10
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Potensi Obyek Ekowisata a. Pengertian Potensi Berdasarkan
Kamus
Bahasa
Indonesia
pengertian
Potensi
adalah
“kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan atau sesuatu yang dapat menjadi aktual” (Yose Rizal SM, 1994: 308). Potensi ekowisata adalah kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dapat dikembangkan karena mempunyai daya tarik untuk dikunjungi dari sebuah obyek wisata alam. Potensi pariwisata juga bisa berarti obyek atau atraksi wisata yang memungkinkan untuk dipublikasikan, dipasarkan, dikelola serta dikembangkan menjadi sebuah tempat peristirahatan atau bersenang-senang dalam sementara waktu (recreation) dan dapat diambil manfaat dari obyek tersebut (Cholil, 2002: 14). Atraksi wisata merupakan dasar bagi pengembangan pariwisata. Jenis pariwisata yang akan dikembangkan serta segmen pasar yang mungkin diraih, ditentukan oleh potensi atraksi yang tersedia. Sentuhan aspek keindahan, keunikan dan kelangkaan obyek wisata alam karst di Pacitan Barat saat ini terbatas pada apa yang dimiliki oleh gua dan pantai yang merupakan atraksi yang menakjubkan. Nilai jual Goa Gong terletak pada keindahan speleotem di dalamnya, sementara Goa Tabuhan menjual nilai keunikan dan kelangkaan speleotem yang ada. Beberapa stalaktit di dalam Goa Tabuhan jika dipukul akan mengeluarkan nada instrumen gamelan tertentu. Dua obyek wisata luweng yaitu Luweng Jaran dan Luweng Ombo. Luweng Jaran menampilkan fenomena ornamental stalagtit dan stalakmit yang sangat menakjubkan. Ditambah lagi empat obyek wisata pantai andalan karst Pacitan Barat yaitu Pantai Nampu, Pantai Klayar, Pantai Srau dan Pantai Watu Karung. Masing-masing memiliki keunggulan sendiri-sendiri. Secara geologi pantai-pantai tersebut dicirikan banyaknya ”Stack”, yaitu bongkahan batuan di lepas pantai yang pembentukannya dipengaruhi oleh struktur sesar (Tim Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi dengan BAPPEDA Kabupaten Pacitan, 2001: 141-144). 10
11
b. Ekowisata Dalam bahasa Indonesia istilah ecotourism diterjemahkan menjadi “Ekowisata”, yaitu jenis pariwisata yang berwawasan lingkungan. Maksudnya, melalui aktivitas yang berkaitan dengan alam, wisatawan diajak melihat alam dari dekat, menikmati keaslian alam dan lingkungannya sehingga membuatnya tergugah untuk mencintai alam. Semua ini sering disebut dengan istilah Back-To-Nature. Berbeda
dengan
pariwisata
yang
biasa
kita
kenal,
ekowisata
dalam
penyelenggaraannya tidak menuntut tersedianya fasilitas akomodasi modern atau glamour yang dilengkapi dengan peralatan yang serba mewah atau bangunan artifisial yang berlebihan. Pada dasarnya, ekowisata dalam penyelenggaraannya dilakukan dengan kesederhanaan, memelihara keaslian alam dan lingkungan, memelihara keaslian seni dan budaya, adat istiadat, kebiasaan hidup (The Way of life), menciptakan ketenangan, kesunyian, memelihara flora dan fauna, serta terpeliharanya lingkungan hidup sehingga tercipta keseimbangan antara kehidupan manusia dengan alam sekitarnya (Yoeti, Oka A.2000: 35-36). Jadi, ekowisata bukan jenis pariwisata yang semata-mata menghamburkan uang atau pariwisata glamour, melainkan jenis pariwisata yang dapat meningkatkan pengetahuan, memperluas wawasan, atau mempelajari sesuatu dari alam, flora dan fauna, atau sosial budaya etnis setempat. Dalam ekowisata ada empat unsur yang dianggap amat penting, yaitu unsur pro-aktif, kepedulian terhadap pelestarian lingkungan hidup, keterlibatan penduduk lokal, dan unsur pendidikan. Wisatawan yang datang tidak semata-mata untuk menikmati alam sekitarnya tetapi juga mempelajarinya sebagai peningkatan pengetahuan (.Yoeti, Oka A 2000: 36). Dikemukakan juga oleh Oka A. Yoeti (2000: 36) bahwa Emil Salim (1991) memberikan batasan tentang ekowisata yaitu pariwisata yang berwawasan lingkungan dan pengembangannya selalu mempertimbangkan keseimbangan nilainilai. Oleh karena itu, kata Emil Salim, lingkungan alam dan kekayaan budaya adalah aset utama pariwisata Indonesia yang harus dijaga agar jangan sampai rusak atau tercemar.
