BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses
masuknya
pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia serta mempengaruhi kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Lingkungan dibedakan menjadi dua; lingkungan biotik dan lingkungan abiotik. Lingkungan biotik adalah lingkungan
yang hidup, misalnya tanah, pepohonan.
Sementara lingkungan abiotik
mencakup benda-benda tidak hidup seperti rumah, gedung, dan tiang listrik. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya. Menurut Pramudya Sunu (2001), daya dukung lingkungan pada adalah daya dukung lingkungan kehidupan
adalah kemampuan atau kapasitas ekosistem untuk mendukung
organisme
secara
sehat sekaligus
mempertahankan
produktivitas,
kemampuan adaptasi dan kemampuan memperbaiki diri. Daya dukung lingkungan diartikan sebagai kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia. Daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity). Carrying capacity atau daya dukung lingkungan mengandung pengertian kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung lingkungan dapat pula diartikan kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme secara sejahtera dan lestari bagi penduduk yang
7
8
mendiami suatu kawasan. Berkurangnya daya dukung lingkungan akan berakibat pula terhadap kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia. Begitu pula dengan Tempat Pembuangan Sampah (TPS). TPS memiliki kemampuan sampai batas dan waktu tertentu untuk menampung sampah yang terus meningkat setiap harinya. 1.
Sampah a. Pengertian Sampah Sampah merupakan bahan buangan dari kegiatan rumah tangga, komersial, industri atau aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh manusia lainnya. Sampah juga merupakan hasil sampingan dari aktivitas manusia yang sudah tidak terpakai (Purwendro & Nurhidayat, 2006). Menurut Soemirat Slamet (2004), sampah adalah segala sesuatu yang tidak lagi dikehendaki oleh yang punya dan bersifat padat. Sampah ada yang mudah membusuk dan ada pula yang tidak mudah membusuk. Sampah yang mudah membusuk terdiri dari zat-zat organik seperti sayuran, sisa daging, daun dan lain sebagainya, sedangkan yang tidak mudah membusuk berupa plastik, kertas, karet, logam, abu sisa pembakaran dan lain sebagainya. Sementara didalam UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, disebutkan sampah adalah sisa kegiatan sehari hari manusia atau proses alam yang berbentuk padat atau semi padat berupa zat organik atau anorganik bersifat dapat terurai atau tidak dapat terurai yang dianggap sudah tidak berguna lagi dan dibuang ke lingkungan (Slamet, 2002). Berdasarkan difinisi diatas, maka dapat dipahami sampah adalah : 1) Sampah yang dapat membusuk (garbage), menghendaki pengelolaan yang cepat. Gas-gas yang dihasilkan dari pembusukan sampah berupa gas metan dan H2S yang bersifat racun bagi tubuh. 2) Sampah yang tidak dapat membusuk (refuse), terdiri dari sampah plastik, logam, gelas karet dan lain-lain. 3) Sampah berupa debu/abu sisa hasil pembakaran bahan bakar atau sampah. 4) Sampah yang berbahaya terhadap kesehatan, yakni sampah B3 adalah sampah karena sifatnya, jumlahnya, konsentrasinya atau karena sifat kimia, fisika dan
9
mikrobiologinya dapat meningkatkan mortalitas dan mobilitas secara bermakna atau menyebabkan penyakit reversible atau berpotensi irreversible atau sakit berat yang pulih. 5) Menimbulkan bahaya sekarang maupun yang akan datang terhadap kesehatan atau lingkungan apabila tidak diolah dengan baik. b. Sumber Sampah Menurut Gelbert M, Prihanto D dan Suprihatin A. (1996), sumber-sumber timbulan sampah adalah yaitu : 1) Sampah dari pemukiman penduduk Pada suatu pemukiman biasanya sampah dihasilkan oleh suatu keluarga yang tinggal disuatu bangunan atau asrama. Jenis sampah yang dihasilkan biasanya cendrung organik, seperti sisa makanan atau sampah yang bersifat basah, kering, abu plastik dan lainnya. 2) Sampah dari tempat – tempat umum dan perdagangan Tempat-tempat umum adalah tempat yang dimungkinkan banyaknya orang berkumpul dan melakukan kegiatan. Tempat–tempat tersebut mempunyai potensi yang cukup besar dalam memproduksi sampah termasuk tempat perdagangan seperti pertokoan dan pasar. Jenis sampah yang dihasilkan umumnya berupa sisa–sisa makanan, sampah kering, abu, plastik, kertas, dan kaleng- kaleng serta sampah lainnya. 3) Sampah dari sarana pelayanan masyarakat milik pemerintah Yang dimaksud di sini misalnya tempat hiburan umum, pantai, masjid, rumah sakit, bioskop, perkantoran, dan sarana pemerintah lainnya yang menghasilkan sampah kering dan sampah basah. 4) Sampah dari industri Dalam pengertian ini termasuk pabrik – pabrik sumber alam perusahaan kayu dan lain – lain, kegiatan industri, baik yang termasuk distribusi ataupun proses suatu bahan mentah. Sampah yang dihasilkan dari tempat ini biasanya sampah basah, sampah kering abu, sisa – sisa makanan, sisa bahan bangunan.
