tribunal yang kemudian tertuang dalam Konvensi Genosida tahun 1948 (Genocide Convention). Konvensi Genosida ini pernah digunakan dalam Pengadilan Pidana Internasional ad hoc bagi Penjahat Perang eks-Yugoslavia dan Rwanda. 7
The Barcelona Traction, Light and Power Company Ltd. (New Application 1962) (Belgium v. Spain), (1970), I.C.J. Rep.4.Par.33-34. Juga Lihat: Henry J.Steiner and Philip Alston (Eds.), Human Rights in Context Law, Politics, Morals, Clarendon Press, Oxford, 1996, hlm. 132 - 4.
8
Estrella v. Uruguay, 2 Selected Decisions H.R.C.93 (1983) dalam D.J. Harris, Cases and Materials on International Law, 4th. Ed., Sweet & Maxwell, London, 1991, hlm. 630 – 4.
6
Namun instrumen HAM utama seperti Deklarasi Universal HAM maupun Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik ternyata belum mengatur kewajiban negara untuk menerapkan tindakan hukum terhadap pelaku tindak pelanggaran berat HAM. Perkembangan berikutnya berbagai institusi global maupun regional, secara resmi menafsirkan adanya kewajiban negara agar mengadili pelaku yang bertanggungjawab atas tindak pelanggaran HAM. Komite HAM berulang-ulang dalam keputusannya menyatakan bahwa negara-negara pihak ratifikasi berkewajiban menyelidiki berbagai kasus penyiksaan, penghilangan orang dan pembunuhan ekstra-yudisial. Sedangkan pelaku tindak pelanggaran HAM harus diajukan ke meja pengadilan. Mahkamah HAM Eropa juga menegaskan bahwa tindakan pidana terhadap pelaku tindak pelanggaran HAM sangat penting bagi usaha penegakan Konvensi HAM Eropa (Keputusan Kasus X and Y v. Netherlands). 9 Demikian pula dengan Konvensi HAM Amerika dan berbagai keputusan Pengadilan HAM antar-Amerika secara tegas mewajibkan negara-negara pihak guna melakukan penyelidikan tindak pelanggaran berat terhadap integritas fisik seseorang seperti penyiksaan, penculikan dan pembunuhan ekstra-yudisial. Tidak itu saja, Konvensi tersebut juga mewajibkan pelakunya diajukan ke pengadilan. Dalam kasus Velasquez Rodrigues,10 walaupun pelaku penghilangan orang tidak berhasil diungkapkan, tetapi kesaksian di Mahkamah membuktikan telah terjadi proses penghilangan orang, penyiksaan dan pembunuhan ekstra-yudisial. Mahkamah memutuskan bahwa pemerintah Honduras bertanggung jawab atas beberapa tindak pelanggaran HAM berdasarkan Konvensi Amerika Serikat. Di sana juga ditegaskan akan keharusan negara untuk melakukan upaya pencegahan, menyelidiki dan menghukum setiap pelaku tindak pelanggaran HAM. Bahkan, bila memungkinkan, negara juga harus memulihkan hak-hak yang telah dilanggar serta membayar kompensasi atas kerugian yang diderita korban akibat pelanggaran tersebut. Mahkamah juga menegaskan, kendatipun telah terjadi pergantian pemerintahan, namun setiap negara pihak tetap harus menghukum pelaku tindak pelanggaran berat HAM terhadap integritas fisik seseorang. Secara ringkas, dalam beberapa tahun terakhir ini, hukum internasional semakin menegaskan kewajiban setiap negara guna menjamin kebebasan dari tindak pelanggaran berat HAM melalui penerapan sanksi pidana. Bahkan kini masyarakat internasional telah memiliki Mahkamah Pidana Internasional yang dibentuk berdasarkan Rome Statute of the International Criminal Court.11 Institusi ini merupakan forum hukum internasional yang dapat menyeret pelaku tindak pelanggaran berat HAM – kategori kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) – ke meja pengadilan, apabila badan peradilan nasional tidak mampu atau tidak berkehendak melaksanakan kewajiban mengadili serta menghukum pelaku. Kendati prinsip kewajiban negara telah diletakkan dalam hukum internasional, namun pelaksanaannya masih sangat lemah, seperti kasus Velasques. Meskipun sudah terdapat kesaksian bahkan telah berlangsung proses pembuktian penghilangan orang, 9
91 eur.Ct. H.R. (ser.A) (1985) (Judgement).
10
Inter-Am. Ct. H.R. (ser.C) No. 4 (1988) (Judgement).
11
Statuta ini disahkan oleh The United Nations Diplomatic Conference of Plenipotentiaries on the Establishment of International Criminal Court pada tanggal 17 Juli 1998. (Mahkamahnya sendiri baru resmi terbentuk pada 1 Juli 2002, ed.).
7
ternyata tidak seorang pun pelaku tindak pelanggaran HAM diajukan ke pengadilan. Demikian pula dengan kasus penghilangan orang di Indonesia yang melibatkan TNI tampak belum dilakukan penyelidikan dan pengadilan secara tuntas, terutama belum diadilinya kalangan paling bertanggung jawab dalam penghilangan sejumlah aktivis gerakan. Tampak jelas bahwa terjadi paradoks hukum internasional yang menekankan pentingnya peranan penghukuman dalam melindungi hak-hak fundamental. Di satu pihak, norma hukum dan mekanisme penerapan hukuman terhadap pelaku tindak kejahatan semakin diperkokoh, namun di lain pihak badan-badan internasional yang kompeten belum dapat berbuat banyak guna memaksakan penegakkan norma-norma tersebut. Implementasi norma hukum internasional sedikitnya mengalami dua hambatan. Pertama, alasan kedaulatan negara. Suatu lembaga internasional yang berkepentingan dalam proses penegakkan norma hukum sering kali dianggap melakukan intervensi terhadap kedaulatan dari sebuah negara. Bahkan tidak jarang dinilai telah melanggar kedaulatan hukum sebuah negara, khususnya apabila norma hukum tersebut membebankan kewajiban dalam bidang-bidang yang secara tradisional dianggap sebagai urusan dalam negeri semata. Dengan demikian, upaya suatu lembaga internasional guna menegakkan norma HAM di suatu negara, dianggap bertentangan dengan prinsip non-intervensi yang dijamin oleh Piagam PBB.12 Kedua, terdapat ambivalensi antara kehendak suatu negara untuk melaksanakan kewajiban hukuman bagi pelaku tindak pelanggaran HAM dengan keengganan untuk melakukan penuntutan. Ambivalensi ini terlihat jelas pada negara-negara yang mengalami pergantian pemerintahan, dari rezim politik otoriter sebagai subjek pelaku tindak pelanggaran berat HAM, beralih ke pemerintahan yang demokratis. Ambivalensi dalam masa transisi ternyata juga berimplikasi bagi lahirnya situasi dan kondisi yang dilematis. Di satu sisi, masih terdapat sisa-sisa rezim politik terdahulu yang masih memiliki kekuatan dalam masyarakat dan pemerintahan yang baru. Suatu ketika, sisa-sisa rezim politik terdahulu ini dapat memonopoli penggunaan kekerasan, sehingga proses tuntutan terhadap mereka dapat membahayakan penciptaan situasi kondusif bagi masyarakat demokratis yang sedang dibangun. Padahal, di sisi lain, bangunan demokrasi dalam masyarakat pun masih sangat rapuh. Tiadanya penuntutan hukuman bagi pelaku tindak pelanggaran berat HAM akan menjatuhkan wibawa hukum. Padahal pemerintahan baru sedang berupaya mewujudkan supremasi hukum. Situasi dilematis seperti ini tidak saja dialami Indonesia saat ini, tetapi pernah pula dialami oleh negara lain seperti Argentina, Chili, El Salvador, Uruguay dan Filipina. Menghadapi kondisi dilematis di atas, beberapa negara telah menerapkan undang-undang amnesti. Negara-negara tersebut berharap dapat mengungkap secara tuntas berbagai tindak pelanggaran HAM pada masa rezim politik terdahulu, yang disertai jaminan pengampunan terhadap pelaku tindak pelanggaran. Menurut alur pikiran seperti ini, hal itu bertentangan dengan kewajiban internasional untuk menghukum penanggung jawab tindak pelanggaran berat HAM. Penerapan undang-undang amnesti seperti di Argentina dan Uruguay ditentang oleh Komisi HAM Antar-Amerika (Inter-American Commission on Human Rights) dan dinyatakan bertentangan dengan hak-hak yang dijamin dalam dua instrumen utama hak asasi Antar-Amerika. Undang-undang amnesti tersebut 12
Rudi M. Rizki, Indonesia and the UN Convention against Torture, thesis diajukan sebagai persyaratan untuk meraih gelar Master of Law (LL.M.) pada University of Melbourne, 1993, hlm. 63.
8
dinyatakan menghalangi penghukuman terhadap pelaku tindak kejahatan yang amat kejam. Penerapan undang-undang itu dianggap telah memaksa seluruh bangsa, termasuk pihak keluarga korban untuk menghapus ingatan dan penderitaan mereka tentang praktik penyiksaan, pembunuhan dan penghilangan orang yang menimpa korban. Bahkan hal tersebut dianggap bukan sebagai suatu pengampunan dalam arti yang sesungguhnya tetapi suatu “amnesia” yang dipaksakan.13 Dalam menghadapi dilema di atas, Komisi Kebenaran yang dibentuk PBB guna menangani kasus tindak pelanggaran HAM di El Salvador pada tahun 1993 berpendapat kendati rasa keadilan menghendaki penghukuman terhadap pelaku tindak pelanggaran HAM, namun realitas lembaga peradilan yang ada menunjukkan ketidaksanggupannya untuk melakukan proses pengadilan dan penghukuman bagi pelaku tindak kejahatan. Oleh karena itu, pengadilan terhadap pelaku hanya dapat dilakukan setelah dilakukan reformasi peradilan (judicial reforms).14 Terlebih lagi, keadaan di El Salvador waktu itu memang sangat sulit bagi dilakukannya penuntutan hukuman terhadap pelaku. Diperkirakan, penuntutan justru akan membahayakan proses demokratisasi yang masih sangat rapuh, karena adanya ancaman terjadinya kekerasan yang baru. Situasi di atas tentu saja banyak kemiripannya dengan situasi Indonesia saat ini. Di satu pihak, penyelidikan dan penuntutan hukuman terhadap pelaku tindak pelanggaran berat HAM masa lampau diperlukan, baik sebagai pemenuhan kewajiban internasional maupun sebagai upaya pemenuhan tuntutan masyarakat yang semakin meluas. Di samping itu, penuntutan mereka ke hadapan pengadilan memang sangat diperlukan guna mewujudkan cita-cita sebagai negara hukum, di mana pilar utamanya adalah supremacy of law dan penghormatan terhadap HAM. Di lain pihak, tampak adanya ketidakinginan dan ketidakmampuan institusi yang bertanggung jawab dalam penegakan hukum di Indonesia untuk menuntut dan mengadili pelaku tindak pelanggaran berat HAM. Hal tersebut terjadi juga di beberapa negara Amerika Latin karena lebih mempertimbangkan kebutuhan akan kondisi yang stabil untuk proses demokratisasi dan pemulihan ekonomi. Padahal, ini juga menjadi hambatan bagi dilakukannya penuntutan. Keadaan dilematis di atas, tentu saja sulit diterima sebagai alasan pembenar guna membebaskan pelaku dari penuntutan hukuman (impunity). Bagaimanapun juga, setiap pelaku kejahatan kemanusiaan harus diadili dan dihukum secara layak. Berdasarkan prinsip aut dedere aut punire (aut judicare), hukum internasional mengembangkan sistem yurisdiksi universal yang dimaksudkan guna mencegah adanya tempat berlindung bagi pelaku kejahatan internasional (no save heaven principle), termasuk pelaku kejahatan kemanusiaan. Menurut sistem ini, apabila pelaku berada di wilayah yurisdiksi suatu negara, negara tersebut harus mengadili dan menghukum pelaku berdasarkan hukum pidananya atau mengekstradisikan ke negara lain yang memiliki dan hendak melaksanakan yurisdiksinya. Prinsip seperti itu juga dianut dalam konvensi-konvensi internasional untuk memerangi terorisme, Konvensi Anti Penyiksaan (CAT = Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No.5 tahun 1998. Indonesia mengadopsi sistem ini dengan maksud agar setiap pelaku atau orang yang bertanggung jawab dalam penyiksaan, di mana pun ia 13
Diane F. Orentlichter, Supra note 2, hlm. 431.
14
Ibid.