12
Menurut Oka A. Yoeti (2000: 37-38) Batasan tentang ekowisata juga diberikan oleh beberapa organisasi pakar, atau organisasi luar negeri seperti yang dijelaskan sebagai berikut: 1) Australian Natinal Ecotourism Strategy, 1994: Ekowisata adalah wisata berbasis alam yang berkaitan dengan pendidikan dan pemahaman lingkungan alam dan dikelola dengan prinsip berkelanjutan. 2) Alan A. Leq, The Ecotourism Market in The Asia Pasific Region, 1996: Ekowisata adalah kegiatan petualangan, wisata alam, budaya, dan alternatif yang mempunyai karakteristik : a) Adanya pertimbangan yang kuat pada lingkungan dan budaya lokal. b) Konstribusi positif pada lingkungan dan sosial ekonomi lokal. c) Pendidikan dan pemahaman, baik untuk penyedia jasa maupun pengunjung mengenai konservasi alam dan lingkungan. 3) Hector Cebollos Lascurain, 1987: Ekowisata adalah wisata ke alam perawan yang relatif belum terjamah atau tercemar dengan tujuan khusus mempelajari, mengagumi, serta perwujudan bentuk budaya yang ada di dalam kawasan tersebut. 4) Linberg and Harkins, The Ecotourism Society, 1993: Ekowisata adalah wisata alam asli yang bertanggung jawab menghormati dan melestarikan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal. Kalau kita simpulkan dari batasan yang dikemukakan di atas, maka dapat memberikan batasan yang lebih sederhana, bahwa “Ekowisata adalah suatu jenis pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan aktivitas melihat, menyaksikan, mempelajri, mengagumi alam, flora dan fauna, sosial dan budaya etnis setempat, dan wisatawan yang melakukannya ikut membina kelestarian lingkungan alam di sekitarnya dengan melibatkan penduduk lokal” (Oka A. Yoeti, 2000: 37-38 ). Dari definisi di atas dapat diidentifikasi beberapa prinsip ekowisata (TIES 2002, dalam Janianton Damanik dan Helmut F. Weber, 2006: 39-40) yakni sebagai berikut : 1) Mengurangi dampak negatif berupa kerusakan atau pencemaran lingkungan dan budaya lokal akibat kegiatan wisata.
13
2) Membangun kesadaran dan penghargaan atas lingkungan dan budaya di destinasi wisata, baik pada diri wisatawan, masyarakat lokal maupun pelaku wisata lainnya. 3) Menawarkan pengalaman-pengalaman positif bagi wisatawan maupun masyarakat lokal melalui kontak budaya yang lebih intensif dan kerjasama dalam pemeliharaan atau konservasi ODTE. 4) Memberikan keuntungan finansial secara langsung bagi keperluan konservasi melalui kontribusi atau pengeluaran ekstra wisatawan. 5) Memberikan keuntungan finansial dan pemberdayaan bagi masyarakat lokal dengan penciptaan produk wisata yang mengedepankan nilai-nilai lokal. 6) Meningkatkan kepekaan terhadap situasi sosial, lingkungan dan politik di daerah tujuan wisata. 7) Menghormati hak asasi manusia dan perjanjian kerja. Ekowisata merupakan suatu kegiatan wisata yang memanfaatkan sumbersumber alam atau daerah-daerah yang relatif belum berkembang (sekaligus dengan budaya aslinya) dengan bercirikan sebagai berikut; mempromosikan konservasi alam, memberikan dampak sedikit mungkin terhadap lingkungan serta memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat (Ceballos-Lascurain 1996, dalam Diyah B. E. 2008: 2) Isu ekowisata yang sedang berkembang tersebut, dilandasi suatu rumusan definisi (Boo, 1991: 54 dalam Dawi, 2003: 1) yang berbunyi: Nature of ecotourism is that consist in travelling to relatively understrurb of contaminated natural area with spesific objective of studying, admiring, enjoying, and it plants, animal as well as any existing cultural manifestation (both past and present) found these areas. Sebagai kegiatan wisata alam yang mempunyai tujuan khusus dan bertanggung jawab, ekowisata semakin banyak diminati masyarakat sebagai kegiatan wisata yang menyenangkan. Kecenderungan ini ditandai dengan semakin banyaknya masyarakat pecinta alam di dunia termasuk masyarakat Indonesia yang melakukan berbagai kegiatan wisata alam berupa lintas alam (hiking), panjat tebing (climbing), arum jeram (rafting), berkemah (camping ground), naik sepeda gunung (rising bycecle), menikmati keindahan alam, serta keaslian budaya lokal.
