Thalasemia
O L E H
Yuki Yunanda
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2008
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
BAB 1 PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah Thalassemia adalah sekumpulan heterogenus penyakit akibat dari gangguan sintesis hemoglobin yang diwarisi secara autosom resesif.(6) Thalassemia juga merupakan sindroma kelainan darah herediter yang paling sering terjadi didunia, sangat umum di jumpai disepanjang sabuk thalassemi yang sebagian besar wilayahnya merupakan endemis malaria. Heterogenitas molekular penyakit tersebut baik carrier thalasemia-α maupun carrier
thalassemia-β
sangat
bervariasi
dan
berkaitan
erat
dengan
pengelompokan populasi sehingga dapat dijadikan petanda genetik populasi tertentu.(7) Karena Indonesia termasuk dalam sabuk thalassemik dan sebagian besar wilayahnya endemis malaria diduga kedua jenis thalassemia tersebut terdapat pada populasi Indonesia yang cukup tinggi yaitu sebagai mekanisme mikroevolusi untuk menangkis malaria. Beberapa penelitian, khususnya thalassemia-β, telah dilaporkan Lanni (2002) bahwa data terbaru yang cukup
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
representatif yang mewakili 17 populasi di Indonesia menunjukkan prefalensi carrier yang bervariasi yaitu 0 – 10 %.(7) Sementara itu keberadaan carrier thalassemia-α di Indonesia masih kurang dicermati walaupun telah dilaporkan bahwa prefalensinya cukup tinggi pada
berbagai
populasi
di
daratan
Asia
atau
Pasific.
WHO
(1987)
memperkirakan ada 13.000-16.000 bayi thalassemia-α lahir setiap tahun di dunia. Jika mereka bisa mencapai usia dewasa, diperkirakan ada sekitar 680.000 penderita thalassemia-α di Asia Tenggara. Angka yang paling banyak disitasi di Indonesia adalah estimasi Wong (1983) yang memperkirakan hanya ada sekitar 0.5% dari total penduduk Indonesia yang membawa sifat kelainan darah dan angka ini jauh lebih rendah dari prefalensi carrier thalassemia-β yang diperkirakan mencapai 3.5%. Namun, banyak peneliti percaya bahwa prefalensi carrier talasemia-α di Indonesia jauh diatas yang diperkirakan Wong tersebut. Dugaan tersebut juga didukung oleh bukti-bukti bahwa cukup banyak bayi atau janin hyrop fetalis dan Hb-H yang terjaring di Rumah SakitRumah Sakit terutama pada mereka yang mempunyai pengaruh kuat unggun gen Mongoloid. Namun seberapa anak besar prevalensi carrier tersebut pada berbagai populasi di Indonesia belum pernah dilaporkan secara rinci.(7) Carrier thalassemia-α di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Lie-Injo (1959) tentang kasus bayi Hb-Bart’s hydrop fetalis di Jakarta. Wahidayat juga
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
melaporkan kasus thalassemia-α baik Hb-H maupun bayi hydrop fetalis yang cukup banyak terjaring di Jakarta terutama pada suku Cina. Sementara itu keberadaan thalassemia-α pada populasi di Medan pertama kali dilaporkan oleh Hariman bahwa dari 300 sampel darah tali pusar yang ditapis 2,5% di antaranya diduga carrier thalassemia-α0 dan 2,5% carrier thalassemia-α+.(7) Keberadaan carrier thalassemia-α0 perlu diwaspadai karena pasangan carrier kelainan darah tersebut mempunyai kemungkinan 25% anak-anaknya akan lahir sebagai bayi Hb-Bart’s hydrop fetalis dan akan segera meninggal setelah lahir atau semasa janin. Di samping itu, jika carrier thalassemia-α0 menikah
dengan
berkemungkinan
carrier menderita
thalassemia-α+, Hb-H
atau
25%
secara
keturunannya
klinis
disebut
juga dengan
thalassemia-α intermedia dan mayor. Sampai saat ini belum ada tindakan kuratif yang memadai untuk mengatasi thalassemia mayor. Cangkok sumsum tulang yang dilakukan selain tidak bersifat permanen juga mempunyai survival rate yang rendah. Hal ini membutuhkan biaya yang cukup besar dan harus dilakukan di luar negeri. Terapi gen pada penderita thalassemia juga hanya dilakukan dalam tingkat penelitian. Anjuran WHO (1984) terhadap penyakit ini adalah melakukan tranfusi darah secara rutin dengan pemberian agen pengkelat besi dan pemberian beberapa ajuvan yang bersifat antioksidan. Tindakan ini harus dilakukan terus menerus seumur hidup dan diperlukan