9
berada, tetap harus mendapatkan penghukuman. Penerapan yurisdiksi universal ini dapat didasarkan pada tempat kejadian, kebangsaan pelaku, kebangsaan korban atau tempat pelaku berada. Pasal 7 Konvensi ini secara tegas mewajibkan negara pihak untuk menuntut pelaku penyiksaan. Apabila suatu negara tidak dapat atau tidak mampu mengadakan proses pengadilan, maka pelaku harus diekstradisikan ke negara pihak yang lain untuk diadili. Penerapan prinsip universal ini dianggap sebagai suatu terobosan ketika penegakkan norma-norma HAM internasional terhambat oleh prinsip non-intervensi dan persyaratan adanya pernyataan pengakuan terhadap kompetensi lembaga internasional. Berdasarkan prinsip ini, Jenderal Augusto Pinochet yang dianggap paling bertanggung jawab atas tindak pelanggaran berat HAM di Chili selama berkuasa, diminta pihak Spanyol diekstradisikan dari Inggris untuk diadili di Spanyol. Alasan Spanyol melakukan hal itu, Pinochet telah menyebabkan kematian puluhan warga negara Spanyol semasa ia berkuasa. Dalam konteks pertanggungjawaban perdata terhadap pelaku tindak pelanggaran berat HAM, praktik Amerika Serikat dalam keputusan Kasus Fillartiga v. Pena-Irala15 tahun 1980 menetapkan bahwa Judicial Act tahun 1789 (28 USC Section 1350) memberikan yurisdiksi kepada Pengadilan Distrik guna mengadili gugatan atas tindak pelanggaran berat HAM. Tuntutan ganti rugi tersebut didasarkan pada ketentuan the Alien Tort Claim Acts. Dalam kasus ini, bentuk tindak pelanggaran berat HAM adalah penyiksaan yang mengakibatkan kematian yang dilakukan oleh Pena-Irala seorang warga negara Paraguay yang saat itu berada di Amerika Serikat. Peristiwa penyiksaan itu terjadi di Paraguay dengan korban dan pihak penuntut warga negara Paraguay pula. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa tindak pelanggaran berat HAM bertentangan dengan hukum internasional. Sejak keputusan tersebut dikeluarkan, Pengadilan Distrik Amerika Serikat sering kali mengadili kasus serupa, seperti kasus Rodriquez v. Fernandes dan Forti v. Suarez Mason. Termasuk pada tahun 1994, seorang perwira tinggi ABRI yang pernah bertugas di Timor Timur dituntut di Pengadilan Distrik Boston dan diputuskan untuk membayar ganti rugi sebesar $ 14 juta. Tuntutan diajukan oleh pihak keluarga dari salah satu korban Peristiwa Santa Cruz, Timor Timur, pada tahun 1991 yang bermukim di Australia. Berbagai instrumen internasional mewajibkan negara untuk mengadili pelaku tindak pelanggaran berat HAM dan memberikan ganti rugi terhadap korban. Pasal 2 (3) Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik mengharuskan negara-negara pihak menjamin korban pelanggaran HAM untuk mendapatkan remedi yang efektif meskipun pelanggaran tersebut dilakukan oleh seseorang yang bertindak dalam kapasitasnya yang resmi. Ketentuan ini mewajibkan negara untuk memperkenankan gugatan perdata atas kerugian yang diderita korban. Konvensi Anti Penyiksaan (CAT) secara tegas mewajibkan setiap negara pihak melaksanakan yurisdiksi atas praktik penyiksaan yang terjadi di wilayahnya, baik yang dilakukan oleh atau terhadap warga negaranya,16 serta mengajukannya kepada pihak yang berwenang untuk dilakukan penuntutan.17 Setiap negara pihak juga harus mengadakan penyelidikan yang segera dan tidak memihak atas semua dugaan terjadinya praktik
15
630 F. 2d.876 (1980). 19 I.L.M. 966 (1980). U.S. Circuit Court of Appeals, 2nd. Circuit.
16
Pasal 5.
17
Pasal 7.
10
penyiksaan 18 dan menjamin agar pihak korban mendapatkan ganti rugi yang adil dan memadai.19 Konvensi Genosida (Genocide Convention) mewajibkan setiap negara pihak untuk menghukum pelaku atau orang yang terlibat, setelah melalui proses pengadilan baik nasional maupun internasional, walaupun mereka merupakan orang yang secara konstitusional berkuasa, pejabat resmi, ataupun individu biasa.20 Kewajiban ini didukung oleh berbagai instrumen internasional lainnya, seperti Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1967 yang melarang semua negara memberikan suaka bagi setiap orang yang diduga melakukan tindak kejahatan kemanusiaan. Konvensi tentang tidak berlakunya prinsip daluwarsa bagi Kejahatan Perang dan Kejahatan Kemanusiaan, yang diadopsi tahun 1968, menegaskan kewajiban menghukum pelaku tidak mengenal daluwarsa. Pada tahun 1973, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi yang mengesahkan prinsip-prinsip kerja sama internasional untuk menyelidiki, menahan, mengekstradisikan dan menghukum orang yang bersalah karena melakukan Kejahatan Perang dan Kejahatan Kemanusiaan. Prinsip I menegaskan bahwa setiap kejahatan terhadap kemanusiaan, di mana pun terjadinya, harus diselidiki dan apabila ditemukan bukti, orang tersebut harus ditahan dan diadili, dan apabila terbukti bersalah, harus dihukum. Selain itu, berbagai resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa telah dikeluarkan terhadap negara-negara tertentu di Amerika Latin yang pada intinya mewajibkan hal yang sama. Hal serupa kemudian diserukan kembali dalam Deklarasi Wina Tahun 1993 yang bertujuan untuk mengefektifkan kewajiban internasional tersebut. Dengan tertuangnya kewajiban negara untuk menyelidiki, mengadili dan menghukum pelaku kejahatan terhadap pelanggaran berat HAM, yang merupakan kejahatan kemanusiaan, dalam berbagai instrumen hukum internasional, maka keputusan pengadilan dan badan-badan internasional telah semakin mengokohkan kewajiban tersebut. Dengan demikian, kewajiban tersebut tidak dapat diingkari oleh negara mana pun termasuk Indonesia. Dengan kata lain, di samping telah menjadi norma berdasarkan konvensi internasional (treaty norms), kini kewajiban tersebut telah menjadi ius cogens (norma yang memaksa) sehingga tidak ada lagi alasan untuk mengingkarinya.(*)
18
Pasal 12.
19
Pasal 14.
20
Pasal 4 Konvensi Genosida.
9 The Right to Know the Truth: Kerangka Normatif Pengungkapan Kebenaran Yohanes da Masenus Arus
Pengantar Menyusul kejatuhan berbagai rezim otoriter pada dekade 80-an di berbagai belahan dunia ini, muncul berbagai upaya guna mengadakan penyelidikan atau klarafikasi atas fakta-fakta kekejaman masa lampau. Salah satu dasar dari tindakan tersebut adalah the right to know the truth (hak mengetahui kebenaran), yang menjadi salah satu topik penting dalam diskursus Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya dalam konteks sistem atau mekanisme pertanggungjawaban tindak pelanggaran HAM. Dilatarbelakangi oleh tuntutan reformasi dan perlunya proses penyelidikan terhadap berbagai pelanggaran HAM,1 fenomena itu telah menjadi salah satu dasar dari lahirnya mekanisme pertanggungjawaban tindak pelanggaran HAM dalam masa transisi melalui berbagai badan, seperti komisi pencari fakta, komisi klarifikasi, komisi penyelidik, atau sekarang lebih dikenal sebagai komisi kebenaran. Rupanya, hal itu sudah menjadi trademark sekarang ini. Namun demikian, proses pertanggungjawaban publik terhadap berbagai pelanggaran HAM, khususnya selama masa transisi, dilakukan terutama oleh pemerintahan transisi itu. Dalam prakteknya, proses pertanggungjawaban tersebut membutuhkan mekanisme dan prosedur tersendiri. Belakangan, kebutuhan tersebut juga mencakup dasar dan sumber hukumnya, dalam rangka menghindari pengabaian hukum serta impunitas dalam proses pelaksanaannya. Berangkat dari sini, pengungkapan kebenaran dapat dikatakan tidak hanya menjadi monopoli dari kewenangan yurisdiksi universal masyarakat internasional terhadap tindak kejahatan internasional, tetapi juga menjadi kewajiban politis dan hukum pemerintahan transisi. Demikian juga, penghukuman (prosecution) atau pengadilan (trial) tidak menjadi satu-satunya bentuk pertanggungjawaban terhadap tindak kejahatan kemanusiaan masa lampau. Dalam bentuk yang ekstrem, prosekusi dan pengadilan memang menjadi salah satu mekanisme guna meminta pertanggungjawaban terhadap tindak pelanggaran HAM yang maksimal. Bahkan sejak pengadilan Nuremberg dan Tokyo, telah muncul preseden dan produk hukum internasional yang mewajibkan penghukuman terhadap sejumlah kejahatan kemanusiaan atau tindak pelanggaran HAM yang serius,2 terlebih pada 1
Lihat M. Cherif Bassiouni & Madeline H. Morris, “ANNEX II: ‘Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights Through Action to Combat Impunity’”, dalam, M. Cherif Bassiouni, Law and Contemporary Problems, Accountability for International Crimes and Serious Violations of Fundamental Human Rights”, hlm. 264-265.
2
Michael Scharf, “The Letter of the Law: The Scope of the International Legal Obligation to Prosecute Human Rights”, ibid., hlm. 41-59. Di antaranya adalah, Konvensi Jenewa 1949, Konvensi Genosida,
2
kejahatan atau pelanggaran terhadap norma-norma yang bersifat ius cogens atau obligatio erga omnes.3 Dalam konteks pemerintahan transisi, kewajiban prosekusi tersebut tidak selalu menjadi pilihan yang final. Pengungkapan kebenaran dapat menjadi suatu kewajiban yang berdiri sendiri, terlepas dari kewajiban untuk prosekusi. Hanya dalam konteks yang visible, kewajiban tersebut sering menjadi kewenangan pengadilan para pemenang, walaupun tidak selalu upaya politis transisional berbentuk prosekusi. Tulisan ini dimaksudkan untuk menguraikan dasar atau landasan moral dan hukum kewajiban negara untuk mengungkapkan kebenaran dari segi pertimbangan ketentuan hukum HAM internasional. Tekanan utama diberikan pada kewenangan hukum HAM internasional dan hukum internasional. Kerja pengungkapan kebenaran selama masa transisi terhadap kejahatan dan pelanggaran HAM masa lalu, bagaimanapun juga, harus diperbandingkan substansinya dengan upaya serupa yang dilakukan oleh badan-badan internasional yang berkewajiban dalam proses penegakkan HAM dan hukum internasional. Secara paralel akan diuraikan beberapa kesimpulan tentang kewajiban negara yang muncul dari arah dan nuansa kewajiban penegakkan HAM oleh masyarakat internasional. Dasar Hukum dan Perkembangannya Pada dasarnya, hak mengetahui kebenaran merupakan kategori hak khusus dan relatif masih baru dalam wacana HAM. Sebagai suatu istilah, ia tidak dicantumkan secara eksplisit dalam instrumen utama HAM, kecuali dalam pengertian yang luas. Artinya, ia terkait dengan kewajiban negara untuk memberikan pertanggungjawaban terhadap pelanggaran HAM atau berbagai kejahatan internasional lainnya. Hak mengetahui di sini dikaitkan dengan kewajiban melakukan investigasi, klarifikasi, fact-finding, penyelidikan (inquiry) maupun prosekusi (trial) dan kompensasi bagi korban. Tujuannya adalah mengumpulkan berbagai informasi, fakta, atau bukti yang dapat dipakai sebagai dasar penuntutan dalam proses pengadilan. Walaupun begitu, evolusi dan gagasan pengungkapan kebenaran sebagai sarana untuk menjamin dan melaksanakan hak tersebut, sudah tersebar dalam berbagai praktek dan ketentuan penegakkan HAM serta sistem pertanggungjawaban kejahatan internasional selama ini. Sejak pengadilan Nuremberg dan Tokyo, penyelidikan pelanggaran HAM telah menjadi suatu mekanisme baku dalam penegakan keadilan. Berbagai statuta pengadilan ad-hoc tindak kejahatan kemanusiaan menetapkan perlunya penyelidikan secara serius sebelum dilakukan prosekusi atau pengadilan. Bahkan terhadap beberapa instrumen HAM yang dianggap kurang mempunyai rumusan yang tegas tentang kewajiban negara, dalam beberapa kasus banyak dilakukan terobosan baru. Ini terlihat dalam langkah yang diambil oleh berbagai Komite HAM, yang mewajibkan adanya penyelidikan terhadap berbagai tindak penyiksaan (Zaire), eksekusi di luar hukum (Suriname) dan penghilangan paksa (Urugay), dan menghukum para pelakunya.4 Konvensi Anti-Penyiksaan dan Konvensi HAM Secara Umum, yurisprudensi, Customary International Law: Crimes Againts Humanity, dan berbagai resolusi PBB. 3
M.Cherif Bassioni, “International Crimes: Jus Cogens and Obligatio Erga Omnes”, ibid., hlm. 63-74.
