II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Prinsip Ekowisata Ekowisata merupakan kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumberdaya pariwisata. Masyarakat ekowisata internasional mengartikannya sebagai perjalanan wisata alam yang bertanggungjawab dengan cara mengonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (responsible travel to natural area that conserves the environment and improves the well-being of local people) (TIES, 2000 dalam Damanik dan Weber, 2006). Dari definisi ini ekowisata dapat dilihat dari tiga perspektif, yakni: pertama, ekowisata sebagai produk; kedua, ekowisata sebagai pasar; ketiga, ekowisata sebagai pendekatan pengembangan. Sebagai produk, ekowisata merupakan semua atraksi yang berbasis pada sumberdaya alam. Sebagai pasar, ekowisata merupakan perjalanan yang diarahkan pada upaya-upaya pelestarian lingkungan. Akhirnya sebagai pendekatan pengembangan, ekowisata merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan. Disini kegiatan wisata yang bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat lokal dan pelestarian lingkungan sangat ditekankan dan merupakan ciri khas ekowisata. Pihak yang berperan penting dalam ekowisata bukan hanya wisatawan tetapi juga pelaku wisata lain (tour operator) yang memfasilitasi wisatawan untuk menunjukkan tanggungjawab tersebut (Damanik dan Weber, 2006). Ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang mengadopsi prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan yang membedakan dengan bentuk wisata lain. Didalam praktik hal ini terlihat dalam bentuk kegiatan wisata yang; a) secara aktif menyumbang kegiatan konservasi alam dan budaya; b) melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan, pengembangan, dan pengelolaan wisata serta memberikan sumbangan positif terhadap kesejahteraan mereka; dan c) dilakukan dalam bentuk wisata independen atau diorganisasi dalam bentuk kelompk kecil (UNEP, 2000; Heher, 2003 dalam Damanik dan Weber, 2006). Dalam kaitannya ini From (2004) dalam Damanik dan Weber, (2006) menyusun tiga konsep dasar yang lebih operasional tentang ekowisata, yaitu sebagai berikut:
8
Pertama, Perjalanan outdoor dan di kawasan alam yang tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Dalam wisata ini orang biasanya menggunakan sumberdaya hemat energi, seperti tenaga surya, bangunan kayu, bahan daur ulang, dan mata air. Sebaliknya kegiatan tersebut tidak mengorbankan flora dan fauna, tidak mengubah topografi lahan dan lingkungan dengan mendirikan bangunan yang asing bagi lingkungan dan budaya masyarakat setempat. Kedua, wisata ini mengutamakan penggunaan fasilitas transportasi yang diciptakan dan dikelola masyarakat kawasan itu. Prinsipnya, akomodasi yang tersedia bukanlah perpanjangan tangan hotel internasional dan makanan yang ditawarkan juga bukan makanan berbahan baku impor, melainkan semuanya berbasis produk lokal. Oleh sebab itu wisata ini memberikan keuntungan langsung bagi masyarakat lokal. Ketiga, perjalanan wisata ini menaruh perhatian besar pada lingkungan alam dan budaya lokal. Para wisatawan biasanya banyak belajar dari masyarakt lokal bukan sebaliknya mengurangi mereka. Wisatawan tidak menuntut masyarakat lokal agar menciptakan pertunjukan dan hiburan ektra, tetapi mendorong mereka agar diberi peluang untuk menyaksikan upacara dan pertunjukan yang sudah dimiliki oleh masyarakat setempat. Dari definisi di atas dapat diidentifikasi beberapa prinsip ekowisata (TIES, 2000 dalam Damanik dan Weber, 2006), yakni sebagai berikut: a). Mengurangi dampak negatif berupa kerusakan atau pencemaran lingkungan dan budaya lokal akibat kegiatan wisata. b). Membangun kesadaran dan penghargaan atas lingkungan dan budaya di destinasi wisata, baik pada diri wisatawan, masyarakat lokal maupun pelaku wisata lainnya. c). Menawarkan pengalaman-pengalaman positif bagi wisatawan maupun masyarakat lokal melalui kontak budaya yang lebih intensif dan kerjsama dalam pemeliharaan atau konservasi obyek daya tarik wisata. d). Memberikan keuntungan finansial secara langsung bagi keperluan bagi keperluan konservasi melalui kontribusi atau pengeluaran ekstra wisatawan. e). Memberikan keuntungan finansial dan pemberdayaan bagi masyarakat lokal dengan menciptakan produk wisata yang mengedepankan nilai-nilai lokal.
