5 TIPOLOGI KESESUAIAN SERTIFIKASI DI HUTAN RAKYAT Sertifikasi di Hutan Rakyat Permenhut P. 38/Menhut-II/2009 merupakan salah satu pedoman SVLK pada pemegang izin maupun pada hutan rakyat, dimana mulai tahun 2010, sejumlah pemegang izin mengimplementasikan aturan tersebut. Implementasi kebijakan SVLK telah dilaksanakan oleh 23 unit manajemen IUIPHHK pada tahun 2010.
Di tahun 2011 telah meningkat menjadi 67 unit manajemen
IUIPHHK yang telah tersertifikasi. Seiring dengan berjalannya kebijakan yang bersifat mandatory tersebut, keberadaan SVLK menuai pro dan kontra, khususnya atas sertifikasi di hutan rakyat.
Masyarakat dianggap tidak mampu jika
pembiayaan sertifikasi dibebankan kepada mereka. Kemudian lembaga donor United Kingdom-Department for International Development
(DFID) melalui
Multistakeholder Forestry Programme (MFP) melakukan gerakan pengembangan kapasitas petani hutan rakyat dan pembiayaan terhadap lima unit manajemen hutan rakyat yang diusulkan untuk mendapatkan sertifikasi. Diantaranya adalah Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) di Kabupaten Konawe Selatan, Koperasi Giri Mukti Wana Tirta (KGMWT) di Kabupaten Lampung Tengah, Koperasi Wana Manunggal Lestari (KWML) di Kabupaten Gunung Kidul, Asosiasi Pemilik Hutan Rakyat Wonosobo, dan Gabungan Kelompok Tani Hutan Jati Mukti Blora. Penelitian ini dilakukan pada 4 lokasi unit manajemen hutan rakyat, yaitu KGMWT, KHJL, KSU APIK, dan Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM). KGMWT merupakan koperasi yang mewakili unit manajemen hutan rakyat yang telah melaksanakan skema sertifikasi mandatory yaitu untuk mendapatkan Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK).
KGMWT telah mendapatkan Sertifikat
Legalitas Kayu (S-LK) dengan luas lahan yang tersertifikasi sebesar 23 Ha. Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Konservasi Way Seputih (LSM YKWS) merupakan lembaga pendamping di dalam proses persiapan sertifikasi. Sejak
44
tahun 2011 Lembaga Sertifikasi (LS) SUCOFINDO menyatakan bahwa KGMWT berhak mendapatkan Sertifikat Legalitas Kayu No.VLK 00050. KHJL merupakan koperasi yang mewakili unit manajemen hutan rakyat yang telah mendapatkan S-LK dan sertifikat Forest Stewardship Council (FSC) dengan skema voluntary. Koperasi tersebut telah dibentuk sejak tahun 2003, merupakan suatu koperasi yang dipersiapkan oleh Tropical Forest Trust (TFT) untuk mendapatkan
sertifikat hijau FSC, yang kemudian sertifikat tersebut
diperoleh pada tahun 2005. Pada tahun 2011 di bawah binaan perkumpulan TELAPAK dan Jaringan Advokasi Untuk Hutan (JAUH), KHJL telah lulus penilaian verifikasi legalitas kayu oleh
PT SUCOFINDO dan berhak
mendapatkan Sertifikat Legalitas Kayu No.VLK 00049. Sertifikasi tersebut berlaku untuk hutan rakyat dengan luas areal 754,44 Ha yang berlokasi di Kabupaten Konawe Selatan yang berlaku pada periode 2011 – 2013. Sedangkan KSU APIK merupakan koperasi yang mewakili unit manajemen hutan rakyat yang telah mendapatkan S-LK dan memiliki unit pengolahan kayu secara terpadu. Petani yang tergabung dalam KSU APIK di Singaraja Kabupaten Buleleng dengan luas lahan yang telah disertifikasi pada tahun 2012 sebesar 74,2 Ha oleh PT. Transtra Permada dan berhak mendapatkan Sertifikat Legalitas Kayu No.003/LVLK-009/X/2012 yang berlaku pada periode 2012-2015. KSU APIK selain memiliki divisi unit manajemen hutan rakyat, juga telah didirikan divisi pengolahan kayu. Di dalam pemenuhan bahan bakunya mereka
tidak
menggunakan kayu-kayu yang memiliki S-LK. Berbeda dari koperasi yang telah disebutkan sebelumnya, KWLM merupakan koperasi yang mewakili unit manajemen hutan rakyat yang telah sertifikat FSC saja. KWLM telah berdiri sejak 2008 dan mulai mencoba melakukan sertifikasi skema voluntary FSC. Diawal tahun 2010 mereka memulai proses tersebut dengan didampingi oleh yayasan Telapak, dan pada awal tahun 2011 mereka memperoleh sertifikat skema FSC.