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
biaya yang cukup besar. Efek sampingnya juga cukup tinggi jika dilakukan dengan tidak memadai. Salah satu tindakan yang harus dilakukan adalah tindakan preventif dan kontrol baik berupa tindakan konseling genetik pranikah sebagai pencegah terjadinya kasus baru thalassemia. Tindakan preventif ini hanya dapat dilakukan jika prevalensi dan jenis mutan pada populasi bersangkutan telah diketahui.(7) Salah satu delesi penyebab thalassemia-α0 yang paling sering dijumpai pada populasi di Asia Tenggara adalah mutasi--SEA. Bentuk homozigot mutasi ini menghasilkan janin atau bayi hydrop fetalis. Mutasi delesi banyak di jumpai pada populasi Asia Tenggara yang mendapat pengaruh kuat unggun gen Mongoloid sehingga dianggap sebagai petanda genetik populasi di Asia Tenggara. Distribusi mutan ini telah dijumpai di Thailand, Malaysia, dan Filipina dalam frekuensi polimorfik, tetapi tidak dijumpai pada populasi Papua ataupun populasi lainnya di kepulauan Pasifik.(7) Letak geografis Sumatera Utara khususnya di kota Medan berdekatan dengan daratan Asia Tenggara. Sebelum kala pleistosen berakhir (kira-kira 10.000 tahun yang lalu) kedua daratan tersebut masih bersatu . karena itu diduga bahwa populasi di Sumatera Utara khususnya di Medan secara genetik berkaitan erat dengan populasi di semenanjung Malaya. Selain Geografis, kesamaan genetis juga ditunjukkan pada heterogenitas molekular gen globin-
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
β dan jenis mutasi pada gen globin-β baik pada suku Batak maupun suku Melayu Sumatera lainnya mempunyai jenis yang sama dengan populasi di daratan Asia Tenggara.(7) Diketahui bahwa talasemia ini terbagi atas empat bagian yaitu talasemia alfa (α) talasemia β talasemia δ, dan talasemia τ. Tapi di makalah ini saya hanya akan membahas talasemia α dan β.(6)
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
1. *Defenisi Thalassemia adalah sekelompok penyakit atau keadaan herediter di mana produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu (Tjokronegoro, A. 2001).(10) Thalassemia adalah ketidakadaan atau kekurangan produksi satu atau lebih rantai globin dari hemoglobin (George, E. 1994).(6) Thalassemia adalah sekelompok heterogen anemia hipokomik herediter dengan berbagai derajat keparahan (Nelson, 1996).(9) Thalassemia merupakan anemia hemolitik herediter yang diturunkan dari kedua orang tua kepada anak-anaknya secara resesif (Rusepno, 1985).(1) Thalassemia termasuk hemoglobinopati (Djelantik, 1996).(3)
*Fungsi Hemoglobin Eritrosit dalam darah arteri sistemik mengangkut O2 dari paru ke jaringan dan kembali dalam darah vena dengan membawa CO2 ke paru. Pada saat molekul hemoglobin mengangkut dan melepas O2, masing-masing rantai
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
globin dalam molekul hemoglobin bergerak pada satu sama lain. Kontak α1β1 dan α2β2 menstabilkan molekul tersebut. Rantai β bergeser pada kontak α1β2 dan α2β1 selama oksigenasi dan deoksigenasi. Pada waktu O2 dilepaskan, rantai-rantai β ditarik terpisah, sehingga memungkinkan masuknya metabolit 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) yang menyebabkan makin rendahnya afinitas molekul hemoglobin terhadap O2. gerakan ini menyebabkan bentuk sigmoid pada kurva disosiasi O2 hemoglobin. P50 (tekanan parsial O2 yang pada tekanan ini hemoglobin terisi separuh dengan O2) darah normal adalah 26,6 mmHg. Dengan meningkatnya afinitas terhadap O2, kurva ini bergeser ke kiri (P50 turun) sedangkan dengan afinitas terhadap O2 yang menurun, kurva bergeser ke kanan (P50 meningkat).(4) Secara normal in vivo, pertukaran O2 berjalan antara saturasi 95% (darah arteri) dengan tekanan O2 arteri rata-rata sebesar 95 mmHg dan saturasi 70% (darah vena) dengan tekanan O2 vena rata-rata sebesar 40 mmHg.(4) Posisi kurva yang normal bergantung pada konsentrasi 2,3-DPG, ion H+ dan CO2 dalam eritrosit serta struktur molekul hemoglobin. Konsentrasi 2,3DPG, H+ atau CO2 yang tinggi, dan adangya hemoglobin tertentu, misalnya hemoglobin sabit (sickle haemoglobin, Hb S), menggeser kurva ke kanan (oksigen lebih mudah dilepas), sedangkan hemoglobin fetus (Hb F)-yang tidak mampu mengikat 2,3-DPG-dan hemoglobin abnormal langka tertentu yang
