5
BAB II LANDASAN TEORI
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. School Feeding Sistem pendidikan di Indonesia belakangan ini sedang marak dengan desain waktu belajar yang lebih panjang (full day), salah satunya pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar dengan model full day diantaranya memiliki fasilitas pemberian makanan di sekolah (school feeding) berupa makan siang. Secara tidak langsung pemberian makanan di sekolah memberikan pengaruh terhadap keteraturan pola makan pada anak yang kebanyakan memiliki kebiasaan yang tidak teratur pada saat sarapan dan makan siang. Angka Kecukupan Energi untuk anak usia 7-9 tahun sebesar 1850 Kkal dan untuk usia 10-12 tahun 2050 Kkal. Kandungan zat gizi makanan selingan ditinjau dari besarnya kandungan energi dan protein sebesar 300 kkal dan 5 gram protein. Angka kecukupan gizi sangat berpengaruh terhadap status gizi, karena status gizi merupakan ekspresi dari keseimbangan intake makanan dan pengeluaran dari dalam tubuh (Supariasa dkk, 2002). Menurut Prasetyowati dan Gunanti (2003) adanya fasilitas makan siang memiliki kontribusi sebesar 2 per 5 dari total konsumsi makanan dalam sehari dengan asumsi makan siang lebih besar dari makan pagi (1 per 5) dan sama dengan makan malam (2 per 5). Model school feeding merupakan solusi alternatif penyelesaian masalah gizi kurang pada anak sekolah. Dengan penyelenggaraan makan yang meliputi snack pagi, makan siang dan snack sore diharapkan akan menambah asupan gizi bagi anak sekolah (Sunarti, 2013). Program School Feeding sering terintegrasi ke dalam pendidikan internasional dan nasional yang programnya sangat luas, misalnya School Feeding Programe secara langsung berkaitan dengan dua tujuan Millennium Development Goals yaitu tujuan yang pertama memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem dan tujuan yang ke dua adalah mewujudkan pendidikan dasar untuk semua (WFP, 2008). Tujuan kedua MDGs ini bukanlah sekedar semua anak bisa sekolah, tetapi memberikan mereka pendidikan dasar yang utuh. Kenyataannya, banyak anak yang tidak bisa bersekolah dengan lancar di sekolah dasar. Ada yang tidak naik kelas atau bahkan terpaksa berhenti. Saat ini ada
6
sekitar 9% anak harus mengulang di kelas 1 sekolah dasar, sementara pada setiap jenjang kelas, sekitar 5% putus sekolah. Akibatnya, sekitar seperempat anak Indonesia tidak lulus dari sekolah dasar (World Bank, 2006). a. Pengertian School Feeding Full day School merupakan suatu sistem pendidikan yang memiliki waktu belajar lebih panjang dibandingkan dengan pendidikan pada umumnya, yang biasanya selama 5 – 6 jam, kegiatan belajar mengajar diselenggarakan mulai dari pukul 07.00 – 15.30 sehingga anak banyak menghabiskan waktu dilingkungan sekolah hingga sore hari, sekolah dasar dengan sistem full day ini terdapat salah satu fasilitas yaitu memberikan snack pagi dan makan siang (school feeding) yang dirasa sangat penting bagi anak. School feeding diharapkan dapat memenuhi kebutuhan zat gizi seperti energi, protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh anak sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar anak usia sekolah yang sangat membutuhkan pasokan makanan bergizi untuk mempertahankan kecerdasan (Prasetyowati dan Gunanti, 2003). Menurut WFP (2008), school feeding adalah penyediaan makanan atau jajanan sekolah untuk
mengurangi
kelaparan
pada
anak-anak
selama
melaksanakan
pembelajaran di sekolah. Menurut Permenkes Nomor 18 Tahun 2011, tentang pedoman penyediaan makanan tambahan anak sekolah school feeding adalah kegiatan pemberian makanan kepada peserta didik dalam bentuk jajanan atau kudapan atau makanan lengkap yang aman dan bermutu beserta kegiatan pendukung lainnya, dengan memperhatikan aspek mutu dan keamanan pangan. b. Tujuan School Feeding Tujuan diadakannya School Feeding adalah a) Meningkatkan kecukupan asupan gizi peserta didik melalui makanan yang diberikan b) Meningkatkan ketahanan fisik dan kehadiran peserta didik dalam mengikuti kegiatan belajar. c) Meningkatkan kesehatan anak khususnya dalam penanggulangan penyakit kecacingan
7
d) Meningkatkan pengetahuan dan perilaku peserta didik untuk menyukai makanan lokal bergizi, menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan Lingkungan Bersih dan Sehat (LBS). e) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan dan pengadaan pangan lokal. f) Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan gizi peserta didik, produksi pertanian, pendapatan masyarakat dan kesejahteraan keluarga.
c. Manfaat School Feeding Menurut WFP (2004) School Feeding merupakan program yang efektif untuk menangani masalah gizi anak sekolah karena : a) Mengurangi kelaparan jangka pendek. Di sekolah makanan diberikan langsung ke anak-anak sehingga dapat mengurangi kelaparan jangka pendek dan sebagai perantara untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka. b) Meningkatkan minat siswa pendaftar di sekolahan, kehadiran siswa dan mengurangi angka putus sekolah. Baik pemberian makanan di sekolah atau yang dibawa pulang secara konsisten terbukti efektif dalam meningkatkan minat pendaftaran, kehadiran dan dapat mengurangi angka anak putus sekolah. c) Meningkatkan belajar siswa, fungsi kognitif, perilaku di kelas, hasil prestasi akademik dan kemampuan berkonsentrasi, menyediakan makanan di sekolah dapat memberikan manfaat dalam proses belajar anak. Berbagai penelitian telah menunjukkan prestasi belajar lebih tinggi untuk anak yang menerima pemberian makanan di sekolah, untuk keefektifan dalam meningkatkan prestasi hendaknya makanan diberikan seawal mungkin. d) Sebagai perantara untuk suplementasi mikronutrien, penggunaan makanan yang beragam adalah cara yang efektif untuk mengatasi kebutuhan nutrisi tertentu dan kekurangan seperti vitamin A, zat besi atau yodium. e) Berkontribusi terhadap kesejahteraan psikologi anak-anak. Studi terbaru menunjukkan dua faktor yang dapat menyebabkan depresi masa kecil adalah lapar dan tidak bersekolah. Pemberian makanan di sekolah dapat menyediakan setidaknya satu makanan bergizi untuk anak-anak miskin.