10
5) Sampah Pertanian Sampah dihasilkan dari tanaman atau binatang daerah pertanian, misalnya sampah dari kebun, kandang, ladang atau sawah yang dihasilkan c. Jenis-Jenis Sampah Menurut Daniel (2009) terdapat tiga jenis sampah, di antaranya : 1) Sampah organik adalah sampah yang terdiri dari bahan-bahan yang bisa terurai secara alamiah/biologis, seperti sisa makanan dan guguran daun. Sampah jenis ini juga biasa disebut sampah basah. 2) Sampah anorganik adalah sampah yang terdiri dari bahan-bahan yang sulit terurai secara biologis. Proses penghancurannya membutuhkan penanganan lebih lanjut di tempat khusus, misalnya plastik, kaleng dan styrofoam. Sampah jenis ini juga biasa disebut sampah kering. 3) Sampah bahan berbahaya dan beracun (B3) adalah limbah dari bahan-bahan berbahaya dan beracun seperti limbah Rumah Sakit, limbah pabrik dan lainlain. d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kuantitas dan Kualitas Sampah Menurut Slamet (2004) sampah baik kualitas maupun kuantitasnya sangat dipengaruhi oleh berbagai kegiatan dan taraf hidup masyarakat. Beberapa faktor yang penting antara lain : 1) Jumlah Penduduk Dapat dipahami dengan mudah bahwa semakin banyak penduduk semakin banyak pula sampahnya. Pengelolaan sampah pun berpacu dengan laju pertambahan penduduk. 2) Keadaan sosial ekonomi Semakin tinggi keadaan sosial ekonomi masyarakat, semakin banyak jumlah perkapita sampah yang dibuang. Kualitas sampahnya pun semakin banyak bersifat tidak dapat membusuk. Perubahan kualitas sampah ini, tergantung pada bahan yang tersedia, peraturan yang berlaku serta kesadaran masyarakat akan persoalan persampahan. Kenaikan kesejahteraan ini pun akan meningkatkan kegiatan konstruksi dan pembaharuan bangunan-bangunan,
11
transportasi pun bertambah, dan produk pertanian, industri dan lain-lain akan bertambah dengan konsekuensi bertambahnya volume dan jenis sampah. 3) Kemajuan Teknologi Kemajuan teknologi akan menambah jumlah maupun kualitas sampah, karena pemakaian bahan baku yang semakin beragam, cara pengepakan dan produk manufaktur yang semakin beragam pula. 4) Tingkat pendidikan Menurut
Hermawan
(2005)
pendidikan mempunyai
Untuk
peranan
meningkatkan
penting
karena
mutu
lingkungan,
melalui
pendidikan,
manusia makin mengetahui dan sadar akan bahaya limbah rumah tangga terhadap lingkungan, terutama bahaya pencemaran
terhadap kesehatan
manusia dan dengan pendidikan dapat ditanamkan berpikir kritis, kreatif dan rasional. Semakin tinggi tingkat pendidikan
selayaknya semakin tinggi
kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan sampah. e. Dampak Negatif Sampah Pengaruh negatif dari sampah terhadap kesehatan, lingkungan maupun sosial ekonomi dan budaya masyarakat, antara lain : 1)
Pengaruh terhadap kesehatan a) Pengolahan sampah yang kurang baik akan menjadikan sampah sebagai tempat perkembangbiakan sektor penyakit seperti lalat atau tikus b) Insidensi penyakit Demam Berdarah dengue akan vector penyakit
meningkat karena
hidup dan berkembang biak dalam sampah kaleng
maupun ban bekas yang berisi air hujan c) Terjadinya kecelakaan akibat pembuangan sampah secara sembarangan misalnya luka akibat benda tajam seperti besi, kaca dan sebagainya d) Gangguan psikosomatis, misalnya sesak nafas, insomnia, stress dan lainlain. 2)
Pengaruh terhadap lingkungan a) Estetika lingkungan menjadi kurang sedap dipandang mata
12
b) Proses pembusukan sampah oleh mikroorganisme akan menghasilkan gasgas tertentu yang menimbulkan bau busuk. c) Pembakaran sampah dapat menimbulkan pencemaran udara dan bahaya kebakaran yang lebih luas. d) Pembuangan
sampah
ke
dalam
saluran
pembuangan
air
akan
menyebabkan aliran air terganggu dan saluran air akan menjadi dangkal.Apabila musim hujan datang, sampah yang menumpuk dapat menyebabkan banjir dan mengakibatkan pencemaran pada sumber air permukaan atau sumur dangkal. Air
banjir
dapat
mengakibatkan
kerusakan pada fasilitas masyarakat seperti jalan, jembatan dan saluran air. 3)
Pengaruh terhadap sosial ekonomi dan budaya masyarakat a) Pengelolaan sampah yang kurang baik mencerminkan keadaan sosial budaya masyarakat setempat b) Keadaan lingkungan yang kurang baik dan jorok, akan menurunkan minat dan hasrat orang lain (turis) untuk datang berkunjung ke daerah tersebut c) Dapat menyebabkan terjadinya perselisihan antara penduduk setempat dan pihak pengelola (misalnya kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi) d) Angka kasus kesakitan meningkat dan mengurangi hari kerja dan produktifitas masyarakat menurun e) Kegiatan perbaikan lingkungan yang rusak memerlukan dana yang besar sehingga dana untuk sektor lain berkurang f) Penurunan pemasukan wisatawan
daerah (devisa) akibat penurunan jumlah
yang diikuti dengan penurunan penghasilan masyarakat
setempat g) Penurunan
mutu dan sumber daya
alam sehingga
mutu produksi
menurun dan tidak memiliki nilai ekonomis. h) Penumpukan sampah di pinggir jalan menyebabkan kemacetan lalu lintas yang dapat menghambat kegiatan transportasi barang dan jasa.
13
f. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengelolaan Sampah Beberapa hal yang menyebabkan sampah menjadi sulit dikelola diantaranya sebagai berikut: 1) Pesatnya perkembangan teknologi, lebih cepat dari kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memahami masalah persampahan. 2) Meningkatnya
tingkat
hidup
masyarakat
yang
tidak
disertai
dengan
keselarasan pengetahuan tentang persampahan. 3) Meningkatnya biaya operasi, pengelolaan dan konstruksi di segala bidang termasuk bidang persampahan. 4) Kebiasaan
pengelolaan
menimbulkan
sampah
pencemaran
air,
yang
tidak
udara
dan
efisien, tanah,
tidak
benar,
sehingga
juga
memperbanyak populasi vector pembawa penyakit seperti lalat dan tikus. 5) Kegagalan dalam daur ulang maupun pemanfaatan kembali barang bekas juga ketidakmampuan masyarakat dalam memelihara barangnya sehingga cepat rusak, Ataupun produk manufaktur yang sangat rendah mutunya, sehingga cepat menjadi sampah. 6) Semakin sulitnya mendapatkan lahan sebagai Tempat Tembuangan Akhir (TPA) sampah, selain tanah serta formasi tanah yang tidak cocok bagi pembuangan
sampah juga terjadi kompetisi yang semakin rumit akan
penggunaan tanah. 7) Semakin
banyaknya
masyarakat
yang
berkeberatan
bahwa
daerahnya
dipakai sebagai tempat pembuangan sampah. 8) Kurangnya pengawasan dan pelaksanaan peraturan. 9) Sulitnya menyimpan sampah sementara yang cepat busuk, karena cuaca yang semakin panas. 10) Sulitnya mencari partisipasi masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya dan memelihara kebersihan 11) Pembiayaan yang tidak memadai, mengingat bahwa sampai saat ini kebanyakan sampah dikelola oleh pemerintah
14
12) Pengelolaan sampah di masa lalu dan saat sekarang kurang memperhatikan faktor non teknis dan non teknis seperti partisipasi masyarakat dan penyuluhan tentang hidup sehat dan bersih (Khairunnisa, 2011). g. Sampah Kota Terseleksi Sampah kota terseleksi merupakan sampah kota yang tidak terolah secara maksimal di TPA (Tempat Pembuangan Akhir), yang terbagi atas sampah organik dan anorganik, yang terdiri dari styrofoam dan pembungkus makanan ringan, sedangkan sampah organik komponen berbahan dasar biomass yaitu daun pisang dan bambu. 2.
