PERBANDINGAN KINERJA GURU BERSERTIFIKAT DAN BELUM BERSERTIFIKAT, 2010
I.
Pendahuluan A. Latar Belakang Pemerintah Indonesia telah serius melakukan usaha peningkatan kompetensi guru untuk menjadi guru profesional melalui berbagai kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan serta pengembangan sistem manajemen pendidik dan tenaga kependidikan.
Peningkatan ini menyangkut usaha pada semua subsistem yang
berkaitan dengan perjalanan karier guru yang dimulai dari rekrutmen, pendidikan, penempatan, dan pengembangan karir guru. Peningkatan kualifikasi guru di Sekolah Dasar, misalnya, dilakukan dengan memberlakukan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi dalam pengangkatan pertama seseorang menjadi guru. Dimulai dari persyaratan tamat SD atau setingkat dengan tambahan kursus sebagai syarat untuk diangkat menjadi guru SD pada tahun 50-an, secara berangsur kemudian meningkat menjadi setingkat SMP(SGB), setingkat SMA (SGA/SPG), Diploma1, Diploma 2, Diploma 3, sampai pada kondisi terakhir sejak tahun 2005 menjadi S1 atau Diploma 4 ditambah syarat memperoleh sertifikat profesi guru. Di samping meningkatkan kualifikasi akademik, sebagai persyaratan akademik guru, berbagai penyegaran dan penataran telah dilakukan kepada beribu-ribu guru dalam usaha perbaikan kinerja, melalui usaha peningkatan kompetensinya. Dalam usaha menjawab tuntutan membangun korps guru profesional, pada tingkat kebijakan makro, telah disiapkan landasan berupa berbagai produk peraturan perudang-undangan dalam pengaturan sistem pendidikan nasional. Produk itu di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru. Dalam pasal 8, 9, dan 10 Undang-undang nomor 14 tahun 2005, disebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program Sarjana (S1) atau Diploma IV (D-IV) yang relevan. Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional yang diperoleh 1
melalui pendidikan profesi. Jika guru telah memenuhi syarat-syarat tersebut, mereka diberikan sertifikat pendidik.
Kebijakan ini merupakan kebijakan yang sangat
progresif, dan memberikan dampak yang sangat besar baik dalam manajemen tenaga kependidikan maupun dalam hubungannya dengan motivasi guru secara individual. Misalnya, jika guru telah mendapatkan sertifikasi, mereka berhak atas tunjangan profesi, yang akan sangat berpengaruh dalam budget pendidikan dan manajemen sumberdaya manusia dalam pendidikan. Dalam mencapai amanat legal tentang guru tersebut, perlu disadari bahwa kondisi lapangan tentang kompetensi guru diinginkan.
Meskipun
demikian
pada saat ini masih jauh dari yang
sertifikasi
guru
perlu
segera
dituntaskan.
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah menargetkan pada Tahun 2014 misalnya, kurang lebih 1,75 juta guru harus sudah mencapai syarat kualifikasi S1/D4, dan sekitar 2,5 juta guru dapat memperoleh sertifikat pendidik, sementara data tahun 2009 masih menunjukkan bahwa jumlah guru yang belum memenuhi kelayakan secara akademik, masing-masing 77,7% di SD dan 28.3 % di SMP (PSP, Balitbang Kemdiknas, 2009). Mengingat jumlah guru dalam jabatan yang sangat besar, dan keinginan untuk segera meningkatkan kinerja mereka melalui program sertifikasi mendesak, perlu ditempuh cara-cara cepat yang non-konvensional untuk meningkatkan kinerja mereka. Program sertifikasi dilakukan oleh Lembaga Tenaga Kependidikan (LPTK) melalui dua jalur, yaitu jalur penilaian portofolio (murni dan melalui Pendidikan dan Latihan Profesi Guru –PLPG) dan jalur pendidikan profesi. Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 40 tahun 2007, pendidikan profesi dilaksanakan melalui pendidikan prajabatan. Sebelum rencana jalur pendidikan prajabatan direalisasikan, sejak tahun 2007, telah dirintis sertifikasi melalui jalur portofolio murni (melalui pengumpulan dan pemeriksaan self report dalam bentuk portofolio) dan PLPG (diberi pelatihan singkat secara khusus) bagi yang belum memenuhi standar dengan jalur murni. Program rintisan ini merupakan program yang harus dilaksanakan segera, sebagai usaha crash program yang menggunakan sumberdaya besar dan merupakan sesuatu yang baru, implementasi kebijakan ini perlu dievaluasi untuk mengetahui sejauh mana efektivitasnya. Dalam usaha untuk mengetahui efektivitas
program sertifikasi ini, perlu
dilakukan penelitian kebijakan, dengan membandingkan kinerja guru yang telah
2
bersertifikat dan yang belum mendapatkan sertifikat serta mengetahui berbagai faktor yang ada hubungannya dengan kualitas kinerja guru.