8
f) Meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Keluarga pinggiran yang termasuk rawan pangan biasanya menghabiskan 65-70 % dari pendapatannya untuk makanaan. Hal ini sering menjadi alasan untuk tidak menyekolahkan anak mereka ke full day school, dengan adanya school feding anak akan mendapatkan makanan di sekolah, sehingga untuk keluarga yang kurang mampu tidak perlu khawatir menyekolahkan anak mereka. g) Mempromosikan Partisipasi Masyarakat, school feeding bisa meningkatkan kontak komunikasi, antara orang tua dan guru, pejabat dan lain-lain, memberikan kesempatan kepada orang tua untuk menjadi lebih sadar tentang apa yang terjadi di sekolah, dan bisa berpartisipasi dalam pelayanan untuk menaikkan nilai pendidikan atau mutu sekolah d. Prinsip dasar pelaksanaan School Feeding di Indonesia a) Menggunakan makanan lokal yang diproduksi oleh salah satu dari keluarga atau penjual makanan. b) Energi 300 kkal dan protein 5 gram atau minimal 15 persen dari total kalori per hari. c) Snack (bukan makanan yang lengkap) diberikan sekitar jam 9-10 saat istirahat. d) School Feeding Program dikombinasikan dengan pendidikan gizi dan kesehatan pada saat yang sama dan pemberian obat cacing (WFP, 2008). Dalam pemberian makan siang di sekolah dianjurkan untuk memenuhi menu seimbang yang terdiri dari beraneka ragam makanan dalam jumlah dan proporsi yang sesuai, sehingga memenuhi kebutuhan gizi seseorang guna pemeliharaan dan perbaikan sel-sel tubuh dari proses kehidupan serta pertumbuhan dan perkembangan (Almatsier, 2009). Asupan energi dalam suatu susunan hidangan sekolah seyogyanya sebesar 900 kalori bagi anak-anak diatas umur 11 tahun, 700 kalori diantara 6 sampai 11 tahun, serta 600 kalori bagi umur di bawah 6 tahun. Suatu susunan hidangan rata-rata yang mengandung 700 kalori sudah mencukupi kebutuhan bagi kondisi di daerah tropik (Nicholls, 2006). 2. Status Gizi Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2009), sedangkan menurut Gibson (2005) status gizi merupakan suatu keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan oleh
9
konsumsi, penyerapan (absorption) dan pengunaan (utilization) zat gizi makanan, keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan, dimana terlihat dari variabelvariabel pertumbuhan berat badan, tinggi/panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan dan panjang tungkai. Status gizi tersebut dibedakan menjadi status gizi kurang, baik dan lebih. Status gizi baik atau gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat semaksimal mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zatzat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan (Almatsier, 2009). Penilaian status gizi pada anak usia 5-19 tahun memakai Indeks Massa Tubuh (IMT) dianjurkan untuk digunakan pada anak-anak dan remaja. Pada anak-anak, IMT dihitung sebagai untuk orang dewasa dan kemudian dibandingkan dengan z - skor atau persentil (WHO, 2013). Menurut Gibson (2005), rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:
Untuk anak usia 5-19 tahun, berdasarkan kurva IMT per umur cut-off untuk penentuan status gizi adalah sebagai berikut : Obesitas
: + 2 SD (Setara dengan IMT > 30)
Overweight
: +1 SD (Setara dengan IMT >25)
Kurus
: - 2 SD
Sangat kurus
: - 3 SD
3. Asupan Makanan Makanan sebagai sumber energi bagi tubuh yang diperlukan untuk melakukan kegiatan atau aktifitas sehari-hari karena anak sekolah membutuhkan energi yang cukup untuk aktifitas disekolah seperti belajar, berolahraga, bermain dan lain-lain. Energi yang diperlukan untuk menulis, membaca bagi anak sekolah adalah sebanyak 0,4 kal/kgBB/jam, sedangkan untuk kegiatan olahraga sekitar 6 kal/kgBB/jam (Almatsier,
10
2009). Masalah-masalah kesehatan yang terjadi pada masa anak-anak akan menjadi masalah kesehatan pada saat mereka remaja (Arisman, 2010). Pada anak yang mempunyai intake makan kurang, kadar glukosa darahnya menurun sehingga pasokan energi untuk kerja otak kurang. Tubuh memecah simpanan glikogen untuk mempertahankan kadar gula normal. Apabila cadangan glikogen habis, tubuh akan kesulitan memasok energi dari glukosa ke otak, yang akhirnya mengakibatkan cepat lelah, badan gemetar dan dapat mengalami penurunan dalam konsentrasi belajar (Sibue, 2003). Tujuan dari pemberian fasilitas makan siang disekolah ini dapat memenuhi kebutuhan energi karena aktivitas disekolah yang tinggi, selain itu dapat mengurangi paparan anak sekolah terhadap makanan jajanan yang tidak sehat dan tidak aman, serta dapat digunakan dalam pengenalan berbagai jenis makan yang mungkin tidak disukai anak ketika disajikan dirumah, tapi akan menerima makanan ketika disajikan disekolah dengan demikian anak dapat mengenal aneka bahan pangan (Judarwanto, 2006). a. Karbohidrat Karbohidrat yang terkandung dalam makanan pada umumnya hanya ada 3 jenis yaitu: Polisakarida, Disakarida dan Monosakarida (Sediaoetama, 2010). Karbohidrat memegang peranan penting dalam proses metabolisme tubuh dan produk yang dihasilkan terutama dalam bentuk gula sederhana yang mudah larut dalam air, dimana sebagianakan mengalami polimerasi dan membentuk polisakarida. Karbohidrat dibutuhkan tubuh untuk memelihara fungsi dasar tubuh yang disebut metabolisme basal sebesar 60-70% dari kebutuhan energi total. Kebutuhan energi untuk metabolisme basal dan diperlukan untuk fungsi tubuh seperti mencerna, mengolah dan menyerap makanan dalam alat pencernaan, serta untuk bergerak, berjalan, bekerja dan beraktivitas lainnya. Tingkat Kecukupan energi ini akan mempengaruhi status gizi (Soekirman, 2000). Dalam keadaan normal, seluruh energi yang digunakan oleh sel otak disuplai oleh glukosa, kira-kira 20% dari glukosa yang terdapat di dalam darah digunakan oleh otak. Sehingga sebagian besar aktivitas neuronal bergantung pada pengiriman glukosa dan oksigen oleh darah (Guyton, 2008). Energi diperlukan untuk kelangsungan prosesproses di dalam tubuh seperti proses peredaran dan sirkulasi darah, denyut jantung, pernafasan, pencernaan, serta proses fisiologis lainnya, untuk bergerak atau melakukan pekerjaan fisik. Energi dalam tubuh dapat timbul karena adanya pembakaran karbohidrat, protein, dan lemak (Kartasapoetra dan Marsetyo, 2005).