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
disertai polisitemia menggeser kurva ke kiri karena lebih sulit untuk melepas O2 dibandingkan normal.(4)
*Sintesis Thalassemia Pada awal kehidupan embrio sampai delapan minggu kehamilan (masa transisi embrio ke fetus). Yolk sac dan hati akan mensintesis rantai globin ζ yang mirip dengan globin α dan berkombinasi dengan rantai ε untuk membentuk hemoglobin Gower I (ζ2ε2) dan kemudian di ganti dengan hemoglobin Gower II (α2ε2) dan hemoglobin Portland (ζ2γ2). Pada masa fetus hingga akhir kehamilan akan dibentuk hemoglobin fetal atau Hb-F (α2γ2) dan hemoglobin A2 (α2δ2). Organ yang bertanggung jawab pada periode ini adalah hati, limpa dan sumsum tulang. Hb-F bersifat heterogen karena ada dua lokus gen -γ yang berbeda. Kedua gen ini dibedakan oleh susunan asam amino pada posisi 136 yang terdiri dari glisin pada Gγ dan alanin pada Aγ. Setelah bayi lahir kadar Hb-F akan segera menurun dan diganti oleh HbA1 (α2β2) yang dibentuk oleh sumsum tulang.(7) Setelah enam minggu kelahiran hingga individu dewasa, hemoglobin normal akan dikendalikan oleh empat gen utama yaitu gen-α, β, γ, dan δ. Pada individu dewasa normal hemoglobin A α2β2 (hemoglobin adult) terdiri dari 97% hemoglobin A2 (α2δ2) 2,5% dan sisanya kira-kira 0,5% lainnya adalah
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
hemoglobin F (α2γ2) (hemoglobin fetal). Akan tetapi, jumlah besi yang terkandung dalam hemoglobin hanya kira-kira 0,35% dari berat protein keseluruhan. Seluruh tugas sintesis globin pada periode ini diambil alih oleh sumsum tulang pipih.(7) Sintesis globin dimulai dari proses transkripsi gen dalam inti sel atau nucleus. Baik bagian exon maupun intron akan ditranskripsikan ke precursor mRNA atau nuclear messenger RNA (nmRNA) dengan bantuan enzim polimerase RNA. Di dalam nukleus molekul ini akan mengalami modifikasi. Intron akan dihilangkan melalui proses splicing dan exon-exon dan kemudian bergabung satu sama lain. Diperbatasan exon dan intron selalu ada basa GT pada ujung 5’ dan AG pada ujung 3’ yang sangat penting dalam proses splicing yang tepat. Jika terjadi mutasi pada daerah ini maka proses splicing tidak
dapat
berlangsung.
mRNA
akan
mengalami
modifikasi
dengan
penambahan CAP pada ujung 5’ dan poli-A pada ujung 3’. Setelah transkripsi dimulai dengan bantuan ikatan 5’-5’ trifosfat ujung 5’ RNA yang baru disintesis akan berikatan dengan 7-metil-guanosin pada ujung terminal nukleotida. Proses metilasi ini berhubungan dengan proses penambahan CAP sehingga ujung 5’ RNA transkip mempunyai CAP. Selanjutnya, mRNA menuju ke dalam sitoplasma dan menjadi cetakan rantai globin yang akan disintesis.(7)
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
Dalam sitoplasma asam amino akan diangkut ke cetakan (mNRA) dengan bantuan tRNA (transfer RNA) yang bersifat khusus pada setiap asam amino. Urutan asam amino pada rantai polipeptida globin ditentukan oleh triplet kodon yang terdiri dari tiga basa. tRNA merupakan antikodon yang mempunyai tiga basa dan komplementer dengan basa-basa penyusun mRNA. tRNA membawa asam amino ke mRNA dan mencari posisi pasangan yang tepat antara kodon dan antikodon. Jika tRNA pertama sudah berada pada posisi yang tepat, kompleks inisiasi protein dengan sub-unit ribosom terjadi. Kemudian, jika tRNA kedua sudah mengambil posisi yang tepat, kedua asam amino baru yang terbentuk tersebut membentuk ikatan peptida rantai globin dan demikian seterusnya terjadi sepanjang mRNA yang ditransiasi dari 5’ ke 3’. tRNA selalu berada