B. Perumusan masalah Proses menjadi guru profesional harus dilalui seseorang dalam kehidupannya sebagai guru. Proses ini dimulai dari seleksi, pendidikan prajabatan, dan pengembangan sesudah mereka diangkat menjadi guru. Pengembangan itu meliputi masa orientasi di sekolah, pembinaan dan supervisi, berbagai pelatihan dan pendidikan lanjut, serta mendapatkan sertifikasi sebagai guru profesional. Jika ini dilalui dengan benar, kecil kemungkinannya seorang guru yang telah mendapatkan sertifikat mempunyai kinerja yang rendah. Sesuai dengan apa yang dikemukakan di atas, maka penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1.
Bagaimana perbandingan kompetensi guru yang bersertifikat dengan yang belum bersertifikat? a. Apakah ada perbedaan kompetensi antara guru match bersertifikat dengan guru match yang belum bersertifikat? b. Apakah ada perbedaan kompetensi antara guru mismatch bersertifikat dengan guru mismatch yang belum bersertifikat?
2.
Bagaimana perbandingan kinerja guru yang bersertifikat dengan kinerja guru yang belum bersertifikat? a. Apakah ada perbedaan kinerja antara guru match bersertifikat dengan guru match yang belum bersertifikat? b. Apakah ada perbedaan kinerja antara guru mismatch bersertifikat dengan guru mismatch yang belum bersertifikat?
3.
Bagaimana hubungan kinerja guru dengan kompetensi guru, iklim sekolah, kepemimpinan kepala sekolah, manajerial kepala sekolah, dan komitmen kerja guru?
3
C. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bahan/masukan kebijakan yang terkait sertifikasi pendidik dalam meningkatkan
profesionalisme guru. Secara khusus
penelitian ini ingin memperoleh data dan informasi tentang: 1. Perbandingan kompetensi guru bersertifikat dengan kompetensi guru yang belum bersertifikat 2. Perbandingan kinerja guru bersertifikat dengan kinerja guru yang belum bersertifikat 3. Hubungan kinerja guru dengan kompetensi guru, iklim sekolah, kepemimpinan kepala sekolah, manajerial kepala sekolah, dan komitmen kerja guru
II. KAJIAN LITERATUR Banyak definisi kinerja yang dikemukakan oleh para ahli, yang pada umumnya menjelaskan bahwa kinerja merupakan nilai dari seperangkat perilaku seseorang dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.Beberapa ahli dan hasil penelitian mengklaim bahwa dimensi-dimensi yang membentuk konsepsi kinerja adalah: (i) inisiatif dan kerja keras; (ii) kematangan dan tanggung jawab (iii) kemampuan mengorganisasi; (iv) keterampilan teknis; (v) kepemimpinan yang tegas; dan (vi) kepemimpinan yang suportif. Ini berarti bahwa kinerja dipengaruhi oleh potensi yang ada dalam diri seseorang (kompetensi) dan lingkungan di mana seseorang itu bekerja. Dalam rangka meningkatkan kinerja guru, Pemerintah menerapkan kebijakan sertifikasi. Gordon, Kane dan Staiger (2006) mengatakan bahwa sertifikasi guru tidak mempunyai kekuatan prediktif dalam meningkatkan kinerja guru. Ia mengatakan: A growing body of research, however, suggests that neither of these premises is valid. According to recent evidence, certification of teachers bears little relationship to teacher effectiveness (measured by impact on student achievement). There are effective certified teachers and there are ineffective certified teachers, similarly, there are effective certified teachers snd ineffective uncertified teachers. The differences between the stronger teachers and the weaker teachers only become clear once teachers have been in the classroom for a couple of years. (p.5) Mereka memberikan bukti empirik tentang pernyataannya itu dengan hasil penelitiannya di Los Angeles yang meliputi 150.000 siswa di 9.400 kelas selama tiga tahun dari tahun 200o s.d. 2003. Temuannya adalah tidak ada perbedaan yang signifikan
4