14
Kegiatan ekowisata dalam era pembangunan berwawasan lingkungan merupakan suatu misi pengembangan pariwisata alternatif yang tidak banyak menimbulkan dampak negatif baik terhadap lingkungan maupun terhadap sosial budaya dan daya tarik wisata lainnya. Kegiatannya lebih berorientasi pada pemanfaatan sumberdaya alami, asli dan belum tercemar. Menurut Chaniago (2008) dalam Muhammad F. B. (2008: 2) ekowisata sendiri telah menjadi trend baru di dunia Internasional sebagai salah satu dari isu 4T (Transportation, Telecommunication, Tourism dan Technology) dalam milenium ketiga. Ekowisata merupakan sebuah pengembangan konsep dari penyelarasan antara kegiatan manusia (aspek wisata) dan lingkungan sekitar (aspek ekologi). Industri pariwisata selama ini memiliki peran dan makna begitu tinggi dalam aspek kehidupan manusia. Dalam perkembangannya, sektor pariwisata dunia memiliki kecenderungan untuk berubah secara konsep dari Unsustainable forms of tourism menjadi Sustainable Tourism. Dari sisi kepariwisataan, ekowisata merupakan kolaborasi dari tiga macam wisata, diantaranya Rural tourism, Nature Tourism, dan Cultural Tourism. Dimana wisata-alam yang selama ini kita kenal, mempunyai kecenderungan berubah menjadi ekowisata, jika sustainable tourism dijadikan sebagai acuan. Drumm (2002) dalam Razak (2008: 9) menyatakan bahwa ada enam keuntungan dalam implementasi kegiatan ekowisata yaitu: 1) Memberikan nilai ekonomi dalam kegiatan ekosistem di dalam lingkungan yang dijadikan sebagai obyek ekowisata; 2) Menghasilkan keuntungan secara langsung untuk pelestarian lingkungan; 3) Memberikan keuntungan secara langsung dan tidak langsung bagi para stakeholders; 4) Membangun konstituensi untuk konservasi secara lokal, nasional, dan internasional; 5) Mempromosikan penggunaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan; 6) Mengurangi ancaman terhadap keanekaragaman hayati yang ada di obyek wisata tersebut.
15
Ekowisata merupakan perjalanan wisata ke suatu lingkungan baik alam yang alami maupun buatan serta budaya yang ada yang bersifat informatif dan partisipatif yang bertujuan untuk menjamin kelestarian alam dan sosial-budaya. Ekowisata menitikberatkan pada tiga hal utama yaitu; keberlangsungan alam atau ekologi, memberikan manfaat ekonomi, dan secara psikologi dapat diterima dalam kehidupan sosial masyarakat. Jadi, kegiatan ekowisata secara langsung memberi akses kepada semua orang untuk melihat, mengetahui, dan menikmati pengalaman alam, intelektual dan budaya masyarakat lokal (Khan (2003) dalam Razak (2008: 8). Menurut Fandeli (1999) dalam Razak (2008: 9), sifat dan karakter kepariwisawataan alam terkait dengan ODTW Alam antara lain; 1) In Situ ; ODTW alam hanya dapat dinikmati secara utuh dan sempurna di ekosistemnya. Pemindahan obyek ke ex situ akan menyebabkan terjadinya perubahan obyek dan atraksinya. Pada umumnya wisatawan kurang puas apabila tidak mendapatkan sesuatu secara utuh dan apa adanya. 2) Pershable ; suatu gejala atau proses ekosistem hanya terjadi pada waktu tertentu. Gejala atau proses alam ini berulang dalam kurun waktu tertentu, kadang siklusnya beberapa tahun bahkan ada puluhan tahun atau ratusan tahun. ODTW alam yang demikian membutuhkan pengkajian dan pencermatan secara mendalam untuk dipasarkan. 3) Non Recoverable ; suatu ekosistem alam mempunyai sifat dan perilaku pemulihan yang tidak sama. Pemulihan secara alami sangat tergantung dari faktor dalam (genotype) dan faktor luar (phenotype). Pemulihan secara alami terjadi dalam waktu panjang, bahkan ada sesuatu obyek yang hampir tak terpedulikan, bila ada perubahan. Untuk mempercepat pemulihan biasanya dibutuhkan tenaga dan dana yang sangat besar, apabila upaya ini berhasil tetapi tidak akan sama dengan kondisi semula. 4) Non Substituible ; didalam suatu daerah atau mungkin kawasan terdapat banyak obyek alam, jarang sekali yang memiliki kemiripan yang sama. Menurut The International Ecotourism Society (2000) dalam dalam Razak (2008: 6) mendefinisikan ekowisata sebagai berikut:
