1
STUDI PENGATURAN HASIL DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN JEPARA
ANITA SOPIANA
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
4
SUMMARY ANITA SOPIANA. Yield Regulation study of community Forest Management in Jepara. Under Supervision of HERRY PURNOMO and BAHRUNI. Wood material needs in forest industry exceed the capacity of natural forest resources in producing sustainable timber. One of alternative to solve the scarcity of timber is doing the community forest development. Unfortunately, management of community forest in Indonesia nowdays still individualistic and has no formal management yet. Therefore, the society need guidance to manage the community forest intensively in order to the farmer could get optimum benefit in developing community forest. The aims of this study are to identify motivating factor and inhibiting factor of the society in developing community forest, determine the optimal cycle as base of yield regulation to subtitute the need cycle and to identify the farmer’s perspective in forming unit management of community forest. This research was conducted in Damarwulan, Clering and Suwawal village, Jepara regency, Jawa Tengah province. This research was conducted by using interview and observation method with purpossive sampling technique to the households which has the community forest bussiness. Determination of optimum cycle for teak and sengon used Net Present Value (NVP) calculation for every kind of cycle. NPV calculation of sengon started from 3 years cycle until 10 years cycle and for teak started from 10 years cycle until 25 years cycle. The reason of those community forests development is because most of the farmers think that the community forests could become saving for the future. The obstacle in developing community forest in research site is leak of knowledge of the farmer to increase product of community forest. Determination of optimum cycle is different in every village. Optimum cycle for sengon in Damarwulan is 8 years with NPV Rp. 2.651.734/ha. Clering is 8 years with NPV Rp. 1.638.570/ha. And Suwawal is 9 years with NPV Rp. 14.077.134/ha. Optimum cycle for teak in Damarwulan is 14 years with NPV Rp. 848.500/ha, Clering is 19 years with NPV Rp. 3.596.256/ha, and Suwawal is 19 years with NPV Rp. 9.912.060/ha. A total of 67 respondents (74,44%) in research site agreed to form community forest institution in village level in order to the price of timber does not get down and to simplify the marketing. Therefore to develope intensive community forests in research site need to form an institution of community forest farmer group. By that institution, the farmer would be guided to increase the motivation in developing and utilize community forest optimally. In the other hand, the institution could create a cooperation form between community forest farmer so that it could raise culture of community forest management with bussiness oriented. Keywords: Community forest institution, optimal cycle sengon and teak
3
RINGKASAN ANITA SOPIANA. Studi Pengaturan Hasil dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Jepara. Dibimbing oleh HERRY PURNOMO dan BAHRUNI. Kebutuhan bahan baku kayu untuk industri kehutanan saat ini telah melampaui kemampuan sumberdaya hutan alam dalam memproduksi kayu secara lestari. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menanggulangi masalah kelangkaan kayu, yakni dengan melakukan pengembangan hutan rakyat. Namun disayangkan, karakteristik pengelolaan hutan rakyat di Indonesia saat ini masih bersifat individual dan belum mempunyai manajemen formal. Oleh karena itu diperlukan pengarahan mengenai pengelolaan hutan rakyat secara intensif agar petani mendapatkan manfaat yang optimal dalam pengembangan usaha hutan rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor pendorong dan penghambat bagi petani dalam rangka pengembangan usaha hutan rakyat, menentukan daur optimal sebagai basis pengaturan hasil pengganti daur butuh dan mengidentifikasi perspektif petani di dalam pembentukan kesatuan unit pengelolaan hutan rakyat. Penelitian ini dilakukan di Desa Damarwulan, Clering dan Suwawal, Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Penelitian ini dilakukan dengan sistem wawancara dan observasi lapang menggunakan teknik purposive sampling terhadap rumah tangga yang memiliki usaha hutan rakyat. Penentuan daur optimal jenis sengon dan jati yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan perhitungan Net Present Value (NPV) pada setiap daur. Perhitungan NPV untuk jenis Sengon mulai daur 3 tahun sampai 10 tahun dan jenis Jati mulai daur 10 tahun sampai 25 tahun. Alasan pengembangan usaha hutan rakyat yang dilakukan oleh petani di lokasi penelitian sebagian besar dikarenakan usaha hutan rakyat ini dapat dijadikan sebagai tabungan untuk masa depan. Hambatan dalam pengembangan usaha hutan rakyat di lokasi penelitian yakni kurangnya pengetahuan petani dalam rangka peningkatan hasil dari hutan rakyat. Penentuan daur optimal untuk jenis jati dan sengon berbeda-beda tiap desanya. Daur optimal untuk jenis Sengon di Damarwulan yakni 8 tahun dengan NPV Rp 2.651.734/ha , Clering yakni 8 tahun dengan NPV sebesar Rp 1.683.570/ha, dan Suwawal yakni 9 tahun dengan NPV sebesar Rp 14.077.134/ha. Daur optimal untuk jenis Jati di Damarwulan yakni 14 tahun dengan NPV sebesar Rp 848.500/ha, Clering yakni 19 tahun dengan NPV sebesar Rp 3.596.256/ha, dan Suwawal yakni 19 tahun dengan NPV sebesar Rp 9.912.060/ha. Sebanyak 67 orang responden (74,44%) setuju untuk membentuk kelembagaan hutan rakyat di tingkat desa dengan alasan agar harga kayu yang dijual tidak jatuh dan mempermudah pemasaran. Oleh karena itu untuk mengembangkan usaha hutan rakyat secara intensif di lokasi penelitian perlu dibentuk suatu kelembagaan kelompok tani hutan rakyat. Dengan adanya kelembagaan tersebut, petani akan dibina untuk meningkatkan motivasi dalam membangun dan memanfaatkan hutan rakyat secara optimal. Selain itu pula, adanya kelembagaan tersebut dapat menciptakan suatu bentuk hubungan kerjasama antar petani hutan rakyat sehingga nantinya dapat memunculkan budaya pengelolaan hutan rakyat yang berorientasikan bisnis. Kata kunci : Hutan rakyat, daur optimal sengon dan jati
2
STUDI PENGATURAN HASIL DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN JEPARA
ANITA SOPIANA E14060374
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
5
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Studi Pengaturan Hasil dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Jepara adalah karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2011
Anita Sopiana NRP. E14060374
6
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi
: Studi Pengaturan Hasil dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Jepara
Nama
: Anita Sopiana
NRP
: E14060374
Menyetujui: Dosen Pembimbing Ketua,
Anggota,
Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp
Dr. Ir. Bahruni, MS
NIP. 19640421 198803 1 002
NIP. 19610501 198803 1 003
Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Hutan IPB
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001
Tanggal Lulus:
i
KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Studi Pengaturan Hasil dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kabupaten Jepara ini dapat diselesaikan. Penelitian
ini
bertujuan
untuk
menentukan
daur
ekonomis
yang
paling
menguntungkan bagi petani hutan rakyat sebagai pengganti daur butuh serta mengidentifikasikan perspektif petani di dalam pembentukan kesatuan unit pengelolaan hutan rakyat. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan arahan kepada petani dalam menggali sumber pertumbuhan ekonomi yang optimal untuk membangun dan mengembangkan usaha hutan rakyat. Penelitian ini disajikan dalam enam bab, yakni: bab satu berisi pendahuluan, bab dua berisi tinjauan pustaka yang terkait, bab tiga berisi metode penelitian, bab empat berisi gambaran kondisi umum lokasi penelitian, bab lima berisi hasil dan pembahasan serta bab enam berisi kesimpulan dan saran. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta atas limpahan kasih sayang dan untaian doa yang tulus dalam di setiap helaian nafasnya, yang selalu memotivasi penulis untuk terus berusaha dan bersabar dalam menjalani setiap langkah kehidupan ini. Terima kasih kepada Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp dan Dr. Ir. Bahruni, MS selaku dosen Pembimbing Utama dan Pembimbing Anggota skripsi atas kesediaannya untuk meluangkan waktu dan kesempatannya serta ilmu yang diberikan selama ini. Sekaligus sebagai orangtua yang telah membimbing, menasehati, mengingatkan, menegur dan mengarahkan serta mendoakan agar penulis cepat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS selaku Ketua Sidang dan Dr. Ir. Nurhaeni Wijayanto, MS selaku dosen Penguji dari Departemen Silvikultur atas arahan, masukan, saran dan koreksinya menuju kesempurnaan skripsi ini.
ii
Penghargaan dan terima kasih kepada Bapak Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Kabupaten Jepara beserta jajarannya yang telah memberikan data dan informasi serta bantuanya yang sangat berguna bagi penulis selama melakukan penelitian. Ibu Wiwi beserta keluarga, bapak Supangtrimo beserta keluarga, bapak Yudi beserta keluarga dan bapak Sulton beserta keluarga terima kasih atas keikhlasannya dalam menyediakan tempat tinggal dan asupan makanan untuk penulis selama melakukan penelitian. Terima kasih kepada Sukesti Budiarti, Linda Sri, Rida Mulyani, May Caesarry, Woro Sutia lestari, Elisda Damayanti, Nurlailati Ramdhani, Elang Maulidah, Linda Zakiyah, Ratna Ningsih, Hamidah, Syifaur Rahma, Ana Dairiana, Nina Indah Kumalasari, Dzulafifah, Ahsana Rizka, Andriani Wijiastuti, Luffi Hapsari, Hania Purwitasari, Dwi Maryani, Iyis Puji Lestari, Dian Oktavianingsih, Paskari Ariska Wayana, Andi Rustandi dan Sentot Purwanto atas semua doa, bantuan dan dukungannya selama ini hingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Serta rekan-rekan MNH 43 lainnya terima kasih atas kebersamaannya selama ini. Penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi seluruh pembaca.
Bogor, Juni 2011
Penulis
3
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 8 September 1987 sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Effendi dan Ibu Husnawati. Jenjang pendidikan yang dilalui penulis yakni pendidikan Sekolah Dasar di MI Saadatuddarain Jakarta tahun 1994, pendidikan Sekolah Lanjutan Pertama di MTSN 1 Jakarta tahun 2000 dan pendidikan Sekolah Menegah Atas di SMAN 55 Jakarta pada tahun 2003. Pada tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 55 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Melalui program mayor-minor penulis masuk ke Jurusan Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB pada tahun ajaran 2007/2008. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan yakni sebagai staf Kewirausahaan Himpunan Profesi Mahasiswa Forest Management Student Club (FMSC) tahun 2007-2008 dan staf Kemahasiswaan dan Kesejahteraan Sosial Lingkungan (KKSL) Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan (BEME) tahun 2008-2009. Selain itu pula, penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Dendrologi Hutan tahun 2008 dan asisten mata kuliah Inventarisasi Sumberdaya Hutan tahun 2009. Penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) pada tahun 2008 di daerah Baturaden-Cilacap, Praktek Pengenalan Hutan (PPH) pada tahun 2009 di Gunung Walat, Sukabumi dan di KPH Cianjur Perum Perhutani Unit III Jawa Barat serta Praktek Kerja Lapang (PKL) pada tahun 2010 di PT Saribumi Kusuma, Kalimantan Barat. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Studi Pengaturan Hasil dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Jepara dibimbing oleh Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp dan Dr. Ir. Bahruni, MS.
iii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................................ i DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ................................................................................................... v DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. vii DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................... viii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang..................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah............................................................................. 1.3 Tujuan .................................................................................................. 1.4 Manfaat ................................................................................................
1 2 3 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hutan Rakyat .................................................................... 2.2 Manfaat Hutan Rakyat ........................................................................ 2.3 Pengelolaan Hutan Rakyat .................................................................. 2.4 Pengaturan Hasil Hutan Rakyat.......................................................... 2.5 Analisis Finasial .................................................................................. 2.6 Daur ...................................................................................................... 2.7 Riap ...................................................................................................... 2.8 Jati (Tectona grandis Linn.f.).............................................................. 2.9 Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) ............................... 2.10 Kelembagaan Hutan Rakyat ..............................................................
4 5 5 7 7 8 10 11 12 12
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian............................................................. 3.2 Alat dan Objek Penelitian ................................................................... 3.3 Batasan Operasional ............................................................................ 3.4 Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 3.5 Metode Pengambilan Sample ............................................................. 3.6 Metode Analisis Data ..........................................................................
14 14 14 14 15 15
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Jepara 4.1.1 Letak dan Kondisi Wilayah Geografis .................................... 4.1.2 Jenis Tanah ................................................................................ 4.1.3 Ketinggian Tempat dan Solum Tanah ..................................... 4.1.4 Sosial Ekonomi ......................................................................... 4.2 Kondisi Umum Kecamatan Keling .................................................... 4.3 Kondisi Umum Kecamatan Donorejo ................................................ 4.4 Kondisi Umum Kecamatan Mlonggo ................................................
19 20 20 20 21 22 22
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Profil Umum Petani Hutan Rakyat..................................................... 23
iv
5.2 Hubungan Luas Kepemilikan Hutan Rakyat dengan Tingkat Pendidikan, Pekerjaan Utama dan Penghasilan................................. 5.3 Pengembangan Usaha Hutan Rakyat 5.3.1 Faktor Pendorong Usaha Hutan Rakyat ................................. 5.3.2 Faktor Penghambat Usaha Hutan Rakyat ............................... 5.4 Kondisi Umum Struktur Hutan Rakyat.............................................. 5.5 Pengelolaan Hutan Rakyat 5.5.1 Penanaman................................................................................ 5.5.2 Pola Tanam ............................................................................... 5.5.3 Pemeliharaan ............................................................................ 5.5.4 Pemanenan................................................................................ 5.6 Simulasi Net Present Value untuk Menentukan Daur Optimal Jenis Sengon dan Jati di Setiap Desa 5.6.1 Simulasi Net Present Value untuk Menentukan Daur Optimal Jenis Sengon di Setiap Desa .................................... 5.6.2 Simulasi Net Present Value untuk Menentukan Daur Optimal Jenis Jati di Setiap Desa ............................................ 5.7 Mean Annual Increament (MAI) dan Current Annual Increament (CAI) Sengon dan Jati ................................................... 5.8 Kesatuan Unit Pengaturan Hasil Hutan Rakyat 5.8.1 Perspektif Petani terhadap Pembentukan Lembaga Pengaturan Hasil Hutan Rakyat ............................................. 5.8.2 Modal Sosial yang Membentuk Lembaga Pengaturan Hasil Hutan Rakyat ..................................................................
28 29 32 34 38 39 39 39
44 48 53
55 59
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ......................................................................................... 61 6.2 Saran .................................................................................................... 61 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 62 LAMPIRAN ............................................................................................................ 64
v
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Luas dan persentase penggunaan tanah di Kabupaten Jepara 2008 ............... 19 2. Karakteristik petani hutan rakyat berdasarkan kelompok umur ..................... 23 3. Karakteristik petani hutan rakyat berdasarkan tingkat pendidikan ................ 24 4. Karakteristik petani hutan rakyat berdasarkan pekerjaan utama .................... 25 5. Karakteristik petani hutan rakyat berdasarkan tingkat penghasilan ............... 26 6. Luas lahan rata-rata kepemilikan hutan rakyat dan jumlah pohon rata-rata yang dimiliki petani tiap jenis tiap jenis .......................................................... 26 7. Sistem pembangunan usaha hutan rakyat setiap desa ..................................... 27 8. Hubungan antar variabel dengan luas kepemilikan hutan rakyat ................... 28 9. Faktor pendorong dalam pengembangan usaha hutan rakyat ......................... 10. Faktor penghambat dalam pengembangan usaha hutan rakyat ...................... 33 11. Jumlah pohon sengon rata-rata per ha pada tiap kelas diameter .................... 36 12. Jumlah pohon jati rata-rata per ha pada tiap kelas diameter .......................... 37 13. Umur tebang pohon sengon.............................................................................. 39 14. Alasan penebangan pohon sengon ................................................................... 40 15. Umur tebang pohon jati .................................................................................... 40 16. Alasan penebangsn pohon jati.......................................................................... 40 17. Bentuk penjualan kayu ..................................................................................... 41 18. Pihak yang menentukan harga kayu ................................................................ 41 19. Persamaan regresi diameter dan tinggi bebas cabang terhadap umur untuk jenis sengon............................................................................................. 42 20. Persamaan regresi diameter dan tinggi bebas cabang terhadap umur untuk jenis jati .................................................................................................. 42 21. Persamaan eksponensial pendugaan jumlah pohon sengon per ha ................ 42 22. Persamaan eksponensial pendugaan jumlah pohon jati per ha ...................... 43 23. Pendugaan Jumlah pohon sengon per ha tiap umur........................................ 43 24. Pendugaan jumlah pohon jati per ha tiap umur............................................... 43 25. Harga pohon berdiri jenis sengon per meter kubik........................................ 44 26. Harga pohon berdiri jenis jati per meter kubik .............................................. 44 27. Simulasi Net Present Value untuk menentukan daur optimal sengon di setiap desa .................................................................................................... 45 28. Potensi sengon yang dipanen tiap desa pada daur optimal ............................ 47
vi
29. Simulasi Net Present Value untuk menentukan daur optimal jati di setiap desa .................................................................................................... 48 30. Potensi jati yang dipanen tiap desa pada daur optimal ................................... 52 31. Mean Annual Increament (MAI) dan Current Annual Increament (CAI) untuk jenis sengon ......................................................................................... 53 32. Mean Annual Increament (MAI) dan Current Annual Increament (CAI) untuk jenis jati .................................................................................................. 54 33. Distribusi jawaban petani terhadap pembentukan lembaga pengaturan hasil hutan rakyat secara berkelompok........................................................... 56 34. Alasan petani setuju untuk membentuk lembaga pengaturan hasil hutan rakyat secara berkelompok.................................................................... 56 35. Alasan petani tidak setuju untuk membentuk lembaga pengaturan hasil hutan rakyat secara berkelompok........................................................... 59 36. Distribusi jawaban petani terhadap pemberian pinjaman............................... 60 37. Distribusi jawaban petani terhadap pemberian bunga pinjaman ................... 60
vii
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Grafik MAI dan CAI .......................................................................................... 10 2. Kodisi hutan rakyat di Desa Damarwulan, Clering dan Suwawal .................. 27 3. Hasil perhitungan jumlah pohon sengon per ha berdasarkan kelas diameter di setiap desa ........................................................................................ 36 4. Hasil perhitungan jumlah pohon jati per ha berdasarkan kelas diameter di setiap desa ........................................................................................ 37 5. Teknik penanaman bibit dengan cara trubus .................................................... 38 6. Simulasi Net Present Value untuk menentukan daur optimal sengon di setiap desa ...................................................................................................... 44 7. Pemanfaatan kayu sengon untuk pembangunan atap rumah ........................... 46 8. Simulasi Net Present Value untuk menentukan daur optimal jati di setiap desa ....................................................................................................... 50 9. Log jati di pul pedagang pengecer..................................................................... 51
viii
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Hasil pengukuran diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang rata-rata di setiap desa untuk jenis sengon ..................................................... 64 2. Hasil pengukuran diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang rata-rata di setiap desa untuk jenis jati............................................................ 64 3. Analisis regresi pendugaan diameter dan tinggi bebas cabang pohon sengon dan jati tiap desa.................................................................................. 65 4. Hasil pendugaan diameter, tinggi bebas cabang, volume per pohon dan volume per ha untuk jenis sengon............................................................. 69 5. Hasil pendugaan diameter, tinggi bebas cabang, volume per pohon dan volume per ha untuk jenis jati .................................................................. 70 6. Jumlah pohon sengon per ha pada setiap umur yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan .......................................................................... 72 7. Jumlah pohon jati per ha pada setiap umur yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan ................................................................................... 72 8. Contoh perhitungan pendugaan pohon sengon dan jati per ha tiap umur........................................................................................................... 73 9. Peta administrasi Kabupaten Jepara ................................................................ 76 10. Analisis regresi antar luas kepemilikan hutan rakyat dengan tingkat Pendidikan, pekerjaan dan penghasilan.......................................................... 77 11. Faktor pendorong dan penghambat dalam pengusahaan rakyat tiap desa.... 78 12. Estimasi jumlah pohon sengon yang dipanen setiap m³ ................................ 79 13. Estimasi jumlah pohon jati yang dipanen setiap m³ ...................................... 79 14. Mean Annual Increament (MAI) dan Current Annual Increament (CAI) jenis sengon di setiap desa.............................................................................. 80 15. Mean Annual Increament (MAI) dan Current Annual Increament (CAI) jenis jati di setiap desa .................................................................................... 81
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan bahan baku kayu industri kehutanan saat ini telah melampaui kemampuan sumberdaya hutan alam dalam memproduksi kayu secara lestari. Hal ini berkaitan dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia, sehingga keperluan akan kayu semakin hari semakin meningkat. Kebutuhan kayu secara nasional diperkirakan mencapai 33,2 juta m3, sementara pasokan kayu dari hutan negara hanya mampu mencapai sekitar 8.058.734 m3 (BPS 2008). Kesenjangan tersebut mendorong pemanfaatan sumberdaya hutan ke arah eksploitasi yang berlebihan sehingga menyebabkan sumberdaya hutan tersebut cenderung tidak mampu mengembalikan tingkat produktivitasnya. Salah satu alternatif dalam pemecahan masalah tersebut yakni dengan melakukan pembangunan hutan rakyat di luar kawasan hutan. Adanya hutan rakyat selain dapat membantu memenuhi kebutuhan kayu, juga dapat memberikan peran positif baik secara ekonomi maupun ekologi. Secara ekonomi adanya hutan rakyat dapat meningkatkan pendapatan petani, penyedia lapangan pekerjaan dan memacu pembangunan ekonomi daerah. Sedangkan secara ekologi, hutan rakyat mampu berperan positif dalam mengendalikan erosi dan limpasan permukaan, memperbaiki kesuburan tanah, dan menjaga keseimbangan tata air. Namun karakteristik pengelolaan hutan rakyat di Indonesia saat ini masih bersifat individual dan belum mempunyai manajemen formal. Anggapan tersebut didasari oleh kecenderungan petani hutan rakyat yang biasa menebang pohon pada daur yang tidak optimal karena desakan ekonomi rumah tangga petani itu sendiri. Menurut Hardjanto (2000), petani hutan rakyat belum dapat disebut memiliki usaha hutan rakyat dengan prinsip kelestarian hasil yang baik. Hal itu ditunjukkan oleh sedikitnya jumlah pohon yang dimiliki serta penentuan daur yang tidak menentu, karenanya sampai saat ini pohon-pohon yang dimilikinya tidak diposisikan untuk menjadi salah satu sumber pendapatan andalan. Pohonpohon tesebut bagi pemiliknya lebih dilihat sebagai tabungan.
