PERBANDINGAN KELESTARIAN HUTAN RAKYAT BERSERTIFIKAT DAN TIDAK BERSERTIFIKAT DI KABUPATEN KULONPROGO
NUR FATAH YULIANTO
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perbandingan Kelestarian Hutan Rakyat Bersertifikat dan Tidak Bersertifikat di Kabupaten Kulonprogo adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2015 Nur Fatah Yulianto NIM E14100084
NUR FATAH YULIANTO. Perbandingan Kelestarian Hutan Rakyat Bersertifikat dan Tidak Bersertifikat di Kabupaten Kulonprogo. Dibimbing oleh HERRY PURNOMO. Sertifikasi di hutan rakyat merupakan salah satu bentuk instrumen untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari baik dari aspek ekologi, ekonomi, dan sosial. Penelitian ini bertujuan memperoleh data mengenai pengelolaan hutan ditinjau dari ekologi, kelayakan usaha, dan keorganisasian pada kelompok yang sudah sertifikasi dan kelompok yang belum sertifikasi. Penelitian dilaksanakan di dua lokasi yang terletak di Kabupaten Kulonprogo yaitu Desa Kaliagung, Kecamatan Sentolo mewakili unit pengelola hutan rakyat yang belum bersertifikat (Marsudi Boga) dan Desa Banjararum, Kecamatan Kalibawang mewakili unit pengelola hutan rakyat bersertifikat Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM). Kontribusi pendapatan rata-rata per hektar dalam satu tahun untuk hutan rakyat bersertifikat (KWLM) sebesar Rp 25 961 264 dan untuk hutan rakyat belum bersertifikat (Marsudi Boga) sebesar Rp 6 688 540. Potensi sediaan karbon per hektar untuk hutan rakyat bersertifikat (KWLM) yaitu 27.035 ton C/ha, dan potensi sediaan karbon per hektar hutan rakyat yang belum bersertifikat (Marsudi Boga) 22.375 ton C/ha. Sertifikasi hutan rakyat memberikan manfaat yang lebih baik berupa sediaan karbon dan pendapatan yang lebih tinggi. Kata kunci: hutan rakyat, sertifikasi
ABSTRACT NUR FATAH YULIANTO. The Sustainability Comparison of Certified and Uncertified Forest Community at Kulonprogo Regency. Supervised by HERRY PURNOMO. Forest community certification is an instrument to achieve sustainability forest management in ecology, economy, and social aspects. The objective of this study was to obtain forest management data based on ecology, business feasibility, and organizational in groups that have been certified and uncertified. The research was conducted in two locations of Kulonprogo Regency, that were Kaliagung Village, District of Sentolo that represent of uncertified forest community management unit (Marsudi Boga) and Banjararum Village, District of Kalibawang which represent of certified forest community management unit Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM). The average income contribution of certified forest community (KWLM) was Rp 25 961 264/ha/year and uncertified forest community (Marsudi Boga) was Rp 6 688 540/ha/year. Carbon stock potential of certified community forests (KWLM) was 27.035 tones C/ha and uncertified forest community (Marsudi Boga) was 22.375 tones C/ha. Hence certified forest community provided better benefits in the form of higher carbon stock and average income. Keywords: Community forest, Certification
PERBANDINGAN KELESTARIAN HUTAN RAKYAT BERSERTIFIKAT DAN TIDAK BERSERTIFIKAT DI KABUPATEN KULONPROGO
NUR FATAH YULIANTO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Judul Skripsi : Perbandingan Kelestarian Hutan Rakyat Bersertifikat dan Tidak Bersertifikat di Kabupaten Kulonprogo Nama : Nur Fatah Yulianto NIM : E14100084
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Herry Purnomo, MComp Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Ahmad Budiaman, MSc Forst Trop Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa taβala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni hingga Agustus 2014 ini ialah hutan rakyat, dengan judul Perbandingan Kelestarian Hutan Rakyat Bersertifikat dan Tidak Bersertifikat di Kabupaten Kulonprogo. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Herry Purnomo, MComp selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Sad Windratmo dari KWLM, dan Bapak Sarmidi dari Kelompok Tani Marsudi Boga, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2015 Nur Fatah Yulianto
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
1
TINJAUAN PUSTAKA
2
Sertifikasi Hutan
2
Sertifikasi Hutan Rakyat di Indonesia
3
METODE
4
Lokasi dan Waktu Penelitian
4
Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data
4
Metode Analisis Data
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Deskripsi Kelompok Hutan Rakyat Bersertifikat (KWLM) dan Hutan Rakyat Tidak Bersertifikat (Marsudi Boga) 7 Perbandingan Stok Karbon pada Hutan Rakyat Bersertifikat dengan Hutan Rakyat Tidak Bersertifikat Kelayakan Finansial Pengelolaan Hutan Rakyat Bersertifikat dan Hutan Rakyat Tidak Bersertifikat
8 11
Perbandingan Kelembagaan yang dibangun pada Hutan Rakyat Bersertifikat dan Hutan Rakyat Tidak Bersertifikat 12 SIMPULAN DAN SARAN
18
Simpulan
18
Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
18
LAMPIRAN
21
RIWAYAT HIDUP
25
DAFTAR TABEL 1 Nilai BEF, Fk (C), dan kerapatan kayu (WD) 2 Potensi tegakan per hektar hutan rakyat bersertifikat (KWLM) 3 Potensi tegakan per hektar hutan rakyat tidak bersertifikat (Marsudi Boga) 4 Nilai dugaan biomassa dan cadangan karbon hutan rakyat bersertifikat (KWLM) dan hutan rakyat tidak bersertifikat (Marsudi Boga) 5 Analisis finansial hutan rakyat bersertifikat dan hutan rakyat tidak bersertifikat 6 Perbandingan kelembagaan hutan rakyat bersertifikat (KWLM) dan tidak bersertifikat (Marsudi Boga)
6 8 9 10 12 14
DAFTAR GAMBAR 1 Peta Kabupaten Kulonprogo 2 Bagan struktur organisasi hutan rakyat bersertifikat (KWLM) 3 Bagan struktur organisasi hutan rakyat tidak bersertifikat (Marsudi Boga) 4 Alur pemasaran kayu UMHR bersertifikat (KWLM) 5 Alur pemasaran kayu UMHR tidak bersertifikat (Marsudi Boga) 6 Bagan resolusi konflik hutan rakyat bersertifikat (KWLM)
7 12 13 15 16 16
DAFTAR LAMPIRAN 1 Kuisioner 2 Daftar responden kelompok hutan rakyat bersertifikat (KWLM) 3 Daftar responden kelompok hutan rakyat tidak bersertifikat (Marsudi Boga)
21 24 25
PENDAHULUAN
Latar Belakang Hutan rakyat di Indonesia terus meningkat, khususnya di Pulau Jawa. Menurut Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) XI Departemen Kehutanan (2012), pada tahun 2005 luas hutan rakyat di Pulau Jawa sebesar 1 568 415.63 Ha, dan pada tahun 2012 telah mencapai 2 741 425 Ha. Potensi yang dihasilkan dari hutan rakyat sebesar 21 786 505 m3, dan membantu penyediaan kebutuhan kayu nasional yang mencapai 65 652 302 m3, mengingat produksi kayu bulat dari hutan negara sebesar 25 642 830 m3. Perkembangan hutan rakyat dihadapkan pada berbagai tantangan, seperti global warming dan ekolabel yang mensyaratkan kayu-kayu memiliki sertifikat. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan (2012), hutan rakyat yang telah bersertifikat sebanyak 72 Unit Manajemen Hutan Rakyat (UMHR) dengan luas 40 523 Ha, atau hanya 1.5% dari luas hutan rakyat di Jawa. Keberadaan UMHR bersertifikat dan tidak bersertifikat menimbulkan pertanyaan, apakah UMHR bersertifikat akan memiliki nilai lebih dibandingkan dengan UMHR tidak bersertifikat bila ditinjau dari aspek kelestariannya. Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) dan Kelompok Tani Marsudi Boga merupakan contoh UMHR yang telah bersertifikat dan belum bersertifikat. Pada penelitian ini dilakukan analisis kelestarian untuk mengetahui potensi tegakan, kelayakan usaha, dan kemanfaatan organisasi pada kedua UMHR tersebut.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kelestarian pengelolaan UMHR bersertifikat dan UMHR tidak bersertifikat, dengan melihat aspek ekologi (stok karbon), ekonomi, dan kelembagaan.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kelebihan dan kekurangan dari praktik pengelolaan hutan rakyat yang telah bersertifikat dan hutan rakyat tidak bersertifikat.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Sertifikasi Hutan