4
Komentar khusus Komite HAM ini tertuang dalam dokumen Muteba V. Zaire. Comm. No.124/1982,39 UN Gaor Supp; Dokumen Boaboeram V. Suriname, Comm. Nos146/1983 dan 148-154/1983; serta
3
Sebagaimana diketahui, mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban HAM PBB, lebih bertumpu pada sistem pelaporan. Karenanya, secara substansial mekanisme tersebut tidak merumuskan dan mengimplikasikan kewajiban negara secara tegas. Rumusan instrumen HAM internasional merupakan kewajiban umum untuk “menghormati” dan “menjamin” semua hak asasi. Caranya melalui prosedur komunikasi dan prosedur khusus. Pasal 2 (1) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik menegaskan, “setiap negara pihak dalam Kovenan ini berupaya untuk menghormati dan menjamin bagi semua orang yang berada dalam wilayah kekuasaannya dan yang menjadi subjek yurisdiksinya, hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini.”5 Kewajiban menghormati dan menjamin inilah, yang oleh banyak ahli – termasuk dalam praktek yurisprudensi di sejumlah pengadilan HAM Amerika – dianggap sebagai dasar untuk mencegah sekaligus melakukan penyelidikan yang serius terhadap pelanggaran HAM serta menghukum pelakunya dan memberikan kompensasi kepada korban.6 Dalam konteks lain, kewajiban pengungkapan kebenaran juga muncul sebagai alat untuk melakukan remedy (upaya penanganan hukum; untuk seterusnya ditulis “remedi” – ed.) yang efektif. Pasal 8 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan, “Setiap orang berhak untuk mendapatkan remedi yang efektif dari lembaga pengadilan nasional yang kompeten atas berbagai tindak pelanggaran hak-hak dasarnya yang dijamin Undang-Undang Dasar atau oleh hukum”. Sedangkan hak khusus korban untuk mendapatkan jaminan bagi remedi yang efektif dinyatakan dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik, pasal 2 (3), yang berbunyi, “menjamin bahwa setiap orang yang hak-hak atau kebebasannya seperti yang diakui dalam Kovenan ini dilanggar, akan mendapat remedi yang efektif, tidak terkecuali pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi”. Perlunya remedi yang efektif tersebut mengandaikan proses pengungkapan kebenaran yang maksimal melalui kegiatan penyelidikan, pemeriksaan, penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan. Kegiatan tersebut akan menentukan mengapa seseorang dapat dikenai tuntutan dan bagaimana kesalahan proses hukum harus diperbaiki guna rehabilitasi korban. Dengan kata lain, remedi yang efektif menjadi mungkin hanya jika terjadinya pengungkapan kebenaran baik dalam konteks pelaksanaan prosekusi maupun dalam kaitannya dengan rehabilitasi dan kompensasi terhadap korban. Dengan demikian, kendatipun tidak terarah secara langsung pada ketentuan tentang hak atas kebenaran dan hak mengetahui proses terjadinya tindak pelanggaran HAM, namun ketentuan di atas menjamin dan mendukung proses pengungkapan kebenaran. Dengan kata lain, ketentuan di atas menjamin korban untuk mengefektifkan “hak mengetahui” tentang apa yang terjadi pada dirinya; korban yang dimaksudkan di sini mencakupi korban pelanggaran HAM dan korban penangkapan/penahanan semena-mena.7
dokumen Quinteros vs.Uruguay, Comm.No.107/1981, 38 UN Doc GAOR Supp.No.40. Lihat Michael Scharf, op. cit., hlm. 48-49. 5
Human Rights Watch, “The Right to Know the Truth Concerning Gross Human Rights Violation”, draft, tanpa tahun dan penerbit, hlm. 1.
6
Ibid., hlm. 2.
7
Steven R. Ratner & John S. Abrahams, Accountability for Human Rights Atrocities in International Law, Clarendom Press, hlm. 134-137
4
Cakupan Pengertian: Hak dan Kewajiban untuk Mengingat Walau begitu, cakupan makna akan pengertian dan mekanisme pelaksanaan penyelidikan ataupun remedi yang efektif dapat berbeda dengan konteks pelaksanaan “hak mengetahui kebenaran”. Berbagai kasus di atas menunjukkan, pengungkapan kebenaran atau penyelidikan lebih dianggap sebagai kewajiban dan bukan hak. Kecuali itu, tujuan penyelidikan, diletakkan sebagai bagian yang utuh dari suatu proses prosekusi atau pengadilan. Dengan demikian, inti tindakan penyelidikan pada dasarnya adalah untuk mendapatkan keterangan dan data tentang keterlibatan atau peran pelaku (perpetrators) dalam tindak kejahatan kemanusiaan. Hal itulah yang nantinya dapat dijadikan dasar bagi proses penyidikan lanjutan. Proses penyelidikan lebih merupakan upaya menemukan fakta, bukti atau alasan-alasan lain yang dapat dikaitkan dengan tanggung jawab atau keterlibatan perpetrator dalam kejahatan kemanusiaan.8 Sedangkan fakta yang menyangkut korban, institusi dan motivasi politis, konteks serta alasan politik yang melatarbelakangi peristiwa tidak menjadi perhatian utama. Demikian pula halnya dengan tujuan utama yang lebih diarahkan pada penghukuman pelaku dan bukan membongkar sistem, struktur dan lembaga negara yang terlibat. Konteks penyelidikan semacam itu tentu agak berbeda cakupan pengertian dan maknanya dengan kerja pengungkapan kebenaran dalam konteks hak mengetahui kebenaran. Sebagaimana ditegaskan dalam Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights Through Action to Combat Impunity yang dikeluarkan pada tahun 1996 oleh Sub-Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas PBB. Di sana pengungkapan kebenaran terkait secara utuh dengan hak setiap orang guna mengetahui masa lampaunya yang tertindas. Mengetahui masa lampaunya, khususnya dalam kaitan dengan nasib korban dianggap hak yang melekat dalam diri setiap orang, yang tidak boleh diabaikan. Hak untuk mengetahui kebenaran masa lampau itu mengimplikasikan kewajiban negara untuk “mengingat”. Kewajiban tersebut berhubungan dengan tugas untuk melakukan klarifikasi, membongkar selubung kebohongan guna menjelaskan pada korban, keluarga dan publik tentang apa yang terjadi, bagaimana hal-hal itu terjadi, siapa yang terlibat, apa alasan serta motivasinya dan bagaimana proses penanganannya. Selain itu, hak tersebut juga mengandaikan adanya kewajiban negara guna melakukan perbaikan ke depan dan tidak sekadar melupakan atau mengubur sejarah dan berbagai pengalaman pahit masa lampaunya.9 Konteks hak seperti ini tentu agak berbeda bila dibandingkan dengan cakupan kerja penyelidikan yang memiliki tujuan prosekusi sebagaimana disebutkan di atas. Esensinya adalah proses pembongkaran serta upaya menghidupkan kembali memori kolektif 8
Catatatan khusus harus diberikan kepada diskusi tentang Pengadilan ad hoc bekas Yugoslavia. Dalam Statuta of the International Tribunal for the Former Yugoslavia ditekankan adanya kewajiban penyelidikan yang lebih luas (makro). Pasal 18 Statuta tersebut dengan jelas menyerukan perlunya suatu penyelidikan yang menyeluruh guna mengetahui luasnya kekejaman. Sedangkan pasal 2-nya lebih berkaitan dengan aspek mikro seperti menyidik para terduga pelaku (suspect) saksi-saksi, para korban dan lain-lain. Apalagi perlunya penyelidikan yang luas dan serius sudah menjadi tahapan kegiatan pengawasan oleh Dewan Keamanan yang diperkuat melalui resolusi Dewan Keamanan PBB pada tanggal 6 Oktober 1992 No. 780, oleh Komisi para Ahli (Commisssion of Experts) yang mencerminkan luasnya cakupan dan makna penyelidikan yang tidak saja berkaitan dengan penyidikan para pelaku, tetapi juga untuk membangkitkan kesadaran, simpati dan solidaritas masyarakat internasional.
9
M. Cherif Bassiouni & Madeline H. Morris, op. cit., hlm. 263-5.
5
(collective memory) masyarakat serta melakukan konstruksi kebenaran bersama. Arti pentingnya terletak pada proses rekonstruksi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ke depan. Negara juga perlu membuat pengakuan publik tentang berbagai kesalahan, baik melalui dengar kesaksian publik maupun pengakuan terbuka mengenai keterlibatan aparat negara terhadap berbagai tindak kejahatan kemanusiaan. Perumusan ini nantinya dapat melebarkan makna dalam konteks penyelidikan pada wilayah kebenaran, dalam kaitan dengan tiga standar minimal yang harus dilakukan negara: (i) kewajiban mengingat (the duty to remember), (ii) kewajiban menghukum (the duty to prosecute), (iii) kewajiban reparasi (the duty to redress).10 Setidaknya terdapat dua persyaratan (guarantee) utama guna memungkinkan terwujudnya hak atas kebenaran. Pertama, kewajiban negara membentuk komisi penyelidikan yang bersifat ekstrayudisial (extrajudicial Commissions of Inquiry). Komisi penyelidik khusus ini tidak hanya bertugas mengumpulkan fakta, tapi sekaligus menyelamatkan berbagai bukti agar tidak hilang. Kedua, kewajiban memberikan akses atas informasi termasuk arsip dan file-file yang ada di pemerintahan sehubungan dengan pemenuhan kewajiban tersebut. Kewajiban pertama terutama menyangkut identifikasi terhadap para korban dan perpetrator (yang bertanggung jawab) terhadap pelanggaran HAM, sekaligus merumuskan pola pelanggaran HAM yang terjadi. Sedangkan kewajiban kedua lebih berkaitan dengan otoritas mengakses, menyimpan dan menyelamatkan barang bukti.11 Luasnya kewajiban yang berdampak pada keterbukaan berbagai akses informasi baik itu berupa arsip-arsip atau file kenegaraan menyebabkan proses pengungkapan kebenaran bersangkut paut dengan hak masyarakat untuk memperoleh dan mengelola informasi secara bebas. Itulah sebabnya, banyak pakar HAM yang berpendapat bahwa the right to know the truth sebenarnya berakar pada ketentuan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tentang kebebasan dan hak terhadap informasi seperti yang termaktub dalam pasal 19 ayat (1) dan (2), dan dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik. Dalam pasal tersebut ditetapkan, setiap warga negara berhak untuk mencari, menerima dan mendapatkan informasi tanpa hambatan. Dengan konteks seperti itu, makna hak mengetahui kebenaran akan jauh lebih luas dari sekadar kewajiban penyelidikan atau klarifikasi. Hak Mengetahui Kebenaran dan Kewajiban Transisi Walaupun sering diperdebatkan karena terdapatnya berbagai cerita kegagalan namun pengungkapan kebenaran merupakan salah satu kewajiban dan tugas utama pemerintahan transisi. Kewajiban tersebut sebagaimana disebutkan di atas merupakan salah satu bentuk tugas untuk mengingat (the duty to remember) dan tidak melupakan masa lampau (forgetting the past). Artinya, kewajiban tersebut terkait dengan hak setiap orang dan masyarakat (khususnya korban tindak pelanggaran HAM) untuk mengetahui kebenaran 10
Ibid., hlm. 264-5.
11
Dalam fokus kerja komisi penyelidik setidaknya ada tiga hal yang harus diungkap. Pertama, menganalisis dan menggambarkan dalam lembaga-lembaga mana sajakah sistem pelanggaran HAM itu terlaksana, sekaligus mengidentifikasi korban serta petugas, agen dan lembaga swasta yang terlibat dalam pelanggaran HAM. Kedua, menyelamatkan bukti-bukti yang dapat dipergunakan kelak bagi proses pengadilan. Ketiga, merekomendasikan cara-cara untuk menghilangkan dampak impunitas. Lihat ibid., hlm.166-9.
6
tentang apa yang terjadi pada masa lampau. Kewajiban untuk mengingat itu sebagaimana ditetapkan dalam resolusi PBB mencakup pengertian, “pengetahuan masyarakat tentang sejarah penindasan mereka sebagai bagian dari warisan kehidupan mereka, dan karena itu, harus diproses melalui tindakan-tindakan yang tepat untuk melaksanakan kewajiban masyarakat untuk mengingat.”12) Kewajiban mengingat yang berkaitan dengan hak mengetahui kebenaran tentu membutuhkan mekanisme pertanggungjawaban (pemerintah) yang lebih luas dari sekadar prosekusi. Berdasarkan kenyataan politis, kewajiban pertanggungjawaban masa transisi lebih banyak merupakan upaya sosial-politis secara umum. Artinya, kewajiban tersebut memiliki berbagai tujuan, sehingga tidak sekadar menjadi proses hukum semata. Menurut Steven R. Ratner, ada empat faktor yang biasanya mempengaruhi proses pertanggungjawaban. Pertama, isu-isu sekitar penyelesaian masalah korban kejahatan kemanusiaan. Kedua, kerusakan dan dampak traumatis yang terjadi dalam masyarakat akibat kekejaman rezim politik terdahulu. Ketiga, isu yang berkaitan dengan proses prosekusi pelaku pelanggaran HAM guna mencegah munculnya hal yang sama pada masa mendatang, atau melalui pengajuan keadilan, pembaruan kelembagaan dalam pemerintahan serta aturan hukum. Keempat, rehabilitasi korban kejahatan kemanusiaan.
Sejumlah Masalah yang Perlu Ditransformasikan dalam Masa Transisi Sistem hukum Pelaku Korban dan kelembagaan hukum lama yang masih menindas HAM; lembaga-lembaga yang perlu dilikuidasi; berkuasanya status quo
impunitas, arogansi tak terjangkau, resisten dan kewenangan sub-poena
trauma, kebencian, dendam masa bisu, diam kolektif penderitaan bersama, subordinasi, diskriminasi kompensasi,rehabilitasi, dan reparasi sejarah yang dipalsukan
Berbagai faktor di atas merupakan kondisi objektif di setiap masyarakat dan dalam pemerintahan transisi. Prosesnya sangat membutuhkan mekanisme dan prosedur pertanggungjawaban khusus. Mekanisme pertanggungjawaban pemerintahan yang ada tidak hanya berkaitan dengan pertanggungjawaban individual pelaku, tetapi juga dengan keseluruhan sejarah masa lampau. Masa lampau itu sendiri merupakan masalah yang harus dihadapi; dan menghadapinya merupakan bentuk pertanggungjawaban sendiri. Itulah sebabnya, tujuan tertinggi dari proses penggalian masa lampau (digging up the past) tidak sekadar untuk mencari fakta, tetapi juga untuk membongkar kisah dan cerita. Pada titik ini, menjadi jelaslah perbedaan antara penemuan fakta (fact finding) dan pengungkapan
12
Dikutip dari catatan kaki Priscilla B. Hayner, International Guideline, hlm.171.