dalam
konfirmasi
sterik
dengan
mRNA
melalui
dua
sub-unit
pembentuk ribosom. Pada mRNA selalu terdapat kodon inisiasi (AUG) dan kodon terminasi (UAA, UAG, dan UGA). Pada saat ribosom bertemu dengan kodon terminasi, proses transiasi terhenti, rantai globin lengkap dilepaskan, dan kemudian sub-unit ribosom terlepas dari asam amino yang dibentuk dan didaur ulang. Selanjutnya rantai globin yang terbentuk akan berikatan dengan molekul hem pembentuk hemoglobin.(7)
2. Epidemiologi
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
Penyakit thalassemia ini tersebar luas di daerah mediteranian seperti Italia, Yunani Afrika bagian utara, kawasan Timur Tengah, India Selatan, SriLangka sampai kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, daerah ini di kenal sebagai kawasan thalassemia. Frekuensi thalassemia di Asia Tenggara adalah antara 3-9% (Tjokronegoro, 2001). Gen untuk thalassemia-β ternyata tersebar luas di dataran Cina tidak terbatas pada propinsi Guangdong, seperti di duga semula. Seperti halnya di Muang Thai, thalassemia Hb E tidak jarang terdapat di bagian Selatan Cina. Frekuensi thalassemia terbesar berpusat di daerah perbatasan Muang Thai, Laos dan Kamboja dengan frekuensi sebesar 50-60% dan juga tersebar di daerah lain Asia Tenggara dengan frekuensi yang makin berkurang di daerah yang lebih jauh (Tjokronegoro, 2001). Thalassemia di dapat pula pada orang Negro di Amerika Serikat. Pada daerah-daerah tertentu di Italia dan di negara-negara mediteranian frekuensi carrier. Thalassemia beta dapat mencapai 15-20%. Di Muang Thai 20% penduduknya mempunyai satu atau jenis lain talasemia alfa. Frekuensi gen untuk Indonesia belum jelas. Di duga sekitar 3-5%, sama seperti Malaysia dan Singapura. Iskandar wahidayat (1979) melaporkan bahwa di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta di dapat kasus baru thalassemia beta per tahun. Di Rumah Sakit Dr. Sutomo, Surabaya lebih sering di jumpai thalassemia beta
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
Hb E. Hb E trait di Rumah Sakit Dr. Sutomo adalah 6,5% (frekuensi pada suku Batak, relatif rendah). Selama 15 tahun Untario mencatat seluruhnya 134 kasus thalassemia beta. Untuk talasemia alfa di daerah perbatasan Muang Thai dan Laos frekuensinya berkisar 30-40%, kemudian tersebar dalam frekuensi lebih rendah di Asia Tenggara termasuk Indonesia (Tjokronegoro, 2001).
3. * Etiologi Dasar kelainan pada thalassemia berlaku secara umum yaitu kelainan thalassemia-α disebabkan oleh delesi gen atau terhapus karena kecelakaan genetik,
yang
mengatur
produksi
tetramer
globin,
sedangkan
pada
thalassemia-β karena adanya mutasi gen tersebut. individu normal yang mempunyai 2 gen alfa yaitu alfa thal 2 dan alfa thal 1 terletak pada bagian pendek kromosom 16 (aa/aa). Hilangnya satu gen (silent carrier) tidak menunjukkan gejala klinis sedangkan hilangnya 2 gen hanya memberikan manifestasi ringan atau tidak memberikan gejala klinis yang jelas. Hilangnya 3 gen (penyakit Hb H) memberikan anemia moderat dan gambaran klinis talasemia-α intermedia. Afinitas Hb H terhadap oksigen sangat terganggu dan destruksi eritrosit lebih cepat. Delesi ke 4 gen alfa (homosigot alfa thal 1, Hb
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
Barts Hydrops fetalis) adalah tidak kompatibel dengan kehidupan akhir intra uterin atau neo natal tanpa transfusi darah. Gen yang mengatur produksi rantai beta terletak di sisi pendek kromosom 11. pada thalassemia-β, mutasi gen disertai berkurangnya produksi mRNA dan berkurangnya sintesis globin dengan struktur normal. Di bedakan dalam 2 golongan besar thalassemia-β : -
ada produksi sedikit rantai beta (tipe beta plus)
-
tidak ada produksi rantai beta (tipe beta nol) Defisit sintesis globin beta hampir paralel dengan defisit globin beta
mRNA
yang
berfungsi
sebagai
template
untuk
sintesis
protein.