9
f). Meningkatkan kepekaan terhadap situasi sosial, lingkungan dan politik di daerah tujuan wisata. g). Menghormati hak asasi manusia dan perjanjian kerja, dalam arti memberikan kebebasan kepada wisatawan dan masyarakat lokal untuk menikmati atraksi wisata sebagai wujud hak azasi, serta tunduk pada aturan main yang adil dan disepakati bersama dalam pelaksanaan transaksi-transaksi wisata. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 bahwa prinsip pengembangan ekowisata meliputi: (1) kesesuaian antara jenis dan karakteristik ekowisata; (2) konservasi, yaitu melindungi, mengawetkan, dan memanfaatkan secara lestari sumberdaya alam yang digunakan untuk ekowisata; (3) ekonomis, yaitu memberikan manfaat untuk masyarakat setempat dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di wilayahnya serta memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan; (4) edukasi, yaitu mengandung unsur pendidikan untuk mengubah persepsi seseorang agar memiliki kepedulian, tanggung jawab, dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan budaya; (5) memberikan kepuasan dan pengalaman kepada pengunjung; (6) partisipasi masyarakat, yaitu peran serta masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ekowisata dengan menghormati nilai-nilai sosial-budaya dan keagamaan masyarakat di sekitar kawasan; dan (7) menampung kearifan lokal. Menurut Yulianda (2007), konsep pembangunan ekowisata hendaknya dilandasi pada prinsip dasar ekowisata yang meliputi : 1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktifitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam budaya setempat. 2. Pendidikan konservasi lingkungan; Mendidik pengunjung dan masyarakat akan pentingnya konservasi. 3. Pendapatan langsung untuk kawasan; Retribusi atau pajak konservasi (conservation tax) dapat digunakan untuk pengelolaan kawasan. 4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan; Merangsang masyarakat agar terlibat dalam perencanaan dan pengawasan kawasan. 5. Penghasilan bagi masyarakat; Masyarakat mendapat keuntungan ekonomi sehingga terdorong untuk menjaga kelestarian kawasan.
10
6. Menjaga keharmonisan dengan alam; Kegiatan dan pengembangan fasilitas tetap mempertahankan keserasian dan keaslian alam. 7. Daya dukung sebagai pengembangan
fasilitas
batasan hendaknya
pemanfaatan;
Daya
mempertimbangkan
tampung dan daya
dukung
lingkungan. 8. Konstribusi pendapatan bagi negara (pemerintah daerah dan pusat). Menurut Yulianda (2007) Ekowisata bahari merupakan kegiatan wisata pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut dengan memanfaatkan karakter sumberdaya pesisir dan laut. Pengelolaan ekowisata bahari merupakan suatu konsep pengelolaan yang memprioritaskan kelestarian dan memanfaatkan sumberdaya alam dan budaya masyarakat. Konsep pengelolaan ekowisata tidak hanya berorientasi pada keberlanjutan tetapi juga mempertahankan nilai sumberdaya alam dan manusia. Agar nilai-nilai tersebut terjaga maka pengusahaan ekowisata tidak melakukan eksploitasi sumberdaya alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan budaya untuk memenuhi kebutuhan fisik, pengetahuan dan fisikologis penunjung. Dengan demikian ekowisata bukan menjual tempat (destinasi) atau kawasan melainkan menjual filosofi. Hal inilah yang membuat ekowisata mempunyai nilai lestari dan tidak akan mengenal kejenuhan pasar. 2.2 Pengembangan Ekowisata Dalam Kawasan konservasi Kawasan hutan yang dapat berfungsi sebagai kawasan wisata yang berbasis lingkungan adalah kawasan pelestarian alam (Taman Nasional, Taman Hutan raya, Taman wisata Alam), kawasan suaka alam (Suaka Margasatwa) dan hutan lindung melalui kegiatan wisata alam terbatas serta Hutan produksi yang berfungsi sebagai Wana Wisata (Ridwan, 2000). Pengembangan ekowisata di dalam kawasan hutan dapat menjamin keutuhan dan kelestarian ekosistem hutan. Ecotraveler menghendaki persyaratan kualitas dan keutuhan ekosistem. Oleh karenanya terdapat beberapa butir prinsip pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi. The Ecotourism Society (Eplerwood 1999 dalam Fandeli 2000) menyebutkan ada tujuh prinsip dalam kegiatan ekowisata yaitu: (1) Mencegah dan menanggulangi dari aktivitas wisatawan yang mengganggu terhadap alam dan budaya; (2) Pendidikan