11
Karbohidrat glukosa merupakan karbohidrat terpenting dalam kaitannya dengan penyediaan energi di dalam tubuh. Hal ini disebabkan karena semua jenis karbohidrat baik monosakarida, disakarida maupun polisakarida yang dikonsumsi oleh manusia akan terkonversi menjadi glukosa di dalam hati. Glukosa ini kemudian akan berperan sebagai salah satu molekul utama bagi pembentukan energi di dalam tubuh (Irawan, 2007). b. Protein Protein sebagai salah satu zat gizi yang diperlukan oleh tubuh memegang peranan penting dalam proses pertumbuhan, pengganti sel tubuh yang rusak, dan sebagai katalisator. Fungsi khas protein yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier, 2009). Nilai gizi protein dapat diartikan sebagai kemampuan suatu protein untuk dapat dimanfaatkan oleh tubuh sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein tubuh. Terdapat dua faktor yang menentukan nilai gizi suatu protein, yaitu daya cerna dan kandungan asam amino esensialnya. Protein yang mudah dicerna oleh enzim-enzim pencernaan serta mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap serta dalam jumlah yang seimbang merupakan protein yang bernilai gizi tinggi. Umumnya protein hewani merupakan protein yang bernilai gizi tinggi, kecuali gelatin. Protein nabati umumnya daya cernanya lebih rendah dan kekurangan salah satu asam amino esensial (Muchtadi, 2002). Protein
diperlukan
untuk
sebagian
proses
metabolik
terutama
untuk
pertumbuhan, perkembangan dan memelihara jaringan tubuh. Menurut Kartasapoetra dan Marsetyo (2005), kekurangan protein yang terus menerus akan menimbulkan gejala yaitu pertumbuhan kurang baik, daya tahan tubuh menurun, rentan terhadap penyakit, daya kreatifitas dan daya kerja merosot, mental lemah, dan lain-lain. Di dalam masa pertumbuhan dan perkembangan tersebut seorang anak membutuhkan sejumlah zat gizi yang harus didapatkan dari konsumsi makanan dalam jumlah yang cukup dan sesuai dengan yang dianjurkan setiap harinya. Anak-anak pada usia ini secara bertahap memiliki dorongan untuk tumbuh bertepatan dengan waktu peningkatan nafsu makan dan asupan makanan (Brown, 2005). Protein juga merupakan prekursor untuk neurotransmitter yang mendukung perkembangan otak. Fungsi otak yang baik tergantung pada kapasitas menyerap dan
12
memproses informasi. Neurotransmitter catecholaimes dibentuk dari asam amino penting yaitu Tyrosine dan neurotransmitter serotonin dibentuk dari Tryptophan. Serotonin menstimulasi tidur yang penting untuk perkembangan otak dalam memproses informasi, sedangkan catecholamine berkaitan dengan keadaan siaga yang membantu menyerap informasi di otak. Sumber protein antara lain seperti ikan, susu, daging, telur dan kacang-kacangan (Sediaoetama, 2010). Sifat protein transpor GLUT berbeda di antara jaringan-jaringan, yang mencerminkan fungsi metabolisme glukosa di masing-masing jaringan. Bentuk iso transporter yang ada memiliki Km yang relatif rendah untuk glukosa dan terdapat dalam konsentrasi yang relatif tinggi di membran sel sehingga konsentrasi glukosa intrasel mencerminkan konsentrasi dalam darah. Variasi kadar glukosa darah di jaringan (0,050,10M) tidak mempengaruhi kecepatan fosforilasi glukosa intrasel. Namun, di beberapa jaringan, kecepatan transpor menjadi penentu kecepatan sewaktu kadar glukosa serum rendah atau sewaktu kadar insulin yang rendah memberi sinyal bahwa tidak terdapat glukosa dari makanan (Marks et al, 2000). Walaupun fungsi utama protein adalah untuk pertumbuhan, bilamana tubuh kekurangan zat energi fungsi protein untuk menghasilkan energi atau untuk membentuk glukosa akan didahulukan. Bila glukosa atau asam lemak dalam tubuh terbatas, sel terpaksa menggunakan protein untuk membentuk glukosa dan energi. Glukosa dibutuhkan sebagai sumber energi sel-sel otak dan sistem saraf. Hemoglobin, pigmen darah yang berwarna merah dan berfungsi sebagai pengangkut oksigen dan karbondioksida adalah ikatan protein. Hemoglobin akan membawa oksigen ke otak, sehingga otak dapat berfikir lebih baik, jika protein yang masuk ke dalam tubuh kurang dapat menyebabkan daya ingat atau konsentrasi belajar menurun sehingga menyebabkan prestasi belajar juga menurun, tetapi apabila protein yang masuk cukup dapat menyebabkan prestasi belajar menjadi baik (Almatsier, 2009). c. Lemak Menurut Sediaoetama (2010) lemak merupakan sekelompok ikatan organik yang terdiri atas unsur-unsur Karbon (C), Hidrogen (H) dan Oksigen (O) yang dapat larut dalam zat pelarut lemak. Lemak dapat berasal dari hewan yang terutama mengandung
13
asam lemak jenuh dan lemak dari tumbuh-tumbuhan yang lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh. Fungsi lemak antara lain: 1) Sumber utama energi atau cadangan dalam jaringan tubuh dan bantalan bagi organ tertentu dari tubuh. 2) Sebagai sumber asam lemak yaitu zat gizi yang esensial bagi kesehatan kulit dan rambut. 3) Sebagai pelarut vitamin-vitamin (A, D, E, K) yang larut dalam lemak Lemak merupakan komponen utama membran sel otak dan selubung myelin disekeliling saraf otak yang mempengaruhi perkembangan dan kemampuan otak, DHA (asam lemak omega 3) dan AA (asam lemak omega 6) adalah komponen utama struktur otak dan mempunyai peran penting dalam perkembangan fungsi otak dan retina. Sphingomyelin adalah komponen utama dari sel saraf, jaringan otak dan selubung myelin disekitar saraf. Sphingomyelin mempunyai peran dalam mengirim sinyal dan membawa informasi dari satu sel saraf ke sel saraf otak lainnya. Sumber lemak antara lain seperti yang terdapat dalam minyak, santan, dan mentega, roti dan kue juga mengandung omega 3 dan 6 yang penting untuk perkembangan otak (Sediaoetama, 2010). Lemak dan minyak merupakan sumber energi paling padat, yang menghasilkan 9 kkal untuk tiap gram, yaitu 2½ kali besar energi yang dihasilkan oleh karbohidrat dan protein dalam jumlah yang sama (Almatsier, 2009). Kebutuhan energi dan protein golongan umur 10-12 tahun relatif lebih besar dari pada golongan umur 7-9 tahun, karena pertumbuhan relatif cepat, terutama penambahan tinggi badan. Mulai umur 1012 tahun kebutuhan gizi anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Adapun jumlah energi dan protein yang dianjurkan oleh Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi bagi anak umur 7-12 tahun tertera pada tabel berikut ini.
Tabel 1.Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata Kelompok Berat Badan Tinggi Badan Umur (kg) (cm) 7–9 tahun 27.0 130 Pria 10–12 tahun 34.0 142 Wanita 10–12 tahun 36.0 145 Sumber: Sediaoetama (2010)
Energi (Kkal) 1850
Protein (g) 49
Lemak (g) 72
Karbohidrat (g) 254
2100
56
70
289
2000
60
67
275
14
Tabel 2. Klasifikasi Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Energi dan Zat Gizi Energi dan Protein
Klasifikasi Tingkat Kecukupan a. Defisit tingkat berat (<70% angka kebutuhan) b. Defisit tingkat sedang (70 – 79% angka kebutuhan) c. Defisit tingkat ringan (80-89% angka kebutuhan) d. Normal (90 – 119% angka kebutuhan) e. Diatas angka kebutuhan (≥120% angka kebutuhan)
Sumber : Gibson (2005) d. Metabolisme Glukosa Glukosa adalah bentuk dari karbohidrat yang ada di dalam aliran darah untuk menjadi sumber energi bagi otak. Kebutuhan energi otak mencapai 10% daripada kebutuhan energi seluruh tubuh. Secara normal otak membutuhkan glukosa untuk menghasilkan energi melalui proses glikolisis dan siklus Krebs serta membutuhkan ± 4 x 10²¹ ATP per menit. Kebutuhan energi ini tinggi karena neuron selalu berada dalam proses metabolisme dan neuron tidak dapat menyimpan glukosa, maka otak bergantung dari aliran darah untuk mendapatkan energi (Amy dkk, 2008). Metabolisme aerob glukosa sangat efektif untuk menghasilkan energi yang diperlukan. Satu molekul glukosa menghasilkan 38 molekul ATP, sedangkan metabolisme anaerob hanya menghasilkan 2 molekul ATP, Ikatan yang terdapat dalam molekul ATP ini akan mampu untuk menghasilkan energi sebesar 7.3 kilokalor per molnya. Pada keadaan lapar yang berkepanjangan, energi utama otak adalah keton. Apabila asupan makan kurang, kadar glukosa darah turun (hipoglikemia), maka glukagon dikeluarkan dan mengaktifkan
glikogenolisis
(perubahan
glikogen
menjadi
glukosa)
serta
glukoneogenesis (pembentukan glukosa yang berasal dari senyawa non karbohidrat) dihati yang menyebabkan pelepasan glukosa ke dalam darah (Mayes, 2003).