16
Ecotourism is “reponsible travel to natural areas that conserves the environment and sustains the well-being of lokal people.” Dari definisi ini, disebutkan bahwa ekowisata merupakan perjalanan wisata yang berbasiskan alam yang mana dalam kegiatannya sangat tergantung kepada alam, sehingga lingkungan, ekosistem, dan kearifan-kearifan lokal yang ada di dalamnya harus dilestarikan keberadaannya. Dalam perkembangannya kepariwisataan secara umum, muncul pula istilah sustainable tourism atau “wisata berkelanjutan”. Wisata berkelanjutan dipandang sebagai suatu langkah untuk mengelola semua sumberdaya yang secara sosial ekonomi dapat dipenuhi dengan memelihara integritas budaya, proses-proses ekologi yang mendasar, keragaman hayati, dan unsur-unsur pendukung kehidupan lainnya, (Urquico (1998) dalam Razak (2008: 7). Konsep wisata yang berbasis ekologi atau yang lebih dikenal dengan Ekowisata (Fandeli (1998) dalam Razak (2008: 7), dilatarbelakangi dengan perubahan pasar global yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada negara-negara asal wisatwan dan memiliki ekspektasi yang lebih mendalam dan lebih berkualitas dalam melakukan perjalanan wisata. Dampak positifnya dari kegiatan ekowisata antara lain menambah sumber penghasilan dan devisa negara, menyediakan kesempatan kerja dan usaha, mendorong perkembangan usaha-usaha baru, dan diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat maupun wisatawan tentang konservasi sumberdaya alam (Dephut 2008, dalam Razak, 2008: 8). c. Potensi Obyek Ekowisata Indonesia yang memiliki pulau-pulau sebanyak 17.508 ribu pulau merupakan daerah potensial untuk dikembangkan ekowisata karena potensi alam, seni, budaya, dan etnis yang beranekaragam. Alamnya memiliki banyak gunung, perbukitan, danau yang indah, sungai dan riam yang masih perawan, flora dan fauna yang beraneka ragam, menjadikan surga ekowisata. (Oka A. Yoeti, 2000: 43). Menurut BAPPENAS dari UNEP tahun 1991 dalam Oka A. Yoeti (2000: 44), di Indonesia terdapat tidak kurang dari 49 jenis ekosistem berbeda, baik yang alami maupun buatan. Menurut sumber ini, walau Indonesia hanya memiliki daratan seluas 1,32 % dari seluruh daratan yang ada di dunia, Indonesia memiliki kekayaan yang cukup berlimpah seperti :
17
1) 10% jenis tumbuhan berbunga yang terdapat di seluruh dunia; 2) 12% binatang menyusui; 3) 16% reptilia dan amphibia; 4) 17% burung-burung; 5) 25% jenis ikan; 6) 15% jenis serangga. Sesuai penelitian oleh MacNeely at all (1990) dalam Oka A. Yoeti, (2000: 44) dalam dunia binatang atau hewan, Indonesia mempunyai kedudukan yang termasuk istimewa di dunia. Dari 515 jenis mamalia besar, 36% endemik, 33% jenis prima, 78% berparuh bengkok, dan 121 jenis kupu-kupu. Berdasarkan identifikasi Masyarakat Ekowisata Indonesia (MEI) dalam Oka A. Yoeti, (2000: 44) di Indonesia terdapat 61 Daerah Tujuan Ekowisata (DTE) yang dianggap potensial yang terdapat pada beberapa pulau sehingga Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki Mega Diversity yang dijumpai pada pulau : Sumatra (12 DTE), Kalimantan (1 DTE), Jawa (10 DTE), Sulawesi (8 DTE), Bali (6 DTE), Maluku (4 DTE), Irian Jaya (6 DTE), dan Nusa Tenggara Timur (6 DTE). Menurut Fandeli, Chafid & Nurdin, Muhammad, (2005: 8) Indonesia mempunyai potensi yang menjanjikan untuk wisata minat khusus dan ekowisata dalam kawasan hutan tropika yang tersebar di kepulauan. Dengan jumlah pulau yang sangat banyak (lebih dari 18.000) pulau besar dan kecil memiliki keanekaragaman ekosistem yang sangat tinggi. ”Tourism is a vast growing industry in the world and the increasingly rapaid economic growth in the Asia Pasific region has opened opportunities for tourism development in Indonesia are amonng others: (1) rich cultural hertage; (2) scenic landscapes; (3) proximity to major growth markets of Asia; (4) large and increasingly wealthy population that will provide a strong domestic market; (5) large, relatively low cost and work force (Faulknel(1997), dalam Fandeli, Chafid & Nurdin, Muhammad, (2005: 8).