2
Diperlukan adanya suatu konsep pengaturan hasil dan pengembangan yang dapat memaksimalkan hasil hutan rakyat. Salah satunya dengan mencermati lebih dalam
mengenai
ketertarikan
masyarakat
terhadap
pembangunan
dan
pengembangan hutan di lahan miliknya yang didasarkan pada kelestarian hasil dengan cara bekerjasama antar pemilik hutan rakyat. Hal tersebut dilakukan untuk menciptakan budaya pengelolaan hutan rakyat yang berorientasi bisnis, sehingga nantinya dapat menjadi salah satu solusi dalam memecahkan permasalahan dalam pengelolaan hutan rakyat yang selama ini dihadapi oleh petani hutan rakyat Selama ini Kabupaten Jepara terkenal sebagai sentra industri mebel, oleh karena itu pengembangan usaha hutan rakyat di Kabupaten Jepara harus terus ditingkatkan. Adanya hutan rakyat tersebut akan mempermudah tersediannya bahan baku industri mebel yang ada di Kabupaten Jepara. Selain itu dengan adanya pengembangan usaha hutan rakyat ini diharapkan dapat melestarikan potensi sumberdaya hutan. Berdasarkan uraian tersebut maka dilakukan penelitian yang berjudul “Studi Pengaturan Hasil dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kabupaten Jepara” yang merupakan salah satu unsur pengelolaan hutan rakyat untuk jangka panjang dan dapat memberikan keuntungan optimal untuk petani hutan rakyat. 1.2 Perumusan Masalah Manfaat sebagai sumber pendapatan merupakan salah satu faktor pendorong bagi masyarakat untuk membangun hutan rakyat. Selama ini, pendapatan yang diperoleh dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil. Usaha hutan rakyat pada umumnya dilakukan oleh keluarga petani kecil dengan luasan yang masih sempit .Golongan petani tersebut memiliki kebiasaan untuk mencukupi kebutuhan konsumsi sendiri sebagai prioritas utama. Atas dasar kebiasaan petani tersebutlah mulai dikenal istilah “daur butuh”, yakni umur pohon yang dipanen ditentukan oleh kebutuhan yang mendesak. Di masa mendatang sistem pemanenan seperti ini diharapkan akan berubah menjadi sistem pemanenan yang terencana karena semakin meningkatnya permintaan dari industri-industri pengolahan kayu yang berada dekat di daerah sekitar hutan rakyat, seperti industri penggergajian dan industri mebel.
3
Melihat kondisi tersebut maka perlu dilakukan upaya perbaikan pengelolaan hutan rakyat agar memberikan hasil yang lestari, baik dari sisi ekonomi maupun ekologi. Perbaikan pengelolaan hutan rakyat yang dimaksud yaitu dengan melakukan analisis daur optimal secara finansial. Atas dasar itulah, penentuan jatah panen haruslah diatur untuk setiap petani hutan rakyat sehingga dapat membantu petani untuk menentukan daur yang paling menguntungkan dan memperoleh pendapatan yang berkesinambungan serta hasil hutan rakyat yang tetap lestari. Proses kelembagaan dalam rangka pengaturan hasil hutan rakyat juga sangat diharapkan karena memiliki peran yang penting untuk mengatur mekanisme kelompok dan musyawarah. Maka dari itu, untuk menjamin kelestarian hasil hutan rakyat diperlukan penguatan kelembagaan diantara kelompok tani sehingga terbentuk aturan-aturan internal mengenai sistem pengelolaan hutan rakyat baik itu berkaitan dengan penanaman, pengaturan hasil, pemasaran dan lain-lain yang berkaitan dengan kelancaran pengelolaan hutan rakyat. 1.3 Tujuan 1. Mengidentifikasi faktor pendorong dan penghambat bagi petani dalam rangka pengembangan usaha hutan rakyat. 2. Menentukan daur optimal sebagai basis pengaturan hasil pengganti daur butuh. 3. Mengidentifikasi perspektif petani di dalam pembentukan kesatuan unit pengelolaan hutan rakyat. 1.4 Manfaat Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai acuan pihak-pihak terkait terutama petani dalam menggali sumber pertumbuhan ekonomi yang optimal untuk pengembangan hutan rakyat guna meningkatkan taraf hidup petani hutan rakyat dan kelestarian fungsi ekologi.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hutan Rakyat Menurut Departemen Kehutanan (1995), hutan rakyat sebagai salah satu bentuk hutan kemasyarakatan yang dimiliki oleh masyarakat atau rakyat, baik secara perorangan, kelompok, maupun swasta ataupun badan usaha masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memenuhi kebutuhan masyarakat akan hasil hutan serta pelestarian lingkungan hidup. Selanjutnya ketentuan luas lahan minimal untuk hutan rakyat adalah sebesar 0.25 ha dengan penutupan lahan oleh tajuk tanaman kayu-kayuan lebih dari 50% atau pada tahun pertama sebanyak 500 batang setiap hektarnya. Hutan rakyat selama ini hanya dilihat sebagai kumpulan pohon-pohon yang tumbuh dan berkembang di atas lahan milik rakyat, sehingga banyak dijumpai dalam kalkulasi ekonomi hutan rakyat yang muncul kepermukaan berkaitan dengan hasil kayu saja. Hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa Fakultas Kehutanan mengenai hutan rakyat, seringkali menghitung kontribusi pendapatan hutan rakyat terhadap pendapatan keluarga tani. Umumnya perhitungan pendapatan hutan rakyat tersebut hanya berasal dari unsur kayunya saja. Hal ini terjadi karena komoditi yang dilihat dari hutan rakyat hanya pohonpohon saja (Awang 2005). Pengusahaan hutan rakyat dalam perekonomian pedesaan memegang peranan penting baik bagi petani pemilik lahan hutan rakyat maupun untuk tumbuhnya industri pengolahan kayu rakyat. Meskipun demikian, sampai saat ini dalam pengusahaan hutan rakyat masih banyak diterapkan apa yang disebut “daur butuh”, yakni umur pohon yang dipanen ditentukan oleh kebutuhan pendapatan. Di masa mendatang sistem pemanenan seperti ini diharapkan akan berubah menjadi sistem pemanenan yang terencana karena semakin meningkatnya permintaan dari industri-industri pengolahan kayu yang berada dekat di daerah sekitar hutan rakyat, seperti industri penggergajian dan industri mebel (Dudung dan Hardjanto 2006).
5
2.2 Manfaat Hutan Rakyat Menurut Djajapertunda (1995), mengungkapkan bahwa hutan rakyat berperan penting dan memiliki manfaat-manfaat yang cukup menyakinkan, diantaranya: 1. Hutan
rakyat
merupakan
sumber
pendapatan
masyarakat
yang
berkesinambungan dan berbentuk tabungan. 2. Keberadaan hutan rakyat dapat membuka lapangan kerja yang cukup berarti. 3. Produksi hutan rakyat yang berupa kayu dan non kayu dapat mendorong dibangunnya industri yang akan mempunyai peran penting dalam ekonomi nasional. 4. Hutan rakyat yang dibangun di lahan-lahan kritis dapat berperan dalam melindungi bahaya erosi, sedangkan hutan rakyat yang memilih jenis-jenis tertentu dapat meningkatkan kesuburan. 5. Hutan rakyat dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pendapatan Negara melalui berbagai pajak dan pungutan. 6. Hutan rakyat dapat meningkatkan pemanfaatan lahan secara optimal termasuk lahan-lahan marginal. 2.3 Pengelolaan Hutan Rakyat Pada dasarnya pengelolaan hutan rakyat merupakan upaya menyeluruh dari kegiatan-kegiatan merencanakan, membina, mengembangkan, menilai, dan mengawasi pelaksanaan kegiatan produksi, pengelolaan hasil, dan pemasaran secara terencana dan berkesinambungan. Tujuan akhir dari pengelolaan hutan rakyat adalah adanya upaya peningkatan dari kayu rakyat terhadap peningkatan pendapatan pemiliknya secara berkesinambungan terus-menerus sepanjang daur (LP IPB 1990). Menurut Lembaga Penelitian IPB (1990), kerangka dasar sistem pengelolaan hutan rakyat melibatkan beberapa sub sistem produksi, sub sistem pengolahan hasil dan sub sistem pemasaran hasil. Tujuannya yang ingin dicapai dari tiap-tiap sub sistem adalah sebagai berikut : 1. Sub sistem produksi adalah tercapainya keseimbangan produksi dalam jumlah, jenis, dan kualitas tertentu serta tercapainya kelestarian usaha dari para pemilik lahan hutan rakyat.
6
2. Sub sistem pengolahan hasil adalah terciptanya kombinasi bentuk hasil yang memberikan keuntungan besar bagi pemilik lahan hutan rakyat. 3. Sub sistem pemasaran hasil adalah tercapainya tingkat penjual yang optimal, dimana semua produk yang dihasilkan dari hutan rakyat terjual dipasaran. Meskipun konsep pengelolaan hutan rakyat lestari belum menjangkau petani hutan rakyat secara menyeluruh, perubahan orientasi ke arah komersial ternyata mampu membawa pengelolaan hutan rakyat lebih bisa bertahan dibandingkan dengan hutan alam. Berkaitan dengan orientasi dan motivasi petani menanam kayu, maka penentuan jenis pohon yang ditanam merupakan pertimbangan penting yang harus diupayakan petani. Pasar membutuhkan jenis kayu tertentu dan kualitas yang memadai untuk bahan baku industri, sehingga masyarakat petani harus mengetahu jenis-jenis yang dibutuhkan pasar saat ini dan jangka waktu ke depan (Achmad et al 2010). Luas kepemilikan lahan yang terbatas menyebabkan petani harus mampu menentukan jumlah dan jenis pohon yang ditanam, karena hal ini berpengaruh terhadap produktivitas dan kualitas kayu yang dihasilkan. Penilaian yang mudah untuk mengukur produktivitas dan kualitas tegakan adalah dengan melihat penampilan pertumbuhan pohon (diameter dan tinggi). Mindawati et al. dalam Review Hasil Penelitian Hutan Rakyat (2006), mengemukakan bahwa pertumbuhan diameter dan tinggi sangat dipengaruhi kesuburan tanah, iklim, sumber bibit, pola tanam dan teknik bududaya yang diterapkan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi penilaian daur ekonomi dan umur optimal pada berbagai prediksi pertumbuhan dan nilai tegakan. Pengetahuan tentang silvikultur yang merupakan komponen pengelolaan hutan nantinya akan digunakan oleh petani hutan rakyat untuk mengatur struktur, komposisi jenis dan pertumbuhan pohon. Informasi lain yang sama pentingnya dalam pengembangan jenis-jenis kayu potensial pada hutan rakyat adalah aspek analisis finansialnya, dimana instrumen ini akan membantu petani untuk memilih komposisi jenis yang sebaiknya dikembangkan dan menentukan daur yang paling menguntungkan melalui berbagai pilihan.
7
2.4 Pengaturan Hasil Hutan Rakyat Kelestarian hasil diharapkan dapat dicapai melalui pengaturan hasil. Pengaturan hasil hutan memang diperlukan untuk menghitung volume kayu yang boleh ditebang pada setiap tahun, agar jumlah tebangan selama periode tertentu sama dengan jumlah riap dari seluruh tegakan. Pengusahaan hutan memerlukan waktu yang sangat panjang untuk mencapai saat pemanenan. Dilain pihak pengelolaan hutan selalu didasarkan pada azas kelestarian sumberdaya. Dalam azas tersebut, pemungutan hasil hutan harus dilakukan pengaturan hasil sehingga tidak mengurangi potensi hutan dilapangan (Departemen Kehutanan 1992). Hal tersebut mendorong perlunya pengaturan hasil agar kegiatan pemungutan hasil dapat dilakukan secara terus-menerus tetapi tidak menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya hutan bahkan sedapat mungkin meningkatkan kualitas hutan. Menurut Lembaga Penelitian IPB (1990), ada beberapa metode pengaturan hasil dalam pengelolaan hutan yang lestari yaitu berdasarkan luas, volume dan jumlah batang. Metode pengaturan hasil pada hutan rakyat berbeda dengan pengaturan hasil pada hutan negara. Pengaturan hasil pada hutan rakyat lebih sulit dari pengaturan hasil pada hutan negara. Hal ini terjadi karena hutan rakyat memiliki keragaman yang sangat besar baik dalam struktur tanaman, perilaku pemilik, dan luas lahan yang relatif kecil. Metode pengaturan hasil yang biasa dipakai pada hutan rakyat adalah metode jumlah batang. Pengaturan hasil pada hutan rakyat menggunakan metode jumlah batang yaitu pengelolaan pohon demi pohon dari berbagai struktur tanaman pada lahan milik yang bertujuan untuk kelestarian pendapatan bagi setiap petani hutan rakyat. Nantinya dari pengaturan hasil dengan menggunakan metode jumlah batang ini diharapkan dapat menghasilkan suatu rumusan dasar pengaturan kelestarian hasil yang dapat dimengerti dengan mudah oleh petani hutan rakyat. 2.5 Analisis Finansial Analisis finansial hutan rakyat sangat penting dilakukan untuk mengetahui kelayakan pengusahaannya melalui perhitungan kriteria investasi. Hasil analisis kriteria investasi akan membantu pengembangan hutan rakyat (petani) untuk memilih komposisi jenis yang sebaiknya dikembangkan dan menentukan daur
8
yang paling menguntungkan melalui berbagai pilihan. Analisis finansial ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: komposisi jenis yang dikembangkan, daur ekonomis vegetasinya, tingkat suku bunga dan biaya-harga yang berlaku di suatu daerah sehingga hasil kajian analisis ini bersifat site spesifik, artinya keputusan yang diperoleh dari kajian ini tidak secara otomatis bisa diterapkan di tempat lain. Namun sebagai acuan, petani (pengembang) hutan rakyat bisa lebih bijaksana dan menyadari risiko dan konsekuensi dalam menjatuhkan pilihan terhadap jenis apa yang sebaiknya dikembangkan termasuk model atau pola tanamnya, tentunya setelah kelayakan teknis dan ekologinya terpenuhi terlebih dahulu. Hasil analisis finansial ini bukan merupakan instrumen tunggal dalam pengambilan keputusan untuk menentukan suatu pilihan jenis yang akan dikembangkan pada hutan rakyat, tetapi lebih merupakan salah satu alat pendukung dari serangkaian alat yang harus tersedia (Acmad et al. 2010). Kriteria investasi yang dipakai adalah Net Present Value (NPV) yang menunjukkan kelebihan benefit dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan pada suatu tingkat bunga tertentu, Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio) yang menunjukkan berapa kali lipat benefit yang akan diperoleh dari cost yang telah dikeluarkan, dan Internal Rate of Return (IRR) yang menggambarkan kemampuan suatu usaha dalam mengembalikan bunga pinjaman serta untuk mengetahui prosentase keuntungan tiap tahun. Apabila nilai NPV > 0; Net B/C Ratio > 0; IRR > tingkat bunga yang berlaku, maka usaha hutan rakyat layak dilaksanakan (Acmad et al. 2010). 2.6 Daur Daur yaitu suatu jangka waktu antara waktu penanaman hutan sampai hutan tersebut dianggap masak untuk dipanen. Penentuan panjang daur berkaitan erat dengan keberhasilan kelestarian hasil pada pengelolaan hutan seumur. Penentuan panjang daur tersebut berkaitan erat dengan cara penentuan waktu yang diperlukan oleh suatu jenis tegakan untuk mencapai kondisi masak tebang. Lamanya daur tergantung pada sifat pertumbuhan jenis pohon yang diusahakan, tujuan pengelolaan dan pertimbangan ekonomi (Departemen Kehutanan 1992).
9
Berdasarkan Departemen Kehutanan (1992) disebutkan ada enam macam daur, yaitu: 1. Daur fisik Yaitu jangka waktu yang berimpitan dengan periode hidup suatu jenis untuk kondisi temapat tumbuh tertentu, sampai jenis tersebut mati secara alami. Kadang-kadang juga didefinisikan sama dengan umur, sampai pohon tersebut masih mampu menghasilkan biji yang baik untuk melakukan permudaan. Jadi daur ini tidak mempunyai hubungan yang erat dengan nilai ekonomi suatu hutan. 2. Daur silvikultur Yaitu jangka waktu selama hutan masih menunjukkan pertumbuhan baik, dan dapat menjamin permudaan, dengan kondisi yang sesuai dengan tempat tumbuh. Daur silvikultur sangat dekat atau hampir mirip dengan daur fisik. Daur silvikultur pada umumnya sangat panjang dan mempunyai batas yang amat lebar. 3. Daur teknik Yaitu jangka waktu perkembangan sampai suatu jenis dapat menghasilkan kayu atau hasil hutan lainnya, untuk keperluan tertentu. Untuk suatu jenis, daur fisik bergantung pada tujuan pengelolaannya. Misalnya, daur untuk kayu bakar dan pulp pada umumnya pendek, tetapi daur untuk kayu pertukangan, sering kali amat panjang. 4. Daur volume maksimum Yaitu jangka waktu perkembangan suatu tegakan yang memberikan hasil kayu tahunan terbesar, baik dari hasil penjarangan maupun tebangan akhir. Daur ini merupakan perkembangan yang terpenting dan paling banyak dipakai di lapangan, baik secara langsung atau tidak langsung. Panjang daur volume maksimum ini berhimpit dengan umur tegakan pada waktu riap rata-rata tahunan (MAI, mean annual increament) mencapai maksimum. Umur tersebut juga merupakan titik potong antara grafik MAI dengan CAI (current annual increament).
10
m3/ha
MAI
CAI
Umur (thn)
Gambar 1 Grafik MAI dan CAI.