15
Gambar 1. Siklus Krebs (Ganong, 2008) Glikogenolisis menyebabkan pembentukan glukosa dihati dan pembentukan laktat di otot yang masing–masing terjadi akibat adanya glukosa-6-fosfatase di hati. Akan tetapi pada reaksi glukoneogenesis glukosa-6-fosfat tidak dapat membentuk glukosa, karena otot tidak mengandung enzim glukosa-6-fosfatase. Sehingga produk asam laktat harus ditransfer lebih dahulu ke hati, kemudian terjadi pembentukan glukosa (Hardjasasmita, 2004). Meningkatnya kadar asam laktat dalam darah akibat katabolisme glukosa, dapat menyebabkan kelelahan sehingga seseorang akan merasa terganggu aktivitas dan produkifitasnya (Almatsier, 2009). Di dalam tubuh manusia glukosa yang telah diserap oleh usus halus kemudian akan terdistribusi ke dalam semua sel tubuh melalui aliran darah. Di dalam tubuh, glukosa tidak hanya dapat tersimpan dalam bentuk glikogen di dalam otot & hati namun juga dapat tersimpan pada plasma darah dalam bentuk glukosa darah (blood glucose). Di dalam tubuh selain akan berperan sebagai bahan bakar bagi proses metabolisme, glukosa juga akan berperan sebagai sumber energi utama bagi kerja otak. Melalui proses oksidasi yang terjadi di dalam selsel tubuh, glukosa kemudian akan digunakan untuk mensintesis molekul ATP (adenosine triphosphate) yang merupakan molukel molekul dasar penghasil energi di dalam tubuh. Tahap metabolisme energi berikutnya akan berlangsung pada kondisi aerob dengan mengunakan bantuan oksigen (O2). Bila oksigen tidak tersedia maka molekul piruvat hasil proses glikolisis akan terkonversi menjadi asam laktat. Dalam kondisi aerob, piruvat hasil proses glikolisis akan teroksidasi menjadi produk akhir berupa H2O dan CO2 di dalam tahapan proses yang dinamakan respirasi selular
16
(Cellular respiration). Proses respirasi selular ini terbagi menjadi 3 tahap utama yaitu produksi Acetyl-CoA, proses oksidasi Acetyl-CoA dalam siklus asam sitrat (Citric-Acid Cycle)
serta
Rantai
Transpor
Elektron
(Electron
Transfer
Chain/Oxidative
Phosphorylation). Tahap kedua dari proses respirasi selular yaitu Siklus Asam Sitrat merupakan pusat bagi seluruh aktivitas metabolisme tubuh. Siklus ini tidak hanya digunakan untuk memproses karbohidrat namun juga digunakan untuk memproses molekul lain seperti protein dan juga lemak (Irawan, 2007). Setelah makanan dikonsumsi, komponen makanan akan dicerna oleh serangkaian enzim di dalam tubuh. Karbohidrat dicerna oleh α-amilase di dalam air liur dan α-amilase yang dihasilkan oleh pancreas yang bekerja di usus halus. Disakarida diuraikan menjadi monosakarida. Sukrase mengubah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa, lactase mengubah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa. Sel epitel usus akan menyerap monosakarida, glukosa, dan fruktosa bebas kemudian dilepaskan dalam vena porta hepatica (Champe et al, 2005). Jaringan pertama yang dilewati melalui vena hepatika adalah hati. Di dalam hati, glukosa dioksidasi dalam jalur-jalur yang menghasilkan ATP untuk memenuhi kebutuhan energi segera sel-sel hati. Insulin meningkatkan penyerapan dan penggunaan glukosa sebagai bahan bakar, dan penyimpanannya sebagai glikogen serta triasilgliserol. Simpanan glikogen dalam hati bisa mencapai maksimum sekitar 200-300 g setelah makan makanan yang mengandung karbohidrat (Marks et al, 2000). Secara keseluruhan proses metabolisme Glukosa akan menghasilkan produk samping berupa karbon dioksida (CO ) dan air (HO). Karbon dioksida dihasilkan dari siklus Asam Sitrat sedangkan air (HO) dihasilkan dari proses rantai transport elektron. Melalui proses metabolisme, energi kemudian akan dihasilkan dalam bentuk ATP dan kalor panas. Terbentuknya ATP dan kalor panas inilah yang merupakan inti dari proses metabolisme energi. Melalui proses Glikolisis, Siklus Asam Sitrat dan proses Rantai Transpor Elektron, sel-sel yang tedapat di dalam tubuh akan mampu untuk mengunakan dan menyimpan energi yang dikandung dalam bahan makanan sebagai energi ATP. Secara umum proses metabolisme secara aerob akan mampu untuk menghasilkan energi yang lebih besar dibandingkan dengan proses secara anaerob (Irawan, 2007). Seperti jaringan yang lainnya, otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari proses
17
metabolisme oksidasi glukosa. Dalam keadaan istirahat, metabolisme otak kira-kira 15% dari seluruh metabolisme tubuh jadi kira-kira 7,5 kali metabolisme rata-rata dalam tubuh yang istirahat. Glukosa sebagai sumber energi untuk sel-sel otak, sel saraf lain dan sel darah merah tidak dapat digantikan oleh lemak (Almatsier, 2009). Meningkatnya katabolisme glukosa dalam otot rangka akan meningkatkan kadar asam laktat dalam darah, yang dapat menyebabkan kelelahan sehingga seseorang akan merasa terganggu konsentrasinya dalam melakukan aktivitas (Ganong, 2008). Kadar glukosa normal pada anak adalah 80-90 mg/dl. Sesudah makan kadar glukosa darah anak akan memuncak bisa sehingga 120 mg/dl dan menurun kembali seiring dengan oksidasi dan pengubahan glukosa menjadi bentuk simpanan bahan bakar oleh jaringan, kadar glukosa darah akan kembali ke kadar glukosa rentang normal 80-90 mg/dl dalam masa dua jam selepas absorpsi karbohidrat yang terakhir (Cranmer et al, 2009) dalam penelitian ini pemeriksaan kadar gula darah melalui pengambilan darah tepi menggunakan glucometer. Untuk mempertahankan kadar gula darah tetap normal, tubuh memecah simpanan glikogen, agar tubuh selalu memperoleh glukosa untuk keperluan energi, hendaknya seseorang setiap hari makan sumber karbohidrat pada selang waktu tertentu, karena persediaan glikogen hanya bertahan untuk beberapa jam. Glikogen dalam otot hanya dapat digunakan untuk keperluan energi di dalam otot, sedangkan glikogen didalam hati dapat digunakan sebagai sumber energi untuk keperluan semua sel tubuh (Almatsier, 2009). Kecepatan transpor glukosa melintasi sawar darah otak yang lambat pada kadar glukosa yang rendah diperkirakan merupakan penyebab timbulnya respon hipoglikemik. Transpor glukosa dari cairan serebrospinal menembus membran plasma neuron sangat cepat dan bukan merupakan penentu kecepatan pembentukan ATP dari glikolisis (Murray et al., 2003). Kadar glukosa darah adalah istilah yang mengacu kepada tingkat glukosa di dalam darah. Konsentrasi gula darah, atau tingkat glukosa serum, diatur dengan ketat di dalam tubuh. Umumnya tingkat gula darah bertahan pada batas-batas yang sempit sepanjang hari (70-150 mg/dl). Tingkat ini meningkat setelah makan dan biasanya berada pada level terendah pada pagi hari, sebelum makan. Ada beberapa tipe pemeriksaan glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah puasa yaitu mengukur kadar glukosa darah selepas tidak makan setidaknya 8 jam dan pemeriksaan glukosa darah postprandial 2 jam yaitu
18
mengukur kadar glukosa darah tepat selepas 2 jam makan. Pemeriksaan kadar glukosa darah dalam penelitian ini adalah pemeriksaan glukosa darah sewaktu yaitu mengukur kadar glukosa darah tanpa mengambil kapan waktu makan terakhir (Henrikson et al, 2009).