7
kebenaran (disclosure the truth), antara investigasi dan testimoni, antara laporan dan narasi.13 Dengan kondisi semacam itu, kewajiban transisional di semua pemerintahan transisi berada jauh melampaui upaya hukum atau tidak sekadar membawa pelaku ke hadapan pengadilan. Proses transisi sebenarnya tidak saja merupakan proses reparasi dan rehabilitasi terhadap nasib masyarakat, bangsa dan negara, tapi juga memiliki keterkaitan dengan dekonstrusi masa lampau yang bisu, dipalsukan atau massa rakyat yang diam dan traumatik. Tindakan pengungkapan kebenaran tidak hanya berarti membongkar dan mengindentifikasi pelaku tindak pelanggaran HAM, tetapi juga membongkar kebohongan sekaligus menyusun kembali lembaran fakta ke kisah pelanggaran HAM; sebab pelanggaran HAM tidak saja berpengaruh pada korban tetapi juga pada masyarakat secara umum. Sebagian dari proses tersebut adalah memberikan kesempatan pada korban untuk berbicara dan bertutur-kisah, membuka kembali ingatan kolektif mereka (collective memory). Beban sejarah bangsa akan kejahatan kemanusiaan, serta ingatan kolektif korban akan kebenaran dan keberadaan pelaku serta sistem yang masih belum sempurna akan mendatangkan konsekuensi yang berbeda-beda. Itulah sebabnya proses perbaikan dan pemulihan sangat tergantung pada kondisi hukum dan situasi politik suatu negara. Di beberapa negara Eropa Timur, prosesnya ditekankan pada pembaruan sistem hukum dan politik serta pembersihan aparat negara dari rezim politik terdahulu baik di jajaran birokrasi maupun militer. Di beberapa negara lain ada pula yang menekankan reparasi dan rehabilitasi korban dengan menekankan kompensasi bagi korban. Pada titik paling tinggi, upaya pertanggungjawaban transisional akan menekankan prosekusi dan rehabilitasi hukum. Ini mengandaikan adanya upaya luas masyarakat untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM serta menjatuhkan hukuman yang setimpal bagi mereka yang terbukti bersalah. Mekanisme Komisi Kebenaran Dari dan berdasarkan berbagai pemikiran yang berkembang di atas, menjadi semakin jelas bagi kita bahwa pada intinya proses pengungkapan kebenaran itu dapat dilihat sebagai sebuah bentuk pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban semacam itu, dilihat dari modelnya, adalah proses menuju pada penjelasan yang lebih luas daripada sekadar pertanggungjawaban individual, atau penemuan fakta. Sebagaimana diungkapkan oleh Priscilla Hayner, komitmen utama Komisi Kebenaran tidak sekadar seperti fungsi standar Komisi HAM yang bertugas melakukan penyelidikan terhadap tindak pelanggaran HAM. Komisi Kebenaran, masih menurut Hayner, juga mengupayakan suatu “sanctioned truth seeking” yang mengarah pada pembuatan catatan yang akurat mengenai masa lampau sebuah negara, serta bidang yang menjadi potensi konflik dan sumber pertikaian. Karenanya, kerja komisi kebenaran lebih dari sekadar fact finding yang mengarah pada perumusan kebenaran kolektif yang menyangkut berbagai aspek pelanggaran HAM. Kerja komisi kebenaran lebih mengarah pada pengumpulan pengetahuan dan kebenaran yang menuju pada acknowledgment (pengakuan). 13
Sarah Nuttall & Carli Coetzee, bagian “Introduction” dalam, Negotiating the Past, Cape Town: Oxford University Press, 1998, hlm. 2-7. Lihat juga, Kirsty Sangster, “Truth Commissions: The Usefulness of Truth-telling”, Aust Journal for Human Rights, vol.5, no.1, 1999.
8
Pengakuan semacam ini menunjukkan bahwa “negara telah mengakui perbuatannya yang keliru, mengakui kesalahannya, sekaligus melakukan perubahan fundamental ke depan”.14 Acknowledgment juga merupakan puncak dari hak mengetahui kebenaran, karena menjadi bukti peneguhan berbagai pengetahuan (knowledge) yang sudah ada sebelumnya. Begitu ada acknowledgment pertanggungjawaban pelaku (perpetrators) individual maupun negara dapat menuju perubahan ke depan; dengan adanya pengakuan maka pengetahuan dan kebenaran kolektif yang terdapat dalam kesadaran atau ingatan kolektif masyarakat dapat terkonfirmasi. Tentu saja mekanisme menuju pengakuan bukanlah hal yang mudah. Beberapa hal penting yang terkait dengan itu adalah persoalan ingatan kolektif, kebenaran kolektif, pengalaman kolektif yang kesemuanya perlu digali dan dieksplorasi lebih jauh dalam kerja komisi kebenaran. Prosedur dan mekanisme investigasi (fact finding) biasa tentu tidak mencukupi proses kebutuhan pengungkapan kebenaran. Harus ada upaya lain, terutama melalui pemberian kesempatan kepada korban sendiri guna menuturkan dan untuk melukiskan penderitaan mereka melalui penutur-kisahan kasus (story telling), kesaksian (testimony), pengambilan pernyataan (taking statement), public disclosure dan lain-lain. Sedangkan dari pihak perpetrators harus ada kesaksian terbuka, proses klarifikasi dengan memberi wewenang dan kemungkinan yang lebih besar bagi komisi kebenaran untuk mendalami berbagai hal terkait. Bentuk laporan penyelidikannya pun tidak sekadar berupa deskripsi fakta, tetapi juga menyangkut narasi yang lebih luas, sehingga memungkinkan klarifikasi yang jelas terhadap sejarah masa lampau. Pada tahap terakhir, kerja investigasi harus menghasilkan laporan, sekaligus penyebutan nama orang yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM. Hasil laporannya harus dipublikasikan secara luas. Aspek lain dari pertanggungjawaban tersebut adalah mekanisme acknowledgment itu sendiri. Secara faktual, prosedur acknowledgment dapat ditempuh dengan dua cara. Pertama, melalui public hearing, yang merupakan wadah bagi proses klarifikasi, check dan recheck, serta sekaligus pengungkapan kebenaran (confession). Kedua, melalui pemberian kompensasi, reparasi, dan rehabilitasi. Di samping adanya upaya untuk memberikan ganti rugi, juga sebenarnya perlu dipertegas adanya upaya berupa pengakuan bersalah dan bertanggung jawab dari negara terhadap berbagai kesalahan yang sudah pernah dilakukannya. Pengakuan semacam ini akan memberikan proses dan efek katarsis bagi korban menuju pemulihan dan penyembuhan luka, trauma, sekaligus penerimaaan mereka kembali dalam dan sebagai warga masyarakat yang terhormat.(*)
14
Priscilla B. Hayner, “Fifteen Truth Commissions – 1975 to 1994: A Comparative Study”, dalam, Neil J. Kritz (ed.), Transitional Justice, General Considerations, Vol. I, hlm. 227-228.
10 Dilema Simalakama: Amnesti di Masa Transisi Politik Ifdhal Kasim
“If there is a general amnesty and it brings democracy and peace to our country, I would be thrilled. Even if the amnesty extends to the people who tried to kill me”. (Albie Sachs, 1998)1
Pemberian amnesti kepada pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia merupakan salah satu isu yang paling kontroversial di negeri-negeri yang sedang menghadapi transisi politik. Kontroversi itu paling tidak terlihat dari panasnya perdebatan seputar isu tersebut antara mereka yang menolak dan menerimanya.2 Mereka yang menentang, menganggap kebijakan pemberian amnesti itu sebagai bentuk penyelamatan terhadap para pelaku, sekaligus merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional mengenai kewajiban menyelidiki dan mengadili pelanggaran berat hak asasi manusia; bagi mereka pemberian amnesti sama saja dengan memalingkan muka dari warisan Nuremberg.3 Sementara, di pihak lain, mereka yang menerima mengatakan kebijakan pemberian amnesti itu sebagai necessary evil demi menyelamatkan proses transisi menuju demokrasi. Dalam argumen ini yang dipentingkan adalah tujuan akhirnya, yaitu menormalisasikan situasi transisi dalam negeri demi penataan kembali masyarakat menuju tertatanya masa depan bagi generasi mendatang. 1
2
3
Dikutip dari Aryeh Neier, War Crimes, Brutality, Genocide, Terror and the Struggle for Justice, (New York: Times Books, 1998), hlm. 104. Bangkitnya perhatian masyarakat internasional terhadap isu amnesti tersebut dipicu oleh praktik pemberian amnesti yang terjadi di negara-negara Amerika Latin, Asia, dan Afrika. Praktik ini berkembang di masa transisi politik; di mana pemerintahan-pemerintahan transisi memberikan amnesti kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia pada pemerintahan sebelumnya yang otoriter, seperti yang terlihat di Argentina, Chili, El Salvador, Guatemala, Uruguay, Haiti, Kamboja, dan Afrika Selatan. Seperti diketahui, pengadilan terhadap perwira militer dan pejabat sipil Nazi Jerman di Nuremberg, yang dikenal dengan Nuremberg Trial, melahirkan preseden dalam hukum internasional, yaitu kewajiban untuk melakukan penyelidikan dan mengadili para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan perang.
1
Sudah menjadi prinsip yang diterima luas di dalam hukum pidana (internasional), bahwa negara tidak dapat memaafkan dirinya sendiri atas kesalahan yang diperbuat terhadap warga negaranya (self-amnesty). Negara hanya memiliki kewenangan memaafkan kesalahan individu yang menentang negara (crime against state), bukan terhadap kejahatan individu (crime against individuals).4 Kontroversi yang digambarkan di atas boleh jadi dilatarbelakangi oleh pemahaman terhadap prinsip ini. Tulisan ini mencoba mendiskusikan kontroversi-kontroversi yang muncul atas kebijakan pemberian amnesti pada masa transisi politik, dan kemudian melihat kompatibilitasnya dengan hukum internasional yang mengharuskan penyelidikan dan penghukuman atas pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia: apakah bertentangan dengan prinsip hukum internasional itu atau tidak? Untuk mendapatkan gambaran konkretnya, tulisan ini berusaha melihat aktualisasi kebijakan tersebut diterapkan di negara-negara yang mengalami transisi politik, dan mengambil pengalaman Afrika Selatan sebagai kasus. Penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan amnesti tampaknya diperlukan terlebih dahulu, sebelum masuk kepada pokok bahasan tulisan ini. Karena itu pada bagian pertama tulisan ini akan dimulai dengan menguraikan apa yang dimaksud dengan amnesti, yang kemudian diikuti dengan pembahasan mengenai kontroversi penerapannya di beberapa negara yang sedang menghadapi transisi politik, dan secara khusus membahas praktik pemberian amnesti di Afrika Selatan. Pada bagian selanjutnya dibahas apakah terdapat kesesuaian (compatibility) pemberian amnesti itu dengan hukum internasional, khususnya berkaitan dengan kewajiban negara (state responsibility) dalam melakukan penyelidikan dan penghukuman terhadap pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia – yang merupakan isu pokok tulisan ini.
Amnesti: Instrumen Politik Eksekutif
Setiap negara mempunyai kewenangan memberikan pengampunan kepada warga yang menentangnya. Pengampunan yang diberikan negara kepada para pelanggar hukum itulah
4
Lihat M. Cherif Bassiouni, “Searching for Peace and Achieving Justice: The Need for Accountability”, Law and Contemporary Problems, Vo. 59; No.4, 1996.
2
yang disebut dengan amnesti. Secara historis, kewenangan negara dalam memberikan amnesti sebetulnya berasal dari peninggalan suatu zaman ketika seorang raja yang mahaperkasa mempunyai kekuasaan untuk menghukum dan mengurangi hukuman sebagai tindakan “kemurahan hati”.5 Dalam sejarah modern, penggunaan instrumen ini, antara lain terlihat dari apa yang dilakukan oleh Presiden Lincoln dan Johnson ketika menghadapi Perang Saudara di Amerika.6 Dengan hak prerogatif yang dimilikinya, kedua presiden itu, memberikan amnesti kepada tokoh-tokoh Konfederasi dengan syarat mereka tetap setia kepada Amerika Serikat. Jelas tujuan yang ingin dicapai dengan pemberian amnesti itu adalah mengakhiri Perang Saudara. Kini strategi yang digunakan Lincoln dan Johnson itu digunakan kembali oleh pemerintah-pemerintah transisi: memberikan amnesti kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusi sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas demokrasi dan menganyam rekonsiliasi. Kata amnesti itu sendiri berasal dari bahasa Yunani “amnestia” yang bisa berarti melupakan atau suatu tindakan melupakan (act of oblivion).7 Tetapi apa yang dimaksud dengan kata itu, di antara ahli hukum, diartikan secara berbeda-beda. Tulisan ini tidak ingin memasuki persoalan tersebut, karenanya akan memilih salah satu yang dianggap lebih dapat menjelaskan istilah itu. Black’s Law Dictionary8 – yang sering dijadikan referensi kalangan ahli hukum – mengartikan istilah amnesti itu sebagai “abolition and forgetfulness of the offense; pardon is forgiveness. The first is usually addressed to crimes against the sovereignty of the nation, to political offenses; the second condones infractions of the peace of the nation.” Pengertian ini tampak sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Lincoln dan Johnson di masa lalu, dan dengan apa yang sekarang dilakukan oleh negara-negara transisional.
5
6
7 8
Di masa klasik, Athena Kuno, praktik pemberian amnesti diputuskan melalui pemungutan suara; tidak mutlak di tangan raja, tetapi melalu proses “adeia” yang membutuhkan dukungan enam ribu orang sebelum amnesti diputuskan. Setelah perang saudara di Athena, pada tahun 403 SM, amnesti disahkan melalui suara mayoritas. Lihat Martin Oswald, From Popular Sovereignty to the Sovereignty of the Law: Law, Society, and Politics in Fifth Century Athens (Berkeley: University of California Press, 1986). Lihat Jonathan T. Dorris, Pardon and Amnesty under Lincoln and Johnson: The Restoration of Confederates to Their Rights and Privileges, 181-1898 (Westport, Conn: Greenwood Press, 1977). Webster’s New Twentieth Century Dictionary, Edisi Kedua, hlm. 59. Black’s Law Dictionary, Edisi Kelima.
3
Mengapa kewenangan pemberian amnesti itu diletakkan di tangan pemerintah (eksekutif), bukan di tangan kekuasaan kehakiman (yudikatif)? Dipisahkannya kewenangan tersebut – yang berada di tangan pemerintah – dengan kewenangan penghukuman yang berada di tangan kekuasaan kehakiman (yudikatif) memang dimaksud untuk memberikan kewenangan kepada eksekutif untuk bertindak dengan cepat dalam mengatasi masalah politik yang muncul di dalam negeri. Ia tak ubahnya seperti instrumen politik bagi eksekutif. Sebagai instrumen politik, penggunaannya memang lebih sering ditujukan untuk mencapai tujuan politik pemerintah. Misalnya pemberian amnesti terhadap mereka yang menentang negara atau yang populer disebut tahanan politik, tujuan politik yang ingin diraih pemerintah jelas mengajak berekonsiliasi. Hal serupa itu pernah dilakukan oleh presiden B.J. Habibie dan Gus Dur (di awal pemerintahan reformasi) dengan melepaskan para tahanan politik rezim Orde Baru. Begitu pula kepada anggota GAM, pemerintahan reformasi juga pernah menawarkan amnesti kepada mereka dengan tujuan menghentikan gerakan tersebut. Karena sifatnya yang politis itu, maka kewenangan tersebut dibatasi pengunaannya. Negara tidak dapat menggunakan kewenangan tersebut bagi aparatnya sendiri atau dikenal dengan self-amnesty (negara mengampuni dirinya sendiri). Jadi apabila kejahatan itu dilakukan atas nama negara, maka negara tidak diperkenankan memberikan amnesti kepada aparatnya yang melakukan kejahatan atas nama negara tersebut. Tetapi apabila negara menjadi korbannya, maka negara dapat memberikan amnesti. “The State as victim may forgive, but when complicit with the perpetrator, it cannot be forgiven”, kata Geoffrey Robertson.9 Pembatasan kewenangan negara dalam pemberian amnesti itu diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan tersebut oleh negara. Selain bertujuan untuk melindungi hak-hak korban untuk mendapatkan pemulihan yang efektif (apakah dalam bentuk kompensasi, rehabilitasi atau restitusi), dan mencegah impunitas. Uraian di atas paling tidak telah memberikan gambaran tentang apa yang dimaksud dengan amnesti. Tetapi untuk menghindari penggunaan yang tumpang-tindih istilah tersebut dengan istilah pemaafan (forgiveness) atau dengan istilah belas kasih
9
Geoffrey Robertson, Crimes Against Humanity: The Struggle for Global Justice, (New York: The New Press, 1999), hlm. 259.
4
(mercy), yang sering disepadankan maknanya, tampaknya diperlukan sekadarnya menguraikan pengertian atas masing-masing istilah tersebut sehingga kita dapat meletakkannya pada tempatnya masing-masing; tidak dicampurbaurkan bagai gado-gado. Pemaafan sering diartikan sebagai perubahan sikap korban terhadap pelaku, sehingga sepenuhnya bersifat subjektif. Karena itu pemaafan bukan merupakan tindakan hukum, tetapi sepenuhnya berada di dalam domain hubungan antar-manusia.10 Negara dengan demikian tidak mungkin memberikan pemaafan. Sedangkan yang dimaksud dengan belas kasih (mercy), adalah pengurangan hukuman oleh negara karena merasa kasihan terhadap pelaku.11 Amnesti dengan demikian lebih dekat dengan belas kasih, karena keduanya merupakan tindakan negara; bukan datang dari korban itu sendiri.
Amnesti dalam Konteks Transisi Politik
Amnesti telah digunakan secara luas di negara-negara yang sedang menghadapi transisi politik dari rezim otoriter menuju ke sistem politik yang demokratis.12 Paling tidak, di kawasan Amerika Latin, terdapat sebelas negara – Argentina, Brazil, Chili, Guatemala, El Salvador, Haiti, Honduras, Nikaragua, Peru, Suriname, dan Uruguay – yang telah mengambil kebijakan amnesti dalam usaha menyelesaikan pelanggaran berat hak asasi di sana.13 Sementara di kawasan benua yang lain seperti Asia dan Afrika, terdapat beberapa negara yang telah mengambil kebijakan serupa, antara lain Kamboja dan Afrika Selatan.14 Kecuali Afrika Selatan, amnesti-amnesti yang diberikan di negara-negara tersebut merupakan amnesti yang diberikan negara kepada aparatnya sendiri (self-
10
11
12
13
14
Saya melihat forgiveness itu sejalan dengan konsep Islah, yang belakangan ini banyak dilakukan oleh para pelaku dengan korban, seperti pada kasus Tanjungpriok (Jakarta) dan Talangsari (Lampung). Pembahasan mengenai konsep-konsep forgiveness, pardons, mercy dan amnesty lebih lanjut dapat dibaca dalam Jeffrie G. Murphy & Jean Hampton, Forgiveness and Mercy (1980); dan Kathleen D. Moore, Pardons: Justice, Mercy, and Public Interest (1989). Neil J. Kritz (Ed), Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Regime, Vol I (Washington DC: United State Institute of Peace, 1999), hlm. xxii. Pembahasan mengenai amnesti di kawasan ini dapat dilihat pada Douglass Cassel, “Lesson from the Americas: Guidelines for International Response to Amnesties for Atrocities,” dalam Law and Contemporary Problems, Vol 59: No. 4, 1996. Untuk pembahasan umum mengenai praktik amnesti di negara-negara ini lihat Geoffrey Robertson QC, catatan kaki no. 9.
5
amnesty), bukan amnesti yang diberikan bagi para pemberontak negara (state crimes). Fenomena inilah yang menimbulkan kontroversi dan mendapat banyak kecaman, karena dianggap bertentangan dengan hukum internasional, khususnya dengan kewajiban negara dalam melakukan penyelidikan dan penuntutan terhadap pelaku pelanggaran berat HAM. Pemberian amnesti dalam bentuk self-amnesty tersebut dipandang sebagai harga yang harus dibayar dalam rangka memuluskan proses transisi politik menuju demokrasi di negara-negara tersebut – yang (seperti diketahui) sebelumnya dikuasai oleh rezim junta-militer yang bengis. Pemegang kekuasaan politik baru di negara-negara transisional terpaksa harus bersedia duduk berunding dengan kekuatan-kekuatan politik lama yang mereka singkirkan itu, karena masih belum terkonsolidasinya kekuatan-kekuatan politik yang mereka miliki. Maka, demi menjamin proses terkonsolidasinya sistem politik yang mau ditegakkan (demokrasi), mau tidak mau harus dilakukan perundingan dengan kekuatan politik lama – yang memang masih kuat secara politik – untuk mendukung proses tersebut.15 Di Chili misalnya, mantan presiden Pinochet dengan leluasa dapat mengancam presiden sipil terpilih yang baru untuk “tidak menyentuh sehelai rambut pun seorang tentara”16 dalam proses perubahan politik yang dilakukan presiden baru tersebut. Dalam konteks proses-proses negosiasi politik itulah terjadi tukar-menukar kepentingan di antara pemimpin politik baru dengan yang lama. Bagi pemegang kekuasaan politik baru, mereka jelas sangat berkepentingan dengan stabilitas demokrasi yang masih sangat rawan itu. Sebaliknya bagi penguasa politik lama, mereka berkepentingan agar kesalahan pada saat mereka berkuasa tidak diungkit lagi untuk dipertanggungjawabkan. Kepentingan-kepentingan inilah yang harus diakomodasi oleh kedua pihak, dengan menjamin bahwa kepentingan tersebut tidak akan diganggu-gugat. Singkatnya dari proses-proses yang digambarkan itulah lahir kebijakan self-amnesty, yang ditukar dengan jaminan bahwa elite politik rezim lama akan mendukung dan membantu proses demokratisasi yang dilakukan.
15
16
Telah banyak tulisan-tulisan yang mengulas tentang dilema-dilema politik, moral dan hukum yang dihadapi oleh rezim demokratis yang baru lahir dalam usaha menentukan apa yang harus mereka lakukan berkaitan dengan pelanggaran berat hak asasi manusia di masa rezim terdahulu: menghukumnya atau melupakannya? Antara lain lihat tulisan-tulisan Jaime Malamud-Goti, Transitional Governments in the Breach: Why Punish State Criminal? (1990); José Zalaquett, Confronting Human Rights Violations Committed by Former Government (1989); dan sebagainya. Dikutip dari Douglass Cassel, op. cit. Lihat catatan no. 13.
6
Salah seorang tokoh yang penting dalam usaha yang digambarkan di atas adalah presiden Julio Sanguinetti. Bagi presiden Uruguay itu – yang terpilih sebagai presiden setelah proses negosiasi politik dengan militer tercapai (di mana militer kemudian mundur dari politik)17 – yang lebih penting adalah mengkonsolidasikan demokrasi ketimbang mengadili para pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia yang dapat membahayakan upaya pengkonsolidasian tersebut. Dengan sangat provokatif ia pernah menantang para penentangnya dengan mengatakan: “Apakah kita akan melihat ke masa depan atau ke masa lampau? Dia menjawab sendiri pertanyaan itu, dengan tak kalah provokatifnya pula, dengan mengatakan: “Apabila Prancis masih memikirkan pembantaian malam di St. Bartholomeus, maka mereka masih akan saling membunuh sampai hari ini”.18 Sangat jelas pesan yang ingin disampaikan Sanguinetti dengan pernyataannya itu, yakni perdamaian-lah yang terlebih dahulu harus diusahakan. Bukan penghukuman! Amnesti kemudian dipandang dapat menjadi instrumen untuk mencapai tujuan “perdamaian” tersebut; boleh dikatakan ia merupakan necessary evil, yang tidak bisa tidak harus dilakukan oleh negara-negara transisional. Ada kebutuhan yang lebih mendesak yang harus didahulukan oleh negara-negara transisional tersebut ketimbang melaksanakan
kewajiban
internasionalnya
dalam
melakukan
penyelidikan
dan
penghukuman terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia.19 Dalam pelataran inilah Sanguinetti – sekali lagi saya mengetengahkan argumennya, mengajukan pandangan bahwa negara mempunyai kewenangan untuk memberikan amnesti bagi kejahatan yang dilakukan atas namanya sendiri (self-amnesty). Dia kemudian mengeluarkan UndangUndang Berakhirnya Kewenangan Negara dalam Menghukum (dikenal dengan Law of
17
18
19
Politisi sipil melakukan negosiasi dengan pimpinan militer demi melancarkan proses transisi, dengan jaminan tidak ada prosekusi terhadap anggota militer. Hasil perundingan ini dikenal dengan “Naval Club Agreement”, yang ditandatangani pada tahun 1984 setahun sebelum Sanguinetti terpilih sebagai presiden, 1 Maret 1985. Lihat, Emmanuel Decaux, International Law and National Experiences, (International Commission of Jurist: Prosiding Konferensi, 1993), hlm. 27-66. Kutipan-kutipan tersebut diambil dari Lawrence Weschler, A Micrale, A Universe: Settling Account with Tortures, (New York: Pantheon Book, 1990). Dilema-dilema moral dan hukum seperti ini telah banyak dibahas oleh berbagai penulis. Di antaranya adalah José Zalaquett, “Balancing Ethical Imperative and Political Constraints: The Dilemma of New Democracies Confronting Past Human Rights Violations,” Hasting Law Journal, Vol. 43, 1992.
7
Caducity)20 — yang melepaskan tuntutan pidana terhadap para perwira militer. Di bawah ini kita turunkan argumennya: The state’s obligation to administer justice cannot be performed without taking into account other State functions, of which the most important are to ensure that its citizens live together in peace ... The severity of the law in prescribing a penalty must be attenuated when its application would result in a greater social ill than that of allowing a crime to go punished ... In a word, the renunciation of the power of punishment is merely another way of administering justice, since the political basis of the amnesty is the same as that on which the axercise of punitive power is based: the intention underlying both of these elements, amnesty and punitive authority, is ultimately to bring peace and traquillity to all members of the community.21
Pandangan-pandangan seperti yang dilontarkan Sanguinetti itu hampir merata menguasai pandangan pemimpin-pemimpin politik transisional di negara-negara Amerika Latin. Seperti telah disinggung di awal, paling tidak terdapat 11 negara di kawasan tersebut yang mengambil posisi seperti Sanguinetti. Sebagai ilustrasi, marilah kita lihat kasus El Salvador. Berdasarkan pada perdamaian Esquipulas Amerika Tengah (Central American Esquipulas), pada tahun 1987 pemerintah mengesahkan suatu undang-undang amnesti yang menghentikan baik tuntutan perdata maupun pidana terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pemberian kompensasi kepada korban.22 Ilustrasi ini menggambarkan dengan gamblang bahwa kekuasaan mengadili telah dipertukarkan dengan perdamaian: kesepakatan yang dicapai dengan kekuatan politik lama (para junta-militer) harus dibayar dengan pemberian amnesti umum (blanket amnesty) bagi para pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia.