Pada
thalassemia-β produksi rantai beta terganggu, mengakibatkan kadar Hb menurun sedangkan produksi Hb A2 dan atau Hb F tidak terganggu karena tidak memerlukan rantai beta dan justru memproduksi lebih banyak daripada keadaan normal, mungkin sebagai usaha kompensasi. Kelebihan rantai globin yang tidak terpakai karena tidak ada pasangannya akan mengendap pada dinding eritrosit. Keadaan ini menyebabkan ertitropoesis berlangsung tidak efektif dan eritrosit memberikan gambaran anemia hipokrom dan mikrositer. Eritropoesis di dalam sumsum tulang sangat giat, dapat memcapai lima kali lipat dari nilai normal, dan juga serupa apabila ada eritropoesis ektra medular hati dan limpa. Destruksi eritrosit dan prekusornya dalam sumsum
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
tulang adalah luas (eritropoesis tak efektif) dan masa hidup eritrosit memendek serta didapat pula tanda-tanda anemia hemolitik ringan. Walaupun eritropoesis sangat giat hal ini tidak mampu mendewasakan eritrosit secara efektif. Salah satu sebab mungkin karena adanya presipitasi di dalam eritrosit. Pada kasus homosigot talasemia beta nol, sintesis rantai globin
beta tidak
ada. Sekitar 50% kasus-kasus ini globin beta mRNA dalam retikulosit dan sel eritrosit muda berkurang atau tidak ada. Mutasi gen pada thalassemia-β bersifat sangat heterogen dan mencapai lebih dari 20 variasi genotip. Hal ini berbeda dengan thalassemia-α yang defek gennya agak homogenik. Gen-gen thalassemia-α 1, thalassemia-α 2, thalassemia-β, Hb E dan Hb konstan spring dapat bergabung dalam kombinasi yang berbeda-beda yang mengakibatkan suatu kompleks variasi sindrom. Thalassemia dengan lebih dari 60 genotip yang disetai dengan gejala yang bervariasi dari asimtomatik sampai letal seperti pada Hb bart’s hydrops fetalis. Kemajuan-kemajuan molekular
pada
dalam
thalassemia
di
mengungkapkan dukung
oleh
penyebab
pemeriksaan
genetik restriction
endonuclease digestion dan geneblotting studies, namun demikian secara umum tidak dapat mendeteksi thalassemia-β yang disebabkan karena mutasi nukleotida
yang
tunggal
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
atau
delesi
yang
minimal.
Thalassemia
dan
hemoglobinopati adalah contoh khas untuk penyakit atau kelainan yang berdasarkan defek atau kelainan hanya satu gen. Thalassemia disertai peningkatan kadar bilirubin dalam serum. Umur eritrosit memendek pada keadaan thalassemia hiper splenisme. Pada penderita thalassemia terjadi anemia hemolitik dan limpa bertambah aktif
* Patogenesis Thalassemia mayor beta terjadi akibat kegagalan sintesis rantai globin beta baik parsial ataupun total. Dan dengan demikian menyebabkan gangguan sintesis hemoglobin dan anemia kronik. Bila pewarisan adalah autosomal resesif.kelainan pada gen globin-β (terdapat bersama gen-τ dan-δ pada kromosom) bisanya berupa suatu mutasi titik yang mempengaruhi ekspresi gen ataupun pengolahan oleh messenger RNA. Telah diketahui beragam bentuk mutasi dan keragaman ini menjadi penyebab atas luasnya variasi derajat klinis kondisi ini.
4. Komplikasi Bagi thalassemia mayor memerlukan tranfusi darah seumur hidup. Pada thalassemia mayor komplikasi lebih sering sering di dapatkan dari pada thalassemia intermedia. Komplikasi neuromuskular tidak jarang terjadi.
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
Biasanya pasien terlambat berjalan. Sindrom neupati juga mungkin terjadi dengan kelemahan otot-otot proksimal. Terutama ekstremitas bawah akibat iskemia serebral dapat timbul episode kelainan neurologik fokal ringan, gangguan pendengaran munkin pula terjadi seperti pada kebanyakan anemia hemolitik atau diseritropoitik lain ada peningkatan kecenderungan untuk terbentuknya batu pigmen dalam kandung empedu. Serangan pirai sekunder dapat
timbul
akibat
cepatnya
trun
over
sel
dalam
sumsum
tulang
hemosiderosis akibat transfusi yang berulang-ulang dan atau salah pemberian obat-obat yang mengandung besi. Pencegahan untuk ini adalah dengan selatin azen misalnya desferal. Hepatitis paska transfusi bisa dijumpai terutama bila darah transfusi atau komponennya tidak diperiksa dahulu terhadap adanya keadaan patogen seperti HbsAg dan anti HCV. Penyakit AIDS atau HIV dan penyakit Creutzfeldt Jacob (Analog penyakit sapi gila=mad cow, pada sapi) dapat pula ditularkan melalui transfusi Hemosiderosis mengakibatkan sirosis hepatis, diabetes melitus dan penyakit jantung. Pigmentasi kulit meningkat apabila ada hemosiderosis karena peningkatan endapan melanin dikatalisasi oleh endapan besi yang meningkat. Dengan chellatin agents hiperpigmentasi ini dapat di koreksi kembali. Tukak menahun pada kaki dapat di jumpai deformitas pada skelet, tulang dan sendi mungkin pula terjadi. Deformitas pada muka kadang-kadang
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
begitu
berat
memerlukan
sehingga operasi
memberikan
koreksi.
gambaran
Pembesaran
yang
limpa
menakutkan
dapat
dan
mengakibatkan
hipersplenisme dan dapat menyebabkan trombositopenia dan perdarahan. Komplikasi juga dapat berakibat gagal jantung. Trnsfusi darah yang berulang-ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat tinggi, sehingga ditimbun dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain-lain. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi alat tersebut (hemokromatosis). Llimpa yang bbesar mudah rutur akibat trauma
yang
ringan.