5. Daur pendapatan maksimum Daur ini juga dikenal sebagai daur “bunga hutan” maksimum, yaitu daur yang menghasilkan rata-rata pendapatan bersih maksimum. Di sini, pendapatan bersih dihitung dari hasil penjarangan dan hasil akhir, setelah dikurangi dengan daur volume maksimum. Rata-rata pendapatan tahunan bersih diperoleh dari total pendapatan bersih dibagi dengan panjang daur. 6. Daur finansial Daur ini digunakan untuk memperoleh keuntungan maksimum dalam nilai uang. Di kehutanan, keuntungan dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu dari nilai harapan lahan dan dari hasil finansial. 2.7 Riap Riap tegakan dibentuk oleh pohon-pohon yang masih hidup di dalam tegakan, tetapi penjumlahan dari riap pohon ini tidak akan sama dengan riap tegakannya, karena dalam periode tertentu beberapa pohon dalam tegakan dapat saja mati, busuk atau beberapa lainnya mungkin ditebang. Sebagian besar pepohonan pada inventarisasi awal tumbuh naik ke kelas diameter berikutnya yang lebih besar (upgrowth). Pada kelas diameter kecil, penambahan pohon pada inventarisasi berikutnya berasal dari ingrowth yang tidak terhitung pada inventarisasi awal. Jumlah pohon dalam tegakan berkurang akibat kematian yang
11
terjadi pada keseluruhan diameter, dimana laju kematian terbesar terjadi pada kelas diameter terkecil (Davis et al. 1987). Riap dibedakan ke dalam riap tahunan berjalan (Current Annual Increament, CAI), riap periodik (Periodic Increament, PI), dan riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increament, MAI). CAI adalah riap dalam satu tahun berjalan, PI adalah riap dalam satu waktu periode tertentu, sedangkan MAI adalah riap rata-rata (per tahun) yang terjadi sampai periode waktu tertentu (Prodan 1968). 2.8 Jati (Tectona grandis Linn. f.) Jati dikenal luas sebagai tanaman yang tumbuh pada tapak beriklim tropis. Sering dijumpai sebagai tanaman sela pada sistem agroforestry. Salah satu kayu serbaguna, digunakan untuk konstruksi ringan dan berat, bahan bangunan rumah, kayu pertukangan, ukiran dan lain-lain. Pada kondisi baik, tinggi pohon jati mencapai 30 – 40 m. Pada habitat kering, pertumbuhan menjadi terhambat, cabang lebih banyak, melebar dan membentuk semak. Pada tapak bagus, batang bebas cabang 15 – 20 m atau lebih, percabangan kurang dan rimbun. Pohon tua sering berbanir dan beralur. Kulit batang tebal, abu-abu atau coklat ke abu-abuan. Secara morfologis buah jati tergolong keras, terbungkus kulit berdaging, lunak tidak merata (tipe buah batu). Ukuran buah bervariasi 5 – 20 mm, umumnya 11 – 17 mm (Sumarna 2003). Secara umum, pengembangan jati sampai dekade tahun 70-an masih bersifat konvensional. Pengembangan budidaya jati masih mengandalkan teknik perbanyakan secara generatif, yaitu perbanyakan tanaman yang berasal dari biji atau benih pohon induk yang terpilih. Pengembangan tanaman jati secara konvensional (generatif) memiliki kendala, yaitu tanaman baru dapat berproduksi sekitar 40-60 tahun. Sejak dekade tahun 90-an telah mulai dipelajari pola pengembangan tanaman secara vegetatif melalui teknik kultur jaringan dan kultur tunas. Para ahli telah melakukan pendekatan-pendekatan yang tujuannya untuk mendapatkan tanaman jati unggul dan dapat dipanen dengan umur yang relatif lebih pendek. Pohon jati yang diharapkan memiliki keunggulan komparatif dan berdaur pendek (kurang lebih 15 tahun). Walaupun secara kualitas kayu jati yang dihasilkan
12
belum tentu lebih baik dibandingkan kayu jati hasil budidaya secara konvensional. Namun demikian dapat mendorong masyarakat untuk membudidayakannya (Siregar 2005). 2.9 Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) Sengon merupakan pohon multiguna, baik daun, batang, maupun sistem perakarannya dapat digunakan untuk beragam keperluan. Kayu sengon digunakan untuk tiang bangunan rumah, papan, peti kas, perabotan rumah tangga, pagar, tangkai dan kotak korek api, pulp, kertas dan lain-lain. Sengon merupakan jenis vegetasi daerah tropik. Suhu yang diperlukan oleh sengon untuk pertumbuhannya berkisar 22°C - 33°C. Pohon Sengon berbatang lurus, tidak berbanir, kulit berwarna kelabu keputih-putihan, licin, tidak mengelupas, dan memiliki batang bebas cabang mencapai 20 m. Tajuk berbentuk seperti perisai, agak jarang, dan selalu hijau. Tajuk yang agak jarang ini memungkinkan beberapa jenis tanamana perdu tumbuh dengan baik di bawahnya (Atmosuseno 1998). Sengon termasuk jenis yang cepat tumbuh tanpa memerlukan tindakan silvikultur yang rumit dan berkembang dengan baik pada tanah yang relatif kering, agak lembab bahkan di daerah tandus. Di daerah tropis seperti Indonesia, sengon dapat tumbuh dengan baik pada tanah-tanah yang lembab dengan tipe iklim A, B dan C menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson (Griffoen 1954 dalam Setyawan 2002). 3.10 Kelembagaan Hutan Rakyat Adanya
pemberdayaaan
kelompok
tani
hutan,
misalnya
dengan
mendirikan semacam koperasi simpan pinjam. Adanya koperasi tersebut bisa memberikan pinjaman lunak kepada petani yang membutuhkan uang, sehingga para petani tersebut tidak perlu untuk menebang pohon milik mereka yang belum “masak tebang” atau tidak termasuk dalam rencana pemanenan. Sebaliknya, pohon/ hutan milik petani yang sebenarnya sudah siap tebang, namun para pemiliknya belum merasa perlu untuk menebangnya, bisa dianjurkan untuk tetap ditebang dan uang yang dihasilkan bisa disimpan dalam koperasi dengan bunga yang sekiranya sebanding dengan riap pertumbuhan pohon jika pohon tersebut tidak ditebang. Namun hal ini akan sulit dilaksanakan jika tidak ada komitmen yang kuat diantara anggota kelompok tani. Oleh karena itu, diperlukan
13
pendampingan-pendampingan yang intensif baik dari pemerintah, LSM dan kalangan akademik untuk mendorong terbentuknya kelembagaan yang solid (Maryudi 2005).
14
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September - Oktober 2010 di Kabupaten Jepara-Jawa Tengah, meliputi Desa Damarwulan (Kec. Keling), Desa Clering (Kec. Donorejo) dan Desa Suwawal (Kec. Mlonggo). 3.2 Alat dan Objek Penelitian Beberapa alat yang dipergunakan seperti alat pengukur keliling (pita ukur), alat pengukur tinggi (haga hypsometer), tally sheet, alat pengukur jarak (meteran), alat tulis dan hitung, alat dokumentasi, kuesioner, dan program komputer. Objek penelitian adalah hutan rakyat, petani hutan rakyat dan pedagang pengumpul. 3.3 Batasan Operasional 1. Penelitian ini merupakan studi pada lahan hutan rakyat di wilayah Kabupaten Jepara, sehingga kesimpulan yang diperoleh hanya berlaku untuk daerah kasus. 2. Hasil produksi yang diperoleh dari lahan hutan rakyat yang akan diteliti dalam penelitian ini berupa hasil hutan kayu. 3. Analisis daur finansial dan kelestarian hasil pada penelitian ini dibatasi pada jenis jati dan sengon. 3.4 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapat dari para petani hutan rakyat dan pedagang kayu yang ada di desa penelitian. Data primer ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara, berdasarkan daftar pertanyaan atau kuesioner yang telah dipersiapkan serta pengamatan langsung terhadap keadaan usaha hutan rakyat. Data primer yang diambil meliputi: karakteristik petani hutan rakyat, faktor pendorong dan kendala pengembangan usaha hutan rakyat, alasan penebangan/pemanenan kayu, bentuk kayu yang diperjual-belikan, pihak yang menentukan harga kayu, harga kayu dan persepsi petani mengenai terbentuknya suatu kelembagaan baru yang mengatur kegiatan pengaturan hasil kayu dari hutan rakyat secara berkelompok.
15
Data sekunder merupakan data penunjang yang berhubungan dengan obyek penelitian yang diperoleh melalui instansi-instansi terkait, internet dan studi literatur. Data-data tersebut, antara lain: data potensi hutan rakyat, keadaan umum lokasi, keadaan sosial ekonomi masyarakat, keadaan tanah, topografi dan kelerengan lahan di wilayah Kabupaten Jepara (Jepara Dalam Angka 2009). 3.5 Metode Pengambilan Sampel Penelitian ini dilakukan dengan metode purposive sampling secara bertahap. Pada tahap pertama dipilih tiga kecamatan memperhatikan potensi pengembangan hutan rakyat, yakni kecamatan yang mempunyai luas hutan rakyat kecil, sedang dan tinggi. Pada tahap kedua untuk setiap kecamatan dipilih satu contoh desa yang luas hutan rakyatnya paling besar. Pada tahap ketiga untuk setiap desa diambil sampel rumah tangga petani yang mengusahakan hutan rakyat. Pengambilan sampel untuk rumah tangga petani hutan rakyat didasari oleh pengarahan dan informasi dari penyuluh lapang di setiap lokasi penelitian. Responden petani hutan rakyat yang diambil sebagai sample sebanyak 30 responden setiap desa. Singarimbun et al. (1995) menyatakan bahwa dalam penelitian survei standar minimal responden yang diambil sebanyak 30 orang. Pengukuran potensi tegakan dilakukan dengan plot contoh berupa circular plot atau plot lingkaran dengan luasan 0,02 ha (Jari-jari lingkaran 7,98 m) untuk tegakan dengan kelas umur I dan II (1 – 20 tahun) , luasan 0,04 ha (jari-jari lingkaran 11,28m) untuk tegakan kelas umur III dan IV (21 – 40 tahun), luasan 0,1 ha (jari-jari lingkaran 17.8m) untuk tegakan kelas umur V, VI dan masak tebang/miskin
riap
(Keputusan
Direktorat
Jenderal
Kehutanan
nomor
143/Kpts/DJ/I/1974 tentang Peraturan Inventarisasi Hutan Jati dan Peraturan Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) Khusus Kelas Perusahaan Tebang Habis Jati, Perum Perhutani). Pengukuran dan pencatatan mencakup jenis atau spesies, keliling, dan tinggi pohon bebas cabang. 3.6 Metode Analisis Data 1. Pendugaan diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang pada hutan rakyat Untuk mengetahui besarnya diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang pada umur yang tidak diperoleh di lapang maka dilakukan ekstrapolasi data. Langkah-langkah yang dilakukan, yaitu:
16
a. Masukkan data-data hasil pengukuran diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang yang diperoleh dari pengukuran lapang (Lampiran 1 dan 2) ke dalam software minitab 14. b. Maka akan diperoleh persamaan regresi hubungan antara umur dengan diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang (Lampiran 3) sebagai berikut: Log diamater = a + b Log umur Log tinggi bebas cabang = a + b Log umur c. Setelah itu akan didapat nilai pendugaan diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang pada tiap umur untuk jenis sengon dan jati (Lampiran 4 dan 5) 2. Pendugaan jumlah pohon per ha setiap umur Liocourt (1898) dalam Davis et al. (1987) menyatakan bahwa tegakan hutan tidak seumur dapat digambarkan konstan rasio antara jumlah pohon dalam kelas umur berurutan, umumnya sebaran eksponensial membentuk kurva J terbalik. Langkah-langkah yang dilakukan : a. Kelompokkan data mengenai jumlah pohon per ha pada tiap umur yang diperoleh di lapang (Lampiran 6 dan 7). b. Lakukan perhitungan dengan menggunakan rumus J terbalik
dengan
rumus sebagai berikut (Lampiran 8):
N = Ke-au Keterangan: N
= Jumlah pohon per ha setiap umur (batang/ha)
K & a = Tetapan yang menunjukkan struktur tegakan e
= Bilangan Logaritma
u
= umur
c. Setelah diperoleh persamaan eksponensial pada tiap jenisnya maka akan diperoleh pendugaan jumlah pohon per ha setiap umur. Pendugaan jumlah pohon per ha untuk jenis sengon mulai dari umur 3 tahun hingga 10 tahun. Sedangkan untuk jenis jati mulai dari umur 10 tahun hingga 25 tahun.
17
3. Pengukuran volume pohon pada tiap umur Volume pohon pada tiap umur diperoleh dengan memasukkan variabel diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang pada tiap umur ke dalam persamaan berikut:
Keterangan:V = volume pohon (m³) π = konstanta (3,14) d = diameter pohon setinggi dada (m) t = tinggi pohon bebas cabang (m) f = faktor bentuk sengon 0,7 (Asumsi umum) faktor bentuk jati 0,759 (Novendra 2008) 4. Pengukuran volume tegakan per ha pada tiap umur Volume tegakan per ha pada tiap umur (c) diperoleh dengan mengalikan hasil pengukuran volume pohon tiap umur (a) dengan pendugaan rata-rata jumlah pohon per ha tiap umur (b).
c = a x b 5. Perhitungan daur finansial berdasarkan Net Present Value (NPV) menurut Nugroho (2008), Davis et al. (1987), dan Gittinger (1986) Net Present Value (NPV) merupakan nilai sekarang dari manfaat atau pendapatan dan biaya atau pengeluaran. Dengan demikian apabila NPV bernilai positif dapat diartikan bahwa usaha yang dilakukan memperoleh keuntungan. Sebaliknya NPV yang bernilai negatif menunjukkan kerugian. n
NPV = t 1
Bt Ct (1 i )t
Keterangan : Bt = pendapatan (benefit) pada tahun ke-t i
= discount rate yang berlaku (%)
Ct = biaya (cost) pada tahun ke-t t = umur proyek (tahun) NPV > 0; maka proyek menguntungkan dan dapat atau layak dilaksanakan.
18
NPV= 0; maka proyek tidak untung dan tidak juga rugi, jadi tergantung pada penilaian subyektif pengambilan keputusan. NPV< 0; maka proyek ini merugikan karena keuntungan lebih kecil dari biaya, jadi lebih baik tidak dilaksanakan Langkah-langkah yang dilakukan, yakni: a. Pendapatan dalam pengusahaan hutan rakyat diperoleh dari rumus, sebagai berikut: Bt = c x d Keterangan: Bt = pendapatan (benefit) pada tahun ke-t c
= volume tegakan per ha pada setiap umur
d
= harga jual kayu per m³ pada setiap kelas diameter
b. Pengeluaran dalam pengusahaan hutan rakyat diperoleh dari rumus, sebagai berikut: Ct = d + e + ∑ f + ∑ g Keterangan: Ct = biaya (cost) pada tahun ke-t d
=
biaya penanaman, meliputi kegiatan di dalam yakni: persiapan lapang, pembuatan lubang tanam dan penanaman
e = biaya pengadaan bibit f = biaya pemeliharaan g = pajak 5. Riap Rata-Rata Tahunan (MAI) dan Riap Tahunan Berjalan (CAI) Perhitungan riap rata-rata tahunan berdasarkan rumus Prodan (1968), sebagai berikut:
MAI volume =
(m3/ha/tahun)
Perhitungan riap tahunan berjalan berdasarkan rumus Prodan (1968) sebagai berikut:
CAI volume =
(m3/ ha)
=
Keterangan: 3
Vn = Volume tegakan pada saat umur n (m / ha) Tn = Umur tegakan pada saat umur n (tahun)
19
BAB 1V KONDISI UMUM LOKASI
4.1. Keadaan Umum Kabupaten Jepara 4.1.1. Letak dan kondisi wilayah geografis Jepara adalah salah satu Kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang terletak pada 5° 43` 20,67” sampai 6° 47` 25,83” Lintang Selatan dan 110° 9` 48,02” sampai 110° 58`37,40” Bujur Timur, dengan luas wilayah 100.413,189 ha atau 1.004,132 km². Kabupaten Jepara terbagi atas 16 Kecamatan, 183 Desa dan 11 Kelurahan, serta 1.235 RW dan 4.441 RT. Peta administrasi Kabupaten Jepara disajikan pada Lampiran 9. Batas wilayah Kabupaten Jepara adalah sebagai berikut : 1. Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Jawa. 2. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa. 3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kudus dan Pati. 4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Demak. Tabel 1 Luas dan persentase penggunaan tanah di Kabupaten Jepara 2008 No
Penggunaan Tanah
1
Tanah Sawah Tanah Untuk Bangunan & Halaman Sekitarnya Tegal Padang Rumput Rawa Yang Tidak Ditanami Tambak Kolam Tanah Yang Sementara Tidak Diusahakan Tanah Untuk Tanaman Kayu-kayuan Hutan Negara Perkebunan Negara/Swasta Tanah Lainnya (Jalan, Sungai, Kuburan, Lambiran, Tanah Gede, Lapangan Olah Raga, dll)
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jumlah Sumber : BPS Kabupaten Jepara Tahun 2009
Luas (ha)
Persentase (%)
26.291,056 28.287,309 18.436,233 8,000 21,000 1.201,386 9,545 330,700 1.535,462 17.562,272 3.954,288 2.775,938
26,18 28,17 18,36 0,01 0,02 1,20 0,01 0,33 1,53 17,49 3,94 2,76
100.413,189
100,00
20
4.1.2 Jenis tanah Ada 5 jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Jepara yaitu : 1. Andosol Coklat, terdapat di perbukitan bagian utara dan puncak Gunung Muria seluas 3.525,469 ha (3,15%). 2. Regosol, terdapat di bagian utara seluas 2.700,857 ha (2,69%). 3. Alluvial, terdapat di sepanjang pantai barat seluas 19.126,433 ha (19,05%). 4. Assosiasi Mediteran, terdapat di pantai barat seluas 9.667,857 ha (6,63%). 5. Latosol, adalah jenis tanah yang paling dominan di Kabupaten Jepara dan terdapat di perbukitan Gunung Muria seluas 65.392,573 ha (65,12%). 4.1.3 Ketinggian tempat dan solum tanah Kabupaten Jepara secara
garis besar memiliki pembagian alam yang
terbagi menjadi tiga bagian, yaitu : 1. Daerah dataran tinggi dengan ketinggian > 100 mdpl dengan kelerengan antara 25–40% meliputi Kecamatan Batealit, Mlonggo, Pakisaji, Bangsri, Kembang, Keling, Donorojo, Mayong dan Nalumsari. 2. Daerah dataran sedang dengan ketinggian antara 50–100 mdpl dengan kelerengan antara 8–15% meliputi sebagian Kecamatan Tahunan, Mlonggo, Pakisaji, Bangsri, Kembang, Keling, Donorojo, Mayong, Nalumsari dan Karimunjawa. 3. Daerah dataran rendah dengan ketinggian < 50 mdpl dengan kelerengan berkisar antara 0–8% meliputi sebagian Kecamatan Welahan, Tahunan, Jepara, Mlonggo, Pakisaji, Bangsri, Kembang, Keling, Donorojo, Mayong, Nalumsari dan Karimunjawa. 4.1.4 Sosial ekonomi 4.1.4.1 Keadaan penduduk berdasarkan umur dan jenis kelamin Jumlah penduduk di Kabupaten Jepara menurut jenis kelamin Tahun 2008 sebanyak 1.090.839 orang, terdiri dari 548.935 laki-laki (50,32%) dan 541.886 perempuan (49,68%). Sebaran penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Tahunan (96.535 jiwa) dan jumlah penduduk paling sedikit terdapat di Kecamatan Karimunjawa (8.8687 jiwa). Kepadatan penduduk Kabupaten Jepara mencapai
21
1.086 jiwa per km², dimana kepadatan penduduk terbesar berada di Kecamatan Jepara (3.087 jiwa per km²) sedangkan kepadatan penduduk terendah berada di Kecamatan Karimunjawa (122 jiwa per km²). 4.1.4.2 Keadaan penduduk berdasarkan mata pencaharian Mata pencaharian yang banyak menyerap tenaga kerja di Kabupaten Jepara adalah sector industri (44,93%) dan pertanian (18,49%), selebihnya berusaha/bekerja di sektor pertambangan, listrik, konstruksi, keuangan dan jasajasa lainnya. 4.1.4.3 Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan berdasarkan umur 10 tahun ke atas di Kabupaten Jepara, yakni: tidak/belum pernah sekolah (8,49%), tidak/belum tamat SD (18,24%), tamatan SD (33,07%), tamatan SLTP (21,3%), tamatan SMU (12,27%), tamatan SMK (1,64%), tamatan D1 (0,78%), tamatan D3 (1,08%), tamatan S1/S2/S3 (3,14%). 4.2 Kondisi Umum Kecamatan Keling Kecamatan Keling mempunyai luas wilayah 12.311 ha terdiri dari luas lahan sawah sebesar 2.266 ha dan luas lahan kering sebesar 10.045 ha. Kecamatan keling berada pada ketinggian 0 – 1.301 mdpl. Kecamatan Keling berbatasan dengan Laut Jawa disebelah utara, Kecamatan Bangsri disebelah selatan, Kecamatan Kembang disebelah barat dan Kabupaten Pati disebelah timur. Kecamatan Keling ini mempunyai potensi sumber daya hutan berupa hutan rakyat seluas 1.865 ha dan Hutan Negara seluas 7.862 ha. Di kecamatan Keling ini sekitar 50% dari luas total wilayahnya merupakan lahan kritis seluas 6.245 ha. Desa yang terpilih menjadi lokasi penelitian adalah Desa Damarwulan. Desa Damarwulan mempunyai luas administrasi 2.010 ha, terdiri dari lahan sawah seluas 379 ha, bangunan dan pekarangan seluas 272 ha, hutan rakyat seluas 768 ha, hutan Negara seluas 545 ha dan tanah lainnya seluas 45 ha. Desa Damarwulan ini berada pada ketinggian tempat 700 – 1200 mdpl dengan jenis tanah latosol coklat. Jumlah penduduk Desa Damarwulan sebanyak 7.563 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 3.814 jiwa dan perempuan sebanyak 3.749 jiwa. Sumber mata pencaharian penduduk Desa Damarwulan sebagian besar adalah petani sebanyak 4.390 (59,6%) orang dari total 7.362 orang yang bekerja.
22
4.3 Kondisi Umum Kecamatan Donorejo Kecamatan Donorejo mempunyai luas wilayah 10.864 ha. Kecamatan Donorejo berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Kecamatan Keling disebelah selatan, Kecamatan Kembang disebelah barat dan Kabupaten Pati disebelah timur. Kecamatan Donorejo ini mempunyai potensi sumber daya hutan berupa hutan rakyat seluas 977 ha dan Hutan Negara seluas 4.233 ha. Di kecamatan Donorejo ini sekitar 32% dari luas total wilayahnya merupakan lahan kritis seluas 3.502 ha. Desa yang terpilih menjadi lokasi penelitian adalah Clering. Desa Clering mempunyai luas administrasi 2.366 ha. Berdasarkan hasil wawancara dengan penyuluh lapang diduga bahwa luas hutan rakyat yang ada di Desa Clering sekitar 20% dari luas administrasi desa, yakni sebesar 473,2 ha. Jumlah penduduk Desa Clering sebanyak 5584 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki sebayak 2845 jiwa dan perempuan sebanyak 2.739 Jiwa. Sumber mata pencaharian penduduk Desa Clering sebagian besar adalah petani sebanyak 1.886 (50,7%) orang dari total 3.714 orang yang bekerja. 4.4 Kondisi Umum Kecamatan Mlonggo Kecamatan Mlonggo mempunyai luas wilayah 4.239 ha. Kecamatan Mlonggo berbatasan dengan Kecamatan Bangsri disebelah utara dan timur, Kecamatan Jepara, Tahunan dan Batealit disebelah selatan dan Laut Jawa disebelah barat. Kecamatan Mlonggo berada pada ketinggian 0 – 300 mdpl. Kecamatan Mlonggo ini mempunyai potensi sumber daya hutan berupa hutan rakyat seluas 211 ha dan Hutan Negara seluas 1.001 ha. Di kecamatan Mlonggo ini sekitar 35% dari luas total wilayahnya merupakan lahan kritis seluas 1.510 ha. Desa yang terpilih menjadi lokasi penelitian adalah Desa Suwawal. Desa Suwawal mempunyai luas administrasi 472 ha, terdiri dari lahan sawah seluas 92 ha, bangunan dan pekarangan seluas 237 ha, hutan rakyat/kebun seluas 140 ha dan industri seluas 3 ha. Jumlah penduduk Desa Suwawal sebanyak 9.683 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki sebayak 4.872 jiwa dan perempuan sebanyak 4.811 jiwa. Sumber mata pencaharian penduduk Desa Suwawal terbesar adalah tukang kayu/ukir sebanyak 1.917 (26,6%) orang dari total 7.208 orang yang bekerja.