e. Faktor-faktor yang mempengaruhi Asupan Makanan a) Jumlah asupan makanan Jumlah asupan makanan merupakan suatu ukuran atau takaran yang dikonsumsi setiap kali makan.Makanan yang dikonsumsi harus seimbang antara jumlah energi yang masuk dengan jumlah energi yang dikeluarkan. Apabila jumlah energi yang masuk lebih besar dari energi yang kita keluarkan maka akan mengakibatkan kelebihan berat badan. Kebutuhan energi untuk anak usia 7-9 tahun dalam tabel Angka Kecukupan Gizi sebesar 1850 kkal dan kebutuhan protein sebesar 49 gram (Sediaoetomo, 2010). b) Frekuensi makan Frekuensi makan merupakan berapa kali seseorang melakukan kegiatan makan dalam sehari, baik berupa makanan utama maupun makanan selingan. Frekuensi makan yang baik yaitu harus teratur. Frekuensi makan dikatakan baik, jika frekuensi makan setiap harinya tiga kali makanan utama atau dua kali makanan utama dengan satu kali makanan selingan (Soekirman, 2000). Khomsan (2004) juga menyatakan bahwa frekuensi makan yang baik adalah 3 kali dalam sehari untuk menghindarkan kekosongan lambung. Frekuensi makan kurang, bila frekuensi makan setiap harinya dua kali makanan utama atau kurang. Tingkat konsumsi lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan kuantitas harus dapat terpenuhi. Apabila tubuh kekurangan zat gizi khususnya energi dan protein, pada tahap awal akan menyebabkan rasa lapar dan dalam jangka waktu tertentu berat badan akan menurun yang disertai dengan menurunnya produktivitas kerja. Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan menyebabkan status gizi kurang dan gizi buruk. Apabila tidak ada perbaikan konsumsi energi dan protein yang
19
mencukupi, pada akhirnya tubuh akan mudah terserang penyakit infeksi yang selanjutnya dapat menyebabkan kematian (Soekirman, 2000).
f. Penilaian Konsumsi Makanan Secara umum survey konsumsi makan bertujuan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok usia, rumah tangga, dan perorangan (Supariasa dkk, 2002). Metode pengukuran makanan untuk individu antara lain: a) Metode Food Recall 24 jam Prinsip dari metode Food Recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Dalam metode ini responden menceritakan semua yang dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu (kemarin). Secara umum, recall 24 jam dapat dilakukan pada anak yang berusia ≥ 8 tahun, pada anak yang berusia 4 hingga 8 tahun, wawancara dapat dilakukan pada orang tua atau pengasuh (Gibson, 2005). Recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut. Menurut (Supariasa dkk, 2002) langkah-langkah pelaksanaan food recall 24 jam adalah sebagai berikut: 1) Petugas atau pewawancara menanyakan kembali dan mencatat semua makanan atau minuman yang dikonsumsi responden dalam ukuran rumah tangga (URT) selama kurun waktu 24 jam yang lalu, kemudian petugas melakukan konversi dari URT ke dalam ukuran berat (gram) 2) Menganalisis bahan makanan ke dalam zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). 3) Membandingkan dengan Daftar Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (DKGA) atau Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk Indonesia. Metode recall 24 jam ini mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihannya adalah sebagai berikut: 1) Mudah melaksanakannya serta tidak membebani responden. 2) Biaya relatif murah karena tidak memerlukan peralatan khusus dan tempat yang luas. 3) Cepat, sehingga dapat mencakup banyak responden. 4) Dapat digunakan untuk responden yang buta huruf.