45
Hasil Analisis Tipologi Hutan Rakyat Secara umum, sertifikasi diharapkan memberikan nilai manfaat bagi pihak yang menjalankannya. Begitu pula sertifikasi yang dilakukan di hutan rakyat, harapannya adalah para petani hutan rakyat dapat menikmati manfaat dari sertifikasi tersebut. Untuk mengetahui bobot dari faktor penentu tipologi hutan rakyat, maka dilakukan dengan pendekatan analytical Hierarchy Process (AHP) dengan informan berupa para pihak yang berkepentingan dan mengetahui dengan baik faktor-faktor maupun sub-sub faktor yang menentukan sertifikasi dapat mengembangkan hutan rakyat (Tabel 8). Tabel 8 Faktor dan sub faktor penentu tipologi hutan rakyat FAKTOR
SUB-FAKTOR
Biofisik
Kelerengan Lahan
(0,057)
(0,11)
VERIFIER
KETERANGAN
SKOR
0-8%
Datar
1
8-15%
Landai
2
15-25%
Agak Curam
3
25-40%
Curam
4
>40%
Sangat Curam
5
Penggunaan Lahan
Sawah
Rendah
1
(0,89)
Pekarangan
Sedang
3
Pertanian lahan kering
Tinggi
5
Sosial Ekonomi
Pembentukan
lokal
Tidak terbentuk
1
(0,597)
Harga Pasar
berbeda pulau
Kurang terbentuk
3
(0,76)
satu pulau
Terbentuk
5
Pendapatan
Pra KS
Rendah
1
(0,07)
KS
Tinggi
3
Kepadatan Penduduk
>600 jw/km2
Sangat rendah
1
(0,17)
401-600 jw/km2
Rendah
2
251-400 jw/km2
Cukup tinggi
3
51-250 jw/km2
Tinggi
4
1-50 jw/km2
Sangat Tinggi
5
Kelembagaan
Kapasitas organisasi
Tidak berfungsi
Lemah
1
(0,346)
(0,88)
Berfungsi
Kuat
5
Pola Pemanenan
Tebang butuh
Tegakan tinggal rendah
1`
(0,12)
Tebang tunda
Tegakan tinggal tinggi
5
Sumber: Data Olahan AHP (2013)
46
Berdasarkan urutan faktor-faktor dominan yang mempengaruhi tipologi hutan rakyat, diketahui bobotnya adalah faktor sosial ekonomi (0,597), faktor kelembagaan (0,346), dan faktor biofisik (0,057).
Sub-faktor yang paling
dominan di dalam faktor sosial ekonomi adalah sub-faktor pembentukan harga pasar (0,76) diikuti oleh sub-faktor kepadatan penduduk (0,17) dan pendapatan (0,07). Pada faktor kelembagaan diperoleh sub-faktor yang paling dominan adalah sub-faktor kapasitas organisasi (0,88) kemudian diikuti oleh sub-faktor pola pemanenan (0,12). Sedangkan pada faktor biofisik diperoleh sub-faktor yang paling dominan berupa sub-faktor penggunaan lahan (0,89) dan kemudian subfaktor kelerengan lahan (0,11). Secara keseluruhan sub-faktor yang paling dominan berdasarkan urutan tertinggi adalah pembentukan harga pasar (0,4544),
organisasi (0,3026),
kepadatan penduduk (0,0992), penggunaan lahan (0,0509), pendapatan penduduk (0,0433), pola pemanenan (0,0432),
dan kelerengan lahan (0,0064).