20
21
22
Undang-undang ini diajukan oleh Presiden Sanguinetti sebagai tanggapan terhadap reaksi negatif pihak militer atas pengajuan anggotanya ke pengadilan atas tuduhan pelanggaran HAM. Militer memerintahkan agar jangan memenuhi penggilan pengadilan. Karena ingin menghindari konfrontasi besar-besaran, Sanguinetti mengusulkan UU tersebut, sebuah UU yang mengatur pemberian amnesti umum kepada militer. Masyarakat menuntut UU tersebut dicabut. Kemudian diadakan referendum guna penentuan mengenainya. Hasilnya dimenangkan Sanguenetti (53% lawan 40%). Pembahasan mengenai kasus Uruguay ini dapat dilihat pada usulan Robert G. Goldman, Amnesty Laws and International Law: A Spesific Case, (International Commission of Jurist, Prosiding Konferensi, 1993), hlm. 209-222. Dikuti dari Aryeh Neier, War Crimes, Brutality, Genocide, Terror and the Struggle for Justice, (New York: Times Books, 1988). Lihat Douglass Cassel, op. cit., hlm. 221.
8
Studi Kasus: Pengalaman Afrika Selatan23
No government can forgive; No commission can forgive; And I am not ready to forgive24
Seperti terungkap dalam kutipan di atas, pemberian amnesti di Afrika Selatan juga mendapat sorotan yang tak kalah tajamnya. Tetapi berbeda dengan amnesti di negaranegara Amerika Latin, di Afrika Selatan amnesti diberikan secara individual berdasarkan permohonan pelaku. Bukan diberikan secara umum. Selain itu, korban atau keluarganya (seperti terlihat dalam kutipan di atas) dapat menolak amnesti yang diberikan kepada seorang pelaku melalui sarana hukum yang tersedia di sana. Sub-bab ini akan memaparkan secara spesifik praktik amnesti yang diberikan di sana. Berbeda dengan amnesti di negara-negara Amerika Latin yang diberikan langsung oleh pemerintah tanpa proses pengungkapan kebenaran, di Afrika Selatan proses pemberian amnesti dilakukan di bawah otoritas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) – yang memang dibentuk untuk menyelesaikan pelanggaran berat hak asasi manusia di masa apartheid. Lembaga itu diberi kewenangan untuk menyelidiki dan memutuskan permohonan amnesti yang diajukan oleh pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Amnesti hanya diberikan setelah yang bersangkutan mengakui dan mengungkapkan secara jujur kebenaran atas pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukannya. Tanpa pengakuan yang jujur, maka amnesti tidak akan diperoleh oleh yang bersangkutan. Amnesti yang diterapkan di Afrika Selatan boleh dikatakan merupakan amnesti terbatas, bukan amnesti umum (blanket amnesty). Amnesti tersebut hanya diberikan pada pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang bermotif politik, yaitu ditujukan pada orang-orang: (i) anggota suatu organisasi politik yang telah dikenal secara umum atau anggota gerakan pembebasan; (ii) pegawai atau anggota “pasukan keamanan” negara yang mencoba membalas atau melawan perjuangan yang dilakukan oleh anggota suatu 23
24
Uraian pada sub-bagian ini didasarkan pada hasil diskusi, terutama dengan Denzil Potgieter (Komisioner untuk amnesti KKR Afrika Selatan) dan Vincent Saldanha, pengacara HAM Afrika Selatan, selama kunjungan saya ke Afrika Selatan. Dikutip dari Carla Hesse & Robert Post, “Introduction” dalam Human Rights in Political Transitions (New Yor: Zone Book, 1999), hlm. 17.
9
partai politik atau gerakan pembebasan; (iii) pegawai atau anggota pasukan keamanan negara yang terlibat dalam suatu pergulatan politik melawan negara (atau bekas-negara); dan (iv) setiap orang yang terlibat dalam usaha kudeta atau percobaan kudeta. Latar belakang politik menjadi faktor yang menentukan apakah permohonan amnesti seseorang diterima dan kemudian diperiksa oleh Komite Amnesti. Komite Amnesti merupakan salah satu dari tiga sub-komite yang terdapat dalam KKR Afrika Selatan. Sub-komite inilah yang memiliki kewenangan menerima dan memeriksa permohonan amnesti yang diajukan oleh para pelaku. Ada sekitar 7.124 permohonan amnesti yang telah diterima Komite Amnesti, yang sebagian besar ditolak berdasar pemeriksaan administratif karena tidak memenuhi persyaratan. Bagi yang permohonannya diterima, selanjutnya akan menjalani pemeriksaan yang teliti untuk menguji kebenaran atas pengakuan yang mereka berikan. Bagi kasus-kasus tertentu, pemeriksaan dilakukan secara terbuka melalui suatu panel dengar pendapat (hearing). Dalam proses ini paling tidak hadir tiga orang anggota dan dipimpin seorang hakim pengadilan tinggi. Bukti-bukti berupa pernyataan diperlakukan sebagai subjek untuk pembuktian timbal-balik. Semua pihak yang dianggap terlibat diberitahukan tentang dengar pendapat ini, dan semuanya mempunyai hak untuk hadir dan berpartisipasi. Dalam beberapa kasus tertentu, KKR menyediakan bantuan hukum. Panel dengar pendapat itu diselenggarakan di tempat yang disepakati pihak-pihak yang terlibat, dan bersifat terbuka bagi publik dan media baik cetak maupun elektronik. Komite Amnesti mengambil putusan berdasarkan suara mayoritas panel, dan kemudian diumumkan kepada publik. Putusannya tidak dapat dibanding karena memang tidak disediakan prosedur untuk itu. Tetapi ia masih bisa ditentang melalui Mahkamah Konstitusi, sebuah badan peradilan tertinggi yang menangani masalah-masalah berkaitan dengan konstitusionalitas sebuah undang-undang. Korban atau keluarganya, yang tidak puas dengan keputusan amnesti, dapat menantang konstitusionalitas undang-undang yang membetuk KKR tersebut di hadapan Mahkamah Konstitusi – seperti dalam kasus Steven Biko.25 Menarik kita singgung pula di sini bagaimana putusan Mahkamah Konstitusi dalam kasus ini, yang ternyata menolak tuntutan keluarga Steven Biko. Alasannya adalah
10
pemberian amnesti itu merupakan keperluan bagi konsolidasi demokrasi. Selain itu, hakim konstitusi juga menganggap undang-undang tersebut sesuai dengan Protokol Kedua Konvensi Jenewa tahun 1949 yang menyatakan, “… pada akhir permusuhan, para pejabat yang memegang kekuasaan harus berusaha memberikan amnesti seluas mungkin kepada orang-orang yang terlibat dalam konflik bersenjata.”
Kompatibilitas Amnesti dengan Hukum Internasional
Uraian panjang lebar pada sub-bagian-sub-bagian sebelumnya akhirnya mengantar kita pada pertanyaan yang menjadi pokok kontroversi dari isu pemberian amnesti tersebut. Pertanyaan itu adalah: Apakah praktik pemberian amnesti itu sejalan (compatible) dengan hukum internasional? Tidakkah pemberian amnesti itu merupakan pengingkaran terhadap prinsip tanggung jawab negara (state responsibility) berdasarkan hukum internasional? Atau dapatkah kita katakan bahwa praktik pemberian amnesti itu sebagai bentuk derogation (pengurangan) yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional? Tanpa berpretensi dapat menjawab dengan tuntas pertanyaan-pertanyaan itu, sub-bab ini berusaha mengarahkan pembahasan pada jawaban atas pertanyaan tersebut. Sejak dibentuk pengadilan internasional tentang kejahatan perang di Nuremberg (yang dikenal dengan Nuremberg Trial) setelah Perang Dunia II, telah berkembang dalam hukum internasional konsep tentang kewajiban negara untuk melakukan pengusutan (to investigate) dan penghukuman (to prosecute) terhadap pelaku kejahatan internasional yang serius, seperti genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity), dan kejahatan perang (war crimes) – yang sekaligus merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia. Dalam konteks kewajiban tersebut termasuk pula di dalamnya kewajiban untuk memberikan restitusi atau kompensasi terhadap para korban. Kini terdapat banyak sekali perjanjian-perjanjian multilateral HAM (treaty-based sources) yang memberikan kerangka hukum bagi kewajiban tersebut, selain yang berasal dari
25
Pembahasan yang kritis terhadap kaitan antara kewjiban internasional dengan amnesti dalam konteks Afrika Selatan dapat dilihat pada kajian Greme Simpson, “South Africa’s Truth and Reconciliation Commission; Some Lesson for Societies in Transition”, paper tidak dipublikasikan.
11
hukum kebiasaan internasional (customary international law).26 Di samping itu, kewajiban negara tersebut juga terdapat di dalam hukum humaniter internasional. Kewajiban internasional tersebut dengan demikian bersifat imperatif bagi setiap negara. Setiap negara tidak dapat mengelak dari kewajiban tersebut, kalau tidak ingin dikatakan melanggar hukum internasional. Seperti dikatakan oleh Rwelamira27 – seorang pengacara hak asasi manusia Afrika Selatan, di bawah ini: “… kegagalan menghukum pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia bukan hanya pelanggaran terhadap hukum internasional, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak korban — yang tidak saja butuh mengetahui apa sebetulnya yang terjadi terhadap mereka atau keluarganya, tetapi juga dapat menuntut pemulih hak-hak mereka kepada pelaku.”
Dengan uraian ringkas di atas menjadi jelas kiranya, bahwa tidak terdapat kompatibilitas antara kewajiban yang dipikulkan oleh hukum internasional pada setiap negara dengan kebijakan pemberian amnesti. Perkembangan dalam praktik belakangan ini juga menunjukkan hal serupa, yakni semakin meningkat kecenderungan badan-badan HAM PBB dan badan-badan hak asasi manusia regional mengecam pemberian amnesti, termasuk amnesti yang diberikan oleh pemerintahan transisi. Saya ingin mengambil salah satunya, yaitu putusan yang dibuat Komisi Hak Asasi Manusia Antar-Amerika (InterAmerican Commission) terhadap praktik amnesti yang melanda kawasan negara Amerika Latin. Menurut putusan komisi tersebut, amnesti-amnesti yang diberikan oleh pemerintah Argentina, El Salvador dan Uruguay paling tidak telah melanggar tiga kewajiban negara berdasarkan Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia (American Convention). Pertama adalah melanggar kewajiban negara untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia; kedua adalah melanggar kewajiban negara untuk menyediakan pengadilan yang adil; dan ketiga adalah melanggar hak-hak korban untuk mendapatkan pemulihan.28 Tetapi apakah kewajiban internasional tersebut harus selalu dipahami demikian? José Zalaquett, mantan pengacara HAM Amnesti Internasional berkebangsaan Chili, mengajukan pendapat yang berbeda berkaitan dengan kewajiban internasional tersebut.
26
27
Naomi Roht-Arriaza, “State Responsibility To Investigate and Prosecute Grave Human Rights Violation in International Law”, California Law Review, March, 1990. MR. Rwelamira, Punishing Past Human Rights Violations: Consideration in the South African Context, dalam Confronting Past Justice (Ed). MR. Rwelamira & G. Werle (Durban: Butterworths, Durban, 1996) hlm. 7.