Kadang-kadang
thalassemia
disertai
oleh
tanda
hipersplenisme seperti leukopenia dan trombopenia.
5. Pencegahan Thalassemia Tubuh Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan dua tahap strategi dalam pencegahan thalassemia. Tahap pertama melibatkan pengembangan kaedah yang sesuai untuk diagnosa pranatal dan menggunakannya untuk mengenal dengan pasti pasangan yang mempunyai risiko tinggi misalnya mereka yang telah mempunyai anak dengan penyakit thalassemia. Tahap kedua melibatkan penyaringan
penduduk
untuk
mengenal
pasti
pembawa
dan
memberi
penjelasan kepada mereka yang mempunyai resiko. Seterusnya menyediakan diagnosis pranatal sebelum mereka mempunyai anak-anak yang mengidap
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
thalassemia. Hal ini bisa menurunkan jumlah bayi yang mengidap thalassemia (Rusepno, 1985).
6. Pengobatan Dan Penatalaksanaan Hingga
sekarang
tidak
ada
obat
yang
dapat
menyembuhkan
thalassemia. Transfusi darah diberikan bila kadar Hb telah rendah (kurang dari 6 g%) atau bila anak mengeluh tidak mau makan dan lemah. Untuk mengeluarkan besi dari jaringan tubuh diberikan iron chelating agent, yaitu desferal secara intramuskular atau intravena. Splenektomi dilakukan pada anak yang lebih tua dari 2 tahun, sebelum didapatkan tanda hipersplenisme atau hemosiderosis. Bila kedua tanda itu telah tampak, maka splenektomi tidak banyak gunanya lagi,. Sesudah splenektomi, frekuensi transfusi darah biasanya menjadi lebih jarang. Diberikan pula bermacammacam vitamin, tetapi preparat yang mengandung besi merupakan indikasi kontra (Rusepno, 1985). Dilaboratorium klinik, kadar hemoglobin dapat ditentukan dengan berbagai
cara
:
diantaranya
dengan
cara
kolorimetrik
seperti
cara
sianmethemoglobin (HiCN) dan dengan cara oksihemoglobin (HbO2). International committee for standardization in Haematology (ICSH) menganjurkann pemeriksaan kadar hemoglobin cara sianmethemoglobin. Cara
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
ini mudah dilakukan, mempunyai standar yang stabil dan dapat mengukur semua
jenis
hemoglobin
kecuali
sulfhemoglobin.
Metoda
sahli
yang
berdasarkan pembentukan hematin asam tidak dianjurkan lagi, karena mempunyai kesalahan yang sangat besar, alat tidak dapat distandardisasi dan tidak semua jenis hemoglobin diubah menjadi hematin asam, seperti karboksihemoglobin, methemoglobin dan sulfhemoglobin.
a. Temuan Laboratorium Kelainan morfologi erotrosit pada penderita thalassemia beta homozigot yang tidak di transfusi adalah eksterm di samping hipokronia dan mikrositosis berat., banyak ditemukan poikilosit yang terfrakmentasi, aneh (bizarre) dan sel target. Sejumlah besar eritrosit yang berinti ada di darah tepi, terutama setelah splenektomi.
Inklusi
intra
eritrositik,
yang
merupakan
presipitasi
dari
kelebihan rantai alfa, juga dapat terlihat paska splenektomi. Kadar Hb turun secara cepat menjadi kurang dari 5 g/dl kecuali jika transfusi di berikan. Kadar bilirubin serum tidak terkonjugasi meningkat. Kadar serum besi tinggi, dengan saturasi kapasitas pengikat besi. Gambaran biokimiawi yang nyata adalah adanya kadar Hb F yang sangat tinggi dalam eritrosit. Senyawa dipirol menyebabkan urin berwarna coklat gelap terutama paska splenektomi.