Pirolisis a. Prinsip Pirolisis Biomassa adalah salah satu sumber energi pertama yang digunakan oleh umat manusia. Dan masih merupakan sumber utama energi di negara-negara berkembang. Di dunia barat, minat baru dalam biomassa dimulai pada tahun 1970an. Arang, yang merupakan bahan bakar tanpa asap digunakan untuk tujuan pemanasan, telah diproduksi dari biomassa kayu selama ribuan tahun. Penggunaannya teknologi pertama dapat tanggal kembali ke Zaman Besi ketika arang digunakan dalam peleburan bijih untuk menghasilkan besi. Kelemahan dari teknologi pirolisis dahulu termasuk produksi lambat, menghasilkan energi yang rendah dan polusi udara yang berlebihan. Oleh karena itu, pengembangan teknologi untuk mendapatkan energi maksimum yang mungkin dari suatu jenis biomassa
terus dilakukan sebagai langkah penting menuju
investasi yang menguntungkan. Saat ini tiga cara yang sering digunakan untuk mengekstrak energi dari biomassa. Ini adalah pembakaran(eksotermis), gasifikasi (eksotermis) dan pirolisis (endotermik) (Frassoldati, A,. et al, 2006). Pembakaran adalah oksidasi bahan bakar biomassa yang sepenuhnya dapat teroksidasi dan ditransfer menjadi panas. Namun, efisiensi proses ini hanya sekitar 10% dan dengan cara ini penggunaan merupakan sumber polusi yang cukup besar (Pei-dong, et al 2007 and Thornley, etal, 2009). Gasifikasi adalah proses sebagian pengoksidasi yang mengubah bahan bakar padat menjadi bahan bakar gas,
15
sementara pirolisis adalah tahap pertama dari kedua pembakaran dan gasifikasi proses (Somerville,2005). Oleh karena itu pirolisis tidak hanya konversi independen teknologi, tetapi juga bagian dari gasifikasi dan pembakaran (Grønli, et al 2002), yang terdiri dari degradasi termal dari bahan bakar padat awal dalam gas dan cairan tanpa agen oksidasi. Proses pirolisis bahan organik sangat kompleks dan terdiri dari kedua reaksi simultan dan berturut-turut ketika bahan organik dipanaskan dalam suasana non-reaktif. Dalam proses ini; dekomposisi termal dari komponen organik dalam biomassa dimulai pada 350 °C-550 °C dan naik ke 700 °C - 800 °C dalam ketiadaan udara / oksigen (Fisher, et al., 2002). Rantai karbon panjang, hidrogen dan oksigen senyawa dalam biomassa terurai menjadi molekul yang lebih kecil dalam bentuk gas, uap terkondensasi (tar dan minyak) dan arang padat dalam kondisi pirolisis. Tingkat dan tingkat dekomposisi dari masing-masing komponen ini tergantung pada parameter proses reaktor (pirolisis) suhu, tingkat pemanasan biomassa, tekanan, konfigurasi reaktor, bahan baku, dan lain-lain. Gambar 1 menunjukkan jalur reaksi yang mungkin untuk pirolisis biomassa kayu. Ini termasuk tiga kategori produk disamakan, dimulai dengan reaksi urutan pertama. Lanzetta dan Blasi menemukan bahwa, pada proses awal pirolisis (250°C-300°C), sebagian besar volatil yang dirilis pada tingkat awal 10 kali lebih cepat dari langkah berikutnya (Lanzetta and Blasi, 1998).
Gambar 1. Representasi dari jalur reaksi untuk pirolisis kayu (Venderbosch and Prins, 2010)
16
b. Pengertian Pirolisis Pirolisis didefiniskan sebagai proses degradasi termal dari padatan dalam kondisi tidak adanya oksigen, yang memungkinkan terjadinya
beberapa jalur
konversi thermokimia sehingga padatan tersebut menjadi gas (permanent gasses), cairan (pyrolitic liquid) dan padatan (char) (Di Blasi, 2008). Sementara Swithenbank et.al (2005) mendefinisikan pirolisis sebagai degradasi termal atau deformasi limbah organik dalam kondisi tanpa oksigen dan dalam kondisi tekanan atmosfer atau vakum untuk menghasilkan char (carbonaceous char), minyak pirolisis, dan gas pada temperatur yang relatif rendah berkisar antara 400 0C – 800 0C. Pirolisis merupakan proses dekomposisi suatu bahan pada suhu tinggi tanpa adanya udara atau dengan udara terbatas. Proses dekomposisi pada pirolisis ini juga sering disebut dengan devolatilisasi. Produk utama dari pirolisis yang dapat dihasilkan adalah arang (char), minyak, dan gas. Arang yang terbentuk dapat digunakan untuk bahan bakar ataupun digunakan sebagai karbon aktif. Minyak yang dihasilkan dapat digunakan sebagai zat additif atau campuran dalam bahan bakar, sedangkan gas yang terbentuk dapat dibakar secara langsung (A.S Chaurasia., B.V Babu., 2005). Pirolisis atau devolatilisasi adalah proses fraksinasi material oleh suhu. Proses pirolisis dimulai pada temperatur sekitar 230°C, ketika komponen yang tidak stabil secara termal, dan volatile matters pada sampah akan pecah dan menguap bersamaan dengan komponen lainnya. Produk cair yang menguap mengandung tar dan polyaromatic hydrocarbon. Pirolisis dari biomasa akan menghasilkan zat baru yang umumnya terdiri dari tiga jenis, yaitu gas (H2, CO, CO2, H2O, dan CH4), tar (pyrolitic oil), dan arang. Biomassa adalah campuran dari konstituen struktural (hemi-selulosa, selulosa dan lignin) dan sejumlah kecil ekstraktif yang masing-masing pyrolyze pada tingkat yang berbeda dan dengan mekanisme dan jalur yang berbeda. Hal ini diyakini bahwa selama reaksi ini berlangsung karbon menjadi kurang reaktif dan
17
membentuk struktur kimia yang stabil, dan akibatnya meningkat energi aktivasi sebagai tingkat konversi bio-massa meningkat (Demirbas.A, 2004). Gas Biomassa
Tar Char
Gambar 2. Produk Biomasa Parameter yang berpengaruh pada kecepatan reaksi pirolisis mempunyai kompleks,
sehingga
model matematis
persamaan
hubungan
yang sangat
kecepatan
reaksi pirolisis yang diformulasikan oleh setiap peneliti
selalu
menunjukkan rumusan empiris yang berbeda (Trianna dan Rochimoellah, 2002). Menurut Basu (2010) pada reaksi dekomposisi dari biomassa, maka akan menghasilkan gas, char, dan cairan (bio-oil). Reaksi pirolisis yang berasal dari biomassa adalah sebagai berikut : CnHmOp Σliquid
CxHyOz + Σ gas CaHbOc + H2O + C
Biomassa
Tar
Gas
air
Char
Pirolisis (juga disebut termalisis) dekomposisi termal (panas) dari bahan organik, seperti pada waktu batubara dipanaskan lebih dari 300 °C tanpa udara atmosfer. Pada reaksi kimia pirolisis biomasa, terdapat tiga faktor yang berpengaruh. 1) Bahan baku
: komposisi kimia, kadar air.