11
konservasi lingkungan; (3) Pendapatan langsung untuk kawasan; (3) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan; (4) Meningkatkan penghasilan masyarakat; (5) Menjaga keharmonisan dengan alam; (6) Menjaga daya dukung lingkungan; (7) Meningkatkan devisa buat pemerintah. Menurut Ridwan
(2000) bahwa
pengembangan
ekowisata
harus
melibatkan berbagai unsur seperti: pengunjung atau ekowisatawan, sumber daya alam, pengelola, masyarakat setempat, kalangan bisnis termasuk tour operator, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan lain sebagainya. Pada prinsipnya pengembangan ekowisata yang baik merupakan simbiosis antara konservasi dan pembangunan, namun kemungkinan timbulnya konflik kepentingan antara pelaku ekowisata bisa terjadi. Perencanaan
pengembangan
ekowisata
diantaranya
mengacu
pada
perencanaan perlindungan dan pelestarian lingkungan, perencanaan penggunaan lahan dan tata ruang. Perencanaan ekowisata merupakan bagian dari proses pemanfaatan dari sumberdaya dan berkelanjutan yang terkoordinasi dan interaktif berdasarkan aspek pelestarian ekologis kawasan, biodiversitas, dan nilai sosial dalam keterlibatan wisatawan bersama masyarakat lokal. Daerah pesisir adalah merupakan sumberdaya alam yang cukup penting bagi kehidupan. Berbagai aktifitas sosial dan ekonomi membutuhkan lokasi pesisir yang memiliki nilai lansekap, habitat alam dan sejarah yang tinggi, yang harus dijaga dari kerusakan secara sengaja maupun tidak sengaja. Perencanaan tata ruang (zonasi) wilayah pesisir, berperan untuk menyerasikan kebutuhan pembangunan dengan kebutuhan untuk melindungi, melestarikan, dan meningkatkan kualitas lansekap, lingkungan serta habitat flora dan fauna (Darwanto 1998). Rencana zonasi wilayah pesisir diperlukan untuk menjaga kelestarian pantai dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan wilayah pesisir mempunyai ruang lingkup yang luas, meliputi banyak aspek dan sektor pembangunan, maka perlu optimalisasi pemanfaatan sumberdaya melalui pengelolaan yang terpadu, agar kebutuhan manusia dapat terpenuhi sekaligus menjaga sumberdaya alam agar tetap lestari dan berkelanjutan. Bengen (2005) bahwa salah satu cara untuk mencapai keseimbangan antara ketersediaan sumberdaya dan kebutuhan manusia
12
adalah menetapkan jenis dan besaran aktifitas manusia sesuai dengan kemampuan lingkungan untuk menampungnya. Artinya, setiap aktifitas pembangunan disuatu wilayah harus didasarkan pada analisis kesuaian lingkungan. Selanjutnya menurut Bengen (2005), analisis kesesuaian lingkungan harus mencakup aspek ekologis, sosial dan ekonomis yaitu: 1). Aspek ekologis; dapat didekati dengan menganalisis: a. Potensi maksimum sumberdaya berkelanjutan. Berdasarkan analisis ilmiah dan teoritis, dihitung potensial atau kapasitas maksimum sumberdaya untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) dalam jangka waktu tertentu. b. Kapasitas daya dukung (carrying capacity). Daya dukung didefinisikan sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungannya. c. Kapasitas penyerapan limbah (assimilative capacity). Kapasitas penyerapan limbah adalah kemampuan sumberdaya alam dapat pulih (misalnya air, udara, tanah) untuk menyerap limbah aktifitas manusia. Kapasitas ini bervariasi akibat faktor eksternal seperti cuaca, temperature dan aktifitas manusia. 2). Aspek Sosial Aspek sosial dapat ditilik dari penerimaan masyarakat terhadap aktifitas yang akan
