1
PENERAPAN PENGATURAN HASIL DAN PEMBENTUKAN UNIT KELESTARIAN HUTAN RAKYAT DI DESA SUMBEREJO, KECAMATAN BATUWARNO, KABUPATEN WONOGIRI
RETNOSARI
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
2
PENERAPAN PENGATURAN HASIL DAN PEMBENTUKAN UNIT KELESTARIAN HUTAN RAKYAT DI DESA SUMBEREJO, KECAMATAN BATUWARNO, KABUPATEN WONOGIRI
RETNOSARI
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
3
RINGKASAN RETNOSARI. Penerapan Pengaturan Hasil dan Pembentukan Unit Kelestarian Hutan Rakyat di Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri. Dibimbing oleh BAHRUNI dan CORRYANTI. Jumlah penduduk yang semakin meningkat mendorong semakin banyak perkembangan industri perkayuan, sehingga kebutuhan pasokan bahan baku kayu pun semakin meningkat. Namun, persediaan pasokan bahan baku kayu tersebut belum mencukupi. Pembangunan hutan rakyat sangat potensial untuk dikembangkan guna turut serta memberi sumbangan pasokan tersebut. Namun, kebiasaan petani yang menerapkan sistem tebang butuh pada hutan rakyatnya membuat kepastian jadwal dan volume produksi tidak dapat ditentukan. Oleh karena itu, perlu suatu perbaikan manajemen agar hutan rakyat dapat mengikuti budaya bisnis, salah satunya melalui pengaturan hasil. Pengaturan hasil itu sendiri dapat berjalan lancar apabila diarahkan menjadi pengelolaan berkelompok dan berlembaga yang akan menjadi suatu unit kelestarian hutan rakyat. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri mulai bulan Juli hingga Agustus 2011 dengan tujuan untuk mengetahui teknik pengelolaan dan potensi hutan rakyat saat kini serta menyajikan alternatif pengaturan hasil menggunakan metode jumlah batang berdasarkan riap diameter di Desa Sumberejo, dan mengetahui kesediaan dan pertimbangan petani untuk menerapkan pengaturan hasil menurut jumlah batang dan membentuk unit kelestarian hutan rakyat. Penentuan lokasi menggunakan metode purpossive sampling. Pengambilan sampel lahan hutan rakyat menggunakan intensitas sampling sebesar 5% pada lahan tegalan dan pekarangan dengan teknik ad hoc quotas. Pengambilan data mencakup kegiatan inventarisasi, pengamatan, interview, dan pencatatan data sekunder. Alat-alat yang digunakan, yaitu: pita ukur, galah, tally sheet, meteran, alat tulis, kamera digital, kalkulator, dan komputer. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teknik pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan di Desa Sumberejo masih sederhana. Potensi hutan rakyat lebih didominasi oleh jenis mahoni dengan riap yang fluktuatif, sedangkan untuk jenis jati mengalami penurunan seiring meningkatnya kelas diameter. Jangka benah untuk jenis jati adalah 47 tahun dan untuk jenis mahoni adalah 3 tahun. Pengaturan hasil menurut jumlah batang memiliki peluang untuk dapat diimplementasikan bila kendala-kendala sosial dalam penerapannya termasuk dalam pemenuhan kebutuhan dana dapat teratasi. Sebagian besar responden menyetujui alternatif solusi sosial terhadap pengaturan hasil menurut jumlah batang, dengan cara mengembangkan pemenuhan kebutuhan dana melalui pinjam meminjam, mengembangkan keuangan kelompok tani dengan menaikkan iuran wajib anggota per pertemuan, dan mengembangkan industri kerajinan kayu untuk meningkatkan pendapatan petani dengan menyisihkan dan mengumpulkan sebagian dana dari bantuan-bantuan yang selanjutnya akan diterima. Kata kunci: Pengaturan hasil, unit kelestarian hutan rakyat, potensi hutan rakyat, riap diameter, kesediaan petani
4
SUMMARY RETNOSARI. The Implementation of The Yield Regulation and The Establishment of Sustainable Private Forest Unit in Sumberejo Village, Batuwarno Sub District, Wonogiri District. Supervised by BAHRUNI and CORRYANTI. The increasing of population have pushed the development of industrial logging and it causes the increasing of raw materials wood supply. But in fact, this supply hasn’t been sufficient yet to fill the industrial needs. The establishment of private forest very potential to contribute this supply. But the habitual of farmers who implement the system of slash need in private forest make the certainty schedule and production volume can’t be determined. Therefore, it needs some management improvements in order that private forest can follows business culture. One of the solution is by yield regulation. The yield regulation can do run well if this regulation is directed for farmers group management and institution as a sustainable private forest unit. This research was conducted in the Sumberejo Village, Batuwarno Sub Distric, Wonogiri District from July to August 2011. The objectives of this study are to know management technic, stand of private forest potency, propose a yield regulation alternative by using the numbers of stems method based on diameter increment, and to know the willingness and consideration of farmers to practice yield regulation based on the numbers of stems, also to establishment the sustainable private forest unit. Determination of research location used purpossive sampling method. In private forest land, used sampling intensity about 5% on dry land and garden by ad hoc quotas technic. Data collected from forest inventory, field observation, respondent interview, and secondary data. The tools were used a measuring tape, gaff, tally sheet, tape, stationery, digital camera, and computer. The results of this research showed that the low intensity of silviculture technic of private forest management which has practiced in Sumberejo Village. The private forest potency was dominated by Mahoni (Swietenia macrophylla) that had fluctuated increment. While, the increment of Teak (Tectona grandis) has decreased in line with the increasing of diameter class. Time of passage for Teak and Mahoni are about 47 years and 3 years. Yield regulation based on the numbers of stems has opportunity to be implemented if social constraints such as need of fund can be solves. Most of respondents agreed about alternative solution by developing funding needs. It can be done through lend and borrow each others, develop woodcraft industry to increase farmers income, set aside and collect funds from assistances that will be received. Key words: Yield regulation, sustainable private forest unit, potency of private forest, diameter increment, farmers willingness.
5
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Penerapan Pengaturan Hasil dan Pembentukan Unit Kelestarian Hutan Rakyat di Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen Dr. Ir. Bahruni, MS dan Dr. Corryanti dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, April 2012 Retnosari E14070073
6
LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian
: Penerapan Pengaturan Hasil dan Pembentukan Unit Kelestarian Hutan Rakyat di Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri
Nama
: Retnosari
NRP
: E14070073
Menyetujui: Komisi Pembimbing Ketua,
Anggota,
Dr. Ir. Bahruni, MS
Dr. Corryanti
NIP. 19610501 198803 1 003
NIP. 19600103 198603 2 004
Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Hutan IPB
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001 Tanggal Lulus:
7
KATA PENGANTAR Penulis memanjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya, sehingga skripsi ini telah berhasil diselesaikan dengan judul “Penerapan Pengaturan Hasil dan Pembentukan Unit Kelestarian Hutan Rakyat di Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri”. Judul skripsi ini dipilih karena pengaturan hasil merupakan salah satu bagian terpenting dari pengelolaan unit kelestarian hutan rakyat sebagai suatu perbaikan manajemen agar hutan rakyat dapat mencapai kelestarian. Melalui pengaturan hasil tersebut, diharapkan petani dapat menentukan kepastian jadwal dan volume produksi yang akan berimplikasi pula pada kepastian pengadaan bahan baku industri, sehingga hutan rakyat dapat mengikuti budaya bisnis yang memerlukan pengaturan dan kepastian dalam pengelolaan. Dalam skripsi ini dibahas mengenai teknik pengelolaan hutan rakyat, potensi hutan rakyat, riap diameter hutan rakyat, pengaturan kelestarian hasil saat kini, analisis alternatif pengaturan hasil berdasarkan jumlah batang, kendala serta alternatif solusi sosial penerapan pengaturan hasil menurut jumlah batang, dan analisis penerapan alternatif pengaturan hasil di dalam unit kelestarian hutan rakyat. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Bahruni, MS dan Dr. Corryanti selaku dosen pembimbing, Puslitbang Perhutani Cepu atas kerja sama dan pembiayaan kegiatan penelitian, IPB atas beasiswa PPA, Yayasan Karya Salemba Empat atas beasiswa KSE regular dan skripsi, orang tua dan keluarga besar penulis, Pak Mulyono selaku ketua FKPS Desa Sumberejo, Pak Sutanto selaku ketua kelompok tani Dusun Wates, dan Pak Tarto beserta keluarganya, Ardiyanto Kurniawan yang selalu setia dan ada menemani penulis, seluruh penghuni Wisma Cendrawasih, dosen dan staf Departemen Manajemen Hutan, serta teman-teman Manajemen Hutan dan Fakultas Kehutanan Angkatan 44 yang telah memberikan bimbingan, arahan, pengetahuan, nasehat, waktu, motivasi, kasih sayang, do’a, bantuan, kesabaran, kepercayaan, dan kebersamaan selama masa studi penulis hingga terselesainya penyusunan skripsi ini.
8
Penulis pun menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan dari sesam pembaca untuk pengembangan penelitian sebagai referensi selanjutnya. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis, pembaca, serta dunia pendidikan melalui sumbangan pemikiran kepada masyarakat agar bijaksana dalam kegiatan pengelolaan hutan terutama pada hutan rakyat.
Bogor, April 2012 Penulis
9
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banyumas, Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 10 September 1989 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak M. Kartum dan Ibu Rukini. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 05 Gondangdia Pagi dan SDN Utan Jaya lulus pada tahun 2001, pendidikan menengah pertama di SLTP Setia Negara Depok lulus pada tahun 2004, dan pendidikan menengah atas di SMA Sejahtera 1 Depok lulus pada tahun 2007. Tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan pilihan mayor Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan, yaitu: Panitia Bina Corps Rimbawan (BCR) Fakultas Kehutanan tahun 2009, Panitia Temu Manajer (TM) Departemen Manajemen Hutan tahun 2009, Panitia Forester Cup Fakultas Kehutanan tahun 2009, Biro Kesekretariatan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan tahun 2009, Asisten mata kuliah Dendrologi tahun 2009, dan Anggota Himpunan Profesi (Himpro) Forest Management Student Club (FMSC) tahun 2009-2010. Penulis juga melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Gunung Burangrang dan Cikiong tahun 2009, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Sukabumi tahun 2010, dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Indexim Utama Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2011. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Penerapan Pengaturan Hasil dan Pembentukan Unit Kelestarian Hutan Rakyat di Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri” di bawah bimbingan Dr. Ir. Bahruni, MS dan Dr. Corryanti.
viii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………....
x
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………...
xii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………
xiii
BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ....................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah …….......................................................
2
1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………
4
1.4 Manfaat Penelitian ………………………………………..
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hutan dan Hutan Rakyat ..................................
5
2.2 Teknik Pengelolaan Hutan Rakyat .....................................
8
2.3 Pengaturan Hasil Hutan Rakyat .........................................
9
2.4 Pertumbuhan dan Riap ….………...……………………...
12
2.5 Unit Kelestarian Hutan Rakyat ………...……..................
15
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................
22
3.2 Alat dan Objek Penelitian ..................................................
22
3.3 Jenis dan Sumber Data ………………...…………………
22
3.4 Metode Pengambilan Contoh …………...………………..
23
3.5 Metode Pengumpulan Data ………...…………………….
23
3.5.1 Metode pengumpulan data primer .…………..…….
23
3.5.2 Metode pengumpulan data sekunder …………........
24
3.6 Metode Pengolahan dan Analisis Data ………...………...
24
3.6.1 Analisis kuantitatif ………...........…………………
24
3.6.1.1 Penentuan klasifikasi umur berdasarkan umur rata-rata menurut modus …………….
25
3.6.1.2 Perhitungan pendugaan potensi tegakan hutan rakyat …………….……………….....
25
3.6.1.3 Selang kelas ……….…………………….....
29
3.6.1.4 Perhitungan riap diameter rata-rata tahunan..
29
ix
3.6.1.5 Perhitungan pengaturan hasil menurut jumlah batang ……………...……..………..
30
3.6.2 Analisis kualitatif .………...……………….……….
30
BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas Wilayah ………………………………….
32
4.2 Keadaan Fisik ……………………………………………..
32
4.2.1 Topografi dan jenis tanah ..………………………….
32
4.2.2 Iklim ………………………………………………...
32
4.3 Keadaan Sosial Ekonomi …………………………………
33
4.3.1 Keadaan penduduk ………………………………….
33
4.3.2 Mata pencaharian …………………………………...
33
4.3.3 Pendidikan, agama, budaya …….…………………...
34
4.4 Sejarah Hutan Rakyat Desa Sumberejo …………………..
35
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Teknik Pengelolaan Hutan Rakyat ………………...……...
37
5.2 Potensi Hutan Rakyat ……………………………………..
45
5.3 Riap Diameter Hutan Rakyat ……………………………..
48
5.4 Pengaturan Kelestarian Hasil Saat Kini ….……………….
50
5.5 Analisis Alternatif Pengaturan Hasil Menurut Jumlah Batang …………………………………………………….
53
5.6 Kendala dan Alternatif Solusi Sosial Penerapan Pengaturan Hasil Menurut Jumlah Batang …..……………
59
5.6.1 Kendala sosial pengaturan hasil menurut jumlah batang ……………………………………..……......
59
5.6.2 Alternatif solusi sosial pengaturan hasil menurut jumlah batang ……………………………………….
62
5.7 Analisis Penerapan Alternatif Pengaturan Hasil di dalam Unit Kelestarian Hutan Rakyat ……...................................
72
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ……………………………………………….
75
6.2 Saran ………………………………………………………
76
DAFTAR PUSTAKA ….........................................................................
77
LAMPIRAN …………………………………………………………….
80
x
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1.
Jenis data yang dikumpulkan ……….………………………….......
22
2.
Klasifikasi umur jenis jati di tegalan berdasarkan umur rata-rata menurut modus …………………………………………………….
25
3.
Jumlah penduduk Desa Sumberejo berdasarkan sebaran umur ……
32
4.
Jumlah penduduk Desa Sumberejo berdasarkan mata pencaharian..
33
5.
Jumlah penduduk Desa Sumberejo berdasarkan tingkat pendidikan
33
6.
Potensi hutan rakyat Desa Sumberejo .…………………………….
46
7.
Umur dan riap diameter rata-rata tahunan jenis jati per kelas diameter …………………………......……………………………..
49
Umur dan riap diameter rata-rata tahunan jenis mahoni per kelas diameter ……………………....……...…………………….......…..
50
Alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang untuk jenis jati (batang/ha/th) ...…………………………………………………….
55
10. Alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang untuk jenis mahoni (batang/ha/th) ...……………………………………………
57
11. Perbandingan produksi dan pendapatan pengaturan hasil saat kini terhadap alternatifnya ………………………………….…...……...
58
12. Distribusi jawaban petani terhadap kesediaan untuk menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang ……………......
60
13. Alasan petani bersedia untuk menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang ……………………………….............
60
14. Alasan petani keberatan untuk menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang ……………………………….............
62
15. Alternatif untuk pemenuhan kebutuhan dana melalui pimpan meminjam ……………………………………………………....….
63
16. Pertimbangan petani melakukan pinjaman ke lembaga keuangan formal maupun non formal ……………………………………...…
64
17. Alternatif pemenuhan kebutuhan melalui kenaikan dana iuran wajib per pertemuan dalam kelompok tani …………………..….....
66
18. Alasan petani bersedia untuk menaikkan iuran wajib per pertemuan dalam kelompok tani …………………………………...
66
19. Alasan petani keberatan untuk menaikkan iuran wajib per pertemuan dalam kelompok tani ………………………………...…
67
20. Taksiran persediaan dana di masing-masing kelompok tani …...….
68
8. 9.
xi
21. Alternatif solusi sosial melalui pengembangan industri kerajinan kayu …………………………..……………………………………
68
22. Pertimbangan petani setuju terhadap alternatif solusi social melalui pengembangan industri kerajinan kayu ………………...….………
69
23. Alternatif solusi sosial melalui pengembangan keahlian petani dengan menjadi tenaga kerja di industri kerajinan kayu …………..
70
24. Alasan petani bersedia menjadi tenaga kerja di industri kerajinan kayu …………………………..……………………………………
70
25. Alasan petani keberatan menjadi tenaga kerja di industri kerajinan kayu …………………………..……………………………………
71
26. Alternatif solusi sosial dengan menabungkan sebagian gaji di kelompok tani ……………………………………..……………….
71
27. Luas unit kelestarian hutan rakyat di Desa Sumberejo …………….
73
28. Alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang pada unit kelestarian hutan rakyat untuk jenis jati (batang/th) ……………….
74
29. Alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang pada unit kelestarian hutan rakyat untuk jenis mahoni (batang/th) …………..
74
xii
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Anakan hasil persebaran biji oleh angin secara alami ……...……....
39
2. Trubusan hutan rakyat (a) lima tunas dan (b) pangkal gerowong ….
40
3. Serasah sebagai pengganti pupuk …………………………………..
43
4. Riap diameter rata-rata tahunan (cm/th) per jenis per kelas diameter
48
5. Realisasi produksi kayu hutan rakyat (batang) sejak awal sertifikasi tahun 2004 sampai tahun 2011 ……………………………………..
52
6. Kayu-kayu hasil tebangan di pedagang pengumpul Kecamatan Baturetno ..…………………………………………………………..
54
xiii
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1.
Klasifikasi umur berdasarkan umur rata-rata menurut modus …….
80
2.
Potensi hutan rakyat Desa Sumberejo …………..….……………...
80
3.
Perhitungan riap berdasarkan hasil survey di lapang …..……….…
81
4.
Realisasi produksi kayu hutan rakyat sejak awal sertifikasi tahun 2004 sampai tahun 2011 …………………………………...............
81
Visualisasi tebangan dari alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang untuk jenis jati (batang/ha) …………………...........
82
Visualisasi tebangan dari alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang untuk jenis mahoni (batang/ha) ………………….....
83
Alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang per petani (batang/petani/th) ………………………...………………………...
83
8.
Rata-rata luas hutan rakyat hasil survey …………………………...
84
9.
Rata-rata harga tegakan per batang untuk jenis jati dan jenis mahoni …………………………………………………………..…
84
5. 6. 7.
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk yang semakin meningkat mendorong semakin banyak perkembangan industri perkayuan, sehingga kebutuhan pasokan bahan baku kayu pun semakin meningkat. Pemenuhan bahan baku tersebut dapat berasal dari izin pemanfaatan kayu baik dari hutan alam, hutan tanaman, maupun hasil pembukaan lahan. Namun, persediaan bahan baku kayu masih belum mencukupi. Disebutkan oleh Subarudi et al. (2000), diacu dalam Suryandari dan Puspitojati (2003) bahwa kebutuhan pasokan bahan baku kayu adalah sebesar 63,48 juta m3/th. Sedangkan pasokan bahan baku kayu yang tersedia menurut Anonim (2001) hanya sebesar 33,5 juta m3/th yang merupakan sumbangan pasokan dari hutan alam sebesar 22,5 juta m3/th, hutan tanaman sebesar 3,5 juta m3/th, dan hasil pembukaan lahan sebesar 7,5 juta m3/th. Hal ini menunjukkan masih terdapat kekurangan pasokan bahan baku kayu sebesar 29,98 juta m3/th. Berdasarkan hal tersebut, maka pembangunan hutan rakyat memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan guna turut serta memberikan sumbangan pasokan bahan baku kayu yang belum terpenuhi selama ini. Di sisi lain, kebiasaan petani yang menerapkan sistem tebang butuh pada hutan rakyat miliknya membuat kepastian jadwal dan volume produksi tidak dapat ditentukan, sehingga berimplikasi pada ketidakpastian pengadaan bahan baku industri. Hal ini akan mengganggu rencana produksi atau kontrak dalam penjualan industri. Harrison (2000), diacu dalam Daniyati (2009) menyebutkan bahwa pada kenyataannya permintaan kayu oleh industri perkayuan banyak beralih ke hutan tanaman yang diusahakan pada skala besar. Oleh karena itu, perlu suatu perbaikan manajemen agar hutan rakyat dapat mengikuti budaya bisnis yang memerlukan pengaturan dan kepastian dalam pengelolaan, salah satunya melalui pengaturan hasil. Pengaturan hasil itu sendiri dapat berjalan lancar apabila diarahkan menjadi pengelolaan berkelompok dan berlembaga yang akan menjadi suatu unit manajemen hutan rakyat. Harapannya pengelolaan dengan cara ini mampu
2
menjamin kelestarian sumberdaya alam baik untuk kepentingan pemilik hutan rakyat maupun kepentingan lingkungan sekitar (Awang 2007). Namun, yang lebih berinteraksi langsung dengan para petani hutan rakyat adalah unit kelestarian hutan rakyat. Tingkat kelestarian dalam unit tersebut harus terjaga, salah satunya dengan cara tidak diperkenankan terjadi penebangan yang berlebih. Gabungan dari beberapa unit kelestarian ini akan membentuk suatu unit manajemen hutan rakyat yang satuannya bisa saja per desa ataupun per kabupaten. Dalam hal ini, penulis ingin meneliti kesediaan para petani hutan rakyat di Desa Sumberejo untuk menerapkan pengaturan hasil dan membentuk unit kelestarian hutan rakyat. Desa Sumberejo yang berada di Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri telah memperoleh sertifikasi PHBML LEI pertama kali di Pulau Jawa pada tahun 2004. Oleh karena itu, apabila unit kelestarian hutan rakyat dapat dibentuk dan pengaturan hasil dapat diterapkan di desa ini, maka diharapkan dapat menjadi contoh dan modal motivasi bagi hutan rakyat lain untuk juga melakukan sertifikasi. Dengan begitu, diharapkan akan semakin banyak hutan rakyat yang lestari tanpa melakukan penebangan berlebih. Selain itu, diharapkan pula dapat menjadi modal bagi hutan rakyat untuk mengikuti budaya bisnis industri yang selalu berkembang. Untuk itu dilakukan penelitian yang berjudul “Penerapan Pengaturan Hasil dan Pembentukan Unit Kelestarian Hutan Rakyat di Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri”. 1.2 Rumusan Masalah Menurut Mustari (2000), kelestarian pengelolaan hutan rakyat dapat diukur menggunakan parameter struktur tegakan. Hutan rakyat yang tersusun dari tegakan pohon dengan sebaran kelas diameter yang merata adalah hutan rakyat yang dikelola secara lestari, sehingga produksi kayu dapat dilakukan secara berkesinambungan. Namun pada kenyataannya, penebangan daur pendek yang dilakukan petani menyebabkan struktur tegakan tidak merata dan didominasi oleh kelas diameter kecil. Pengelolaan ini dapat dicapai melalui pengaturan hasil. Osmaston (1968) menyebutkan beberapa metode pengaturan hasil, antara lain: metode berdasarkan luas, metode berdasarkan volume, metode berdasarkan volume dan riap, dan metode berdasarkan jumlah pohon. Departemen Kehutanan (1992) menambahkan
3
dua metode pengaturan hasil, yaitu: metode berdasarkan riap dan metode kombinasi luas dan volume. Berdasarkan macam pengaturan hasil yang dijelaskan oleh Departemen Kehutanan (1992), dengan kondisi struktur tegakan hutan rakyat yang hampir menyerupai hutan tidak seumur, maka pengaturan hasil hutan rakyat yang memungkinkan untuk dilakukan adalah metode berdasarkan jumlah pohon atau yang biasa disebut dengan metode berdasarkan jumlah batang. Disebutkan oleh Osmaston (1968) bahwa metode ini mengusahakan agar besarnya hasil (volume) yang dipanen untuk ukuran diameter di atas batas diameter minimal yang ditetapkan (limit diameter) harus sama untuk setiap tahunnya sepanjang daur. Terkait hal tersebut, Sopiana (2011) dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa diperlukan suatu bentuk unit kelembagaan yang dapat mengatur pengelolaan hutan rakyat secara optimal, sehingga dapat memberikan keuntungan besar bagi petani hutan rakyat. Adapun salah satu yang diatur di dalamnya adalah pengaturan hasil guna mencapai suatu kelestarian. Sopiana (2011) juga menyebutkan bahwa kelembagaan yang akan dibentuk dalam pengelolaan hutan rakyat ini terdiri dari gabungan beberapa pemilik hutan rakyat. Setiap anggota diberi kesempatan untuk memilih dua cara berpartisipasi, yaitu: berpartisipasi
secara
langsung
dalam
kegiatan
pengelolaan
hutan
dan
berpartisipasi secara tidak langsung melalui perantara buruh atau penggarap untuk mewakili kehadirannya dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat. Menurut Awang et al. (2005) unit kelembagaan tersebut merupakan unit kelestarian hutan rakyat yang berfungsi sebagai unit pengelolaan dan berkewajiban untuk mengelola hasil hutan rakyat agar memperoleh keuntungan ekonomis dan ekologis. Hal itu dilakukan dengan melaksanakan kegiatan yang berkesinambungan untuk mencapai kelestarian hutan rakyat. Unit kelestarian tersebut berhubungan langsung dengan masing-masing pemilik hutan rakyat. Oleh karena itu, perlu diketahui kesediaan petani hutan rakyat selaku pemilik lahan hutan rakyat yang sah untuk menerapkan pengaturan hasil dan kesediaannya membentuk suatu unit kelestarian hutan rakyat.