18
Di dalam kawasan hutan Indonesia yang saat ini seluruhnya berjumlah sekitar 113 juta hektar memiliki seluruh elemen atraksi wisata seperti yang tertera dalam ungkapan di atas. Dari berbagai pendapat di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa potensi obyek ekowisata adalah kemampuan dari obyek ekowisata (obyek wisata yang berbasis alam) yang kemungkinan untuk dikembangkan, potensi yang dapat dikembangkan dapat berupa daya tarik tertentu atau sesuatu yang menarik untuk dikunjungi wisatawan. 2. Kawasan Karst Bagian Barat Kabupaten Pacitan Menurut Hanang Samodra (2003 : 8-10), Daerah Pacitan Barat yang mencakup Kecamatan Donorojo, Kecamatan Punung dan Kecamatan Pringkuku mempunyai luas total 345,84 Km2. Sebagian besar wilayahnya berupa perbukitan karst, yang jumlahnya tidak kurang dari 300 bukit. Perbukitan batugamping itu akan memberi kenampakan khas pada musim kemarau, yaitu kering dan tandus. Secara geologi segmen Pacitan Barat ditempati oleh satuan batugamping berfasies terumbu (yang mudah larut oleh air sehingga menghasilkan sifat morfologi karst), dan satuan batugamping klastik bersisipan napal menjadikannya lebih bersifat kedap air. Kedua satuan batugamping yang mempunyai fasies berbeda itu berumur Neogen Akhir (Miosen Tengah-Piosen). Meskipun demikian, secara regional satuan batugamping klastik yang berfasies tufan (Formasi Oyo) mempunyai posisi stratigrafi yang lebih rendah dibanding satuan batugamping fasies terumbu (Formasi Wonosari). Terdapat obyek wisata alam yang sangat menakjubkan untuk dinikmati. Sentuhan aspek keindahan, keunikan dan kelangkaan obyek wisata alam karst di Pacitan Barat saat ini terbatas pada apa yang dimiliki oleh goa, luweng dan pantai yang merupakan atraksi yang menakjubkan. Nilai jual Goa terletak pada keindahan, keunikan dan kelangkaan speleotem di dalamnya yang berupa stalagtit dan stalakmit. Dua obyek wisata luweng yaitu Luweng Jaran dan Luweng Ombo. Luweng Jaran menampilkan fenomena ornamental stalagtit dan stalakmit yang sangat menakjubkan. Ditambah lagi empat obyek wisata pantai andalan karst Pacitan Barat yaitu Pantai Nampu, Pantai Klayar, Pantai Srau dan Pantai Watu Karung. Masing-masing memiliki keunggulan sendiri-sendiri. Secara geologi pantai-pantai
19
tersebut dicirikan banyaknya ”Stack”, yaitu bongkahan batuan di lepas pantai yang pembentukannya dipengaruhi oleh struktur sesar. Kawasan karst di segmen Pacitan Barat berkembang mulai sebelah selatan jalan raya propinsi yang menghubungkan Pacitan dan Surakarta hingga pantai selatan. Curah hujan rata-rata di daerah Donorojo, Punung dan Pringkuku disajikan dalam Tabel 1, dimana curah hujan yang besar terjadi antara Desember dan Maret. Angka rata-rata curah hujan di stasiun pencatat hujan di Donorojo, Punung dan Pringkuku adalah lebih dari 2000 mm. Pada puncak tahun kering curah hujannya dapat lebih rendah dari angka yang disebutkan sebelumnya. Tabel 1. Curah Hujan Tahunan (mm) di daerah Donorojo, Punung dan Pringkuku Tahun 2003. Wilayah
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Rata-
Kecamatan 1990
1991
1992
1993
1994
rata
Donorojo
1.935
1.323
3.454
3.354
973
2.208
Punung
2.485
1.894
3.638
3.638
2.124
2.754
Pringkuku
2.372
2.023
3.588
3.588
1.897
2.684
Sumber : Hanang Samodra (2003 : 10) Berkaitan dengan tataguna lahan, sebagian besar kawasan karst di Pacitan Barat dimanfaatkan menjadi lahan tegalan kering, dan setempat merupakan kawasan hutan produksi yang sempit. Kawasan batugamping karst yang terdapat di kecamatan-kecamatan Donorojo, Punung, dan Pringkuku merupakan wilayah hunian, meskipun sebaran pemukiman penduduk tidak merata. Wilayah yang termasuk padat penduduknya terbatas di kota-kota kecamatan. Berkaitan dengan kecukupan air, baru sekitar 6.250 jiwa dapat memperoleh air bersih. Pada musim kemarau sebagian kebutuhan air bersih dapat dipenuhi oleh truk-truk air. Keadaan kekurangan air setiap tahun ini merupakan potret kawasan karst Pacitan Barat yang sangat ironi, sebab secara hidrologi kawasan ini sebenarnya merupakan lumbung air bawahtanah.