23
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Profil Umum Petani Hutan Rakyat Petani hutan rakyat merupakan profesi sampingan yang saat ini ditekuni oleh sebagian masyarakat di lokasi penelitian, dimana hutan rakyat yang dibangun diusahakan secara individu. Mayoritas jenis pohon yang ditanam adalah jati (Tectona grandis) dan sengon (Paraserianthes falcataria), adapun jenis lain seperti
mahoni
(Swietenia
mahagoni),
medang-medangan,
jengkol
(Pithecollobium Jiringa), kapuk (Ceiba petandra) dan waru (Hibiscus tiliaceus) ditanam dalam jumlah kecil. Pengelompokkan responden petani hutan rakyat pada masing-masing desa penelitian berdasarkan kelompok umur disajikan pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2 Karakteristik petani hutan rakyat berdasarkan kelompok umur Desa 20-30
Kelompok Umur (Tahun) 31-40 41-50
Jumlah (Orang) >50
Damarwulan Clering Suwawal
0 0 1
6 12 7
14 13 14
10 5 8
30 30 30
Jumlah (Orang)
1
25
41
23
90
Persentase (%)
1,11
27,78
45,56
25,55
100
Tabel 2 tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan kelompok umur, hutan rakyat lebih banyak diusahakan oleh responden dengan usia lebih dari 40 tahun sebanyak 71,11% dari total responden dan sisanya sebesar 28,89% merupakan petani hutan rakyat usia produktif yaitu berumur 20-40 tahun. Besarnya persentase petani hutan rakyat yang didominasi oleh generasi tua (> 40 tahun) disebabkan karena kurangnya minat generasi muda terhadap usaha hutan rakyat. Sebagian besar generasi mudanya lebih memilih pergi merantau ke kota untuk mencari pekerjaan lain yang lebih baik. Kondisi tersebut merupakan dampak dari pergeseran persepsi kelompok muda dari usaha pertanian tradisional menjadi non pertanian yang dianggap lebih menguntungkan dan lebih cepat menghasilkan uang.
24
Tingkat pendidikan mempunyai pengaruh terhadap pola/sikap petani dalam menerima hal baru/inovasi dari luar yang diharapkan dapat meningkatkan usaha mereka. Untuk mengetahui tingkat pendidikan responden petani hutan rakyat pada masing-masing desa penelitian disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Karakteristik petani hutan rakyat berdasarkan tingkat pendidikan Desa
Tingkat Pendidikan
Damarwulan Clering Suwawal
Tidak Sekolah 1 0 0
Jumlah (Orang)
SD
SLTP
SLTA
S1
12 14 2
8 6 12
9 7 10
0 3 6
30 30 30
Jumlah (Orang)
1
28
26
26
9
90
Persentase (%)
1,11
31,11
28,89
28,89
10
100
Tabel 3 tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang dominan ditempuh oleh responden adalah tingkat Sekolah Dasar sebanyak 28 orang (31,11%). Responden yang menempuh sekolah hingga tingkat sekolah dasar itu didominasi oleh responden berumur 50 tahun. Walaupun demikian, setidaknya para responden di lokasi penelitian pernah mengenyam bangku pendidikan Sekolah Dasar sehingga mereka telah dapat membaca dan menulis. Tingkat pendidikan formal yang cukup rendah tersebut dapat dipahami karena kondisi ekonomi keluarga pada saat dulu tidak cukup mendukung untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu dimungkinkan juga karena kurang tersedianya sarana prasarana serta jarak yang cukup jauh untuk menjangkau sarana pendidikan yang ada. Pekerjaan utama responden petani hutan rakyat yang terdapat di lokasi penelitian terbagi menjadi dua kategori, yakni perkerjaan utama di sektor pertanian dan non pertanian. Mengenai pekerjaan utama responden dapat disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Karakteristik petani hutan rakyat berdasarkan pekerjaan utama Desa Damarwulan
Pekerjaan Utama Sektor pertanian Sektor Non Petani 29 1
Jumlah (Orang) 30
Clering
14
16
30
Suwawal
6
24
30
Jumlah (Orang) Persentase (%)
49 54,44
41 45,56
90 100
25
Tabel 4 menunjukkan bahwa persentase responden yang pekerjaan utamanya di sektor pertanian dan non pertanian mempunyai nilai yang tidak jauh berbeda, yakni sektor pertanian (54,44%) dan non pertanian (45,56%). Pekerjaan utama responden di sektor non pertanian cukup beragam seperti supir, pengusaha batako, pegawai negeri, guru, pegawai swasta, pedagang, pengusaha kecil mebel dan ukiran. Berbeda dengan dua desa penelitian yang lain, di Desa Suwawal kebanyak respondennya mempunyai pekerjaan utama diluar sektor pertanian. Hal itu dikarena Desa Suwawal letaknya tidak jauh dengan pusat Kota Jepara sehingga peluang bekerja di luar sektor pertanian cukup besar, kebanyakan dari mereka lebih tertarik untuk bekerja sebagai pengusaha kecil mebel dan ukiran kayu. Tingkat penghasilan yang diperoleh responden dari pekerjaan utama mereka terbagi menjadi empat kelas. Berikut ini adalah Tabel yang menyajikan tingkat penghasilan responden setiap bulan dari pekerjaan utama mereka. Tabel 5 Karakteristik petani hutan rakyat berdasarkan tingkat penghasilan Desa
Tingkat Penghasilan (Rp/bulan)
Jumlah (Orang)
Rp 1.100.000 Rp 1.500.000 25
Rp 1.600.000 Rp 2.000.000 0
> Rp 2.000.000
Damarwulan
Rp 500.000 Rp1.000.000 1
4
30
Clering
5
6
10
9
30
Suwawal
0
11
4
15
30
Jumlah (Orang) Persentase (%)
6
42
14
28
90
6.67
46.66
15.56
31.11
100
Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa sebanyak 84 orang (93,33%) responden mempunyai tingkat penghasilan yang sudah cukup baik karena besarnya penghasilan yang diperoleh oleh sebagian responden mempunyai nilai di atas Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Jepara tahun 2010 yakni sebesar Rp 702.000/bulan (www.nakertrans.jateng.go.id). Berdasarkan luas kepemilikan rata-rata hutan rakyat yang disajikan pada Tabel 6, Desa Damarwulan merupakan desa yang memiliki luas hutan rakyat paling besar dibandingkan dua desa yang lain yakni sebesar 0,54 ha. Namun demikian, jika dilihat dari besarnya jumlah pohon rata-rata untuk jenis sengon dan jati pada masing-masing sampel desa penelitian, jumlah pohon rata-rata untuk
26
masing-masing jenis yang ada di Desa Damarwulan memiliki jumlah yang paling kecil bila dibandingkan dengan dua desa lainnya, yakni sengon (827 batang/ha) dan jati (440 batang/ha). Besarnya jumlah pohon rata-rata per ha untuk masingmasing jenis di Desa Damarwulan sangat bertolak belakang dengan besarnya luas kepemilikan rata-rata hutan rakyat di desa tersebut. Hal itu terjadi karena responden di Desa Damarwulan didominasi oleh kelompok petani yang mengusahakan hutan rakyat dengan sistem agroforestry dengan tanaman pertanian seperti singkong, kopi, lada, pisang dan jahe sehingga jarak tanam yang digunakan oleh responden kurang beraturan bila dibandingkan dengan dua desa lainnya. Selain itu pula karena sebagian responden yang ada, baru saja melakukan penebangan pohon untuk menutupi kebutuhan yang sifatnya mendesak sehingga ketika dilakukan pengukuran di lapangan jumlah pohon yang ditemui tinggal sedikit. Tabel 6 Luas rata-rata kepemilikan hutan rakyat dan jumlah pohon rata-rata yang dimiliki petani tiap jenis Desa
Damarwulan Clering Suwawal
Luas ratarata kepemilikan Hutan rakyat (ha) 0,54 0,51 0,32
Jumlah pohon Sengon ratarata yang dimiliki
Jumlah pohon Jati rata-rata yang dimiliki
Jumlah pohon Sengon ratarata per ha
Jumlah pohon Jati rata-rata per ha
447 449 314
238 341 266
827 881 981
440 669 832
Tabel 7 dan Gambar 2 menunjukkan bahwa sistem pengusahaan hutan rakyat yang dilakukan oleh para petani hutan rakyat di lokasi penelitian didominasi oleh pola campuran (43,33%). Menurut Awang (2005) kepemilikan jenis lahan, usaha tani yang dilakukan oleh petani hutan rakyat secara spesifik memiliki pola tanam yang sangat beragam. Akan tetapi sebagian besar hutan rakyat pada umumnya menggunakan pola tanaman campuran, yaitu campuran tanaman kayu-kayuan dan tanaman pangan. Tabel 7 Sistem pembangunan usaha hutan rakyat setiap desa Desa Damarwulan Clering Suwawal Jumlah (orang) Presentase (%)
Monokultur 1 13 15 29 32,22
Campuran 12 15 12 39 43,33
Agroforestry 17 2 3 22 24,45
Jumlah (orang) 30 30 30 90 100
27
Damarwulan
Clering
Suwawal
Gambar 2 Kondisi hutan rakyat di Desa Damarwulan, Clering dan Suwawal. 5.2
Hubungan Luas Kepemilikan Hutan Rakyat dengan Pendidikan, Pekerjaan Utama dan Penghasilan Responden
Tingkat
Berdasarkan hasil analisis regresi yang dilakukan antara luas kepemilikan hutan rakyat dengan tingkat pendidikan, pekerjaan utama dan penghasilan responden maka diperoleh persamaan sebagai berikut : Ý = 0.230 + 0.0216 Х1 + 0.0464 Х2 - 0.00000002 Х3 Berdasarkan persamaan regresi linear tersebut diketahui bahwa koefisien determinasi yang dihasilkan sebesar 3,5% yang artinya sebanyak 3,5% dari luas kepemilikan hutan rakyat dapat dijelaskan oleh tingkat pendidikan, pekerjaan utama dan penghasilan. Sebanyak 96,5% dari luas kepemilikan hutan rakyat dijelaskan oleh faktor lain di luar faktor pendidikan, pekerjaan utama dan penghasilan. Selanjutnya untuk mengetahui
hubungan tiap variabel penduga
28
terhadap besarnya luas kepemilikan hutan rakyat dilakukan uji t yang dijelaskan pada Tabel 8. Berdasarkan hasil pengujian pada Lampiran 10 dapat diketahui bahwa faktor pendidikan, pekerjaan utama dan penghasilan tidak nyata mempengaruhi luas kepemilikan hutan rakyat (P > 0,05). Tabel 8 Hubungan antar variabel dengan besarnya luas kepemilikan hutan rakyat Variabel Pendidikan Pekerjaan utama Penghasilan
t hit
P
1,58 0,56 -0,15
0,119 0,574 0,879
Luasnya kepemilikan hutan rakyat yang dimiliki para responden sebenarnya dipengaruhi oleh besarnya lahan yang diwariskan oleh orangtua mereka terdahulu, meskipun dahulu ketika orangtua mereka mewarisi lahan tersebut bukan dalam bentuk lahan hutan rakyat tetapi masih dalam bentuk lahan pertanian. Kemudian mereka sendirilah yang merubah lahan yang ditanami oleh tanaman pertanian menjadi lahan yang ditanami oleh tanaman kehutanan. Mereka membangun hutan rakyat karena melihat semakin banyak orang/tetangga mereka yang mulai membangun hutan rakyat dengan alasan hutan rakyat dapat memberikan keuntungan
yang
cukup
besar
sehingga
merekapun
tertarik
untuk
mengusahakannya, serta adanya anjuran dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan daerah setempat untuk mulai membangun dan menggembangkan usaha hutan rakyat. 5.3 Pengembangan Usaha Hutan Rakyat Kegiatan pengembangan usaha hutan rakyat di tiga lokasi penelitian dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor pendorong dan kendala (Lampiran 11). 5.3.1 Faktor pendorong Faktor pendorong merupakan faktor terpenting yang mendorong responden untuk
mengembangkan
usaha
hutan
rakyat.
Faktor
pendorong
yang
mempengaruhi responden dalam mengembangkan usaha hutan rakyat disajikan pada Tabel 9. Beberapa jawaban yang diberikan responden mengenai faktor pendorong yang mempengaruhi mereka dalam mengembangkan usaha hutan rakyat, antara lain: tenaga kerja yang dibutuhkan sedikit, mudah dalam pengelolaannya, tabungan dimasa depan, warisan yang diturunkan oleh orangtua,
29
kecocokan lahan yang ada, mengikuti jejak orang lain dan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri mebel. Tabel 9 Faktor pendorong pengembangan usaha hutan rakyat No.
Faktor Pendorong
Frekuensi
Persentase
Jawaban
(%)
1
Tenaga kerja yang dibutuhkan sedikit
18
13
2
Mudah dalam pengelolaannya
34
24
3
Tabungan masa depan
67
47
4
Kecocokan lahan
7
5
5
Meneruskan usaha orangtua
6
4
6
Mengikuti jejak oranglain
8
6
7
Memenuhi kebutuhan bahan baku untuk industri mebel
2
1
142
100
Jumlah
1. Tenaga kerja yang dibutuhkan sedikit Sebanyak 13% dari seluruh jawaban yang ada menyatakan bahwa jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pengusahaan rakyat yang sedikit mendorong responden untuk mengembangkan usaha hutan rakyat. Kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang cukup mudah dan sederhana serta tidak memerlukan perawatan yang intensif menyebabkan tenaga kerja yang dibutuhkan sedikit. 2. Mudah dalam pengelolaannya Sebanyak 24% dari seluruh jawaban yang ada menyatakan bahwa mudahnya pengelolaan hutan rakyat yang mendorong responden untuk mengembangkan usaha hutan rakyat. Pengelolaan hutan rakyat yang mudah dan sederhana serta tidak memerlukan perawatan yang intensif menjadikan pengelolaan hutan rakyat yang selama ini dilakukan sangat minim terhadap tindakan silvikultur. Hal tersebut menjadikan usaha hutan rakyat ini cukup mudah dikelola oleh petani yang mengembangkannya. Faktor pendorong ini yang menyebabkan responden meski pekerjaan utamanya bukan sebagai petani, tetapi mereka tetap berkeinginan untuk mengembangkan usaha hutan rakyat sebagai pekerjaan sampingan. Pada tahap pengelolaan hutan rakyat dibagi menjadi 2 kegiatan besar, yakni: penanaman dan pemeliharaan. Pada kegiatan penanaman, beberapa hal yang dilakukan antaralain:
30
pembersihan lahan, pembuatan lubang tanam, pemberian pupuk, penanaman bibit dan pendangiran. Selanjutnya pada kegiatan pemeliharaan, beberapa hal yang dilakukan meliputi: penyiangan dan penyemprotan. Kegiatan pemeliharaan, biasanya dilakukan setahun sekali atau dua kali. Kegiatan pemeliharaan pada hutan rakyat biasanya dilakukan oleh petani pada musim libur, sehingga kegiatan tersebut tidak mengganggu pekerjaan utama mereka dan tak jarang pula anak-anak merekapun turut membantunya. Kebanyakan responden melakukan pemeliharaan untuk jenis sengon hingga tahun ke-3 dan jenis Jati hingga tahun ke-5 atau ke-8. Beberapa tahun berikutnya hingga pohon ditebang biasanya dibiarkan tanpa dilakukan tindakan pemeliharaan. 3. Sumber tabungan di masa depan Sebanyak 47% dari seluruh jawaban yang ada menyatakan bahwa faktor yang mendorong responden untuk mengusahakan hutan rakyat karena hutan rakyat dapat dijadikan sebagai tabungan di masa depan. Hal tersebut berkaitan dengan kebiasaan dilakukan masyarakat desa, mereka lebih tertarik untuk menabungkan uangnya dalam bentuk simpanan pohon daripada menabungkan uangnya di Bank, karena pohon dapat dengan mudah “dicairkan” menjadi uang ketika dibutuhkan. Selain itu mereka beranggapan kalau pohon akan selalu tumbuh sehingga semakin lama pohon itu disimpan maka keuntungan yang diperoleh akan semakin besar pula, sedangkan bila uangnya ditabung di Bank keuntungan yang dipeoleh oleh bunga Bank hanya sedikit. Usaha hutan rakyat dijadikan sebagai sumber tabungan di masa depan untuk membiayai kuliah anak, biaya pernikahan anak, biaya membangun rumah dan ongkos pergi haji. Rahayu dan Awang (2003) mengemukakan bahwa hutan rakyat, mempunyai manfaat, yakni (i) memberi kepastian tambahan pendapatan. harian dari tanaman berumur pendek dan tabungan dari tanaman berumur panjang, (ii) lebih mudah dan murah dipelihara daripada perkebunan atau areal tanaman semusim, karena menyediakan pakan ternak atau kayu bakar serta tidak perlu dipupuk dan disiangi, (iii) menguntungkan secara lingkungan, karena bisa menumbuhkan mata air, mengurangi tanah longsor, dan meningkatkan siklus hara
31
4. Warisan yang diturunkan oleh orangtua Sebanyak 4% dari seluruh jawaban yang ada menyatakan bahwa faktor pendorong responden untuk mengusahakan hutan rakyat karena usaha hutan rakyat merupakan usaha yang diwariskan oleh orangtua. Mereka sangat tertarik melanjutkan usaha ini karena melihat keberhasilan yang dicapai orangtua mereka dari kegiatan usaha hutan rakyat ini dan ingin tetap melestarikan warisan yang diberikan oleh orangtua mereka agar tidak sia-sia. Seorang responden sempat berkata “Sejak dahulu orangtua saya berjuang keras untuk mempertahankan dan melestarikan usaha hutan rakyat ini, jika usaha hutan rakyat dibiarkan dan disiasiakan berarti saya tidak menghargai dan menghormati orangtua saya. Saya tidak ingin menjadi anak durhaka sehingga saya berkeinginan untuk terus melanjutkan usaha hutan rakyat ini bahkan untuk kedepannya lagi saya akan menurunkannya kepada anak cucu saya”. Pengusahaan hutan rakyat sebagai upaya pelestarian warisan nenek moyang merupakan faktor pendorong yang muncul dari dalam diri orang yang mengusahakannya. Keberhasilan pengusahaan hutan rakyat juga ditentukan oleh persepsi masyarakat terhadap pentingnya pelestarian nilai-nilai atau budaya yang diwariskan oleh nenek moyangnya. 5. Kecocokan lahan Sebanyak 5% dari seluruh jawaban yang ada menyatakan bahwa faktor pendorong responden untuk mengusahakan hutan rakyat karena kecocokan lahan yang ada. Faktor kecocokan lahan ini mempengaruhi responden untuk memilih tanaman kehutanan yang sesuai dengan kondisi lahan, terlebih untuk jenis jati yang hanya tumbuh pada lingkungan tertentu. Faktor ini masih sedikit sekali mempengaruhi responden dalam mengembangkan usaha hutan karena jarang sekali seseorang menanam tanaman kehutanan mempertimbangkan terlebih dahulu unsur-unsur yang terkandung dalam tanah untuk memenuhi kebutuhan bagi pertumbuhan tanaman tersebut. Hal tersebut didasarkan karena pendidikan mereka yang masih rendah. Biasanya mereka memilih jenis tanaman yang cocok karena pengalaman mereka selama ini dan melihat kondisi lahan sekitar milik tetangga mereka yang ditanami dengan jenis tertentu.