4
Untuk itu, timbul beberapa pertanyaan diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Apakah petani bersedia menerapkan pengaturan hasil dan membentuk unit kelestarian hutan rakyat terhadap hutan rakyatnya? 2. Hal-hal apa saja yang menjadi bahan pertimbangan petani dalam kesediaannya menerapkan pengaturan hasil dan membentuk unit kelestarian tersebut? 3. Solusi atau alternatif apa yang dapat diberikan agar petani bersedia menerapkan pengaturan hasil dan membentuk unit kelestarian hutan rakyat? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui sistem pengelolaan dan potensi hutan rakyat saat kini serta menyajikan alternatif pengaturan hasil menggunakan metode jumlah batang berdasarkan riap diameter di Desa Sumberejo. 2. Mengetahui kesediaan dan pertimbangan petani untuk menerapkan pengaturan hasil menurut jumlah batang dan membentuk unit kelestarian hutan rakyat. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai acuan pihak-pihak terkait terutama bagi petani hutan rakyat dalam mengembangkan hutan rakyatnya guna meningkatkan taraf hidup dan kelestarian fungsi ekologi serta fungsi sosial budaya. Selain itu juga diharapkan dapat memberi masukan, informasi, serta saran kepada pengambil kebijakan terutama pemerintah daerah dalam usaha mengembangkan hutan rakyat.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hutan dan Hutan Rakyat Secara sederhana, ahli kehutanan mengartikan hutan sebagai suatu komunitas biologi yang didominasi oleh pohon-pohon tanaman keras. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, hutan diartikan sebagai suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara menyeluruh merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya, dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan. Kumpulan pohon tersebut mempunyai tajuk yang cukup rapat, sehingga merangsang pemangkasan alami dengan cara menaungi ranting dan dahan di bagian bawah serta menghasilkan serasah sebagai bahan organik. Arief (2001) menyebutkan karena hutan diartikan sebagai suatu asosiasi, maka antara jenis pohon satu dengan jenis pohon lain yang terdapat di dalamnya akan saling ketergantungan. Jenis-jenis tanaman yang tidak menyukai sinar matahari penuh tentu memerlukan perlindungan dari tanaman yang lebih tinggi. Tanaman yang suka sinar matahari penuh akan memperoleh keuntungan dari tanaman yang hidup di bawahnya karena mampu menjaga kelembaban dan suhu yang diperlukan oleh tanaman tinggi tersebut. Selain terjadi ketergantungan, di dalam hutan akan terjadi pula persaingan antar anggota-anggota yang hidup saling berdekatan, misalnya: persaingan dalam penyerapan unsur hara, air, sinar matahari, ataupun tempat tumbuh. Persaingan ini tidak hanya terjadi pada tumbuhan saja, tetapi juga pada binatang. Hutan merupakan suatu ekosistem natural yang telah mencapai keseimbangan klimaks dan merupakan komunitas tetumbuhan paling besar yang mampu pulih kembali dari perubahan-perubahan yang dideritanya, sejauh tidak melampaui batas-batas yang dapat ditoleransi (Arief 2001). Hutan bukan semata-mata kumpulan pohon yang hanya dieksploitasi dari hasil kayunya saja, tetapi hutan merupakan persekutuan hidup alam hayati atau suatu masyarakat tumbuhan yang kompleks dan terdiri atas pohon-pohon, semak, tumbuhan bawah, jasad renik tanah, hewan, dan alam lingkungannya.
6
Keseluruhan tersebut memiliki kaitan dalam hubungan ketergantungan satu sama lain. Uraian tersebut dapat disimpulkan oleh Arief (2001) bahwa hutan dituntut untuk mampu menjaga keseimbangan sistem ekologi lingkungan hidup, menyelamatkan
semua
makhluk
hidup
di
dalamnya,
menjadi
gudang
penyimpanan plasma nutfah, mempertahankan degradasi tanah dan erosi, menghasilkan sumber kayu industri dan penggergajian lokal, sumber hasil hutan ikutan bagi penduduk setempat, tempat wisata alam, dan terutama untuk kepentingan penelitian. Sedangkan Djajapertjunda (1959), diacu dalam Ernawati (1995) memberikan pengertian hutan rakyat sebagai tanaman pohon-pohonan (kayu tahunan) dari berbagai jenis baik tumbuh secara alami maupun sengaja ditanam dalam bentuk suatu kebun atau terpencar-pencar di tanah penduduk yang memiliki fungsi sebagai sumber kayu dan hasil hutan lainnya. Selanjutnya Lestarini (1991) mengemukakan bahwa dari segi pengelolaannya hutan rakyat sama dengan kebun rakyat atau agrohutani yang merupakan sistem tata guna lahan permanen dengan dicirikan unsur tanaman semusim dan tanaman tahunan. Miniarti (2007) menyebutkan bahwa esensi dari hutan rakyat itu sendiri adalah suatu bentuk hutan yang pengelolaannya berbasis rakyat, yakni rakyat memiliki wewenang penuh dalam pengelolannya tanpa adanya intervensi dari pihak manapun, sehingga masyarakat dapat mandiri dan dapat mengambil manfaatnya dalam upaya meningkatkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Hal ini selaras dengan pendapat Awang et al. (2001) yang mengatakan bahwa pengelolaan hutan rakyat dilaksanakan oleh organisasi masyarakat, baik pada lahan individu, komunal dan lahan adat, maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Penelitian Hardjanto, diacu dalam Suharjito (2000) mengemukakan bahwa terdapat beberapa ciri pengusahaan hutan rakyat, sebagai berikut: 1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri. Dalam hal ini petani masih memiliki posisi tawar yang lebih rendah. 2. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik. 3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran yang diusahakan dengan cara-cara sederhana.
7
4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidental dengan kisaran tidak lebih 10% dari pendapatan total. Secara fisik, hutan rakyat memiliki pola tanam yang beragam di setiap daerah baik pemilihan jenis yang dikembangkan maupun cara penataannya di lapangan. Menurut Suharjito (2000), keberagaman pola tanam (struktur dan komposisi jenis tanaman) hutan rakyat merupakan hasil kreasi budaya masyarakat. Umumnya, pola tanam yang dikembangkan oleh petani dapat diklasifikasikan pada dua pola tanam, yaitu: murni (monokultur) dan campuran (polyculture). 1. Hutan Rakyat Monokultur Hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman pokok yang ditanam dan diusahakan secara homogen (monokultur). Jenis silvikultur pola tanam ini memiliki kelebihan, yaitu: lebih mudah dalam pembuatan, pengelolaan, dan pengawasannya. Menurut Hardjanto, diacu dalam Suharjito (2000), upaya budidaya dilakukan lebih intensif pada hutan jenis ini karena pada sistem ini lahan secara sengaja diperuntukkan menjadi hutan rakyat. 2. Hutan Rakyat Campuran a. Hutan Rakyat Campuran (polyculture) dengan 2-5 jenis tanaman kehutanan yang dikembangkan dan diusahakan. Dari segi silvikultur cara ini lebih baik dibandingkan jenis monokultur, daya tahan terhadap hama penyakit dan angin lebih tinggi, perakaran lebih berlapis, dan dari segi ekonomi lebih fleksibel. Hasil yang diperoleh berkesinambungan dan tenaga kerja yang terserap lebih banyak, namun pelaksanaannya memerlukan perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan yang lebih baik dan terampil. b. Hutan Rakyat Campuran dengan Sistem Agroforestry/Wanatani. Pola ini merupakan kombinasi kehutanan dengan cabang usaha lainnya, yaitu: perkebunan, pertanian, peternakan, dan lainnya secara terpadu. Pola ini berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan secara rasional baik dari aspek ekonomis maupun ekologis. Penerapannya di lapangan dilakukan
8
dengan cara pemanfaatan suatu ruang tumbuh baik vertikal maupun horizontal dalam bentuk penanaman campuran lebih dari satu jenis. Sedangkan
Rahmawaty
(2004),
diacu
dalam
Hudiyani
(2010)
menyebutkan tiga pola hutan rakyat yang dikenal dalam pengembangan hutan rakyat, sebagai berikut: 1. Pola swadaya, hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri. Melalui pola ini masyarakat didorong agar mau dan mampu melaksanakan pembuatan hutan rakyat secara swadaya dengan bimbingan teknis kehutanan. 2. Pola subsidi, hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya (melalui Inpres Penghijauan, Padat Karya, atau bantuan lainnya) atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat. 3. Pola kemitraan (Kredit Usaha Hutan Rakyat), hutan rakyat yang dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan dengan insentif permodalan berupa kredit kepada masyarakat dengan bunga ringan. Dasar pertimbangan kerjasama ini adalah pihak perusahaan memerlukan bahan baku dan masyarakat memberikan bantuan secara penuh melalui perencanaan sampai dengan membagi hasil usaha secara bijaksana sesuai kesepakatan antara perusahaan dengan masyarakat. 2.2 Teknik Pengelolaan Hutan Rakyat Pengelolaan hutan rakyat merupakan bagian dari keseluruhan aktivitas keseharian penduduk atau petani hutan rakyat. Silvikultur tradisional yang berkembang di kawasan Pegunungan Kapur Selatan menurut Awang et al. (2001) diacu dalam Ma’rufi (2007), diklasifikasi menjadi beberapa pekerjaan, sebagai berikut: 1. Pemilihan jenis tanaman kehutanan yang akan ditanam. Pada kegiatan ini, dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah kesesuaian lahan, riap pertumbuhan, ketersediaan tenaga kerja, harga jual kayu yang dihasilkan, dan kemudahan pemeliharaan. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) tahun 2001, pada
9
wilayah Pegunungan Kapur Selatan yang tercantum dalam Buku Gurat Hutan Rakyat di Kapur Selatan, dapat diketahui tiga jenis kayu yang banyak ditanam oleh masyarakat, yaitu: jati, akasia, dan mahoni. 2. Persiapan lahan. Kegiatan ini dilakukan pada saat pertama kali membangun hutan rakyat dengan membuat teras bangku pada lahan yang miring. 3. Penanaman. Pada awalnya masyarakat menanam di sela-sela batu, sehingga tidak ada jarak tanam. Seiring dengan berkembangnya waktu dan bertambahnya pengetahuan masyarakat tentang tanaman keras, maka masyarakat melakukan penanaman dengan memperhatikan jarak tanam dan penanaman sesuai kontur. 4. Pemeliharaan tanaman berkayu. Pemeliharaan ini biasanya dilakukan pada tanaman yang masih muda dengan melakukan kegiatan pendangiran tanah dan terkadang disertai juga dengan pemagaran sederhana. 5. Perlindungan terhadap tanaman berkayu. Kegiatan perlindungan tanaman hutan yang biasa dilakukan masyarakat terhadap gangguan ternak dengan cara melarang penggembalaan ternak di areal hutan milik orang lain. 6. Penebangan. Penebangan biasanya dilakukan dengan sistem tebang pilih, sejumlah pohon yang ditebang tersebar dan tidak mengelompok dalam satu tempat, tergantung diameter dan kemudahan dalam pengangkutan. Kegiatan penebangan yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya dilakukan tidak dengan teresan kecuali untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Dalam masyarakat, kegiatan teknis pengelolaan hutan rakyat biasanya dilakukan sendiri oleh pemilik lahan (tingkat keluarga). Oleh karena itu, pada umumnya hutan rakyat tidak mengelompok pada suatu areal tertentu tetapi tersebar berdasarkan letak, luas kepemilikan lahan, dan keragaman pola usaha tani. Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan sendiri oleh pemilik hutan rakyat menyebabkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat ditentukan oleh kebijakan masing-masing pemilik hutan rakyat (Ma’rufi 2007). 2.3 Pengaturan Hasil Hutan Rakyat Kelestarian hasil diharapkan dapat dicapai melalui pengaturan hasil. Pengaturan hasil hutan memang diperlukan untuk menghitung volume kayu yang boleh ditebang pada setiap tahun agar jumlah tebangan selama periode tertentu
10
sama dengan jumlah riap dari seluruh tegakan. Pengusahaan hutan memerlukan waktu yang sangat panjang untuk mencapai saat pemanenan. Di lain pihak, pengelolaan hutan selalu didasarkan pada azas kelestarian sumberdaya. Pemungutan hasil hutan dalam azaz tersebut harus dilakukan melalui pengaturan hasil, sehingga tidak mengurangi potensi hutan di lapangan (Departemen Kehutanan 1992). Hal ini mendorong perlunya pengaturan hasil agar kegiatan pemungutan hasil dapat dilakukan secara kontinu, tetapi tidak menyebabkan terjadinya
kerusakan
sumberdaya
hutan
dan
bahkan
sedapat
mungkin
meningkatkan kualitas hutan. Pengaturan hasil itu sendiri didefinisikan oleh FAO (1998), diacu dalam Rosa (2003) sebagai penentuan kayu dan produk lainnya dalam preskripsi rencana pengelolaan, termasuk di mana, kapan, dan bagaimana hasil seharusnya diekstraksi. Menurut Osmaston (1968), beberapa hal yang dibutuhkan dan harus dicakup dalam pengaturan hasil, yaitu: (1) Perhitungan jumlah hasil yang akan diperoleh, (2) Bagaimana hasil tersebut dapat dibagi dalam hasil akhir dan penjarangan, dan (3) Penyusunan suatu rencana penebangan yang dibatasi oleh kepadatan tegakan yang akan ditebang. Menurut Sopiana (2011), pengaturan hasil merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam pengelolaan hutan rakyat yang memiliki andil besar dalam menentukan keberhasilan pengelolaan hutan rakyat. Dengan kata lain, usaha pengelolaan hutan rakyat dapat terwujud dengan baik apabila dimensi hasil dapat dicapai melalui serangkaian strategi dan kegiatan manajemen yang tepat. Namun sangat disayangkan, kegiatan pengaturan hasil hutan rakyat yang dilakukan oleh petani selama ini tidak mempertimbangkan kelestarian hasil. Oleh karena itu dalam unit kelembagaan pengelolaan hutan rakyat, masalah yang berkaitan dengan pengaturan hasil hutan rakyat perlu mendapat perhatian yang serius. Departemen Kehutanan (1992) menyebutkan bahwa meskipun saat ini sudah banyak metode pengaturan hasil, namun semuanya dapat digolongkan menjadi dua kelompok saja, yaitu: metode berdasarkan luas dan metode berdasarkan volume. Metode pengaturan hasil berdasarkan volume ada tiga macam, yaitu: (1) berdasarkan volume growing stock (tandon tegakan) saja, (2) berdasarkan riap saja, dan (3) berdasarkan riap dan growing stock. Oleh karena
11
itu, metode pengaturan hasil pada umumnya diklasifikasikan menjadi empat kelompok, yaitu: metode berdasarkan luas, metode berdasarkan volume, metode berdasarkan volume dan riap, dan metode berdasarkan jumlah pohon. Metode pengaturan hasil di hutan rakyat adalah metode berdasarkan jumlah pohon, berupa pengelolaan pohon demi pohon dari berbagai struktur tanaman pada lahan milik yang bertujuan untuk kelestarian pendapatan bagi setiap petani hutan rakyat. Dengan demikian, diharapkan rumusan dasar pengaturan kelestarian hasil ini dapat dimengerti dengan mudah oleh petani hutan rakyat. Pada metode pengaturan hasil ini tidak diperlukan perhitungan volume tegakan serta tidak memerlukan informasi yang teliti dari kualitas tempat tumbuh pohon. Suhendang (1995) menyebutkan bahwa terdapat beberapa catatan terhadap metode pengaturan hasil yang disarankan ini, sebagai berikut: 1. Penentuan AAC (Jatah Tebang Tahunan) dinyatakan dalam banyaknya pohon (dengan satuan pohon per tahun), sehingga segala bentuk konsekuensi yang berhubungan dengan besarnya AAC dan produksi yang diperoleh harus dinyatakan dalam satuan per pohon. Cara ini selain lebih sederhana dan mudah dilaksanakan, diduga tidak akan memberikan hasil yang merugikan apabila dibandingkan dengan perhitungan berdasarkan volume pohon. Untuk keperluan pengawasan dalam pelaksanaan penebangan, cara ini akan jauh lebih mudah dibandingkan dengan apabila berdasarkan volume pohon. Dengan cara ini, perhitungan banyaknya pohon dalam tegakan hutan sebelum ditebang sangat memungkinkan. Cara perhitungan demikian akan sangat menguntungkan baik bagi pendapatan pemerintah maupun dampaknya terhadap lingkungan. Dalam jangka panjang, dampak bagi pengusaha pun sangat baik. Oleh karena itu, akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan sebagai modal usahanya. 2. Penentuan AAC berdasarkan kombinasi antara kelompok jenis dan kelas diameter pohon memiliki dua keuntungan pokok, sebagai berikut: a. Memberikan ketelitian yang sangat tinggi apabila dikehendaki perkiraan besarnya volume kayu yang akan dihasilkan. b. Dapat mengatur pohon yang boleh ditebang untuk setiap kelompok jenis, sesuai dengan tingkat kesediaan dan kemampuan regenerasi.
12
Dalam menerapkan metode pengaturan hasil ini perlu diperhatikan beberapa anggapan (asumsi) dasar sesuai dengan keadaan yang berlaku di lapangan, salah satunya adalah anggapan dasar yang dipakai oleh Lembaga Penelitian IPB (1990), diacu dalam Ernawati (1995), sebagai berikut: 1. Tingkat pemanfaatan lahan pada petani hutan rakyat untuk penanaman kayu rakyat yang ada sekarang dianggap yang terbaik bagi para petani, sehingga tidak diperlukan lagi perubahan tingkat pemanfaatannya. Pengaturan hasil kayu rakyat semata-mata bertujuan untuk mengatur agar hasil dapat diperoleh secara berkesinambungan selama daur. 2. Pengurangan jumlah pohon per hektar dalam tegakan hanya terjadi sampai pada umur tertentu saja, dikarenakan setelah mencapai umur tersebut petani cenderung mempertahankannya hingga dapat dipanen. Adapun besarnya umur tanaman yaitu umur tiga tahun untuk tanaman berdaur pendek (< 10 tahun) dan umur sebelas tahun untuk tanaman berdaur panjang (> 10 tahun). 3. Besarnya daur bagi setiap petani dianggap dapat diatur, sesuai dengan prinsipprinsip yang dikehendaki. Untuk mencapai kebenaran anggapan ini, dalam pelaksanaannya diperlukan mekanisme tertentu yang perlu diatur dalam kelembagaan. Mekanisme tersebut merupakan pengaturan penyediaan dana yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan petani yang bersifat insidental. 2.4 Pertumbuhan dan Riap Pertumbuhan merupakan istilah yang sangat luas dan umum, secara sederhana dapat diartikan sebagai peningkatan ukuran mahkluk hidup secara berangsur-angsur melalui proses alami (Spurr 1952). Pertumbuhan didefinisikan oleh Davis dan Johnson (1987) sebagai pertambahan dimensi pohon seperti diameter dan tinggi dalam suatu tegakan. Pertumbuhan ke atas (tinggi) merupakan pertumbuhan primer, sedangkan pertumbuhan ke samping (diameter) merupakan pertumbuhan sekunder. Pertumbuhan terjadi secara simultan dan secara bebas dalam bagian-bagian pohon dan dapat diukur dengan berbagai parameter, yaitu: diameter, tinggi, luas tajuk, volume bebas cabang, dan sebagainya. Sedangkan menurut definisi Prodan (1968), pertumbuhan merupakan perkembangan yang menunjukkan pertambahan ukuran (dimensi) sistem organik selama hidupnya.
13
Menurut Tomey dan Korstian (1974), diacu dalam Rosa (2003), pertumbuhan pohon pada dasarnya dipengaruhi oleh sifat genetik dan kondisi lingkungan. Pada suatu jenis pohon dijumpai adanya keragaman baik secara geografis keragaman lokal, keragaman antar pohon, maupun keragaman di dalam pohon itu sendiri. Sedangkan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan secara langsung menurut Soekotjo (1984), diacu dalam Rosa (2003), antara lain: radiasi matahari (cahaya dan temperatur), air (atmosfer dan tanah), karbon dioksida (CO2), dan unsur hara. Dalam buku-buku teks kehutanan, biasanya dibedakan antara pengertian pertumbuhan dengan riap. Namun dalam percakapan sehari-hari, seringkali keduanya dianggap sama. Pertumbuhan ditetapkan sebagai terminologi bersifat umum, sedangkan riap lebih spesifik. Biasanya, riap dipakai untuk menyatakan (1) Pertambahan volume pohon atau tegakan per satuan waktu tertentu; (2) Pertambahan nilai tegakan; dan (3) Pertambahan diameter atau tinggi pohon setiap tahun (Departemen Kehutanan 1992). Pertumbuhan dan riap mempunyai hubungan erat dengan faktor umur dan memegang peranan penting dalam menentukan kebijakan operasional di bidang kehutanan terutama dalam pemeliharaan dan pemungutan hasil hutan tanaman (Sudiono & Suharlan 1977). Riap didefinisikan oleh Prodan (1968) sebagai pertambahan ukuran pohon atau tegakan dalam jangka waktu tertentu yang dapat diketahui dengan mengukur penambahan ukuran dimensi pohon, yaitu: diameter, tinggi, dan volume. Riap tegakan dibentuk oleh pohon yang masih hidup dalam tegakan, tetapi jumlah dari riap ini tidak sama dengan riap tegakannya karena dalam periode tertentu beberapa pohon dalam tegakan dapat saja mati, busuk atau beberapa lainnya ditebang. Osmaston (1968) menambahkan bahwa suatu tegakan merupakan karakter yang paling vital. Hubungannya tidak hanya dengan kesehatan pohon, jenis, dan bonita saja, tetapi juga dengan volume dan umur tegakan. Sedangkan Chapman (1950) menyatakan bahwa riap adalah rasio bersih tahunan dari suatu tegakan yang merupakan penjumlahan aljabar dari penambaan volume setiap tahun tersebut. Oleh karena itu, riap dibedakan menjadi dua klasifikasi, sebagai berikut: 1. Berdasarkan materi riap, dikenal riap diameter, riap tinggi, dan riap volume.
14
2. Berdasarkan jangka waktu penebangan, dibagi menjadi tiga yaitu riap tahunan berjalan (Current Annual Increment, CAI), riap rata-rata periodik (Periodic Annual Increment, PAI), dan riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increment, MAI). Davis dan Johnson (1987) menjelaskan bahwa riap merupakan suatu pertambahan dimensi pohon atau tegakan yang berlangsung hingga waktu tertentu. Setelah waktu tersebut riap akan berkurang dan suatu saat akan berhenti. Informasi riap volume per satuan luas pada jenis-jenis pohon komersial penting untuk diketahui dalam pengaturan hasil hutan produksi karena pada jenis-jenis pohon tersebut akan diproduksi hasil hutan berupa kayu melalui kegiatan penebangan pohon-pohon yang layak tebang. Departemen Kehutanan (1992) membedakan riap menjadi dua klasifikasi, yaitu: riap individu pohon dan riap tegakan, sebagai berikut: 1. Riap individu pohon Riap individu pohon adalah riap diameter, riap luas bidang dasar, riap tinggi, dan riap volume. Riap diameter biasanya diwakili oleh riap diameter setinggi dada. Riap diameter merupakan salah satu komponen yang penting dalam menentukan riap volume. Riap diameter tiap tahun dapat diukur dari lebar antara lingkaran tahun tertentu. Sebagaimana diketahui, lingkaran tahun juga dapat dipakai untuk menghitung umur pohon. Riap bidang dasar juga mempunyai pengaruh besar terhadap riap volume pohon. Riap ini diperoleh dari riap radial atau riap diameter. Riap tinggi juga mempunyai peranan dalam perhitungan riap volume, terutama untuk tegakan yang masih muda. Riap volume pohon adalah pertambahan volume selama jangka waktu tertentu. Dalam teori, riap volume dapat ditentukan secara tepat dengan mengurangi volume pada akhir periode dengan volume pohon tersebut pada awal periode. 2. Riap tegakan Riap volume suatu tegakan bergantung pada kepadatan pohon yang menyusun tegakan tersebut (degree of stocking), jenis, dan kesuburan tanah. Riap volume suatu pohon dapat dilihat dari kecepatan tumbuh diameter, yang setiap jenis mempunyai laju (rate) berbeda-beda. Semua jenis pohon pada waktu muda umumnya mempunyai kecepatan tumbuh diameter yang tinggi, kemudian
15
semakin tua semakin menurun sampai akhirnya berhenti. Hutan tanaman biasanya pertumbuhan diameter mengikuti grafik berbentuk huruf ”S” (sigmoid) karena pada mulanya tumbuh agak lambat kemudian cepat lalu menurun. Lambatnya pertumbuhan diameter pada waktu muda disebabkan tanaman hutan ditanam rapat untuk menghindari percabangan yang berlebihan dan penjarangan yang belum memberi hasil (tending thinning). Prodan (1968) membedakan riap menjadi tiga, sebagai berikut: 1. Riap Tahunan Berjalan (Current Annual Increment, CAI), riap dalam satu tahun berjalan. 2. Riap Periodik (Periodic Increment, PAI), riap dalam satu waktu periode tertentu. 3. Riap Rata-Rata Tahunan (Mean Annual Increment, MAI), riap rata-rata (per tahun) yang terjadi sampai periode waktu tertentu. 2.5 Unit Kelestarian Hutan Rakyat Kelestarian hutan mengandung makna kelestarian dalam hal keberadaan wujud biofisik hutan, produktivitas hutan, dan fungsi-fungsi ekosistem hutan yang terbentuk akibat terjadinya interaksi antar komponen ekosistem hutan dengan komponen lingkungannya (Suhendang 2004). Disebutkan oleh Awang et al. (2005) bahwa manajemen kelestarian hutan adalah manajemen suatu kelestarian untuk menghasilkan produksi secara kontinu (lestari) dengan tujuan pencapaian keseimbangan antara pertumbuhan dan pemungutan hasil (hasil produksi) setiap tahun atau periode tertentu. Sedangkan tujuan manajemen hutan rakyat adalah untuk mencapai kelestarian pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh masyarakat pemilik lahan hutan rakyat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai kelestarian hutan rakyat tersebut, Awang et al. (2005) menyatakan diperlukannya suatu unit kelestarian hutan rakyat yang menentukan unit kelestarian hasil hutan rakyat. Unit tersebut berfungsi sebagai unit pengelolaan yang mempunyai kewajiban mengelola hasil hutan rakyat untuk memperoleh keuntungan ekonomis dan ekologis dengan melaksanakan kegiatan yang berkesinambungan untuk mencapai kelestarian hutan rakyat. Unit kelestarian hutan rakyat dipengaruhi secara langsung oleh kondisi hutan rakyat itu sendiri dan juga oleh faktor dari luar hutan rakyat.
16
Departemen Kehutanan (2001), diacu dalam Supratman dan Alam (2009) menyatakan bahwa unit manajemen dalam konsep hutan kemasyarakatan adalah wilayah pengelolaan hutan kemasyarakatan yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan ketergantungan masyarakat setempat terhadap kawasan hutan di sekitarnya dan potensi hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat setempat. Wilayah pengelolaan ini terdiri atas sejumlah unit-unit lokasi sebagai unit usaha yang dikelola oleh kelompok masyarakat. Davis (1966), diacu dalam Supratman dan Alam (2009) mendefinisikan unit manajemen hutan atau unit kelestarian hasil adalah suatu unit pengelolaan untuk menghasilkan produksi hasil hutan secara lestari dengan tujuan pencapaian keseimbangan antara pertumbuhan dan pemungutan hasil setiap tahun atau setiap periode tertentu. Unit manajemen dalam pengertian ini berfokus pada pengelolaan unit-unit tegakan untuk menghasilkan kayu secara lestari. Sedangkan Mosher (1986), diacu dalam Supratman dan Alam (2009) memandang unit manajemen dari sisi wilayah pelayanan adalah keterkaitan unit-unit usahatani dari suatu wilayah dengan wilayah lain dalam hal penyediaan pelayanan pasar hasil usahatani dan pasar faktor-faktor produksi serta pelayanan lainnya yang terkait dengan usahatani. Konsep lokalitas usahatani dan distrik usahatani yang dikemukaan oleh Mosher adalah konsep unit manajemen dengan fokus pada wilayah pelayanan. Dalam hal ini, suatu unit manajemen dibangun berdasarkan hubungan-hubungan fungsional antara satu wilayah desa dengan pusat-pusat pelayanan di wilayah lainnya yang menyediakan fasilitas-fasilitas usahatani dan pasar produksi usahatani. Berdasarkan pengalaman pengelolaan hutan rakyat di Desa Kedungkeris, Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul, Awang et al. (2005) menguraikan dan menjelaskan tahapan-tahapan yang dilakukan untuk membangun unit manajemen hutan rakyat, sebagai berikut: 1. Pemetaan partisipatif kawasan hutan rakyat Pemetaan partisipatif merupakan kegiatan pemetaan yang dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat pemilik lahan hutan rakyat dan pihak pendamping. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui luas dan batas kepemilikan hutan rakyat untuk mewujudkan kelestarian hasil hutan rakyat.
17
Sasaran dari kegiatan pemetaan ini adalah lahan hutan rakyat yang dimiliki oleh masyarakat. Pengertian lahan hutan rakyat adalah jenis penggunaan lahan yang biasa ditanami dengan jenis tanaman berkayu, yaitu berupa pekarangan, tegalan, dan alas. 2. Inventarisasi tegakan hutan rakyat Tujuan inventarisasi ini adalah untuk mengetahui potensi kayu hutan rakyat yang dikelola oleh masyarakat. Potensi hutan rakyat ini berupa jenis pohon, jumlah pohon, dan volume kayu. Dengan mengetahui potensi hutan rakyat tersebut, maka dapat menjadi pedoman untuk melakukan pengaturan hasil kayu hutan rakyat, agar dapat mewujudkan hutan rakyat lestari. Dan untuk selanjutnya, inventarisasi juga akan dikembangkan untuk inventarisasi hasil hutan rakyat non kayu. 3. Perencanaan pengaturan hasil hutan rakyat (kayu) Tujuan pengaturan hasil hutan rakyat adalah untuk menghitung hasil tebangan kayu per tahun, agar hutan rakyat menjadi lestari. Hasil tebangan dapat dinyatakan dalam volume kayu (m3/tahun) dan jumlah pohon (pohon/tahun). Perhitungan hasil tebangan tahunan didasarkan pada potensi hutan rakyat yang diperoleh dari kegiatan inventarisasi. Perencanaan pemanenan hasil hutan rakyat berdasarkan waktu dan tempat, selanjutnya dikembangkan berdasarkan pada tebang pilih (dengan kriteria pohon yang siap tebang). 4. Model kelembagaan pendukung untuk pengelolaan hutan rakyat lestari Kegiatan yang dilakukan adalah fasilitas untuk mendukung penguatan kelembagaan, pelatihan pendukung pengelolaan hutan rakyat, pelatihan untuk meningkatkan keterampilan seperti pengolahan hasil pertanian, pengawetan pakan ternak, pembuatan pupuk organik, kerajinan kayu, dan lain-lain. Sedangkan menurut Mashudi (2010) selaku Humas Unit III Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, pembentukan unit pengelolaan hutan rakyat lestari dan penyusunan rencana pengelolaannya dilakukan melalui tahapan kegiatan, sebagai berikut: 1. Sosialisasi program pengembangan hutan rakyat lestari kepada petani atau kelompok petani hutan rakyat. Sosialisasi merupakan tahapan penjelasan program kepada para pihak yang akan melakukan kerjasama, atau pihak-pihak
18
yang terkait dalam proses pengembangan hutan rakyat lestari. Sosialisasi dilakukan kepada Dinas Kehutanan Propinsi/Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa, masyarakat, dan pihak-pihak yang diharapkan akan mendukung kegiatan ini, dengan tujuan terbentuknya pemahaman para pihak terhadap kegiatan pengembangan hutan rakyat lestari. 2. Koordinasi kegiatan dengan stakeholder. Koordinasi dengan stakeholder Pemerintah Daerah (Kabupaten, Kecamatan, Desa) dilakukan dalam rangka membangun kesepahaman dan kesepakatan dengan stakeholder dalam rangka pengembangan hutan rakyat. Kesepahaman dan kesepakatan tersebut dapat dituangkan dalam Nota Kepahaman (Memorandum of Understanding − MoU). 3. Pembentukan kelompok tani hutan rakyat sebagai lembaga pengelola hutan rakyat. Petani hutan rakyat yang bersedia dan sanggup untuk bergabung dan terlibat dalam kegiatan pengembangan hutan rakyat lestari dikelompokkan berdasarkan wilayah pangkuan dusun atau desa ke dalam suatu Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) yang merupakan suatu unit kelestarian dan akan membentuk suatu unit pengelolaan hutan rakyat lestari. 4. Pendataan persil dan pemetaan serta pembagian wilayah pengelolaan dengan memanfaatkan batas persil tanah masyarakat. Pendataan persil adalah kegiatan inventarisasi lahan milik masyarakat yang telah terdaftar sebagai anggota KTHR. Pendataan dilakukan secara bersama antara pemilik lahan dengan Petugas Perum Perhutani atau fasilitator. Dalam terminologi perencanaan hutan dalam kawasan persil setara dengan petak/anak petak. Data yang dihimpun dalam kegiatan ini, meliputi: nama pemilik persil, alamat, luas, status kepemilikan tanah, dan No SPPT. 5. Penataan unit pengelolaan hutan rakyat lestari. Prasyarat yang diperlukan untuk pembentukan unit manajemen hutan rakyat lestari selain pembentukan kelompok tani hutan rakyat (KTHR) adalah kegiatan penataan kawasan unit pengelolaan untuk mendapatkan data yang definitif. Penataan unit pengelolaan hutan rakyat lestari merupakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk database penyusunan rencana pengelolaan hutan rakyat lestari, sebagai berikut:
19
a. Penandaan batas persil Kegiatan ini dilakukan untuk mempermudah proses inventarisasi maupun monitoring dan evaluasi, diperlukan penandaan batas berupa patok bambu. Kegiatan ini tidak bersifat mengikat, namun dilakukan secara kesepakatan dengan semua anggota KTHR. b. Pengukuran dan perpetaan Tahapan berikutnya setelah pendataan dan penandaan persil adalah pengukuran dan perpetaan. Pengukuran dan perpetaan menggunakan alat Global Position System (GPS). Proses ini dilakukan secara bersama antara pemilik lahan dengan Perum Perhutani. Untuk memperoleh tingkat keterampilan yang memadai, maka fasilitator dan masyarakat sebelumnya diberikan pelatihan secara khusus. c. Inventarisasi potensi hutan rakyat Setelah diperoleh kepastian areal pengembangan hutan rakyat lestari, maka selanjutnya
dilakukan
inventarisasi
potensi
hutan
rakyat.
Obyek
inventarisasi adalah tegakan yang terdapat pada setiap persil lahan milik anggota KTHR. Data yang dicatat dalam kegiatan ini, yaitu: luas, jenis tegakan, jumlah pohon, keliling pohon, dan potensi bukan kayu lainnya sebagai catatan. Inventarisasi ini dilakukan secara partisipatif antara anggota KTHR dengan Perum Perhutani. d. Pembentukan unit kelestarian dan unit pengelolaan hutan rakyat lestari Sebagai sarana terbangunnya kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang selaras dan terintegrasi, serta demi terjaminnya kelestarian pengusahaan maupun kelestarian sumberdaya hutan rakyat, diperlukan sebuah Forest Management Unit (Satuan Pengelolaan Hutan). Pembagian unit kelestarian dan pengelolaan tersebut adalah sebagai berikut : 1) Persil Persil merupakan satuan kelestarian terkecil dalam pengelolaan hutan rakyat (setara petak/anak petak). Persil adalah satuan area hutan rakyat yang dimiliki secara sah oleh seorang anggota KTHR. Dimungkinkan seorang anggota memiliki lebih dari satu persil.
20
2) Unit kelestarian Unit kelestarian hutan rakyat adalah gabungan dari beberapa persil yang berada dalam satuan desa. Namun, dalam hal-hal khusus apabila sebuah dusun memadai untuk dijadikan unit kelestarian (perihal pertimbangan luas ataupun potensi) maka satuan dusun dapat ditetapkan sebagai satuan unit kelestarian. Satuan ini merupakan unit kelestarian yang harus terjaga tingkat kelestariannya dan tidak diperkenankan terjadi over cutting. Oleh sebab itu, perlu dihitung nilai etat yang didasarkan pada hasil inventarisasi tegakan atau potensi hutan rakyat. 3) Unit pengelolaan Unit pengelolaan hutan rakyat merupakan gabungan dari beberapa kelompok tani hutan rakyat. Satuan wilayah administratif dari unit pengelolaan
hutan
rakyat
adalah
kabupaten/kota.
Namun,
dimungkinkan dalam sebuah kabupaten/kota terdapat lebih dari satu unit pengelolaan hutan rakyat. Sebuah unit pengelolaan hutan rakyat dalam menjalankan operasional pengelolaannya didasarkan pada sebuah bussines plan atau disebut dengan Rencana Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari (RPHRL). 6. Penyusunan rencana pengelolaan hutan rakyat lestari secara partisipatif antara kelompok tani hutan rakyat, perhutani, dan pemda (dinas/instansi terkait). Rencana pengelolaan hutan rakyat lestari disusun berdasarkan unit pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan segenap stakeholder.
Untuk mengantisipasi perubahan area
pengelolaan hutan rakyat yang sangat dinamis dan untuk menjamin kelestarian sumberdaya maupun pengusahaannya, maka diperlukan revisi secara berkala setiap tahun. Penyusunan RPHRL didasarkan pada hasil penetapan, penataan area pengembangan, serta hasil inventarisasi potensi hutan rakyat. Dengan terbentuknya unit pengelolaan hutan rakyat lestari maka dapat melakukan pengaturan jumlah tebangan tahunan atau bulanan atas dasar hasil inventarisasi dan daur yang ditetapkan secara bersama, sehingga jumlah tebangannya tidak melampaui potensi kelestarian serta mempunyai aturan
21
internal lembaga pengelola (KTHR, BUMP, Koperasi) atas dasar kesepakatan anggota menyangkut kegiatan pengelolaan hutan rakyat seperti penanaman, pemeliharaan, penjarangan, penebangan, dan pemasaran. Sopiana (2011) menyebutkan bahwa dalam membentuk lembaga pengaturan hasil secara berkelompok perlu diperhatikan pula modal sosial yang selama ini telah ada dalam kehidupan masyarakat, sehingga lembaga pengaturan hasil yang terbentuk dapat sesuai dengan modal sosial yang telah ada dalam kehidupan masyarakat setempat. Salah satu modal sosial yang terpenting dalam membentuk lembaga pengaturan hasil secara berkelompok ini adalah kegiatan simpan-meminjam. Kegiatan simpan-meminjam selama ini sangat erat kaitannya dengan suatu kelembagaan. Dengan adanya lembaga pengaturan hasil, akan diberlakukan kesempatan mengenai waktu panen pohon sesuai dengan daur optimal yang paling menguntungkan untuk seluruh anggotanya, sehingga anggota tidak boleh memanen pohon seperti kebiasaan pada umumnya memanen sesuai dengan daur butuh. Kendala yang mungkin dihadapi oleh para anggotanya nanti, misalnya ketika lahan hutan rakyat mereka belum mendapat giliran untuk memanen sedangkan mereka membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak. Hal tersebut dapat diatasi dengan modal sosial yang selama ini telah ada di masyarakat yakni dengan memberikan pinjam kepada pihak yang membutuhkan tersebut.
22
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilakukan pada hutan rakyat yang berada di Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Adapun pelaksanaannya dari bulan Juli 2011 sampai bulan Agustus 2011. 3.2 Alat dan Objek Penelitian Penelitian ini memerlukan beberapa alat yang digunakan, yaitu: alat pengukur keliling pohon (pita ukur), galah (bambu) untuk mengukur tinggi pohon, tally sheet, alat pengukur jarak (meteran), alat tulis, kamera digital, kalkulator, perangkat keras, dan perangkat lunak. Sedangkan objek penelitiannya adalah tegakan hutan rakyat Desa Sumberejo yang dimiliki oleh petani hutan rakyat. 3.3 Jenis dan Sumber Data Terdapat dua jenis sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari inventarisasi, pengamatan, dan interview. Sedangkan data sekunder adalah data yang bersumber dari instansi terkait. Rinciannya seperti pada Tabel 1 berikut. Tabel 1 Jenis data yang dikumpulkan Jenis Data
Variabel
Data yang dikumpulkan
Metode
Data Primer
Sejarah hutan rakyat Sistem pengelolaan hutan rakyat
Sejarah hutan rakyat
Wawancara
Jenis tanaman Pola tanam Sistem pengelolaan hutan rakyat
Potensi hutan rakyat
Potensi tegakan (jenis tanaman, keliling pohon setinggi dada (Kbh), tinggi total (Tt), dan jumlah pohon) Kesediaan petani hutan rakyat untuk menerapkan pengaturan hasil dan membentuk unit kelestarian hutan rakyat Perumusan solusi atas kendala yang dihadapi petani hutan rakyat agar bersedia menerapkan pengaturan hasil dan membentuk unit kelestarian hutan rakyat Letak dan luas wilayah, keadaan fisik (topografi, jenis tanah, dan iklim), keadaan sosial ekonomi (keadaan penduduk, mata pencaharian, pendidikan, agama, dan budaya) Tinjauan pustaka terkait penelitian
Inventarisasi Wawancara Pengamatan, Wawancara Inventarisasi
Kesediaan Solusi
Data Sekunder
Kondisi umum lokasi penelitian
Literatur
Wawancara Wawancara
Studi pustaka
Studi pustaka
23
3.4 Metode Pengambilan Contoh Penentuan lokasi dilakukan menggunakan metode sampel terpilih (purpossive sampling) adalah pada lahan hutan rakyat yang mendapat sertifikasi pertama kali. Berdasarkan kondisi tegakan di Desa Sumberejo yang tidak terlalu heterogen (baik dari kerapatan pohon, jarak tanam, maupun sebaran diameter pohon) dan dengan mempertimbangkan aspek biaya, waktu, serta tenaga, maka pengambilan sampel lahan hutan rakyat menggunakan intensitas sampling (IS) sebesar 5%. Pengambilan sampel diawali dengan pengambilan IS 5% dari luas total lahan hutan rakyat Desa Sumberejo, kemudian pengambilan IS 5% dari luas total lahan hutan rakyat di masing-masing dusun, dan pengambilan IS 5% dari luas total tegalan dan pekarangan milik petani hutan rakyat di masing-masing dusun. Dalam desain penarikan sampel teknik non probabilitas menurut Narimawati dan Munandar (2008), metode ini disebut juga dengan teknik ad hoc quotas adalah teknik yang menekankan pada kuota, misalnya responden yang diteliti 65% terdiri dari wanita, dan peneliti bebas memilih responden siapa saja asal kuota terpenuhi. Berdasarkan teknik tersebut, maka digunakanlah pemikiran bahwa luas lahan hutan rakyat yang akan diteliti adalah IS 5% terdiri dari tegalan dan pekarangan, dan peneliti bebas memilih lahan hutan rakyat mana saja yang akan diteliti asal kuota terpenuhi. Sedangkan responden yang dipilih untuk keperluan wawancara adalah responden (petani hutan rakyat) yang pada lahannya telah dilakukan pengukuran potensi baik di tegalan maupun di pekarangan. Oleh karena itu, banyaknya jumlah responden tergantung pada lahan hutan rakyat yang dilakukan pengukuran potensi sebesar IS 5% adalah sejumlah 25 orang. 3.5 Metode Pengumpulan Data 3.5.1 Metode pengumpulan data primer Data primer dikumpulkan melalui kegiatan inventarisasi, pengamatan, dan wawancara. Kegiatan inventarisasi digunakan untuk pengukuran potensi hutan rakyat. Sedangkan kegiatan pengamatan dan wawancara dilakukan untuk pengumpulan data karakteristik sistem pengelolaan hutan rakyat terhadap pemilik lahan maupun pihak-pihak terkait lainnya.
24
Melihat kondisi hutan rakyat di lokasi penelitian dengan tingkat kerapatan pohon yang cukup tinggi dan jarak tanam yang tidak beraturan serta mengingat keterbatasan tenaga, waktu, dan biaya, maka digunakan metode inventarisasi menurut Direktorat Jenderal Kehutanan Nomor 143/Kpts/DJ/I/1974 tentang Peraturan Inventarisasi Hutan Jati dan Peraturan Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) Khusus Kelas Perusahaan Tebang Habis Jati, Perum Perhutani. Dalam metode tersebut pengukuran dibedakan berdasarkan umur tegakan, yaitu: umur muda, umur sedang, dan umur tua. Plot ukur yang digunakan adalah circular plot atau plot lingkaran dengan luas 0,02 ha (diameter lingkaran 7,94 m) untuk tegakan dominan umur muda, luas 0,04 ha (diameter lingkaran 11,28 m) untuk tegakan dominan umur sedang, dan luas 0,1 ha (diameter lingkaran 17,8 m) untuk tegakan dominan umur tua. Dalam pelaksanaannya di lapangan, penentuan jumlah dan penempatan plot disesuaikan dengan kondisi tegakan hutan rakyat milik responden. Adapun pengukuran dan pencatatan mencakup luas lahan, jenis pohon, keliling pohon dan tinggi total pohon. 3.5.2 Metode pengumpulan data sekunder Data sekunder yang berupa informasi diambil melalui studi pustaka sebagai data penunjang yang dapat melengkapi dan mendukung hasil penelitian. Studi pustaka dilakukan di Perpustakaan LSI, Perpustakaan Fakultas Kehutanan, Perpustakaan Departemen Manajemen Hutan, serta Perpustakaan Pusdiklat Kehutanan Bogor. Selain itu data sekunder ini juga diperoleh dari sumber yang dapat dipercaya, seperti instansi-instansi terkait baik dari lembaga pemerintah tingkat desa maupun kecamatan. Data sekunder yang diperlukan meliputi kondisi umum lokasi penelitian berupa letak dan luas wilayah, keadaan fisik (topografi, jenis tanah, dan iklim), dan keadaan sosial ekonomi (keadaan penduduk, mata pencaharian, pendidikan, agama, dan budaya). 3.6 Metode Pengolahan dan Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua teknik analisis, yaitu: analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. 3.6.1 Analisis kuantitatif Teknik analisis kuantitatif lebih menekankan pada pendeskripsian nominal atau data berupa angka yaitu dari hasil pengukuran potensi di lapang yang
25
nantinya akan dimasukkan ke dalam tabel dan selanjutnya dianalisis menjadi teks naratif berdasarkan literatur yang ada. 3.6.1.1 Penentuan klasifikasi umur berdasarkan umur rata-rata menurut modus Pengambilan data umur mengacu pada narasumber bukan mengacu pada catatan dari pemilik hutan rakyat, sehingga penghitungan umur yang dilakukan yaitu menggunakan rataan modus menurut kelas diameter. Rataan modus itu sendiri adalah rataan untuk ungrouped data. Dalam hal ini, rataan tersebut digunakan untuk menentukan umur yang masuk ke dalam kelas diameter tertentu. Pada prinsipnya, rataan modus diperoleh dari nilai yang paling sering muncul atau nilai yang frekuensinya paling tinggi. Nilai yang dimaksud di sini adalah umur, sehingga umur yang paling sering muncul di kelas diameter tertentu akan dijadikan umur pada kelas diameter tersebut. Hal ini akan lebih diperjelas melalui contoh perhitungan klasifikasi umur untuk jenis jati di tegalan berikut. Untuk jenis lainnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 2 Klasifikasi umur jenis jati di tegalan berdasarkan umur rata-rata menurut modus Kelas Diameter (cm) Umur lapangan Umur yang digunakan menurut modus 1 1-10 1 5 5 11-20 5 10 10 10 21-30 15 15 20 20 31-40 25 25 41-50 45 45 3.6.1.2 Perhitungan pendugaan potensi tegakan hutan rakyat 1. Potensi kerapatan pohon per hektar (Widayati & Riyanto 2005) NPL
Ni
NH
NPL LPL
Keterangan: NPL = Jumlah individu pohon per plot ukur (pohon/plot) Ni = Pohon ke-i NH = Kerapatan pohon per hektar (pohon/ha) LPL = Luas plot ukur (0,02 ha atau 0,04 ha atau 0,1 ha)
26
a. Rata-rata potensi kerapatan pohon per hektar NH
=
∑
NH
Keterangan: NH = Rata-rata kerapatan pohon per hektar (pohon/ha) NH = Kerapatan pohon per hektar ke-i (pohon/ha) n = Jumlah petani responden b. Total potensi kerapatan pohon per hektar NH = NH
+ NH
Keterangan: NH = Total kerapatan pohon per hektar (pohon/ha) NH = Rata-rata kerapatan pohon per hektar jenis pohon x (pohon/ha) NH = Rata-rata kerapatan pohon per hektar jenis pohon y (pohon/ha) x = Jati y = Mahoni c. Persentase potensi kerapatan pohon per hektar NH
/
=
NH NH
/
x 100
Keterangan: NH / = Persentase kerapatan pohon per hektar jenis x atau y (%) NH / = Rata-rata kerapatan pohon per hektar jenis x atau y (pohon/ha) = Total kerapatan pohon per hektar (pohon/ha) NH x = Jati y = Mahoni 2. Potensi kerapatan pohon per petani NP = NH x LP Keterangan: NP = Kerapatan pohon per petani (pohon/petani) NH = Kerapatan pohon per hektar (pohon/ha) LP = Luas lahan hutan rakyat milik petani (ha/petani) a. Rata-rata potensi kerapatan pohon per petani NP
=
∑
NP
Keterangan: NP = Rata-rata kerapatan pohon per petani (pohon/petani) NP = Kerapatan pohon per petani ke-i (pohon/petani) n = Jumlah petani
27
b. Total potensi kerapatan pohon per petani NP = NP + NP Keterangan: NP = Total kerapatan pohon per petani (pohon/petani) NP = Rata-rata kerapatan pohon per petani jenis pohon x (pohon/petani) NP = Rata-rata kerapatan pohon per petani jenis pohon y (pohon/petani) x = Jati y = Mahoni c. Persentase potensi kerapatan pohon per petani NP
=
/
NP NP
/
x 100
Keterangan: NP / = Persentase kerapatan pohon per petani jenis x atau y (%) NP / = Rata-rata kerapatan pohon per petani jenis x atau y (pohon/petani) NP = Total kerapatan pohon per petani (pohon/petani) x = Jati y = Mahoni 3. Potensi volume pohon per hektar per petani (Widayati & Riyanto 2005)
Dbh = V
K π
= 0,25 x π x Dbhi2 x Tti x fi V
VPL VH
VPL LPL
Keterangan: Dbhi = Diameter setinggi dada (tinggi pengukuran 1,3 m dari atas permukaan tanah) pohon ke-i (m) Kbhi = Keliling setinggi dada (tinggi pengukuran 1,3 m dari atas permukaan tanah) pohon ke-i (m) π = Konstanta (3,14) Vi = Volume pohon ke-i (m3) Tti = Tinggi total pohon ke-i (m) = faktor bentuk pohon ke-i (jati: 0,6 dan mahoni: 0,7) fi VPL = Volume pohon per plot ukur (m3/plot) VH = Volume pohon per hektar (m3/ha) LPL = Luas plot ukur (0,02 ha atau 0,04 ha atau 0,1 ha)
28
a. Rata- rata potensi volume pohon per hektar VH
=
∑
VH
Keterangan: VH = Rata-rata volume pohon per hektar (m3/ha) VH = Volume pohon per hektar ke-i (m3/ha) n = Jumlah petani responden b. Total potensi volume pohon per hektar VH = VH
+ VH
Keterangan: VH = Total volume pohon per hektar (m3/ha) VH = Rata-rata volume pohon per hektar di lahan x (m3/ha) VH = Rata-rata volume pohon per hektar di lahan y (m3/ha) x = Lahan hutan rakyat di tegalan y = Lahan hutan rakyat di pekarangan c. Persentase potensi volume pohon per hektar VH
=
VH VH
x 100
Keterangan: VH = Persentase volume pohon per hektar (%) VH = Rata-rata volume pohon per hektar (m3/ha) VH = Total volume pohon per hektar (m3/ha) 4. Potensi volume pohon per petani VP = VH x LP Keterangan: VP = Volume pohon per petani (m3/petani) VH = Volume pohon per hektar (m3/ha) LP = Luas lahan hutan rakyat milik petani (ha/petani) a. Rata-rata potensi volume pohon per petani VP
=
∑
VP
Keterangan: VP = Rata-rata volume pohon per petani (m3/petani) NP = Volume pohon per petani ke-i (m3/petani) n = Jumlah petani b. Total potensi kerapatan pohon per petani VP = VP + VP Keterangan: VP = Total volume pohon per petani (m3/petani) VP = Rata-rata volume pohon per petani di lahan x (m3/petani)
29
VP x y
= Rata-rata volume pohon per petani di lahan y (m3/petani) = Lahan hutan rakyat di tegalan = Lahan hutan rakyat di pekarangan
c. Persentase potensi kerapatan pohon per petani VP
=
VP VP
x 100
Keterangan: VP = Persentase volume pohon per petani (%) VP = Rata-rata volume pohon per petani (m3/petani) VP = Total volume pohon per petani (m3/petani) 3.6.1.3 Selang kelas Dalam penelitian ini digunakan selang kelas terhadap kelas diameter dan kelas umur. Selang kelas digunakan agar dapat menginformasikan suatu data dengan lebih praktis. Pada kelas diameter dibuat selang kelas per sepuluh sentimeter. Sedangkan pada kelas umur dibuat selang kelas per lima tahun untuk jenis jati dan selang kelas per dua tahun untuk jenis mahoni. Selang kelas tersebut dibuat dengan mempertimbangkan data yang tersedia di lapang. 3.6.1.4 Perhitungan riap diameter rata-rata tahunan Perhitungan riap diameter rata-rata tahunan (MAId) berdasarkan rumus Prodan (1968) yang disesuaikan dengan data di lapang, sebagai berikut: 1. Riap Rata-Rata Tahunan Diameter (MAId)
MAI
D
D
∆D
T
T
∆T
Keterangan: MAI = Riap diameter tahunan berjalan pada kelas diameter i (cm/th) = Diameter pohon umur t+k tahun pada kelas diameter i (cm) D (t+k)i = Umur pohon setelah penambahan selang kelas umur pada kelas diameter i (tahun) D = Diameter pohon umur t tahun pada kelas diameter i (cm) ti = Umur pohon pada kelas diameter i (tahun) T = Umur pohon t+k tahun pada kelas diameter i (tahun) T = Umur pohon t tahun pada kelas diameter i (tahun) ∆D = Selisih diameter pohon umur t+k tahun dengan diameter pohon umur t tahun pada kelas diameter i (cm) ∆T = Selisih umur pohon t+k tahun dengan umur pohon t tahun pada kelas diameter i (tahun) i = Kelas diameter (cm)
30
3.6.1.5 Perhitungan pengaturan hasil menurut jumlah batang Pengaturan hasil dibuat untuk menentukan sejumlah pohon yang boleh ditebang dengan satuan per hektar per tahun. Dalam pengaturan hasil ini digunakan dasar perhitungan riap diameter rata-rata tahunan. Melalui riap tersebut, dapat diketahui sejumlah pohon yang pindah dari suatu kelas diameter tertentu ke kelas diameter berikutnya sehingga dapat ditentukan banyaknya pohon yang boleh ditebang dengan rumus: N = N
-N
Keterangan: = Jumlah pohon yang boleh ditebang pada kelas diameter x (batang) N = Jumlah pohon yang pindah dari kelas diameter x-1 (batang) N N = Jumlah pohon yang pindah ke kelas diameter x+1 (batang) 3.6.2 Analisis kualitatif Teknik analisis kualitatif lebih menekankan pada hasil penelitian yang berupa wawancara langsung kepada responden yang bersifat pendeskripsian secara utuh terhadap gambaran informasi dari responden. Dalam prakteknya, setiap responden diwawancara dengan diberi beberapa pertanyaan mengenai kesediaannya terhadap penerapan pengaturan hasil, pembentukan unit kelestarian hutan rakyat dan solusi atas kendala yang dihadapi. Lalu, data hasil wawancara tersebut diolah dengan mempersentasekan jumlah responden yang bersedia dan keberatan terhadap jumlah responden total. Hasil persentase tersebut dianalisis berdasarkan pertimbangan atas kesediaan dari masing-masing responden dengan perhitungan sebagai berikut: 1. Persentase pertimbangan responden terhadap kesediaannya dalam menerapkan pengaturan hasil, membentuk unit kelestarian hutan rakyat, dan menanggapi solusi atas kendala yang dihadapi.
PR
JRP JSR
x 100
Keterangan: PR = Persentase responden dengan pertimbangan x (%) JRP = Jumlah responden yang memiliki pertimbangan x (orang) JSR = Jumlah seluruh responden (orang) 2. Persentase responden yang bersedia
RB
∑
PR n
31
Keterangan: RB = Persentase responden yang bersedia (%) PR = Persentase responden dengan pertimbangan x (%) n = Jumlah pertimbangan 3. Persentase responden yang keberatan
RTB = 100% − RB Keterangan: RTB = Persentase responden yang keberatan (%) RB = Persentase responden yang bersedia (%)
32
BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Letak dan Luas Wilayah Desa Sumberejo terletak di Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah. Secara astronomis, terletak pada 7°32’ − 8°15’ LS dan 110°41’ − 111°18’ BT. Jarak desa ke arah ibu kota kecamatan sejauh 6 km, sedangkan ke arah ibu kota kabupaten sejauh 40 km. Adapun batas wilayah desa sebelah Utara dengan Desa Ronggojati, sebelah Timur dengan Desa Batuwarno, sebelah Selatan dengan Kelurahan Selopuro, dan sebelah Barat dengan Desa Temon, Kecamatan Baturetno. Desa Sumberejo memiliki wilayah seluas 546 ha yang terdiri dari delapan dusun, yaitu: Dusun Puthuk, Dusun Rowo, Dusun Rembun, Dusun Gembuk, Dusun Kalinekuk, Dusun Semawur, Dusun Ngandong, dan Dusun Wates. Wilayah ini terbagi menjadi beberapa penggunaan lahan, antara lain: tanah sawah seluas 24 ha, rawa seluas 3 ha, tanah fasilitas umum seluas 29 ha, hutan rakyat/tegalan seluas 382 ha, pekarangan dan pemukiman seluas 109 ha. 4.2 Keadaan Fisik 4.2.1 Topografi dan jenis tanah Berdasarkan profil Kecamatan Batuwarno (2011), Desa Sumberejo berada pada ketinggian 274 mdpl yang sebagian besar terdiri dari pegunungan dengan 55% daerah berombak hingga berbukit dan 15% daerah datar hingga berombak. Jenis tanah Desa Sumberejo adalah litosol mediteran coklat basa dengan struktur tanah yang didominasi oleh batuan gamping sebagai ciri khasnya. Kondisi geografis dan struktur geologis dengan batuan kapur yang berlapis memberi kesan bahwa daerah ini tampak sebagai kawasan batu bertanah. 4.2.2 Iklim Berdasarkan data statistik Wonogiri dalam angka 2010, Kecamatan Batuwarno memiliki iklim tropis dengan dua musim dalam satu tahun, yaitu: musim kemarau dan musim penghujan. Curah hujan rata-rata sepanjang tahun 2009 mencapai 149 mm/th dengan curah hujan tertinggi pada bulan Februari.
33
4.3 Keadaan Sosial Ekonomi 4.3.1 Keadaan penduduk Berdasarkan hasil laporan data potensi Desa Sumberejo pada bulan Februari 2011, diketahui jumlah penduduk Desa Sumberejo sebanyak 2.139 jiwa dari 668 kepala keluarga yang terdiri atas 1.055 laki-laki dan 1.084 perempuan. Jumlah penduduk berdasarkan sebaran umur dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah penduduk Desa Sumberejo berdasarkan sebaran umur No. Sebaran umur (tahun) 1. 0-1 2. 2-4 3. 5-6 4. 7-15 5. 16-21 6. 22-59 7. ≥ 60 Sumber: Potensi Desa Sumberejo (2011)
Jumlah (orang) 72 96 52 147 185 1.134 373
Persentase (%) 3 4 2 7 9 53 17
Data di atas menginformasikan bahwa jumlah penduduk terbanyak berada pada sebaran umur 22-59 tahun. Umur tersebut merupakan usia produktif untuk bekerja sehingga banyak penduduk yang merantau untuk mencari kerja ke kotakota besar. Hal inilah yang menyebabkan jarang ditemui penduduk dengan sebaran umur 22-59 tahun yang masih tinggal di desa. Bahkan keadaan ini sudah menjadi suatu tradisi bagi Desa Sumberejo. 4.3.2 Mata pencaharian Penduduk Desa Sumberejo sebagian besar bekerja di sektor pertanian sebagai petani dan buruh tani. Buruh tani adalah orang yang menanam tanaman pertanian pada lahan milik orang lain, kemudian hasil pertanian tersebut dibagi antara pemilik lahan dengan penggarap sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati. Pada umumnya, pembagian hasil pertanian 40% pemilik lahan dan 60% penggarap, namun ada pula yang bersepakat untuk imbang, dimana baik pemilik maupun penggarap memperoleh 50% dari hasil panen. Usaha pertanian ini umumnya dilakukan pada lahan kering seperti tegalan dan kebun, serta sedikit dilakukan pada lahan basah seperti sawah. Adapun jenis mata pencaharian lain dapat dilihat pada Tabel 4.
34
Tabel 4 Jumlah penduduk Desa Sumberejo berdasarkan mata pencaharian No. Mata Pencaharian 1. Petani 2. Buruh tani 3. Buruh Bangunan 4. Buruh Industri 5. Usaha Industri 6. Usaha Dagang 7. Pegawai Swasta 8. Pegawai Negeri 9. Pensiunan 10. Pengrajin 11. Pengangguran 12. Lain-lain Sumber: Potensi Desa Sumberejo (2011)
Jumlah (orang) 1.152 636 86 28 23 25 4 17 19 10 56 48
Persentase (%) 54,0 28,0 4,0 1,0 1,0 1,0 0,2 1,0 1,0 0,5 3,0 2,0
4.3.3 Pendidikan, agama, budaya Tingkat pendidikan penduduk Desa Sumberejo didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar (SD), oleh karena itu banyak diantaranya yang berprofesi sebagai petani maupun buruh tani perihal keterbatasan pengetahuan. Namun, terdapat pula beberapa tingkat pendidikan lain seperti yang tertera pada tabel berikut. Tabel 5 Jumlah penduduk Desa Sumberejo berdasarkan tingkat pendidikan No. Tingkat Pendidikan 1. Belum sekolah 2. Tidak pernah sekolah 3. Tidak tamat SD 4. Tamat SD 5. Tamat SLTP 6. Tamat SLTA 7. Tamat Diploma/Sarmud 8. Tamat Sarjana Sumber: Potensi Desa Sumberejo (2011)
Jumlah (orang) 145 0 473 914 299 254 31 32
Persentase (%) 7 0 22 43 14 12 1 1
Sebagian besar penduduk Desa Sumberejo beragama Islam, sedangkan yang lainnya beragama Kristen dan Katolik. Sarana peribadatan umat Islam tersedia di setiap dusun seperti masjid atau minimal mushola. Sedangkan untuk kegiatan peribadatan umat Kristiani dilakukan di luar desa. Kegiatan beribadah di Desa Sumberejo khususnya untuk umat Islam sangatlah kental. Hal ini dicerminkan oleh kegiatan rutin yang dilakukan tiap pekan seperti pengajian, mulai pengajian bagi orang tua, remaja, hingga anak-anak. Dalam hal kerukunan
35
pun setiap individu di Desa Sumberejo memiliki hubungan yang erat satu sama lain. Budaya gotong-royong dan saling membantu masih terasa kental. 4.4 Sejarah Hutan Rakyat Desa Sumberejo Kondisi hutan rakyat Desa Sumberejo yang saat ini sudah banyak dipenuhi oleh pepohonan sangat berbeda dengan kondisi sebelumnya. Dahulu, lahan di desa ini termasuk lahan kritis yang gersang, gundul, tandus, dan terdiri dari batuan bertanah dengan kelerengan yang cukup curam. Menurut Mulyadi dan Soepraptohardjo (1975), diacu dalam Rosa (2003), lahan kritis sering diartikan sebagai lahan-lahan yang secara potensial tidak mampu berperan dalam salah satu atau beberapa fungsi, yaitu: (1) Unsur produksi pertanian (fungsi pertanian), (2) Media pengatur tata air (fungsi hidrologi), dan (3) Media pelindung alam lingkungan (fungsi orologi). Dengan kondisi demikian, petani menjadi tidak mau memanfaatkan lahan, sehingga banyak ditumbuhi alang-alang dan lambat laun kelangkaan lahan pertanian produktif mulai dirasakan seiring bertambahnya jumlah penduduk. Untuk mengatasi hal tersebut, mereka mulai menanami lahan dengan tanaman pangan, antara lain: padi, jagung, dan kedelai pada musim penghujan. Namun dengan keadaan lahan yang kurang mendukung tanpa diiringi tindakan silvikultur dan konservasi tanah, membuat usaha tersebut menjadi sia-sia dan hanya menghasilkan erosi serta penurunan produktivitas tanah. Oleh karena itu, usaha untuk menanami lahan dengan tanaman pangan dihentikan sementara waktu. Seiring berjalannya waktu, kondisi pun semakin parah karena tidak hanya kelangkaan pangan yang terjadi tetapi juga kesulitan mendapatkan air terutama saat musim kemarau tiba. Pada tahun 1972, ada proyek WFP (World Food Program) sebagai upaya bantuan pangan dalam rangka memperbaiki lingkungan melalui rehabilitasi. Kegiatan rehabilitasi tersebut berupa penanaman pohon dengan jenis eukaliptus (Eucalyptus alba), akasia (Acacia auriculiformis), dan kaliandra (Caliandra calothyrsus) pada lahan kritis seluas ± 50 ha. Namun, karena belum terbentuk suatu kesadaran terhadap arti penting hutan dan karena konsentrasi utama petani hanya pada tanaman pangan, maka program ini dapat dikatakan tidak berhasil. Pohon-pohon yang telah ditanam tidak dipelihara bahkan ada juga beberapa yang dicabut. Hal ini terjadi karena pengetahuan mereka yang rendah sehingga tidak
36
sedikit dari mereka beranggapan bahwa tidak akan ada yang bisa dimakan bila lahannya ditanami kayu. Respon yang kurang baik ini tidak menyurutkan semangat para penggiat desa yang memiliki kesadaran terhadap pentingnya pohon bagi kelangsungan hidup mereka. Akhirnya, sedikit demi sedikit para penggiat desa yang dipelopori oleh Pak Sularjo selaku Kepala Dusun Wates Wetan saat itu, mendekati warga dengan memberi pandangan pentingnya menanam pohon sekaligus melakukan penyulaman dengan jenis jati, mahoni, dan akasia pada pohon hasil proyek yang tidak tumbuh. Usaha itu pun berbuah manis dengan seiring berkembangnya kesadaran warga. Mereka menyadari bahwa dengan tidak mencabut pohon dan membiarkannya hidup hingga besar, ternyata dapat bermanfaat bagi kelangsungan hidup mereka, diantaranya yaitu sebagai bahan bangunan rumah atau untuk dijual. Pada tahun 1976-1977 pemerintah mengadakan program penghijauan di Kabupaten Wonogiri melalui proyek Reboisasi dan Penghijauan (INPRES) dengan memberikan bantuan bibit tanaman akasia (Acacia auriculiformis) sebanyak 400 batang/ha, pupuk, dan upah penanaman, serta biaya pemeliharaan selama satu tahun. Desa Sumberejo yang juga termasuk penerima program tersebut, sejak saat itu mulai menanam dengan lebih terarah dan terprogram. Kegiatan ini meliputi seluruh wilayah desa pada lahan-lahan yang tidak lagi produktif, ditinggalkan, dan liar. Melalui kegiatan ini, petani juga dibekali dengan penyuluhan tentang pengetahuan konservasi tanah, sehingga lahan yang mulanya berbatu diubah menjadi petak-petak berteras guna mencegah erosi. Untuk mempermudah pengaturan dalam mengelola hutan rakyat yang sudah mulai berkembang tersebut, dibentuklah suatu kelompok tani pada tahun 1985 bernama Gondangrejo yang menaungi Dusun Wates Wetan dan Wates Kulon. Melalui kelompok tani ini, tegakan hutan rakyat menjadi semakin rapat, hijau, dan asri. Pembentukan kelompok tani pun diikuti oleh dusun-dusun lain di Desa Sumberejo, sehingga terbentuklah kelompok tani hutan rakyat di setiap dusun. Hingga pada akhirnya, atas fasilitas LSM PERSEPSI dan dukungan WWF (World Wide Fund for Nature), kelompok tani di Desa Sumberejo bersama dengan Kelurahan Selopuro berhasil memperoleh dan meraih sertifikasi PHBML LEI yang pertama di Pulau Jawa pada tahun 2004.
37
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Teknik Pengelolaan Hutan Rakyat Sistem pengelolaan hutan rakyat di Desa Sumberejo ini mulanya sangat sederhana, terhitung sejak usaha para penggiat desa untuk mengajak warga lain menanam pohon. Namun, seiring datangnya proyek-proyek pemerintah terutama pada saat proses sertifikasi hutan rakyat, banyak penyuluhan dan pelatihan yang telah diberikan untuk para petani terkait pengelolaan hutan rakyat mulai dari penanaman, pemeliharaan, hingga pemanenan. Meski demikian, hingga saat ini pengelolaan hutan rakyat belum juga dilakukan secara intensif. Hal ini dikarenakan anggapan petani yang menyatakan bahwa tanpa harus dipelihara secara intensif pun pohon-pohon tersebut pasti akan menghasilkan di kemudian hari, lain halnya dengan tanaman pangan dan tanaman semusim yang harus dipelihara secara intensif agar hasilnya maksimal. Indriyanto (2008) menjelaskan bahwa terdapat beberapa tahapan dalam pengelolaan hutan, diantaranya yaitu pemilihan jenis pohon yang akan ditanam, pengadaan bibit, penanaman pohon, pemeliharaan pohon, dan dilanjutkan dengan pemanenan. 1. Pemilihan jenis pohon yang akan ditanam Awalnya, petani menanam pohon berdasarkan pohon yang memang sudah ada sebelumnya, yaitu: jenis jati dan mahoni. Hingga saat ini pun jenis tersebut masih tetap ditanam oleh petani. Petani beranggapan bahwa jenis jati dan mahoni memang cocok dengan tanah yang ada di desanya. Namun selain hal tersebut, ada hal-hal lain yang menjadi bahan pertimbangan dalam pemilihan jenis ini seperti yang dipaparkan oleh Awang et al. (2001), diacu dalam Ma’rufi (2007) bahwa terdapat beberapa faktor yang dipertimbangkan, antara lain: kesesuaian lahan, riap, ketersediaan tenaga kerja, harga jual kayu yang dihasilkan, dan kemudahan dalam pemeliharaan. Dimungkinkan hal yang menjadi bahan pertimbangan petani terdahulu selain kesesuaian lahan adalah riap dan harga jual kayu yang dihasilkan. Meski riap jati tidak sebesar mahoni yang pertumbuhannya cepat, namun
38
karena harga jualnya tinggi maka jenis ini dipilih untuk ditanam. Walaupun harga jual mahoni tidak setinggi jati, riap yang besar dan daur yang lebih singkat membuat petani memilih untuk menanamnya. Terkait hal tersebut, Awang et al. (2001), diacu dalam Ma’rufi (2007) melanjutkan bahwa dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) tahun 2001, pada wilayah pegunungan kapur selatan terdapat tiga jenis kayu yang banyak ditanam oleh masyarakat, yaitu: jati, akasia, dan mahoni. Sedangkan Desa Sumberejo yang juga termasuk dalam wilayah Pegunungan Kapur Selatan, mayoritas menanam jati dan mahoni. Sekalipun terdapat jenis akasia di desa tersebut, itu merupakan sisa pohon peninggalan proyek WFP (World Food Program) yang masih dibiarkan hidup. Hal-hal yang mungkin tidak menjadi bahan pertimbangan petani terdahulu yaitu ketersediaan tenaga kerja dan pertimbangan kemudahan dalam pemeliharaan. Bila dikaitkan dengan kondisi petani saat ini, petani tidak mempertimbangkan ketersediaan tenaga kerja karena petani mampu menanam pohon sendiri. Sekalipun memerlukan bantuan, petani dapat meminta tolong kepada sanak saudara agar membantunya tanpa harus membayar orang lain atau semacam buruh. Sedangkan alasan petani tidak mempertimbangkan faktor
kemudahan
dalam
pemeliharaan
adalah
karena
petani
lebih
mengandalkan alam sehingga tidak perlu dilakukan pemeliharaan secara intensif. 2. Pengadaan bibit Pengadaan bibit yang dilakukan oleh para petani hutan rakyat di Desa Sumberejo saat ini hanyalah mengandalkan permudaan alami, anakan tumbuh secara alami baik dari penyebaran biji oleh angin maupun dari trubusan. Petani melakukan hal tersebut karena tanpa harus repot-repot menyediakan bibit atau bahkan membuat persemaian, bibit tersebut sudah tersedia dalam bentuk anakan dari pohon-pohon induk yang juga akan tumbuh dengan sendirinya. Meski menurut Hartmann et al. (1981), diacu dalam Indriyanto (2008), pembibitan dapat dilakukan dengan menyemai atau menanam benih, cangkok, stek, okulasi, atau sambungan. Berikut adalah dokumentasi anakan
39
yang tumbuh di lahan hutan rakyat Desa Sumberejo akibat persebaran biji oleh angin.
Gambar 1 Anakan hasil persebaran biji oleh angin secara alami. Menurut Indriyanto (2008), penyebaran biji oleh angin merupakan permudaan hutan secara alamiah yang terjadi secara generatif. Sedangkan trubusan atau tunas merupakan permudaan hutan secara alamiah yang terjadi secara vegetatif. Permudaan hutan secara alamiah itu sendiri merupakan proses regenerasi tegakan hutan yang mengandalkan proses alam tanpa ada penanganan manusia dalam setiap tahap proses perkembangan tegakan hutan. Permudaan hutan secara alamiah yang terjadi secara generatif dapat berlangsung dengan baik jika dalam suatu kawasan hutan terdapat pohon yang memproduksi biji. Sedangkan permudaan yang terjadi secara vegetatif dapat berlangsung jika dalam kawasan hutan terdapat pepohonan yang mampu bertunas kembali setelah penebangan (Indriyanto 2008). Melihat kondisi tegakan di lokasi penelitian, maka pohon jenis jati dan mahoni memiliki kategori keduanya. Namun, hanya jenis jati yang dapat tumbuh secara vegetatif yaitu dengan trubusan atau tunas. Trubusan dilakukan dengan membiarkan tunas-tunas baru untuk tumbuh pada tunggak sisa tebangan. Biasanya dalam satu tunggak dapat ditumbuhi tiga sampai tujuh tunas baru. Meski demikian, sejumlah tunas tersebut tidak dibiarkan hidup hingga besar, saat tunas berumur dua hingga tiga tahun petani biasanya memilih satu atau dua diantaranya yang terbaik untuk tetap dibiarkan hidup hingga besar dan yang lainnya ditebas. Namun, kualitas yang dihasilkan dari trubusan ini lebih rendah dibanding yang dihasilkan dari biji, beberapa diantaranya terdapat
40
gerowong pada bagian pangkal. Berikut adalah dokumentasi terkait trubusan pada jenis jati yang dilakukan oleh petani.
(a)
(b)
Gambar 2 Trubusan hutan rakyat (a) lima tunas dan (b) pangkal gerowong. 3. Penanaman pohon Persebaran biji oleh angin dan tingkat keberhasilan hidup yang cukup tinggi sekitar 70% - 90% terutama bagi mahoni, membuat petani lebih mengandalkan kegiatan penanaman yang juga dari alam. Kondisi ini menyebabkan tidak ada keteraturan jarak tanam, sehingga membentuk suatu tegakan yang rapat. Hal ini dikarenakan kondisi lahan hutan rakyat yang didominasi oleh batu bertanah, sehingga anakan tumbuh di sela-sela bebatuan. Namun, penanaman dengan sistem cabutan pun petani lakukan bila terdapat suatu area dipenuhi dengan anakan dan di area lain tidak dipenuhi anakan. Kegiatan ini dilakukan terutama setelah petani melakukan penebangan dan pada musim penghujan. Kriteria yang dipertimbangkan oleh petani dalam melaksanakan penanaman jenis ini, antara lain: (1) Anakan yang dipindahkan berumur ± 1 tahun, tinggi ± 50 cm, (2) Jumlah anakan disesuaikan dengan ketersediaan anakan di area rapat, (3) Luas lahan yang tidak dipenuhi anakan, dan (4) Kemauan dari masing-masing petani. Selain itu, pemindahan anakan ini juga dilakukan setelah penebangan. Berdasarkan aturan yang telah disepakati bersama bahwa setiap menebang satu pohon harus menggantinya dengan penanaman sebanyak sepuluh bibit. Namun aturan ini nampaknya
41
tidak berlaku untuk semua lahan, sebab ada beberapa lahan yang saat ini memang benar-benar sudah rapat dengan pepohonan mulai dari tingkat semai hingga pohon. Untuk kondisi lahan seperti itu, maka petani tidak perlu lagi menanam pohon. Berdasarkan prinsip-prinsip silvikultur, penanaman biasanya dilakukan dengan menggunakan bahan tanaman yang akarnya terbuka atau dalam wadah. Ini merupakan teknik yang paling umum digunakan untuk penanaman konifer dan banyak jenis daun lebar. Sedangkan Indriyanto (2008) menyebutkan ada beberapa jenis penanaman berdasarkan bentuk bibit yang ditanam dan cara penanaman bibit di area, yaitu: penanaman langsung, penanaman stump, penanaman bibit puteran, penanaman bibit cabutan, dan penanaman bibit pot. Jenis penanaman tersebut merupakan penanaman dengan bibit yang berasal dari persemaian. 4. Pemeliharaan pohon Untuk meningkatkan peran positif dan menekan peran negatif dari semua faktor lingkungan biotik dan abiotik, maka pemeliharaan tanaman sangat diperlukan agar keberhasilan hidup dan pertumbuhan tanaman menjadi baik (Indriyanto 2008). Faktor-faktor lingkungan tersebut mempengaruhi keberhasilan hidup tanaman dan pertumbuhannya. Faktor biotik yang mempengaruhi, yaitu: organisme mikro patogen, organisme parasit, serangga dan binatang besar lainnya bahkan tetumbuhan liar yang umumnya disebut gulma. Sedangkan yang termasuk dalam faktor abiotik yaitu kondisi iklim dan kesuburan tanah (Baker et al. 1979, diacu dalam Indriyanto 2008). Beberapa kegiatan pemeliharaan tanaman, antara lain: penyulaman, penyiangan, pendangiran, pemupukan, pemangkasan cabang, penjarangan tanaman, dan pengendalian hama penyakit (Dardjadi & Hardjono 1976, diacu dalam Indriyanto 2008). a. Penyulaman tanaman Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa penyulaman yang dilakukan petani adalah saat mengganti atau menanam kembali bibit pada beberapa tanaman proyek rehabilitasi yang tidak tumbuh. Kini kegiatan tersebut tidak lagi dilakukan oleh petani sebab
42
tanaman yang tumbuh sebagian besar mengandalkan persebaran alami. Namun, disebutkan oleh Indriyanto (2008) bahwa memang pada tahuntahun berikutnya setelah penyulaman pertama dan kedua tidak perlu lagi dilakukan penyulaman karena pertumbuhan tanaman susulan akan tertinggal. Penyulaman pertama dilakukan saat satu bulan setelah penanaman, sedangkan penyulaman kedua dilakukan saat satu tahun setelah penanaman. Penyulaman itu sendiri merupakan tindakan pemeliharaan untuk meningkatkan persentase tanaman hidup dengan cara menanami kembali pada lubang tanam yang tanamannya telah mati. Penyulaman dilakukan apabila persentase hidup tanaman kurang dari 80%. b. Penyiangan tanaman Kegiatan penyiangan yang berupa pembersihan gulma (alang-alang, rumput, semak, dan liana) di sekitar tanaman masih dilakukan secara manual hingga saat ini yaitu dengan menggunakan cangkul, parang, atau sejenisnya. Indriyanto (2008) menyebutkan bahwa pembersihan gulma juga dapat dilakukan secara kimiawi dengan menggunakan herbisida. Contoh bahan kimia yang dapat digunakan untuk penyiangan, antara lain: Sodium Chlorate (5-10 g/cm2) serta campuran 2,4-D dengan 2,4,5-T (1 g/cm2). Untuk mendapatkan bahan kimia tersebut tentunya petani harus mengeluarkan uang lebih. Dan jika demikian, maka petani lebih memilih untuk melakukan penyiangan tanaman secara alami karena tidak memiliki cukup uang untuk membelinya. Sekalipun petani memiliki uang, petani lebih memprioritaskan untuk membeli pupuk bagi tanaman semusimnya. c. Pendangiran tanaman Pendangiran yang merupakan kegiatan penggemburan tanah di sekitar tanaman dalam upaya memperbaiki sifat fisik tanah tidak dilakukan oleh para petani hutan rakyat di Desa Sumberejo. Hal ini dikarenakan kondisi lahannya yang didominasi oleh bebatuan dan tanamannya pun tumbuh di sela-sela batu tersebut. Lagi pula disebutkan oleh Indriyanto (2008) bahwa pendangiran tanaman diutamakan untuk tanah-tanah yang bertekstur berat dan dilakukan pada tanaman yang sudah berumur 1-3 tahun pada akhir musim kemarau.
43
d. Pemupukan tanaman Sama seperti kegiatan penyulaman yang dilakukan saat proyek rehabilitasi, kegiatan pemupukan tanaman ini pun hanya dilakukan pada saat itu saja. Kini para petani sudah tidak lagi melakukan pemupukan sebab telah tersedia banyak serasah dari dedaunan yang berguguran untuk mengganti fungsi pupuk tersebut. Selain itu, tidak tersedianya dana untuk membeli pupuk pun menjadi kendala dalam hal ini. Dan sekalipun petani memiliki cukup dana, petani lebih mengutamakan untuk memupuki tanaman semusimnya. Bila pupuk tersebut berlebih maka dapat petani gunakan untuk memupuki tanaman kayu di lahan hutan rakyatnya. Berikut adalah dokumentasi serasah yang digunakan sebagai pengganti pupuk.
Gambar 3 Serasah sebagai pengganti pupuk. e. Pemangkasan cabang Kegiatan pemangkasan cabang tidak dilakukan oleh para petani karena selain waktunya yang tidak sempat perihal mengurus tanaman semusim, faktor usia pun menjadi kendala. Sebagian besar pemilik lahan hutan rakyat berumur sekitar 45 s/d 70 tahun. Oleh sebab itu, petani agak kesulitan bila harus memanjat pohon untuk memangkas cabang. Di sisi lain, kegiatan pemangkasan cabang ini menurut (Indriyanto 2008) hanya dilakukan pada hutan tanaman yang diperuntukkan sebagai penghasil kayu pertukangan, sebab pemangkasan cabang dilakukan dengan membuang cabang bagian bawah untuk memperoleh batang bebas cabang yang panjang dan bebas dari mata kayu, sehingga dapat memperbaiki kualitas bentuk kayu. Sedangkan kayu hasil tebangan hutan rakyat ini sendiri tidak
44
dikhususkan untuk penghasil kayu pertukangan dan juga tidak sengaja ditanam seperti layaknya hutan tanaman yang disertai dengan jarak tanam. Oleh sebab itu, kegiatan pemangkasan cabang ini juga tidak terlalu penting diterapkan pada tegakan hutan rakyat di Desa Sumberejo. f. Penjarangan tanaman Kegiatan penjarangan yang dilakukan oleh petani hanya apabila terdapat pohon yang rusak atau mati, lalu hasil penjarangan tersebut dijadikan kayu bakar untuk keperluan memasak. Selain itu, kegiatan penebangan untuk keperluan dijual pun dianggap sekaligus sebagai kegiatan penjarangan. Padahal menurut Indriyanto (2008), pada umumnya untuk jenis pohon yang cepat tumbuh dilakukan penjarangan pertama kali pada umur 3-4 tahun, dan untuk jenis pohon yang lambat tumbuh dilakukan penjarangan pertama kali pada umur 5-10 tahun. Hal ini dilakukan agar tercipta fase-fase pertumbuhan secara baik, mengatur kembali ruang tumbuh pohon dalam rangka mengurangi persaingan antar pohon, dan meningkatkan kesehatan pohon dalam tegakan. Di sisi lain, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemeliharaan (pembebasan dan penjarangan) memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tegakan (riap diameter). Riap diameter tegakan berbeda pada tegakan yang dipelihara dan yang tidak dipelihara. Melalui penjarangan, riap diameter pohon rata-rata tegakan dapat dipertahankan pada tingkat yang tinggi (Indriyanto 2008). Namun, petani tidak mengikuti penjarangan tersebut karena petani justru lebih suka kalau tegakan di hutan rakyatnya banyak dan rapat. Semakin rapat menurut petani maka akan semakin baik dan akan semakin lestari. g. Pemberantasan hama dan penyakit Petani hingga saat ini tidak melakukan kegiatan pemberantasan hama dikarenakan memang tidak pernah ada hama yang menyerang tegakan di hutan rakyatnya. Begitu pula dengan penyakit, petani tidak pernah melakukan pemberantasan terhadap penyakit sebab tegakannya tidak pernah terserang penyakit. Pemberantasan hama dan penyakit itu sendiri didefinisikan oleh (Suratmo 1979, Suratmo 1982, diacu dalam
45
Indriyanto 2008) sebagai tindakan mengatur populasi hama atau penyakit agar tidak menimbulkan kerusakan yang dinilai secara ekonomi merugikan. 5. Penebangan Kegiatan penebangan dilakukan oleh petani hanya apabila terdapat kebutuhan mendesak dan memerlukan biaya besar, seperti keperluan untuk menyekolahkan anak, menikahkan anak, mengkhitankan anak, membangun rumah, dan lain sebagainya. Sistem tebang ini juga biasa disebut dengan sistem tebang butuh. Umur pohon saat tebang biasanya berkisar antara 10-15 tahun untuk jenis jati dan berkisar antara umur 10-14 tahun untuk jenis mahoni dengan diameter rata-rata minimal 20 cm. Untuk keperluan dijual, proses penebangan dilakukan sepenuhnya oleh pembeli menggunakan peralatan tebang, antara lain: chainsaw, kapak, dan tali tambang. Sedangkan untuk keperluan pribadi seperti membangun rumah, maka kegiatan penebangan dilakukan sendiri oleh masing-masing petani. Penebangan tersebut juga menggunakan alat seperti chainsaw yang dipinjam dari tetangga apabila ia memiliki atau meminjamnya ke bakul. Bila penebangan dalam jumlah banyak, terkadang petani menyewa peralatan dari bakul. Bakul adalah orang yang biasa membeli kayu hasil tebangan dari petani. 5.2 Potensi Hutan Rakyat Hutan rakyat yang dikembangkan di Desa Sumberejo berada di tegalan dan pekarangan. Tegalan lebih mengacu pada definisi hutan rakyat dalam UU No. 5 Tahun 1967 yang disempurnakan dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan adalah hutan yang tumbuh pada tanah milik rakyat dengan luas minimum 0,25 ha. Sedangkan pekarangan mengacu pada definisi hutan rakyat menurut Djajapertjunda (1959), diacu dalam Ernawati (1995) adalah tanaman pohon-pohonan (kayu tahunan) dari berbagai jenis baik tumbuh secara alami maupun sengaja ditanam dalam bentuk suatu kebun atau terpencar di tanah penduduk yang memiliki fungsi sebagai sumber kayu dan hasil hutan lainnya. Oleh karena itu, yang menjadi objek penelitian adalah tegakan jati dan mahoni yang tumbuh di tegalan dan pekarangan. Luas total dari masing-masing lahan hutan rakyat tersebut, yaitu: 426,71 ha dan 96,38 ha. Potensi menurut Departemen
46
Pertanian (1976) merupakan massa tegakan hutan yang dinyatakan dengan ratarata volume dan jumlah batang per hektar areal berhutan seperti yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Potensi hutan rakyat Desa Sumberejo Potensi Jenis
Satuan
Volume (m3)
Riap diameter (cm/th) Kerapatan pohon (batang)
I
II
III
IV
V
Per 206,56 1.029 hektar Jati 2,31 1,41 0,81 0,66 0,41 Per 140,61 811 petani Per 1.206,68 2.058 hektar Mahoni 1,52 2,05 2,44 2,28 Per 708,61 2.943 petani Per 1.413,24 3.087 hektar Jumlah Per 849,22 3.754 petani Keterangan : Data pengukuran (diolah) I = 1-10 cm, II = 11-20 cm, III = 21-30 cm, IV = 31-40 cm, V = 41-50 cm.
Ratarata 1,12
2,07
Pada Tabel 6 diinformasikan bahwa potensi berdasarkan jenis baik volume maupun kerapatan pohon per hektar dan per petani didominasi oleh jenis mahoni. Jenis ini banyak terdapat di lokasi sebab jenis lainnya yaitu jati telah banyak ditebang pada tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, pertumbuhan mahoni yang relatif lebih cepat dibanding jati membuat jumlahnya lebih mendominasi. Hal ini juga dapat dilihat pada riap yang mengalami peningkatan hingga kelas diameter 21-30 cm dan mengalami penurunan setelah kelas diameter tersebut. Sedangkan jati terus mengalami penurunan seiring bertambahnya kelas diameter. Informasi lain terkait data potensi berdasarkan lokasi untuk potensi volume didapatkan hasil perhitungan sebesar 482,72 m3/ha dan 1.780,36 m3/petani. Untuk potensi kerapatan pohon yaitu sebanyak 5.443 pohon/ha dan 1.388 pohon/petani. Kelengkapan dari informasi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil yang ditampilkan Tabel 6, angka 1,12 cm/th dan 2,07 cm/th pada riap jenis jati dan mahoni merupakan rata-rata riap diameter pada tegakan hutan rakyat Desa Sumberejo. Dalam Harbagung (2008) disebutkan bahwa hasil-hasil penelitian terkait riap diameter di beberapa lokasi untuk jenis jati dan mahoni, diantaranya adalah riap untuk jenis jati yang dilakukan di wilayah Madiun dengan
47
nilai sebesar 0,7 cm/th, di wilayah Kediri sebesar 1 cm/th, di wilayah Wonogiri sebesar 0,5 cm/th, dan di wilayah Papua sebesar 1,9 cm/th. Sedangkan untuk jenis mahoni, telah dilakukan penelitian di wilayah Ciamis dengan nilai sebesar 1,7 cm/th, di wilayah Tasik sebesar 3,4 cm/th, di wilayah Kediri sebesar 1,2 cm/th, dan di wilayah Papua sebesar 1,7 cm/th. Dari beberapa hasil penelitian tersebut termasuk hasil yang diperoleh peneliti dapat diketahui bahwa nilai riap berbeda untuk masing-masing wilayah. Hal ini menandakan bahwa riap dipengaruhi oleh lokasi pohon itu tumbuh. Lokasi berkaitan pula dengan kondisi fisik lingkungannya, mulai dari tanah hingga iklim seperti yang disebutkan oleh Tomey dan Korstian (1974), diacu dalam Rosa (2003), pertumbuhan pohon pada dasarnya dipengaruhi oleh sifat genetik dan kondisi lingkungan. Pada suatu jenis pohon dijumpai adanya keragaman baik secara geografis keragaman lokal, keragaman antar pohon, maupun keragaman di dalam pohon itu sendiri. Sedangkan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan secara langsung menurut Soekotjo (1984), diacu dalam Rosa (2003), antara lain: radiasi matahari (cahaya dan temperatur), air (atmosfer dan tanah), karbon dioksida (CO2), dan unsur hara. Hal-hal tersebutlah yang dapat menjelaskan mengapa riap yang dihasilkan bervariasi di beberapa wilayah. Dapat dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian yang telah disebutkan oleh Harbagung (2008) bahwa riap hasil perhitungan peneliti untuk jenis jati yang sebesar 1,12 cm/th berbeda hingga dua kali lipat dari hasil perhitungan penelitian yang juga dilakukan di Wonogiri. Hal ini selain dikarenakan perbedaan waktu yang dilakukan keduanya adalah dua tahun, juga ada faktor umur tanaman dan lokasi pengambilan sampel yang mempengaruhi. Umur tanaman yang diteliti pada hasil referensi tergolong masih muda, sedangkan umur tanaman pada lahan hutan rakyat yang diperoleh peneliti adalah bervariasi mulai dari umur muda sampai tua. Pengambilan lokasi sampel yang dilakukan oleh peneliti hanya di satu desa yang termasuk dalam Kabupaten Wonogiri. Sedangkan data hasil penelitian referensi yang dilakukan adalah dengan mengambil beberapa desa sebagai sampel lokasi. Hal ini mempengaruhi perhitungan rata-rata riap yang dihasilkan. Singkatnya, hasil perhitungan riap sebesar 1,12 cm/th merupakan rata-rata riap untuk satu
48
desa, sedaangkan hasill perhitungaan riap sebeesar 0,5 cm//th merupakkan rata-rataa riap untuk satuu wilayah kaabupaten. 5.3 Riap Diameter D H Hutan Rakyyat Daalam buku-bbuku teks kehutanan, k biasanya dibedakan d aantara pengeertian pertumbuhhan dengann riap (inccrement). Tetapi T dalaam percakaapan seharii-hari, seringkali keduanya dianggap d saama. Pertum mbuhan diteetapkan sebbagai termin nologi B riaap dipakai untuk u yang bersifat umum, sedangkann riap lebih spesifik. Biasanya, menyatakaan pertambahan volum me pohon attau tegakann per satuann waktu terttentu. Riap juga sering dipaakai untuk menyatakan n pertambaahan nilai teegakan. Kad dangkan pertambbahan diam meter atau tinggi t kadang riap juga dippakai untukk menyatak pohon setiiap tahun (D Departemenn Kehutanan n 1992). Riaap yang diihitung dalaam penelitiian ini adaalah riap diiameter rataa-rata tahunan yaang akan diigunakan seebagai dasarr untuk mem mbuat alternnatif pengaaturan hasil mennurut jumlaah batang. Melalui riap r tersebuut dapat ddiketahui berapa b centimeterr per tahun pertumbuhan pohon dalam d suatu kelas diam meter tertentu u dan dapat pulaa diketahui jangka bennah yaitu waaktu yang dibutuhkan d bbagi pohon n pada kelas diam meter tertenttu untuk pinndah ke kellas diameterr berikutnyaa. Besar keccilnya riap diam meter rata-raata tahunan itu sendirii berpengarruh pada baanyak sedik kitnya jumlah poohon yang boleh b ditebbang pada kelas k diameeter tertentuu. Riap diam meter rata-rata taahunan untuuk jenis jatii dan mahon ni yang dipeeroleh dari hhasil olahan n data lapang dappat dilihat pada p Gambaar 4.
Gambar 4 Riap diaameter rata-rrata tahunan n (cm/th) peer jenis per kelas diameeter.
49
Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa riap diameter rata-rata tahunan jenis jati mengalami penurunan seiring meningkatnya kelas diameter. Sedangkan pada mahoni fluktuatif yang ditandai dengan adanya peningkatan dan penurunan. Hal ini dijelaskan oleh Poerwokoesoemo (1956) yang menyatakan bahwa menurut penyelidikan Balai Penyelidikan Kehutanan di Bogor, jati adalah jenis tanaman yang pada umumnya memiliki pertumbuhan lambat, bahkan lebih lambat dari jenis pohon Eik di Eropa yang terkenal amat sedikit penambahan tumbuhnya. Pada permulaan dalam tanaman muda, jati tumbuh memang amat cepat baik tumbuh meninggi maupun riap tebal. Akan tetapi tumbuh cepat ini tidak terus menerus, hanya terbatas hingga umur kurang lebih 10 tahun saja. Setelah itu, jati tumbuh tidak begitu cepat lagi dan riap semakin lama makin berkurang jika dibandingkan dengan riap sebelum umur 10 tahun. Berdasarkan penjelasan tersebut, dimungkinkan bahwa riap diameter jati meningkat ketika umur 6-9 tahun. Seperti yang tertera pada Tabel 7, umur 6-9 tahun merupakan peralihan antara kelas diameter 11-20 cm dengan 21-30 cm. Tabel 7 Umur dan riap diameter rata-rata tahunan jenis jati per kelas diameter Jati Sebaran diameter (cm) Umur (tahun) Riap diameter rata-rata tahunan (cm/th)
1-10 1
Kelas Diameter (cm) 11-20 21-30 31-40 41-50 5 10 15 20 25 35
2,31
1,41
0,81
0,66
0,41
51-60 45 -
Prinsip pertumbuhan yang sama juga dijelaskan oleh Simon (2007) bahwa untuk semua jenis pada waktu muda umumnya tumbuh agak lambat, lalu kecepatan tumbuh diameter meningkat, kemudian semakin tua semakin menurun sampai akhirnya berhenti. Dalam hal ini riap mahoni mencapai puncak pada kelas diameter 21-30 cm antara umur 12-14 tahun, lalu menurun pada umur di atas 14 tahun. Kondisi ini memungkinkan riap akan mencapai puncak pada kelas diameter 30 cm up dengan umur di atas 14 tahun. Namun berdasarkan pengetahuannya, Mulyono selaku ketua FKPS (Forum Komunitas Petani Sertifikasi) mengutarakan bahwa mahoni mencapai pertumbuhan puncak pada umur 20 tahun dan selebihnya menurun. Meski demikian, hal tersebut tidak dapat berlaku sepenuhnya di setiap kondisi lahan hutan rakyat sebab karakteristik tanah yang berbeda dapat mempengaruhi pertumbuhan itu sendiri, termasuk kondisi lahan hutan rakyat di
50
Desa Sumberejo ini. Berikut adalah beberapa umur pohon mahoni yang termasuk dalam kelas diameter tertentu. Tabel 8 Umur dan riap diameter rata-rata tahunan jenis mahoni per kelas diameter Mahoni Sebaran diameter (cm) Umur (tahun) Riap diameter rata-rata tahunan (cm/th)
1-10 2 4 1,52
Kelas Diameter (cm) 11-20 21-30 31-40 6 8 10 12 14 16 2,05
2,44
2,28
41-50 20 -
Umur 20 tahun yang disebutkan oleh Mulyono tidak dapat ditunjukkan oleh tabel di atas karena berdasarkan data di lapang, umur mahoni yang paling tua adalah umur 20 tahun. Sedangkan dalam perhitungan riap, umur tersebut digunakan untuk memperoleh riap pada kelas diameter di bawahnya. Bila ingin diperoleh riap pada kelas diameter 41-50 cm, maka diperlukan data umur di atasnya seperti umur 22 tahun atau 24 tahun dan seterusnya. Oleh karena itu, pada tabel tidak tertera riap untuk kelas diameter 41-50 cm. Begitu pula pada riap di kelas diameter akhir pada jenis jati sebelumnya di Tabel 7. Pengolahan perhitungan riap berdasarkan hasil survei di lapangan dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 3. 5.4 Pengaturan Kelestarian Hasil Saat Kini Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, secara umum masyarakat akan mencukupinya mulai dari hasil tanaman semusim (palawija), batu galian (gamping), ternak, dan menebang kayu. Penebangan pohon dilakukan berdasarkan kesepakatan pengaturan limit keliling tebang minimal 60 cm atau setara dengan diameter 20 cm yang telah disepakati sejak dibentuknya kelompok tani atas dasar kesadaran warga terhadap kelestarian hutan. Pada saat itu, juga terdapat salah satu penyuluhan yang disampaikan oleh Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL) bahwa paling tidak penebangan dilakukan minimal keliling 60 cm. Kesepakatan ini bersifat lisan dan difasilitasi oleh kelompok tani serta dibuat atas pertimbangan bahwa pohon yang memiliki keliling 60 cm sudah dapat dijadikan bahan untuk membuat bangunan. Limit ini diterapkan setiap kali petani ingin menebang pohon. Selain itu, keputusan menebang diserahkan kepada masing-masing pemilik lahan hutan rakyat yang hingga kini masih tetap dipatuhi dan dipertahankan hingga ke tingkat desa.
51
Pohon berdiameter 20 cm up dapat ditebang habis untuk setiap kali tebang butuh sesuai kebutuhan dan keputusan masing-masing pemilik lahan. Sedangkan pohon berdiameter di bawahnya, tidak dapat dan tidak pernah ditebang kecuali bila pohon tersebut rusak, buruk, atau mati yang akan digunakan untuk keperluan kayu bakar. Pengecualian lainnya adalah bila petani ingin mengganti tegakannya dengan jenis pohon yang lebih menguntungkan dari segi ekonomi. Misalnya, mengganti tegakan mahoni dengan jenis jati yang memiliki harga jual tinggi atau dengan jenis sengon yang memiliki daur singkat. Penebangannya dilakukan secara bertahap, misal petani A memiliki lahan seluas dua hektar. Dari lahan seluas dua hektar tersebut, ditebang habis seperempat bagiannya di tahun ini, seperempat bagian lagi di tahun depan, dan begitu untuk seterusnya. Namun hal tersebut perlu dikondisikan pula dengan keuangan petani, karena penggantian jenis tanaman ini membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk membeli bibit ke persemaian di Wonogiri. Harga per polybag sekitar Rp 1.000,- untuk jenis jati dengan tinggi bibit setengah meter. Sedangkan untuk jenis sengon seharga Rp 2.000,- per polybag dengan tinggi bibit satu meter. Selain itu, juga harus dikondisikan dengan SDM yang dimiliki untuk membuat lubang-lubang tanaman. Penanaman ini tergantung pada keinginan dari masing-masing pemilik lahan dan ditujukan agar tersedia pohon siap tebang di bagian lahan lainnya yang dapat dijadikan simpanan untuk pemenuhan kebutuhan di kemudian hari. Simpanan lainnya dapat berupa ternak yang dibeli dari hasil tebang habis tersebut. Tingkat kepatuhan yang tinggi ditunjukkan dari konsistensi petani terhadap limit diameter. Oleh sebab itu, petani telah dapat menikmati hasilnya berupa sumber mata air yang selalu terjaga bahkan semakin bertambah, tidak ada kejadian bencana alam (tanah longsor, banjir, dan erosi), serta tercipta hutan yang dapat memberikan tambahan pendapatan keluarga. Keadaan ini pun terus berlangsung hingga tercapainya sertifikasi dan berlanjut sampai dengan saat ini. Pada tahun 2007 dikeluarkan aturan mengenai limit diameter tebang dari bupati, yaitu minimal 30 cm untuk penebangan kayu di hutan rakyat. Namun, petani di Desa Sumberejo tidak menerapkan aturan tersebut karena dirasa memberatkan. Petani beranggapan bahwa kayu yang ada adalah milik petani, oleh sebab itu petani kurang berkenan bila ada campur tangan pihak luar yang
52
membatassi haknya. Hal H ini juga dirasakan memberatka m an karena dii satu sisi ju umlah pohon padda kelas diiameter bessar terbatas,, riapnya pun p makin m menurun seeiring dengan bertambahny b ya kelas diameter sehingga tidak t dapaat menyed diakan persediaann pohon kelas diameteer besar (siaap tebang) dalam wakktu yang sin ngkat. Di sisi lainn, kebutuhaan mendesaak petani daapat tiba kappan pun tannpa terduga.. Bisa saja bulann ini menebaang dan bullan depan kembali k mennebang. Konndisi inilah yang membuat petani keberatan kareena memang g tidak terssedia dana lain yang dapat memenuhii kebutuhannnya dalam jumlah cuk kup banyak selain dari menebang kayu. Berikut addalah grafikk yang mennampilkan data d produkksi kayu huutan rakyat Desa Sumberejoo sejak awaal sertifikasi hingga tahu un 2011.
Gambar 5 Realisasi produksi kayu k hutan rakyat (battang) sejakk awal sertifikasi tahun 20004 sampai tahun 2011. Paada Gambarr 5 dapat dikketahui bah hwa rata-rata petani di Desa Sumb berejo banyak yaang menebaang jenis jaati dibandin ng mahoni. Seperti yanng telah dib bahas pada sub bab sebeluumnya, hal ini dikaren nakan hargaa jual jati yyang lebih tinggi t dibandingg mahoni. Di D sisi lain, dalam mem menuhi kebutuhan danna petani, ju umlah pohon yaang dipanenn sangat teergantung pada p jumlaah yang diibutuhkan untuk u memenuhii kekuranggan kebutuhhan dana tersebut. t H ini dapaat diamati pada Hal Gambar 5 yang menuunjukkan peeningkatan di d tahun 20004 dan 20077 terutama untuk u jenis jati. Pada tahun-tahun terseebut, petanii membutuhhkan dana yyang tinggi untuk u memenuhii keperluann rumah tanngganya, seehingga petani melakuukan penebaangan dalam juumlah banyyak. Namuun, penebangan ini dilakukann dengan tetap
53
berkomitmen terhadap limit diameter minimal 20 cm yang telah menjadi kesepakatan bersama. Kekurangan dana pada tahun 2008 hingga tahun 2011 dipenuhi dari jumlah tebangan yang lebih sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan terdapat tiga kemungkinan kondisi yang ada, yaitu 1) Sumber pendapatan di luar hutan rakyat semakin besar sehingga pemenuhan tebangan kayu hutan rakyat bisa lebih kecil dari tahun-tahun sebelumnya, 2) Kebutuhan rumah tangga memang lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya, 3) Potensi pohon yang dapat dipanen berdiameter 20 cm up memang sedikit, sehingga mungkin tidak cukup untuk memenuhi kekurangan kebutuhan dana tersebut. Kondisi pertama memiliki kemungkinan yang besar untuk terjadi. Bila demikian, maka hutan rakyat dapat terjaga kelestariannya. Kondisi kedua memiliki kemungkinan yang kecil untuk terjadi, sebab kebutuhan rumah tangga cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sedangkan kondisi ketiga memiliki kemungkinan yang juga cukup besar. Namun apabila kondisi ini yang terjadi, maka penebangan akan melebihi riap, meski petani mematuhi limit diameter tebang minimal 20 cm. Selain itu, melalui realisasi produksi kayu yang telah ditebang sejak awal sertifikasi dapat diketahui bahwa tidak banyak peranan yang dilakukan FKPS dalam pengelolaan hutan rakyat. Tidak ada aturan yang dikerahkan mengenai pembatasan tebangan demi kelestarian. Hal ini memang FKPS sendiri membebaskannya kepada petani untuk melakukan tebangan kapan pun dan dalam jumlah berapa pun untuk memenuhi kebutuhan asal tidak melebihi batas limit diameter yang telah disepakati. Di sisi lain, FKPS tidak dapat menjamin ketersediaan dana pengganti tebangan pohon saat kebutuhan mendesak tiba. Kondisi seperti inilah yang menjadi kelemahan dalam sistem pengelolaan hutan rakyat di Desa Sumberejo, sebab apabila dibiarkan terus menerus dengan kebutuhan petani yang juga akan terus ada, maka dikhawatirkan suatu kelestarian tidak dapat tercapai sebagaimana mestinya. Untuk itu, perlu adanya suatu perbaikan manajemen dalam pengelolaannya terkait hal kelembagaan agar dapat lebih terarah pada kelestarian.
54
5.5 Analisis Alternatif Pengaturan Hasil Menurut Jumlah Batang Pengaturan hasil yang dibuat menggunakan metode jumlah batang berdasarkan riap. Riap yang digunakan adalah riap diameter rata-rata tahunan. Melalui riap tersebut, dapat diketahui waktu yang dibutuhkan bagi sejumlah pohon pada kelas diameter tertentu untuk pindah ke kelas diameter berikutnya, sehingga dapat ditentukan jumlah pohon per hektar yang boleh ditebang per tahun pada kelas diameter tertentu. Terkait hal tersebut, pengaturan hasil yang dibuat mulai dari kelas diameter 20 cm up, sebab sesuai kesepakatan selama ini baik jati maupun mahoni yang ditebang oleh petani adalah pohon berdiameter minimal 20 cm. Sehubungan dengan pemenuhan bahan baku industri, penetapan limit diameter ini kurang cocok bila industri tersebut adalah industri kayu pertukangan. Namun pada penerapannya, yang dapat memenuhi kebutuhan industri tersebut adalah pedagang pengumpul yang mensortir kayu berdasarkan sortimen dengan beberapa kriteria dimensi kayu berupa diameter dan panjang kayu. Melalui sortimen tersebut, pedagang pengumpul dapat menjual kayu pada industri-industri tertentu termasuk industri kayu pertukangan (meubel) untuk jenis sortimen yang memang memenuhi kriteria. Namun, tidak jarang pula pengumpul menjual sortimen kayu kepada pengrajin-pengrajin kayu yang tidak membutuhkan ukuran sortimen besar seperti kayu pertukangan. Berikut adalah dokumentasi terkait kayu-kayu yang ada di pedagang pengumpul dari berbagai kelas diameter.
Gambar 6 Kayu-kayu hasil tebangan di pedagang pengumpul Kecamatan Baturetno. Berbagai macam ukuran sortimen tersebut didapat dari hasil tebang butuh yang dilakukan petani melalui pedagang perantara (bakul). Oleh karena itu, berapa pun diameter pohon yang ditebang tetap saja laku bila dijual. Namun, hal
55
ini justru membuat ketidakpastian jadwal dan volume produksi, sehingga berdampak pada ketidakpastian bahan baku industri. Melalui pengaturan hasil, diharapkan dapat menjadi suatu perbaikan manajemen, sehingga hutan rakyat dapat mengikuti budaya bisnis yang memerlukan pengaturan dan kepastian dalam pengelolaan. Berikut adalah alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang yang dibuat untuk jenis jati dan mahoni di lahan hutan rakyat Desa Sumberejo. Tabel 9
Alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang untuk jenis jati (batang/ha/th)
Parameter 1.Riap diameter rata- rata tahunan (cm/th) 2.Kerapatan tegakan (pohon/ha) 3.Tegakan yang pindah ke kelas diameter berikutnya (pohon/ha/th) 4.Tegakan yang boleh ditebang (batang/ha/th) 5.Tebang tahun ke-/ (frek.)
Kelas Diameter (cm) III IV V
VI
Jumlah
I
II
2,31
1,41
0,81
0,66
0,41
-
-
2.468
803
197
17
8
1
3.494
318
26
9
4
2
1
360
-
-
17
5
2
1
25
-
-
1/(3x1)
6/(2x1)
11/(6x1)
-
-
4/(1x1)
19/(1x1)
30/(2x1) 47/(1x1) 6.Tahun tebang 2012 2017 2022 2015 2030 2041 2058 Keterangan: I = 1-10 cm; II = 11-20 cm; III = 21-30 cm; IV = 31-40 cm; V = 41-50 cm; VI = 51-60 cm (frek.) = frekuensi tebang dalam sekali tebang (tahun)
-
Dasar penentuan jumlah pohon yang boleh ditebang adalah riap, sebab penebangan harus sama dengan riap apabila ingin lestari. Selain itu pun harus mempertimbangkan jaminan pohon pengganti dari kelas diameter di bawahnya. Oleh karena itu, dilihat pada Tabel 9 hanya terdapat dua batang pohon yang boleh ditebang pada kelas diameter 41-50 cm. Hal ini karena memang stok yang tersedia pada kelas diameter tersebut hanya terdapat dua pohon dan penebangan dapat tergantikan oleh pohon yang pindah dari kelas diameter 31-40 cm. Sedangkan pada kolom jumlah terdapat sebanyak 25 batang/ha yang boleh ditebang, namun karena tidak tersedianya data tentang riap pada kelas diameter 51-60 cm, maka yang bisa ditebang saat keadaan normal yaitu saat penebangan dapat dilakukan tiap tahun ialah sebanyak 24 batang/ha.
56
Pada kelas diameter 41-50 cm dengan stok awal terdapat delapan pohon, di tahun berikutnya menjadi enam pohon sebab dua pohon sudah pindah ke kelas diameter 51-60 cm. Tetapi, jumlah tersebut mendapat tambahan pohon yang pindah dari kelas diameter 31-40 cm yakni sebanyak empat pohon, sehingga menjadi sepuluh pohon. Sedangkan untuk penentuan jumlah pohon yang boleh ditebang pada kelas diameter 41-50 cm adalah sebanyak dua batang yang diperoleh dari pengurangan stok dengan jumlah stok awal agar lestari, yakni sepuluh pohon dikurangi delapan pohon. Sama halnya dengan kelas diameter 3140 cm dan 21-30 cm. Angka lima dan tujuh belas diperoleh dari pengurangan stok dengan stok awal. Namun, sejumlah pohon tersebut tidak memiliki waktu yang sama untuk dapat ditebang tiap satu tahun sekali. Seperti yang dapat dilihat pada parameter ke-5 di Tabel 9 bahwa terdapat angka 1/(3x1) dan 4/(1x1) pada kelas diameter 21-30 cm, angka 6/(2x1) dan 19/(1x1) pada kelas diameter 31-40 cm, serta angka 11/(6x1), 30/(2x1), dan 47/(1x1) pada kelas diameter 41-50 cm. Angka-angka tersebut merupakan waktu yang dibutuhkan bagi pohon untuk tumbuh sesuai riap ke kelas diameter berikutnya (jangka benah). Angka 1/(3x1) pada kelas diameter 21-30 cm mengandung arti bahwa tebangan pertama yang petani lakukan di kelas diameter 21-30 cm sebanyak tujuh belas batang pohon per hektar adalah pada tahun ke-1 atau tahun 2012, sebab pengambilan data dilakukan pada tahun 2011 dan diposisikan tahun tersebut sebagai tahun ke-0. Untuk penebangan selanjutnya dengan jumlah yang sama, petani menebang pada tahun ke-4 tahun 2015. Mulai tahun tersebut (4/(1x1)) dan seterusnya, petani baru boleh menebang tiap satu tahun sekali dengan jumlah yang sama pula. Singkatnya, angka (3x1) berarti petani boleh menebang tiap tiga tahun sekali, dan angka (1x1) berarti petani boleh menebang tiap satu tahun sekali. Sama halnya dengan angka 6/(2x1) dan 19/(1x1) pada kelas diameter 3140 cm. Pada tahun ke-6, petani baru boleh menebang sebanyak lima batang pohon per hektar dengan frekuensi dua tahun sekali hingga tahun ke-18. Mulai tahun ke19 dan seterusnya petani baru boleh menebang tiap satu tahun sekali. Angka 11/(6x1), 30/(2x1), dan 47/(1x1) pada kelas diameter 41-50 cm juga mengandung arti yang sama yakni petani baru boleh menebang pada tahun ke-11 dengan frekuensi enam tahun sekali hingga tahun ke-29. Tahun ke-30 hingga tahun ke-46
57
petani boleh menebang dengan frekuensi dua tahun sekali. Tahun ke-47 dan seterusnya barulah petani boleh menebang tiap satu tahun sekali. Lama jangka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tebangan tiap satu tahun sekali merupakan aplikasi dari kecilnya riap. Semakin kecil riap maka akan semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk tumbuh. Visualisasi data ini selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5. Begitu pula pemahaman konsep alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang untuk jenis mahoni. Dengan riap yang lebih besar dibanding jati, waktu yang diperlukan bagi mahoni cenderung lebih singkat. Bila kondisi normal yang dapat dicapai jati adalah selama 47 tahun, maka mahoni hanya membutuhkan waktu 3 tahun untuk mencapainya. Alternatif pengaturan hasil untuk jenis mahoni dapat dilihat pada Tabel 10 yang selengkapnya dapat pula dilihat pada Lampiran 6. Tabel 10 Alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang untuk jenis mahoni (batang/ha/th) Parameter a. Riap diameter rata-rata tahunan (cm/th) b. Kerapatan tegakan (pohon/ha) c. Tegakan yang pindah ke kelas diameter berikutnya (pohon /ha/th) d. Tegakan yang boleh ditebang (batang/ha/th) e. Tebang tahun ke-/(frek.)
Kelas Diameter (cm)
Jumlah
I
II
III
IV
V
1,52
2,05
2,44
2,28
-
-
1.398
565
90
3
2
2.058
251
62
2
1
0
316
-
-
60
1
1
62
-
-
1/(1x1)
2/(2x1) 3/(1x1) f. Tahun tebang 2012 2013 2014 Keterangan : I = 1-10 cm; II = 11-20 cm; III = 21-30 cm; IV = 31-40 cm; V = 41-50 cm (frek.) = frekuensi tebang dalam sekali tebang (tahun)
-
Pada alternatif pengaturan hasil untuk jenis mahoni di atas hanya terdapat tiga kelas diameter yang boleh dilakukan penebangan, yaitu kelas diameter 21-30 cm, kelas diameter 31-40 cm, dan kelas diameter 41-50 cm. Dapat dilihat di Tabel 10 bahwa pada kelas diameter 31-40 cm, meskipun stok yang tersedia terdapat sebanyak tiga pohon, namun jumlah tersebut tidak dapat ditebang seluruhnya sebab pohon pengganti yang pindah dari kelas diameter 21-30 cm hanya sebanyak dua pohon, sehingga yang boleh ditebang hanyalah satu batang. Pada kelas diameter 41-50 cm tidak tersedia data riap, maka akumulasi jumlah tebangan pada
58
kondisi normal hanyalah 61 batang/ha. Sedangkan untuk perhitungan selanjutnya yakni kelas diameter 21-30 cm, menggunakan konsep perhitungan yang sama dengan alternatif pengaturan hasil jenis jati sebelumnya sehingga diperoleh sebanyak 60 batang/ha yang boleh ditebang pada kelas diameter 21-30 cm. Tabel 9 dan Tabel 10 telah menginformasikan bahwa jumlah pohon yang boleh ditebang dengan satuan batang per hektar adalah sebanyak 24 batang untuk jenis jati dan sebanyak 61 batang untuk jenis mahoni. Sedangkan untuk satuan per petani telah tersaji pada Lampiran 7, yakni sebanyak 21 batang untuk jenis jati dan sebanyak 81 batang untuk jenis mahoni. Melalui jumlah tersebut pun dapat diketahui pendapatan yang akan diperoleh petani bila alternatif tersebut diterapkan seperti yang tersaji pada Tabel 11. Perbedaan banyaknya jumlah batang yang boleh ditebang antara satuan per hektar dan per petani dipengaruhi oleh faktor luas lahan baik tegalan maupun pekarangan yang dimiliki petani, sebab dalam mengkonversi satuan dari per hektar menjadi per petani memerlukan data luas lahan hutan rakyat milik responden seperti yang tertera pada Lampiran 8. Tabel 11
Perbandingan produksi dan pendapatan pengaturan hasil saat kini terhadap alternatifnya
A
Jumlah tebangan per tahun (batang/th) Pengaturan hasil menurut Realisasi pengaturan hasil saat kini** Jenis jumlah batang pohon Per Hektar Per Petani* Rata-rata Min Max Jati 24 21 19 15 25 Mahoni 61 81 15 8 30 B Harga tegakan rata-rata per batang (Rp/batang)*** Jati 640.000 Mahoni 219.000 C Pendapatan per petani (Rp/KK/th) Pengaturan hasil menurut Realisasi pengaturan hasil saat kini** Jenis jumlah batang pohon Per Hektar Per Petani Rata-rata Min Max Jati 15.360.000 13.440.000 12.160.000 9.600.000 16.000.000 Mahoni 13.359.000 17.739.000 3.285.000 1.752.000 6.570.000 Rata-rata kebutuhan petani per D 13.037.788 tahun (Rp /KK/th) **** Keterangan: * = Rekapitulasi dari perhitungan Lampiran 7 ** = Rekapitulasi dari perhitungan Lampiran 4 *** = Rekapitulasi dari perhitungan Lampiran 9 **** = Hasil olahan data Mulyani (2012)
Pada Tabel 11, diketahui bahwa rata-rata kebutuhan petani per tahun dapat terpenuhi bila alternatif pengaturan hasil ini diterapkan. Berdasarkan hasil olahan
59
data Mulyani (2012), kebutuhan tersebut merupakan hasil rata-rata kebutuhan dalam setahun yang mencakup kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, insidental, tabungan, pajak lahan per tahun, dan lain-lain. Kebutuhan tersebut dapat terpenuhi melalui penebangan jenis mahoni yang sudah dapat diterapkan mulai tahun 2014. Meski kebutuhan ini dapat terpenuhi hanya dengan melakukan penebangan jenis jati, namun petani membutuhkan waktu selama 47 tahun untuk bisa menerapkannya. Bila diasumsikan tidak terjadi suatu hal yang dapat merubah kondisi tegakan saat ini, maka sangat dimungkinkan yang akan menikmati hasil tersebut adalah anak cucunya. Pada realisasinya, rata-rata produksi kayu per petani selama tujuh tahun terakhir menunjukkan bahwa tebangan sebesar Rp 15.455.000,- (hasil penjumlahan dari rata-rata pendapatan per petani jenis jati dan mahoni pada realisasi produksi kayu per petani) telah melebihi rata-rata kebutuhan petani per tahun. Hal ini dimungkinkan terdapat suatu keperluan atau biaya tak terduga yang harus dipenuhi, sehingga harus melebihkan tebangan senilai dua juta rupiah. Sedangkan realisasi tebangan minimum dan maksimum yang dilakukan selama tujuh tahun terakhir, sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa hal tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor kebutuhan mendesak dari masing-masing petani. 5.6 Kendala dan Alternatif Solusi Sosial Penerapan Pengaturan Hasil Menurut Jumlah Batang 5.6.1 Kendala sosial pengaturan hasil menurut jumlah batang Unit kelestarian hutan rakyat sangat terkait dengan pengaturan hasil, karena pengaturan hasil merupakan bagian dari unit kelestarian hutan rakyat dan merupakan salah satu yang harus diatur agar dapat mencapai kelestarian. Pembentukan suatu unit kelestarian hutan rakyat tergantung pada kesediaan ataupun kesadaran anggotanya dalam membentuk unit tersebut dan sekaligus menerapkan aturan-aturan atau kesepakatan bersama yang salah satunya adalah penerapan pengaturan hasil. Alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang masih belum bisa disepakati oleh para petani hutan rakyat Desa Sumberejo. Namun, hal ini memiliki peluang untuk diimplementasikan apabila kendala-kendala dalam penerapannya dapat teratasi. Pada pengaturan hasil tersebut, dapat dipastikan petani akan berkeberatan bila harus menerapkan pengaturan hasil terutama untuk jenis jati
60
sebab membutuhkan waktu yang sangat lama. Namun, petani dapat menutupi kekurangan kebutuhan dana hanya dengan menebang jenis mahoni. Seperti yang diketahui bahwa harga tegakan mahoni lebih rendah dibanding jati dan bila dikonversikan ke dalam rupiah, maka satu batang jati berdiameter tertentu akan setara dengan tiga batang mahoni yang berdiameter sama. Oleh sebab itu dalam kebutuhan yang sama, tegakan mahoni akan lebih banyak ditebang dibanding jati. Terkait hal tersebut, petani yang menjadi responden dalam penelitian ini diwawancarai mengenai kesediaannya terhadap alternatif pengaturan hasil menurut jumlah bantang seperti yang disajikan pada Tabel 12. Petani sebanyak dua puluh lima responden merupakan petani yang pada lahannya sudah dilakukan pengukuran potensi tegakan hutan rakyat. Tabel 12
Distribusi jawaban petani terhadap kesediaan untuk menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang Kesediaan petani menerapkan alternatif Frekuensi (orang) Persentase (%) pengaturan hasil menurut jumlah batang Bersedia 14 56 Keberatan 11 44 Jumlah 25 100
Keterangan: Frekuensi = Jumlah responden (orang)
Pada tabel di atas dapat diketahui bahwa petani hutan rakyat yang bersedia menerapkan pengaturan hasil menurut jumlah batang adalah sebanyak 56%, sedangkan yang keberatan sebanyak 44%. Jumlah ini hampir berimbang, sehingga alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang dapat saja diterapkan asal ada suatu solusi bagi para petani yang keberatan. Namun, solusi tersebut pun tergantung pada alasan kesediaan petani dalam menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang seperti yang tertera pada Tabel 13. Tabel 13 Alasan petani bersedia untuk menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang Alasan petani bersedia menerapkan alternatif Frekuensi Persentase pengaturan hasil menurut jumlah batang (orang) (%) 1. Memberi kesempatan pohon untuk tumbuh 4 16 2. Pertimbangan biaya pendidikan 1 4 3. Dapat mengamankan kayu 9 36 Jumlah 14 56 Keterangan: Frekuensi = Jumlah responden (orang)
Dilihat dari alasan para petani yang bersedia menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang, dapat diketahui bahwa petani sadar akan
61
pentingnya hutan bagi kelangsungan hidup petani. Selain pertimbangan untuk menghidupi anak cucu, petani pun merasa bahwa petani harus menjaga hutan yang ada saat ini mengingat kondisi gersang dan lahan kritis yang pernah petani alami beberapa tahun silam. 1) Memberi kesempatan pohon untuk tumbuh Cukup banyak petani yang bersedia menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang, yakni sebanyak empat orang (16%) dengan alasan atau pertimbangan bahwa dengan menerapkan pengaturan hasil, maka akan memberi kesempatan pohon untuk tumbuh besar. Petani menyadari bahwa pohon memerlukan waktu untuk tumbuh besar. Namun, alasan ini disertai dengan pertimbangan lain pula, yaitu agar petani dapat menebang pohon pada waktuya dengan ukuran besar sehingga petani dapat memperoleh penghasilan yang besar pula. 2) Pertimbangan biaya pendidikan Petani yang bersedia dengan alasan pertimbangan biaya pendidikan hanya terdapat satu orang (4%). Hal ini karena memang kebetulan dari empat belas orang responden yang bersedia, hanya satu responden yang masih punya tanggungan untuk membiayai sekolah anak yang baru duduk di tingkat sekolah dasar. Untuk responden lain, mayoritas anaknya sudah bekerja sehingga keperluan biaya anak yang masih sekolah dibantu oleh kakaknya. Pertimbangan ini tentunya karena responden memikirkan kehidupan masa depan anak cucu. Dengan menerapkan pengaturan hasil yang terdapat aturanaturan di dalamnya, maka responden beranggapan bahwa dapat menekan kebiasaan tebang butuh yang kerap kali dilakukan, sehingga akan terus tersedia kayu yang dapat menjadi tabungan bagi anaknya di kemudian hari. 3) Dapat mengamankan kayu Responden terbanyak sejumlah sembilan orang (36%) memiliki alasan bahwa dengan menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang dapat mengamankan kayu. Responden berpikir apabila tidak ada pengaturan hasil, maka tebang butuh akan terus berjalan dan kayu pun lambat laun akan semakin sedikit, terlebih lagi bila penebangannya menjadi tidak terkendali. Keadaan ini mungkin saja akan berdampak sama dengan apa yang telah
62
dialami beberapa tahun silam, dan tentunya petani tidak menginginkan hal tersebut terjadi kembali. Melalui alasan ini, dapat diketahui bahwa petani telah mempertimbangkan aspek kelestarian pada hutan rakyatnya yang dapat menjadi modal sosial demi keberlangsungan penerapan alternatif pengaturan hasil itu sendiri. Dengan adanya kebutuhan mendesak, terdapat pula petani yang keberatan untuk menerapkan pengaturan hasil menurut jumlah batang dengan alasan apabila pengaturan hasil tersebut diterapkan, maka akan membatasi pemenuhan kebutuhan dana petani. Alasan tersebut dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Alasan petani keberatan untuk menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang Alasan petani keberatan menerapkan alternatif Frekuensi Persentase pengaturan hasil menurut jumlah batang (orang) (%) 1. Kebutuhan petani akan terbatasi 5 20 2. Dana untuk memenuhi kebutuhan selain dari kayu 6 24 tidak ada Jumlah 11 44 Keterangan: Frekuensi = Jumlah responden (orang)
1) Kebutuhan petani akan terbatasi Sebanyak lima responden (20%) yang keberatan memiliki alasan bahwa dengan diterapkannya pengaturan hasil, maka akan membatasi kebutuhan petani. Dengan kata lain, petani tidak bisa lagi menebang pohon melalui sistem tebang butuh. Bagi petani, tebang butuh sudah menjadi kebiasaan yang hingga saat ini merupakan solusi terbaik bila ada kebutuhan mendesak. 2) Dana untuk memenuhi kebutuhan selain dari kayu tidak ada Responden terbanyak sebesar 24% yang keberatan memiliki alasan tidak mempunyai dana untuk memenuhi kebutuhan selain dari kayu terutama pada saat kebutuhan mendesak tiba. Selama ini, kebutuhan tersebut dipenuhi dengan menebang pohon kapan pun dan dalam jumlah berapa pun. Dengan pengaturan hasil yang membatasi kebiasaan sebelumnya, maka menjadi kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan mendesak bila tidak tersedia dana lain selain dari kayu untuk memenuhinya. 5.6.2 Alternatif solusi sosial pengaturan hasil menurut jumlah batang Pengaturan hasil sangat diperlukan untuk menjamin kelestarian. Namun, dari beberapa respon kesediaan responden sebelumnya, terdapat 44% responden
63
yang keberatan untuk menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang. Di balik alasan keberatan tersebut, terdapat pertimbangan mendasar yang menjadi kendala, yakni tidak tersedia dana untuk memenuhi kekurangan kebutuhan dana selain dari kayu, padahal kelompok tani memiliki peran utama dalam penerapannya. Untuk itu, ditawarkan beberapa usulan yang mungkin dapat diterapkan di Desa Sumberejo agar alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang dapat diimplementasikan oleh para petani hutan rakyat, diantaranya yaitu: 1) Mengembangkan pemenuhan kebutuhan dana melalui pinjam meminjam; 2) Mengembangkan keuangan kelompok tani dengan menaikkan iuran wajib anggota per pertemuan; dan 3) Mengembangkan industri kerajinan kayu untuk meningkatkan pendapatan petani dengan menyisihkan dan mengumpulkan sebagian dana dari bantuanbantuan yang selanjutnya akan diterima. Bantuan ini dapat saja diperoleh dari pemerintah, LSM, maupun pihak lain yang berkepentingan mengingat status hutan rakyatnya yang telah disertifikasi PHBML LEI. 3.a) Mengembangkan keahlian petani dengan menjadi tenaga kerja di industri kerajinan kayu; dan 3.b) Mengembangkan ekonomi petani dengan menabungkan sebagian gaji yang diperoleh dari hasil bekerja di industri kerajinan kayu. Berikut adalah tabel yang menampilkan alternatif pemenuhan kebutuhan dana selain dari kayu melalui kegiatan pinjam meminjam. Tabel 15 Alternatif untuk pemenuhan kebutuhan dana melalui pinjam meminjam Alternatif untuk pemenuhan kebutuhan dana Frekuensi melalui pinjam meminjam Pinjam meminjam sesama petani Pinjam ke petani dalam satu kelompok tani 25 Pinjam ke petani di dusun lain 4 Pinjam ke petani di desa lain 2 Pinjam ke petani di kecamatan lain 0 Jumlah 31 Pinjam meminjam ke lembaga keuangan (formal, non formal) Pinjam ke kelompok tani 25 Pinjam ke Koperasi RT 0 Pinjam ke KUD 0 Pinjam ke bank 0 Jumlah 25 Keterangan: Frekuensi = Jumlah pilihan responden
Persentase (%) 81 13 6 0 100 100 0 0 0 100
64
Pada alternatif yang tersedia pada Tabel 15, dapat diketahui bahwa untuk keperluan pinjam meminjam sesama petani, sebagian besar responden lebih memilih untuk melakukan transaksi peminjaman hanya dalam lingkup satu dusun meskipun terdapat 13% responden yang bersedia meminjam ke petani di dusun lain, dan 6% responden yang bersedia meminjam ke petani di desa lain. Sedangkan untuk meminjam ke petani di kecamatan lain, tidak ada satu pun responden yang bersedia. Hal ini dikarenakan terdapat kendala sosial berupa jarak tempuh yang jauh bila harus lintas dusun, desa, ataupun kecamatan. Selain itu, terdapat pula kendala sosial berupa ketidakakraban dengan petani lain. Kebanyakan dari petani tidak akrab bahkan ada yang tidak kenal dengan petani di dusun, desa, ataupun kecamatan lain. Untuk keperluan pinjam meminjam ke lembaga keuangan formal maupun non formal, lembaga yang lebih diminati hanyalah kelompok tani. Hal ini disebabkan oleh beberapa pertimbangan yang merupakan kendala sosial, diantaranya yaitu seperti yang tertera pada Tabel 16. Tabel 16 Pertimbangan petani melakukan pinjaman ke lembaga keuangan formal maupun non formal Pertimbangan petani melakukan pinjaman ke lembaga keuangan formal maupun non formal 1. Pinjam ke kelompok tani Bila memang dana pinjaman tersedia Mudah, dekat, kenal dengan warganya, dan pasti 2. Pinjam ke Koperasi RT Tidak bisa pinjam banyak Berbunga 3. Pinjam ke KUD Bunga besar, proses rumit Banyak persyaratan yang harus dipenuhi 4. Pinjam ke bank Bunga besar, proses rumit, dan takut dikejar-kejar debt collector karena tidak bisa melunasi Banyak persyaratan yang harus dipenuhi
Bersedia Frekuensi Persentase (%) 25
100
0
0
0
0
0
0
Keterangan: Frekuensi = jumlah pilihan responden
1) Pinjam ke kelompok tani Dalam kesediaan petani untuk meminjam ke lembaga keuangan formal maupun non formal, terdapat dua puluh lima pilihan dari seluruh responden yang bersedia untuk meminjam ke kelompok tani. Kini, kondisi kelompok tani tidak memiliki ketersediaan dana untuk keperluan peminjaman. Meskipun selama ini masing-masing kelompok tani di tiap dusun memang telah
65
menjalankan sistem simpan pinjam, namun yang disimpanpinjamkan hanya sebatas
keperluan
pertanian
seperti
bibit
dan
pupuk.
Sedangkan
pengembaliannya dilakukan dalam bentuk uang saat musim panen tiba. Terkait hal tersebut, petani bersedia meminjam kalau memang pada kelompok tani telah tersedia dana yang bisa dipinjam kapan pun saat petani butuh dan dalam jumlah berapa pun sesuai dengan yang dibutuhkan. Selain itu, pertimbangan kemudahan dalam bertransaksi, hubungan sosial, dan kepastian peminjaman juga membuat petani lebih nyaman untuk pinjam ke kelompok tani. Sehingga petani juga bersedia dikenakan bunga pinjaman yang besarnya tidak lebih dari 2%, sebab bunga tersebut merupakan bunga yang berlaku di Desa Sumberejo untuk keperluan pinjam meminjam yang salah satunya juga berlaku di Koperasi RT. 2) Pinjam ke Koperasi RT Koperasi RT merupakan koperasi berbadan hukum di masing-masing RT (Rukun Tetangga) Desa Sumberejo yang disahkan pada bulan Januari 2003. Terdapat sebanyak enam belas Koperasi RT yang kini beroperasi karena dalam satu dusun masing-masing memiliki dua RT. Ketersediaan dana di Koperasi RT ini tidak jauh berbeda dengan kelompok tani. Meski di Koperasi RT telah tersedia dana, namun masih dalam jumlah sedikit yakni masingmasing petani hanya mendapat jatah pinjam sekitar Rp 100.000,- per sekali pinjam. Sedangkan kebutuhan petani bisa mencapai Rp 500.000,- sampai jutaan rupiah per sekali kebutuhan mendesak. Oleh sebab itu, petani beralasan bahwa bila pinjam ke Koperasi RT, petani tidak dapat meminjam dalam jumlah banyak sesuai kebutuhan. Selain itu, bunga yang rendah sebesar 2% juga masih dirasakan sebagai beban. 3) Pinjam ke KUD (Koperasi Unit Desa) Petani tidak tertarik untuk meminjam ke KUD, sebab petani tidak ingin berurusan dengan bunga. Dalam konsep pemikiran petani, bunga pinjaman di luar bunga Koperasi RT adalah lebih besar, sehingga akan memberatkan petani terlebih lagi bila petani tidak mampu mengembalikannya. Selain itu, proses yang cukup rumit karena beberapa persyaratan pun dirasakan membebani petani.
66
4) Pinjam ke Bank Untuk melakukan pinjaman ke bank, petani sangat tidak tertarik. Berkaitan dengan poin 3 di atas mengenai konsep pemikiran petani tentang bunga pinjaman, petani takut dikejar-kejar oleh penagih hutang (debt collector) bila petani pinjam ke bank dan tidak mampu membayar karena bunga yang sangat besar. Sama seperti beban yang dirasakan pada poin 3, untuk pinjam ke bank pun petani mengeluhkan banyak persyaratan, sehingga proses menjadi rumit. Pertimbangan inilah yang membuat petani lebih memilih untuk menebang pohonnya dibanding harus repot-repot meminjam uang saat petani butuh. Berikut adalah tabel yang menampilkan alternatif lainnya untuk pemenuhan kebutuhan dana selain dari kayu yang merupakan pengembangan keuangan kelompok tani dengan menaikkan iuran wajib anggota per pertemuan. Tabel 17 Alternatif pemenuhan kebutuhan dana melalui kenaikan iuran wajib per pertemuan dalam kelompok tani Kesediaan petani menaikkan iuran wajib per pertemuan dalam kelompok tani Bersedia Keberatan Jumlah
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
5 20 25
20 80 100
Keterangan: Frekuensi = Jumlah responden (orang)
Pada tabel di atas, diketahui bahwa hanya sebanyak 20% responden yang bersedia untuk menaikkan iuran wajib per pertemuan dalam kelompok tani. Sisanya sebanyak 80% responden keberatan untuk menaikkannya. Alasan kesediaan petani dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Alasan petani bersedia untuk menaikkan iuran wajib per pertemuan dalam kelompok tani Alasan petani bersedia menaikkan iuran wajib per pertemuan dalam kelompok tani 1. Bila kenaikan sudah menjadi kesepakatan bersama 2. Kenaikan tidak terlalu besar Jumlah
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
4
16
1 5
4 20
Keterangan: Frekuensi = Jumlah responden (orang)
1) Bila kenaikan sudah menjadi kesepakatan bersama Sebanyak empat orang responden (16%) bersedia untuk menaikkan iuran wajib per pertemuan dalam kelompok tani kalau memang itu sudah menjadi
67
kesepakatan bersama. Petani berpikir bahwa hal tersebut adalah baik karena untuk kepentingan bersama juga. Iuran yang diwajibkan merupakan dana dari, oleh, dan untuk anggota. Apabila iuran tersebut dinaikkan, maka dana akan semakin banyak, sehingga bila ada anggota yang memerlukan akan dapat terlayani. 2) Kenaikan tidak terlalu besar Hanya terdapat satu responden (4%) yang bersedia dengan alasan atau tepatnya yakni dengan syarat tidak naik terlalu banyak. Responden memberi saran naiknya iuran tidak melebihi Rp 1.000,- per bulan. Meski untuk kebaikan bersama, ada pula responden yang keberatan untuk menaikkannya dengan pertimbangan seperti yang tertera pada Tabel 19. Tabel 19 Alasan petani keberatan untuk menaikkan iuran wajib per pertemuan dalam kelompok tani Alasan petani keberatan menaikkan iuran wajib per pertemuan dalam kelompok tani 1. Terdapat banyak kebutuhan lain 2. Pendapatan petani kecil dan tak menentu Jumlah
Frekuensi (orang) 8 12 20
Persentase (%) 32 48 80
Keterangan: Frekuensi = Jumlah responden (orang)
1) Terdapat banyak kebutuhan lain Sebanyak 32% responden yang keberatan memiliki alasan bahwa responden mempunyai banyak kebutuhan lain yang harus dipenuhi, sehingga responden tidak mampu untuk mengeluarkan dana lebih hanya untuk menambah iuran wajib per pertemuan. Petani mengartikan kenaikan di sini sebagai sesuatu yang akan menambah beban karena petani berasumsi kenaikan tersebut bisa mencapai berkali-kali lipat dari sebelumnya. Padahal iuran sebelumnya hanya sekitar Rp 1.000,- per bulan. 2) Pendapatan petani kecil dan tak menentu Pendapatan petani yang kecil dan kadang tak menentu membuat dua belas responden keberatan untuk menaikkan iuran wajib per pertemuan dalam kelompok tani. Dengan pendapatan tersebut, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun kadang terkendala, apalagi bila harus menaikkan iuran wajib. Dalam hal ini, kelompok tani memiliki cukup dana untuk menjadikannya sebagai modal kegiatan simpan pinjam. Namun seperti pada penjelasan
68
sebelumnya, dana tersebut dikhususkan untuk keperluan simpan pinjam berupa produk pertanian seperti pupuk. Dengan iuran rata-rata Rp 1.000,- per sekali pertemuan (35 hari sekali) di masing-masing kelompok tani maka dapat dihitung taksiran persediaan dana dalam satu tahun seperti yang tersedia pada Tabel 20. Tabel 20 Taksiran persediaan dana di masing-masing kelompok tani Dusun Wates Kalinekuk Ngandong Semawur Rowo Gembuk Rembun Puthuk
KPS Gondangrejo Ngudi Boga Ngudi Mulyo Sedya Makmur Sumber Rejeki Ngudi Makmur Ngesti Rejeki Sedya Mulya Rata-rata
Jumlah anggota KPS 83 30 57 60 72 83 46 86 64
TPD per pertemuan (Rp) 83.000 30.000 57.000 60.000 72.000 83.000 46.000 86.000 64.000
TPD per tahun (Rp/tahun) 830.000 300.000 570.000 600.000 720.000 830.000 460.000 860.000 640.000
Keterangan: KPS = Komunitas Petani Sertifikasi TPD = Taksiran Persediaan Dana
Pada tabel di atas dapat diketahui bahwa dengan iuran per pertemuan yang selama ini diterapkan hanya menghasilkan dana sejumlah kurang lebih Rp 640.000,- per kelompok tani tiap tahunnya. Jumlah ini tentu tidak dapat mencukupi kebutuhan mendesak petani yang dalam sekali butuh bisa mencapai dua kali lipat dari jumlah tersebut. Itu pun kebutuhan per orang bukan kebutuhan per kelompok tani. Maka dapat dibayangkan butuh berapa banyak jumlah persediaan dana yang harus dimiliki kelompok tani agar dapat memberi pinjaman bagi anggotanya yang sedang membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan mendesak per sekali kebutuhan. Oleh sebab itu, dimungkinkan sejumlah persediaan dana tersebut hanya diperuntukkan bagi keperluan simpan meminjam kebutuhan pertanian. Berikut adalah tabel yang menampilkan alternatif solusi sosial untuk menerapkan pengaturan hasil menurut jumlah batang melalui pengembangan industri kerajinan kayu. Tabel 21 Alternatif solusi sosial melalui pengembangan industri kerajinan kayu Komentar petani terhadap pengembangan industri kerajinan kayu Setuju Tidak setuju Jumlah Keterangan: Frekuensi = Jumlah responden (orang)
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
25 0 25
100 0 100
69
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa seluruh responden setuju bila di desa dikembangkan sebuah industri kerajinan kayu dengan berbagai pertimbangan yang akan disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Pertimbangan petani setuju terhadap alternatif solusi sosial melalui pengembangan industri kerajinan kayu Pertimbangan petani setuju terhadap pengembangan industri kerajinan kayu 1. Dapat meningkatkan kesejahteraan 2. Memudahkan petani, tidak perlu melalui pedagang perantara 3. Dapat menambah nilai jual kayu Jumlah
Frekuensi (orang) 1
Persentase (%) 4
9
36
15 25
60 100
Keterangan: Frekuensi = Jumlah responden (orang)
1) Dapat meningkatkan kesejahteraan Terdapat satu orang responden (4%) setuju terhadap solusi pembuatan industri kerajinan kayu yang beralasan bahwa dengan dibangunnya industri tersebut maka dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Terlebih lagi bila petani sendiri yang menjadi tenaga kerjanya maka pendapatan petani yang mulanya sedikit dan tidak menentu dapat menjadi pasti. 2) Memudahkan petani, tidak perlu melalui pedagang perantara Terdapat sembilan orang responden (36%) yang setuju dengan alasan dapat memudahkan petani bila akan dibangun industri kerajinan kayu. Adapun maksud dengan memudahkan petani di sini adalah akses jual petani menjadi mudah karena petani tidak perlu lagi menjual kayu melalui pedagang perantara (bakul) yang membeli dengan harga murah. Bahan baku yang digunakan dalam industri tersebut merupakan kayu dari dalam desa sendiri yang berarti juga kayu milik petani hutan rakyat, maka petani dapat menjualnya ke industri yang dikelola oleh kelompok tani. Petani berasumsi bila kayu dijual kepada industri maka akan dibeli dengan harga yang lebih tinggi dibanding bakul. 3) Dapat menambah nilai jual kayu Pertimbangan terbanyak atas jawaban responden sebanyak lima belas orang (60%) adalah dapat menambah nilai jual kayu. Dengan dibuat industri kerajinan kayu ini, maka kayu yang mulanya dijual dalam bentuk pohon berdiri dapat dijual dalam bentuk hasil olahan kerajinan kayu yang tentunya
70
nijai jual kayu itu sendiri menjadi lebih tinggi, antara lain: kursi, meja, atau produk yang lainnya. Berikut adalah tabel yang menampilkan alternatif solusi sosial untuk menerapkan pengaturan hasil menurut jumlah batang melalui pengembangan keahlian petani dengan menjadi tenaga kerja di industri kerajinan kayu. Tabel 23 Alternatif solusi sosial melalui pengembangan keahlian petani dengan menjadi tenaga kerja di industri kerajinan kayu Kesediaan petani untuk menjadi tenaga kerja di industri kerajinan kayu Bersedia Keberatan Jumlah
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
15 10 25
60 40 100
Keterangan: Frekuensi = Jumlah responden (orang)
Pada Tabel 23, terdapat sebanyak lima belas orang responden (60%) yang bersedia menjadi tenaga kerja di industri kerajinan kayu. Sedangkan yang keberatan terdapat sebanyak sepuluh orang responden (40%). Berikut adalah alasan petani yang bersedia. Tabel 24 Alasan petani bersedia menjadi tenaga kerja di industri kerajinan kayu Alasan bersedia menjadi tenaga kerja di industri kerajinan kayu 1. Kerja sampingan yang menjanjikan 2. Merasa mampu untuk mengerjakan Jumlah
Frekuensi (orang) 10 5 15
Persentase (%) 40 20 60
Keterangan: Frekuensi = Jumlah responden (orang)
1) Kerja sampingan yang menjanjikan Sebanyak sepuluh orang responden (40%) bersedia apabila petani menjadi tenaga kerja di industri kerajinan kayu dengan alasan hal tersebut merupakan kerja sampingan yang menjanjikan. Pekerjaan ini dapat dilakukan tanpa harus meninggalkan pekerjaan utamanya sebagai petani, dan juga petani dapat memperoleh gaji yang pasti setiap bulan. 2) Merasa mampu untuk mengerjakan Sebanyak lima orang responden (20%) bersedia menjadi tenaga kerja di industri kerajinan kayu karena petani merasa mampu untuk mengerjakannya dan memang sesuai dengan keahliannya. Sedangkan berikut adalah tabel yang menyajikan alasan petani keberatan menjadi tenaga kerja di industri kerajinan kayu.
71
Tabel 25 Alasan petani keberatan menjadi tenaga kerja di industri kerajinan kayu Alasan petani keberatan menjadi tenaga kerja di industri kerajinan kayu 1. Sudah tua 2. Tidak mempunyai keterampilan tersebut Jumlah
Frekuensi (orang) 5 5 10
Persentase (%) 20 20 40
Keterangan: Frekuensi = Jumlah responden (orang)
1) Sudah tua Merasa dirinya sudah tua merupakan alasan dari lima orang responden (20%) yang keberatan menjadi tenaga kerja industri kerajinan kayu. Mereka lebih menyarankan agar para pemuda saja yang menjadi tenaga kerja di industri, sebab di usianya yang produktif pasti dapat memberi kontribusi terbaik bagi pekerjaannya. Meski sudah banyak pemuda yang merantau ke luar kota untuk mencari kerja, namun dapat memberdayakan pemuda-pemudi yang masih tinggal di desa dan belum pergi merantau. Apabila industri sudah berkembang, bukan suatu hal yang tidak mungkin bila tenaga kerja yang digunakan berasal dari anggota masyarakat yang saat ini sedang merantau. 2) Tidak mempunyai keterampilan tersebut Sebanyak lima orang responden (20%) yang keberatan menjadi tenaga kerja di industri kerajinan kayu memiliki alasan bahwa responden tidak mempunyai keterampilan tersebut. Terkait hal ini dapat diantisipasi dengan memberikan pelatihan keterampilan bagi petani yang memerlukan. Berikut adalah tabel yang menampilkan alternatif solusi sosial untuk menerapkan pengaturan hasil menurut jumlah batang melalui pengembangan ekonomi petani dengan menabungkan sebagian gaji yang diperoleh dari hasil bekerja di industri kerajinan kayu.. Tabel 26 Alternatif solusi sosial dengan menabungkan sebagian gaji di kelompok tani Kesediaan petani menabungkan sebagian gaji di kelompok tani Bersedia Keberatan Jumlah
Frekuensi (orang) 18 7 25
Persentase (%) 72 28 100
Keterangan: Frekuensi = Jumlah responden (orang)
Responden yang bersedia sebanyak delapan belas orang (72%) memiliki alasan bahwa solusi tersebut merupakan solusi yang baik terlebih lagi bila sudah
72
menjadi keputusan bersama. Dengan ditabung, uang dapat diambil sewaktu-waktu saat dibutuhkan tanpa harus banyak menebang pohon bahkan tanpa harus menebang pohon sama sekali. Namun, ternyata masih terdapat responden yang keberatan dengan solusi ini. Sebanyak 28% responden beralasan bahwa pendapatan petani yang kecil belum tentu kebutuhannya dapat terpenuhi sekalipun memperoleh gaji setiap bulan, sehingga hal ini hanya dapat menambah beban keluarga. Oleh karena itu, petani lebih memilih menggunakan seluruh gajinya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Meski demikian, hal ini dapat dimaklumi asal petani tetap memegang komitmen untuk tidak menebang pohon, sehingga pengaturan hasil dapat berjalan dan unit kelestarian hutan rakyat yang berkesinambungan dapat dibentuk. 5.7 Analisis Penerapan Alternatif Pengaturan Hasil di dalam Unit Kelestarian Hutan Rakyat Pada sub bab sebelumnya telah diuraikan mengenai kesediaan petani untuk menerapkan pengaturan hasil menurut jumlah batang. Dari sejumlah dua puluh lima orang responden, terdapat sebanyak 56% responden yang bersedia, dan sebanyak 44% responden yang keberatan. Petani yang keberatan belum memiliki gambaran, informasi, serta pengalaman mengenai implementasi pengaturan hasil menurut jumlah batang di hutan rakyatnya. Penerapan pengaturan hasil menurut jumlah batang dikhawatirkan oleh petani dapat menurunkan sumber pendapatan dibandingkan apabila petani menerapkan pengaturan hasil berdasarkan limit diameter. Hal ini berpengaruh pada pemahaman dan kepastian petani dalam mengambil keputusan penebangan. Pengaturan hasil berdasarkan limit diameter relatif lebih mudah dipahami. Penebangan pohon berdiameter 20 cm up disesuaikan dengan kebutuhan dana yang diperlukan. Sedangkan pengaturan hasil menurut jumlah batang yang menerapkan penebangan pada beberapa kelas diameter tertentu, masih belum dipahami dengan baik oleh petani terutama mengenai kepastian jumlah pohon yang boleh ditebang. Hal ini berimplikasi pada pembatasan jumlah tebangan dalam memenuhi kebutuhan dana petani. Meski kendala tersebut dihadapi, namun telah disediakan solusi yang dapat diterima oleh petani dan bisa ditawarkan seperti yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya. Dengan demikian, pembentukan
73
unit kelestarian berbasis kepada pengaturan hasil menurut jumlah batang masih berpeluang untuk diimplementasikan. Tabel 11 yang menyajikan perbandingan pendapatan petani antara alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang dengan realisasi pendapatan berdasarkan limit diameter dan dibandingkan juga dengan kebutuhan dana untuk rumah tangga petani, menunjukkan potensi pendapatan tegakan menurut jumlah batang (sistem penjualan petani adalah jual tegakan (bukan log) dan yang melakukan pemanenan adalah pembeli). Pengaturan hasil menurut jumlah batang bila telah mencapai kondisi normal memberikan pendapatan hasil tebangan jati sebesar Rp 13,4 juta/KK/th dan mahoni sebesar Rp 17,7 juta/KK/th, sehingga total keseluruhan adalan Rp 31,1 juta/KK/th. Jumlah ini melebihi realitas pendapatan petani berdasarkan limit diameter yang rata-rata dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2011 secara keseluruhan adalah sebesar Rp 15,4 juta/KK/th. Apabila potensi pendapatan ini dihubungkan dengan kebutuhan dana untuk berbagai kebutuhan hidup petani yang besarnya kurang lebih Rp 13 juta/KK/th, maka pendapatan dari pengaturan hasil menurut jumlah batang ini sudah memenuhi kebutuhan tersebut bahkan melebihi realisasi pendapatan dari hasil tebangan berdasarkan limit diameter. Di sisi lain, pembentukan unit kelestarian hutan rakyat berdasarkan kesediaan petani menunjukkan bahwa petani lebih cenderung memiliki ikatan pada tingkat dusun. Namun berdasarkan realitas pengelolaan saat kini, kesepakatan berdasarkan limit diameter dapat juga dibangun pada tingkat desa. Oleh karena itu, yang dianalisis adalah unit kelestarian hutan rakyat berbasis pengaturan hasil menurut jumlah batang pada tingkat desa. Berikut adalah luas unit kelestarian hutan rakyat di Desa Sumberejo. Tabel 27 Luas unit kelestarian hutan rakyat di Desa Sumberejo Dusun
Jumlah KK
Rembun 60 Rowo 86 Puthuk 54 Gembuk 96 Kalinekuk 31 Semawur 64 Ngandong 50 Wates 96 Jumlah 537 Rata-rata 67 Sumber: Potensi Desa Sumberejo (2011)
Tegalan 32,50 47,80 72,52 32,64 32,73 56,60 55,57 96,35 426,71 53,34
Luas lahan hutan rakyat (ha) Pekarangan 7,36 10,84 16,37 7,37 7,38 12,78 12,54 21,74 96,38 12,05
Total 39,86 56,64 88,89 40,01 40,11 69,38 68,11 118,09 521,09 65,39
74
Sedangkan berikut adalah tabel yang menunjukkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang untuk unit kelestarian hutan rakyat Desa Sumberejo berdasarkan jenis. Tabel 28 Alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang pada unit kelestarian hutan rakyat untuk jenis jati (batang/th) Parameter Riap diameter rata-rata tahunan (cm/th) Kerapatan tegakan (pohon) Tegakan yang pindah ke kelas diameter berikutnya (pohon/th) Tegakan yang boleh ditebang (batang/th) Total tegakan yang boleh ditebang (batang /th)
1-10
Kelas Diameter (cm) 11-20 21-30 31-40
41-50
2,31
1,41
0,81
0,66
0,41
608.435
245.025
47.163
2.306
2.049
76.258
6.980
4.121
48
38
-
-
2.859
4.073
10
6.942
Tabel 29 Alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang pada unit kelestarian hutan rakyat untuk jenis mahoni (batang/th) Parameter Riap diameter rata-rata tahunan (cm/th) Kerapatan tegakan (pohon) Tegakan yang pindah ke kelas diameter berikutnya (pohon /th) Tegakan yang boleh ditebang (batang/th) Total tegakan yang boleh ditebang (batang/th)
1-10
Kelas Diameter (cm) 11-20 21-30
31-40
1,52
2,05
2,44
2,28
492.233
178.200
20.457
561
95.243
15.375
333
83
-
-
15.042
250
15.292
75
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Teknik pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh petani Desa Sumberejo masih sederhana seperti pengadaan bibit yang diserahkan kepada alam, penanaman dengan sistem cabutan, kegiatan penyiangan secara manual, serta pemupukan yang mengandalkan serasah. 2. Potensi berdasarkan jenis baik volume maupun kerapatan pohon setiap hektar dan setiap petani didominasi oleh jenis mahoni. Riap diameter rata-rata tahunan jati mengalami penurunan seiring meningkatnya kelas diameter. Sedangkan pada mahoni fluktuatif ditandai dengan adanya peningkatan dan penurunan. 3. Alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang menghasilkan jumlah pohon yang boleh ditebang dalam kondisi normal setiap tahun adalah sebanyak 24 batang per hektar untuk jenis jati, dan 61 batang per hektar untuk jenis mahoni. Jumlah batang yang boleh ditebang per petani adalah 21 batang untuk jenis jati, dan 81 batang untuk jenis mahoni. Dan jumlah batang yang boleh ditebang untuk seluruh dusun di Desa Sumberejo adalah 6.942 batang untuk jenis jati, dan 15.292 batang untuk jenis mahoni. Sedangkan jangka benah untuk jenis jati adalah 47 tahun, dan untuk jenis mahoni adalah 3 tahun. 4. Petani hutan rakyat Desa Sumberejo yang bersedia menerapkan pengaturan hasil menurut jumlah batang adalah sebanyak 56%, sedangkan yang keberatan sebanyak 44%. Jumlah ini hampir berimbang, sehingga pengaturan hasil menurut jumlah batang memiliki peluang untuk dapat diimplementasikan apabila kendala-kendala sosial dalam penerapannya termasuk dalam pemenuhan kebutuhan dana dapat teratasi. 5. Sebagian besar responden menyetujui alternatif solusi sosial terhadap pengaturan hasil menurut jumlah batang, dengan cara: 1) Mengembangkan pemenuhan kebutuhan dana melalui pinjam meminjam; 2) Mengembangkan keuangan kelompok tani dengan menaikkan iuran wajib anggota per pertemuan, 3) Mengembangkan industri kerajinan kayu untuk meningkatkan
76
pendapatan petani dengan menyisihkan dan mengumpulkan sebagian dana dari bantuan-bantuan yang selanjutnya akan diterima agar dapat mengisi kekosongan kas di kelompok tani pada tiap-tiap dusun, 3.a) Mengembangkan keahlian petani dengan menjadi tenaga kerja di industri kerajinan kayu; dan 3.b) Mengembangkan ekonomi petani dengan menabungkan sebagian gaji yang diperoleh dari hasil bekerja di industri kerajinan kayu.
6.2 Saran 1. Agar dapat memenuhi kebutuhan selain dari kayu, petani dapat meminjam uang ke bank-bank syariah yang menerapkan sistem bagi hasil tanpa dikenakan bunga seperti bank konvensional, sehingga petani tidak terasa terbebani. Selain itu, dapat pula diantisipasi dengan pergantian jenis tanaman yang lebih unggul. 2. Menjadikan hutan rakyat sebagai sarana wisata (rekreasi) dapat memberi income tersendiri bagi hutan rakyat yang bersangkutan. Hutan rakyat pun dapat dijadikan areal penghasil karbon dengan pengembangan kelembagaan lebih lanjut. 3. Perlu adanya suatu perbaikan manajemen dalam pengelolaan hutan rakyat terkait hal kelembagaan agar dapat lebih terarah pada kelestarian.
77
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2001. Restrukturisasi Industri Kehutanan Untuk Mengatasi Kelangkaan Penyediaan Kayu. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan. Arief A. 2001 Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta: Kanisius. Awang SA, Andayani W, Himmah B, Widayanti WT, Affianto A. 2001. Gurat Hutan Rakyat di Kapur Selatan. Yogyakarta: Debut Press. Awang SA. 2007. Konstruksi Pengetahuan dan Unit Manajemen Hutan Rakyat. http://sanafriawang.staff.ugm.ac.id [01 Agustus 2011]. Awang SA, Himmah B, Widayanti WT. 2005. Manajemen Sistem Hutan Rakyat Menuju Model Sertifikasi. Jurnal Hutan Rakyat. 7 (3): 1-24. Chapman HH. 1950. Forest Management. Bristol Conn: The Hildreth Press Publishers. Daniyati E. 2009. Efektifitas Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan Di Hutan Rakyat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Davis LS and Johnson KN. 1987. Forest Management. Third Edition. New York: Mc. Graw Hill Book Company. Departemen Pertanian. 1976. Vademecum Kehutanan Indonesia. Jakarta: Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Kehutanan. Departemen Kehutanan. 1992. Manual Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan. Ernawati SN. 1995. Pengelolaan Hutan Rakyat di Wilayah Kabupaten Boyolali [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Harbagung, Bustomi S, Siswanto BE, Darwo. 2008. Kuantifikasi Pertumbuhan dan Hasil Tegakan Hutan Tanaman. http://library.fordamof.org/libforda/data pdf/3048.pdf [29 Februari 2012]. Hudiyani I. 2010. Kelembagaan Penyuluhan Partisipatif Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Indriyanto. 2008. Pengantar Budi Daya Hutan. Bandar Lampung: PT. Bumi Aksara. Lestarini R. 1991. Sistem Pengaturan Hasil Pada Hutan Rakyat Sengon (Paraserianthes falcataria) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
78
Mashudi A. 2010. Membangun Hutan Rakyat Berkelanjutan Melalui UPRHL. http://unit3.perumperhutani.com [01 Agustus 2011]. Ma’rufi N. 2007. Peranan Perempuan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Bersertifikat [skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Miniarti Y. 2007. Persepsi Masyarakat Terhadap Sertifikasi Ekolabel Pada Pengelolaan Hutan Rakyat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Mulyani S. 2012. Kontribusi Pengelolaan Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Para Pihak (Studi Kasus di Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Mustari T. 2000. Hutan Rakyat Sengon, Daur dan Kelestarian Hasil [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Narimawati U, Munandar D. 2008. Teknik Sampling: Teori dan Praktek dengan Menggunakan SPSS 15. Yogyakarta: Gava Media. Osmaston FC. 1968. The Management of Forests. London: George Allen and Unwin Ltd. Pemerintah Desa Sumberejo. 2011. Data Potensi Desa Sumberejo Bulan Februari. Jawa Tengah: Pemerintah Desa Sumberejo. Pemerintah Kabupaten Wonogiri. 2010. Data Statistik Wonogiri Dalam Angka 2010. Jawa Tengah: Pemerintah Kabupaten Wonogiri. Pemerintah Kecamatan Batuwarno. 2011. Profil Kecamatan Batuwarno. Jawa Tengah: Pemerintah Kecamatan Batuwarno. Poerwokoesoemo S. 1956. Jati Jawa. Jakarta: Jawatan Kehutanan RI. Prodan M. 1968. Forest Biometrics. Oxford: Pergamon Press. Rosa TF. 2003. Penentuan Metode Pengaturan Hasil Dalam Mewujudkan Hutan Normal Pada Kelas Perusahaan Jati (Tectona grandis L.f.) Di KPH Kendal PT. Perhutani Unit I Jawa Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Simon H. 2007. Metode Inventore Hutan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sopiana A. 2011. Studi Pengaturan Hasil Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Jepara [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Spurr SH. 1952. Forest Inventory. New York: The Ronald Press Company.
79
Sudiono J dan Suharlan. 1977. Ilmu Ukur Kayu. Bogor: Lembaga Penelitian Bogor. Suharjito D. 2000. Hutan Rakyat di Jawa. Bogor: Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM). Suhendang E. 1995. Metode Pengaturan Hasil Berdasarkan Jumlah Pohon Untuk Pengusahaan Hutan Tidak Seumur. Di dalam: Pengelolaan Hutan Produksi Lestari di Indonesia. Prosiding Simposium Penerapan Ekolabel di Hutan Produksi; Jakarta, 10-12 Agustus 1995. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Hlm 264-276. Suhendang E. 2004. Kemelut Dalam Pengurusan Hutan Sejarah Panjang Kesenjangan Antara Konsepsi Pemikiran Dan Kenyataan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Supratman dan Alam S. 2009. Manajemen Hutan. http://www.google.co.id [25 Januari 2012]. Suryandari EY, Puspitojati T. 2003. Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat: Keragaman dan Kelestarian. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 4(2): 89-98. Widayati WT, Riyanto S. 2005. Kajian Potensi Hutan Rakyat dan Analis Interaksi Masyarakat Dengan Sumberdaya Alam di Kabupaten Boyolali. Jurnal Hutan Rakyat. 7 (2):43-79.
80
Lampiran 1 Klasifikasi umur berdasarkan umur rata-rata menurut modus Jati Pekarangan Mahoni Tegalan KD U* U** KD U* U** 1 2 2 1-10 1 5 4 1-10 4 5 6 11-20 5 10 6 6 11-20 10 8 8 10 21-30 15 15 10 10 20 10 12 21-30 14 20 20 12 25 25 14 31-40 30 30 14 31-40 16 35 35 16 40 40 18 41-50 45 45 18 18 41-50 50 50 20 20 55 55 60 60 51-60 65 65 70 70 Keterangan: KD = Kelas Diameter (cm) U* = Umur lapangan (tahun) U** = Umur yang digunakan menurut modus (tahun)
Mahoni Pekarangan KD U* U** 2 1-10 2 4 4 4 11-20 6 6 8 8 8 21-30 10 10
Lampiran 2 Potensi hutan rakyat Desa Sumberejo Kerapatan pohon (batang)
Potensi Satuan
Lokasi Tegalan
Per hektar Pekarangan Tegalan Per petani Pekarangan
Jenis Jati Mahoni Jati Mahoni Jati Mahoni Jati Mahoni
L
Per lokasi
2,6
2.116
0,5
971
1,5
3.327
0,4
427
Per jenis
%
424
20
1.692
80
605
62
366
38
563
17
2.764
83
248
58
179
42
Keterangan: L = Luas rata-rata hutan rakyat milik responden (ha) % = persentase potensi (kerapatan dan volume pohon)
Volume pohon (m3) Per lokasi 199,56 1.213,86 282,72 566,50
Per jenis
%
68,43
34
131,13
66
138,31
11
1.075,55
89
86,03
30
196,69
70
54,58
10
511,92
90
81
Lampiran 3 Perhitungan riap berdasarkan hasil survey di lapang a. Umur dan riap diameter rata-rata tahunan jenis jati di tegalan Jati Tegalan Sebaran Diameter Umur (tahun)
Riap diameter ratarata tahunan (cm/th)
11-20 5
10
Kelas Diameter (cm) 21-30 15 20
1.29
0.72
31-40 25
41-50 45
0.65
-
b. Umur dan riap diameter rata-rata tahunan jenis jati di pekarangan Jati Pekarangan Sebaran Diameter Umur (tahun)
Riap diameter ratarata tahunan (cm/th)
Kelas Diameter (cm) 21-30 31-40 10 15 20 25 30
11-20 5 1.53
0.90
0.66
41-50 35 45
51-60 70
0.41
-
c. Umur dan riap diameter rata-rata tahunan jenis mahoni di tegalan Mahoni Tegalan Sebaran Diameter Umur (tahun)
Riap diameter ratarata tahunan (cm/th)
1-10 2
4
6
1.57
Kelas Diameter (cm) 11-20 21-30 31-40 8 10 12 14 16 18 1.60
2.44
41-50 20
2.28
-
d. Umur dan riap diameter rata-rata tahunan jenis mahoni di pekarangan Mahoni Pekarangan Sebaran Diameter Umur (tahun)
Riap diameter ratarata tahunan (cm/th)
1-10 2
Kelas Diameter (cm) 11-20 4 6 8
1.46
2.50
21-30 10 -
Lampiran 4 Realisasi produksi kayu hutan rakyat sejak awal sertifikasi tahun 2004 sampai tahun 2011 Tahun tebang 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata
Jumlah tebangan per jenis pohon (batang/th) Jati Mahoni 943 430 617 640 346 452 824 337 716 430 430 350 320 210 305 360 563 401
Jumlah petani (KK) 47 38 23 43 40 26 18 12 31
Jumlah tebangan per petani (batang/petani/th) Jati Mahoni 20 9 16 17 15 20 19 8 18 11 17 13 18 12 25 30 19 15
Sumber : Data laporan tiap tahun ketua kelompok tani kepada FKPS
82
Lampiran 5 Tahun ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47
Visualisasi tebangan dari alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang untuk jenis jati (batang/ha) Kelas Diameter (cm) Jumlah tebangan Tahun 1-10 11-20 21-30 31-40 41-50 51-60 (batang/ha) 2012 17 17 2013 0 2014 0 2015 17 17 2016 17 17 2017 17 5 22 2018 17 17 2019 17 5 22 2020 17 17 2021 17 5 22 2022 17 2 19 2023 17 5 22 2024 17 17 2025 17 5 22 2026 17 17 2027 17 5 22 2028 17 2 19 2029 17 5 22 2030 17 5 22 2031 17 5 22 2032 17 5 22 2033 17 5 22 2034 17 5 2 24 2035 17 5 22 2036 17 5 22 2037 17 5 22 2038 17 5 22 2039 17 5 22 2040 17 5 2 24 2041 17 5 2 24 2042 17 5 22 2043 17 5 2 24 2044 17 5 22 2045 17 5 2 24 2046 17 5 22 2047 17 5 2 24 2048 17 5 22 2049 17 5 2 24 2050 17 5 22 2051 17 5 2 24 2052 17 5 22 2053 17 5 2 24 2054 17 5 22 2055 17 5 2 24 2056 17 5 22 2057 17 5 2 24 2058 17 5 2 24
83
Lampiran 6 Visualisasi tebangan dari alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang untuk jenis mahoni (batang/ha) Jumlah Kelas Diameter (cm) Tahun Tahun tebangan ke1-10 11-20 21-30 31-40 41-50 (batang/ha) 1 2012 60 60 2 2013 60 1 61 3 2014 60 1 61
Lampiran 7 Alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang per setiap petani (batang/petani/th) a. Alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang per petani untuk jenis jati (batang/petani/th) Parameter Riap diameter rata-rata tahunan (cm/th) Kerapatan tegakan (pohon/ha) Tegakan yang pindah ke kelas diameter berikutnya (pohon /th) Tegakan yang boleh ditebang (batang/petani/th) Total tegakan yang boleh ditebang (batang/petani/th)
Kelas Diameter (cm) 1-10
11-20
21-30
31-40
41-50
2,31
1,41
0,81
0,66
0,41
1.664
672
126
8
6
218
22
9
3
3
-
-
13
6
2
21
b. Alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang per petani untuk jenis mahoni (batang/petani/th) Parameter Riap diameter rata-rata tahunan (cm/th) Kerapatan tegakan (pohon/ha) Tegakan yang pindah ke kelas diameter berikutnya (pohon /th) Tegakan yang boleh ditebang (batang/petani/th) Total tegakan yang boleh ditebang (batang/petani/th)
Kelas Diameter (cm) 1-10
11-20
21-30
31-40
1,52
2,05
2,44
2,28
1.987
847
105
4
394
82
2
1
-
-
80
1
81
84
Lampiran 8 Rata-rata luas lahan hutan rakyat hasil survey Tegalan Pekarangan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Nama Responden Pak Sugiarto Pak Saryono Pak Tamso Pak Suratno Pak Wiyono Pak Larno Pak Sarto Pak Jumiko Pak Tugiman Pak Soekarto Pak Sutanto Pak Jumino Pak Karmin Pak Karmo Rata-rata
Luas (ha) per responden
Nama Responden
Luas (ha) per responden
1,50 2,50 2,00 2,00 1,50 1,50 2,00 1,00 2,00 0,50 2,05 0,25 1,00 1,00 1,50
Pak Sugiat Pak Sugiat Pak Wardi Pak Tumin Pak Larno Pak Sarto Pak Wardi Pak Mulyono Pak Larmo Pak Tukidi Pak Sukijo
0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,25 0,50 0,25 0,25 0,20 0,20
0,40
Lampiran 9 Rata-rata harga tegakan per batang untuk jenis jati dan jenis mahoni Harga tegakan per batang (Rp/batang) Keliling pohon (cm) Jati Mahoni 70 300.000 70.000 80 500.000 125.000 90 600.000 200.000 100 800.000 300.000 120 1.000.000 400.000 Rata-rata 640.000 219.000 Sumber: Hasil wawancara dengan Pak Mulyono selaku ketua FKPS