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
b. Terapi Terapi diberikan secara teratur untuk mempertahankan kadar Hb di atas 10 g/dl. Regimen hiper transfusi ini mempunyai keuntungan klinis yang nyata memungkinkan aktifitas normal dengan nyaman, mencegah ekspansi sumsum tulang dan masalah kosmetik progresif yang terkait dengan perubahan tulangtulang muka, dan meminimalkan dilatasi jantung dan osteoporosis. Transfusi dengan dosis 15-20 ml/kg sel darah merah terpampat (PRC) biasanya di perlukan setiap 4-5 minggu. Uji silang harus di kerjakan untuk mencegah alloimunisasi dan mencehag reaksi transfusi. Lebih baik di gunakan PRC yang relatif segar (kurang dari 1 minggu dalam antikoagulan CPD) walaupun dengan ke hati-hatian yang tinggi, reaksi demam akibat transfusi lazim ada. Hal ini dapat di minimalkan dengan penggunaan eritrosit yang direkonstitusi dari darah beku atau penggunaan filter leukosit, dan dengan pemberian antipiretik sebelum transfusi. Hemosiderosis adalah akibat terapi transfusi jangka panjang, yang tidak dapat di hindari karena setiap 500 ml darah membawa kira-kira 200 mg besi ke jaringan yang tidak dapat di ekskresikan secara fisiologis. Siderosis miokardium merupakan faktor penting yang ikut berperan dalam kematian awal penderita. Hemosiderosis dapat di turunkan atau bahkan di cegah dengan pemberian
parenteral
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
obat
pengkelasi
besi
(iron
chelating
drugs)
deferoksamin, yang membentuk kompleks besi yang dapat di ekskresikan dalam urin. Kadar deferoksamin darah yang di pertahankan tinggi adalah perlu untuk ekresi besi yang memadai. Obat ini diberikan subkutan dalam jangka 812 jam dengan menggunakan pompa portabel kecil (selama tidur), 5 atau 6 malam/minggu penderita yang menerima regimen ini dapat mempertahankan kadar feritin serum kurang dari 1000 ng/mL yang benar-benar di bawah nilai toksik. Komplikasi mematikan siderosis jantung dan hati dengan demikian dapat di cegah atau secara nyata tertunda. Obat pengkhelasi besi per oral yang efektif, deferipron, telah dibuktikan efektif serupa dengan deferoksamin. Karena
kekhawatiran
terhadap
kemungkinan
toksisitas
(agranulositosis,
artritis, artralgia) obat tersebut kini tidak tersedia di Amerika Serikat. Terapi hipertransfusi mencegah splenomegali masif yang di sebabkan oleh eritropoesis ekstra medular. Namun splenektomi akhirnya di perlukan karena
ukuran
organ
tersebut
atau
karena
hipersplenisme
sekunder.
Splenektomi meningkatkan resiko sepsis yang parah sekali, oleh karena itu operasi harus dilakukan hanya untuk indikasi yang jelas dan harus di tunda selama mungkin. Indikasi terpenting untuk splenektomi adalah meningkatkan kebutuhan transfusi yang menunjukkan unsur hipersplenisme. Kebutuhan transfusi
melebihi
hipersplenisme
240
dan
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
ml/kg
merupakan
PRC/tahun indikasi
biasanya untuk
merupakan
bukti
mempertimbangkan
splenektomi. Imunisasi pada penderita ini dengan vaksin hepatitis B, vaksin H.influensa tipe B, dan vaksin polisakarida pneumokokus diharapakan, dan terapi profilaksis penisilin juga dianjurkan. Cangkok sumsum tulang ( CST) adalah kuratif pada penderita ini dan telah terbukti keberhasilan yang meningkat, meskipun pada penderita yang telah menerima transfusi sangat banyak. Namun, prosedur ini membawa cukup resiko morbiditas dan mortalitas dan biasanya hanya di gunakan untuk penderita yang mempunyai saudara kandung yang sehat (yang tidak terkena) yang histokompatibel.
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
BAB 3 KESIMPULAN
Thalassemia adalah suatu masalah yang semakin meningkat dan harus diberi perhatian. Program pendidikan tentang thalassemia perlu dilakukan. Karena melalui program pendidikan, kaunseling perkawinan dan diagnosis pranatal, pencegahan penyakit ini dapat dicapai. Thalassemia adalah kelainan genetik gen tunggal yang mengakibatkan berkurang atau tidak adanya sintesis satu atau lebih rantai globin. Thalassemia tersebar dari Mediterranean sampi ke Asia Tenggara melalui Timur Tengah dan Asia Tengah serta anak benua India, membentuk “sabuk thalassemia”. Karena arus migrasi dan perkawinan pada saat ini penyakit thalassemia banyak dijumpai di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Gejala klinis penyakit thalassemia bervariasi mulai dari ringan sampai berat tergantung pada jumlah sintesis gen globin yang berkurang. Thalassemia diturunkan secara hukum Mendel autosomal resesif. Thalassemia -α terdiri dari thalassemia-α0 dan thalassemia-α+. Bentuk homozigot thalassemia-α0 menimbulkan keadaan klinis yang berat yaitu bayi dapat mati dalam kandungan atau setelah lahir karena Hb Bart’s hydrop fetalis. Dari seluruh individu yang dilaporkan diketahui bahwa
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
ibu yang hamil dengan Hb Bart’s hydrop fetalis mengalami preeklamsia yang berat dengan hipertensi diastolik. Perkawinan antara carrier thalassemia-α0 dan carrier thalassemia-α+ akan memungkinkan menurunkan anak 25% menderita penyakit Hb-H dengan manifestasi klinis anemia ringan sampai berat. Penderita penyakit Hb-H sering mengalami/mendapat infeksi karena daya tahan tubuh menurun yang dapat diikuti dengan hemolisis eritrosit akut. Akibatnya anak tersebut memerlukan transfusi untuk mempertahankan hidupnya.