32
6. Mengikuti jejak orang lain Sebanyak 6% dari seluruh jawaban yang ada menyatakan bahwa faktor pendorong responden untuk mengusahakan hutan rakyat karena mengikuti jejak orang lain. Beberapa responden beralasan demikian karena mereka melihat oranglain sukses dalam mengembangkan usaha hutan rakyat. Mereka berharap suatu saat nanti bisa merasakan kesuksesan yang selama ini dirasakan oleh orang lain tersebut. 7. Memenuhi kebutuhan bahan baku industri mebel Sebanyak 1% dari seluruh jawaban yang ada menyatakan bahwa faktor pendorong responden untuk mengusahakan hutan rakyat karena nantinya dapat digunakan untuk menyediakan sumber bahan baku industri mebel. Dalam hal ini kebetulan yang menjawabnya merupakan para pengusaha yang memiliki industri mebel. Mereka memprioritaskan untuk menanam Jati agar kelak bisa digunakan untuk industri mebel sebab kian hari keberadaan tanaman Jati semakin menurun sehingga sulit diperoleh dan harga kayunya menjadi semakin mahal. 5.3.2 Faktor penghambat Faktor penghambat merupakan faktor yang menghalangi responden untuk mengembangkan usaha hutan rakyat. Faktor penghambat yang mempengaruhi responden dalam mengembangkan usaha hutan rakyat disajikan pada Tabel 10. Beberapa jawaban yang diberikan responden mengenai faktor kendala yang mempengaruhi petani dalam mengembangkan usaha hutan rakyat, antara lain: adanya serangan hama, kurangnya pengetahuan dalam rangka meningkatkan hasil hutan rakyat yang maksimal, lamanya pertumbuhan, keterbatasan modal dan harga jual kayu cenderung murah. Tabel 10 Faktor penghambat pengembangan usaha hutan rakyat No.
Faktor Kendala
Frekuensi Jawaban
Persentase (%)
1
Serangan hama
22
21
2
Kurangnya
41
40
pengetahuan
dalam
rangka
meningkatkan hasil hutan rakyat yang maksimal 3
Lamanya pertumbuhan
19
18
4
Keterbatasan modal
17
17
5
Harga jual kayu cenderung murah
4
4
118
100
Jumlah
33
1. Serangan hama Sebanyak 22% dari total jawaban yang ada menyatakan bahwa faktor yang menghambat responden untuk mengembangkan usaha hutan rakyat karena adanya serangan hama pada tanaman. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, hama yang ada kebanyakan menyerang tanaman sengon. Pada beberapa tegakan sengon yang ada, hama yang menyerang disebut uter-uter. Cara yang sering digunakan oleh petani jika sengon terserang hama uter-uter tersebut adalah dengan menebang pohon yang terserang lalu dimusnahkan, agar uter-uter tidak menjalar kemana-mana. Tanaman yang terkena hama ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi bagi para petani. Sedangkan hama yang menyerang tanaman jati sangat jarang ditemui. 2. Kurangnya pengetahuan dalam rangka meningkatkan hasil hutan rakyat yang maksimal Sebanyak 40% dari total jawaban yang ada menyatakan bahwa faktor yang menghambat responden untuk mengusahakan hutan rakyat karena kurangnya pengetahuan petani dalam rangka meningkatkan hasil hutan rakyat yang maksimal. Kurangnya pengetahuan atau informasi mengenai pangsa pasar sehingga petani dengan mudah dapat menyesuaikan jenis tanaman yang laku dipasaran serta mengenai sistem pembangunan hutan rakyat yang seperti apa yang dapat memberikan hasil/pendapatan yang optimal bagi petani dengan luas hutan rakyat yang sempit. 3. Lamanya pertumbuhan Sebanyak 18% dari total jawaban yang ada menyatakan bahwa faktor yang menghalangi responden untuk mengembangkan usaha hutan rakyat karena lamanya pertumbuhan. Lamanya pertumbuhan tanaman kehutanan menyebabkan jangka waktu untuk memperoleh hasil panen pun cukup lama. Berbeda dengan tanaman pangan yang panennya bisa diperoleh secara bulanan maupun mingguan secara rutin. Pada tanaman kehutanan hasil panen baru bisa dirasakan pada kurun waktu beberapa tahun kedepan, misalnya tanaman sengon waktu masak tebangnya 5-7 tahun dan tanaman jati waktu masak tebangnya 40 tahun. Kebanyakan petani memanen kayu dari hutan rakyat miliknya sebelum waktu masak tebang sehingga
34
berdampak pada menurun harga jual kayu. Muslich dan Krisdianto (2006) menjelaskan bahwa batang kayu rakyat umumnya merupakan kayu muda (juvenile) yang menghasilkan kayu dengan berat jenis rendah yang menyebabkan kayu kurang awet secara alami. Berbeda dengan kayu dari hutan alam yang umumnya ditebang ketika sudah masak tebang sehingga kayu memiliki berat jenis dan kerapatan tinggi yang menyebabkan tingginya kualitas kayu. 4. Keterbatasan modal Sebanyak 17% dari total jawaban yang ada menyatakan bahwa faktor yang menghalangi responden untuk mengembangkan usaha hutan rakyat karena adanya keterbatasan modal yang dimiliki. Menurut beberapa responden meski pengelolaan hutan rakyat ini cukup mudah dan tidak terlalu banyak biaya yang dikeluarkan akan tetapi keterbatasannya modal masih mereka rasakan karena selama ini pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan utama masih rendah sehingga untuk menutupi biaya pengembangan hutan rakyat ini masih dirasa kurang mencukupi. Diperlukan adanya pemberian pinjaman modal kepada para petani hutan rakyat agar dapat mengembangkan usahanya lebih maksimal lagi. 5. Harga jual kayu yang cenderung murah Sebanyak 4% dari total jawaban yang ada menyatakan bahwa faktor yang menghalangi responden untuk mengembangkan usaha hutan rakyat karena harga jual kayu yang cenderung murah. Harga jual kayu kerap ditentukan oleh para pembeli (tengkulak). Dalam hal ini petani kerap berada pada posisi yang lemah dalam menetapkan harga jual kayu terutama ketika petani menjual kayu dalam keadaan terdesak. 5.4 Kondisi Umum Struktur Hutan Rakyat Secara umum tegakan untuk jenis sengon dan jati yang terdapat di lokasi penelitian masih merupakan tegakan muda. Jumlah pohon sengon dan jati rata-rata per ha pada tiap kelas diameter disajikan pada Tabel 11 dan 12. Berdasarkan Tabel 11 dan 12 diketahui bahwa sengon dan jati yang tumbuh di dalam hutan rakyat tersebut didominasi oleh kelas pancang dan tiang.
35
Tabel 11 Jumlah pohon Sengon rata-rata per ha pada tiap kelas diameter Desa
Jumlah Sengon rata-rata per ha (batang/ha) pada setiap kelas diameter (cm) < 10
11-15
16-20
21-25
26-30
31-35
36-40
> 40
Damarwulan
263
233
177
71
44
27
8
4
Clering
436
300
114
31
Suwawal
369
316
243
53
Tabel 12 Jumlah pohon Jati rata-rata per ha pada tiap kelas diameter Desa
Damarwulan Clering Suwawal
Kerapatan Jati rata-rata per ha (batang/ha) pada setiap kelas diameter (cm) < 10
11-15
16-20
21-25
200 307 435
194 287 329
38 75 68
8
Kondisi tegakan hutan rakyat sengon yang ada di Desa Damarwulan, Clering dan Suwawal menggambarkan penurunan jumlah pohon per ha pada kelas diameter yang semakin besar. Hal itu mungkin terjadi karena responden di Desa Damarwulan dan Clering melakukan penebangan pohon dengan sistem tebang pilih. Sistem tebang pilih yang dilakukan responden yakni memilih pohon yang berdiameter lebih besar untuk ditebang terlebih dahulu. Namun sistem tebang pilih yang dilakukan kurang memperhatikan waktu masak tebang pohon sehingga kualitas kayu dan pendapatan yang diperoleh responden dari kegiatan penebangan tersebut kurang optimal. Kondisi tegakan yang ada di Desa Suwawal menunjukkan bahwa jumlah pohon semakin menurun pada kelas diameter yang semakin besar. Hal itu mungkin terjadi karena kebanyakan responden baru menanam hutan rakyat dengan tanaman sengon sekitar 3 tahun yang lalu. Kondisi tegakan untuk jenis jati yang ada di Desa Damarwulan, Clering, dan Suwawal juga menggambarkan kondisi yang sama dengan tegakan untuk jenis Sengon, yakni mengalami penurunan jumlah pohon per ha pada kelas diameter yang semakin besar. Hal itu terjadi karena kebanyakan responden yang ada di Desa Damarwulan dan Clering baru menanam tanaman jati sekitar 8 tahun yang lalu, akan tetapi ada beberapa orang dari mereka yang memiliki tanaman jati lebih dari 10 tahun dalam jumlah yang sangat sedikit karena sisa warisan dari orangtua mereka dahulu. Pada Desa
36
Suwawal kebanyakan respondennya baru menanam tanaman jati sekitar 5 tahun yang lalu. Gambar 3 dan 4 memperlihatkan bahwa kelas diameter yang lebih kecil memiliki jumlah pohon per ha yang lebih banyak dibandingkan dengan kelas diameter yang lebih besar.
Gambar 3 Hasil perhitungan jumlah pohon sengon per ha di setiap desa.
Gambar 4 Hasil perhitungan jumlah pohon jati per ha di setiap desa. Pada pengusahaan hutan rakyat di Desa Damarwulan, Clering dan Suwawal, penentuan luas lahan hutan rakyat yang dimiliki oleh seluruh responden berdasarkan umur tidak bisa ditentukan. Hal itu dikarenakan sebagian besar sistem pembanguan hutan rakyat di lokasi penelitian dilakukan dengan sistem campuran dan agroforestry. Di Desa Clering, luas total lahan hutan rakyat yang
37
dimiliki responden dengan sistem monokultur yakni sebesar 4,74 ha atau sekitar 31% dari luas lahan hutan rakyat yang dimiliki oleh seluruh responden di desa tersebut. Hutan rakyat monokultur untuk jenis jati seluas 4,34 ha atau sekitar 92% dari seluruh lahan hutan rakyat yang dibangun dengan sistem monokultur. Hutan rakyat monokultur untuk jenis jati yang ada di Desa Clering ini didominasi oleh umur 8 tahun. Hutan rakyat monokultur untuk jenis sengon seluas 0,4 ha atau sekitar 8% dari seluruh lahan hutan rakyat yang dibangun dengan sistem monokultur. Hutan rakyat monokultur untuk jenis sengon yang ada di Desa Clering ini didominasi oleh umur 2 tahun Pada pengusahaan hutan rakyat di Desa Suwawal seluas 4,69 ha atau 49% dari seluruh lahan hutan rakyat yang dimiliki oleh seluruh responden dibangun dengan sistem monokultur. Hutan rakyat monokultur untuk jenis jati seluas 3,32 ha atau sekitar 70% dari seluruh lahan hutan rakyat milik responden yang dibangun dengan sistem monokultur. Hutan rakyat monokultur untuk jenis jati yang ada di Desa Suwawal ini didominasi oleh umur 5 tahun. Hutan rakyat monokultur untuk jenis sengon seluas 1,37 ha atau sekitar 30% dari seluruh lahan hutan rakyat yang dibangun dengan sistem monokultur. Hutan rakyat monokultur untuk jenis sengon yang ada di Desa Suwawal ini didominasi oleh umur 3 tahun 5.5
Pengelolaan Hutan Rakyat
5.5.1 Penanaman Teknik penanaman yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Damarwulan, Clering dan Suwawal masih alami. Penanaman dilakukan dengan cara membabat semak belukar yang ada di sekitar lahan, kemudian tanah dicangkul untuk dijadikan sebagai lubang tanam. Kegiatan pembabatan semak belukar dan pembuatan lubang tanam biasanya dilakukan masyarakat pada akhir musim kemarau. Kemudian setelah memasuki musim penghujan barulah bibit ditanam pada lubang tanam yang telah disediakan. Sebelum bibit dimasukkan ke dalam lubang tanam, terlebih dahulu diberi pupuk kandang pada lubang tanam. Tanaman yang tumbuh tidak dapat dipastikan jumlahnya pada setiap tahun sehingga menyebabkan kelas umur yang terbentuk tidak merata. Selain teknik penanaman bibit yang berasal dari biji, masyarakat biasanya juga melakukan teknik penanaman dengan cara trubus (Gambar 5). Teknik
38
penanaman secara trubus dilakukan dengan cara membiarkan tunas-tunas baru yang tumbuh pada tunggal sisa penebangan. Setelah penebangan maka pada tunggak sisa tebangan akan muncul tunas-tunas baru. Teknik penanaman ini mempunyai keuntungan yaitu diperolehnya bibit baru dalam jumlah yang cukup banyak dan cepat menghasilkan kayu. Kegiatan penanaman secara trubus dapat berlangsung selama lima kali periode penebangan. Kerugian yang diperoleh dari teknik trubus ini yaitu kayu yang dihasilkan secara trubus mudah renggas/mudah patah. Kekuatan kayu lebih rendah jika dibandingkan dengan kayu yang dihasilkan dari pohon yang berasal dari biji. Harga kayu yang berasal dari trubusan mempunyai harga yang lebih rendah dari pohon yang dihasilkan dari biji.
Gambar 5 Teknik penanaman bibit dengan cara trubus. 5.5.2 Pola tanam Jarak tanam yang dilakukan responden untuk menanam tanaman kehutanan seperti sengon yakni: 2 X 2 m, 2 Х 3 m, 2,5 Х 3 m, dan 3 Х 3 m. Jarak tanam jati, yakni: 2 X 2 m, 2,5 Х 2,5 m, 2,5 Х 3 m, 3 Х 4 m, 2,5 Х 4 m. Namun tidak semua lahan tersebut terisi pohon sehingga kerapatannya menjadi rendah. Jarak tanam untuk hutan kadang juga tidak beraturan sehingga pola penyebarannya jaraknya pun berbeda yakni rapat dan jarang. 5.5.3 Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan masih sederhana, responden beranggapan bahwa tanaman kehutanan masih dapat tumbuh walaupun tanpa ada kegiatan penyiangan, pemupukan dan pendangiran. Pada tanaman sengon kegiatan pemeliharaan dilakukan hingga umur 3 tahun dan tanaman jati hingga umur 8 tahun. Pada umur tanaman tersebut biasanya semak belukar dan gulma tidak dapat tumbuh karena ternaungi oleh tajuk tanaman yang telah besar. Bahkan jika ada hama yang menyerang pohon maka sebagian responden akan menebang
39
pohon/menjual pohon yang terserang hama tersebut agar tidak menjalar ketanaman yang lainnya. 5.5.4 Pemanenan Sistem pemanenan yang dilakukan oleh responden di lokasi penelitian adalah sistem pemanenan tebang pilih, yakni memilih pohon yang mempunyai ukuran diameter lebih besar untuk ditebang terlebih dahulu. Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui bahwa dari 90 responden yang dijadikan sampel penelitian hanya ditemukan 30 responden yang pernah melakukan pemanenan untuk jenis sengon. Sebanyak 40% responden yang pernah melakukan pemanenan mengatakan bahwa mereka biasa memanen sengon pada umur tebang 5 tahun. Berdasarkan Tabel 14 diketahui sebanyak 57% responden melakukan penebangan jenis sengon dengan alasan untuk membiayai anak sekolah. Tabel 13 Umur tebang pohon sengon Umur Tebang (Tahun) 3 4 5 6 7 Jumlah
Frekuensi (orang) 3 9 12 5 1 30
Persentase (%) 10 30 40 17 3 100
Tabel 14 Alasan penebangan pohon sengon Alasan penebangan Biaya anak sekolah Biaya hajatan Biaya membangun dan memperbaiki rumah Biaya hari raya Jumlah
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
17 8 1 4 30
57 27 3 13 100
Berdasarkan Tabel 15 dapat diketahui bahwa dari 90 responden yang ada hanya 11 responden yang sudah pernah melakukan penebangan untuk jenis jati. Sebanyak 64% responden yang sudah pernah melakukan pemanenan mengatakan bahwa mereka biasa memanen jati pada umur tebang 15 tahun. Berdasarkan Tabel 16 diketahui bahwa sebanyak 45% responden beralasan melakukan penebangan jati untuk membiayai pembangunan dan perbaikan rumah. Rendahnya harga kayu jati dari hutan rakyat disebabkan oleh rendahnya kualitas kayu yang dihasilkan
40
dari hutan rakyat, hal tersebut mungkin terjadi karena pohon ditebang dalam usia sebelum mencapai masak tebang. Tabel 15 Umur tebang pohon Jati Umur tebang (Tahun)
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
12 14 15 17
1 1 6 3
9 9 55 27
Jumlah
11
100
Tabel 16 Alasan melakukan penebangan pohon Jati Alasan penebangan
Frekuensi
Persentase (%)
Biaya anak sekolah Biaya hajatan Biaya membangun dan memperbaiki rumah
3 3 5
27 27 45
Jumlah
11
100
Berdasarkan Tabel 17 diketahui sebanyak 100% responden melakukan penjualan dalam bentuk pohon berdiri kepada pedagang dengan biaya pemanenan ditanggung oleh pedagang. Semua pohon dijual dalam bentuk pohon berdiri karena penggunaan hutan rakyat belum intensif dan masih sebatas sebagai hasil sampingan. Berdasarkan Tabel 18 diketahui sebanyak 67% responden mengatakan bahwa dalam penentuan harga jual kayu sepenuhnya ada di tangan pedagang. Dalam hal ini menjadikan para pedagang yang mempunyai andil besar dalam penentuan harga kayu sedangkan petani sendiri masih menjadi pihak yang lemah dalam penentuan harga kayu. Tabel 7 Bentuk penjualan kayu Bentuk penjualan kayu
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
Pohon berdiri
33
100
Sortimen Kayu gergajian
0 0
0 0
Jumlah
33
100
41
Tabel 18 Pihak yang menentukan harga kayu Pihak yang menentukan harga
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
Petani Pedagang Tawar-menawar antara kedua belah pihak
0 22 11
0 67 33
Jumlah
33
100
5.6
Simulasi Net Present Value (NPV) untuk Menentukan Daur Optimal Jenis Sengon dan Jati di Setiap Desa Daur yang diterapkan di masyarakat masih bervariasi. Setiap daur yang
berbeda memberikan biaya dan pendapatan yang berbeda sehingga keuntungan yang didapat dari setiap daur juga berbeda. Untuk itu perlu dilakukan analisis finansial terhadap daur yang diterapkan oleh masyarakat sehingga dapat ditentukan pada daur berapa diperoleh keuntungan yang paling besar. Penentuan daur optimal didasarkan pada daur yang memperoleh keuntungan terbesar. Dalam menentukan daur optimal akan dilakukan dengan simulasi perhitungan Net Present Value (NPV) untuk jenis Sengon mulai umur 3 tahun sampai umur 10 tahun dan jenis Jati mulai umur 10 tahun sampai umur 25 tahun. Pada perhitungan NPV ini digunakan nilai tingkat inflasi sebesar 9,57% mengacu pada tingkat inflasi yang terjadi di Kabupaten Jepara pada Tahun 2000-2007 (Jepara Dalam Angka Tahun 2001-2007 dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2005-2025 ). Berdasarkan data lapangan diketahui bahwa diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang untuk jenis sengon yang diperoleh di Desa Clering dan Suwawal hanya sampai umur 5 tahun sedangkan di Desa Damarwulan data diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang jenis sengon yang diperoleh sudah mencapai umur 10 tahun. Pada jenis jati diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang yang diperoleh di Desa Clering hanya mencapai umur 10 tahun, diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang jati yang diperoleh di Desa Suwawal hanya mencapai umur 8 tahun sedangkan diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang jati yang diperoleh di Desa Damarwulan telah mencapai umur 14 tahun. Oleh karena itu perlu dilakukan ekstrapolasi data untuk menduga diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang pohon pada tiap umur.
42
Berdasarkan hasil ekstrapolasi akan diperoleh nilai pendugaan diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang pada setiap umur yang tidak tersedia di lapang. Persamaan regresi diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang oleh umur pada tiap desa yang disajikan pada Tabel 19 dan 20. Tabel 19 Persamaan regresi diameter dan tinggi bebas cabang oleh umur untuk jenis sengon Desa
Persamaan diameter terhadap umur
Damarwulan Clering Suwawal
log diameter = 0,61 + 1,01 log umur log diameter = 1,69 + 2,96 log umur log diameter = 0,68 + 0,86 log umur
Persamaan tinggi bebas cabang (Tbc) terhadap umur log Tbc = 0,29 + 0,65 log umur log Tbc = 0,13 + 0,90 log umur log Tbc = 0,27 + 0,73 log umur
Tabel 20 Persamaan regresi diameter dan tinggi bebas cabang oleh umur untuk jenis jati Desa
persamaan diameter terhadap umur
Damarwulan Clering Suwawal
log diameter = 0,46 + 0,75 log umur log diameter = 0,42 + 0,83 log umur log diameter = 0,37 + 0,89 log umur
persamaan tinggi bebas cabang (Tbc) terhadap umur log Tbc = 0,043 + 0,76 log umur log Tbc = 0,037 + 0,82 log umur log Tbc = 0,025 + 0,80 log umur
Pendugaan Jumlah pohon yang panen pada tiap umur diperoleh dari persamaan eksponensial yang disajikan pada Tabel 21 dan 22. Dari persamaan eksponensial tersebut dapat diperoleh bahwa pendugaan jumlah pohon yang dipanen semakin menurun dengan bertambanya umur pohon (Tabel 23 dan 24). Tabel 21 Persamaan eksponensial penduga jumlah pohon sengon per ha Desa Damarwulan
Persamaan eksponensial jumlah pohon Sengon per ha 0,460 u
741,31 e -
0,530 u
Clering
1109,17 e -
Suwawal
317,68 e -
0,120 u
Tabel 22 Persamaan eksponensial penduga jumlah pohon jati per ha Desa Damarwulan
Persamaan eksponensial jumlah pohon Jati per ha 467,74e
– 0,46u 0,29u
Clering
776,12e -
Suwawal
162,18 e -
0,06u
43
Tabel 23 Pendugaan jumlah pohon Sengon per ha pada tiap umur Desa
Pendugaan jumlah pohon Sengon per ha (batang/ha)
Damarwulan Clering Suwawal
3 186 226 215
4 119 133 180
5 74 78 155
umur (tahun) 6 7 47 30 46 27 135 115
8 19 16 98
9 12 9 80
Jumlah 10 7 5 65
494 540 1.043
Tabel 24 Pendugaan jumlah pohon jati per ha pada tiap umur Umur (tahun)
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Jumlah
Desa Damarwulan Clering Suwawal Pendugaan Jumlah Pohon Jati Per ha (batang/ha) 42 47 89 33 42 84 26 37 79 20 32 74 16 28 70 13 25 65 11 22 60 9 19 55 7 17 50 5 15 44 4 13 40 11 36 10 31 9 26 8 21 6 17 186
341
841
Harga pohon berdiri pada masing-masing kelas diameter untuk jenis Sengon dan Jati berbeda-beda, harga pohon berdiri pada masing-masing jenis semakin tinggi dengan bertambahnya umur pohon tersebut. Hal ini disebabkan dengan bertambahnya umur pohon maka terjadi peningkatan diameter pohon sehingga terjadi peningkatan volume per pohon dan penggunaan pohon dapat lebih menguntungkan. Untuk lebih jelasnya mengenai harga masing-masing jenis pohon berdiri disajikan pada Tabel 25 dan 26.