2) Reaktor
: vertical – shaft / batch reactor, rotating tubular fluidized – bed reactor.
3) Kondisi operasi
: suhu pirolisis, waktu pirolisis (waktu tinggal).
Seiring waktu reaksi dan suhu dinaikkan, komposisi dari produk pirolisis berkembang menjadi komponen yang lebih stabil. Dekomposisi bahan organik dijabarkan sebagai berikut : 100 – 200 °C
: Pengeringan dengan pemanasan, dehidrasi.
18
250 °C
: Hilangnya cairan dan karbon dioksida. Evolusi hidrogen.
340 °C
: Putusnya rantai karbon makromolekul.
380 °C
: Tahap pirolisis, pengayaan karbon.
400 °C
: Pecahnya rantai C-O dan C-H.
400 – 600 °C
: Konversi komponen organik cair dalam hal ini untuk menghasilkan produk pirolisis cair (tar).
600 °C
: Pemecahan komponen organik cair untuk menghasilkan komponen yang stabil (gas, hidrokarbon rantai pendek) senyawa aromatik (senyawa bensen).
> 600 °C
: Pemanasan aromatis menghasilkan bensen dan aromatik
Proses pirolisis dapat dibagi menjadi beberapa fase dimana menjadi pedoman kesuksesan prosesnya. 1) Fase pengeringan. 2) Fase pirolisis. 3) Fase evolusi gas. Pada suhu 200 °C pengeringan fisik disertai produksi uap air, jika yang dimasukkan bahan biomasa yang basah maka perlu disertakan atau dimasukkan steam (uap air panas) ke dalam reaktor, Pirolisis terjadi pada suhu 200 – 500 °C. struktur makromolekul pecah menjadi gas, komponen organik cair, karbon padat. Evolusi gas terjadi pada 500 – 1200 °C, produk hasil pirolisis diturunkan lebih lanjut, karbon padat dan produk organik cair menghasilkan gas yang stabil. Hidrokarbon besar molekul besar dipecah menjadi metana dan karbon padat. Metana direaksikan dengan uap air dikonversi menjadi karbon monoksida dan hidrogen. Karbon padat direksikan dengan uap air atau karbon dioksida dikonversi menjadi karbon monoksida dan hidrogen. Reaksi kimia peruraian selulosa pada biomasa. 3(C6H10O5) Selulosa
8H2O + C6H8O + 3CO2 + CH4 + H2 + 8C Uap air + Tar +Karbon monoksida + Metana + Hidrogen + Char
Reaksi utama yang terjadi pada fase evolusi gas dijabarkan sebagai berikut. CnHm
xCH4 + y H2 + zC
19
CH4 + H2O
CO + 3H2
C + H2O
CO + H2
C + CO2
2CO
(Ullmann’s, 2002) Tabel 2. Reaksi kimia peruraian selulosa Reaksi C6H10O5 + panas
Produk
CH4 + 2CO + 3H2O + 3C
C6H10O5 6C + 5H2O(g)
Karbon
C6H10O5 0.8 C6H8O + 1.8 H2O(g) + 1.2 CO2
Oil Residu
C6H10O5 2C2H4 + 2CO2 + H2O(g)
Etilen
Sumber : Sorensen B, 2004 Selain itu, plastik merupakan polimer yang berat molekulnya tidak bisa ditentukan, ataupun
dihitung.
Karena
itu, kecepatan
reaksi
dekomposisi
didasarkan pada perubahan massa atau fraksi massa per satuan waktu. Produk pirolisis selain dipengruhi oleh suhu dan waktu, juga oleh laju pemanasan (Ramadhan dan Ali. 2009) . Tabel 3. Pengaruh Laju Pemanasan, Temperatur dan Waktu Tinggal Terhadap Produk Akhir Pirolisis Laju Pemanasan Tinggi Rendah Tinggi
Temperatur Rendah Rendah Tinggi
Waktu Tinggal Singkat (gas) Lama (gas)
Produk Utama Tar Char Gas
Tergantung pada kondisi operasi, pirolisis dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori utama : konvensional, cepat dan flash pirolisis. Perbedaan ini terdapat pada suhu, tingkat pemanasan, waktu tinggal padatan, ukuran partikel biomassa, dan lain-lain. Namun, distribusi produk relatif tergantung pada jenis pirolisis dan operasi pirolisis parameter.
20
Tabel 4. Parameter operasi khas dan produk proses pirolisis Pyrolysis Process Slow Fast Flash
Solid Residence Time (s) 450–550 0.5–10 <0.5
Heating Rate (K/s) 0.1–1 10–200 >1000
Particle Size (mm) 5–50 <1 <0.2
Temp. (K)
Product Yield (%) Oil Char Gas 550–950 30 35 35 850–1250 50 20 30 1050–1300 75 12 13
Sumber : Bridgwater, T. (2007) Beberapa mekanisme yang digunakan dalam mengungkap proses pirolisis adalah mekanisme satu komponen, dan mekanisme multi komponen, seperti diilustrasikan dalam gambar 3. Char
KC
KV1
KL
Tars
Wood KG
K= KC+KL+KG
Gas
(a) Gambar 3. (a) Mekanisme Pirolisis Satu Komponen
V1
A
KV2
KV3
V2
B KB
B
KD
V3
D D
KC
C
k1= kn+kb ; k2 = kv2(b) +kd ; k3 =kv3 +kc
(b) Mekanisme Pirolisis Multi Komponen
Cairan pirolisis mengandung nilai kalor kurang lebih 10-12 MJ/Kg dan air serta senyawa oksigen seperti turunan dari senyawa karboxilic, asam, furan dalam jumlah besar. Fraksi cair dari cairan kurang lebih 33% dari berat sampel awal. Fraksi residu mempunyai rasio H/C sama dengan alkana / sikloalkana. Kenaikan temperatur diatas 600 oC menyebabkan pengurangan cairan
secara signifikan
karena panas dan pemecahan katalis. Gas pirolisis terdiri dari sebagian besar CO dan CO2 dengan peningkatan CH4 dan H2 pada temperatur yang lebih tinggi. Nilai kalor dari gas pirolisis kering pada temperatur 700 oC adalah 13-16 MJ/N m3. Propertis hasil pirolisis ini dapat digunakan sebagai data dasar penelitian desain proses pirolisis dan gasifikasi sampah terseleksi berikutnya. Ketika pirolisis diaplikasikan untuk memproduksi char dan tar, temperatur pirolisis harus dibawah 500 oC untuk menghasilkan energi yang maksimal (Phan, dkk, 2008). Ojolo dan Bamgboy telah melakukan penelitian tentang pirolisis dengan sampel seberat 12 kg dan menghasilkan 52,2 % tar, 25,2 % char dan 22,6 % gas.
21
Rata-rata energi yang terkandung dari produk adalah 89.89MJ untuk char, 151.66MJ untuk tar and 4.03MJ untuk gas. Pirolisis dilakukan pada temperatur 400 oC sampai dengan 650 oC selama 4 jam (Ojolo, Bamgboy. 2005). c. Faktor- faktor yang mempengaruhi proses pirolisis Faktor-faktor atau kondisi yang mempengaruhi proses pirolisis adalah : 1) Waktu Waktu berpengaruh pada produk yang akan di hasilkan, karena semakin lama waktu pirolisis berlangsung, unsur karbon yang terkandung pada produk yang dihasilkan (residu padat, tar, dan gas) semakin naik. Kenaikan itu sampai dengan waktu tak terhingga (τ) yaitu waktu yang diperlukan sampai hasil padatan residu, tar, dan gas mencapai konstan. Nilai τ dihitung sejak proses isothermal berlangsung. Tetapi jika melebihi waktu optimal maka karbon akan teroksidasi oleh oksigen (terbakar), menjadi karbondioksida dan abu. 2) Suhu Suhu sangat mempengaruhi produk yang dihasilkan karena sesuai dengan persamaan Arhenius, suhu semakin tinggi maka nilai konstanta dekomposisi termal semakin besar, akibatnya laju pirolisis bertambah dan konversi naik. 3) Ukuran partikel Ukuran partikel berpengaruh terhadap hasil, semakin besar ukuran partikel. Luas permukaan per satuan berat yang terkena panas semakin kecil sehingga proses akan menjadi lambat. 4) Berat partikel Semakin banyak bahan yang dimasukkan, menyebabkan hasil bahan bakar cair (tar) dan arang meningkat (Wahyudi,2001). d. Produk Pirolisis Tiga produk primer yang diperoleh dari pirolisis biomassa adalah char, gas, dan uap yang pada suhu ambien mengembun menjadi cairan kental berwarna coklat tua. Produksi cairan maksimum terjadi pada suhu antara 350 dan 500 °C (Fahmi, R, et al. 2008 dan Demirbas, 2007). Hal ini karena reaksi yang berbeda terjadi pada temperatur yang berbeda dalam proses pirolisis. Akibatnya, pada suhu
22
yang lebih tinggi, molekul pada cairan dan sisa char dipecah untuk menghasilkan molekul yang lebih kecil yang memperkaya fraksi gas. Hasil produk yang dihasilkan dari pirolisis biomassa dapat dimaksimalkan sebagai berikut: (1) arang-suhu rendah, proses tingkat pemanasan yang rendah, (2) cair -suhu rendah, tingkat pemanasan yang tinggi, proses waktu tinggal gas singkat, dan (3 ) gas-bahan bakar suhu tinggi, tingkat pemanasan yang rendah, gas yang lama tinggal proses waktu. Tabel 4 meringkas produk yang diciptakan pada kondisi pirolisis yang berbeda. Produk dari proses pirolisis juga sangat tergantung pada kadar air dalam biomassa yang menghasilkan sejumlah besar air kondensat dalam fase cair (Demibras, 2000). Ini memberikan kontribusi untuk ekstraksi senyawa larut dalam air dari fase gas dan tar, dan dengan demikian penurunan lebih besar dalam produk gas dan padat (Arni, et al. 2010). Tabel 5. Proses pirolisis dengan temperatur yang berbeda Kondisi (oC)
Proses
Dibawah 350
pembentukan radikal bebas, eliminasi air dan depolimerisasi Pemecahan rantai glikosidik polisakarida melalui substitusi depolimerisasi
350 - 450
Diatas 450
Dehidrasi, penataan ulang dan fisi unit gula
Diatas 500
Campuran dari semua proses di atas
Kondensasi
produk tak jenuh mengembun dan bersatu dengan char
Produk Cair Pembentukan karbonil dan karboksil,
Padatan Biochar
Gas H2O, CO, CO2.
Campuran levoglucosan, anhidrida dan oligosakarida dalam bentuk fraksi tar. Pembentukan senyawa karbonil seperti asetaldehida, glyoxal dan akrolein Campuran dari semua produk diatas
Biochar
CO2, CO, CH4, H2, C2H4, C2H6, H2O
Biochar
C2H, C2H6, CO2, H2 H2
Residu char yang sangat reaktif dan mengandung radikal bebas
Sumber : (Van de Velden et al., 2010; Li et al., 2004; Uzun et al., 2007).
23
3.
Bio-Oil (Tar) Salah satu hasil pengolahan minyak nabati yang merupakan bahan bakar alternatif adalah Bio-oil. Bio-oil adalah bahan bakar cair berwarna gelap, beraroma seperti asap, dan diproduksi dari biomassa seperti kayu, kulit kayu, kertas atau biomassa lainnya melalui teknologi pirolisis (pyrolysis) atau pirolisis cepat (fast pyrolysis). Pirolisis cepat (Fast
Pyrolysis) adalah
dekomposisi
thermal
dari
komponen organik tanpa kehadiran oksigen dengan cara mengalirkan N 2 dalam prosesnya untuk menghasilkan cairan, gas dan arang. Cairan yang dihasilkan ini lebih lanjut kita kenal sebagai Bio-oil. Produk yang dihasilkan dalam proses pirolisis cepat tergantung dari komposisi biomassa yang digunakan sebagai bahan baku, kecepatan serta lama pemanasan. Rendemen cairan tertinggi yang dapat dihasilkan dari proses pirolisis cepat berkisar 78 % dengan lama pemanasan 0,5 – 2 detik, pada suhu 400-6000 C dan proses pendinginan yang cepat pada akhir proses. Pendinginan yang cepat sangat penting untuk
memperoleh produk dengan berat
molekul
tinggi sebelum
akhirnya
terkonversi menjadi senyawa gas yang memiliki berat molekul rendah (Hambali, 2007). Produksi bio oil sangat menguntungkan karena dengan pengorvensian bio oil maka
akan
didapatkan
produk
berupa
bahan
bakar
minyak,
misalnya:
biokerosene, biodiesel dan lain-lain (Hambali, 2007).
Gambar 4. Struktur Kimia Bio-Oil Bio-oil adalah campuran cairan senyawa oksigen yang mengandung berbagai bahan kimia kelompok fungsional, seperti karbonil, karboksil dan fenolik. Hal ini terdiri dari konstituen berupa: air, 25-30% air larut lignin pirolitik, 5-12% asam
24
organik 20-25%, 5-10% hidrokarbon non-polar, 5-10% anhydrosugars, dan 10-25% senyawa oksigen lainnya. Bio-Oil memiliki sifat polar yang tidak mudah bercampur dengan hidrokarbon. Bio-Oil berisi nitrogen kurang dari minyak bumi, dan hampir tidak mengandung komponen logam dan belerang. Bio-oil memiliki bau khas yang tajam dan berasap. Mengandung beberapa ratus yang berbeda bahan kimia dalam proporsi yang sangat beragam, mulai dari formaldehida dan asam asetat ke kompleks fenol tinggi berat molekul, anhydrosugars dan oligosakarida lainnya. kandungan aldehida yang tinggi dan asam asap dapat mengiritasi mata jika paparan berkepanjangan. Bio-oil dapat mentolerir penambahan air, tetapi ada batas untuk jumlah air yang dapat ditambahkan ke cairan sebelum pemisahan fase terjadi. Dengan kata lain, cairan tidak bisa dilarutkan dalam air. Hal ini larut dengan pelarut polar seperti metanol, aseton, dan lain-lain tapi benar-benar bercampur dengan bahan bakar yang berasal dari petroleum. Minyak pirolisis adalah kondesat uap cair dari reaksi pirolisis dan merupakan viscous liquid kecoklatan gelap yang memiliki beberapa kemiripan dengan fosil minyak mentah. Minyak pirolisis bersifat asam dengan kisaran pH antara 2 - 4, sehingga sangat tidak stabil dan bersifat korosif. Tabel 6. Property of Pirolisis oil Physical Property Moisture content pH Specific gravity Elemental analysis C H O N Ash High heat value Viscosity (104 0 F and 25 % water )
Sumber : Sadaka, 1914.
Typical Value 15%-30% 2.8 – 4.0 1.1 – 1.2 55 % - 64 % 5% - 8% 27% – 40% 0.05% - 1.0 % 0.03% - 0.30% 6.878 – 11.175 Btu/lb (16 – 26 MJ/kg) 25. 100 cP
25
4.
Kinetika Global Proses Pirolisis Analisis karakteristik pengujian pirolisis akan sangat penting artinya sebagai bahan evaluasi dan preparasi proses pengembangan studi selanjutnya. Kinetika global dalam pirolisis adalah
cabang pengetahuan dinamika tentang pengaruh laju
pemanasan dan temperatur akhir pada proses pirolisis. Beberapa uji yang dilakukan untuk mengetahui kinetika global dalam proses pirolisis adalah sebagai berikut : a.
Uji Nilai Kalor Nilai kalor adalah satuan panas yang dihasilkan persatuan bobot bahan yang mudah terbakar pada proses pembakaran yang cukup oksigen. Nilai kalor berhubungan langsung dengan kadar C dan H yang dikandung oleh bahan bakar padat. Semakin besar kadar keduanya semakin besar nilai kalor yang dikandung. Pengujian nilai kalor suatu bahan bakar dilakukan sesuai standar ASTM 2015 yaitu dengan mengambil sampel bahan bakar sebesar ± 1 gram untuk diujikan di bom kalorimeter untuk dianalisa kandungan kalornya. Nilai kalor (heating value) suatu bahan
bakar
diperoleh
dengan
menggunakan bomb calorimeter. Nilai kalor yang diperoleh melalui bomb calorimeter adalah nilai kalor atas atau Highest Heating Value (HHV) dan nilai kalor bawah atau Lowest Heating Value (LHV).Perhitungan nilai kalor kotor berdasarkan standar ASTM D240. Dari pengujian bomb calorimeter dapat dihitung panas yang diserap air dalam bomb calorimeter dan energi setara bomb calorimeter serta LHV dan HHV. Panas yang diserap air dalam bomb calori meter dihitung dengan menggunakan rumus :
Q = m.Cp.ΔT …………………………………… (1) Dimana : Q : Panas yang diserap (kJ) m : Massa air di dalam bomb calorimeter (gram) Cp : Specific heat 4,186 kJ/kg oC ΔT : Perbedaan temperatur ( oC)
26
LHV dan HHV dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
𝐿𝐻𝑉 =
(𝑚 𝑥 𝐶𝑝 𝑥 ∆𝑇) 𝑚 𝑡𝑎𝑟
……………………………… (2)
Untuk menghitung HHV digunakan rumus : HHV = (T2 – T1 - Tkp) x Cv (kJ/kg) LHV = HHV – 3240 kJ/kg Maka, HHV = LHV + 3240 kJ/kg ……………………… (3) Dimana : T1
= Temperatur air pendingin bomb calorimeter sebelu pembakaran(oC)
T2
= Temperatur air pendingin bomb calorimeter sesudah pembakaran (oC).
Tkp = Kenaikan temperatur disebabkan kawat pembakaran, 0.05 oC. HHV = Higthest Heating Value (kJ/kg) LHV = Lowest Heating Value (kJ/kg).
b.