Urutan
faktor dominan tersebut menunjukkan bahwa dalam menentukan tipologi hutan rakyat, faktor pembentukan harga pasar memiliki peranan penting di dalam menentukan perkembangan sertifikasi di hutan rakyat. Petani sebagai pemilik hutan rakyat memiliki kewenangan di dalam pengambilan keputusan. Keputusan yang mereka buat lebih cenderung didasarkan pada pendekatan logis (logic of consequentiality) yang merupakan pilihan yang bersifat rasional sehingga faktor sosial ekonomi dan sub-faktor pembentukan harga pasar memiliki bobot tertinggi. Pada saat unit manajemen tersebut berdekatan dengan industri pengolahan kayu yang membutuhkan kayu bersertifikat, maka harga pasar akan terbentuk, sebaliknya jika berjauhan akan kurang terbentuk.
Walaupun unit manajemen tersebut berdekatan dengan
industri, tetapi jika tidak menyediakan jenis sertifikat kayu yang diinginkan industri maka harga pasar tidak akan terbentuk. Industri olahan kayu di sekitar lokasi penelitian yang bertujuan ekspor, memiliki kontrak dengan konsumen dari luar negeri yang menginginkan produk berasal dari kayu tersertifikasi. Program sertifikasi hutan mungkin bisa menjadi penarik minat petani untuk tetap berkomitmen dengan usaha hutan rakyat. Hal ini karena program sertifikasi merupakan sebuah instrumen pasar yang dianggap bisa menawarkan beberapa
47
insentif dalam bentuk harga premium (price-premium) dan atau akses terhadap pasar (improved-market access) kepada pengelola hutan yang mampu menunjukkan bahwa mereka telah mengelola hutan secara lestari (Rametsteiner & Simula 2003). Jenis sertifikasi yang diminati konsumen saat ini adalah sertifikat hijau dengan skema FSC. Sertifikat yang dikeluarkan lembaga sertfikasi FSC yang telah mendapat pengakuan pasar (internationally recognized) (Maryudi 2005).
Sementara itu, S-LK sebagai bentuk sertifikat skema mandatory
pemerintah sampai saat ini belum ada permintaan khusus dari konsumen baik dalam maupun luar negeri. Hal inilah yang akan mempengaruhi keputusan petani hutan rakyat secara rasional dalam menentukan keikutsertaan lembaga sertifikasi yang sesuai bagi mereka di dalam pengelolaan hutannya
(logic of
consequentiality). Secara rasional para pengusaha hutan termasuk petani hutan rakyat akan berfikir ulang jika adopsi sertifikasi bersifat menurunkan financial performance usaha mereka. Di lapangan kenyataan ini menunjukkan bahwa sebagian besar pengusaha hutan di Indonesia kurang meminati sistem ini di saat belum mereka belum melihat adanya insentif. Apalagi apabila dari sisi pembiayaan harus ditanggung petani hutan rakyat, dan tentunya biaya akan menjadi semakin besar untuk sertifikasi hutan jika semakin kecil luasannya. Lindstrom et al. (1999) dan Rickenbach (2002) mengatakan bahwa program sertifikasi hutan tidak cukup ekonomis untuk diadopsi oleh small-scale and family forests dengan luasan kurang dari 1.000 ha. Faktor dominan lainnya adalah organisasi, yaitu pada saat kapasitas organisasinya kuat maka secara operasional koperasi tersebut akan berfungsi. Tetapi sebaliknya jika kapasitas organisasinya lemah walaupun uni manajemen tersebut telah terbentuk koperasi tetapi secara operasional tidak berfungsi. Koperasi sebagai salah satu bentuk organisasi dapat difahami dalam perspektif statis dan dinamis. Dalam perspektif statis, koperasi merupakan wujud suatu lembaga atau wadah. Sementara dalam perspektif dinamis koperasi mengandung aspek ketatalaksanaan dalam proses dinamika organisasi.