20
5) Dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi individu sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari. Kekurangan metode recall 24 jam antara lain: 1) Tidak dapat menggambarkan asupan makanan sehari-hari bila hanya dilakukan recall satu hari. 2) Ketepatan sangat tergantung pada daya ingat responden. 3) The flat slope syndrome, yaitu kecenderungan bagi responden yang kurus untuk melaporkan konsumsinya lebih banyak (over estimate) dan bagi responden yang gemuk cenderung melaporkan lebih sedikit (under estimate). 4) Membutuhkan tenaga atau petugas yang terlatih atau terampil dalam menggunakan alat bantu URT dan ketepatan alat bantu yang dipakai menurut kebiasaan masyarakat. 5) Responden harus diberi motivasi dan penjelasan tentang tujuan dari penelitian. Keberhasilan metode recall 24 jam ini sangat ditentukan oleh daya ingat responden dan kesungguhan serta kesabaran dari pewawancara, maka untuk dapat meningkatkan mutu data recall 24 jam dilakukan selama beberapa kali pada hari yang berbeda (tidak berturut-turut). Apabila pengukuran hanya dilakukan 1 kali (1x24 jam), maka data yang diperoleh kurang representatif menggambarkan kebiasaan makan individu (Supariasa dkk, 2002). b) Metode Comstock Pengamatan sisa makanan pada makanan yang tidak dimakan merupakan salah satu kegiatan pemantauan dan evaluasi gizi. Metode Comstock, yaitu metode pengukuran konsumsi makanan dengan melihat sisamakanan yang dikonsumsi seseorang dengan cara visual (melihat secara langsung) dan menilai persentase sisa makanan dari ukuran semula. Comstok et al, dalam Susyani (2005) melaporkan adanya korelasi sebesar 0,93 antara estimasi visual sisa makanan menggunakan skala Comstock 6 point dengan metodepenimbangan berat sisa makanan. Dalam melihat sisa makanan berdasarkan skala Comstock 6 point digunakan skor: 0 = tidak ada makanan tersisa 1 = tersisa ¼ porsi 2 = tersisa ½ porsi
21
3 = tersisa ¾ porsi 4 = hampir mendekati utuh (dikonsumsi sedikit) 5 = makanan tidak dikonsumsi sama sekali Skor dari skala Comstock tersebut selanjutnya dikonversikan ke dalam bentuk persen, yaitu: Skala 0 : 100 % makanan yang disajikan di konsumsi Skala 1 : 75 % makanan yang disajikan di konsumsi Skala 2 : 50 % makanan yang disajikan di konsumsi Skala 3 : 25 % makanan yang disajikan di konsumsi Skala 4 : 5 % makanan yang disajikan di konsumsi Skala 5 : makanan yang disajikan tidak di konsumsi Skala Comstock awal mulanya digunakan para ahli biotetik untuk mengukur sisa makanan. Untuk memperkirakan berat sisa makanan yang sesungguhnya, hasil pengukuran dengan skala comstock tersebut kemudian di konversi ke dalam persen dan dikalikan dengan berat awal. Menurut Susyani (2005) dari hasil penelitian Comstock tersebut menunjukkan bias rata-rata dari taksiran tersebut 2,2 gram dengan ketidaktelitian rata-rata 13,7 gram. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa ada korelasi yang kuat antara taksiran visual dengan persentase sisa makanan (r = 0,93), sedangkan antara children’s ratings dengan persentase sisa makanan menunjukkan korelasiyang kuat pula (r = 0,74), tetapi tidak sekuat hubungan antara taksiran visual. Selain pada metode taksiran sisa makanan dilakukan juga penimbangan, pengukuran penggunaan pangan untuk konsumsi dilakukan dengan cara menimbang bahan pangan dalam keadaan mentah (proses persiapan), setelah makanan masak (penyajian), dan setelah pangan tersebut di konsumsi (mengamati sisa yang tidak termakan). 4. Kecerdasan Anak usia sekolah baik tingkat pra sekolah, sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas adalah suatu masa usia anak yang sangat berbeda dengan usia dewasa, di dalam periode ini didapatkan banyak permasalahan kesehatan yang sangat menentukan kualitas anak di kemudian hari, masalah kesehatan tersebut meliputi kesehatan umum, gangguan perkembangan, gangguan perilaku dan gangguan belajar yang akan menghambat pencapaian prestasi (Judarwanto, 2005), hal tersebut sesuai dengan pernyataan Supariasa dkk (2002), bahwa keseimbangan antara asupan
22
dan kebutuhan zat gizi sangat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, kecerdasan, kesehatan, aktivitas anak, dan hal-hal lainnya. Pertumbuhan otak yang terganggu banyak terkait dengan masukan makanan yang kurang, terutama kurang energi dan protein, serta kekurangan zat gizi tertentu (Almatsier, 2009). Pentingnya mengkonsumsi makanan selingan selama di sekolah adalah supaya kadar gula tetap terkontrol baik, sehingga konsentrasi terhadap pelajaran dan aktivitas lainnya dapat tetap dilaksanakan. Menurut Kar et al (2008) dari hasil penelitian perkembangan fungsi kognitif pada usia 5-10 tahun di India bahwa anak yang mengalami malnutrisi menunjukkan hasil tes yang rendah pada beberapa sub tes kognitif, yaitu dalam hal tes untuk mengukur perhatian, memori (ingatan), bentuk visual, dan belajar. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dalam pendidikan adalah keadaan kesehatan dan gizi anak sekolah (Robert, 2007). Akan tetapi, pada masa tumbuh kembang tersebut pemberian nutrisi atau asupan makanan pada anak tidak selalu dapat dilaksanakan dengan sempurna sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada banyak organ dan sistem tubuh anak (Judarwanto, 2006). Menurut Pawit (2009) belajar merupakan hubungan langsung antara stimulus yang datang dari luar dengan respon yang ditampilkan individu, jika diberi stimulus dari luar. Pada usia sekolah dasar, anak sudah dapat mereaksikan rangsangan intelektual atau melaksanakan tugas-tugas belajar yang menuntut kemampuan intelektual atau kemampuan kognitif (seperti: membaca, menulis, menghitung). Sebelum masa ini yaitu masa prasekolah, daya pikir anak masih bersifat imajinatif, berangan-angan (berkhayal), sedangkan pada usia sekolah dasar daya pikirnya sudah berkembang kearah berfikir kongkret dan rasional atau dapat diterima akal, periode ini ditandai dengan tiga kemampuan atau kecakapan baru, yaitu mengklasifikasikan (mengelompokkan, menyusun atau mengasosiasikan, menghubungkan atau menghitung) angka-angka atau bilangan. Kemampuan yang berkaitan dengan perhitungan (angka) seperti: mengurangi, menambah, mengalikan, membagi. Disamping itu pada akhir masa ini anak sudah memiliki kemampuan memecahkan masalah (problem solving) yang sederhana (Yusuf, 2005).
23
a. Pengertian Kecerdasan Kecerdasan adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secaraefektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa kecerdasan adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berfikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa intelegensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional dan kemampuan untuk menggunakan daya pikir tersebut dalam memahami situasi yang baru. Sedangkan Intelligence Quotient atau IQ adalah skor yang diperoleh dari tes intelegensi, Kecerdasan ini di atur oleh bagian korteks otak yang dapat memberikan kemampuan untuk berhitung, beranalogi, berimajinasi, dan memiliki daya kreasi serta inovasi (Boeree, 2003).
b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Tinggi rendahnya tingkat kecerdasan seorang anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara garis besar, kecerdasan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: a) Faktor Genetik Kecerdasan dapat diturunkan melalui gen-gen dalam kromosom. Oleh karena itu, ayah-ibu yang cerdas akan melahirkan anak yang cerdas pula, secara logika, ayah dan ibu yang berpendidikan tinggi adalah ayah-ibu yang cerdas, sehingga dapat menurunkan kecerdasannya pada anak mereka (Boeree, 2003). b) Faktor Gizi Gizi yang baik sangat penting untuk pertumbuhan sel-sel otak, terutama pada saat hamil dan juga pada waktu bayi, di mana sel-sel otak sedang tumbuh dengan pesatnya. Kekurangan gizi pada saat pertumbuhan, bisa berakibat berkurangnya jumlah sel-sel otak dari jumlah yang normal. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kerja otak tersebut di kemudian hari (Almatsier, 2009). c) Faktor Lingkungan Lingkungan yang baik adalah lingkungan yang dapat memberikan kebutuhan mental bagi si anak. Kebutuhan mentalmeliputi kasih sayang, rasa aman, pengertian, perhatian, penghargaan serta rangsangan intelektual. Kekurangan rangsangan intelektual
24
pada masa bayi dan balita dapat menyebabkan hambatan pada perkembangan kecerdasannya. Faktor lingkungan lain yang juga mempunyai efek positif terhadap kecerdasan anak antara lain: hubungan orang tua dan anak, tingkat pedidikan ibu, dan riwayat sosial-budaya. Menurut Mc Wayne (2004), anak yang tumbuh dengan penghasilan orang tua yang rendah mempunyai risiko tertundanya perkembangan kognitif yang lebih tinggi dibandingkan anak yang tumbuh dengan penghasilan orangtua yang tinggi. Sebagian besar peneliti setuju bahwa faktor genetik bukanlah penentu utama kecerdasan. Meskipun dukungan genetic mempengaruhi intelektual seseorang, namun pengaruh lingkungan dan kesempatan yang tersedia bagi anak juga dapat mengubah skor tingkat kecerdasan mereka secara signifikan (Santrock, 2007). Dalam penelitian ini untuk mengukur tingkat kecerdasan anak sekolah dasar menggunakan Culture Fair Scale Intelligence (CFIT). Tes ini diciptakan oleh Cattell pada tahun 1920, dan mengalami revisi pada tahun 1961 dan hasilnya tetap dipakai hingga sekarang. Tujuan utama rancangan dan susunan tes ini adalah: a. Menciptakan instrumen yang secara psikometris sehat, berdasar teori yang komprehensif, dengan validitas dan reliabilitas semaksimal mungkin. b. Memperkecil pengaruh-pengaruh budaya dan kondisi masyarakat yang tidak relevan, tetapi tetap mempergunakan/mempertahankan kegunaan prediktif untuk berbagai tingkah laku konkret. c. Pelaksanaan penyajian dan penyekoran yang sangat mudah dan penggunaan waktu tes yang relatif ekonomis. Tes ini dipergunakan untuk keperluan yang berkaitan dengan faktor kemampuan mental umum atau kecerdasan. a. Skala 1 : Untuk anak usia 4-8 tahun, dan individu yang lebih tua yang mengalami cacat mental. b. Skala 2 : Untuk anak usia 8-14 tahun dan untuk orang dewasa yang memiliki kecerdasan di bawah normal. c. Skala 3 : Untuk usia sekolah lanjutan atas dan orang dewasa dengan kecerdasan tinggi. Pada penelitian ini menggunakan tes kecerdasan CFIT skala 2A disesuaikan dengan usia responden (Nasution, dkk. 2002).