dilakukan,
mencakup
dukungan
sosial/terhindar
dari
konflik
pemanfaatan, terjaganya kesehatan masyarakat dari akibat pencemaran, budaya, estetika,keamanan dan kompatibilitas. 3). Aspek Ekonomi Aspek ekonomi dapat ditinjau dari kelayakan usaha dari aktifitas yang akan dilaksanakan. Analisisnya meliputi : revenue cost ratio (R/C), net present value (NPV), net benefit cost ratio (net B/C), internal rate return (IRR) dan analisis sensitivitas (sensitivy analysis). 2.3. Konsep Pengelolaan Taman Nasional Berdasarkan undang-undang RI nomor 5 Tahun 1990, Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam (KPA) yang mempunyai ekosisten asli dan
13
dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman nasional mempunyai fungsi pokok sebagai berikut: 1. Sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; 2. Sebagai pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa liar beserta ekosistemnya; 3. Untuk pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Pengelolaan taman nasional dalam mencapai tujuan, fungsi dan peranannya dilakukan sistem zonasi. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, bahwa zona taman nasional terdiri dari: 1. Zona inti 2. Zona rimba; zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan 3. Zona pemanfaatan 4. Zona lain, antara lain; zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah serta zona khusus. Berdasarkan Peraturan pemerintah No 28 Tahun 2011 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam pada pasal 8 menyebutkan bahwa suatu kawasan ditunjuk sebagai kawasan Taman Nasional apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Memiliki sumberdaya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik yang masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik; 2. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; 3. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami; dan 4. Merupakan wilayah yang dapat dibagi kedalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan/atau zona lainnya sesuai dengan keperluan. Taman nasional dalam konteks pembangunan berkelanjutan memiliki peran yang sangat penting. Menurut MacKinnon et al. (1993), sumbangan taman nasional sebagai salah satu kawasan yang dilindungi dalam pelestarian sumberdaya alam dan kelangsungan pembangunan, antara lain:
14
1. Sebagai wahana pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu wahana kegiatan penelitian biologi dan konservasi in-situ. 2. Sebagai wahana pendidikan lingkungan, yaitu wahana untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat di sekitar kawasan taman nasional dan pengunjung atau masyarakat luas tentang konservasi. 3. Mendukung pengembangan budidaya tumbuhan dan penangkaran satwa dalam rangka mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. 4. Sebagai wahana kegiatan wisata alam dalam rangka mendukung pertumbuhan industri pariwisata alam dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 5. Sumber plasma nutfah dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa sekaligus untuk mendukung upaya pelestarian kekayaan keanekaragaman hayati asli. 6. Untuk melestarikan ekosistem hutan sebagai pengatur tata air dan iklim mikro serta sumber mata air bagi masyarakat di sekitar taman nasional. 