12
Pada sebuah seminar yang disponsori oleh Aspen Institute, Pepe (panggilan akrab Zalaquett) mengemukakan ketidaksetujuannya dengan pandangan yang memberlakukan kewajiban internasional itu secara kaku. Marilah kita simak pandangannya seperti dalam kutipan di bawah ini: Secara prinsip pendekatan itu benar — sejauh itu berdasarkan pada kecenderungan bahwa setiap langkah dengan tujuan mencairkan tanggung jawab negara akan dapat memperlemah perlindungan terhadap HAM dan hukum internasional. Tetapi, sekalipun pertimbangan itu mendapat tempat terpenting dalam pikiran orang-orang yang mempunyai kepedulian tinggi kepada HAM, menetapkan standar-standar yang dipandang terlalu kaku dan tidak praktis, pada akhirnya juga dapat membawa akibat rusaknya hukum internasional. Dalam situasi transisi, pemerintah sering kali tidak memiliki kekuatan dalam melaksanakan banyak kewajiban positif yang berkaitan dengan pelanggaran berat HAM di masa lampau. Haruskah pemerintah berusaha melaksanakan kewajiban itu dengan menanggung risiko ditumbangkan oleh berbagai pihak yang tanggung jawabnya sedang diselidiki? Siapa yang harus menghakimi apabila suatu pemerintah sebaliknya benar-benar kekurangan kekuatan, kemauan atau kebijakan yang dibutuhkan?29
Dengan argumen itu Pepe ingin menunjukkan keperluan tentang betapa pentingnya mempertimbangkan konteks khusus masing-masing negara dalam rangka memikul kewajiban internasional.30 Pemberlakuan prinsip itu tidak bisa dipukul rata begitu saja terhadap semua negara. Jika suatu negara memang secara faktual tidak memiliki kemampuan melaksanakan kewajiban tersebut (seperti yang dialami negaranegara yang sedang menghadapi transisi), maka kewajiban internasional tersebut tidak dapat diterapkan secara kaku kepada negara tersebut. Kondisi-kondisi faktual yang dihadapi pemerintahan transisi tidak dapat diabaikan begitu saja dalam memandang kewajiban yang dikenakan oleh hukum internasional.31 Membutakan mata terhadap realitas objektif yang dihadapi suatu negara, itu artinya sama saja dengan menggiring 28
29
30
31
Untuk pembahasan yang mendalam tentang putusan-putusan Komisi Anter-Amerika dan Pengadilan Regional Hak Asasi Manusia Anter-Amerika, lihat pembahasan Douglass Cassel, op. cit., lihat catatan kaki no. 13. José Zalaquett, Confronting Human Rights Violation Committed by Former Governments: Principles, Applicable and Political Constraints, dalam Aspen Istitute, State Crime: Punishment or Pardon, 1989 (Prosiding Konferensi). Argumentasi untuk konteks Argentina dikemukakan dengan baik oleh Carlos S. Nino, “The Duty to Punish Past Abuse of Human Rights Put Into Context: The Case of Argentine”, Yale Law Journal, 1991. Sedangkan argumentasi untuk konteks Afrika Selatan lihat Firoz Cachalia, “Human Rights in Transitional Situations: Toward a Policy Framework”, makalah tidak diterbitkan, 1992. Menarik untuk diungkap di sini upaya yang telah dilakukan Diannel F. Orentlikcler. Setelah berupaya keras menunjukkan bahwa ada kewajiban untuk menghukum kejahatan tertentu di bawah hukum internasional, akhirnya mengakui rangkaian tindakan semacam itu akan membawa suatu negara ke dalam kekerasan atau menghancurkan transisi embrional ke arah demokrasi. Ia menyarakan agar kewajiban tersebut diperlembut dengan perimbangan-pertimbangan lain. Lihat, Dianne F. Orentlicker, “Settling Accounts: the Duty to Prosecute Human Rights Violation of a Prior Regime”, Yale Law Journal, 1991.
13
negara tersebut melakukan “bunuh-diri politik” (political suicide) demi memenuhi kewajiban internasional, yang justru dapat bertentangan dengan prinsip dalam hukum internasional.32 Menurut Naomi Arriaza,33 realitas objektif yang dihadapi masing-masing negara transisional itu dapat diletakkan dalam konteks “public emergency” – sebagaimana diatur pada pasal 4 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Dalam pasal itu dikatakan, negara diperbolehkan mengurangi (derogation) sebagian dari kewajiban internasionalnya karena menghadapi emergency, tetapi dengan syarat harus ditetapkan dengan hukum, dan sesuai dengan kebiasaan dalam suatu masyarakat yang demokratis. Itu artinya pemberian amnesti tidak selalu harus dipandang sebagai sesuatu yang inkonsisten atau incompatible dengan hukum internasional. Komisi Hak Asasi Manusia Antar-Amerika pada tahun 1986 telah mengeluarkan suatu panduan umum mengenai tanggung jawab pemerintahan demokratis dalam rangka melakukan penyelidikan dan penghukuman terhadap pelanggaran hak asasi manusia pada masa rezim sebelumnya,34 yang membolehkan pemberian amnesti dengan syarat-syarat tertentu. Pertama, pemberian amnesti hanya absah secara hukum apabila diputuskan oleh institusi-institusi yang dipilih secara demokratis (parlemen). Amnesti oleh negara kepada aparatnya sendiri (self-amnesty) bukan amnesti yang absah. Kedua, amnesti yang diputuskan secara demokratis tidak meniadakan penyelidikan, sebab masyarakat dan korban atau keluarganya berhak untuk mengetahui kebenaran (right to know the truth). Setiap masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan kebenaran tentang kejadian di masa lalu, sebab-musababnya dan motivasi politik yang melatarbelakanginya, agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan. Ketiga, amnesti tidak boleh menghambat atau membatasi secara substantif hak korban atau mereka yang ditinggalkan untuk mendapatkan kompensasi yang layak. Dan, keempat, amnesti tidak boleh menghilangkan 32
33
34
Hal ini tidak sejalan dengan prinsip “suatu negara tidak harus melakukan bunuh diri politik dalam rangka melunaskan kewajiban internasionalnya,” yang telah diterima dalam hukum kebiasaan internasional. Lihat Naomi Roth-Arriaza, “Special Problem of a Duty to Prosecute: Derogation, Amnesties, Statutes of Limitation an Superior Orders”, dalam Impunity and Human Rights in International Law and Practise (New York: Oxford University Press, 1995), hlm. 57-70. Panduan itu berjudul “Areas in Which Steps Need to be Taken Toward Full Observance of the Human Rights Set Forth in the American Declaration on the Rights and Duties of Man and the American Convention on Human Rights” dalam Annual Report Inter-America Commission on Human Rights, 1986.
14
kemungkinan korban berinisiatif atau ikut serta dalam penyelidikan pidana, paling tidak di negara-negara yang memiliki prosedur demikian. Uraian di atas menunjukkan bahwa amnesti tidak selamanya bertentangan dengan hukum internasional, khususnya dengan kewajiban negara untuk melakukan penyelidikan dan penghukuman terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia. Amnesti yang bertentangan dengan hukum internasional tertuju hanya pada amnesti yang diberikan secara blanket, yakni amnesti yang diberikan negara kepada aparatnya sendiri (selfamnesty). “Self-amnesty” tetap ditolak, karena memungkinkan negara mengadili sendiri kasusnya – yang merupakan pelanggaran terhadap prinsip “no one can be judged in his own suit”,35 yang terdapat dalam hukum internasional. Selain itu, amnesti yang demikian akan mengekalkan impunity.
Penutup
Keseluruhan uraian di muka menunjukkan, bahwa amnesti telah digunakan dalam rangka memuluskan proses transisi ke demokrasi. Pemberian amnesti tidak terelakkan atau merupakan suatu necessary evil dalam konteks transisi politik, khususnya di negara yang proses transisinya dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan politik rezim yang lalu. Ibarat memakan buah simalakama, pilihannya adalah menyelamatkan demokrasi (tetapi harus memberikan amnesti) atau mengajukan ke pengadilan dengan risiko kembali ke sistem politik otoriter? Tulisan ini telah menunjukkan bagaimana dilema itu diatasi oleh pemerintahanpemerintahan transisi di beberapa negeri. Dari uraian itu dapat kita tarik seuntai kesimpulan berikut ini. Amnesti merupakan pilihan kebijakan yang mungkin di tengah situasi ketidakmampuan faktual negara yang sedang menghadapi transisi dalam menjalankan kewajiban internasionalnya untuk menghukum pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia. Amnesti dengan demikian tidak selalu harus dilihat sebagai bertentangan dengan hukum internasional, khususnya bila pemberian amnesti itu
35
Putusan Mahkamah Internasional pada tahun 1925 dalam perkara, frontier between Iraq and Turkey Case, telah menggunakan prinsip terkenal ini.
15
merupakan pilihan dari situasi “emergency” yang dihadapi suatu negara. Dalam situasi ini, hukum internasional tidak mengharuskan suatu negara melunaskan kewajiban internasionalnya jika hal itu dapat menyebabkan negara tersebut melakukan bunuh-diri politik. Amnesti harus diberikan di bawah syarat-syarat tertentu, tidak diberikan secara blanket. Tetapi untuk kejahatan-kejahatan yang merupakan musuh seluruh umat manusia (hostes humani generis) seperti kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida, amnesti tidak diperbolehkan.(*)
16
Senarai Pustaka
Agger, I. dan S.B. Jensen. 1990. “Testimony as Ritual and Evidence in Psychotheraphy for Political Refugees” dalam Journal of Traumatic Stress 3. Ahmad, Aijaz. 1992. In Theory, Classes, Nations, Literature, New York: Verso. Amnesty Internasional. 1977. “Torture in Greece: The First Torturer’s Trial 1975”, London: Amnesty International. Anderson, Benedict. April 1987. “How Did The Generals Die?”, Indonesia 43. Arendt, Hannah. 1998. The Human Condition. Chicago: The University of Chicago Press. Aristoteles. 1976. Ethics, Penguin Classics. Baird, Jay A. 1972. “Pengantar” untuk From Nuremberg to My Lai, Lexington: D.C Heath. Ball, Patrick, Paluk Kobrak, dan Herbert F. Spirer. 1999. State Violence in Guatemala, 1960 – 1996: A Quantitative Reflection. Centro Internacional para Investigaciones en Derechos Humanos, CIIDH. Banawiratma, J.B. dan Mueller, J. 1999. “Contextual Social Theology. An Indonesian Model”, EAPR Vol. 36 No.1-2. Manila: EAPI. Bassiouni, Cherif. 1996. “International Crimes: Jus Cogens and Obligatio Erga Omnes,” 4 Law and Contemporary Problems 59. Bassiouni, M. Cherif. 1996. “Searching for Peace and Achieving Justice: The Need for Accountability”. 59 Law and Contemporary Problems 4. Bassiouni, M. Cherif. Autumn 1996. “International Crimes: Jus Cogens and Obligatio Erga Omnes”, dalam 59 Law and Contemporary Problems 4. Blum, William. 1996. Killing Hope, US Military and CIA Interventions since World War II. Montroe, Maine: Common Courage Press. Boraine, Alex. July 20, 1999. “Justice in Catalycsm: Criminal Tribunals in the Wake of Mass Violence”, Speech. Bouvard, Marguerite Guzman. 1994. Revolutionizing Motherhood, the Mothers of the Plaza de Mayo. Wilmington: SR Books. Bronkhorst, Daan. 1995. Truth and Reconciliation, Obstacles and Opportunities for Human Rights. Amsterdam: Amnesty International Dutch Section. Budiman, Arief (ed.). State and Civil Society in Indonesia, Clayton: Monash University. Budiman, Arief. 2000. “Krisis 1998: Perubahan dan Kontinuitas di Indonesia,” dalam Harapan dan Kecemasan: Menatap Arah Reformasi Indonesia, Yogyakarta, Bigraf Publishing. Buergenthal, Thomas. Oktober 1994. “The United Nations Truth Commission for El Salvador”, Vanderbilt Journal of Transnational Law.
Cachalia, Firoz. 1992. “Human Rights in Transitional Situations: Toward a Policy Framework”. makalah tidak diterbitkan. Camara, Dom Helder, 1979. Circle of Violence. London: Sheed & Ward. Camus, Albert. 1999. Mite Sisifus, Pergulatan dengan Absurditas (terj. Apsanti D.), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Cassel, Douglass. 1996. “Lesson from the Americas: Guidelines for International Response to Amnesties for Atrocities,” dalam 4 Law and Contemporary Problems 59. Cassese, Antonio. 1994. Hak Asasi Manusia di Dunia yang Berubah, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Connerton, Paul. 1989. How Societies Remember. Cambridge: Cambridge University Press. Cribb, Robert. 1990. Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949: Pergulatan antara Otonomi dan Hegemoni. Dieterjemahkan oleh Hasan Basari dari teisi Ph.D., Jakarta in the Indonesian Revolution, 1945-1949. Jakarta: Grafiti Pers. Crouch, Harold. 1978. The Army and Politics in Indonesia. Ithaca, NY: Cornell University Press. Crouch, Harold. 1999. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Decaux, Emmanuel. 1993. International Law and National Experiences. International Commission of Jurist: Prosiding Konferensi. Diamond, Larry et al.. 1997. Consolidating the Third Wave Democracies: Themes and Perpectives. Baltimore: The John Hopkins University Press. Dorris, Jonathan T. 1977. Pardon and Amnesty under Lincoln and Johnson: The Restoration of Confederates to Their Rights and Privileges, 181-1898. Westport, Conn: Greenwood Press. Drinan, Robert F. 1987. Cry of the Oppressed, History and Hope of the Human Rights Revolution. Harper Collins. Evans, Robert A. dan Alice Frazer Evans. 1983. Human Rights, A Dialog Between the First and Thirld World. Maryknoll, New York: Orbis Books. Farid, Hilmar. 2000. “Mereka yang Coba Dilumpuhkan: Ekonomi Politik Kekerasan dan Korban di Indonesia”. Makalah disampaikan dalam Workshop on Violence Conflict in Indonesia: Analysis, Representation, Resolution. University of Melbourne, 6-7 Juli. Frost, Brian. 1998. Struggling to Forgive. Harper Collins Pub. Gilligan, C. 1982. In a Different Voice. Cambridge, MA: Harvard University Press. Girard, René. 1978. Violence and the Sacred (penerjemah P. Gregory) Baltimore: John Hopkins University Press. Goldman, Robert G. 1993. Amnesty Laws and International Law: A Spesific Case. International Commission of Jurist, Prosiding Konferensi. Guatemala Memory of Silence, Tz’inil na ‘tab’al, Report of the Commission for Historical Clarification, Conclusion and Recommendations.
