TIPOLOGI DESA HUTAN RAKYAT: KASUS DI KABUPATEN CIAMIS
TIEN LASTINI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Tipologi Desa Hutan Rakyat: Kasus di Kabupaten Ciamis adalah karya saya dengan arahan dan bimbingan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Februari 2012 Tien Lastini NIM E061060041
ABSTRACT
TIEN LASTINI. The Typology of Desa Hutan Rakyat (Forest Private Villages): A Case in Ciamis District. Under direction of ENDANG SUHENDANG, I NENGAH SURATI JAYA, HARDJANTO, and HERRY PURNOMO. Management of private forest possesses specific characteristics that differ from state owned forest management. Therefore, the characteristics of desa hutan rakyat using typology approach were studied. The objective of this study was to determine private forest spatial distribution type, characteristics and types of desa hutan rakyat. This study was conducted in Ciamis District covering 363 villages. The analysis was performed on the basis of statistical data of private forest area and field data measurent and observation. The typology was developed based upon biophysical and socio-economic factors by the method of clustering analysis. There are six biophysical factors i.e. non rice field-land use, road density, distance to state forest area, distance to main road, land capacity, land configuration, and three of socio-economic factors i.e. population the spatial distribution pattern of private forest is clumped. The characteristic of private forest stand composition consist of three patterns, namely agroforestry, monoculture and polyculture. The result also shows that eight of all factors in typology determination have correlation in amount of 0.2 to 0.5 with the existence of private forest. The only factor that has no correlation with private forest area is the distance to main road. The clustering analysis produced two distinct desa hutan rakyat types, namely high potential area and low potential area types. The best variables for clustering of those desa hutan rakyat are the principle component analysis derived from eight correlated variables (non rice field land use, road density, distance to state forest area, land capacity, land configuration, population density, permanent home, and productive age population) with overall accuracy 64%. Those typologies of the desa hutan rakyat are as a preliminary information that can be used for long-term planning activities. Keywords: Clustering analysis, desa hutan rakyat, spatial distribution pattern, principle component analysis, typology
RINGKASAN TIEN LASTINI. Tipologi Desa Hutan Rakyat: Kasus di Kabupaten Ciamis. Dibimbingan oleh ENDANG SUHENDANG, I NENGAH SURATI JAYA, HARDJANTO, dan HERRY PURNOMO. Hutan rakyat di masa yang akan datang memiliki peran yang semakin penting, yaitu sebagai sumber bahan baku kayu, kawasan ekologi dalam DAS, dan alternatif kepentingan lingkungan lainnya. Namun, sistem pengelolaan hutan rakyat dari dulu sampai saat ini tidak berubah. Salah satu permasalahan adalah pengelolaan hutan rakyat masih bersifat individu, sehingga tidak adanya kepastian jaminan kontinuitas pasokan kayu bagi industri. Sebagian besar petani masih berpikir
keuntungan ekonomi jangka pendek, sehingga dikhawatirkan terjadinya pemanenan yang berlebihan pada umur tebang dini dengan semakin tingginya harga kayu dan semakin rendahnya limit diameter yang diterima pasar. Penataan sistem pengelolaan hutan rakyat sangat penting untuk menjamin kelestariannya. Kelestarian hutan rakyat dalam hal ini ditinjau dari tiga aspek, yaitu aspek ekologi, ekonomi, dan sosial seperti pada pengelolaan hutan pada umumnya. Dengan membandingkan konsep pengelolaan hutan ideal dengan karakteristik hutan rakyat diharapkan akan diperoleh cara mengelola hutan rakyat secara lebih profesional agar siap menghadapi tantangan ke depan yang semakin berat. Untuk menerapkan dan menganalisis konsep-konsep pelestarian perlu dibuat suatu perencanaan wilayah. Perencanaan wilayah tersebut sebaiknya bersifat spesifik dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah yang dihadapi. Oleh karena itu perlu upaya untuk menggali karakteristik dari wilayah yang ingin dikelola. Pengelompokkan wilayah berdasarkan karakteristik tertentu disebut dengan tipologi. Tipologi dapat membantu menduga potensi sebaran hutan rakyat untuk wilayah yang belum diketahui dan belum dilakukan inventarisasi menyeluruh. Penelitian ini memiliki tujuan, yaitu mengidentifikasi pola sebaran spasial dan karakteristik desa hutan rakyat, dan membangun tipologi desa hutan rakyat berdasarkan karakteristik biofisik dan sosial ekonomi. Terdapat enam peubah biofisik dan tiga peubah sosial ekonomi yang diteliti untuk membuat tipologi. Peubah biofisik yaitu : penggunaan lahan bukan sawah, kelerengan lahan, jarak ke kawasan hutan negara, jarak ke jalan besar, kemampuan lahan, dan kerapatan jalan. Tiga peubah sosial ekonomi yaitu: kepadatan penduduk, rumah permanen, dan umur produktif penduduk. Pemilihan peubah yang dominan menggunakan uji korelasi Spearmann dan analisis komponen utama. Kemudian dilakukan pengelompokkan dengan analisis gerombol (clustering analysis). Hasil pengelompokan diuji menggunakan uji keragaman dan evaluasi akurasi. Untuk mengetahui karakteristik spasial dengan tipe pola sebarannya, karakteristik struktur tegakan dan komposisinya, serta karakteristik pengelolaan hutan rakyat digunakan metode kuisioner, pengukuran tegakan di lapangan dengan plot, dan pengumpulan data sekunder dari instansi terkait. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pola sebaran spasial hutan rakyat termasuk ke dalam tipe mengelompok (clumped). Hal ini menunjukkan terdapat faktor-faktor tertentu yang menunjang perkembangan hutan rakyat di suatu tempat. Wilayah satu hamparan hutan rakyat berada dalam satu
blok atau beberapa blok di satu dusun. Dalam satu blok terdiri dari banyak kepemilikan. Berdasarkan karakteristik struktur dan komposisi tegakan, terdapat tiga pola tanam yang ditemui di lapangan, yaitu pola agroforestri, monokultur dan polikultur, dimana pola yang paling dominan adalah pola agroforestri. Kisaran diameter menunjukkan tiga kelas yang terbesar yaitu berkisar dari 0 sampai 15 cm. Ini menunjukkan diameter di atas tersebut sudah banyak terjual. Pada karakteristik pengelolaan hutan rakyat dari proses awal penanaman sampai pemanenan ditemui kekhasan dalam setiap tahapan. Harga jual kayu semakin meningkat sehingga pada saat ini keinginan menanam sudah demikian tinggi. Petani saat ini banyak mengandalkan bibit tidak dari alam lagi, tetapi sudah membeli dari penjual bibit. Kegiatan pemeliharaan dari tanaman belum dilakukan maksimal. Pemupukan pada pola monokultur hanya dilakukan pada satu tahun pertama saja, sedangkan pada pola agroforestri pemeliharaan dan pemupukan lebih intensif karena sekaligus untuk tanaman pertaniannya. Pada pembentukan tipologi dari sembilan peubah yang diuji, terdapat delapan peubah yang memiliki korelasi berkisar 0,2 sampai 0,5. Tiga peubah terbesar adalah rasio kelerengan lahan, kerapatan jalan, dan rasio penggunaan lahan bukan sawah. Kelima peubah lainnya berurutan berdasarkan besarnya korelasi dengan luas hutan rakyat adalah jarak ke hutan negara, rasio umur produktif, kepadatan penduduk, kemampuan lahan, dan rasio rumah permanen. Hasil analisis komponen utama menghasilkan empat komponen utama yang ditandai dengan kumulatif proporsi lebih dari 70% dan nilai akar ciri lebih besar dari 0,7. Berdasarkan hasil pemilihan terhadap kemungkinan jumlah kelompok yang dapat terbentuk, maka dipilih delapan desain peubah yang diuji keragaman dan dievaluasi akurasinya. Hasil pengujian menunjukkan desain peubah dengan empat komponen utama menghasilkan dua kelompok yang memiliki uji keragaman yang baik dan nilai akurasi rata-rata umum terbesar yaitu sebesar 64%. Sedangkan yang kedua terbaik adalah desain peubah yang menggunakan dua peubah, yaitu rasio kelerengan lahan dan jaringan jalan, yang menghasilkan nilai akurasi rata-rata umum sebesar 63%. Desain peubah empat komponen utama dan desain dua peubah tersebut menghasilkan dua tipologi desa hutan rakyat, yaitu tipe wilayah yang kurang berpotensi untuk berkembang hutan rakyat dan tipe wilayah yang berpotensi untuk berkembangnya hutan rakyat. Tipe 1 merupakan wilayah-wilayah desa yang penggunaan lahannya tidak didominasi hutan rakyat karena terdapat kondisikondisi yang kurang memungkinkan untuk perkembangnya hutan rakyat ditinjau dari aspek biofisik dan sosial ekonomi. Sedangkan Tipe 2 merupakan wilayahwilayah desa yang memiliki potensi hutan rakyat yang besar. Faktor-faktor biofisik dan ditambah dengan sosial ekonominya mendukung untuk berkembangnya pengelolaan hutan rakyat di wilayah ini.
Kata kunci : analisis gerombol, analisis komponen utama, desa hutan rakyat, peubah biofisik dan sosial ekonomi, pola sebaran spasial, tipologi.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
TIPOLOGI DESA HUTAN RAKYAT : KASUS DI KABUPATEN CIAMIS
TIEN LASTINI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Iskandar Zulkarnaen Siregar. M.For.Sc. Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.S. Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir.Nurheni Wijayanto, M.S Dr. Ir. Harry Santoso
Judul Disertasi : Tipologi Desa Hutan Rakyat: Kasus di Kabupaten Ciamis Nama : Tien Lastini NIM : E061060041
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Endang Suhendang M.S. Ketua
Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr. Anggota
Prof. Dr. Ir. Hardjanto, M.S. Anggota
Dr. Ir.Herry Purnomo, M.Comp. Anggota
Diketahui a.n. Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Naresworo Nugroho, M.S.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 20 Januari 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala anugerah dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul penelitian ini adalah “Tipologi Desa Hutan Rakyat: Kasus di Kabupaten Ciamis” dibiayai oleh BPPS, Direktorat Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2006 sampai 2009. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS, Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr, Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS, dan Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp selaku pembimbing. Penghargaan dan ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada: 1. Penguji luar komisi saat ujian tertutup Prof. Dr. Ir. Iskandar Zulkarnaen Siregar. M.For.Sc. dan Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.S. dan saat ujian terbuka Prof. Dr. Ir.Nurheni Wijayanto, M.S dan Dr. Ir. Harry Santoso. 2. Dekan Pascasarjana IPB, Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. yang telah memberikan kesempatan penulis mengikuti Program S3 di IPB. 3. Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB, diwakilkan oleh Dr.Ir. Naresworo Nugroho, M.S. yang telah memberikan dukungan dan bantuan pelayanan akademik selama penulis mengikuti Program S3. 4. Ditjen Pendidikan Tinggi yang telah memberikan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) selama 3 tahun. 5. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis yang telah memberi fasilitas data dan pelayanan selama melaksanakan penelitian di lapangan. 6. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul yang telah memberi fasilitas data dan pelayanan selama melaksanakan penelitian di lapangan. 7. Badan Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Ciamis beserta segenap aparat penyuluh lapangannya yang telah memberi fasilitas data dan pelayanan selama melaksanakan penelitian di lapangan. 8. Staf penunjang dan teman sejawat di Laboratorium Remote Sensing dan GIS Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Sdr. Uus Saeful M dan Edwine Setia P, S.Hut yang sangat membantu dalam pengadaan dan
pengolahan data, serta seluruh rekan-rekan IPK, IPH dan lainnya atas kerjasamanya selama menempuh studi S3. 9. Kedua orangtua, Ayahanda Iwa Wardiman dan Ibunda Nurmaliah dan kedua mertua Alm. Ading Suprihat Adisumarta, B.A dan E. Djuedah atas dorongan dan doanya yang tiada henti. 10. Suami tercinta Dr. Syamsul Falah, S.Hut. M.Si dan anakku tersayang Aliyya Najla Syaharani, beserta keluarga atas segala doa, kesabaran, dan dorongan semangatnya selama penulis menempuh studi dan menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih banyak kekurangan sehingga penulis terbuka menerima saran, kritik, dan masukan untuk perbaikan disertasi ini. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Februari 2012
Tien Lastini
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Muntok, Provinsi Bangka Belitung pada tanggal 15 Mei 1971 dari ayah Iwa Wardiman dan ibu Nurmaliah. Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara. Penulis menikah dengan Dr. Syamsul Falah, S.Hut, M.Si pada tahun 1997 dan dikaruniai seorang anak Aliyya Najla Syaharani. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, lulus pada tahun 1995.
Pada tahun 2001, penulis
diterima beasiswa dari Departemen Pendidikan Nasional di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Sekolah Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2005. Penulis mendapat kesempatan melanjutkan ke program doktor pada program studi dan universitas yang sama pada tahun 2006 dengan beasiswa dari Departemen Pendidikan Nasional. Sejak tahun 2011, sampai sekarang menjadi dosen di Program Studi Rekayasa Kehutanan, Sekolah Ilmu Teknologi Hayati ITB. Sebelumnya penulis bekerja sebagai dosen pada Universitas Winaya Mukti, Sumedang sejak tahun 2005 sampai tahun 2010. Sebagian dari karya ilmiah pada program Doktor ini telah diterbitkan pada Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Volume 8 No.3
tahun 2011 dengan judul
Tipologi Desa Berdasarkan Variabel Penciri Hutan Rakyat.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xvii
I.
II.
III.
PENDAHULUAN …………………………………………………
1
1.1 Latar Belakang ………………………………………………..
1
1.2 Perumusan Masalah …………………………………………..
4
1.3 Tujuan …………………………………………………………
6
1.4 Hipotesis ………………………………………………………
6
1.5 Manfaat Penelitian …………………………………………….
7
1.6 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ………………………
7
1.7 Kebaharuan (Novelty) …………………………………………
7
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………….
8
2.1 Hutan Rakyat ………………………………………………….. 2.1.1 Pengertian Hutan Rakyat ……………………………....... 2.1.2 Sejarah Hutan Rakyat di Indonesia ………………………. 2.1.3 Karakteristik Wilayah Pengelolaan Hutan Rakyat ……….. 2.1.4 Struktur Tegakan dan Pola Tanam Hutan Rakyat ……….. 2.1.5 Unit Pengelolaan Hutan Rakyat ………………………….
8 8 10 11 14 17
2.2 Pengelolaan Hutan …………………………………….............. 2.2.1 Pengertian Hutan dan Pengelolaannya …………………… 2.2.2 Sejarah Pengelolaan Hutan ……..……………………….. 2.2.3 Konsep dan Kriteria Pengelolaan Hutan ………………… 2.2.4 Organisasi Hutan dan Unit Pengelolaan Hutan …………... 2.2.5 Pengelolaan Hutan untuk Menjamin Kelestarian ………..
21 21 23 25 28 31
2.3 Karakteristik Masyarakat Desa ………………………………..
33
2.4 Pola Sebaran Spasial ………...……..…………………………..
35
2.5 Tipologi …………….…………………………………………. 2.5.1 Definisi Tipologi …………...…………………………….. 2.5.2 Penelitian-Penelitian tentang Tipologi ……………………
36 36 37
METODOLOGI ………………..…………………………………
39
3.1 Kerangka Pemikiran …………………………………………...
39
3.2 Lokasi Penelitian ……………………………………………...
42
3.3 Bahan dan Alat Penelitian ………………………………….....
42
xii
IV.
V
3.4 Metode ………………………………………………………… 3.4.1 Metode Pengumpulan Data …………………………...… 3.4.2 Analisis Pola Sebaran Spasial ………...…………………. 3.4.3 Analisis Tipologi ……….……………………………….. 3.4.3.1 Identifikasi Faktor-Faktor Pendukung Keberadaan Hutan Rakyat ........................................................... 3.4.3.2 Penentuan Faktor Dominan …..................……….. 3.4.3.3 Pembentukan Tipologi …....................................... 3.4.3.4 Pengujian Tipologi ................................................. 3.4.4 Pemeriksaan Lapangan ......………………………………
43 43 45 46
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................
57
4.1 Karakteristik Hutan Rakyat ........................................................ 4.1.1 Karakteristik Spasial Hutan Rakyat .................................. 4.1.1.1 Potensi Hutan Rakyat di Desa ................................ 4.1.1.2 Blok sebagai Batas Hutan Rakyat Satu Hamparan .. 4.1.1.3 Kajian Batas Wilayah Tanggungjawab ................... 4.1.2 Karakteristik Struktur dan Komposisis Tegakan Hutan Rakyat ……......................................................................... 4.1.2.1 Pola Tanam Hutan Rakyat ..………………………. 4.1.2.2 Distribusi Diameter Tegakan dan Jumlah Pohon di Hutan Rakyat ………….………………………… 4.1.3 Karakteristik Pengelolaan Hutan Rakyat …....................... 4.1.3.1 Penanaman Hutan Rakyat ……………….……….. 4.1.3.2 Pemeliharaan Hutan Rakyat ………………….….. 4.1.3.3 Pemanenan dan Penjualan Kayu Hutan Rakyat …. 4.1.3.4 Pengaturan Hasil di Hutan Rakyat ………………..
57 57 57 59 63
4.2 Tipologi Hutan Rakyat …........................................................... 4.2.1 Penentuan Faktor Dominan Pembentuk Tipologi …. ........ 4.2.2 Pembentukan Tipologi ....................................................... 4.2.2.1 Jumlah Tipologi …………..….…………………… 4.2.2.2 Pengujian Kelompok ……...……………………... 4.2.2.3 Tipologi Desa dan Karakteristiknya ……………… 4.3 Implikasi dalam Pengelolaan Hutan Rakyat … ...........................
81 81 87 87 88 90 94
SIMPULAN DAN SARAN …...................................................... 5.1 Simpulan ………………………………………………………. 5.2 Saran …………………………………………………………..
100 100 100
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................
101
LAMPIRAN ...................................................................................
107
46 51 52 52 56
66 66 69 72 72 74 75 78
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Beberapa contoh unit pengelolaan pada hutan rakyat …………………
20
2
Standar kriteria aspek ekonomi, sosial, dan ekologi …………………
32
3
Klasifikasi kelas lereng …………………………………………..……
48
4
Kriteria klasifikasi kemampuan lahan …………………………………
49
5
Peubah-peubah tipologi hutan rakyat …………………………………
50
6
Jumlah kelas luas hutan rakyat dan batasan per kelas …………………
56
7
Perhitungan pola sebaran spasial di Kabupaten Ciamis dan Gunungkidul .........................................................................................
59
8
Pembagian batas wilayah dan tanggungjawab di hutan rakyat ………
64
9
Jumlah plot setiap pola tanam hutan rakyat ..…………………………
66
10
Jumlah pohon rata-rata per ha berdasarkan pola hutan rakyat dari 30 plot contoh …...........................................................................................
71
11
Korelasi Spearman antar peubah ………………………………………
82
12
Nilai komponen utama (PC) pada lima peubah dan nilai kumulatifnya
86
13
Banyaknya anggota setiap kombinasi dan kelompok …………………
87
14
Jumlah desa setiap kelompok terpilih …………………………………
88
15
Ragam rata-rata antar kelompok dan dalam kelompok ………………
89
16
Nilai akurasi rata-rata umum dan akurasi Kappa ……………………
90
17
Karakteristik desa setiap tipologi ………………………………………
91
18
Perbandingan tipologi standar dengan tipologi hasil dugaan kombinasi peubah …..............................................................................................
93
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Distribusi pohon menurut kelas diameter di hutan rakyat ……………
16
2
Pertumbuhan tegakan dan panen berdasarkan Model Faustmann ……
26
3
Tiga pola dasar penyebaran spasial dari individu dalam suatu habitat...
35
4
Bagan alir kerangka pemikiran penelitian ……………………………
41
5
Lokasi penelitian (a) Kabupaten Ciamis (b) Kabupaten Gunungkidul
42
6
Diagram alir tahapan penelitian ………………………………………
44
7
Nilai kritis uji chi-square untuk indeks dispersi; α:0,05 dan n<30 …… 46
8
Jarak lurus (a) Antar kawasan hutan dengan batas desa (b) Antar jalan kolektor dengan batas desa ……………………………………………
47
9
Klasifikasi kelas hutan rakyat berdasarkan luasnya …………………
55
10
Perbandingan antar luas hutan rakyat*) dengan luas desa (a) Kabupaten Ciamis (b) Kabupaten Gunungkidul ………………………
57
11
Perbandingan penggunaan lahan untuk sawah dengan non sawah 58 dalam satu kabupaten …………………………………………………
12
Pola sebaran spasial desa hutan rakyat di Kabupaten Ciamis …………
60
13
Contoh penggunaan lahan di Dusun Pogorsari Desa Lumbung Kecamatan Lumbung Kabupaten Ciamis ……………………………
61
14
Contoh bentuk peta blok desa yang masih menggunakan persil di Desa 61 Sidamulih Kecamatan Pamarican Kabupaten Ciamis …………………
15
Contoh bentuk peta blok desa hasil revisi terbaru dari BPN di Desa Sukaraharja Kecamatan Lumbung Kabupaten Ciamis ………………
62
16
Tanda batas antar kepemilikan di hutan rakyat ……………………….
63
17
Perbandingan hirarki dan perkiraan luas rata-rata tiap bagian pengelolaan hutan rakyat dengan Hutan Negara ……………………… 65
18
Karakteristik pola tanam hutan rakyat di Kabupaten Ciamis …………
19
Bentuk distribusi diameter yang ditemui di lapangan ………………… 70
20
Perbandingan jumlah pohon rata-rata per ha pada tiap pola tanam dan kelas diameter …………………………………………………………
72
21
Pedagang bibit keliling dari desa ke desa ……………………………..
73
22
Aliran perdagangan kayu rakyat dari petani sampai konsumen lokal dan pabrik …............................................................................................ 76
23
Contoh alur ideal perizinan penebangan kayu di Kabupaten Gunungkidul .........................................................................................
69
xv
78 Fluktuasi penjualan kayu dari petani setiap bulan per tahun di (a) Kabupaten Ciamis dan (b) Kabupaten Gunungkidul …………………
80
25
Perbandingan ragam dalam kelompok dengan ragam antar kelompok
89
26
Pengelompokan berdasarkan dua tipologi ……………………………
92
27
Karakteristik vegetasi hutan rakyat di Kabupaten Ciamis ……………… 96
28
Daerah aliran sungai (DAS) di Kabupaten Ciamis ……………………... 97
24
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Luas hutan rakyat di Kabupaten Ciamis ……………………………
108
2
Luas hutan rakyat di Kabupaten Gunungkidul ………………………
116
3
Luas kawasan hutan KPH Ciamis Perum Perhutani Unit IIII ...………
119
4
Contoh data luas kawasan hutan per petak KPH Ciamis ……………
120
5
Rekapitulasi data dari sembilan peubah yang diuji ………...…………
133
6
Analisis komponen utama (principal component analysis) …………
145
7
Luas kepemilikan lahan ………………………………………………
147
8
Struktur diameter tegakan hutan rakyat di Kabupaten Ciamis ………
148
9
Kelas kemampuan lahan ………………………………………………
153
xvii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan rakyat memiliki peran yang penting sebagai penyedia kayu. Peran hutan rakyat saat ini semakin besar dengan berkurangnya sumber kayu dari hutan negara.
Kebutuhan kayu di Provinsi Jawa Barat dipenuhi dari hutan rakyat
sebesar 56.6%, Perum Perhutani Unit III sebesar 4.8% dan sisanya sebesar 38,6% dari hutan di luar Pulau Jawa (BPKH Wilayah XI 2009). Selain sebagai sumber bahan baku kayu, keberadaan hutan rakyat menjadi alternatif dari sisi ekologis dari suatu DAS atau wilayah yang masih memerlukan kawasan bervegetasi selain dari hutan negara. Undang-Undang Republik Indonesia tentang
Kehutanan
No. 41 Tahun 1999 menyatakan luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% dari luas daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Hutan negara di Provinsi Jawa Barat mencakup 24,2 % dari luas provinsi (Dephut 2002). Jika ditambah dengan luas hutan rakyat di Provinsi Jawa Barat seluas 165 025 ha (BPDASPS 2010), maka proporsi kawasan bervegetasi di Provinsi Jawa Barat bertambah menjadi 28%.
Semakin
meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap fungsi lingkungan merupakan pendorong bagi perkembangan hutan rakyat. Peran dan fungsi hutan rakyat yang semakin penting di masa depan memerlukan upaya untuk menata lebih baik pengelolaan hutan rakyat. Minat masyarakat untuk melakukan pengelolaan hutan rakyat semakin besar. Hal ini dapat dilihat dari data produksi kayu di Kabupaten Ciamis dalam kurun waktu 7 tahun yang terus meningkat. Pada tahun 2002 produksi kayu dari hutan rakyat melebihi produksi hutan Negara (Perum Perhutani Unit III KPH Ciamis) dalam jumlah yang tidak terlalu besar, yaitu sebesar 48 ribu m3/tahun dari hutan rakyat dan 37 ribu m3/tahun dari hutan negara. Namun, selama kurun waktu 7 tahun produksi kayu dari hutan rakyat meningkat secara tajam jauh melampaui produksi hutan Negara.
Produksi kayu dari hutan rakyat dari tahun
2002 sampai 2008 mencapai 450 ribu m3, sedangkan produksi kayu dari hutan Negara hanya meningkat sedikit sekitar 71 ribu m3 (Dishutbun Ciamis 2009).
2
Berdasarkan status kepemilikan lahannya, sebagian besar hutan di Indonesia terdapat di dalam kawasan hutan negara. Hutan negara dapat dikelompokkan atas dua bentuk pengelolaan yaitu hutan seumur (even aged forest), seperti pada hutan tanaman, dan hutan tidak seumur (uneven aged forest) pada hutan alam (Suhendang 1999). Sedangkan hutan rakyat yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan karena kontribusinya cukup penting dalam memenuhi kebutuhan konsumsi kayu masyarakat,
bentuk pengelolaannya masih belum
banyak dikaji secara intensif. Pengelolaan hutan rakyat masih sering dipandang banyak pihak sebagai suatu bentuk usaha yang tidak ekonomis. Persepsi ini tercipta karena pengelolaan hutan rakyat masih dikelola dengan skala tidak ekonomis, luasannya kecil dan tidak menguntungkan. Jika dibandingkan dengan unit pengelolaan hutan yang dilaksanakan oleh pihak swasta dan BUMN kehutanan, maka luasan hutan rakyat yang dimiliki oleh rakyat memang sangat tidak berarti
(Awang et al. 2002).
Meskipun hutan rakyat mungkin tidak
menguntungkan dalam skala ekonomi tetapi perannya sangat nyata dalam memenuhi kebutuhan masyarakat maupun pemiliknya sendiri. Beberapa permasalahan ditemukan sehubungan pengelolaan hutan rakyat yang masih bersifat tradisional. Salah satu permasalahan adalah pengelolaan hutan rakyat masih bersifat individu, sehingga tidak adanya kepastian jaminan kontinuitas pasokan kayu bagi industri. Sebagian besar petani masih berpikir keuntungan ekonomi
jangka pendek.
Semakin
diperlukannya tambahan
pendapatan dan semakin tingginya harga kayu akan menyebabkan pemanenan yang berlebihan pada umur tebang dini. Permasalahan lainnya adalah terdapat keterbatasan akses dan pengetahuan pasar masyarakat, penebangan yang masih dilakukan dengan sistem “daur butuh”, dan sebagian besar petani hutan rakyat masih menganggap kerja di hutan rakyat merupakan pekerjaan sampingan (bukan pokok).
Selain itu, kurang intensifnya penerapan sistem silvikultur untuk
meningkatkan kualitas kayu, serta masih lemahnya pengetahuan pengelola hutan terkait dengan penaksiran dan perhitungan volume pohon maupun teknik pemotongan log akan mengakibatkan rendahnya harga jual kayu jika dibandingkan dengan harga pasar (Awang et al. 2001; Hardjanto 2003; dan Ekawati et al. 2005).
3
Hutan rakyat di Indonesia memiliki beragam karakteristik. Keragaman ini dapat terjadi salah satunya akibat proses pembentukan awal yang terjadi secara tradisional atau terdapat campur tangan pemerintah. Hutan rakyat yang terbentuk secara tradisional sudah dikelola sejak lama secara turun menurun, seperti repong damar di Krui Lampung, kebun kemiri di Sulawesi Selatan, beberapa bentukan talun di Jawa Barat, dan lainnya (Foresta et al. 2000). Sedangkan hutan rakyat hasil campur tangan pemerintah umumnya dimulai di daerah kritis melalui program penghijauan. Wilayah-wilayah tersebut berupa lahan kering yang tidak ekonomis untuk tanaman pertanian sehingga sebagai alternatif lain ditanami pohon-pohonan. Luas total hutan rakyat di Indonesia sebesar 5 149 746.4 ha (BPDASPS 2010). Pengertian hutan rakyat yang saat ini
berkembang disamakan dengan
pengertian hutan hak, yaitu hutan yang tumbuh di lahan milik atau lahan di luar kawasan hutan negara.
Tetapi
pemahaman ini sulit untuk beberapa daerah
terutama di luar Pulau Jawa yang masih banyak terjadi konflik kepemilikan lahan. Pada tahun 1997 sampai 1999 konflik di sektor kehutanan cenderung meningkat cukup tajam.
Dari 309 kasus konflik, 39% terjadi di areal Hutan Tanaman
Industri (HTI), 34% di kawasan konservasi, dan 27% di areal Hak Penguasaan Hutan (HPH) (Wulan et al. 2004).
Proses pengukuhan hutan negara untuk
wilayah di luar Pulau Jawa masih banyak yang belum dilakukan, sehingga tidak ada kepastian secara hukum mengenai hak kepemilikan. Seringkali hutan yang diklaim milik masyarakat ternyata masuk ke dalam kawasan hutan negara dan sebaliknya. Kondisi serupa jarang terjadi wilayah di Pulau Jawa, karena sebagian besar hutan rakyat di Pulau Jawa sudah jelas kepemilikannya.
Batas antara
wilayah kawasan hutan negara dengan lahan milik di Pulau Jawa relatif lebih baik. Saat ini mulai dikembangkan sistem Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dimana petani diberi hak untuk mengelola kawasan hutan negara.
Penelitian yang
dilakukan ini menitikberatkan pada bentukan hutan yang sudah memiliki hak kepemilikan yang jelas, yaitu wilayah tersebut merupakan kepemilikan di luar negara. Pengelolaan hutan rakyat dilakukan oleh masyarakat secara individual (pada tingkat keluarga) di lahan miliknya, sehingga hutan rakyat biasanya tidak
4
mengelompok pada suatu areal tertentu tetapi tersebar berdasarkan letak, luas pemilikan lahan dan keragaman pola usaha tani. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat (penanaman, pemeliharaan, penebangan dan pemasaran) ditentukan oleh kebijakan masing-masing keluarga. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi hutan negara yang relatif luas, sehamparan, dan segala keputusan dilakukan oleh pemerintah. Kondisi petani di Indonesia umumnya subsisten. Keadaan tersebut menjadikan petani dalam posisi lemah, seperti posisi tawar yang lemah dan informasi yang kurang. Penggabungan dan penataan sistem pengelolaan hutan rakyat sangat penting untuk memperkuat posisi petani menghadapi pihak luar. Penataan sistem pengelolaan hutan rakyat dibuat dengan perencanaan wilayah yang bersifat spesifik mempertimbangkan karakteristik wilayah yang dihadapi.
Pengelompokkan karakteristik suatu wilayah disebut dengan tipologi.
Tipologi menghasilkan kelompok yang memiliki keseragaman unik antar obyeknya.
Pengambilan unit pengamatan terkecil dalam penelitian ini adalah
desa, karena desa merupakan struktur pemerintahan terkecil yang terdata di Indonesia secara rinci dari lembaga resmi. Otonomi daerah menjadikan desa merupakan bagian penting dalam proses desentralisasi, desa sebagai representasi negara dan struktur pemerintah yang paling dekat dengan rakyat, serta desa bisa menangkap keragaman terkecil potensi hutan rakyat yang terdata.
Dengan
mengelompokkan wilayah desa hutan rakyat tersebut, perencanaan dan pengelolaan hutan rakyat yang tepat sesuai dengan karakteristiknya dapat diterapkan. Tipologi ini dapat juga membantu menduga potensi sebaran hutan rakyat untuk wilayah yang belum diketahui dan belum dilakukan inventarisasi menyeluruh.
1.2. Perumusan Masalah Peran hutan rakyat masyarakat ke depan.
semakin penting sebagai penyedia kayu bagi
Data dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat
menunjukkan bahwa kebutuhan industri kayu di Provinsi Jawa Barat mencapai angka 5,3 juta m3/tahun, sedangkan kemampuan Perum Perhutani hanya memenuhi 250 ribu m3/tahun (4,72%).
Kekurangan pasokan kayu tersebut
5
dipenuhi dari hutan rakyat sebanyak 3 juta m3/tahun (56,6%) , dan sisanya dari hutan luar Pulau Jawa (BPKH Wilayah XI 2009). Kebutuhan kayu yang berasal dari hutan rakyat yang semakin besar akibat penurunan produksi kayu dari hutan negara telah mendorong
kecenderungan
terjadinya pemanenan yang dilakukan pada umur pohon yang semakin muda. Hal ini dapat mengancam kelestarian hutan rakyat itu sendiri. Sebagian besar petani hutan rakyat di Indonesia terutama di Pulau Jawa sudah berorientasi ekonomi dan komersial dalam memutuskan melakukan kegiatan hutan rakyat, tetapi tidak disertai dengan perubahan pengelolaan yang profesional. Petani hutan rakyat umumnya merupakan petani individual dan masih mengandalkan pengelolaan secara tradisional, sehingga proses pengelolaan dari penanaman sampai pemasaran dilakukan secara sendiri. Kondisi tersebut menyebabkan lemahnya posisi tawar petani. Pengkajian perlu dilakukan untuk memahami sistem pengelolaan hutan rakyat karena hutan rakyat memiliki karakteristik yang berbeda dengan hutan negara. Lingkungan fisik dan non fisik seperti aspek sosial dan ekonomi yang dapat mempengaruhi sistem pengelolaan hutan rakyat di suatu wilayah perlu dikaji. Pola-pola hutan rakyat apa saja yang berkembang dalam suatu wilayah, dan perlu pengkajian korelasi pola tersebut terhadap pengaruh lingkungan sekitarnya. Dalam pengelolaan hutan berbasis ekosistem, ada tiga prinsip dasar yang perlu dipenuhi, yaitu prinsip keutuhan (holistic), prinsip keterpaduan (integrated), dan prinsip keberlanjutan/kelestarian (sustainability) (Suhendang 2005). Agar tercapai prinsip dasar tersebut, perlu adanya syarat kemantapan kawasan untuk hutan rakyat. Pencapaian kemantapan kawasan tidak semudah atau tidak bisa dipandang sama dengan kasus di hutan negara. Hutan rakyat adalah milik pribadi bukan negara, sehingga tidak ada keharusan pengikatan fungsi areal. pemilik
lahan
hutan
rakyat
mempunyai
hak
untuk
mengubah
Setiap atau
mempertahankan fungsi arealnya, kecuali jika dalam suatu wilayah sudah memiliki rencana tata ruang yang disepakati dan dipatuhi oleh semua pihak. Sampai saat ini kondisi seperti itu belum terjadi, sehingga kemantapan kawasan di hutan rakyat tidak dapat ditentukan. Oleh karena itu perlu pendekatan yang
6
dapat dijadikan patokan tercapainya kemantapan kawasan hutan di wilayah hutan rakyat. Perencanaan yang tepat perlu dikaji untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi
hutan
kelestariannya
rakyat ke
dalam
depan.
pengelolaanya
Perencanaan
terutama
yang
untuk
tepat
adalah
menjaga yang
mempertimbangkan karakteristik dan potensi desa hutan rakyat bersangkutan sehingga dapat diterima semua pihak terutama oleh petani sebagai pelaksana. Sebagai informasi awal dilakukan tipologi untuk mengelompokan karakteristik wilayah dengan mempertimbangkan faktor biofisik dan sosial ekonomi dari desa bersangkutan.
Dalam penelitian ini perlu menjawab permasalahan penelitian
sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apa saja yang memiliki hubungan yang kuat dengan luas hutan rakyat di desa hutan rakyat dan bagaimana pola hubungannya? 2. Dapatkah faktor-faktor tersebut dipergunakan sebagai dasar dalam membuat kriteria tipologi desa hutan rakyat yang mengambarkan potensi luas hutan rakyat dalam desa tersebut?
1.3. Tujuan Penelitian ini memiliki tujuan untuk : 1. Mengidentifikasi pola sebaran spasial dan karakteristik desa hutan rakyat. 2. Menentukan tipologi desa hutan rakyat berdasarkan karakteristik biofisik dan sosial ekonomi.
1.4.
Hipotesis 1. Pola sebaran spasial dan karakterikstik desa hutan rakyat dapat ditentukan berdasarkan faktor biofisik dan sosial ekonomi. 2. Tipologi desa hutan rakyat dapat dibuat berdasarkan faktor biofisik dan sosial ekonomi.
7
1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa masukan bagi pemilik lahan dan pihak yang terkait tentang strategi yang dapat dijalankan dalam pengelolaan hutan rakyat ke depan dengan memahami faktor-faktor penting yang terkait.
1.6.
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Hutan rakyat dalam penelitian ini adalah hutan yang dikelola oleh
masyarakat yang berada di atas areal milik di luar kawasan hutan negara. Pengelolaan hutan rakyat yang dimaksud dalam penelitian ini lebih ditekankan pada pengelolaan kayunya secara komersil sedangkan hasil non kayu yang berada di areal menjadi pertimbangan sebagai pembentuk pola tanam hutan rakyat. Desa hutan rakyat adalah desa yang memiliki potensi untuk berkembang pengelolaan hutan rakyatnya.
Perkembangan desa hutan rakyat tersebut
didukung oleh faktor-faktor biofisik dan sosial ekonomi dari desa bersangkutan. Pengertian tipologi banyak ditemukan dalam berbagai bidang ilmu, dan definisi dari berbagai sumber. Pengertian tipologi dalam penelitian ini diambil dari modifikasi Oxford English Dictionary (Soanes & Stevenson 2008), yaitu sebuah pengklasifikasian atau pengelompokkan obyek menurut kesamaan sifat dasar ke dalam tipe-tipe tertentu.
Dalam penelitian ini tipologi dibatasi atas
pengaruh faktor biofisik dan sosial ekonominya.
1.7 Kebaharuan (Novelty) Pada penelitian ini aspek kebaharuannya adalah: menemukan tipologi berdasarkan faktor biofisik dan sosial ekonomi untuk mengelompokkan desa hutan rakyat.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1. Pengertian Hutan Rakyat Berdasarkan aspek hukum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan rakyat jika dilihat hanya dari kepemilikan lahan maka dapat dikategorikan ke dalam hutan hak, yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Namun jika dilihat dari pengelolanya, maka hutan adat juga dapat dikategorikan menjadi hutan rakyat karena dikelola oleh masyarakat atau rakyat walau kepemilikan lahan dikuasai oleh negara. Sedangkan sebelumnya dalam Undang-Undang RI No.5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, hutan rakyat dimasukkan sebagai hutan milik, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Berbagai pengertian mengenai hutan rakyat dapat dilihat dari rangkuman Mindawati et al. (2006) sebagai berikut : a. Hutan rakyat adalah merupakan tanaman pohon-pohonan (tanaman tahunan) yang terdiri dari berbagai jenis, baik tumbuh secara alami maupun ditanam dalam bentuk kebun atau terpencar-pencar di tanah penduduk yang berfungsi sebagai sumber kayu dan hasil hutan lainnya (Djajapertjunda 1959 dalam LP IPB 1990). b. Hutan rakyat adalah sebutan lain untuk hutan yang berstatus hutan milik, menurut penjelasan (UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan Departemen Pertanian 1967). c. Hutan rakyat adalah tanaman kayu rakyat yang tumbuh diantara tanamantanaman pertanian lainnya, atau areal tanah kering yang ditanami pohonpohon yang dapat diperdagangkan (Suyana 1976). d. Hutan rakyat adalah hutan yang dibangun pada lahan milik atau gabungan dari
lahan
milik
yang
ditanami
pohon
dengan
pembinaan
dan
pengelolaannya dilakukan oleh pemiliknya atau suatu badan usaha seperti koperasi, dengan berpedoman kepada ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan pemerintah (Alrasyid 1979).
9
e. Hutan rakyat adalah istilah lain untuk kebun campuran, untuk hutan yang ditanami kombinasi antara tanaman berkayu dan tanaman pertanian serta tanaman buah-buahan (Maryanto 1984 dalam LP IPB 1990). f. Hutan rakyat adalah suatu kebun yang hanya ditumbuhi beberapa pohon saja sebagai sentral, dimana pohon merupakan tumbuhan berkayu yang dapat mencapai tinggi lebih dari 4 meter dan berdiameter sama atau lebih besar dari 10 cm (Lembaga Penelitian IPB 1986 dalam LP IPB 1990). g. Hutan rakyat adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon di atas tanah milik dengan luas minimal 0.25 ha, dan penutupan tajuk tanaman kayukayuan minimal 50% dan atau pada tahun pertama jumlah batang minimal 500 batang/ha (Kepmenhut No. 49/Kpts-II/1997 Departemen Kehutanan 1999) h. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik (UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999, Departemen Kehutanan 1999). i. Hutan rakyat adalah merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat disebut hutan milik (Hardjanto 2001). Menurut Awang et al. (2002), sudut pandang yang sering digunakan mengenai hutan rakyat adalah sudut pragmatisme, geografis, dan sistem tenurial (kepemilikan). Pandangan pragmatisme melihat hutan yang dikelola rakyat hanya dari pertimbangan pemerintah saja. Semua pohon-pohonan atau tanaman keras yang tumbuh di luar kawasan hutan negara langsung diklaim sebagai hutan rakyat. Pandangan geografis menggambarkan aneka ragam bentuk dan pola serta sistem hutan rakyat tersebut.
Sistem hutan rakyat berbeda satu sama lain
tergantung letak geografis: ada yang di dataran rendah, medium, dan dataran tinggi; dan jenis penyusunnya yang berbeda menurut tempat tumbuh dan kesesuaian dengan iklim mikro. Pandangan sistem tenurial berkaitan dengan status misalnya statusnya hutan negara yang dikelola masyarakat, hutan adat, hutan keluarga, dan lain-lain. Sebagian besar penelitian tentang hutan rakyat umumnya sepakat bahwa secara fisik hutan rakyat tumbuh dan berkembang di atas lahan milik, dikelola dan dimanfaatkan oleh keluarga, untuk meningkatkan kualitas kehidupan, sebagai
10
tabungan keluarga, sumber pendapatan, dan menjaga lingkungan. Namun, menurut Awang et al. (2002) pembatasan hutan negara dan hutan rakyat dianggap kaku dan justru seringkali tidak menjamin keberadaaan dan kelestarian sumberdaya hutan itu sendiri. Sebaiknya pengertian hutan rakyat harus diperluas yaitu hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat, maupun lahan yang dikuasai oleh negara.