44
Tabel 25 Harga pohon berdiri jenis sengon per meter kubik No.
Diameter (cm)
Harga per meter kubik (Rp/m³)
1
5 – 12
200.000
Estimasi jumlah pohon yang dipanen per meter kubik (batang/m³) * 197 – 24
2
12 – 15
300.000
20 – 14
3
16 – 20
450.000
12 – 7
4 5 6
21 – 25 26 – 29 30 up
525.000 650.000 850.000
6–4 4–3 2
Keterangan: * diperoleh dari hasil perhitungan pada Lampiran 12
Tabel 26 Harga pohon berdiri untuk jenis jati per meter kubik No.
Diameter (cm)
Harga per meter kubik (Rp/m³)
Estimasi jumlah pohon yang dipanen per meter kubik (batang/m³) * 42 – 12
1
10 – 15
450.000
2
16 – 19
850.000
3
20 – 29
1.500.000
5–2
4
30 up
2.200.000
1
10 – 6
Keterangan: * diperoleh dari hasil perhitungan pada Lampiran 13
5.6.1 Simulasi Net Present Value (NPV) untuk menentukan daur optimal jenis sengon di setiap desa Hasil perhitungan NPV pada setiap daur dari hutan rakyat sengon yang terdapat disetiap desa disajikan pada Tabel 27 dan Gambar 6.
Gambar 6 Simulasi Net Present Value (NPV) untuk menentukan daur optimal sengon di setiap desa
45
Tabel 27 Simulasi Net Present Value (NPV) untuk menentukan daur optimal sengon di setiap desa Desa
Tahun 3 4 5 6 7 8 9 10
Pendapatan (Rp/ha) 2.176.200 3.587.850 5.028.300 5.305.125 6.708.000 7.493.600 6.487.200 4.462.500
Biaya (Rp/ha) 2.155.874 2.233.374 2.310.874 2.388.374 2.46.5874 2.543.374 2.620.874 2.698.374
Faktor diskonto 0,83 0,76 0,69 0,63 0,58 0,53 0,48 0,44
NPV (Rp/ha) 298.016 1.088.581 1.939.115 1.895.963 2.496.297 2.651.734 1.898.386 809.052
Damarwulan
Clering
3 4 5 6 7 8 9 10
1.966.200 2.473.800 3.439.800 4.516.050 5.159.700 5.902.400 4.666.500 3.523.250
2.381.660 2.463.827 2.545.993 2.628.160 2.710.327 2.792.493 2.874.660 2.956.827
0,83 0,76 0,69 0,63 0,58 0,53 0,48 0,44
-121.088 70.044 677.129 1.247.442 1.462.968 1.683.570 902.065 284.935
Suwawal
3 4 5 6 7 8 9 10
2.193.000 5.508.000 8.370.000 13.466.250 16.542.750 24.078.600 34.272.000 36.133.500
4.608.110 4.691.943 4.775.776 4.859.609 4.943.442 5.027.275 5.111.108 5.194.941
0,83 0,76 0,69 0,63 0,58 0,53 0,48 0,44
-1.641.235 684.092 2.551.830 5.502.818 6.751.646 10.092.306 14.077.134 13.628.571
Berdasarkan hasil perhitungan NPV yang ada di Tabel 27 diketahui bahwa pada setiap daur untuk hutan rakyat sengon di Desa Damarwulan ternyata daur yang paling optimal digunakan adalah 8 tahun. Pada daur 8 tahun dapat diperoleh NPV terbesar dari pada daur lainnya yakni Rp 2.496.297/ha dari hasil pemanenan sebanyak 19 pohon/ha dengan total volume sebesar 8,82 m³/ha. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani hutan rakyat di Desa Damarwulan diketahui bahwa petani umumnya memanen Sengon pada umur 3 tahun hingga 7 tahun. Petani biasanya langsung menjualnya dalam bentuk pohon berdiri kepada pedagang. Salah seorang dari mereka berbicara jika dia akan membiarkan beberapa pohon Sengon miliknya itu tetap hidup sampai umur 10 tahun dengan alasan agar
46
nantinya dapat dijadikan sebagai bahan bangunan pembuat atap rumah. Salah seorang responden telah memanfaatkan kayu sengon sebagai atap rumah dan sudah memanfaatkannya selama 5 tahun (Gambar 7). Menurut pedagang kayu yang ada di Desa Damarwulan ini dikatakan bahwa biasanya kayu-kayu tersebut akan dijual kepada pedagang-pedagang besar. Sebelum pedagang besar tersebut menjual kayu ke pabrik-pabrik, biasanya mereka terlebih dahulu mengolah loglog kayu menjadi kayu yang berbentuk balok. Di pabrik-pabrik ini kayu akan diolah menjadi balkon, kayu lapis dan pelet.
Gambar 7 Pemanfaatan kayu sengon oleh petani untuk pembangunan atap rumah Pada pengusahaan hutan rakyat sengon di Desa Clering, daur yang paling optimal digunakan adalah 8 tahun. Pada daur 8 tahun ini dapat diperoleh NPV terbesar dari pada daur lainnya yakni Rp1.683.570/ha dari hasil pemanenan sebanyak 16 pohon/ha dengan total volume sebesar 6,94 m³/ha. Beberapa petani hutan rakyat di Desa Clering memanen sengon pada umur 3 tahun hingga 5 tahun. sengon yang dipanen biasanya langsung di jual kepada pedagang dalam bentuk pohon berdiri. Pada pengusahaan hutan rakyat sengon di Desa Suwawal, daur yang paling optimal digunakan adalah 9 tahun. Pada daur 9 tahun ini diperoleh NPV terbesar dari pada daur lainnya yakni Rp14.077.134/ha dari hasil pemanenan sebanyak 80 pohon/ha dengan total volume sebesar 37,04 m³/ha. Seluruh petani hutan rakyat yang ada di Desa Suwawal ini belum pernah melakukan pemanenan untuk jenis sengon. Berdasarkan hasil perhitungan analisis finansial, diperoleh daur optimal sengon pada ketiga desa contoh penelitian yang menunjukkan daur yang berbedabeda. Pada desa Damarwulan dan Clering dapat dilihat meski daur optimal untuk
47
desa kedua desa ini sama yakni pada daur 8 tahun akan tetapi NPV (Rp/ha) yang dihasilkan oleh desa Damarwulan lebih besar daripada desa Clering. Hal tersebut karena dipengaruhi kualitas lahan, di Desa Damarwulan kualitas lahannya cukup baik untuk ditanami jenis sengon. Hal tersebut terbukti dari besarnya volume per pohon untuk jenis sengon yang dihasilkan oleh desa Damarwulan lebih besar dari volume per pohon yang dihasilkan oleh desa Clering pada umur yang sama. NPV yang dihasilkan oleh desa Suwawal dalam setiap daur selalu mengalami kenaikan yang sangat besar meskipun volume per pohon yang dihasilkan paling kecil bila dibandingkan dengan kedua desa lainnya. Hal tersebut dikarenakan jumlah pohon Sengon per ha yang ada di Desa Suwawal lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah pohon Sengon per ha yang terdapat di Desa Damarwulan dan Clering. Tabel 28 Potensi sengon yang dipanen tiap desa pada daur optimal Desa
Daur optimum
Jumlah pohon per ha (batang/ha)
Volume pohon per ha (m³/ha) 8,82
Jumlah pohon yang dipanen setiap desa (batang)*1 14.595
Volume pohon yang dipanen setiap desa (m³)*2 6.771
Damarwulan
8
19
Clering Suwawal
8 9
16 80
6,94 40,32
7.571 11.217
3.309 5.653
Keterangan: *1 = Diperoleh dari hasil perkalian antara jumlah pohon per ha dengan luas hutan rakyat yang ada pada masing-masing desa *2 = Diperoleh dari hasil perkalian antara volume pohon per ha dengan luas hutan rakyat yang ada pada masing-masing desa
Berdasarkan data yang diperoleh pada Tabel 28, potensi hutan rakyat untuk jenis Sengon terbesar ada di Desa Damarwulan yakni sebesar 6.771 dengan jumlah pohon sebanyak 14.595 batang. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar petani hutan rakyat di Desa Damarwulan lebih menyukai menanami lahan hutan rakyat miliknya dengan jenis Sengon. 5.6.2 Simulasi Net Present Value untuk menentukan daur optimal jati di setiap desa Hasil perhitungan simulasi NPV untuk menentuan daur Jati yang terdapat disetiap desa disajikan pada Tabel 29.
48
Tabel 29 Simulasi Net Present Value (NPV) untuk menentuankan daur jati di setiap desa Desa Damarwulan
Clering
Tahu n 10
Pendapatan (Rp/ha) 3.741.360
Biaya (Rp/ha)
NPV (Rp/ha)
2.160.464
Faktor diskonto 0,44
11
3.500.640
2.237.964
0,40
537.335
12
3.527.160
2.315.464
0,37
471.749
13
3.112.700
2.392.964
0,33
266.248
14
5.176.800
2.470.464
0,30
848.500
15 16 17
4.736.550 4.368.000 4.521.150
2.547.964 2.625.464 2.702.964
0,28 0,25 0,23
630.366 462.067 439.238
18 19 20
4.012.050 3.248.250 2.908.800
2.780.464 2.857.964 2.935.464
0,21 0,19 0,18
276.828 90.281 8.954
10 11
5.700.388 6.359.596
3.077.080 3.159.247
0,44 0,40
1.086.339 1.256.805
12 13
12.267.457 13.356.992
3.241.414 3.323.581
0,37 0,33
3.214.788 3.115.844
14 15
14.290.910 14.711.790
3.405.748 3.487.915
0,30 0,28
3.052.405 2.987.647
16 17
15.184.947 15.401.818
3.570.082 3.652.249
0,25 0,23
2.802.005 2.563.027
18 19
16.033.843 23.859.389
3.734.416 3.816.583
0,21 0,19
2.429.926 3.596.256
20
23.604.274
3.898.750
0,18
3.188.432
21
22.884.936
3.980.917
0,16
2.745.566
22
23.699.868
4.063.084
0,15
2.576.967
23
21.529.756
4.145.251
0,13
2.338.803
24
21.303.240
4.227.418
0,12
2.096.806
25
20.619.570
4.309.585
0,11
1.499.717
728.557
49
Tabel 29 (lanjutan) Desa
Tahun
Biaya (Rp/ha)
10 11 12 13 14 15
Pendapatan (Rp/ha) 8.684.620 10.410.120 12.281.735 24.819.600 28.518.000 31.541.250
NPV (Rp/ha)
5.276.256 5.360.089 5.443.922 5.527.755 5.611.588 5.695.421
Faktor diskonto 0,44 0,40 0,37 0,33 0,30 0,28
Suwawal
16
34.335.000
5.779.254
0,25
7.270.959
17 18 19
36.729.000 38.707.500 57.305.600
5.863.087 5.946.920 6.030.753
0,23 0,21 0,19
7.171.178 6.945.496
20
59.611.200
6.114.586
0,18
9.437.669
21 22
60.932.373 58.885.761
6.198.419 6.282.252
0,16 0,15
8.812.280 7.730.034
23 24
55.148.787 49.853.112
6.366.085 6.449.918
0,13 0,12
6.543.272 5.314.366
25
44.715.476
6.533.751
0,11
4.267.840
1.534.171 2.058.390 2.532.801 6.470.785 7.007.321 7.212.961
9.912.060
NPV untuk hutan rakyat jenis jati yang terdapat di Desa Damarwulan mempunyai keuntungan paling besar pada daur 14 tahun. Hal itu berarti pada pengusahaan hutan rakyat di Desa Damarwulan, daur yang paling optimal digunakan adalah 14 tahun. Pada daur 14 tahun ini dapat diperoleh NPV terbesar bila dibandingkan dengan daur lainnya yakni Rp 848.500/ha dari hasil pemanenan sebanyak 16 pohon/ha dengan total volume sebesar 3,16 m³/ha. Daur optimal yang dicapai pada desa Damarwulan terbilang masih muda. Hal tersebut dikarenakan besarnya nilai bunga pertumbuhan pohon lebih kecil bila dibandingkan nilai bunga uang. Nilai bunga pertumbuhan kecil karena pertumbuhan jati di Desa Damarwulan agak terhambat yang disebabkan oleh kekurang cocokan lahan untuk ditanami jati. Dengan alasan keuntungan yang paling besarlah ini yang dapat memacu setiap individu untuk tetap berkeinginan melanjutkan usaha hutan rakyat untuk jenis jati hingga masa yang akan datang meski pertumbuhan jati di Desa Damarwulan ini tidak begitu baik. Petani hutan rakyat di Desa Damarwulan menebang jati pada umur 12 tahun hingga 17 tahun. Petani hutan rakyat menjual jati kepada pedagang dalam bentuk pohon berdiri.
50
Menurut pedagang biasanya kayu Jati dijual ke pedagang pengepul kemudian dari pedagang pengepul ini kayu jati akan dijual kepengrajin mebel dan ukiran yang ada di Kabupaten Jepara. Pada pengusahaan hutan rakyat jati di Desa Clering, daur yang paling optimal digunakan adalah 19 tahun. Pada daur 19 tahun ini dapat diperoleh NPV terbesar dari pada daur lainnya yakni Rp 3.596.256/ha dari hasil pemanenan sebanyak 15 pohon/ha dengan total volume sebesar 10,09 m³/ha. Dari 30 orang reponden petani hutan Di Desa Clering hanya satu orang saja yang pernah melakukan penebangan jati yakni dengan umur 17 tahun. Jati yang ditebang tersebut merupakan warisan dari orangtua. Sebagian besar petani hutan rakyat menanam jati sekitar 8 tahun yang lalu, meski demikian ada juga beberapa tanaman jati yang telah mencapai umur 10 tahun merupakan sisa peninggalan orangtua. Pada pengusahaan hutan rakyat Jati di Desa Suwawal, daur yang paling optimal digunakan adalah 19 tahun. Pada daur 19 tahun ini dapat diperoleh NPV terbesar dari pada daur lainnya yakni Rp 9.912.060 /ha dari hasil pemanenan sebanyak 44 pohon/ha dengan total volume sebesar 25,81 m³/ha. Seluruh petani hutan rakyat di Desa Suwawal belum pernah melakukan penebangan untuk jenis jati sebab petani baru menanam tanaman Jati sekitar 5 tahun hingga 7 tahun yang lalu.
Gambar 8 Simulasi Net Present Value (NPV) untuk menentukan daur optimal jati di setiap desa.
51
Berdasarkan Gambar 8, memperlihatkan nilai NPV yang tiba-tiba meningkat drastis pada umur tertentu di setiap desa. Hal itu terjadi karena pengaruh perbedaan harga kayu yang cukup besar antar kelas diameter pada pohon jati. Dimana semakin besar ukuran diameter pohon jati harga kayu yang dihasilkan semakin tinggi karena kayunya nanti dapat digunakan untuk keperluan yang lebih menguntungkan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pedagang pengecer kayu jati diketahui bahwa jati yang dijual tersebut berasal dari hutan rakyat yang ada di daerah Pacitan, Yogya, Kulonprogo, Blora dan Wonogiri. Kayu hutan rakyat yang berasal dari Kabupaten Jepara sendiri sangat sulit ditemukan. Hampir seluruh pelanggannya yang membeli kayu jati merupakan pengrajin kecil industri mebel. Kayu Jati yang dijual berukuran diameter 10 – 13 cm (DL), 16 – 19 cm (OP), dan 22 – 28 cm (OD) dengan panjang sekitar 2 m. Kayu Jati yang dibeli oleh para pengrajin kecil mebel kebanyakan yang berukuran diameter 10 – 13 cm.
Diameter 10 – 13 cm (DL)
Diameter 22-28 cm (OD)
Diameter 16 – 19 cm (OP) Gambar 9 Log jati di pul pedagang pengecer.
52
Tabel 30 Potensi jati yang dipanen tiap desa pada daur optimal Desa
Daur optimum
Jumlah pohon per ha (batang/ha)
Volume pohon per ha (m³/ha)
Jumlah pohon yang dipanen setiap desa (batang) *1
Damarwulan
14
16
3,45
12.290
Volume pohon yang dipanen setiap desa (m³) *2 2.651
Clering
19
15
10,17
7.098
4.811
Suwawal
19
44
26,05
6.169
3.651
Keterangan: *1 = Diperoleh dari hasil perkalian antara jumlah pohon per ha dengan luas hutan rakyat yang ada pada masing-masing desa *2 = Diperoleh dari hasil perkalian antara volume pohon per ha dengan luas hutan rakyat yang ada pada masing-masing desa
Berdasarkan data yang diperoleh pada Tabel 30, Desa Clering mempunyai potensi hutan rakyat jati paling besar dari pada kedua desa lainnya yakni sebesar 4.041 m³. Hal tersebut dikarenakan di Desa Clering pertumbuhan jati lebih baik bila dibandingkan dengan dua desa lainnya. Hal tersebut terjadi karena lahan di Desa Clering banyak mengandung batuan Kapur (Ca) sehingga memacu Jati untuk tumbuh dengan baik. Perbandingan antara potensi untuk jenis sengon dan jati yang dihasilkan pada daur optimal di setiap desa memiliki nilai yang berbeda-beda. Potensi hutan rakyat di Desa Damarwulan dan Suwawal yang ditanami jenis sengon lebih besar dari pada hutan rakyat yang ditanami jenis jati. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat di Desa Damarwulan dan Suwawal selama ini lebih menyukai menanam Sengon daripada jati. Berbeda dengan Desa Clering, dimana potensi hutan rakyatnya yang ditanami jenis jati lebih besar daripada sengon. 5.7
Mean Annual Increament (MAI) dan Current Annual Increament (CAI) Sengon dan Jati Riap merupakan suatu pertambahan dimensi pohon atau tegakan yang
berlangsung hingga waktu tertentu dan setelah waktu tersebut riap akan berkurang dan suatu saat riapnya akan berhenti. Informasi riap volume persatuan luas pada jenis-jenis pohon komersial penting untuk diketahui di dalam pengaturan hasil hutan produksi karena pada jenis-jenis pohon tersebut akan diproduksi hasil hutan berupa kayu melalui kegiatan penebangan pohon-pohon yang layak tebang.
53
Tabel 31 Mean Annual Increament (MAI) dan Current Annual Increament (CAI) untuk jenis sengon Umur 3 4 5 6 7 8 9 10
Volume per ha (m³/ha) 7.04 9.49 12.47 14.79 16.59 17.60 17.81 17.30
Rata-rata MAI (m³/ha/tahun) 2.35 2.37 2.49 2.46 2.37 2.20 1.98 1.73
CAI (m³/ha/tahun) 2.45 2.99 2.31 1.80 1.01 0.21 -0.51
Tabel 31 menunjukkan bahwa nilai MAI dan CAI sengon rata-rata dari ketiga desa penelitian, mencapai titik tertinggi pada umur 5 tahun dengan nilai MAI sebesar 2,49 m³/ha/tahun dan CAI sebesar 2,99 m³/ha. Perhitungan nilai MAI dan CAI untuk jenis Sengon ini disajikan pada Lampiran 14. Berdasarkan nilai CAI tersebut dapat dikatakan bahwa sampai umur 5 tahun adalah masa pertumbuhan terbaik dari tanaman sengon, sehingga perlakuan intensif untuk mendapatkan volume yang tinggi harus diberikan pada selang umur 1- 5 tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Riyanto (2005) pada hutan tanaman sengon diketahui bahwa nilai MAI terlihat meningkat dengan bertambahnya umur sampai umur 5 tahun. Namun setelah melalui umur 5 tahun hingga mencapai umur 10 tahun nilai MAI terus mengalami penurunan secara perlahan. Sedang dari nilai CAI terlihat bahwa riap tertinggi pada umur 3 tahun, kemudian setelah umur 3 tahun riap mengalami penurunan. Dari nilai CAI tersebut dapat dikatakan bahwa sampai umur 3 tahun adalah masa pertumbuhan terbaik dari tanaman sengon, sehingga perlakuan intensif untuk mendapatkan volume yang tinggi harus diberikan pada selang umur 1- 3 tahun. Tabel 32 menunjukkan bahwa nilai MAI dan CAI jati rata-rata dari ketiga desa sampel penelitian yang paling tinggi berada pada umur 14 tahun yakni dengan besar masing-masing 0,75 m³/ha/tahun dan 0,92 m³/ha. Perhitungan nilai MAI dan CAI untuk jenis jati ini disajikan pada Lampiran 15. Berdasarkan nilai CAI tersebut dapat dikatakan bahwa sampai umur 14 tahun adalah masa pertumbuhan terbaik dari tanaman jati, sehingga perlakuan intensif untuk mendapatkan volume yang tinggi harus diberikan pada selang umur 1- 14 tahun.