Analisis Termogravimetry dan Energi Aktivasi Termogravimetri (TGA) adalah teknik yang mengukur perubahan berat sampel ketika dipanaskan, didinginkan atau diadakan pada suhu konstan. Kegunaan utamanya adalah untuk mengkarakterisasi bahan yang berkaitan dengan komposisi mereka (Vispute, T. 2011). Thermogravimetri analisis (TGA) adalah jenis pengujian yang dilakukan pada sampel untuk menentukan perubahan berat-susut (weight-loss) dalam kaitannya dengan perubahan suhu. Analisa tersebut bergantung pada tingkat presisi yang tinggi dalam tiga pengukuran: berat, suhu, dan perubahan suhu. Seperti jumlah kehilangan berat-susut (weight-loss) terlihat pada kurva, kurva berat-susut (weight-loss) mungkin memerlukan transformasi sebelum hasilnya dapat ditafsirkan.
27
TGA umumnya digunakan dalam penelitian dan pengujian untuk menentukan karakteristik bahan seperti polimer, untuk menentukan suhu degradasi, bahan menyerap kadar air, tingkat komponen anorganik dan bahan organik, titik dekomposisi bahan peledak, dan residu pelarut. Hal ini juga sering digunakan untuk memperkirakan kinetika korosi dalam oksidasi suhu tinggi (Sumbono, 2010).
Biasanya pengukuran dilakukan dalam atmosfer udara atau inert atmosfer seperti helium atau argon, massa dicatat sebagai fungsi dari kenaikan temperatur. Temperatur akhir ditentukan hingga massa bahan stabil yang secara tidak langsung menunjukan bahwa reaksi sudah selesai secara keseluruhan (dalam hal pembakaran dapat diprediksi bahwa seluruh karbon telah terbakar). Metode ini dapat mengkarakterisasi suatu bahan atau cuplikan yang dilihat dari kehilangan massa atau terjadinya dekomposisi, oksidasi atau dehidrasi. Mekanisme perubahan massa pada TGA ialah bahan akan mengalami kehilangan maupun kanaikan massa. Proses kehilangan massa terjadi karena adanya proses dekomposi yaitu pemutusan ikatan kimia, evaporasi yaitu kehilangan atsiri pada peningkatan suhu, reduksi yaitu interaksi bahan dengan pereduksi, dan desorpsi. Sedangkan kenaikan massa disebabkan oleh proses oksidasi yaitu interaksi bahan dengan suasana pengoksidasi, dan absorpsi. Analisis
dilakukan
dengan
menaikkan
suhu
secara
bertahap
dan
merencanakan berat (persentase) terhadap suhu. Suhu dalam banyak cara uji secara rutin mencapai 1000°C atau lebih, tapi furnace terisolasi hingga operator tidak akan dapat mengetahui setiap perubahan suhu. Setelah data diperoleh, kurva operasi dismooting dan lainnya dapat dilakukan seperti untuk menemukan titiktitik belok yang tepat. Thermogravimetri adalah teknik untuk mengukur perubahan berat dari suatu senyawa sebagai fungsi dari suhu ataupun waktu. Hasilnya biasanya berupa
rekaman diagram yang kontinu, reaksi dekomposisi satu tahap yang
skematik.
28
TGA dapat digunakan pada beragam studi kinetika. Metoda TGA yang cepat dan akurat digunakan untuk mempelajari reaksi-reaksi dekomposisi secara isotermal. Furnace TGA diatur pada suhu tertentu dan sampel diinteraksikan langsung dengan suhu ini. Setelah sampel disetimbangkan pada suhu ini selama 2-3 menit, dekomposisi sampel terhadap waktu dapat diikuti. Proses ini dapat diulangi pada suhu lain dan hasilnya dianalisis untuk menentukan mekanisme reaksi, energi aktivasi, dan lain-lain. Metode lain yang cukup potensial namun memiliki kesulitan pada tahap pengolahan data adalah studi kinetik melewati siklus pemanasan dinamis tunggal menggunakan TGA. Metode ini bisa sangat cepat namun analisanya sulit dilakukan karena ada dua variabel, yaitu suhu dan waktu, yang harus dilibatkan secara simultan. Melalui proses ini, dapat saja diperoleh hukum laju yang independen terhadap suhu dan mendapatkan hasil yang berarti dan reliable, namun tingkat kesalahannya akan lebih tinggi dibandingkan dengan pengukuran secara isotemal. Thermogravimetri sangat penting digunakan pada kajian mengenai polimer.
Thermogram
dapat memberikan informasi mengenai mekanisme
dekomposisi pada berbagai macam polimer. TGA dapat digunakan untuk analisis kinetik. Kecepatan
rata-rata pada proses kinetika
tergantung pada suhu spesimen, melainkan
tidak hanya
juga tergantung pada waktu
dimana dia dapat bertahan pada suhu tersebut. Secara tipikal, analisis kinetika terdiri dari parameter-parameter seperti Energi aktivasi (Ea), orde reaksi (k), dll. Energi aktivasi (Ea) dapat ditentukan pada jumlah energi minimum yang diperlukan untuk menginisiasi proses kimia. Thermogravimetri juga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif untuk campuran calsium, stronsium dan ion barium. Ketiga-tiganya pada presipitat awal berada dalam bentuk monohidrat oksalat (Karlina dan Viantikasari, 2013). Penurunan massa dalam fraksi massa dari bahan yang dipirolisis dibuat grafik untuk laju penurunan massanya. Persamaan yang akan dipakai adalah turunan dari persamaan Arrhenius, yaitu :
29
𝑑𝑌 𝑑𝑡
= 𝐴𝑒 −𝐸/𝑅𝑇 ……………………………….. (4)
Y dapat diperoleh dari pembagian massa sesaat (mt) dengan massa awal sampel (mo)
𝑌=
𝑚𝑡 𝑚𝑜
𝑑𝑌 = 𝐴𝑒 −𝐸/𝑅𝑇 𝑑𝑡 Persamaan tersebut kemudian diubah menjadi : ln
𝑑𝑌 𝑑𝑡
= ln 𝐴 −
𝐸 𝑅𝑇
……………………….. (5)
Data hasil penelitian yang diperoleh pertama kali adalah mo
,
mt dan
temperatur untuk setiap waktu yang kemudian dapat dikonversi menjadi dY/dt. Dengan membuat ln dari dY/dt maka didapat ln (dY/dt) yang hasilnya kemudian dibuat grafik hubungan antara ln (dY/dt) dengan 1/Tsolid). Grafik yang terbentuk kemudian dicari persamaan garis lurusnya melalui regresi linier. Grafik logaritma alami penurunan fraksi terhadap 1/T menghasilkan persamaan linier. y=ax + c ln
𝑑𝑌 𝑑𝑡
=−
E R x T (solid )
+ ln 𝐴 ……………… (6)
Sehingga diperoleh : Y = ln
𝑑𝑌 𝑑𝑡
………………………………….. (7)
ax = −
E RT
sehingga E = -Ar
Instrumen Dasar yang diperlukan untuk termogravimetri adalah sebuah neraca presisi dengan suatu tungku yang diprogramkan untuk kenaikan temperature secara linier dengan waktu. Hasil-hasil bisa disajikan sebagai: (1) Kurva termogravimetri dimana perubahan bobot sebagai fungsi dari temperature atau waktu, atau (2) sebagai kurva termogravimetri turunan, dimana turunan pertama dari kurva termogravimetri terhadap temperature atau waktu. Absis (sumbu X) dapat ditampilkan sebagai waktu atau suhu dan ordinat (sumbu Y) dapat ditampilkan sebagai berat (mg) atau persen berat (%).Berikut adalah contoh kurva thermogravimetri:
30
Gambar 5. Kurva normal thermogravimetri (Földvári, 2011) Keterangan : T : Suhu t : Waktu m : massa Bukit AB adalah bagian dari kurva TG yang mana mempunyai berat konstan. Temperatur awal (Ti), B adalah temperatur (dalam celcius atau kelvin) yang mana pada saat berat dari sampel dapat di deteksi oleh termobalance. Temperatur akhir (Tf) adalah temperatur maksimal yang di deteksi oleh termobalance. Berikut contoh kurva thermogravimetri karakteristik prolisis.