Harris, D.J. 1991. Cases and Materials on International Law, 4th Ed. London: Sweet & Maxwell. Hayner, Priscilla B. “Fifteen Truth Commission, 1974-1994”, Human Right Quarterly. Henkin, Louis dan John Lawrence Hargrove (Ed). 1994. “Human Right: An Agenda for the Next Century”, Studies in Transnational Policy No. 26. Washington D.C.: the American Society of International Law. Henry J.Steiner and Philip Alston (Eds.), Human Rights in Context Law, Politics, Morals, Clarendon Press, Oxford, 1996. Herman, Judith. 1992. Trauma and Recovery. New York: Basic Books. Hesse & Post (eds.). 1999. Human Rights in Political Transition: Gettysburg to Bosnia. NY: Zone Book. Hesse, Carla & Robert Post. 1999. Human Rights in Political Transitions. New Yor: Zone Book. Heyner, Priscilla B. 2001. The Unspeakable Truth: Confronting State Terror and Atrocity, NY: Roudtledge. Hobsbawm, Eric. 1998. The Age of Extreme, Short Story of Twentieth Century. London: Penguin. Hollenbach, David. 1979. Claims in Conflict, Retrieving and Renewing the Chatolic Human Rights Tradition. New York: Paulist Press. Hook, Bell. 1984. Feminist Theory from Margin to Center, Boston: South End Press. Hosteettler, John. 1931. The Politics of Punishment. Chichester: Barry Rose Law Pub. Huijbers, Theo. 1982. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah.Yogyakarta: Kanisius. Human Rights Watch. “The Right to Know the Truth Concerning Gross Human Rights Violation”, draft, tanpa tahun. Huntington, Samuel P. 1991. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Cambridge: Cambridge University Press. Huntington, Samuel P. 1995. Gelombang Ketiga Demokratisasi. Jakarta: Grafiti Press. Isasi-Diaz, Ada Maria dan Katie Geneva Cannon et al. (Eds.) 1995. Inheriting Our Mother’s Garden, Feminist Theology in Third World Perpspective. Westminster: John Knox Press. Jackson, Karl D. dan Lucian W. Pye (ed.). 1978. Political Power and Communication in Indonesia. Berkeley: University of California Press. Jayni Edelstein, Rights, Reparations and Reconciliation, Some Comparative Notes, makalah July 27, 1994, Centre for the Study of Violence and Reconciliation, Johannesburg, South Africa. Joel Feinberg (ed.). 1988. Reason and Responsibility. Belmont California: Wadsworth Pub. Kohlberg, L. 1981. The Philosophy of Moral Development; Moral Stages and the Idea of Justice. San Francisco: Harper & Row. Komisi Kebenaran Argentina. 1986. Nunca Más. NY: Farrar Straus Giroux.
Krieger, Joel (ed.). 1993. Oxford Companion to Politics of the World. Oxford: Oxford University Press. Kritz, Neil J. (Ed). 1999. Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Regime Vol I – III. Washington DC: United State Institute of Peace. Kundera, Milan. 1980. The Book of Laughter and Forgetting. New York: Knopf. Langer, Lawrence L. 1995. Admiting the Holocaust. New York: Oxford University Press. Levinas, Emanuel. 1969. Totality and Infinity: An Essay on Exteriority (terj. Alphonso Lingis) Pittsburgh: Duquesne University Press. Lewis, C.S. 1970. “The Humanitarian Theory of Punishment” dalam God in the Dock. London: Curtis Brown. MacFarling, Ian. February 1996. The Dual Function of the Indonesian Armed Forces, Canberra: Australia Defence Studies Centre. Magnis-Suseno, Franz. 1999. Etika Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Malamud-Goti, Jaime. 1990. Transitional Governments in the Breach: Why Punish State Criminal. Masudi, Masdar F. 1997. Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, Dialog Fiqih Pemberdayaan. Bandung: Mizan. McAdams, James (ed). 1997. Transitional Justice and the Rule of Law in New Democracies, University of Notre Dame Press. Mendez, Juan E. 1997. “Accountability for Past Abuses”. Human Rights Quarterly 19. Meninger, Karl. 1968. “The Crime of Punishment”, Saturday Review. Meredicth, Martin. 1999. Coming to Terms. New York: Public Affairs. Minow, Martha. 1998. Facing History after Genocide and Mass Violence: Between Vengeance and Forgiveness. Boston: Beacon Press. Mollica, Richard. 1988. “The Trauma Story Care of Refugee of Survivors of Violence and Torture” dalam Post-Traumatic Therapy and Victims of Violence (penyunting F. Ochberg). New York: Brunner. Moore, Kathleen D. 1989. Pardons: Justice, Mercy, and Public Interest. Murphy, Jeffrey & Jean Hampton. 1988. Forgiveness and Mercy. New York: Cambridge University Press. Neier, Aryeh. February 1, 1990. “What should be done about the guilty?” The New York Review of Books. Neier, Aryeh. 1998. War Crimes, Brutality, Genocide, Terror and the Struggle for Justice, New York: Times Books. Nino, Carlos. 1991. “The Duty to Punish Past Human Rights Abuses of Human Rights Put Into Contexts: The Case of Argentina”. The Yale Law Journal 100. Nordholt, Henk Schulte. 2002. “A Genealogy of Violence” dalam F.Colombijn and Th. Lindblad (eds), Roots of Violence in Indonesia. Leiden: KITLV Press. Nuttall, Sarah & Carli Coetzee. 1998. Negotiating the Past. Cape Town: Oxford University Press.
O’Donnell, Guillermo, Philippe C. Schmitter, dan Laurence Whitehead (eds.). 1993. Transisi Menuju Demokrasi: Tinjauan Berbagai Perspektif, terj. Ade Armando dan Widjanarko S. Jakarta: LP3ES. O’Murchu, Diarmuid. 1997. Quantum Theology, Spritiual Implica, National Book Network Inc. Observasi, Sarasehan Postur Kekuatan Hankamneg, Bandung, 11-12 Mei 1999. Orentlicher, Dianne F. 1999. “Settling Accounts: The Duty to Prosecute Human Rights Violation of a Prior Regime”. The Yale Law Journal 100. Oswald, Martin. 1986. From Popular Sovereignty to the Sovereignty of the Law: Law, Society, and Politics in Fifth Century Athens. Berkeley: University of California Press. Parlevliet, Michelle. 1998. “Considering Truth: Dealing with a Legacy of Gross Violations Human Rights”, Netherlands Quarterly of Human Rights 16. Pieris, Aloysius. 1988. An Asian Theology of Liberation. Maryknoll, New York: Orbis Books. Pieris, Aloysius. 1996. Fire and Water, Basic Issues in Asian Budhism and Christianity. Maryknoll, New York: Orbis Books. Ratner, Steven R. & John S. 1989. Abrahams. Accountability for Human Rights Atrocities in International Law. Clarendom Press. Rawls, John. 1955. “Two Concepts of Rules”. Philosophical Review LXIV, bagian “Punishment”. Rizki, Rudi M. 1993. Indonesia and the UN Convention against Torture, thesis diajukan sebagai persyaratan untuk meraih gelar Master of Law (LL.M.) pada University of Melbourne. Robertson, Geofrey. 1999. Crimes Against Humanity: The Struggle for Global Justice. Middlesex: The Penguin Press. Roht-Arriaza, Naomi ed. 1995. Impunity and Human Rights in International Law and Practice. New York: Oxford University Press. Roht-Arriaza, Naomi. Maret 1990. “State Responsibility To Investigate and Prosecute Grave Human Rights Violation in International Law”, California Law Review 78. Russel, Bertrand. 1969. Speech to First Meeting of Members of the War Crimes Tribunal, November 13th, 1966, dari Autobiography Vol. III, London: Allen & Unwin. Rwelamira, M.R. & G Werle. 1996. Punishing Past Human Rights Violations: Consideration in the South African Context, dalam Confronting Past Justice. Durban: Butterworths, Durban. Samego, Indria et al. 1997. Bila ABRI Menghendaki. Bandung: Penerbit Mizan. Sangster, Kirsty. 1999. “Truth Commissions: The Usefulness of Truth-telling”, 5 Aust Journal for Human Rights 1. Scott, Peter Dale. 2000. Kudeta Angkatan Darat. Jakarta: Teplok Press. Shaw, M.N. 1986. International Law. Grotius Publication Limited (2nd Edition).
Sherman, Charles I. (ed.). 1937. Treatise of Civil Government. New York: AppeltonCentury Crofts Inc., (dari Second Treatise). Siegel, Richard L. 1998. “Transitional Justice: A Decade of debate and Experience”, Human Rights Quarterly 20. Simpson, Graeme. 1998. Tell No Lies, Claim No Easy Victory. makalah dalam konferensi Dealing with Apartheid and the Holocaust.Yale Law School. Stumph, Samuel Enoch. 1971. “Utilitarianism of Bentham and Mill” dalam Philosophy History and Problem. New York: McGraw-Hill. Teitel, Ruti G. 2000. Transitional Justice, NY: Oxford University Press. Tutu, Desmond. 1999. No Future Without Forgiveness. London: Rider. U.S. Chatolic Bishops. 1986. “Economic Justice for All”, Pastoral Letter on Catholic Social Teching and the U.S. Economy. Weschler, Lawrence. 1990. A Micrale, A Universe: Settling Account with Tortures. New York: Pantheon Book. Wilde, Alexander. April 3-5, 1998. “A Conspiracy of Consensus: Chile’s Transitional Democracy”, makalah seminar Legacies of Authoritarianism: Cultural Production, Collective Trauma and Global Justice, Madison, University of Wisconsin. Wolff, Naomi. 1993. Fire with Fire. London: Chatto & Windus. Yudhoyono, Susilo Bambang. 1999. “Peran ABRI Pasca-Pemilu 1999”, Widya Dharma. Edisi Khusus. Bandung: SESKOABRI. Zalaquett, Jose. 1989. “Confronting Human Rights Violations Committed by Former Government” dalam State Crime: Punishment or Pardon. Aspen Institute (Prosiding Konferensi). Zalaquett, José. 1992. “Balancing Ethical Imperative and Political Constraints: The Dilemma of New Democracies Confronting Past Human Rights Violations”, Hasting Law Journal 43.
Keterangan Singkat tentang Para Penulis
Ifdhal Kasim, Direktur Eksekutif ELSAM. J.B. Banawiratma, Teolog, dosen di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Driyarkara, Jakarta Karlina Leksono-Supelli, Ketua Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) Jakarta dan staf pengajar pasca-sarjana di Universitas Indonesia dan Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta. Yohanes da Masenus Arus, Senior Program Officer Bidang Advokasi OXFAM GB Yagyakarta. Rudi M. Rizki, Staf pengajar pasca-sarjana Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, dan staf ahli Institute for Democracy and Human Rights di The Habibie Center (THC). Agung Putri, Sosiolog, aktif di Jaringan Kerja Budaya (JKB), Jakarta, dan menjadi Koordinator Program Penyelesaian Pelangaran HAM Masa Lalu di ELSAM. Asvi Warman Adam, Peneliti Senior LIPI. Dhaniel Dhakidae, Direktur Litbang Kompas Kusnanto Anggoro, Peneliti Senior di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan staf pengajar pasca-sarjana di Universitas Indonesia, Jakarta.
Text Back Cover Tegak di tengah riuh reformasi, di mana isu demokrasi dan hak asasi manusia menjadi primadona yang selama ini terpasung di “sarang penyamun”, kita pun berteriak lantang: keadilan harus ditegakkan! Yang salah harus dihukum! Pelaku pelanggaran hak asasi manusia harus diadili! Korban harus dipulihkan! Hukum harus diberdayakan! Demokrasi harus ditumbuhkan! Tetapi, keadilan, supremasi hukum, demokrasi, tidak akan bisa didirikan di atas fondasi yang ringkih. Keringkihan itu bersumber dari masa lalu yang gelap tak tersibak. Sejarah berjalan terus berdasarkan logika waktu dan alamiah. Tiada kata kembali. Tetapi, masa lalu sangat potensial dan bisa menjadi masa depan. Artinya, sejarah berjalan dalam rel pengulangan demi pengulangan. Itulah yang terjadi kalau kita tidak memberikan distingsi yang jelas dan tegas antara masa lampau, sekarang dan nanti. Oleh karena itu, masa depan seperti apa yang hendak kita gapai hanya akan jelas tergambar jika kita membedakannya dengan masa lampau. Maka, membongkar masa lampau jelas menjadi hal yang niscaya selain, suka tidak-suka, harus dilakukan. Buku ini memuat berbagai gagasan, ide, usulan, kritik, menyangkut penyelesaian pelanggaran, kekerasan dan kejahatan terhadap hak asasi manusia di masa lalu. Berbagai pemikiran tersebut menyasar pada gagasan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dipandang sebagai salah satu alternatif penyelesaian kekerasan masa lalu di bumi Indonesia ini. Diseminasi dan pematangan gagasan ini dilakukan melalui forum diskusi dan seminar, temu korban dan semacam public hearing. Tulisan-tulisan dalam buku ini merupakan antologi makalah dari beberapa pembicara dalam forumforum tersebut. Di antara beberapa hal penting yang dibahas dalam buku ini adalah soal konsep tanggung jawab negara berdasarkan perspektif hukum internasional. Selain itu, juga diuraikan tentang hak dasar berupa right to know the truth sebagai kerangka normatif pengungkapan kebenaran. Masalah normatif ini kemudian bertemu dengan realitas dilematis soal diberi atau tidaknya amnesti terhadap pelaku kejahatan masa lalu tersebut dalam suasana transisional. Penyingkapan dilema ini tidak untuk membuat kita mundur dan kecut, tetapi sebaliknya untuk membuat kita awas dan cermat. Sebab, bagaimanapun juga, kejahatan hak asasi manusia (masa lalu) telah menjadi keprihatinan global dan mondial; dalam perspektif politik dan hukumnya, telah menjadi keprihatinan internasional, dan dalam perspektif humanisme, telah menjadi keprihatinan universal. Singkat kata, buku ini layak diperhitungkan sebagai bacaan “penuntun jalan” dalam meneruskan perjuangan reformasi entah dalam situasi transisional maupun yang sudah berubah entah.