20
3.
Macam-macam Karakteristik Wisatawan
Menurut (Janianton Damanik dan Helmut F. Weber, 2006: 59) mengemukakan
bahwa karakteristik wisatawan meliputi komposisi pendidikan
(tinggi, menengah, rendah), pendapatan dan pengeluaran (tinggi, menengah, rendah), profesi (pelajar/mahasiswa, karyawan, pengusaha, pejabat, seniman, peneliti, dll), kedudukan sosial (majikan, buruh), dan sebagainya. Dapat diambil kesimpulan bahwa karakteristik wisatawan adalah sifat yang membedakan seorang wisatawan dari yang lain di dalam menikmati daya tarik obyek wisata. Karateristik wisatawan dalam penelitian ini meliputi : a. Umur/ usia;
g. Cara Kedatangan;
b. Tempat tinggal;
h. Jumlah Berkunjung;
c. Jenis kelamin;
i.
Lama Berkunjung;
d. Mata pencaharian/pekerjaan;
j.
Informasi obyek;
e. Tingkat pendidikan;
k. Kesan.
f. Tingkat Kemudahan; 4. Pengembangan Ekowisata Pengertian pengembangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses, cara perbuatan mengembangkan. Kata mengembangkan sendiri berarti menuju, baik dan sempurna, (Suharso dan Ana, 1988: 234). Direktorat Jendaral Pariwisata menggariskan prinsip-prinsip pengembangan ekowisata, dalam Oka A. Yoeti (2000: 45-46), sebagai berikut : a. Kegiatan ekowisata harus bersifat ramah lingkungan, secara ekonomis dapat berkelanjutan dan serasi dengan kondisi sosial dan kebudayaan Daerah Tujuan Ekowisata (DTE); b. Untuk menjamin konservasi alam dan keanekaragaman hayati sebagai sumberdaya kepariwisataan utama, segenap upaya penting harus dilaksanakan untuk menjalin fungsi dan daya dukung lingkungan agar tetap terjaga; c. Kegiatan ekowisata yang secara langsung mendukung pada upaya perlindungan alam dan kelestarian keanekaragaman hayati harus dipromosikan;
21
d. Harus ada tindakan pencegahan untuk menghindari dan meminimalkan dampak negatif keanekaragaman hayati yang disebabkan kegiatan ekowisata; e. Pengembangan kegiatan ekowisata hendaknya selalu menggunakan teknologi ramah lingkungan; f. Konsep dan kriteria ekowista berkelanjutan harus dikembangkan dan dikaitkan dengan
program
pendidikan
dan
pelatihan
untuk
pekerja
dibidang
kepariwisataan; g. Masyarakat harus diberikan kemudahan untuk memperoleh informasi sebanyakbanyaknya mengenai manfaat perlindungan lingkungan dan konservasi keanekaragaman hayati melalui bentuk ekowisata yang berkelanjutan. “H. Khodyat dalam Oka A. Yoeti (2000: 46) seorang pakar yang banyak memberi perhatian pada Ekowisata mengatakan “Dalam mengembangkan ekowisata seharusnya dilihat sebagai alat peningkatan komunikasi antar makhluk hidup, kesejahteraan, dan kemampuan individu. “Oleh karena itu katanya, “Pengembangan suatu kawasan untuk menjadi obyek ekowisata harus didasarkan pada kebijakan yang dirumuskan dari hasil masyarakat dan mufakat dengan masyarakat setempat”. Di dalam penelitian ini Dukungan Pengembangan ekowisata (pariwisata yang berbasis alam) mengikutsertakan dua komponen penting yaitu: a. Masyarakat di sekitar obyek dan, b. Pengelola (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Pacitan).
B. Hasil Penelitian yang Relevan Di indonesia penelitian mengenai peningkatan kepedulian untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup melalui program pariwisata, khususnya ekowisata masih terbatas. Penelitian Rara Sugiarti (2000) yang dilakukan dikawasan hutan jati Blora menggaris bawahi pentingnya menjaga kelestarian fungsi lingkungan alam berupa hutan jati dengan memberikan added value sebagai asset wisata alam sehingga dapat memberikan economic benefits untuk meningkatkan taraf
kesejahteraan hidup masyarakat setempat. Dengan merasakan manfaat
pariwisata alam penduduk setempat akan menyadari pentingnya menjaga asset tersebut dan selanjutnya akan termotivasi untuk senantiasa menjaganya.