2.4. Manajemen Kolaboratif Istilah manajemen kolaboratif dipakai secara luas dan meliputi berbagai aktifitas seperti pengelolaan hutan partisipatif, kehutanan masyarakat atau sosial, pengelolaan hutan bersama dan proyek-proyek pembangunan konservasi (Fisher 1995). Manajemen kolaboratif diterapkan pada lahan dan hutan adat, swasta, Negara dan pada pengelolaan kawasan lindung. Petheram et al. (2004) mengemukakan bahwa kolaborasi adalah suatu proses yang melibatkan orangorang yang secara konstruktif mengeksplorasi perbedaan dan tujuan mereka kemudian mencari dan mengembangkan rencana mereka untuk merubah manajemen yang menyenangkan untuk semua pihak. Fisher (1995) mengemukakan empat asumsi dalam manajemen kolaboratif yaitu: (1) penggunaan masyarakat memerlukan kontrol lokal yang terus meningkat atas penggunaan sumberdaya dan pengambilan keputusan; (2) keterlibatan stakeholders yang semakin besar akan menghasilkan taraf hidup yang lebih berkesinambungan; (3) pengakuan legitimasi atas keragaman yang berbedabeda dan (4) pembangunan dan konservasi tidak selalu bertentangan. Mengacu pada asumsi terakhir, manajemen kolaboratif mengakui nilai-nilai lingkungan dan
15
kebutuhan untuk menggunakan dan mengelola sumberdaya untuk menjamin kesinambungan ekologis. Berkaitan dengan keyakinan ini, masih ada peluang untuk menemukan cara mencapai tujuan ekonomi tanpa mengorbankan standar lingkungan hidup. Pengelolaan hutan secara kolaboratif dapat dipandang sebagai pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada masyarakat lokal dan pengakuan otoritas manajemen mereka secara formal. Semakin lama, masyarakat menuntut manajemen kolaboratif sebagai bagian dari gerakan politik masyarakat akar rumput, tidak peduli bagiamana kolaborasi itu diprakarsai atau dibangun, akhirnya mau tidak mau konflik harus dihadapi. Manajemen kolaborasi yang diharapkan sebagaimana adalah posisi ditengah dimana terjadi pembagian tugas dan tanggungjawab yang berimbang antara pemerintah dengan stakeholders lainnya. Ada negosiasi dalam mengambil keputusan
dan
mengembangkan
kesepakatan-kesepakatan
khusus
dalam
pengelolaan kawasan lindung. Manajemen kolaboratif meliputi sejumlah proses untuk membantu membangun dan memelihara seperangkat prinsip dan praktek yang sama-sama disetujui dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Pentingnya pengelolaan konflik dalam kerangka manajemen kolaboratif bervariasi dari stuasi kesituasi lain bergantung pada derajat dan skala konflik yang ada atau yang berpotensi ada. Kolaborasi pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam sangat penting dalam pelaksanaan suatu kegiatan atau penanganan suatu masalah dalam rangka membantu meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan pelestarian alam secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Para pihak yang dimaksud adalah semua pihak yang memiliki minat, kepedulian, atau kepentingan dengan upaya konservasi Kawasan Pelestarian Alam, antara lain: Lembaga pemerintah pusat, Lembaga pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif), masyarakat setempat, LSM, BUMN, BUD, swasta nasional, perorangan
maupun
masyarakat
internasional,
Perguruan
Tinggi/Universitas/Lembaga Pendidikan/Lembaga Ilmiah. Peran serta para pihak meliputi kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh para pihak yang timbul atas
16
minat, kepedulian, kehendak dan atas keinginan sendiri untuk bertindak dan membantu dalam mendukung pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam (Dephut, 2004b). Kassa (2009) mengemukakan setidaknya ada tujuh faktor kunci yang menentukan keberhasilan konsep kolaborasi dalam pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu yaitu : (1) partipasi stakeholders, (2) negosiasi, (3) konsensus, (4) batas teritori, (5) kejelasan hak dan tanggungjawab stakeholders, (6) pengakuan terhadap hak lahan adat, (7) penerapan sanksi adat. 2.5. Analisis Stakeholders Stakeholders mencakup semua aktor atau kelompok yang mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan tindakan dari sebuah proyek. Stakeholders juga mencakup kategori yang lebih samar dari ‘generasi masa depan’, ‘ketertarikan nasional’, dan ‘masyarakat yang lebih luas’. Stakeholders menyajikan suatu sistem dengan tujuan, sumber dan sensitivitas yang berasal dari mereka sendiri.