(a) Bambu
(b) Kemasan
Gambar 6. Grafik Karakteristik Pirolisis Pada gambar 6 grafik
menunjukkan dalam pirolisis, suatu bahan akan
terjadi proses pengeringan dan devolatilisasi, proses pengeringan pada sampel
31
bambu terjadi sampai temperature 189,1 oC, dilanjutkan devolatilisasi sampai temperatur 347,3 oC. Pirolisis bambu, proses pengeringan
terjadi
sampai
o
temperatur 140,4 C dan dilanjutkan devolatilisasi sampai temperatur 396,3 oC, dan pirolisis kemasan plastik, temperatur pengeringan terjadi sampai suhu 312,1 o
C dilanjutkan devolatilisasi sampai temperatur 447,6 oC. Pada grafik terlihat bahwa meskipun mengalami pengurangan massa secara
tajam pada saat bersamaan terjadi kenaikan temperatur secara tiba-tiba, kemudian turun lagi dan naik secara linear seperti biasanya kemungkianan adanya pembakaran yang terjadi pada sampel, kemungkinan sampel terbakar dan melepaskan sejumlah besar kalor secara mendadak dan menyebabkan kenaikan temperatur secara tajam diikuti menghilangnya kalor dan turunnya temperatur. Dari perhitungan dapat diketahui energi aktivasi yang dibutuhkan pada proses pirolisis bambu adalah (Ea) = 32.391,34 J/gram mol (Setiawan, 2010). Berikut adalah contoh kurva thermogravimetri pada kalsium karbonat (kalsit) dan strontoanit.
Gambar 7. Kurva thermogravimetri kalsit (CaCO3) (Ray L, Frost, 2009) Hui Zhou meneliti tentang simulasi pirolisis lima jenis biomassa oleh hemiselulosa, selulosa dan lignin berdasarkan kurva thermogravimetry. Biomassa yang digunakan pada penelitian ini adalah kayu poplar, daun poplar, daun chinar, kubis cina, dan kulit jeruk. Setelah dilakukan proses pirolisis dengan heating rate 10 oC/menit dihasilkan kurva TG seperti dibawah ini:
32
(a)
(b)
Gambar 8. (a) Kurva TG biomassa dengan heating rate 10 K/menit dan (b) Kurva DTG biomassa dengan heating rate 10K/menit (Zhou.H,2013). Tabel 7. Hasil uji proximate dan ultimate biomassa Proximate analysis Elemental analysis HHVd d d t.d d d d d A % V % FC % S % C % H % N % 0 % (MJ/kg) Kayu Poplar 7.54 73.85 18.61 0.20 47.49 5.45 1.41 37.91 18.50 Daun Poplar 15.69 68.74 15.57 0.26 41.77 4.42 1.11 36.75 16.85 Daun Chinar 9.23 69.74 21.03 0.30 48.06 4.43 0.92 37.06 19.12 Kubis China 9.91 67.60 22.49 0.55 42.78 5.30 3.70 37.76 16.99 Kulit Jeruk 2.91 76.49 20.6 0.18 47.32 5.75 1.39 42.45 18.47 A:ash content;V:volatile matter content;FC:fixed carbon content;HHV:higher heating value;d:dry basis; t: total Biomass
d
Sumber : Zhou, et al. 2013
Tabel 7 menunjukkan bahwa analisis proksimat dan ultimate dari biomassa yang berbeda adalah serupa. Dalam percobaan TGA, biomassa Diuji kandungan bahan kimia dengan sistem grinder GJ-1 disegel dan kemudian diayak untuk dengan ukuran kurang dari 250 µm, ukuran
yang cukup kecil untuk
mencegah efek perpindahan panas isotermal dan percobaan dinamis Sekitar 25 mg biomassa kering digunakan dalam eksperimen TGA ini.
33
B. Kerangka Berpikir Berdasarkan tinjauan pustaka di atas dapat ditarik suatu kerangka berpikir tentang pengaruh variasi laju pemanasan dan variasi temperatur akhir terhadap kinetika global Tar dalam pirolisis sampah kota terseleksi sebagai berikut: Peningkatan Jumlah Penduduk diimbangi dengan peningkatan jumlah sampah dan penggunaan bahan bakar. Jumlah sampah terus meningkat setiap harinya diimbangi dengan menurunnya daya tampung Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Diperlukan Proses Pengolahan Sampah untuk dikonversi menjadi sumber energi terbarukan
Proses Penyeleksian sampah Sampah Organik
Sampah Anorganik
(Daun Pisang dan Bambu)
(Sterofoam dan Bungkus Plastik) Sisa Makanan Pirolisis
Gas
Char
Tar 1. Rendemen 2. Uji Nilai Kalor 3. Energi Aktifasi
= Diteliti = Tidak diteliti Gambar 9. Kerangka Berpikir C. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah : Ha
: Terdapat Pengaruh variasi laju pemanasan dan variasi temperatur akhir terhadap kinetika global Tar dalam pirolisis sampah kota terseleksi.
H0
: Tidak terdapat Pengaruh variasi laju pemanasan dan variasi temperatur akhir terhadap kinetika global Tar dalam pirolisis sampah kota terseleksi