antara prestasi murid yang diajar oleh guru yang bersertifikat dan yang tidak bersertifikat. Mereka menyimpulkan temuannya sebagai berikut: To put it simply, teachers vary considerablely in the extent to which they promote student learning, but whether a teacher is certified or not is largely irrelevant to predicting his or her effectiveness. (p.7) Mengenai kinerja guru, para peneliti pendidikan memiliki cara pandang yang berbeda-beda. Sejumlah peneliti memfokuskan diri pada perilaku, sementara yang lain pada outcome. R. Gamble (1990: 24) mengemukakan bahwa indikator kinerja pendidik atau guru dalam suatu lembaga pendidikan ditentukan oleh lima hal pokok, yaitu : (i) Personal and social development, yang menyangkut kemampuan guru mengembangkan kepribadian dirinya sebagai pendidik sekaligus membangun hubungan sosial yang baik kepada siswa, orangtuanya, dan lingkungan sekitar; (ii) Management of learning, yakni kemampuan seorang guru mengelola proses belajar mengajar baik di dalam kelas maupun di luar kelas sehingga dapat memenuhi tujuan dan sasaran yang direncanakan; (iii) Professional development, yakni kemampuan seorang guru meningkatkan kapasitas dirinya dalam hal pemenuhan tuntutan profesinya;
(iv) The school environment,
kemampuan seorang guru menciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif sehingga para siswa menikmati seluruh proses belajar mengajar yang berlangsung;
(v)
Relationships, yakni kemampuan seorang guru menjalin hubungan, menciptakan pola komunikasi, dan memperluas jaringan sehingga senantiasa memiliki perspektif yang luas. Para ahli psikologi dan manajemen sangat memahami bahwa potensi dan pengalaman akan menentukan pengembangan kualitas kompetensi seseorang dalam melaksanakan tugas dan pekerjaanya. Amstrong (1997) mendefinisikan kompetensi sebagai:… the behavioral dimensions of role—the behavior required of people to carry out their work satisfactorily. .. competences govern the process aspects of job performance.(p.66). Kompetensi yang dituntut dari seorang guru dapat dibedakan atas dua unsur: (i) kompetensi yang berlaku untuk semua guru tanpa memandang bidang studi yang diajarkan (kompetensi generik), dan (ii) kompetensi yang hanya berlaku untuk guru tertentu (kompetensi specifik). Hal ini juga menjadi landasan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.16 tahun 2007, tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yang menguraikan kompetensi guru dalam dua komponen, yaitu kompetensi inti guru (generik) dan kompetensi guru bidang studi atau guru kelas (spesifik)
5
Kompetensi merupakan sesuatu yang belum menampakkan diri atau teraktualisasi sebagai perilaku. Jika kompetensi tersebut sudah teraktualisasi karena muncul dalam situasi tertentu, maka kompetensi itu diamati sebagai kinerja. Kompetensi yang sama yang digunakan dalam situasi yang berbeda, akan menghasilkan sesuatu perilaku yang berbeda. Kompetensi yang telah muncul dalam situasi tertentu itu disebut dengan kinerja atau performance. Armstrong (1997) mengatakan bahwa : The term competences refers to behavoural dimension of a role—the behavior required of people to carry out their work satisfactorily…the behavioural characteristics which can be demonstrated to differentiate high performance in a given role under such headings as achievement, drive and concern for order. Competences are what people bring to a job in the form of different types and level of behaviour. They should be distinguished from a particular attributes— knowledge, skill, expertise –which are required to perform the various tasks associated with a job (p.66) Situasi di sekolah antara lain, meliputi: iklim sekolah, kepemimpinan, perilaku manajerial (manajemen) kepala sekolah, dan komitmen guru dalam melaksanakan tugasnya. (i) Iklim sekolah merupakan aspek penting yang berpengaruh terhadap kinerja guru. Iklim sekolah menurut Hoy dan Miskel (1978) adalah: The set of internal characteristics that distinguishes one school from another and influences the behavior of people in it is called the organizational climate. The climate is an end product of the school group . The climate is an end product of the school groups—students, teachers, administrators- as they work to balance the organizational and individual dimensions of a school system. These products include shared values, social beliefs, and social standards. (ii) Kepemimpinan merupakan unsur situasi berikutnya yang mempengaruhi kinerja. Pada
dasarnya
kepemimpinan
merupakan
kemampuan
seseorang
untuk
mempengaruhi orang lain dalam organisasi dalam mencapai tujuan organisasi. Colquitt, Le Pine dan Wesson (2007, menjelaskan pengertian
kepemimpinan
sebagai berikut: The use of power and infulence to direct the activities of followers toward goal achievement. That direction can affect followers, interpretation of events, the organization of their work activities, their commitment to key goals, their relationships with other followers, or their access to cooperation and support from other work units (p. 441 ) (iii) Manajemen merupakan faktor berikutnya yang merupakan bagian situasi yang mempengaruhi kinerja. Manajemen adalah (Reeser, 1973):
6
…coordinate the use of resources to some deliberate end, even though the relationship of managers to physical resources is indirect….management is the utilization of physical and human resources through coordinative efforts, and it is accomplished by performing the functions of planning, organizing, staffing, directing and controlling (p.1) (iv) Komitmen terhadap lembaga, akan menentukan tingkat kinerja seseorang dalam organisasi. Collquitt, et al. mengartikan komitmen organisasi sebagai berikut: Organizational commitment is defined on the part of employee to remain a member of organization….including feelings about friendships, the atmosphere or culture of the company, and sense of enjoyment when completing job duties… reflects some cost-based reason for staying, including issues of salary, benefits, and promotion … a sense that a debt is owed to a boss, a colleague, or larger company. (p. 68) Berdasarkan kajian literatur di atas, selanjutnya dirumuskan kerangka berpikir bahwa jika faktor situasi yang terdiri dari kepemimpinan kepala sekolah, manajerial kepala sekolah, iklim sekolah dan komitmen kerja guru berinteraksi dengan faktor kompetensi maka akan berdampak pada kinerja. Secara skematis keterkaitan beberapa variable tersebut nampak seperti gambar berikut:
Kerangka Berpikir KARAKTERISTIK
KOMPETENSI
SITUASI : - Kepemimpinan Kepsek - Manajerial Kepsek - Iklim Sekolah - Komitmen Kerja Guru
III. METODE PENELITIAN Sampel penelitian ini diambil dari 20 kabupaten/Kota, yaitu wilayah Indonesia Timur, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera. Kabupaten/kota tersebut dipilih 7
dengan sengaja (purposive), yang terdiri dari 10 kabupaten/kota yang merupakan sampel penelitian Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Balitbang tahun 2009, ditambah dengan 10 kabupaten/kota lain dalam wilayah tersebut yang berkarakteristik sama. Jumlah guru yang dijadikan sampel adalah 589, yang terdiri dari guru SD 296 orang (negeri 181 orang dan swasta 115 orang) dan guru SMP sebanyak 293 orang (negeri 172 orang dan swasta 121 orang). Responden penelitian terdiri dari guru, Kepala SD (296 orang), Kepala SMP (293 orang); siswa SD (1.480 orang) dan siswa SMP (1.465 orang). Instrumen utama dalam mendapatkan data adalah kuesioner yang telah disusun, diujicobakan di lapangan, dan kemudian direvisi. Validitas konstrak dan validitas isi dilakukan dengan expert judgment oleh panel ahli.
IV. TEMUAN Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dalam penelitian ini disajikan temuan studi sebagai berikut. 1. Perbandingan kompetensi guru bersertifikat dengan yang belum bersertifikat Dalam studi ini, kajian kompetensi guru hanya terbatas pada kompetensi kepribadian dan sosial. Kajian kompetensi ini didasarkan atas persepsi siswa dan persepsi kepala sekolah. Siswa mempersepsikan bahwa kompetensi guru bersertifikat sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan guru yang belum bersertifikat. Demikian juga halnya dengan persepsi kepala sekolah terhadap kompetensi guru di SDN, SDS, SMPN dan SMPS. Jika dicermati lebih lanjut dan dikelompokan guru yang match dan mismatch, maka kesenjangan kompetensi guru yang match lebih rendah dibanding dengan guru yang mismatch ditemukan di kalangan guru SDN dan SMPN. Sebaliknya kesenjangan kompetensi guru yang match lebih tinggi dibanding dengan guru yang mismatch yang ditemukan di kalangan guru SDS dan SMPS. Oleh karena itu usaha untuk meningkatkan kompetensi guru khususnya di kalangan guru yang belum bersertifikasi lebih diberikan kemudahan dan kesempatan yang luas. Secara umum kinerja guru yang bersertifikat lebih baik dibanding dengan yang belum bersertifikat. Hal ini menunjukkan bahwa program Sertifikasi Guru sangat dibutuhkan, namun prosedur Sertifikasi perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut.