22
Setyowati (2005) melakukan penelitian dengan judul
Analisis Potensi
Objek Wisata di Kabupaten Boyolali. Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pedidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran potensi obyek wisata di Kabupaten Boyolali dan mengetahui arah pengembangan obyek wisata yang paling optimal di Kabupaten Boyolali. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif, variabel yang digunakan dalam penelitian potensi yaitu daya tarik obyek, aksesibilitas, fasilitas dasar dan fasilitas pendukung. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumentasi observasi lapangan, dan wawancara dengan teknik analisis kualitatif dengan pendekatan skoring. Hasil penelitian menunjukkan potensi obyek tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Boyolali, berdasarkan penelitian ada tiga obyek dengan potensi tinggi yaitu Umbul Tlatar, Umbul Pengging, dan Joglo Merapi. Langkah pertama untuk menentukan arah pengembangan yang optimal yaitu menetapkan beberapa obyek sebagai magnet utama dan generator bagi obyek-obyek yang berada didekatnya. Selanjutnya melakukan pengembangan berdasarkan atas faktor penghambatnya. Dari data kunjungan wisatawan ke obyek wisata di Kabupaten Boyolali dapat ditentukan kawasan prioritas pengembangannya, yaitu Kawasan Umbul Tlatar, Kawasan Umbul Pengging, Kawasan Selo, Kawasan Makam Pantaran dan Kawasan Wana Wisata. Suratman Worosuprodjo dkk 2000, dalam Haryono, E., Wijayanti, P., & Lestari, Y., 2002: 112 - 113 ): penelitian dengan judul Kajian Inventarisasi Potensi Kawasan Karst di Kabupaten Bantul. Penelitian Kerjasama antara BAPEDALDA dengan Fakultas Geografi UGM ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran Potensi Lingkungan Karst Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun tujuannya adalah 1). Mengelompokkan kawasan karst berdasarkan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Republik Indonesia No. 1518 K/20 MPE/1999, 2). Inventarisasi kondisi dan permasalahan lingkungan, 3). Inventarisasi dan mengevaluasi potensi sumberdaya alam dan lingkungan di kawasan ekosistem karst, 4). menentukan zone peruntukan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di kawasan ekosistem karst, dan 5). menyusun arah dan strategi pengelolaan dan pengembangan tiap zone. Pengumpulan data dilakukan
23
secara survey institusional dilakukan untuk mendapatkan data sekunder, peta dasar dan tematik serta wawancara untuk mengetahui kebijakan yang diambil pemerintah setempat. Survey lapangan berupa koesioner, pemotretan obyek dan taksiran lingkungan. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ialah analisis pola, analisis morfologi, potensi sumberdaya air, potensi wisata dan non wisata, analsis tabel dan analisis keruangan dan diskripsi. Anaslisis pola berupa pola alur (tutupan lahan, tanah dan drainse permukaan); pola aktivitas kerja penduduk. Analisis morfologi berupa eksokarst dan endokarst. Analisis potensi sumberdaya air meliputi kuantitas dan kualitas air. Penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan untuk pengelolaan pembangunan kawasan karst di wilayah Kabupaten Bantul, selain itu hasil penelitian ini juga diharapkan sebagai landasan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul dalam pengelolaan karst dan penataan ruang.