Organisasi seperti
kegiatan menenun secara berkesinambungan dan memperbesar kapasitas untuk belajar, beradaptasi dan mengubah budaya dengan nilai-nilai, kebijakan-
48
kebijakan, praktek-praktek, sistem dan struktur yang dapat mendukung dan meningkatkan pembelajaran bagi seluruh anggota (Bennett & O’Brien 1994). Berdasarkan analisis pembobotan sebagaimana dijelaskan sebelumnya, tipologi yang menjelaskan
kesesuaian hutan rakyat, dapat dirumuskan pada
persamaan berikut: Total Skor = 0,057 (0,11*skor kelas lereng + 0,89*skor penggunaan lahan)
+
0,597(0,76*skor pembentukan harga pasar + 0,07*skor pendapatan + 0,17*skor kepadatan penduduk) + 0,346 (0,88*skor kapasitas Organisasi + 0,17*pola pemanenan) Atau Total Skor = 0,006*skor kelas lereng + 0,051*skor penggunaan lahan
+
0,454*skor pembentukan harga pasar + 0,043*skor pendapatan + 0,099*skor kepadatan penduduk + 0,303*skor kapasitas organisasi + 0,043*skor pola pemanenan Berdasarkan total skor pembobotan maka dibangun model spasial kesesuaian sertifikasi di hutan rakyat pada 4 lokasi penelitian, dan menghasilkan tiga kelas tipologi sebagai berikut: tidak sesuai (11.332,97 Ha) dan kurang sesuai (66.929,14 Ha) untuk UM KSU APIK Kabupaten Buleleng, tidak sesuai (72.707,59 Ha) untuk UM KHJL Kabupaten Konawe Selatan, tidak sesuai (11.174,02 Ha) untuk UM Comlog KGMWT Kabupaten Lampung Tengah dan sesuai (21.221,80 Ha) untuk UM KWLM Kabupaten Kulonprogo. Berdasarkan hasil overlay diperoleh peta kesesuaian sertifikasi hutan rakyat di 4 lokasi penelitian yang disajikan pada gambar 6, 7, 8 dan 9. Kelas tipologi dengan kesesuaian tertinggi berada pada UM KWLM dengan total skor bobot faktor penentu sebesar 0,828-0,906. Pada UM KWLM telah terpenuhi seluruh faktor penentu sertifikasi hutan rakyat dominan yaitu pembentukan harga pasar kayu tersertifikasi, dan organisasinya berfungsi dengan baik sehingga kapasitas organisasinya kuat. Pembentukan harga pasar yang terjadi pada UM KWLM sebagai akibat telah terbuka akses pasar yang dijamin oleh lembaga donor yang membiayai sertifikasi skema voluntary yang dijalankan (sertifikasi FSC). Skema tersebut lebih mendapat pengakuan dunia internasional
49
(internationally recognized), sehingga sangat berpengaruh terhadap keputusan petani hutan rakyat untuk berperan serta dalam mengembangkan usaha hutannya. Terlihat dari penambahannya jumlah anggota koperasi yang sejak awal berdiri pada tahun 2008 hanya sebanyak 123 anggota, dan di akhir tahun 2011 menjadi 800 anggota koperasi. Meningkatnya jumlah anggota koperasi disebabkan karena harga kayu yang cukup menjanjikan bagi petani hutan rakyat di sekitarnya, yaitu terjadi peningkatan harga untuk kayu bersertifikat sebesar 30%. KWLM cukup kewalahan atas permintaan kayu bersertifikat hijau FSC dari industri pengekspor kayu olahan di sekitarnya (seperti PT. Jawa Furni). Selain akses pasar yang terbuka, UM KWLM secara organisasi telah memenuhi beberapa kriteria organisasi pembelajar
(learning organization).