Sertifikasi hutan pertama kali dilakukan di Indonesia pada tahun 1990 melalui program Smartwood dari Rainforest Alliance, sebuah LSM yang bertempat di New York. Semenjak itu sertifikasi berkembang secara cepat dan pada tahun 1999 sudah lebih dari 15 juta hektar hutan di 26 negara telah mendapatkan sertifikasi (FSC 1999 dalam Schlaepfer dan Eliot 2000). Definisi lain menyebutkan bahwa sertifikasi hutan merupakan sebuah instrumen kebijakan hutan berbasis pasar yang menggunakan stick and carrot approach, yaitu tidak hanya mendorong pengelolaan hutan lestari melalui kampanye boikot kayu (stick) dari hutan yang tidak dikelola secara lestari, tetapi diharapkan juga menawarkan insentif (economic carrots), yaitu akses pasar yang lebih baik dan harga premium kepada pengelola hutan yang mampu mengelola hutannya secara lestari (Cashore et al. 2004). Komitmen berbagai pihak untuk mewujudkan pengelolaan hutan secara lestaripun bermunculan, sehingga memicu munculnya berbagai standar atau ukuran kelestarian yang dituangkan ke dalam seperangkat kriteria dan indikator. Ukuran standar kelestarian tersebut ada yang secara khusus diarahkan untuk menilai kinerja pengelolaan hutan yang dilakukan oleh suatu Forest Management Unit (FMU) sebagai suatu persyaratan (requirement) untuk memperoleh sertifikat untuk memenuhi permintaan pasar ataupun yang digunakan terbatas pada upaya untuk mendorong FMU untuk mencapai pengelolaan hutan secara lestari. Standar kelestarian tersebut telah banyak dikembangkan, baik oleh lembaga pemerintah maupun non pemerintah dengan cakupan nasional, regional maupun internasional. Setiap standar memiliki karakteristik tersendiri, namun bila dicermati lebih jauh semuanya mengarah pada muara yang sama, yaitu tercapainya kelestarian. Perbedaan yang ada merupakan akibat perbedaan preferensi dari para pengembang sesuai dengan tingkat kesejahteraan, penguasaan teknologi, dan kesadaran akan pentingnya kelestarian hutan. Beberapa lembaga pengembang standar kelestarian yang sering dikenal dan digunakan adalah International Timber Tropical Organization (ITTO), Forest Stewardship Council (FSC), Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), Pan-European Forest Certification (PEFC), Certfor Chile, CSA, MTCC, SFI dan Departemen Kehutanan (Dephut). Dari berbagai macam skema sertifikasi hutan, yang biasa digunakan di Indonesia adalah Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan Forest Stewardship Council (FSC). The Forest Stewardship Council (FSC) adalah sebuah organisasi yang independen, nirlaba, non pemerintahan yang dibentuk untuk mendukung pengelolaan hutan-hutan dunia yang layak secara lingkungan, bermanfaat secara sosial, dan berkesinambungan secara ekonomi (FSC 2014). Sebagai organisasi internasional, FSC menyediakan sistem untuk akreditasi dan sertifikasi oleh pihak ketiga yang independen secara sukarela, sehingga memungkinkan pemegang sertifikat untuk memasarkan produk dan layanan mereka, sebagai hasil pengelolaan hutan yang lestari secara lingkungan, sosial, dan ekonomi. FSC
3 menetapkan standar-standar berupa prinsip dan kriteria, sebagai penunjang untuk penilaian terhadap pihak yang mengajukan untuk mendapatkan sertifikasi dan akreditasi dari FSC. Penerbitan prinsip dan kriteria FSC dilakukan pertama kali pada tahun 1994. Prinsip FSC adalah aturan pokok atau unsur-unsur dari pengelolaan hutan yang layak secara lingkungan, menguntungkan secara sosial, dan berkesinambungan secara ekonomi serta menyediakan sarana untuk melakukan penilaian apakah suatu prinsip telah terpenuhi atau tidak (FSC 2014). Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) merupakan organisasi berbasis konstituen yang bergerak di bidang sertifikasi dan akreditasi kehutanan. Skema sertifikasi LEI didesain khusus untuk konteks pengelolaan hutan di Indonesia. Skema sertifikasi LEI memiliki fokus, komitmen, dan keberpihakan kepada masyarakat petani hutan/adat dan segala prosesnya melibatkan pendekatan multistakeholder yang didukung oleh NGO/LSM, masyarakat adat, pengusaha hutan, dan pemerintah. LEI mengembangkan tiga sistem sertifikasi bagi tiga tipe pengelolaan hutan yang ada di Indonesia, yaitu hutan alam produksi (PHAPL), hutan tanaman (PHTL), dan hutan berbasis masyarakat atau hutan rakyat (PHBML). LEI sebagai pengembang skema sertifikasi, memiliki kriteria dan indikator yang merupakan instrumen untuk melakukan penilaian terhadap pengelola hutan yang mengajukan proses sertifikasi. Kriteria dan indikator LEI sebenarnya hampir sama dengan kriteria dan indikator yang ditetapkan FSC yaitu seperti penilaian terhadap kelestarian fungsi produksi, kelestarian fungsi ekologi dan kelestarian fungsi sosial (LEI 2014).
Sertifikasi Hutan Rakyat di Indonesia
Sertifikasi hutan memang sudah lama dikenal, namun sertifikasi hutan rakyat mulai diterapkan baru pada tahun 2004. Dua skema sertifikasi yang beroperasi di Indonesia yaitu Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan The Forest Stewardship Council (FSC). Sejak oktober 2004 hingga November 2007, LEI dan FSC telah mengeluarkan enam sertifikat hutan rakyat di Indonesia, yaitu di Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara (Hinrichs et al. 2008). Keberadaan sertifikasi ini menimbulkan dinamika dan polemik baik dari kelompok tani atau individu pengusaha hutan rakyat dan kalangan pembuat kebijakan. Dari data yang dihimpun Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) baru 72 unit manajemen yang telah mendapatkan sertifikasi legalitas kayu dengan luasan 40 532 Ha. Luasan hutan rakyat yang mendapatkan sertifikasi tersebut hanya 1.5% dari luas hutan rakyat yang berada di Pulau Jawa (Kemenhut 2012). Pro dan kontra kebijakan sertifikasi hutan ini semakin menjadi ketika muncul kebijakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dalam tiga tahun terakhir. Sistem sertifikasi tersebut merupakan akibat adanya kesepakatan perjanjian kemitraan antara Indonesia dengan Uni Eropa terkait tata kelola dan perdagangan produk sektor kehutanan, dimana SVLK menjadi tiang pancang perjanjian kesepakatan tersebut. Dampak dari adanya sistem sertifikasi tersebut, bisa dilihat dari data yang dikeluarkan Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK), dimana nilai ekspor produk kehutanan pada periode Januari hingga November
4 2013 mencapai 5.2 miliar dollar AS, sementara pada periode yang sama di tahun 2012 nilai ekspor produk kehutanan hanya tercatat 4.69 miliar dollar AS berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS 2012). Kenaikan capaian tersebut bisa dikatakan dampak dari adanya sistem sertifikasi yang sedang dilaksanakan pemerintah. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 jo. P. 68/Menhut-II/2011 jo. P.45/Menhut-II/2012 jo. P.42/Menhut-II/2013 pasal 18 ayat 5, yang mengharuskan hutan rakyat memegang sertifikat LK terhitung 31 Desember 2013. Munculnya peraturan tersebut otomatis akan membuat terhambatnya beredarnya kayu yang berasal dari hutan rakyat non sertifikasi untuk tujuan ekspor, karena luasan hutan milik UMHR yang belum mendapatkan sertifikasi cukup besar. Perdebatan masalah sertifikasi ini memunculkan adanya beberapa penelitian mengenai perbandingan hutan rakyat sertifikasi dengan hutan rakyat yang belum tersertifikasi, dilihat dari aspek manfaat secara finansial yang dihasilkan. Berdasarkan (Dermawan 2012) dalam penelitiannya yang membandingkan kontribusi pendapatan yang dihasilkan dari hutan rakyat sertifikasi dengan hutan rakyat belum tersertifikasi, didapatkan kontribusi pendapatan sebesar Rp 24 436 327 /ha/tahun untuk hutan rakyat tersertifikasi (Desa Dengok Kecamatan Playen Kabupaten Gunung Kidul) dan Rp 7 155 121 /ha/tahun untuk hutan rakyat belum tersertifikasi (Desa Mekargalih Kecamatan Cikalongkulon Kabupaten Cianjur).
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di UMHR bersertifikat Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) dan UMHR tidak bersertifikat (Marsudi Boga), Kabupaten Kulonprogo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2014.
Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang dikumpulkan melalui wawancara dengan beberapa anggota dan pengurus KWLM dan Marsudi Boga. Data primer adalah data yang terkait dengan pengelolaan usaha hutan rakyat mencakup keuangan, data inventarisasi tegakannya, dan data aktivitas kelompok. Selain itu data primer juga diperoleh dari hasil observasi ke lokasi tegakan milik anggota kelompok. Data sekunder merupakan data yang berasal dari proses studi literatur dan sumber lain yang terkait.
5
Metode Analisis Data Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis data kualitatif berupa analisis deskriptif mengenai gambaran pengelolaan usaha. Analisis data kuantitatif berupa pendugaan cadangan karbon dan analisis kelayakan usaha dengan metode aliran kas berdiskonto berdasarkan kriteria kelayakan Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BCR). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Ms. Word dan Ms. Excel. Pendugaan Cadangan Karbon 1. Menghitung nilai volume pohon melalui persamaan geometrik π = πΏπ΅π·π Γ π Γ π Keterangan : V = Volume pohon (m3) T = Tinggi pohon (m) f = Angka bentuk = 0.6 (Krisnawati et al. 2010) LBDS = 1β4 ππ·2 (m2) 2. Menduga biomassa tegakan dengan rumus: Biomassa = Vol Γ WD Γ BEF Keterangan : Vol = Volume pohon (m3) WD = Wood density (g/cm3) nilai disajikan pada Tabel 1 BEF = Biomass Expansion Factor (IPCC 2003) dengan nilai default yaitu 1.3 untuk jenis tidak terdaftar 3. Menduga cadangan karbon berdasarkan biomasa dengan rumus: Karbon (C) = Biomassa Γ fk(C) Keterangan: fk (C) = Faktor konversi biomassa ke karbon 0,47 (IPCC 2006) untuk jenis tidak terdaftar
6 Tabel 1 Nilai BEF, Fk (C), dan kerapatan kayu (WD) Nama lokal Nama latin WD (kg/m3) Nilai BEF Akasia Acacia mangium 510 1.33 Jati Tectona grandis 670 1.46 Mahoni Swietenia macrophylla 560 1.36 Sengon Paraserianthes falcataria 370 1.34 Sonokeling Dalbergia latifolia 780 1.49 Sumber : Kemenhut 2013
Fk (C) 0.45 0.49 0.47 0.44 0.48
Analisis Finansial a. Net Present Value (NPV) diperoleh melalui persamaan (Gittinger 2008) n Bt β Ct NPV = β (1 + i)t t=0
Keterangan: Bt = Pendapatan (benefit) pada tahun ke-t Ct = Biaya (cost) pada tahun ke-t i = suku bunga (discount rate) (%) t = umur ekonomis usaha b. Benefit Cost Ratio (BCR) diperoleh melalui persamaan (Gittinger 2008) Bt β (1+i)t BCR = Ct β (1+i)t Keterangan: Bt = Manfaat bersih tahunan yang bernilai positif Ct = Manfaat bersih tahunan yang bernilai negatif t = tahun ke-
Penilaian Keorganisasian Penilaian dari segi organisasi hutan rakyat baik yang bersertifikat maupun tidak bersertifikat pada penelitian ini dilakukan dengan wawancara terhadap masyarakat petani hutan rakyat setempat dan pengurus kelompok (kuisioner terlampir).
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Kelompok Hutan Rakyat Bersertifikat Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) dan Hutan Rakyat Tidak Bersertifikat (Marsudi Boga)
Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) dan Kelompok Tani Marsudi Boga adalah sebuah perkumpulan yang bergerak dalam pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Kulonprogo. Sebagai sebuah perkumpulan yang membentuk organisasi di bidang pengelolaan hutan rakyat, KWLM adalah kelompok yang sudah mendapatkan sertifikasi dari FSC sejak tahun 2011 dari Rainforest Alliance, sedangkan kelompok tani Marsudi Boga belum mendapatkan sertifikasi. Wilayah kerja KWLM mencakup Kecamatan Kalibawang, Kecamatan Samigaluh, Kecamatan Girimulyo, dan Kecamatan Nanggulan dengan luasan 700 Ha. Kelompok tani Marsudi Boga memiliki areal kerja di Kecamatan Sentolo (Gambar 1). Kondisi topografi dari keempat wilayah kecamatan tersebut merupakan daerah dataran tinggi dalam jajaran perbukitan Menoreh dengan ketinggian antara 100 - 1000 mdpl, dengan presentase 3% ketinggian <100 mdpl, 60% ketinggian 100 - 500 mdpl, dan 37% ketinggian >500 mdpl. Luas hutan rakyat yang dikelola KWLM hingga 2014 telah mencapai hampir 700 hektar, sedangkan Marsudi Boga mencapai 9.48 hektar.
Sumber : Batas administrasi Kabupaten Kulonprogo Gambar 1 Peta Kabupaten Kulonprogo
8 Perbandingan Stok Karbon pada Hutan Rakyat Bersertifikat dengan Hutan Rakyat Tidak Bersertifikat
Keberadaan hutan rakyat yang dikelola oleh anggota kelompok KWLM dan Marsudi Boga, pada dasarnya sangat bermanfaat bagi kehidupan. Manfaatnya tidak hanya hasil kayunya saja, namun juga hasil hutan lainnya seperti satwa, jasa lingkungan baik estetika, tata air, penghasil udara bersih dan penyerap karbon. Serapan karbon ini akan bergantung pada besarnya biomassa per pohon dalam setiap lahan. Menurut Whitemore (1985), umumnya karbon menyusun 45 - 50% bahan kering dari tanaman, dan menurut Satoo dan Madgwick (1982) selain curah hujan dan suhu yang mempengaruhi besarnya biomassa adalah parameter umur, kerapatan tegakan, komposisi dan struktur tegakan, serta kualitas tempat tumbuh. Besaran nilai serapan karbon yang dikandung bisa dianggap sebagai salah satu variabel tingkat kelestarian yang telah dicapai dari pengelolaan hutan. Hasil inventarisasi yang dilakukan di areal hutan milik anggota KWLM diperoleh data mengenai diameter, tinggi bebas cabang dan tinggi pohon. Berdasarkan data inventarisasi, hutan rakyat di kelompok KWLM didominasi oleh tanaman jati, mahoni, sengon dan sonokeling baik yang ditanam pada lahan tegalan maupun pekarangan. Umur dari tanaman tersebut bervariasi hal ini dapat dilihat dari beragamnya diameter pohon yang ada, walaupun secara spesifik pemilik hutan rakyat tidak bisa menyebutkan umur tanam dari jenis yang ada. Setiap tahunnya terjadi penanaman yang dilakukan oleh setiap anggota yang melakukan pemanenan kayu. Penanaman dan pemanenan membuat adanya perubahan komposisi strukturnya yang ditinjau dari segi kerapatan pohon per hektar dan volumenya tertera pada Tabel 2. Tanaman jati memiliki potensi volume terbesar dibanding jenis lainnya yang dibudidayakan oleh anggota KWLM yaitu sebesar 44.13 m3/ha dengan jumlah kerapatan tegakan terbesar pada rentang diameter 11 cm hingga 20 cm yaitu 348.57 pohon/ha. Tabel 2 Potensi Tegakan Per Hektar Hutan Rakyat Bersertifikat (KWLM) Jenis pohon Jati
Mahoni
Sengon
Volume (m3/ha) Kerapatan (pohon/ha) Volume (m3/ha) Kerapatan (pohon/ha) Volume (m3/ha) Kerapatan (pohon/ha)
β€ 10
Diameter (cm) 11 - 20 21 - 30 31 - 40
β₯ 41
5.04
26.32
2.58
4.89
5.29
287.14
348.57
15.71
8.57
5.71
0.87
2.16
2.99
1.65
0
51.67
38.33
13.33
3.33
0
0.84
2.25
6.13
0.48
1.96
60
27.14
21.43
1.43
2.86
9 Potensi volume tegakan pada areal hutan rakyat anggota Marsudi Boga yang didapat dari data inventarisasi tertera pada Tabel 3, memiliki tingkat dominasi tertinggi pada jenis tanaman jati dengan potensi volumenya sebesar 28.48 m3/ha dan kerapatan tertingginya pada rentang diameter 11 cm hingga 20 cm yaitu 230 pohon/ha. Jenis tanaman potensial yang memiliki potensi tinggi dari anggota Marsudi Boga adalah sengon dengan potensi volumenya 20.12 m3/ha. Sengon merupakan tanaman dengan daur pendek dan digemari oleh anggota Marsudi Boga untuk dibudidayakan. Tabel 3 Potensi Tegakan Per Hektar Hutan Rakyat Tidak Bersertifikat (Marsudi Boga) Jenis pohon
Diameter (cm) 11 - 20 21 - 30 31 - 40
β€ 10 β₯ 41 Volume 2.14 15.64 4.36 4.95 1.39 (m3/ha) Kerapatan 127.50 230.00 22.50 10.00 2.50 (pohon/ha) Mahoni Volume 0.14 0.34 0.00 0.00 0.00 (m3/ha) Kerapatan 10 5 0 0 0 (pohon/ha) Sengon Volume 0.75 2.80 0.00 16.56 0.00 (m3/ha) Kerapatan 90 50 0 20 0 (pohon/ha) Jenis tanaman yang dibudidayakan di kedua kelompok baik KWLM maupun Marsudi Boga merupakan jenis komersil yang biasa dibudidayakan pada hutan rakyat di daerah lain. Perbedaan potensi volume tegakan yang dihasilkan di kedua kelompok terjadi karena kebutuhan dari setiap kelompok. KWLM sebagai unit usaha berbasis koperasi memiliki target produksi yang tertuang dalam Jatah Tebangan Tahunan (JTT) perusahaan. Jenis jati dan sengon merupakan tanaman dengan prioritas tertinggi pada pengelolaan hutan rakyat di KWLM, hal ini dapat dilihat dari JTT KWLM 2014 untuk jati dan sengon yang berturut-turut yaitu 621.604 m3 dan 658.702 m3. Marsudi Boga sebagai unit usaha berbasis kelompok tani memiliki anggota yang lebih cenderung ke budidaya tanaman berdaur pendek seperti sengon dan akasia. Sengon dan Akasia merupakan tanaman dengan daur pendek yaitu 5 tahun hingga 8 tahun. Selain itu sengon merupakan tanaman yang mudah dalam pemeliharaannya serta bisa diterapkan pada lahan dengan pola tanam tumpang sari. Kelompok Marsudi Boga dalam pemanenannya lebih mengarah terhadap sistem tebang butuh para anggotanya. Dominasi kelas diameter di kedua unit pengelola hutan rakyat baik yang bersertifikat (KWLM) dan yang belum bersertifikat (Marsudi Boga) cenderung sama yaitu didominasi tanaman dengan kelas umur muda yaitu di bawah 20 cm. Selain tanaman yang tertera pada tabel 2 dan tabel 3 terdapat jenis lain yang dibudidayakan, yaitu sonokeling pada kelompok KWLM dan akasia pada kelompok Marsudi Boga. Jati
10 Simpanan biomassa dan karbon tegakan hutan rakyat bersertifikat dan tidak bersertifikat Biomassa merupakan total berat kering dari vegetasi dan dinyatakan dalam satuan kilogram atau ton. Biomassa terbagi menjadi biomassa hidup dan mati seperti nekromassa dan serasah, selain itu biomassa terdiri dari biomassa di atas permukaan tanah dan bawah permukaan tanah. Pendugaan biomassa pada penelitian ini dilakukan pada biomassa tegakan dari masing-masing kelompok hutan rakyat atas lahannya. Pendugaan biomassa merupakan salah satu cara untuk mengetahui kandungan karbon yang tersimpan pada hutan, mengingat karbon menyusun 45 - 50% dari biomassa tumbuhan (Ketterings et al. 2001; Brown 1997 dalam Roesyane 2010). Simpanan biomassa tegakan terdiri dari simpanan biomassa pohon, tiang dan pancang. Hasil pengukuran dan perhitungan di dapat biomassa per jenis dan total dari masing-masing lahan hutan rakyat. KWLM pengelola hutan rakyat yang telah bersertifikat memiliki biomassa per hektarnya adalah 56.027 ton/ha, sedangkan Marsudi Boga sebagai kelompok hutan rakyat yang tidak bersertifikat memiliki simpanan biomassa 47.452 ton/ha. Pendekatan yang digunakan untuk pendugaan biomassa merupakan persamaan menurut Brown (1997) yaitu berdasarkan pendugaan volume kulit sampai batang bebas cabang yang kemudian dirubah menjadi jumlah biomassa (ton/ha) menggunakan faktor nilai Biomass Expansion Factor (BEF) dari masing-masing jenis pohon. Perbedaan yang dihasilkan dari nilai biomassa di kedua kelompok pengelola hutan rakyat sangat berkorelasi dengan jumlah volume yang terkandung per hektar dari kedua lahan hutan rakyat. Tingkat kerapatan, jenis, diameter, dan tinggi pohon merupakan komponen yang mempengaruhinya. Tabel 4 Nilai dugaan biomassa dan cadangan karbon hutan rakyat bersertifikat (KWLM) dan hutan rakyat tidak bersertifikat (Marsudi Boga) KWLM Marsudi Boga Jenis Pohon Volume Biomassa Karbon Volume Biomassa Karbon (m3/ha) (ton/ha) (ton C/ha) (m3/ha) (ton/ha) (ton C/ha) Jati 44.13 43.169 21.153 28.48 27.856 13.650 Mahoni 7.67 5.842 2.746 0.47 0.361 0.170 Sengon 11.66 5.782 2.544 20.12 9.975 4.389 Jenis lain 1.06 1.234 0.592 13.65 9.259 4.167 Jumlah 64.52 56.027 27.035 62.72 47.452 22.375 Besaran nilai biomassa akan berpengaruh terhadap karbon yang dikandung pada suatu lahan mengingat karbon menyusun 50% biomassa tumbuhan. Nilai karbon per hektar di kedua unit hutan rakyat seperti yang tercantum pada Tabel 3 menunjukkan, KWLM sebagai kelompok hutan rakyat bersertifikat memiliki simpanan karbon 27.035 ton C/ha, sedangkan Marsudi Boga memiliki simpanan karbon 22.375 ton C/ha. Penelitian lain mengenai potensi karbon menunjukkan, seperti Asyisanti (2004) di hutan rakyat Desa Karyasari, Kabupaten Bogor menghasilkan nilai simpanan karbon antara 15.56 - 194.97 ton C/ha dengan tanaman pokok kayu afrika, sedangkan penelitian Aminudin (2008) di hutan rakyat Desa Dengok, Kabupaten Gunung Kidul dengan tanaman pokok jati
11 memberikan hasil nilai simpanan karbon antara 17.33 - 49 ton C/ha. Besaran nilai yang dihasilkan dari penelitian hutan rakyat di KWLM dan Marsudi Boga menunjukkan nilai simpanan karbon yang masuk pada kondisi normal pada hutan rakyat jika meninjau penelitian sebelumnya. Perbedaan nilai yang dihasilkan merupakan pengaruh dari umur, jenis, tindak silvikultur, dan kondisi ekologi setempat. Kelayakan Finansial Pengelolaan Hutan Rakyat Bersertifikat dan Hutan Rakyat Tidak Bersertifikat Analisis finansial merupakan salah satu analisis yang digunakan untuk memperkirakan suatu investasi layak atau tidak (Gray 1997). Analisis finansial dilakukan untuk melihat berjalannya dari kegiatan investasi ditinjau dari sisi individu, perseroan, atau kelompok yang berhubungan dengan proyek. Penelitian ini melakukan analisis finansial dari sisi kelompok dengan melihat potensi pendapatan yang dihasilkan dari per hektar lahan hutan rakyat. Analisis finansial dilakukan terhadap dua kelompok pengelola hutan rakyat yaitu KWLM unit yang telah bersertifikat dan Marsudi Boga sebagai kelompok yang belum bersertifikat. Menurut Gittinger (2008) kelayakan usaha hutan rakyat di lahan areal kerja KWLM dan Marsudi Boga dapat diketahui menggunakan Cash Flow Analysis dengan melihat diantaranya kriteria Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BCR). Tingkat suku bunga yang digunakan adalah 13%, hal ini berdasarkan tingkat suku bunga pada saat penelitian dilaksanakan. Komponen yang dianalisis meliputi komponen biaya dan komponen pendapatan. KWLM sebagai unit usaha yang telah bersertifikat memiliki komponen biaya yang lebih banyak dibanding Marsudi Boga, seperti adanya biaya sertifikasi, operasional pemasaran, administrasi, honor karyawan, sosialisasi penambahan kelompok, sewa kantor, inventarisasi tahunan, dan biaya lainnya. Mengenai komponen penerimaan pada kedua unit usaha baik KWLM maupun Marsudi Boga cenderung sama yaitu dari penjualan kayu dan tanaman pertanian tumpang sari, perbedaannya hanya pada nilai jual kayu yang didapat anggota KWLM yang lebih besar karena mendapatkan premium price dari adanya program sertifikasi serta pengelolaan produk pertanian bersama kelompok. Hasil perhitungan pada Tabel 5 menunjukkan besarnya nilai potensi yang dikandung pada kedua hutan rakyat baik milik anggota KWLM maupun Marsudi Boga dalam satuan hektar per tahun. Nilai NPV KWLM sebesar Rp 25 961 264 /ha/tahun dengan BCR 3.07, sedangkan Marsudi Boga memiliki nilai NPV Rp 6 688 540 /ha/tahun dengan BCR 2.71. Penelitian di tempat lain seperti penelitian Dermawan (2012) di hutan rakyat bersertifikat Desa Dengok Kabupaten Gunung Kidul dan hutan rakyat tidak bersertifikat Desa Mekargalih Kabupaten Cianjur memberikan nilai besaran kontribusi pendapatan, dimana Desa Dengok sebesar Rp 24 436 327 /ha/tahun dengan tegakan pokok jati, Desa Mekargalih sebesar Rp 7 155 121 /ha/tahun dengan tegakan pokok sengon. Selisih yang ada menunjukkan manfaat yang dihasilkan dari keberadaan program sertifikasi. Lepas dari manfaat yang dihasilkan dari program sertifikasi, nilai usaha yang dihasilkan KWLM dan Marsudi Boga tergolong dalam usaha hutan rakyat yang layak karena memiliki nilai NPV lebih besar dari nol dan rasio BCR lebih dari satu.
12 Tabel 5 Analisis Finansial pada Hutan Rakyat bersertifikat dan Hutan Rakyat Tidak Bersertifikat UMHR KWLM (sertifikasi) Marsudi Boga (non sertifikasi)
NPV (ha/tahun) Rp 25 961 264 Rp 6 688 540
BCR (ha/tahun) 3.07 2.71
Perbandingan Kelembagaan yang dibangun pada Hutan Rakyat Bersertifikat dan Hutan Rakyat Tidak Bersertifikat Kajian mengenai hutan rakyat yang berkaitan dengan pengelolaannya dan kelembagaannya sering dijumpai, hal tersebut timbul karena umumnya hutan rakyat tidak dikelola individu melainkan kelompok baik yang berbasis kelompok tani, koperasi, ataupun CV, hal tersebut berlangsung karena adanya harapan pasar yang jelas maupun ajang pembelajaran diantara pemilik anggota. KWLM merupakan salah satu contoh kelompok pengelola hutan rakyat yang berbasis koperasi dan telah bersertifikat lestari, sedangkan Marsudi Boga merupakan kelompok pengelola hutan rakyat yang berbasis kelompok tani dan belum bersertifikat. Keberadaan dan kapasitas kelompok akan sangat mempengaruhi perkembangan kedepannya dalam keberlanjutan usaha hutan rakyat. Ketua
Wakil ketua
Kelembagaan
Bendahara I
Sekertaris I
Bendahara II
Sekertaris II
Humas dan Penyuluhan
Budidaya Kayu
Produksi
Budidaya Hasil Pertanian
Gambar 2 Bagan struktur organisasi hutan rakyat bersertifikat (KWLM) KWLM dan Marsudi Boga merupakan kelompok hutan rakyat yang samasama terdiri dari sekumpulan orang, memiliki struktur kepengurusan, aturan dan tujuan menunjukkan konsep kelembagaan menurut Syahyuti (2007). Struktur kepengurusan KWLM pada Gambar 2 dan Marsudi Boga pada Gambar 3, memiliki pola struktur sama dan umum. Perbedaan sistem kepengurusannya terletak pada adanya badan pengawas dan pembina untuk kelompok KWLM, serta unit pelaksana kerja di masing-masing kelompok. KWLM memiliki beberapa unit yang tidak ada pada kelompok Marsudi Boga yaitu unit kelembagaan, humas, dan
13 pertanian. Unit tersebut menunjukkan pengelolaan hutan rakyat di KWLM tidak hanya fokusnya pada kayu saja, seperti unit pertanian memiliki fungsi menampung produk pertanian anggota dan unit humas yang memiliki fungsi mengadakan sosialisasi untuk penambahan anggota baru, serta unit kelembagaan yang bertugas menjalin hubungan dengan lembaga mitra pendukung KWLM. Fokus pada pengelolaan hutannya saja berlangsung pada kelompok Marsudi Boga, hal ini dapat dilihat dari unit kerjanya, sedangkan mengenai hubungan dengan lembaga luar lebih dipegang ketua dan wakil ketua melalui kesepakatan bersama kelompok terlebih dahulu. Ketua
Wakil ketua
Unit Kerja Penanaman dan Pembibitan
Bendahara
Sekertaris
Wakil bendahara
Wakil sekertaris
Unit Kerja Perawatan
Unit Kerja Pengamanan
Unit Kerja Usaha
Gambar 3 Bagan struktur organisasi hutan rakyat tidak bersertifikat (Marsudi Boga) Penelitian ini dilakukan untuk mengumpulkan data dan mengukur seberapa jauh perbedaan yang terjadi antara kelompok pengelola hutan rakyat bersertifikat dengan kelompok pengelola hutan rakyat tidak bersertifikat. Penilaian kapasitas dan kinerja suatu kelompok dapat dilakukan, salah satunya dengan analisis kelembagaan terhadap masing-masing kelompok pengelola hutan rakyat. Menurut Awang et al (2000) analisis kelembagaan bisa dilakukan menggunakan beberapa pendekatan meliputi aspek keorganisasian, kepemimpinan, kapasitas kelembagaan, manajemen konflik, dan kegiatan. Perbandingan kelembagaan hutan rakyat bersertifikat dan hutan rakyat tidak bersertifikat tercantum pada Tabel 6.
14 Tabel 6 Perbandingan kelembagaan hutan rakyat bersertifikat (KWLM) dan tidak bersertifikat (Marsudi Boga) Variabel lembaga Keorganisasian
Kepemimpinan
Kapasitas Organisasi
Manajemen Konflik
Kegiatan
KWLM (sertifikasi) Memiliki legalitas, peraturan, struktur, kepengurusan, dan keanggotaan Kekuasaan tertinggi oleh rapat anggota, peranan pemimpin sebagai Leader dan Entrepreneur Memiliki rencana kerja tahunan, SOP kerja, sumber daya, dan jaringan pendukung Memiliki mekanisme resolusi konflik dan ditegakkannya sanksi Terjadi kontinuitas kegiatan pengelolaan hutan, adanya manfaat dalam bentuk ekonomi, sosial, dan ekologi
Marsudi Boga Memiliki peraturan, struktur, kepengurusan, dan keanggotaan Kekuasaan tertinggi melalui rapat anggota, peranan pemimpin sebagai fasilitator Memiliki sumber daya dan jaringan pendukung yang terbatas Mekanisme resolusi konflik tidak tersedia
Kegiatan pengelolaan hutan berlangsung tidak secara kontinu, kegiatan lebih memberikan dampak ekologi Keorganisasian yang baik akan memudahkan suatu organisasi mencapai tujuan utama kelompok. Hutan rakyat dalam pengelolaannya memiliki basis yaitu keluarga, sehingga organisasi yang terbentuk di KWLM maupun Marsudi Boga memiliki sifat kepengurusan yaitu berlandas kekeluargaan. Keberadaan atau eksistensi sebuah organisasi juga dipengaruhi dengan adanya legalitas, hal ini mengingat adanya tata hukum negara, namun tidak sedikit sebuah organisasi yang tidak berbadan hukum. KWLM sebagai unit manajemen hutan rakyat yang telah bersertifikat memiliki badan hukum nomor: 29/BH/XV.3/2009 yang diberikan Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah melalui Bupati Kulonprogo. Marsudi Boga sebagai unit manajemen hutan rakyat yang belum bersertifikat belum mendapatkan legalitas. Sebenarnya legalitas sebuah organisasi tidak memiliki kaitan dengan program sertifikasi hutan, namun keberadaan program tersebut yang membuat sebuah organisasi melakukan upaya legalisasi. KWLM dan Marsudi Boga sama-sama memiliki peraturan, perbedaanya peraturan KWLM tertuang dalam AD/ART organisasi, sedangkan Marsudi Boga lebih bersifat aturan tidak tertulis atau berdasar kearifan lokal setempat. Mekanisme kepengurusan di KWLM berjalan tiga tahun masa kerja, hal ini berdasarkan AD/ART organisasi. Marsudi Boga memiliki kepengurusan yang cenderung tetap tidak berubah. Sifat keanggotaan di kedua manajemen bersifat terbuka dan sukarela, perbedaanya adalah adanya kewajiban pada masing-masing kelompok, seperti KWLM mewajibkan anggotanya membayar iuran wajib Rp 5 000 serta menghadiri rapat dan memprioritaskan koperasi untuk membeli kayu anggota. Sedangkan Marsudi Boga mewajibkan anggotanya untuk kumpul bulanan serta membayar iuran Rp 10 000 setiap bulannya. Untuk Marsudi Boga
15 karena kelompok tidak menampung hasil kayu, maka untuk pemasaran diserahkan penuh kepada pemilik hutan rakyat. Secara aspek kepemimpinan kelompok KWLM memiliki pemimpin yang berperan sebagai manajer, hal ini terlihat dari sikap dan cara mengelola kelompok seperti kegiatan rencana tahunan yang disusun setiap tahunnya, pembukuan, perencanaan JTT, mediasi terhadap anggota, menjalin kerja sama baik dengan lembaga mitra dan buyer. Sedangkan peranan pemimpin pada kelompok Marsudi Boga lebih mengarah pada fasilitator, yaitu perantara anggota dengan instansi pemerintah maupun lembaga lain. Melihat kapasitas organisasi kelompok dilihat dari sumber daya dan jaringan, KWLM memiliki kemapanan seperti tersedianya kantor dan perangkat pendukung, tenaga kerja profesional, modal, lembaga mitra, dan Buyer selaku konsumen kayu bulat. KWLM memiliki jumlah mitra dan buyer yang cukup banyak, diantaranya TELAPAK Bogor, YABIMA, CUKATA, PT Rimba Partikel Indonesia, PT Vincent Sheppart, dan PT Ploss Asia. Sedangkan Marsudi Boga memiliki keterbatasan baik dari segi sumber daya maupun jaringan, hal ini dapat dilihat dari tidak tersedianya tenaga kerja khusus. Kantor sekertariat Marsudi Boga berada pada aula Kadus Kaliagung, dan untuk modal lebih ke arah mandiri pemilik hutan rakyat. Mitra dari kelompok Marsudi Boga adalah lembaga-lembaga pemerintahan seperti Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, dan untuk buyer lebih bergantung terhadap tengkulak baik dari Kabupaten Kulonprogo maupun luar daerah. Terdapat perbedaan alur pemasaran antara KWLM dan Marsudi Boga, hal ini merupakan dampak dari pengelolaan manajemen kelompok. Alur pemasaran kayu pada anggota KWLM tertera pada Gambar 4 yaitu kayu pemanenan harus melalui koperasi atau kelompok terlebih dahulu untuk selanjutnya didistribusikan ke perusahaan yang telah terikat kontrak. sedangkan alur pemasaran kayu di Marsudi Boga kayu hasil pemanenan tidak perlu melalui kelompok yang ditunjukkan Gambar 5.
Pemanenan
Depo KWLM
Perusahaan
Gambar 4 Alur pemasaran kayu UMHR bersertifikat (KWLM)
16
Pemanenan
Sawmill, Tengkulak
Gambar 5 Alur pemasaran kayu UMHR tidak bersertifikat (Marsudi Boga) KWLM telah memiliki mekanisme atau SOP untuk resolusi konflik. SOP ini berisi tentang cara pencegahan dan pengawasan konflik umum oleh tim, bentuk pengaduan, dokumentasi, investigasi, dan penyelesaian konflik tertera pada Gambar 6. Bentuk pencegahan dan pengawasan konflik di KWLM dilakukan dengan melakukan pemantauan sosial bulanan ke setiap unit kelompok oleh wakil koperasi, badan pengawas dan koordinator unit. Jika terjadi sebuah konflik maka dapat dilakukan peengaduan secara tertulis oleh anggota ataupun stakeholder setempat dan akan mendapat nomor pengaduan dari sekertaris KWLM. Tahapan investigasi di sini pengelompokan jenis konflik apakah internal, eksternal atau legal. Perbedaan kategori konflik tersebut untuk menentukan pihak yang akan terlibat dalam investigasi dan penyelesaian konflik.
Investigasi
Penyelesaian konflik
Pengaduan Pencegahan dan pengawasan
Gambar 6 Bagan resolusi konflik hutan rakyat bersertifikat (KWLM) Kelompok Marsudi Boga tidak memiliki manajemen resolusi konflik, karena umumnya konflik diselesaikan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat setempat. Berdasarkan hasil wawancara jika terjadi konflik maka kedua belah pihak yang berkonflik akan dipertemukan dan akan di fasilitatori oleh pengurus kelompok Marsudi Boga. Meninjau dari keanggotaan dari kelompok Marsudi Boga yang telah berjalan sejak tahun 1986, membuat tingkat persaudaraan yang sangat baik di antara sesama anggota sehingga keberadaan konflik rentan untuk terjadi. Usaha hutan rakyat tidak bisa lepas dari kegiatan struktural pengelolaan hutan yang melibatkan praktek silvikultur dan konsep bisnis. Beberapa variabel penentu untuk melihat keberhasilan pengelolaan hutan rakyat bisa dilihat dari kontinuitas kegiatan, tingkat kemanfaatan, kemandirian, dan pengembangan kelompok. Kontinuitas kegiatan hutan rakyat yang berkaitan langsung dengan proses sertifikasi antara lain pemetaan lahan, inventarisasi potensi, pengadaan
17 bibit, pembinaan petani, dan penjualan kayu. Kegiatan pemetaan dan inventarisasi hutan rakyat di KWLM dilaksanakan pada awal program, sedangkan Marsudi Boga kedua kegiatan tersebut belum dilakukan. Pengadaan bibit dan pembinaan petani di KWLM dilakukan secara berkala, sedangkan di Marsudi Boga dilakukan saat berlangsungnya suatu program dari dinas atau instansi pemerintah. Penjualan kayu sertifikasi di KWLM dilakukan secara rutin dan pada tahun 2013, volume penjualan kayu rata-rata di KWLM 53.28 m3/bulan. Sementara itu, penjualan kayu di Marsudi Boga tidak dilakukan secara rutin dan pada tahun 2013 volume penjualan kayu rata-rata 2.13 m3/bulan. Penelitian lain oleh Wiyono dan Silvi (2013) di Hutan Rakyat Sertifikasi CV Dipantara Desa Katongan, Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul memberikan besaran volume penjualan kayu rata-rata 30 m3/bulan dan memberikan premium price sebesar 20 - 35% untuk kayu sertifikasi. Hal tersebut menunjukkan adanya manfaat sistem pengelolaan dari hutan rakyat bersertifikat. Salah satu manfaat yang dijanjikan dengan adanya program sertifikasi adalah premium price atau nilai tawar lebih tinggi untuk kayu sertifikasi. KWLM memberikan premium price kepada anggota kelompok berupa selisih harga beli kayu sertifikasi lebih tinggi dibandingkan dengan harga kayu lokal sebesar 14% jenis jati, 21% jenis mahoni, dan 5% untuk jenis sengon. Sementara itu di Marsudi Boga harga kayu lebih mengikuti harga pasar kayu lokal. Selain premium price, KWLM memberikan bentuk bantuan bibit 10 batang kepada anggota untuk setiap pohon yang dipanen dan dijual ke KWLM. Sementara itu, Marsudi Boga mendapatkan bantuan bibit bergantung dari adanya program pemerintah. KWLM juga memberikan Sisa Hasil Usaha (SHU) kepada para anggotanya setiap tutup tahun atau Rapat Akhir Tahunan (RAT) sebesar 15% dari SHU KWLM bagi anggota yang potong kayu pada tahun berjalan. Ditinjau dari kemandirian, KWLM memiliki ketergantungan dana terhadap mitra dan memiliki tenaga profesional dalam kepengurusannya. Sementara itu, pendanaan Marsudi Boga tidak bergantung terhadap mitra dan lebih bersifat pendanaan mandiri setiap anggota. Untuk perkembangan kelompok, pada tahun 2014 ini KWLM mengalami penambahan anggota sebanyak 65 orang sehingga juga terjadi peningkatan luas. Tingkat keselarasan yang baik diantara sesama membuat kelompok tani Marsudi Boga bertahan lama. Keselarasan tersebut dilandasi norma agama dan nilai-nilai kehidupan seperti nilai kebersamaan dan nilai keteladanan. Sebagian besar mayarakat di lingkup Marsudi Boga memeluk Islam dan dari hasil wawancara diperoleh persepsi anggota bahwa menanam pohon merupakan salah satu bentuk amalan baik, tidak hanya berdampak positif untuk lingkungan namun juga untuk keturunannya. Selain itu, adanya nilai-nilai yang dianut anggota Marsudi Boga seperti latar belakang keinginan untuk membangun kebersamaan diantara sesama dan nilai keteladanan dari nenek moyang membuat sistem keanggotaan Marsudi Boga diwariskan secara turun temurun. Penelitian lain mengenai kelembagaan hutan rakyat oleh Ruhimat (2008) di Desa Ranggang, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan juga menunjukkan adanya landasan norma agama dan sanksi, serta nilai-nilai kehidupan seperti keteladanan, kerja keras, berhati-hati yang dianut oleh kelompok.
18
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Tingkat kelestarian dari pengelolaan hutan rakyat bersertifikat dan tidak bersertifikat menghasilkan kebermanfaatan yang sama baik secara ekologi, ekonomi, dan kelembagaan. Dari sisi ekologis khususnya potensi stok karbon hutan, UMHR yang bersertifikat (KWLM) memiliki simpanan karbon tegakan lebih besar yaitu 27.035 ton C/ha, sedangkan yang tidak bersertifikat (Marsudi Boga) 22.375 ton C/ha. Dari segi ekonomi kedua kelompok UMHR dapat dikatakan layak dari segi usaha karena memiliki NPV β₯ 0 dan BCR β₯ 1, KWLM memiliki NPV Rp 25 961 264 dan BCR 3.07, sedangkan Marsudi Boga memiliki NPV sebesar Rp 6 688 540 dan BCR 2.71. Dari aspek kelembagaan, KWLM memiliki kinerja profesional dalam manajemen kelompok, mitra yang luas, dan latar belakang pengurusnya yang memiliki kemampuan dalam bidangnya. Sedangkan kelompok tani Marsudi Boga memiliki tingkat kekeluargaan yang lebih terjalin mengingat kearifan lokal daerah tersebut yaitu landasan nilai agama yang kental dan nilai kemasyarakatan, dalam hal kebersamaan dan gotong royong yang tertanam pada setiap generasi anggota secara turun temurun.
Saran Perlu adanya perkumpulan diskusi antar sesama kelompok, baik pengelola hutan rakyat yang telah bersertifikat maupun yang belum bersertifikat, sehingga terjadi pembelajaran bersama mengenai kepengurusan hutan, baik dari segi manajemen organisasi maupun pengelolaan hutan. Serta bantuan dari pemerintah dan instansi terkait untuk memberikan penyuluhan sertifikasi hutan rakyat kepada kelompok tani.
DAFTAR PUSTAKA Aminudin. 2008. Kajian potensi cadangan karbon pada pengusahaan hutan rakyat (studi kasus: hutan rakyat Dengok, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul). [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Asyisanti. 2004. Potensi karbon di atas permukaan tanah pada hutan rakyat (studi kasus di Desa Karyasari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Awang SA, Suhardi, Myrna AS, Kustomo. 2000. Kelembagaan Kehutanan Masyarakat, Belajar dari Pengalaman. Yogyakarta (ID): Aditya Media. [BPS] Badan Pusat Statistika. 2012. Indonesia dalam Angka [Internet]. [Waktu pembaharuan tidak diketahui]; [diunduh 2014 Mei 21]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/id/ BPKH Wilayah XI Dephut. 2012. Luas Hutan Rakyat Indonesia [Internet].[Waktu pembaharuan tidak diketahui]; [diunduh 2014 Mei 28]. Tersedia pada: http://Dephut.go.id
19 Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest: A pamer. FAO Forestry Paper. Cashore B, Auld G, Newsom D. 2004. Governing Through Markets: Forest certification and the emergence of non-state authority. New Haven and London (UK): Yale University Press. Dermawan FY. 2012. Manajemen Hutan Rakyat: Perbandingan Hutan Rakyat Bersertifikasi Lestari dengan Hutan Rakyat Belum Bersertifikasi (Studi Kasus Hutan Rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Cianjur). [tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. [FSC] Forest Stewardship Council. 2014. Standar Forest Stewardship Hasil Harmonisasi Standar Antar Lembaga Sertifikasi FSC untuk Indonesia. FSCSTD-IDN-01-2013 Indonesia Natural, Plantations and SLIMF EN Harmonised. Hlm 1-59. Gittinger JP. 2008. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Mangiri K dan Sutomo S, penerjemah. Jakarta (ID): UI-Press. Terjemahan dari: Economic Analysis of Agriculture. Edisi ke-2. Grant JW, Pedersen EK, Marin SL. 1997. Ecology and Natural Resource Management: System Analysis and Simulation. Massachusetts (US): AddisonWesley Publishing Company. Gray. 1997. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta (ID): PT Gramedia. Hinrichs A, Muhtaman DR, Irianto N. 2008. Sertifikasi Hutan Rakyat di Indonesia. Jakarta (ID): Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ). [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2003. Good Practice Guidance for Land Use, Land-Use Change and Forestry. Penman J, Gytarsky M, Hiraishi T, Krug T, Kruger D, Pipatti R, Buendia L, Miwa K, Ngara T, Tanabe K, Wagner F, editor. Hayama (JP): The Institute for Global Environmental Strategies (IGES). [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2006. 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, Agriculture, Forestry and Other Land Use. Simon E, Leandro B, Kyoto M, Todd N, Kiyoto T, editor. Volume 4. Hayama (JP): The Institute for Global Environmental Strategies (IGES). [KEMENHUT] Kementerian Kehutanan. 2012. Statistik Kehutanan. [Internet].[Waktu pembaharuan tidak diketahui]; [diunduh 2014 Mei 28]. Tersedia pada: http://Dephut.go.id [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2013. Pedoman Penggunaan Model Alometrik untuk Pendugaan Biomassa dan Stok Karbon Hutan di Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Krisnawati H, Adinugroho WC, Imanuddin R. 2010. Monograf Model-Model Alometrik untuk Pendugaan Biomassa Pohon pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan di Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan. [LEI] Lembaga Ekolabel Indonesia. 2014. Lembaga Sertfifikasi LEI [Internet]. [Waktu pembaharuan tidak diketahui]; [diunduh 2014 Mei 28]. Tersedia pada: http://www.lei.or.id/id/
20 Roesyane A. 2010. Potensi Simpanan Karbon Pada Hutan Tanaman Mangium (Acacia mangium) di KPH Cianjur Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Ruhimat IS. 2008. Kajian Sosiologi: Kelembagaan Hutan Rakyat (Studi Kasus Tata Nilai Kemasyarakatan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Renggang, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan). Ciamis (ID): Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Satoo T and Madgwick HAI. 1982. Forestry Biomass. Martinus NM, Junk W. London (UK): Publisher The Hague Boston. Schlaepfer R and Elliot C. 2000. Ecological and landscape consideration in forest management-the end of forestry in: Gadow, K.V., T. Pukkala, and M. Tome (Editors). 2000. Managing Forest Ecosystem : Sustainable Forest Management. Kluwer Academic Publisher Dordrecht, The Netherlands: 1-68. Syahyuti. 2007. Kebijakan Pengembangan Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) Sebagai Kelembagaan Ekonomi di Pedesaan. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian : 15-35 Whitemore TC. 1985. Tropical Rain Forests of the Far East. Oxford (UK): Clarendon. Wiyono dan Silvi N. 2013. Analisis Kelembagaan Pada Program Sertifikasi Hutan Rakyat. Yogyakarta (ID): Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada.
21 Lampiran 1 Kuisioner penelitian Perbandingan Kelestarian Hutan Rakyat Bersertifikat dan Tidak Bersertifikat di Kabupaten Kulonprogo BAB I. IDENTITAS RESPONDEN No Identitas 1 Nama Lengkap 2 Umur 3 Jumlah Tanggungan (Anggota keluarga) 4 Tingkat Pendidikan Terakhir 5 Pekerjaan Utama 6 Pekerjaan Sampingan 7 Pendapatan (bulanan/harian) 8 Nama Kelompok Tani ο· Status ο· Tahun bergabung 9 Alamat (Dusun/Desa/Kecamatan) 10 Program yang diikuti dalam kel. tani hutan rakyat dan kewajibannya 11 Pendapat tentang program tersebut 12 Motivasi menjadi anggota kel. tani hutan rakyat
: : : : : : : : : : : : : : :
a. Harga kayu lebih tinggi b. Ingin mendapat bantuan bibit c. Ingin mendapat penyuluhan/pelatihan d. Ingin mendapat pinjaman dana e. Ingin mempererat kehidupan bermasyarakat f. Lainnyaβ¦
13
Manfaat dan keuntungan menjadi anggota kel. tani hutan rakyat
14
Kendala yang dihadapi dalam hal: a. pengelolaan hutan rakyat
:
:
b. Pemasaran
:
c. Organisasi/Kelompok tani
:
22 BAB II. KEPEMILIKAN LAHAN/ ASET No Kepemilikan Lahan/Aset : 1 Luas Lahan : ο· Rumah/bangunan : ο· Pekarangan : ο· Tegal/Kebun/Ladang : ο· Sawah : ο· Lainnya 2 Status Lahan (milik, sewa, bagi hasil) : ο· Rumah/bangunan : ο· Pekarangan : ο· Tegal/Kebun/Ladang : ο· Sawah : ο· Lainnya : 3 Jenis Tanaman Budidaya ο· Tanaman Kehutanan (jumlah pohon, diameter,tinggi, umur)
ο·
4
a. Jati
:
b. Mahoni
:
c. Albasia/sengon
:
d. Akasia
:
e. Sonokeling
:
Tanaman Non Kehutanan (jumlah pohon, luasan) a. β¦
:
b. β¦
:
Penjualan/Pemasaran Tanaman Budidaya (bakul, koperasi, tengkulak, perorangan) : ο· Tanaman Kehutanan ο·
Tanaman non Kehutanan
:
Jml D T pohon (cm) (m)
Vol umur (m3)
23 5
Penjualan Terakhir (jenis/jumlah/harga/ tahun) ο· Tanaman Kehutanan
:
a. β¦ ο·
Tanaman non Kehutanan
:
a. β¦ 6
Penghasilan lain (jumlah tahun) a. Hasil ternak
dan :
b. Bantuan
:
c. Pinjaman
:
BAB III. PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT No 1
2
Jenis Kegiatan PENGELUARAN (KAS KELUAR) Pembibitan a. Persemaian b. Pembelian bibit Penanaman a. Pembuatan Lubang Tanam b. Pembuatan Ajir c. Pengolahan Tanah Pemeliharaan a. Pembersihan gulma b. Penggemburan tanah c. Penjarangan d. Pemangkasan e. Pemupukan f. Pembasmian hama Pemanenan a. Penebangan b. Pembagian batang c. Penyaradan/pengangkutan pohon d. Pemasaran Operasional a. Kantor b. Peralatan c. PBB d. Gaji dan Upah PENDAPATAN (KAS MASUK) Produksi / Penjualan Kayu Bulat Penjualan hasil hutan non kayu
:
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
24 Lampiran 2 Daftar responden kelompok hutan rakyat bersertifikat (KWLM) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Nama Budi Setiawan Heri Susanto Supriyanto Min Cahyo Majiman Marijo Katarma Sumanah Sukiran Sukidal Heru Sasmiyanto Jimut Mi Tukinem Ngadirun Y Wagiman Jimat Supat Sad Windratmo Subagyo Sukyan Wakyo Ramadiyan Rohani Jiarto Umar Prawiro Utomo Bejo Jemidi Gunanto Kasimin Rismanto Rujiman
Usia 56 40 40 46 62 33 71 47 50 36 63 69 64 60 60 44 48 57 55 72 46 48 37 65 54 57 43 51 38 42
Pendidikan SD SLTA SLTA SMP SPG SLTA SR SD SD SLTA SD SR PGSD SD SD S1 S1 SD SD SD SD SLTA SLTA SMP SMP SLTA SLTA SMP SLTA SMP
Pekerjaan Pokok Petani Petani Petani Buruh Pengajar Wiraswasta Petani Petani Petani Petani Petani Petani PNS Petani Petani Wiraswasta Pegawai koperasi Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani
Sampingan Tukang Buruh Ojek Ternak Petani
Petani
Petani Petani
Pedagang Ternak Tukang Ternak Ternak Tukang Ternak Pedagang
25 Lampiran 3 Daftar responden kelompok hutan rakyat tidak bersertifikat (Marsudi Boga) No
Nama
1 Gunawan 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Wagito Ngatiyem Agus H. Ngajimun Sutarji Ngadino Sigit Marto Dinowo Sarmidi Suparman Suharjo Budianto Sartono Suraji Widuyanto Tuja Parto Wiyono Tugiman Sastro Suwarno Samsudin Bakri Biyati Sapari Rusmin Supardi Sugeng Tupar Sudiyo Kamidi Sukaryanto
Usia Pendidikan
Pekerjaan Pokok
Sampingan
41
SMP
Wiraswasta
Petani
44 50 66 83 62 55 41 65 54 40 41 67 47 65 49 60 54 61 58 47 45 42 66 45 64 43 70 60 52
SLTA SD S1 SGA D3
Buruh Buruh PNS PNS PNS Petani Petani Pedagang Perangkat Desa Petani Wiraswasta Petani PNS Petani PNS Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani PNS Buruh
Petani Petani Petani Petani Petani Ternak Ternak Petani Petani Ternak Ternak Ternak Petani Ternak Ternak Ternak Buruh Ternak Ternak Buruh Ternak Ternak Ternak Ternak Ternak Ternak Ternak Petani Ternak
SLTA SD SLTA SD S1 SMP SLTA SLTA MAN SD SD SD SLTA SMEA SLTA SD SMA SMP SLTA SD SMP SD
26
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Madiun pada tanggal 18 Juli 1992 dari Ayah Jumanto dan Ibu Sunarti. Penulis adalah putra pertama dari dua bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 6 Madiun dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi pengurus DKM Ibaadurrahman 2012-2013, anggota Forest Management Student Club (FMSC), dan Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Madiun. Penulis juga telah mengikuti Praktek Umum Kehutanan di Pangandaran dan Gunung Sawal Kabupaten Ciamis pada tahun 2012, Praktek Umum Pengelolaan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), KPH Cianjur, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan PGT Sindangwangi pada tahun 2013 serta Praktek Kerja Lapang di PT. Ratah Timber Kalimantan Timur pada tahun 2014.