2.1.2. Sejarah Hutan Rakyat di Indonesia Menurut Hinrichs et al. (2008) sejak tahun 1978, ketika diselenggarakan Kongres Kehutanan Sedunia dengan tema ”Hutan untuk Rakyat” (Forest for People), pelan tapi pasti mulai terjadi pergeseran perspektif tentang peran-peran masyarakat sebagai penanggungjawab pengelolaan hutan di negara-negara sedang berkembang. Para penentu kebijakan di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia, secara progresif telah menyadari bahwa mereka yang mengetahui dengan amat baik kondisi-kondisi hutan setempat tidak lain adalah rakyat yang tinggal dan hidup di kawasan sekitar hutan-hutan tersebut. Istilah hutan rakyat muncul dalam perbendaharaan kata di bidang kehutanan di Indonesia yakni dalam satu artikel yang diterbitkan oleh FAO pada tahun 1978, berjudul ”Kehutanan untuk Pembangunan Masyarakat Setempat”. Sebenarnya istilah hutan rakyat sudah lama digunakan dalam programprogram pembangunan kehutanan dan disebut dalam UUPK Tahun 1967 dengan terminologi „hutan milik‟. Di Jawa hutan rakyat dikembangkan pada tahun 1930an oleh pemerintah kolonial. Setelah merdeka, pemerintah Indonesia melanjutkan pada tahun 1952 melalui gerakan “Karang Kitri”, yaitu melakukan penanaman pohon-pohonan di lahan rakyat. Program tersebut belum sempat dilaksanakan karena kekurangan biaya dan sarana lainnya, tetapi sudah memberi inspirasi kepada rakyat akan pentingnya menanam pohon di tegal dan pekarangan yang kosong (Simon 2010) . Pada dekade 1960-an program karang kitri dirubah namanya menjadi program penghijauanan, dimana Pekan Raya Penghijauan I diadakan pada tahun 1964. Sejak ada bantuan dari lembaga donor internasional mulai tahun 1966,
11
program
penghijauan
mulai
menunjukkan
hasil
yang
cukup
berhasil.
Keberhasilan tersebut ditambah dengan faktor-faktor pendukung yanglain, maka pada dekade 1980-an di daerah Kapur Selatan telah dikenal adanya hutan rakyat dengan jati sebagai jenis dominan (Awang et. al. 2001 dan Simon 2010). Sejarah perkembangan hutan rakyat di Jawa memiliki perbedaan dengan hutan milik atau hutan adat yang tumbuh di luar Pulau Jawa seperti Kebun Damar di Krui Lampung Barat, hutan rotan (simpukng) di Kutai Barat, tengkawang di Kalimantan Barat, Dusun Sagu di Papua dan Mamar di Nusa Tenggara. Khusus untuk pohon damar mulai dibudidayakan oleh penduduk setempat pada abad ke17, saat Inggris masuk wilayah Krui lewat pelabuhan Pulang Pisang. Pohon damar diperkirakan baru mulai dibudidayakan di daerah tersebut menjelang akhir abad ke-19. Pada tahun 1800-an, yaitu ketika kompeni Belanda masuk Krui, budidaya damar berkembang pesat.
Proses pembentukan damar di Lampung
serupa dengan pembentukan kebun karet di seluruh Sumatra maupun Kalimantan, yaitu dimulai dari perladangan berpindah. Oleh karena itu model pembentukan khepong damar di Lampung merupakan model yang telah teruji dan dapat meningkatkan pendapatan petani dan sekaligus memelihara kawasan hutan dari proses degradasi.
2.1.3. Karakteristik Wilayah Pengelolaan Hutan Rakyat Pengelolaan hutan rakyat memiliki karakteristik yang berbeda dengan hutan negara. Menurut Awang (2007) karakteristik pengelolaan hutan rakyat adalah : 1). Berada di tanah milik yang dijadikan hutan dengan alasan tertentu, seperti lahan yang kurang subur, kondisi topografi yang sulit, tenaga kerja terbatas, kemudahan pemeliharaan, dan faktor resiko kegagalan yang kecil. 2). Hutan tidak mengelompok, tetapi tersebar berdasarkan letak dan luas kepemilikan lahan, serta keragaman pola wanatani pada berbagai topografi lahan. 3). Pengelolaan hutan rakyat berbasis keluarga, yaitu masing-masing keluarga melakukan pengembangan dan pengaturan secara terpisah.
12
4). Pemanenan dilakukan berdasarkan sistem “tebang butuh”, sehingga konsep kelestarian hasil belum berdasarkan kontinuitas hasil yang dapat di peroleh dari perhitungan pemanenan yang sebanding dengan pertumbuhan (riap) tanaman. 5). Belum
terbentuk
organisasi
yang
profesional
untuk
melakukan
pengelolaan hutan rakyat. 6). Belum ada perencanaan pengelolaan hutan rakyat, sehingga tidak ada petani hutan rakyat yang berani memberikan jaminan terhadap kontinuitas pasokan kayu bagi industri. 7). Mekanisme perdagangan kayu rakyat di luar kendali petani hutan rakyat sebagai produsen, sehingga keuntungan terbesar dari pengelolaan hutan tidak dirasakan petani hutan rakyat. Menurut Suharjito (2000), beberapa faktor yang mendorong budidaya hutan rakyat di Jawa adalah faktor ekologis, ekonomi, dan budaya. Hutan rakyat di Jawa umumnya dibudidayakan di areal-areal lahan kering daerah atas (upland areas).
Budidaya hutan rakyat bukan pilihan yang utama bagi masyarakat
pedesaaan Jawa pada umumnya. Jika kondisi lingkungan alam memungkinkan, pilihan yang utama adalah budidaya tanaman yang cepat menghasilkan dengan keuntungan tinggi. Penyebaran hutan rakyat pada lahan milik terpencar-pencar dari satu lokasi ke lokasi lain dengan luasan yang relatif sempit (< 1 ha). Penyebarannya meliputi semua macam penggunaan lahan misalnya terdapat pada tegalan, ladang, kebun campuran, pekarangan dan sebagainya. Hutan rakyat banyak diusahakan pada lahan marjinal, dengan kondisi lereng yang berat, kesuburan tanahnya rendah, sulit mendapatkan air, dan sebagainya, sehingga tidak ekonomis dijadikan lahan pertanian (Haeruman et al. 1991). Pola tanam tumpangsari umumnya dilakukan oleh petani-petani berlahan sempit dan menengah. Para petani yang memiliki lahan yang luas (>1 ha) dan petani yang memiliki sumber penghasilan di luar usahatani (dagang, pegawai negeri, dll.) lebih mencurahkan perhatian pada usaha penanaman kayu-kayuan daripada
tanaman
pangan,
terutama
pada
lahan-lahan
produktivitasnya dan lapisan olahnya sudah sangat rendah.
yang
tingkat
13
Keragaan usaha hutan rakyat memiliki keragaman antar kecamatan tetapi cenderung seragam dalam kecamatan.
Aspek-aspek yang menyebabkan
terjadinya keragaman yaitu : tingkat perhatian terhadap hutan rakyat, persentase pendapatan, penyerapan tenaga kerja, kelestarian fisik, intensitas penutupan lahan, dan persentase pemenuhan kayu bakar dari hutan rakyat (Haeruman et al. 1991). Menurut Berenschot et al. (1988) dalam Hardjanto (2003), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap budidaya pohon-pohon (Acacia mearnsii) di pedesaan Wonosobo-Jawa Tengah adalah kepadatan penduduk, pemilikan lahan, topografi, dan komersialisasi. Peningkatan kepadatan penduduk berarti ketersediaan tenaga kerja per unit lahan, sehingga petani lebih memilih tanaman-tanaman yang lebih intensif. Pemilikan lahan yang sempit cenderung mengurangi minat budidaya pohon-pohon. Topografi yang curam mendorong petani membudidayakan pohonpohon yang sesuai untuk keperluan konservasi lahan.
Komersialisasi hasil
pertanian cenderung menurunkan minat budidaya pohon-pohon.
Berdasarkan
hasil penelitian di Gunungkidul dan Banjarnegara, Van Der dan Van Dijk (1987) mengemukakan bahwa rumahtangga yang memiliki lahan sempit cenderung memilih jenis tanaman yang lebih intensif. Demikian pula rumahtangga yang memiliki kemudahan akses ke pasar lebih cenderung memilih tanaman yang intensif. Kendra dan Hull (2005) di Virginia Amerika Serikat menyatakan, terdapat peningkatan jumlah orang yang memiliki hutan pribadi.
Hal ini disebabkan
beberapa faktor seperti: gaya hidup sederhana (simple lifestyle), kerohanian (spirituality), pemeliharaan alam (nature preservation), ekonomi (economics), rekreasi (recreation), dan karakter derah (regional character). digunakan
Metode yang
untuk memilih faktor yang penting tersebut adalah dengan
menstratifikasi populasi berdasarkan umur, pendapatan, luas areal kepemilikan, dan kriteria sosiodemografi Menurut Hardjanto (2000), beberapa ciri pengusahaan hutan rakyat sebagai berikut : 1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri dimana petani masih memiliki posisi tawar yang lebih rendah.
14
2. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik. 3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran, yang diusahakan dengan cara-cara sederhana. 4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari pendapatan total.
2.1.4. Struktur Tegakan dan Pola Tanam Hutan Rakyat Bentuk hutan rakyat di Indonesia sangat beragam dan pembagiannya tergantung dari sudut pandang yang berbeda pula. Menurut Hardjanto (2003), jika ditinjau dari asal mula keberadaannya, maka hutan rakyat dibagi atas : 1) Hutan rakyat tradisional : penanaman dilakukan oleh masyarakat sendiri tanpa campur tangan pemerintah. 2) Hutan rakyat Inpres : penanaman diprakarsai oleh pemerintah melalui bantuan penghijauan di tanah terlantar. Menurut Michon (1983), hutan rakyat dibagi atas tiga tipe, yaitu: 1) Pekarangan : sistem pengaturan yang terang dan baik serta biasanya berada di sekitar rumah. Luas minimum sekitar 0,1 ha, dipagari mulai dari sayur-sayuran hingga pohon yang berukuran sedang dimana tingginya mencapai 20 meter. 2) Talun : mempunyai ukuran yang lebih luas, penanaman pohon sedikit rapat, tinggi pohon–pohonnya mencapai 35 meter dan terdapat beberapa pohon yang tumbuh secara liar dari jenis herba atau liana. 3) Kebun campuran : jenis tumbuhan cenderung lebih homogen dengan jenis tanaman pokok cengkeh atau pepaya dan berbagai macam jenis tanaman herba. Kebun ini seringkali ditemui di sekitar desa. Dari pola-pola yang ada menunjukkan keragaman yang sangat besar yang menjadi batas atau ciri hutan rakyat di lapangan. Pola tanam hutan rakyat menurut Mindawati (2006) dan Purwanto et al. (2004) adalah:
15
1) Pola tanam hutan rakyat murni: Lahan hanya ditanami dengan satu jenis tanaman kayu-kayuan. Jenis yang biasa dikembangkan dalam pola ini adalah sengon, jati atau mahoni dalam kelompok-kelompok kecil antara 2-8 ha di dalam satu blok atau bahkan dalam luas yang lebih kecil. Pola ini dipilih masyarakat karena alasan penurunan produktivitas lahan sehingga dilakukan penghutanan kembali yang diharapkan dapat mengembalikan kesuburan tanah. Alasan yang lain adalah semakin sedikitnya tenaga kerja akibat urbanisasi, dan mulai terdapatnya sumber-sumber pendapatan yang digunakan masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 2) Pola tanam hutan rakyat campuran : Suatu areal tertentu yang ditanami 2-5 jenis tanaman kayu seperti sengon, mahoni, maesopsis, suren, jati, yang ditanam secara campuran dan berbeda kombinasinya pada setiap daerah. Dari teknik silvikultur, cara ini lebih baik daripada hutan rakyat murni.
Jarak tanam masing-masing jenis
tanaman dalam hamparan pemilik biasanya tidak teratur. Jumlah pohon setiap jenis bervariasi, demikian juga dalam satu jenis dijumpai variasi umur berbeda. 3) Pola tanam hutan rakyat dengan sistem agroforestri/wanatani Hutan rakyat yang mempunyai bentuk kombinasi antara kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya seperti perkebunan, pertanian, pangan, peternakan, dan lain-lainnya secara terpadu. Pola tanam ini berorientasi kepada optimalisasi pemanfaatan lahan, baik dari segi ekonomi maupun ekologis. Berdasarkan pengamatan di lapangan sangat sulit dijumpai sistem penanaman oleh petani secara monokultur (satu jenis). Secara garis besar Awang (2002), membagi pola tanam yang dilakukan oleh petani hutan rakyat sengon adalah sebagai berikut : 1. Pola 1 : Tanaman kayu-kayuan yang didominasi oleh jenis sengon. 2. Pola 2 : Tanaman sengon dan tanaman semusim 3. Pola 3 : Tanaman sengon, tanaman semusin dan buah-buahan.
16
4. Pola 4: Tanaman sengon, tanaman semusim, buah dan tanaman perkebunan (kapulaga, salak). 5. Pola 5 : Tanaman sengon dan tanaman perkebunan. 6. Pola 6 : Tanaman sengon dan tanaman buah-buahan. Ditinjau dari awal keberadaan pohon yang berada di hutan rakyat, sebagian besar merupakan hasil campur tangan penanaman manusia walaupun ada yang tumbuh alami pada beberapa lokasi. Proses pemanenan kayu umumnya berdasarkan “daur butuh”, yaitu menebang pohon pada saat petani memerlukan tambahan finansial, sehingga struktur tegakan
yang terbentuk menjadi tidak
seragam seperti hutan tidak seumur. Hal ini ditunjukkan dari beberapa penelitian, seperti Haeruman et al. (1990) di enam kabupaten di Jawa Barat; penelitian Hayono (1996) di Wonosobo dan penelitian Suryadi (2002) dalam Hardjanto (2003) di Leuwiliang Kabupaten Bogor. Kelestarian hutan rakyat dapat terwujud jika kondisi hutan rakyat membentuk struktur hutan normal dari distribusi kelas
Jumlah Pohon per ha
diameter seperti pada Gambar 1.
<10 10-15 16-20 >20 Diameter
(cm)
Gambar 1 Distribusi pohon menurut kelas diameter di hutan rakyat Menurut Awang (2002), kelestarian hutan rakyat di suatu tempat sangat ditentukan oleh faktor-faktor: kebutuhan ekonomi masyarakatnya, kepatuhan terhadap hukum-hukum tradisional, sistem pengaturan dan pembagian manfaat antar warga masyarakat, dan pandangan-pandangan kebutuhan penyelamatan lingkungan (pelestarian air, pencegahan erosi, dan peningkatan pendapatan masyarakat).
Jika unsur ekonomi terlalu menonjol di dalam kegiatan hutan
rakyat, maka akan mengganggu lingkungan hidup.
Jika hukum dan aturan
adat/tradisi ditinggalkan maka sumberdaya hutannya akan rusak. Pembagian
17
manfaat yang tidak merata atas sumberdaya alam hutan akan menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan.
Bahaya utama dari kelestarian hutan rakyat
adalah jika terjadi eksploitasi yang berlebihan terhadap hasil-hasil hutan yang ada di dalam hutan rakyat (terutama kayunya).
2.1.5. Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Menurut Awang et al. (2002), pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan hutan rakyat sering dipandang banyak pihak sebagai sesuatu yang tidak perlu. Pandangan seperti ini tercipta ketika orang berfikir bahwa hutan rakyat itu dikelola dengan skala tidak ekonomis, luasannya kecil dan tidak menguntungkan. Jika dibandingkan dengan unit pengelolaan hutan milik negara dan swasta, maka luasan hutan rakyat tidak berarti. Kendati hutan rakyat tidak dalam skala ekonomi tetapi hutan rakyat dengan segala komoditasnya telah secara signifikan membantu kebutuhan pemiliknya, baik untuk tambahan pendapatan, bahan obat-obatan, sumber pangan, sumber pakan ternak, sebagai tabungan untuk pendidikan anak dan sumber bahan bangunan perumahan dan meubeler. Menurut Hardjanto et al. (1987), untuk tujuan pengelolaan maka terdapat beberapa unsur kesatuan pengelolaan yang harus terpenuhi untuk mencapai prinsip kelestarian hasil dan kelestarian usaha.
Unsur-unsur yang dimaksud,
yaitu: 1). Azas kekekalan suplai Menurut azas ini, luas yang ditebang sama dengan luas yang ditanam. Hal ini dapat diartikan persediaan kayu ada sepanjang waktu dengan jumlah yang dipanen sesuai dengan riap pohon bersangkutan. 2). Azas kekekalan pengusahaan Kekekalan pengusahaan dapat berupa cara menggunakan investasi seefisien mungkin agar didapat suatu keuntungan dengan masa pengambilan yang relatif singkat. Dalam pengusahaan kayu rakyat, faktor luasan (optimum) menjadi penting, oleh karena akan menjadi pembatas dalam perhitungan finansial. Disamping itu, perlu ditetapkan suatu jangka waktu tertentu antara penanaman dan penebangan, atau penanaman dan penanaman berikutnya atau dalam bidang kehutanan disebut daur.
18
3). Kesatuan organisasi pelaksanaan pekerjaan. Pembentukan organisasi terlebih dahulu harus melihat lingkup kegiatan yang ditangani, dan menentukan kemampuan petugas yang akan ditempatkan atau mengukur volume pekerjaan setiap bagian tugas yang harus dikerjakan oleh setiap anggota organisasi. Permasalahan yang timbul adalah jenis pekerjaan apa yang dapat memberikan ukuran yang jelas ke dalam luasan yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. Pekerjaan ini akan merupakan dasar bagi organisasi pelaksanaan pekerjaan.
Pekerjaan tersebut berupa
penyuluhan kepada petani yang mencakup seluruh kegiatan dalam pengelolaan hutan rakyat. 4). Kesatuan organisasi pengusahaan terkecil. Dalam ilmu manajemen dikenal adanya hukum jenjang pengawasan (span of control). Hukum ini mengatakan bahwa apabila seorang petugas atau organisasi dari tingkat organisasi bawahan mempunyai wewenang untuk mengadakan interprestasi tentang perintah yang diterima dari atasannya sesuai dengan situasi dan kondisi setempat, maka perbandingan antara yang mengawasi dan yang diawasi menurut pengalaman adalah 1: 4-6. Oleh karena tenaga penyuluh merupakan tenaga yang mempunyai wewenang mengadakan interpretasi, maka perbandingan antara pimpinan penyuluh dan penyuluh mengikuti aturan tersebut. Jika kemampuan seorang tenaga penyuluh adalah satu desa dalam melaksanakan penyuluhan, maka satu kesatuan organisasi pembinaan lebih kurang 4-6 desa. Rentang pengawasan adalah jumlah terbanyak bawahan langsung yang dapat dipimpin dengan baik oleh seorang atasan tertentu.
Jumlah pejabat
bawahan bagi seorang pejabat atasan dapat banyak apabila pekerjaan yang dilakukan oleh para pejabat bawahan itu termasuk pekerjaan yang tidak memerlukan waktu lama untuk penyelesaiannya. Sebaliknya apabila untuk tiaptiap pekerjaan yang harus dikerjakan oleh para pejabat bawahan itu selalu memakan waktu lama sehingga pejabat atasan harus selalu mengawasi atau membimbing beberapa kali maka sebaiknya jumlah yang dipimpin oleh pejabat atasan sebaiknya sedikit saja. Menurut Sutarto (1984) dari beberapa pendapat
19
tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa rentangan kontrol adalah terbatas dimana jumlah angka pedomannya adalah : a. Untuk satuan utama jumlah pejabat bawahan langsung sebaiknya berkisar 3 sampai dengan 10 orang. b. Untuk satuan lanjutan jumlah pejabat bawahan langsung sebaiknya berkisar antara 10 sampai dengan 20 orang. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi jenjang pengawasan (span of control) adalah : 1). Kesamaan fungsi. 2). Kedekatan geografis. 3). Tingkat pengawasan langsung yang dibutuhkan. 4). Tingkat koordinasi pengawasan yang dibutuhkan. 5). Perencanaan yang dibutuhkan. 6). Bantuan organisasional yang tersedia bagi pengawas. Lastini (2005) melakukan pengelompokan hutan rakyat dengan berbagai peubah dimana menghasilkan peubah kepadatan penduduk dan jarak ke kota besar terdekat merupakan peubah dominan yang menghasilkan dugaan potensi hutan rakyat lebih baik dibanding dengan peubah lainnya. Awang (2006), mencoba pelakukan pendekatan kebutuhan terbentuknya unit manajemen hutan rakyat berdasarkan kebutuhan DAS terhadap keberadaan hutan, dimana hutan rakyat merupakan salah satu pendukung yang sangat berarti. Terdapat dua pemikiran pokok yang mendasari terbentuknya unit manajemen hutan rakyat (UMHR), yaitu : 1). Penguatan kelompok-kelompok pengelola hutan rakyat. 2). Penataan kawasan unit manajemen hutan rakyat. Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) telah membuat Pedoman LEI 99-41 sampai LEI 99-46 mengenai Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML).
Didalam pedoman tersebut telah disusun tipologi Unit
Manajemen berdasarkan aspek ekologi, sosial, dan produksi. Unit manajemen yang terbentuk yaitu sekelompok masyarakat, dimana kelompok ini bisa berupa kumpulan rumah tangga petani yang masing-masing mandiri namun membangun kesepakatan khusus menyangkut aturan-aturan produksi bersama untuk menjamin
20
kelestarian pengelolaan hutan.
Dari segi fisik satu unit manajemen adalah
kumpulan lahan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), seperti hutan rakyat yang berada atau sebagian besarnya berada dalam satu hamparan yang relatif kompak. Di Desa Selapuro Wonogiri, unit manajemen berupa komunitas petani dalam satu dusun yang terdiri dari 682 keluarga dan luas hutan 262.77 ha (terletak di lahan pekarangan 96.22 ha, dan tegalan 166.55 ha). Sedangkan di Desa Sumberejo Wonogiri unit manajemen terdiri dari 958
keluarga petani
dengan luas hutan 526.19 ha (terletak di lahan pekarangan 166.22 ha, dan tegalan 359.97 ha).
Tabel 1 Beberapa contoh unit pengelolaan pada hutan rakyat Nama Unit Pengelolaan Desa Sumberejo dan Selopuro (Wonogiri) Koperasi Wana Lestari (Gn. Kidul)
Luas/Jumlah orang
Desa
809,95 ha (2 desa : Desa Sumberejo 958 kk dan Desa Selopuro 682 kk)
Manunggal
815.18 ha (3 desa : Kedungkeris, Dengok, Giri Sekar)
Koperasi Hutan Jaya (Kab. Konawe Selatan – Sulteng)
159 Ha (12 Desa)
GOPHR Wono Lestari Makmur (Kec. Weru-Jateng)
1179 ha (4 desa : Ngrejo, Karangmojo, Jatingarang, dan Alasombo)
Perkumpulan PHR Catur Giri Manunggal (Wonogiri)
2434,24 ha (4 desa : Tirtosuworo, Guwotirto, Sejati, dan Grikikis)
Sumber : Hinrichs et al. 2008
Sedangkan Forest Stewardship Council (FSC) menciptakan istilah Hutanhutan yang dikelola dengan Intensitas Rendah dan Berskala Kecil (Small and Low Intensity Managed Forest – SLIMF).
Hutan-hutan berukuran kecil (hutan
tanaman dan non hutan tanaman) ditetapkan sebagai area yang luasnya kurang dari 1000 ha (dengan kemungkinan pengurangan hutan dari ukuran rata-rata nasional).
Pada hutan-hutan yang dikelola dengan intensitas rendah, nilai
tebangan harus dibawah 20% dari nilai rata-rata kenaikan tambahan (riap) tahunan dari seluruh produksi unit pengelolaan di kawasan hutan tersebut. Total tebangan setahun dari kawasan hutan tadi tidak lebih dari 5000 m3.
Pengelompokan
21
sertifikasi dimungkinkan menurut kebijakan SLIMF, sepanjang seluruh anggota kelompok merupakan Hutan Kecil atau Hutan-Hutan yang Dikelola dengan Intensitas Rendah. Berdasarkan data tahun 2008 telah ada 6 (lima) unit manajemen hutan rakyat yang telah diberikan sertifikasi dari beberapa lembaga sertifikasi seperti : Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI) dan SmartWood yang berpedoman pada skema FSC (Tabel 1). Luasan setiap unit pengelolaan beragam antara 159 ha sampai yang paling luas berkisar 2434 ha, dengan kesatuannya berdasarkan kumpulan kelompok petani dan koperasi. 2.2. Pengelolaan Hutan 2.2.1. Pengertian Hutan dan Pengelolaannya Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan The Dictionary of Forestry (Helms, 1998) menyatakan hutan adalah suatu karakteristik ekosistem yang dicirikan oleh penutupan pohon yang kurang lebih rapat, biasanya terdiri dari keragaman tegakan seperti
komposisi jenis,
struktur, dan kelas umur yang membentuk suatu persekutuan, dimana umumnya mengandung padang rumput, sungai dengan ikannya dan satwa liar.
Hutan
mencakup juga pengelompokan khusus seperti hutan industri (industrial forest), hutan milik bukan industri (nonindustrial private forest), hutan tanaman (plantations), hutan publik (public forest), dan hutan kota (urban forest). Society of American Foresters (1958) dalam Davis (1966), mendefinisikan pengelolaan hutan sebagai penerapan metode bisnis dan prinsip teknik kehutanan untuk kegiatan kepemilikan hutan. Seni, keahlian, dan pengetahuan kehutanan merupakan seperangkat nilai keberhasilan hanya jika digabungkan dan diterapkan dalam kegiatan bisnis kehutanan yang berhasil. Menurut Osmaston (1967), pengelolaan (management) secara umum adalah tindakan atau tanggungjawab jelas meliputi organisasi dan pengaturan semua kegiatan yang diperlukan untuk memenuhi tujuan dari pemilik atau kepemilikan.
Sedangkan khusus untuk
22
pengelolaan hutan memiliki keistimewaan tersendiri, dimana terdapat lima keistimewaan pengelolaan hutan, yaitu : (1) Faktor waktu Pertumbuhan pohon sampai mencapai ukuran yang dapat dimanfaatkan umumnya lambat, sehingga muncul resiko perubahan permintaan pasar dan pengembalian modal yang lama. (2) Identitas produk dan pabrik Di dalam suatu pohon memiliki dua identitas yaitu sebagai produk dan pabrik penghasil produk itu sendiri, sehingga memanen hasil berarti juga menghilangkan pabrik. (3) Manfaat majemuk (multiple use) Terdapat manfaat tangible dan intangible dari hutan.
Sulit menentukan
prioritas yang akan diambil dari semua manfaat yang ada, dan seringkali memanfaatkan satu menghilangkan manfaat yang lain. (4) Luas, topografi, dan assesibilitas lahan. Lahan hutan umumnya terpencil, sulit dicapai, tidak subur, dan sulit dibajak, dan berada di tempat jauh seperti di pegunungan. (5) Faktor teknis Dasar dari pengelolaan hutan serupa dengan pertanian yang bergantung kepada lahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman terutama pohon harus diperhatikan. Faktor-faktor tersebut sangat kompleks yang meliputi tidak saja botani, fisiologi dan ekologi tanaman, tetapi juga geologi, pedologi, dan klimatologi. Sejalan dengan waktu, kriteria pengelolaan hutan tersebut diatas mengalami perkembangan dan penyempurnaan. Pada saat sekarang pengelolaan hutan meliputi penggunaan hutan untuk
kepentingan pemilik dan masyarat.
Pengelolaan hutan saat ini berusaha mengejar ketertinggalan perhatiannya terhadap kepentingan masyarakat. Pengelolaan hutan, baik untuk kepentingan produksi kayu, keanekaragaman hayati, atau tujuan lainnya, keputusan didasari oleh pengetahuan dan nilai kepentingan manusia (Davis et al. 2001). Pengelolaan sumberdaya hutan menurut Buongiorno dan Gilles (2003) adalah seni dan ilmu membuat keputusan dengan perhatian terhadap organisasi,
23
fungsi, dan konservasi hutan serta hubungan sumberdaya tersebut. Hutan dapat dikelola untuk menghasilkan kayu, air, kehidupan liar, rekreasi, atau kombinasinya. Beberapa karakteristik utama yang dipegang dalam pengelolaan hutan menurut Suhendang et al. (2005) yaitu : 1. Berdasarkan pendekatan ekosistem dengan jasa lingkungan sebagai bentuk manfaat yang mutlak harus dihasilkan. 2. Bersifat multifungsi, sehingga perlu dilakukan pendekatan optimasi fungsi-fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial dari ekosistem hutan. 3. Untuk produksi kayu, maka hasil akan melekat pada pohon pembentuk tegakan yang sekaligus sebagai pabrik dalam proses produksi tersebut. 4. Dimensi waktu pengelolaan yang tidak terhingga (infinite).
Dalam
pengelolaan hutan dipegang prinsip kelestarian (berkelanjutan). 5. Tingkat intensitas pengelolaannya lebih mengandalkan alam dan tidak seintensif pengelolaan perkebunan.
2.2.2. Sejarah Pengelolaan Hutan Perhatian terhadap pengelolaan hutan menurut Meyer et al. (1961) dimulai dengan adanya kegiatan silvikultur pada kekaisaran Cina sekitar 1122 sebelum Masehi. Kegiatannya meliputi penjarangan tegakan, pemindahan pohon yang tidak diinginkan, pemangkasan, pembersihan, dan perlindungan. Komisi hutan dari pemerintah saat itu mengatur penebangan pohon, menghukum tindakan pencurian kayu, dan hanya mengizinkan penggunaan kayu untuk tujuan yang pasti. Kegiatan praktek kehutanan di Cina ini tidak berlanjut kemungkinan akibat perang dan periode kehancuran (chaos). Organisasi pengelolaan hutan lebih terlambat berkembang dibanding dengan metode silvikultur sederhana.
Di Eropa kelestarian hasil mulai
berkembang antara abad tiga belas sampai enam belas. Hal yang menarik yaitu pengelolaan hutan di Jerman muncul karena kekhawatiran kekurangan kayu akibat overcutting, pembersihan lahan, dan pengembalaan.
Sejarah mengenai
pengelolaan hutan yang tertulis secara formal adalah Ordonansi Melum
24
(Ordonance de Melum) di Perancis tahun 1376 dan Akta Hutan (Forest Act) tahun 1482, serta tahun 1543 di Inggris (Osmaston 1967). Menurut Davis et al. (2001) berdasarkan perkembangan sejarah terdapat empat tahapan pendapat utama mengenai kelestarian hutan, yaitu: 1. Kelestarian Hasil dari Kayu Komersil (Sustained Yield of Commercial Timber). Pengelolaan hutan tradisional lebih menekankan untuk produksi kayu. Kehutanan di Eropa pada tahun 1800-an, khususnya Jerman, menekankan aliran produksi kayu yang seimbang dalam suatu organisasi hutan. 2. Kelestarian Hasil untuk Multifungsi (Multiple Use-Sustained Yield) Setelah perang dunia ke-2, ekonomi masyarakat di Amerika Serikat mengalami peningkatan. Banyak penduduk yang melakukan rekreasi ke luar rumah terutama di lahan publik. Kemudian secara formal dibuat perundangundangan pada tahun 1960 mengenai “The Multiple Use-Sustained Yield Act”. Peraturan ini mengatur pengeluaran hutan selain kayu dan air dalam pengelolaan hutan nasional meliputi pemancingan, kehidupan liar, penyedia makanan ternak, dan rekreasi alam. 3. Fungsi alami dari ekosistem hutan (Naturally Functioning Forest Ecosystem). Hubungan manusia dengan alam saling mendukung. Pada tahun 1980 sampai awal 1990, negara melihat terdapat tekanan dan persaingan kuat untuk penggunaan hutan dan hasilnya.
Secara bersamaan terjadi perkembangan
dalam ilmu ekologi yang mendukung perlunya penyelamatan ekosistem alami dan kandungan genetik sebelum hilang secara permanen. Pertumbuhan politik lingkungan dengan tiba-tiba membawa perubahan politik baru. 4. Kelestarian Kemanusiaan – Ekosistem Hutan (Sustainable Human- Forest Ecosystem). Masalah hukum dan lingkungan ditekankan pada tahun 1980-an sampai 1990an, timbul istilah yang disebut “Sustainable Human- Forest Ecosystem” atau disebut juga kelestarian hutan dan pengelolaan ekosistem. Banyak ide mengenai
kelestarian alami ekosistem hutan. Masalah besarnya adalah
peningkatan populasi manusia dan kehidupan mengubah hubungan dengan hutan.
di dekat hutan yang akan
25
2.2.3. Konsep dan Kriteria Pengelolaan Hutan Davis et al. (2001) menyatakan bahwa kelestarian hutan adalah pengakuan secara luas hubungan susunan antara ekologi, ekonomi, dan sosial. Kelestarian ini berarti mempertemukan kepentingan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi berikutnya. Pespektif dalam pengelolaan hutan dipandang dari aspek ekologi, ekonomi, dan sosial adalah sebagai berikut : a.
Prinsip Kehutanan Ekologi Prinsip ini menganalisa sumberdaya hutan dari keanekaragaman hayati dan produktifitas ekologi. Ekologi hutan dibedakan oleh penekanan pola alami dan prosesnya. Pola gangguan alami dan prosesnya, sistem seleksi silvikultur, penyeleksian umur dan sebarannya, serta habitat dari suatu jenis digunakan sebagai arahan pengelolaan.
b. Prinsip Kehutanan Ekonomi Prinsip ini menganalisis sumberdaya hutan dari keuntungan bersih maksimal
terhadap
manusia.
Keuntungan
dapat
dipandang mikro
(perusahaan) dan makro (wilayah dan nasional). Ekonomi mikro menganalisis keuntungan pada suatu perusahaan dan ditekankan pada akumulasi kekayaan. Sedangkan makro ekonomi menganalisa keuntungan dari ekonomi dan ditekankan pada kumpulan pengukuran kesejahteraan setiap pekerja, pendapatan, dan Gross National Product (GNP). Selain itu, untuk kehutanan pengukuran yang sering digunakan adalah nilai kiwari bersih (Net Present Value/NPV), dan pendugaan biaya alternatif untuk suatu pengukuran keanekaragaman hayati. Menurut Buongiorno dan Gilles (2003), penilaian ekonomi di lahan hutan lebih tepat jika menggunakan “Nilai Harapan Lahan” (Land Expectation Value/LEV) yang dikemukakan oleh Martin Faustmann pada tahun 1849.
26
VR
0
2R
R
3R
Tahun
Gambar 2 Pertumbuhan tegakan dan panen berdasarkan Model Faustmann
Pada Gambar 2 terlihat bahwa ketika suatu tegakan mencapai waktu rotasi (R) maka dilakukan penebangan. Kemudian lahan segera menjadi hutan kembali setelah pemanenan tersebut. Formula Faustmann menunjukkan nilai lahan adalah nilai yang dihitung pada saat sekarang dari panen yang akan datang dengan waktu yang tak terhingga.
Fungsi lahan tidak mengalami
perubahan, yaitu tetap menjadi fungsi hutan terus menerus, ini terlihat dari rumusnya dimana terjadi ulangan tak terhingga, yaitu :
wv R - c (1 r) R
LEV
-c
atau
LEV
-c
wv R - c (1 r) 2R
wv R - c (1 r) 3R
...
wv R - c (1 r) R 1
Dimana : c = biaya pemanenan R = rotasi r = suku bunga W = harga kayu V = volume kayu per ha Terjadi ulangan tak berhingga ini merupakan ciri dan prinsip pengelolaan hutan dibanding pengelolaan lainnya. c. Prinsip Kehutanan Sosial Prinsip ini dinamakan dengan social forestry yang menganalisis melalui keberlanjutan kesejahteraan manusia, komunitas, dan masyarakat. Elemen kunci keuntungan hutan menggunakan prinsip ini meliputi distribusi keuntungan
hutan,
kapasitas
kelompok
untuk
menerima
perubahan,
27
penerimaan sosial dari keputusan, dan proses pembuatan keputusan berdasarkan demokrasi. Deklarasi Rio yang dikeluarkan pada Konferensi PBB untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development,
UNCED)
yang
diselenggarakan
di
Brazil
Tahun
1992
mengamanatkan perlunya pengelolaan hutan yang bersifat menyeluruh (holistic), terpadu (integrated) dan berkelanjutan (sustainable). Salah satu dokumen yang dihasilkan dalam konferensi ini adalah Prinsip-prinsip Kehutanan ( Principle on Forest).
Prinsip tersebut melandasi Pengelolaan Hutan Lestari atau PHL
(Sustained Forest Management/SFM) yang disepakati secara internasional. Prinsip utama dalam PHL adalah dicapainya manfaat hutan yang bersifat optimal dari fungsi-fungsi ekonomis, ekologis, dan sosial budaya hutan untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang (Suhendang 2004). Dalam
pengelolaan
hutan
berlandaskan
ekosistem,
kelestarian
(keberlanjutan) hutan mengandung makna kelestarian dalam hal keberadaan wujud biofisik hutan, produktifitas (daya dukung) hutan, dan funsi-fungsi ekosistem hutan dengan komponen lingkungannya.
Dari ketiga dimensi
kelestarian hutan tersebut, kelestarian wujud biofisik merupakan prasyarat untuk diperoleh kelestarian produktivitas dan fungsi ekosistem hutan. Namun demikian, mempertahankan kelestarian wujud biofisik bukan berarti bahwa seluruh hutan harus dibiarkan utuh alami, tidak boleh disentuh atau dimanfaatkan sama sekali; melainkan
kita
manfaatkan
sumberdaya
hutan
secara
optimal
dengan
mempertahankan kelestarian daya dukungnya yang dapat menopang secara berkelanjutan pertumbuhan dan perkembangan pembangunan (Suhendang 2004). Lembaga Ekolabel Indonesia (2006) menyatakan ukuran kelestarian untuk Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu: status penguasaan lahan, status tataguna lahan di dalam tataruang, komoditas yang diusahakannya, dan orientasi pengusahaan produk-produk tesebut. Berdasarkan persilangan keempat faktor tersebut dikenali 48 tipe PHBM. Secara sederhana dapat digolong-golongkan lebih lanjut ke dalam 6 (enam) kategori berikut berdasarkan derajat sensitivitas kelestariannya, yaitu :
28
a) Kategori Pertama adalah PHBM pada lahan-lahan yang berdasarkan tata guna lahan diperuntukkan sebagai kawasan dilindungi, dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa kayu dan orientasi usahanya komersial; b) Kategori Kedua adalah PHBM pada tanah negara yang berdasarkan tata guna lahan diperuntukkan sebagai kawasan budidaya kehutanan, dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa kayu dan orientasi usahanya komersial; c) Kategori ketiga adalah PHBM yang berada pada tanah adat dan hak milik yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan sebagai kawasan budidaya kehutanan, dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa kayu dan orientasi usahanya komersial. Kategori ini dapat berarti PHBM pada tanah-tanah yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan sebagai kawasan lindung atau kawasan budidaya kehutanan, dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa hasil hutan non kayu dan orientasi usahanya komersial; d) PHBM pada lahan-lahan yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan sebagai kawasan lindung atau kawasan budidaya kehutanan, jenis hasil hutan yang diproduksinya berupa kayu atau non kayu, namun dengan orientasi subsisten. e) PHBM pada lahan-lahan yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan sebagai kawasan budidaya non kehutanan dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa kayu atau non kayu, dan orientasi usahanya komersial. f) PHBM pada lahan-lahan yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan sebagai kawasan budidaya non kehutanan dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa kayu atau non kayu, namun orientasi usahanya subsisten. 2.2.4. Organisasi Hutan dan Unit Pengelolaan Hutan Menurut Davis (1966), penerapan pengelolaan hutan memerlukan terbentuknya organisasi administrasi dan bagian hutan (subdivision) pada unit kerjanya.
Kehidupan, transportasi, dan fasilitas lainnya harus dilengkapi.
Tanggungjawab untuk mencapai tujuan dan kebijakan pengelolaan hutan harus disusun dan dilaksanakan berdasarkan pada organisasi administratif. Penerapan sistem peraturan menuju efektifitas jadwal penebangan dan kerja pengelolaan hutan lainnya, identifikasi tegakan dan wilayah penebangan atau perlakuan lainnya diperlukan dalam pengelolaan hutan .
Rekaman perlu disimpan yang
29
berhubungan dengan unit lahan untuk gambaran pengukuran dan petunjuk kegiatan ke depan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dalam Undang-Undang Republik Indonesia
No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dibagi atas beberapa tingkat,
yaitu propinsi, kabupaten/kota, dan unit pengelolaan. pengelolaan
hutan
tingkat
unit
pengelolaan
Pembentukan unit
dilaksanakan
dengan
mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. Faktor-faktor
yang mempengaruhi luasnya
suatu organisasi
unit
pengelolaan hutan adalah (Davis dan Mason, 1966): 1). Pendirian dan pemeliharaan dari pemilikan lahan Bagaimana lahan
diperoleh dan didistribusikan dalam hubungan dengan
kepemilikan lainnya dan penggunaan lahan, memerlukan pendirian dan pemeliharaan pada batas luar, trespass, dan klaim tanah yang merugikan, masalah akses dan prilaku masyarakat serta politiknya. 2). Tambahan rencana hasil ke depan Jika penambahan lahan diperoleh, kapan, dimana, dan berapa banyak? Jawabannya mempengaruhi atministrasi dan subdivisi hutan. 3). Lawas (Scope) dan karakter pekerjaan yang dilakukan Apakah dominan untuk produksi kayu atau untuk penggunaan lainnya dan bagaimana kepentingannya? Pertanyaan ini sangat penting di masyarakat dan berhubungan dengan kepentingan kepemilikan pribadi. Peningkatan produksi kayu mungkin perlu dihubungkan dan diseimbangkan dengan penggunaan lainnya. 4). Beban pekerjaan dan pengawasan Berapa besar beban pekerjaan dan unit personil profesional yang langsung berhubungan dengan lahan?
Ukuran dan struktur unit administrasi yang
efisien mengutamakan fungsi dari volume dan kompleksitas dari pekerjaan yang dilakukan dibanding berdasarkan luas tanah.
30
5). Area pemasaran Bagian hutan sebagai penyedia kayu terutama untuk pabrik, kota, atau masyarakat akan mempengaruhi organisasi dan bagian hutan itu sendiri. 6). Topografi Banyak bagian hutan ditentukan oleh karakteristik wilayahnya, seperti wilayah pegunungan untuk pengaturan kegiatan penebangan ditetapkan berdasarkan aliran air dan bentuk topografi. 7). Fasilitas transportasi Tersedianya fasilitas transportasi akan sangat mempengaruhi organisasi hutan. Transportasi menjadi batasan untuk pemasaran kayu di banyak wilayah hutan. Terbukanya wilayah hutan oleh jalan darat maupun air akan mengubah kondisi administratif.
Pada beberapa kondisi, besarnya wilayah di suatu
bagian hutan dipengaruhi oleh transportasi. Keberadaan transportasi seperti jalan dan rel secara alami berhubungan dengan topografi. 8). Karakteristik hutan Hutan didominasi oleh tegakan tua atau siap tebang. Sebagian merupakan persediaan, dan diperlukan regenerasi buatan dan lainnya yang penting hubungannya dengan administrasi hutan. Selain itu, perbedaan jumlah dan karakter serta tipe hutan seperti hardwood, konifer, atau gambut membedakan perlakuan dalam kegiatan di hutan. 9). Inventarisasi dan keperluan penyimpanan rekaman Beberapa macam pengawasan inventarisasi dan kegiatan rekaman harus disimpan sesuai dan berarti dalam bagian hutan. Dalam suatu organisasi di masyarakat terdapat dua bentuk organisasi yaitu, organisasi formal dan informal. Kedua bentuk organisasi tersebut memiliki perbedaan penting.
Menurut Buchanan dan Huczynski dalam Gane (2007),
organisasi formal mengacu pada pekerjaan kelompok yang didesain dengan pengelolaan profesional untuk mencapai efisiensi dan pencapaian tujuan organisasi. Sedangkan organisasi non formal mengacu pada jaringan hubungan yang spontan diantara anggotanya yang berlandaskan ketertarikan dan pertemanan. Komponen informal dapat mempengaruhi pekerjaan dan efisiensi dari organisasi, seperti moral, motivasi, kepuasan pekerjaan dan penampilan. Hal
31
tersebut dapat mendorong terjadinya inisiatif dan kreatifitas untuk keuntungan organisasi atau dapat menghalangi aktifitas. Pada semua organisasi terdapat empat faktor yang berpengaruh terhadap bentuk perilaku organisasi dan efektifitasnya, yaitu : a. Manusia yang saling berinteraksi b. Struktur, merupakan penyaluran dan pengaturan interaksi dan usaha c. Tujuan, keinginan organisasi untuk berhasil. d. Pengelolaan (management), menentukan dan mengawas aktifitas organisasi dalam mencapai tujuan. Sumberdaya baik alam, manusia, maupun kapital yang terdapat pada organisasi membutuhkan
kombinasi
dan
penggunaan
efektif
untuk
menghasilkan
kemungkinan hasil yang terbaik. Dilakukan proses penggabungan pengelolaan manusia, struktur dan tujuan, serta pengawasan terhadap sumberdaya. Hasil dari proses pengelolaan menentukan keberhasilan atau kegagalan organisasi. Di negara Eropa hutan milik lebih bersifat ekstensif dan berfragmentasi dibanding di tempat lain.
Sebagai contoh, 77% wilayah hutan produksi di
Norwegia merupakan milik individu, bermacam tipe dari hutan milik umum (private common ) sekitar 10%, dan milik publik sekitar 13%. Dimana hutan invidu terdiri dari 118 perusahaan.
Hutan di Swedia 50% merupakan hutan
pribadi dan 24% milik dari perusahaan. Di Perancis lebih dari tigaperempat dan di Spanyol duapertiga wilayah hutannya merupakan hutan milik.
Fungsi
pemerintah dan departemen adalah mengawasi aktivitas hutan milik, dengan aturan dan tugas yang berbeda dengan hutan negara.
2.2.5. Pengelolaan Hutan Untuk Menjamin Kelestarian Suhendang (2004) menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan ekologi, dan sosial.
membutuhkan sinergi yang baik antara fungsi ekonomi, Kelestarian merupakan proses mengelola hutan untuk
mencapai satu atau lebih tujuan pengelolaan tertentu dalam menghasilkan barang dan jasa hutan, yang diperlukan secara berkelanjutan tanpa adanya pengurangan terhadap nilai dan produktivitas hutan di masa yang akan datang, dan tanpa adanya dampak yang tidak diharapkan terhadap lingkungan fisik dan sosial.
32
Tabel 2. Standar kriteria aspek ekonomi, sosial, dan ekologi Aspek Ekonomi (Produksi)
Sosial
Ekologi
LEI
ITTO
FSC SLIM
Kelestarian Sumberdaya Kelestarian Hasil Kelestarian Usaha
Ketersediaan Produksi Hutan
Ukuran unit pengelolaan Keuntungan dari hutan yang nyata. Banyaknya dan frekuensi pemanenan.
Kejelasan sistem tenurial dan hutan komunitas Terjaminnya pengembangan & ketahanan ekonomi komunitas Terbangunnya hubungan sosial yang setara dalam proses produksi Keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas Stabilitas ekosistem hutan dapat dipelihara & ganggungan dapat diminimalisir dan dikelola Ekosistem langka dapat dipertahankan dan ganggungan terhadapnya dapat diminimalisir
Aspek ekonomi, sosial dan kultural.
Jumlah tenaga kerja Tipe kepemilikan dan tenurial lahan. Kegiatan sosial yang nyata.
Keamanan Sumberdaya hutan Kesehatan dan kondisi ekosistem hutan Keanekaragaman Biologi Tanah dan Air
Proporsi lahan untuk perlindungan
Sumber : Lei, 2006 http://www.lei.or.id/indonesia/news_detail. FSC, http://www.gtz.de/de/dokumente/en-d61-slimfs-initiative
Kelestarian hutan dapat dicapai dengan menetapkan kriteria dan indikator yang dapat diterapkan dalam sebuah unit pengelolaan (management unit) dan perencanaan tingkat tinggi seperti di regional maupun nasional.
Kriteria
kelestarian untuk tingkat kesatuan pengelolaan hutan dan contoh indikatornya diterangkan di ITTO (1992) dalam Kuncahyo (2006) : a) Kriteria keamanan sumber, contoh indikator yaitu ketetapan kawasan hutan tetap, rencana pengelolaan, kejelasan tata batas, tingkat penebnaagan, serta perjanjian masa konsensi hutan. b) Kriteria keberlanjutan hasil kayu, contoh indikatornya yaitu aturan yang jelas dan resmi tentang pemanenan, produktivitas tanah jangka panjang, inventarisasi tegakan sebelum penebangan, jumlah pohon atau volume pohon yang boleh ditebang per hektar, monitoring tegakan sisa tebangan, pencatatan
33
hasil hutan tahunan, areal produksi yang bersih, dan pencatatan areal tebangan hutan. c) Kriteria konservasi flora dan fauna, contoh indikatornya yaitu perlindungan ekosistem dalam areal konsensi hutan dan unit pengelolaan, serta tingkat gangguan vegetasi setelah penebangan. d) Kriteria manfaat sosial ekonomi, contoh indikatornya yaitu jumlah tenaga kerja yang diserap, macam pekerjaan, dan jumlah volume pekerjaan yang dapat dikaitkan dengan pengelolaan hutan. e) Kriteria pengamanan dalam perencanaan dan pengaturan, contoh indikatornya yaitu konsultasi kemasyarakatan dan rencana pengelolaan hutan dengan memasukkan pemanfaatan hutan secara tradisional. Kriteria kelestarian untuk tingkat pengelolaan yang umum digunakan di Indonesia meliputi aspek ekonomi, sosial, dan ekologi disajikan pada Tabel 2. Varma et al (2000), melakukan pengukuran kelestarian hutan dengan menggunakan seleksi lewat kriteria dan indikator. Kriteria dan Indikator yang telah dibangun dan diteliti sebelumnya (ITTO 1992, Helsinki Process 1995, Montreal Process 1995) sebagai berikut : a. Keadaan dari sumberdaya hutan b. c. d. e. f. 2.3.
Konservasi terhadap keanekaragaman biologi. Kesehatan hutan, vitalitas, dan integritas. Fungsi Produksi kayu dan produk lainnya Perlindungan tanah dan air Fungsi sosial-ekonomi . Karakteristik Masyarakat Desa Definisi desa menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P49/Menhut-
II/2008 tentang hutan desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Popkin (1986), desa adalah lembaga kunci yang menyediakan jaminan keamanan kepada para petani dalam masyarakat prakapitalis. Desa adalah suatu
34
kolektifitas yang meratakan kesempatan-kesempatan hidup dan meminimalkan resiko-resiko hidup bagi warganya. Keadaan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat pedesaan di Indonesia menarik untuk diteliti karena lebih dari 83% rumah tangga di Indonesia tinggal di pedesaan, dan kondisi desa memerlukan bantuan pemikiran untuk memecahkan masalah yang dihadapinya (Sayogyo 1981). Rendahnya pendapatan, sempitnya penguasaan lahan, rendahnya pendidikan, sulitnya mencari pekerjaan, dan lainlain merupakan masalah-masalah dalam kehidupan rumah tangga didesa. Kondisi penguasaan lahan yang sempit dan sifat menggantungkan diri pada sektor pertanian membuat petani sukar meningkatkan pendapatannya. Ciri-ciri rumah tangga masyarakat pedesaan adalah sebagai berikut : a. Rumah tangga di desa mempunyai fungsi rangkap, yaitu sebagai unit produksi, unit konsumsi, unit reproduksi, dan unit interaksi sosial-ekonomi. b. Tujuan utama rumah tangga di pedesaan adalah untuk mencukupi kebutuhan para anggotanya. c. Implikasi penting bagi pola penggunaan waktu antara lain adalah rumah tangga petani miskin akan bekerja keras untuk mendapatkan tambahan produksi, meskipun kecil mereka sering menambah kegiatan bertani dengan pekerjaan lain walaupun hasilnya per jam kerja lebih rendah, rumah tangga petani miskin juga menunjukkan ciri-ciri self exploitation (White 1976 dalam Kartasubrata 1986). Masyarakat pedesaan pada dunia ketiga umumnya dan pedesaan khususnya, sangat erat dengan kemiskinan. Hal ini dikarenakan secara relatif sumberdaya manusia berkualitas sangat rendah, penguasaan aset (lahan) yang sempit serta sulitnya iklim demokrasi di segala bidang (Hardjanto, 2003). Petani pengelola hutan rakyat biasanyanya subsisten yang merupakan ciri umum petani Indonesia. Golongan petani yang subsisten tersebut menurut Scott (1976) memiliki kebiasaan mendahulukan selamat, artinya apa yang diusahakan prioritas pertama adalah mencukupi kebutuhan konsumsi sendiri yang disebut dengan etika subsisten. Petani subsisten umumnya memiliki penghasilan yang sangat rendah, lahan yang kecil, keluarga besar, hasil-hasil panen yang sangat variabel, dan sedikit kesempatan bekerja di luar. Pada tingkat ini, petani sulit
35
menghadapi keputusan yang mengandung resiko tinggi, seperti melakukan investasi besar dan perubahan inovasi yang drastis. Masyarakat desa memiliki pola hubungan yang secara struktur sangat tergantung kepada pemimpin. Masalah ini dapat dianggap sebagai kekuatan maupun kelemahan.
Kelemahan pada masyarakat seperti ini adalah, jika
pemimpin formal dan informal desa tidak memiliki sikap inisiatif akan mengakibatkan dinamika kehidupan masyarakatnya mengalami stagnasi. Namun, ketergantungan terhadap pemimpin dapat dianggap sebagai kekuatan, sebab tipe masyarakat seperti ini akan lebih mudah dimobilisasi, melalui tokoh-tokoh masyarakatnya (Haryanti et al 2003). Selain itu menurut Scott (1976), terdapat banyak jaringan dan lembaga di luar lingkungan keluarga yang seringkali berfungsi sebagai pelindung selama krisis ekonomi dalam kehidupan petani. Petani akan dibantu oleh sanak saudaranya, kawan-kawannya, aparat desanya, seorang pelindung yang berpengaruh, dan negara. 2.4.
Pola Sebaran Spasial Pola sebaran spasial merupakan karakter penting dalam ekologi komunitas.
Hal ini yang biasanya pertama kali diamati dalam melihat beberapa komunitas dan salah satu sifat dasar dari kebanyakan kelompok organisme hidup. Dua populasi mungkin saja memiliki
kepadatan yang sama, tetapi mempunyai
perbedaaan yang nyata dalam pola sebaran spasialnya.
Acak (random )
Mengelompok (clumped) Seragam (uniform)
Gambar 3 Tiga pola dasar penyebaran spasial dari individu dalam suatu habitat Terdapat tiga pola dasar spasial yang telah diakui, yaitu : acak (random), mengelompok (clumped atau aggregated) dan seragam atau merata (uniform)
36
(Ludwig & Reynold 1986; Waite 2000). Hutchinson (1953) adalah ekologis yang pertama kali menaruh perhatian akan pentingnya pola-pola spasial dalam suatu komunitas dan mengidentifikasi faktor-faktor penyebab yang paling berperan pada pola-pola spasial suatu organisme. Beberapa faktor tersebut adalah: 1) Faktor vektorial yang timbul dari gaya eksternal lingkungan (seperti angin, pergerakan air dan intensitas cahaya). 2) Faktor reproduksi yang berkaitan dengan model reproduksi dari suatu organisme (seperti kloning dan regenerasi dari keturunan). 3) Faktor sosial karena tingkah laku penghuni (seperti tingkah laku teritorial). 4) Faktor koaktif yang dihasilkan dari interaksi intraspesifik (seperti kompetisi). 5) Faktor stokastik yang dihasilkan dari variasi yang acak pada beberapa faktor di atas. Proses-proses yang memberi kontribusi terhadap pola-pola spasial dapat berhubungan baik dengan faktor dari dalam atau instrinsik (seperti reproduksi, sosial dan koaktif) atau faktor luar (ekstrinsik/vektorial). 2.5.
Tipologi
2.5.1. Definisi Tipologi Pengertian tipologi banyak digunakan dalam berbagai bidang ilmu, dan definisi dari berbagai sumber. Definisi-definisi tersebut dapat dirangkum dari beberapa kamus, yaitu : a) Menurut Oxford English Dictionary ( Soanes & Stevenson 2008): 1) “classification according to general type especially in archaelogy, pscychology, or social science”. 2) “the study and interpretation of types and symbols, originally especially in the bible”. b) Menurut Webster’n New Word College Dictionary (Neufeldt & Guralnits 1986): 1) “the study of types, symbols, or symbolism” 2) “Symbolic meaning or representation; symbolism”
37
c) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa 2008) : “Ilmu watak tentamg bagian manusia dalam golongan-golongan menurut corak watak masing-masing” d) Menurut Macmillan Dictionary (Wilkinson 1959) : “a system a arranging thins in groups, or the use of such a system” e) Menurut The American Heritage Science (Pickett 2005): 1) “The study or systematic classification of types that have characteristics or traits in common”. 2) “A theory or doctrine of types, as in scriptural studies”. Penelitian ini menggunakan pengertian tipologi, yaitu suatu pengklasifikasian atau pengelompokan obyek berdasarkan kesamaan sifat-sifat dasar menjadi tipe-tipe tertentu. Pengertian ini dimodifikasi dari Oxford English Dictionary ( Soanes & Stevenson 2008) dan beberapa sumber kamus yang telah disampaikan. 2.5.2. Penelitian-Penelitian tentang Tipologi Rahmalia (2003) meneliti tentang tipologi pengembangan desa-desa pesisir Kota Bandar Lampung. Dalam penelitian ini dilakukan pengelompokan desa-desa berdasarkan empatpuluh tiga variabel penjelas. Data variabel diperoleh dari Potensi Desa (PODES) dan hasil survei lapangan. Seleksi variabel dilakukan melalui teknik analisis komponen utama. Metode pengelompokan menggunakan analis kelompok (cluster analysis) dan memilih faktor yang paling mencirikan tipologi wilayah menggunakan analisis fungsi diskriminan. menghasilkan tiga tipologi, yaitu tipe I
Pada penelitian ini
dengan merupakan desa-desa maju
dengan tingkat kesejahteraan penduduk yang sangat tinggi dan tingkat assesibilitas juga tinggi, tipe II mempunyai karakteristik tingkat kesejahteraan penduduk relatif rendah tetapi tingkat assesibitas cukup tinggi, dan tipe III merupakan desa-desa yang tingkat kesejahteraannya sedang dan asesibilitasnya relatif rendah. Aziza (2008), melakukan tipologi
pengembangan wilayah kecamatan
berdasarkan potensi pengembangan padi. Variabel-variabel ditentukan dengan pendekatan berbagai aspek yang terkait dengan sistem produksi padi, yaitu aspek yang berkaitan dengan input yang digunakan dan sarana/prasaranan penunjang.
38
Seleksi variabel dilakukan melalui teknik analisis komponen utama. Analisis cluster dilakukan berdasarkan komposit dari analisis komponen utama. Penelitian ini menghasilkan pengelompokan wilayah menjadi tiga tipe, yaitu tipe wilayah berkembang, tipe wilayah cukup berkembang dan tipe wilayah belum berkembang. Hasil SWOT diperoleh strategi kebijakan arahan pengembangan padi di Kabupaten Bone, yaitu memanfaatkan potensi wilayah yang sesuai, meningkatkan pola kemitraan dengan petani, membangun sarana dan prasarana, meningkatkan penerapan teknologi dan sistem informasi, dan mengolah beras menjadi produk pangan yang bernilai tinggi. Hazeu et al. (2010) membangun tipologi biofisik berdasarkan data mengenai kandungan karbon organik topsoil di wilayah Eropa. Dasar tipologi ini adalah stratifikasi lingkungan Eropa, yaitu
pada karakteristik iklim dan
ketinggian. Zona lingkungan kemudian dikombinasikan dengan karbon organik tanah lapisan atas data untuk menutupi berbagai lingkungan agribisnis keragaman Eropa. Pada penelitian ini dapat dibangun tiga zona dengan potensi pertanian yang berbeda, yaitu zona cocok untuk pertanian, zona tidak cocok untuk pertanian dan zona kurang cocok untuk pertanian. Juhadi (2010) mengkaji pola, struktur, dan dampak spasial pemanfaatan lahan pertanian di daerah perbukitan-pegunungan DAS Serang bagian hulu. Data dikumpulkan melalui pengamatan lapangan, wawancara, uji lapangan, analisis peta digital, serta citra SPOT
dengan satuan analisis bentuk lahan dan
rumahtangga petani. Hasil penelitian menunjukan enam pola pemanfaatan lahan untuk persawahan dan tiga tipologi kualitas pemanfaatan lahan. Tipologi yang dihasilkan adalah tipe kualitas pemanfaatan lahan pertanian rendah (23.81%), tipe pemanfaatan lahan pertanian sedang (57.14%), dan tipe kategori tinggi (19.05%).
III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran Pada saat ini pengelolaan hutan rakyat masih dilakukan secara tradisional. Kebutuhan kayu yang semakin meningkat merupakan salah satu tantangan terhadap pengelolaan hutan rakyat karena berkurangnya persediaan kayu di hutan alam dan tanaman. Tantangan yang lain adalah semakin mendesaknya kebutuhan atas lahan untuk kepentingan lain di luar kehutanan sehingga menyebabkan kerentanan perubahan fungsi hutan rakyat.
Hutan rakyat secara ekonomis
dianggap masih kalah bersaing dengan penggunaan lahan lain seperti pertanian, dan fungsi lainnya
Namun, hutan rakyat dapat dijadikan alternatif pelengkap
untuk menjaga kekurangan lahan bervegetasi demi kepentingan ekologis di suatu wilayah akibat kerusakan pada hutan negara. Oleh karena itu perlu dikaji suatu bentuk pengelolaan yang dapat menjamin kelestarian hutan rakyat. Pengelolaan hutan rakyat memerlukan sistem pengelolaan yang dapat menjamin kelestarian hutan rakyat dalam menghadapi tantangan ke depan yang semakin berat.
Hutan rakyat memiliki karakteristik yang khas dan berbeda
dengan pengelolaan hutan pada umumnya.
Pengelolaan hutan pada umumnya
memiliki berbagai karakteristik seperti, pengelolaan berdasarkan pendekatan ekosistem, bersifat multifungsi (ekologi, ekonomi, dan sosial), diutamakan hasil kayunya untuk hutan produksi, masa pengelolaan yang tidak terhingga (infinite), dan intensitas pengelolaannya lebih mengandalkan alam. Karakteristik demikian memerlukan syarat-syarat yang harus terpenuhi oleh suatu wilayah yang dikelola sebagai hutan. Hutan rakyat secara spasial memiliki karakteristik yang umumnya tersebar tidak dalam suatu hamparan yang kompak. Luas kepemilikan relatif kecil sehingga untuk mencapai luasan yang besar maka perlu penggabungan beberapa kepemilikan lahan. Pengelolaan hutan rakyat pada umumnya dilakukan oleh masyarakat secara individual (pada tingkat keluarga) pada lahan miliknya. Hal tersebut menyebabkan hutan rakyat tidak mengelompok pada suatu areal tertentu tetapi tersebar berdasarkan letak, luas pemilikan lahan dan keragaman pola usaha tani yang akan berpengaruh terhadap jumlah pohon pada setiap kepemilikan.
40
Segala keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat (penanaman, pemeliharaan, penebangan dan pemasaran) ditentukan oleh kebijakan masingmasing keluarga. Keberadaan hutan rakyat sangat bergantung kepada keinginan pemilik
untuk
mempertahankannya.
Keinginan
pemilik
lahan
untuk
mempertahankan hutan rakyat disebabkan beberapa alasan, yaitu alasan ekonomi, ekologi, dan sosial budaya. Karakteristik hutan rakyat perlu dikaji
untuk
menentukan sistem
pengelolaan yang tepat. Salah satu karakteristik yang dikaji adalah keberadaan faktor-faktor tertentu yang menyebabkan timbulnya minat masyarakat untuk melaksanakan pengelolaan hutan rakyat di suatu tempat. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari adaptasi terhadap lingkungan secara biofisik dan sosial ekonomi.
Dengan mengetahui faktor yang berpengaruh dominan terhadap
perkembangan hutan rakyat, maka dapat diketahui wilayah mana yang pengelolaannya dapat diarahkan lebih profesional. Selain itu perlu dipelajari pola sebaran spasial, karakteristik komposisi tegakan, dan pengelolaanya. Karakteristik yang dimiliki hutan rakyat tersebut dibandingkan dengan syarat pengelolaa hutan yang ideal.
Syarat mutlak pengelolaan hutan adalah
tercapainya pengelolaan yang lestari, baik secara ekonomi, ekologi, maupun sosial. Hamparan lahan yang yang mantap adalah awal dari syarat pencapaian kelestarian pengelolaan hutan. Di hutan rakyat, kemantapan kawasan belum bisa dipastikan. Wilayah hutan rakyat adalah milik pribadi. Sampai saat ini belum ada jaminan mengenai kemantapan tersebut dari segi peraturan. Namun, karakteristik biofisik diharapkan dapat mendukung jaminan kemantapan wilayah dari hutan rakyat. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan dalam bagan alir penelitian pada Gambar 4. Pengelolaan hutan rakyat diidentifikasi karakteristik fakta di lapangan dan tantangannya saat ini.
Kondisi tersebut dibandingkan
dengan syarat pengelolaan hutan pada umumnya, sehingga diharapkan ditemukan faktor-faktor pendukung ke arah pengelolaan hutan rakyat yang lebih profesional. Salah satu langkah awalnya adalah dengan tipologi hutan rakyat.
41
PENGELOLAAN HUTAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT RAKYAT
Karakteristik Fakta di Lapangan : Aspek Biofisik : - Di tanah milik dan tidak luas - Umum berada di lahan kurang subur, topografi sulit, dan assesibilitas rendah. - Tidak mengelompok dan tersebar Aspek Sosek : - Organisasi belum profesional - Keputusan pengelolaan berada di tingkat keluarga. Belum ada institusi (aturan) yang menyeluruh. - Pemanenan menggunakan daur butuh - Pemasaran hasil belum jelas dan di luar kendali petani
Karakteristik Pengelolaan Hutan Umum: - Berdasarkan pendekatan ekosistem - Bersifat multifungsi - Untuk produksi kayu - Dimensi waktu pengelolaan yang tidak terhingga (infinite). - Tingkat intensitas pengelolaannya lebih mengandalkan alam.
Syarat-syarat : - Kemantapan Kawasan - Wilayah yang relatif luas - Analisis bersifat holistik. - Batas yang jelas. - Unit pengelolaan hutan
Tantangan luar : - Makin mudahnya konversi lahan - Permintaan tinggi terhadap kayu rakyat
Kondisi ini rawan terhadap kelestarian hutan rakyat
Perlu perbaikan pengelolaan ke arah profesional
Faktor-faktor biofisik dan sosial ekonomi yang mendukung ke arah perkembangan pengelolaan hutan rakyat
Terbentuk tipe wilayah-wilayah yang berpotensi berkembang hutan rakyat
Gambar 4 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian
42
3.2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat yang secara geografis terletak diantara 108o20’BT dan 108o40’BT, dan antara 7o40’ LS dan 7o41’ LS. Pada aspek potensi hutan rakyat di desa, pola sebaran spasial, dan pengaturan hasil, penelitian juga dilakukan di Kabupaten Gunungkidul untuk membandingkan pada wilayah yang memiliki karakteristik pengelolaan yang berbeda. Di Kabupaten Gunungkidul sudah terbentuk unit pengelolaan atas dorongan sertifikasi sedangkan di Kabupaten Ciamis belum terbentuk unit pengelolaan.
Gambar 5 Lokasi penelitian Kabupaten Ciamis 3.3. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data spasial dan data non spasial. Data spasial terdiri atas peta rupa bumi; peta administrasi wilayah kabupaten, kecamatan, dan desa di Kabupaten Ciamis; peta jenis tanah; peta jaringan jalan; dan peta penutupan lahan. Data non spasial terdiri atas data potensi desa Kabupaten Ciamis tahun 2008 yang mencakup data jumlah penduduk, jumlah tempat tinggal menurut jenis bangunan, dan luas lahan menurut
43
penggunaan; dan data potensi hutan rakyat setiap desa dari Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Peternakan, dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Ciamis, Alat yang digunakan dalam penelitian terdiri atas alat Global Position System (GPS), alat ukur dimensi tegakan (pita ukur, roll meter, haga hypsometer, dan tally sheet), kamera digital untuk pengambilan foto di lapangan, seperangkat komputer dengan program aplikasi berbasis window, dan perangkat lunak (software), yaitu: Arc-View 3.2, SPSS 17, dan minitab 14. 3.4. Metode Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan ilmiah dengan data yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Tahap-tahap pelaksanaan penelitian disajikan pada Gambar 6.
3.4.1. Metode Pengumpulan Data a. Data sekunder diperoleh dari publikasi lembaga pemerintahan seperti Dinas Kehutanan dan Departemen Kehutanan, BPS, BP4K, lembaga penelitian, perguruan tinggi, serta publikasi ilmiah lainnya. b. Data dan informasi berdasarkan hasil analisis peta digital lokasi penelitian dibantu dengan beberapa layer, yaitu: batas administrasi, kontur, jaringan jalan, jenis tanah, penggunaan lahan, dan kawasan hutan negara. c. Data lapangan, meliputi pengumpulan data sosek dan biofisik. Data sosek menggali data mengenai institusi dan aturan lokal yang terdapat di wilayah penelitian. Sedangkan data biofisik ditekankan kepada data tegakan hutan rakyat, dan data dari petani/penggarap hutan rakyat.
Data tegakan hutan
rakyat dilakukan pengukuran dan perhitungan terhadap objek pohon di areal hutan rakyat dengan luas plot 0,05 ha dengan bentuk persegi (20x25 m). Luas plot tersebut digunakan dengan mempertimbangkan luas per kepemilikan yang relatif kecil dan bentuk lahan dalam satu hamparan. Sedangkan data petani berupa data dan informasi sosial dan ekonomi diperoleh dari kuisioner dan wawancara.
44
Mulai
Identifikasi Wilayah Hutan Rakyat (HR)
Analisis Karakteristik Biofisik
Analisis spasial: faktor-faktor fisik yang mempengaruhi perubahan HR
Analisis Karakteristik Sosial dan Ekonomi
Kajian data tabular dan kelembagan: Penggalian institusi lokal yang ada. Penelusuran data-data sekunder ke instansi terkait : BPS, Dishut, dll.
Analisis pola sebaran spasial Analisis Faktor Dominan : Analisis Korelasi Analisis Komponen Utama (AKU/PCA)
Analisis Tipologi Desa
Pengecekan Lapangan
Identifikasi karakteristik desa hutan Sebaran spasial Struktur tegakan Sistem pengelolaan
Analisis Gerombol (Clustering Analysis)
Pengujian Tipologi : Uji keragaman Evaluasi akurasi
Implikasi terhadap pengelolaan hutan rakyat
Terbentuk Tipe Desa Hutan Rakyat
Selesai Gambar 6 Diagram alir tahapan penelitian
45
3.4.2. Analisis Pola Sebaran Spasial Pengamatan pola spasial dilakukan di atas peta digital dengan bantuan data atribut luas hutan rakyat di setiap desa. Pengamatan pengelompokan dilakukan dengan dua cara, yaitu pengamatan nilai atributnya berupa luas hutan rakyat, yang dianalisis dengan rasio keragaman. Cara kedua adalah mengamati pola sebaran menggunakan sistem pendukung Kappa&Dendrogram (Jaya’s)V1.6) yang dijalankan pada perangkat lunak Arc View. Analisis data pola sebaran spasial menggunakan rasio antara keragaman pengamatan
dan nilai rata-rata pengamatan (Ludwig & Reynold 1986,
Waite 2000), disebut indeks dispersi (ID) yang dapat dihitung dengan rumus :
Dimana : ID = Indeks dispersi S2 = keragaman pengamatan (ha)2 = rata-rata pengamatan (ha) Apabila contoh mengikuti sebaran Poisson,
maka keragaman contoh akan
sebanding dengan nilai rata-rata contoh dan selanjutnya nilai ID yang diharapkan selalu 1, yang menunjukkan bahwa populasi mengikuti sebaran acak (random); jika rasio <1 (mendekati 0) menunjukkan distribusi seragam (uniform), dan jika >1 menunjukkan distribusi mengelompok (clumped). Selanjutnya dilakukan uji statistik dengan uji chi-square : (a)
Jika n< 30 maka: χ2 = ID (n-1) Dimana : χ2 = nilai chi-square ID = Indeks dispersi n = jumlah pengamatan Keputusannya : 1) Jika Chi-sq < chi-table (0,025, n-1) , maka pola sebarannya uniform 2) Jika Chi-sq > chi-table (0,975, n-1) maka pola sebarannya clumped 3) Jika Chi-sq > chi-table (0,025, n-1) dan Chi-sq < chi-table (0,975, n-1), maka pola sebarannya adalah random.
Bentuk garis batas yang
menyatakan pola sebaran spasial disajikan pada Gambar 7.
Nilai chi-square
46
Derajat bebas Gambar 7 Nilai kritis uji chi-square untuk indeks dispersi; α:0,05 dan n<30 (b)
Jika n>30 maka :
Dimana : d = normal distance χ2 = nilai chi-square n = jumlah contoh Pengambilan keputusannya adalah sbb: 1) Jika d < -1.96 maka sebarannya adalah seragam (uniform) 2) Jika d >1.96; maka sebarannya adalah mengelompok (clumped) 3) Jika d < -1.96 dan d <1.9 maka sebaranya adalah acak (random)
3.4.3. Analisis Tipologi. Identifikasi wilayah hutan rakyat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu identifikasi faktor-faktor pendukung keberadaan hutan rakyat dan penentuan faktor dominan. 3.4.3.1 Identifikasi Faktor-Faktor Pendukung Keberadaan Hutan Rakyat Dalam
penelitian
ini,
faktor-faktor
yang
sangat
mempengaruhi
keberadaan hutan rakyat di suatu lokasi dianalisis dengan unit analisisnya adalah desa. Berdasarkan hasil penelusuran pustaka yang terkait dengan hutan rakyat (Suharjito 2000; Awang et al. 2001), ditemukan beberapa faktor-faktor sebagai berikut :
47
a. Jarak (proximity) desa hutan rakyat ke jalan besar Jarak desa hutan ke jalan besar didefinisikan sebagai jarak lurus (km) dari batas desa terhadap jalan besar terdekat.
Jalan besar yang dimaksud
adalah jalan kolektor, yaitu jalan yang menghubungkan kota-kota antar pusat kegiatan wilayah dan pusat kegiatan lokal atau kawasan-kawasan berskala kecil (Gambar 8a).
(a)
(b)
Jalan kolektor dan
Batas kawasan hutan dan
Batas wilayah desa
Batas wilayah desa
Gambar 8 Contoh cara perhotungan jarak lurus (a) Antar kawasan hutan dengan batas desa (b) Antar jalan kolektor dengan batas desa
48
b. Jarak (proximity) desa hutan ke kawasan hutan negara terdekat. Jarak ini adalah jarak lurus (km) dari batas desa terhadap kawasan batas hutan negara terdekat.
Kedekatan terhadap kawasan hutan negara
memiliki peluang untuk berkembangnya hutan rakyat baik secara alam maupun budaya (Gambar 8b).
c. Rasio Kelerengan lahan (slope ratio) Menurut Jaffar dalam Awang et al. (2001), salah satu areal yang menjadi sasaran pembangunan hutan rakyat adalah areal kritis dengan keadaaan lapangan berjurang dan bertebing. Rasio kelerengan lahan didefinisikan sebagai perbandingan (rasio) antar luas areal dengan kelas kemiringan lereng lahan lebih besar atau sama dengan 15% terhadap total luas desa. Kelas-kelas kemiringan lereng dalam suatu wilayah dapat dilihat pada Tabel 3. Rasio kelerengan lahan dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Kelerengan Lahan
Luas areal kelerengan Luas total desa
15%
Tabel 3 Klasifikasi kelas lereng No.
Kelas lereng
1 2 3 4 5
Datar Landai Agak Curam Curam Sangat Curam
Interval (%) 0–8 8 – 15 15 – 25 25 – 40 > 40
Sumber : SK. Mentan No.837/Kpts/Um/II/1980
d. Rasio Penggunaan lahan bukan sawah (non sawah) Rasio penggunaan lahan bukan sawah didefinisikan sebagai perbandingan (rasio) areal lahan pertanian non sawah dengan luas total desa. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa hutan rakyat di Jawa umumnya dibudidayakan di areal-areal lahan kering daerah atas (upland areas). e. Kerapatan jalan Kerapatan jalan didefinisikan sebagai rasio antara panjang jalan (m) dengan luas desa (ha). Rumusnya dapat dilihat sebagai berikut.
49
Kerapatan Jalan
Panjang jalan (m) Luas desa (ha)
f. Dominansi Kemampuan Lahan Hutan rakyat di Jawa umumnya dimulai di wilayah lahan kritis yang tidak subur, sehingga perlu dilihat tingkat kemampuan lahan suatu wilayah. Kemampuan lahan yang didefinisikan dalam penelitian ini diduga dari beberapa faktor, yaitu:
kelerengan, kepekaan erosi, kedalaman tanah,
tekstur tanah, permeabilitas, dan drainase di suatu wilayah desa. Data-data tersebut diperoleh dari data peta digital tanah, topografi, dan penggunaan lahan. Kriteria klasifikasi kemampuan lahan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Kriteria klasifikasi kemampuan lahan No Faktor Kelas Kemampuan Lahan penghambat/pem I II III IV V VI batas 1 Lereng A B C D A E permukaan 2 Kepekaan erosi E5,E4 E3 E2,E1 E1 (*) (*) 3 Kedalaman tanah S5 S3,S4 S2 S2 (*) S1 T5,T4, T5,T4, T5,T4, T5,T4, T5,T4, 4 Tekstur tanah (*) 5
Permeabilitas
6
Drainase
T3
T3
T3
T3,T2
P2,P3
P2,P3
D1
D2
P2,P3, P4 D3
P2,P3 , P4 D4
VII
VIII
F
G
(*) (*)
(*) (*)
T5,T4, T3,T2
T1
T3,T2
P1
(*)
(*)
P3
D5
(**)
(**)
D0
Sumber : Arsyad, 1989 Catatan : (*) = dapat mempunyai sembarang sifat (**) = tidak berlaku
Setiap faktor dibagi dalam beberapa kelas yang memiliki nilai bobot masing-masing, yang selanjutnya nilai tersebut dikumulatifkan (Tabel 4). Nilai kumulatif tersebut dikelaskan menjadi 8 kelas kemampuan lahan (dapat dilihat pada Lampiran 9). Nilai kemampuan lahan di suatu desa (KL) adalah :
Dimana : Li = Luas kemampuan lahan kelas ke- i (i=1, 2,3....8) NTi = Nilai Tengah kelas ke- i (i=1, 2,3....8)
50
g. Kepadatan penduduk Kepadatan penduduk
diperoleh dari rasio antara jumlah penduduk di
setiap desa (orang) dengan luas administratif desa (ha). Umumnya hutan rakyat terdapat pada wilayah-wilayah yang masih kurang padat penduduknya. h. Rasio umur produktif Rasio umur produktif didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah penduduk berusia produktif (15 – 64 tahun) dengan luas total desa. Pengelolaan hutan rakyat masih dianggap kegiatan sampingan yang bersifat tidak intensif, sehingga wilayah yang berkembang hutan rakyatnya diasumsikan pada wilayah yang jumlah umur produktif sedikit dan didominasi umur non produktif. i. Rasio rumah permanen Rasio rumah permanen merupakan pendekatan terhadap informasi pendapatan penduduk. Untuk data pendapatan dilakukan dengan pendekatan terhadap kondisi perumahan, yaitu dari rasio antara jumlah rumah permanen dengan total rumah di desa bersangkutan.
Kondisi
rumah semakin permanen mengasumsikan naiknya pendapatan penduduk. Semakin besar rasio maka diasumsikan pendapatan penduduk setempat semakin tinggi.
Tabel 5 Peubah-peubah tipologi hutan rakyat No.
Indikator
Peubah-Peubah a) Jarak ke jalan besar b) Kemampuan Lahan c) Kelerengan wilayah d) Penggunaan Lahan (land use) e) Jaringan jalan f) Jarak ke kawasan hutan hutan negara
1.
Karakteristik Bio-Fisik
2.
Karakteristik Sosial dan Ekonomi g) Kepadatan penduduk h) Tingkat rumah permanen i) Umur produktif penduduk
51
Secara keseluruhan ada 9 (sembilan) peubah yang diuji untuk mengetahui peubah yang berpengaruh terhadap pembagian tipologi. Peubah-peubah tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. 3.4.3.2. Penentuan Faktor Dominan Sembilan faktor peubah dianalisis hubungannya dengan hutan rakyat di suatu desa. Potensi hutan rakyat dalam penelitian ini adalah luas hutan rakyat di suatu desa. Untuk menganalisis hal tersebut digunakan 2 cara, yaitu : a. Analisis Korelasi Analisis korelasi dilakukan dengan menggunakan korelasi Spearman yang memiliki nilai korelasi -1 sampai +1. Nilai -1 atau +1 menunjukkan adanya hubungan yang sempurna antara X dan Y, sehingga semakin mendekati nilai tersebut semakin erat hubungan X dan Y. Tanda plus (+) dapat diartikan pemberian peringkat sejalan, tanda minus (-) berarti bahwa pemberian peringkat itu bertolak belakang, dan nilai 0 disimpulkan kedua peubah tidak berkorelasi (Walpole, 1990). Rumus umum korelasi Spearman adalah :
Dimana :
di adalah selisih antara peringkat xi dan yi n adalah banyaknya pasangan data
b. Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis/PCA) Analisis ini merupakan pendekatan statistika untuk mereduksi gugus peubah asal berdimensi p menjadi gugus peubah baru (komponen utama) berdimensi q dimana q
52
melihat hubungan antar peubah. Hasil analisis komponen–komponen utama antara lain nilai akar ciri (eigen vector), proporsi keragaman, dan kumulatif akar ciri (eigen value). 3.4.3.3. Pembentukan Tipologi Dasar pembuatan tipologi adalah faktor-faktor yang dianggap dominan dalam menentukan potensi hutan rakyat. Potensi hutan rakyat dalam penelitian ini adalah luas hutan rakyat di suatu desa. Potensi tersebut diasumsikan dapat mewakili karakteristik lokal hutan rakyat di suatu tempat.
Untuk melakukan
pengelompokkan tipologi digunakan analisis gerombol (clustering analysis). Analisis gerombol merupakan salah satu analisis peubah ganda yang mengelompokkan
objek
berdasarkan
kemiripan
atau
ketidakmiripan
karakteristiknya, sehingga setiap objek dalam satu gerombol memiliki kesamaan yang tinggi sesuai dengan kriteria pemilihan yang ditentukan (Hair et al. 1995). Penelitian ini menggunakan analisis gerombol dengan metode K-Means. Metode ini menetapkan terlebih dahulu jumlah kelompok yang akan dibuat sehingga metode ini cocok jika data yang diolah banyak.
Sedangkan tingkat
kemiripan dalam analisis ini menggunakan jarak Euklidius (Euclidean distance), dimana untuk dua unit pengamatan mempunyai vector x dan y dengan dimensi p peubah, jarak Euklidius adalah :
Keterangan : = jarak euklidius antara xi dengan xj xi = nilai peubah x ke-i xj = nilai peubah x ke-j Jika terjadi korelasi yang tinggi antar peubah maka perlu dilakukan analisis komponen utama terlebih dahulu.
3.4.3.4. Pengujian Tipologi Untuk mengetahui kelompok-kelompok yang terbentuk sudah memiliki gambaran yang mirip terhadap potensi hutan rakyat, maka dilakukan pengujian sebagai berikut :
53
a)
Uji keragaman Kelompok yang terbentuk dikatakan baik jika keragaman dalam satu kelompok kecil, tetapi keragaman antar kelompok besar. Keragaman dapat diketahui dengan rumus : Ragam rata-rata dalam kelompok adalah : 2
n
yi
n
y i 1
s
2 y
2 i
i 1
n n 1 m
Ragam antar kelompok yang distandarkan :
Keterangan : yi = luas hutan rakyat per desa pada setiap kelompok m = jumlah kelompok = ragam pada kelompok ke-i = ragam pada kelompok ke-j Keputusan : semakin besar nilai selisih antara semakin baik.
dan s y2 maka akan
b) Evaluasi akurasi Uji akurasi kelompok yang terbentuk menggunakan prinsip matrik konfusi/kontingensi (Confusion Matrix).