8
Rendahnya kesenjangan pada guru match dibanding dengan guru mismatch di Sekolah Negeri (SD dan SMP) disebabkan guru match lebih menguasai substansi pelajaran dibanding dengan guru mismatch. Sementara itu, tingginya kesenjangan pada guru match dibanding dengan guru mismatch di Sekolah Swasta (SD dan SMP) disebabkan di Sekolah Swasta persepsi kepala sekolah terhadap Kompetensi Guru yang memiliki kinerja yang baik adalah guru yang mematuhi peraturan sekolah dan loyal terhadap perintah Kepala Sekolah.
2. Perbandingan kinerja guru bersertifikat dengan yang belum bersertifikat Hasil ini merupakan temuan studi yang terkait dengan kinerja guru baik untuk guru yang bersertifikat maupun yang belum bersertifikat. Temuan tersebut didasarkan pada self-assessment guru pada proses pembelajaran, persepsi siswa, dan hasil observasi terhadap kinerja guru yang dinilai dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah disusun dan Pelaksanaan Proses Pembelajaran (PPP). Pada proses pembelajaran rerata skor kinerja guru bersertifikat lebih tinggi dibandingkan rerata skor kinerja guru belum bersertifikat, ditemukan pada sekolah dasar negeri match/mismatch, SD swasta match/mismatch, SMP negeri match, dan SMP swasta match/mismatch. Sedangkan rerata skor kinerja guru bersertifikat lebih rendah dibandingkan dengan rerata skor kinerja guru non-sertifikat, ditemukan hanya pada SMP negeri mismatch. Persepsi guru tersebut ternyata sama dengan persepsi siswa yang menyatakan bahwa guru yang sudah bersertifikat umumnya memiliki kinerja yang sedikit lebih tinggi dari pada guru yang belum bersertifikat. Sementara itu, berdasarkan hasil observasi kelas menunjukkan, bahwa rerata skor kinerja kelompok guru SDN bersertifikat yang mismatch ternyata lebih rendah dibandingkan dengan yang belum bersertifikat. Kondisi sebaliknya untuk rerata skor kinerja guru SDN bersertifikat yang match lebih tinggi dibandingkan guru yang belum bersertifikat. Selanjutnya pada tahap interaksi diketahui, bahwa kesenjangan rerata skor kinerja guru SDN bersertifikat dan yang belum bersertifikat pada guru yang match lebih kecil dibandingkan dengan kelompok guru yang mismatch. Rerata skor kinerja guru SDS bersertifikat ternyata lebih tinggi dibandingkan rerata skor kinerja guru yang belum bersertifikat, baik untuk kelompok guru yang match maupun mismatch. Pada tahap interaksi, dapat diketahui bahwa kesenjangan rerata skor kinerja guru bersertifikat dan yang belum bersertifikat di kalangan guru yang
9
match lebih kecil dibandingkan rerata skor kinerja guru bersertifikat dan yang belum bersertifikat pada kelompok guru yang mismatch. Berikutnya adalah rerata skor kinerja guru SMPN bersertifikat yang mismatch lebih rendah dibandingkan dengan yang belum bersertifikat. Sedangkan untuk guru yang match, rerata skor kinerja guru yang bersertifikat lebih tinggi dibandingkan guru yang belum bersertifikat. Pada tahap interaksi, diketahui bahwa kesenjangan rerata skor kinerja guru SMPN bersertifikat dan yang belum bersertifikat di kalangan guru match lebih besar dibanding rerata skor kinerja guru bersertifikat dan yang belum bersertifikat pada kelompok guru yang mismatch. Untuk rerata skor kinerja guru SMPS yang match bersertifikat ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan yang belum bersertifikat. Hal yang sama juga terjadi di kalangan guru yang mismatch. Dalam tahap interaksi terlihat, bahwa kesenjangan rerata skor kinerja guru bersertifikat dan yang belum bersertifikat di kalangan guru yang match lebih besar dibandingkan dengan rerata skor kinerja guru bersertifikat dan yang belum bersertifikat pada kelompok guru yang mismatch.