Istilah lain yang digunakan untuk menggantikan istilah
‘stakeholders’ dalam bahasa sehari-hari dan perbedaan konotasi yang sangat tipis diantaranya adalah ‘aktor’, ‘aktor kunci,’ ‘kelompok aktor’, ‘aktor sosial’, dan ‘partai’ (Groenendijk, 2003). Menurut Reed et al. (2009), analisis stakeholders dilakukan dengan cara: (1) Melakukan identifikasi stakeholders; (2) mengelompokkan dan membedakan antar stakeholders; dan (3) menyelidiki hubungan antar stakeholders. Identifikasi stakeholders merupakan proses yang dilakukan secara berulang, hingga ditetapkan stakeholders yang benar-benar mengetahui permasalahan. Jika pembatasan telah ditetapkan sejak awal, maka stakeholders memang dapat lebih mudah terindetifikasi. Namun hal ini mengandung resiko bahwa beberapa stakeholders akan terabaikan, dan tentu saja identifikasi ini tidak relevan lagi. Menurut Colfer et al. (1999) untuk mengidentifikasi stakeholders dilakukan melalui pemberian skor 1 (tinggi), 2 (sedang), dan 3 (rendah) terhadap dimensi antara lain kedekatan dengan kawasan, hak-hak yang sudah ada, ketergantungan, kemiskinan, pengetahuan lokal, dan intergrasi budaya. Setelah para stakeholders terindetifikasi, maka langkah selanjutnya yaitu mengelompokkan dan membedakan antar stakeholders.
Menurut Eden dan
17
Ackermann (1998) yang dikutif oleh Bryson (2004) dan Reed et al. (2009) metode analisis yang digunakan yaitu menggunakan matriks pengaruh dan kepentingan dengan mengklasifikasikan stakeholder ke dalam Key players, context setters, subjects, dan crowd. Pengaruh (influence) merujuk pada kekuatan (power) yang dimiliki stakeholders untuk mengontrol proses dan hasil dari suatu keputusan. Kepentingan (importance) merujuk pada kebutuhan stakeholders di dalam pencapaian output dan tujuan (Reed et al. 2009). Key player merupakan stakeholders yang aktif karena mereka mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pengembangan suatu proyek. Context setter memiliki pengaruh yang tinggi tetapi sedikit kepentingan. Oleh karena itu, mereka dapat menjadi resiko yang signifikan untuk harus dipantau. Subjects memiliki kepentingan yang tinggi tetapi pengaruhnya rendah dan walaupun mereka mendukung kegiatan, kapasistasnya terhadap dampak mungkin tidak ada. Namun mereka dapat menjadi pengaruh jika membentuk aliansi dengan stakeholders lainnya. Crowd merupakan stakeholders yang memiliki sedikit kepentingan dan pengaruh terhadap hasil yang diinginkan dan hal ini menjadi pertimbangan untuk mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan. Pengaruh dan kepentingan akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu, sehingga perlu menjadi bahan pertimbangan. Penyusunan matriks pengaruh dan kepentingan dilakukan atas dasar pada deskripsi pertanyaan responden yang dinyatakan dalam ukuran kuantitatif (skor) dan selanjutnya dikelompokkan menurut krieteria. Analisis stakeholders dilakukan dengan penafsiran matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders terhadap pengembangan ekowisata di TNTC dengan menggunakan stakeholders grid dengan bantuan microssoft Excel. Untuk menentukan angka pada setiap indikatornya, kemudian disandingkan sehingga membentuk koordinat. Penyelidikan hubungan antara stakeholders secara deskriftip digambarkan kedalam matriks actor-linkage. Stakeholders yang terindetifikasi ditulis dalam baris dan kolom tabel yang menggambarkan hubungan antar stakeholders. Kata kunci yang digunakan untuk menggambarkan hubungan ini yaitu berkonflik, saling mengisi atau bekerjasama (Reed et al. 2009).