Kelompok yang
dibentuk
berdasarkan data luas hutan rakyat menjadi acuan atau referensi akurasi. Dengan matrik konfusi ini dapat dihitung akurasi rata-rata umum (overall accuracy) dan akurasi Kappa (Kappa accuracy). Akurasi rata-rata umum dilakukan untuk menghitung akurasi berdasarkan persentase jumlah desa atau poligon yang dikelaskan secara benar (poligon pada model masuk pada kelas yang sama pada poligon acuan), dibagi jumlah total piksel atau poligon. Akurasi rata-rata umum dihitung menggunakan rumus (Jaya 2006) sebagai berikut:
54
Keterangan : OA = Nilai akurasi rata-rata umum (Overall Accuracy) Xii = Coincided Value atau luasan kelas tingkat keberhasilan yang sama antar tipologi atau kelas peubah yang dijadikan acuan untuk verifikasi. N = Total area verifikasi. Akurasi Kappa pada umumnya mempunyai nilai akurasi lebih kecil dari akurasi rata-rata umum karena akurasi Kappa dihitung tidak hanya berdasarkan jumlah piksel atau poligon yang dikelaskan pada model masuk secara benar pada piksel atau poligon kelas acuan, tetapi juga menghitung jumlah piksel atau poligon yang dikelaskan pada model tidak tepat masuk dalam kelas acuan. Akurasi Kappa dihitung menggunakan rumus (Jaya 2006) sebagai berikut :
Keterangan : K Xii
= Akurasi Kappa (Kappa Accuracy) = Coincided Value atau luasan kelas tingkat keberhasilan yang sama antara hasil tipologi dan kelas peubah yang dijadikan acuan untuk verifikasi. X+1 = Luas kolom dalam baris ke-i X1+ = Luasan dalam kolom ke-j N = Total area verifikasi
c) Pembagian kelas sebagai acuan Data sekunder luas hutan rakyat setiap desa yang bersumber dari BP4K tahun 2010 digunakan sebagai pembanding nilai ideal untuk proses akurasi. Pembagian kelas berdasarkan metode rata-rata dan simpangan bakunya dibuat setelah dilakukan uji kenormalan data (membuang nilai-nilai pencilan.
Rumus dan batas nilai masing-
masing kelas dapat dilihat pada Tabel 6 dan sebaran spasialnya pada Gambar 9.
55
(a) Klasifikasi 2 kelas luas hutan rakyat
(b) Klasifikasi 3 kelas luas hutan rakyat
(c) Klasifikasi 4 kelas luas hutan rakyat Gambar 9 Klasifikasi kelas hutan rakyat berdasarkan luasnya
56
Tabel 6 Jumlah kelas luas hutan rakyat dan batasan per kelas Jumlah Kelas
Rumus
2 Kelas Rendah Tinggi 3 Kelas Rendah Sedang Tinggi 4 Kelas Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi 5 Kelas Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Batasan Kelas
Jumlah Desa
0 – 58 Ha >58 Ha
166 170
<32 Ha 32 – 85 Ha >85 Ha
115 88 133
<32 Ha 32 – 73 Ha 73 – 111 Ha > 111 Ha
117 69 43 107
<19 19-32 33-73 73-111 >111
77 40 69 43 107
Keterangan : = rata-rata luas hutan rakyat SD = Standar Deviasi (simpangan baku)
3.4.4.
Pemeriksaan Lapangan Pemeriksaan lapangan terhadap petani dan tegakan hutan rakyat dilakukan dengan mengumpulkan data-data sebagai berikut :
a. Terhadap Petani (1) Pola penjualan kayu (aktif : sendiri, per kelompok atau pasif) (2) Aspek sosial (pembentukan kelompok dan dinamikanya serta hubungan sosial lainnya) dan aspek manajemen. (3)
Luas kepemilikan (ha)
b. Terhadap Tegakan Hutan Rakyat (1)
Jumlah pohon rata-rata yang dimiliki (pohon/ha)
(2)
Struktur sebaran diameter dan komposisi sebaran jenis pohon.
(4)
Volume pohon per kepemilikan.
(5)
Pola penanaman (polikultur, monokultur, atau agroforestri dll.)
(6)
Pola pemanenan (diameter minimum panen, umur rata-rata panen dll).
57
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Hutan Rakyat 4.1. 1. Karakteristik Spasial Hutan Rakyat 4.1.1. 1. Potensi Hutan Rakyat di Desa Hutan rakyat tersebar dalam wilayah-wilayah administrasi pemerintahan mulai dari unit administrasi terkecil yaitu dusun, desa sampai dengan kecamatan. Pada dua lokasi yang diteliti, yaitu desa-desa yang terdapat di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Gunungkidul, rata-rata luas hutan rakyat adalah 107.24 ha/desa untuk Kabupaten Ciamis dan 203.50 ha/desa untuk
Kabupaten Gunungkidul
(Gambar 10). Proporsi luas hutan rakyat terhadap luas desa di Kabupaten Ciamis adalah 17.6% dan di Kabupaten Gunungkidul adalah 20.5%. Dari dua wilayah tersebut, Kabupaten Ciamis memiliki rasio hutan rakyat yang relatif lebih kecil dibanding Kabupaten Gunungkidul. Korelasi antar luas hutan rakyat dengan luas desa pada masing-masing wilayah di Kabupaten Ciamis sebesar
0.45 dan
1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
Luas Hutan Rakyat (Ha)
Luas Hutan Rakyat (Ha)
Kabupaten Gunungkidul sebesar 0.57.
0
1000
2000
Luas Desa (Ha) Rata-Rata Luas Hutan Rakyat= 107.24 ha/desa
3000
800 700 600 500 400 300 200 100 0 0
1000
2000
3000
4000
Luas Desa (Ha) Rata-Rata Luas Hutan Rakyat = 203.50 ha/desa
(a) (b) Gambar 10 Perbandingan antara luas hutan rakyat*) dengan luas desa (a) Kabupaten Ciamis (b) Kabupaten Gunungkidul. *) Sumber data dari BP4K Kabupaten Ciamis Tahun 2010 dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul 2006.
Kabupaten Ciamis memiliki luas 244.48 ha, terdiri atas 36 kecamatan dengan 365 desa dan 1622 dusun (BPS 2008). Potensi hutan rakyat tersebar di seluruh wilayah dari pantai di Selatan sampai pegunungan di Utara dengan luas total 37 602.52 ha (BP4K 2010). Sedangkan Kabupaten Gunungkidul memiliki
58
luas 148 536 ha terdiri atas 18 kecamatan 144 desa dan 1431 dusun yang terbagi atas tiga zona dengan keunikan alam yang berbeda, yaitu zona Ledok Wonosari, dan zona Pegunungan Sewu. Kabupaten Gunungkidul
zona Batur Agung,
Luas total hutan rakyat di
adalah 28 490.5 ha (Dishutbun 2006). Gunungkidul
mempunyai proporsi penggunaan non sawahnya lebih besar dibandingkan Kabupaten Ciamis (Gambar 11). 350 Sawah
Luas (ha x 1000)
300
Non Sawah 250
56 978 ha
200 150
8 002 ha
229 697 ha
100 140 534 ha 50 0
Ciamis
Gunungkidul
Kabupaten Gambar 11 Perbandingan penggunaan lahan untuk sawah dengan non sawah dalam satu kabupaten Di wilayah Indonesia pada khususnya dan tropis pada umumnya, penggunaan lahan untuk kebun (tanaman kayu-kayuan) sangat sulit dipisahkan dengan hutan milik pribadi. Hal ini sangat berbeda dengan di Eropa dan Amerika, dimana batas-batas lahan pertanian dengan hamparan hutan milik pribadi sangat jelas terpisah (Foresta et al. 2000). Kayu rakyat di Indonesia umumnya ditanam di lahan darat, yaitu pada lahan di luar persawahan.
Pada kondisi tersebut,
estimasi potensi hutan rakyat dapat dilakukan dengan pendekatan luas wilayah lahan darat, meskipun pengamatan di lapangan menunjukkan tidak semua wilayah lahan darat berupa hutan rakyat. Berdasarkan data potensi luasan hutan rakyat di dua kabupaten yang diteliti, hasil perhitungan pola sebaran spasial menunjukkan nilai ragam yang jauh lebih besar dari rata-ratanya, dengan nilai normal distance (d) yang lebih besar dari nilai 1.96 (Tabel 7).
Nilai tersebut menunjukkan bahwa potensi luasan
59
sebaran spasial hutan rakyat di suatu kabupaten menyebar mengikuti tipe mengelompok (clumped). Sebaran ini menandakan adanya faktor-faktor tertentu yang menyebabkan potensi kayu rakyat timbul di suatu wilayah. Tabel 7 Perhitungan pola sebaran spasial di Kabupaten Ciamis dan Gunungkidul Lokasi
Rata-
Ragam
d
Kesimpulan
Pola
Rata (µ)
(σ2)
Ciamis
107.5236
18 575.687
315.368
d >1.96
25 036.382
170.697
d >1.96
mengelompok (clumped) mengelompok (clumped)
Gunungkidul
203.503
Pola sebaran spasial hutan rakyat di Kabupaten Ciamis ditunjukkan pada Gambar 12. Pola hutan rakyat terlihat mengelompok (clumped) menjadi 5 kelompok (klaster), yang memiliki luas lebih besar dari 150 ha. Luas tersebut merupakan luas rata-rata hutan rakyat dengan potensi di atas 30 ha per desa. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat faktor pembatas perkembangan hutan rakyat di suatu wilayah.
Tidak semua wilayah memiliki potensi yang sama terhadap
perkembangan hutan rakyat. Hutan rakyat berkembang pada wilayah-wilayah yang memiliki faktor pendukung perkembangnnya. 4.1.1.2 Blok Sebagai Batas Hutan Rakyat Dalam Satu Hamparan Hutan rakyat yang ditemukan di wilayah blok di suatu dusun umumnya berbentuk satu hamparan yang relatif luas. Satu dusun mempunyai paling sedikit satu blok sehamparan lahan darat dan lahan sawah. Batas lahan darat untuk satu dusun dapat berupa sawah, sungai, batas dusun atau desa lainnya. Proporsi lahan kering umumnya lebih luas dibanding sawah, tetapi untuk beberapa wilayah tertentu proporsi sawah lebih luas dibandingkan lahan kering.
Contoh
penggunaan lahan terdapat di Dusun Pogorsari Desa Lumbung Kecamatan Lumbung Kabupaten Ciamis (Gambar 13).
60
Gambar 12 Pola sebaran spasial desa hutan rakyat di Kabupaten Ciamis
61
Gambar 13 Contoh penggunaan lahan di Dusun Pogorsari Desa Lumbung Kecamatan Lumbung Kabupaten Ciamis Satu blok terdiri atas beberapa kepemilikan lahan yang dulu dikenal dengan istilah persil. Dengan bertambahnya keturunan dalam satu keluarga, persil yang sebelumnya satu kepemilikan terpecah-pecah kepemilikan menjadi persil yang lebih kecil. Pecahan persil diberi kode huruf dibelakangnya, seperti 144 a, 144 b, 144 c, 144 d dan seterusnya (Gambar 14).
Gambar 14 Contoh bentuk peta blok desa yang masih menggunakan persil di Desa Sidamulih Kecamatan Pamarican Kabupaten Ciamis ( Nama blok = Kupa, Gombong dll, Nomor persil = d166, d156, dst. Kualitas lahan = III, IV, V, dst.).
62
Gambar 15 Contoh bentuk peta blok desa hasil revisi terbaru dari BPN di Desa Sukaraharja Kecamatan Lumbung Kabupaten Ciamis (Nomor kepemilikan = 4,5,...82, 83..dst) Sejak tahun 2000-an di beberapa desa di Kabupaten Ciamis, seperti Desa Cikupa, Desa Sukaraharja, Desa Beber, dan lainnya, telah dilakukan pengukuran ulang terhadap batas blok dan batas kepemilikan lahan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Perubahan-perubahan istilah dari penamaan blok terdahulu
terjadi setelah pengukuran ulang. Penomoran berlaku dengan angka dan kontinyu pada setiap lahan kepemilikan. Contoh pengukuran ulang tersebut dapat dilihat pada Gambar 15.
Setiap kepemilikan lahan sudah memiliki nomor petak
tersendiri dengan penjelasan luas dan nama terperinci dalam buku Daftar Himpunan Ketetapan Pajak dan Pembayaran (DHKP). Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan dalam penagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) karena tarif pajak antara lahan sawah (S) dan lahan darat (D) berbeda. Suatu dusun memiliki blok dengan luas dan jumlah blok dalam satu dusun dan desa beragam. Di Kabupaten Ciamis rata-rata per desa terdiri dari 5 blok dengan luasan rata-ratanya berkisar 125 ha.
Sedangkan luas kepemilikan per
orang setiap hamparan dalam tiap blok umumnya tidak luas dengan rata-rata luasan per kepemilikan 0.2 ha. Hasil wawancara terhadap 30 petani di Kabupaten
63
Ciamis menunjukkan kebanyakan dari mereka memiliki areal lahan darat lebih dari satu lokasi, dan bisa terdapat di beberapa blok (Lampiran 7).
Disamping
areal sawah sebagai lahan garapan utamanya, sebagian besar para petani memiliki areal lahan darat. Di Ciamis, para petani ada yang memiliki lahan darat di kawasan luar dusun atau desa tempat tinggal diberi istilah “Guntai”. Batas antar kepemilikan ditandai dengan jalan setapak, guludan tanah, terasering, atau dengan tanda tanaman tertentu, biasanya yang sering digunakan sebagai tanda batas di Ciamis adalah tanaman hanjuang (Gambar 16).
a. Jalan Setapak
b. Tanaman Hanjuang
Gambar 16 Tanda batas antar kepemilikan di hutan rakyat 4.1.1.3. Kajian Batas Wilayah Tanggung Jawab Salah satu ciri dari pengelolaan hutan adalah kejelasan batas wilayah tanggung jawab tempat diberlakukannya kegiatan pengelolaan. Satu petak harus merupakan areal yang kompak atau satu hamparan. Pada areal yang dikelola dengan intensif luas petak di Swiss bisa berkisar 6-8 ha, di Inggris sekitar 6-12 ha, dan Perancis sekitar 10 ha (Davis & Mason 1966). Dalam pengelolaan hutan, wilayah tanggung jawab dibatasi dengan batas fisik yang terbentuk baik secara alam maupun buatan. Batas alam seperti sungai, lembah, gunung lebih diutamakan karena mudah dalam mendeteksi di lapangan. Sedangkan batas buatan manusia adalah pal, jalan, dan tanda-tanda lainnya. Jika dibandingkan dengan pengelolaan hutan negara, pengelolaan hutan rakyat cukup unik. Dalam segi kepemilikan lahan, hutan rakyat dalam satu hamparan terdiri dari banyak pemilik sehingga keputusan pengelolaan ditentukan oleh masing-masing pemilik lahan. Disamping luasan kepemilikan lahannya
64
relatif sangat kecil, petani umumnya mempunyai keterbatasan dalam pengelolaan hutan sehingga sulit menemukan pola seragam
(monokultur).
Petani pada
umumnya lebih aman dengan pola campuran karena hasil yang rutin selalu ada tiap waktu.
Menurut Fauziyah (2011), pada tingkat petani sebenarnya sudah
melakukan pengorganisasian (pembagian tugas) dalam pengelolaan hutan rakyat. Petani yang pekerjaan utamanya bertani, pengelolaan hutan rakyat dilakukan sendiri dengan bantuan anggota keluarga terutama istri. Bila memerlukan tenaga banyak, petani baru melibatkan buruh untuk membantu. Selain perbedaan tersebut, terdapat beberapa persamaan dalam pembagian luas dan tanggung jawab antara hutan rakyat dan hutan negara. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 17. Wilayah tanggung jawab terkecil di hutan rakyat, yaitu lahan kepemilikan, yang bertanggungjawab penuh adalah pemilik lahan.
Sedangkan di hutan negara unit terkecil adalah petak. Hutan rakyat
dalam satu desa umumnya mempunyai pola spasial mengelompok, berbeda dengan petak yang umumnya berada dalam satu hamparan yang kompak.
Jika
dilihat dari hamparan lahannya, maka satu blok di hutan rakyat bisa dianalogikan sebagai petak atau anak petak, karena blok yang terdapat dalam satu dusun bersifat satu hamparan. Tabel 8 Pembagian batas wilayah dan tanggungjawab di hutan rakyat No
Batas Wilayah
Tanggung jawab/Pengurus
1
Lahan kepemilikan
Petani/Pemilik Lahan/Penggarap
2.
Blok
Ka. Dusun / Ketua kelompok Tani
3.
Hutan rakyat di desa
4.
Hutan rakyat di kecamatan
Kepala Desa / Ketua Gabungan Kelompok Tani Desa Camat / Ketua Gabungan Kelompok Tani Kecamatan
Pada satu blok biasanya terbentuk satu kelompok tani, sehingga dalam satu dusun minimal memiliki satu kelompok tani. Satu kelompok tani memiliki satu aturan tentang pengelolaan hutan rakyat yang sama dan disepakati oleh sesama anggota kelompoknya, sehingga dapat dikatakan satu blok diibaratkan satu petak di hutan negara.
dapat
Widayanti (2004) menyatakan unit
kelestarian yang dapat dikembangkan dalam pengaturan hasil di hutan rakyat adalah dusun, dengan pertimbangan sebagai berikut: kemudahan dalam
65
pengorganisasian secara fisik lahan maupun pemilik hutan rakyat dan keberadaan organisasi pengelolaan kelompok tani yang telah dikembangkan berdasarkan administrasi dusun.
HUTAN NEGARA (Perum Perhutani KPH Ciamis) Anak Petak Luas Rata-rata : 22.06 ha
Petak Luas Rata-rata : 79.80 ha
Blok, Kelompok Hutan, Bagian Hutan
HUTAN RAKYAT (Kabupaten Ciamis) Lahan kepemilikan Petani Luas Rata-Rata : 0.2 ha
Blok hutan rakyat Luas Rata-Rata : 26.44 ha
Dusun
RPH Luas Rata-rata : 737.58 ha
Desa Luas Rata-Rata : 107.24 ha
BKPH Luas Rata-rata : 2 507.77 ha
Kecamatan Luas Rata-Rata :1 044.51 ha
KPH Luas Total : 12 538.86 ha*)
Kabupaten Luas Total : 37 602.52 ha**) Ha
Gambar 17. Perbandingan hirarki dan perkiraan luas rata-rata tiap bagian pengelolaan hutan rakyat dengan Hutan Negara. *) Sumber Perum Perhutani Unit III, Luas tidak termasuk wilayah Konservasi (untuk anak petak, petak, dan RPH menggunakan perwakilan contoh terlampir) **) Sumber BP4K Kabupaten Ciamis Tahun 2010.
Pada Gambar 17 dapat diketahui bahwa hirarki semakin ke bawah perbedaan luas antara administrasi hutan negara dengan hutan rakyat semakin mengecil.
Anak petak di Perum Perhutani lebih luas sekitar
100 kali lipat
dibandingkan dengan rata-rata luasan lahan milik. Di tingkat BKPH untuk hutan negara dan Kecamatan untuk hutan rakyat perbedaannya semakin mengecil yaitu
66
hanya dua kali lipat perbedaaannya. Pada akhir hirarki, hutan rakyat dalam satu Kabupaten Ciamis memiliki luas hampir 3 kali lipat dibanding dengan luas hutan Negara dalam satu KPH Ciamis. Hutan tanaman di Perhutani bersifat monokultur dengan jarak tanaman yang teratur sedangkan hutan rakyat kebanyakan bersifat agroforestri sehingga dengan satuan luas yang sama diperkirakan jumlah pohon hutan rakyat lebih sedikit dibanding dengan hutan negara. Daur pada hutan negara umumnya lebih panjang dibanding hutan rakyat yang didominasi tanaman jenis cepat tumbuh seperti sengon sehingga rotasi penebangan lebih sering di hutan rakyat
4.1.2. Karakteristik Struktur dan Komposisi Tegakan Hutan Rakyat 4.1.2.1.
Pola Tanam Hutan Rakyat
Secara umum ada tiga pola tanam hutan rakyat di Indonesia, yaitu pola tanam hutan rakyat murni (monokultur), pola tanam hutan rakyat campuran (polikultur), dan pola tanam hutan rakyat wanatani (agroforestri) (Purwanto et al. 2004; Mindawati 2006). Hasil pengukuran pada 30 plot berukuran masing-masing 0.05 ha dengan bentuk persegi (20x25 m2) yang di tempatkan menyebar di 3 desa di wilayah Utara, Tengah, dan Selatan Kabupaten Ciamis menunjukkan terdapat tiga pola karakteristik hutan rakyat, yaitu pola agroforestri, pola monokultur, dan pola polikultur (Tabel 9).
Dari tiga lokasi desa, maka pola yang terbanyak adalah
pola agroforestri dibanding kedua pola lainnya. Tabel 9 Jumlah plot setiap pola tanam hutan rakyat Desa
Jumlah plot dengan pola tanam Jenis pohon yang ditemui Agroforestri Monokultur Polikultur Sukaraharja 6 2 2 Mahoni, afrika, sengon, gmelina, suren, manglid Beber 5 2 3 Sengon, jati, tisuk, mahoni, khaya Cikupa 8 1 1 Mahoni, jati, sengon, manglid, tisuk, khaya, ki hiang Jumlah 19 5 6
67
A. Pola Wanatani (Agroforestri) Pola agroforestri pada hutan rakyat adalah menggabungkan tanaman kehutanan dengan pertanian, perkebunan, dan peternakan. Karakteristik hutan rakyat agroforestri lebih umum ditemui di lapangan dibandingkan karakteristik lainnya. Di lokasi penelitian model agroforestri yang ditemui adalah tanaman utama berumur 3 tahun dengan tajuk pohon belum menutupi lantai lahan, dan tanaman pertanian yang memerlukan sinar matahari seperti kacang-kacangan, jagung dan tanaman hortikultura lainnya. Setelah tajuk pohon menutupi lahan, tanaman bawah diganti dengan tanaman yang tahan naungan seperti kapulaga dan empon-emponan lainnya yang bernilai ekonomis
bercampur dengan tanaman
buah-buahan seperti kelapa, nangka, cengkeh dan lain-lain. Berkurangnya luasan tanah pertanian akibat pertambahan penduduk membuat petani lokal berpikir ke arah pemenuhan kebutuhan dari keterbatasan lahan yang dimilikinya.
Sempitnya lahan yang dimiliki membuat petani
memunculkan inovasi-inovasi baru agar kebutuhan hidup dapat terpenuhi (Prima et al. 2005). Kepemilikan lahan petani dalam satu hamparan di Pulau Jawa umumnya sempit sehingga dengan pola agroforestri merupakan pola yang menguntungkan dan aman buat petani. Dalam satu hamparan lahan memberikan hasil harian, bulanan dan tahunan. Petani yang bersifat subsisten lebih mementingkan kelangsungan pendapatan dibanding besarnya pendapatan. Tanaman kayu-kayuan berbagi lahan dengan tanaman lainnya, sehingga jumlahnya tidak terlalu besar dalam suatu hamparan lahan. Namun, tanaman kayu dengan pola agroforestri cenderung lebih cepat tumbuh dibanding pola lainnya, karena mendapat pasokan pupuk
yang sebenarnya ditujukan untuk
tanaman pertanian yang ada di sekitar tanaman kayu-kayuan. Di lapangan terdapat pula pola agroforestri yang terbentuk secara alam. Umumnya lahan ini sudah berupa hutan rakyat sejak lama dengan sistem warisan. Tanaman yang tumbuh berasal dari benih yang jatuh dari tegakan yang sudah ada di lahan tersebut atau sengaja ditanam secara berangsur sesuai dengan keterbukaan lahannya, yaitu berupa tanaman kayu-kayuan atau buah-buahan. Keterbukaan lahan dapat terjadi akibat metode penebangan yang umumnya
68
berupa borongan dengan sistem tebang pilih sesuai pilihan pemborong terhadap pohon yang ukurannya sudah laku terjual, sehingga ciri dari karekteristik ini tidak memiliki pola dan jarak tanam yang teratur.
Umur pasti dari tanaman sulit
diketahui karena kebanyakan petani pemilik lahan tidak mengetahui secara tepat umur tanamannya. B.
Pola Sejenis (Monokultur) Karakteristik hutan rakyat berikutnya adalah pola sejenis yang memiliki
struktur dan komposisi yang relatif seragam dari segi jenis dan umur yang relatif sama. Pada awal penanaman dilakukan serempak dalam satu hamparan, sehingga ciri yang paling nyata adalah jarak tanam antar pohon yang relatif teratur. Alasan pemilik lahan untuk melakukan penanaman homogen berdasarkan pertimbangan kesediaan waktu, tenaga, modal, dan assesibilitas lahan. Pemodal besar biasanya lebih memilih hutan rakyat dengan tipe seragam (monokultur) murni dengan penanaman serempak tanpa tanaman pertanian atau buah-buahan lainnya. Selain itu, pola monokultur bisa menjadi pilihan karena kondisi lahan yang terlalu jauh dari pemilik lahan atau penggarap dengan assesibilitas yang sulit, sehingga untuk menanam tanaman pertanian yang bersifat intensif dan memerlukan pemeliharaan rutin terlalu membuang waktu dan tenaga. Dengan tidak adanya tanaman pertanian, petani sering memanfaatkan lahan seefisien mungkin dengan menanam tanaman kayu-kayuan dengan jarak 1x1 m atau malah kurang dari itu. Petani beranggapan dengan menanam semakin rapat, maka hasil akan semakin besar. Umumnya jumlah tanaman kayu di pola monokultur lebih banyak per satuan luas dengan pertumbuhan diameter pohon yang lambat. C. Pola Campuran (Polikultur) Hutan rakyat yang berkarakteristik campuran terdiri dari berbagai jenis pohon, sehingga umumnya dalam satu areal memiliki diameter dan tinggi pohon yang beragam. Dibanding pola monokultur, pola ini memiliki dua kelebihan, yaitu lebih tahan terhadap serangan hama penyakit dan dapat lebih fleksibel dalam menanggapi fluktuasi harga pasar kayu yang berubah. Keuntungan lain, adalah panen kayu bisa digilir dari tanaman kayu yang cepat tumbuh seperti jenis sengon,
69
gmelina, dan tisuk.
Kemudian baru pada panen berikutnya jenis yang
perkembangannya lambat seperti mahoni dan jati.
(a) Pola Agroforestri
(b) Pola Monokultur
(c) Pola Polikultur Gambar 18 Karakteristik pola tanam hutan rakyat di Kabupaten Ciamis 4.1.2.2. Distribusi Diameter Tegakan dan Jumlah Pohon di Hutan Rakyat Pada Gambar 19 dapat dilihat ada beberapa bentuk distribusi diameter hutan rakyat yang ditemui di lapangan. Bentuk yang banyak ditemui menyerupai bentuk lonceng dengan condong (skewness) ke kanan, dengan lebar lonceng yang beragam tergantung banyaknya kelas diameter yang ada di lapangan. Semakin melebar lonceng menunjukkan semakin banyak ketersediaan kelas diameter tersebut di lapangan. Sebaliknya semakin menyempit maka hanya sedikit ukuran kelas diameter di lapangan.
Kecenderungan yang terjadi di lapangan adalah
bentuk distribusi lonceng menyempit seperti pada Gambar 19b. Kecondongan ke kanan menunjukkan bahwa kelas diameter dominan adalah kelas diameter yang berukuran lebih kecil. Berdasarkan distribusi diameter di setiap plot, ternyata tidak ada kecenderungan bentuk distribusi tertentu untuk satu karakteristik pola
70
tanam hutan rakyat.
Distribusi diameter lebih dipengaruhi umur tanam dan
riwayat penebangan sebelumnya.
Kelas Diameter (cm)
a.
Bentuk lonceng
>50
45~50
40~45
35~40
0~5
>50
45~50
40~45
35~40
30~35
25~30
20~25
15~20
10~15
0~5
5~10
0
30~35
50
25~30
100
20~25
150
15~20
200
10~15
250
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
5~10
Jumlah Pohon / 1 Ha
Kelas Diameter (cm)
b. Bentuk lonceng sedikit condong ke kanan 2500 Jumlah Pohon / 1 Ha
Jumlah Pohon / 1 Ha
1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
2000 1500 1000 500
Kelas Diameter (cm)
c. Bentuk lonceng condong ke kanan
>50
45~50
40~45
35~40
30~35
25~30
20~25
15~20
0~5
5~10
0 10~15
Jumlah Pohon / Ha
300
Kelas Diameter (cm)
d. Bentuk eksponensial negatif
Gambar 19 Bentuk distribusi diameter yang ditemui di lapangan Pada Tabel 10 dapat diketahui bahwa dari tiga pola hutan rakyat yang ditemui di lapangan, ternyata yang paling banyak jumlah pohon rata-rata per ha terdapat pada pola monokultur. Sedangkan yang paling sedikit adalah pola agroforestri.
Pola agroforestri mengkombinasikan tanaman kehutanan dengan
tanaman pertanian dan atau perkebunan, sehingga dalam lahan lahan yang sama harus berbagi tempat. Pola ini menghasilkan kayu tidak sebanyak tanaman yang hanya diperuntukkan untuk tanaman kayu-kayuan saja. Berdasarkan sebaran kelas diameter pada Gambar 20, semua pola hutan rakyat memiliki jumlah pohon paling banyak pada ukuran diameter 0-30 cm. Begitu kelas diameter di atas 30 cm langsung menurun tajam jumlahnya. Hal tersebut menandakan bahwa ukuran di atas 30 cm sudah banyak ditebang untuk
71
dijual kayunya.
Berdasarkan informasi dari petani, pedagang, dan penyuluh
lapangan, pohon sudah dapat dijual jika diameter pohon sudah mencapai 10 cm ke atas untuk semua jenis pohon, dan pohon yang berkualitas tinggi adalah yang berukuran di atas 30 cm. Hal ini yang menyebabkan petani dan pemilik lahan umumnya menebang pohon pada umur 4-5 tahun untuk jenis sengon. Tabel 10 Jumlah pohon rata-rata per ha berdasarkan pola hutan rakyat dari 30 plot contoh Kelas Diameter 0−5 5 −10 10 − 15 15 − 20 20 − 25 25 − 30 30 − 35 35 − 40 40 − 45 45 − 50 >50
Jumlah Pohon Rata-Rata Per ha Agroforestri Monokultur Polikultur 477 1288 1600 375 4356 687 228 2648 733 116 36 293 37 100 80 18 252 20 5 92 60 5 84 13 0 0 7 1 0 7 1 0 0
Metode penebangan berpengaruh pada bentuk struktur tegakan berikutnya. Hampir tidak pernah ditemui penebangan di hutan rakyat dengan cara tebang habis (clear cutting) melainkan kebanyakan menggunakan tebang pilih (selective cutting).
Pemilihan pohon yang ditebang dimulai dari pohon-pohon yang
berdiameter yang besar. Setelah pemanenan, petani mulai menanam kembali tanaman baru di sela-sela tanaman yang tertinggal atau pohon baru timbul dari trubusan dari tunggak bekas pohon yang ditebang. Kegiatan tersebut dilakukan secara berulang-ulang dan membentuk struktur tegakan mendekati stuktur hutan alam dengan variasi diameter dan jenis. Kelas diameter pohon di Desa Sukaraharja memiliki sebaran yang lebih lebar dibanding kedua desa lainnya (Lampiran 8).
Data tersebut menunjukkan
terdapat keinginan yang kuat untuk menunda tebangan sampai diameter yang cukup besar di desa tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan tingkat kesejahteraan di Desa Sukaraharja yang lebih tinggi dibanding dengan 2 lokasi desa lainnya.
72
Monokultur
>50
45~50
40~45
35~40
Kelas Diameter (cm)
Kelas Diameter (cm)
2000
Polikultur
1500 1000 500 >50
45~50
40~45
35~40
30~35
25~30
20~25
15~20
10~15
0~5
0 5~10
Jumlah Pohon Rata-Rata (per Ha)
30~35
>50
45~50
40~45
35~40
30~35
25~30
20~25
15~20
10~15
0~5
0
25~30
100
20~25
200
15~20
300
10~15
400
0~5
500
5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 5~10
Jumlah Pohon Rata-Rata (per Ha)
600
5~10
Jumlah Pohon Rata_rata (per Ha)
Agroforestri
Kelas Diameter (cm)
Gambar 20 Perbandingan jumlah pohon rata-rata per ha pada tiap pola tanam dan kelas diameter. 4.1.3. Karakteristik Pengelolaan Hutan Rakyat Hutan rakyat menghasilkan kayu sebagai produk utamanya, mempunyai beberapa tahapan kegiatan pengelolaan.
Tahapan-tahapan tersebut dimulai dari
kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasarannya.
Berdasarkan
hasil pengamatan di lapangan maka kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan rakyat dapat dirinci sebagai berikut :
4.1.3.1 Penanaman Hutan Rakyat Pada awalnya petani belum memikirkan dan merencanakan kegiatan penanaman pepohonan dalam kebun mereka. Pohon-pohon tersebut kebanyakan tumbuh secara alami di lahan mereka. Benih tersebar dari pohon induk yang telah ada. Kegiatan penanaman hanya dilakukan ketika ada bantuan program-program penghijauan dari pemerintah, seperti Program Penghijauan yang diselenggarakan pada tahun 1960-an, Pekan Raya Penghijauan I diadakan pada tahun 1964 , serta
73
program
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL yang
kemudian menjadi GERHAN) yang dimulai pada tahun 2003.
Gambar 21 Pedagang bibit keliling dari desa ke desa Kegiatan penanaman oleh petani mulai terjadi pada awal tahun 1990-an dan diperkirakan terus meningkat terutama pada tahun 2000-an. Hal ini sejalan dengan mulai berkembangnya industri pengolahan kayu dan mulai adanya jalinan pasar ke luar daerah. Alasan utama petani melakukan penanaman di hutan rakyat karena faktor ekonomi. Petani dengan swadaya melakukan kegiatan penanaman. Bibit diperoleh dengan dua cara, yaitu dari bibit yang telah tumbuh alami di kebun kemudian dipindahkan ke lokasi penanaman atau dengan cara membeli. Bibit yang dibeli cukup tersedia di masyarakat, dan mudah diperoleh. Sekitar 2-3 tahun ke belakang, para pedagang bibit berkeliling dari satu desa ke desa lainnya dengan menggunakan mobil, membawa berbagai macam bibit yang digemari petani untuk ditanam. Petani tidak lagi melakukan penanaman dari bibit alam karena semakin cepatnya umur tebang pohon sebelum mencapai umur silvikultur, yaitu umur pohon yang dapat menghasilkan benih yang baik untuk meneruskan regenerasinya. Pohon sengon dapat berbuah dengan baik pada umur 8 tahun ke atas, sementara rata-rata tebang pohon sengon di lapangan berkisar umur 5 tahun. Demikian pula untuk tanaman mahoni berbuah baik pada umur 10-15 tahun, sedangkan rata-rata umur tebang mahoni di hutan rakyat berkisar umur 10 tahun.
74
Penanaman seringkali dilakukan pada musim penghujan.
Kecuali
pembukaan baru yang serempak, pada umumnya petani melakukan penanaman di sela-sela tanaman yang sudah besar atau dalam istilah kehutanan disebut dengan penanaman pengayaan (enrichment planting).
Ruang kosong di lahan kebun
biasanya terjadi akibat penebangan yang terpilih atas pohon-pohon bernilai jual. Selain menanam kembali setelah penebangang, cara lain yang sering dilakukan petani adalah dengan menggunakan cara trubusan (coppice system). Cara ini memberi pertumbuhan lebih cepat dibanding menanam dari awal, karena perakarannya sudah terbentuk dari pohon sebelumnya.
4.1.3.2 Pemeliharaan Hutan Rakyat Pada
umumnya
petani
di
Kabupaten
Ciamis
sudah
pemeliharaan melalui kegiatan pemupukan dan penyiangan.
melakukan Pemupukan
dilakukan setiap 3 bulan sekali atau sebanyak 2-3 kali pada tahun pertama saja. Setelah tanaman berusia setahun, pemupukan tidak dilakukan lagi. Dari pola pemeliharaan berdasarkan pola tanamnya, pola agroforestri lebih intensif pemeliharaannya dibanding pola lainnya. Tegakan pohon terus menerus dilakukan pemupukan lebih dari setahun umumnya terjadi pada pola agroforestri, sehingga pohon mendapatkan suplai pupuk yang merupakan dampak tidak langsung dari pemberian pupuk pada tanaman lain yang tumbuh di dekat atau di bawah tegakan pohon. Tanaman pertanian yang biasanya rutin dilakukan pemupukan adalah empon-emponan seperti kapulaga (Amomum cardamomum willd.) yang tahan terhadap naungan dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi, pisang dan cengkeh serta tanaman lainnya. Penyiangan dilakukan rutin apabila rumput dan belukar sudah menutupi areal pertumbuhan pohon. Umumnya penyiangan dilakukan dua kali dalam setahun sampai tajuk pohon ternaungi sekitar usia tegakan 2-3 tahun.
Ketika
pohon sudah tinggi dan tajuk pohon sudah menutupi lantai hutan, maka semak belukar juga tidak tumbuh karena tidak mendapat sinar matahari sehingga tidak perlu dilakukan penyiangan lagi.
75
4.1.3.3 Pemanenan dan Penjualan Kayu Hutan Rakyat Sistem pemanenan di Kabupaten Ciamis terdapat 2 macam, yaitu sistem kubikasi dan sistem borongan.
Perbedaan kedua sistem tersebut yaitu untuk
sistem kubikasi, penjual (petani/pemilik lahan) melakukan pemanenan sendiri dengan menebang dan memotong dalam bentuk log kayu, sehingga ketika dijual kepada pembeli (pedagang) sudah dalam bentuk setengah jadi dan dijual dalam satuan volume atau kubikasi.
Sedangkan jika petani melakukan penjualan
dengan sistem borongan, maka pemanenan dilakukan sepenuhnya oleh pembeli. Sebagian besar petani di Kabupaten Ciamis masih melakukan penjualan dengan sistem borongan, walau dengan keuntungan lebih rendah.
Salah satu yang
menjadi alasannya karena petani masih belum memahami proses pengelolaan pemanenan dengan baik. Selain alasan tersebut, banyak pemilik lahan atau petani yang tidak mau repot untuk melakukan pemanenan sendiri. Hutan rakyat bagi mereka masih merupakan pendapatan sampingan, sehingga tidak mau mengorbankan waktu banyak untuk kegiatan ini. Ukuran minimal diameter pohon yang laku dijual di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Gunungkidul hampir sama, yaitu minimal 10 cm, baik untuk jenis jati, mahoni, maupun sengon. Walaupun petani menjual dengan sistem borongan, maka pedagang di lapangan akan memilih ukuran diameter di atas atau sama dengan ukuran minimal tersebut. Pemanenan dilakukan dengan tebang pilih dan tidak dilakukan tebang habis. Tawar menawar harga dilakukan berdasarkan harga dari pohon-pohon berdiri yang layak jual dan dugaan besar volume atau kubikasi yang akan ditebang oleh pedagang. Perhitungan ini ada kemungkinan kurang tepat dan umumnya di bawah harga pasar sehingga merugikan petani. Sistem “ijon” walaupun sangat jarang tetapi masih ditemui di lapangan terutama pada lokasi yang memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif rendah. Dengan sistem ini petani menerima uang di muka dengan harga tegakan pada saat itu, tetapi tegakannya tidak bisa dipanen sampai masa waktu tertentu yang telah disepakati pembeli dan penjual. Sebagian petani telah mengetahui “harga pasar”. Hak tawar ini terjadi karena banyaknya pedagang yang beredar di kalangan petani, sehingga tidak ada monopoli pedagang di tingkat rendah. Informasi tentang adanya petani yang ingin
76
menjual kayu umumnya cepat beredar di kalangan pedagang ranting, sehingga seorang petani mendapat tawaran harga lebih dari satu pedagang. Persaingan harga antar pedagang ranting akan terjadi. Petani akan memilih pedagang yang memberi harga tinggi, sehingga diharapkan tidak terjadi monopoli antar petani dengan pedagang. Kelemahan posisi petani masih nampak terjadi jika lokasi lahan hutan rakyat berada jauh dari jalan. memperhitungkan besarnya
Petani kesulitan dalam
biaya eksploitasi, sehingga pedagang dapat
mempermainkan harga dalam menilai harga tegakan yang akan dipanen. Harga antara tegakan yang berada di pinggir jalan dengan yang jauh dari jalan sangat jauh berbeda. Perdagangan kayu rakyat memiliki rantai pemasaran yang panjang (Gambar 22). Dari petani sampai ke pabrik bisa melalui sampai 5 (lima) tahapan. Ketika petani ingin menjual kayunya, maka tahapan pertama adalah berhubungan dengan pedagang tingkat ranting yang kadang disebut dengan tengkulak.
Pedagang
ranting ini jumlahnya banyak sehingga persaingan antar mereka sering terjadi dalam memperebutkan pembelian kayu di petani.
Petani akan menjual kepada
pembeli yang menawarkan harga yang lebih tinggi.
Perantara (Broker)
Konsumen Lokal Petani
Pedagang Ranting
Penggergajian Lokal
-
Penampung (Pedagang Besar/ Supplier) Toko Material Industri Mebel
Industri Besar
Gambar 22 Aliran perdagangan kayu rakyat dari petani sampai konsumen lokal dan pabrik
77
Pedagang ranting merupakan perpanjangan tangan dari pengusaha penggergajian tingkat lokal.
Setiap pengusaha penggergajian menempatkan
beberapa pedagang ranting di beberapa wilayah desa. Pedagang ranting ini diberi modal untuk melakukan pembelian kayu, sehingga ada keterikatan antara pedagang ranting dengan pengusaha penggergajian. Kemudian setiap pengusaha penggergajian menjual kayu-kayu hasil olahannya kepada penampung (pedagang besar), yang memiliki hubungan langsung dengan pihak pabrik. Penampung ini biasanya ada di kota yang relatif besar seperti Bandung, Banjar, Pangandaran dan kota lainnya di Kabupaten Ciamis. Hasil wawancara terhadap beberapa pihak pedagang dan industri penggergajian menunjukkan bahwa pihak pabrik tidak langsung membayar tunai, maka bisa terjadi bahan baku ditampung pada pihak perantara (broker) sebelum masuk pabrik. Di pihak perantara kayu dapat dibayar langsung secara tunai sehingga perputaran modal tidak terhambat. Jalur panjang ini umumnya terjadi untuk bahan baku ekspor seperti palet, yang saat sekarang sangat diminati yang berasal dari kayu rakyat. Sedangkan untuk furnitur atau kebutuhan lokal, jalur pemasaran lebih singkat yaitu dari industri penggergajian langsung ke konsumen. Berdasarkan peraturan mengenai pejualan kayu dari hutan rakyat di Kabupaten Ciamis, kayu yang akan dibawa ke luar wilayah Ciamis harus disertai dengan Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAUK) yang dikeluarkan oleh pihak aparat desa. Selain SKAUK, kayu juga harus dibuatkan Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB) dari Dinas Kehutanan setempat. Peraturan yang berbeda terjadi di Kabupaten Gunungkidul (Gambar 23). Pemilik kayu jika akan melakukan penebangan di wilayah lahan miliknya harus mengurus Surat Izin Tebang (SIT) yang dikeluarkan oleh pihak aparat desa. Setelah ditebang, untuk pengangkutan petani harus membuat SKSKB (Surat Keterangan Sah Kayu Bulat) yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan (DISHUTBUN) setempat. Pengamatan di dua lokasi Kabupaten Ciamis dan Gunungkidul, hampir tidak ada petani yang melakukan sendiri pengurusan surat-surat izin tersebut. Semua pengurusan diserahkan kepada pedagang yang membeli kayu. Umumnya surat izin dibuat oleh pedagang sekaligus untuk beberapa tebangan di beberapa lokasi agar
78
efisien dengan mengatasnamakan salah satu petani yang tebangannya terbanyak. Sampai saat ini, petani merasa tidak perlu untuk melaksanakan sendiri pengurusan tersebut.
Harga kayu yang ditawarkan oleh pedagang ranting cukup memuaskan
mereka, jika dibandingkan dengan pengorbanan waktu yang telah dilakukan untuk pengelolaan hutan rakyat.
Menurut petani, pengelolaan hutan rakyat merupakan
usaha sampingan yang tidak memerlukan banyak intensitas waktu.
Pemilik Kayu Hutan Rakyat
Diajukan ijin Tebang ke Kades/Lurah
Kayu diangkut oleh pembeli ke luar desa
Penerbitan SKSKB
Petugas Desa memverifikasi kayu di lahan
Petugas DISHUTBUN memverifikasi dan mengetok kayu
Lurah/Kades mengesahkan Izin Tebang Proses SIT
b. Proses SKSKB DISHUTBUN dengan
a.
Diajukan SKSKB ke membawa SIT
Kayu Ditebang
Gambar 23
Kayu dikumpulkan
Contoh alur ideal perizinan penebangan kayu di Kabupaten Gunungkidul (Sumber : Dishutbun, 2005).
4.1.3.4. Pengaturan Hasil di Hutan Rakyat Pada pengelolaan hutan untuk produksi, perencanaan jangka panjang selalu diterapkan berupa pengaturan hasil hutan. Sistem pengaturan hasil memerlukan informasi mengenai waktu yang diterapkan, banyak atau jumlah yang akan dipanen yang berhubungan dengan pertumbuhan tegakannya,
dan luas yang
dikelola, sehingga perlu suatu wadah/unit pengelolaan yang jelas. Pengaturan hasil di hutan rakyat sampai saat ini secara fakta di lapangan menunjukkan bahwa keputusan masih bersifat perorangan atau per keluarga
79
pemilik lahan. Waktu penebangan pohon merupakan keputusan pribadi masingmasing pemilik lahan, sehingga tidak ada aturan yang jelas berapa yang akan ditebang pada waktu tertentu. Dalam ilmu pengelolaan hutan, masa tanam sampai waktu pohon siap tebang disebut dengan daur.
Penentuan lama waktu
penanaman sampai siap tebang berdasarkan beberapa pertimbangan, misalnya pertimbangan fisiologis, teknis, finansial dan lainnya.
Untuk pengelolaan hutan
rakyat, pertimbangan waktu pohon ditebang berdasarkan pertimbangan kebutuhan dari si pemilik kayu.
Pemilik kayu akan menjual pohon sebagai salah satu
alternatif jika membutuhkan dana. Alasan petani pemilik hutan rakyat menjual kayunya umumnya untuk kepentingan yang besar bukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Yang dianggap kepentingan besar oleh petani seperti untuk membeli tanah, biaya sekolah, hajatan pernikahan atau sunatan dan alasan lain yang membutuhkan biaya besar.
Petani menggolongkan hasil pemasukan atas hasil harian seperti
dari tanaman pertanian contohnya cabai, sayur-sayuran dan lainnya; hasil bulanan seperti dari tanaman petanian dan perkebunan contohnya padi, cengkeh, kapulaga dan lainnya; dan hasil tahunan berupa kayu. Pada Gambar 24 terlihat fluktuasi yang terjadi setiap bulan per tahun terhadap peningkatan penjualan kayu dari hutan rakyat. Di Kabupaten Ciamis (Gambar 24a) dari data 2 tahun yaitu tahun 2008 dan 2009, sedikit terjadi pengulangan waktu.
Pada pertengahan tahun yaitu pada bulan Juni sampai
September terjadi peningkatan yang beruntun (lingkaran putus-putus pada Gambar 24a).
Kemungkinan karena musim panas yang mendukung kondisi
lapang untuk menebang pohon dan bertepatan mulai masuknya sekolah dan perguruan tinggi.
Sedangkan pada bulan Oktober sampai Desember terjadi
penurunan penjulan kayu.
Penurunan penjualan terjadi karena faktor musim
penghujan sehingga tidak ada penebangan kayu pada musim tersebut. Musim penghujan merupakan awal penanaman tanaman pertanian, sehingga penebangan tidak dilakukan untuk menghindari kerusakan tanaman tersebut.
80
60000
Volume (m3)
50000 40000 30000 20000
2008 10000
2009 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan
(a)
11000
2004 2005 2006
10000
Volume (m3)
9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000
1
2
3
4
5
6 7 Bulan
8
9
10 11 12
(b) Gambar 24 Fluktuasi penjualan kayu dari petani setiap bulan per tahun di (a) Kabupaten Ciamis dan (b) Kabupaten Gunungkidul (Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis dan Gunungkidul) Di wilayah Kabupaten Gunungkidul fluktuasi naik dan turunnya penjualan kayu berulang setiap tahun berdasarkan pengecekan terhadap data yang diperoleh dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan setempat. Puncak-puncak penjualan berulang pada waktu yang hampir berdekatan pada dua sampai tiga tahun pendataan terlihat pada Gambar 24 terlihat pada garis lingkaran putus-putus. Pada bulan-bulan tertentu seperti Maret (Gambar 24b) di wilayah Gunungkidul terjadi
81
peningkatan penjualan kayu. Hal ini diduga berhubungan dengan kondisi-kondisi tertentu seperti kegiatan hajatan pernikahan yang terjadi di tahun-tahun tersebut. Biasanya di masyarakat Jawa hajatan pernikahan banyak dilakukan pada bulan besar atau bulan haji, yaitu untuk tahun 2004-2006 terjadi pada bulan Januari dan Februari.
Dapat juga alasan karena awal musim kemarau, sehingga kondisi
lapangan memungkinkan untuk melakukan penebangan dimana tidak ada tanaman pertanian yang baru tanam. Sebaiknya juga terlihat pada awal musim penghujan sekitar Oktober dan November terjadi penurunan yang drastis dalam penjualan kayu. Hal ini karena kondisi di lapangan masih banyak tanaman pertanian yang baru ditanam sehingga kegiatan penebangan tidak banyak dilakukan karena dikhawatirkan akan merusak tanaman pertanian yang masih muda. 4.2
Tipologi Hutan Rakyat
4.2.1. Penentuan Faktor Dominan Pembentuk Tipologi Pembagian tipologi desa berdasarkan faktor biofisik dan sosial ekonomi setempat dengan desa sebagai unit pengamatan terkecil. Faktor biofisik yang diamati ada 9 peubah, terdiri dari 6 faktor biofisik dan 3 faktor sosial ekonomi. Berdasarkan korelasi Spearman terdapat hubungan yang sangat nyata antara beberapa peubah terhadap keberadaan luas hutan rakyat di suatu desa (Tabel 11). Peubah yang memiliki korelasi yang kuat dan bernilai positif terhadap luas hutan rakyat adalah rasio antara penggunaan lahan bukan sawah (non sawah), dan kelerengan lahan. Sedangkan yang memiliki korelasi tinggi tapi bernilai negatif adalah kepadatan penduduk, pendapatan penduduk, umur produktif, jarak ke hutan, kemampuan lahan, dan kerapatan jalan. Dari 9 faktor pada Tabel 11 tersebut yang memiliki nilai tiga terbesar korelasinya terhadapa luas hutan rakyat setiap desa adalah kelerengan lahan, kerapatan jalan, dan lahan bukan sawah. Sedangkan yang tidak berkorelasi adalah jarak desa ke jalan besar terdekat.
82
Tabel 11 Korelasi Spearman antar peubah No
1
Peubah
Hutan rakyat
Hutan rakyat 1.000
-0.154**
0.058
0.453**
-0.197** 0.208**
1.000
0.245**
-0.111*
-0.050
0.101
-0.072
-0.045
0.234**
Umur produktif
-0.380** 0.932**
0.245**
1.000
-0.265** -0.264** 0.216**
-0.178**
0.072
0.447**
5
Rasio non sawah
0.441**
-0.297**
-0.111*
-0.265** 1.000
0.486**
-0.215**
0.167**
-0.266**
-0.367**
6
Kelerengan lahan
0.529**
-0.277**
-0.050
-0.264** 0.486**
1.000
-0.565**
0.139*
-0.433**
-0.382**
7
Jarak hutan
-0.426** 0.225**
0.101
0.216**
-0.108*
0.276**
0.320**
8
Jarak jalan
0.099
-0.072
-0.178** 0.167**
1.000
-0.145**
-0.198**
9
Kemampuan lahan
-0.233** 0.058
-0.045
0.072
-0.266** -0.433** 0.276**
-0.145**
1.000
0.127*
10
Kerapatan jalan
-0.496** 0.453**
0.234**
0.447**
-0.367** -0.382** 0.320**
-0.198**
0.127*
1.000
Rumah permanen
4
82
**. Berkorelasi nyata pada level 0,01. *. Berkorelasi nyata pada level 0,05.
-0.154**
**
0.099
0.225
3
**
Kerapatan Jalan -0.496**
-0.277
1.000
**
Kemampuan lahan -0.233**
-0.297
-0.357
**
Jarak jalan
0932
Kepadatan penduduk
**
Kelere- Jarak ngan hutan lahan 0.529** -0.426**
0.208
2
**
Kepadatan Rumah Umur Non penduduk Perma- Produk- Sawah nen tif ** ** -0.357 -0.197 -0.380** 0.441**
-0.215** -0.565** 1.000 0.139*
-0.108*
83
Penjelasan lebih terperinci mengenai kondisi peubah-peubah dengan keberadaaan hutan rakyat sebagai berikut: a. Kepadatan Penduduk Merupakan peubah
yang berhubungan negatif dengan luas hutan rakyat.
Hutan rakyat umumnya ditemukan pada wilayah berpenduduk rendah. Secara logis hal ini tentu demikian, kerena semakin sedikit penduduk berpeluang areal digunakan dengan penggunaan lain selain pemukiman seperti perkebunan dan lainnya. Kepadatan penduduk juga berkorelasi positif dengan peubah rasio umur produktif, sehingga semakin padat penduduk kemungkinan besar jumlah umur produktif juga ikut bertambah di suatu wilayah desa. b. Rasio Rumah Permanen Jumlah rumah permanen di suatu wilayah dalam penelitian ini diasumsikan sebanding dengan tingkat pendapatan penduduk. Semakin banyak jumlah rumah permanen, tingkat pendapatan penduduk semakin tingi. Hubungan antara pendapatan penduduk dengan potensi keberadaan hutan rakyat di suatu desa berkorelasi negatif. Hutan rakyat umumnya banyak ditemukan pada kondisi desa yang memiliki rata-rata pendapatan
yang rendah.
Hal ini
disebabkan luasnya hutan rakyat pada kondisi lahan marginal yang tidak memiliki banyak alternatif kegiatan pertanian yang lebih produktif, sehingga pendapatan penduduk relatif tidak meningkat. c. Rasio Umur Produktif Rasio umur produktif merupakan peubah yang berhubungan negatif dengan luas hutan rakyat. Pengelolaan hutan rakyat tidak seintensif pengelolaaan pertanian dan perkebunan, sehingga ketika terjadi urbanisasi yang besar, banyak penduduk desa yang berada dalam usia produktif bekerja di kota. Akhirnya kebanyakan penduduk yang tinggal di desa adalah orang-orang usia lanjut.
Kondisi ini memungkinkan pemilihan menanam kayu-kayuan
dibanding dengan pertanian intensif. d. Kerapatan Jalan Peubah ini berkorelasi dominan kedua setelah rasio kelerengan lahan terhadap keberadaan hutan rakyat di suatu desa. Desa yang memiliki kerapatan jalan
84
yang besar cenderung memiliki hutan rakyat yang sedikit. Kerapatan jalan berhubungan dengan kemajuan transportasi di suatu wilayah desa. Semakin maju desa memungkinkan banyaknya alternatif penggunaan lahan lain yang lebih produktif. e. Penggunaan Lahan Bukan Sawah (Non Sawah) Suharjito (2000) menyatakan bahwa umumnya lokasi hutan rakyat berada di wilayah areal lahan kering daerah atas (upland areas).
Daerah tersebut
merupakan daerah pertanian non sawah, yang biasa disebut dengan tegalan atau kebun. Tegalan atau kebun dalam pendataan statistik disebut dengan lahan pertanian non sawah. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa peubah ini berkorelasi positif dengan keberadaan hutan.
Hal ini menunjukkan bahwa
peubah ini bisa menjadi penanda untuk menduga potensi pengembangan hutan rakyat di suatu desa atau wilayah. Semakin luas penggunaan lahan pertanian non sawah maka semakin besar pula potensi pengembangan hutan rakyatnya. f. Kemampuan Lahan Berdasarkan sejarahnya, hutan rakyat terbentuk karena gerakan penghijauan pada daerah-daerah kritis (Hardjanto 2003). Oleh karena itu perkembangan hutan rakyat diduga dominan di wilayah-wilayah tidak subur.
Hasil uji
korelasi dengan luas hutan rakyat menunjukkan adanya korelasi negatif sehingga mendukung dugaan hutan rakyat berkembang di wilayah tidak subur. g. Rasio Kelerengan Lahan Peubah ini memiliki korelasi tertinggi diantara peubah lainnya.
Ini
menunjukkan bahwa hutan rakyat dominan berada di wilayah yang tidak datar, yakni berada di wilayah landai sampai curam. Hutan rakyat merupakan alternatif berikutnya ketika lahan tidak memungkinkan untuk
ditanam
tanaman pertanian atau budidaya lain yang lebih cepat menghasilkan. Wilayah yang tidak memperoleh pengairan untuk sawah berada di wilayah-wilayah atas (upland areas) yang memiliki topografi lebih curam. Hutan rakyat berkembang di daerah yang bertopografi curam.
85
h. Jarak ke Hutan Negara Keberadaan hutan negara di dalam atau sekitar desa ternyata berpengaruh terhadap keberadaaan hutan rakyat. Semakin dekat areal hutan negara dengan suatu desa, maka umumnya semakin besar potensi hutan rakyat. Kondisi ini diduga karena faktor biofisik dan budaya. Wilayah hutan negara di Kabupaten Ciamis umumnya berada di daerah-daerah pegunungan dengan topografi curam dan kondisi assesibilitas yang sulit. Dengan kondisi biofisik demikian, alternatif penggunaan lahan tidak banyak sehingga penggunaan lahan dengan penanaman yang tidak intensif menjadi pilihannya.
Ditinjau dari sudut
budaya, masyarakat yang tinggal berdekatan dengan hutan sudah terbiasa dengan pengelolaan hutan dan umumnya terlibat langsung sebagai penggarap jika hutan tersebut hutan produksi. Sebagai penggarap di areal tumpangsari Perum Perhutani, petani sudah terbiasa dengan cara-cara menanam, memelihara, dan bahkan terlibat dalam kegiatan pemanenan sebagai buruh tebang. Kebiasaan ini sering juga diterapkan di lahan milik pribadi mereka. Penyebaran bibit secara alam dari hutan negara ke lahan milik melalui angin dan binatang-binatang hutan diduga merupakan salah satu cara penyebaran alami, sehingga jenis-jenis tanaman yang biasa ada di hutan negara seperti jati, mahoni, dan pinus. tumbuh di lahan milik pribadi petani i. Jarak ke Jalan Hasil analisis korelasi menunjukkan jarak terdekat antar batas desa ke jalan provinsi (jalan kolektor) tidak berpengaruh nyata terhadap kondisi hutan rakyat di suatu desa dibanding peubah lainnya. Jalan besar merupakan jalur transportasi pengangkutan kayu ke luar wilayah. berpengaruh nyata terhadap luas hutan rakyat.
Peubah ini tidak
Wilayah dekat jalan besar
memiliki keuntungan biaya pengangkutan menjadi murah, tetapi harga tanah menjadi lebih mahal. Sedangkan wilayah yang jauh dari jalan besar akan sebaliknya. Berdasarkan analisis komponen utama (AKU), peubah-peubah yang digunakan diuji korelasinya dengan luas hutan rakyat di suatu desa.
Hasil
korelasi pada Tabel 12 diketahui bahwa dari 9 peubah yang dianalisis, hanya satu faktor yaitu jarak ke jalan besar yang secara statistik mempunyai korelasi kecil.
86
Dengan demikian, maka analisis lebih lanjut hanya menggunakan pendukung.
8 peubah
Untuk mengetahui berapa banyak komponen utama yang akan
digunakan, maka dipergunakan nilai kumulatif proporsi lebih dari 70%. Pada delapan komponen utama yang dihasilkan dapat dipotong sampai PC empat saja karena sudah mewakili proporsi keragaman yang cukup. Tabel 12 Nilai komponen utama (PC) pada lima peubah dan nilai kumulatifnya PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 PC6 PC7 PC8 Peubah Kepadatan Penduduk Rumah permanen Umur Produktif Non Sawah Kelerengan lahan Jarak ke hutan Kemampuan Lahan Kerapatan Jalan Akar ciri (eigenvalue)
Proporsi Kumulatif Proporsi
0,340
-0,389
-0,523
0,115
-0,056
0,033
-0,627
0,223
0,146 0,371 -0,441 -0,491 0,337 0,185 0,377 2,407 0,301 0,301
-0,340 -0,479 -0,185 -0,295 0,293 0,520 -0,164 1,323 0,165 0,466
0,603 -0,284 -0,018 -0,100 0,212 -0,333 0,341 1,069 0,134 0,600
-0,108 0,107 0,457 -0,168 0,715 -0,325 -0,331 0,904 0,113 0,713
-0,669 -0,133 -0,080 -0,149 -0,074 -0,523 0,475 0,8463 0,106 0,819
0,056 -0,083 -0,661 -0,084 -0,056 -0,450 -0,582 0,5602 0,070 0,889
-0,114 0,668 0,068 -0,281 -0,199 -0,001 -0,157 0,4969 0,062 0,951
0,156 -0,264 0,338 -0,725 -0,443 -0,055 -0,128 0,3929 0,049 1,000
Dari 4 PC pada Tabel 12 dapat diketahui empat indeks desa di Kabupaten Ciamis yang didekati dari 8 faktor.
Karakteristik tersebut dapat dilihat dari
peubah dominan yang membentuk komponen utamanya sebagai berikut : -
Pada PC1 menggambarkan indeks kelerengan lahan dan non sawah. Nilai ini menunjukkan dominan kelerengan lahan yang datar dengan kegiatan non persawahan yang rendah.
-
Pada PC2 merupakan indeks kondisi kemampuan lahan yang menunjukkan kemampuan lahan yang tinggi.
-
Wilayah
PC3 merupakan indeks
rumah permanen dan kepadatan
penduduk yang merupakan peubah sosial ekonomi. - Pada wilayah PC4 merupakan indeks jarak desa ke kawasan hutan negara. PC4 menunjukkan nilai akar ciri yang tinggi pada jarak ke kawasan hutan yang semakin jauh.
87
Tabel 13 Banyaknya anggota setiap kombinasi dan kelompok JUMLAH ANGGOTA TIAP KELOMPOK 8 Kombinasi Peubah*) Jmh Peubah 5 Kelompok
1 2 3 4 5
7 Peubah*)
6 Peubah*)
5 Peubah*)
4 Peubah*)
3 Peubah*)
2 Peubah*)
PC1234
PC123
183 86 62 2 3
183 86 62 2 3
183 86 62 2 3
183 86 62 2 3
183 86 62 2 3
161 124 45 5 1
161 176 124 68 45 53 5 43 1 5
149 72 70 40 5
185 60 86 5
185 60 86 5
185 60 86 5
185 60 86 5
185 60 86 5
171 115 44 6
171 185 115 86 44 60 6 5
153 85 61 37
228 103 5
228 103 5
228 103 5
228 103 5
228 103 5
202 99 35
202 196 99 80 35 60
195 78 63
239 97
239 97
239 97
239 97
239 97
249 87
249 235 87 101
234 102
4 Kelompok
1 2 3 4 3 Kelompok
1 2 3 2 Kelompok
1 2 -
*) Kombinasi Peubah yang digunakan : 8 Peubah = kelerengan lahan, kerapatan jalan, non sawah, jarak ke hutan, rasio produktif, kepadatan penduduk, kemampuan lahan, dan rasio rumah permanen. 7 Peubah = kelerengan lahan, kerapatan jalan, non sawah, jarak ke hutan, rasio produktif, kepadatan penduduk, dan kemampuan lahan 6 Peubah = kelerengan lahan, kerapatan jalan, non sawah, jarak ke hutan, rasio produktif, dan kepadatan penduduk 5 Peubah= kelerengan lahan, kerapatan jalan, non sawah, jarak ke hutan, dan rasio produktif 4 Peubah = kelerengan lahan, kerapatan jalan, non sawah, dan jarak ke hutan 3 Peubah = kelerengan lahan, kerapatan jalan, dan non sawah 2 Peubah = kelerengan lahan dan kerapatan jalan
umur umur umur umur
4.2.2. Pembentukan Tipologi 4.2.2.1 Jumlah Tipologi Hasil klastering menggunakan semua alternatif kombinasi peubah mulai dari penggunaan 8 peubah sampai dengan 2 peubah, baik data asli maupun data hasil transformasi dengan analisis komponen utama dapat disajikan pada Tabel 13. Pada Tabel 13 dapat diketahui bahwa penggunaan 5 kelompok dan 4 kelompok menghasilkan jumlah tipologi yang kurang efisien karena jumlah anggota sangat kecil dibawah 10 desa, kecuali satu yang menggunakan kombinasi PC123 dengan 4 kelompok. Sedangkan untuk 3 kelompok dan 2 kelompok terdapat 4 kombinasi
88
jumlah peubah yang menghasilkan jumlah kelompok yang efisien, yaitu yang menggunakan kombinasi 2 peubah, 4 peubah, PC1234 (PC1, PC2, PC3, dan PC4), dan PC123(PC1, PC2, dan PC3). Dari semua kombinasi yang telah dicoba pada Tabel 13, hanya 8 kombinasi jumlah peubah yang dapat dianalisis selanjutnya. Kombinasi jumlah peubah yang menghasilkan kelompok yang sama maka dipilih yang paling sederhana.
Daftar kombinasi terpilih tersebut dapat dilihat pada
Tabel 14. Tabel 14 Jumlah desa setiap kelompok terpilih Kombinasi Jumlah Desa Jumlah Peubah Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 2 Peubah – 249 87 2 Kelp 2 Peubah – 202 99 53 3 Kelp 4 Peubah – 239 97 2 Kelp PC1234 – 235 101 2 Kelp PC1234 – 196 80 60 3 Kelp PC1234 – 153 85 61 4 Kelp PC123 – 195 78 63 3 Kelp PC123 – 234 102 2 Kelp
Kelompok 4 37 -
4.2.2.2 Pengujian Kelompok Pada Gambar 25 menunjukkan hasil kedua uji ragam melalui uji dalam kelompok dan antar kelompok.
Hasil uji dianggap baik
jika ragam dalam
kelompok kecil dan ragam antar kelompok besar. Gambar 25a memperlihatkan bahwa uji ragam antar kelompok kombinasi 1 sampai 4 relatif memiliki ragam dalam kelompok yang kecil dibanding kombinasi 5 sampai 8. Sedangkan untuk uji ragam antar kelompok pada Gambar 25b ragam yang terbesar adalah kombinasi ke 2, 5, 7, dan 8. Untuk menentukan kombinasi yang teruji baik dari ke delapan kombinasi lewat dua uji ragam tersebut, maka dilakukan pengurangan antara uji ragam antar kelompok dengan uji ragam dalam kelompok. Nilai selisih terbesar adalah yang memiliki nilai uji yang baik (dapat dilihat pada Tabel 15).
25000 Ragam Rata2 Antar Kelompok
Ragam Rata2 Dalam Kelompok
89
20000 15000 10000 5000 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Kombinasi Jumlah Peubah dan Kelompok
7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Kombinasi Jumlah Peubah dan Kelompok
Keterangan : 1= 2 Peubah-2Kelp, 2= 2 Peubah-3 Kelp, 3= 4 Peubah-2 Kelp, 4= PC1234-2Kelp, 5= PC1234-3Kelp, 6= PC123-2Kelp, 7= PC123-3Kelp, 8 = PC123-4Kelp
a. Ragam dalam kelompok
b. Ragam antar kelompok
Gambar 25 Perbandingan ragam dalam kelompok dengan ragam antar kelompok Pada Tabel 15 diketahui selisih ragam antar kelompok dengan uji ragam rata-rata dalam kelompok. Selisih terbesar pada uji ini adalah pada kombinasi jumlah 2 peubah dengan tiga kelompok, selanjutnya kombinasi 2 peubah dengan 2 kelompok, dan yang ketiga kombinasi dengan mengunakan analisis komponen utama dengan 4 PC yang membagi 2 kelompok. Tabel 15 Ragam rata-rata antar kelompok dan dalam kelompok Kombinasi Jumlah Peubah Ragam Rata-Rata Antar Kelompo k (A) Dalam Kelompo k (B) Selisih (A-B) Rangking
4 Peubah PC1234 -2 Kelp 2 Kelp
PC1234 3 Kelp
PC123 – 2 Kelp
PC123 – 3 Kelp
PC123 4Kelp
2 Peubah -2 Kelp
2 Peubah -3 Kelp
1,49
3,97
1,20
1,53
3,96
0,94
3,85
6,63
12798,24
10971,44
14097,18
13171,59
19388,30
22740,07
20972,55
22500,55
-12796,76 2
-10967,47 1
-14095,98 4
-13170,06 3
-19384,34 5
-22739,13 8
-20968,71 6
-22493,92 7
Dari delapan kombinasi yang dianalisis, tiga kombinasi menggunakan peubah asli sedangkan lima kombinasi sudah menggunakan peubah PC yang diubah melalui analisis komponen utama (AKU). Metode gerombol (clustering analysis) menggunakan asumsi tidak ada multikolinieritas antar peubah yang digunakan. Peubah hasil transformasi AKU adalah peubah yang saling orthogonal sehingga korelasi antar PC menjadi sangat kecil. Menurut Santoso (2010)
90
menyatakan bahwa batas kolinieritas tersebut masih dapat ditolerir untuk nilai korelasi dibawah 0,5. Pada Tabel 16 dapat diketahui hasil evaluasi akurasi pada kedelapan kombinasi terpilih. Hasil evaluasi akurasi menunjukkan, nilai akurasi rata-rata umum dan akurasi Kappa terbesar terdapat pada perlakuan kombinasi PC1234 dengan 2 kelompok dengan nilai masing-masing 64% dan 27%. Kombinasi kedua yang terbaik adalah kombinasi 2 peubah dengan 2 kelompok dengan nilai akurasi umum sebesar 63% dan akurasi Kappa sebesar 26%. Kombinasi tersebut yang paling akurat dalam menduga kelompok desa berdasarkan luas hutan rakyat. Tabel 16 Nilai akurasi rata-rata umum dan akurasi Kappa No. Kombinasi jumlah Akurasi peubah Rata-rata umum (%) 1. 2. 3. 4. 5 6 7 8
2 Peubah-2 kelompok 2 Pebah- 3 kelompok 4 Peubah-2 kelompok PC1234-2 kelompok PC1234-3 kelompok PC123-2 kelompok PC123- 3 kelompok PC123- 4 kelompok
63,393 46,429 60,714 63,988 40,179 50,595 40,476 27,083
Kappa (%) 26,363 17,482 21,026 27,633 13,932 1,650 14,271 6,015
Secara konsisten berdasarkan uji keragaman dan uji akurasi, diperoleh 2 peubah yang dominan yaitu rasio kelerengan lahan dan kerapatan jalan. Kedua peubah ini dapat menjadi kunci dalam membagi wilayah hutan rakyat agar relatif seragam. Hal tersebut merupakan informasi awal dari kegiatan pengelolaan hutan rakyat dalam membentuk wadah unit pengelolaan. 4.2.2.3. Tipologi Desa dan Karakteristiknya Pada proses akurasi terdapat dua kombinasi yang memiliki akurasi yang baik, yaitu kombinasi dengan mengunakan PC1234 dengan nilai akurasi sebesar 64% dan kombinasi dengan 2 peubah (rasio kelerengan dan kerapatan jalan) dengan nilai akurasi sebesar 63%. Sebaran pengelompokan desa tersebut dapat dilihat pada Gambar 26. Berdasarkan kombinasi PC1234 terlihat dugaan wilayah Kabupaten Ciamis memiliki 70% daerah yang memiliki potensi pengembangan hutan rakyat yang besar. Sedangkan berdasarkan kombinasi 2 peubah menduga
91
sebanyak 74% wilayah Kabupaten Ciamis merupakan daerah yang memiliki potensi pengembangan yang besar.
Potensi pengembangan hutan rakyat dilihat
dari besarnya luasan hutan rakyat di dalam suatu desa. Luas hutan rakyat yang besar merupakan salah suatu peluang untuk mencapai pengelolaan hutan rakyat yang menguntungkan dan efisien. Tabel 17 Karakteristik desa setiap tipologi Tipe
Karakteristik desa
Kesimpulan
I
Merupakan wilayah-wilayah desa dimana penggunaan lahannya tidak didominasi hutan rakyat. Terdapat kondisi-kondisi yang kurang memungkinkan untuk berkembangnya hutan rakyat secara biofisik ditambah aspek sosial ekonomi. Merupakan wilayah-wilayah desa yang memiliki potensi hutan rakyat yang besar. Faktor-faktor biofisik dan ditambah dengan sosial ekonominya mendukung untuk berkembangnya pengelolaaa hutan rakyat di desa ini.
Wilayah desa yang kurang berpotensi pengembangan hutan rakyat.
II
Wilayah desa yang berpotensi besar pengembangan hutan rakyat.
Jumlah Desa Kombinasi 2 Peubah PC1234 101 87
235
249
Pada Gambar 26 dapat dilihat bahwa sebaran yang dihasilkan dengan kombinasi PC1234 terlihat lebih kompak dan sehamparan dibanding sebaran yang dihasilkan kombinasi 2 peubah. Untuk membentuk satu unit pengelolaan lebih mudah ketika wilayah yang akan digabungkan berdekatan secara spasial. Tetapi jika unit pengelolaan tersebut berupa desa tentunya dapat berdiri sendiri secara individual ketika potensinya besar .
92
(a)
Nilai standar pengelompokan 2 tipologi
(b) Pengelompokan hutan rakyat berdasarkan kombinasi PC1234
(c)
Pengelompokan hutan rakyat berdasarkan kombinasi 2 peubah Gambar 26 Pengelompokan berdasarkan dua tipologi
93
Berdasarkan hasil dugaan jumlah desa berpotensi tinggi, hasil dalam penelitian ini lebih besar dari nilai acuan standar sebenarnya. Terdapat beberapa hal yang memungkinkan perbedaaan ini, salah satunya karena kondisi biofisik dan sosial ekonomi suatu desa yang mendukung untuk berkembangnya hutan rakyat. Pada saat ini yang berkembang di beberapa desa yang berpotensi tinggi adalah tanaman non kehutanan seperti kelapa, cengkeh, dan lainnya. Di wilayah Selatan Kabupaten Ciamis banyak ditemui perkebunan kelapa. Dari kasus desa yang diambil sebagai contoh yaitu Desa Beber Kecamatan Cimaragas luas hutan rakyat adalah 15 ha. Dari dua kondisi biofisik, yaitu rasio kelerengan lahan dan kerapatan jalan sebenarnya mendukung untuk berkembangnya hutan rakyat ditunjukkan dengan dugaan yang masuk ke tipe II, tetapi secara fakta data standar masuk tipe I. Namun, berdasarkan kombinasi PC1234 yang dapat menduga sesuai standar acuan, kemungkinan ada faktor-faktor lain di luar rasio kelerengan lahan dan kerapatan jalan yang menghambat perkembangan hutan rakyat di desa tersebut. Dari pengamatan di lapangan, Desa Beber memang masih didominasi oleh perkebunan salak.
Tetapi saat ini karena harga salak anjlok, maka banyak lahan yang
dikonversi menjadi hutan rakyat. Sehingga ke depan bisa memungkinkan wilayah ini berpotensi masuk menjadi tipe II. Tabel 18 Perbandingan tipologi standar dengan tipologi hasil dugaan peubah Desa Kecamatan Luas Hutan Berdasarkan Berdasarkan Rakyat (Ha) Nilai Standar Kombinasi Peubah PC1234 Cipaku Banjarsari 287 Tipe II Tipe II Beber Cimaragas 15 Tipe I Tipe I Sukaharja Lumbung 55 Tipe I Tipe II
kombinasi Berdasarkan Kombinasi 2 Peubah Tipe II Tipe II Tipe I
Pada Tabel 18 terlihat bahwa hasil dugaan berdasarkan kombinasi peubah untuk luas hutan rakyat yang sangat luas seperti di Desa Cipaku sangat konsisten. Sedangkan untuk wilayah luas hutan rakyat yang rendah, maka terjadi ketidak konsistenan antara kombinasi peubah PC1234 dan kombinasi 2 peubah. Dengan menggunakan rasio antara luas hutan rakyat dengan luas desa maka yang terbesar proporsinya adalah Desa Sukaharja dengan proporsi 33% dari wilayahnya merupakan wilayah hutan rakyat. Selanjutnya Desa Cikupa memiliki proporsi 22%
94
dan terendah adalah Desa Beber dengan proporsi hanya 0,02%. Dibandingkan dengan dugaan berdasarkan kombinasi yang diuji ternyata kombinasi yang menggunakan perubah PC1234 lebih konsisten dalam menduga tipologi tersebut.
4.3. Implikasi dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Tipologi desa hutan rakyat merupakan informasi awal yang dapat digunakan
untuk kegiatan perencanaan jangka panjang.
Perencanaan hutan
memerlukan data dan informasi menyeluruh tentang wilayah yang akan diterapkan suatu kebijakan. Pendekatan tipologi diperlukan bagi pihak yang berkepentingan, yaitu pembuat kebijakan dan petani hutan rakyat. Desa-desa dalam suatu wilayah dapat dikelompokan berdasarkan karakteristik biofisik dan sosial ekonomi. Kondisi tersebut diperlukan dalam menerapkan regulasi berupa peraturan atau kebijakan yang sesuai dengan kondisi wilayah desa tersebut. Dalam ilmu manajemen hutan dikenal istilah preskripsi, yaitu serangkaian kegiatan yang diimplementasikan dalam suatu tegakan mencapai hasil tertentu.
untuk
Menurut Davis & Johnson (1987), terdapat beberapa
elemen yang merupakan dasar untuk menentukan preskripsi,
yaitu: klasifikasi
lahan (land classification), pengaturan jadual kegiatan (activity schedule), dan prediksi pertumbuhan dan hasil (quantitiative growth and yield projection). Ketiga elemen preskripsi di atas diperlukan untuk mengelola dan merencanakan sebuah hutan dengan berbagai cara kuantitiatif. Analisis tipologi dalam kegiatan perencanaan pengelolaan hutan dapat membantu kegiatan klasifikasi lahan di suatu wilayah. Pada penelitian ini, tipologi desa hutan rakyat di Kabupaten Ciamis dibagi 2 tipe desa hutan rakyat, yaitu tipe I merupakan wilayah-wilayah desa dimana penggunaan lahannya tidak didominasi hutan rakyat. Pada tipe I terdapat kondisi-kondisi yang kurang memungkinkan untuk berkembangnya hutan rakyat dari aspek biofisik dan aspek sosial ekonomi. Sedangkan tipe II merupakan wilayah-wilayah desa yang memiliki potensi hutan rakyat yang besar.
Pada tipe II terdapat faktor-faktor biofisik dan sosial
ekonominya mendukung untuk berkembangnya pengelolaaa hutan rakyat di desa yang termasuk tipe ini. Peubah-peubah biofisik dan sosial ekonomi yang dibuat sebagai landasan tipologi dalam penelitian ini mencakup karakteristik fisik seperti :
95
rasio kelerengan, kemampuan lahan, dan rasio non sawah; sedangkan peubah lainnya seperti kepadatan penduduk, rasio umur produktif, rasio rumah permanen, jarak ke hutan, dan kerapatan jalan lebih mencakup karakteristik perkembangan. Pertimbangan lain yang dapat dimasukkan sebagai tambahan untuk membuat klasifikasi lahan adalah karakteristik fisik wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) dan karakteristik vegetasi setempat (Davis & Johnson 2001). Kabupaten Ciamis memiliki satu DAS besar, yaitu DAS Citanduy yang meliputi wilayah Utara dan empat DAS kecil di wilayah Selatan, yaitu DAS Cijulang,
Cikembulan,
Cimedang, dan Ciputra Pinggan. Sebaran spasial DAS di kabupeten Ciamis dapat dilihat pada Gambar 28. Untuk karakteristik vegetasi terdapat sebaran jenis-jenis vegetasi yang merupakan ciri yang terbentuk dari wilayah Utara sampai Selatan. Jenis sengon (Paraserianthes falcataria) mendominasi di seluruh wilayah di Kabupaten Ciamis, sedangkan jenis jati (Tectona grandis) terdapat di wilayah Selatan dan Tengah, beberapa jenis lainnya yang banyak ditemui adalah mahoni, pulai dan manglid. Sebaran jenis vegetasi di hutan rakyat dipengaruhi oleh pasar, sehingga perubahan jenis dapat terjadi mengikuti jenis kayu yang laku dijual di pasar dengan harga tinggi. Karakteristik vegetasi dapat dilihat pada Gambar 27. Hasil
tumpang
tindih
(overlay)
karakteristik
fisik,
karakteristik
perkembangan, dan karakteristik vegetasi akan menghasilkan beberapa tipe tegakan (stand type) yang masing-masing memiliki preskripsi tersendiri. Preskripsi tipe tegakan merupakan penjadualan kegiatan pengelolaan hutan berupa perlakuan budidaya, pemanenan, dan kegiatan lainnya untuk mencapai hasil yang diinginkan. Gabungan beberapa tipe tegakan dengan mempertimbangkan batas administrasi dan DAS akan membentuk unit pengelolaan (management unit) yang memiliki preskripsi tersendiri yang merupakan tambahan dari preskripsi tipe tegakan. Beberapa preskripsi pengelolaan hutan rakyat dapat dibuat, tetapi akhirnya akan tergantung pada tujuan pemilik hutan, jumlah waktu, dana, dan detail analisis yang dicurahkan untuk merencanakan dan mengelola hutan tersebut.
96
IBU KOTA KABUPATEN
JALAN KABUPATEN
IBU KOTA KECAMATAN IBU KOTA KOTIP BATAS PROPINSI
JALAN KERETA API
BATAS KABUPATEN
SUNGAI
JALAN PROPINSI
GARIS PANTAI
BATAS KECAMATAN
Gambar 27 Karakteristik vegetasi hutan rakyat di Kabupaten Ciamis Desa hutan rakyat dengan potensi besar pada tipe II sebaiknya mulai diarahkan kepada pengelolaan hutan yang lebih profesional.
Dalam teori
pengaturan hasil terdapat beberapa pendekatan untuk mencapai kelestarian hasil. Teori yang paling awal untuk wilayah yang belum diketahui secara detail data wilayahnya atau belum teratur tegakannya, dapat digunakan luas hutan yang bersangkutan sebagai dasar pengaturan (Osmaston, 1968). Pembagian areal ke dalam blok dan petak
dilakukan pada pengelolaan hutan pada umumnya.
Berdasarkan pengamatan di lapangan mengenai karakteristik spasial di suatu desa
97
yang telah dibahas pada sub bab sebelumnya, terdapat batas-batas wilayah yang jelas di dalam peta desa yang dapat dijadikan pedoman awal dalam perencanaan dan pengaturan pengelolaan. Batas-batas tersebut berupa blok di dusun dan persil atau blok kepemilikan yang terdata lengkap dalam peta desa.
Gambar 28 Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kabupaten Ciamis Metode pengaturan hasil dapat berkembang secara bertahap ke pengaturan hasil berikutnya yang menggunakan volume atau volume dan riap sebagai dasar keputusan pengaturan hasil.
Penggunaan metode yang akan
diterapkan tergantung kepada kesediaan data yang dimiliki dan kemudahan dalam pengaturannya.
Metode lain yang dapat dikembangkan adalah penggunakan
pendekatan jumlah pohon sebagai dasar pengaturan hasil. Metode tersebut secara praktek lebih mudah dibanding dengan menggunakan volume. Petani selama ini kesulitan dalam menentukan volume tegakan yang akan dijual, sehingga data volume tersebut diperoleh dari pedagang yang akan membeli kayunya. Metode pengaturan hasil berdasarkan jumlah pohon dapat menjadi pilihan pengaturan hasil yang lebih tepat, karena petani akan lebih mudah mengukur jumlah pohon dibanding volumenya. Abidin et al. (1991) menyatakan karakteristik hutan rakyat tersebar dalam luasan yang sempit untuk setiap pemilik sehingga pengelolaan hutan tidak tepat jika dilaksanakan atas dasar kawasan.
Sebagai penggantinya,
98
pengelolaan hutan rakyat lebih sesuai menggunakan pengelolaan pohon per pohon atau yang disebut manajemen pohon. Prinsip kelestarian ini juga terlihat dari mekanisme permudaan hutan.
Dalam melakukan penebangan misalnya, petani
lebih memilih tidak menebang seluruh tegakan yang ada. Hasil tipologi di Kabupaten Ciamis sebagian besar termasuk ke dalam tipe II, yaitu sekitar 70% dari wilayahnya merupakan desa yang berpotensi besar berkembang hutan rakyat. Sebagai fungsi penyedia kayu, keberadaan hutan rakyat adalah untuk menjamin kontinuitas produksi kayu. Hutan tanaman memiliki riap 15 sampai dengan 40 m3/ha/tahun, sementara hutan alam memiliki riap sekitar 1 sampai dengan 7 m3/ha/tahun (Bodegom et al. 2008). Dengan asumsi bahwa hutan rakyat riap tegakan mulai dari 7 sampai 15 m3/ha/thn, maka untuk luasan standar minimal rata-rata 58 ha menghasilkan sekitar 406 sampai 870 m3/thn/desa. Sistem pengaturan hasil dalam satu desa atau gabungan dua sampai tiga desa dimungkinkan untuk dilakukan. Volume tersebut sudah dapat mensuplai bahan baku minimal satu industri primer hasil hutan kayu. Pada tipe I perlu penggabungan beberapa wilayah desa sehingga luasannya dapat membentuk satu unit pengelolaan yang lestari dan menjamin kontinuitas hasil bagi industri. Sedangkan wilayah yang sulit berkembang hutan rakyat dapat diarahkan ke bidang-bidang kegiatan di luar hutan rakyat. Menurut Popkin (1986), untuk mengorganisir tindakan kelompok harus mengenal perbedaan antara individual dan kelompok serta harus menyediakan kepemimpinan efektif serta insentif-insentif yang cukup untuk mengatasi perlawanan/resistensi individual terhadap tindakan kolektif.
Oleh karena itu,
sebaiknya pihak pemerintah daerah dan pemerintah pusat membuat insentif yang dapat diberikan kepada petani pemilik lahan hutan rakyat atau kelompok petani yang tepat. Insentif yang dapat diberikan kepada petani dapat berupa insentif langsung berupa uang dan barang, dan tidak langsung berupa regulasi, kebijakan, dan kemudahan fasilitas dalam mengelola hutan rakyat. Diniyati dan Awang (2010), menganalisis bentuk insentif yang diinginkan oleh petani hutan rakyat. Bentuk insentif yang diinginkan adalah penyuluhan yang tepat dan berlanjut tentang aspek teknis maupun manajemen ekonomi, sosial budaya. Bentuk insentif dapat pula
99
berupa peraturan daerah yang mendukung kemantapan tata guna lahan yang melindungi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat desa. Insentif lainnya adalah regulasi yang dapat memberikan keadilan, yaitu peraturan pemerintah yang lebih berpihak kepada petani misalnya pengaturan perizinan bertata niaga kayu yang berkaitan dengan jenis tanaman.
Selanjutnya Suhendang (2001), menyatakan
beberapa kemungkinan insentif ekonomi yang dapat diterapkan untuk hutan dengan skala kecil, yaitu: jaminan pemasaran, pembebasan pajak bumi dan bangunan serta bentuk pungutan lainnya, dan pembebasan biaya dan penyederhanaan prosedur dalam mendapatkan surat keterangan sah hasil hutan untuk semua jenis hasil yang diperoleh. Pada kasus di Kabupaten Ciamis dari tiga desa yang disurvei, yaitu Desa Cikupa, Desa Sukaraharja, dan Desa Beber, kelompok tani yang terbentuk belum optimal menjalankan fungsinya. Pada kelompok tersebut tidak terdapat jadual rutin pertemuan, berbeda dengan kasus di wilayah lain seperti Gunungkidul.
Hasil
wawancara terhadap para petani menyatakan bahwa sebagian besar keinginan mereka masuk kelompok agar mendapat keuntungan secara langsung seperti bantuan bibit dan bantuan-bantuan lainnya dari pemerintah.
Motivasi petani
berkelompok di desa yang diteliti belum mengarah kepada bentuk perencanaan jangka panjang seperti menggalang kesepakatan bersama dalam mengelola hutan rakyat yang lebih profesional. Hal ini menjadikan bentuk insentif yang diperlukan petani hutan rakyat pada kondisi Kabupaten Ciamis saat ini adalah pendampingan dan penyuluhan yang tepat dan berlanjut tentang aspek teknis maupun manajemen dan ekonomi.
Agar keinginan petani untuk bergabung dalam satu kelompok
semakin terdorong, maka dapat dilakukan regulasi atau peraturan-peraturan yang menguntungkan ketika mereka tergabung dalam satu kelompok. Insentif berupa kemudahan peraturan dan bantuan-bantuan yang diterima dari pemerintah hanya diberikan kepada kelompok petani, tidak langsung diberikan kepada petani secara individu. Dengan demikian diharapkan terdapat keinginan petani untuk terlibat aktif dalam kelompok tani. Dengan bergabung dalam satu kelompok tani, maka diharapkan dapat mengatasi keterbatasan luasan lahan setiap kepemilikan dan posisi tawar yang lemah terhadap pihak luar.
V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan 1. Desa hutan rakyat di Kabupaten Ciamis berdasarkan karakteristik spasialnya mempunyai pola sebaran spasial mengelompok (clumped).
2. Luas hutan rakyat di suatu desa berkorelasi terhadap delapan peubah, dengan nilai koefisien korelasi 0.2 sampai dengan 0.5. Koefisien korelasi yang bernilai positif adalah rasio antara penggunaan lahan bukan sawah, dan kelerengan lahan. Koefisien korelasi bernilai
negatif adalah kepadatan
penduduk, rasio rumah permanen, umur produktif, jarak ke hutan, kemampuan lahan, dan kerapatan jalan.
3. Tipologi desa hutan rakyat yang dibangun menggunakan analisis komponen utama dengan delapan sebesar 64%.
peubah mempunyai akurasi rata-rata umum
Delapan peubah yang digunakan dalam analisis komponen
utama adalah: rasio antara penggunaan lahan bukan sawah kelerengan lahan, kepadatan penduduk, rasio rumah permanen, umur produktif, jarak ke hutan, kemampuan lahan, dan kerapatan jalan.
4. Tipologi desa hutan rakyat menghasilkan dua tipe,
yaitu Tipe I adalah
wilayah yang kurang berpotensi untuk pengembangan hutan rakyat dan Tipe II adalah wilayah yang berpotensi untuk pengembangan hutan rakyat.
5.2 Saran 1.
Untuk
menentukan arah pengembangan pengelolaan hutan rakyat suatu
wilayah perlu mempertimbangkan tipe desa hutan rakyat dan pola sebaran spasial hutannya.
2.
Perlu penelitian lebih lanjut kearah pengembangan kelembagaan dan pengaturan hasil yang lebih spesifik terhadap beragam tipe desa hutan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA Abidin R, Hardjanto, Suhendang E, Hero Y, Sundawati L. 1991. Studi kemungkinan pengembangan konservasi lahan melalui hutan rakyat [Laporan Penelitian]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Arsyad S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor. Bogor Awang SA, Santosa H, Widayanti WT, Nugroho Y, Kustomo, Sapardiono. 2001. Gurat Hutan Rakyat. Yogyakarta: Debut Press. Awang SA, Andayani W, Himmah B, Widayanti WT, Affianto A. 2002. Hutan Rakyat : Sosial Ekonomi dan Pemasaran. Yogyakarta: BPFE. Awang SA, Wiyono EB, Sadiyo S. 2007. Unit manajemen hutan rakyat: proses konstruksi pengetahuan lokal. Banyumili Art Network bekerjasama dengan Pusat Kajian Hutan Rakyat. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM. Aziza AN. 2008 Analisis prioritas pengembangan wilayah berdasarkan potensi pertanian [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bliss JC. 2003. Sustaining family forest in rural landscapes: rationale, chalenges, and an illustration from Oregon, USA. Small-scale Forest Economics, Management and Policy, 2(1): 1-8, 2003. [BPDASPS] Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial. 2010. Rekapitulasi Existing dan Potensi Pengembangan Hutan Rakyat. Jakarta: Kementerian Kehutanan. [BPKH] Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa-Madura, 2009. Potret Hutan Provinsi Jawa Barat. Yogyakarta: Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. [BP4K] Badan Pelaksana Penyuluhan Petanian, Perikanan, dan Kehutanan Kabupaten Ciamis. 2010. Rekapitulasi Data Hutan Rakyat/Agroforestri Kabupaten Ciamis. Ciamis: Badan Pelaksana Penyuluhan Petanian, Perikanan, dan Kehutanan Kabupaten Ciamis Pemerintahan Ciamis. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Ciamis. 2008. Data Potensi Desa Kabupaten Ciamis Tahun 2008. Ciamis: Badan Pusat Statistik dan Badan Perencana Pembangunan Daerah Kabupaten Ciamis. Bodegom AJV, Jolanda VdB, Peter VdM. 2008. Forest plantation for sustainable production in the tropic : key issue for decision makers. Netherlands: Wageningen University & Research Centre.
102
Buongirno J, Gilless JK. 2003. Decision Methods for Forest Resource Management. California: Academic Press. Davis KP, Mason DT. 1966. Forest Management : Regulation and Valuation. Second Edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Davis LS, Johnson KN, Bettinger PS, Howard TE. 2001. Forest Management : To Sustain Ecological, Economic, and Social Values. Fourth Edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2002. Data dan Informasi Kehutanan Propinsi Jawa Barat. Jakarta : Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan Badan Planologi Kehutanan Departemen Kehutanan. Dillon WR, Goldstein M. 1984. Multivariate Analysis , Method and Applications. New York: John Wiley & Sons. Diniyati D, Awang SA. 2010. Kebijakan penentuan bentuk insentif pengembangan hutan rakyat di wilayah Gunung Sawal, Ciamis dengan metode AHP. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan: 7(2) : 120-143. [Dishutbun] Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis. 2005. Rencana Kerja Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis Tahun 2005. Ciamis : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis. [Dishutbun] Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis. 2009. Rencana Kerja Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis Tahun 2009. Ciamis : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis. [Dishutbun] Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis. 2006. Rencana Kerja Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul Tahun 2006. Wonosari : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul. Dwiprabowo H, Basuki S, Purnomo H, Haryono. 2001. Penentuan luas optimal hutan di daerah aliran sungai dengan goal programming dan AHP: suatu pendekatan model. Jurnal Sosial Ekonomi 2(1) : 79-98. Ekawati S, Haryanti N, Subaktini D. 2005. Efektifitas kelompok tani dalam pengelolaan hutan rakyat. Info Sosial Ekonomi 5(2): 197-207. Fauziyah E. 2011. Faktor-faktor dalam pengelolaan hutan rakyat: kasus di Desa Sidamulih Kecamatan Pamarican Kabupaten Ciamis. J Al-Basia, 8: 1-14. Foresta HD, Michon G. 1995. Beberapa aspek ekologi dan ekonomi kebun damar di Daerah Krui Lampung. Bogor: ICRAF.
103
Foresta HD, Kusworo A, Michon G, Djatmiko WA, 2000. Ketika kebun berupa hutan-Agroforest khas Indonesia: sebuah sumbangan masyarakat. Bogor: ICRAF. Forest Stewardship Council. 2009. The SlimF Initiative: A Progress Report Increasing Access To FSC Certification for Small and Low Intensity Managed Forest. http://www.gtz.de/de/dokumente/en-d61-slimfsinitiative-progress-report-access-fsc-certific [19-02-2009] Gane M. 2007. Forest Strategy: Strategic Management and Sustainable Development for the Forest Sector. Netherlands: Springer. Grant WE, Pedersen EK, Marin SL. 1997. Ecology and Natural Resource Management: System Analysis and Simulation. Massachusetts: AddisonWesley. Hair JF, Anderson RE, Tatham RL, Black WC. 1995. Multivariate Data Analysis 4th Edition. New Jersey: Prentice Hall. Hamilton PC, Chandler LR, Brodie AW, Cornelius JP. 1998. A financial analysis of small scale Gmelina arborea Roxb. Improvement Program in Costa Rica. New Forest 16 : 89 – 99. Hardjanto, Suhendang E, Abidin R, Haeruman H. 1987. Studi Sistem Monitoring Hutan Rakyat di Jawa Barat [Laporan Penelitian]. Bogor: Lembaga Penelitian IPB. Hardjanto, 2003. Keragaan dan pengembangan usaha kayu rakyat di Pulau Jawa [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. . Harrison S, Herbohn J, Niskanen A. 2002. Non industrial, smallholder, smallscale and family forestry: what’s in a name? Small-scale Forest Economic, Management and Policy 1(1): 1-11. Haryanti N, Tyas MB, Dewi RI. 2003. Karakteristik Petani Lahan Kering. Prosiding Hasil Litbang Rehabilitasi Lahan Kritis; Banjarnegara, 6 Des 2003. Banjarnegara. Hasanu S. 2010. Dinamika Hutan Rakyat di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hazeu G, et al. 2010. A biopysical typology in agri-enviromental modelling. Biomedical and Life Sciences 2:159-187 [terhubung berkala]. http://www.springerlink.com/ [15 Des 2011]. Helms JA. 1998. The Dictionary of Forest. Wallingford: The SAF and CABI Publishing.
104
Hinrichs A, Muhtaman DR, Irianto N. 2008. Sertifikasi Hutan Rakyat di Indonesia. Jakarta: Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammernarbeit (GTZ) Jariyah NA, Wahyuningrum. 2008. Karakteristi hutan rakyat di Jawa. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 5:43- 56. Jaya INS. 2003. Analisis Perubahan Tutupan Lahan Berdasarkan Citra Satelit SPOT 5 di Wilayah Kabupaten Bogor [laporan penelitian]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Jaya INS. 2006. Teknik-Teknik Permodelan Spasial Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Johnson RA, Winchern DW. 1998. Applied Multivariate Statistical Analysis 4th Edition. London : Prentice-Hall. Kartasubrata Y. 1986. Partisipasi rakyat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan di Jawa. Bogor: Fakultas kehutanan Pascasarjana IPB. Kendra A, Hull RB. 2005. Motivation and Behavior of New Forest Owners in Virginia. Forest Science 51(2). Klingberg T. 2003. Certification of forestry : a small-scale forester perspective. small-scale forest economics, management and policy, 2(3):409-421. Kuncahyo B. 2006. Model Simulasi Pengaturan Hasil Lestari yang Berbasis kebutuhan Masyarakat Desa Hutan [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kusumedi P, Jariyah NA. 2010. Analisis finansial pengelolaan agroforestri dengan pola sengon kapulaga di Desa Tritip, Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 7:93-100. Lastini T. 2005. Metode Survei Kayu Rakyat Berdasarkan Beberapa Karakteristiknya : Studi Kasus di Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. LEI.
2006. Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis http://www.lei.or.id/indonesia/news_detail. [ 20-06-2007]
Masyarakat.
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and Computing. Newy York: A Wiley Interscience Publication. Meyer HA, Recknagel AB , Stevenson DD, Bartoo RA. 1961. Forest Management. Second Edition. New York: The Ronald Press Company.
105
Michon G. 1983. Village-Forest Garden in West Java. Kenya: Internasional Council for Research in Agroforestry. Mindawati N, Widiarti A, Rustaman B. 2006. Review Hasil Penelitian : Hutan Rakyat. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Mindawati N. 2006. Tinjauan Tentang Pola Tanam Hutan Rakyat. Gelar Teknologi Bersama, Kerjasama Universitas Jember dengan Pusat Litbang Hutan Tanaman. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Niskanen A, Vayrynen J. 2001. Economic Sustainability of Small-Scale Forestry. EFI Proceedings No. 36. European Forest Institut. Nurfatriani F, Puspitojati T. 2002. Manfaat ekonomis sistem pengelolaan hutan rakyat di Pulau Jawa. Jurnal Sosial Ekonomi Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutananan 3:35-45. Okky PS, Sabarnudin MS, Suryanto P. 2005. Variasi dan karakteristik model agroforestri (studi kasus di Desa Nglanggeram Kecamatan Patuk Kabupaten Gunungkidul). Jurnal Hutan Rakyat 7(1): 27-46. Osmaston FC. 1968. The Management of Forest. London: George Allen and UNWIN LTD. Pickett. 2005. The American Heritages Science Dictionarye. Boston : Houghton Mifflin Company. Popkin SL. 1986. Petani Rasional. Jakarta: Yayasan Padamu Negeri. Purnomo H. 2003. A modeling approach to collaborative forest management. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Purnomo H, Yasmi Y, Prabhu R, Yuliani L, Priyadi H, Vanclay JK. 2003. Multi-agent simulation of alternative scenarios of collaborative forest management. Small-scale Forest Economics, Management and Policy 2(2): 277-292. Purwanto S, Cahyono A, Indrawati DR, Wardoyo. 2004. Model-model Pengelolaan Hutan Rakyat (Private Forestry Models). Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta. 3 Agustus 2004. Kebumen. hlm 3-23 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Indonesia edisi keempat. Jakarta: Balai Pustaka.
Kamus Besar Bahasa
106
Rahmalia E. 2003. Analisis tipologi dan pengembangan desa-desa pesisir kota Bandar Lampung [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sajogya S. 1979. Menuju Kecukupan Pangan. Satu Kerangka Kebijakan Aksi atas Pembinaan dalam Pembangunan Masyarakat Desa, Bagian II. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Santoso S. 2010. Statistik Multivariat, Konsep dan aplikasi dengan SPSS. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kompas Gramedia. Scott JC. 1976. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsisten di Asia Tenggara. Basari H, penerjemah; Rasuanto B, editor; 1981. Terjemahkan dari: The Moral Economy of The Peasant Rebellion and Subsistence in Southheast Asia. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Soares C, Stevenson A, editors. 2009. Crucise Oxford English Dictionary. Eleventh Edition, Revised. Oxford: Oxford University Press. Subaktini D, Cahyono SA, Haryanti N, Setyaji T. 2002. Kajian Aspek Sosial, Budaya, dan Ekonomi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kabupaten Wonogiri. Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta. Suharjito D. 2000. Hutan rakyat: kreasi budaya bangsa. Di dalam: Suharjito D, editor. Hutan Rakyat di Jawa: Perannya dalam Perekonomian Desa. Bogor: Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. hlm 1-6. Suhendang E. 1999. Pembentukan Hutan Normal Tidak Seumur Sebagai Strategi Pembenahan Hutan Alam Produksi Menuju Pengelolaan Hutan Lestari di Indonesia : Sebuah Analisis Konsepsional dalam Ilmu Manajemen Hutan. [Orasi Ilmiah]. Bogor: Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan IPB. Suhendang E. 2001. Strategi Pembentukan dan Pengelolaan Kesatuan Pengelolaan Hutan. Diskusi Nasional: Kesatuan Pengelolaan Hutan Terkecil. Bogor, 15 Nop 2001. Bogor. Suhendang E. 2004. Kemelut dalam Pengurusan Hutan; Sejarah Panjang Kesenjangan antara Konsepsi Pemikian & Kenyataan. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Suhendang E. 2005. Arah dan Skenario Pengembangan Pemantapan Kawasan Hutan. Kerjasama Fakultas Kehutanan IPB Dengan Departemen Kehutanan. Jakarta. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
107
Suhendang E, Jaya INS, Hadjib A. 2005. Ilmu Perencanaan Hutan. Bogor: Bagian Perencanaan Hutan Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Sutarto. 1984. Dasar-Dasar Organisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Vanclay JK. 2003. Why model landscapes at the level of households and fields? Small-scale Forest Economics, Management and Policy 2(2): 121-134. Varma, VK, Ferguson I, Wild I. 1999. Decision support system for the sustainable forest management. Forest Ecology and Management 128 (2000): 49-55. http://www.elsevier.com/locate/foreco. [12-07-2007]. Waite S. 2000. Statistical Ecology in Practice: A Guide to analysing enviromental and ecologicalfield data. London: Pearson Education Limited Edinburgh Gate. Widayanti WT. 2004. Implementasi metode pengaturan hasil hutan pada pengelolaan hutan rakyat (Studi di desa Kedungkeris, kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul). Jurnal Hutan Rakyat 6(2):27-46. Widiarti A. 2006. Strategi pengembangan hutan rakyat. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan; Palembang, 20 Sept 2006. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan. hlm 186-193. Wilkinson RJ. 1959. English Dictionary. London : Macmillan & Co. Wulan YC, Yasmi Y, Purba C, Wollenberg E. 2004. Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997- 2003. Bogor: Center for Internasional Forestry Research.
LAMPIRAN
108
Lampiran 1. Luas hutan rakyat di Kabupaten Ciamis NO
DESA
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
Purwasari Sindangasih Sukasari Cibadak Banjarsari Sindangsari Sindangrasa Sindanghayu Cigayam Kalijaya Ciherang Cikaso Ratawangi Ciulu Karyamukti Pasawahan Kawasen Cikupa Cicapar Langkapsari Banjaranyar Pusakanegara Petirhilir Sukamaju Jelat Baregbeg Karangampel Saguling Mekarjaya Sukamulya Imbanagara Raya Imbanagara Maleber Panyingkiran Linggasari Kertasari Sindangrasa Ciamis Cigembor Pawindah Benteng
KECAMATAN
Banjarsari Banjarsari Banjarsari Banjarsari Banjarsari Banjarsari Banjarsari Banjarsari Banjarsari Banjarsari Banjarsari Banjarsari Banjarsari Banjarsari Banjarsari Banjarsari Banjarsari Banjarsari Banjarsari Banjarsari Banjarsari Baregbeg Baregbeg Baregbeg Baregbeg Baregbeg Baregbeg Baregbeg Baregbeg Baregbeg Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis
LUAS DESA (ha)
LUAS HR (ha)
RASIO (%)
237 692.5 224.3 301.9 149.2 271 441.8 267.2 774.6 502.4 434 358.8 400.5 392.8 904 929.9 754 1322 420.8 1099.1 1127.3 237.4 306 308 797.9 285.7 531.7 374.4 2784 1119.3 190.53 219.35 219.81 229.81 250.28 256.45 298.02 347.52 375.78 205.59 298.12
5.4 6.9 17.2 17.7 18.6 18.6 43.6 85 110 119 150.2 170.5 208.6 229.7 234 237 267.8 287 313.6 370.8 607.5 14 20 28 31 51 51 53 71 112 0 0 0 0 0 0 0 0 0 15 30
2.28 1.00 7.67 5.86 12.47 6.86 9.87 31.81 14.20 23.69 34.61 47.52 52.08 58.48 25.88 25.49 35.52 21.71 74.52 33.74 53.89 5.90 6.54 9.09 3.89 17.85 9.59 14.16 2.55 10.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.30 10.06
109
Lampiran 1 (Lanjutan) NO
DESA
KECAMATAN
42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82
Cisadap Hegarmanah Cidolog janggala Ciparay Jelegong Bunisari Pagerbumi Kertajaya Cigugur Campaka Cimindi sukamulya Sukahaji Cijulang Sukasetia Sumberjaya Pasirtaming Sukahurip Padamulya Sukamaju Pamokolan Cihaurbeuti Karangannyar Utama Dewasari Kertabumi Cijeungjing Kertaharja Ciharalang Pamalayan Handapherang Bojongmengger Karangkamulyan Margaluyu Cikoneng Kujang Cimari Darmacaang Sindangsari Gegempalan
Ciamis Cidolog Cidolog Cidolog Cidolog Cidolog Cigugur Cigugur Cigugur Cigugur Cigugur Cigugur Cihaurbeuti Cihaurbeuti Cihaurbeuti Cihaurbeuti Cihaurbeuti Cihaurbeuti Cihaurbeuti Cihaurbeuti Cihaurbeuti Cihaurbeuti Cihaurbeuti Cijeungjing Cijeungjing Cijeungjing Cijeungjing Cijeungjing Cijeungjing Cijeungjing Cijeungjing Cijeungjing Cijeungjing Cijeungjing Cikoneng Cikoneng Cikoneng Cikoneng Cikoneng Cikoneng Cikoneng
LUAS DESA (ha)
LUAS HR (ha)
RASIO (%)
385.39 322.194 1079.52 966.23 470.867 1336.154 1232.6 934.6 2456.788 1715.2 1290.5 172.51 184.05 195.58 250.4 290 429 350 365 363.7 427 383.94 389.03 724.12 122.5 249.99 551.71 89 719.64 124 473.67 366 653.55 742.25 137.91 279 259.94 302.3 432.47 492.75 331.69
50 256 334 348 354 367.5 0 40 99 107 131 164 0 0 0 10 20 30 30 35 50 55 85 17 20.2 29.7 30 35.8 42 93.5 139 166 174 221.1 0 0 9 18 50
12.97 79.46 30.94 36.02 75.18 27.50 0.00 4.28 4.03 6.24 10.15 95.07 0.00 0.00 0.00 3.45 4.66 8.57 8.22 9.62 11.71 14.33 21.85 2.35 16.49 11.88 5.44 40.22 5.84 75.40 29.35 45.36 26.62 29.79 0.00 0.00 3.46 5.95 11.56 15.22 25.63
75
85
110
Lampiran 1 (Lanjutan) NO
DESA
83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123
Nasol Panagaran Cimaragas Beber Raksabaya Bojongmalang Legokjawa Ciparanti Kertamukti Cimerak Masawah Sukajaya Batumalang Mekarsari Sindangsari Limusgede Kertaharja Cipaku Jalatrang Sukawening Buniseuri Cieurih Pusakasari Gereba Selamanik Ciakar Selacai Bangbayang Mekarsari Muktisari Cisaga Wangunjaya Sidamulya Mekarmukti Kepel Sukahurip Danasari Tanjungjaya Bangunharja Kondangjajar Cijulang
KECAMATAN
Cikoneng Cikoneng Cimaragas Cimaragas Cimaragas Cimaragas Cimerak Cimerak Cimerak Cimerak Cimerak Cimerak Cimerak Cimerak Cimerak Cimerak Cimerak Cipaku Cipaku Cipaku Cipaku Cipaku Cipaku Cipaku Cipaku Cipaku Cipaku Cipaku Cipaku Cipaku Cisaga Cisaga Cisaga Cisaga Cisaga Cisaga Cisaga Cisaga Cisaga Cujulang Cujulang
LUAS DESA (ha)
LUAS HR (ha)
RASIO (%)
706.6 348.1 1657.673 988 532 517 1272.59 794.69 273.3 1521.28 1847.9 177.34 1251.05 2010.05 2577 1090.126 2057.64 575.69 630.37 514.1 422.22 429.7 354.34 219.66 689.74 305.01 530.66 438.22 606.47 928.23 53.01 670.54 668.43 521.63 111.31 812.25 605.44 672.71 887.43 624.5 1107.314
95 97
13.44 27.87 0.39 1.52 3.76 18.67 0.79 4.40 16.47 3.29 2.98 33.83 5.20 3.48 3.10 7.80 4.86 2.17 3.57 5.15 6.39 6.28 8.47 13.89 4.42 10.33 6.12 7.76 5.85 4.15 84.89 6.71 8.23 13.42 79.06 11.08 15.69 14.87 12.40 5.48 5.33
6.54 15 20 96.5
10 35 45 50 55 60 65
70 80 85 100 12.5 22.5 26.5 27 27 30 30.5 30.5 31.5 32.5 34 35.5 38.5 45 45 55 70 88 90 95 100 110 34.2 59
111
Lampiran 1 (Lanjutan) NO
DESA
124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164
Ciabanten Ciakar Kertayasa Margacinta Batukaras Cintanagara Mulyasari Bayasari Dayeuhluhur Jatinagara Sukanagara
KECAMATAN
Cujulang Cujulang Cujulang Cujulang Cujulang Jatinagara Jatinagara Jatinagara Jatinagara Jatinagara Jatinagara
Cibuluh
Kalipucang
Bagolo
Kalipucang
Pamotan
Kalipucang
Putrapinggan
Kalipucang
Kalipucang
Kalipucang
Banjarharja
Kalipucang
Emplak
Kalipucang
Ciparakan
Kalipucang
Margamulya talagasari Kawalimukti Karangpawitan Selasari Citeureup Winduraja Kawali Sindangsari Purwasari Tambakreja Baregbeg Cintaratu Kertajaya Sukanagara Cintajaya Kalapa Sawit Puloerang Sindangangin Sidaharja jayasari Langkaplancar
Kawali Kawali Kawali Kawali Kawali Kawali Kawali Kawali Kawali Kawali Lakbok Lakbok Lakbok Lakbok Lakbok Lakbok Lakbok Lakbok Lakbok Lakbok Langkaplancar Langkaplancar
LUAS DESA (ha)
LUAS HR (ha)
RASIO (%)
151.77 128.88 1098.542 688.75 1333.258 922 310.45 922 744.2 451 493.32 344.03 866.97 362.75 642.1 552.35 760.1 1016.73 910.15 137.2 397.6 167.2 279 181 498.25 302 184.7 314.5 645 290 350 398 455 503 510 609 710 583 777 557.6 911
71 92 157.2 170 225.8 85 90 93 117 121 300.32
46.78 71.38 14.31 24.68 16.94 9.22 28.99 10.09 15.72 26.83 60.88 18.66 9.23 30.05 23.36 27.55 24.87 18.84 27.80 0.00 3.02 7.35 4.66 11.05 4.32 8.28 17.33 11.13 19.95 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.86 3.41 49.32 32.93
64.2
80 109
150 152.2 189
191.6 253
0 12 12.29 13 20 21.5 25 32 35 128.7 0
0 0 0 0
0 0 0 22.5
26.5 275 300
112
Lampiran 1 (Lanjutan) NO
DESA
165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205
Pangkalan Bojong Jadimulya Bojongkondang Bangunjaya Jadikarya Karangkamiri
KECAMATAN
Langkaplancar Langkaplancar Langkaplancar Langkaplancar Langkaplancar Langkaplancar Langkaplancar
Bangunkarya
Langkaplancar
Cimanggu Awiluar Sukaraharja Cikupa Darmaraja Lumbungsari Lumbung Sadewata Rawa Kertajaya Sukamaju Jangraga sindangjaya Mangunjaya Paledah Marujungsari Karangpawitan Sukanagara Cibogo Pasirgeulis Sindangwangi Ciganjeng Bojongsari Karangsari Padaherang Kedungwuluh Karangmulya Panyutran Sidaharja Sukamukti Sukajadi Kertahayu Sukahurip
Langkaplancar Lumbung Lumbung Lumbung Lumbung Lumbung Lumbung Lumbung Lumbung Mangunjaya Mangunjaya Mangunjaya Mangunjaya Mangunjaya Padaherang Padaherang Padaherang Padaherang Padaherang Padaherang Padaherang Padaherang Padaherang Padaherang Padaherang Padaherang Padaherang Padaherang Pamarican Pamarican Pamarican Pamarican Pamarican
LUAS DESA (ha)
LUAS HR (ha)
RASIO (%)
1012.06 1379.24 1013 1191.95 1034.72 1812.3 1484.07 1421.5 1906.8 227 165.8 265.1 272 483 324.9 538 538 552.4 592.41 643 710.68 666.97 676 431.43 691.68 1016 319.7 451.23 615.68 749.74 999.3 869 638.42 935.59 540.84 2535.33 327.7 325.9 479 1242.4 442.1
300 300 350 350 370 450 523
29.64 21.75 34.55 29.36 35.76 24.83 35.24 39.40 32.78 19.82 33.17 26.41 42.46 26.96 44.41 26.95 42.38 0.00 0.00 3.11 3.52 7.20 0.30 0.70 1.45 1.08 3.75 12.41 9.10 8.67 7.51 13.69 20.99 18.49 34.58 9.15 1.53 3.07 4.59 2.90 28.73
560
625 45 55 70 115.5 130.2 144.29 145 228 0 0 20 25 48 2 3 10 11 12 56 56 65 75 119 134 173 187 232 5 10 22 36 127
113
Lampiran 1 (Lanjutan) NO
DESA
206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246
bangunsari Pamarican Sukajaya Pasirnagara Bantarsari
Neglasari Margajaya Sidamulih Gardujaya Nagarajaya Karangpaningal Indragiri Cinyasag Sadapaingan Jagabaya Nagarajati Panawangan Sagalaherang Nagarapageuh Kertayasa Pangandaran Pananjung wonoharjo Babakan Purbahayu Sukahurip Pagergunung Sidomulyo Bahara Mandalare Maparah Hujungtiwu Kertamandala Sandingtaman Ciomas Panjalu Kertaraharja Tanjungmulya Sindangmukti Sindangherang Payungsari
KECAMATAN
Pamarican Pamarican Pamarican Pamarican Pamarican Pamarican Pamarican Pamarican Panawangan Panawangan Panawangan Panawangan Panawangan Panawangan Panawangan Panawangan Panawangan Panawangan Panawangan Panawangan Pangandaran Pangandaran Pangandaran Pangandaran Pangandaran Pangandaran Pangandaran Pangandaran Panjalu Panjalu
Panjalu Panjalu Panjalu Panjalu Panjalu Panjalu Panumbangan Panumbangan Panumbangan Panumbangan Panumbangan
LUAS DESA (ha)
LUAS HR (ha)
RASIO (%)
980.7 897.388 659.4 787.3 584.6 1145.6 2113.483 1291.113 328.9 534.8 531.1 597.3 479.7 643.69 438.1 524.6 588.3 714.3 539.4 1087.46 138 471.13 542.6 604 714 754 2081.503 1007.241 353.3 350.68 1014.53 717.25 432.8 629.9 701.76 862.12 107.45 300 171.3 356.4 411.36
137
13.97 15.94 27.15 23.12 34.04 19.29 23.18 69.17 12.77 9.16 11.67 11.05 14.38 12.27 18.49 18.30 21.25 21.56 28.92 27.96 0.00 0.00 0.00 6.62 22.41 87.53 33.63 73.67 4.32 7.48 2.79 10.49 38.35 63.82 66.55 55.91 0.00 0.00 23.35 14.03 12.15
143 179 182 199 221 490 893
42 49 62 66 69 79 81 96 125 154 156 304 0 0 0 40 160 660 700 742 15.26 26.23 28.27 75.26 166 402 467 482 0 0 40 50 50
114
Lampiran 1 (Lanjutan) NO
DESA
KECAMATAN
LUAS DESA (ha)
LUAS HR (ha)
RASIO (%)
247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280 281 282 283 284 285 286 287
Banjarangsana Panumbangan Golat Medanglayang Sukakerta
Panumbangan Panumbangan Panumbangan Panumbangan Panumbangan
55 60 85 85 90
Sindangbarang
Panumbangan
Jayagiri Payungagung Parigi Karangjaladri Cibenda Karangbenda Bojong Cintakarya Ciliang Cintaratu Selasari Parakanmanggu Purwadadi Bantardawa Pasirlawang Purwajaya Padaringan Karangpaningal Sukamulya Kutawaringin Sidarahayu Sirnajaya Tigaherang Sukaharja Andapraja Tanjungsari Sukajaya Sirnabaya Tanjungsukur Purwaraja Tanjungjaya Rajadesa Janggalaharja Rancah Giriharja
Panumbangan Panumbangan Parigi Parigi Parigi Parigi Parigi Parigi Parigi Parigi Parigi Parigi Purwadadi Purwadadi Purwadadi Purwadadi Purwadadi Purwadadi Purwadadi Purwadadi Purwadadi Rajadesa Rajadesa Rajadesa Rajadesa Rajadesa Rajadesa Rajadesa Rajadesa Rajadesa Rajadesa Rajadesa Rancah Rancah Rancah
485.9 224.5 331.4 415.4 236.9 436.5 349.7 782.94 332.73 35.49 759.32 692.34 1009 1183.76 941.33 1029 229.2 802.644 267.33 324 399 537 546.13 648 676 1177.908 596.9 330.7 661.8 559.4 576.5 980.8 544.7 267 597 379.5 618 207.6 181.5 494.6 720.772
11.32 26.73 25.65 20.46 37.99 32.07 41.46 26.18 1.50 84.53 4.61 11.56 7.93 7.77 11.15 10.20 54.54 16.69 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.85 4.69 0.00 0.00 3.22 4.34 2.65 5.51 13.11 5.86 10.54 6.47 22.64 36.09 14.36 16.79
140
145 205 5 30 35 80 80 92 105 105 125 134 0 0 0 0 0 0 0 10 28 0 0
18 25 26
30 35 35
40 40 47 65.5 71 121
115
Lampiran 1 (Lanjutan) NO
DESA
288 289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 299 300 301 302 303 304 305 306 307 308 309 310 311 312 313 314 315 316 317 318 319 320 321 322 323 324 325 326 327 328
Karangpari Cisontrol Situmandala Dadiharja Kiarapayung Bojonggedang Kawunglarang Cileungsir Mangkubumi Sukajadi Mekarjadi Bendasari Sadananya Gunungsari Werasari Tanjungsari Cikembulan Pajaten Sukaresik Kalijati Sidamulih Ckalong Kersaratu Sindangkasih Budiasih Gunungcupu Wanasigra Sukasenang Sukaraja Sukaresik Sukamanah Budiharja Margaharja Bunter Salakaria Sukadana Ciparigi Margajaya Mekarwangi Sindanglaya Sukamantri
KECAMATAN
LUAS DESA (ha)
LUAS HR (ha)
RASIO (%)
Rancah Rancah Rancah Rancah Rancah Rancah Rancah Rancah Sadananya Sadananya Sadananya Sadananya Sadananya Sadananya Sadananya Sadananya Sidamulih Sidamulih Sidamulih Sidamulih Sidamulih Sidamulih Sidamulih Sindangkasih Sindangkasih Sindangkasih Sindangkasih Sindangkasih Sindangkasih Sindangkasih Sindangkasih Sindangkasih Sukadana Sukadana Sukadana Sukadana Sukadana Sukadana Sukamantri Sukamantri Sukamantri
572 975.6 665.9 300.752 736.9 910.6 1099.8 1050.6 160.72 296.15 221.92 282.3 370.27 326.7 563.29 330.9 258 571.53 911.06 269.38 1257.4 948.78 1298 191.24 346.37 364.51 182.79 308.1 160.3 226.9 336.5 269.69 1050 1833.6 660.3 767 843.36 660.7 755.3 710.68 469.86
128
22.38 14.15 22.68 65.50 29.45 24.60 20.37 33.27 0.00 0.00 12.17 46.05 42.40 63.05 41.90 89.76 1.94 1.22 4.39 18.56 4.22 9.49 45.15 0.00 0.00 0.00 5.47 4.87 12.48 15.43 14.86 25.96 4.29 3.54 10.90 13.04 11.86 16.65 9.53 10.55 24.90
138 151 197 217 224 224 349.5
0 0 27 130 157 206 236 297 5 7 40 50 53 90 586 0 0 0 10 15 20 35 50 70 45 65 72 100 100 110 72 75 117
116
Lampiran 1 (Lanjutan) NO
DESA
329 330 331 332 333 334 335 336
Tanggerraharja Cibeureum karangpaningal Kadupandak Tambaksari Mekarsari Sukasari kaso
KECAMATAN
Sukamantri Sukamantri Tambaksari Tambaksari Tambaksari Tambaksari Tambaksari Tambaksari Rata2
LUAS DESA (ha)
LUAS HR (ha)
RASIO (%)
949.35 1448.69 984.5 1154.3 1047.9 684 860.16 1521.31 644.616
137 160
14.43 11.04 9.40 18.41 24.00 37.13 33.25 22.97 17.599
92.5 212.5 251.5 254 286 349.5
107.244
116
Lampiran 2. Luas hutan rakyat di Kabupaten Gunungkidul NO
DESA
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
Gari Karang Tengah Piyaman Kepek Wonosari Selang Siraman Pulutan Baleharjo Wareng Karang Rejek Duwet Wunung Mulo Sumber Wungu Sidoharjo Giripanggung Tepus Purwodadi Hargosari Kemadang Banjarejo Ngestirejo Kemiri Candi Rejo Rejosari Sumberrejo Bendung Kalitekuk Bulurejo Kemejing Karang Sari Pundung Sari Semin Semanu Ngeposari Pacarejo Dadapayu Candirejo Jetis Monggol Kepek Nglora Krambil Sawit Planjan Kanigoro Pucanganom Karangwuni Semugih
KECAMATAN
Wonosari Wonosari Wonosari Wonosari Wonosari Wonosari Wonosari Wonosari Wonosari Wonosari Wonosari Wonosari Wonosari Wonosari Tepus Tepus Tepus Tepus Tepus Tanjungsari Tanjungsari Tanjungsari Tanjungsari Tanjungsari Semin Semin Semin Semin Semin Semin Semin Semin Semin Semin Semanu Semanu Semanu Semanu Semanu Sapto Sari Sapto Sari Sapto Sari Sapto Sari Sapto Sari Sapto Sari Sapto Sari Rongkop Rongkop Rongkop
LUAS DESA (ha)
LUAS HR (ha)
RASI0 (%)
645.721 569.953 464.881 471.234 371.490 328.566 495.676 290.340 533.828 672.634 447.234 376.655 960.944 951.036 1402.208 1878.577 1500.398 2507.942 3034.697 1415.035 1681.935 1934.032 1507.257 2201.437 1483.140 1008.997 741.415 645.063 649.006 455.015 445.386 968.380 552.808 658.588 2045.557 1204.493 2330.006 2543.557 2393.975 859.905 776.264 854.198 947.375 1441.572 1316.295 2408.301 1866.079 1844.712 930.661
42 110 26 14 118 106
6.504 19.300 5.593 2.971 31.764 32.261 0.000 2.755 11.240 4.460 1.789 2.124 23.519 6.309 9.342 20.920 11.664 27.114 16.872 13.569 33.890 24.819 19.506 14.173 20.093 33.102 5.395 7.751 12.635 8.791 4.041 16.522 30.029 25.813 6.160 21.420 15.365 17.928 17.628 39.307 41.223 22.711 32.300 24.695 22.335 11.045 15.541 15.395 24.284
8 60 30 8 8 226 60 131 393 175 680 512 192 570 480 294 312 298 334 40 50 82 40 18 160 166 170 126 258 358 456 422 338 320 194 306 356 294 266 290 284 226
117
Lampiran 2 Lanjutan NO
50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98
DESA
KECAMATAN
Petir Botodayakan Pringombo Melikan Bohol Giritirto Girijati Giriasih Giripurwo Giricahyo Umbul Rejo Sawahan Tambakromo Genjahan Sumber Giri Kenteng Sidorejo Ponjong Karang Asem Bedoyo Gombang Ngleri Gading Banaran Getas Logandeng Bandung Ngawu Ngunut Dengok Playen Bleberan Plembutan Banyusoco Terbah Ngoro Oro Patuk Nglegi Nglanggeran Salam Semoyo Putat Pengkok Beji Bunder Girisuko Giriharjo Giriwungu Girimulyo
Rongkop Rongkop Rongkop Rongkop Rongkop Purwosari Purwosari Purwosari Purwosari Purwosari Ponjong Ponjong Ponjong Ponjong Ponjong Ponjong Ponjong Ponjong Ponjong Ponjong Ponjong Playen Playen Playen Playen Playen Playen Playen Playen Playen Playen Playen Playen Playen Patuk Patuk Patuk Patuk Patuk Patuk Patuk Patuk Patuk Patuk Patuk Panggang Panggang Panggang Panggang
LUAS DESA (ha)
LUAS HR (ha)
RASI0 (%)
1409.393 1935.202 757.453 906.102 461.719 922.564 1275.595 613.367 2637.730 1790.172 900.349 755.628 1224.507 629.830 566.979 888.469 1355.844 627.975 892.836 634.320 648.971 968.957 1495.984 611.088 1159.030 680.100 301.178 279.605 219.974 304.134 403.648 1523.692 741.981 952.487 660.456 878.357 498.624 639.998 785.765 388.156 851.607 455.553 304.085 421.371 541.137 3279.944 957.679 1075.553 1268.341
130 407 310 381 205.5 354 260 282 387 454 120 150 156
9.224 21.031 40.927 42.048 44.508 38.371 20.383 45.976 14.672 25.361 13.328 19.851 12.740 0.000 40.919 14.632 9.293 36.307 13.440 23.963 31.126 17.132 12.834 31.583 9.491 5.587 27.226 41.487 27.276 22.359 13.873 7.613 11.591 28.767 12.113 13.776 3.810 41.563 11.963 0.000 0.000 34.025 35.188 26.105 17.001 12.531 42.655 61.559 40.683
232 130 126 228 120 152 202 166 192 193 110 38 82 116 60 68 56 116 86 274 80 121 19 266 94
155 107 110 92 411 408.5 662.1 516
118
Lampiran 2 Lanjutan NO
99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144
DESA
KECAMATAN
LUAS DESA (ha)
LUAS HR (ha)
RASI0 (%)
Girisekar Panggang 1336.652 592 Girikarto Panggang 974.163 456 Grogol Paliyan 1027.941 62 Pampang Paliyan 647.461 42 Karang Duwet Paliyan 1585.652 108 Karang Asem Paliyan 1065.809 144 Mulusan Paliyan 749.322 58 Sodo Paliyan 441.465 46 Giring Paliyan 1005.627 184 Pilang Rejo Nglipar 508.678 122 Natah Nglipar 410.367 127 Kedungpoh Nglipar 912.513 150 Katongan Nglipar 838.041 193 Pengkol Nglipar 714.221 90 Nglipar Nglipar 1144.377 176 Kedung Keris Nglipar 885.719 197 Sambirejo Ngawen 1622.190 66 Tancep Ngawen 605.578 63 Jurang Jero Ngawen 707.709 98 Kampung Ngawen 804.221 146 Beji Ngawen 449.499 235.9 Watu Sigar Ngawen 460.583 132.4 Jati Ayu Karangmojo 1501.480 40 Ngawis Karangmojo 986.884 46 Bejiharjo Karangmojo 1505.190 62 Gedang Rejo Karangmojo 1022.390 52 Wiladeg Karangmojo 753.997 26 Karangmojo Karangmojo 1026.959 40 Bendungan Karangmojo 680.842 14 Ngipak Karangmojo 428.931 14 Kelor Karangmojo 410.129 8 Nglindur Girisubo 482.245 217 Jeruk Wudel Girisubo 474.920 195.5 Jepitu Girisubo 1391.684 222 Pucung Girisubo 1484.508 302 Songbanyu Girisubo 2218.618 535 Karangawen Girisubo 488.224 316 Balong Girisubo 595.260 371 Tileng Girisubo 1561.118 447 Serut Gedang Sari 1119.650 195.5 Tegalrejo Gedang Sari 1848.912 234 Watu Gajah Gedang Sari 758.214 345.8 Sampang Gedang Sari 765.687 100.2 Mertelu Gedang Sari 879.043 228.4 Hargo Mulyo Gedang Sari 967.018 438.8 Ngalang Gedang Sari 1145.187 759.9 Rata-Rata 1013.145 203.504 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul Tahun 2008
44.290 46.809 6.031 6.487 6.811 13.511 7.740 10.420 18.297 23.984 30.948 16.438 23.030 12.601 15.380 22.242 4.069 10.403 13.847 18.154 52.481 28.746 2.664 4.661 4.119 5.086 3.448 3.895 2.056 3.264 1.951 44.998 41.165 15.952 20.343 24.114 64.724 62.326 28.633 17.461 12.656 45.607 13.086 25.983 45.377 66.356 20.517
119
Lampiran 3. Luas kawasan hutan KPH Ciamis Perum Perhutani Unit III NO BKPH 1. CIAMIS
LUAS (Ha) 5,675.98
2.
BANJAR UTARA
3,170.69
3.
BANJAR SELATAN
5,624.76
4.
CIJULANG
9,513.91
5.
PANGANDARAN
6,862.88
Jumlah Total : Rata2
12,538.86 2507.772
NO 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 1. 2. 3.
RPH MADATI PANJALU KAWALI CIKONENG RANCAH BUNTER GADUNG BANJAR PAMARICAN BANJARSARI CICAPAR LANGKAPLANCAR CIGUGUR PARIGI CISALADAH PANGANDARAN KALIPUCANG Jumlah Total : Rata2
Catatan : LUAS TIDAK TERMASUK : Areal Konservasi
LUAS (ha) 1,660.96 1,687.47 1,205.49 1,122.06 795.74 854.79 1,520.16 594.06 726.18 2,304.99 1,999.52 2,522.24 3,765.66 3,226.01 2,622.05 2,635.14 1,605.70 12,538.86 737.58
120
Lampiran 4. Contoh data luas kawasan hutan per petak KPH Ciamis BKPH CIAMIS
RPH 1.1. MADATI
Jumlah : Rata2 1.2. PANJALU
Jumlah : Rata2 1.3. KAWALI
Jumlah : Rata2 1.4. CIKONENG
PETAK 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
20 21 22 23 54 55 56 57 58 59
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
39 40 41 42 43 44
LUAS (ha) 66.71 97.66 102.96 108.58 55.87 57.07 35.26 58.46 71.34 54.24 708.16 70.82 137.23 71.75 89.94 65.28 77.45 33.38 85.18 46.53 127.82 146.90 881.47 88.15 52.49 107.52 66.17 75.45 74.47 66.78 84.62 35.81 75.02 135.19 773.51 77.35 64.35 73.86 98.67 67.15 80.53 62.17
121
Lampiran 4 Lanjutan BKPH
BANJAR UTARA
RPH
PETAK 45 46 47 48 Jumlah : Rata2 2.1. RANCAH
Jumlah : Rata2 2.2. BUNTER
Jumlah : Rata2 2.3. GADUNG
Jumlah : Rata2
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
LUAS (ha) 82.04 129.00 98.42 104.34 860.54 86.05 65.33 46.76 85.32 52.72 53.78 75.74 43.68 65.44 108.42 32.61 629.81 62.98 56.17 32.58 38.08 54.70 37.16 92.68 70.18 86.71 48.26 76.45 592.98 59.30 61.31 30.50 63.33 49.83 46.77 44.34 51.63 66.84 67.07 38.89 520.50 52.05
122
Lampiran 4 Lanjutan BKPH RPH BANJAR SELATAN 3.1. BANJAR
Jumlah : Rata2 3.2. PAMARICAN
PETAK 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66
71 72 73 74 75 76
Jumlah : Rata2 3.3. BANJARSARI
Jumlah : Rata2 3.4. CICAPAR
Jumlah : Rata2
77 78 79 80 81 82 83 84 85 86
92 93 94 95 96 97 98 99 100 101
LUAS (ha) 55.55 58.53 73.02 52.26 27.06 45.47 16.19 38.98 49.16 35.97 452.19 45.22 129.13 32.66 85.89 22.24 90.39 307.46 667.77 125.03 65.55 72.13 84.44 158.68 51.33 130.65 46.49 134.25 71.94 36.47 851.93 85.19 728.29 158.52 209.00 222.80 116.13 93.53 45.82 126.67 78.41 95.32 1874.50 187.45
123
Lampiran 4 Lanjutan BKPH CIJULANG
RPH 4.1. LANGKAPLANCAR
Jumlah : Rata2 4.2. CIGUGUR
Jumlah : Rata2 4.3. PARIGI
PANGANDARAN
Jumlah : Rata2 5.1. CISALADAH
PETAK 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
46 47 48 49 50 51 52 53 54 55
1 2 3 4 5 6 7
LUAS (ha) 233.21 93.90 135.21 148.42 159.72 96.45 50.96 36.68 57.87 155.23 1167.65 116.76 91.81 92.52 132.24 90.91 52.70 53.50 52.91 75.52 60.97 26.40 729.49 72.95 214.20 92.52 173.75 120.33 165.41 216.78 61.27 86.70 135.93 109.16 1376.05 137.61 182.03 110.52 140.77 213.86 130.84 98.27 245.28
124
Lampiran 4 Lanjutan BKPH
RPH
PETAK 8 9 10
Jumlah : Rata2 5.2. PANGANDARAN
Jumlah : Rata2 5.3. KALIPUCANG
Jumlah : Rata2
26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
56 57 58 59 60 61 62 63 64 65
LUAS (ha) 183.91 114.71 225.48 1645.67 164.57 21.69 61.40 114.28 51.95 80.50 23.44 83.49 104.48 86.21 164.96 792.41 79.24 78.45 64.82 119.40 53.34 67.56 87.79 79.91 78.04 85.65 83.05 798.02 79.80
125
Lampiran 4. Lanjutan NO 1.
BKPH CIAMIS
RPH 1.1. MADATI
1.2. PANJALU
PETAK ANAK 1 a 1 b1 1 b2 1 c 1 d1 1 d2 1 e 1 f 1 g 1 h 1 i1 1 i2 2 a 2 b 2 c 2 d1 2 d2 2 e 2 f 2 g Jumlah : Rata2 20 a 20 b 20 c 20 d1 20 d2 20 e 20 f 21 a 21 b 21 c 21 d 22 a1 22 a2 22 b 22 c 22 d 22 e 23 a 23 b 23 c Jumlah : Rata2
LUAS (ha) 2.54 1.30 4.43 5.58 19.86 2.84 4.76 11.15 1.40 6.57 3.86 2.41 5.22 15.27 18.27 15.62 3.07 8.47 6.33 13.16 152.12 7.61 29.46 46.74 17.19 5.80 6.49 29.07 2.47 4.98 12.07 24.59 30.11 28.19 3.67 12.40 17.46 18.25 9.98 31.98 11.63 21.67 364.21 18.21
126
Lampiran 4. Lanjutan NO
BKPH
RPH 1.3. KAWALI
1.4. CIKONENG
PETAK ANAK 24 a 24 b 24 c 24 d 25 a 25 b1 25 b2 25 c 25 d1 25 d2 25 d3 25 e 25 f 25 g 25 h 25 i 26 a 26 b 26 c 26 d Jumlah : Rata2 39 a 39 b1 39 b2 39 c 39 d 39 e 39 f 40 a 40 b 40 c 41 a 41 b 41 c 41 d 41 e 41 f1 41 f2 41 g 42 a1 42 a2 Jumlah : Rata2
LUAS (ha) 22.23 4.43 6.58 19.25 3.11 9.95 2.05 4.00 6.49 18.73 2.89 19.73 6.88 14.71 5.03 13.94 33.53 11.80 8.44 12.39 226.17 11.31 20.17 13.64 2.93 10.56 10.35 3.83 2.87 3.56 45.55 24.75 4.33 16.19 17.81 1.59 6.54 3.49 39.04 9.69 29.01 4.41 270.30 13.52
127
Lampiran 4. Lanjutan NO 2.
BKPH BANJAR UTARA
RPH 2.1. RANCAH
2.2. BUNTER
2.3. GADUNG
PETAK ANAK 16 a 16 b 17 a 17 b 18 a 18 b 19 a 19 b 20 21 22 a 22 b 22 c 23 a 23 b 24 a 24 b 24 c 24 d 24 e Jumlah : Rata2 1 a 1 b1 1 b2 1 b3 1 c 1 d 1 e 2 a1 2 a2 2 a3 2 a4 2 a5 2 a6 2 b 3 a 3 b 3 c 3 d 4 a 4 b Jumlah : Rata2 29 a 29 b 29 c1 29 c2
LUAS (ha) 53.01 12.33 32.73 14.03 22.99 62.33 17.90 34.82 53.78 75.74 7.67 33.59 2.42 44.13 21.31 17.92 13.23 11.01 9.76 12.00 552.70 27.63 5.39 2.93 0.74 21.55 9.51 12.97 3.08 14.82 2.33 2.91 6.51 2.49 1.31 2.21 3.37 7.83 5.01 21.87 23.91 24.23 174.98 8.75 10.34 9.87 0.56 29.93
128
Lampiran 4. Lanjutan NO
BKPH
RPH
PETAK ANAK 29 d1 29 d2 30 a 30 b 31 a 31 b 31 c 31 d 31 e 32 a 32 b 33 a 33 b 33 c 33 d 34 Jumlah : Rata2
3.
BANJAR SELATAN
3.1. BANJAR
57 a 57 b 57 c 58 a 58 b 58 c 59 a 59 b 59 c1 59 c2 59 d 60 a 60 b 60 c 60 d 61 62 a 62 b 62 c 62 d Jumlah : Rata2 71 a1 71 a2 71 a3 71 b 71 c1 71 c2 71 d
3.2. PAMARICAN
LUAS (ha) 9.88 0.73 28.50 2.00 31.04 13.72 7.14 7.66 3.77 32.41 17.42 16.31 3.70 8.47 18.29 44.34 296.07 14.80 9.61 27.37 18.56 24.62 18.04 15.88 30.99 9.34 3.22 3.90 25.56 29.42 4.28 11.00 7.56 27.06 6.14 13.75 9.72 15.85 311.88 15.59 3.17 11.14 33.39 3.69 15.89 35.20 23.74
129
Lampiran 4. Lanjutan NO
BKPH
RPH
3.3. BANJARSARI
3.4. CICAPAR
PETAK ANAK 71 e 72 a 72 b 72 c 73 a 73 b 73 c1 73 c2 73 d 73 e 74 a1 74 a 74 b1 Jumlah : Rata2 77 a 77 b 77 c 77 d 77 e 77 f 77 g 78 a 78 b 78 c 78 d 78 e 79 a 79 b 79 c 79 d 80 a 80 b 80 c 80 d Jumlah : Rata2 92 a 92 b1 92 b2 92 b3 92 c 92 d 92 e 92 f 92 g 92 h 92 i
LUAS (ha) 2.91 15.37 11.08 6.21 12.28 25.83 14.48 12.57 15.20 5.52 3.14 6.62 6.63 264.08 13.20 7.10 2.31 7.24 3.24 8.15 2.50 35.03 6.38 14.44 42.26 4.09 4.96 13.02 9.85 48.53 13.04 58.17 53.71 18.88 1.00 353.89 17.69 37.18 20.64 25.69 27.88 57.40 44.16 55.18 11.02 30.06 23.87 10.85
130
Lampiran 4. Lanjutan NO
BKPH
RPH
4.
CIJULANG
4.1. LANGKAPLANCAR
4.2. CIGUGUR
PETAK ANAK 92 j 92 k 92 l1 92 l2 92 m1 92 m2 92 n1 92 n2 92 o Jumlah : Rata2 1 2 a 2 b 3 b 4 a 4 b 4 c 5 a 6 a 6 b 6 c 6 d 7 a 8 a 8 b 9 a 9 a1 9 b 10 a 10 b Jumlah : Rata2 24 a 24 b 24 c 24 d 25 a 25 b 25 c 25 d 26 a 26 b 27 a 27 b 27 c 27 d
LUAS (ha) 19.88 20.69 19.39 2.35 9.55 4.53 30.09 56.85 26.69 533.95 26.70 233.21 73.39 20.51 135.21 84.18 29.60 34.65 159.72 4.82 53.97 26.89 10.77 50.96 11.66 25.02 25.94 22.97 8.96 6.30 130.47 1149.19 57.46 26.69 21.65 29.88 13.60 16.64 65.30 4.72 5.86 116.58 15.67 6.56 67.95 9.81 6.59
131
Lampiran 4. Lanjutan NO
BKPH
RPH
4.3. PARIGI
5.
PANGANDARAN
5.1. CISALADAH
PETAK ANAK 28 a 28 b 29 a 29 b 30 a 30 b Jumlah : Rata2 46 a 46 b 46 c 47 a 47 b 47 c 48 a 48 b 48 c 48 d 48 e 49 a 49 b 49 c 49 d 49 e 49 f 50 a 50 b 50 c Jumlah : Rata2 1 a 1 b 1 c 1 d 1 e 1 f 1 g 2 a 2 b 2 c 2 d 2 e 2 f 3 a 3 b 3 c 3 d 3 d 3 e
LUAS (ha) 4.46 48.23 12.72 40.78 18.46 34.45 566.60 28.33 18.90 153.01 42.30 18.75 21.02 52.76 29.04 24.31 19.06 92.36 8.98 12.12 59.35 5.91 6.39 30.36 6.19 38.25 23.06 94.73 756.84 37.84 19.62 75.31 6.45 2.92 13.07 22.63 42.03 18.71 35.10 11.58 2.55 24.51 18.08 94.40 11.33 15.57 13.87 3.82 1.77
132
Lampiran 4. Lanjutan NO
BKPH
RPH
5.2. PANGANDARAN
5.3. KALIPUCANG
PETAK ANAK 4 a Jumlah : Rata2 26 a 26 b 26 c 27 a 27 b 28 a 28 b 28 c 29 a 29 b 30 a 30 b 31 a 31 b 32 a 32 b 32 c 33 a 33 b 34 a Jumlah : Rata2 56 a 56 b 57 a 57 b 58 a 58 b 58 c 58 d 58 e 59 a 59 b 59 c 60 a 60 b 61 a 61 b 61 c 61 d 62 a 62 b Jumlah : Rata2 Total Rata2
LUAS (ha) 16.18 449.50 22.47 10.45 3.35 7.89 17.10 44.31 56.35 42.93 15.00 5.98 45.97 36.29 44.22 14.30 9.14 21.88 52.49 9.12 54.96 49.52 34.19 575.43 28.77 49.49 28.96 27.10 37.73 13.36 29.86 53.02 9.72 13.44 32.71 6.02 14.61 26.19 41.37 32.57 13.77 31.22 10.23 17.43 14.10 502.89 25.14 22.06116941
133
Lampiran 5. Rekapitulasi data dari sembilan peubah yang diuji DESA Andapraja Awiluar Babakan Bagolo Bahara Bangbayang Bangunharja Bangunjaya Bangunkarya bangunsari Banjarangsana Banjaranyar Banjarharja Banjarsari Bantardawa Baregbeg_Bare Baregbeg_Lak Batukaras Batumalang Bayasari Beber Bendasari Benteng Bojong_Lang Bojong_Par Bojonggedang
KECAMATAN Rajadesa Lumbung Pangandaran Kalipucang Panjalu Cipaku Cisaga Langkaplancar Langkaplancar Pamarican Panumbangan Banjarsari Kalipucang Banjarsari Purwadadi Baregbeg Lakbok Cujulang Cimerak Jatinagara Cimaragas Sadananya Ciamis Langkaplancar Parigi Rancah
KPADATAN 6.416 21.238 16.106 3.322 7.721 11.245 4.612 4.158 1.483 6.641 9.529 3.807 8.046 23.948 8.716 19.083 17.771 19.838 2.151 4.474 2.651 13.057 13.864 3.083 3.721 4.096
PDAPATAN 0.590 0.440 0.425 0.488 0.505 0.475 0.530 0.114 0.307 0.447 0.469 0.155 0.532 0.608 0.371 0.699 0.527 0.220 0.288 0.393 0.474 0.594 0.820 0.179 0.606 0.093
UMUR PROD 1168 1529 2470 911 983 1485 905 1306 680 2014 1619 1308 1832 819 869 1779 1856 877 514 1355 860 1436 1388 1326 1046 1975
KRPTN JLN 2.34172E-05 4.27313E-05 3.47682E-05 3.21522E-05 4.9533E-05 2.07658E-05 1.83676E-05 1.07759E-05 1.07281E-05 1.98838E-05 2.77835E-05 5.47459E-06 3.30878E-05 4.63807E-05 2.62346E-05 4.20021E-05 4.57143E-05 7.12531E-05 4.19647E-06 1.57267E-05 1.417E-05 2.30252E-05 2.34805E-05 1.70384E-05 3.86521E-06 3.54711E-05
NON SWH 0.72541197 0.35110132 0.09933775 0.61709171 0.43348429 0.80124139 0.68592452 0.40871927 0.85860007 0.41246049 0.75149208 0.89195423 0.58587758 0.07975871 0.17592593 0.49940497 0.14285714 0.95051597 0.13234483 0.86659436 0.59571862 0.57562876 0.5612505 0.75856269 0.33845391 0.75660004
TANAH 595.11 238.79 1291.16 800.31 333.61 771.498 2588.744 1640.578 1391.524 2199.019 3748.71 1190.515 1502.33 282.14 602.74 234.71 894.32 2794.885 1737.299 258.32 1825.44 531.076 535.32 1280.54 1901.86 904.98
SLOPE 43.3082 0.9768861 0.9963929 0.7066859 0.7312174 0.4258665 0.8142789 0.3270394 0.6826099 0.9449062 0.6435783 0.521318 0.6489667 1.000000 0.8640035 0.999010 1 0.6188198 0.8501591 0.825985 0.8302231 0.5507021 0.885609 0.6809818 0.966154 0.7276806
JRK HUTAN 3697.485 2965.135 737.608 0.000 2020.252 0.000 0.000 0.000 0.000 928.225 963.710 0.000 127.294 1307.984 3419.616 7313.564 8078.041 8366.506 8366.506 8366.506 8366.506 8366.506 8366.506 420.365 0.000 0.000
JRK JLN 4134.004 2394.755 158.610 3042.318 1901.411 4292.658 4355.970 12783.858 9885.208 1042.259 1216.792 7104.371 1399.107 501.030 3869.926 78.881 11697.662 1500.001 197.247 4807.143 7522.416 7975.967 2148.141 11063.215 4102.630 2491.336
134
Lampiran 5 Lanjutan DESA Bojongkondang Bojongmalang Bojongmengger Bojongsari Budiasih Budiharja Bunisari Buniseuri Bunter Campaka Ciabanten Ciakar_Cip Ciakar_Ciju Ciamis Cibadak Cibenda Cibeureum Cibogo Cibuluh Cicapar Cidolog Cieurih Ciganjeng Cigayam Cigembor Cigugur
KECAMATAN Langkaplancar Cimaragas Cijeungjing Padaherang Sindangkasih Sindangkasih Cigugur Cipaku Sukadana Cigugur Cujulang Cipaku Cujulang Ciamis Banjarsari Parigi Sukamantri Padaherang Kalipucang Banjarsari Cidolog Cipaku Padaherang Banjarsari Ciamis Cigugur
KPADATAN 3.328 4.791 9.043 2.323 12.458 14.231 2.711 17.448 2.569 2.342 19.582 14.075 20.019 11.735 22.352 8.462 4.809 8.289 8.008 10.359 3.364 10.719 5.334 5.430 33.293 2.165
PDAPATAN 0.090 0.505 0.495 0.151 0.778 0.545 0.299 0.634 0.506 0.156 0.551 0.720 0.138 0.786 0.629 0.301 0.582 0.419 0.575 0.292 0.350 0.210 0.550 0.427 0.483 0.307
UMUR PROD 1352 764 2179 626 1428 1196 829 2347 1417 957 730 1426 638 3174 1919 1930 2458 862 799 1431 1186 1618 1222 908 1346 1132
KRPTN JLN 1.67792E-05 3.21083E-05 2.72359E-05 1.8513E-05 2.88709E-06 3.70796E-06 2.23106E-05 8.6211E-05 8.56239E-06 1.22046E-05 2.63557E-05 3.03269E-05 8.92303E-05 5.17956E-05 2.15303E-05 1.58036E-05 1.17347E-05 1.98624E-05 4.57373E-05 1.90114E-05 1.18571E-05 2.32721E-05 2.48086E-05 2.84018E-05 2.79419E-05 4.37267E-06
NON SWH 0.6253618 0.73733075 0.459873 0.62343641 0.76487571 0.36968371 0.92016875 0.43484439 0.64727858 0.43448276 0.79765435 0.70161634 0.93396958 0.0404581 0.08446505 0.0271032 0.07141625 0.3472005 0.18661163 0.39543726 0.14117386 0.7309751 0.12993838 0.84185386 0.02764916 0.68691698
TANAH 1502.872 1008.008 1296.91 564.99 539.176 741.168 2725.644 433.78 1812 1540.664 2862.135 343.196 1624.605 653.44 1279.24 1681.605 1136.89 405.58 526.25 844.83 1701.64 408.85 1252.44 1970.148 725.64 3411.672
SLOPE 0.479211 0.7463788 0.897682 0.3704099 0.517865 0.6271586 0.6910784 0.7863364 0.7892417 0.618453 0.8279475 0.712994 0.8832788 0.992883 1.000000 1 0.629627 0.9932276 0.5648247 0.732101 0.735320 0.8042016 0.8836977 0.615706 0.809601 0.7428367
JRK HUTAN 0.000 4101.213 6867.404 147.168 0.000 0.000 1158.478 2385.832 0.000 0.000 5226.620 449.384 7863.719 8858.235 1552.700 2259.665 0.000 2903.951 0.000 0.000 0.000 2082.137 4411.233 0.000 9613.697 0.000
JRK JLN 10663.643 8302.396 7883.784 1888.837 4931.087 4046.287 6703.887 383.891 5618.852 11606.257 3704.540 2694.160 3425.530 812.166 299.710 19.566 1603.500 1727.215 1020.019 334.717 8535.501 3019.739 465.087 4683.535 2907.258 10415.386
135
Lampiran 5 Lanjutan DESA Ciharalang Cihaurbeuti Ciherang Cijeungjing Cijulang_Ciha Cijulang_Ciju Cikaso Cikembulan Cikupa_Banj Cileungsir Ciliang Cimanggu Cimaragas Cimari Cimerak Cimindi Cintajaya Cintakarya Cintanagara Cintaratu_Lak Cintaratu_Par Cinyasag Ciomas Cipaku Ciparakan Ciparanti
KECAMATAN Cijeungjing Cihaurbeuti Banjarsari Cijeungjing Cihaurbeuti Cujulang Banjarsari Sidamulih Banjarsari Rancah Parigi Langkaplancar Cimaragas Cikoneng Cimerak Cigugur Lakbok Parigi Jatinagara Lakbok Parigi Panawangan Panjalu Cipaku Kalipucang Cimerak
KPADATAN 41.331 16.580 16.032 34.393 16.601 99.184 11.179 14.012 2.857 5.984 3.131 3.183 0.716 17.843 2.519 23.268 10.045 2.816 4.963 5.467 8.128 9.521 9.724 9.234 2.751 2.571
PDAPATAN 0.239 0.600 0.021 0.826 0.718 0.499 0.240 0.262 0.300 0.352 0.466 0.131 0.288 0.738 0.191 0.394 0.538 0.496 0.315 0.717 0.055 0.763 0.475 0.510 0.236 0.150
UMUR PROD 2415 1304 2316 986 1323 1762 1194 1011 1149 1759 652 1898 1455 1661 1185 1291 1595 983 1500 1765 1025 1480 1933 1914 687 664
KRPTN JLN 0.000149194 1.47804E-05 1.72811E-05 0.000109551 1.59744E-05 0.000328364 2.78707E-06 1.55039E-05 8.32073E-06 8.32857E-06 1.26417E-05 7.07992E-06 3.16358E-06 3.63877E-05 5.09439E-06 0.000142021 1.85294E-05 1.4361E-05 3.7961E-06 2.27387E-05 9.23226E-06 1.92829E-05 5.27246E-05 1.65019E-05 2.12712E-05 9.43764E-06
NON SWH 0.4325 0.64609413 0.17603687 0.43820225 0.33446486 0.4286475 0.70122631 0.67984496 0.81966717 0.78290501 0.26027004 0.77433396 0.68843589 0.62156798 0.83814288 0.14764361 0.08945098 0.6955295 0.86659436 0.27688442 0.36339164 0.36397749 0.66455768 0.35543435 0.56580256 0.38757251
TANAH 1294.78 5369.152 774.34 738.99 944.166 1078.51 642.71 1009.985 1694.49 792.17 1146.84 2547.176 2713.86 347.22 2214.465 1898.82 790.72 1569.015 872.79 797.98 1516.11 453.47 1678.98 703.426 1608.86 1631.981
SLOPE 0.8856953 0.1650921 0.998925 0.9614293 0.9511257 0.9947078 0.836990 1 0.587751 0.7641051 0.9365228 0.4946441 0.8525601 0.95765 0.8916408 0.8849795 1 0.8784031 0.4991103 1 0.8240958 0.6864847 0.3851821 0.5036566 0.4436743 0.8754545
JRK HUTAN 7543.235 0.000 1412.968 6934.279 7951.010 3100.489 0.000 1851.316 0.000 1427.981 2060.983 0.000 5761.886 3312.965 9766.985 0.000 7303.274 0.000 1826.647 7038.078 0.000 1388.449 0.000 0.000 0.000 15194.476
JRK JLN 7288.222 2087.457 530.903 6909.411 4320.179 193.695 3882.834 558.871 9019.880 1472.251 861.167 15985.240 6885.826 5036.993 718.242 7295.384 12279.840 4025.065 2113.968 13931.693 3706.579 348.214 3683.467 4813.645 3567.529 1929.795
136
Lampiran 5 Lanjutan DESA Ciparay Ciparigi Cisadap Cisaga Cisontrol Citeureup Ciulu Ckalong Dadiharja Danasari Darmacaang Darmaraja Dayeuhluhur Dewasari Emplak Gardujaya Gegempalan Gereba Giriharja Golat Gunungcupu Gunungsari Handapherang Hegarmanah Hujungtiwu Imbanagara
KECAMATAN Cidolog Sukadana Ciamis Cisaga Rancah Kawali Banjarsari Sidamulih Rancah Cisaga Cikoneng Lumbung Jatinagara Cijeungjing Kalipucang Panawangan Cikoneng Cipaku Rancah Panumbangan Sindangkasih Sadananya Cijeungjing Cidolog Panjalu Ciamis
KPADATAN 40.224 3.324 14.821 117.827 6.726 8.811 8.518 3.091 18.647 3.667 8.854 12.544 5.992 22.125 2.339 9.723 12.729 16.667 71.701 12.145 17.182 8.785 15.071 26.643 5.617 27.354
PDAPATAN 0.092 0.516 0.805 0.595 0.256 0.337 0.039 0.102 0.137 0.370 0.537 0.225 0.454 0.681 0.351 0.052 0.493 0.500 0.603 0.686 0.550 0.665 0.888 0.355 0.773 0.133
UMUR PROD 1417 962 1902 1714 1937 1432 376 691 660 783 1036 1186 1195 1782 764 994 1325 1285 551 1308 2578 846 1803 1007 1219 1964
KRPTN JLN 0.000194139 9.48587E-06 2.3353E-05 0.000262686 1.18901E-05 2.6292E-05 0.000111214 1.21208E-05 5.02373E-05 2.1472E-05 6.9369E-06 2.22426E-05 1.4781E-05 2.70011E-05 2.39985E-05 2.12831E-05 4.52229E-06 2.50387E-05 0.000197483 3.1382E-05 0 1.89777E-05 3.55191E-05 0.000274002 2.64901E-05 3.98906E-05
NON SWH 0.72025515 0.76124075 0.66177119 0.35087719 0.75159902 0.57501254 0.07484725 0.60994119 0.76724684 0.42686311 0.72853608 0.41849265 0.69631819 0.55842234 0.2085116 0.63031317 0.59633996 0.50077392 0.43710938 0.51870851 0.25102192 0.41606979 0.94401639 0.35762216 0.87909376 0.1198997
TANAH 2246.746 882.37 506.98 572.66 827.45 478.31 547.19 1471.595 1142.863 608.1 2292.778 268.64 818.51 611.78 943.81 725.49 534.28 252.07 439.14 540.068 1410.596 1999.75 979.32 1038.56 929.91 436.49
SLOPE 0.7808762 0.8735643 0.787186 0.9346077 0.8729933 0.6263657 0.864471 0.9731452 0.6288159 0.8940304 0.2750377 0.7070735 0.6470114 0.9945452 0.6415406 0.4823479 0.7943136 0.8461292 0.622529 0.6063453 0.8164155 0.2746145 0.8994966 0.7786642 0.4376008 0.934314
JRK HUTAN 1946.426 1437.739 4470.670 0.000 1838.502 4958.840 0.000 0.000 0.000 2933.861 0.000 3866.347 5224.218 9036.538 0.000 0.000 5472.317 2378.669 3186.383 0.000 1153.920 0.000 8496.361 2470.499 220.616 5557.546
JRK JLN 7469.518 7053.451 4759.648 2592.393 525.384 1953.377 53.815 3009.020 4612.296 5614.312 7812.391 2697.682 2257.558 3881.452 184.018 437.878 2829.033 1114.645 7164.301 2780.841 3406.654 9077.038 4579.486 4867.201 3215.330 3408.689
137
Lampiran 5 Lanjutan DESA Imbanagara Raya Indragiri Jadikarya Jadimulya Jagabaya Jalatrang janggala Janggalaharja Jangraga Jatinagara Jayagiri jayasari Jelat Jelegong Kadupandak Kalapa Sawit Kalijati Kalijaya Kalipucang Karangampel Karangannyar Karangbenda Karangjaladri Karangkamiri Karangkamulyan Karangmulya
KECAMATAN Ciamis Panawangan Langkaplancar Langkaplancar Panawangan Cipaku Cidolog Rancah Mangunjaya Jatinagara Panumbangan Langkaplancar Baregbeg Cidolog Tambaksari Lakbok Sidamulih Banjarsari Kalipucang Baregbeg Cijeungjing Parigi Parigi Langkaplancar Cijeungjing Padaherang
KPADATAN 30.662 4.832 1.394 2.847 6.649 9.455 3.912 8.369 8.134 10.925 12.388 5.852 7.132 38.292 2.778 6.278 12.859 6.445 9.336 5.654 3.567 7.024 115.046 3.785 5.235 7.621
PDAPATAN 0.678 0.548 0.362 0.131 0.191 0.454 0.432 0.124 0.617 0.545 0.506 0.030 0.267 0.166 0.628 0.432 0.292 0.452 0.276 0.355 0.527 0.329 0.051 0.260 0.881 0.532
UMUR PROD 1811 871 816 889 1168 1924 1295 472 808 902 1620 1084 1826 865 737 1283 960 758 1396 898 945 1503 1241 1808 1326 1183
KRPTN JLN 0.000112843 2.05927E-05 8.13883E-06 1.97433E-05 1.79183E-05 3.0141E-05 1.20572E-05 4.54545E-06 2.33281E-05 6.87361E-05 2.51644E-05 3.5868E-05 1.98646E-05 0.000194521 1.2605E-05 1.17406E-05 5.56834E-05 1.89092E-05 2.22866E-05 1.12846E-05 6.21444E-06 1.64659E-05 0.000222598 1.5161E-05 1.14517E-05 2.01076E-05
NON SWH 0.2580696 0.65494726 0.82011808 0.72727542 0.35973522 0.31786094 0.02587376 0.42567493 0.22706065 0.69179601 0.61166714 0.62428264 0.76069683 0.62144835 0.69306073 0.02955665 0.70532334 0.69367038 0.27554992 0.82941508 9.6669E-05 0.63720138 0 0.75730929 0.03907039 0.37053472
TANAH 364.905 481 1754.06 4434.043 1103.65 912.56 1601 553.912 1184.495 489.65 539.65 885.534 686.76 1525.804 1432.445 1149.9 2726.58 984.315 645.1 468.6 719.97 1423.395 767.83 1749.2 1204.144 580.72
SLOPE 0.966851 0.3745408 0.5345213 0.614333 0.6141851 0.7405878 0.7080976 0.6071293 0.9968412 0.7969852 0.5420199 0.4323724 0.951683 0.4835303 0.879551 1 0.5062315 0.584803 0.7855408 0.985517 0.9501627 0.9384388 1 0.7520638 0.8447078 0.7780131
JRK HUTAN 6264.163 141.765 0.000 0.000 4526.612 1769.035 776.844 1326.350 3044.668 5162.586 0.000 0.000 3478.795 0.000 0.000 3061.732 0.000 0.000 0.000 1854.797 3699.993 3093.669 4193.750 378.404 3101.139 715.153
JRK JLN 3152.880 1318.984 13565.867 11111.636 3479.485 3482.900 6726.309 6049.786 3251.365 4470.234 2623.030 10675.444 531.557 10824.903 6160.799 10041.610 9074.576 10648.059 132.879 3918.107 5695.219 1657.370 1361.196 13859.636 4273.812 131.942
138
Lampiran 5 Lanjutan DESA Karangpaningal_Pan Karangpaningal_Pur karangpaningal_Tam Karangpari Karangpawitan_Kaw Karangpawitan_Pada Karangsari Karyamukti kaso Kawali Kawalimukti Kawasen Kawunglarang Kedungwuluh Kepel Kersaratu Kertabumi Kertaharja_Cije Kertahayu Kertajaya_Cigu Kertajaya_Lak Kertajaya_Mang Kertamandala Kertamukti Kertaraharja Kertasari
KECAMATAN Panawangan Purwadadi Tambaksari Rancah Kawali Padaherang Padaherang Banjarsari Tambaksari Kawali Kawali Banjarsari Rancah Padaherang Cisaga Sidamulih Cijeungjing Cijeungjing Pamarican Cigugur Lakbok Mangunjaya Panjalu Cimerak Panumbangan Ciamis
KPADATAN 5.671 8.745 3.380 5.068 5.417 26.272 5.570 3.842 3.066 23.546 22.757 6.962 4.422 3.896 23.170 1.863 5.008 6.694 5.798 5.670 316.201 12.046 8.230 19.067 25.286 38.062
PDAPATAN 0.199 0.184 0.599 0.402 0.720 0.795 0.634 0.500 0.775 0.694 0.000 0.324 0.300 0.593 0.664 0.274 0.505 0.463 0.231 0.146 0.358 0.731 0.679 0.594 0.560 0.293
UMUR PROD 844 1715 983 894 1198 2359 3250 902 1477 1110 1218 1481 1486 1136 1135 675 971 1347 2348 1030 1837 1046 1346 1679 916 2842
KRPTN JLN 1.13915E-05 1.23457E-05 5.58659E-06 2.18531E-05 3.35125E-05 1.72912E-05 2.2677E-05 2.09374E-05 7.12531E-05 2.81538E-05 3.85766E-05 3.24934E-05 1.31842E-05 1.63533E-05 0.000226844 2.31125E-05 2.16599E-05 1.25063E-05 3.34353E-05 0.001055334 2.41758E-05 3.62056E-05 3.92791E-05 8.04976E-05 1.396E-05 4.28934E-05
NON SWH 0.7488232 0.18518519 0.58963941 0.84727273 0.15663082 0.22148971 0.68757192 0.3119469 0.51495093 0.42772063 0.15669856 0.38859416 0.56010184 0.78389038 0.22962896 0.85670262 0.76692465 0.76044967 0.0060367 0.28522533 0.08241758 0.26755974 0.63170055 0.23746798 0.05677059 0.33410021
TANAH 668.55 820.91 1479.698 786.84 559.79 1350.28 1444.03 1429.854 1768.945 151.69 129.67 1643.06 1602.22 1487.985 554.168 2551.97 624.67 1992.69 2121.808 2018.302 786.26 885.7 1196.652 2896.681 108.97 531.64
SLOPE 0.4631321 0.9489649 0.7475034 0.6416704 0.7733272 1 0.5440572 0.619212 0.7970272 0.9498037 0.9912949 0.431229 0.6331652 0.6250407 0.8232105 0.5556001 0.9093836 0.968185 0.746225 0.7808093 1 1 0.4555594 0.8780792 1 0.997924
JRK HUTAN 1160.699 6280.456 0.000 0.000 5115.706 3748.553 303.480 0.000 0.000 3820.905 4071.439 0.000 161.042 0.000 3115.979 0.000 5606.346 3502.912 0.000 0.000 6667.934 7314.253 0.000 17322.254 1852.389 8864.771
JRK JLN 4139.722 7307.185 6619.879 2832.899 606.376 1833.770 348.496 5834.269 5955.095 395.137 66.513 3115.091 2866.769 1122.635 2686.374 7194.452 6670.207 3060.256 101.949 4881.700 8837.171 5982.489 3616.613 1315.374 1888.155 1698.002
139
Lampiran 5 Lanjutan DESA Kertayasa_Ciju Kertayasa_Pan Kiarapayung Kondangjajar Kujang Kutawaringin Langkaplancar Langkapsari Legokjawa Limusgede Linggasari Lumbung Lumbungsari Maleber Mandalare Mangkubumi Mangunjaya Maparah Margacinta Margaharja Margajaya_Pama Margajaya_Sukad Margaluyu Margamulya Marujungsari Masawah
KECAMATAN Cujulang Panawangan Rancah Cujulang Cikoneng Purwadadi Langkaplancar Banjarsari Cimerak Cimerak Ciamis Lumbung Lumbung Ciamis Panjalu Sadananya Mangunjaya Panjalu Cujulang Sukadana Pamarican Sukadana Cikoneng Kawali Padaherang Cimerak
KPADATAN 43.849 3.869 7.552 5.009 17.900 0.334 4.859 6.704 3.050 0.724 25.631 9.849 7.567 41.636 11.874 20.943 9.263 8.031 4.437 3.841 24.214 6.670 41.208 19.308 13.052 1.642
PDAPATAN 0.247 0.481 0.201 0.233 0.688 0.357 0.064 0.294 0.306 0.244 0.647 0.780 0.350 0.594 0.643 0.551 0.700 0.693 0.289 0.350 0.199 0.511 0.809 0.395 0.382 0.543
UMUR PROD 1128 1507 1310 1078 1499 857 1563 2337 1151 942 1981 1074 855 2616 904 972 2013 2304 943 1179 1334 1281 1608 892 1730 1228
KRPTN JLN 6.469E-06 1.93111E-05 1.89985E-05 1.44115E-05 1.53882E-05 6.25313E-07 1.86608E-05 1.13729E-05 9.82249E-06 3.29268E-06 2.677E-05 7.87935E-05 4.45135E-05 7.73395E-05 6.13095E-05 4.3554E-05 1.72422E-05 2.56276E-05 2.10526E-05 7.14286E-06 0.000117808 6.88664E-06 3.98811E-05 3.7172E-05 3.24502E-05 1.08231E-05
NON SWH 0.9883558 0.759936 0.84680418 0.69079263 0.47257059 0.07422711 0.8298573 0.73341825 0.6479856 0.85365854 0.15127058 0.46906741 0.51677019 0.15295028 0.40914794 0.09718766 0.24635291 0.69975259 0.62686025 0.63809524 0.75178082 0.79149387 0.42926546 0.20043732 0.09229771 0.38696358
TANAH 1981.15 921.88 748.12 978.6 437.651 1583.406 1703.716 1404.355 1796.512 2463.921 455.86 461.754 333.32 370.91 754.576 231.39 868.985 1721.486 2161.55 926.1 1961.459 578.73 211.889 185.93 1205.14 2975.775
SLOPE 0.6980908 0.3697618 0.5968063 0.9680638 0.8863045 0.858742 0.4455758 0.758700 0.9795502 0.8304258 0.903117 0.5444464 0.763371 0.976346 0.3678833 0.8849042 0.9970972 0.5135369 0.8437118 0.6593459 0.6087555 0.7069004 0.989001 0.9874484 1 0.7468338
JRK HUTAN 6080.972 3079.051 79.199 6338.300 2631.109 1356.278 0.000 195.918 16830.967 14492.414 9504.113 0.000 2594.712 7987.685 0.000 2772.185 5314.782 2511.564 3366.230 0.000 0.000 0.000 3134.353 3608.010 6406.101 12276.070
JRK JLN 1776.846 2572.030 2235.661 227.423 5647.934 2579.744 13754.778 3555.297 624.487 3246.396 1703.057 895.418 1819.159 267.053 4166.136 5664.269 4988.019 3922.380 2552.698 6059.444 8608.620 4642.506 4350.134 1248.535 4763.534 2807.400
140
Lampiran 5 Lanjutan DESA Medanglayang Mekarjadi Mekarjaya Mekarmukti Mekarsari_Cim Mekarsari_Cipa Mekarsari_Tam Mekarwangi Muktisari Mulyasari Nagarajati Nagarajaya Nagarapageuh Nasol Neglasari Padaherang Padamulya Padaringan Pagerbumi Pagergunung Pajaten Paledah Pamalayan Pamarican Pamokolan Pamotan
KECAMATAN Panumbangan Sadananya Baregbeg Cisaga Cimerak Cipaku Tambaksari Sukamantri Cipaku Jatinagara Panawangan Panawangan Panawangan Cikoneng Pamarican Padaherang Cihaurbeuti Purwadadi Cigugur Pangandaran Sidamulih Padaherang Cijeungjing Pamarican Cihaurbeuti Kalipucang
KPADATAN 13.546 19.791 1.216 8.943 1.716 5.722 5.038 4.876 5.881 11.689 7.331 6.328 6.072 10.954 5.546 10.141 15.364 10.322 0.991 13.273 7.832 8.491 9.918 113.902 11.129 10.801
PDAPATAN 0.431 0.506 0.451 0.460 0.196 0.240 0.624 0.582 0.575 0.306 0.042 0.572 0.515 0.480 0.283 0.430 0.459 0.599 0.095 0.018 0.063 0.401 0.596 0.175 0.389 0.384
UMUR PROD 2390 1335 1088 1698 1067 1241 1148 1249 1456 1120 1105 1220 787 2588 1939 2102 1801 1816 818 405 1337 1832 1545 1457 1347 1312
KRPTN JLN 5.41647E-06 3.3796E-05 4.75934E-06 1.05439E-05 3.23375E-06 2.06111E-05 2.13596E-05 2.91275E-05 5.92526E-06 2.73796E-05 2.57339E-05 1.49589E-05 1.39043E-05 3.53807E-06 2.57507E-05 1.13562E-05 1.51224E-05 1.55641E-05 1.20907E-05 8.19672E-05 2.18711E-05 2.2929E-05 3.16676E-05 7.11382E-05 1.23717E-05 6.65334E-05
NON SWH 0.74025036 0.16821377 0.05939296 0.93274927 0.11181314 0.37924382 0.34561404 0.64042102 0.66107538 0.65550008 0.35074342 0.37715034 0.48850575 0.72015284 0.73140712 0.47398264 0.45642013 0.24585721 0.80087738 0.05901639 0.22221056 0.18343195 0.79941732 0.46056911 0.5687347 0.30048243
TANAH 1304.712 347.13 370.07 799.78 2713.205 737.27 738.92 958.43 863.62 306.35 1083.53 697.41 549.65 1743.128 2026.973 588.92 1086.422 1024.945 2218.444 1929.57 1127.94 1526.352 631.19 1241.292 801.094 1386.195
SLOPE 0.4396724 0.9973681 0.991600 0.8705808 0.691975 0.6796386 0.7450278 0.4227325 0.7433537 0.8424743 0.7097618 0.7363513 0.6442484 0.3758894 0.5228827 0.7646898 0.421937 0.9890519 0.4723183 0.4740236 1 0.9719666 0.9771456 0.5981054 0.4393771 0.799607