25
Tabel 3. Klasifikasi Tes CFIT Skor IQ >170 140 – 169 120 - 139 110 - 119 90 - 109 80 – 89 70 – 79 <70 Sumber : Nasution, dkk (2002)
Kategori Jenius Sangat Cerdas Cerdas Diatas Rata-rata Rata-rata Di bawah Rata-rata Borderline Mentally Defective
5. Anak Sekolah Dasar Anak sekolah merupakan golongan yang rawan yang berada dalam masa pertumbuhan cepat dan sangat aktif. Dalam kondisi ini, anak harus mendapat makanan bergizi baik dalam segi kualitas maupun kuantitas yang lebih dari kelompok lain (Notoatmojo, 2003). Brown (2005) menyatakan pertengahan masa kanak-kanak didefinisikan sebagai anak-anak yang berumur 5 – 10 tahun dan pra remaja didefinisikan dalam rentang umur 9 – 11 tahun untuk perempuan dan antara umur 10 – 12 tahun untuk laki-laki. Awal usia 6 tahun anak mulai masuk sekolah, dengan demikian anak-anak mulai masuk ke dalam dunia baru, dimana dia mulai banyak berhubungan dengan orang-orang di luar keluarganya, dan dia berkenalan dengan suasana dan lingkungan baru dalam kehidupannya. Menurut Djaali (2008), mengenai tahapan perkembangan fisiologis manusia mengatakan bahwa anak yang berumur 7-12 tahun termasuk dalam tahap intelektual. Pada tahap ini fungsi ingatan, imajinasi dan pikiran anak mulai berkembang secara berangsur-angsur dan secara tenang. Anak-anak mulai mengenal sesuatu secara objektif, mulai berpikir kritis, memiliki fisik lebih kuat mempunyai sifat individual serta aktif dan tidak bergantung dengan orang tua. Kebutuhan gizi anak sebagian besar digunakan untuk aktivitas pembentukan dan pemeliharaan jaringan. Karakteristik anak sekolah meliputi: a. Pertumbuhan tidak secepat bayi. b. Gigi merupakan gigi susu yang tidak permanen (tanggal) c. Lebih aktif memilih makanan yang disukai. d. Kebutuhan energi tinggi karena aktivitas meningkat e. Pertumbuhan lambat
26
f. Pertumbuhan meningkat lagi pada masa pra remaja. Adanya aktivitas yang tinggi mulai dari sekolah, kursus, mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dan mempersiapkan aktivitas untuk esok harinya, membuat stamina anak cepat menurun, kondisi seperti ini harus ditunjang dengan intake pangan dan gizi yang cukup dan berkualitas agar stamina anak usia sekolah tetap fit selama mengikuti kegiatan di sekolah maupun kegiatan ekstrakurikuler (Khomsan, 2004). Anak sekolah biasanya banyak memiliki aktivitas bermain yang menguras banyak tenaga, dengan terjadi ketidakseimbangan antara energi yang masuk dan keluar, akibatnya tubuh anak menjadi kurus. Untuk mengatasinya harus mengontrol waktu bermain anak sehingga anak memiliki waktu istirahat cukup (Moehji, 2003). Permasalahan yang belum begitu diperhatikan adalah masalah gangguan perkembangan dan perilaku pada anak sekolah. Gangguan perkembangan dan perilaku pada anak sekolah sangat bervariatif. Bila tidak dikenali dan ditangani sejak dini, gangguan ini akan mempengaruhi prestasi belajar dan masadepan anak (Judarwanto, 2005). Pertumbuhan anak usia 6 sampai 12 tahun perlahan tetapi aktif seiring dengan meningkatnya kebutuhan makan, sebagian waktu sehari dipergunakan untuk kegiatan sekolah, mereka mulai ikut serta dalam kelompok, organisasi olahraga, dan program bermain (Mahan dan Stump, 2004). Secara anatomis perkembangan otak anak perempuan berbeda dengan anak lakilaki. Kontak yang berhubungan dengan kemampuan berfikir, pada anak perempuan lebih cepat berkembang sehingga lebih cepat berfikir. Jembatan otak kanan dan kiri lebih berkembang, sehingga lebih mudah memahami informasi dan lobus temporalnya lebih berkembang, sehingga lebih memiliki daya tahan dan konsentrasi dan secara umum lebih bisa mengikuti pelajaran. Hal ini berkaitan dengan pengaruh dari faktor hormonal juga melahirkan sifat yang berbeda, laki-laki dengan hormon testosteronnya menyebabkan anak lebih agresif, ingin cepat selesai. Perbedaan ini tentunya harus diperlakukan secara berbeda pula supaya hasilnya optimal sesuai dengan tingkat perkembangan (Depkes, 2006).