Pemberian
transfusi
yang
berlebihan
akan
menyebabkan
penimbunan besi dalam berbagai organ tubuh dan hal ini dapat menimbulkan gangguan fungsi organ yang bersangkutan (Hemokromatosisi). Keadaan ini bukan hanya menjadi beban keluarga tetapi juga menjadi tanggung jawab masyarakat dan negara. Oleh karena itu perhatian terhadap penyakit thalassemia harus lebih ditingkatkan baik oleh para sarjana yang terkait terutama para dokter maupun pemerintah. Di Sumatera khususnya kota Medan sebaiknya direncanakan suatu program penanganan penyakit thalassemia secara menyeluruh meliputi penemuan kasus dan pengobatan disamping pencegahan lahirnya bayi-bayi dengan sindroma thalassemia untuk menghindarkan generasi yang akan datang dari penyakit yang hampir selalu diakhiri dengan kematian pada masa anak-anak. Selain itu, juga memberikan penerangan kepada masyarakat dan
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
penderita
thalassemia
yamng
mempunyai
resiko
akan
kelahiran
anak
menderita thalassemia. Diagnosis pra-natal perlu disosialisasikan terutama bagi pasangan yang beresiko akan melahirkan anak menderita thalassemia mator dan Hb Bart’s hydrop fetalis. Adanya suatu laboratorium yang lengkap untuk penelitian penyakit thalasemia sangat dirasakan keperluannya di Medan.
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Dkk. (1985). Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Arjatmo, T. (1992). Pemeriksaan Laboratorium Hematologi Sederhana, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Atul, B. (1996). Hematologi Klinik Uji Keterampilan diagnostik, Jakarta : Widya Medika Dewi, A. (2005). Hematologi, Jakarta : Buku Kedokteran EGC Djelantik, I.B (1996). Lekemia, Panduan Praktikum Dan 500 Soal Jawab
Hematologi, Jakarta : Widya Medika Elizabeth, G. (1994). Diagnosis Pranatal Talasemia Di Malaysia, Bangi : Universiti Kebangsaan Malaysia Ganie, Dkk. (2004). Kajian DNA Thalassemia α di Medan, Medan : USU Press Iyan, D. (1996). Haematologi, Jakarta : Buku Kedokteran EGC Nelson, (1996). Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta : UI Sarwono, Dkk. (2001). Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISI
Abstrak……………………………………………………………………………… i Daftar Isi……………………………………………………………………………...ii
BAB 1. Pendahuluan 1. Latar Belakang………………………………………………………………… ...1
BAB 2. Tinjauan Pustaka 1. - Definisi………………………………………………………………………….5 - Fungsi Hemoglobin……………………………………………………………..5 - Sintesis Thalassemia…………………………………………………………….6 2. Epidemiologi……………………………………………………………………..8 3. - Etiologi…………………………………………………………………………10 - Patologi…………………………………………………………………………12 4. Komplikasi………………………………………………………………………...12 5. Pencegahan Thalassemia………………………………………………………….14 6. Pengobatan dan Penatalaksanaan…………………………………………………14
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
BAB 3. Kesimpulan 1. Kesimpulan………………………………………………………………………18
Daftar Pustaka……………………………………………………………………....20
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008
ABSTRAK
Thalassemia merupakan penyakit yang berbahaya pada manusia, dan terjadinya penyakit ini akibat perkawinan pasangan yang carrier thalassemia. Oleh karena sampai saat ini belum ada pengobatan yang pasti untuk penyakit thalassemia maka pencegahannya harus dilaksanakan, dapat dengan cara menyaring penduduk yang sudah pasti pembawa (carrier) dan memberikan penjelasan kepada penduduk yang mempunyai resiko sebelum mereka mempunyai anak-anak yang mengidap thalassemia. Dalam hal ini penyuluhan akan thalassemia ini perlu dilakukan agar para orangtua mengerti dan dapat mengurangi ataupun meniadakan penyakit thalassemia ini. Mereka diberi penjelasan tentang thalassemia, bagaimana bisa terjadi penyakit ini apa akibatnya bagi anak dan juga beberapa cara pencegahannya.
Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-Repository © 2008