54
Tabel 32 Mean Annual Increament (MAI) dan Current Annual Increament (CAI) untuk jenis jati Umur 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Rata-rata Volume per ha (m³/ha) 7.02 7.89 8.85 9.53 10.45 11.21 11.83 12.42 12.86 12.79 13.00 18.62 18.28 17.43 16.17 14.18
MAI (m³/ha/tahun) 0.70 0.72 0.74 0.73 0.75 0.75 0.74 0.73 0.71 0.67 0.65 0.53 -0.24 -0.64 -1.00 -1.01
CAI (m³/ha/tahun) 0.87 0.96 0.68 0.92 0.75 0.62 0.59 0.44 -0.06 0.21 0.09 -0.34 -0.80 -1.26 -1.99
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Balkis (2008) pada hutan monokultur jati yang berumur umur 2, 5, 10, 15, 20 dan 25 tahun dikatakan bahwa besarnya nilai MAI dan CAI pada tegakan Jati terus mengalami peningkatan mulai dari umur 2 tahun hingga umur 20 tahun kemudian mengalami penurunan secara perlahan setelah melewati umur 20 tahun hingga 25 tahun. Berdasarkan nilai CAI tersebut dapat dikatakan bahwa sampai umur 20 tahun adalah masa pertumbuhan terbaik untuk jenis jati. 5.8 Kesatuan Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Pengusahaan hutan rakyat yang ditemui di lokasi penelitian, pada umumnya dilakukan secara perorangan (individual) pada masing-masing lahan milik. Selain itu petani pemilik hutan rakyat juga tergabung dalam kelompok tani hutan rakyat yang masih sangat sederhana. Akan tetapi kelompok tani hutan yang terbentuk masih diprioritaskan untuk membahas perkembangan tanaman pertanian. Sedangkan bahasan mengenai permasalahan yang berkaitan dengan perkembangan hutan rakyat masih sebatas pada ruang lingkup pengelolaan hutan rakyat yang masih sangat sederhana. Diperlukan suatu bentuk unit kelembagaan yang dapat mengatur pengelolaan hutan rakyat secara optimal sehingga nantinya dapat memberikan
55
keuntungan yang besar bagi petani hutan rakyat. Kelembagaan yang akan dibentuk dalam pengelolaan hutan rakyat ini terdiri dari gabungan beberapa pemilik hutan rakyat. Dimana setiap anggotanya diberi kesempatan untuk memilih dua cara berpartisipasi yakni, pertama berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan pengelolaan hutan dan kedua berpartisipasi secara tidak langsung melalui perantara buruh/penggarap untuk mewakili kehadirannya dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat. Pilihan cara berpartisipasi yang kedua tersebut dapat memberi kesempatan pemilik hutan rakyat untuk tetap berkonsentrasi pada pekerjaan utamanya sehingga pemilik dapat menjalankan pekerjaan utama seperti biasanya, meski terlibat dalam kelembagaan pengelolaan hutan rakyat secara berkelompok. Kelembagaan yang dibentuk ini akan menangani dan mengatur kegiatan pengelolaan hutan rakyat mulai dari penanaman hingga kegiatan pemanenan. Aturan-aturan yang mengatur sistem kelembagaan pengelolaan hutan rakyat belum bisa dijelaskan lebih mendalam pada penelitian ini. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai aturan-aturan yang mengatur sistem kelembagaan pengelolaan hutan rakyat kedepannya. 5.8.1 Perspektif petani terhadap pembentukan lembaga pengaturan hasil hutan rakyat Pengaturan hasil merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam pengelolaan hutan rakyat yang memiliki andil yang besar dalam menentukan keberhasilan pengelolaan hutan rakyat. Dengan kata lain, usaha pengelolaan hutan rakyat dapat terwujud dengan baik apabila dimensi hasil dapat dicapai melalui serangkain strategi dan kegiatan manajemen yang tepat. Namun Sangat disayangkan, kegiatan pengaturan hasil hutan rakyat yang dilakukan oleh petani selama ini tidak mempertimbangkan kelestarian hasil. Oleh karena itu dalam unit kelembagaan pengelolaan hutan rakyat masalah yang berkaitan dengan pengaturan hasil hutan rakyat perlu mendapat perhatian yang serius. Salah satu solusi yang dilakukan adalah dengan mendirikan semacam koperasi simpan pinjam. Dengan adanya koperasi tersebut bisa memberikan pinjaman lunak kepada petani yang membutuhkan uang. Dengan demikian, para petani tersebut tidak perlu untuk menebang pohon mereka yang belum “masak tebang” atau tidak termasuk dalam rencana pemanenan. Sebaliknya, pohon/ hutan
56
milik petani yang sebenarnya sudah siap tebang, namun para pemiliknya belum merasa perlu untuk menebangnya, bisa dianjurkan untuk tetap ditebang dan uang yang dihasilkan bisa disimpan dalam koperasi. Selain itu pula dalam koperasi ini juga akan mengatur sistem pemasaran hasil hutan secara bersama-sama diantara petani hutan rakyat. Namun hal ini akan sulit dilaksanakan jika tidak ada komitmen yang kuat diantara anggota kelompok tani. Oleh karena itu, diperlukan pendampingan-pendampingan yang intensif baik dari pemerintah, LSM dan kalangan akademik untuk mendorong terbentuknya kelembagaan yang solid. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap responden, sebanyak 67 orang (74,44%) responden setuju jika dibentuk lembaga pengaturan hasil hutan rakyat secara berkelompok, untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 33 dan 34. Tabel 33 Distribusi jawaban responden terhadap pembentukan lembaga pengaturan hasil hutan rakyat secara berkelompok Pembentukan lembaga pengaturan hasil hutan rakyat secara berkelompok dalam satu desa
Frekuensi
Persentase(%)
Setuju Tidak setuju
67 23
74,44 25,56
Jumlah
90
100
Alasan responden setuju untuk membentuk lembaga pengaturan hasil hutan rakyat secara berkelompok, antara lain: adanya rasa saling percaya, harga jual kayu tidak jatuh, keuntungan yang diperoleh lebih besar, mempermudah pemasaran, dan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam pemanenan menjadi lebih sedikit. Tabel 34 Alasan petani setuju untuk membentuk lembaga pengaturan hasil hutan rakyat secara berkelompok Alasan setuju pengaturan hasil secara berkelompok dalam satu desa
Frekuensi
Persentase (%)
Adanya rasa saling percaya Harga jual kayu tidak jatuh
3 32
3,33 35,55
Keuntungan yang diperoleh lebih besar Mempermudah pemasarannya Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pemanenan lebih sedikit Jumlah
10 14 8
11,11 15,56 8,89
67
74,44
57
1. Adanya rasa saling percaya Rasa saling percaya antara masyarakat di Daerah pedesan masih cukup kuat sehingga hal tersebut menjadi salah satu alasan sebanyak 3 orang (3,33%) responden menyatakan setuju untuk membentuk suatu lembaga pengaturan hasil secara berkelompok. Dengan adanya rasa percaya antara orang yang satu dengan yang lainnya membuat beberapa responden tersebut yakin akan terbentuk lembaga pengaturan hasil secara berkelompok yang kompak dan serasi nantinya karena pada dasarnya antara orang yang satu dengan orang yang lainnya mempunyai tujuan yang sama. Dengan adanya lembaga tersebut diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat desa sehingga dapat membawa masyarakat pada kehidupan yang lebih baik dan sejahtera. 2. Harga jual kayu tidak jatuh Sebanyak 32 orang (35,55%) responden menyatakan setuju untuk membentuk lembaga pengaturan hasil hutan rakyat secara berkelompok dengan alasan agar harga jual kayu nantinya tidak jatuh. Dalam kegiatan penjualan kayu pihak yang paling menentukan harga jual kayu adalah para pembeli/tengkulak akibatnya petani tidak mempunyai bargaining position yang cukup tinggi. Hal tersebut karena petani biasanya menjual kayu dalam jumlah yang sedikit sehingg harga tawar yang diberikan oleh tengkulak masih rendah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka perlu dibentuk kelompok usaha pengaturan hasil yang dapat menghimpun komoditas hasil kayu hutan rakyat dalam jumlah yang lebih banyak. 3. Keuntungan yang diperoleh lebih besar Sebanyak sepuluh orang (11,11%) responden menyatakan setuju untuk membentuk lembaga pengaturan hasil hutan rakyat secara berkelompok dengan alasan agar keuntungan yang diperoleh dari hasil hutan rakyat yang diperoleh semakin besar. Selama ini petani hutan rakyat menebang pohon miliknya pada umur yang relatif muda untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal itu menyebabkan keuntungan yang diperoleh petani hutan rakyat dari dari hasil penjual kayu belum optimal. Dengan adanya kelompok usaha pengaturan hasil ini para anggotanya nanti tidak perlu menebang pohon pada umur yang masih muda
58
agar keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan kayu menjadi lebih optimal/besar. 4. Mempermudah pemasarannya Sebanyak 14 orang (15,56%) responden menyatakan setuju untuk membentuk lembaga pengaturan hasil hutan rakyat secara berkelompok dengan alasan agar pemasaran hasil hutan rakyat menjadi lebih mudah untuk dipasarkan. Selama ini para petani biasanya menjual hasil kayu dari hutan rakyat kepada pedagang pengumpul/tengkulak dalam bentuk pohon berdiri sebab jumlah hasil kayu dari hutan rakyat yang dijual hanya sedikit. Dengan adanya kelompok usaha pengaturan hasil hutan rakyat kayu yang dihimpun dari para anggotanya bisa langsung dijual kepada pedagang besar maupun ke industri-industri kayu dalam bentuk log maupun kayu gergajian. 5. Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pemanenan lebih sedikit Sebanyak delapan orang (8,89%) responden menyatakan setuju untuk membentuk lembaga pengaturan hasil hutan rakyat secara berkelompok dengan alasan agar biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pemanenan menjadi lebih sedikit. Selama ini kebanyak petani menjual hasil kayu dari hutan rakyat dalam bentuk pohon berdiri kepada para pedagang pengumpul/tengkulak karena mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pemanenan, sedangkan bila kayu dijual dalam bentuk pohon berdiri semua biaya pemanenan ditanggung oleh pedagang/tengkulak. Dalam hal ini sangat disayangkan harga jual untuk pohon berdiri masih murah sehingga keuntungan yang diperoleh petanipun terbilang masih rendah. Dengan adanya kelompok usaha pengaturan hasil hutan rakyat, komoditi dari hutan rakyat tersebut dijual dalam bentuk log maupun kayu gergajian. Oleh karena itu biaya-biaya yang dikeluarkan dalam pemanenan langsung ditanggung sendiri oleh sekumpulan anggota yang ingin menjual kayu dari hutan rakyat nya. Semakin banyak anggota yang ingin menjual kayu maka biaya pemanenan yang dikelurakan bisa ditanggung bersama-sama dan menjadi lebih murah. Namun selain itu pula, ada beberapa responden yang merasa tidak perlu dibentuk lembaga pengaturan hasil hutan rakyat secara berkelompok (Tabel 35)
59
dengan alasan tidak bisa bebas menjual hasil kayu dari hutan rakyat miliknya kapan saja (13,33%) dan terlalu banyak aturan-aturan yang mengikat (12,23%). Tabel 35 Alasan petani tidak setuju untuk membentuk lembaga pengaturan hasil hutan rakyat secara berkelompok Alasan tidak setuju pengaturan hasil secara berkelompok dalam satu desa
Frekuensi
Persentase (%)
Tidak bisa bebas menjual hasil kayunya kapan saja
12
13,33
Terlalu banyak aturan-aturan yang mengikat
11
12,23
Jumlah
23
25,56
1. Tidak bisa bebas menjual hasil kayu dari hutan rakyat miliknya secara bebas Sebanyak 12 orang (13,33%) responden tidak setuju untuk membentuk lembaga pengaturan hasil hutan rakyat secara berkelompok dengan alasan jika nanti ingin menjual kayu tidak bebas lagi menjualnya kapan saja sebab setiap orang mempunyai kebutuhan yang berbeda antar orang yang satu dengan orang yang lain sehingga jika sistem penebangan disepakati dan dibatasi seperti itu takutnya jika tiba-tiba ada keperluan mendesak tidak bisa menjual kayu dari hutan rakyat miliknya. 2. Terlalu banyak aturan-aturan yang mengikat Sebanyak 12 orang (13,33%) responden tidak setuju untuk membentuk lembaga pengaturan hasil hutan rakyat secara berkelompok dengan alasan jika dibentuk suatu lembaga pengaturan hasil nantinya pastinya akan ada banyak peraturan-peraturan yang mengikat bagi anggotanya. Beberapa responden tersebut tidak mau di repotkan atau dibatasi dengan aturan-aturan yang ada dalam kelembagaan tersebut. 5.8.2 Modal sosial pembentuk lembaga pengaturan hasil hutan rakyat Dalam membentuk lembaga pengaturan hasil secara berkelompok perlu diperhatikan pula modal sosial yang selama ini telah ada dalam kehidupan masyarakat sehingga nantinya lembaga pengaturan hasil yang terbentuk sesuai dengan modal sosial yang telah ada dalam kehidupan masyarakat setempat. Salah satu modal sosial yang terpenting dalam membentuk lembaga pengaturan hasil secara berkelompok ini adalah kegiatan pinjam-meminjam. Kegiatan pinjammeminjam selama ini sangat erat kaitannya dengan suatu kelembagaan. Dengan
60
adanya lembaga pengaturan hasil ini nantinya akan diberlakukan kesepakatan mengenai waktu panen pohon sesuai dengan daur optimal yang paling menguntungkan untuk seluruh anggotanya, sehingga nanti anggotanya tidak boleh memanen pohon seperti kebiasaan pada umumnya memanen sesuai dengan daur butuh. Kendala yang mungkin dihadapi oleh para anggotanya nanti misalnya ketika lahan hutan rakyat mereka belum mendapat giliran untuk memanen sedang mereka membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut dapat diatasi dengan modal sosial yang selama ini telah ada di masyarakat yakni dengan memberikan pinjam kepada pihak yang membutuhkan tersebut. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap responden, yang sebelumnya telah setuju untuk membentuk lembaga pengaturan hasil sebanyak 67 orang (100%) responden setuju untuk memberikan pinjaman kepada anggota lain yang sedang membutuhkan uang. Namun, sebanyak 6 orang (8.96%) responden yang bersedia memberikan pinjaman kepada anggota lain dengan syarat memberikan bunga terhadap sejumlah uang yang dipinjamkannya tersebut. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 36 dan Tabel 37. Tabel 36 Distribusi jawaban petani terhadap pemberian pinjaman Pemberian pinjaman
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
Setuju
67
100
Tidak setuju
0
0
Jumlah
67
100
Tabel 37 Distribusi jawaban petani terhadap pemberian bunga pinjaman Pemberian bunga pinjaman
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
Setuju
6
8.96
Tidak setuju
61
91.04
Jumlah
67
100
Berdasarkan hasil jawaban yang diperoleh dari kegiatan wawancara tersebut, dapat dikatakan bahwa nilai sosial dalam kehidupan masyarakat di Desa Damarwulan, Clering dan Suwawal masih ada hingga kini. Meski, nilai sosial yang ada di masyarakat kini tidak sepenuhnya murni untuk tujuan membantu kehidupan sesama manusia.
61
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Pengembangan usaha hutan rakyat yang dilakukan selama ini di Desa Damarwulan, Clering dan Suwawal dilakukan bukan atas dasar kepentingan bisnis dalam memenuhi kebutuhan bahan baku kayu untuk industri mebel yang ada di Kabupaten Jepara. Pengembangan usaha hutan rakyat yang dilakukan sebagian besar dikarenakan usaha hutan rakyat ini dapat dijadikan sebagai tabungan untuk masa depan. Hambatan dalam pengembangan hutan rakyat yang dihadapi selama ini yakni kurangnya pengetahuan dalam rangka peningkatan hasil dari hutan rakyat agar diperoleh hasil yang optimal. Daur optimal untuk jenis Jati dan Sengon berbeda-beda tiap desanya. Daur optimal untuk jenis Sengon berkisar antara 8 hingga 9 tahun. Sedangkan daur optimal untuk jenis Jati berkisar antara 14 hingga 19 tahun. Implikasi penggunaan daur optimal dalam pengaturan hasil hutan rakyat pada tiap desa menunjukkan potensi yang cukup besar, untuk jenis Sengon tiap desa, yakni 6.771 m³ di Desa Damarwulan, 3.309 m³ di Desa Clering, dan 5.653 m³ di Desa Suwawal. Sedangkan untuk jenis Jati, yakni 2.651 m³ di Desa Damarwulan, 4.811 m³ di Desa Clering, dan 3.651 m³ di Desa Suwawal. Adanya kelembagaan hutan rakyat di tingkat desa cukup mendapat respon positif oleh petani hutan rakyat. Implikasi kelembagaan di tingkat desa ini memberikan peluang untuk menerapkan konsep pengelolaan khususnya didalam pengaturan hasil dengan daur optimal 6.2. Saran 1. Melihat potensi hutan rakyat dapat dikelola secara lestari maka perlu ada fasilitasi dari pemerintah daerah untuk membangun kelompok pengelolaan hutan rakyat dengan unit pengaturan hasil lestari. 2. Diperlukannya sosialisasi dan penyuluhan untuk meingkatkan motivasi dan orientasi petani hutan rakyat kearah implementasi pengelolaan hutan rakyat berorientasi bisnis. 3. Perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai kemungkinan terbentuk kelompok pengaturan hasil pada level yang lebih tinggi dari tingkat desa.
62
DAFTAR PUSTAKA
Awang S. 2005. Petani, Ekonomi dan Konservasi Aspek Penelitian dan Gagasan Pustaka Hutan Rakyat. Yogyakarta: Press. Debut. Achmad B, Mile M. Yamin, Rahman Encep. 2010. Analisis Jenis-Jenis Kayu Potensial untuk Hutan Rakyat di Jawa Barat. Prosiding Optimalisasi Peran Litbang dalam mendukung Ragam Pemanfaatan Hutan Rakyat. Loka Litbang Hutan Monsoon. Badan Litbang Departemen Kehutanan. Ciamis Atmosuseno BS. 1998. Budidaya, Kegunaan dan Prospek Sengon. Jakarta: Penebar Swadaya. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Jepara. 2007. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2005-2025. Jepara: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Jepara. Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Perusahaan Hak Pengusahaan Hutan. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik Kabupaten Jepara. 2009. Jepara Dalam Angka Tahun 2009. Jepara: Badan Pusat Statistik Kabupaten Jepara. Balkis S. 2008. Analisis Finasial Sistem Monokultur dan Agroforestry Pada Lahan Kering di Kabupaten Kutai Karatanegara. Buletin Rimba Kalimatan Fakultas Kehutanan Unmul: hal 1-7. Davis LS and K.N Jhonson. 1987. Forest Management. Third Edition. Mc.Graw Hill Book Company, New York. Departemen Kehutanan. 1992. Manual Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan. 1995. Hutan Rakyat. Jakarta: Departemen Kehutanan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2010. Perkembangan Penetapan Upah Minimum Tahun 2004-2010 Provinsi Jawa Tengah. Http://www.nakertrans.jateng.go.id [25 Februari 2011] Dirjen Kehutanan. 1976. Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan No. 143/Kpts/DJ/I/1974 tentang Peraturan Inventarisasi Hutan Jati dan Peraturan Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) Khusus Kelas Perusahaan Tebang Habis Jati, Perum Perhutani. Jakarta: Dirjen Kehutanan. Djajapertjunda S. 1995.Prospek Hutan Rakyat Dalam Industri dan Perdagangan. Makalah dari Pembangunan Seminar Nasional Hutan Rakyat Menuju Modal Pemberdayaan Masyarakat Berwawasan Lingkungan. Jakarta. Darusman D dan Hardjanto. 2006. Tinjauan Ekonomi Hutan Rakyat. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Hasil Hutan. http://www.dephut.go.id/files/Ekonomi HR.pdf [27 Desember 2010] Gittinger PJ. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian (edisi ke 2 telah direvisi dan diperluas lengkap). Jakarta: UI-Press.