Menurut Chou (2003) bahwa organisasi pembelajaran merupakan prosedur bagaimana pengetahuan diperoleh dan diciptakan untuk memperbaiki perilaku, di mana pembelajaran merupakan kekuatan untuk berkembang, dan individu, selain itu pembelajaran juga merupakan sumberdaya bagi perkembangan organisasi. Organisasi pembelajaran memiliki lima karakteristik utama (personal mastery, mental model, shared vision, team learning ) yang diharapkan dapat mewujudkan organisasi menjadi suatu organisasi yang inovatif (Peter Senge 1990). Pada UM KWLM telah terjadi pembelajaran personal mastery yaitu untuk terus menerus belajar bagaimana cara untuk menciptakan masa depan yang hanya bisa terwujud bila individu-individu para anggota organisasi mau dan mampu untuk terus belajar dan membuat dirinya sebagai master di bidang ilmunya, dan share vision yaitu kemampuan dan motivasi untuk belajar secara adaptif, generatif, dan berkesinambungan. Keinginan untuk terus belajar dan menggali pengetahuan dari para pengurus KWLM dapat dilihat dari sejumlah intensitas pertemuan sejak tahun 2008 yang bersifat penambahan wawasan pengetahuan para anggota. Selain itu pencetakan master di bidang ilmunya dalam hal ini ilmu pengelola hutan rakyat telah dikuasai oleh salah satunya ketua koperasi tersebut. Ketua KWLM telah banyak diundang menjadi narasumber di berbagai tempat sebagai pembelajaran sukses dalam pengelolaan hutan rakyat1. 1
Hasil wawancara mendalam dengan petani hutan rakyat anggota Koperasi Wana Lestari Menoreh Kabupaten Kulonprogo Provinsi DI Yogyakarta.
50
Sebaliknya untuk UM yang termasuk ke dalam kelas tidak sesuai, disebabkan faktor penentu dominan yang tidak terpenuhi. UM KGMWT termasuk ke dalam tipologi dengan kesesuaian rendah dengan total skor bobot faktor penentu sebesar 0,124-0,175. Anggota koperasi merupakan warga kampung Pekandangan yang berada di pinggir hutan Register 39 di Kecamatan Pubian Lampung Tengah, dimana 70% warganya tergolong kurang mampu. Hal ini menjadi kendala bagi pengurus koperasi untuk mempertahankan tegakan hingga masak tebang. Secara luasan tidak terjadi penambahan maupun pengurangan, tetapi telah terjadi pengurangan jumlah batang kayu yang tersertifikasi. Secara struktur kelembagaan dari unit manajemen tersebut sudah tersedia, akan tetapi secara fungsional KGMWT belum sanggup menjalankan program tebang tunda. Sebagai sebuah organisasi, koperasi sebaiknya mampu memberikan fasilitas simpan pinjam untuk menahan tebang butuh yang dilakukan masyarakat yang sedang terdesak masalah ekonomi. Pembentukan harga pasar kayu tersertfikasi pada UM KGMWT tidak terjadi. Selain jaringan pemasaran belum mereka kuasai, juga pembeli di sekitar maupun di Jawa belum mengapresiasi kayu bersertifikat S-LK. Sementara itu, pembeli hanya menghargai kayu bersertifikat tersebut dengan harga lokal. Pasar, dalam hal ini konsumen kayu memegang peranan yang sangat penting dalam promosi sertifikasi hutan. Kesediaan konsumen untuk membeli produk yang telah tersertifikasi (certified forest products/CFPs) atau bahkan membayar lebih dalam bentuk harga premium untuk produk tersebut merupakan sebuah daya tarik bagi petani hutan untuk mengadopsi sertifikasi hutan. UM KSU APIK hanya sebanyak 16% yang termasuk ke dalam tipologi tidak sesuai dan sisanya termasuk ke dalam kurang sesuai. Walaupun jenis sertifikasi yang dimiliki hanya SVLK saja, tetapi petani yang tergabung dalam UM KSU APIK memiliki karakteristik yang berbeda dengan UM KGMWT. Mereka lebih mempertahankan tegakan yang belum masak tebang (umur tegakan cenderung sama berkisar 3-4 tahun). Berdasarkan hasil sosialisasi beberapa lembaga yang didanai oleh UK-DFID (United Kingdom-Departement for International Development) dalam bentuk MFP-II (Supporting Project Multi Forestry Programme-II), anggota koperasi cenderung menyadari pentingnya