JRK HUTAN 0.000 6447.276 5575.468 4.399 7479.445 0.000 56.268 0.000 2222.441 7529.305 6867.125 8125.828 7415.021 0.000 0.000 2764.033 0.000 1844.786 0.000 0.000 456.166 6119.446 7243.226 0.000 0.000 0.000
JRK JLN 2005.899 1726.935 1167.049 1351.643 1853.063 3581.739 2172.861 3890.622 451.841 4662.606 5307.087 4929.286 3045.972 9272.075 5612.176 85.041 1951.986 5143.729 9014.169 6736.804 1700.861 3976.932 4739.612 4112.141 1762.728 1430.648
141
Lampiran 5 Lanjutan DESA Panagaran Pananjung Panawangan Pangandaran Pangkalan Panjalu Panumbangan Panyingkiran Panyutran Parakanmanggu Parigi Pasawahan Pasirgeulis Pasirlawang Pasirnagara Pasirtaming Pawindah Payungagung Payungsari Petirhilir Puloerang Purbahayu Purwadadi Purwajaya Purwaraja Purwasari_Banj
KECAMATAN Cikoneng Pangandaran Panawangan Pangandaran Langkaplancar Panjalu Panumbangan Ciamis Padaherang Parigi Parigi Banjarsari Padaherang Purwadadi Pamarican Cihaurbeuti Ciamis Panumbangan Panumbangan Baregbeg Lakbok Pangandaran Purwadadi Purwadadi Rajadesa Banjarsari
KPADATAN 13.792 16.715 7.578 60.877 4.343 12.155 26.111 21.962 0.973 4.509 14.264 4.983 6.972 9.165 4.246 12.966 18.941 5.663 11.686 12.673 7.763 4.814 16.407 10.462 9.281 6.281
PDAPATAN 0.250 0.617 0.774 0.605 0.054 0.476 0.468 0.669 0.292 0.501 0.545 0.527 0.210 0.073 0.007 0.700 0.712 0.516 0.057 0.371 0.600 0.387 0.449 0.304 0.414 0.335
UMUR PROD 1379 2654 1450 2513 1577 3170 2009 1593 662 1070 1489 1366 977 1057 1094 1562 1420 1467 1657 1295 1943 1060 1276 1712 866 1328
KRPTN JLN 2.44183E-05 1.06128E-06 2.49023E-05 0.000148551 1.50189E-05 2.89983E-05 1.44766E-05 3.04599E-05 1.36077E-05 0.0975 2.85517E-05 1.23669E-05 2.6594E-05 1.28446E-05 1.33367E-05 1.85714E-05 2.43202E-05 1.87115E-05 1.82322E-05 3.02288E-05 1.69014E-05 1.54062E-05 3.55366E-05 5.58659E-06 2.30567E-05 1.68776E-05
NON SWH 0.55759839 0.10612782 0.50156383 0.04347826 0.49601802 0.73887626 0.57461024 0.28153692 0.95089397 0.8 0.03699696 0.81651791 0.68311061 0.31528822 0.30285787 0.56205714 0.26654993 0.49600225 0.74146733 0.53879085 0.04077465 0.50420168 0.39782292 0.11545624 0.50566535 0.10886076
TANAH 417.792 728.725 623.47 785.13 1251.234 944.04 720.942 405.49 1420.18 1900.86 596.81 2416.61 1138.585 792.655 1192.361 1008.09 338.315 803.47 460.08 307.23 1152.82 1396.365 412.305 1547.02 374.79 379.425
SLOPE 0.6641382 1 0.5493175 0.70989 0.5266276 0.6198036 0.5345968 0.918970 0.4370727 0.7979412 0.9480668 0.481434 0.7671438 0.8677145 0.7798335 0.5539831 0.904988 0.3476791 0.5232103 0.998636 0.9874846 0.7308897 0.9792897 1
97.4570 0.996789
JRK HUTAN 1577.476 1160.134 2934.098 0.000 0.000 1259.495 0.000 7741.518 0.000 0.000 5280.354 0.000 0.000 4216.197 3847.208 0.000 8819.026 1947.039 2345.748 6156.262 0.000 0.000 6361.972 6915.602 6486.060 3870.777
JRK JLN 5575.150 229.405 58.501 2687.698 10798.459 482.715 966.537 2316.011 5693.207 5687.803 672.905 7566.375 30.514 5300.863 5461.615 1695.153 2100.771 3230.536 1231.826 1206.826 5957.027 4140.041 6328.117 6529.109 5432.572 2581.723
142
Lampiran 5 Lanjutan DESA Purwasari_Kaw Pusakanegara Pusakasari Putrapinggan Rajadesa Raksabaya Rancah Ratawangi Rawa Sadananya Sadapaingan Sadewata Sagalaherang Saguling Salakaria Sandingtaman Selacai Selamanik Selasari Selasari Sidaharja_Lak Sidaharja_Pam Sidamulih_Pama Sidamulih_Sida Sidamulya Sidarahayu
KECAMATAN Kawali Baregbeg Cipaku Kalipucang Rajadesa Cimaragas Rancah Banjarsari Lumbung Sadananya Panawangan Lumbung Panawangan Baregbeg Sukadana Panjalu Cipaku Cipaku Kawali Parigi Lakbok Pamarican Pamarican Sidamulih Cisaga Purwadadi
KPADATAN 10.489 11.057 11.385 6.697 14.884 6.588 18.336 14.589 10.760 14.641 7.187 8.392 6.437 10.962 4.834 8.468 10.008 8.360 13.536 20.031 9.403 10.815 26.702 6.835 2.974 7.753
PDAPATAN 0.413 0.482 0.636 0.156 0.648 0.400 0.651 0.202 0.398 0.850 0.846 0.550 0.834 0.451 0.248 0.675 0.190 0.133 0.371 0.655 0.630 0.278 0.638 0.267 0.493 0.638
UMUR PROD 763 889 1326 1241 918 972 3069 1676 1498 1895 1427 1324 1525 1436 990 1692 1720 1561 595 1551 2393 1214 1880 3529 657 1558
KRPTN JLN 2.21705E-05 4.46504E-05 1.59451E-05 6.8712E-05 4.81696E-05 8.45865E-06 2.72948E-05 3.99501E-05 2.97398E-05 2.66022E-05 3.7285E-05 1.87732E-05 1.60997E-05 2.33707E-05 1.92337E-05 3.73075E-05 2.16711E-05 2.31971E-05 2.20994E-05 3.9267E-05 1.10875E-05 9.15471E-06 0.000222482 2.65627E-05 2.87988E-05 1.75909E-05
NON SWH 0.76511628 0.58879528 0.64494553 0.55927426 0.39884393 0.67631579 0.51591185 0.03870162 0.58018587 0.54892376 0.49127686 0.69888476 0.44841103 0.7164797 0.86490989 0.6326401 0.65661629 0.30876852 0.45414365 0.6263089 0.30072072 0.01675313 0.84488681 0.86559567 0.9101327 0.39683364
TANAH 525.09 227.15 394.96 2310.335 187.54 1130.312 678.56 789.38 610.106 238.17 739.36 436.47 617.65 285.52 550.93 1834.36 549.9 709.37 169.05 4188.56 1145.435 1038.484 2791.85 1853.225 620.86 982.18
SLOPE 0.5014773 0.997055 0.7688231 0.5422529 155.1594 0.8038452 0.8272335 0.685431 0.5273512 0.9317541 0.3865678 0.5590521 0.5552673 0.975941 0.8978346 0.2536877 0.6385327 0.7091215 0.8029709 0.6165497 0.9897267 1 0.4678322 0.8856648 0.8750391 1
JRK HUTAN 6078.436 5077.964 3816.086 0.000 4539.338 5355.339 0.000 0.000 0.000 1629.951 0.000 3310.574 5126.655 5458.402 167.799 0.000 1382.922 1939.485 1988.959 0.000 8929.202 836.233 0.000 0.000 1644.587 8352.865
JRK JLN 179.931 1765.753 1900.598 2399.023 3385.580 7605.056 1228.729 767.040 1568.937 5338.604 788.421 4139.811 1714.352 1549.937 5958.738 3293.229 627.762 392.479 2226.360 8579.582 10877.939 2157.920 11241.027 4251.264 4053.106 8155.280
143
Lampiran 5 Lanjutan DESA Sidomulyo Sindangangin Sindangasih Sindangbarang Sindanghayu Sindangherang sindangjaya Sindanglaya Sindangmukti Sindangrasa_Banj Sindangrasa_Ciam Sindangsari_Banj Sindangsari_Ciko Sindangsari_Cim Sindangwangi Sirnabaya Sirnajaya Situmandala Sukadana Sukahaji Sukaharja Sukahurip_Ciha Sukahurip_Cisa Sukahurip_Pama Sukahurip_Pang Sukajadi_Pama
KECAMATAN Pangandaran Lakbok Banjarsari Panumbangan Banjarsari Panumbangan Mangunjaya Sukamantri Panumbangan Banjarsari Ciamis Banjarsari Cikoneng Cimerak Padaherang Rajadesa Rajadesa Rancah Sukadana Cihaurbeuti Rajadesa Cihaurbeuti Cisaga Pamarican Pangandaran Pamarican
KPADATAN 29.223 7.703 8.201 8.820 13.709 11.989 9.598 9.518 16.503 9.196 32.548 21.281 24.590 10.105 6.094 13.974 14.998 9.583 4.557 18.509 8.958 11.181 3.951 13.567 4.554 10.541
PDAPATAN 0.192 0.411 0.421 0.131 0.133 0.425 0.450 0.450 0.720 0.634 0.778 0.523 0.579 0.500 0.810 0.252 0.081 0.115 0.459 0.519 0.316 0.695 0.552 0.699 0.237 0.282
UMUR PROD 1501 1408 1852 1388 1182 1138 2192 2192 879 1314 3027 2041 2187 1730 1235 1185 1440 2053 453 1162 1600 1486 564 1590 1159 1473
KRPTN JLN 7.92839E-05 1.31218E-05 3.78339E-05 1.37457E-05 1.49701E-05 2.66554E-05 1.05533E-05 1.05533E-05 2.0432E-05 2.15029E-05 2.51661E-05 3.9797E-05 1.01471E-06 5.04463E-06 1.67295E-05 3.37079E-05 3.32628E-05 1.46418E-05 1.43416E-06 1.22712E-05 1.45692E-05 2.12329E-05 8.24869E-06 1.35716E-05 2.65252E-06 1.67015E-05
NON SWH 0.12429668 0.20727273 0.16649819 0.71713631 0.04715569 0.58782267 0.1559633 0.1559633 0.4716871 0.22928927 0.16404939 0.28782288 0.73860984 0.95421032 0.26809381 0.48614232 0.53492591 0.73592131 0.70675359 0.32145414 0.58526993 0.54191781 0.3176362 0.04593983 0.74058355 0.26304802
TANAH 1593.745 1364.975 1381.765 605.792 462.1 336.05 1437.35 1255.452 185.114 912.736 613.44 660.88 511.912 4102.622 1354.59 272.68 334.43 1058.605 643.11 888.956 932.37 1161.162 691.69 1600.252 1503.2 770.692
SLOPE 0.8862695 0.9288746 0.965989 0.4941362 0.997431 0.7214643 0.9983451 0.5750597 0.7885623 0.571907 0.990553 0.998608 0.7474103 0.9234441 0.8491829 100.7396 28.0384 0.6671364 0.8473344 0.8225869 46.0605 0.4431837 0.7044755 0.5590444 0.4380636 0.9077118
JRK HUTAN 0.000 9215.864 2530.748 2298.767 2855.568 2364.761 2718.471 0.000 2384.766 0.000 6075.259 1096.086 539.959 4401.673 3723.770 4891.382 5895.114 0.000 0.000 1703.622 2884.744 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
JRK JLN 3771.551 9580.805 4178.524 56.726 2125.335 1070.364 3429.470 3749.450 1985.894 1705.494 2181.762 1591.985 6658.959 86.042 405.720 4774.563 4618.687 3453.175 7288.518 4744.352 5354.320 5359.662 4411.672 2154.632 4960.880 72.819
144
Lampiran 5 Lanjutan DESA Sukajadi_Sada Sukajaya_Cim Sukajaya_Pama Sukajaya_Raja Sukakerta Sukamaju_Bare Sukamaju_Ciha Sukamaju_Mang Sukamantri Sukamukti Sukamulya_Bare sukamulya_Ciha Sukamulya_Purw Sukanagara_Jat Sukanagara_Lak Sukanagara_Pada Sukaraharja Sukaresik_Sida Sukaresik_Sinda Sukasari_Banj Sukasari_Tam Sukasenang Sukasetia Sukawening Sumberjaya talagasari
KECAMATAN Sadananya Cimerak Pamarican Rajadesa Panumbangan Baregbeg Cihaurbeuti Mangunjaya Sukamantri Pamarican Baregbeg Cihaurbeuti Purwadadi Jatinagara Lakbok Padaherang Lumbung Sidamulih Sindangkasih Banjarsari Tambaksari Sindangkasih Cihaurbeuti Cipaku Cihaurbeuti Kawali
KPADATAN 16.735 7.696 6.115 25.798 14.635 10.189 13.987 16.452 10.207 13.286 3.935 5.448 19.435 6.390 8.631 6.194 6.478 19.903 4.478 26.059 5.342 19.942 8.310 8.343 13.972 7.829
PDAPATAN 0.256 0.121 0.435 0.449 0.549 0.435 0.813 0.540 0.408 0.061 0.710 0.733 0.083 0.338 0.335 0.320 0.668 0.259 0.636 0.549 0.542 0.778 0.749 0.310 0.300 0.213
UMUR PROD 1612 1378 1235 1526 1067 1750 1395 2050 1643 1204 2703 1087 1180 970 1431 2070 399 777 1374 1656 1393 1984 800 1338 2145 910
KRPTN JLN 2.11042E-05 8.82486E-05 2.35062E-05 1.56049E-05 2.32165E-05 2.75974E-05 9.36768E-06 3.71364E-05 2.97961E-05 7.67106E-06 8.93416E-06 1.30399E-05 9.61538E-06 2.02708E-05 1.71968E-05 1.82087E-05 2.6538E-05 2.24738E-05 1.32217E-05 2.00624E-05 2.44141E-05 3.2457E-06 2.41379E-05 1.3616E-05 2.51748E-05 2.26358E-05
NON SWH 0.53331082 0.21766099 0.51935093 0.62125941 0.47530604 0.06814935 0.42271663 0.18095576 0.68839654 0.15342129 0.75559725 0.13148601 0.14977811 0.81285981 0.01133201 0.01181102 0.42702051 0.45795008 0.6460996 3.59384753 0.48223586 0.35410581 0.45862069 0.5535888 0.64620047 0.48239437
TANAH 339.03 2439.3 1224.954 1103.96 314.156 455.62 1059.216 1339.675 1187.89 360.22 579.4 823.55 921.365 455.8 1797.58 2127.792 301.396 1694.545 858.924 410.38 937.335 695.174 499.872 779.074 889.318 507.18
SLOPE 0.8992859 0.9444124 0.9255093 89.8142 0.5170477 0.998880 0.4422555 1 0.4811536 1 0.954688 0.9890979 0.9649651 0.6317333 1 0.9915711 0.4408913 0.9985188 0.4745793 1.000000 0.7908729 0.7718184 0.6554355 0.6314 0.6207831 0.6394982
JRK HUTAN 5687.620 9573.218 2015.365 3796.045 0.000 7075.216 0.000 4161.542 0.000 973.973 4266.578 3184.099 4148.304 7822.470 4810.458 3122.008 1082.740 1814.318 0.000 150.051 1406.101 151.790 1542.892 0.000 590.522 0.000
JRK JLN 3005.880 595.468 2318.054 7153.125 2435.668 865.005 4068.205 4045.492 2724.410 1523.652 1523.652 2126.785 6414.090 2133.173 8929.015 3193.511 1195.735 594.334 6269.186 354.114 4410.600 4733.729 3247.463 5541.172 2642.276 2748.191
145
Lampiran 5 Lanjutan DESA Tambakreja Tambaksari Tanggerraharja Tanjungjaya_Cisa Tanjungjaya_Raja Tanjungmulya Tanjungsari_Raja Tanjungsari_Sada Tanjungsukur Tigaherang Tunggilis Utama Wangunjaya Werasari Winduraja wonoharjo
KECAMATAN Lakbok Tambaksari Sukamantri Cisaga Rajadesa Panumbangan Rajadesa Sadananya Rajadesa Rajadesa Kalipucang Cijeungjing Cisaga Sadananya Kawali Pangandaran
KPADATAN 51.586 3.675 2.612 3.642 6.578 14.940 6.095 10.922 6.345 8.454 106.921 25.176 3.755 8.940 16.606 15.842
PDAPATAN 0.392 0.780 0.427 0.557 0.637 0.665 0.265 0.497 0.157 0.329 0.656 0.312 0.295 0.391 0.256 0.106
UMUR PROD 898 1214 906 717 1389 1519 1957 1066 807 1800 1453 1015 822 1704 1550 3309
KRPTN JLN 1.44828E-05 1.66524E-05 2.21204E-05 5.42581E-06 2.50809E-05 1.65833E-05 1.78426E-05 2.56875E-05 2.42881E-05 9.06618E-06 0.000272727 5.67347E-05 1.82689E-05 1.42023E-05 4.17219E-05 2.94877E-05
NON SWH 0.09010345 0.58841493 0.90414494 0.42780693 0.71860841 0.735 0.6283646 0.48292536 0.55309883 0.41266244 0.62874871 0.06530612 0.4387956 0.6056383 0.55298013 0.35753778
TANAH 641.52 1158.335 515.07 530.73 677.87 447.83 759.85 1899.262 773.88 1124.58 1136.85 287.93 1598.568 565.54 309.13 1201.985
SLOPE 1 0.8124556 0.3989853 0.8126168 64.8168 0.3894984
51.0771 0.3341847 74.7517 20.4870 0.754021 0.9883403 0.845353 0.8561413 0.8375974 1
JRK HUTAN 5783.345 0.000 29.680 1408.237 3397.599 0.000 773.766 0.000 836.220 5690.041 7629.224 4537.564 0.000 4439.118 2032.175 2032.175
JRK JLN 11998.386 3610.185 1520.982 1882.611 2201.747 1217.701 3816.684 7967.562 4991.019 7197.005 531.243 2996.867 2097.492 3843.171 113.085 167.679
145
Lampiran 6. Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) KMO and Bartlett's Test Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .637 Bartlett's Test of Sphericity
Approx. Chi-Square
127.836
df
10
Sig.
.000
Anti-image Matrices KPADATAN Anti-image Covariance
Anti-image Correlation
LANDUSE
TANAH
SLOPE
JRK_HUTAN
KPADATAN
.857
.161
.224
.007
-.062
LANDUSE
.161
.923
-.003
-.040
.143
TANAH
.224
-.003
.809
.086
.217
SLOPE
.007
-.040
.086
.932
-.173
JRK_HUTAN
-.062
.143
.217
-.173
.818
KPADATAN
.642(a)
.181
.270
.008
-.074
LANDUSE
.181
.630(a)
-.003
-.043
.164
TANAH
.270
-.003
.631(a)
.099
.267
SLOPE
.008
-.043
.099
.637(a)
-.198
-.074
.164
.267
-.198
.642(a)
JRK_HUTAN a Measures of Sampling Adequacy(MSA) Communalities Initial
Extraction
KPADATAN
1.000
.537
LANDUSE
1.000
.546
TANAH
1.000
.517
SLOPE
1.000
.704
JRK_HUTAN
1.000
.541
Extraction Method: Principal Component Analysis.
Eigenanalysis of the Correlation Matrix Eigenvalue 1.7996 1.0447 0.8506 0.7167 0.5884 Proportion 0.360 0.209 0.170 0.143 0.118 Cumulative 0.360 0.569 0.739 0.882 1.000
Variable PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 KPADATAN 0.470 -0.366 0.421 0.537 -0.425 LANDUSE -0.347 0.561 0.679 -0.091 -0.308 TANAH -0.532 -0.083 -0.466 0.257 -0.653 TOP 0.311 0.713 -0.317 0.536 0.092 JRK_HUTAN 0.528 0.191 -0.211 -0.592 -0.538
146
Lampiran 6. Lanjutan
Scree Plot of KPADATAN, ..., JRK_HUTAN 1.75
Eigenvalue
1.50
1.25
1.00
0.75
0.50 1
2
3 Component Number
4
5
147
Lampiran 7 Luas kepemilikan lahan Desa
Sukaraharja
Beber
Banjarsari
No Petani
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Nama Petani
Enjum Sapri A Munir Endin Pendi(Iing Solihin) H Endang Dedi Rusmana Otong Oman Jaja Sapri Andi Rukandi Abas Sutardi Nunu Danu W Lili Alimin Abdul Rohman Eman Abdul Rahman Aca Acahra Rahman Rasyim Asma Jatman Wasad Kasdi Kasdah Kusdi Jatman N Padli Kabri Rata-Rata
Luas Lahan (Ha) Luas Darat Sawah Luas Plot yg diukur Luas seluruh 0.28 2.00 0.29 0.14 1.5 0.21 0.11 0.06 0 0.14 1.50 0.36 0.28 0.14 0.13 0.28 0.26 0.09 0.55 0.27 0.14 0.35 0.16 0.14 0.11 0.09 0.14 0.71 0.11 0.08 0.08 0.28 0.21 0.36 0.14 0.25 0.11 0.11 0.208
0.24 15.00 1.60 0.69 0.61 0.28 0.06 0.26 1.00 2.00 0.35 0.43 1.50 0.36 1.00 0.71 0.93 1.00 0.71 0.43 0.57 0.43 0.43 0.21 1.07 0.94 1.26
0.29 1 0.14 0.37 0.29 0 0 0.25 0.14 0.14 0 0 0.31 0.50 0.5 0.36 0.29 0.21 0.50 0.43 0.14 0.21 0.14 0 0.47 0.18 0.26
0~5
Kelas Diameter (cm)
>50
45~50
40~45
35~40
30~35
25~30
20~25
15~20
10~15
5~10
Jumlah Pohon / 1 Ha
1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
Jumlah Pohon / 1 Ha
Kelas Diameter (cm) 0~5
40~45 45~50 >50
45~50 >50
30~35
25~30
20~25
15~20
10~15
5~10
40~45
400 350 300 250 200 150 100 50 0 35~40
Kelas Diameter (cm)
35~40
30~35
25~30
20~25
Kelas Diameter (cm)
15~20
300 250 200 150 100 50 0 Jumlah Pohon / 1 Ha
>50
45~50
40~45
35~40
30~35
25~30
20~25
15~20
10~15
Kelas Diameter (cm)
10~15
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
Jumlah Pohon / 1 Ha
0~5 5~10
Jumlah Pohon / Ha
0~5
Kelas Diameter (cm)
B. Desa Beber Kecamatan Cimaragas
600
500
400
300
200
100
0
Kelas Diameter (cm)
>50
45~50
40~45
35~40
30~35
25~30
20~25
15~20
10~15
5~10
0~5
>50
45~50
40~45
35~40
30~35
25~30
20~25
15~20
10~15
5~10
Jumlah Pohon / 0,1 Ha
Jumlah Pohon / 1 Ha
800 700 600 500 400 300 200 100 0
5~10
0~5
>50
45~50
40~45
35~40
30~35
25~30
20~25
15~20
10~15
5~10
0~5
Jumlah Pohon / Ha
148
Lampiran 8 Struktur diameter tegakan hutan rakyat di Kabupaten Ciamis
Pola Agroforestri A. Desa Sukaraharja Kecamatan Lumbung 1200
1000 800
600
400
200 0
Kelas Diameter (cm)
600 500 400 300 200 100 0
0~5
Kelas Diameter (cm)
0~5
Kelas Diameter (cm)
>50
45~50
40~45
35~40
30~35
>50
45~50
40~45
35~40
30~35
25~30
20~25
15~20
10~15
0~5
>50
45~50
40~45
35~40
30~35
25~30
20~25
15~20
10~15
5~10
Jumlah Pohon / 1 Ha
Kelas Diameter (cm)
25~30
20~25
15~20
Kelas Diameter (cm)
10~15
5~10
Jumlah Pohon / Ha
140 120 100 80 60 40 20 0 0~5
>50
45~50
40~45
35~40
30~35
25~30
20~25
15~20
10~15
5~10
0~5
Jumlah Pohon / Ha Jumlah Pohon / 1 Ha
Jumlah Pohon / 1 Ha
3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
5~10
>50
45~…
40~…
35~…
30~…
25~…
20~…
15~…
Jumlah Pohon / Ha
500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
10~…
5~10
Jumlah Pohon / Ha
149
Lampiran 8 Lanjutan 300
250
200
150
100 50 0
Kelas Diameter (cm)
2500
2000
1500
1000
500
0
Kelas Diameter (cm)
C. Desa Cipaku Kecamatan Banjarsari
200
150
100
50
0
Kelas Diameter (cm)
400 350 300 250 200 150 100 50 0
150
Jumlah Pohon / Ha
1200 1000 800 600 400 200 >50
45~50
40~45
35~40
30~35
25~30
20~25
15~20
10~15
0~5
5~10
0
Jumlah Pohon / 1 Ha
Lampiran 8 Lanjutan 400 300 200 100 0 0~5 10~15 20~25 30~35 40~45 >50 Kelas Diameter (cm)
400 350 300 250 200 150 100 50 0
Jumlah Pohon / Ha
140 120 100 80 60 40 20
>50
45~50
40~45
35~40
30~35
25~30
20~25
15~20
10~15
0~5
0 5~10
Jumlah Pohon / Ha
Kelas Diameter (cm)
Kelas Diameter (cm)
Kelas Diameter (cm)
Monokultur A. Desa Sukaraharja Kecamatan Lumbung Jumlah Pohon / 1 Ha
1200
500 400 300 200 100 0
1000 800 600 400 200
Kelas Diameter (cm)
Kelas Diameter (cm)
>50
45~50
40~45
35~40
30~35
25~30
20~25
15~20
10~15
0~5
5~10
>50
45~50
40~45
35~40
30~35
25~30
20~25
15~20
10~15
5~10
0 0~5
Jumlah Pohon / 1 Ha
600
151
Lampiran 8 Lanjutan
1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
>50
45~50
40~45
35~40
30~35
25~30
20~25
15~20
0~5
10~15
Jumlah Pohon / 1 Ha
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 5~10
Jumlah Pohon / 1 Ha
B. Desa Beber Kecamatan Cimaragas
Kelas Diameter (cm)
Kelas Diameter (cm)
Jumlah Pohon / Ha
700 600 500 400 300 200 100 0 0~5
10~15 20~25 30~35 40~45
>50
Kelas Diameter (cm)
Polikultur A. Desa Sukaraharja Kecamatan Lumbung
Kelas Diameter (cm)
>50
45~50
40~45
35~40
>50
45~50
30~35
Kelas Diameter (cm)
40~45
35~40
30~35
25~30
20~25
15~20
5~10
10~15
0
25~30
100
20~25
200
15~20
300
10~15
400
0~5
500
450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
5~10
Jumlah Pohon / 1 Ha
600
0~5
Jumlah Pohon / 1 Ha
700
152
Lampiran 8 Lanjutan B. Desa Beber Kecamatan Cimaragas 2500 Jumlah Pohon / 1 Ha
1400 1200
Jumlah Pohon / 1 Ha
2000
1000
1500
800
1000
600 400 200
500 0
0 0~5 5~10 10~1515~2020~2525~3030~35 Kelas Diameter (cm)
Kelas Diameter (cm)
Jumlah Pohon / 1 Ha
1000 800 600 400 200 0 0~5
5~10 10~15 15~20 20~25 25~30 30~35 Kelas Diameter (cm)
C. Desa Cipaku, Banjarsari
200 150 100 50
Kelas Diameter (cm)
>50
45~50
35~40 40~45
30~35
25~30
20~25
15~20
10~15
0~5
0
5~10
Jumlah Pohon / 1 Ha
250
153
Lampiran 9 Kelas kemampuan lahan setiap desa DESA III Andapraja Awiluar Babakan Bagolo Bahara Bangbayang Bangunharja Bangunjaya Bangunkarya Bangunsari Banjarangsana Banjaranyar Banjarharja Banjarsari Bantardawa Bantarsari Baregbeg Batukaras Batumalang Bayasari Beber Bendasari Benteng Bojong Bojonggedang Bojongkondang Bojongmalang Bojongmengger Bojongsari Budiasih Budiharja Bunisari Buniseuri Bunter Campaka Ciakar Ciamis Cibadak Cibanten
LUAS KELAS KEMAMPUAN LAHAN IV V VI VII 1249.68 166.789
11.522 2328.45 1066.05 33.314 6024.4 934.821 5579.75 74620.1 1402.05 12109 113.168 41.917 1332.94 3532.54 112.144 2927.76 14.107 2.367 31.56 29.266
93.884 266.312 171.264 76.605 1633.78 59.41 850.06 71.584 455.022 9383.64 69.822 4977.39 180.996 43612.6 3446.59
87.291 2176.55 6.804 210.816 1157.52
281.232
16333.9 997.694 10762.5 1074.48 712.823
4218.45
723.565 65.344 35.654
4.392
JUMLAH VIII 1249.682 166.789 11.522 2328.45 1099.362 6959.223 5579.748 76022.104 12222.144 41.917 1332.936 3644.68 2927.76 14.107 2.367 31.56 123.15 266.312 171.264 76.605 1693.185 921.644 455.022 9453.466 5158.386 47059.155 87.291 2176.545 288.036 215.208 1157.517 16333.863 997.694 10762.474 1074.484 1436.388 65.344 35.654 4218.448
154
Lampiran 9 Lanjutan DESA Cibenda Cibeureum Cibogo Cibuluh Cicapar Cidolog Cieurih Ciganjeng Cigayam Cigembor Cigugur Ciharalang Cihaurbeuti Ciherang Cijeungjing Cijulang Cikalong Cikambulan Cikaso Cikoneng Cikupa Cileungsir Ciliang Cimanggu Cimaragas Cimari Cimerak Cimindi Cintajaya Cintakarya Cintanagara Cintaratu Cinyasag Ciomas Cipaku Ciparakan Ciparanti Ciparay Ciparigi
III 21.737
LUAS KELAS KEMAMPUAN LAHAN IV V VI VII 12087.3 299.685 3.038
576.282 1272.98
58.528 12356.3 28.118
25.327 18315.2 504.749 1052.18 384.318 15.528 1877.32 64.735 88781.5 22287.3 1090.51
1368.1 18.299
74.972 42.53 150.896
34.189 19.943 333.72 322.333 31952.8 936.227 2297.29 106.488 101367 3820.37 846.032 213.576 2192.31 2470.09 17.898 2544.5 6590.49
4.368
0.416
0.013 1096.41 31.326 7955.08 731.247 5710.36 388.46 39738.8 160.886
223.458 6158.77 1058.84
22.159
JUMLAH VIII 21.737 12386.98 3.038 576.282 1331.512 12356.304 28.118 25.327 18819.927 1052.178 399.846 1942.05 113527.408 18.299 74.972 76.719 150.896 19.943 333.72 322.333 32888.991 2297.293 106.488 105187.383 846.032 213.576 2192.31 2470.094 17.898 2544.5 6590.492 4.797 1127.736 8708.487 6098.822 39899.728 223.458 6158.768 1058.844
155
Lampiran 9 Lanjutan DESA III Cisadap Cisaga Cisontrol Citeuteup Ciulu Dadiharja Danasari Darmacaang Darmaraja Dayeuhluhur Dewasari Emplak Gardujaya Gegempalan Gereba Giriharja Golat Gunungcupu Gunungsari Handapherang Hegarmanah Hujungtiwu Hutan Imbanagara Imbanagararaya Indragiri Jadikarya Jadimulya Jagabaya Jalatrang Jangalaharja Janggala Jangraga Jatinagara Jayagiri Jayasari Jelat Jelegong Kadupandak
LUAS KELAS KEMAMPUAN LAHAN IV V VI VII 523.83
0.714 247.476 375.82 353.239 436.505
36.61 483.704 18896.8 3744.36 139.976 45.325 803.993 30.589 3.157 273.652 12.728 493.276 504.14 378.692 55.69 183.379
33382.7
660.03 1.471
921.264 6263.36 1065.6 832.422 195.864 1029.8 11656.2 4746.36 111.91 93.035 0.294 0.01 24206.7 1267.97 62546.4 1707.75 1313.81 5110.39 991.046 4.49 71.864 1850.62 20643.6 671.336 2953.03 29109.7 640.78 2843.08 37.409
47.36
JUMLAH VIII 523.83 0.714 247.476 375.82 353.239 473.115 483.704 22781.094 45.325 803.993 30.589 3.157 286.38 493.276 504.14 434.382 183.379 921.264 7376.32 1028.286 1029.798 11656.185 38129.092 111.91 93.035 0.304 25474.67 64254.169 1313.812 5110.392 991.046 664.52 1.471 71.864 1850.615 21314.918 2953.025 29750.5 2880.493
156
Lampiran 9 Lanjutan DESA III Kalapasawit Kalijati Kalijaya Kalipucang Karangampel Karanganyar Karangbenda Karangjaladri Karangkamulyan Karangkemiri Karangmulya Karangpaningal Karangpari Karangpawitan Karangsari Karyamukti Kaso Kawali Kawalimukti Kawasen Kawunglarang Kedungwuluh Kepel Kersaratu Kertabumi Kertaharja Kertahayu Kertajaya Kertamandala Kertamukti Kertaraharja Kertasari Kertayasa Kiarapayung Kondangjajar Kujang Kutawaringin Langkaplancar Langkapsari
641.018
LUAS KELAS KEMAMPUAN LAHAN IV V VI VII 113.502 118931 7261.02 12944.3 898.91 20.678 374.88 142.256 506.169 30.929 189.89 10845
330.48 47.175 4.302 4275.19 2936.04
4171.75 620.473 50.924 9308.63
21424.5 4327.62 568.37 205.758 10176.1 35.374 60.972 51.868 63647.6 7769.02 10364.1 491.052 30160.7 702.65 148.67 49.819
303
148.556
4650.66 110.986 792.545 1675.6
517.146 8242.58 734.804
23.226 10.897 53.164 7417.95 288.594 3441.35 3.228 355.264 16.466 74461.9 3901.19 1655.9 58.616
JUMLAH VIII 113.502 126191.52 13843.214 661.696 374.88 142.256 506.169 30.929 189.89 10845.04 330.48 21774.675 4327.62 572.672 4480.952 10324.642 2971.416 60.972 51.868 68298.264 7880.006 11156.595 491.052 31836.324 702.65 4320.42 670.292 9876.698 8977.388 23.226 10.897 53.164 7706.546 3441.352 3.228 355.264 16.466 78363.054 1714.518
157
Lampiran 9 Lanjutan DESA Legokjawa Limusgede Linggasari Lumbung Lumbungsari Maleber Mandalare Mangkubumi Mangunjaya Maparah Margacinta Margaharja Margajaya Margaluyu Margamulya Maruyungsari Masawah Medanglayang Mekarjadi Mekarjaya Mekarmukti Mekarsari Mekarwangi Muktisari Mulyasari Nagara Jati Nagarajaya Nagarapageuh Nasol Neglasari Padaherang Padamulya Padaringan Pagerbumi Pagergunung Pajaten Paledah Pamalayan Pamarican
III 104.962
LUAS KELAS KEMAMPUAN LAHAN IV V VI VII 2006.48 191.92 2048.7 22.464 43.872 2418.32 216.376 138.834
1.394 5894.06
66.978
586.143 6019.72 22121.9 12.712 37.186 7.191 854.298
20993.5
2504.66 197.22 714.688
5473.99 424.34 82.036 629.119 15.519 4770.98 2645.97 22971.6 704.65 5095.36 45.112 690.624 3291.44 3710.68 491.344 47.936 277.19 30.334 41.232 22.538
11583.2
236.392 57191.7 2300.82
32.018 77.673 37.837 301.04
25.44
1.046
JUMLAH VIII 104.962 2006.48 191.92 2048.7 22.464 43.872 2634.696 138.834 1.394 5961.042 586.143 6019.715 22121.871 12.712 37.186 7.191 854.298 5898.326 82.036 629.119 15.519 28410.462 23676.24 5095.358 45.112 690.624 3291.442 3710.682 3043.936 308.57 197.22 755.92 22.538 11819.6 59492.528 32.018 77.673 37.837 326.48
158
Lampiran 9 Lanjutan DESA Pamokolan Pamotan Pananjung Panaragan Panawangan Pangandaran Pangkalan Panjalu Panumbangan Panyingkiran Parakanmanggu Parigi Pasawahan Pasirgeulis Pasirlawang Pasirnagara Pasirtamiang Pawindan Payungagung Payungsari Payutran Petirhilir Puloerang Purbahayu Purwadadi Purwajaya Purwaraja Purwasari Pusakanagara Pusakasari Putrapinggan Raja Raksabaya Rancah Ratawangi Rawa Sadananya Sadapaingan Sadewata
III 683.844 1366.82 17.467
LUAS KELAS KEMAMPUAN LAHAN IV V VI VII 118.626
JUMLAH VIII
605.696 6359.39 374.082 776.55 33739.6 1139.85 755.111 10.838 1492.67 131.706 280.488 112.155 56.128 167068 7315.13 8.882
346.398 12.733
2446.39 650.576 107.334 93.599 25.988 27125.4 61.446 90.716 4754.64
55.937
9.518 42.603 1047.45 2734.16 68.145 1619.34
11.876
165.06 112.524 418.88 984.998 2146.27
3.15
29.92 21.413 54.336
77.616 119.085 7.006 1722.14
0.744
0.031
802.47 1366.817 17.467 605.696 6733.476 776.55 34879.41 765.949 1624.374 280.488 112.155 56.128 174383.308 355.28 12.733 2446.393 650.576 107.334 93.599 25.988 27125.438 61.446 90.716 4810.582 9.518 42.603 1047.45 2746.036 68.145 1619.336 168.21 112.524 448.8 1006.411 2200.608 77.616 119.085 7.781 1722.136
159
Lampiran 9 Lanjutan DESA III Sagalaherang Saguling Salakarya Sandingtaman Selacai Selamanik Selasari Sidaharja Sidamulih Sidamulya Sidarahayu Sidomulyo Sindangangin Sindangasih Sindangbarang Sindanghayu Sindangherang Sindangjaya Sindangkasih Sindanglaya Sindangmukti Sindangrasa Sindangsari Sindangwangi Sirnabaya Sirnajaya Situmandala Sukadana Sukahaji Sukaharja Sukahurip Sukajadi Sukajaya Sukakerta Sukamaju Sukamanah Sukamantri Sukamukti Sukamulya
LUAS KELAS KEMAMPUAN LAHAN IV V VI VII 5560.56 485.384 495.837 33539.2 4819.61 3629.34 2624.67 8250.53 226.4 621.275
38.069 45248.3 574.322 184.428 8.181 422.75 68.154 222.084
16.91
1341.77 9.828 163.458 18.49
1593.37
13114
36.288 7200.8 229.325 14.612 6382.49 1621.06 628.72 31.436 218.144 100.329 1132.14 1093.29
306.48
38.948 69.577 106.624 3083.83 119.934 68.832
51.3
4492.64 30430.6 1070.06 3395.23 6.663 3026.06 616.5 20553.9 16.915 1912.02
305.646 895.304 177.048 275.226 117.812 354.378 13.022
JUMLAH VIII 5560.56 485.384 495.837 38358.782 3629.34 2624.669 9098.207 38.069 45822.586 184.428 8.181 439.66 68.154 222.084 1341.765 9.828 163.458 18.49 36.288 7430.13 14.612 6688.974 3214.434 660.156 218.144 100.329 14246.095 1093.287 38.948 4798.29 31679.134 1070.064 6754.285 126.597 3212.702 616.5 20908.302 16.915 1976.342
160
Lampiran 9 Lanjutan DESA Sukanagara Sukaraharja Sukaraja Sukaresik Sukasari Sukasenang Sukasetia Sukawening Sumberjaya Talagasari Tambakreja Tambaksari Tanjungjaya Tanjungmulya Tanjungsari Tanjungsungkur Tenggerharja Tigaherang Tunggilis Utama Wanasigra Wangunjaya Werasari Winduraja Wonoharjo Total
III 101.009
33.805 59.4
LUAS KELAS KEMAMPUAN LAHAN IV V VI VII VIII 20.7 1182.87 21.905 956.142 3905.93 108.498 36.166 22.209 979.301 107.64 3147.17 1233.14 1267.55 176.868 38.17 1833.45 35.95 1587.71 1390.47 44.142 46515.6 9138.9 258.648 6810.14 9675.67 67.662 4.785
528.905 19.744 165.456 171.19 675.216 4.05 42682.4
6.262 157132 1746095 96501.8 2079.43
JUMLAH
121.709 1204.775 956.142 4084.397 81.609 979.301 107.64 3147.17 1233.144 1444.422 38.17 1869.4 1587.707 1434.615 55913.143 6810.144 9743.328 4.785 528.905 19.744 165.456 171.19 675.216 4.05 6.262 3.15 2044493.657