6. Hubungan Asupan Energi School Feeding dan Tingkat Kecerdasan Makanan memegang peranan penting dalam tumbuh kembang anak yang diperlukan untuk kegiatan sehari-hari. Kekurangan makanan yang bergizi akan
27
menyebabkan penurunan fungsi otak anak (Soetjiningsih, 2002). Pertumbuhan otak banyak terkait dengan asupan makanan yang kurang, terutama kurang energi dan protein, serta kekurangan zat gizi tertentu (Almatsier, 2009). Kebiasaan makan pada anak-anak yang tidak teratur, seperti tidak sarapan akan menyebabkan lambung kosong dan kadar gula darah berkurang sehingga badan lemas, mengantuk, sulit menerima pelajaran, serta menurunnya gairah belajar dan kemampuan merespon (Irianto, 2007). Glukosa merupakan sumber energi bagi sel-sel dalam tubuh terutama pada otak. Terjadinya penurunan konsentrasi pada proses belajar disebabkan karena kadar glukosa dalam darah rendah sehingga menyebabkan suplai energi ke sel-sel terutama pada otak berkurang. Menurut Khomsan (2004), bahwa dengan kurangnya glukosa pada sel-sel terutama pada otak akan menyebabkan tubuh menjadi lemah dan kemampuan untuk berkonsentrasi menurun. Sumber energi utama yaitu glukosa diperlukan tubuh untuk melakukan segala aktivitas di dalam tubuh. Glukosa merupakan sumber energi yang tidak dapat tergantikan bagi sel otak, sel saraf dan sel darah merah (Almatsier, 2009). Faktor-faktor yang menentukan kadar gula darah adalah asupan makanan, kecepatan masuknya ke dalam sel-sel otot, jaringan lemak dan organ-organ lain, dan aktivitas glukostatik dari hati. Sekitar 5% jumlah glukosa yang dimakan segera akan diubah menjadi glikogen dalam hati, dan 30%-40% diubah menjadi lemak (Ganong, 2008). Menurut Murray et al, (2003), penyerapan makanan dari sumber karbohidrat akan meningkatkan kadar glukosa darah hingga 6,5-7,2 mmol/L, oleh sebab itu, terjadinya penurunan kecerdasan dapat disebabkan karena kadar glukosa dalam darah rendah sehingga menyebabkan suplai energi ke sel-sel terutama pada otak berkurang. Asupan makanan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan otak, kurangnya asupan energi dan protein dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan otak terganggu (Santoso dan Ranti, 2004). Di otak, sel endotel kapiler memiliki tautan yang amat erat (tight junction), dan glukosa harus berpindah dari darah ke dalam cairan serebrospinal ekstrasel melalui transporter di membran sel endotel, lalu menembus membran basal. Pengukuran proses keseluruhan transpor glukosa dari darah ke dalam sel neuron memperlihatkan Km sekitar 7-11 mM, dan kecepatan maksimum yang tidak lebih besar daripada kecepatan penggunaan glukosa oleh otak, dengan demikian, penurunan kadar glukosa di bawah kadar puasa 80-90 mg/dl kemungkinan besar akan
28
mempengaruhi kecepatan metabolisme glukosa yang berada di otak (Marks et al., 2000). Faktor-faktor yang mempengaruhi asupan energi school feeding antara lain jumlah asupan protein, karbohidrat, lemak, energi total dan frekuensi makan anak. Menurut Belot and James (2011) pada program pemberian makanan di sekolah telah berhasil meningkatkan skor dari tes kecerdasan dan mengurangi ketidak hadiran siswa di sekolah, selain itu faktor genetik dan faktor lingkungan turut mempengaruhi. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Sunarti (2013), dimana pemberian makanan tambahan dapat meningkatkan skor konsentrasi siswa pada pagi dan siang hari. Diharapkan dari pemberian school feeding pada sistem pendidikan full day school dapat meningkatkan kecerdasan siswa. Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa faktor gizi sangat esensial bagi pertumbuhan dan perkembangan otak. Keseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat gizi sangat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, kecerdasan, kesehatan, aktivitas anak, dan hal-hal lainnya. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan asupan enenrgi school feeding dengan tingkat kecerdasan pada anak usia sekolah dasar.
29
B. Penelitian yang Relevan Tabel 4. Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah : No 1.
Peneliti Lilik Kustiyah
2.
Meme, et al
3.
Nyathela, T
4.
Sunarti
5.
A. K. OseiFosu
6.
Harounan Kazianga
Judul Tahun Desain Kajian Pengaruh 2005 quasi Intervensi Makanan eksperimental Kudapan Terhadap Peningkatan Kadar Glukosa Darah Dan Daya Ingat Anak Sekolah Dasar Energy and protein 2008 cross sectional intake and nutritional status of primary school children 5 to 10 years of age in schools with and without feeding programmes in Nyambene District, Kenya Impact Of A School 2009 cross sectional Feeding Programme On Nutritional Status Of Primary School Children In Orange Farms Perbedaan asupan 2013 cross sectional energi, protein dan status gizi anak usia pra sekolah di sekolah dengan model school feeding dan non school feeding Evaluating the impact 2011 quasi of the capitation grant eksperimental And the school feeding programme on enrollment,Attendance and retention in schools Educational and 2008 quasi Health Impact of Two eksperimental School Feeding Schemes
Hasil Ada pengaruh dari intervensi makanan kudapan terhadap Peningkatan Kadar Glukosa Darah Dan Daya Ingat Anak Ada hubungan antara asupan energi dan protein dengan tingkat kecerdasan antara kelompok school feeding dan non school feeding
Ada hubungan yang signifikan dari program school feeding dengan peningkatan skor kecerdasan dan status gizi Hasil ini menunjukkan adanya perbedaan asupan energi, protein, dan status gizi (z-score) anak usia pra sekolah dengan model school feeding dan non school feeding Program pemberian makanan di sekolah memiliki dampak positif dan signifikan terhadap pendaftaran dan kehadiran siswa disekolah School feeding tidak berhubungan signifikan dengan status gizi anak sekolah dasar
30
7.
Falade Olumuyiwa S.
School Feeding Programme in Nigeria: The Nutritional Status of Pupils in a Public Primary School in IleIfe, Osun State, Nigeria The impact of Chile’s school feeding program on education outcomes
2012
quasi eksperimental
Program pemberian makanan di sekolah dapat meningkatkan status gizi anak sekolah dasar
2013
cross sectional
Tidak ada hubungan yang signifikan dari program pemberian makanan di sekolah dengan prestasi belajar. Ada peningkatan glukosa darah dan memori yang signifikan setelah sarapan dan ada korelasi yang signifikan antara glukosa darah dan memori Program pemberian makanan di sekolah berpengaruh positif pada tingkat partisipasi dan kehadiran di sekolah, terutama untuk anak perempuan
8.
Patrick J. McEwan
9.
Amy I.S, dkk
Pengaruh Kenaikan Kadar Glukosa Darah terhadap Peningkatan Daya Ingat Jangka Pendek
2008
quasi eksperimental
10.
Ty M. Lawson
Impact Of School Feeding Programs On Educational, Nutritional, And Agricultural Development Goals
2012
cross sectional
31
C. Kerangka Berpikir Full Day School Sumber asupan protein hewani dan nabati Sumber asupan karbohidrat Sumber asupan lemak Sumber asupan energi total
Asupan School Feeding Glukosa darah dalam sel Siklus Krebs .
ATP + ADP
Sumber energi sistem kerja syaraf Meningkatkan kerja otak Faktor Genetik Faktor Lingkungan
Kecerdasan
Gambar 2. Kerangka Berpikir Hubungan Asupan Protein, Karbohidrat, Lemak dan Energi Total School Feeding Dengan Tingkat Kecerdasan Anak Kelas 3 dan kelas 4 Sekolah Dasar Full Day Keterangan : Diteliti = Tidak diteliti = D. Hipotesis Penelitian Ada hubungan antara asupan protein, karbohidrat, lemak dan energi total school feeding dengan tingkat kecerdasan anak kelas 3 dan kelas 4 sekolah dasar full day.