51
hutan harus memiliki S-LK. Tebang butuh dapat dihindari, hal ini disebabkan status sosial mereka lebih dari 90% termasuk keluarga sejahtera, sehingga tekanan terhadap hutan cenderung dapat dihindari. Tingkat perekonomian mereka tergolong mampu yang dicirikan dengan beberapa anggota dan pengurus memiliki strata pendidikan tinggi (S-1 dan S-2) dan memiliki usaha tetap lainnya (pemilik restoran, pengusaha cafe di pantai Lovina) Tetapi yang lebih utama mereka memiliki budaya lokal yang sangat kuat dengan alam, yaitu bahwa pepohonan dan alam merupakan sesuatu yang diskaralkan. Secara umum, hal ini yang membuat komitmen mereka cukup kuat untuk menunda masa tebang hingga masak tebang. Dan yang cukup menarik divisi unit pengolahan kayunya yaitu APIK, di dalam pemenuhan bahan bakunya tidak menggunakan kayu-kayu yang memiliki S-LK, alasannya karena anggota koperasi belum mau menjual kayunya. Pada akhirnya untuk pemenuhan bahan baku menggunakan kayu yang tidak bersertifikat. UM KHJL walaupun telah memiliki sertifikasi skema voluntary FSC dan mandatory SVLK, termasuk ke dalam tipologi rendah/tidak sesuai dengan total skor antara 0,189-0,296. Persaingan pasar dapat mengakibatkan apresiasi terhadap harga kayu tersertifikasi menurun. Sebelum tahun 2005, harga kayu yang dipasarkan KHJL kisaran Rp. 300.000-400.000,- per m3. Awal sertifikasi FSC harga kayu berkisar Rp. 2.750.000,- per m3. Harga tertinggi diperoleh pada tahun 2007-2009 berkisar Rp. 6.500.000,- per m3. Pembeli kayu bersertifikat FSC tersebut seluruhnya berasal dari Jawa, yaitu PT. Ragil Adi Perkasa, PT. Intertrend Utama, PT. Kota jati Furindo, PT. Kinfurn Internasional, PT. Ploss Asia, dan PT. Teak and More. Dengan harga jual yang cukup menggiurkan tersebut, anggota koperasi yang sejak tahun 2004 berjumlah 196 anggota hanya berasal dari 12 desa dengan seluas 264,5 Ha kini semakin meluas sampai akhir tahun 2010 mencapai 763 anggota tersebar di 23 desa dengan luas 1.269 Ha. Pada tahun 2010, seiring dengan peningkatan jumlah anggota harga kayu bersertifikat FSC mengalami penurunan yaitu menjadi Rp. 5.500.000,- per m3. Kemudian pada tahun 2011 KHJL mendapat S-LK dengan pembiayaan sertifikasi dari program MFP. Sejak
52
tahun 2011 sampai saat ini, KHJL tidak melakukan proses transaksi penjualan kayu2. Sertifikasi FSC (mekanisme voluntary) yang dimiliki KHJL telah membuka akses pasar kayu rakyat bersertifikat, seiring permintaan dunia internasional terhadap kayu bersertifikat hijau pada industri pengolahan kayu (industri pengolahan kayu di Jawa). Fenomena yang menarik adalah pada saat terjadi penurunan harga di tahun 2010 hingga terhentinya transaksi sejak tahun 20112013. Faktor utama penyebab penurunan harga tersebut adalah seiring dengan semakin bertambah jumlah unit manajemen hutan rakyat yang telah tersertifikasi terutama di Jawa (KWLM Kulonprogo, KPH-KPH Perhutani). Industri pengolahan kayu menjadi semakin banyak pilihan kayu-kayu rakyat bersertifikat FSC, dan berdasarkan pemikiran rasional (logic of consequentiality), mereka menentukan pilihan produsen kayu yang bisa memberikan harga termurah.
2
Hasil wawancara mendalam dengan petani hutan rakyat anggota KHJL Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara (2013).
53
Gambar 6 Peta kesesuaian sertifikasi hutan rakyat pada lokasi unit manajemen Koperasi Giri Mukti Wana Tirta.
Gambar 7 Peta kesesuaian sertifikasi hutan rakyat pada lokasi unit manajemen Koperasi Hutan Jaya Lestari.
54
Gambar 8 Peta kesesuaian sertifikasi hutan rakyat pada lokasi unit manajemen Koperasi Serba Usaha Asosiasi Pengrajin Industri Kecil.
Gambar 9 Peta kesesuaian sertifikasi hutan rakyat pada lokasi unit manajemen Koperasi Wana Lestari Menoreh.