3. Hubungan
Kinerja
Guru
Dengan
Kompetensi
Guru,
Iklim
Sekolah,
Kepemimpinan Kepala Sekolah, Manajerial Kepala Sekolah, dan Komitmen Kerja Guru a. Hubungan Kompetensi dengan Kinerja Mengingat guru bukan sekedar mampu dalam melaksanakan tugas mengajarnya, tetapi mereka juga perlu memiliki kompetensi untuk memberikan contoh dan berkomunikasi secara efektif. Secara keseluruhan, terdapat hubungan yang berarti (positif) antara kompetensi dengan kinerja. Temuan ini selaras dengan teori yang menyatakan bahwa kompetensi merupakan variabel yang amat penting dalam kinerja organisasi seseorang.
Kompetensi merupakan prasyarat untuk kinerja
keberhasilan tugas-tugas profesional. Colquitt, LePine dan Wesson (2006: p 199) mengatakan bahwa kompetensi dapat menimbulkan kebanggaan akan pekerjaan seseorang dan penguasaan kompetensi secara intrinsik menyebabkan motivasi yang tinggi.
b. Hubungan Iklim Sekolah dengan Kinerja Iklim sekolah ternyata mempunyai hubungan positif yang sangat signifikan dengan kinerja. Persepsi guru terhadap kondisi iklim sekolahnya ternyata 10
bervariasi antar kelompok guru. Jika pada SDN, rerata skor iklim sekolah pada kelompok guru bersertifikat lebih baik dibandingkan pada guru yang belum bersertifikat. Pola tersebut berlaku pada masing-masing guru yang match dan mismatch. Pada SDS, rerata skor iklim sekolah di kalangan guru bersertifikat lebih rendah dibandingkan dengan guru yang belum bersertifikat, khususnya bagi guru yang match. Sebaliknya guru mismatch, rerata skor iklim sekolah guru bersertifikat lebih tinggi dibandingkan rerata skor iklim pada guru yang belum bersertifikat. Pada SMPN, rerata skor iklim sekolah pada kelompok guru bersertifikat yang mismatch secara signifikan lebih rendah dibandingkan guru yang belum bersertifikat. Sebaliknya, pada guru bersertifikat yang match, rerata skor iklim sekolah lebih baik dibandingkan dengan guru yang belum bersertifikat. Kondisi yang berbeda ditemukan pada SMPS, di mana rerata skor iklim sekolah pada guru bersertifikat lebih tinggi dibandingkan dengan yang belum bersertifikat. Meskipun pola yang sama nampak pada guru yang match dan mismatch, namun perbedaan yang signifikan hanya terjadi pada guru mengajar mismatch.
c. Hubungan Kepemimpinan Kepala Sekolah dengan Kinerja Kepemimpinan Kepala Sekolah mempunyai hubungan positif yang sangat signifikan dengan kinerja
guru.
Semakin baik persepsi guru terhadap
kepemimpinan kepala sekolah, maka semakin baik kinerja mereka. Jika dilihat lebih rinci menurut jenjang sekolah, baik di SD maupun SMP terdapat hubungan yang signifikan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan dengan kinerja. Persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah terlihat bervariasi antar kelompok. Rerata skor kepemimpinan kepala sekolah di kalangan guru bersertifikat lebih rendah dibanding dengan guru yang belum bersertifikat. Kondisi ini ditemukan juga pada guru SDN match/mismatch dan SMPS mismatch. Sedangkan rerata skor kepemimpinan kepala sekolah pada guru bersertifikat lebih tinggi dibandingkan rerata skor guru yang belum bersertifikat. Hal ini ditemukan pada SDS yang match/mismatch, SMPN match/mismatch, SMPS yang match.
11
d. Hubungan Perilaku Manajerial Kepala Sekolah dengan Kinerja Salah satu dimensi dari kepemimpinan kepala sekolah adalah kemampuan managerial atau kompetensi manajerial.
Perilaku manajerial kepala sekolah
mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan kinerja. Jika dilihat lebih rinci menurut jenjang sekolah, baik di SD maupun SMP terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku manajerial kepala sekolah dengan
dengan kinerja.
Makin baik persepsi guru tentang perilaku manajerial kepala sekolah, makin baik kinerja mereka. Berdasarkan persepsi guru terhadap manejerial kepala sekolah, nampak rerata skor manajerial kepala sekolah di kalangan guru bersertifikat lebih tinggi dibandingkan dengan guru yang belum bersertifikat. Hal ini ditemukan pada kelompok guru SDS match/mismatch, SMPN match, dan SMPS match/mismatch. Sedangkan, rerata skor manajerial kepala sekolah di kalangan guru bersertifikat lebih rendah dibandingkan guru yang belum bersertifikat, sebagaimana ditemukan pada SDN match/mismatch dan SMPN mismatch (signifikan).
e. Hubungan antara Komitmen Kerja Guru dengan Kinerja Komitmen kerja guru mempunyai hubungan positif yang sangat signifikan dengan kinerja. Makin baik komitmen kerja guru, makin baik pula kinerja mereka. Jika dilihat lebih rinci menurut jenjang sekolah, baik di SD maupun SMP terdapat hubungan yang signifikan antara komitmen kerja guru dengan dengan kinerja. Dilihat dari dimensinya, dimensi kepatuhan terhadap kesepakatan kerja merupakan dimensi yang paling menonjol dari variabel komitmen kerja guru. Menurut persepsi guru, rerata skor komitmen guru bersertifikat lebih tinggi dibandingkan guru yang belum bersertifikat. Kondisi ini ditemukan pada kelompok guru match di semua satuan pendidikan sampel. Begitu juga untuk rerata skor komitmen guru bersertifikat ternyata lebih tinggi dibandingkan rerata skor komitmen guru yang belum bersertifikat. Hal yang sama ditemukan juga pada kelompok guru mismatch di semua satuan pendidikan sampel.
12
V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 1. Secara umum kompetensi guru bersertifikat lebih tinggi bila dibanding dengan guru yang belum bersertifikat di kalangan responden guru SD dan SMP baik negeri maupun swasta. Namun bila ditelaah lebih lanjut untuk kelompok guru yang match dan mismatch, nampak kesenjangan kompetensi guru yang match lebih rendah dibanding dengan guru yang mismatch di kalangan guru negeri (SD maupun SMP), sedangkan di sekolah swasta (SD maupun SMP) kesenjangan kompetensi guru yang match lebih tinggi dibanding dengan guru yang mismatch. Dengan demikian secara umum terdapat perbedaan kompetensi antara guru yang bersertifikat dengan yang belum bersertifikat. 2. Menurut persepsi hampir semua responden guru terhadap pelaksanaan pembelajaran, baik untuk kelompok guru yang match maupun mismatch, nampak rerata skor kinerja guru bersertifikat sedikit lebih tinggi dibandingkan rerata skor kinerja guru yang belum bersertifikat. Namun kondisi ini tidak ditemui pada guru SMPN bersertifikat yang mismatch, karena rerata skor kinerja mereka lebih rendah dibandingkan dengan guru yang belum bersertifikat. Hasil yang sama juga ditunjukkan dari observasi kelas terhadap kinerja guru SMPN bersertifikat yang mismatch. Kondisi ini ditemui pula pada kelompok guru SDN bersertifikat yang mismatch, di mana rerata skor kinerja mereka lebih rendah dibandingkan dengan yang belum bersertifikat. Di sisi lain, hasil observasi terhadap proses pembelajaran di kelas menunjukkan rerata skor kinerja guru bersertifikat lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan rerata skor kinerja guru yang belum bersertifikat. Pola ini dapat ditemui pada kelompok guru SDS bersertifikat yang match maupun mismatch, SDN bersertifikat yang match, SMPN bersertifikat yang match dan SMPS bersertifikat yang match maupun mismatch. Dengan demikian secara umum perbedaan kinerja antara guru yang bersertifikat dengan yang belum bersertifikat pada semua tingkat dan status tidak begitu mencolok. 3. Dari temuan di atas, kelihatannya belum ditemukan generalisasi yang konsisten dan meyakinkan tentang perbedaan kinerja guru yang bersertifikasi dan belum bersertifikasi. Ini mungkin disebabkan oleh program sertifikasi yang by design tidak hanya difokuskan untuk peningkatan kinerja guru, tetapi juga untuk peningkatan kesejahteraan guru. Berbagai teori menunjukkan bahwa motivasi 13
untuk memperbaiki kinerja, tidak ditentukan oleh kesejahteraan semata-mata. Namun demikian kesejaahteraan merupakan prakondisi untuk terjadinya motivasi untuk berkinerja. Mungkin sekali terjadi, kesejahteraan guru yang diperoleh dari tunjangan profesi sebagai hasil sertifikasi itu belum menyentuh dan dimanfaatkan untuk tujuan peningkatan kinerja, tetapi baru untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Di samping itu perbaikan kinerja tidak dapat dilakukan secara instant, karena setiap usaha pembaharuan memerlukan masa inkubasi, sehingga apa yang diperbarui itu memerlukan waktu sampai menjadi praksisnya. Perlu pula diingat, bahwa proses belajar guru untuk berkinerja lebih tinggi, tergantung kepada berbagai kondisi subsistem di mana ia bekerja. Ini kelihatan dari temuan bahwa lingkungan guru berkorelasi sangat tinggi dengan kinerja mereka. Visi sekolah yang harus menjadi visi guru, teman sejawat dengan siapa mereka berbagi pengalaman, persepsi mereka tentang kinerjanya sebagai model mental yang dianut, budaya sekolah merupakan faktor lain yang penting yang ikut menetukan keberhasilan menjadikan apa yang diperoleh guru dalam sertifikasi menjadi praksis kinerja mereka dalam kegiatan pembelajaran setiap harinya. 4. Secara umum berdasarkan temuan penelitian, ternyata antara kompetensi dan komitmen kerja guru, iklim sekolah, kepemimpinan dan perilaku manajerial kepala sekolah dengan kinerja guru memiliki hubungan yang signifikan (positif). Dengan demikian baik buruknya kinerja guru dapat terlihat sesuai dengan kompetensi dan komitmen kerja yang dimilikinya, kondisi iklim sekolah, kepemimpinan kepala sekolah, dan perilaku manajerial kepala sekolah B. Saran-saran 1.
Perlu meningkatkan kompetensi guru khususnya di kalangan guru yang belum bersertifikasi, salah satunya dengan memberikan kemudahan dan kesempatan yang luas bagi mereka untuk menambah pengetahuan dan keterampilan mereka sebagai guru.
2.
Dalam kaitannya dengan peningkatan kinerja guru yang professional, maka perlu ditinjau kembali pelaksanaan (prosedur) sertifikasi profesi pendidik oleh pihak yang berwenang, seperti perlu ada strategi pelaksanaan sertifikasi pendidik yang dapat berimbas pada kinerja guru.
14
3.
Perlu kesinambungan atas situasional sekolah yang kondusif bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran. Selain itu kesempatan yang luas perlu diberikan bagi guru guna meningkatkan kompetensi dan memperkuat komitmen kerjanya.
4.
Perlu diperbaiki kondisi kerja guru, sehingga guru merasa mendapatkan kesempatan untuk mengaktualisasikan pengalaman yang diperoleh mereka dari proses sertifikasi. Dengan kata lain, perlu perbaikan kondisi kerja yang sistemik bagi guru yang menunjang proses peningkatan kinerjanya.
5.
Untuk terus meningkatkan kinerja guru yang bersertifikat perlu dirancang program yang menjaga kesinambungan (sustainable) sehingga apa yang diperoleh guru tidak menjadi luntur, tetapi dapat berakumulasi sesuai dengan pengalaman mereka dalam melaksanakan apa yang diperoleh dalam sertifikasi.
15
DAFTAR PUSTAKA Armstrong, M. Performance Management. London: Kogan Page, 1997 Direktorat Tenaga Kependidikan. Penilaian Kinerja Guru. Jakarta: Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional. 2008 Gamble R. Performance Indicators, dalam Carol Taylor Fitz-Gibbon (ed.), Performance Indicators. Clevedon Philadelphia: Multilingual Matters LTD. 1990 Undang-undang RI, Sistem Pendidikan Nasional, Kementrian Pendidikan Nasional, 2008 Colquitt, Jason A., Jeffery A. LePine & Michael J. Wesson, 2009. Organizational Behavior: Improving Performance and Commitment in the Workplace, New York : McGraw Hill.
16