18
2.6. Analisis Kebijakan Kebijakan merupakan serangkaian kegiatan/tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah agar dapat mencapai tujuan yang dimaksud (Carl F, 1969:79 dalam Agustino L, 2008). Menurut Dunn (2003), analisis kebijakan (Policy Analisys) adalah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode pengkajian multiple dalam konteks argumentasi dan debat politik untuk menciptakan secara kritis menilai dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau lebih tahapan proses pembuatan kebijakan. Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan secara kritis penilaian dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau lebih tahapan proses pembuatan kebijakan. Analisis kebijakan dapat juga didefinisikan sebagai pengkomunikasian, atau penciptaan dan penilaian kritis, pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Dalam analisis kebijakan, prosedur umumnya yaitu (1) pemantauan, (2) peramalan (prediksi), (3) evaluasi, (4) rekomendasi (preskripsi), dan (5) perumusan masalah. Proses analisis kebijakan merupakan serangkaian aktifitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut sering sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasi sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Analisis kebijakan dapat menghasilakan informasi yang relevan dengan kebijakan pada suatu, beberapa atau seluruh tahapan dari proses kebijakan, tergantung pada tipe masalah yang dihadapi dalam sebuah permasalahan. Keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh sumberdaya manusia, institusi, dan organisasi yang juga harus memiliki kemampuan untuk melakukan rekayasa ulang. Menurut Person (1995), dalam model proses suatu penetapan kebijakan dapat dikaji dari input dan output. Faktor-faktor input terdiri dari persepsi, organisasi, tuntutan, dukungan dan keluhan. Unsur kebijakan antara lain adalah regulasi, distribusi, redistribusi, kapitalisasi dan nilai-nilai etika. Outputnya antara lain adalah aplikasi, penegakan hukum, interpretasi, evaluasi, legitimasi, modifikasi, penyesuaian, dan penarikan diri atau pengingkaran.
19
Ilmu kebijakan dibangun untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perannya dalam upaya meningkatkan kualitas keputusan, yang diperoleh dari proses perumusan tujuan kebijakan, mengenali permasalahan kebijakan, dan mencari jalan pemecahan masalah kebijakan. Pengetahuan analisis kebijakan berkembang pesat, apabila: 1) Terjadi keterpaduan antara praktisi dan akademisi atas dasar pengalaman, hasil-hasil renungan, dan hasil-hasil penelitian, 2) Menyatukan peranan sistem nilai kedalam studi
kebijakan, 3) Peningkatan
kualitas proses refleksi dan pengambilan keputusan, 4) Kemampuan mengaitkan berbagai bidang kajian dengan praktik kebijakan, 5) Kemampuan membuat kerangka permasalahan kebijakan, 6) Kemampuan meningkatkan kredibilitas pelaksana studi kebijakan (Eriyatno, 1989). Analisis kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk membantu para pembuat kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah publik. Di dalam analisis kebijakan publik terdapat informasi-informasi berkaitan dengan masalah-masalah publik serta argumen-argumen tentang berbagai alternatif kebijakan, sebagai bahan pertimbangan atau masukan kepada pihak pembuat kebijakan. Analisis kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat dibedakan antara analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik tertentu dan sesudah adanya kebijakan publik tertentu. Analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik berpijak pada permasalahan publik semata sehingga hasilnya benar-benar sebuah rekomendasi kebijakan publik yang baru. Keduanya baik analisis kebijakan sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan yang sama yakni memberikan rekomendasi kebijakan kepada penentu kebijakan agar didapat kebijakan yang lebih berkualitas. Dunn (2003) membedakan tiga bentuk utama analisis kebijakan publik, yaitu: 1.
Analisis kebijakan prospektif yang berupa produksi dan transformasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan. Analisis kebijakan disini merupakan suatu alat untuk mensintesakan informasi untuk dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan
20
kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan kebijakan. 2.
Analisis Kebijakan Retrospektif adalah sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Terdapat 3 tipe analis berdasarkan kegiatan yang dikembangkan oleh kelompok analis ini yakni analisis yang berorientasi pada disiplin, analisis yang berorientasi pada masalah dan analis yang berorientasi pada aplikasi. Tentu saja ketiga tipe analisis retrospektif ini terdapat kelebihan dan kelemahan.
3. Analisis kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil. Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak hanya mengharuskan para analis untuk mengkaitkan tahap penyelidikan retrospektif dan perspektif, tetapi juga menuntut para analis untuk terus menerus menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap saat.