SUATU TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL
ROSMI HASIBUAN, SH.MH Fakultas Hukum Jurusan Hukum Internasional Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang.
Kehidupan dalam masyarakat internasional senantiasa bertumpu pada suatu tatanan norma. Pada kodratnya masyarakat internasional itu saling berhubungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam melakukan hubungan ini satu sama lain diperlukan suatu kondisi, yaitu keadaan yang tertib dan aman, untuk berlangsungnya keadaan yang tertib dan aman ini diperlukan suatu tatanan norma. Dalam sejarah tatanan norma tersebut telah berproses dan berkembang menjadi apa yang dikenal dengan Hukum Internasional Publik atau disingkat dengan Hukum Internasional saja. Sebagai suatu sistem hukum, Hukum Internasional mempunyai beberapa sumber, seperti yang dinyatakan dalam pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional, bahwa bagi Mahkamah Internasional yang tugasnya memberi keputusan sesuai dengan Hukum Internasional untuk perselisihan yang diajukan kepadanya, akan berlaku : 1. Perjanjian-perjanjian Internasional, baik yang umum maupun yang khusus, yang dengan tegas menyebut ketentuan-ketentuan yang diakui oleh negara-negara yang berselisih. 2. Kebiasaan-kebiasaan internasional yang terbukti merupakan praktekpraktek umum yang diterima sebagai hukum. 3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa. 4. Keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran Sarjana-sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber hukum tambahan. Bahwa urutan-urutan sumber hukum tersebut tiga dari sumber hukum pertama yaitu 1, 2 dan 3 merupakan sumber hukum utama sedangkan sumber hukum ke 4 merupakan sumber hukum tambahan. Dalam Konperensi Wina tahun 1969 telah berhasil disepakati sebuah naskah perjanjian yang lebih dikenal dengan nama “Viena Convention on the Law of Treaties” atau Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun 1969 (selanjutnya disingkat sebagai Konvensi Wina 1969). Konperensi Wina ini diadakan atas prakarsa Perserikatan Bangsa-bangsa dan naskah rancangan konvensinya disusun oleh Panitia Hukum Internasional/International Law Commission (yang disingkat dengan ILC), yaitu sebuah Panitia ahli dan dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No.174/II/1947 (Wayan., Perjanjian.., 1981, ha;. 344). Konvensi Wina tentang perjanjian ini tidak hanya sekedar merumuskan kembali atau mengkodifikasikan hukum kebiasaan internasional dalam bidang perjanjian, melainkan juga merupakan pengembangan secara progresif hukum internasional tentang perjanjian. Namun demikian Konvensi Wina ini masih tetap
mengakui eksistensi hukum kebiasaan internasional tentang perjanjian, khususnya tentang persoalan-persoalan yang belum diatur dalam Konvensi Wina. B.
Pengertian dan Istilah Perjanjian Internasional. Dalam memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan perjanjian internasional para sarjana memberikan definisi masing-masing sesuai dengan apa yang ditekankan dalam pengertian istilah itu, tetapi dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik persamaan yang menggambarkan ciri-ciri perjanjian internasional. Beberapa definisi tersebut antara lain sebagai berikut : 1. Definisi dari G. Schwarzenberger. “Treaties are agreements between subject of International Law creating binding obligations in International Law. They may be bilateral (i.e. concluded between contracting parties) or multilateral (i.e. concluded more than contracting parties)” (George.., A Manual.., 1984, 26). Dari definisi tersebut dapat diartikan, bahwa perjanjian internasional diartikan sebagai suatu persetujuan antara subyek-subyek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional. Persetujuan tersebut dapat berbentuk bilateral maupun multilateral. 2. Definisi dari Oppenheim-Lauterpacht : “International treaties are agreements of contractual charter between states, creating legal rights and obligations between the parties”. (Oppenheim.., International.., London, hal. 877). Ditegaskan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan antar negara, yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak. Pendapat yang lebih luas lagi, yaitu definisi dari Mochtar Kusumaatmadja bahwa : “Perjanjian internasional adalah suatu perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibatakibat hukum tertentu”. (Mochtar, Pengantar.., Bandung 1996, hal. 38). Berdasarkan definisi tersebut bahwa subyek hukum internasional yang mengadakan perjanjian adalah anggota masyarakat bangsa-bangsa, termasuk juga lembaga-lembaga internasional dan negara-negara. Dari definisi-definisi ini dapat ditarik persamaan mengenai ciri-ciri perjanjian internasional bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian saling menyetujui antara pihak-pihak yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban dalam bidang internasional. Dalam Konvensi Wina 1969, yaitu dalam pasal 1 membatasi diri dalam ruang lingkup berlakunya hanya berlaku untuk perjanjian-perjanjian antar negara, seperti dinyatakan “The present conventions applies to treaties between states”. Namun demikian Konvensi menganggap perlu untuk mengatur perjanjian-perjanjian yang diadakan oleh subyek-subyek hukum lainnya secara tersendiri, seperti perjanjian antar negara dengan subyek hukum lain selain daripada negara, dan subyek hukum bukan negara satu sama lain. Dalam perkembangan dewasa ini kedudukan dari perjanjian internasional sebagai sumber hukum internasional adalah sangat penting mengingat perjanjian internasional lebih menjamin kepastian hukum karena dibuat secara tertulis. Lain dari itu perjanjian internasional mengatur masalah-masalah bersama yang penting dalam hubungan antar subyek hukum internasional. Dalam mempelajari perjanjian internasional ini banyak dijumpai istilah-istilah untuk pengertian perjanjian internasional, seperti : 1. Traktat (treaty) 2. Persetujuan (agreement) 3. Konvensi (Convention) 4. Protocol (Protocol) 5. Arrangement
2002 digitized by USU digital library
2
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
General Act Covenant Piagam (Statuta) Charter Deklarasi (Declaration) Modus Vivendi Accord Final Act Pakta (Pact)
Dilihat secara yuridis istilah-istilah tersebut tidak ada perbedaannya, semua mempunyai arti perjanjian internasional, tetapi dalam praktek kadang-kadang orang membedakannya, misalnya saja untuk perjanjian-perjanjian penting (masalah politik) dipergunakan istilah traktat (treaty), sedangkan untuk perjanjian perdagangan (executif) dipakai istilah agreement. C.
Penggolongan/Klasifikasi Perjanjian Internasional. Hukum internasional tidak mengenal penggolongan atau klasifikasi secara formal, tetapi menurut doktrin yang dikemukakan para sarjana yang ternama memberikan perincian kedalam beberapa kelompok sebagai berikut : 1.
Klasifikasi perjanjian dilihat dari segi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian (Mochtar.., Pengantar, 1996, Bandung, hal. 11) yaitu : 1). Perjanjian antar negara, merupakan jenis perjanjian yang jumlahnya banyak, hal ini dapat dimaklumi karena negara merupakan subyek hukum internasional yang paling utama dan saling klasik. 2). Perjanjian antar negara dengan subyek hukum internasional lainnya seperti negara dengan organisasi internasional atau dengan vatikan. 3). Perjanjian antara subyek hukum internasional selain negara satu sama lain, misalnya negara-negara yang tergabung dalam ACP (African, Carriban and Pacific) dengan MEE.
2.
Klasifikasi perjanjian dilihat dari para pihak yang membuatnya. Penggolongan perjanjian ini dibedakan dalam dua macam yaitu : 1). Perjanjian bilateral, suatu perjanjian yang diadakan oleh dua pihak (negara) saja dan mengatur soal-soal khusus yang menyangkut kepentingan kedua belah pihak. Misalnya perjanjian mengenai batas negara. 2). Perjanjian multilateral adalah perjanjian yang diadakan banyak pihak (negara) yang pada umumnya merupakan perjanjian terbuka (open verdrag) dimana hal-hal yang diaturnya pun lajimnya yang menyangkut kepentingan umum yang tidak terbatas pada kepentingan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian tetapi juga menyangkut kepentingan yang bukan peserta perjanjian itu sendiri. Perjanjian ini digolongkan pada perjanjian “law making treaties” atau perjanjian yang membentuk hukum (Mochtar.., Pengantar, 1996, Bandung, 115).
3.
Klasifikasi perjanjian ditinjau dari bentuknya (Sam Suhaidi.., Sejarah.. Bandung, 1968, hal. 250-251). 1). Perjanjian antar kepala negara (head of state form). Pihak peserta dari perjanjian disebut “High Contracting State (pihak peserta Agung)”. Dalam praktek pihak yang mewakili negara dapat diwakilkan kepada
2002 digitized by USU digital library
3
2).
3).
MENLU, atau Duta Besar dan dapat juga pejabat yang ditunjuk sebagai kuasa penuh (full powers). Perjanjian antar Pemerintah (inter-Government form). Perjanjian ini juga sering ditunjuk MENLU atau Duta Besar atau wakil berkuasa penuh. Pihak peserta perjanjian ini tetap disebut “contracting State” walaupun perjanjian itu dinamakan perjanjian “inter-governmental”. Perjanjian antar negara (inter-state form), pejabat yang mewakilinya dapat ditunjuk MENLU, Duta Besar dan wakil berkuasa penuh (full Powers).
4.
Perjanjian dilihat dari proses/tahap pembentukannya. Perjanjian ini dibedakan atas dua golongan (Mochtar, Pengantar, Bandung, 1996, hal. 112-113). 1). Perjanjian yang diadakan melalui tiga tahap pembentukannya, yaitu perundingan, penandatangan dan ratifikasi dan biasanya diadakan untuk hal-hal yang dianggap penting sehingga memerlukan persetujuan dari badan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat). Menurut Pak Mochtar perjanjian ini termasuk dalam istilah “perjanjian internasional atau traktat”. 2). Perjanjian yang melewati dua tahap pembentukan, yaitu perundingan dan penandatangan, diadakan untuk hal-hal yang tidak begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat, seperti perjanjian perdagangan yang berjangka pendek. Untuk golongan ini dinamakan “persetujuan atau agreement”.
5.
Klasifikasi perjanjian dilihat dari sifat pelaksananya. Penggolongan ini dapat dibedakan atas dua macam, (Sam Suhaidi., Sejarah.., Bandung.., 1968, hal. 256) yaitu : 1). Dispositive treaties (perjanjian yang menentukan) yang maksud tujuannya dianggap selesai atau sudah tercapai dengan pelaksanaan perjanjian itu. Contoh perjanjian tapal batas. 2). Executory treaties (perjanjian yang dilaksanakan), adalah perjanjian yang pelaksanaannya tidak sekaligus, melainkan dilanjutkan terus menerus selama jangka waktu perjanjian itu. Contoh perjanjian perdagangan.
6.
Klasifikasi dari segi struktur. Penggolongan dari segi struktur dibedakan atas : 1). Law making treaties. Law making treaties merupakan perjanjian internasional yang mengandung kaedah-kaedah hukum yang dapat berlaku secara universal bagi anggota-anggota masyarakat bangsa-bangsa, oleh karena itu jenis perjanjian ini dikategorikan sebagai sumber langsung dari hukum internasional, yang terbuka bagi pihak lain yang tadinya tidak turut serta dalam perjanjian, dengan kata lain tidak ikut dalam Konvensi Jenewa 1949 mengenai perlindungan korban perang. 2). Treaty contracts (perjanjian yang bersifat kontrak). Dengan treaty contracts dimaksudkan perjanjian dalam hukum perdata hanya mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian-perjanjian. “Legal effect” dari treaty contract ini hanya menyangkut pihak-pihak yang mengadakannya, dan tertutup bagi pihak ketiga. Oleh karena itu “treaty contract” tidak melahirkan aturan-aturan hukum yang berlaku umum, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian yang
2002 digitized by USU digital library
4
membentuk hukum (“law making treaties”). Tetapi pada hakekatnya “treaty contract” secara tidak langsung dapat membentuk kaedah-kaedah yang berlaku umum setelah melalui hukum kebiasaan (internasional). Contoh perjanjian konsuler yang hanya mengikat kedua belah pihak, lama kelamaan banyak diadakan mengenai masalah konsuler-diplomatik. Contoh dari perjanjian treaty contract perjanjian tapal batas, perjanjian Ekstradisi Indonesia – Malaysia. Dari segi obyek dapat diadakan pembagian perjanjian internasional yang berisi soal-soal politik dan soal-soal ekonomi.
BAB II PROSEDUR PEMBUATAN PERJANJIAN Tidak ada keseragaman dalam prosedur pembuatan perjanjian internasional, masing-masing negara mengatur sesuai dengan konstitusi dan hukum kebiasaan yang berlaku di negaranya. Namun dalam praktek berbagai negara terdapat dua cara prosedur utama untuk membuat perjanjian internasional, yaitu : A. Prosedur normal (klasik) B. Prosedur yang disederhanakan (simplified) Prosedur normal. Prosedur normal ini timbul sesudah revolusi Prancis, yaitu timbulnya negaranegara demokrasi dimana parlemen memegang peranan penting dalam pembuatan undang-undang dan juga pembuatan treaty (treaty making). Dalam prosedur normal ini kita menemukan serangkaian ketentuan-ketentuan Konvensi Wina sebagaimana yang akan dijelaskan dalam pembahasan berikut ini. Secara kronologis pembuatan perjanjian internasional dengan cara prosedur normal, yaitu : 1. Perundingan (negotiation). 2. Penandatanganan (signature). 3. Ratification (ratifikasi). ad. 1. Perundingan (negotiation). Kebutuhan suatu negara akan berhubungan dengan negara-negara lain untuk membicarakan dan memecahkan berbagai persoalan yang timbul diantara mereka menimbulkan kehendak negara-negara tersebut untuk mengadakan perundingan yang pada akhirnya melahirkan suatu treaty. Diadakannya perundingan tersebut untuk bertukar pandangan tentang berbagai masalah, seperti masalah politik, ekonomi, penyelesaian sengketa atau pendirian lembaga-lembaga internasional. (PBB, ILO, WTO dan lain-lain). Setelah para pihak bersepakat untuk mengadakan perundingan maka masing-masing negara menunjuk organ-organ yang berkompeten untuk menghadiri perundingan itu. Dalam konstitusi suatu negara maupun dalam Konvensi Wina 1969, Kepala Negaralah yang bertanggung jawab akan terselenggaranya perundingan itu. Tetapi dalam praktek diplomatik jarang sekali Kepala Negara ikut dalam perundingan, maka dalam menghadiri konperensi sering sekali dihadiri wakil-wakil berkuasa penuh. Jika perundingan tidak dilakukan oleh Kepala Negara, maka dihadiri
2002 digitized by USU digital library
5
oleh Menteri Luar Negeri, atau wakil Diplomatiknya dan apabila tidak maka ditunjuklah wakil-wakil berkuasa penuh yang mendapat surat kuasa penuh (full power) untuk mengadakan perundingan menandatangani atau menyetujui teks perjanjian dalam Konperensi (pasal 7 ayat 1 dan 2 Konvensi). Dalam praktek sering seorang yang dikirim untuk menghadiri konperensi tidak membawa surat kuasa penuh, tetapi untuk sementara diberikan lewat kawat atau telepon yang ditujukan kepada sekretariat atau Ketua konperensi. Secara hukum tindakan yang demikian ini dibenarkan, asal saja kemudian disahkan atau dikirim surat kuasa penuh oleh negara yang bersangkutan (negara pengirim). Tanpa disertai pengesahan tersebut, maka semua tindakan yang dilakukan oleh wakil dari negara pengirim tidak memiliki kekuatan yang syah (batal) (Mochtar.., Pengantar.., Bandung, 1996, hal. 43-44). Untuk suatu ”treaty bilateral” (perjanjian bilateral) perundingan itu disebut dengan “talk” sedangkan perjanjian multilaral disebut dengan “diplomatic conference” (dilakukan dengan konperensi diplomat). Perundingan yang demikian ini dapat juga dilakukan secara tidak resmi yang sering disebut dengan “corridor talk” atau “lobbying”, yaitu dilakukan pada waktu istirahat saling bertukar pikiran atau saling mempengaruhi. ad. 2. Penandatanganan (signature). Setelah berakhirnya perundingan, maka pada teks treaty yang telah disetujui oleh wakil-wakil berkuasa penuh dibubuhkan tandatangan atau mereka menandatangani protokol tersendiri sebagai prosedur penandatangan. Akibat dari penandatanganan (effect of signature) suatu treaty tergantung pada ada tidaknya persyaratan ratifikasi treaty tersebut. Apabila traktat harus diratifikasi maka penandatangan hanya berarti utusan-utusan telah menyetujui teks perjanjian dan bersedia menerimanya serta akan meneruskan kepada pemerintah yang berhak untuk menerimanya atau menolak traktak tersebut (Starke, Introduction, London, 1987, 429). Dalam praktek diplomatik fungsi tandatangan adalah memberikan persetujuan terhadap teks perjanjian dan belum merupakan suatu treaty yang mengikat negara-negara penandatangan. Sedangkan pada masa monarchi Eropa praktek diplomatik pada masa itu, bahwa dengan telah ditandatangani teks perjanjian itu maka negara penandatangan akan terikat pada treaty. Bila suatu negara yang telah ikut menandatangani suatu perjanjian tetapi belum meratifikasinya berarti negara tersebut secara yuridis belum merupakan peserta dalam perjanjian. Dalam hal ini negara tersebut berkewajiban untuk tidak melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan obyek dan tujuan perjanjian selama negara tersebut belum meratifikasinya (lihat pasal 18 Konvensi). ad. 3. Ratifikasi. Tindakan selanjutnya sesudah penandatanganan oleh wakil berkuasa penuh, para delegasi meneruskan naskah perjanjian tersebut kepada pemerintahnya untuk meminta persetujuan. Untuk ini dibutuhkan penegasan oleh pemerintah yang bersangkutan setelah mereka mempelajari dan setelah diajukan kepada Parlemen bilamana perlu. Penegasan tersebut dinamakan dengan ratifikasi atau pengesahan, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian bahwa perjanjian itu akan mengikat tanpa harus diratifikasi terlebih dahulu. Dalam pasal 2 Konvensi Wina 1969, Ratifikasi didefinisikan sebagai tindakan internasional dimana suatu negara menyatakan kesediaannya atau melahirkan persetujuan untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Oleh karena itu ratifikasi tidak berlaku surut, melainkan baru mengikat sejak tanggal penandatanganan ratifikasi.
2002 digitized by USU digital library
6
Ratifikasi biasanya dibuat oleh Kepala Negara yang berkepentingan yang kemudian diteruskan dengan pertukaran nota ratifikasi diantara negara-negara peserta perjanjian. Dalam proses sebelum ratifikasi perjanjian terdapat dua kegiatan, yaitu : 1. Pembentukan kehendak negara melalui hukum konstitusinya. 2. Pernyataan kehendak dalam rangka hubungan internasional sesuai dengan praktek diplomatik yang berlaku. Melihat dari dua kegiatan tersebut bahwa ratifikasi mempunyai dua pengertian dan mengesahkan suatu treaty dari segi hukum konstitusi dalam negara itu sendiri. Dalam arti ratifikasi ini adalah persetujuan legislatif atau parlemen sebelum diratifikasi oleh eksekutif berdasarkan konstitusi negara masing-masing. Adapun ratifikasi dalam arti internasional disebut sebagai ratifikasi yang sebenarnya (ratification proper). Ratifikasi ini diselenggarakan oleh organ eksekutif sesudah persetujuan Parlemen. Dalam ratifikasi ini organ eksekutif sebagai suatu badan yang mewakili suatu negara berhadapan dengan negara-negara peserta perjanjian lainnya. Pernyataan kehendak suatu negara tercantum dalam dokumen ratifikasi (instrument of ratification) yang ditandatangani oleh kepala negara atau Menteri Luar Negeri (MENLU) atau badan eksekutif, selanjutnya dokumen ini dipertukarkan antara negara yang satu dengan negara peserta perjanjiannya. Untuk perjanjian bilateral dokumen (nota ratifikasi) disimpan atau dideposit pada suatu negara, sedangkan untuk perjanjian multilateral disimpan di sekretariat suatu organisasi internasional. Jadi ratifikasi dalam arti internasional adalah suatu kegiatan berupa pertukaran atau penyimpanan dokumen ratifikasi (nota ratifikasi), sejak tanggal pertukaran dokumen tersebut lahirlah kewajiban-kewajiban internasional sebagai efek dari ratifikasi. Prosedur Yang disederhanakan. Dalam praktek negara-negara prosedur yang disederhanakan timbul mengingat pengaturan hubungan internasional menghendaki atau memerlukan waktu yang cepat, seperti kebutuhan dalam bidang ekonomi. Prosedur yang disederhanakan ini tidak memerlukan waktu yang lama seperti prosedur normal/klasik yang menghendaki ratifikasi dari badan yang berwenang (parlemen) sebelum treaty atau perjanjian internasional itu berlaku mengikat negara-negara penandatangan. Treaty dalam prosedur yang disederhanakan sering dibuat oleh menteri yang bersangkutan tanpa ikut Kepala Negara dan ratifikasi hanya terjadi dengan persetujuan sederhana/simple approval (Edy.., Praktek.., 1984, hal. 18). Secara teknis nampak perbedaan kedua prosedur tersebut, yaitu perlu atau tidaknya persetujuan Parlemen dalam prosedur pembuatan perjanjian. Dapat diambil kesimpulan bahwa apabila treaty dibuat dengan prosedural normal biasanya treaty tersebut perlu diratifikasi dengan mendapat persetujuan dari parlemen sebelum berlaku. Sedangkan prosedur yang disederhanakan seperti biasanya hanya persetujuan pemerintah “government agreement”, maka treaty itu tidak perlu diratifikasi dengan persetujuan parlemen cukup hanya dengan pemberitahuan saja.
2002 digitized by USU digital library
7
BAB III HAL PELAKSANAAN PERJANJIAN
A.
Pentaatan Perjanjian.
Dalam hal pentaatan perjanjian dikenal suatu prinsip yang sangat penting, yaitu “Pacta Sunt Servanda” (perjanjian harus ditepati). Prinsip ini sangat fundamental dalam hukum internasional dan menjadi norma imperatif dalam praktek perjanjian internasional. Prinsip ini merupakan jawaban mengapa perjanjian internasional itu mempunyai kekuatan mengikat. Dalam pasal 26 Konvensi Wina dirumuskan pengertian Pacta Sunt Servanda, bahwa setiap perjanjian mengikat terhadap pihak-pihak pada perjanjian itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Prinsip iktikad baik ini tidak hanya berlaku dalam pelaksanaan perjanjianperjanjian yang bersifat khusus, tetapi juga berlaku terhadap perjanjian internasional yang berlaku umum seperti Piagam PBB. Penegasan kembali prinsip iktikad baik dalam penyusunan Konvensi ini adalah penting untuk menjamin ditaatinya suatu perjanjian internasional yang dibuat itu. Prinsip Pacta Sunt Servanda berkaitan erat dengan “the sanctity of treaties” (keagungan perjanjian) suatu azas yang dalam abad-abad yang lalu masih dipegang teguh, tetapi dalam perkembangan internasional modern azas ini mulai kehilangan pamornya. Dengan timbulnya negara-negara yang baru merdeka dan pandangan-pandangan yang kritis terhadap masalah “uneqal treaties” sehingga diragukan apakah prinsip “the sanctity of treaties” masih dianut (preambul PBB Covenant). Pada waktu diadakan konperensi Wina, berbagai pihak mengkonstatir adanya usaha-usaha untuk melemahkan prinsip Pacta Sunt Servanda dengan diterimanya prinsip “rebus sic stantibus” dan prinsip “jus Cogens”. Prinsip-prinsip ini dijadikan dasar-dasar yang dipergunakan oleh suatu negara untuk menyatakan diri tidak terikat terhadap suatu perjanjian internasional karena bertentangan dengan hukum nasional. Terhadap hal ini atas usul negara peserta konperensi diterima suatu pasal baru yang mengatur hubungan hukum nasional dan pentaatan terhadap kewajiban-kewajiban perjanjian internasional. Sebagaimana yang disebut dalam pasal 27 Konvensi (prinsip “rebus sic stantibus”) bahwa pihak-pihak perjanjian tidak boleh mengemukakan ketentuanketentuan hukum nasionalnya sebagai alasan untuk membenarkan tindakan suatu negara tidak melaksanakan perjanjian internasional. Dan disebutkan lebih lanjut bahwa pasal 27 ini tidak merugikan pasal 46 Konvensi. Dapat diambil pengertian dari pasal 46, bahwa suatu negara mempunyai kewenangan untuk menutup suatu perjanjian sebagai ketidak setujuannya karena telah melanggar hukum nasionalnya yang penting dan sangat mendalam sekali. Untuk menentukan peraturan hukum nasional suatu negara yang sangat penting/fundamental diserahkan kepada penilaian negara yang bersangkutan. Oleh karena itu agar pasal 46 konvensi/perjanjian internasional dapat berjalan efektif, agar negara-negara bersungguh-sungguh bertindak dengan beriktikad baik dan tidak menggunakan kesempatan ini untuk kepentingan politik nasionalnya.
2002 digitized by USU digital library
8
B.
Penerapan Perjanjian/Pelaksanaan Perjanjian.
Ketentuan mengenai penerapan/pelaksnaan perjanjian dalam pasal 24 Konvensi Wina, bahwa suatu perjanjian berlaku sejak tanggal yang ditentukan atau menurut persetujuan negara-negara perunding, terkecuali ditentukan lain. Ketentuan ini berarti perjanjian yang dibuat tidak berlaku surut. Demikian juga mengenai wilayah berlakunya, kecuali tidak ditentukan lain, bahwa perjanjian berlaku atas seluruh wilayah suatu negara, yaitu meliputi laut, darat dan udara diatasnya. Adakalanya suatu perjanjian hanya berlaku pada bagian-bagian tertentu dari wilayah suatu negara, seperti perjanjian tapal batas (lihat pasal 29 Konvensi). Suatu azas dalam hukum internasional tradisional bahwa suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang ditimbulkan oleh suatu perjanjian yang sama yang dibentuk terlebih dahulu (lihat pasal 30). Tapi dalam perkembangannya ketentuan tersebut mengalami perubahan. Seperti dalam pasal 103 Piagam PBB ditetapkan bahwa “.. dalam hal terjadinya konflik antara kewajiban berdasarkan Piagam dan kewajiban berdasarkan perjanjian lainnya, maka kewajiban menurut Piagam yang pertama-tama akan berlaku dan mengikat..”. Dalam hal seperti ini Konvensi Wina pasal 30 mengakui ketentuan PBB tersebut mengingat pentingnya kedudukan Piagam PBB dalam Hukum Internasional modern. Selanjutnya ketentuan yang penting lainnya, bahwa suatu perjanjian internasional tidak menimbulkan kewajiban atau hak bagi pihak ketiga tanpa adanya persetujuan pihak ketiga tersebut (lihat pasal 34 s/d 37 Konvensi). Persetujuan ini harus dinyatakan dengan tegas dalam perjanjian itu. Kewajiban pihak ketiga harus bertindak sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian, dan akan tetap terikat pada perjanjian selama pihak ketiga tidak menentukan kehendak yang lain. Yang menjadi dasar ketentuan ini yaitu suatu azas yang diterima secara umum dalam hukum internasional yang berasal dari hukum Romawi Kuno yakni “Pacta tertils nec nocent nec prosent”. (Ian.., Principles, London, 1979, hal. 619-620). Dalam kenyataannya suatu perjanjian yang ditetapkan oleh peserta-peserta yang relatif besar jumlahnya (Piagam PBB) atau suatu perjanjian tentang suatu obyek yang sangat penting (misalnya tentang Terusan Suez dan Terusan Panama) dapat membawa pengaruh yang amat besar pada negara-negara yang bukan peserta. Sekalipun berlaku perkembangan azas “pacta tertils nec nocent nec procent” para peserta Konvensi Wina cenderung menertibkan timbul dan berlakunya hak dan kewajiban dari suatu perjanjian bagi negara-negara yang bukan peserta (lihat pasal 35 dan 36 Konvensi). C.
Interpretasi Perjanjian
Pada kenyataannya bahwa dalam struktur hukum internasional dewasa ini tidak terdapat suatu badan yang berwenang penuh untuk memberikan interpretasi pada perjanjian internasional yang dapat mengikat semua negara. Lazimnya interpretasi perjanjian yang dilakukan oleh masing-masing negara menurut hukum nasionalnya dan cara ini diakui oleh hukum internasional (Lord.., Law.., London, 1961, 345). Konvensi Wina 1969 mengenai interpretasi perjanjian internasional diatur dalam tiga pasal saja, yaitu pasal 31, 32 dan 34, tetapi meliputi masalah yang sangat luas sekali, oleh karena itu memerlukan pembahasan tersendiri. Dalam bagian ini hanya membahas yang pokok-pokok saja sekedar mengetahui isi ketentuan Konvensi Wina 1969. Dalam Hukum Internasional dikenal tiga “school of thoughts” aliran/approach mengenai interpretasi (Lord.., Law, London, 1961, hal. 345), yaitu :
2002 digitized by USU digital library
9
1.
Aliran yang berpegang pada kehendak para pembuat perjanjian itu. Aliran ini menggunakan secara luas “preparatory work/travaux preparatories” pekerjaan pendahuluan dan bukti-bukti yang menggambarkan kehendak para pihak. 2. “Textual school”, yang menghendaki bahwa kepada naskah perjanjian hendaknya diberikan arti yang lajim dan terbaca dari kata-kata itu (ordinary and apparent meaning of the words). Jadi unsur pentingnya adalah naskah perjanjian itu dan kemudian kehendak para pihak pembuat perjanjian serta obyek dan tujuan dari perjanjian itu. 3. “Teleogical school”, cara penafsiran ini menitik beratkan pada interpretasi dengan melihat obyek dan tujuan umum dari perjanjian itu yang berdiri sendiri terlepas dari kehendak semula pembuat perjanjian itu. Dengan demikian naskah suatu perjanjian dapat diartikan secara luas dan ditambah pengertiannya selama masih sesuai atau sejalan dengan kehendak semula daripada pembuat perjanjian. Pasal 31 Konvensi Wina menetapkan ketentuan umum tentang penafsiran yang terdiri dari empat ayat, yaitu : 1. Suatu perjanjian harus ditafsirkan dengan iktikad baik menurut arti katakatanya yang biasa dalam rangka obyek dan maksudnya. 2. Kerangka maksud penafsiran harus mencakup sebagai tambahan atau teks, kecuali naskah mukadimah dan lampiran yang mencakup setiap persetujuan dan naskah yang ada hubungannya dengan penetapan perjanjian tersebut. 3. Harus juga diperhatikan setiap persetujuan dan praktek penerapan yang menyusul pembentukan perjanjian, serta setiap aturan hukum internasional yang relevan. 4. Arti yang khusus dapat ditetapkan bagi suatu hal bila dikehendaki demikian. Pasal 31 ini memiliki dasarnya pada ayat yang pertama, yaitu pada “Iktikad baik” (good faith) dan “arti yang biasa dari kata-kata” (ordinary meaning of term). Tapi kiranya ayat satu ini mengundang banyak pertanyaan dan Komisi Hukum Internasional meragukan adanya Hukum Internasional Khusus mengatur masalah penafsiran. Mahkamah Internasional dalam prakteknya dalam melakukan penafsiran, pertama-tama menggunakan lebih dahulu penjelasan-penjelasan naskah perjanjian secara menyeluruh. Kemudian juga Mahkamah menggunakan pekerjaan pendahuluan/persiapan maupun pelaksanaan (subsequent practice) dari para peserta (Mike.., Beberapa.., Bandung, 1974, 104). Yang penting untuk diperhatikan adalah maksud komisi untuk mempermalukan seluruh proses penafsiran sebagai suatu kesatuan oleh karena itu hendaknya hubungan pasal 31 dan 32 harus dilihat, yaitu pasal 32 harus ditafsirkan sebagai sarana tambahan untuk menunjang ketentuan umum (recour tu further means) yang dimuat dalam pasal 31. Sifat pasal 32 itu hanya suplementer, dalam arti bilamana hasil penerapan pasal 31 itu tidak lebih menjelaskan atau menegaskan suatu meaning atau arti atau bila penerapan itu berakibat pada suatu hasil yang absurd atau tidak masuk akal (unreasonable), barulah pasal 32 itu menjadi efektif. D. Berakhir dan Penundaan Perjanjian. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, secara umum berakhirnya suatu perjanjian dapat terjadi dengan berbagai cara, yaitu : 1. Karena telah tercapai tujuan daripada perjanjian itu. 2. Karena habis berlakunya waktu perjanjian.
2002 digitized by USU digital library
10
3.
Karena penuhnya salah satu pihak peserta perjanjian atau punahnya obyek perjanjian itu. 4. Karena adanya persetujuan dari peserta-peserta untuk mengakhiri perjanjian itu. 5. Karena diadakannya perjanjian antara para peserta kemudian yang meniadakan perjanjian yang terdahulu. 6. Karena dipenuhinya syarat-syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan-ketentuan perjanjian itu sendiri. 7. Diakhirinya perjanjian secara sepihak oleh salah satu pihak peserta dan diterimanya pengakhiran itu oleh pihak lain. (Mochtar.., Pengantar.., Bandung, 1996, hal. 127-129). Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas bahwa berakhirnya suatu perjanjian dalam banyak hal diatur oleh peserta-peserta perjanjian itu sendiri berupa ketentuan-ketentuan yang disepakati oleh kedua belah pihak. Misalnya dalam berakhirnya suatu perjanjian, karena tercapainya tujuan perjanjian, pemberitahuan sesuai dengan persetujuan perjanjian, berakhirnya waktu berlakunya perjanjian dan persetujuan antara pihak-pihak untuk mengakhiri perjanjian. Hal-hal tersebut yang menyatakan berakhirnya suatu perjanjian merupakan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian itu sendiri yang merupakan ketentuan-ketentuan yang menentukan. Tetapi persoalannya menjadi sulit apabila disebabkan oleh hal-hal atau kejadian yang tidak diatur dalam perjanjian yang mengakibatkan berakhirnya suatu perjanjian, ditangguhkannya suatu perjanjian atau pembatalan sepihak (denunciation) atau pengunduran diri dari suatu perjanjian. Didalam beberapa perjanjian multilateral mengenai pembatalan dan pengunduran diri demikian dinyatakan atau diatur dalam perjanjian itu sendiri, seperti Konvensi Genocide, Konvensi-konvensi Jenewa 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang dan lain-lainnya. Sedangkan dalam Piagam PBB pembatalan atau pengunduran diri demikian tidak diatur dengan pertimbangan bahwa organisasi internasional PBB tidak hendak mengulangi pengalaman Liga Bangsa-Bangsa yang dilemahkan oleh pengunduran diri beberapa anggota dari keanggotaan organisasi internasional tersebut. Pernyataan Sek.Jend. PBB U THAN persoalan keinginan kembali Indonesia untuk menjadi anggota PBB, maka pengunduran diri secara sepihak oleh Indonesia pada Desember 1964 diangap sebagai penangguhan kegiatan Indonesia sebagai anggota PBB sejak tanggal pengunduran dirinya hingga kembali Indonesia ke dalam organisasi dunia itu. Oleh karena itu Indonesia tetap diwajibkan membayar iurannya untuk jangka masa itu walaupun kepada Indonesia diberikan keringannya. Dalam Konvensi Wina 1969, persoalan pengakhiran suatu perjanjian internasional diatur pada pasal 54, bahwa pengakhiran perjanjian atau pengunduran diri (with drawl) salah satu pihak dapat terjadi : 1. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian itu, atau 2. Setiap saat dengan persetujuan dari semua pihak setelah terlebih dahulu berkonsultasi dengan negara-negara peserta lainnya. Selanjutnya dalam pasal 55 Konvensi telah memberikan suatu ketentuan, bahwa suatu perjanjian multilateral tidaklah berakhir bila terjadi berkurangnya negara peserta sampai dibawah jumlah yang dibutuhkan untuk berlakunya perjanjian itu, terkecuali bila perjanjian itu menentukan sebaliknya. Apabila salah satu pihak menghendaki pembatalan atau pengunduran diri dari perjanjian itu, maka negara tersebut harus memberitahukan keinginannya 12 bulan sebelumnya. Menegaskan kembali yang telah disebutkan, bahwa perjanjian multilateral secara tegas mengatur pembatalan atau pengunduran diri dari perjanjian salah satu
2002 digitized by USU digital library
11
contohnya adalah Konvensi Jenewa 1949 mengenai perlindungan korban perang. Dalam pasal 63 Konvensi Jenewa 1949 ini menetapkan bahwa pembatalan atau pengunduran diri baru mulai berlaku 1 (satu) tahun sesudah pemberitahuannya disampaikan kepada Dewan Federasi di Swiss. Berdasarkan pada apa yang telah dijelaskan dalam pasal 56 bahwa masalah pembatalan atau pengunduran diri secara sepihak dari suatu perjanjian dapat dicantumkan klausulanya dalam perjanjian tersebut. Akan tetapi bila klausula tersebut tidak ada dicantumkan dalam perjanjian, maka pembatalan pengunduran diri secara sepihak dari perjanjian itu masih dapat dilakukan, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan atau disepakati oleh para pihak atau peserta lainnya. Selain aturan yang berhubungan dengan masalah pembatalan Konvensi Wina 1996 mengatur mengenai “rebus sic stantibus” yang dapat mengakhiri suatu perjanjian. Menambah penjelasan yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai azas rebus sic stantibus, dalam pembahasan berikut ini akan dijelaskan, azas ini mempunyai maksud untuk mengakhiri suatu perjanjian apabila terjadi perubahan yang mendasar pada saat perjanjian itu dibuat. Sementara itu dalam pasal 62 ayat 2 Konvensi menyatakan perubahan fundamental atau perubahan yang mendasar tidak boleh dikemukakan sebagai dasar untuk mengakhiri suatu perjanjian, seperti perjanjian tapal batas wilayah dan juga apabila perubahan yang fundamental itu terjadi karena pelanggaran yang dilakukan terhadap perjanjian itu oleh pihak yang meminta pembatalan itu. Dalam Konvensi Wina tidak ada diatur mengenai cara penggunaan azas rebus sic stantibus yang akan dilakukan oleh pihak-pihak. Tapi beberapa pendapat menyatakan, bahwa pihak-pihak yang bersangkutan harus memberitahukan kepada pihak lainnya untuk membatalkan perjanjian dan meminta mereka untuk menyetujui pengakhiran itu. Pendapat lain, yaitu apabila masalah-masalah yang timbul akibat penggunaan azas rebus sic stantibis ini diserahkan kepada suatu Pengadilan Internasional untuk dipertimbangkan dan diselesaikan. Perlu dijelaskan kembali agar negara-negara beritikad baik untuk menggunakan azas rebus sic stantibus untuk mengakhiri suatu perjanjian agar penggunaan azas ini tidak disalahgunakan yang pada akhirnya dapat menghambat perkembangan hukum internasional.
2002 digitized by USU digital library
12
BAB IV KESIMPULAN Dari apa yang dijelaskan dalam pembahasan perkuliahan ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1.
Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional yang sempurna karena dibuat oleh negara-negara dan dibuat secara tertulis sehingga memberikan kepastian hukum. Dan perjanjian internasional sudah mendapat pengaturan dalam Konvensi Wina 1969 atau “Viena Convention on The Law of Treaties” yang diumumkan pada tanggal 23 Mei 1969.
2.
Dalam perkembangannya, perjanjian internasional itu dapat dikatakan sebagai sumber hukum yang dinamis, karena dilihat dari segi pertumbuhannya dimana semakin banyak masalah-masalah hubungan internasional, baik di bidang sosial, budaya, ekonomi, perdagangan dan lain-lainnya, yang diatur melalui perjanjian internasional.
3.
Sifat dinamis yang melekat pada masyarakat internasional, mengakibatkan dalam pembuatan perjanjian internasional diperlukan suatu hukum mengenai perjanjian internasional yang dibuat oleh masyarakat bangsa-bangsa yang tergabung dalam PBB selain hukum perjanjian yang telah tumbuh dalam masyarakat internasional sebelumnya.
4.
Dengan dirumuskannya Hukum Perjanjian dalam Konvensi Wina 1969, maka terdapat keseragaman pengaturan hukum perjanjian dalam praktek negaranegara dalam membuat suatu perjanjian.
2002 digitized by USU digital library
13
DAFTAR KEPUSTAKAAN Buku-buku Brown Ian., 1979, Principle of Public International Law, Oxford, University-Press 3rd.ed, 1979. Komar Mike., 1981, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina Tahun 1969 Mengenai Hukum Perjanjian Internasional, Diktat. Kusumaatmadja
Mochtar., 1996, Bandung
Pengantar
Hukum
Internasional,
Binacipta,
Lord, Mac Nair., 1967., Law of Treaties, Clorendon Press, Oxford, London. Oppenheim-Lauterpacht., 1996, International Law a Treaties, Longmans Gren and Company 8th.ed.London, New York Teronto. Pratiana Wayan., 1981, Perjanjian Internasional, Hukum dan Pembangunan No. 4 Thn ke-XI. Schwarzenberger,G., 1967, A Manual of International Law., London, Steven & Sons, Ltd. Suryono, Edy., 1984, Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia, Remaja Karya, Bandung. Syahmin, AK., 1985, Hukum Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina 1969, Armico, Bandung. Kusumo Hamidjojo, Budiono., 1986, Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina tahun 1969 Tentang Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung. Dokumen Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional.
2002 digitized by USU digital library
14