63
Hardjanto. 2000. Beberapa Ciri Pengusahaan Hutan Rakyat di Jawa. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM). Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. 1990. Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat. Bogor: Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Maryudi A. 2005. Beberapa Kendala bagi Sertifikasi Hutan Rakyat. Jurnal Hutan Rakyat 7 (3): 25 – 39. Mindawati N, Asmanah W dan Rustaman. 2006. Review Hasil Hutan Rakyat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Badan Litbang Kehutanan Bogor. Muslich M dan Krisdiantoro. 2006. Upaya Peningkatan Kualitas Kayu Hutan Rakyat Sebagai Bahan Baku Industri. Prosiding Seminar Litbang Hasil Hutan. http://www.dephut.go.id/files/Ekonomi_HR. pdf. [10 Desember 2010]. Novendra IY. 2008. Karakteristik Biometrik Pohon Jati (Tectona grandis L,f.) (Studi Kasus di Bagian Hutan Bancar KPH Jatirogo Perum Perhutani Unit II, Jawa Timur)[Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Nugroho B. 2008. Analisis Inventarisasi Proyek Kehutanan dan Pertanian. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Prodan M. 1968. Forest Biometrics. Pergamon Press. Oxford. London. Rahayu YD dan Awang S. 2003. Analisis Gender dalam Pengelolaan Hutan Rakyat. Jurnal Hutan Rakyat 5 (1): 9 – 13. Riyanto HD. 2005. Guna Pengaturan Tegakan (Mean Annual Increament and Current Annual Increament) Sengon. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Setyawan H. 2002. Aspek Ekonomi Pengusahaan Hutan Rakyat Sengon Di Kabupaten Sukabumi [Tesis]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Singarimbun,dan Sufian E. 1995. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3S. Indonesia. Siregar EBM. 2005. Potensi Budidaya Jati. e_usu Repository Sumatra Utara: Fakultas Pertanian, Program Bidang Kehutanan. Sumarna Y. 2003. Budi Daya Jati. Cetakan ke-3. Jakarta: Penebar Swadaya.
23
LAMPIRAN
64
Lampiran 1 Hasil pengukuran diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang rata-rata di setiap desa untuk jenis sengon Desa Clering
Damarwulan Umur
Diamater setinggi dada (cm)
2 3 4 5 7 10
7.6 13.4 15.1 19.9 24.1 39.1
Tinggi bebas cabang (m) 2 4 4.5 6 7.5 9
Umur
2 3 4 5
Diamater setinggi dada (cm) 7.1 12.2 14.5 18
Suwawal Tinggi bebas cabang (m) 3.5 5 5.7 6.5
Umur
2 3 4 5
Diamater setinggi dada (cm) 8.5 11.9 15.7 19.8
Tinggi bebas cabang (m) 3.8 4.2 5.2 5.7
Lampiran 2 Hasil pengukuran diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang rata-rata di setiap desa unuk jenis jati Desa Clering
Damarwulan Umur
4 5 7 8 10 12 15
Diamater setinggi dada (cm) 8.1 9.5 12.4 14.1 17.5 18.9 20.9
Tinggi bebas cabang (m) 3.33 3.4 4.9 5.2 7.2 7.5 8
Umur
3 4 5 6 7 8 10
Diamater setinggi dada (cm) 6.6 8 10.5 11.7 12.9 15 17.8
Suwawal Tinggi bebas cabang (m) 2.7 3.2 4 5 6 6.3 6.5
Umur
3 4 5 6 7 8
Diamater setinggi dada (cm) 6.5 7.8 9.6 11.7 14.3 14.6
Tinggi bebas cabang (m) 2.8 3 3.5 4.5 5 6
65
Lampiran 3 Analisis regresi pendugaan diameter dan tinggi bebas cabang pohon Sengon dan Jati di setiap desa Pendugaan diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang pohon sengon di Desa Damarwulan Regression Analysis: diameter setinggi dada versus umur The regression equation is logten(diameter) = 0.6078 + 1.012 logten(umur) S = 0.0263712
R-Sq = 99.2%
R-Sq(adj) = 98.9%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 4 5
SS 0.324667 0.002782 0.327449
MS 0.324667 0.000695
F 466.85
P 0.000
Regression Analysis: tinggi bebas cabang versus umur The regression equation is logten(tinggi) = 0.2928 + 0.6540 logten(umur) S = 0.0448013
R-Sq = 94.4%
R-Sq(adj) = 93.0%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 4 5
SS 0.135529 0.008029 0.143557
MS 0.135529 0.002007
F 67.52
P 0.001
Pendugaan diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang pohon jati di Desa Damarwulan Regression Analysis: diameter setinggi dada versus umur The regression equation is logten(diameter) = 0.4601 + 0.7531 logten(umur) S = 0.0187366
R-Sq = 98.8%
R-Sq(adj) = 98.5%
Analysis of Variance Source DF SS MS F Regression 1 0.142104 0.142104 404.79 Error 5 0.001755 0.000351 Total 6 0.143860 Regression Analysis: tinggi bebas cabang versus umur
P 0.000
The regression equation is logten(tinggi) = 0.04343 + 0.7600 logten(umur) S = 0.0367088
R-Sq = 95.6%
Analysis of Variance
R-Sq(adj) = 94.7%
66
Source Regression Error Total
DF 1 5 6
SS 0.144719 0.006738 0.151457
MS 0.144719 0.001348
F 107.40
P 0.000
Pendugaan diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang pohon sengon di Desa Clering Regression Analysis: diameter setinggi dada versus umur The regression equation is diameter = 1.69 + 2.96 umur Predictor Constant umur
Coef 1.690 2.9600
S = 0.894986
SE Coef 1.471 0.4002
T 1.15 7.40
R-Sq = 96.5%
P 0.369 0.018
R-Sq(adj) = 94.7%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 2 3
SS 43.808 1.602 45.410
MS 43.808 0.801
F 54.69
P 0.018
Regression Analysis: tinggi bebas cabang versus umur The regression equation is logten(tinggi) = 0.1264 + 0.9021 logten(umur) S = 0.0255404
R-Sq = 98.2%
R-Sq(adj) = 97.3%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 2 3
SS 0.0720617 0.0013046 0.0733663
MS 0.0720617 0.0006523
F 110.47
P 0.009
Pendugaan diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang pohon jati di Desa Clering Regression Analysis: diameter setinggi dada versus umur The regression equation is logten(diameter) = 0.4189 + 0.8326 logten(umur) S = 0.0133424 R-Sq = 99.3% Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 5 6
SS 0.134701 0.000890 0.135592
R-Sq(adj) = 99.2%
MS 0.134701 0.000178
F 756.66
P 0.000
67
Regression Analysis: tinggi bebas cabang versus umur The regression equation is logten(tinggi) = 0.03679 + 0.8239 logten(umur) S = 0.0345881
R-Sq = 95.7%
R-Sq(adj) = 94.8%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 5 6
SS 0.131896 0.005982 0.137878
MS 0.131896 0.001196
F 110.25
P 0.000
Pendugaan diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang pohon Sengon di Desa Suwawal Regression Analysis: diameter setinggi dada versus umur The regression equation is logten(diameter) = 0.6789 + 0.8583 logten(umur) S = 0.0163566
R-Sq = 99.2%
R-Sq(adj) = 98.8%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 2 3
SS 0.0652366 0.0005351 0.0657717
MS 0.0652366 0.0002675
F 243.84
P 0.004
Regression Analysis: tinggi bebas cabang versus umur The regression equation is logten(tinggi) = 0.2722 + 0.7303 logten(umur) S = 0.0271162
R-Sq = 97.0%
R-Sq(adj) = 95.5%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 2 3
SS 0.0472337 0.0014706 0.0487043
MS 0.0472337 0.0007353
F 64.24
P 0.015
Pendugaan diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang pohon jati di desa Suwawal Regression Analysis: diameter versus umur The regression equation is logten(diameter) = 0.3728 + 0.8917 logten(umur) S = 0.0208781
R-Sq = 98.3%
R-Sq(adj) = 97.9%
68
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 4 5
SS 0.100065 0.001744 0.101808
MS 0.100065 0.000436
F 229.56
P 0.000
Regression Analysis: tinggi bebas cabang versus umur The regression equation is logten(tinggi) = 0.02473 + 0.8016 logten(umur) S = 0.0356756 R-Sq = 94.1% Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 4 5
SS 0.0808614 0.0050910 0.0859524
R-Sq(adj) = 92.6%
MS 0.0808614 0.0012728
F 63.53
P 0.001
69
Lampiran 4 Hasil pendugaan diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang , volume per pohon dan volume per ha untuk jenis sengon setiap desa Pendugaan diameter pohon Sengon tiap desa Desa
Diameter (cm) Umur (tahun) 3 13.4 12.2 12.8
Damarwulan Clering Suwawal
4 16.4 15.0 15.3
5 21.4 18.0 19.0
6 24.8 22.5 22.2
7 28.9 26.3 25.4
8 33.2 30.1 28.4
9 37.4 33.8 31.4
10 40.3 37.6 34.4
Pendugaan tinggi bebas cabang pohon Sengon tiap desa Desa
Tinggi Bebas Cabang (m) Umur (tahun)
Damarwulan Clering Suwawal
3
4
5
6
7
8
9
10
4.0 3.5 4.1
4.5 5.0 5.1
6.0 5.5 6.0
6.3 6.7 6.9
7.5 7.7 7.7
7.6 8.7 8.5
8.2 9.7 9.3
8.4 10.6 10.1
Pendugaan volume per pohon (m³/batang) Desa
Volume per pohon (m³/pohon) Umur (tahun)
Damarwulan Clering Suwawal
3
4
5
6
7
8
9
10
0.039 0.029 0.034
0.067 0.062 0.068
0.151 0.098 0.120
0.215 0.187 0.190
0.344 0.294 0.274
0.464 0.434 0.378
0.636 0.610 0.504
0.750 0.829 0.654
Pendugaan volume per ha (m³/ha) Desa
Volume per ha (m³/ha) Umur (tahun)
Damarwulan Clering Suwawal
3
4
5
6
7
8
9
10
7.254 6.554 7.310
7.973 8.246 12.240
11.174 7.644 18.600
10.105 8.602 25.650
10.320 7.938 31.510
8.816 6.944 37.044
7.632 5.490 40.320
5.250 4.145 42.510
55
Lampiran 5 Hasil pendugaan diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang , volume per pohon dan volume per ha untuk jenis jati di setiap desa
Pendugaan diameter pohon Jati tiap desa Desa
Diameter (cm) Umur (tahun) 10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Damarwulan
16.5
17.5
18.9
19.9
21.0
21.9
23.2
24.3
25.4
26.5
27.5
Clering Suwawal
17.8 17.0
19.3 18.4
20.7 19.9
22.1 21.3
23.6 22.8
25.0 24.2
26.3 25.6
27.7 27.0
29.1 28.4
30.4 29.8
31.7 31.2
33.0 32.6
34.4 33.9
35.6 35.2
36.9 36.6
38.2 37.9
Pendugaan tinggi bebas cabang pohon Jati tiap desa Desa
Tinggi Bebas Cabang (m) Umur (Tahun)
Damarwulan Clering Suwawal
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
6.5 6.5 6.7
6.8 7.8 7.2
7.5 8.4 7.8
7.8 9.0 8.3
8.2 9.6 8.8
8.5 10.1 9.3
9.1 10.7 9.8
9.5 11.2 10.3
9.9 11.8 10.7
10.4 12.3 11.2
10.8 12.8 11.7
13.4 12.2
13.9 12.6
14.4 13.1
14.9 13.5
15.4 14.0
70
56
Pendugaan volume per pohon Jati (m³/batang) Desa
Volume per pohon (m³/pohon) Umur (tahun)
Damarwulan Clering Suwawal
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
0.105 0.123 0.115
0.125 0.174 0.146
0.160 0.215 0.183
0.183 0.262 0.224
0.216 0.318 0.272
0.243 0.377 0.323
0.291 0.440 0.381
0.335 0.513 0.445
0.382 0.594 0.516
0.433 0.678 0.593
0.485 0.766 0.677
0.867 0.769
0.979 0.863
1.087 0.964
1.210 1.079
1.339 1.196
21
22
23
24
Pendugaan volume per ha untuk jenis Jati (m³/ha) Desa
Volume per ha (m³/ha) Umur (tahun)
Damarwulan Clering Suwawal
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
4.402
4.118
4.150
3.662
3.451
3.158
2.912
3.014
2.675
2.166
1.939
25
6.433
7.308
7.963
8.381
8.892
9.431
9.683
9.754
10.095
10.167
9.963
9.535
9.793
9.786
9.683
8.034
10.217
12.247
14.449
16.546
19.012
21.028
22.890
24.486
25.805
26.048
27.096
27.697
26.766
25.068
22.661
20.325
71
72
Lampiran 6 Jumlah pohon Sengon per ha pada setiap umur yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan Desa 2 265 427 137
Damarwulan Clering Suwawal
3 278 132 444
Pohon Sengon Per ha umur (tahun) 4 5 55 137 263 59 249 106
6 33
10 6
Lampiran 7 Jumlah pohon Jati per ha pada setiap umur yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan Desa
Damarwula n Clering Suwawal
3
4 88
5 162
Pohon Jati Per ha umur (tahun) 6 7 8 102 44
125 179
46 54
111 253
107 114
113 68
146 164
10 28 21
12 8
15 8
73
Lampiran 8 Contoh perhitungan pendugaan jumlah pohon Sengon dan Jati per ha tiap umur
N = Ke – au Log N = Log K + Log e – au Log N = Log K + (-au) Log e Log N = Log K + (- a Log e) u Jika Log N = y Log K = c -a log e = m U=x Maka y = c + mx m = ∑ xy – ((∑x ∑y)/n) ∑ x² - ((∑ x )²/n) c=ý–mx Contoh perhitungan nilai eksponensial Jumlah pohon Sengon per ha di Desa Damarwulan umur (x)
N
log N (y)
x*y
x²
2
265
2.42
4.85
4
3
277
2.44
7.33
9
4 5
54 136
1.73 2.13
6.93 10.67
16 25
6
32
1.51
9.03
36
7
58
1.76
12.34
49
10
5
0.70
6.99
100
∑x = 37
∑y= 12,7
ỳ= 0,81
х=5,3
∑x²= 239
m = 58,14 –( (37 x 12,7)/7) = - 0,2 239 – (37²/7)
74
c = 0,81 – (-0,2 x 5,3) = 2,87 Log K = c
-a = m / log e
K = 10 = 10
c
= - 0,2 / log 2,718
2,87
= - 0,46
= 741,31 N = Ke –
au
N = 741,31 e -0,46
0,06u
N=162,18e-
Pendugaan jumlah pohon jati per ha tiap umur
75
Pendugaan jumlah pohon Sengon per ha tiap umur
76
Lampiran 9 Peta administrasi Kabupaten Jepara
77
Lampiran 10 Analisi Regresi antar Luas Kepemilikan Hutan Rakyat dengan Tingkat Pendidikan, Pekerjaan Utama dan Penghasilan
The regression equation is luas HR (ha) = 0.230 + 0.0216 pendidikan + 0.0464 pekerjaan 0.00000002 pendapatan
Predictor Constant pendidikan pekerjaan pendapatan
Coef 0.2299 0.02164 0.04640 -0.00000002
S = 0.277150
SE Coef 0.1857 0.01374 0.08224 0.00000010
R-Sq = 3.5%
T 1.24 1.58 0.56 -0.15
P 0.219 0.119 0.574 0.879
R-Sq(adj) = 0.1%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 3 86 89
SS 0.23774 6.60584 6.84358
MS 0.07925 0.07681
F 1.03
P 0.383
78
Lampiran 11 Faktor pendorong dan penghambat dalam pengusahaan hutan rakyat di setiap desa
Faktor Pendorong Desa
Damarwulan Clering Suwawal
Jumlah tenaga kerja yg dibutuhkan sedikit 10 1 7
mudah dalam pengelolaannya
Tabungan masa depan
kecocokan lahan
meneruskan usaha orangtua
mengikuti jejak org lain
memenuhi kebutuhan bahan baku
10 9 15
20 28 19
2 5 _
4 2 _
2 6 _
_ _ 2
18
34
67
7
6
8
2
13
24
47
5
4
6
1
Jumlah (orang) Persentase (%)
Faktor Penghambat Desa
lamanya pertumbuhan
harga kayu murah
keterbatasan modal
7
kurangnya pengetahuan dalam rangka meningkatkan hasil hutan rakyat lebih maksimal 14
8
4
3
Clering
5
14
5
_
9
Suwawal
10
13
6
_
5
Jumlah (orang) Persentase (%)
22
41
19
4
17
21
40
18
4
17
Damarwulan
serangan hama
79
Lampiran 12 Estimasi jumlah pohon sengon yang dipanen setiap m³ Sengon Kelas diameter (cm)
Kelas Tinggi bebas cabang (m)
Kelas volume (m³/batang)
5-12
3.7-5.2
0.005-0.041
Estimasi jumlah pohon yang dipanen setiap m³ (batang) 197 – 24
13-15 16-20 21-25 26-29 30 up
5.4-5.8 5.9-6.3 6.5-6.9 7.1-7.5 7.5
0.005-0.072 0.083-0.138 0.158-0.237 0.264-0.347 0.371
20 -14 12 - 7 6–4 4–3 2
Lampiran 13 Estimasi jumlah pohon jati yang dipanen setiap m³ Jati Kelas diameter (cm)
Kelas Tinggi bebas cabang (m)
Kelas volume (m³/batang)
10-15cm 16-19cm 20-29 30up
4-6 6.5-7.6 8 - 11.2 11.8
0.02-0.08 0.1-0.16 0.19-0.56 0.63
Estimasi jumlah batang yang dipanen setiap m³ (batang) 42-12 10-6 5-2 1
55
Lampiran 14 MAI (Mean Annual Increament ) dan CAI ( Current Annual Increament) jenis Sengon di setiap desa Umur
Desa Damarwulan MAI (m³/ha/tahun)
3
Volume per ha (m³/ha) 7.25
4
7.97
1.99
5
11.17
6
Clering CAI (m³/ha/tahun)
Volume per ha (m³/ha) 6.55
MAI (m³/ha/tahun)
0.72
8.25
2.06
2.23
3.20
7.64
10.11
1.68
-1.07
7
10.32
1.47
8
8.82
9 10
Suwawal Volume per ha (m³/ha) 7.31
MAI (m³/ha/tahun)
1.69
12.24
3.06
1.53
-0.60
18.60
8.60
1.43
0.96
0.21
7.94
1.13
1.10
-1.50
6.94
7.63
0.85
-1.18
5.25
0.53
-2.38
2.42
CAI (m³/ha/tahun)
Rata-rata Volume per ha (m³/ha) 7.04
MAI (m³/ha/tahun)
4.93
9.49
2.37
2.45
3.72
6.36
12.47
2.49
2.99
25.65
4.28
7.05
14.79
2.46
2.31
-0.66
31.51
4.50
5.86
16.59
2.37
1.80
0.87
-0.99
37.04
4.63
5.53
17.60
2.20
1.01
5.49
0.61
-1.45
40.32
4.48
3.28
17.81
1.98
0.21
4.15
0.41
-1.35
42.51
4.25
2.19
17.30
1.73
-0.51
2.18
CAI (m³/ha/tahun)
2.44
CAI (m³/ha/tahun)
2.35
80
56
Lampiran 15 MAI (Mean Annual Increament ) dan CAI ( Current Annual Increament) jenis Jati di setiap desa Desa Damarwulan
Umur
MAI (m³/ha/tahun)
10
Volume per ha (m³/ha) 4.40
11
4.12
0.37
12
4.15
13
Clering CAI (m³/ha/tahun)
Volume per ha (m³/ha) 6.43
MAI (m³/ha/tahun)
-0.28
7.31
0.66
0.35
0.03
7.96
3.66
0.28
-0.49
14
3.45
0.25
15
3.16
16
Suwawal Volume per ha (m³/ha) 10.22
MAI (m³/ha/tahun)
0.88
12.25
1.11
0.66
0.66
14.45
8.38
0.64
0.42
-0.21
8.89
0.64
0.21
-0.29
9.43
2.91
0.18
-0.25
17
3.01
0.18
18
2.67
0.15
19
2.17
0.11
20
1.94
0.10
Rata-rata Volume per ha (m³/ha) 7.02
MAI (m³/ha/tahun)
2.03
7.89
0.72
0.87
1.20
2.20
8.85
0.74
0.96
16.55
1.27
2.10
9.53
0.73
0.68
0.51
19.01
1.36
2.47
10.45
0.75
0.92
0.63
0.54
21.03
1.40
2.02
11.21
0.75
0.75
9.68
0.61
0.25
22.89
1.43
1.86
11.83
0.74
0.62
0.10
9.75
0.57
0.07
24.49
1.44
1.60
12.42
0.73
0.59
-0.34
10.10
0.56
0.34
25.81
1.43
1.32
12.86
0.71
0.44
-0.51
10.17
0.54
0.07
26.05
1.37
0.24
12.79
0.67
-0.06
-0.23
9.96
0.50
-0.20
27.10
1.35
1.05
13.00
0.65
0.21
21
9.54
0.45
-0.43
27.70
1.32
0.60
18.62
0.53
0.09
22
9.79
0.45
0.26
26.77
1.22
-0.93
18.28
-0.24
-0.34
23 24
9.79 9.68
0.43 0.40
0.10 -0.10
25.07 22.66
1.09 0.94
-1.70 -2.41
17.43 16.17
-0.64 -1.00
-0.80 -1.26
25
8.03
0.32
-1.65
20.33
0.81
-2.34
14.18
-1.01
-1.99
0.44
CAI (m³/ha/tahun)
0.64
CAI (m³/ha/tahun)
1.02
CAI (m³/ha/tahun)
0.70
81