PERBEDAAN PERSEPSI MENGENAI PENGUASAAN TANAH DAN AKIBATNYA TERHADAP MASYARAKAT PETANI DI SUMATERA TIMUR Pada Masa Kolonial Yang Berlanjut Pada Masa Kemerdekaan, Orde Baru dan Reformasi SYAFRUDDIN KALO Program Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Pengantar Sejak masuknya perusahaan perkebunan (onderneming) di wilayah Sumatera Utara, persoalan tanah telah menjadi pokok permasalahan utama mengingat perusahaan perkebunan memerlukan lahan bagi pengembangan usahanya dalam ukuran sangat luas dan tidak mungkin dipenuhi oleh penduduk secara perorangan. Dengan kebutuhan tersebut, dan ditopang dengan pandangan tentang hak penguasaan tanah di Eropa, pengusaha perkebunan ini mendekati para raja yang dianggap sebagai penguasa seluruh tanah di Sumatera Utara agar menyediakan tanah milik rakyat melalui jalur kontrak sewa (conssesie).1 Dengan dimulainya eksploitasi dan investasi modal pengusaha perkebunan swasta ini, maka sejak itu persoalan sengketa hak penguasaan atas tanah selalu terjadi secara periodik dalam kehidupan di Sumatera Utara. Sengketa ini berkisar tentang siapa yang berhak menyewakan, menggarap, mengolah dan menentukan perpanjangan sewa dengan pihak perkebunan. Di satu sisi terdapat rakyat yang memegang teguh prinsip adat2 dengan hak ulayatnya, di sisi lain pengusaha perkebunan merasa berhak menguasai tanah karena mereka telah membuat kontrak sewa dan menerima konsesi dari sultan yang dianggap sebagai pemilik tanah yang sah.
1
2
Proses masuknya para pengusaha perkebunan Barat ke Sumatera Utara ini tidak terlepas dari munculnya sistim dan situasi kolonial pada akhir abad XIX di tanah-tanah koloni Eropa. Dalam sistem dan situasi kolonial ini muncul hubungan kolonial (ketundukan) antara penguasa kolonial dan penduduk jajahannya. Di samping itu juga terdapat hubungan serupa antara tanah jajahan di Asia dengan negara induknya di Eropa yang bertumpu pada prinsip dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan penetrasi kebudayaan yang dipaksakan. Bentuk penjajahan yang diterapkan oleh penguasa Eropa pada akhir abad XIX ini mengalami pergeseran dari sistem lama. Dalam gaya penguasaan lama negara induk dianggap sebagai lahan eksploitasi yang wajib menyetorkan hasilhasilnya demi kejayaan negara penjajahnya di Eropa, sementara itu dalam bentuk penjajahan baru tanah koloni dianggap juga sebagai tempat proses produksi berlangsung, tempat pencarian tenaga kerja dan sekaligus sebagai lahan penjualan barang-barang hasil produksi di Eropa. Tentang perluasan kolonialisme ini periksa Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi (Aditya Media, Yogyakarta, 1991), hal. 5 dan 13. Yang dimaksud adat di sini adalah seperangkat aturan dan kebiasaan tak tertulis yang menentukan dan mengatur cara hidup penduduk pribumi serta yang muncul dari konsep orang pribumi tentang manusia dan kehidupan sosialnya. Adat mewarnai semua kehidupan sosial termasuk bidang yang sakral yang dalam hal ini mencakup juga penguasaan tanah. Periksa Franz von Benda-Beckmann, Property in Social Continuity (The Hague, Martinus Nijhoff, 1979) hal. 113-114.
©2004 Digitized by USU digital library
1
Pemerintah kolonial Belanda sebagai pihak fasilitator dan penjaga hukum serta ketertiban segera terlibat dalam persoalan sengketa tanah ini. Ada dua kepentingan utama yang mendorong keterlibatan pemerintah Belanda : menegakkan keamanan dan ketertiban mengingat para Sultan Melayu dianggap tidak mampu melaksanakannya, dan yang kedua sebagai peluang untuk memperluas pengaruh politiknya di tanah Melayu yang dianggapnya mengandung potensi luas bagi sumber produksi, sehingga akan menambah pemasukan bagi devisa negara.3 Keterlibatan pemerintah Belanda dalam aktivitas yang dilakukan oleh para pengusaha perkebunan swasta memaksa kalangan petinggi Belanda baik di Den Haag maupun Batavia untuk memikirkan suatu hukum khusus yang mengatur persoalan agraria dan diberlakukan di seluruh Hindia Belanda. Setelah melalui perdebatan dan penelitian yang panjang, maka pada tahun 1870 dikeluarkannya UU Agraria atau Agrarische Wet 1870. Dengan bertumpu pada dasar hukum ini, pemerintah Belanda mempermudah penerapan kebijakan dalam kaitannya dengan hak penguasaan atas tanah penduduk pribumi (domein). Hukum dasar ini tetap dipergunakan dan dipertahankan oleh pemerintah jajahan Belanda sampai akhir masa kekuasaannya, dan masih digunakan oleh pemerintah Republik Indonesia pada masa awal kemerdekaan tanpa mengalami banyak perubahan yang berarti.4 Sebagai akibatnya, berbagai bentuk sengketa tanah yang muncul di Sumatera Utara menunjukkan pola yang hampir sama meskipun dengan pelaku peran (occupant role) yang berbeda. Bila di masa kolonial, sengketa muncul diantara pengusaha onderneming dengan rakyat saja, maka pada masa kekuasaan Republik Indonesia di awal kemerdekaannya persoalan ini diperparah lagi dengan munculnya partai-partai politik yang memiliki kepentingan berbeda. Partai-partai ini memanfaatkan konflik sengketa tanah di Sumatra Utara tersebut untuk mendapatkan dukungan dan pengaruh dari rakyat serta menggunakannya sebagai sarana untuk mencapai tujuan nasional mereka. Pemerintah Indonesia segera memberikan perhatian serius pada persoalan sengketa tanah yang selalu kembali muncul ini. Dengan mengadakan 3
4
Hal ini dimungkinkan bagi Belanda karena para raja Melayu saat itu berada dalam posisi yang terpecah-pecah dan saling bersaing, sehingga para raja yang secara ekonomi dan militer sangat lemah bergantung pada bantuan dan sekutu mereka. Untuk menghadapi ancaman dari musuhmusuhnya termasuk kaum pendatang Batak Toba yang mulai banyak memasuki wilayah Melayu, para sultan ini memerlukan sekutu baru yang bisa melindungi struktur dan keberadaan Kesultanannya. Tanpa menggunakan kekuatan militer yang tinggi, Belanda berhasil lewat jalur diplomasi menyatukan para sultan bersama para kepala adat Melayu, Batak Toba dan Batak Karo tunduk pada sistem baru yang dibentuk oleh pemerintah kolonial. Periksa Anthony Reid, The Blood of the People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra (Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera) terjemahan Muchsin Zain (Jakarta, Sinar Harapan, 1987) hal. 26. Periksa R. Soepardi, “Beberapa Hal Tentang Hukum Agraria”, dalam Madjalah Perkebunan, edisi Maret 1959, tahun IX, hal. 50. Hal ini sangat rawan mengingat struktur penguasaan yang ada selama sebelum dan sesudah kemedekaan jauh berbeda, khususnya menyangkut pihak yang memegang hak penguasaan tanah: sebelum kemerdekaan, para penguasa swatantra pribumi (zelfbestuurder) menjadi pemegang hak penguasaan dengan mengeluarkan grant (karunia) sebagai bukti pemilikan tanah kepada warganya. Setelah kemerdekaan dengan dihapuskannya bentuk kekuasaan kesultanan, semua grant ini tidak lagi berlaku.
©2004 Digitized by USU digital library
2
penelitian lewat sebuah tim yang khusus dibentuk untuk itu, pemerintah mulai menyusun bentuk perundangan baru yang diharapkan bisa menggantikan Agrarische Wet lama produk hukum kolonial. Dengan perundangan baru ini, negara mengambil alih semua hak penguasaan atas tanah dan menegaskan berbagai macam bentuk kepemilikan tanah secara jelas melalui diterbitkannya sertifikat oleh lembaga hukum yang berwenang. UUPA No.5 Tahun 1960 sebagai bentuk UU baru tentang ketentuan pokok agraria yang dikenal dengan UUPA, berlaku sebagai induk dari segenap peraturan pertanahan di Indonesia. UUPA ini mengandung asas (prinsip) bahwa semua hak atas tanah dikuasi oleh negara, dan asas bahwa hak milik atas tanah “dapat dicabut untuk kepentingan umum”. Kedua prinsip tersebut dengan tegas telah dituangkan dalam pasal 2 dan pasal 18 UUPA. Berdasarkan pasal 2 UUPA ini negara menjadi pengganti semua pihak yang mengaku sebagai penguasa tanah yang sah. Negara dalam hal ini merupakan lembaga hukum sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah sebagai lembaga pelaksana UU negara dalam proses ini bertindak sebagai pihak yang melaksanakan dan menerapkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 2 UUPA tersebut. Adapun kekuasaan negara yang dimaksud itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, baik sudah yang dihakki oleh seseorang maupun tidak. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan suatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai di situlah batas kekuasaan negara.5 Dengan demikian pemerintah menjadi pihak yang wajib dan berwenang mengatasi dan menengahi sengketa hak penguasaan atas tanah yang muncul sekaligus menjadi fasilitator bagi pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa. Berbagai kasus sering terjadi dalam masyarakat dengan berbagai masalah, diantaranya yang paling menonjol adalah persoalan sengketa pertanahan antara masyarakat versus perkebunan yaitu tentang penggarapan baik yang mempunyai izin maupun penggarapan secara liar oleh masyarakat. Disamping itu penggusuran masyarakat di atas tanah sengketa baik oleh pemerintah maupun oleh pihak perkebunan baik secara paksa maupun ganti rugi tetapi bentuk dan besarnya ganti rugi yang diberikan oleh perkebunan kepada rakyat dinilai tidak layak. Bahkan proses ini banyak yang menjadikan rakyat lebih miskin dari sebelumnya, karena uang ganti rugi itu tidak cukup untuk membeli lahan baru atau untuk mencari nafkah sesuai dengan keadaan semula. Dengan demikian dari sudut ekonomi tindakan tersebut sangat merugikan bagi rakyat. Rakyat terpaksa menyingkir dari lahan yang telah dibebaskan untuk kepentingan tanaman perkebunan dan harus mencari lahan baru yang tidak sesuai dengan tuntutan penanaman tanaman pangan mereka. Konflik terjadi sejak dari konsesi perkebunan yang diberikan oleh kesultanan/swapraja dan pemerintah kolonial pada persusahaan perkebunan. Tanah konsesi tersebut pada dasarnya menyangkut hak ulayat masyarakat. Pemberian konsesi kepada pengusaha perkebunan telah terjadi pada masa kesultanan dan masa kolonial ini berlanjut dengan modifikasi hak konsesi 5
Lihat penjelasan umum UUPA No.5 Tahun 1960, Bagian II.
©2004 Digitized by USU digital library
3
menjadi hak erfacht. Kondisi demikian diteruskan pula pada masa kemerdekaan, di mana tanah konsesi maupun hak erfacht yang diberikan pada perkebunan yang berakhir masa berlakunya dimodifikasi menjadi Hak Guna Usaha (HGU). Dalam tiga periode tersebut sengketa pertanahan masih berlangsung diantara pihak pengusaha perkebunan dengan masyarakat penunggu maupun masyarakat penggarap. Pola sengketa berkisar antara rakyat dan pemerintah atau rakyat dan perkebunan (yang didukung oleh orang-orang pemerintah) mengenai penguasaan atas tanah; antara rakyat dengan pihak perkebunan serta kehutanan mengenai tanah garapan antara rakyat dengan rakyat itu sendiri mengenai masalah kepemilikan, penggarapan, warisan dan sewa menyewa. Sengketa tersebut diantaranya karena manipulasi pejabat atau perantaraperantara yang menjadi kaki-tangan perusahaan perkebunan sejak zaman kolonial. Dalam praktek, penyelesaian masalah perkebunan itu ada yang diupayakan dengan pemberian ganti rugi lahan oleh pihak perkebunan pada petani penggarap, rakyat penunggu, maupun penggarap liar. Oleh pihak pemerintah ditempuh penyelesaian dengan jalan melepaskan hak atas tanah atau membebaskan areal perkebunan yang yang telah dikuasai penggarap dengan mengeluarkannya dari Hak Guna Usaha atau terhadap Hak Guna Usaha yang telah habis masa waktunya tidak diberikan perpanjangan lagi, kemudian lahan tersebut dibagi-bagikan oleh panitia kepada masyarakat penggarap. Namun hal ini, tidak membawa hasil yang memuaskan bahkan sengketa tanah antara pihak perkebunan versus rakyat penggarap terus berlanjut sampai saat ini. Khusus di Sumatera Utara, berdasarkan pemantauan, yang paling besar presentasinya adalah sengketa masalah tanah. Tuntutan ini demikian derasnya, dimana-mana, di wilayah Sumatera Utara, terutama di sektor perkebunan, lahan perkebunan menjadi ajang dan tumpuan penjarahan dan pendudukan dari para penggarap yang mengaku dirinya petani. Ini dimulai dari Kotamadya Medan, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Langkat yang menjadi korban adalah PTPN II dan PTPN III, sebagian besar areal HGU nya jatuh dan diduduki oleh rakyat penggarap. Tuntutan masyarakat penggarap berdalih demi reformasi dan atau karena reformasi, tanpa mendalami dengan benar maksud dan cita-cita s reformasi itu sendiri. Secara internal, pelanggaran hukum, pelanggaran HAM, telah berlangsung dimana, para aparat penegak hukum, tidak mampu berbuat banyak. Disamping itu juga, penguasaan tanah dilakukan oleh rakyat tanpa alas hak yang sah dan dokumen kepemilikan tanah yang tidak lengkap. Maka dalam posisi yang demikian pemerintah dihadapkan pada suatu keadaan yang dilematis. Keadaan ini dapat melemahkan posisi pihak perkebunan yang membutuhkan tanah dan berpotensi menimbulkan masalah, yaitu rakyat tidak memilik bukti yang lengkap dan cukup atas tanah yang dimilikinya. Hal ini terutama terjadi pada tanah-tanah yang belum bersertifikat, yang disebabkan oleh pandangan adat yang masih melekat pada rakyat bahwa tanah merupakan hak milik komunal (hak ulayat), sehingga mereka menganggap hak penguasaan otomatis melekat pada hak penghunian atas tanah tersebut secara turuntemurun.
©2004 Digitized by USU digital library
4
Keadaan itu bukannya tidak diketahui oleh pihak yang memerlukan tanah dalam hal ini perkebunan, tetapi dengan berbagai alasan untuk melaksanakan usaha yang telah direncanakan tetap dilakukan penguasaan lahan. Akibatnya sulit bagi pihak yang membutuhkan tanah untuk menentukan tentang keabsahan pemegang hak penguasaan lahan yang diakui oleh rakyat. Konflik juga terjadi antara pemerintah dengan rakyat atau antara rakyat dengan pihak perkebunan yang membutuhkan tanah, karena kurangnya koordinasi antar instansi yang terkait di bidang pertanahan. Misalnya, tidak adanya sinkronisasi antara suatu sektor dengan sektor lainnya. Banyak sekali peraturan-peraturan yang tidak berjalan, ataupun saling bertabrakan dengan peraturan lain. Sebagai contoh dapat kita ajukan Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 yang mengatur tentang penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat, UU Darurat Nomor 1 Tahun 1956 tentang perubahan dan tambahan atas perubahan UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 mengenai penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat, UU Nomor 28 Tahun 1956 tentang pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah-tanah perkebunan, UU Nomor 29 Tahun 1956 tentang peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan, UU Nomor 76 Tahun 1957 tentang perubahan UU Nomor 24 Tahun 1954 dan UU Nomor 28 Tahun 1956, UU Nomor 51 Prp Tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya, dan UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang pencabutan hakhak atas tanah dan benda-benda yang terletak di atasnya, dll. Namun keberadaan dari semua peraturan tersebut di atas, ternyata tidak dapat meredam terjadinya kasus pertanahan yang menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat. Dalam realita banyak terjadi konflik antara pemerintah dan rakyat atau antara rakyat dengan pihak badan usaha perkebunan yang masingmasing pihak membutuhkan tanah. Sengketa pertanahan ini kita jumpai hampir pada setiap daerah perkebunan yang ada di Indonesia. Kecenderungan pemerintah mengabaikan faktor-faktor juridis dalam pembebasan atau pelepasan hak-hak atas tanah masyarakat, disebabkan instansi pemerintah tersebut lebih mementingkan target pemasukan produksi ekonomi sesuai dengan tahap-tahapnya. Oleh karena kuota produksi yang lebih diutamakan, maka pemerintah cenderung tidak teliti dalam memeriksa dokumendokumen kepemilikan dan hak-hak rakyat yang memiliki tanah, misalnya bukti kepemilikan. Disamping itu selalu terjadi pemaksaan kehendak, sehingga musyawarah tidak berjalan dan bentuk penyelesaian sengketa hanya ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah dengan pendekatan politik dan kekuasaan. Dengan adanya berbagai peraturan dan kebijakan mengenai tanah yang telah dikemukakan di atas, seharusnya dapat dijadikan patokan dalam dua hal yaitu : di satu pihak peraturan itu merupakan landasan bagi pihak pemerintah untuk membuat larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak, sedangkan di lain pihak ia merupakan suatu jaminan hukum bagi rakyat agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pemerintah atau penguasa. Tetapi ternyata keberadaan peraturan itu tidak dapat menjamin adanya perlindungan bagi rakyat dari tindakan sewenang-wenang oleh pihak pemerintah. Berdasarkan penjelasan yang dipaparkan di atas, sungguh menarik bila sejauh ini belum banyak kajian yang khusus menyoroti permasalahan konflik dalam sengketa pemilikan tanah antara rakyat dan penyewa tanah di wilayah Sumatera
©2004 Digitized by USU digital library
5
Timur dari sisi ilmu hukum. Berbagai karya telah ditulis tentang Sumatera Timur, namun sebagian besar berdasarkan perspektif dan pendekatan historis dengan kurang menekankan prioritas pada aspek pendekatan ilmu hukum. Dalam sejumlah karya ilmiah yang telah dihasilkan tentang penguasaan wilayah di Sumatera Timur,6 lebih banyak diberikan penekanan pada aspek politik sebagai faktor penentu perubahan yang terjadi. Sementara itu menurut penulis sisi penguasaan tanah dari aspek hukum sangat menentukan perubahan yang terjadi dalam perkembangan sejarah politik dan ekonomi wilayah Sumatera Timur. Dalam hal ini penulis akan berusaha menggali beberapa pokok permasalahan yang terdapat dalam proses konflik dalam penguasaan tanah, bagaimana benturan prinsip yang terjadi dan sejauh mana proses tersebut menentukan bentuk perubahan baru yang menghasilkan pergantian kebijakan dan keputusan lembaga kekuasaan pada periode yang terkait. Perbedaan Persepsi Tentang Hak Penguasaan Tanah di Sumatera Timur Setiap negara mempunyai aturan tentang hak-hak penguasaan dan pemilikan tanah, yang didasari atas konsep dan teori hukum tertentu yang dimodifikasi dengan kondisi yang dihadapi dan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada dasarnya pengaturan hukum tentang hak-hak penguasaan atas tanah itu berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang sudah dihakki. Kewenangan ini berbeda dari suatu negara dengan negara lain. Di Indonesia sebagai bekas negara jajahan Belanda mempunyai pengalaman sejarah dalam menentukan penguasaan atas tanah, ada yang bersumber dari hukum adat, hukum barat dan hukum nasional. Pada zaman penjajahan, fungsi hukum tanah mengabdikan pada kepentingan Pemerintah Hindia Belanda, tanpa memperdulikan kepentingan rakyat Indonesia. Akibatnya fungsi tanah yang semula sebagai sumber kesejahteraan dan kemakmuran yang merupakan karunia Illahi, setelah kedatangan penjajah berubah menjadi sumber penindasan, sumber malapetaka dan sumber ketidakadilan. Dalam kerangka teori yang digunakan, penulis membatasi beberapa aktivitas yang akan sangat menentukan dalam penjelasan dan pembuatan analisis atas disertasi yang dipaparkan. Sejumlah kerangka pemikiran ini bersumber dari beberapa teori yang dapat mendukung tulisan ini. Dalam tema ini, perlu dijelaskan tentang teori penguasaan tanah dan kaitannya dengan persewaan tanah. Teori penguasaan tanah dalam sejarah 6
Beberapa karya ilmiah tentang Sumatra Timur ditulis baik oleh para ilmuwan asing maupun ilmuwan Indonesia di antaranya adalah Karl. J. Pelzer, Toean Kebon dan Petani (Jakarta, Sinar Harapan, 1978); Karl J. Pelzer, Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani (Jakarta, Sinar Harapan, 1982); Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra (Jakarta, Sinar Harapan, 1987); Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia (Yogyakarta, Tarawang Press, 2001); Tengku Lukman Sinar, Sari Sejarah Serdang (Medan, tanpa penerbit, 1971). Semua karya ini cenderung menegaskan pada peristiwa-peristiwa politis dan perubahan kekuasaan yang mempengaruhi perubahan sosial dalam hubungan ekonomi dan kehidupan masyarakat di Sumatra Timur. Semua karya ini ditulis oleh para sejarawan profesional dengan melakukan pendekatan historis yang berlandaskan pada kajian politik untuk mendekati permasalahan yang berlaku di Sumatra Timur masa itu. Dengan demikian unsur kajian dari sisi hukum kurang begitu menonjol dalam eksplanasinya.
©2004 Digitized by USU digital library
6
hukum pertanahan di Indonesia sejak zaman kesultanan, zaman kolonial sampai zaman kemerdekaan, dalam praktek diperlakukan teori penguasaan tanah berdasarkan teori Eropa, adat dan hukum nasional. Di Eropa sebelum masa Revolusi Perancis berlaku doktrin bahwa raja adalah penguasa segala hal di negaranya dengan semboyan “L’etat c’est Moi” atau Negara adalah Saya teori ini mencerminkan kekuasaan yang besar atas tanah. Raja dianggap sebagai wakil negara dan pemilik tanah adalah negara. Teori ini juga berlaku di Inggris dan Belanda. Indonesia sebagai negara jajahan Belanda memberlakukan teori ini di Indonesia, yang berarti bahwa semua tanah di Indonesia adalah milik raja dan dengan demikian oleh karena raja takluk kepada pemerintahan kolonial, maka semua tanah di negara jajahan dikonversi menjadi milik raja Belanda. Oleh karena itu pemerintah Kolonial menganggap semua tanah yang ada di Indonesia adalah milik penguasa kolonial. Dengan memberlakukan azas domein verklaring, dengan arti bahwa semua tanah-tanah tidak dapat dibuktikan siapa pemiliknya adalah menjadi tanah negara.7 Atas dasar teori ini maka pemerintah kolonial dapat menyewakan tanah-tanah kepada perusahaan onderneming dengan skala besar. Dengan diberlakukannya teori domein verklaring oleh pemerintah Hindia Belanda di Indonesia, dapat diasumsikan bahwa kebijakan itu didasari atas alasan-alasan karena pemerintah Belanda menganggap raja-raja di Indonesia yang mempunyai kekuasaan hak domein atas tanah, maka dengan sendirinya hak domein itu juga diambil over oleh Belanda karena Belanda memegang kedaulatan di Indonesia. Anggapan pemerintah Belanda yang demikian itu, pada dasarnya adalah sangat keliru. Karena tidak semua raja-raja di Indonesia mempunyai hak domein atas tanah, khususnya di Sumatera Timur raja-raja tidak menguasai semua tanah di wilayah kerajaannya, tetapi di wilayah persekutuan hukum adat yang berada di bawah kekuasaan kesultanan tanah adalah merupakan milik komunal (beschikkingsrecht). Anggota persekutuan dari hukum adat itu dapat membuka tanah dan memungut hasil hutan dengan seizin kepala persekutuan atau pengetua adat, hak ini merupakan hak ulayat dalam masyarakat adat itu. Dalam praktek fungsi domein verklaring dalam perundang-undangan pertanahan pemerintah kolonial Belanda adalah : a. Sebagai landasan hukum bagi Pemerintah yang mewakili Negara sebagai pemilik tanah, untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUUHPdt, seperti hak erfacht, hak opstal dan lain-lainnya. Dalam rangka domein verklaring, pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik Negara kepada penerima tanah. b. Bidang pembuktian pemilikan.8 Kutipan di atas, memberikan penjelasan bahwa negara bertindak sebagai pemilik. Pemerintah memberikan hak-hak erfacht atau persewaan tanah jangka panjang kepada perusahaan onderneming, dengan mengingkari hak-hak masyarakat adat yang ada di atas tanah menjadi objek persewaan tersebut. Kebijakan pemerintah Belanda dalam memperlakukan teori domein 7 8
Lihat pasal 1 Agrarisch Besluit dan hubungkan dengan pasal 519 dan pasal 520 BW. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Hukum Tanah Nasional. (Jakarta : Djambatan, , 1999, hal. 43).
©2004 Digitized by USU digital library
7
verklaring ini adalah, sangat merugikan rakyat karena domein diperlakukan di atas tanah rakyat dan memungkinkan tanah-tanah hak ulayat diberikan kepada orang asing dengan hak sewa (erfacht). Dalam hal ini, perlu dijelaskan apa yang disebut dengan persewaan tanah (tenure), penyewa (tenant) dan pemilik tanah yang menyewakan (landowner) khususnya yang muncul dalam sejarah persewaan dan penguasaan tanah di Sumatera Timur. Pertama-tama kita akan membahas masalah persewaan tanah (tenure). Dalam hal ini, Kenneth P. Davis mengatakan sebagai berikut : The basic concept of ownership is that of tenure. This means the right or capacity to have and to hold land for certain uses. Historically,the concept of tenure long preceded the idea of individual ownership. The word “tenure” means “the holding of property, especially real estate, of or by reference to a superior. Inherent in the woed “held” is the idea of exclusion, that is to set aside and keep as one’s own by shutting out and excluding others. Another indispensable dimension of tenure is the period time for which the property is held”.9 Berdasarkan defenisi Davis ini bisa kita jelaskan bahwa sewa tanah merupakan jenis bentuk pemilikan tanah dengan tujuan tertentu. Persewaan tanah ini berarti penguasaan lahan perkebunan dan menjadi bagian dari pemilikan. Perbedaan yang mendasari antara persewaan dengan pemilikan adalah bahwa persewaan (tenure) yang dimaksudkan Davis merupakan pemetikan hasilnya dari kerja tertentu, sehingga tanah ini diterima dari pihak lain dalam bentuk pinjaman. Defenisi Davis ini bertolak dari sistem pemilikan tanah di Inggris yang menyebutkan bahwa hanya raja Inggris yang menjadi pemilik tanah, dan semua mereka yang menguasai serta menggarap tanah itu adalah penyewa atau peminjam tanah.10 Defenisi David di atas ini bisa dikembangkan dengan konsep tujuan persewaan yang muncul atas penguasaan tanah. Tentang ini A.W.B. Simpson mengatakan: An obvious consequence of the tenurial system is that a number persons have interensts of some sort in the same parcel of land. Confining our attention for the time being simply to freholders, at the bottom of the feudal ladder there will be a tenant who has seisin of the land and is called the tenant in demesne, dan at the top there is the king. In between there may be a string of mesne lords who are lords and tenants at the same time. The tenant in demesne is conceived as the owner of the land and to treat the interest of the lords in land as inra in re aliena.11 Dengan melihat defenisi Simpson tersebut di atas, lebih tegas lagi bisa kita ketahui bahwa persewaan tanah ini berasal dari pemilik tanah. Pemilik tanah yang diakui menurut hukum adat Eropa adalah raja. Raja akan membagi-bagikan tanah tersebut kepada para bangsawan dalam bentuk suatu struktur hirarkis, dengan tujuan dua hal: menyerahkan sebagian hasilnya sebagai upeti kepadanya, dan memelihara para bangsawan beserta keluarganya dengan sisa hasil itu sebagai imbalan atas kepatuhan dan kesetiaannya kepadanya. Tentu 9 10 11
Periksa Kenneth P. Davis, Land Use, (New York : McGraw-Hill Book Company, 1976) hal.13-14. Kenneth P. Davis, ibid., hal. 14. Periksa A.W.B. Simpson, A History of the Land Law (Oxford : Clarendon Press, 1986) hal. 47.
©2004 Digitized by USU digital library
8
saja bangsawan tidak menggarap sendiri tanah itu, namun membagi-bagikan tanah itu kepada kelompok di bawahnya sebagai kelompok penggarap tanah. Para penggarap tanah ini juga mengalami kewajiban yang sama sebagai suatu bentuk perabdian feodal, dan mereka juga dianggap sebagai penyewa tanah itu. Konsep persewaan dan penguasaan tanah tersebut di atas telah menunjukan kepada kita bahwa sumber dari kepemilikan tanah terletak pada pusat kekuasaan, dalam hal ini raja. Dengan demikian raja menjadi satu-satunya pemilik tanah (vorstdomein). Namun pada penggarapan dan pengolahan tanahtanah itu, tentu saja raja tidak akan melakukannya sendiri. Hal ini bisa diketahui dari apa yang dikatakan oleh Mosca sebagai berikut : But the man who is at the head of the state would certainly not be able to govern without the support of a numerous class to enforce respect for his orders and to have them carried out; and granting that he can make one individual, or indeed many individuals,in the ruling class feel the weight of his power, he certainly cannot be at odds with the class as a whole or do away with it. Even if that were possible, he would at once be forced to create another class, without the support of which action on his past would be completely paralyzed. 0n the other hand, granting that the discontent of the masses might succeed in deposing a ruling class, inevitably as we shall later show, there would have to be another organized minority within the masses themselves to discharge the functions of a ruling class. 0therwise all organization, and the whole social structure, would be destroyed.12 Dengan melihat kutipan di atas, Mosca menyebutkan bahwa raja dalam hal ini tidak menggarap sendiri namun membagi-bagi tanah itu kepada para pejabat dan bangsawan kecil bawahannya untuk digarap dan disetorkan sebagian hasilnya kepadanya. Dengan demikian tanah ini merupakan semacam pinjaman (leen) dalam pandangan raja-raja Eropa feodalis. Raja menjadi penentu dari pemilikannya dan tidak akan bisa dilepaskan haknya tanpa merombak seluruh sistem feodal yang menjadi kekuasaannya. Teori pemilikan tanah berdasarkan hukum adat adalah tanah merupakan milik komunal atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht). Setiap anggota persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebih dahulu dan jika mereka mengerjakan secara terus-menerus maka tanah tersebut dapat menjadi hak milik secara individual. Dalam hal ini bisa kita lihat penjelasan Ter Haar tentang pemilikan tanah adat sebagai berikut : “Hukum adat memberikan hak terdahulu kepada orang yang dulu menaruh tanda pelarangannya atau mula-mula membuka tanah; bilamana ia tidak mengerjakan 12
Periksa Gaetano Mosca, The Ruling Class (New York : McGraw Hill Book Company, 1939) hal. 51. Mosca adalah seorang sosiolog politik yang melontarkan teori dan konsep mengenai elite serta posisinya dalam struktur kekuasaan dan birokrasi. Dalam pandangan Mosca, elite merupakan kelompok yang menduduki jabatan strategis. Namun Mosca menyoroti elite dari perspektif monarki feodalistis yang lebih cenderung membatasi jangkauannya pada lingkup feodalisme di Eropa. Dalam sorotannya dia menyebut bahwa elite selalu berkaitan dengan kelompok yang memegang kendali kekuasaan dan menentukan segala dinamika kehidupan suatu negara dan warganya, termasuk dalam penguasaan lahan pertanahan.
©2004 Digitized by USU digital library
9
pekerjaan-pekerjaan penebangan dan pembakaran menurut musimnya, maka orang lain bisa mendesaknya supaya memilih: mengerjakan terus atau menyerahkan tanahnya kepadanya. Jadi tuntutan pemilikan hak milik ini lenyap sama sekali bilamana ada lain orang sesama anggota yang menginginkannya dan mendesak dia memilih satu antara kedua pilihan itu”.13 Bertolak dari pandangan Ter Haar ini bisa diketahui, bahwa seseorang akan diakui kepemilikannya sebagai hak milik individu, apabila dia sudah membuka terlebih dahulu tanah itu dan menggarapnya atau merubahnya dari kondisi hutan menjadi tanah sawah atau ladang. Selama dia masih mengerjakan tanah itu, maka dia dianggap sebagai pemiliknya. Jadi dalam hal ini, tekanan diberikan pada hasil produksi dari tanah yang bisa dipetiknya, sebab apabila dia tidak lagi mengerjakannya maka tanah itu bisa diambil oleh orang lain yang akan menggarapnya. Konsep Ter Haar tersebut bisa diperjelas lagi dengan apa yang dikatakan sebagai hak ulayat. Soerojo Wignjodipoero mengatakan berikut ini: Sebagai seorang warga persekutuan (komunal) maka tiap individu mempunyai hak untuk : a. mengumpulkan hasil-hasil hutan, seperti rotan dan sebagainya. b. memburu hewan liar yang hidup di wilayah wewenang komunal. c. mengambil hasil dari pohon-pohon yang tumbuh liar. d. membuka tanah dan kemudian mengerjakan tanah itu terus-menerus e. mengusahakan untuk diurus kolam ikan di atasnya14 Dengan mengungkapkan sejumlah hasil yang bisa dipetik ini, Soerojo menyebutkan bahwa hak ulayat yang diakui oleh masyarakat adat ini merupakan hak pakai tanah oleh individu, namun kepemilikan ini diakui sebagai milik bersama seluruh anggota masyarakat (komunal). Anggota masyarakat tidak bisa mengalihhakan atau melepaskan haknya atas tanah yang dibuka ini kepada anggota dari masyarakat lain atau pendatang dari luar masyarakat tersebut, kecuali dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati bersama semua anggota komunal tersebut. Semua tanah, hutan, jika perlu sampai ke puncak gunung, jika penduduk mempunyai hak baik yang nyata maupun hak yang secara diam-diam diakui, tanah itu bukan tanah negara. Menurut hukum adat, desa mempunyai hak untuk menguasai tanah di luar perbatasan desa, penduduk desa mempunyai hak untuk menggarap atau mencari nafkah dari hutan dengan izin kepala desa. Menurut penafsiran Trenite, tanah tersebut milik negara, namun menurut pandangan Van Volenhoven, Logeman dan Ter Haar tanah tersebut tidak di bawah kekuasaan negara.15 Sistem hukum yang melandasi pemilikan tanah komunal dalam ulayat 13
14
15
Periksa Mr. B. Ter Haar, Azas-Azas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto (Jakarta : Prajnya Paramita, 1958) hal. 91. Periksa Soerojo Wignjodipoero, S.H., Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat (Jakarta: PT. Gunung Agung , 1984) hal. 201-202. Periksa Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup. (Jakarta : Chandra Pratama, 1995 hal. 28). Selanjutnya dikatakan bahwa apabila mengikuti pendapat Trenite tidak cuku menghentikan sewa atas tanah bebas apabila penduduk satu desa atau desa yang lain menyatakan tanah bersangkutan di bawah kekuasaan mereka. Pernyataan ini tidak dapat ditolak. Namun mengikuti kenyataan bahwa tanah seperti itu selain perlu dibuktikan menjadi
©2004 Digitized by USU digital library
10
ini adalah pandangan tentang kehidupan sosial dari masyarakat tradisional sendiri. Menurut Unger16, hubungan yang berlaku antar-individu dilandasi dengan ikatan kekerabatan kolektif. Keanggotaan mereka ditetapkan oleh ikatan kekerabatan nyata, namun tentang kepemilikan tanah hal ini diatur terlepas dari kelompok keluarga. Sebagai akibat dari ketatnya ikatan komunal yang berlaku dalam masyarakat ini, perbedaan antara anggota masyarakat dan orang luar sangat jelas. Orang luar yang masuk ke dalam lingkaran komunal ini dianggap asing dan tidak boleh merampas hak atas penguasaan tanah oleh para anggota komunal. Hal ini dapat disesuaikan dengan pandangan masyarakat Sumatera Timur yang mengakui pemilikan tanah sebagai milik komunal atau, dalam pandangan lain, milik raja.17 Sebagai akibatnya para pengusaha perkebunan asing (onderneming) dianggap oleh mereka telah merampas hak yang telah ada sejak turun-temurun atau hak yang diberikan oleh sultan kepada mereka. Dengan menanami dan menyewa tanah-tanah yang ada tanpa sepengetahuan atau tanpa berunding terlebih dahulu dengan penduduk, maka terjadi ketegangan sosial dengan tuduhan sebagai perampasan hak milik18. Sebagai ungkapan lahir dari gejolak psikis sosial yang disertai dengan tekanan beban ekonomi, maka terjadi konflik di sini. Dalam hak pemilikan tanah yang berlaku secara yuridis di Indonesia, konsep ini tertuang dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960 pasal 2 yang berbunyi: I. Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi seluruh rakyat. II. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; III.Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar suatu bagian yang tidak terpisahkan dari bagian teritorial desa, harus juga terdapat bukti tanah tersebut dimanfaatkan. Desa dapat menggunakan tanah sedemikian rupa, baik sebagai padang rumput pengembalaan milik bersama atau untuk maksud-maksud lain. 16 Periksa Roberto Mangabeira Unger, Law in Modern Society: Toward a Criticism of Social Theory (New York : The Free Press, 1977) hal. 140-141. 17 Dikatakan seperti semua wilayah yang berada di bawah pemerintahan para Sultan, Raja menganggap dirinya sebagai pemilik tanah yang nampaknya bertentangan dengan seluruh adat yang diakui secara resmi oleh masyarakat sebagai pemiliknya . Tetapi raja berusaha keras agar semua tanah bisa memberikan pemasukan bagi kas kerajaannya, tanpa adanya gangguan yang muncul bagi pelaksanaan hak itu . Kondisi ini menimbulkan konflik antara masyarakat dan pengusaha Onderneming , sehingga pemerintah kolonial perlu mengamankan kondisi tersebut . Periksa Memorie van Overgave L. Kapoort, Asisten Residen van Afdeeling, Asahan, 4 Mei 1903. 18 Ibid
©2004 Digitized by USU digital library
11
kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur; IV.Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-Daerah swatantra dan masyarakatmasyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Hak menguasai negara yang dimaksudkan dalam pasal 2 UUPA tersebut di atas adalah meliputi semua bumi, air dan ruang angkasa, baik yang sudah dihakki oleh seorang maupun tidak. Kekuasaan tanah terhadap tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberikan kekuasaan kepada seorang yang mempunyainya untuk menggunakan haknya. Sedangkan kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lain adalah sangat luas dan penuh. Misalnya negara dapat memberikan tanah yang sedemikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan suatu hak menurut peruntukkannya dan keperluannya, misalnya Hak Milik dan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai ataupun dengan memberikan hak pengelolaan pada suatu badan penguasa. Dalam pada itu kekuasaan negara atas tanah-tanah ini pun sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum sepanjang kenyataan hak ulayat itu masih ada.19 Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” di atas adalah merupakan aspek publik. Bertolak dari ketentuan dalam pasal 2 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 tersebut bisa diketahui bahwa yang menguasai semua tanah adalah Negara.20 Namun meskipun demikian Negara tidak sewenang-wenang dalam pemilikannya, melainkan mengusahakan dan mengolahnya demi kepentingan umum seluruh warga negara. Negara menjadi pengganti raja dalam masa pemerintahan feodal, dan negara bisa menjadi suatu lembaga hukum yang berwenang untuk melepaskan tanah dalam bentuk peralihan hak (jual-beli, hibah, warisan).21 Substansi norma hukum dalam pasal 2 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 tersebut, merupakan upaya pengontrolan perilaku masyarakat dalam sistem hukum yang berlaku. Demikian juga sistem hukum agraria merupakan suatu perintah, tentang apa yang harus dan jangan dilakukan, dan menjunjung perintah-perintah itu dengan paksa.22 Artinya, keberadaan hukum agraria 19 20
21
22
Lihat penjelasan umum UUPA Nomor 5 tahun 1960 Bagian II. Menarik dalam hal ini membandingkan pengertian negara di sini dengan negara menurut Hans Kelsen. Kelsen menyebutkan bahwa negara dalam hal ini memiliki sejumlah fungsi yakni sebagai struktur hukum atau organisasi politik yang memiliki baas-batas wilayah tertentu; negara sebagai lembaga hukum yakni pemegang hak dan kewajiban tertinggi sebagai suatu lembaga; negara sebagai subyek, yakni berhak mengambil tindakan atas persoalan tertentu yang menyangkut penanganan hak-hak legal. Periksa Hans Kelsen, Pure Theory of Law (Berkeley; University of California Press, 1978) hal. 286-291.
Ketentuan dalam UUPA Nomor 5 tahun 1960 ini sebenarnya kurang memberikan gambaran yang jelas sehingga mudah mengalami penyimpangan dan penyelewengan atau penyalahgunaan sehubungan dengan pelaksanaan hak menguasai tanah oleh negara tersebut. Sebagai contoh pengambilalihan hak ulayat atas tanah adat yang digunakan untuk pembangunan demi kepentingan negara. Keberadaan hukum yang demikian menunjukkan kekuasaan hukum pemerintah yang bersifat represif dengan memberikan tekanan kepada mereka yang diperintah, yakni ketika masyarakat
©2004 Digitized by USU digital library
12
tersebut tidak akan menjamin keterbukaan, sehingga tidak tercapai keadilan yang substansif. Pada akhirnya fungsi hukum agraria itu tidak dapat digunakan sebagai alat penyelesaian sengketa pertanahan. Kajian Yuridis Terhadap UUPA Menurut Lawrence Friedman, bahwa dalam sistem hukum itu terdapat tiga elemen yang perlu diperhatikan yaitu : Structure; Substance; dan Culture. Struktur dalam suatu sistem hukum, misalnya mengenai kedudukan dari peradilan, eksekutif, yudikatif. Sedangkan substansi dari sistem hukum adalah, mengenai norma, peraturan maupun undang-undang, tetapi lebih manarik dari ketiga elemen itu adalah mengenai budaya hukum yang berarti pandangan, kebiasaan maupun prilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistem hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan oleh masyarakat.23 Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat kita katakan bahwa UUPA tidak memperhatikan pandangan, kebiasaan maupun perilaku masyarakat mengenai pemikiran, nilai-nilai dan pengharapan yang merupakan budaya hukum dalam masyarakat. Seharusnya UUPA dapat berfungsi sebagai pengontrolan perilaku masyarakat dalam sistem hukum yang berlaku. Bahkan fungsi hukum merupakan fungsi redistribusi (redistributive function) atau fungsi rekayasa sosial (social engineering function) yang mengarah pada penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang berencana, dan ditentukan dari atas yaitu oleh pemerintah, dengan memperhatikan budaya hukum yang hidup dalam masyarakat. Donald Black dalam bukunya The Behavior of Law, mengatakan bahwa hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental social control).24 Black mengartikan kontrol sosial ini sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong prilaku, baik yang berguna atau mencegah prilaku yang buruk.25 Sedangkan Lawrence Friedmann mengatakan, bahwa kontrol sosial adalah jaringan aturan dan proses yang menyeluruh yang membawa akibat hukum terhadap prilaku tertentu (social control in a broader sense it must mean the whole network of rules and processes which attach legal consequences to particular bits of behavior).26 Misalnya aturan umum mengenai hukum perbuatan melanggar hukum. Pemerintah
23 24
25 26
mengeluarkan
undang-undang
dan
membuat
aturan
mengabaikan kepentingan atau menolak legitimasinya. Akibatnya posisi subjek menjadi peka dan rawan, tindakan pemerintah atau keputusan atas hukuman menuntut penyisihan suatu kepentingan bagi kepentingan yang lain dan tidak setiap tuntutan bisa dikabulkan juga tidak setiap kepentingan harus diberikan pengakuan yang sama. Philip Selznick, “Law and Society in Transition”, (New York : Harper & Row Publisher, 1978), hal. 30. Lawrence Friedman, 1984, American Law, W.W. Norton & Company, London, hal 9. Donald Black, “The Behavior of Law”, Academic Press, New York, San Fransisco, London, 1976, hal 2. Lawrence Friedmann, Loc cit, hal 3. Ibid.
©2004 Digitized by USU digital library
13
mengenai Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya.27 Dan peraturan lain sebagai peraturan pelaksanaan. Untuk menertibkan penggarap di areal perkebunan dan atau menentukan batas-batas tertentu yang merupakan hak perkebunan. Tetapi apabila rekayasa sosial itu terlalu dipaksakan maka akan terkesan sistem hukum itu terus-menerus memperbaharui dan memperbaiki. Sering sekali alokasi hukum berjalan sangat berlawanan, selain merubah sesuatu, alokasi hukum bertindak sedemikian rupa menjaga atau berupaya menjaga status quo agar tetap utuh. Jika para penggarap tanah di areal dihukum, pada saat yang sama berarti melindungi pihak perkebunan dengan demikian pemerintah memelihara struktur ekonomi dan sosial masyarakat. Ini memberi kesan bahwa hukum cenderung mendukung hak dan kepentingan pihak perkebunan, melawan hak dan kepentingan masyarakat penggarap petani miskin yang lemah. Sejalan dengan pendapat Friedmann tersebut maka, aturan mengenai larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak, seyogyanya dapat merubah perilaku masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan melanggar hukum, dalam hal menggarap tanah perkebunan. Dengan demikian, jika dianalisa dalam praktek pelaksanaannya, dapat dikatakan bahwa hukum yang telah ada itu merupakan peraturan yang tidak dapat diterapkan, atau merupakan dead letter (aturan yang tidak diterapkan lagi, tetapi belum dicabut). Sementara dikalangan masyarakat, ada aturan berupa hukum yang hidup (living law) dalam sistem hukum yang hidup seperti misalnya hukum adat. Sistem hukum lebih dari struktur dan aturan, meskipun demikian aturan harus diikuti setidak-tidaknya pada masanya. Prilaku merupakan unsur pokok sistem hukum, tentang apa sesungguhnya dijalankan orang. Jika tidak dijalankan aturan itu hanya tulisan belaka dan struktur itu seperti kota mati. Tidak ada cara lain untuk memahami sistem hukum selain melihat prilaku hukum (legal behavior). Istilah prilaku hukum di sini adalah prilaku yang dipengaruhi oleh aturan, keputusan, pemerintah atau uudang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat dengan wewenang hukum.28 Dalam hal ini jika seseorang berprilaku secara khusus atau untuk merubah prilaku secara khusus adalah karena diperintahkan hukum atau karena tindakan pemerintah atau pejabat lainnya atau dari sistem hukum. Dengan demikian, jelas ada undang-undang yang sebagian besar dipatuhi dan ada undang-undang yang sebagian besar tidak dipatuhi. Mengapa orang patuh pada aturan tertentu dan tidak patuh pada aturan lainnya. Menurut Lawrence M. Friedman prilaku hukum lebih dari soal patuh atau tidak patuh, tetapi prilaku hukum lebih pada soal menggunakan atau tidak menggunakan daripada soal mematuhi dan tidak mematuhi. Ini bukan berarti bahwa patuh dan tidak patuh itu tidak penting. Sistem hukum jelas akan runtuh jika setiap orang tidak mematuhi undang-undang.29 Dalam hal ini jika dikaitkan dengan ketidakpatuhan masyarakat terhadap undang-undang yang menyangkut kebijakan mengenai larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya, maka hukum akan benar-benar kehilangan tujuannya.
27
Larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak semula diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1954 kemudian dilanjutkan dengan Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960. 28 Ibid. 29 Ibid, hal.200.
©2004 Digitized by USU digital library
14
Ketidak efektifan undang-undang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya, menimbulkan perbuatan okupasi ilegal terhadap di areal tanah perkebunan. Menurut Friedman, bahwa ilegalitas cenderung mempengaruhi waktu, sikap dan kuantitas ketidakpatuhan, jadi undang-undang mempunyai efek riil pada prilaku termasuk prilaku pelanggar.30 Faktor yang mempengaruhi prilaku hukum adalah komunikasi hukum dan pengetahuan hukum.31 Aneh bila seseorang mematuhi aturan, menggunakan aturan atau menghindari aturan tanpa mengetahui aturan yang sebenarnya. Oleh karena itu aturan harus dikomunikasikan dan seseorang harus mengetahui tentang isi aturan itu. Dalam hal ini di setiap peraturan perlu dikomunikasikan dan disosialisasikan pada masyarakat. Sehubungan dengan itu, dapat dianalisa bahwa berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan untuk mencegah terjadinya konflik dan sengketa, serta melarang pemakaian tanah tanpa izin dari yang berhak, dan adanya polisi serta hakim yang berusaha menegakkannya adalah merupakan contoh kontrol sosial dari pemerintah untuk menyelesaikan sengketa pertanahan di Sumatera Utara. Dalam larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak, masyarakat penunggu dan petani penggarap dilarang untuk menggarap tanah di areal perkebunan. Aturan ini merupakan aturan yang sah. Namun hukum yang hidup dalam masyarakat, membenarkan mereka untuk menggarap tanah di areal perkebunan, berdasarkan ketentuan hukum adat mereka, yang memberikan kewenangan bagi mereka untuk memungut hasil hutan dan bercocok tanam di daerah persekutuan hukum, yang dikenal dengan hak ulayat. Peristiwa ini menimbulkan interaksi tertentu diantara berbagai unsur sistem hukum yang ada.32 Unsur-unsur sistem hukum itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Friedmann, adalah meliputi struktur, substansi dan budaya hukum. Yang berarti sistem hukum itu tidak hanya meliputi undang-undang yang diciptakan oleh Badan Legislatif, dan penegakkannya dilakukan Eksekutif, tetapi juga meliputi substansi atau norma hukum itu sendiri, dan meliputi sikap serta prilakunya. Berdasarkan pendapat Lawrence Friedmann tersebut, maka konteksnya dengan konflik dan sengketa pertanahan di areal perkebunan, dengan peristiwa penggarapan tanah yang dilakukan oleh rakyat penunggu dan petani penggarap, menimbulkan interaksi tertentu diantara berbagai sistem hukum, tidak hanya undang-undang, peraturan, dan lembagalembaga yang termasuk dalam struktur hukum, tetapi yang terpenting adalah mengenai prilaku dan budaya hukum dari masyarakat. Apakah itu prilaku pengusaha-pengusaha perkebunan, dan masyarakat itu sendiri terhadap hukum dan sistem hukum yang ada. Struktur dan sistem hukum adalah meliputi Pengadilan, Yurisdiksinya dan Badan Legislatif serta Eksekutif, yang berlaku pada masa penjajahan Kolonial Belanda adalah sesuai dengan, prilaku dan alam pikiran hukum 30
Ibid. Ibid. 32 Ibid , hal 4 31
©2004 Digitized by USU digital library
15
Barat. Dalam kenyataannya sama sekali mengenyampingkan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa ketika itu dilakukan oleh penegak hukum, pada dasarnya dilakukan berdasarkan substansi hukum Barat, yang berorientasi pada kepentingan kolonial. Sehingga filosofi hukum adat yang berlaku dihancurkan, yang akhirnya menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat. Keadaan ini terus berlanjut sampai Indonesia merdeka, bahkan UUPA secara filosofis juga telah dihancurkan oleh para penegak hukum di masa kemerdekaan, karena mereka pada dasarnya menempatkan diri sebagai lawan dari masyarakat, bukan sebagai fasilitator atas aspirasi rakyat, tetapi cenderung bertindak sebagai mediator atau sebagai partisipan dalam penyelesaian konflik dan sengketa dalam masyarakat, maka terjadilah konflik yang berkepanjangan yang sukar dicari penyelesaiannya. Analisa secara substansi hukum, maka sejak zaman kolonial, bahkan sampai ke alam kemerdekaan, norma-norma hukum dan pola prilakunya masyarakat dalam sistem hukum, dan produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu, adalah tidak terlepas dari pengaruh hukum kolonial, dan segala modifikasinya. Kenyataannya para penegak hukum hanya menerapkan substansi norma-norma hukum yang ada dalam undang-undang saja (law in book). Dan undang-undang itu pun bersumber dari hukum Barat yang kolonialis. Kenyataan ini jelas mengenyampingkan hukum yang hidup (living law) yang ada dalam masyarakat, yaitu hukum adat. Begitu juga budaya hukum yang ada di dalam masyarakat turut dikesampingkan, yaitu tentang sikap mereka terhadap hukum, sistem hukum yang berlaku, kepercayaan, nilai, pemikiran dan harapan masyarakat, khususnya petani dan rakyat penunggu. Masyarakat mempercayai bahwa tanah yang dipersengketakan adalah merupakan hak ulayat mereka dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang hidup, serta mempunyai kepercayaan terhadap ketentuan hukum adat, mereka patuh dan taat walaupun normanya tidak tertulis. Sebaliknya budaya hukum yang berlaku bagi para penegak hukum, mereka hanya meyakini norma-norma hukum positif yang berasal dari hukum Barat. Interaksi dalam sistem hukum itu jelas mengarah kepada konflik yang terus-menerus tanpa dapat diselesaikan secara tuntas. Dengan adanya teori dan konsep penguasaan tanah, serta larangan pemakian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya. Berlaku di Indonesia baik secara yuridis maupun hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), berakibat cenderung menimbulkan konflik pertanahan dalam masyarakat, bahkan konflik tersebut cenderung sulit untuk diselesaikan. Kesulitan dalam penyelesaian konflik sengketa atas tanah ini sangat rumit. Dalam hal ini penulis menggunakan teori Kelsen tentang hubungan antara aturan hukum dan peran. Ada lima alasan yang menyebabkan kesulitan dalam penyelesaian konflik :
1. Hukum mencakup aturan universal saja dan sistim hukum masih agak kabur
dari pengertian masyarakat sendiri. 2. Model ini hanya bermaksud mengungkapkan hukum yang diberikan oleh pembuat UU kepada pemegang peran atas pelanggaran yang terkena sanksi. 3. UU yang disahkan berubah sejak saat pengundangannya baik melalui amandemen formal maupun karena kepentingan birokrasi.
©2004 Digitized by USU digital library
16
4. UU tidak dibuat oleh seorang penyusun UU namun berasal dari proses
pembuatan hukum yang melibatkan banyak peran dalam hubungan yang kompleks. 5. Langkah-langkah untuk mencapai musyawarah bisa langsung ditujukan pada pemegang peran dengan merubah batasan dan sumber daya lingkungan atau persepsi pemegang peran tersebut, sehingga sanksi menjadi terlalu terbatas.33
Melihat kendala-kendala dalam penyelesaian konflik di atas, William Chambliss dan Robert B. Seidman mengajukan suatu perspektif bagi penerapan hukum dalam mengatasi masalah. Menurut Seidman peran kekuatan sosial bukan hanya berpengaruh pada rakyat sebagai pemegang peran yang tunduk kepada hukum, namun juga terhadap lembaga pembuat dan pelaksana hukum tersebut. Dengan demikian hasil akhir dari proses pelaksanaan hukum atas masyarakat bukan hanya ditentukan oleh hukum, namun perlu juga dipertimbangkan kekuatan sosial dan pribadi yang muncul di sana.34 Dengan melihat uraian tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa ada tiga jalur utama bagi penyelesaian konflik sengketa yang dilandasi dengan budaya hukum : musyawarah, penerapan sanksi dan proses pengadilan. Pengertian musyawarah harus dipisahkan dengan pengertian dari mufakat. Musyawarah menunjuk kepada pembentukan kehendak bersama dalam urusan mengenai kepentingan hidup bersama, dalam masyarakat yang bersangkutan sebagai keseluruhan, sedangkan mufakat menunjuk kepada pembentukan kehendak bersama antara dua orang atau lebih, dimana masing-masing berpangkal dari perhitungan untuk melindungi kepentingan masing-masing sejauh mungkin.35 Seperti misalnya sengketa antara masyarakat adat versus perkebunan, yang saling memperebutkan hak atas tanah dalam lokasi yang sama. Masingmasing mempertahankan haknya berdasarkan landasan hukum masing-masing. Bagi masyarakat adat mempertahankan haknya berdasarkan hukum adat, sedangkan pengusaha perkebunan mempertahankan haknya berdasarkan UUPA. Atau antara masyarakat penggarap versus perkebunan dan pengusaha perkebunan berusaha untuk mengusir para penggarap di areal perkebunan. Semua ini adalah sengketa tuntutan yang tidak selaras terhadap sesuatu yang tidak ternilai. Berdasarkan teori tersebut di atas, penyelesaian persoalan dalam sengketa masyarakat versus perkebunan, pemerintah dalam melakukan penyelesaian sengketa pertanahan khususnya di areal PTPN-II dan PTPN-III Sumatera Utara, tidak semata-mata harus bersandar pada aturan tertulis saja. Tetapi harus lebih komprehensip menyangkut sistem hukum, prilaku hukum yang berlaku dalam masyarakat. Disamping itu penguasa harus sama-sama memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.36 Dan masyarakat juga harus bertindak sesuai dengan 33
Periksa Robert B. Seldman, The State, Law and Development (New York : St. Martin’s Press,1978) hal. 74-75. 34 Periksa Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung : Penerbit Alumni,1986), hal. 22-23. 35 Ibid. 36 Salmond mengatakan bahwa keadilan adalah tujuan hukum dan selayaknya bahwa alat seharusnya dibatasi oleh gambaran-gambaran tujuan yang menjadi raison d’etre, hal ini menimbulkan masalah mengenai hubungan hukum dan keadilan. Satu teori mensifatkan hukum dalam hubungannya
©2004 Digitized by USU digital library
17
ketentuan hukum dan kenyataan hukum yang berlaku dalam masyarakat, yang pada akhirnya akan menimbulkan kedamaian dan ketertiban dalam masyarakat. Pemberian tanah bagi hak sewa (erfacht) dan konsesi perkebunan yang dilakukan oleh pemerintah serta larangan pemakian tanah tanpa izin dari yang berhak atau kuasanya. Secara teoritis harus mengacu kepada konsep dasar yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian dilakukan perkiraan mengenai potensi nasional dan situasi kondisi. Potensi Nasional (POTNAS) itu meliputi Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM), Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi (IPTEK). Situasi dan kondisi meliputi skala nasional, skala regional dan skala global. Konsep dasar dan potensi nasional serta situasi kondisi tersebut berinteraksi, sehingga menimbulkan wawasan yang dalam bidang ekonomi berfungsi untuk melangsungkan pembangunan nasional. Oleh karenanya dibentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah dan lain-lain. Situasi kondisi dalam semua bidangnya, memberi pengaruh kepada sistem penyelesaian sengketa hak tanah antara masyarakat versus perkebunan, baik pengaruh negatif-destruktif, maupun yang positif-konstruktif yang semuanya itu harus diantisipasi dan diwaspadai.37 Oleh karena itu pelaksanaan penguasaan hak-hak atas tanah masyarakat dilakukan berdasarkan undangundang dan penegakkan hukum. Sehingga penyelesaian sengketa pertanahan dapat diselesaikan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Untuk menjelaskan teori yang dikemukakan di atas, di bawah ini dibuat bagan berikut ini:
37
dengan keadilan, tetapi defenisi ini menimbulkan akibat bahwa tidak mungkin terdapat hukum yang tidak adil, karena seandainya ada, maka dalam premis-premis itu akan terdapat selfcontradiction yang merusak. Dalam George Whitecross Paton, A Text Book of Jurisprudence, (Oxford : at The Clarendon Press, 1951), hal 69. Lihat dan bandingkan dengan sistem manajemen pembagunan nasional (SISNAS) yang dikemukakan oleh Solly Lubis, 1996, dalam bukunya, Dimensi-Dimensi Manajemen Pembangunan, (Bandung : Mandar Maju, 1996), hal 24.
©2004 Digitized by USU digital library
18
Bagan 1 :
Tentang Kerangka pemikiran mengenai sengketa pertanahan antara masyarakat dan perkebunan.
POTNAS ¾ SUMBER DAYA ALAM ¾ SUMBER DAYA MANUSIA ¾ ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI DI BIDANG PERTANAHAN PEMERINTAH
KONSEP DASAR ¾ PANCASILA ¾ UUD 1945 MENGENAI SUMBER DAYA ALAM
INTERAKSI
WAWASAN PROGRAM PEMBANGUNAN NASIONAL DI BIDANG PERTANAHAN
SWASTA SIKON : ¾ NASIONAL ¾ REGIONAL ¾ GLOBAL DI BIDANG PEREKONOMIAN YANG TERKAIT DENGAN PERTANAHAN
PERUNDANG UNDANGAN TENTANG PERTANAHAN TERMASUK, PELEPASAN HAK ATAS
¾ ¾ ¾ ¾ ¾
TANAH UU KEPPRES PERMEN PERDA DLL
PENEGAKAN HUKUM PERTANAHAN YANG BERKEADILAN MELALUI
MASYARA KAT ADIL MAKMUR SECARA UMUM DAN KHUSUSN YA DI BIDANG PERTANA HAN
FEED BACK (UMPAN BALIK)
Sumber : Derivasi Dari Sistem Manajemen Kehidupan Nasional ( SISNAS), Oleh: M. Solly Lubis
©2004 Digitized by USU digital library
19
HASIL PENELITIAN
I.
Berdirinya Perkebunan Pertanahan.
A. Kondisi Asing.
di
Sumatera
Asing
Timur
di
Sumatera
Sebelum
Timur dan Masalah
Berdirinya
Perkebunan
Dalam perjalanan sejarah, Sumatera Timur telah menjadi perebutan kekuasaan antara Aceh dan Siak. Pada abad ke-17 sampai abad ke-19, Aceh dan Siak merupakan dua kerajaan besar yang berpengaruh di Sumatera Timur. Dua kerajaan ini juga secara silih berganti telah menguasai kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur. Sebelum tahun 1820, tak satupun negara Eropa yang menaruh perhatian terhadap kerajaan-kerajaan yang ada di pantai Timur Sumatera ini. Hanya Inggris yang pertama sekali menaruh perhatian serius terhadap Sumatera Timur sebagai pasar barangbarang ekspor maupun sumber dari barang-barang impor, terutama lada ke Penang. Sumatera Timur merupakan tanah yang subur menghasilkan lada dan tembakau yang ditanami oleh petani-petani suku Melayu dan Batak Karo secara tradisional. Dalam dekade ini terjadi persaingan dagang antara Belanda dan Iggris dalam memperebutkan kekuasaan dan pengaruh di Sumatera Timur. Pada tanggal 17 Maret 1824, Inggris dan Belanda mengadakan perjanjian yang dikenal dengan Traktaat London yang berisi untuk mengakhiri persaingan antara Inggris dan Belanda di Asia Tenggara. Berdasarkan perjanjian ini, Inggris menyerahkan Bengkulu dengan segala milik perusahaan Hindia Timur lainnya kepada Belanda, sedangkan Belanda menyerahkan Malaka beserta kantor-kantor dagang di Hindia Belanda kepada Inggris. Dalam sejarah selanjutnya Traktaat London tidak membawa hasil yang sempurna karena Inggris maupun Belanda tetap melakukan persaingan dan saling menanamkan pengaruh di kerajaan Sumatera Timur demi kepentingan dagang masing-masing. Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, kerajaan Siak telah membuat kontrak politik dengan Belanda, yang dikenal dengan Traktaat Siak , Dengan perjanjian perdamaian bahwa Siak mengakui kedaulatan Belanda, dan oleh karena itu, segala kerajaan-kerajaan yang berada di bawah taklukannya, juga termasuk takluk di bawah kekuasaan Belanda, akibatnya kerajaan Deli dan Serdang yang dianggap kerajaan Siak sebagai taklukkannya ditentang oleh Aceh, dan Aceh menyatakan bahwa kedua kerajaan itu berada di bawah taklukkannya. Dalam kondisi demikian, Belanda membuat perjanjian perdamaian dengan Aceh yang telah disahkan di Parlemen Belanda pada tahun 1858 sebagai suatu verdrag antar dua bangsa yang merdeka, namun akhirnya, dengan Traktaat Siak Belanda menguasai Sumatera Timur sepenuhnya pada tahun 1865, dan berhasil mambuat kontrak politik dengan kerajaan Deli dan Serdang, dan kedua kerajaan ini mengakui kedaulatan Belanda di Sumatera Timur, dalam periode inilah lahirnya perkebunan-perkebunan (onderneming ) di Sumatera Timur.
©2004 Digitized by USU digital library
20
B.
Lahirnya Agrarische Wet
Lahirnya Agrarische Wet tidak dapat dilepaskan dari proses terjadinya sebagai bagian dari sejarah perkembangan kekuasaan kolonial dan kebijakan mengenai tanah di Jawa. Agrarische Wet lahir atas desakan modal besar swasta, sejalan dengan politik monopoli pemerintah dalam bidang pertanahan dimana pihak pengusaha perkebunan terbatas kemungkinannya untuk memperoleh tanah-tanah yang luas. Agrarische Wet dijalankan dalam Agrarische Besluit (S.1870 No. 118) yang dikenal dengan Domein Verklaring sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 Agrarische Besluit yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak ada bukti hak eigendumnya adalah dinyatakan sebagai kepunyaan negara. Teori Domein ini telah menciptakan hak-hak tertentu berdasarkan hukum barat seperti eigendum, opstal dan hak erfacht. Tanah-tanah yang disewakan untuk hak erfacht, adalah tanah Woeste Gronden atau tanah-tanah hutan yang tidak dapat dibuktikan hak miliknya. C.
Konsesi Tanah Perkebunan di Sumatera
Timur.
Sejak tahun 1862, raja-raja Sumatera Timur telah memberikan hak konsesi kepada perusahaan-perusahaan onderneming Eropa. Konsesi yang diberikan pada dasarnya dalam jangka waktu yang cukup lama (99 tahun), tanpa batas-batas yang jelas. Tindakan dari Sultan Deli yang telah menyewakan tanah dengan hak konsesi kepada perusahaan onderneming telah melanggar hak-hak masyarakat adat, suku Batak Karo, yang berada di wilayah kesultanan Deli. Pelanggaran hak-hak ulayat masyarakat adat Batak Karo ini, telah memicu pemberontakan orang-orang Karo terhadap onderneming dan menyerang bangsal-bangsal tembakau yang menimbulkan kerugian yang besar bagi pengusaha onderneming. Pemerintah Belanda sangat berkepentingan untuk menghentikan pemberontakan bagi orang Batak Karo demi perlindungan pihak Onderneming maupun kepentingan pihak Belanda sendiri, untuk itu pemerintah Belanda meneliti daerah-daerah yang termasuk kekuasaan sultan. Setelah dilakukan penelitian, maka terungkap kerajaan Deli itu, sebagaimana yang telah dilaporkan oleh W.P.F.L. Winckle adalah terdiri dari :
1. Daerah yang diperintah langsung oleh Sultan Deli dengan kampung Kota
Maksum, Kota Maimun, Sukarame, Pulau Brayan, Glugur, Tanjung Mulia, Kampung Besar, Labuhan, Belawan, Mabar, Titipapan, Martubung dan Tanah Anam Ratus. 2. Empat urung atau suku yakni, Serbanyaman, Sepuluhdua Kuta, Sukapiring dan Senembah. 3. Daerah Percut dengan sebagai bagiannya distrik Sungai Tuan. 4. Wilayah Padang-Bedagei. Empat urung ini dibagi menjadi daerah Melayu dan Batak, sementara daerah Batak dibagi lagi menjadi daerah hilir dan hulu atau yang oleh penduduk disebut Sinuan Bungo dan Sinuan Gambir. Mengenai pemerintahan atas bagian kesultanan ini berikut perlu disampaikan. Urung atau suku berada di bawah pimpinan yang menyandang gelar Datuk, kecuali kepala sinembah yang disebut
©2004 Digitized by USU digital library
21
Kejuruan dan gelarnya juga disandang oleh kepala tanah Percut. Lima kepala adat ini bersama-sama kemudian membentuk Dewan Bangsawan. Di daerah Padang-Bedagei Sultan Deli memiliki wakil juga di Labuhan Deli. Di bawah kekuasaan langsung sultan hanya para kepala dari empat urung di Kejuruan Percut yang masih ada. Mengenai ahli warisnya sebagai aturan umum bisa diterima bahwa putera sulung harus menggantikan ayahnya dan kebiasaan ini juga diberlakukan bagi kepala adat yang lebih rendah. Datuk dianggap oleh sultan setelah berunding dengan Asisten Residen Deli dan Serdang serta dengan persetujuan Gubernur, dan penyimpangan baru bisa dilakukan apabila sistim ahli waris ini tidak memiliki syarat. Juga para kepala adat yang kurang cocok yang hanya memikirkan martabatnya sendiri masih terdapat diantara keturunan bangsawan itu. Di daerah Batak dari empat urung itu ada kebiasaan bahwa kepala dusun diangkat dan dipecat oleh kerapatan, para pejabat tinggi di kerapatan dusun dan para pejabat rendah oleh kerapatan urung.38 Keadaan pemerintahan di Kesultanan Deli sebagaimana disebut di atas dari sumber lain dapat diperjelas, seperti yang diberitakan dalam Pewarta Deli tahun 1933 sebagai berikut : Afdeeling Boven Deli terbagi 4 District, jaitoe : I - XII Kota (oeroeng XII kota) dikepalai oleh Datoek Hamparan Perak, berkedoedoekan di Hamparan Perak. II Oeroeng Serbajaman, dikepalai oleh Datoek berkedoedoekan di Soenggal. III Oeroeng Soekapiring dikepalai oleh Datoek Soeka Piring berkedoedoekan di Kp. Baroe. IV Oeroeng Senembah, dikepalai oleh Kedjoeroean, berkedoedoekan di Patoembak. Maka keempat District (Oeroeng) jang tsb. Ini ta’loek dan dikoeasai poela oleh Spd. Toeankoe Sulthan Deli. Pada tiap-tiap Oeroeng terbagi poela atas doea nama : a. Sinoean boenga, jaitoelah arah kesebelah hilir. b. Sinoean gambir, arah kesebelah selatan berwatas dengan tanah Karo (Karolanden). Masing-masing oeroeng diangkat doea orang jg berpangkat Hoofd perbapaan, satoe di Sinoean boenga dan satoe di Sinoean gambir. Kedoedoekan Hoofd perbapaan itoe masing masing Oeroeng, jaitoe: di Oeroeng XII kota, ialah kampoeng I Lau Tjih II Radja Berneh, di Oeroeng Serbajaman, I Koeta Mbaroe II, Goenoeng Merlawan di Oeroeng Soeka Piring, I Namo Rambei, II Sala Boelan di Oeroeng Senembah, I Namo Soero II Basoekoem. Dibawah Hoofd perbapaan jang delapan orang itoe terdiri poela 27 orang Hoofd penghoeloe dan dibawah Hoofd penghoeloe ada 300 penghoeloe kitik, dibawah penghoeloe kitik jang 300 orang itoe, (menoeroet perhitoengan tjahtjah djiwa jang paling achir) ada sedjoemlah ralat laki laki perempoean 24,000 orang (hitoengan ini diambil riboe sadja). Maka pemerentahan dari pehak Zelfbestuur ini dibantoe dan dikepalai poela oleh seorang Eropeesch Bestuur ialah “Controleur” jang berkedoedoekan di 38
Memorie van Overgave, W.P.F.L. Winckel, Opcit Hal.71-73. Periksa juga Gouvernement Besluit tanggal 30 Nopember 1920 nomer 42.
©2004 Digitized by USU digital library
22
Arnhemia. Sebagai pembantoe pada toean controleur diangkat seorang mantri Cultures (dahoeloe Controle Mantri) dan bagian Landbouw seorang Mantri sawah, ditambah 4 orang penghoeloe Balei ialah penghoeloe Balai dari masingmasing Oeroeng .39 Ketika datuk-datuk kepala suku Batak Karo tidak diajak berunding oleh sultan untuk menyerahkan konsesi-konsesi tanah di wilayah mereka, maka datuk-datuk ini menentang dan menuduh bahwa pemberian konsesi ini telah melanggar hukum adat yang sudah ada sebelum kedatangan Belanda. Dengan menyerang onderneming-onderneming itu, orang Batak Karo berharap akan mengakhiri perampasan hak-hak mereka dan meyakinkan pengusaha onderneming bahwa mereka harus merundingkan kontrak-kontrak tanah di wilayah Batak Karo dengan kepala suku masing-masing dan bukan dengan sultan.40 Residen Belanda menyelesaikan pertentangan langsung antara sultan dan kepala-kepala suku Batak Karo itu, dengan menetapkan bahwa : pembayaran untuk konsesi-konsesi di wilayah Karo harus dibagi tiga bagian yang sama, sepertiga untuk sultan, sepertiga untuk Datuk Batak Karo, dan diberikan sepertiga untuk kepala-kepala desa dalam lingkungan konsesi. D. Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat dan Perkebunan Pada Masa Konsesi di Sumatera Timur. Sengketa pertanahan antara masyarakat dan perkebunan pada masa konsesi di Sumatera Timur terjadi karena disebabkan adanya perbedaan persepsi antara unsur-unsur yang berkepentingan dengan tanah yaitu sultan, perusahaan perkebunan (onderneming) dalam menentukan siapa yang berhak terhadap hak menguasai tanah di Sumatera Timur. Sultan Melayu menganggap bahwa tanah adalah dikuasai oleh raja, dan raja adalah pemilik semua tanah (vorstdomein), dan berhak memberikan tanah kepada yang dianggapnya layak dan mampu menggarapnya dengan menyerahkan upeti dari sebagian hasilnya kepada sultan. Pada sisi lain rakyat sebagai kawula raja mempunyai prinsip bahwa tanah adalah milik adat yang bersifat komunal (ulayat), sementara raja dalam hal ini memegang status sebagai pemimpin adat, bukan sebagai penguasa/pemilik tanah.
39
40
Pewarta Deli, Boven Deli dalam Zaman Ciris, 10 Januari 1933, hal.2 kol.2-3. Koleksi Perpustakaan Nasional Microfilm rol No.429/ PN. Periksa juga Gouvernement Besluit tanggal 30 Nopember 1920 nomer 42, bundel Algemeen Secretarie, koleksi ANRI Jakarta. E.A. Halewijn, “Geographische en ethnographische gegevens betreffendehet Rijk van Deli“ , Tijdschrift voor Indische Taal-, land-, en Volkenkunde, 23 (1876), hal. 147-152.
©2004 Digitized by USU digital library
23
II. Konflik Tanah Perkebunan PTPN-II dan PTPN-III Versus Masyarakat Setelah Indonesia Merdeka.
A. Revolusi dan Dampaknya Atas Tanah-Tanah Perkebunan (19451949).
Pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 masa ini merupakan pancaroba, dimana keadaan masyarakat serba belum menentu, sehingga sambil mempertahankan kemerdekaan, juga menata perekonomian, dan menegakkan ketertiban hukum. Pemerintahan Indonesia yang baru belum bisa segera mengambil alih semua kekuasaan daerah dan menegakkan kontrol pusat secara mapan di daerah, melainkan masih terpusat di Jawa dan Madura. Sebagai akibatnya berbagai gejolak sosial meledak yang bersumber pada sengketa dan konflik lama baik yang bernuansa etnis, pelapisan sosial maupun sumber kehidupan ekonomi agraria khususnya yang menyangkut penguasaan tanah. Sekutu yang menerima kekalahan perang pemerintah militer Jepang, bertekad untuk memulihkan kondisi lama sebelum perang (status quo) untuk ditata kembali lebih lanjut di masa mendatang. Berdasarkan keputusan tinggi militer Sekutu, tugas memulihkan kondisi di Indonesia diserahkan kepada pasukan Inggris di India yang tergabung dalam South East Asia Command. Untuk melaksanakan tugas pasukan Sekutu di Sumatera, SEAC membentuk Allied Forces Nedherlands Indies (AFNEI) yang terdiri atas Divisi ke-26 India di bawah Mayor Jenderal T.E.D Kelly untuk wilayah perang Sumatera. Pasukan ini mendarat di Belawan pada tanggal 10 0ktober 1945.41 Keputusan Sekutu untuk memulihkan Status Quo setelah pemulangan pasukan Jepang ini dijadikan dasar hukum oleh Belanda untuk kembali ke bekas tanah jajahannya yang ditinggalkan pada tahun 1942. Perangkat militer dan pemerintahan sipil Belanda mengikuti kedatangan pasukan Sekutu ke Sumatera Utara. Keterlambatan pemakluman proklamasi RI di Medan menjadi peluang yang dimanfaatkan oleh penguasa kolonial Belanda untuk memperkuat kedudukannya di Sumatera Utara. Hal ini dilakukan dengan kembali mendekati para penguasa tradisional kerajaan Melayu yang mengharapkan kembalinya kekuasaan feodalisme lama di Sumatera Utara.42 Di lain sisi kondisi politik di Sumatera Utara pada masa proklamasi diwarnai dengan gejolak revolusi yang mengarah pada pergolakan sosial. Ini dipicu dengan pembentukan laskar-laskar yang bernuansa ideologis politik dan berbasiskan pada masa buruh di perkebunan. Langkah-langkah radikal yang diambil oleh para kelompok revolusioner ini adalah mengambil alih tanah-tanah 41
42
Periksa Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia (Yogyakarta : Tarawang Press, 2001) hal. 57-58. Keterlambatan proklamasi kemerdekaan RI di Sumatera Utara yang dilakukan pada tanggal 6 0ktober 1945 secara resmi ini disebabkan oleh sulitnya hubungan dengan Jawa dan berbagai persiapan darurat yang harus dilakukan di Sumatera Utara. Tumbuhnya berbagai golongan yang berkepentingan terhadap revolusi juga sangat mempengaruhi nuansa revolusioner dalam pengumuman proklamasi itu.
©2004 Digitized by USU digital library
24
bekas milik onderneming dan membagi-bagikan kepada para anggota laskarnya yang terdiri atas berbagai etnis.43 Terutama dari gerombolan sayap kiri sangat aktif melancarkan tindakantindakan agresif terhadap posisi modal asing di Sumatera Timur. Pengaruh sayap kiri ini nampak sejak tanggal 1 Mei 1947 di mana mereka membentuk Barisan Arit Soematra yang kemudian melebur dalam Barisan Tani Indonesia dengan tujuan untuk membagi-bagi tanah-tanah perkebunan Sumatera Timur. Pemerintah Republik di Sumatera juga dipaksa untuk melepas pemilikan atas tanah-tanah perkebunan dan dibagi-bagikan kepada para bekas kuli dan buruh perkebunan yang telah menggarapnya. Puncak dari ketegangan yang ada ini adalah meledaknya revolusi sosial di Sumatera Timur dengan korban utama para raja dan bangsawan Melayu yang dibunuh dan harta kekayaan mereka dijarah oleh para penyerang yang terdiri atas laskar-laskar dan organisasi politik. Tanah-tanah kekuasaan para raja Melayu ini kemudian dibagi-bagi dan dikuasai oleh gerakan politik yang ada di Sumatera Timur tanpa aturan hukum yang jelas. Tanah sebagai suatu komoditi digunakan oleh gerakan politik dan kelaskaran sebagai sarana untuk menarik pengikut dengan jaminan politik yang kabur. Para pengusaha Belanda, yang ingin mendapatkan kembali perkebunannya di Indonesia, terutama di Sumatera Utara sangat berkepentingan bagi negeri Belanda. Mereka segera mendesak pemerintah Den Haag agar segera mengambil tindakan tegas untuk memulihkan kondisi di Sumatera. Langkah politik pertama yang bisa dijadikan sebagai dasar hukum adalah dicapainya Persetujuan Linggarjati antara pihak Belanda dan Indonesia, di mana Belanda mengakui kekuasaan RI secara de facto di Jawa dan Sumatera dan bertanggungjawab penuh atas keamanan di wilayah tersebut.44 Namun mengingat hasil yang dicapai di Linggarjati menurut Belanda kurang memuaskan, tindakan lain harus dipertimbangkan. Karena itu segala upaya militer (Agresi I dan Agresi II) Belanda diambil, yang akhirnya mengarah pada diadakannya Konperensi Meja Bundar atas campur tangan PBB yang mengakhiri konflik antara Indonesia dan Belanda.45 Begitu pula dengan hasilhasil Konferensi Meja Bundar, menegaskan eksistensi dan pengakuan milik (asset) Belanda yang ada di Indonesia. 43
Justus M. van der Kroef, “Penguasaan Tanah dan Struktur Sosial di Pedesaan Jawa”, dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa (Jakarta: Gramedia, 1984), hal. 163. Pada masa awal berdirinya Republik, partai-partai politik banyak mencari pendukung di kalangan petani miskin dan pemberian tanah menjadi senjata ampuh untuk menarik pengikut. 44 Pada mulanya delegasi Belanda menghendaki agar RI hanya berkuasa atas Jawa sementara luar Jawa seluruhnya diletakan di bawah wewenang Belanda, dengan alasan RI tidak mampu mengatasi revolusi sosial yang terjadi di Sumatera Timur. Namun di balik itu pemerintah Belanda bermaksud menyerahkan kembali daerah perkebunan Sumatera Timur itu kepada para pengusaha perkebunan lama yang berkepentingan dengan investasi modalnya di sana. Periksa Suprayitno, ibid., hal. 80. 45
Campur tangan PBB dalam persoalan Indonesia-Belanda ini menunjukan adanya pengakuan hukum internasional terhadap keberadaan RI baik secara de facto. Periksa J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, terjemahan Bambang Iriana Djajaatmadja, edisi X (Jakarta: Sinar Grafika, 1995) hal. 173. Dalam hal ini pengakuan atas RI didasarkan pada urgentie diplomatik, yakni bahwa justifikasi hukum digunakan untuk menyebut status pengakuan ini meskipun secara fisik negara itu belum terbentuk.
©2004 Digitized by USU digital library
25
Agresi Militer Belanda I pada Juli 1947 ditujukan pertama-tama ke daerah pusat onderneming di Sumatera Timur, dan daerah onderneming lainnnya di Indonesia. Demikian pula Agresi II pada Desember 1948, sasarannya selain ibukota RI di Yogyakarta adalah daerah Onderneming seperti Asahan, Malang Selatan dan Kediri.46 Sementara itu para pemimpin setempat yang anti Republik mulai menghasut untuk memperoleh otonomi bagi Sumatera Timur. Komisaris urusan administratif Hindia-Belanda, J.J van de Velde, panglima militer di Sumatera Timur Kolonel P. Scholten dari Brigade “Z”, dan kepala Dinas Administratif sementara J.Gerritsen secara resmi diundang meninjau sebuah demonstrasi yang menuntut pemerintahan otonomi untuk Sumatera Timur, diselenggarakan di Medan pada tanggal 31 Juli 1947. Kemenangan diperoleh para pejuang daerah otonomi itu ketika pada tanggal 8 Oktober 1947 diumumkan sebuah keputusan oleh pemerintah HindiaBelanda yang memberikan pengakuan sementara kepada Daerah Istimewa Sumatera Timur, dan mengalihkan kepada anggota-anggota komite Medan sebagai Dewan Perwakilan Sementara. Dewan itu diberi tugas menyusun sebuah Undang-Undang Dasar. Sebuah Keputusan secara resmi yang melahirkan negara Sumatera Timur ditandatangani pada tanggal 25 Desember 1947 oleh Van Mook.47 Pemindahan kekuasaan secara resmi kepada negara Sumatera Timur dilakukan tergesa-gesa tanpa persiapan yang memadai. Sebagai akibatnya pemindahan-pemindahan administratif yang sebenarnya menyangkut urusan agraria, pertanian, kehutanan, kesehatan masyarakat, dan pekerjaan umum masih dilakukan berbulan-bulan kemudian. Jabatan tinggi tetap dipegang oleh pejabat Belanda, walaupun secara teoritis hanya bertanggung jawab kepada kepala negara Sumatera Timur.
B. KMB (1950-1956) dan Masalah Tanah Perkebunan. Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB), dan penyerahan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949, Ratu Juliana menandatangani akte penyerahan dan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS). Dan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Induk Persetujuan dengan Rancangan Penyerahan Kedaulatan yang terlampir, dinyatakan sah menurut hukum.48 Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) dan kerajaan Belanda, berkeinginan mengatur perhubungan baru, di lapangan keuangan dan 46
47
48
Muhammad Tauchid, Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan Dan Kemakmuran Rakyat, (Jakarta: Cakrawala, 1983), hal 14 - 115. Van Mook mengembangkan federalisme, yang oleh rakyat Indonesia dipandang sebagai adik kandung kolonialisme, lihat K.M.L .Tobing, “Perjuangan Politik Bangsa Indonesia K.M.B“ , C.V. Haji Mas Agung, (Jakarta: 1987, hal 248 . Periksa juga Suprayitno, op.cit., hal. 84-85. Sebagian dari para tokoh pendukung ini adalah para anggota bangsawan feodal Sumatera Timur yang lolos dari revolusi sosial Maret 1946. K.M.L. Tobing, “Perjuangan Politik Bangsa Indonesia K.M.B “. (Jakarta : C.V. Haji Mas Agung, 1988), hal 236 .
©2004 Digitized by USU digital library
26
perekonomian, yang terjadi karena penyerahan kedaulatan, dengan persetujuan sebagai berikut : Bahwa hak konsesi dan izin yang diberikan dengan sah, menurut hukum Hindia Belanda (Indonesia), yang pada waktu penyerahan kedaulatan masih berlaku, maka Republik Indonesia Serikat (RIS), mengakui Konsesi dan izin tersebut. Dalam Persetujuan Keuangan dan Perekonomian Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Kerajaan Nederland, telah memutuskan mengadakan persetujuan antara lain sebagai berikut : “Pada Bagian A tentang Hak, Konsesi, Ijin dan Menjalankan Perusahaan, pasal 1 ayat (3) menyatakan :
a. Bahwa selama pendudukan Jepang dan kemudian selama masa revolusi telah
terjadi bahwa tanah-tanah 0nderneming yang sudah dibongkar tanamannya untuk dipergunakan akan pertanian atau pekarangan, telah diduduki rakyat selama masa pendudukan Jepang dengan ijin pembesar-pembesar Jepang dan bahwa pada hal-hal yang tertentu, jika tanah itu dicabut kembali daripada tangan rakyat yang berkepentingan dengan begitu saja, lalu dikembalikan kepada 0nderneming yang bersangkutan, akan timbul kegelisahan yang amat sangat sehingga pengembalian tanah itu pada kebanyakan hal tidak mungkin terjadi. Tiap-tiap keadaan akan dipertimbangkan tersendiri dan akan diusahakan penyelesaian yang dapat diterima oleh segala pihak. b. Bahwa pemilik partikelir yang tertentu perlulah terus dipergunakan (diambil) secara paksa buat sementara, ialah untuk keperluan negara guna sesuatu jabatan pemerintah dengan mengganti kerugian49. Berdasarkan ayat tersebut bisa dikatakan bahwa keberadaan onderneming khususnya di Sumatera Timur telah dijamin oleh pemerintah RIS, dan apabila ada infrastruktur mereka yang diambil oleh pemerintah baik untuk kepentingan pusat maupun kepentingan negara bagian, para pengusaha ini berhak menuntut dan menerima ganti rugi. Pendirian Pemerintah RIS yang lebih tegas lagi dikemukakan oleh Menteri Dalam Negeri RIS (29 Juli 1950), yang menyatakan antara lain : (a) Bilamana Onderneming tidak dapat dapat dibangun kembali, maka tanah tinggal tetap seperti keadaan sekarang, yaitu rakyat dibolehkan mengerjakan sebagai tanah pertanian. Bilamana Onderneming dapat dibangun kembali, maka rakyat yang menduduki tanah-tanahnya tidak akan diusir begitu saja, akan ditinjau tanah mana yang akan dipergunakan lagi oleh Onderneming. Tanah-tanah yang tersebut di belakang akan dikembalikan kepada Onderneming dengan cara yang tidak merugikan rakyat yang mendudukinya. Misalnya, penduduknya diberi tanah lain atau diberi kerugian uang dan sebagainya.50
49
50
Lihat Rancangan Persetujuan Keuangan dan Perekonomian, yang telah disyahkan, dalam akta Pernyerahan dan Pengakuan Kedaulatan, yang telah ditandatangani oleh Ratu Juliana di Amsterdam tanggal 27 Desember 1949 . Dari pihak Indonesia Drs. Mohammad Hatta, ketua Delegasi Republik Indonesia Serikat, bersama anggota-anggota delegasi, Dr.Mr. Supomo, Sultan Hamid, Dr. Suparno, Dr. Mr. Kusumaatmaja, Dr. Sukiman Wiryosanjoyo, Mr. Suyono Hadinoto, menyatakan atas nama Republik Indonesia Serikat, telah menerima penyerahan kedaulatan, sesuai dengan akta penyerahan dam pengakuan kedaulatan . Muhammad Tauchid, op cit, hal 34 .
©2004 Digitized by USU digital library
27
Para pengusaha perkebunan bersandar pada jaminan yang diberikan oleh Republik. Jaminan yang diberikan dengan berdasarkan Konperensi Meja Bundar (KMB), menyangkut pengakuan dan pemulihan semua “hak konsesi, dan lisensi yang benar-benar diserahkan di bawah Undang-Undang Hindia-Belanda”, dan kelangsungan syarat-syarat yang ”memungkinkan penanaman modal yang diperoleh untuk kegiatan jangka panjang yang biasa”, dan setiap pengecualian harus diperlakukan “ sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh hukum”.51 Dalam perjalanan sejarahnya, RIS sebagai hasil utama dari KMB tidak mampu bertahan. Satu per satu negara federal yang dibentuk sebagai bagian dari RIS meleburkan diri dengan pemerintah RI di Yogyakarta hingga pada akhirnya hanya NST dan NIT yang masih tersisa di luar RI. Namun setelah melalui berbagai perundingan dan usaha, dan mengingat kondisi intern NST, akhirnya pada tanggal 13 Agustus berdasarkan UU yang disahkan oleh Dewan NST negara federal ini bergabung dengan negara kesatuan RI dan dijadikan sebagai Provinsi Sumatera Utara yang wilayahnya mencakup Aceh, bekas karesidenan Sumatera Timur dan bekas karesidenan Tapanuli. Perubahan dalam bidang tata kenegaraan ini sebaliknya tidak memberikan pengaruh yang besar pada kondisi pemilikan tanah oleh perusahaan-perusahaan perkebunan asing di wilayah Sumatera Timur. Para pengusaha onderneming tetap memiliki hak-haknya atas tanah dan mereka masih bisa mengelola usahanya dengan tenang. Kembalinya NST ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, menimbulkan akibat langsung bagi perjuangan agraria. Akibat yang paling dalam berasal dari prinsip sosial dan ekonomi dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang diambil alih oleh Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.52 Sehubungan dengan hal tersebut, situasi Agraria menghendaki perumusan prinsip-prinsip baru untuk penentuan penggunaan tanah yang optimum yang didasarkan pada prinsip-prinsip ini guna realokasi tanah-tanah perkebunan yang dikembalikan pada negara. Pada akhir tahun 1950, dibentuk Panitia Pusat Urusan Tanah Pertanian (PPUTP) menghasilkan persetujuan umum antara penguasa sementara dan pengusaha perkebunan, bahwa perkebunan Tembakau harus mengembalikan sekitar 130.000 Ha. tanah, dari seluruh lahan perkebunan seluas 255.000 Ha. kepada pemerintah provinsi. Sisanya seluas 125.000 Ha, diberikan kepada Deli Planters Vereniging ( DPV) , dengan hak sewa selama 30 tahun. Dari luas tanah yang 130.000 Ha. ini, 90.000 Ha. diserahkan kepada rakyat sebagai hak milik.53
51 52
53
K.M.L. Tobing, loc.cit, hal 40. Lihat pasal-pasal 27, 29 dan 33 dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang berturut-turut menjadi pasal 7,18 dan 38 dalam Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950. Dua pasal yang pertama ( 27 dan 29 UUD 1945 ) mengalami sedikit perubahan yaitu bahwa dalam pasal 27 UUD 1945 dirumuskan sebagai berikut. 1. “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya ”. 2.” Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ”. Sedangkan yang ketiga ( pasal 33 UUD 1945 ) tidak mengalami perubahan. Periksa harian Indonesia Raya tanggal 9 Agustus 1951; periksa juga Ikhtisar Gerakan Tani, JuliAgustus 1951 hal. 50, koleksi Perpustakaan Nasional RI. Perusahaan perkebunan ini masih belum bisa dihapuskan sama sekali mengingat masih berlakunya kontrak jangka panjang selama 75-99
©2004 Digitized by USU digital library
28
Gubernur Sumatera Utara Abdul Hakim54 sedang mempertimbangkan undang-undang yang memberikan kekuasaan kepada pemerintah pusat untuk mengeluarkan hak agraria baru atas lahan seluas 125.000 Ha,55 yang tidak boleh diduduki oleh penduduk liar dan penduduk liar yang sudah lama menyerobot tanah itu, akan dimukimkan kembali. Dengan demikian, selain mendapat jaminan dari pemerintah pusat, perusahaan tembakau siap untuk menanam modal baru. Tetapi undang-undang yang diusulkan tidak dapat diharapkan dalam waktu dekat. Sedangkan industri tembakau sangat membutuhkan landasan baru untuk kegiatannya. Usulan ini diajukan kepada Menteri Dalam Negeri Iskaq Tjokrodisurjo tanggal 28 Juni 1951. Menurut rencananya tanah 125.000 Ha, ini akan dibagibagikan kepada para petani untuk digarap oleh mereka dalam jangka waktu maksimal 30 tahun, selain untuk pemukiman. Tanah ini hanya bersifat hak pakai dan tidak bisa diwariskan. Setelah masa garap tanah-tanah itu berakhir maka semua lahan harus dikembalikan kepada pemerintah. Untuk mengatasi keadaan itu keluar Keputusan Menteri Dalam Negeri,56 pada tanggal 28 Juni 1951, yang mengesahkan peraturan sementara sambil menunggu diumumkan UndangUndang Agraria baru. Keputusan tersebut menyetujui usul bahwa perusahaan tembakau mempertahankan 125.000 hektar untuk jangka waktu maksimum 30 tahun dengan syarat yang ditentukan kemudian, dan 130.000 hektar dikembalikan kepada Pemerintah.57 Untuk menindaklanjuti Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 28 Juni 1951 No. Agr.12/5/14 Gubernur Sumatera Utara mengeluarkan keputusan No. 36/K/Agr, tanggal 28 September 1951 tentang penghunjukan dari tanahtanah negara yang sekarang dikuasai dengan hak konsesi oleh perusahaan perkebunan tembakau di Sumatera Timur : (a) tanah seluas maximum 125.000 Ha, yang akan dibenarkan pemakaiannya dengan hak benda, untuk waktu paling luas 30 tahun dan dengan syarat-syarat lain yang akan ditetapkan oleh Pemerintah dikemudian hari. (b) Selebihnya, dari 125.000 Ha,
54 55
56
57
tahun yang telah dibuat dan perlunya produk tanaman karet dan tembakau yang ditanam para pengusaha sebagai sarana pemasukan devisa negara. Periksa harian Perdamaian, Jakarta, 21 Juli 1951. Tanah seluas 125 ribu hektar ini merupakan hasil kesepakatan antara Gubernur dengan pihak DPV (Deli Plantation Vereeniging). Sebelumnya pihak DPV hanya mengusulkan 86 ribu hektar yang akan diberikan kepada petani. Juga perlu dilakukan seleksi atas tanah-tanah yang diberikan sesuai dengan kelayakan tanah untuk ditanami padi dan tanah yang ditanami tembakau. Periksa artikel “Tanah di Sumatera Timur akan Diseleksi” dalam harian Waspada, Medan, tanggal 21 0ktober 1950. Langkah Menteri Dalam Negeri ini bertujuan untuk sedikit demi sedikit menghapuskan bentuk konsesi kepada perkebunan onderneming dengan batasan maksimal sewa tanah selama 30 tahun. Begitu juga luas tanah yang disewa oleh onderneming dikurangi sampai separuh. Namun dengan diterapkannya sistim baru ini semua aturan sewa tanah lama lenyap, termasuk sistim jaluran yang sering diterapkan oleh onderneming bagi rakyat untuk menanam padi dan jagung. Periksa Harian Rakyat tanggal 6 Agustus 1951. Menurut desas-desus yang beredar oleh unsur-unsur komunis, 20 ribu orang petani kecil yang menempati lahan perkebunan seluas 130 ribu hektar itu sejak jaman Jepang akan diusir dan penempatan ke tempat lain oleh pemerintah dianggap sebagai perampasan lahan tidak sah (onwettig) Berita ini dibantah oleh Sekdjen Departmen Dalam Negeri Mr. Sumarman. Periksa Berita Indonesia Nomor 53/PN/M, tanggal 9 Mei 1953.
©2004 Digitized by USU digital library
29
seperti dimaksud sub (a) yang oleh Perusahaan Perkebunan tembakau akan diserahkan kembali kepada negara. SK Gubernur No. 36/K/Agr, tanggal 28 September 1951 tersebut diatas memutuskan antara lain sebagai berikut : 58 I. Tentang tanah-tanah ditepi jalan Tanah-tanah ditepi jalan umum kiri kanan antara kota-kota Tanjung Pura - Binjai; dan Medan - Pancur Batu; selebar 250 meter dari tepi jalan masuk ke dalam, dikembalikan kepada pemerintah.
II. Tentang tanah-tanah persawahan. Tanah-tanah persawahan yang sudah ada, diserahkan kembali kepada perusahaan perkebunan kepada pemerintah. III. Tentang tanah-tanah perkampungan dan kota, serta yang dipergunakan untuk perluasan-perluasan.
tanah-tanah
Tanah-tanah perkampungan sekarang dan perluasannya, buat dikemudian hari selama 30 tahun, akan ditentukan dan diserahkan kepada pemerintah.
IV. Tanah-tanah dipinggir sungai dan dikelilingi mata air. Tanah-tanah dipinggir sungai wajib dipertahankan sebagai lahan penyangga sungai selebar 50 meter, dan lahan diatas radius 100 meter dari sumber air. Keputusan ini merupakan tonggak penting dalam sejarah agraria sesudah perang yang disambut hangat oleh pemerintah dan perusahan perkebunan, maupun oleh organisai buruh dan petani yang moderat, karena memberikan dasar. Namun mendapat perlawanan keras dari organisasi-organisasi yang radikal seperti BTI yang digerakkan oleh PKI.59 Dengan mengikuti perkembangan yang terjadi di Jawa, di Sumatera Timur berdiri pula partai-partai politik beserta ormas-ormasnya. Kehadiran partai politik berserta ormasnya ikut mewarnai masalah pertanahan di Sumatera Timur khususnya masalah tanah perkebunan. Sejalan dengan mekarnya organisasi petani diikuti pula dengan kaum pendatang yang bukan penduduk asli (rakyat penunggu) yang mendatangi daerah perkebunan dari berbagai dareah terus
58
59
Periksa SK. Gubernur Sumatera Utara tanggal 28 September 1952 Nomor 36/K/Agr. Margo L. Lyon, Dasar-Dasar Konflik Di Daerah Pedesaan Jawa, Dalam Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah di Jawa Dari Masa Ke Masa, di Sunting oleh Sediono MP. Tjondronegoro, Gunawan Wiradi, (Jakarta : Gramedia, , 1984), hal 202-203 . Pada tahun 1950, di Jawa dan daerah-daerah lainnya di Indonesia muncul persfekif lain mengenai masyarakat pedesaan disuarakan dengan tajam dalam kampanye-kampanye PKI dan organisasi taninya yaitu : BTI yang bertujuan membuat petani lebih sadar akan kedudukan material dan sosialnya. Untuk mengorganisir mereka mengadakan aksi. PKI dalam program umum membuat resolusi yang menyangkut masalah kaum tani. Salah satu masalah pertama yang dikemukakan adalah tanah untuk petani kemudian dijadikan landasan program reformasi. Program ini dimulai dengan adanya tekanan-tekanan untuk mendapatkan dukungan hukum atas hak penduduk liar diatas tanah perkebunan.
©2004 Digitized by USU digital library
30
meningkat. Kaum pendatang menduduki tanah-tanah perkebunan dan kehadiran mereka dibela oleh partai politik. Pada dekade 1950-an, serikat petani yang paling agresif di Sumatera Timur ialah BTI dan RTI. Dibandingkan keduanya, STII dan BPRP bersifat sangat moderat dan relatif mematuhi hukum, sehingga dikatakan oleh lawan-lawannya dengan sebutan kaki tangan pengusaha perkebunan. Orang-orang militan pimpinan dari BTI dan RTI mempengaruhi jalannya peristiwa di Sumatera Timur dengan cara melakukan sabotase setiap usaha pemerintah provinsi. Politik non koperasi dan pelanggaran hukum secara sengaja mereka terapkan, sehingga mekanisme pelaksanaan hukum pada waktu itu terhenti. Setiap pejabat yang berusaha menjalankan hukum, dituduh “bersikap kolonial“ karena bertindak melawan petani atas dasar hukum yang dikeluarkan selama masa kolonial, untuk melindungi hak dan modal asing. Ini berdasarkan pada hasil keputusan dari DPP BTI dalam rapat plenonya tanggal 16 dan 17 Mei 1953 di Jogyakarta, diantaranya :
1. Petani harus mendapat bagian tanah untuk hidup yang layak
sedikitnya suatu hektar sawah atau dua hektar tanah ladang, seperti direncanakan oleh pemerintah buat sementara bisa diterima mengingat alat-alat yang ada pada petani waktu ini. 2. kalau untuk mencapai maksud minimum seperti tersebut di atas mengakibatkan perpindahan, harus diadakan persiapan yang saksama. 3. tanah gantinya harus sudah disediakan lebih dahulu dengan ketentuan: a. tanah yang baik untuk pertanian dan kediaman, mengingat kesuburan dan kesehatan; b. cukup luasnya untuk pertanian dan perumahan; c. tanah itu sudah dapat segera mulai dikerjakan (ditanami) pada waktu orang ini pindah; 4. untuk keperluan kepindahan dan keperluan selanjutnya supaya pemerintah membantu: a. biaya untuk pindah/angkutan dll.; b. biaya mendirikan rumah, hingga dapat mempunyai rumah kembali sepadan dengan rumahnya yang lama; c. biaya hidup selama menunggu hasil tanahnya yang baru; d. alat-alat yang diperlukan; alat-alat mendirikan rumah kembali, alatalat pengangkutan dan perhubungan, alat-alat mengerjakan tanah, pinjaman lembu dll.; e. kredit, tidak berbunga untuk modal mengusahakan tanahnya; 5. DPV yang 125.000 ha dengan memperpendek waktu rotasi (dengan rotasi 5 tahun cukup dijamin tanah 75.000 ha); tempat yang baru harus mewujudkan desa yang baru dan sempurna perlengkapannya dengan disediakan tanah untuk penggembalaan, ibadat, sekolah, rumah, pengobatan, lapangan olahraga dsb.60
60
Periksa Antara, harian Jogjakarta, tanggal 21 Mei 1953.
©2004 Digitized by USU digital library
31
Kabinet Wilopo mulai berkuasa sejak tanggal 3 April 1952. Programnya adalah pemulihan produksi perkebunan, sampai taraf sebelum perang, dan penyelesaian pertikaian agraria tanpa merugikan kepentingan negara.61 Kabinet Wilopo mulai berkuasa sejak tanggal 3 April 1952. Programnya adalah pemulihan produksi perkebunan, sampai taraf sebelum perang, dan penyelesaian pertikaian agraria tanpa merugikan kepentingan negara.62 Wilopo mendesak agar pemerintah pusat memberi kekuasaan yang lebih besar kepada pemerintahan provinsi, untuk menyelesaikan pertikaian agraris, namun Gubernur Hakim dan KPPT terhambat oleh dukungan pemerintah pusat yang ragu-ragu terhadap tindakan mereka menghadapi tekanan politik, dan dan terbatasnya kekuasaan mereka untuk menentukan suatu penyelesian.63 Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi beberapa peristiwa sengketa pertanahan antara pihak perkebunan versus petani penggarap, yang terjadi sejak peristiwa Tanjung Morawa sampai saat ini. Dalam peristiwa Tanjung Morawa, ada anggapan keliru yang beredar di kalangan para pengamat Indonesia dan asing bahwa insiden di Tanjung Morawa terjadi antara petani Indonesia dengan pengusaha perkebunan Barat. Sebetulnya peristiwa itu berkisar pada sekelompok penduduk liar keturunan Cina yang sukar diatur, dan merupakan pertikaian antara Serikat Tani dan pengusaha Indonesia. agar :
Penduduk liar bersedia dimukimkan kembali, tetapi mereka
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
menuntut
Lahan baru mereka cocok untuk sawah dan penanaman sayur-sayuran ; Lahan tersebut berada dalam jarak lima Kilometer dari kota dan pasar ; Lahan tersebut siap untuk ditanam ; Setiap warga minimal mendapat satu hektar lahan yang dapat diairi ; Pemerintah menyediakan sebuah sekolah dan rumah tinggal ; Diberi waktu untuk memungut hasil panen Tanjung Morawa ; Pemerintah membayar biaya pemukiman kembali ; Langsung makanan dibagikan untuk masing-masing keluarga, selama tiga bulan pertama.64
KPPT menolak usul tersebut karena jika diwujudkan, akan menjadi preseden jelek yang akan menghancurkan program pemukiman kembali. Sekretariat bersama, mempersoalkan kasus hukum dari peristiwa ini. Koran-koran Medan memperoleh kesempatan meningkatkan kampanye melawan Gubernur Hakim dan KPPT, dengan memutarbalikkan fakta bahwa insiden tersebut disebabkan campur tangan asing yang menolak untuk mematuhi pemerintah, dan dengan demikian menghalangi kerja Dinas Pertanian Provinsi. Unsur-unsur sayap kiri dalam tubuh PNI dan Komunis khususnya, mempergunakan kasus peristiwa Tanjung Morawa sebagai alasan untuk menyerang seluruh kebijaksanaan agraria pemerintah pusat.65
61 62 63
64
Ichtisar Rakjat, Jakarta, tahun 1952, hal 249 - 251. Ibid, hal 249 - 251. Lihat surat No. 22063/3/6 dan instruksi No. Agr. 12/4/16 tanggal 28 Mei 1952 yang dikeluarkan oleh Kementrian Dalam Negeri untuk Gubernur Hakim. Karl Pelzer Op cit, hal 100.
©2004 Digitized by USU digital library
32
C. Nasionalisasi dan Masalah Tanah-Tanah eks-Perkebunan Belanda (1956-1960).
Pendudukan tanah perkebunan oleh rakyat sebenarnya bukanlah merupakan kejadian yang baru dijumpai sesudah terjadinya perang dunia II. Sebelum itu perusahaan perkebunan besar sudah mengalami masalah tersebut. Hal ini dapat kita ketahui dalam ordonantie tahun 1937 yang dimuat dalam Stbd. 1937 No. 560 tentang Nadere regeling van de rechtsvoerdering tot ontruiming van onrechtmatig door Indonesiers in gebruik genomen erfachts parcelen. Dalam ordonantie itu dimuat ketentuan-ketentuan yang mewajibkan para pemegang hak erfacht untuk mengajukan tuntutan pengusiran pada pengadilan perdata terhadap rakyat yang menduduki tanah perkebunannya. Jika ia menghendaki agar haknya atas tanah yang bersangkutan tetap berlangsung.66 Pemerintah dan pengusaha perkebunan mengakui bahwa dilema yang ditimbulkan oleh para penghuni liar/penggarap adalah okupasi oleh mereka atas lahan perkebunan yang mempunyai dasar hukum semu, yang didasari oleh Ordonantie Penanaman Wajib tahun 1939, bermacam-macam dekrit pemerintah militer Jepang atau perintah Residen kepada Dinas Pertanian Republik tanggal; 1 Mei 1947.67 Dalam hal soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat pada waktu itu di berbagai daerah, telah menimbulkan keadaan yang sedemikian rupa, sehingga untuk kepentingan umum dan kepentingan negara perlu segera diselesaikan. Usaha penyelesaian yang dilakukan pada saat itu dengan cara mencari kata sepakat namun ternyata usaha tersebut tidak memberikan hasil yang memuaskan di antara para pihak.68 Untuk mengatasi situasi yang demikian itu, maka akhirnya pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ordonantie onrechtmatige occupatie van gronden 65
Terhadap serangan ini, Mohammad Roem membela diri dengan mengatakan bahwa pemerintah tidak terkait langsung dengan peristiwa Tanjung Morawa karena tanah-tanah yang disengketakan secara yuridis masih di bawah penguasaan hak bangsa asing dan serangan yang ditujukan melalui alasan peristiwa ini mengandung tendensi menentang kebijakan pemerintah atas tanah di Sumatera Timur. Roem menyatakan bahwa pemerintah telah mengambil langkah yang sesuai dengan prosedur hukum, yakni dengan menempuh jalur kekeluargaan melalui pengutamaan asas musyawarah mencapai mufakat. Namun cara tersebut ditolak oleh para penghuni liar, sehingga pemerintah segera mengambil tindakan hukum yang sah. Periksa “Roem bela keganasan di Tg. Morawa”, dalam Sinpo, tanggal 10 April 1953, koleksi Perpustakaan Nasional RI. 66 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan ; Jakarta, 1999, hal. 112. 67 Karl. J. Pelzer, Palnters agaiants peasents Teh Agrarian Struggle in East Sumatera, 1947-1959, diterjemahkan oleh Bosco Carvallo, Sengketa Agraria Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, Sinar Harapan, Jakarta, 1991, hal. 27. 68 Tindakan pengusiran dilakukan terhadap para petani penggarap tanah-tanah milik perkebunan tembakau di Asahan, Serdang, Langkat dan Semulujun menurut laporan dari Front Tani Indonesia. Pengusiran dilakukan oleh aparat pemerintah dengan alasan tanah tersebut dikembalikan kepada para pengusaha perkebunan yang telah mencapai kesepakatan untuk meneruskan usahanya berdasarkan perjanjian KMB. Periksa “20.000 Petani diusir dari perkebunan2”, dalam harian Berita Indonesia, tanggal 8 Mei 1952 koleksi Perpustakaan Nasional Nomor 53/PN/M.
©2004 Digitized by USU digital library
33
Stbd.1948 No. 110. Ordonantie ini melarang pemakaian tanah tanpa izin yang berhak dengan memberikan ancaman hukuman pidana. Setelah Indonesia kembali kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUDS 1950, Negara Sumatera Timur dibubarkan dan dirubah menjadi Provinsi Sumatera Utara. Keadaan ini membuat penghuni liar/penggarap tanah perkebunan semakin bertambah dengan ditegakkannya prinsip equality before Teh law yang berarti adanya persamaan hak terhadap semua warga negara dengan tidak membedakan penduduk asli, imigran, dan penggarap liar. Meskipun ada ketentuan Undang-Undang Darurat No 8 tahun 1954 tersebut diatas, dalam pelaksanaannya ternyata tidak dapat menyelesaikan masalah pemakaian tanah perkebunan tanpa izin yang berhak. Bahkan penggarapan tanah perkebunan oleh rakyat semakin banyak.69 Pada tahun 1957 dengan maksud yang sama dengan undang-undang tersebut di atas, mengenai tanah yang bukan perkebunan dikeluarkan oleh Kepala Staf Angkatan Darat selaku penguasa militer atas daerah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Hal ini didasari oleh Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/014/1957. Peraturan ini dikeluarkan berdasarkan Regeling op de Staat van Oorlogen van Beleg yang diatur dalam Stbd. 1939 No. 582, disamping mulai berlakunya Undang-Undang Keadaan Bahaya Tahun 1957 (LN 1957 No. 160), namun peraturan tersebut diganti dengan Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Perppu/041/1958 tentang “larangan pemakaian tanah tanpa izin pemiliknya atau kuasanya“.70 Sebagai akibat dari kegagalan perundingan antara pemerintah RI dengan pihak Belanda mengenai sengketa masalah Irian Barat, pemerintah Indonesia mengambil tindakan dengan menasionalisasi semua aset ekonomi dan usaha warga Belanda di wilayah Indonesia termasuk tanah-tanah perkebunan di Pantai Beberapa organisasi massa khususnya yang berafiliasi Timur Sumatera.71
69
Kasus ini terjadi antara tanggal 23 dan 24 Mei 1956 ketika para petani sebanyak 17 orang dari Bangunsari, Kecamatan Sunggal dituntut oleh pengadilankarena melanggar UU Darurat Nomor 8 tahun 1954 pasal 13, yakni menggarap tanah perkebunan Timbang Langkat tanpa seijin dari pemerintah. Sebanyak 14 orang dijatuhi hukuman denda masing-masing Rp 50 atau kurungan selama 5 hari. Mereka yang tidak hadir dalam sidang dijatuhi hukuman denda Rp 75 dan kurungan selama 7 hari. Periksa artikel “Banjak Petani2 jang mengambil tanah dihukum di Bindjai” dalam harian Waspada, 26 Mei 1956, koleksi Perpustakaan Nasional RI.
70
Boedi Harsono, Loc.cit., hal. 113 Dasar dari dikeluarkannya peraturan ini salah satunya adalah maklumat bersama yang dikeluarkan oleh Kolonel Simbolon sebagai panglima Daerah Militer I Sumatera dan Dr. Mansur Wali Negara Sumatera Timur tanggal 22 Mei 1950 Nomor 248/1950 yang di antaranya melarang penghunian secara tidak sah atas tanah-tanah bekas milik onderneming dan meletakan tanah-tanah ini di bawah perlindungan militer. Periksa harian Waspada, 22 Mei 1950.
71
Seperti yang telah diketahui, bahwa salah satu klausule yang dimuat dalam perjanjian KMB adalah bahwa pemerintah Indonesia wajib menanggung semua beban hutang milik bekas pemerintah Hindia Belanda dan wajib melindungi semua aset ekonomi warga Belanda yang telah ditanamkan berdasarkan kontrak sewa jangka panjang sejak sebelum perang, hingga masa sewa tersebut berakhir. Hal ini akan diatur kembali setelah adanya infrastruktur yang akan mengatur masalah itu termasuk tentang hak sewa turun-temurun (erfacht). Periksa “Ichtisar Mingguan KMB”, dalam harian Waspada, Medan, 9 Januari 1950.
©2004 Digitized by USU digital library
34
dengan golongan sayap kiri memelopori tuntutan-tuntutan bagi nasionalisasi tanah-tanah perkebunan tersebut.72 Kondisi di Sumatera Timur sendiri menjadi semakin genting dengan meletusnya pemberontakan PRRI yang disusul oleh pembelotan beberapa perwira militer setempat pimpinan Kolonel Simbolon. Dengan mengobarkan semangat pembagian hasil pembangunan yang merata antara Jawa dan luar Jawa, Simbolon mendorong para perwira stafnya untuk membentuk suatu “pemerintahan” sementara yang bertujuan untuk mengambil langkah-langkah revolusioner dalam mewujudkan cita-cita Proklamasi 1945 secepat mungkin.73 Dengan langkah tersebut, Simbolon mengeluarkan instruksi untuk mengambil alih penguasaan atas lahan perkebunan Sumatera Timur dari ancaman para penggarap liar yang berafiliasi dengan komunis dan menyuruh para petani Toba untuk menggarapnya.74 Dalam periode yang bersamaan, kehidupan sosial ekonomi Indonesia mengalami perubahan sebagai akibat dari tindakan politik yang diambil oleh pemerintah RI. Tindakan ini adalah melakukan nasionalisasi atas semua badan usaha asing khususnya milik warga Belanda.75 Pengambilalihan semua badanbadan organisasi-organisasi, lembaga-lembaga, perkebunan Belanda dan campuran Belanda - warga negara Indonesia, telah dilakukan sejak tanggal 2 Desember 1957, oleh pemerintah RI berdasarkan dekrit Penguasa Militer Pusat/ Menteri Pertanahan Nomor 1063/ PMT/1957.76 Sasaran utama program nasionalisasi ini adalah 227 perusahaan perkebunan yang termasuk 38 perusahaan perkebunan tembakau dan 117 perkebunan karet. Program ini akan berlangsung sampai tanggal 3 Maret 1959 dan segera diikuti dengan sejumlah besar perusahaan lain di sektor industri milik 72
73
74
75
76
Tuntutan ini dimunculkan dalam kongres Sarbupri-Sobsi ke-4 di Malang tanggal 6-9 Juni 1956 yang mendesak kepada pemerintah agar segera menguasai perkebunan-perkebunan Belanda setelah habis masa sewanya dan mencegah perpanjangannya sekaligus menyita seluruh milik Belanda sebagai imbangan atas penguasaan Belanda di Irian Barat. Periksa artikel “Kuasai Kebun2 Belanda jang Habis Erfachtnja” dalam harian Waspada, Medan, tanggal 14 Juni 1956, koleksi Perpustakaan Nasional RI Ini dimulai dalam pertemuan para perwira Simbolon di Medan pada tanggal 4 Desember yang diikuti dengan pengambilan sumpah 48 perwiranya terhadap tujuan Simbolon tanggal 16 Dsember 1956. Tujuan utama Simbolon di samping menuntut perhatian pusat bagi pengolahan kekayaan daerah adalah juga untuk menyelamatkan pemerintahan dari ancaman pengaruh komunis yang mulai terasa, khususnya di Sumatera Utara. Periksa Herbert Feith, op.cit., hal. 526. Kelompok penggarap tanah liar yang tersusupi komunis ini mendukung perwira bawahan Simbolon Letnan Kolonel Wahab Macmour yang bermarkas di Siantar untuk meninggalkan Simbolon dan mengambil alih kekuasaan militer di Sumatera Utara. Dengan demikian pada masa ini terjadi konflik politik yang diwarnai dengan pertentangan etnis dan kepentingan ekonomi sebagai akibat dari kelemahan pusat atas semua pelaksanaan program pemerintah di Sumatera Utara. Periksa, Herbert Feith, ibid., hal. 529. Nasionalisasi tersebut dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai reaksi dari gagalnya perundingan antara pemerintah RI dan pemerintah Belanda tentang penyelesaian masalah Irian Barat, di mana pemerintah Belanda tidak bersedia melepaskan wilayah Irian Barat dan menjadikannya sebagai lahan kolonisasi. Periksa Herbert Feith, op.cit., hal. 450. Periksa “Majalah Menara Perkebunan” th ke-27 Nomor 1 - Jakarta, diterbitkan oleh Perkumpulan Organisasi-Organisasi Perkebunan dan Balai Penyelidikan Perkebunan di Indonesia, Januari 1958, hal 18.
©2004 Digitized by USU digital library
35
Belanda.77 D. Tanah Negara Versus Tanah Adat Dalam konsepsi hukum tanah nasional sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 1 UUPA Nomor 5 tahun 1960 yang menyatakan: “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”. Dan dalam pasal 1 ayat 2 dinyatakan pula dengan tegas: “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Pada pasal 2 ayat 1 ditegaskan pula bahwa semua bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat. Dalam hal ini negara sebagai lembaga hukum menerima wewenang dari hukum dasar tertinggi untuk melaksanakan hak penguasaan atas tanah (medebewind). Semua tindakan yang diambil oleh negara diarahkan bagi kepentingan negara dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Wewenang ini juga bisa dijadikan sebagai sumber penghasilan negara tersebut.348 Dalam pasal 2 ayat 2 dikatakan bahwa hak penguasaan oleh negara dimaksud mencakup wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. Kemudian negara berwenang juga mengatur dan menentukan hubungan hukum antara manusia dengan air, bumi dan ruang angkasa itu. Negara juga berwenang untuk menentukan dan mengatur hubungan antara orang dan tindakan hukum yang menyangkut bumi, air dan ruang angkasa di wilayah hukumnya.78 Semua wewenang yang diberikan oleh perundangan ini kepada negara dilaksanakan dalam hubungan hukum yang bersifat publik semata-mata (publiekrechtelijk). Hak ini dijalankan oleh negara tanpa dapat ditafsirkan lain dan digunakan untuk kepentingan nasional bangsanya. Karena menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara, maka wewenang yang bersifat publik ini tidak bisa dilimpahkan kepada kekuasaan di luar negara.79
77
348
78 79
Periksa “Pelaksana Undang-Undang Nasionalisasi”, dalam Menara Perkebunan, Nomor 4, April 1959 hal. 65. Periksa penjelasan pasal 2 dari UUPA Nomor 5 tahun 1960. Dalam hal ini yang dimaksud negara adalah sebagai suatu organisasi hukum tertinggi di suatu wilayah yang mewakili dan mengontrol seluruh rakyat. Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960. Dalam penjelasan umum II, dikatakan bahwa berdasarkan wewenang hukum publik ini negara menjadi lembaga hukum tertinggi yang sah dalam menunjukan hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai. Semua penunjukan hak ini dikeluarkan dalam bentuk yuridis formal, yakni melalui pembuktian dan pengukuran lewat prosedur hukum dan dibuktikan dengan sebuah dokumen yang
©2004 Digitized by USU digital library
36
Menurut pasal 2 ayat 3 UU tersebut disebutkan bahwa wewenang penguasaan tanah oleh negara ini digunakan untuk mencapai kemakmuran rakyat sebesar-besarnya dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan masyarakat dan negara hukum Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur. Dalam ketentuan pasal perundangan ini wewenang yang dimiliki oleh negara harus disesuaikan dengan aturan-aturan hukum adat yang sejauh itu masih berlaku. Dalam hak penguasaan atas tanah ini negara juga harus menghormati hak adat tradisional (ulayat) masyarakat yang telah digarap dan dikuasai mereka, sejauh hak tradisional ini sepanjang masih ada.80 Penghormatan terhadap hak ulayat dengan menggantungkan pada syarat “sepanjang kenyataannya masih ada” ini mengandung penafsiran yang berbedabeda antara satu dengan yang lain, sehingga ada peluang bagi kemunculan konflik tentang status tanah ulayat tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan pasal 3 yang menyebutkan bahwa sepanjang kenyataan masih ada hak-hak hukum adat tradisional ini, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.81 Yang dimaksud dengan hak ulayat dan hak-hak serupa itu ialah apa yang dalam kepustakaan adat disebut beschikingrecht. Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa. Dengan demikian negara memberikan pengakuan (recognitie) atas keberadaan hak ulayat kepada mereka yang memang berhak menerimanya selaku pemegang ulayat itu. Pemegang hak ulayat ini wajib dimintai pendapat dalam proses pengalihan hak penguasaan atas tanah ini oleh negara, namun pemegang hak tidak boleh merintangi pemberian hak apabila pemberian hak penguasaan itu dipandang perlu untuk kepentingan yang lebih luas (dalam hal ini adalah hak guna usaha atau erfacht).82 Dengan ketentuan hukum yang dimuat dalam perundangan ini status hak ulayat ini di satu sisi masih diakui keberadaannya sepanjang masih bisa dibuktikan keberadaannya, namun pada sisi lain hak ulayat tersebut harus tunduk pada kepentingan nasional yang peringkatnya lebih tinggi. Dalam pembatasan yang kabur ini sering muncul perbedaan penafsiran sejauh mana hak ulayat ini bisa diperhitungkan dan dihormati dalam proses pelimpahan hak penguasaan atas tanah, khususnya yang melibatkan kepentingan negara atau kepentingan lain yang disahkan oleh negara. Negara bisa menjelaskan hak penguasaannya berdasarkan segi yuridis dengan perundangan yang ada, namun hak ulayat ini tidak memiliki ukuran keabsahan hukum yang jelas sejauh tidak bisa dibuktikan melalui fakta tertulis yang dianggap sah. Sistem penguasaan tanah menurut hukum adat ini berbeda prinsipnya
dibuat sah menurut hukum atau dikeluarkan oleh lembaga hukum yang diberi wewenang oleh negara untuk itu. 80 Periksa pasal 2 ayat 3 UUPA Nomor 5 tahun 1960; Periksa juga penjelasan umum II nomor 3. Hak ulayat ini tidak memiliki bukti yuridis formal yang sering menimbulkan kesulitan dalam penyesuaian penerapan hukum nasional tentang agraria tersebut. 81 Pasal 3 UUPA Nomor 5 tahun 1960. 82 Periksa penjelasan umum II nomor 3 UUPA Nomor 5 tahun 1960.
©2004 Digitized by USU digital library
37
dengan hukum agraria nasional yang digunakan oleh negara. Menurut hukum adat, tanah sangat penting kedudukannya dalam kehidupan masyarakat baik secara sifat maupun fakta yang ada. Menurut sifatnya, tanah merupakan satusatunya benda kekayaan yang bersifat tetap atau menguntungkan. Sistem pemilikan penguasaan tanah berdasarkan hukum adat sangat berbeda dengan hukum agraria nasional. Menurut hukum adat tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang bersifat tetap atau menguntungkan. Masyarakat adat menganggap tanah sebagai suatu kekayaan bersifat sakral dengan demikian masyarakat memberikan sifat religius magis dalam hak penguasaan tanah ini. Di sisi lain, bahwa hak ulayat itu mempunyai bentuk yang bermacam-macam, tergantung berlakunya hukum adat di seluruh wilayah Indonesia. Hukum adat berlaku keluar dan ke dalam. Berlaku keluar, pada prinsipnya yang bukan warga persekutuan tidak diperbolehkan menggarap tanah dan memungut hasil hutan yang merupakan hak persekutuan yang bersangkutan. Berlaku ke dalam, hak ulayat itu mempebolehkan semua anggota persekutuan untuk menggarap dan memungut hasil dari tanah ulayat tersebut. Hak ulayat mengenal hak turun temurun bagi anggota persekutuan yang telah mengerjakan/ menggarap tanah ulayat itu secara terus menerus. Tetapi hak ini akan hilang bila anggota persekutuan itu telah meninggalkan (salipinatartar) atau mentelantarkan tanah yang telah digarapnya itu, maka anggota persekutuan yang lain dapat mengerjakan tanah tersebut dengan seizin pengetua adat. Dalam sistem hukum tanah nasional, seseorang dapat memperoleh hak milik yang juga dapat diwarisi secara turun temurun. Namun pada dasarnya pemberian hak milik itu, berlaku untuk seluruh bangsa Indonesia yang tidak tergantung pada anggota persekutuan atau tidak. Disamping itu prosedur pemberian dan peralihan haknya dilakukan berdasarkan sistem hukum barat, misalnya berdasarkan BW/ KUH Perdata, dengan demikian dalam prakteknya selalu dapat dipertentangkan antara hak penguasaan tanah berdasarkan hulum adat dengan hak penguasaan tanah berdasarkan hukum agraria nasional atau dapat dipertentangkan antara tanah yang dikuasai negara dengan tanah adat. III. Sengketa Tanah Perkebunan PTPN-II dan PTPN-III Sumatera Utara Versus Masyarakat. Dalam rentang waktu 1960 - 2002 dapat ditemukan beberapa kasus sengketa pertanahan antara masyarakat penggarap versus perkebunan didasarkan atas sumber dari masmedia83 dan sumber dari PTPN II, PTPN III, BPN Kanwil Tk.I Sumatera Utara sebagai berikut :
A. Sengketa Karena Tuntuan Masyarakat Penggarap (Occupatie) Versus PTPN-II dan PTPN-III di Sumatera Utara.
Kasus 1 : Okupasi tanah perkebunan oleh masyarakat di PTPN-II. 83
Waspasa, Medan, 1 Juni 1977; Sinar Harapan, Jakarta, 3 Juli 1979; Waspada, Medan, 2 September 1979, 3 September 1979, 5 September 1979; Kompas, Jakarta, 8 Oktober 1979; Waspada, 2 Januari 1980; 2 Juli 1982 dan Kompas, Jakarta, 24 September 1995.
©2004 Digitized by USU digital library
38
Masyarakat Penggarap Versus PTP-IX di Perkebunan Hamparan Perak, Sunggal, Pancurbatu, Batang Kuis, Percut, Stabat dan Medan Denai (Tahun 1979). Kasus 2 : Okupasi tanah perkebunan oleh masyarakat di PTPN-III. Sengketa Kebun Bandar Betsy PTPN-III Versus Masyarakat Penggarap (1965 - 2000).
B. Sengketa Karena Tuntutan Hak Ulayat Masyarakat Penunggu (BPRPI) Versus PTPN-II Sumatera Utara.
Kasus1 : BPRPI, Kampung Patumbak, Mariendal, Sungai Semayang, Paya Bakung, Medan Estate dan Sempali Versus PNP-IX Yang Terdaftar Dalam Perkara Pidana No. 402/1968/K. (Tahun 1968). Kasus 2 : BPRPI Sumatera Utara, Kampung Tanjung Mulia Versus PTPN-II (Tahun 1999).
C. Sengketa Karena Tuntutan Perumahan dan Perkarangan EksKaryawan Pensiunan Perkebunan Versus PTPN-II Sumatera Utara.
Kasus : Tuntutan Eks-Karyawan Pensiunan PTPN-II, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat dan Kotamadya Binjai Terhadap Rumah dan Perkarangan Tempat Tinggal Mereka.
IV. Pencetus Timbulnya Sengketa Tanah PTPN-II dan PTPN-III Versus Masyarakat.
A. Konflik Kepentingan. Konflik kepentingan antara pemerintah, perkebunan dan rakyat atas tanah berdasarkan historis terjadi karena adanya kompleksitas persoalan pertanahan yang disebabkan oleh adanya penduduk yang heterogen, yaitu yang terdiri atas suku Melayu, Batak Karo dan Simalungun. Disamping itu ada suku Jawa, bekas kuli kontrak dan golongan Cina. Konflik kepentingan muncul antara penduduk Melayu, Batak Karo dan Batak Toba terhadap tanah diaareal perkebunan, dimana masing-masing bertindak sebagai petani penggarap (konflik horizontal) dan adanya kepentingan pihak pengusaha perkebunan untuk mempertahankan areal konsesi atau hak Erfacht/ HGU mereka, yang bernuansa ekonomi untuk memperoleh keuntungan (konflik vertikal). Disamping itu muncul kepentingan pengusaha untuk menertibkan para penggarap diatas tanah perkebunan. dalam rangka membangun perekonomian sebagai negara yang baru merdeka, pemerintah cenderung untuk melindungi pihak pengusaha perkebunan daripada rakyat penggarap. kenyataan ini akhirnya menimbulkan sengketa diantara pihak rakyat penggarap, pemerintah dan pengusaha perkebunan. Konflik antara rakyat penggarap dengan pengusaha perkebunan juga tidak terlepas dari akibat pendudukan Jepang yang memberikan izin kepada rakyat untuk menggarap tanah perkebunan.
©2004 Digitized by USU digital library
39
Dilain pihak sengketa pertanahan terjadi karena adanya rivalitas politik di Sumatera Timur sebagai dampak pendudukan Belanda pada masa RIS (19471949) dan pembentukan negara bagian Sumatera Timur sehingga terjadi pertentangan antara kaum Republik dengan kaum Federalis. Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, konflik antara pemerintah, pengusaha perkebunan dan rakyat berlangsung sampai pemerintahan Orde Baru dan berlanjut sampai adanya reformasi.
B.
Sulitnya Penyelesaian Sengketa dan Munculnya Sengketa Baru.
Dari uraian beberapa kasus tersebut di atas, dapat kita kategorikan karakteristik sengketa pertanahan di areal perkebunan PTPN-II dan PTN-III adalah adanya berbagai tuntutan masyarakat antara lain : I. Tuntutan Badan Rakyat Penunggu Republik Indonesia (BPRPI), terhadap areal PTPN-II, agar diberikan lahan tanah jaluran, berdasarkan hak ulayat masyarakat adat Melayu . II. Tuntutan masyarakat penggarap terhadap tanah di areal perkebunan PTPN di Sumatera Utara . III.Tuntutan karyawan eks PTPN-II, terhadap areal perkebunan tentang tapak perumahan dan lahan pertanian, yang digugat untuk dilepaskan dari areal HGU dan dibagikan kepada eks karyawan. IV.Dan lain-lain . Sedangkan kasus sengketa Hak Guna Usaha PTPN-III di Kabupaten Deli Serdang Perkebunan Bandar Betsy, Perkebunan Sei Putih, Perkebunan Silau Dunia, Perkebunan Rambutan, Perkebunan Gunung Pamela dan di Kabupaten Labuhan Batu seperti Perkebunan Rantau Prapat, Perkebunan Aek Torop dan Perkebunan Aek Nabara adalah : I.
Tuntutan para penggarap terhadap areal Perkebunan berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954 dan SK Landreform No. 4/II/10/LR/PP, No.2/II/ LR/ 65/ PP. II. Tuntutan para penggarap berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, Undang-Undang No 51 Prp Tahun 1960. III. Tuntutan para penggarap Kartu Pendaftaran Tanah dikeluarkan Assisten Wedana 1 Desember 1954. IV. Tuntutan para penggarap Kelompok Reformasi berdasarkan telah menggarap sejak tahun 1942. Tuntutan ini tidak didasari oleh undangundang atau tanpa alas hak yang sah. V. Tuntutan para penggarap berdasarkan telah menggarap tahun 1942 atas perintah militer Jepang. Tuntutan ini tidak didasari oleh undang-undang atau tanpa alas hak yang sah. Secara umum dari beberapa kasus tersebut diatas dapat dianalisa, bahwa tindakan penggarapan yang dilakukan oleh masyarakat diatas tanah perkebunan, terjadi karena adanya perbedaan persepsi tentang hak menguasai negara dengan hak ulayat masyarakat adat. Dalam pasal 2 UUPA ditegaskan bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi di kuasai oleh negara, tetapi disisi lain dalam pasal 3 menegaskan, bahwa hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari
©2004 Digitized by USU digital library
40
masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada tetap diakui. Dari kedua ketentuan tersebut di atas, berarti didalam UUPA terdapat dua sistim hukum yang berbeda mengenai hak menguasai terhadap tanah. Keadaan ini menimbulkan terjadinya conflicten recht/perselisihan hukum, maka dalam hal ini perlu ditegaskan tentang apa yang menjadi peraturan hukum atau hukum mana yang berlaku mengenai suatu hubungan hukum yang terjadi dalam suatu peristiwa hukum yang memuat unsur-unsur yang dapat menyangkutkan dua atau lebih sistim hukum yang berlaku. Contohnya kasus antara BPRPI versus PTPN-II, BPRPI menggugat tanah jaluran yang bersumber dari hukum adat diatas areal PTPN-II, sedangkan PTPN-II mempertahankan haknya berdasarkan HGU yang dikeluarkan Menteri Agraria berdasarkan UUPA. Pemberian HGU kepada PTPN-II oleh negara didasarkan atas pasal 2 UUPA, tetapi secara yuridis tindakan ini harus memperhatikan pasal 3 dan pasal 5 UUPA. Namun dalam pelaksanaannya ternyata hak ulayat masyarakat adat diabaikan sama sekali. Pemerintah dan PTPN-II tidak melakukan musyawarah dengan masyarakat adat setempat, ataupun tidak memberikan recognitie sebagai konstribusi kepada masyarakat, dengan adanya HGU di atas tanah ulayat mereka. Dari kasus ini Pemerintah hanya menentukan hukum yang berlaku dalam konflik tersebut, hanya bersandar pada pasal 2 UUPA, sedangkan pasal 3 dan pasal 5 UUPA dikesampingkan. Konflik antara hukum negara (UUPA) dan hukum adat/tradisi tak tertulis, terjadi karena hukum negara yang tertulis dan disistematisasi dalam UUPA, tidak melestarikan tatanan tradisi masyarakat adat/lokal yang lama, dengan cara mengakomodasi tradisi dan hukum adat lokal ke dalam UUPA. Tetapi hanya mendekonstruksi serta merekonstruksi tatanan-tatanan institusional yang ada atau bahkan untuk menggantikannya dengan yang baru dalam rangka mengupayakan unifikasi hukum tanah. Maka dalam praktek penegakan UUPA terdapat selisih paham mengenai keberadaan hukum itu legal gaps, yaitu selisih pahaman dan atau keyakinan masyarakat antara apa yang dikehendaki oleh pelaksana administratur negara agar dipatuhi dengan apa yang masih diyakini dan dipatuhi oleh masyarakat, sebagai tradisi sehari-hari oleh masyarakat setempat. Legal gaps terjadi karena substansi pasal 2 UUPA, mengenai hak menguasai negara, tidak ada membatasi secara tegas tentang sejauh mana hak menguasai negara itu dapat berlangsung. Apabila dikaitkan dengan pasal 3 UUPA yang mengakui hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada, juga tidak dirumuskan persyaratan-persyaratan yang konkrit sebagai elemen-elemen untuk menentukan ada tidaknya hak ulayat. Disamping itu pasal 5 UUPA hanya merumuskan hukum adat secara umum dan abstrak, dengan menyebutkan hukum adat “sebagai hukum asli” yang sesuai dengan kesadaran hukum rakyat banyak dan yang sesuai dengan Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Perumusan ini menimbulkan legal gaps antara keyakinan masyarakat dengan apa yang dikehendaki oleh pemerintah. Keyakinan hukum masyarakat adat lokal tidak sama dengan keyakinan dan kehendak pemerintah. Kondisi inilah yang menyebabkan sengketa pertanahan sulit diselesaikan, walaupun ada kalanya dapat diselesaikan dengan pemaksaan kehendak namun sengketa cenderung akan muncul kembali. Pelaksanaan UUPA dalam prakteknya dilakukan secara universal, tanpa memperhatikan hukum yang hidup (Living law) dalam masyarakat tertentu.
©2004 Digitized by USU digital library
41
Sehingga pada masyarakat Sumatera Timur yang masih mengakui adanya hak ulayat, penerapan dan pengertian dari sistim hukum tersebut, di kalangan masyarakat adat masih kabur. Disamping itu model dalam penerapan UUPA dan kebijakan-kebijakan pemerintah, hanya diberikan oleh pembuat undang-undang kepada pelaksana hukum, dengan mekanisme kontrol penerapan sanksi, atas pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat. Tanpa mempertimbangkan kenyataan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Ternyata sanksi hukum tidak dapat menghentikan sengketa pertanahan, baik tuntutan berdasarkan hak ulayat, maupun tuntutan berdasarkan okupasi tanah yang telah dilakukan secara terus-menerus dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Penggarapan di atas tanah perkebunan oleh masyarakat adat maupun oleh petani penggarap terus berlangsung, walaupun sudah banyak peraturanperaturan dan kebijakan pemerintah yang dikeluarkan untuk mengantisipasi agar tidak terjadinya tindakan penggarapan, baik dari BPRPI maupun dari para petani penggarap. Sengketa pertanahan di Sumatera Utara sampai sekarang belum dapat diselesaikan secara tuntas karena permasalahan yang dihadapi sangat rumit sehubungan dengan sejarah keberadaan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang berlaku di Sumatera Utara khususnya mengenai sengketa tanah perkebunan yang antara lain sebagai berikut : 1. Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954 Tentang Soal Pemakian Tanah Oleh Rakyat. 2. Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya. Kedua peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah tersebut, silih berganti telah terjadi perubahan Perundang-undangan dan kebijakan mengenai tanah perkebunan, baik yang dilakukan secara fundamental maupun secara tambal sulam. Menurut Solly Lubis, bahwa konseptualisasi yang tidak mendasar dan tanpa perkiraan strategis, dapat menimbulkan perundang-undangan yang bersifat tambal sulam dengan daya atur yang kurang tahan lama. Sebagai contoh, undang-undang agraria bukan sekedar fenomena hukum dan produk politik pertanahan, tetapi juga mempunyai dimensi ekonomis, sekaligus dimensi budaya seperti misalnya tanah ulayat dan tanah jaluran. Dimensi politik penataan pendidikan dan penggunaan tanah sebagai jawaban terhadap politik pertanahan di masa kolonial yang melihat tanah sebagai penguasa dan ekonomi kuat. Melalui pendekatan kultural pembinaan hukum dilihat bukan sekedar pergeseran waktu dari zaman kolonial ke zaman kemerdekaan, tetapi adalah juga pergeseran nilai yang kita anut kedalam kontstruksi hukum nasional.84 Sehubungan dengan pendapat tersebut diatas, pelaksanaan UUPA No. 5 Tahun 1960. Khusus mengenai keberadaan hukum adat tentang hak ulayat dan tanah jaluran di areal perkebunan PTPN Sumatera Utara, ternyata tidak taat azas, bahkan bertentangan dengan filosofi hukumnya. Pemahaman atas unsur filosofis UUPA No. 5 Tahun 1960, memegang peranan sentral sebagai pemahaman dan penilaian yang benar atas semua peraturan hukum yang bersangkutan dengan tanah. Selama pemahaman atas filosofis 84
Solly Lubis, Serba-Serbi Politik dan Hukum, (Bandung : Mandar Madju, 1989), hal 48-49 .
©2004 Digitized by USU digital library
42
UUPA yang bersumber pada filosofis adat, tidak dipahami dengan baik, maka kerancuan dan pertentangan norma dalam penerapan hukumnya akan terus berlangsung. Kerancuan ini berdampak pada sistem administrasi dan sistem pertanahan yang akhirnya akan menimbulkan rasa tidak puas dari masyarakat, karena bertentangan dengan rasa keadilan. Kenyataan ini berlangsung sampai saat sekarang, karena para penegak hukum mengabaikan pemahaman tentang filosofis hukum adat tanah, sebagai dasar UUPA No. 5 Tahun 1960. Dalam praktek, penafsiran atas norma hukum UUPA sering dilandaskan hanya pada Hukum Barat (BW/KUHPerdata). Oleh karena itu, ketika berhadapan dengan persoalan tanah, maka sumber jawaban selalu dicari pada BW/KUHPerdata, dengan prakyek Administrasi Kolonial Belanda yang Kolonialis. Jika berpegang pada filosofis Hukum Barat, maka jiwa UUPA telah dihancurkan, dimana penegak hukum menempatkan dirinya sebagai lawan, dan bukan fasilitator atas aspirasi rakyat. Hal ini berdampak pada pertentangan antara masyarakat dengan penguasa yang sukar mencari penyelesaiannya. Sebabnya adalah karena adanya perbedaan sumber inspirasi norma hukum yang berbeda dan saling bertentangan antara sumber yang digunakan, antara sumber yang digunakan para penegak hukum yaitu hanya sebatas hukum positif (ius constitutum ) dengan persepsi dan aspirasi masyarakat, tentang bagaimana seharusnya hukum tanah itu harus dilakukan (ius constituendum) diterapkan. Seyogyanya, beberapa peraturan yang terkait mengenai penyelesaian sengketa pertanahan, yang diterbitkan sebagai peraturan pelaksanaan dari UUPA. Untuk menyelesaikan sengketa antara masyarakat adat dan petani penggarap dengan PTPN, harus dibuat sesuai dengan jiwa/filosofis dari UUPA secara mendasar dan menyeluruh. Tidak dilakukan hanya secara praktis dan pragmatis yang hanya mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak, sesuai dengan tuntutan yang terjadi pada suatu saat tertentu, misalnya hanya memandang kepentingan pembangunan ekonomis dan kepentingan pengusaha besar, yakni misalnya kepentingan pengusaha perkebunan PTPN. Keberadaan peraturan yang dibuat atas dasar kepentingan yang mendesak/darurat, misalnya Undang-Undang Darurat Prp. No.56 Tahun 1951 dan beberapa peraturan lainnya yang terkait, sudah barang tentu sukar untuk diterapkan, bahkan selalu menimbulkan ketidakpuasan masyarakat (penggarap) karena bertentangan dengan rasa keadilan.Tetapi dengan berlakunya peraturan tersebut, yang masing-masing telah menimbulkan akibat hukum dan menimbulkan hak tertentu bagi masyarakat maupun pihak perkebunan. Akibat hukum yang ditimbulkan, dengan sendirinya hapus, walaupun telah terjadi perubahan perundang-undangan maupun kebijakan. Oleh karena itu, hak-hak masyarakat yang telah ada akibat dari undangundang yang terdahulu masih tetap melekat, sepanjang undang-undang yang baru belum dapat menyelesaikannya sesuai dengan aturan peralihan yang ada dalam undang-undang tersebut. 3. Pedoman Menteri Agraria No.1 Tahun 1960, Tentang Penyelesaian Sengketa Pemakaian Tanah Perkebunan di Sumatera Timur. Berdasarkan Pedoman Menteri Agraria No.1 Tahun 1960, Tentang Penyelesaian Sengketa Pemakaian Tanah Perkebunan di Sumatera Timur, antara lain mengatur bagi orang-orang pemakai tanah perkebunan yang
©2004 Digitized by USU digital library
43
termasuk golongan yang dilindungi oleh Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, dipindahkan ke tempat-tempat penampungan yang telah disediakan bagi mereka. Penampungan bagi orang-orang tersebut diusahakan sedemikian rupa, sehingga mereka ditempat yang baru itu mendapatkan mata pencaharian, sebagai buruh perkebunan atau petani untuk kepentingan hidupnya dan tempat pekarangan yang cukup luas. Tiap-tiap keluarga petani yang dipindahkan mendapat pembagian tanah pertanian, yang menjamin hidupnya secara layak. 85 Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas bahwa bagi penggarap tanah perkebunan tetap dilindungi, dan tidak dapat digusur dengan begitu saja oleh pihak perkebunan. Namun dalam pelaksanaannya, ternyata masyarakat adat dengan tuntutan hak ulayatnya dan petani penggarap, yang dilindungi dengan Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, banyak yang tergusur, bahkan mengalami intimidasi dari penguasa perang ketika itu. Misalnya penguasa pelaksana DWIKORA daerah Sumatera Utara. Di samping itu, Pedoman Menteri Agraria tersebut menegaskan bahwa, untuk tanah jaluran yang menimbulkan persengketaan yang tak habis-habisnya antara rakyat penunggu, buruh/tani dan Perkebunan. Mengingat makin bertambah kecilnya tanah jaluran, berhubung adanya wens-areal, maka adanya persediaan tanah itu tidak cukup lagi untuk dibagi diantara mereka yang menghendakinya. Oleh karena itu, pembagian tanah jaluran harus segera dihapuskan86. Ketentuan tersebut dilanjutkan dengan Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria No. II Tahun 1963, yang menegaskan bahwa : tanah-tanah jaluran yang ada setelah wens-areal perkebunan-perkebunan yang bersangkutan, ditetapkan tidak boleh dibagi lagi menurut cara yang lama. 4. Pedoman Tentang.
Menteri
Pertanian dan
Agraria
No. II
Tahun
1963
Menurut Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria No. II Tahun 1963, yang mendapatkan tanah jaluran adalah sebagai berikut : a. b. c. d.
Yang berhak adalah rakyat petani saja, tidak termasuk buruh perkebunan. Harus digarap sendiri. Izin penggarapan hanya berlaku untuk satu tahun panen. Penyelenggaraan pembagiannya, misalnya penentuan siapa rakyat petani, luas tanah, letak tanah dilakukan oleh Panitia Landreform daerah tingkat II.
Dengan keluarnya Peraturan Menteri Agararia No.1 Tahun 1960 jo. Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria No. II Tahun 1963, maka dengan tegas keberadaan tanah jaluran sudah dihapus atau tidak boleh lagi dibagi menurut cara yang lama. Ketentuan ini menimbulkan penafsiran yang berbeda dari kalangan masyarakat, ada yang berpendapat tanah jaluran sudah dihapuskan dan ada yang berpendapat bahwa tanah jaluran masih
85 86
Lihat Pedoman Menteri Agraria No. 1 Tahun 1960, bahagian II angka 2 . Ibid bagian V.
©2004 Digitized by USU digital library
44
tetap ada, cuma saja pembagiannya menurut cara yang lama.
harus dirubah, dan tidak dibenarkan
Menurut Mariam Darus, isi Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria No. II Tahun 1963 itu dapat diketahui, bahwa tanah jaluran bukan dihapuskan, tetapi yang menggunakannya atau yang berhak menggarapnya bukan saja rakyat penunggu, tetapi rakyat petani. Dengan perluasan itu maka tidaklah dapat disimpulkan bahwa pedoman itu meniadakan rakyat petani penunggu, tetapi malahan menegaskan, bahwa rakyat petani inklusief, rakyat petani penunggu berhak memakai tanah jaluran87. Berdasarkan pendapat Mariam Darus tersebut, dapat disimpulkan bahwa materi/objek tanah jaluran tetap ada, tetapi hanya materi subjeknya ( penggarap) yang berubah. Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria No. II Tahun 1963 tersebut, kemudian dilanjutkan dengan Surat Keputusan Panitia Landreform Daerah Tk. I. Provinsi Sumatera Utara, tanggal 19 Februari 1964 No. SK I/LR/1964, Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Bekas Tanaman Tembakau/ Tanah Jaluran . Pedoman pelaksanaan itu menentukan dengan singkat adalah : 1. 2. 3. 4.
Petani ialah orang baik yang mempunyai tanah sendiri, yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah pertanian. Petani itu bertempat tinggal di desa yang terdekat dengan perkebunan tembakau dan dalam satu kecamatan dengan kebun yang bersangkutan. Luas tiap bagian adalah 1/2 Ha. Pengusahaan tanah oleh petani berlaku untuk selama 6 bulan.88
Perkembangan selanjutnya berdasarkan SK Panitia Landreform Provinsi Sumatera Utara No.961/LR/I/1969, tanggal 26 September 1969, tentang Pedoman Pengosongan Tanah Garapan Rakyat dalam areal perkebunan. Ditentukan dengan tegas bahwa pengosongan harus terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan pihak rakyat penggarap yang bersangkutan. Kepada penggarap diberitahukan semua fasilitas ganti rugi dan penampungan sesuai dengan Ketentuan Peraturan-Peraturan yang ada yang akan diterima mereka akibat pengosongan.89 Ketentuan dari Panitia Landreform tersebut diatas dengan jelas menegaskan bahwa pengosongan tanah garapan rakyat di areal perkebunan harus dilakukan dengan musyawarah dan bagi mereka yang terkena pengosongan harus diberi ganti rugi dan penampungan. Namun dalam praktek, ketentuan ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, sehingga menimbulkan sengketa antara penggarap dengan pihak Perkebunan.
5. Keputusan Menteri Agraria No: SK.24/HGU/1965 Tentang Pemberian Hak Guna Usaha Pada PPN Tembakau Deli Sumatera Timur.
Dalam Konsideran keputusan tersebut, menunjukkan bahwa PPN Tembakau Deli Sumatera Timur, Daerah Tingkat I Sumatera Utara yang semula mempunyai areal keseluruhan seluas ± 250.000 Ha, telah 87
Mariam Darus, Dalam Mahadi, Sedikit “ Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur Tahun 1800-1975 , (Bandung Alumni, 1976),hal 166 . 88 Lihat Mahadi, Sedikit “ Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur ( Tahun 1800 - 1975 ) , Alumni, Bandung, 1976, hal 169 89 Lihat SK Panitia Landreform Provinsi Sumatera Utara, No.961/LR/1969, bagian I dan II
©2004 Digitized by USU digital library
45
dipersempit menjadi ± 59.000 Ha, yang disebabkan antara pendudukan/ penggarapan oleh rakyat diatas areal tersebut.
lain,
adanya
Dalam pertimbangannya juga menyebutkan bahwa, Surat Keputusan itu adalah merupakan landasan hukum berupa pemberian Hak Guna Usaha atas wens-areal seluas ± 59.000 Ha, kepada PPN Tembakau Deli Sumatera Timur, Daerah Tingkat I Sumatera Utara, dan menegaskan bahwa sisa tanah seluas ± 191.000 Ha, dijadikan sebagai objek Landreform, dengan tidak mengurangi kepentingan PPN Tembakau Deli. Dalam Diktum keputusan tersebut pada Penetapan Ketiga Bagian VI dan VII, menegaskan bahwa tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha ini harus diusahakan secara layak menurut norma-norma yang berlaku, dan harus diusahakan sendiri oleh pemegang haknya dan dilarang untuk diserahkan kepada pihak lain baik secara persewaan ataupun bentuk serah pakai lainnya. Dalam Ketentuan ini, tidak dijumpai lagi istilah tanah jaluran. Mahadi menafsirkan bahwa istilah tanah jaluran, termasuk kedalam pengertian serah pakai dalam ketentuan tersebut, namun dipertanyakan bagaimana dari segi hukumnya? Menurut Mahadi, hak tanah jaluran yang merupakan penjelmaan hak ulayat, telah dipraktekkan oleh pihak perkebunan asing selama 100 tahun, dan telah mendapat pengakuan dalam perundangundangan. Tentu tidak dengan begitu saja hak tanah jaluran dapat hapus dengan suatu perumusan umum dalam suatu SK Hak Guna Usaha.90 Kebijakan pemerintah Sumatera Utara mengenai status tanah jaluran di areal perkebunan tembakau Deli, Sumatera Timur, setelah keluarnya SK Menteri Agraria No. 24/HGU/1965 mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara No.370/III/SU/1968 menyatakan, “sambil menunggu pengesahan Menteri Dalam Negeri ditetapkan Pertama, penggarapan tanah jaluran ditiadakan. Kedua, mewajibkan PNP-IX menanami tanah jaluran dengan padi”. Menteri Dalam Negeri dengan suratnya tanggal 20 Oktober 1968 No. S.D. 16/3/8 menyetujui surat keputusan Gubernur Sumatera Utara tersebut, dengan catatan bahwa untuk petani penggarap/penunggu yang mata pencahariannya pokoknya adalah mengusahakan tanah pertanian dapat disediakan tempat penampungan. Berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri tersebut dapat ditafsirkan bahwa tempat penampungan bagi para petani penggarap digantungkan kepada syarat bagi mereka yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah pertanian, bukan didasarkan atas hak ulayat masyarakat penunggu. Maka dengan demikian hak adat dijadikan hak ekonomis. Hal ini berarti menampikkan keberadaan hukum adat, sehingga menimbulkan persengketaan diantara masyarakat penunggu dengan pihak perkebunan. 6. Surat Keputusan Gubernur No. 370/ III/ SU/ 1968. Keputusan Gubernur Sumatera Utara antara lain : 1). Penggarapan tanah jaluran dalam areal Perusahaan Negara Perkebunan IX (Sekarang PTPN-II) di daerah Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten
90
Mahadi op cit , hal 169.
©2004 Digitized by USU digital library
46
Langkat, baik oleh rakyat petani maupun rakyat petani bersama-sama dengan karyawan PNP, ABRI, Pegawai Negeri ditiadakan. 2). Mewajibkan PNP-IX (PTPN-II) untuk mengolah dan menanami tanah kosong bekas tanaman tembakau yang sedianya diperuntukkan buat tanah jaluran di dalam PNP itu dengan tanaman padi, dengan ketentuan : a. Teknik dan cara pengolahan dan tanamannya dilakukan oleh PNP-IX (PTPN-II) dengan memakai peralatan dan tenaga karyawannya sendiri; b. Hasil padi yang diperoleh dari penanaman itu diperhitungkan dengan jatah beras buat PNP-IX (PTPN-II) dan tidak diperkenankan diperjualbelikan kepada atau oleh pihak lain; c. Apabila mendapat kelebihan setelah dikurangi jumlah jatah beras PNP IX (PTPN-II) buat setahun, maka kelebihan itu akan diatur penggunaannya oleh Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara, Sejak keluarnya Surat Keputusan Gubernur No. 370/III/SU/1968 telah banyak menimbulkan perdebatan pro dan kontra mengenai keberadaan tanah jaluran di areal perkebunan, antara lain dapat dicatat perdebatan antara Mariam Darus Badrulzaman, S.H dengan Sarbaini Ghazaly, S.H.91 Menurut Mariam Darus, tanah jaluran adalah hak rakyat berdasarkan hukum adat dan merupakan manifestasi dari hak ulayat, sedangkan menurut Sarbaini tanah jaluran itu lahir dari goodwill konsesionaris. Lembaga Hak Asasi Manusia Sumatera Utara menolak Keputusan Gubernur Sumatera Utara yang menghapuskan tanah jaluran. Keputusan itu dinyatakan tidak sah dan bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku. Penangkapan-penangkapan terhadap 200 orang petani penggarap yang dilakukan oleh alat negara supaya dihentikan.92 BPRPI Sumatera Utara, juga menentang Keputusan Gubernur tersebut, dengan mengatakan suatu perkosaan terhadap hak adat dan hukum adat dari rakyat setempat dan untuk kesalahan ini mendesak pemerintah agar Gubernur diturunkan dari jabatannya.93 Protes terhadap Keputusan Gubernur terus berkembang dalam masyarakat Sumatera Utara. Pada tanggal 21 dan 22 September 1968, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara mengadakan seminar tanah jaluran . Dengan tujuan : 1. Menghidangkan uraian ilmiah tentang pertanyaan “Apa sebenarnya tanah jaluran itu?“. 2. Berusaha dalam batas-batas kemungkinan, untuk menentukan sifat tanah jaluran dalam rangka : a. Tertib hukum sebelum Perang Dunia Kedua. b. Tertib hukum sesudah tanggal 17 - 8 - 1945, hingga sampai saat berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria.
91
Lihat Pajakun Nawi, Sejarah Tembakau Deli, Skripsi Fakultas Hukum USU, Medan,1972. Periksa, arktikel “Putusan Gubernur Sumatera Utara Ditolak?”, dalam harian Duta Masyarakat, 13 Agustus 1968. 93 Periksa, artikel “Tanah Sumatera Bagian Timur Gubernur Didesak Turun”, dalam harian Duta Masyarakat, 26 Juli 1968. 92
©2004 Digitized by USU digital library
47
c. Undang-Undang Pokok Agraria 1960, sampai tanggal dikeluarkannya
surat Hak Guna Usaha untuk P.P.N. Tembakau Deli ( Keputusan Menteri Agraria 10 - 6 - 1965 No. SK 24/ H.G.U./65). 3. Sampai dimana tanah jaluran dapat dipertahankan dalam kepentingan nasional dan Rencana Pembangunan Lima Tahun. 4. Seandainya tanah jaluran perlu ditiadakan, maka hendaknya disarankan : a. Siapa yang berhak meniadakannya. b. Cara meniadakannya. c. Dimana perlu mencadangkan syarat-syarat.94 Menurut A. P. Parlindungan menyatakan bahwa, hukum adat yang berlaku bagi tanah jaluran adalah hukum yang berurat berakar dalam kehidupan rakyat dan setiap tekanan atau penghapusan akan dirasakan oleh rakyat sebagai perkosaan hak-hak mereka dan mereka akan merasa ketidakadilan yang tidak berkeputusan. Penghapusan dapat dilakukan dengan musyawarah dengan pihakpihak yang bersangkutan.95 Disisi lain Mariam Darus juga mengatakan bahwa tanah jaluran adalah lembaga adat dan secara deklaratif ditegaskan dalam akta-akta konsesi, tanah jaluran sebagai lembaga adat mendapat tempat dalam UUPA No. 5/ 1960 dan penghapusan tanah jaluran hanya sah apabila :
a. Ditinjau dari aturan-aturan negara bertentangan dengan kepentingan nasional dan yang berhak menentukan apakah lembaga adat ini bertentangan dengan kepentingan nasional ialah rakyat melalui undang-undang (DPR). b. Ditinjau dari hukum adat hanya sah apabila ditetapkan oleh masyarakat hukum itu sendiri.96
Hasil keputusan seminar tanah jaluran tersebut, yang direkomendasikan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dapat dicatat antara lain sebagai berikut : 1.
2.
3.
Surat Keputusan Menteri Agraria No. 24/ HGU/ 65 adalah ketetapan yang dalam hukum Administratif mengatur hubungan hukum antara negara dan P.P.N Tembakau Deli, jadi tidak mengatur hak orang lain, sehingga dengan demikian surat keputusan itu tidak mungkin menghapuskan hak rakyat penunggu sebagai pihak ketiga, apalagi hak rakyat penunggu itu berdasarkan hukum adat. Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 370/ III/ GSU tanggal 16 Juli 1968 tidak mempunyai akibat hukum. Pemakaian tanah jaluran dapat dilangsungkan tanpa merugikan perkebunan, asal diatur secara khusus dengan peraturan yang khusus. Seandainya ada kepentingan yang lebih tinggi/nasional hak rakyat penunggu sebagai lembaga hukum adat, perlu dihapuskan maka jalannya ialah : a. Masyarakat hukum adat itu sendiri menghapuskannya.
94
Mahadi, Op cit, hal 172 - 173 . Pendapat A.P Parlindungan disampaikan pada Seminar Tanah Jaluran tanggal 21 dan 22 September 1968 di Fakultas Hukum USU Medan. 96 Disampaikan Mariam Darus dalam Seminar Tanah Jaluran, tanggal 21-22 September 1968 di Fakultas Hukum USU, Medan. 95
©2004 Digitized by USU digital library
48
b. Undang-undang dengan mengadakan masa peralihan dan pengaturan terhadap
akibat-akibat dari penghapusan itu.97
Kenyataannya dalam praktek, walaupun sudah ada hasil seminar mengenai tanah jaluran yang telah direkomendasikan kepada pemerintah pusat maupun daerah, sengketa pertanahan mengenai hak ulayat/ tanah jaluran di areal perkebunan di Sumatera Utara, masih terus berlanjut, terbukti dengan adanya Perkara Pidana No.402/1968/K 98. Dan sampai sekarang, sengketa pertanahan mengenai hak ulayat/ tanah jaluran, masih terus berlangsung, dengan segala aspek dan perkembangannya. Penyelesaian sengketa pertanahan di areal perkebunan yang dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, sampai sekarang belum dapat diselesaikan secara tuntas oleh pemerintah daerah Sumetara Utara99, bahkan situasinya sejak adanya reformasi tahun 1998, sampai sekarang, sengketa tanah perkebunan di Sumatera Utara semakin runyam, karena munculnya penggarap-penggarap baru yang berdalih demi refomasi menduduki areal perkebunan.100 Analisa dan evaluasi dari uraian masalah terjadinya konflik dan sengketa pertanahan yang terjadi di Sumatera Utara, dari catatan sejarah, dapat dilihat sebagai suatu bukti bahwa permasalahan hak penguasaan atas tanah tidak bisa begitu saja diatasi dan diselesaikan. Konflik yang muncul dari sengketa ini secara periodik akan muncul sebagai akibat adanya benturan kepentingan yang terjadi antara pihak-pihak yang menghendaki penguasaan lahan. Konflik ini bisa bersifat vertikal maupun horizontal. Namun dalam disertasi ini pola yang nampak sejak masa kolonial hingga pemerintahan Orde Baru, konflik yang paling banyak terjadi adalah konflik vertikal, khususnya antara pihak petani penggarap tanah dan pihak perusahaan perkebunan. Dalam bab-bab sebelumnya telah diungkapkan bagaimana proses dan pola konflik vertikal tersebut terjadi sejak zaman kolonial (masa berlakunya Agrarische Wet 1870) hingga munculnya UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Namun kesemua peraturan itu tidak berjalan secara efektif, disebabkan fakta yang disebutkan di atas. Kondisi ini cenderung telah membentuk perilaku hukum masyarakat baik BPRPI, Petani penggarap maupun pihak pengusaha perkebunan menjadi sama-sama tidak mematuhi hukum. Ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum yang berlaku adalah karena adanya legal gaps. Meskipun adanya penerapan sanksi-sanksi hukum secara formal, masyarakat dan perkebunan ternyata tidak mematuhi, karena masingmasing pihak bertahan dengan keyakinan hukum mereka masing-masing. Perbuatan hukum yang ilegal itu terus berlangsung, sepanjang pemerintah tidak mengupayakan informasi hukum dan penyuluhan hukum kepada masyarakat. Ilegalitas perbuatan yang dilakukan masyarakat terus berlangsung dalam 97
Lihat keputusan Seminar Tanah Jaluran, tanggal 22 September 1968, pada point IV, V, VI dan VII. Mengenai kasus tersebut, telah diuraikan dalam diskripsi kasus. 99 Periksa kasus areal Perkebunan PTPN-II, III dan IV, Mengenai Penggarapan yang dilakukan oleh petani penggarap, BPRPI , dan ex-karyawan perkebunan, yang sampai sekarang belum dapat diselesaikan . 100 Tuntutan rakyat penggarap yang mengakui sebagai petani berdasarkan reformasi 1998, yang saat ini semakin marak terjadi di beberapa areal perkebunan. 98
©2004 Digitized by USU digital library
49
waktu yang cukup panjang sampai saat ini. Akibatnya mempengaruhi sikap perilaku masyarakat (legal behavior) yang tidak mematuhi hukum dan bertambahnya kuantitas masyarakat penggarap dari waktu ke waktu, disebabkan karena tidak efektifnya hukum yang berlaku. Hukum telah kehilangan fungsi sebagai alat kontrol sosial dari pemerintah dan tidak berhasil untuk mendorong prilaku yang berguna, atau mencegah terjadinya penggarapan tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya. Pada kasus-kasus yang dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa semua peraturan dan kebijakan pemerintah yang telah ada tidak dapat dilaksanakan atau telah menjadi peraturan hukum yang mati (dead letter). Perubahan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh pemerintah secara tambal sulam, cenderung hanya untuk kepentingan birokrasi dan kepentingan pengusaha perkebunan. Musyawarah yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, pihak perkebunan dan masyarakat hanya bergantung pada persepsi penguasa hingga penerapan sanksi menjadi terbatas pada masyarakat sebagai petani penggarap. Faktor politik dan ekonomi merupakan salah satu faktor terjadinya sengketa pertanahan di Sumatera Utara dan merupakan salah satu faktor sulitnya menemukan penyelesaian sengketa tersebut, dimana sengketa lama belum dapat diselesaikan, tetapi sengketa baru selalu muncul kembali. Adanya persaingan politik (rivalitas politik) sejak zaman kesultanan dan zaman kolonial sampai sekarang, merupakan salah satu penyebab timbulnya sengketa yang sulit diselesaikan. Pada masa kesultanan adanya persaingan antara sultan dan pemerintah kolonial dalam mempengaruhi masyarakat khususnya, mengenai perlindungan hak ulayat masyarakat yang berada di areal konsesi onderneming. Pada mulanya sultan dan pengusaha onderneming mewujudkan hak ulayat masyarakat di atas areal konsesi dengan memberikan tanah jaluran kepada masyarakat penunggu. Tetapi dalam pelaksanaan pembagian tanah jaluran, ternyata sultan dan pihak onderneming telah berkoalisi ikut memanfaatkan tanah jaluran. Sultan mengambil jatah tanah jaluran buat kerabat kerajaan dan juga memberikannya kepada petani-petani pendatang yang membayar sewa baik berupa hasil panen maupun uang. Sedangkan pihak onderneming memanfaatkan tanah jaluran untuk diberikan kepada kuli kontrak suku Jawa dan China, dengan mendapat imbalan dan membeli hasil panen dengan harga murah untuk kepentingan kuli perkebunan serta menyewakan tanah jaluran kepada orang China untuk kedai-kedai. Akibat kondisi ini, posisi rakyat penunggu dari sudut ekonomi semakin terjepit, karena tanah jaluran sebagai lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, semakin berkurang. Disamping itu pemerintah kolonial mempunyai kepentingan politik untuk menanamkan kekuasaannya dan menghancurkan hegomoni Sultan Deli, yaitu dengan membiarkan orang-orang Imigran dari Batak Toba, suku Karo yang berasal dari pegunungan untuk menggarap tanah jaluran, sehingga terjadi konflik antara para pendatang dengan rakyat penunggu. Situasi dan kondisi demikian itu, dalam pelaksanaannya pemerintah kesultanan (Zelfbestuur) dan pemerintahan kolonial selalu bertindak mendua terhadap rakyat penunggu, misalnya sultan di satu sisi melindungi hak ulayat masyarakat, tapi di sisi lain dia juga melindungi kepentingan onderneming sebagai pemasuk devisa bagi pemerintahan sultan, begitu juga sebaliknya yang
©2004 Digitized by USU digital library
50
dilakukan oleh pemerintah kolonial. Fakta ini menunjukkan bahwa sengketa pertanahan atas dasar hak ulayat dan dasar penggarapan sulit untuk diselesaikan, bahkan selalu muncul sengketa baru. Pada masa kemerdekaan sengketa pertanahan di Sumatera Utara, terus bertambah disebabkan karena adanya faktor politik yaitu persaingan antara pemerintah RIS dengan pemerintah NST yang sama-sama mempengaruhi rakyat penggarap untuk kepentingan politik. Pemerintah RIS membiarkan penggarapan terjadi di areal perkebunan, bahkan memprovokasi agar buruh perkebunan dan penggarap-penggarap untuk memberontak. Pemerintah RIS memanfaatkan rakyat penggarap agar mendukung pemerintahan Republik. Sedangkan pemerintah NST, walaupun pada hakekatnya pemerintah NST akan membersihkan penggarap dari areal perkebunan, tetapi terpaksa melakukan kompromi dengan rakyat dan membiarkan rakyat menggarap di atas areal perkebunan. Pemerintah NST membutuhkan dukungan rakyat untuk kelangsungan pemerintahannya. Situasi dan kondisi politik pada saat itu, membuat pemerintah RIS dan NST selalu bersikap mendua dalam melaksanakan kebijakan mengenai penyelesaian sengketa pertanahan. Akibatnya sengketa pertanahan tidak pernah selesai dan selalu muncul penggarap-penggarap baru yang memanfaatkan situasi politik demikian. Penggarapan tanah di areal perkebunan semakin bertambah banyak akibat provokasi dari partai politik, salah satu yang sangat berperan ketika itu adalah PKI dengan ormas BTI nya menghasut rakyat untuk melakukan penggarapan-penggarapan dengan slogan “rakyat untuk petani”. Kondisi perkebunan di Sumatera Timur mengalami kerugian dan penyusutan areal HGU nya dari 125.000 Ha telah menyusut menjadi 59.000 Ha, selebihnya tanah kembali dikuasai oleh negara dan dibagi-bagikan kepada rakyat. Proses pelaksanaan pembagian tidak berjalan akibat situasi politik ketika itu. Program pemerintah telah mendata dan akan mendistribusikan tanah untuk petani, tetapi sebelum dilaksanakan pembagian sesuai dengan data-data yang ada, muncul ribuan lagi penggarap-penggarap baru, sehingga pembagian tanah tidak berjalan. Rakyat petani yang menerima pembagian tanah ada yang menolak, karena tanah yang dibagi dianggap tidak layak tanam atau berada jauh di pedalaman. Mereka-mereka yang telah menerima surat pembagian tanah berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, Kartu Pendaftaran Tanah, Surat Izin Menggarap dan lain-lain tidak mau menguasai tanah tersebut, kemudian menggarap tanah perkebunan yang berada dalam areal 59.000 Ha. Padahal pembagian tanah buat mereka sudah berada di luar areal tersebut. Dalam kenyataannya pihak PPN/PTP/PTPN-II belum memanfaatkan semua areal seluas 59.000 Ha, dengan telantarnya tanah tersebut, masyarakat kembali menggarap, tidak saja penggarap-penggarap lama melainkan juga muncul penggarap-penggarap baru. Pemerintah tidak mengambil tindakan-tindakan, sehingga penggarapan berlangsung dalam waktu yang cukup lama tanpa penyelesaian. Penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah sejak pemerintahan orde baru dilakukan dengan tindakan melalui pendekatan militer yang dikenal dengan operasi sadar. Tindakan ini hanya menyelesaikan sengketa pertanahan sesaat dan tidak dapat menyelesaikan secara tuntas. Di era reformasi penggarapan muncul kembali, hampir di seluruh wilayah perkebunan PTPN-II, mulai dari
©2004 Digitized by USU digital library
51
Sungai Ular Kabupaten Deli Serdang sampai Sungai Wampu Kabupaten Langkat. Silih berganti penyelesaian telah dilakukan, tetapi bermunculan pula penggarappenggarap baru, disebabkan tidak adanya kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa tersebut.
C. Melemahnya Kedudukan Hak Ulayat. Kedudukan hukum adat di Sumatera Utara khususnya di areal PTPN-II dan PTPN-III, sejak zaman pemerintahan kesultanan hukum adat yang menyangkut mengenai hak atas tanah atau yang disebut sebagai hak ulayat, hidup dan berkembang dalam masyarakat adat. Masyarakat adat Sumatera Utara pada mulanya mengenal cara bertani berpindah-pindah atau disebut sebagai berladang reba. Masyarakat bebas membuka hutan, bercocok tanam dan memungut hasil hutan. Masuknya pengusaha perkebunan Belanda ke Sumatera Timur, yang mendapatkan tanah dengan hak sewa jangka panjang dari sultan. Keadaan ini mulai menggeser kedudukan hak ulayat, karena tanah hak ulayat mereka telah disewakan oleh sultan kepada pihak perkebunan. Tanah yang biasa dipergunakan oleh masyarakat untuk berladang, bertani dan memungut hasil hutan ketika itu telah menjadi perkebunan. Kemudian masyarakat mengenal cara bertani menetap, di atas tanah jaluran yang disediakan oleh pihak onderneming dan dijamin dalam akte konsesi. Pelaksanaan pembagian tanah jaluran telah menimbulkan konflik antara masyarakat dan pihak onderneming, karena pihak onderneming tidak mentaati ketentuan dari akte konsesi. Mereka membagikan tanah jaluran kepada pihak pendatang dan buruh perkebunan. Masyarakat penunggu yang berhak atas tanah jaluran menjadi resah dan sejak saat itu pula terjadi konflik dan kedudukan hak ulayat semakin menipis. Sementara itu sultan tidak dapat berbuat banyak untuk melindungi hak ulayat masyarakat, bahkan sultan dan para kerabatnya ikut berkoalisi dengan pihak onderneming, dalam rangka memanfaatkan tanah jaluran. Kedudukan hak ulayat di Sumatera Timur pada masa itu tetap ada, walaupun mengalami rongrongan dari kebijakan-kebijakan pemerinah Belanda, pihak onderneming. Sampai 1933 keluarnya Undang-Undang Hak Erfacht yang mulai berlaku efektif pada tahun 1937, dengan menghapuskan hak ulayat di atas tanah hak erfach, dan memberikan hak kontrol sepenuhnya kepada perkebunan tanpa ada tanah jaluran. Pada saat ini kedudukan hak ulayat di Kesultanan Deli telah kehilangan makna dan menimbulkan protes dari kalangan rakyat penunggu. Pada tahun 1942 kedudukan hak ulayat telah menjadi termajinalisasikan, karena Pemerintah Militer Jepang telah menyuruh rakyat untuk menggarap tanah perkebunan, termasuk rakyat pendatang dan bekas buruh perkebunan. Komunitas Melayu telah bercampur baur dengan kaum pendatang, sehingga kehidupan persekutuan hukum tidak lagi tampak sebagai suatu kesatuan hidup yang masih terikat oleh tatanan hukum adatnya. Situasi ini terus berlanjut sampai revolusi kemerdekaan, NST, KMB dan masa NKRI, keberadaan hak ulayat sudah semakin tidak jelas. Tetapi kelompok rakyat penunggu terus berjuang sampai saat ini, menuntut hak ulayat mereka di bekas areal konsesi. Konflik mengenai hak ulayat ini terus berlangsung dan tidak dapat diselesaikan secara tuntas, sehingga untuk mengantisipasi tersebut pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999, Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
©2004 Digitized by USU digital library
52
Menurut Pemda Tingkat I Sumatera Utara, Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No.5 Tahun 1999, seyogyanya dapat dijadikan sebagai dasar/tolak ukur untuk berbuat sesuatu dalam penyelesaian masalah tanah hak Konsekwensi dari pernyataan ini ulayat khususnya di Sumatera Utara.101 berarti bahwa, apabila di areal PTPN dalam kenyataannya masih terdapat hak ulayat, maka kepada masyarakat adatnya harus diberikan recognitie, dan apabila HGU dari PTPN itu sudah berakhir, maka untuk memperpanjang harus terlebih dahulu dimusyawarahkan kepada masyarakat adat setempat, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Begitu juga sebaliknya, jika dalam kenyataannya hak ulayat sudah tidak ada lagi, maka pemerintah harus menolak dengan tegas segala bentuk gugatan masyarakat yang mengatasnamakan hak ulayat. Dalam praktek, Pemerintah banyak memberikan hak kepada pengusaha perkebunan besar, dimana areal hak guna usaha tersebut diberikan di atas hak ulayat masyarakat yang pelaksanaannya tidak sesuai dengan prosedur yang diatur oleh UUPA dan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No.5 Tahun 1999, yakni masyarakat hukum yang bersangkutan tidak didengar pendapatnya dan tidak diberi recognitie. Kenyataan ini jelas bertentangan dengan rasa keadilan dan kepastian hukum. Jika kita kaitkan dengan Teori Keadilan menurut Aristoteles yaitu distributive and corrective justice dan corrective or remedial justice, yang pada dasarnya dalam masyarakat harus dijamin adanya keseimbangan mengenai hak dan kewajiban dan tanggung jawab, dan mengoreksi setiap ketidakseimbangan dalam komunitas dengan pemulihan kesamaan dalam hal apapun yang ada, sebelum kekeliriuan berlangsung. UUPA dan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No.5 Tahun 1999 pada prinsipnya telah memenuhi keadilan dan kepastian hukum, karena peraturan tersebut pada dasarnya telah mengupayakan keseimbangan antara hak ulayat dengan kepentingan nasional, di mana di satu sisi hak ulayat itu diakui, sepanjang dalam kenyataannya masih ada. Di sisi lain negara dapat memberikan hak pengelolaan terhadap perseorangan atau badan hukum, baik yang berasal dari dalam, maupun dari luar masyarakat adat itu sendiri. Ini terjadi dengan ketentuan negara harus memberikan recognitie kepada masyarakat adat itu, dan masyarakat adat harus rela melepaskan hak ulayatnya.
D. Mencari Penyelesaian. Masa pemerintahan Suharto yang dikenal dengan rejim Orde Baru melandaskan semua pelaksanaan kebijakannya pada pilar birokrasi sipil dan kekuatan militer. Aparat birokrasi dan pasukan militer menjadi para pelaku utama kebijakan pemerintah yang diterapkan sebagai demi kepentingan negara. Berdasarkan konsep bahwa ABRI adalah Bhayangkari negara yang siap mengamankan semua kepentingan pemerintah dari segala ancaman, militer memiliki peluang untuk terlibat dalam segala urusan yang menyangkut 101
Pemerintah Daerah Sumatera Utara, Kebijakan Pemerintah Sumatera Utara Untuk Mengatasi Penyelesaian Konflik Pertanahan Di Sumatera Utara (Klaim Masyarakat Hak Ulayat, Masyarakat Hukum Adat) Disampaikan pada acara Seminar Keberadaan Hak Ulayat Melayu di Sumatera Utara, di Gedung Bina Graha Sumatera Utara, tanggal 2 Februray 2002, hal. 6.
©2004 Digitized by USU digital library
53
pemerintah atau lembaga-lembaga negara. Dengan tujuan mengamankan kepentingan negara, militer segera mengambil tindakan tegas untuk memudahkan penyelesaian persoalan lewat pendekatan kekuasaan. Hal tersebut terjadi dalam kasus-kasus sengketa tanah di wilayah Sumatera Utara, khususnya mengenai sengketa bekas tanah-tanah perkebunan milik Belanda yang siap diambil alih dan diolah oleh perkebunan negara (PTP). Pimpinan ABRI setempat sebagai panglima teritorial juga diberi wewenang untuk ikut mengontrol dan mengarahkan segala tindakan beberapa tim yang dibentuk untuk menangani tanah di Sumatra Utara. Hal ini nampak dari apa yang disampaikan oleh Pangdam II/BB Brigjen TNI Ismail selaku Laksus Pangkopkamtibda (Panglima Komando Operasional Keamanan dan Ketertiban Daerah) dalam penutupan Secaba Wamil (Sekolah Calon Bintara Wajib Militer) di Kodiklat Dam II/BB Pematang Siantar : “Saya percaya kalau masyarakat itu cepat diberikan penjelasan/cepat ditanggapi, tentunya mereka akan mengerti, walaupun kepuasan bagi mereka belum diperoleh. Mereka sudah puas betul-betul secara tepat bila mendapatkan ketegasan umpamanya sertifikatnya atau keputusan hukum atas tanahnya”.102 Dengan menyebut bahwa persoalan tanah merupakan salah satu persoalan rawan karena melibatkan kepentingan rakyat banyak, maka militer perlu ikut terlibat dalam penyelesaian sengketa tanah itu. Persoalan tanah ini kemudian dijadikan alasan untuk mencari kesalahan pada pihak atau kelompok tertentu yang sering dituduh melakukan provokasi atau menghasut kepada petani untuk menguasai lahan dan menggarapnya secara liar dan sepihak.103 Alasan bahwa para petani liar yang menggarap dan menguasai lahan perkebunan ini telah ditunggangi oleh kekuatan tertentu memberikan dasar kepada militer untuk mengambil tindakan tegas dengan mendukung kepentingan perkebunan.104 Langkah tegas yang diambil melalui cara pentraktoran atas lahan garapan dan pemukiman petani serta intimidasi dan pemisahan dalam bentuk larangan memasuki lahan tertentu sering digunakan untuk memaksakan cara penyelesaian yang akan dicapai. Hal ini nampak jelas dalam pelaksanaan Operasi Sadar dalam rangka membebaskan lahan milik perkebunan PTP-IX dari para penghuni liar. Operasi ini dipimpin oleh Kolonel Moechtar selaku Komandan Korem 023/DT. Setelah dua hari diterapkan operasi ini, para petani penggarap
102
Periksa “Brigjen Ismail: Dalam dekade 80-an masalah tanah sangat rawan” dalam harian Waspada tanggal 30 Januari 1980. 103 Meskipun penyebutan kelompok atau golongan atau pihak tertentu ini tidak memiliki definisi yang jelas, namun konotasi umum pada saat itu mengarah pada kekuatan kiri atau eks-PKI yang bergerak di bawah tanah sebagai bahaya laten dengan tujuan untuk menghambat pembangunan dan bergerak di kalangan massa rakyat petani. Konotasi umum yang berlaku ini sangat berpengaruh pada opini masyarakat bahwa mereka yang melakukan penyerobotan tanah ini bisa disamakan dengan aksi-aksi sepihak oleh PKI sebelum tahun 1965. Periksa “Hindari Kekerasan dalam Soal Tanah” dalam harian Sinar Indonesia Baru, tanggal8 Agustus 1979. 104 Menarik untuk disimak dalam hal ini tulisan dalam harian Analisa tanggal 3 September 1979 dengan judul “0perasi Sadar Berjalan Baik”, yang menulis:”Penyerobotan secara liar ini disinyalir ada yang digerakan kelompok orang-orang tertentu untuk kepentingan ambisi politiknya. Penyerobotan tanah secara masal ini bukan saja mengganggu kamtibmas tetapi juga berakibat mengaburkan hak-hak petani penggarap lama yang sebenarnya sudah dilindungi UU”.
©2004 Digitized by USU digital library
54
segera meninggalkan tanah garapannya itu.105 Langkah berikutnya bagi penyelesaian sengketa ini adalah pembentukan Tim Penyelesaian Tanah Garapan di Areal PTP-IX yang bertugas menampung semua keluhan dari para petani untuk dipertimbangkan dan diteruskan kepada pihak manager PTP-IX. Namun dalam pelaksanaannya lebih lanjut, nampak bahwa lembaga ini tidak bisa memenuhi harapan rakyat mengingat sering terdapat perbedaan persepsi dan informasi antara para petugas Tim ini dengan rakyat di lapangan. Hal ini mendorong Pangdam II/BB saat itu Brigadir Jenderal Ismail untuk mengingatkan para anggota tim agar tidak semata-mata menyelesaikan keputusan tanah saja secara cepat namun juga harus cepat terjun ke masyarakat guna menanggapi reaksi masyarakat itu sendiri. Untuk mendapatkan kepercayaan rakyat, maka atas usul-usul dari tim tersebut Kantor Agraria setempat mengeluarkan Surat Izin Menggarap (SIM) yang diberikan kepada petani yang mendaftarkan diri untuk didata di kantor itu. Dengan SIM ini petani diharapkan bisa memperoleh jaminan dalam mengerjakan tanah garapan yang telah ditetapkan baginya tanpa melakukan pelanggaran lahan dan tidak ditekan oleh pihak lain. Hal ini juga memudahkan bagi Kantor Agraria untuk melakukan pengukuran dalam pemilikan lahan oleh para petani dan menarik garis batas antara lahan milik perkebunan dan milik petani. Namun dikeluarkannya SIM ini juga tidak bisa menyelesaikan masalah, sebaliknya persoalan baru muncul. Hal ini disebabkan karena pengeluaran SIM juga tidak berjalan secara teratur. Ada suatu keluarga yang bisa memperoleh lebih dari satu SIM dengan cara di atas namakan istri dan anak-anaknya. Sebagai akibatnya sering terjadi ada keluarga yang tidak bisa memperoleh SIM, sementara pada keluarga yang lain terdapat jumlah SIM berlebih tanpa digunakan. Kondisi ini tentu saja menimbulkan kerawanan di lapangan mengingat sering terjadi konflik yang mengarah pada perkelahian antara mereka yang memiliki SIM dan yang tidak memiliki SIM.106 Pelanggaran lain yang terjadi dengan penggunaan SIM ini adalah adanya jual-beli SIM yang berdampak pada penyewaan tanah kepada warga lain. Diketahui pada saat itu sehektar tanah disewakan senilai Rp 100.000,- per tahun. Dengan demikian nama orang yang tertera pada SIM tidak akan sama dengan penggarap tanah yang disewanya itu. Hal tersebut tentu saja 105
106
Menurut keterangan dari harian Analisa tanggal 16 Agustus 1979, dengan judul “BPRPI Tepung Tawari Dan 0perasi Sadar” , perwakilan para petani penggarap menyatakan mendukung usaha operasi ini dan akan meninggalkan tanah-tanah garapan yang mereka garap. Sementara itu dari pihak pelaksana, Kolonel Muchtar menyebutkan ada tiga tahap dalam operasi ini yakni operasi Kamtibmas dan penindakan, operasi intelijen dan penerangan, kemudian operasi konsolidasi dan stabilisasi. Periksa “Sering Terjadi Perkelahian antara Pemegang SIM dan yang tidak Mempunyai SIM”, dalam harian Sinar Indonesia Baru tanggal 23 September 1981. Hal ini terbukti dengan 11 keluarga desa Gunung Tinggi, Kecamatan Pancur Batu yang datang menghadap kepada bupati Deli Serdang untuk mengadukan nasibnya sehubungan pembagian SIM bagi mereka yang ditampung di lahan penampungan Glugur Rimbun Kecamatan Kutalimbaru, Deli Serdang yang berlangsung tidak merata. Pada saat protes ini diajukan, tidak ada pejabat berwenang di kabupaten itu yang bersedia menemui para petani desa ini.
©2004 Digitized by USU digital library
55
mempersulit pendataan yang terjadi. Akhirnya semua penyelesaian tergantung pada para pejabat setempat. Kebijakan para pejabat daerah setempat ternyata juga tidak mampu menyelesaikan persoalan yang ada. Ini disebabkan oleh kepentingan pribadi para pejabat itu terlibat dalam proses pembuatan SIM ini. Dalam tulisan pada Sinar Indonesia Baru “9 0knum yang diduga ‘memperjualbelikan’ SIM di Sei Bingai Langkat diperiksa Laksusda Sumut”, beberapa pejabat daerah telah menjual SIM kepada para pemohon seharga antara Rp 400-800 ribu per lembarnya kepada setiap keluarga. Sebagai akibatnya para petani penggarap yang miskin tidak mampu memperoleh SIM ini, sementara mereka yang menerima SIM adalah kerabat dan keluarga para pejabat pemerintah daerah.107 Jadi dari proses perkembangan yang nampak dalam hal usaha penyelesaian sengketa penguasaan tanah, berbagai cara telah ditempuh untuk mengatasinya. Akan tetapi dalam kenyataannya semua cara ini tidak mampu menyelesaikan masalah, melainkan justru menimbulkan persoalan baru yakni semakin merebaknya kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) yang terutama terjadi pada aparat pemerintah di Sumatera Utara. Keterlibatan pihak penguasa militer dalam hal penyelesaian tanah baik dari tingkat daerah maupun di tingkat nasional semakin memperumit penyelesaian persoalan dalam jangka panjang.108 Dalam konteks jangka pendek kondisi memang bisa teredam untuk sementara, namun persoalan ini akan kembali muncul dalam jangka panjang. Sumber persoalan yang bisa diketahui dari semua kasus ini adalah penerapan UUPA nomor 5 Tahun 1960 yang tidak konsekwen. Beberapa pasal dalam UUPA ini sering tidak diterapkan dengan sesuai atau bahkan sengaja diselewengkan. Hal yang nampak di sini adalah ketidaktegasan peraturan dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960 tentang hak ulayat. Beberapa kalimat dalam UUPA seperti “sepanjang kenyataan masih ada” jelas menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Kata-kata demikian menciptakan ketidakpastian hukum di dalam hukum itu sendiri.109 Pemerintah Orde Baru yang berkuasa selama tiga dekade tidak melakukan perubahan atas UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Beberapa pasal dalam UUPA ini digunakan sebagai kesempatan untuk memperjuangkan kepentingan penguasa 107
Mereka yang diperiksa karena terlibat dalam kasus ini adalah camat Sei Bingai, kepala desa Pasar IV dan beberapa aparat kecamatan serta pedesaan yang lain di lahan tanah perkebunan PTP IX di Pasar Pinter Desa Purwobinangun, Kecamatan Sei Bingai, Kabupaten Langkat. Periksa “9 0knom yang Diduga ‘Memperjualbelikan’ SIM di Sei Bingei Langkat Diperiksa Laksusda Sumut” dalam Sinar Indonesia Baru, tanggal 28 Januari 1981.
108
Hal ini bisa dicermati dengan pernyataan Pangkopkamtib Laksamana Sudomo waktu itu yang menjelaskan tentang masalah tanah warga desa Siriaria di Kecamatan Dolok Sanggul, Tapanuli Utara. Komentar pejabat setingkat panglima nasional terhadap persoalan tanah di suatu desa menunjukan bahwa kepentingan pusat atas persoalan agraria di wilayah ini ikut terlibat. Persoalan tanah-tanah di Sumatra Utara juga sering menjadi bahan perbincangan di kalangan DPR RI meskipun ini hanya terjadi pada tingkat desa. Periksa “Pengacara Harus Kembalikan Uang Penduduk Siria-ria”, dalam Sinar Indonesia Baru, tanggal 8 Agustus 1979. Menurut teori hukum, ada dua macam kepastian hukum. Yang pertama adalah kepastian hukum dalam hukum itu sendiri, dan yang kedua kepatian hukum karena hukum tersebut. Ketidakpastian hukum dalam hukum disebabkan oleh ketidakjelasan kalimat yang ada dalam hukum itu sendiri, yang mengandung penafsiran berbeda-beda antara orang yang satu dan yang lainnya. Sebagai akibatnya orang menerapkannya menurut arah penafsiran dan selera kepentingannya masing-masing. Dari sini akan terjadi konflik yang masing-masing merasa sudah dilandasi dengan hukum.
109
©2004 Digitized by USU digital library
56
dan pengusaha perkebunan, yang sering dicapai dengan mengorbankan kepentingan petani penggarap. Konsep pendekatan kekuasaan dan politik banyak digunakan dalam menyelesaikan kasus sengketa pertanahan. Hal ini terbukti dengan dijadikannya tindakan penguasaan tanah secara tidak sah, sebagai suatu tindak pidana atau dikatakan sebagai kejahatan subersive, yang diancam dengan hukuman peradilan. Penggunaan hukuman subersive bagi pelanggaran atas tanah, ini tidak bisa dilepaskan dari tuduhan bahwa kasus-kasus yang menyangkut penguasaan tanah pasti dituduh telah digerakkan, ditunggangi atau dipengaruhi oleh kekuatan, kelompok dan aliran tertentu yang mengancam kesatuan dan persatuan negara. Di lain sisi, para petani penggarap sendiri dalam kondisi ekonominya yang marginal (tersisihkan), kurang memahami peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Dengan tingkat pendidikan yang rendah, para petani ini mudah terprovokasi atau terpengaruh oleh kepentingan lain, yang akan memanfaatkan mereka demi tujuan tertentu.110 Pola Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Sumatera Utara dapat diteliti berdasarkan konflik dan sengketa (dispute) pertanahan yang terjadi di Sumatera Utara, dalam penelitian ini yang paling menonjol adalah konflik (conflicts) dan sengketa (dispute) di areal konsesi perkebunan, yaitu antara penguasa, pengusaha onderneming perkebunan, dengan rakyat penunggu dan para petani penggarap. Jika kita analisa dengan sistem hukum yang berlaku, penyelesaian sengketa yang terjadi dalam masyarakat, maka hukumlah yang dapat dijadikan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik dan sengketa. Sehubungan dengan ini, pengadilan adalah sebagai lembaga yang khusus untuk membantu penyelesaian atau mengakhiri konflik yang terjadi. Disamping itu juga, tidak terlepas peran lembaga legislatif untuk merencanakan perangkat hukum, yang dapat berfungsi sebagai pencegah konflik dan sengketa. Atau setidak-tidaknya peraturan hukum yang diciptakan, dapat meminimalisasikan terjadinya konflik dan sengketa dalam masyarakat pada bidang-bidang tertentu. Yang dalam hal ini penggarapan tanah di areal perkebunan oleh masyarakat. Atau setidak-tidaknya badan legislatif dapat menciptakan perangkat peraturan sebagai rekayasa sosial (social engineering), yang sesuai dengan pilihan masyarakat. Namun rekayasa sosial ini tidak harus dipaksakan, karena akan terkesan bahwa sistem hukum itu memperbaharui dan memperbaiki, sehingga alokasi hukum berjalan sangat berlawanan, yang berupaya untuk mempertahankan status quo. Fungsi ini dapat disebut sebagai pemeliharaan sosial (social maintenance).111 Maka oleh karena itu, peraturan yang diciptakan oleh badan
110
111
Pengerahan massa sebagai suatu mobilisasi sering terjadi dalam kaitannya dengan sengketa penguasaan lahan, khususnya di antara lapisan rakyat bawah petani yang tidak memiliki tanah (petani penggarap atau petani buruh). Hal ini bisa dibuktikan dalam uraian Bab III sub 4 di mana PKI sering menggunakan alasan demi perjuangan rakyat untuk mencapai kepentingannya, yang terkenal dengan slogan “tanah untuk rakyat”. Rekayasa social yang dipaksakan atau social maintenance menurut Friedmann dijelaskan sebagai berikut : “ We should not push the term social engineering too far . This gives the legal system too much of an active . Refeorming flavor . Most of the time, legal allocations
©2004 Digitized by USU digital library
57
Legislatif sebagai rekayasa sosial, harusnya tidak mempertahankan status quo yang berorientasi untuk melindungi pihak pengusaha perkebunan, misalnya untuk mempertahankan kepentingan penanaman modal (perkebunan), pemerintah dan kepentingan pembangunan ekonomi pemerintah dengan mengorbankan kepentingan rakyat. Pola penyelesaian sengketa pertanahan di areal perkebunan Sumatera Utara telah direkayasa, berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954 Tentang Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat. Dalam konsiderannya antara lain menimbang karena keadaan mendesak perlu diatur dengan segera. Substansi norma pengaturan tentang pemakaian tanah perkebunan dalam undang-undang ini, secara normatif terdapat keseimbangan antara pihak perkebunan dan pihak petani penggarap, yaitu penyelesaian sengketa dilakukan dengan musyawarah, rakyat diwakili oleh beberapa orang dari kalangannya sendiri. Jika tidak terdapat kesepakatan, maka penyelesaian ditetapkan oleh Menteri Agraria, Menteri Pertanian, Menteri Perekonomian, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman, dengan suatu Surat Keputusan Bersama .112 Dalam mengambil keputusan bersama itu, harus memperhatikan kepentingan penduduk, kepentingan perkebunan dan perekonomian negara ketentuan ini, secara normatif terdapat pada umumnya.113 Dengan perlindungan bagi pengusaha perkebunan dan para penggarap untuk tidak diperlakukan secara semena-mena. Tanah perkebunan yang telah dilepaskan dari hak konsesi berdasarkan keputusan bersama adalah menjadi tanah negara bebas dari segala hak yang membebaninya. Tanah perkebunan yang telah menjadi tanah negara, dapat diberikan dengan suatu hak kepada rakyat dan penduduk yang memenuhi syarat, menurut ketentuan yang diadakan oleh Menteri Agraria.114 Dengan kebijakan ini bahwa tanah perkebunan sebagian akan dikeluarkan dari hak konsesi dan rakyat penggarap, akan memperoleh sesuatu hak di atas tanah yang telah dikeluarkan dari areal konsesi tersebut. Sebagai konsekwensi logis, diharapkan tidak ada lagi penggarapan tanah di atas areal konsesi yang telah diperbaharui menurut Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954. Pola penyelesaian sengketa sebagaimana yang diatur dalam UndangUndang Darurat No. 8 Tahun 1954, dalam praktek pelaksanaannya lebih lanjut harus mengacu kepada Keputusan Bersama, Menteri Agraria, Menteri Pertanian, Menteri Perekonomian, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman. No. 1 Tahun 1955, antara lain menentukan penyelesaiannya harus dilaksanakan secara berangsur-angsur dengan mengingat kepentingan rakyat dan perusahaan.115 Terhadap tanah perkebunan yang telah do exactly the opposite : rather than change things , they tend to keep the status quo intact , This function can be callled social maintenance 112 Lihat Pasal 4 Undang-Undang Darurat No.8 Tahun 1954. Tentang Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh rakyat. 113 Ibid, Pasal 6. 114 Ibid, Pasal 11. 115 Lihat Pasal 1 Keputusan Bersama, Menteri Agraria, Menteri Pertanian, Menteri Perekonomian, Menteri Dalam Negeri;, dan Menteri Kehakiman. No. 1 Tahun 1955.
©2004 Digitized by USU digital library
58
dibebaskan dari areal perkebunan, pemerintah memberi ganti kerugian kepada pihak perkebunan, dan diberikan hak erfacht selam 30 tahun, paling lama 50 tahun. Sedangkan tanah bekas perkebunan yang telah ditetapkan menjadi tanah negara, harus segera dikosongkan . Rakyat yang masih berada di atas tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah perkebunan, harus pindah dan segala kerugian rakyat akibat perpindahan itu diganti oleh 3 pemerintah.116 Pemerintah menggolongkan rakyat penggarap menjadi golongan yakni : Golongan I, rakyat yang ingin bertani diberikan masingmasing 2 Ha. Sedangkan golongan II dan III, yang ingin pindah ke pinggir jalan dan ke kota diberikan pembagian tanah masing-masing 0,5 Ha, dan 400 m2.117 Untuk rakyat penunggu sebagaimana yang disebut sebagai akte konsesi diberi pembagian tanah, tiap-tiap warga 2 Ha. Dan bagi mereka yang dapat pembagian tanah diberikan hak milik atas tanah bagiannya.118 Namun dalam pelaksanaannya, keputusan bersama dan segala aspek hukumnya, tidak berjalan sesuai dengan apa yang diaturnya dan juga tidak sesuai dengan Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, karena pembagian tanah untuk rakyat petani dan rakyat penunggu yang telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Bersama, tidak dapat diterima oleh rakyat, terutama tentang penggolongan atas tiga kelompok petani tersebut. Pembagian tanah dilakukan secara undian, sehingga lahan yang mereka terima ada yang tidak layak untuk dimanfaatkan oleh petani (daerah rawa, berbukit). Sehingga dengan demikian timbul perlawanan-perlawanan dari rakyat, didukung oleh organisasi serikat petani antara lain BTI dan RTI underbouw PKI. Dalam kondisi seperti tersebut, maka penyelesaian sengketa tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, walaupun telah ada perangkat peraturan dan kebijakan yang telah memenuhi unsur struktur hukum dan substansi hukum berdasarkan sistem hukum yang berlaku. Tetapi nilai dan budaya hukum masyarakat, ketika itu terabaikan. Kegagalan Undang-Undang Darurat No.8 Tahun 1954 dalam menyelesaikan sengketa pertanahan di Sumatera Utara, kemudian diterbitkan Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1956 dan selanjutnya dikeluarkan pula Undang-Undang No.51 Prp Tahun 1960 dan akhirnya keluar UUPA No.5 Tahun 1960. Tetapi keseluruhan peraturan ini ternyata tidak dapat menyelesaikan sengketa pertanahan secara tuntas, bahkan berlanjut sampai saat ini. Pola penyelesaian sengketa yang diterapkan adalah dengan jalan musyawarah dengan memperhatikan kepentingan rakyat, pengusaha dan kepentingan ekonomi nasional. Tetapi perilaku hukum ataupun budaya hukum dari penguasa ketika itu, hanya bersandar pada ketentuan formal yang terdapat dalam kitab hukum (law in book) dan masih terpengaruh pada faham legisme yang dianut dalam sistem hukum kolonial, yaitu tidak memperhatikan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat dan budaya hukum yang ada, berupa sikap masyarakat terhadap hukum itu, 116
Lihat Pasal 3 Keputusan Bersama, Menteri Agraria, Menteri Pertanian, Perekonomian, Menteri Dalam Negeri;, dan Menteri Kehakiman. No. 1 Tahun 1955 117 Ibid Pasal 8. 118 Ibid Pasal 10.
©2004 Digitized by USU digital library
Menteri
59
kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapan yang hidup dalam masyarakat, khususnya terhadap tanah yang digarap. Kalau kita melihat kembali ke belakang dalam akte konsesi, penyelesaian sengketa yang terjadi di areal perkebunan dilakukan dengan cara perdamaian berdasarkan musyawarah. Bahkan dalam akte konsesi jelas disebutkan bahwa, penyelesaian sengketa yang menyangkut areal konsesi diselesaikan oleh tiga orang penengah 119, yang terdiri dari wakil, pengusaha, rakyat dan orang yang ditunjuk oleh Residen ataupun pemerintah Swapraja. Dari fakta ini, dapat diketahui bahwa penyelesaian sengketa melalui proses yudisial di pengadilan tidak diprioritaskan tetapi hanya merupakan upaya terakhir. Penyelesaian sengketa pertanahan dalam areal konsesi perkebunan, yang dilakukan oleh tiga orang penengah, pada dasarnya cukup ideal, jika dibandingkan dengan penyelesaian melalui proses yudisial atau pengadilan secara legitasi. Proses legitasi baru dipergunakan apabila telah dilakukan penyelesaian melalui tiga orang penengah, atau sudah diupayakan negosiasi tetapi gagal, dan para pihak yang bersengketa telah mengabaikan atau menolak negosiasi, maka proses penyelesaian melalui pengadilan adalah jalan yang harus ditempuh. Meskipun demikian, tetap ada kemungkinan untuk mengadakan perdamaian, sebelum maupun sesudah adanya keputusan hakim (vonis). Negosiasi dalam penyelesaian sengketa pertanahan di Sumatera Utara, berdasarkan penelitian dari kasus-kasus yang ada dapat disimpulkan, bahwa salah satu pihak menganggap, bahwa mereka mempunyai hak yang sah terhadap tanah sengketa, misalnya pihak pengusaha perkebunan menganggap bahwa mereka mempunyai hak yang sah berupa HGU di atas tanah perkebunan. Sedangkan pihak masyarakat menganggap bahwa mereka juga mempunyai hak yang sah terhadap tanah sengketa, berdasarkan hak ulayat mereka. Karena itu ada pemikiran bagi para pihak untuk membawa penyelesaian sengketa melalui pengadilan, dengan harapan bahwa mereka akan mendapatkan hasil yang lebih baik melalui proses pengadilan, daripada negosiasi ataupun musyawarah. Mengajukan suatu penyelesaian sengketa pertanahan melalui proses pengadilan, adalah awal suatu proses pengalihan sengketa aktual, ke dalam suatu kontes perlawanan yang dapat diselesaikan melalui sistem hukum.120 Hal ini berarti proses pengadilan (legitasi), secara formal melakukan legalisasi sengketa, dengan pengertian membuat kerangka konsep, bukti dan argumentasi legal, yang dapat diproses oleh sistem hukum, melalui struktur dan substansi hukum, dalam sistem hukum tersebut. Jika proses ini dilakukan dalam upaya penyelesaian sengketa pertanahan di Sumetera Utara, maka secara Yuridis formal, posisi pihak perkebunan lebih kuat, daripada posisi pihak petani penggarap. Karena secara Yuridis formal, pihak perkebunan dapat mengajukan bukti-bukti HGU yang sah . Sedangkan masyarakat hanya mempunyai bukti-bukti berupa 119 120
Lihat akta konsesi 1877, 1878, 1884, dan 1892. Lihat Gary goodpaster, Seri Dasar Hukum Ekonomi 9, Panduan Negosiasi dan Mediasi, ELIPS, Jakarta,1999, hal 219.
©2004 Digitized by USU digital library
60
hukum yang tidak tertulis (hukum adat). Terlebih lagi, apabila hakim ataupun penegak hukum yang mengadili, hanya berorientasi pada aliran positivisme yang legalistik, yang ditafsirkan sering berdasarkan Hukum Barat (BW-KUH Perdata ), yang pada dasarnya sangat bertentangan dengan sistem hukum adat yang hidup dalam masyarakat. Dengan kata lain, proses legitasi secara formal, melakukan legalisasi sengketa, artinya membuat kerangka dalam arti konsep, bukti dan argumentasi legal yang dapat diproses oleh sistem hukum.121 Bukti-bukti dan argumentasi legal yang diproses, tentunya dalam hal ini, bersandar pada konsep hukum Barat. Di lain pihak, bukti-bukti dan argumentasi masyarakat, hanya berdasarkan hukum adat . Kedua fakta ini menunjukkan adanya perselisihan hukum yang menyangkut dua sistem hukum yang berbeda. Sudah selayaknya hakim yang mengadili harus dapat menentukan, hukum apa dan hukum mana yang dapat dijalankan dengan memperhatikan kepentingan kedua belah pihak . Atau setidak-tidaknya, hakim harus dapat menemukan hukum (rechtsvinding), dan melakukan penafsiran-penafsiran hukum, sesuai dengan kenyataan hukum yang berlaku. Jika para hakim hanya terfokus pada sistem hukum Barat, sudah tentu sangat merugikan masyarakat yang secara filosofis menghilangkan rasa keadilan dalam masyarakat. Akibatnya banyak keputusan pengadilan yang tidak dapat dijalankan. Walaupun ada yang dapat dijalankan tetapi masyarakat dengan segala daya upaya mereka, tetap menduduki dan menggarap tanah yang dipersengketakan. Masyarakat menganggap bahwa keputusan pengadilan tersebut, sangat bertentangan dengan keyakinan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Dalam penyelesaian sengketa pertanahan melalui pengadilan, seyogyanya hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami, nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.122 Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan. Oleh karena itu, hakim merupakan perumus, dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam kalangan rakyat. Khusus mengenai masalah pertanahan di Sumatera Utara sesuai dengan undang-undang tersebut, hakim harus terjun ke tengahtengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, hakim baru dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Jika hakim hanya bersandar kepada hukum tertulis saja apalagi hanya berorientasi pada sistem hukum barat, maka keputusannya sudah tentu akan merugikan masyarakat penggarap, sebaliknya, keputusan akan cenderung menguntungkan pihak pengusaha perkebunan. Sebaiknya, hakim dalam penyelesaian sengketa pertanahan di Sumatera Utara, harus dapat menentukan mana yang hukum dan mana yang tidak, bilamana undangundang yang dihadapkan dengan peristiwa konkrit tidak dapat dilaksanakan. Dengan inisiatifnya sendiri, hakim harus dapat menemukan hukum dan 121 122
Ibid, Lihat pasal 27 (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
©2004 Digitized by USU digital library
61
bertindak sebagai pembentuk hukum guna memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat . Pendapat yang mengatakan Hakim hanya sebagai “la bouche qui prononce les paroles de la loi”123, atau yang mengatakan hakim sebagai corong undang-undang sudah tidak berlaku lagi. Bagi hakim, dalam mengadili suatu perkara, terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya.124 Peraturan hukum yang berlaku mengenai larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak, hanyalah sebagai alat. Sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwanya, yang dalam hal ini adalah penggarapan tanah oleh masyarakat di atas areal perkebunan. Peristiwa ini, kemungkinan tidak dapat diselesaikan menurut peraturan yang telah ada. Maka untuk dapat menyelesaikan sengketa setepat-tepatnya, hakim harus terlebih dahulu mengetahui secara objektif, tentang duduk perkara yang sebenarnya, untuk dijadikan dasar keputusannya. Hakim harus dapat menentukan peraturan hukum yang menguasai sengketa antara kedua belah pihak . Untuk itu hakim harus menemukan hukumnya sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan fakta-fakta yang dikemukakan tersebut, penyelesaian sengketa pertanahan melalui pengadilan, apabila hakim bersifat pasif, maka keadilan dan kepastian hukum tidak dapat terwujud sebagaimana mestinya. Oleh karena itu penyelesaian sengketa, lebih baik dilakukan secara negosiasi dan musyawarah untuk memenuhi rasa keadilan di antara para pihak yang bertikai. William Chambliss dan Robert B. Seidman dalam tulisannya, membagi mekanisme penyelesaian sengketa dalam masyarakat, terdiri dari dua model. Model pertama, penyelesaian sengketa yang berwujud kompromi, yang disebut “give a little take a little”, dimana masing-masing pihak memberi dan menerima sedikit . Model kedua “the winner take all ”, siapa yang menjadi pemenang menerima seluruhnya.125 Penyelesaian sengketa dalam model pertama dapat dikatakan penyelesaian sengketa dengan musyawarah, yang berakhir dengan win-win solution, berarti tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Sedangkan penyelesaian sengketa yang dilakukan berdasarkan model kedua, akan berakhir dengan adanya pihak yang kalah dan yang menang. Kedua model penyelesaian sengketa tersebut di atas, ternyata sesuai dengan substansi norma hukum yang diatur dalam Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, jo Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1960, beserta segala peraturan pelaksanaannya. Jika dianalisa, ketentuan-ketentuan norma hukum yang terdapat di dalam peraturan tersebut di atas, dapat ditemukan bahwa penyelesaian sengketa dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama, dengan penerapan sanksi hukum, dimana pemerintah dapat mengosongkan tanah yang dipersengketakan dari para petani penggarap ataupun pemilik tanah yang tanahnya dibebaskan untuk proyek pembangunan . Cara kedua, sengketa diselesaikan melalui musyawarah, 123
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT. Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1961, hal 230. 124 Lihat Sudikno Mertokusumo, Op cit , hal 32. 125
William Chambliss dan Robert B.Seidman, dalam Muhammad Bakri dkk,Op.cit, hal. 23.
©2004 Digitized by USU digital library
62
dengan memperhatikan kepentingan para petani penggarap, pemilik tanah yang tanahnya akan dibebaskan, dan pihak-pihak lainnya . Apabila kedua cara ini gagal dilaksanakan, maka barulah diproses melalui Lembaga Pengadilan.126 Kedua cara penyelesaian sengketa pertanahan yang terdapat dalam substansi norma hukum, pada ketentuan perundang-undangan tersebut diatas, ternyata ada kesamaan dengan dua model penyelesaian sengketa, yang dikemukakan oleh Willam Chambliss, dan Robert B. Seidman tersebut di atas. Substansi norma hukum pada dasarnya adalah bersifat abstrak, ketika dihadapkan dengan peristiwa hukum yang terjadi, baru dapat berlaku secara konkrit. Tetapi tidak jarang, substansi norma hukum, jika dihadapkan dengan peristiwanya tidak dapat berlaku secara konkrit. Apabila hakim tidak dapat menemukan hukum (Rechtsvinding) untuk menyelesaikan perkara yang dihadapinya, maka peraturan hukum itu tidak dapat berlaku secara efektif. Robert B. Seidman dalam bukunya, The State, Law And Development, telah memperinci faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas suatu peraturan, yaitu ditentukan/ dipengaruhi oleh kekuatan sosial dan individu yang mempengaruhi tiga komponen, yaitu pertama, komponen lembaga pembentukan hukum (law making procces). Kedua, komponen pelaksana hukum atau lembaga penerap sanksi (law implementing procces). Ketiga, komponen pemakai hukum atau rakyat (rule occupant).127 Begitu juga sebaliknya, masing-masing komponen saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial dan individu dalam masyarakat. Berdasarkan pendapat di atas dapat dianalisa, bahwa bekerjanya hukum bukan hanya merupakan satu konsep yang tunggal dari norma hukum saja . Tetapi adalah bersifat majemuk karena banyak dipengaruhi oleh kekuatan sosial dan individu, yang didukung lebih dari satu macam tatanan hukum.128 Jadi efektivitas bekerjanya norma hukum tidak hanya dilihat dari segi peraturan hukum, sehingga untuk menilai ukuran dan tingkah laku serta hubungan antara orang-orang, tidak hanya dilihat dari norma hukum yang berlaku secara formal saja. Tetapi harus memperhatikan norma dan pola perilaku konkrit dari manusia yang ada dalam sistem hukum itu. Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, Jo. Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1960, dengan segala peraturan pelaksanaannya, maka pemahaman terhadap substansi norma hukum yang diaturnya, harus ditafsirkan tidak hanya terbatas pada apa yang ada dalam peraturan undang-undang itu saja. Tetapi termasuk juga norma dan perilaku masyarakat, yang dikenai oleh undang-undang itu, dalam arti kata materil. Pengertian substansi norma hukum menurut Lawrence M. Friedman,129 126
Lihat Ketentuan 5 dan 6 Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1950. Robert Seidman, The State, Law and Develompent, ST. Martin’s Press, New York, 1978, hal 75 . 128 Satjipto Rahadjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hal 22. 129 Lawrence M. Friedman, Op cit, hal 6. 127
©2004 Digitized by USU digital library
63
tidak sama dengan pemikiran yang dikemukakan oleh para penegak hukum, yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil, yang ada dalam undang-undang yang bersangkutan. Penekanannya disini harus bertitik tolak pada hukum yang hidup (living law), bukan hanya pada peraturan yang ada pada Kitab Hukum (law in book’s). Lebih jauh, untuk memperjelas makna dari substansi hukum itu, harus diperhatikan budaya hukum, dalam arti memahami sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum yang berlaku. Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, jo. Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1960, dengan segala peraturan pelaksanaannya, tidak berlaku secara efektif. Karena pelaksanaan dari undang-undang itu, ternyata tanpa mempertimbangkan semua kekuatan sosial dan individu sebagai wujud dari budaya hukum dalam masyarakat, maka hukum itu tidak akan berdaya. Sebagaimana dikatakan oleh Friedman “ Without legal culture, the legal system is inert, a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea”.130 Tanpa budaya hukum, maka hukum itu seperti ikan mati terkapar di keranjang, bukan seperti ikan yang hidup di laut. Seluruh peraturan undang-undang mengenai penyelesaian sengketa pertanahan di Sumatera Utara, sebagaimana yang diuraikan di atas, jika dianalisa berdasarkan pendapat Friedman tersebut, maka pelaksanaan dari undang-undang itu, tidak dapat berlaku secara efektif atau tidak dapat berfungsi untuk menyelesaikan sengketa pertanahan di Sumatera Utara, khususnya di atas areal perkebunan antara petani penggarap dengan pengusaha perkebunan. Karena implementasi dari peraturan perundangundangan tersebut, sama sekali tidak memperhatikan budaya hukum dan hukum yang hidup dalam masyarakat. Bertitik tolak dari kajian atas dasar pendapat William Chambliss dan Robert B. Seidman serta Lawrence Friedman yang dikemukakan di atas, maka pola penyelesaian pertanahan di Sumatera Utara, harus terlebih dahulu menginventarisasikan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya sengketa pertanahan di Sumatera Utara dan yang mempengaruhi tidak berdayanya hukum, yaitu menyangkut kekuatan sosial ( social force ) dan individu berupa budaya hukum dan hukum yang hidup dalam masyarakat misalnya hukum adat dan peraturan perundang-undangan yang terkait, lembaga pembentuk undang-undang, lembaga penegak hukum, dan rakyat sebagai pemakai hukum. Berdasarkan penelitian B-Plus telah diperoleh data, bahwa PTPN-II telah memohon perpanjangan HGUnya seluas 62.140,1800 Ha terdiri dari Eks. PTP-IX seluas 43.607,4900 Ha dan Eks. PTP-II Seluas 18.532,6900. Tetapi di atas areal tersebut telah digugat oleh masyarakat penggarap dari berbagai kelompok seluas 23.528,9937 Ha, maka areal PTPN-II yang dimohonkan perpanjangan HGUnya yang bersih dari tuntutan para penggarap adalah 62.140,1800 Ha - 23.528,9937 Ha = 38.611,1863 Ha. Jumlah ini yang dinyatakan bersih, untuk dapat dimajukan perpanjangan HGUnya. Sedangkan sisanya seluas 62.140,1800 Ha 38.611,1863 Ha = 23.528,9937 Ha ditangguhkan sementara perpanjangan HGUnya, karena di atasnya terdapat tuntutan/garapan/permohonan rakyat.
130
Ibid, hal 7.
©2004 Digitized by USU digital library
64
Terhadap areal seluas 38.611,1863 Ha telah diterbitkan HGUnya sesuai dengan Surat Keputusan Kepala BPN No. : a) b) c) d) e)
51/HGU/BPN/2000 52/HGU/BPN/2000 53/HGU/BPN/2000 57/HGU/BPN/2000 58/HGU/BPN/2000
tanggal tanggal tanggal tanggal tanggal
12 Oktober 2000. 12 Oktober 2000. 24 Oktober 2000. 6 Desember 2000. 6 Desember 2000.
Semua Surat Keputusan Pemberian HGU tersebut telah diserahkan kepada pihak PTPN-II berdasarkan berita acara tanggal 6 February 2001. Tuntutan masyarakat hukum adat, atas HGU perkebunan di Provinsi Sumatera Utara, pada umumnya berasal dari badan-badan atau lembagalembaga tertentu yang mengatasnamakan kelompok masyarakat hukum adat seperti : 1.
Tuntutan terhadap tanah ulayat seluas ± 250.000 Ha, meliputi seluruh bekas areal konsesi yang terbentang antara Sungai Ular (Kabupaten Deli Serdang), sampai dengan Sungai Wampu (Kabupaten Langkat), yang dituntut oleh antara lain : 131 a) Badan Perjuangan Rakyat Pengunggu Indonesia (BPPRI). b) Badan Kesejahteraan Masyarakat Adat Deli ( BKMAD). c) Forum Pembela Tanah Ulayat Masyarakat Melayu Sumatera Timur (Forum PETA UMAT). d) Kesatuan Hukum Adat Serdang (KMHAS). e) Kelompok-kelompok masyarakat yang mengaku sebagai keturunan, ahli waris, ataupun warga dari raja-raja/ pengetua adat, yang dulunya menguasai wilayah, atau daerah-daerah tertentu di Provinsi Sumatera Utara .
Khusus di areal HGU PTPN-II yang sebahagian besar berasal dari Eks HGU PTP-IX, tuntutan masyarakat hukum adat yang berkaitan dengan tanah ulayat pada dasarnya terdapat dua pola tuntutan yaitu tuntutan dengan latar belakang tanah jaluran (BPRPI), dan tuntutan dengan latar belakang konsesi (BKMAD).132 Tuntutan atas HGU Perkebunan oleh BPRPI, terlihat adanya penafsiran bahwa pemberian tanah jaluran secara turun-temurun kepada rakyat penunggu adalah merupakan suatu bentuk pengakuan dari Perusahaan Perkebunan pada waktu itu, atas tanah ulayat mereka yang telah diserahkan penguasaannya kepada perusahaan perkebunan melalui pemberian hak konsesi oleh pihak Kesultanan (Sultan Deli, Sultan Serdang dan Sultan Langkat).
131
Pemerintah Daerah Sumatera Utara, Kebijakan Untuk Mengatasi Penyelesaian Konflik (Klaim Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat). Disampaikan dalam Seminar Keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Melayu di Sumatera Utara , Medan, 02 Februari 2002. Dan Hasil Wawancara dengan Paniita B “PLUS” Sumatera Utara . 132 Berdasarkan hasil wawancara, dengan informan dan data dari PEMDASU dan ditambah dengan data dari BPN Kanwil Provinsi Sumatera Utara dalam suratnya No.570.706/ Pan/BP/V/2001, tertanggal 2 Mei 2001, yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Utara, tentang mohon petunjuk.
©2004 Digitized by USU digital library
65
Sedangkan tuntutan oleh BKMAD dilatarbelakangi, karena adanya pemberian hak konsesi kepada Perusahaan-Perusahaan Perkebunan di Sumatera Utara, sejak tahun 1870. Adanya pemberian hak konsesi ini ditafsirkan sebagai hubungan sewa-menyewa antara pihak Perkebunan dengan pihak Sultan Deli sebagai pemilik tanah. Sehingga dengan habisnya jangka waktu sewa-menyewa selama 75 tahun, maka tanah harus dikembalikan kepada pihak Sultan Deli atau ahli waris dan keturunannya. Atas dasar kedua penafsiran dari BPRPI dan BKMAD, maka tanah areal Perusahaan Perkebunan yang diberikan Sultan Deli melalui Konsesi adalah merupakan tanah ulayat yang harus dikembalikan kepada masyarakat hukum adat, dalam hal ini adalah BPRPI, BKMAD dan lain-lain. Gubernur Sumatera Utara mengambil suatu kebijakan untuk menyelesaikan sengketa pertanahan di areal PTPN-II dengan menginveristasikan HGU PTPN-II yang sudah berakhir haknya, dan tanah itu kembali pada negara direncanakan pembahagian tanah-tanah tersebut kepada masyarakat yang menuntut tanah garapan di areal PTPN-II. Berdasarkan penelitian Panitia B “PLUS“, hingga saat ini dapat dilaporkan masalah sengketa pertanahan yang terjadi di areal PTPN-II yaitu antara masyarakat dengan Pengusaha Perkebunan, yang telah habis masa HGU-nya dan memohon perpanjangan HGU Sebanyak 66 Kebun yang oleh Gubernur Sumatera Utara diambil kebijakan dengan perincian sebagai berikut :
a. Untuk Kabupaten Deli Serdang ada 48 kebun yang mengajukan permohonan
untuk memperpanjang HGU. Pemerintah Daerah Sumatera Utara telah menerbitkan perpanjang HGU dari 48 kebon tersebut seluas 20.467,3893 Ha sedangkan luas yang ditangguhkan atau tidak diterbitkan HGU-nya seluas 20.287, 4800 Ha. b. Untuk Daerah Kabupaten Langkat ada 12 kebun yang mengajukan permohonan untuk memperpanjang HGU. Pemerintah Daerah Sumatera Utara telah menerbitkan perpanjang HGU dari 12 kebon tersebut seluas 18.143,6720 Ha sedangkan luas yang ditangguhkan atau tidak diterbitkan HGU-nya seluas 3.077,7280 Ha. c. Untuk Kotamadya Binjai ada 6 kebun yang mengajukan permohonan untuk memperpanjang HGU. Tetapi Pemerintah Daerah Sumatera Utara tidak menerbitkan perpanjang HGU tersebut, sedangkan luas yang ditangguhkan atau tidak diterbitkan HGU-nya seluas 238,5200 Ha. Berdasarkan data tersebut dapat diolah dan ditabulasikan ke dalam tabel sebagai berikut : Tabel.1 Kebijakan Gubernur Sumatera Utara Tentang Perpanjangan HGU PTPN-II di Lokasi Deli Serdang, Langkat dan Binjai yang terdiri dari 66 kebun seluas areal 62.214,7900 Ha. No
Kabupaten/ Kota Madya
1 2 3
Deli Serdang Langkat Binjai JUMLAH
Permohonan Perpanjangan HGU 48 Kebun 12 Kebun 6 Kebun 66 Kebun
©2004 Digitized by USU digital library
Luas HGU Yang Diterbitkan
Luas HGU Yang Ditangguhkan
20.467.3893 Ha 18.143,6720 Ha 38.611,0613 Ha
20.287,4800 Ha 3.077,7280 Ha 238,5200 Ha 23. 603,7280 Ha
66
Sumber : data diolah dari hasil wawancara dengan .
Informan tahun 2000
Berdasarkan dari data dan tabel tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa perpanjangan HGU PTPN-II yang terdiri dari 66 kebun yang masingmasing terletak di daerah Deli Serdang, Langkat dan Binjai adalah dari seluas 62.214,7900 Ha. yang diperpanjang hanya 38.611,0613 Ha sedangkan sisanya 23.603,7280 ditangguhkan atau tidak diperpanjang. Penyelesaian terhadap areal perkebunan PTPN-II di daerah Deli Serdang yang ditangguhkan penerbitan HGUnya seluas 20.287,4700 Ha kemudian direkomendasikan untuk perpanjangan HGU seluas 15.863,8000 Ha sedangkan yang tidak dapat diperpanjang HGU seluas 4.423,6700 Ha. Sisa dari areal perkebunan Deli Serdang tersebut kemudian dibagikan oleh Gubernur Sumatera Utara untuk didistribusikan kepada rakyat, masuk ke dalam RTRWK, untuk tapak perumahan pensiunan karyawan dan untuk diberikan kepada masyarakat adat Melayu serta untuk pengembangan kampus USU. Pembagian tanah tersebut dapat ditabulasikan ke dalam tabel sebagai berikut : Tabel.2 Areal PTPN-II Kabupaten Deli Serdang Yang Ditangguhkan 4.423,6700 Ha Yang Dibagikan Kepada Masyarakat. NO PERUNTUKAN JUMLAH AREAL 1 Tuntutan garapan rakyat untuk didistribusikan 1. 211,9800 Ha kepada rakyat 2 Masuk dalam RUTRWK 2. 219,7000 Ha 3 Untuk tapak perumahan pensiunan karyawan 441,9900 Ha 4 Diberikan sebagai kompensasi kepada masyarakat 250,0000 Ha adat Melayu 5 Areal untuk pengembangan Kampus USU 300,0000 Ha Jumlah 4.423,6700 Ha Sumber : data diolah dari hasil wawancara dengan Informan tahun 2002. Berdasarkan data dalam tabel 2 di atas dapat disimpulkan, bahwa Pemerintah Daerah Sumatera Utara mengambil suatu kebijakan terhadap areal Perkebunan PTPN-II merekomendasikan areal perkebunan PTPN-II Kabupaten Deli Serdang seluas 4.423,6700 dibagikan untuk :
1. Diberikan untuk tuntutan garapan rakyat dan didistribusikan kepada 2. 3. 4. 5.
rakyat seluas 1.211,9800 Ha. Diperuntukkan untuk RUTRWK seluas 2.219,7000 Ha. Untuk tapak perumahan pensiunan karyawan seluas 441,9900 Ha. Diberikan sebagai kompensasi adat Melayu seluas 250,0000 Ha. Diberikan untuk pengembangan Kampus Universitas Sumatera Utara (USU) seluas 300,0000 Ha.133
Berdasarkan dari data tersebut di atas (tabel 1), dapat diketahui bahwa Luas areal PTPN-II di Kabupaten Langkat yang ditangguhkan untuk perpanjangan HGUnya dari seluas 3.077,7300 Ha, penyelesaiannya hanya
133
Wawancara dengan informan pada tahun 2001.
©2004 Digitized by USU digital library
67
dapat direkomendasikan perpanjangan HGU seluas 1.866,8600 Ha, sedangkan yang tidak dapat diperpanjang HGUnya seluas 1.210,8700 Ha yang kemudian dibagikan kepada masyarakat. Dapat ditabulasikan ke dalam tabel sebagai berikut :
Tabel.3 Areal PTPN-II Kabupaten Langkat Yang Seluas 1.210,8700 Ha Didistribusikan Kepada Masyarakat. NO 1
PERUNTUKAN JUMLAH AREAL Tuntutan garapan rakyat untuk didistribusikan 588,3600 Ha kepada rakyat 2 Masuk dalam RUTRWK 308,4700 Ha 3 Untuk tapak perumahan pensiunan karyawan 114,0400 Ha 4 Diberikan sebagai kompensasi kepada masyarakat 200,0000 Ha adat Melayu Jumlah 1. 210,8700 Ha Sumber data diolah dari data Kanwil BPN Sumatera Utara Tahun 2002. Kemudian berdasarkan data tersebut di dalam (tabel 1) tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Luas areal PTPN-II di Kota Madya Binjai yang ditangguhkan untuk perpanjangan HGUnya dari seluas 238,5200 Ha, penyelesaiannya hanya dapat direkomendasikan perpanjangan HGU seluas 0 Ha, sedangkan yang tidak dapat diperpanjang HGUnya seluas 238,5200 Ha kemudian didistribusikan kepada masyarakat dengan perincian sebagai berikut : Tabel.4 Areal PTPN-II Kotamadya Binjai Yang Ditangguhkan Dari 238,5200 Ha Tidak Dapat Diperpanjang Kemudian Didistribusikan Kepada Masyarakat. NO 1
PERUNTUKAN JUMLAH AREAL Tuntutan garapan rakyat untuk didistribusikan 122,9000 Ha kepada rakyat 2 Masuk dalam RUTRWK 113,3000 Ha 3 Untuk tapak perumahan pensiunan karyawan 2,3200 Ha 4 Diberikan sebagai kompensasi kepada masyarakat 50,0000 Ha adat Melayu Jumlah 238,5200 Ha Sumber : data diolah dari hasil wawancara dengan Informan tahun 2002. Berdasarkan data dari tabel (4) tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa luas areal PTPN-II di Kota Madya Binjai dari areal seluas 238,5200 Ha yang ditangguhkan perpanjangan HGUnya, ternyata dalam taraf penyelesian sama sekali tidak direkomendasikan untuk diperpanjang, tetapi dibagikan kepada masyarakat.
©2004 Digitized by USU digital library
68
Dari uraian tabel 1 sampai 4 tersebut di atas, dapat disimpulkan, bahwa dari keseluruhan pada 66 kebun PTPN-II Kabupaten Deli Serdang akhirnya dapat diselesiaikan, bahwa dari jumlah areal seluas 23.603,7280 Ha yang ditangguhkan perpanjangan HGUnya, kemudian dapat diselesaikan untuk memperpanjang HGUnya seluas 17.730,6600 Ha. Sedangkan sisanya seluas 5.873,0600 Ha didistribusikan untuk masyarakat dengan perincian: untuk daerah Deli Serdang seluas 4.423,670 (lihat tabel 2), untuk daerah Langkat seluas 1.210,870 Ha (Lihat tabel 3), sedangkan untuk Kotamadya Binjai seluas 238,5200 Ha (Lihat tabel 4). Kebijakan Pemerintah Daerah Sumatera Utara yang mendistribusikan areal perkebunan PTPN-II Kabupaten Deli Serdang, Langkat dan Kotamadya Binjai kepada masyarakat, tidak dapat diketahui dengan jelas apa yang menjadi tolok ukur pembagian tanah bekas areal PTPN-II Deli Serdang kepada masyarakat. Terutama tentang pembagian peruntukkan untuk masyarkat sebagaimana yang ada dalam tabel-tabel tersebut di atas. Pembagian tanah bekas areal PTPN-II yang tidak diperpanjang HGUnya yang akan didistribusikan kepada masyarkat sesuai dengan data yang ada dalam tabel (2, 3 dan 4) untuk Kabupaten Deli Serdang didisitribusikan kepada rakyat penggarap untuk RUTRWK, untuk perumahan pensiunan karyawan diberikan sebagai kompensasi kepada masyarakat adat Melayu yang keseluruhannya seluas 4.423,6700 Ha, termasuk di dalamnya untuk keperluan pengembangan kampus USU. Untuk Kabupaten Langkat didistribuskikan kepada masyarakat dengan subjek dan objek yang sama seperti Kabupaten Deli Serdang, seluas 1.210,8700 Ha. Begitu juga untuk Kotamadya Binjai seluas 238,5200 Ha. Gubernur Pemerintah Daerah Tk. I Sumatera Utara, dalam melaksanakan pembagian tersebut terkesan tidak transfaran, yakni tentang dasar hukum pembagian dan siapa, serta lembaga mana yang berhak untuk mendapatkan pembagian tanah tersebut. Kondisi seperti ini cenderung menimbulkan KKN. Akibatnya sengketa pertanahan tidak dapat diselesaikan secara tuntas dan akhirnya akan muncul sengketa baru dengan tuntutan secara sporadis dalam masyarakat dan dapat bernuansa politik, budaya dan ekonomi. KKN bisa saja terjadi antara pihak PTPN-II dengan Pemerintah Daerah dan dapat juga terjadi antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat, dimana kemungkinan tanah yang didistribusikan kepada masyarkat di dalamnya terdapat bahagian tanah untuk para pejabat pemerintahan baik dalam tingkat Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten atau Kotamadya sampai ke tingkat Provinsi. Di samping itu disinyalir adanya kolusi antara masyarakat penggarap dengan para konglomerat/pengusaha khususnya pengusaha pengembang real estate, dimana para pengembang memanfaatkan masyarakat untuk memperjuangkan tanah garapan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada dengan tujuan agar mereka dapat membeli tanah garapan dari masyarakat penggarap. Di satu sisi masyarakat pun bersedia untuk menjual tanahnya kepada para pengembang atau pengusaha real estate. Sedangkan disisi lain para pengembang dapat membeli tanah dengan harga yang relatif murah. Masyarakat petani penggarap yang benar-benar tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan dengan menjual tanah garapan bagian mereka, sehingga mereka tidak lagi mempunyai lahan pertanian yang satu-satunya sebagai mata
©2004 Digitized by USU digital library
69
pecaharian mereka. Dalam situasi dan kondisi ekonomi yang semakin tidak kondusif, maka masyarakat yang sudah kehilangan lahan pertanian akan sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, keadaan seperti ini mendorong masyarakat akan kembali menggarap tanah areal perkebunan.
V. Kesimpulan dan Saran.
A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, sengketa tanah di areal perkebunan antara masyarakat petani penggarap dengan pengusaha perkebunan PTPN-II dan PTPN-III, serta pemerintah, merupakan suatu peristiwa yang selalu terjadi secara periodik. Hal ini khususnya menyangkut tentang hak konsesi yang diberikan sultan, yang menyangkut hak ulayat masyarakat adat, mengenai okupasi tanah perkebunan PTPN-II dan PTPN-III, mengenai tuntutan berdasarkan hak ulayat masyarakat dari BPRPI dan tuntutan eks karyawan PTPNII terhadap perumahan dan perladangan mereka. Dapat disimpulkan sebagai berikut : Faktor-faktor penyebab timbulnya sengketa dalam penguasaan hak atas tanah untuk kepentingan usaha perkebunan adalah : Pertama, sengketa pertanahan yang terjadi tidak terlepas dari masa pemerintahan kesultanan, yaitu tentang status pemilikan tanah dalam konsep penguasaan yang berbeda. Menurut pandangan penguasa tradisional, sultan adalah pemilik dari semua tanah di wilayah kesultanannya. Sementara itu masyarakat adat mengakui bahwa tanah adalah milik adat yang bersifat komunal sehingga diperuntukkan penggunaannya bagi semua warga masyarakat. Tanah ini menjadi sumber penghidupan masyarakat, sehingga tidak bisa dialihkan kepada warga lain di luar masyarakat tersebut. Dengan melihat konsep ini, masyarakat memandang sultan sebagai pemangku adat yang dianggap wajib berunding dengan para kepala adat dalam menyewakan tanah ulayat kepada pihak konsesionaris. Para pengusaha perkebunan Barat dan pemerintah Eropa, yang menganut pandangan bahwa raja adalah pemilik semua tanah seperti di Barat, menganggap sultan adalah penguasa semua tanah di kesultanannya. Oleh karena itu mereka kemudian menghubungi sultan untuk meminta tanah konsesi. Sultan Deli memberikan tanah konsesi kepada onderneming perkebunan swasta Belanda dengan batas-batas yang tidak jelas, selama 99 tahun. Konsesi yang diberikan oleh Sultan Deli tersebut, mencakup wilayah yang dikuasai para Datuk, di wilayah Kesultanan Deli tanpa terlebih dahulu mendapat izin para datuk-datuk. Akibatnya terjadi sengketa yang dikenal dengan perang Sunggal. Kemudian setelah itu Pemerintah Belanda memerintahkan kepada sultan untuk membagi tiga hasil uang sewa tanah konsesi, yaitu masing-masing untuk sultan, datuk-datuk dan penghulu adat. Kepada masyarakat petani diberikan hak tanah jaluran, tapi dalam pelaksanaannya tanah jaluran itu tidak dibagi seluruhnya
©2004 Digitized by USU digital library
70
pada petani rakyat penunggu. Sultan dan pihak onderneming berkoalisi dan berkolusi, membagi sebagian tanah jaluran untuk disewakan kepada kuli perkebunan suku Jawa dan China serta kerabat sultan. Hal ini menyebabkan terjadinya sengketa, dan pemberontakan dari petani. Kemudian dengan keluarnya Undang-Undang Hak Erfacht pada tahun 1931, yang secara formal menghapuskan tanah jaluran di dalam hak erfacht, menimbulkan kegelisahan bagi para petani, dan akhirnya menimbulkan sengketa, antara rakyat penunggu dengan pihak perkebunan. Sengketa pertanahan terjadi karena adanya kompleksitas persoalan tanah, yang disebabkan karena adanya penduduk yang heterogen, di Sumatera Utara, terdiri dari Suku Melayu, Batak Karo dan Simalungun, dan Suku Jawa bekas kuli kontrak, serta golongan China, yang sejak zaman Jepang, telah melakukan penggarapan areal perkebunan Tembakau Deli, dan kemudian diikuti pula pendatang baru atau imigran dari Tapanuli (Batak Toba). Akhirnya tanah jaluran yang diperuntukkan untuk rakyat penunggu menjadi semakin berkurang, mengakibatkan terjadi sengketa horizontal yaitu antara rakyat penunggu dan kaum pendatang. Untuk menyelesaikan pendudukan tanah perkebunan oleh rakyat, Belanda mengeluarkan Ordonansie Onrechtmatige Occupatie Van Dronden (Ord. 8 Juli 1948, S.1948-110). Kementrian Dalam Negeri juga mengeluarkan Surat Edaran No.A.2.30/10/37 (Bijblad 15242). Kedua peraturan ini, bertujuan untuk mengosongkan tanah perkebunan dari petani penggarap dan memungkinkan kembali para pertani penggarap ke tempat baru yang disediakan. Pemukiman kembali penghuni liar menimbulkan sengketa baru antara pihak perkebunan dengan para petani penggarap. Sengketa pertanahan antara petani penggarap atau pendudukan liar oleh rakyat, atau tanah-tanah konsesi onderneming perkebunan tembakau, yang dimukimkan kembali, sejak zaman Jepang sampai pendudukan Belanda, dilanjutkan pada masa RIS, KMB, kembali ke Negara Kesatuan RI, hingga nasionalisasi. Setelah periode itu bermunculan bermacam-macam tuntutan masyarakat terhadap tanah perkebunan diantaranya : tuntutan rakyat penunggu atas tanah jaluran, tuntutan petani penggarap, terhadap tanah perkebunan yang telah digarapnya sejak zaman Jepang. Sengketa pertanahan di Sumtera Utara juga terjadi karena adanya rivalitas politik di Sumatera Timur, antara pemerintahan RIS dan NST, yang sengaja memanfaatkan ketegangan sosial di sana, masing-masing mempengaruhi masyarakat penggarap untuk memenuhi kepentingan politik mereka. Dalam menyelesaikan masalah sengketa pertanahan antara masyarkat dan perkebunan, RIS dan NST selalu bersifat mendua sehingga terjadi persengketaan yang tidak mudah diselesaikan. Disamping itu adanya partai-partai politik, yang bersaing terdiri atas berbagai kelompok politik dengan ideologi dan pandangan yang berbeda-beda dan sering bertentangan untuk mencapai kemenangan Politik mereka. Mereka berusaha menggalang dukungan dari rakyat yang tersingkir atau terdesak (marginal) dalam persaingannya menghadapi para penguasa lahan yang baru. Perubahan struktur politik dan kebijakan pusat yang bersifat mendua, yaitu satu sisi berusaha untuk membela rakyat penggarap dan di sisi lain membela pihak perkebunan sebagai penghasil devisa negara. Hal ini mempengaruhi perkembangan dan penyelesaian sengketa yang ada. Dalam prakteknya tidak pernah selesai dan selalu muncul penggarap-penggarap baru. Sengketa ini tidak
©2004 Digitized by USU digital library
71
dapat diselesaikan secara tuntas. Keadaan ini terus berlangsung sampai pemerintahan orde baru, dan berlanjut sampai adanya Reformasi tahun 1998. Kedua, bahwa sulitnya penyelesaian sengketa antara masyarakat dan perkebunan adalah disebabkan karena berdasarkan pengalaman historis, pemberian hak konsesi kepada pengusaha onderneming pada dasarnya dalam waktu yang cukup panjang (99 tahun), tanpa batas-batas yang jelas. Begitu juga hak erfacht yang diberikan oleh pemerintah kolonial di atas tanah hak ulayat masyarakat dilakukan berdasarkan Agrarische Wet 1870 dengan prinsip Domain Verklaring yang memperkosa hak-hak ulayat masyarakat. Maksud pemerintah kolonial memperlakukan Agrarische Wet 1870 dengan harapan adanya kejelasan status bagi penguasaan hak atas tanah. Namun untuk wilayah Sumatera Timur persoalan ini tidak bisa berjalan karena terdapat empat pihak yang berkuasa dalam menentukan hak atas tanah namun dengan kepentingan yang berbeda: Pemerintah Kolonial, Pengusaha Perkebunan (onderneming), Sultan, dan rakyat pribumi. Masing-masing mereka menganut konsep pandangan pemilikan tanahnya dan adanya kolusi yang menghambat penyelesaian sengketa tanah demi kemakmuran rakyat. Disamping itu banyak peraturan perundang-undangan yang juga dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan konflik pertanahan, khususnya di Sumatera Timur antara lain, Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, Keputusan Bersama No.1 Tahun 1955, Undang-Undang No. 51 Prp Thn.1950, Keputusan Gubernur No.36/K/Agr. Tahun 1951,UU Nomor 1 Tahun 1956, UU Nomor 28 Tahun 1956, UU Nomor 29 Tahun 1956, UU Nomor 13 Tahun 1958 dan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 serta Peraturan Pelaksanaannya. Di samping itu juga telah diterbitkan Keputusan Bersama Nomor 1 Tahun 1955 Menteri Agraria, Menteri Pertanian, Menteri Perekonomian, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman, Keputusan Penguasa Perang Tertinggi Nomor 2 Tahun 1960, Pedoman Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1960. Semua peraturan tersebut dalam praktek tidak dapat berlaku secara efektif, sehingga sengketa pertanahan di Sumatera Utara terus berlangsung sampai saat ini. Hal ini disebabkan oleh kurang konsekwennya penerapan peraturan perundangan yang dibuat, dan perbedaan kondisi pada saat peraturan itu dibuat dengan penerapan dilapangan. Peraturan dan kebijakan pemerintah cenderung membentuk prilaku hukum masyarakat menjadi prilaku yang tidak mematuhi hukum. Sehingga hukum telah kehilangan fungsinya sebagai alat kontrol sosial dalam masyarakat dan telah berubah menjadi aturan hukum yang mati (dead letter). Rekayasa sosial yang dibentuk oleh peraturan dan kebijakan pemerintah hanya merupakan untuk mempertahankan status quo. Dengan berlakunya UUPA yang menyatakan bahwa undang-undang ini didasarkan pada hukum adat (pasal 5) dan hak ulayat masih tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada (pasal 3). Tetapi kenyataannya undangundang inipun mengampil langkah penting ke arah penghapusan hak-hak tanah adat, sesuai dengan pejelasannya, hukum adat itu harus tunduk kepada kepentingan nasional. Dengan demikian undang-undang tersebut mengabaikan hak-hak adat yang khusus atau yang diyakini oleh masyarakat lokal, dengan tujuan memberlakukan hukum pertanahan yang berlaku secara unifikasi. Hakhak baru yang diatur dalam UUPA, hanya sebagai terobosan gagasan persuasif,
©2004 Digitized by USU digital library
72
peninggalan kolonial untuk menghapuskan dualisme hukum tanah, akan tetapi hak-hak baru ini sebagian besar masih berpola hak-hak yang ada dalam BW, meskipun terlihat samar. HGU yang diberikan kepada pengusaha perkebunan besar baik swasta maupun BUMN atas dasar hak menguasai negara, pada prinsipnya adalah sama dengan hak erfacht yang diberikan atas dasar domain verklaring pada masa kolonial. Jadi hak-hak atas tanah yang ada dalam BW, ternyata hanya berganti baju dengan Hak Guna Usaha. Selama Pemerintahan orde baru, penyelesaian sengketa pertanahan dilakukan pemerintah dengan memaksakan kehendaknya, dengan cara-cara paksa, dan bersandar pada peraturan perundang-undangan, yang substansi norma hukumnya, diatur sedemikian rupa walaupun secara substansi norma hukum itu, memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat. Tetapi dalam praktek, tidak dilaksanakan, sesuai dengan hakekat yang terkandung dalam norma hukum tersebut. Pola penyelesaian sengketa dalam prakteknya selalu dengan pendekatan Militer dan kekuasaan, seperti pola penyelesaian dengan Operasi Sadar. Faktor lain yang menghambat penyelesaian sengketa pertanahan di Sumatera Utara adalah bahwa pendekatan yang digunakan oleh pemerintah sejak masa lalu adalah pendekatan kekuasaan. Pemerintah selalu memandang bahwa negara telah memberinya mandat untuk melasanakan kekuasaan tertinggi termasuk membuat perundangan. Akibatnya pertimbangan politik selalu digunakan oleh pemerintah untuk menyusun peraturan hukum, guna menyelesaikan masalah pertanahan. Suatu sisi kelemahan dalam pertimbangan politik adalah bahwa pemerintah lebih menekankan kepentingan penguasa daripada adat tradisional yang ada. Setiap perubahan undang-undang yang dilakukan oleh Pemerintah cenderung hanya untuk kepentingan birokrasi dan pengusaha perkebunan dengan rekayasa sosial (law as/is a tool of social engineering), yang secara implisit menciptakan legal gaps, terjadi celah perselisihan faham atau keyakinan antara apa yang dikehendaki oleh pemerintah agar dipatuhi dengan apa yang masih diyakini dan dipatuhi sebagai keyakinan hukum masyarakat lokal dalam kehidupannya sehari-hari. Kelemahan lain dari pertimbangan politik ini adalah bahwa tekanan utama diberikan pada kebutuhan jangka pendek, dan bukan jangka panjang. Ini mendasari cara penyelesaian yang diambil oleh pemerintah, yang lebih mengutamakan bentuk penyelesaian represif dengan tujuan menegakan keamanan dan ketertiban. Pemerintah dalam hal ini kurang memikirkan kemungkinan jangka panjang tentang terulangnya kasus tersebut. Pendekatan kekuasaan yang digunakan oleh pemerintah, memungkinkan pengerahan semua aparatur negara untuk terlibat dalam persoalan sengketa tanah. Sebagai akibatnya, muncul peluang bagi terjadinya penyelewengan dan penyimpangan yang disebabkan oleh diutamakannya kepentingan pribadi para pelaksana kekuasaan daripada tercapainya penyelesaian sengketa demi kepentingan masyarakat. Musyawarah yang dilakukan hanya bergantung pada persepsi penguasa dan pengusaha, akibatnya cukup merugikan masyarakat. Tindakan pemerintah tersebut lebih didasarkan pada kepentingan pendapatan negara yang salah satunya bersumber pada produksi perkebunan. Oleh karena itu tindakan perkebunan yang sering melanggar ketentuan kontrak dengan masyarakat seperti perluasan lahan tanpa musyawarah terlebih dahulu mengakibatkan hilangnya hak-hak penduduk penggarap atas tanah-tanah yang
©2004 Digitized by USU digital library
73
disediakan bagi mereka. Perkebunan dalam hal ini menganggap dirinya lebih berwenang daripada petani karena merasa bahwa Perusahaan Perkebunan adalah Perusahaan Negara (BUMN) sehingga memperoleh dukungan dan pengakuan dari Aparat Pemerintah. Hal ini tentu saja berakibat pada rusaknya sistem dan budaya hukum yang berlaku, sebab dengan berlarut-larutnya pelanggaran yang terjadi tanpa penanganan yang tuntas, sehingga membentuk prilaku hukum dalam masyarakat menjadi tidak lagi percaya pada aparat penegak hukum dan penerapan sistem hukum yang sudah ada. Masyarakat cenderung bertindak menurut keinginan dan kepentingannya sendiri tanpa mengindahkan semua norma dan kaidah hukum yang telah ditetapkan oleh negara. Sebagai kelanjutannya maka konflik antara masyarakat dan pihak perkebunan terus berlangsung secara periodik tanpa adanya penyelesaian hukum yang tuntas, mengingat sistem dan norma hukum yang dianutnya sebenarnya sudah tidak lagi berlaku dalam masyarakat. Ketiga, keberadaan hak ulayat di Sumatera Utara, telah mengalami pasang surut khususnya hak ulayat yang berada di atas tanah perkebunan, sejak zaman kolonial telah diakui oleh pemerintah Hindia Belanda . Terbukti dalam klausula akte konsesi, yang diberikan kepada onderneming perkebunan, hak ulayat masyarakat adat diakui dan dilindungi . Kepada masyarakat diberikan hak atas tanah jaluran di areal perkebunan, untuk ditanami tanaman semusim. Tetapi dalam perkembagan selanjutnya mulai akan dihilangkan oleh pemerintah kolonial dengan keluarnya ordonansi hak erfacht 1931. Dalam ketentuan ini ditegaskan, bahwa hak ulayat yang berada di areal hak erfacht dihapuskan. Dan pemerintah kolonial mengizinkan para Imigran, untuk menggarap tanah di luar areal perkebunan. Hal ini menimbulkan kegelisahan petani rakyat penunggu sehingga terjadi konflik horizontal. Keberadaan hak ulayat ini, merupakan alasan yang kuat bagi para petani penggarap, untuk menduduki tanah perkebunan yang diklaim sebagai hak ulayat masyarakat adat . Atas dasar itu, masyarakat menggarap dan menduduki tanah areal perkebunan . Keadaan ini menimbulkan konflik dan sengketa antara masyarakat dengan pihak perkebunan. Hak ulayat dalam Undang-Undang Pokok Agraria, diakui sepanjang dalam kenyataannya hak itu masih ada. Pengakuan hak ulayat ini, hanya secara formil tetapi, secara materil hukum adat hanya dirumuskan secara umum dan abstrak. Keberadaan hak ulayat tidak terlindungi dalam UUPA karena, para penegak hukum melaksanakan substansi norma hukum yang terdapat dalam UUPA, hanya berorientasi pada sistem hukum barat yang menganut aliran positivisme, yang bersifat legalistik . Pemahaman seperti ini, sudah barang tentu mengenyampingkan keberadaan hak ulayat yang berdasarkan hukum adat. Dalam hal ini ada dua sistim hukum yang berbeda, menimbulkan konflik jika dihadapkan dengan suatu peristiwa hukum, maka harus dapat ditentukan hukum mana dan hukum apa yang berlaku. Dalam praktek penyelesaian sengketa pertanahan di Sumatera Utara, dari berbagai kasus yang terjadi misalnya kasus BPRPI versus PTPNII. Tuntutan para petani yang tergabung dalam BPRPI adalah mengenai tanah hak ulayat mereka yang dikuasai oleh PTPN-II. Pihak Perkebunan tetap
©2004 Digitized by USU digital library
74
bertahan bahwa mereka menguasai tanah sengketa adalah berdasarkan alas hak yang sah, berupa sertifikat HGU yang diterbitkan berdasarkan undangundang yang berlaku. Sedangkan masyarakat membuktikan hak ulayat mereka hanya berdasarkan fakta sejarah dan hukum yang tidak tertulis. Akibat adanya perselisihan hukum ini, penyelesaian sengketa menjadi lebih sulit, karena hakim harus dapat menentukan, hukum apa yang berlaku . Jika hakim mengambil keputusan semata-mata berdasarkan hukum tertulis maka, keputusannya cenderung akan merugikan masyarakat. Gubernur Sumatera Utara dengan Keputusannya No. 370/3/SU/1968, telah menghapuskan hak ulayat dalam hal ini tanah jaluran di areal PTP-IX yang sekarang menjadi PTPN-II. Keputusan ini telah menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat antara lain satu pihak masih mengakui adanya hak ulayat dan di lain pihak menganggap hak ulayat sudah tidak ada lagi di Sumatera Utara khususnya di areal PTPN-II. Penyelesaian sengketa atas kasus tersebut, dilaksanakan oleh pemerintah hanya berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara formil, dimana pelaksanaannya hanya berdasarkan norma hukum yang ada di dalam peraturan undang-undang tanpa melihat kekuatan sosial, berupa hukum yang hidup dan budaya hukum yang ada di dalam masyarakat . Akibat pelaksanaan dan pemahaman hukum sedemikian itu, keberadaan hak ulayat dalam masyarakat hukum adat tidak diindahkan sama sekali. Disamping itu, ada pemikiran yang menganggap bahwa dengan adanya Negara Republik Indonesia yang berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945, dan Pancasila, menganggap semua tanah adalah dikuasai oleh negara . Oleh karena itu, hak ulayat dianggap sudah tidak ada lagi. Pengertian dan pemahaman yang demikian itu sesungguhnya tidak dapat dibenarkan. Berdasarkan penjelasan umum bagian II dalam UUPA, penyelesaian sengketa pertanahan yang menyangkut hak ulayat dilakukan dengan cara musyawarah dan pemberian ganti rugi. Bagi masyarakat adat yang hak ulayatnya diambil untuk kepentingan pembangunan, maka bagi masyarakat yang diambil hak ulayatnya untuk pembangunan harus diberikan ganti rugi atau recognitie. Tetapi dalam praktek, pelaksanaan musyawarah berubah menjadi intimidasi dan juga pemberian ganti rugi dilakukan dengan pembayaran yang tidak layak sehingga, menjadikan masyarakat lebih miskin dari sebelumnya . Begitu juga recognitie tidak pernah dilaksanakan sebagaimana yang telah disyaratkan oleh undang-undang. Setelah Reformasi, ada sedikit harapan bagi masyarakat adat tentang pengakuan keberadaan hak ulayat mereka yaitu dengan keluarnya Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.5 Tahun 1999, tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Surat Keputusan Menteri ini, bertujuan untuk memperjelas prinsip pengakuan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu. Pengakuan hak ulayat yang tertuang dalam Keputusan Menteri tersebut ternyata tidak akomodatif karena pelaksanaan hak ulayat tidak dapat lagi diakui terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya Peraturan Daerah mengenai ada tidaknya hak ulayat di suatu daerah, yaitu apabila tanah yang sudah dipunyai perseorangan atau badan hukum dengan satu hak tanah
©2004 Digitized by USU digital library
75
menurut Undang-Undang Pokok Agraria, dan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh Instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan ini, tidak mungkin lagi rakyat atau masyarakat adat, dapat menuntut hak ulayat mereka khususnya di areal perkebunan karena pihak perkebunan telah memperoleh HGU berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku kecuali, HGU itu sudah habis masa berlakunya atau tidak diperpanjang lagi. Kebijakan ini sangat menjauhkan rakyat dari hak ulayatnya. Dari hasil penelitian, dapat ditemukan di beberapa areal perkebunan PTPN II, yang sudah habis masa berlaku HGU-nya dan tidak diperpanjang lagi . Berarti masih ada harapan bagi masyarakat adat untuk memperoleh hak ulayatnya di areal bekas perkebunan kecuali Pemerintah Daerah menentukan lain. Dalam praktek banyak HGU perkebunan yang dilepaskan haknya karena habis masa berlakunya, diserahkan kepada pengusaha real estate ataupun pengusaha lainnya . Hal ini, akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada kebijakan pemerintah pusat ataupun daerah. Akibatnya konflik dan sengketa pertanahan di Sumatera Utara tetap berlangsung. Keempat, dengan melihat beberapa faktor yang menghambat penyelesaian sengketa penguasaan atas tanah ini, maka perlu ditempuh beberapa jalan untuk mengatasi kondisi tersebut. Dalam sistem perundangan yang ada, pemerintah perlu memberikan perbaikan dengan memperjelas beberapa hal yang vital namun sering menimbulkan perbedaan persepsi dan menumbuhkan pengertian kabur, misalnya dalam pengertian mengenai hak ulayat. Hal ini sangat penting mengingat semua produk peraturan hukum yang dibuat negara akan dijadikan dasar bagi pengambilan keputusan lebih lanjut dalam menangani sengketa itu. Dalam melakukan pendekatan terhadap penyelesaian sengketa pemerintah mulai mempertimbangkan untuk meninggalkan pendekatan kekuasaan, tetapi harus mengutamakan pendekatan musyawarah yang melibatkan masyarakat (bottom-up) dan hukum. Alat-alat represif tidak lagi digunakan untuk memaksakan kepentingan, namun lebih mendasarkan pada pertimbangan yuridis formal yang netral dengan menekankan pada kesejahteraan masyarakat. Untuk ini perlu bagi pemerintah agar lebih memikirkan pandangan jangka panjang daripada penyelesaian sengketa jangka pendek, yang lebih mengutamakan ditegakkannya keamanan dan ketertiban. Pemerintah juga perlu meningkatkan program penerangan/komunikasi hukum kepada masyarakat tentang pengertian hak-hak tanahnya dan sejauh mana batas-batas penerapan hak tersebut bisa dilakukan.
B. Saran. Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat dipertimbangkan saransaran yang didasarkan pada hasil analisa atas kajian kualitatif terhadap fenomena yang muncul, sebagai berikut : Pertama, berdasarkan
faktor-faktor
©2004 Digitized by USU digital library
penyebab
terjadinya
sengketa
76
pertanahan di Sumatera Utara yang sampai saat ini tidak pernah selesai, maka disarankan pada pemerintah untuk melakukan reformasi terhadap UUPA. Sesuai dengan filosofi yang dianut oleh UUPA dengan berdasarkan hukum adat, maka seluruh bentuk peraturan pelaksanaannya yang menyangkut dengan pertanahan harus juga dibuat berdasarkan hukum adat, misalnya tentang pemberian hak-hak atas tanah, perolehan hak atas tanah, pendaftaran tanah dan pembebasan hak atas tanah, juga dibuat berdasarkan filosofi hukum adat. Undang-undang juga perlu memberikan penjelasan yang lebih kontekstual tentang batasan-batasan defenisi istilah dalam hukum adat, yang dimuat dalam bentuk perundangan ini. Jika perlu, disusun bentuk perundangan baru yang khusus mengatur persoalan ini dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat. Pembentukan undang-undang tersebut, harus memperhatikan faktorfaktor kekuatan sosial berupa budaya hukum dan hukum yang hidup dalam masyarakat dengan umpan balik terhadap lembaga penegakan hukum dan kondisi masyarakat yang akan dikenai dengan peraturan hukum itu. Lembaga pembentuk hukum, lembaga penegak hukum dalam upaya untuk memfungsikan atau bekerjanya hukum sebagai alat kontrol sosial, harus sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, maka faktor-faktor yang mempengaruhi itu harus dilihat sebagai faktor yang saling mempengaruhi. Yang dapat menimbulkan interaksi tertentu, meliputi struktur, substansi, budaya hukum dalam masyarakat. Kedua, untuk mencapai keseimbangan yang harmonis dalam penguasaan hak atas tanah pemerintah harus lebih bersikap netral dalam menyelesaikan sengketa, mengingat sejauh ini pemerintah cenderung bersikap represif terutama dalam pengambilan keputusan akhir. Hal ini hanya bisa dicapai apabila pemerintah lebih menggunakan pendekatan secara yuridis dan musyawarah sehingga bisa tercapai jalan keluar yang bisa diterima oleh semua pihak. Pemerintah jangan menggunakan sikap represif dan segera mengambil tindakan tegas terhadap aparat negara yang terbukti melakukan penyelewengan dan penyimpangan dari peraturan yang ada. Disarankan pula agar pemerintah daerah atau instansi terkait harus bersikap proaktif terhadap adanya gerakan-gerakan dalam penyerobotan tanah di areal perkebunan, yang mungkin dapat diidentifikasi sebagai bahaya laten PKI. Pelaksanaan dan penegakan hukum harus berjalan secara konsekwen. Ketiga, untuk menentukan keberadaan hak ulayat dalam masyarakat, disarankan agar pemerintah melakukan penelitian apakah hak ulayat itu mengalami perubahan dengan adanya perkembangan zaman, dalam arti mengembang atau mengempisnya hak ulayat dalam masyarakat, sesuai dengan sifat dinamisnya hukum adat itu. Peraturan itu harus dibuat dalam bentuk undang-undang, bukan dalam bentuk Keputusan Menteri . Peraturan itu harus akomodatif terhadap kepentingan masyarakat adat dan kepentingan nasional . Di samping itu, pemerintah harus mengambil kebijaksanaan yang tegas, tentang apakah masih ada atau tidak hak ulayat pada daerah tertentu Keempat, penyelesaian sengketa antara masyarakat dan perkebunan seharusnya dapat dilakukan dengan jalur penyelesaian secara yuridis formal dengan pendekatan budaya hukum yang ditempuh dengan musyawarah dengan
©2004 Digitized by USU digital library
77
melibatkan kelompok masyarakat terkait, disarankan pada pemerintah harus melibatkan tenaga-tenaga ahli hukum yang benar-benar memahami persoalan agraria khususnya yang menyangkut pemilikan tanah secara adat. Hal ini sangat berguna untuk menjelaskan sejauh mana batas-batas kekuasaan tradisional masih berlaku dalam hal penguasaan hak atas tanah, baik secara perorangan maupun komunal. Perundang-undangan yang sejauh ini dibuat lebih mencerminkan kondisi darurat pada saat pembuatannya dan masih banyak dipengaruhi oleh aturan-aturan dalam hukum kolonial. Pemerintah hendaknya membuat undang-undang baru yang bercorak nasional dengan mengutamakan kepentingan masyarakat secara menyeluruh. Cara penyelesaian sengketa pertanahan disarankan dilakukan dalam dua model, yaitu pertama, harus dilaksanakan dengan negosiasi dan musyawarah dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan lainnya . Musyawarah dilakukan oleh tiga orang penengah yaitu masyarakat, pengusaha dan pihak yang netral yang ditunjuk oleh pemerintah . Dalam hal ini, pemerintah harus bertindak sebagai fasilitator bukan sebagai mediator, yang cenderung bersifat sebagai partisipan dalam kelompok yang bertikai. Model kedua adalah penyelesaian melalui proses Pengadilan sebagai upaya terakhir.
©2004 Digitized by USU digital library
78