C. Kerangka Pemikiran Kabupaten Pacitan terletak di Pantai Selatan Pulau Jawa tepatnya di Barat Daya Propinsi Jawa Timur berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah. Daerah ini memiliki banyak potensi sumberdaya alam, termasuk juga potensi obyek ekowisata khususnya di kawasan karst bagian barat yang belum dikembangkan. Berkaitan perkembangan pariwisata, saat ini muncul perkembangan wisata masyarakat menuju alam (back to nature), yaitu wisata ke alam pedesaan dan pegunungan untuk menikmati suasana yang masih bersih dan jauh dari kebisingan dan pencemaran. Konsep ini yang akhirnya dikenal dengan istilah ekowisata (wisata ekologi). Peluang pengembangan wisata ini yang membangkitkan semangat
dari
masyarakat
Pacitan
untuk
bisa
mengoptimalkan
potensi
kepariwisataanya pada kawasan karst. Kegiatan dan usaha pariwisata di Kawasan Karst Bagian Barat Kabupaten Pacitan memanfaatkan unsur estetika (keindahan), keunikan dan kelangkaan yang dimiliki oleh gejala ekso-dan endokarst yang ada. Kekhasan alam tersebut diharapkan memberikan produk penelitian yang berbeda sekaligus kebijakan yang dianjurkan guna memenuhi aspek kelestarian alam, kesejahteraan penduduk, peningkatan pendapatan asli daerah dalam usaha preventif maupun kuratif. Sebagai
24
suatu bentangalam, proses pembentukan karst tidak dapat lepas dari keadaan geologi batugamping sepanjang ruang dan waktu yang tersedia. Di masa mendatang, kemasan
inilah
yang
nantinya
akan
menjadi
dasar
penciptaan
atau
penganekaragaman obyek wisata yang berbasis pada alam (ekowisata). Sentuhan aspek keindahan, keunikan dan kelangkaan obyek wisata alam karst di Pacitan Barat saat ini terbatas pada apa yang dimiliki oleh gua, luweng dan pantai. Nilai jual Goa Gong terletak pada keindahan sepeleotem di dalamya, sementara Goa Tabuhan menjual nilai keunikan dan kelangkaan sepeleotem yang ada. Beberapa stalaktit di dalamnya jika dipukul akan mengeluarkan nada instrumen gamelan tertentu. Goa Kalak dan Goa Putri menawarkan wisata religi. Selain itu adanya luweng atau gua tegak yakni; Luweng Ombo dan Luweng Jaran mempunyai keindahan dan kelangkaan speleotem di dalamnya yang menakjubkan bagi yang melihatnya. Ditambah lagi dengan obyek ekowisata pantai karst (Pantai Klayar, Pantai Nampu, Pantai Watu Karung dan Pantai Srau). Secara geologi pantai-pantai tersebut dicirikan dengan banyaknya “stack” yaitu bongkahan batuan yang di lepas pantai yang pembentukannya dipengaruhi oleh struktur pantai. Dari kesepuluh obyek ekowisata di kawasan karst bagian barat Kabupaten Pacitan akan di ketahui potensi masing-masing dengan beberapa kriteria/variabel dan indikator yang ada. Setelah mengetahui obyek ekowisata yang berpotensi rendah, sedang dan tinggi maka akan diketahui beberapa obyek ekowisata membutuhkan pengembangan yang lebih baik. Selain itu diperhatikan pula bagaimanan usaha pengembangan obyek ekowisata yang ada. Pihak Pemerintah sebagai Pengelola dan penduduk-pun ikut menentukan bagaimana pengembangan obyek ekowisata tersebut. Dengan memperhatikan sistem penawaran dan sistem permintaan yang diturunkan kedalam beberapa parameter yang ada pada lokasi obyek ekowisata dapat menentukan obyek ekowisata potensial kawasan karst untuk kemudian dikembangkan. Dengan usahausaha pengembangan itulah diharapkan obyek-oyek ekowisata yang belum berkembang menjadi berkembang dan pada akhirnya akan dapat memberikan nilai manfaat baik kepada masyarakat sekitar ataupun bagi pendapatan daerah Kabupaten Pacitan.
25
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dibuat diagram alir kerangka pemikiran penelitian yang disajikan pada Gambar1. Identifikasi Produk dan Profil Pasar Obyek Ekowisata Kawasan Karst Bagian Barat Kabupaten Pacitan Sistem Penawaran (Supply System)
Identifikasi Potensi Obyek Ekowisata Potensi Obyek Ekowisata: - Kualitas Obyek & Daya Tarik - Skala Pemasaran - Tingkat Wisatawan yang Berkunjung ke Obyek - Tingkat Dukungan Aksesibilitas dan Pencapaian - Tingkat Dukungan SaranaPrasarana Penunjang - Tingkat Dukungan Infrastruktur - Kesiapan Masyarakat - Pertimbangan
Klasifikasi tingkat obyek : - Obyek Ekowisata potensi tinggi - Obyek Ekowisata potensi sedang - Obyek Ekowisata potensi rendah
Sistem Permintaan (Demand System) Identifikasi Wisatawan yang Berkunjung ke Obyek Ekowisata Karakteristik Wisatawan yang Berkunjung ke Obyek Ekowisata : - Umur - Jenis Kelamin - Tempat Tinggal - Tingkat Pendidikan - Mata Pencaharian - Pola Perjalanan - Cara Kedatangan - Jumlah Berkunjung - Lama Berkunjung - Informasi Obyek - Kesan
Identifikasi Dukungan Pengembangan Pengembangan Ekowisata Kawasan Karst
Dukungan Pengembangan: - Masyarakat di Sekitar Obyek Ekowisata Kawasan Karst - Pengelola (Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kabupaten Pacitan)
Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran