TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengaturan Hasil dalam Pengelolaan Hutan Hasil tegakan adalah banyaknya dimensi tegakan yang dapat dipanen dan dikeluarkan pada waktu tertentu atau jumlah kumulatif sampai pada waktu tertentu (Davis & Johnson 1987). Kelestarian hasil tegakan akan dicapai apabila pertumbuhan dan panen berlangsung secara seimbang. Kelestarian hasil dipakai sebagai prinsip dasar dalam
pemanenan dan
sangat bergantung pada sistem pengaturan hasil yang digunakan. Pengaturan hasil merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengontrol jumlah, jenis atau volume kayu sehingga dapat digunakan pada pemanenan berikutnya (McLeish & Susanty 2000). Pengaturan hasil memberikan pengaruh terhadap kelestarian sumberdaya hutan secara ekologi, ekonomi maupun sosial. Tidak hanya itu saja, kelestarian hasil yang banyak diterapkan di hutan tropis atau subtropis menempatkan pemanfaatan hutan alam untuk jangka panjang apabila dilakukan secara konsisten akan memberikan pengaruh yang nyata terhadap jasa lingkungan (seperti perlindungan tata air dan tanah) maupun kualitas biologinya (seperti keanekaragaman hayati). Kelestarian pemanenan berarti jumlah dan tipe produk yang sama (dimensi, kualitas, dan jenis) dapat diambil secara terus menerus dalam periode jangka panjang. Hal ini berarti bahwa pemanenan harus mempertimbangkan resiliensi sumberdaya hutan. Konsep kelestarian hasil di atas sejalan dengan konsep pengelolaan hutan yang lestari, yang oleh ITTO (1998) didefinisikan sebagai
suatu proses
dalam mengelola hutan untuk mencapai satu atau beberapa tujuan yang secara jelas telah ditentukan, menyangkut keberlanjutan produksi hasil dan manfaat lain yang diinginkan tanpa menimbulkan kemunduran nilai produktifitas hutan dan efek pada lingkungan fisik dan sosial untuk masa yang akan datang. Ada defenisi lain yang menyatakan bahwa pengaturan hasil adalah penentuan hasil kayu dan produksi lainnya dalam preskripsi rencana pengelolaan, termasuk dimana dan kapan serta bagaimana hasil seharusnya diekstraksi (FAO 1998). Kedua defenisi
6
di atas secara bersama-sama menyertakan aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya dalam pengelolaan hutan. Masuknya aspek sosial dalam pengelolaan hutan lestari berarti bahwa manusia juga diperhitungkan sebagai bagian dari ekosistem hutan. Secara teoritis kelestarian hasil tidaklah bersifat mutlak, terdapat unsur kenisbian di dalamnya. Sumber kenisbian tersebut salah satunya adalah ukuran yang dipakai untuk menyatakan hasilnya, apakah luas, volume kayu, nilai uang, atau jumlah batang pohon. Tidak ada jaminan bahwa pemakaian salah satu ukuran hasil memberikan tingkat kelestarian yang sama apabila diukur oleh ukuran yang lain. Apabila terdapat tingkat kelestarian yang sama untuk semua ukuran hasil, maka kejadian tersebut haruslah sangat istimewa dan hal tersebut bukan merupakan fenomena alam yang biasa (Suhendang 1995). Pengaturan Hasil Berdasarkan Model Simulasi Pengaturan hasil berdasarkan model simulasi tidak dapat dipisahkan dari model pertumbuhan dan hasil. Model simulasi berguna dalam menjelaskan pemahaman dan prediksi. Selain itu model simulasi juga berguna untuk menganalisis data, sintesis dan mengkomunikasikan pengetahuan yang ada, serta mengidentifikasi gap dalam pemahaman (Vanclay 2002). Model simulasi dapat diterapkan terhadap hutan yang bervariasi dari satu ke lain tempat karena kompleksitas ekosistem hutan, sehingga asumsi tentang kehomogenitas tegakan tidak begitu penting. Model ini dapat pula digunakan untuk menguji berbagai rejim manajemen, dimana realisasi hasil tergantung pada keakuratan dan kelengkapan model. Model-model tersebut memerlukan pengetahuan tentang laju pertumbuhan dan dinamika tegakan (Alder 1999 dalam Krisnawaty 2001). Saat ini telah dikembangkan beberapa perangkat lunak simulasi untuk memprediksi AAC atau pengaturan hasil. Beberapa penelitian tentang metode pengaturan hasil untuk hutan bekas tebangan pada hutan alam produksi telah dilakukan berdasarkan kombinasi tegakan persediaan hutan, riap volume tegakan dan dinamika struktur tegakan hutan serta kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan.
7
a. Dipterocarp Forest Growth Simulation Model (DIPSIM). DIPSIM (Dipterocarp Simulation Model) adalah suatu perangkat lunak komputer yang dikembangkan oleh Promosi Sistem Pengelolaan Hutan Lestari (Promotion of
Sustainable
Forest Management
Systems, SFMP) melalui
kerjasama antara Pemerintah Indonesia (Menteri Kehutanan dan Perkebunan) dan Jerman (Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit, GTZ). DIPSIM adalah model pertumbuhan individu pohon yang dikembangkan dari data pertumbuhan dan hasil melalui pengukuran secara berulang pada PUP di Kalimantan Timur.
DIPSIM
digunakan
untuk
menentukan
Jatah
Tebang
Tahunan (JTT) berdasarkan simulasi pertumbuhan hutan (riap diameter pohon, perubahan kualitas pohon, mortality, recruitment) dan simulasi pemanenan (Kleine & Hinrich 1999 dalam Suhendang 2002). b. Sustainable and Yield Management for Tropical Forests (SYMFOR). SYMFOR merupakan model pertumbuhan dan hasil yang digunakan untuk menilai dan mengevaluasi sistem manajemen secara ekologi, bukan merupakan model konsesi hutan secara ekonomi. Aplikasi model SYMFOR dapat dipergunakan untuk memprediksi
pertumbuhan pohon, hasil tebangan dan
tegakan tinggal pada setiap periode sehingga dapat menentukan jangka waktu optimal pemanenan tegakan. Salah satu studi kasus dalam uji coba metode SYMFOR menunjukan bahwa sistem Reduce Impact Logging (RIL) 70 m3/ha dengan pengaturan hasil (yield regulation) memberikan bentuk kelestarian hasil yang lebih baik dibandingkan sistem TPTI dan RIL 8 batang/ha berdasarkan besarnya potensi produksi terutama untuk areal dengan potensi tinggi (Susanty & Sarjono 2001). c. Yield Simulation System (YSS) YSS adalah perangkat lunak komputer yang terdiri dari beberapa modul program yang digunakan untuk menduga kondisi tegakan pada waktu yang akan datang melalui teknik simulasi dengan menggunakan matriks transisi. YSS dikembangkan pada tahun 1999 oleh Rombouts.
8
d. Model Prototipe The Forest Land Oriented Resource Envisioning System (pFLORES) Model pFLORES merupakan suatu protipe model FLORES yang dibangun oleh
Muetzelfeldt dkk pada tahun 1997. Model pFLORES yang dibangun
menggunakan
software modeling milik AME yang pada dasarnya menjelaskan
interaksi antara faktor-faktor sosiologi, ekologi, lingkungan dan ekonomi yang berhubungan dengan penggunaan lahan (Muetzelfeldt et al. 1997). e. Model The Forest Land Oriented Resource Envisioning System (FLORES) Model FLORES merupakan model yang dikembangkan berdasarkan model prototype FLORES selama kegiatan workshop di Bukit Tinggi Sumatera Barat pada tahun 1999. Model ini dibangun selama kurang lebih tiga tahun berdasarkan ide yang dimunculkan Vanclay pada tahun 1995 dengan menggunakan perangkat komputer. Materi-materi yang disajikan dan dikirim dalam kegiatan workshop di Bukit Tinggi tersebut dikompilasi dan dibangun
model FLORES. Model
FLORES menggunakan perangkat lunak Simile sebagai tool (alat) dalam mengolah data. Model ini dikembangkan dalam rangka memahami interaksi antara manusia dan sumberdaya alam pada hutan-hutan marginal di negaranegara sedang berkembang seperti Indonesia, Zimbabwe dan Cameroon (Muetzelfedt dan Massheder 2003). f. MYRLIN (Methods of Yield Regulations with Limited Information) Metode
ini
dibangun
oleh
Alder
bersama
rekan-rekannya
untuk
memprediksi hasil pertumbuhan tegakan pada hutan hujan tropika. Metode ini menjelaskan pola-pola pertambahan diameter pohon untuk spesis tumbuhan pada hutan hujan tropika yang memiliki kesamaan secara luas antara satu wilayah dengan wilayah lainnya berdasarkan asumsi-asumsi umum yang dibuat terhadap hasil pertumbuhan. Model ini menggunakan persamaan untuk memprediksi pertambahan diameter, kematian pohon, dan perubahan lainnya dalam hutan secara statistik. (Alder 2002 diacu dalam Vanclay 2003). g. The Simile Visual Modeling Environmental Bahasa program Simile merupakan suatu wadah yang menyediakan kemampuan dan kemudahan relatif untuk membangun model-model dan simulasi
9
proses-proses biologi dalam hutan, pertumbuhan tegakan, proses pemasaran, termasuk manusia dan sistem-sistem di dalam hutan (Vanclay 2003). Simile pada awalnya dikenal sebagai AME (Agroforestry Modelling Environment) yang telah dibangun oleh peneliti dari Universitas Edinburgh dan selama lima tahun terakhir ini lebih fokus pada permasalahan bidang kehutanan. Bahasa program lain yang sama dengan Simile adalah Vensim, Powersim dan Stella. Tegakan dan Struktur Tegakan Buongiorno dan Gilless (1987) mendefinisikan tegakan (stand) sebagai luasan yang cukup kecil ditebang dalam periode waktu yang singkat, misalnya satu tahun. Tegakan dapat berupa seluruh areal hutan atau bagian dari areal hutan yang luas, yang dikelola dengan siklus tebang tertentu. Tegakan dalam perspektif manajemen hutan merupakan suatu hamparan lahan hutan yang secara geografis terpusat dan memiliki ciri-ciri kombinasi dan sifat-sifat vegetasi (komposisi jenis, pola pertumbuhan, kualitas pertumbuhan), sifat-sifat fisik (bentuk
lapangan),
memiliki luasan minimal tertentu sebagaimana yang diisyaratkan (Suhendang 1993). Struktur tegakan dapat dibedakan atas struktur tegakan vertikal, struktur tegakan horisontal dan struktur tegakan spasial. Menurut Richard (1964), struktur tegakan vertikal adalah sebaran individu pohon dalam berbagai lapisan tajuk. Sedangkan struktur tegakan horisontal didefenisikan sebagai banyaknya pohon per satuan luas pada setiap kelas diameternya (Meyer et al., 1961 dalam Davis et al. 2001). Struktur tegakan spasial berkaitan dengan keberadaan pohon-pohon dalam suatu ruang tumbuh tertentu yang ditentukan oleh kondisi lingkungan setempat, proses-proses kompetisi, kemampuan pohon untuk tumbuh dan berkembang serta kematian, dan kemungkinan benih untuk
berkembang dan
memperbaiki kapasitas tegakan. Penelitian ini hanya berfokus pada struktur tegakan horisontal. Struktur tegakan adalah penyebaran fisik dan temporal dari pohon-pohon dalam tegakan berdasarkan jenis, pola penyebaran vertikal atau horisontal, ukuran pohon atau pohon termasuk volume tajuk, indeks luas daun, batang, penampang lintang batang, umur pohon atau kombinasinya (Oliver dan Larson 1990).
10
Bentuk struktur tegakan horizontal hutan alam pada umumnya mengikuti persamaan eksponensial negatif atau bentuk huruf J-terbalik, tetapi struktur tegakan hutan alam tidak selamanya mengikuti bentuk huruf J- terbalik (Meyer et al. 1961; Davis & Johnson 1987). Hasil penelitian di hutan alam hujan tropis di Imataca, mendapatkan fakta bahwa struktur tegakan untuk semua jenis mengikuti bentuk huruf J-terbalik, tetapi apabila dibuat untuk setiap jenisnya, maka bentuk struktur tegakannya beragam, sesuai dengan sifat toleransinya terhadap naungan. Untuk pertimbangan faktor ekonomi, struktur tegakan dapat menunjukkan potensi tegakan minimal yang harus tersedia, sedangkan untuk pertimbangan ekologis dari struktur tegakan akan diperoleh gambaran mengenai kemampuan regenerasi dari tegakan yang bersangkutan (Suhendang 1993). Struktur tegakan dengan bentuk kurva yang menyerupai bentuk huruf Jterbalik dengan model
N = N0e
-kD
telah banyak ditemukan dalam penelitian-
penelitian ekologi hutan. Suhendang (1985) dalam penelitian pada hutan alam hujan tropis dataran rendah di Bengkunat, Lampung, menyajikan bentuk struktur tegakan dalam model fungsi kepekatan peubah acak kontinyu, yaitu berdasarkan sebaran gamma, lognormal, eksponensial negatif dan Weibull. Lebih
jauh diungkapkan bahwa penggunaan model fungsi kepekatan untuk
menyusun struktur tegakan selain keterandalan yang cukup tinggi juga akan lebih memudahkan dalam penggunaannya. Berdasarkan penelitian Suhendang (1995) di Propinsi Riau model struktur tegakan N = N0e
-kD
dapat diterima oleh semua
petak percobaan, dicirikan oleh besarnya koefisien determinasi yang diperoleh (R2 berkisar 73% sampai 89%). Model struktur tegakan N = N0e
-kD
yang lain juga dibentuk oleh
Rosmantika (1997) pada hutan alam bekas tebangan di Stagen Pulau Laut Kalimantan Selatan dengan nilai R2 yang diperoleh 66% sampai 99,3%. Krisnawati (2001) dalam penelitiannya di Kalimantan Tengah mendapatkan model struktur tegakan N = N0e
-kD
yang mengikuti bentuk J- terbalik dapat
diterima oleh semua kelompok jenis pada setiap areal pengamatan dengan besar nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh yaitu berkisar antara 87% sampai 98,8% untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, antara 98,9% sampai 99,6% untuk
11
kelompok jenis Non Dipterocarpaceae, dan antara 98,6% sampai 99,9% untuk kelompok jenis Non Komersial, sedangkan untuk semua jenis berkisar antara 98,8% sampai 99,6%. Model Pertumbuhan Hutan Tidak Seumur Model Pertumbuhan adalah suatu abstraksi dinamika alam dari suatu tegakan hutan yang meliputi pertumbuhan, kematian dan perubahan lain di dalam struktur dan komposisi tegakan (Vanclay 1994). Model pertumbuhan terdiri dari satu seri persamaan matematik yang juga dapat dihubungkan dengan komputer untuk membuat suatu model. Pertumbuhan mengarah pada pertambahan dimensi satu atau lebih individu dalam suatu tegakan hutan dalam suatu periode waktu tertentu (misal pertumbuhan volume m3ha-1th-1). Hasil tegakan adalah banyaknya dimensi tegakan yang dapat dipanen dan dikeluarkan pada waktu tertentu atau jumlah kumulatif sampai pada waktu tertentu (Davis dan Johnson 1987). Dalam suatu tegakan tidak seumur hasil (yield) adalah total produksi sepanjang periode waktu tertentu sedangkan pertumbuhan adalah hasil produksi. Pertumbuhan dan hasil memiliki hubungan secara matematik, jika hasil adalah y maka pertumbuhan adalah turunannya yaitu dy/dt. Model pertumbuhan empiris dikategorikan atas 3 (tiga) kelompok, yaitu model pertumbuhan per pohon (individual tree models atau single tree models), model kelas tegakan (stand class models), model tegakan keseluruhan (whole stand models) (Davis et al. 2001; Vanclay 1995; Turland 2007). Model-model individu pohon menggunakan individu pohon sebagai unit dasar dalam penyusunan model. Input minimum yang diperlukan untuk penerapan model ini adalah daftar seluruh jenis pohon yang menyusun tegakan mencakup ukuran diameter, tinggi dan bentuk tajuk. Model yang lainnya juga memperhatikan susunan tegakan mencakup ukuran diameter, tinggi dan bentuk tajuk. Posisi spasial setiap pohon, tinggi pohon dan kelas tajuk. Pendekatan model tegakan keseluruhan menggambarkan kondisi pohon atau tegakan hutan dengan menggunakan sedikit parameter (Davis dan Johnson 1987).
12
Sedangkan menurut Vanclay (1995), pendekatan model tegakan secara keseluruhan dapat digunakan untuk menggambarkan parameter-parameter tingkat tegakan (langsung per un it area), seperti; tegakan persediaan (pohon/ha), bidang dasar tegakan (m3/ha) dan volume tegakan (m3/ha). Terdapat empat variabel kunci dalam pemodelan hutan tidak seumur yaitu:
laju
komposisi
pertumbuhan jenis dan
utama yang muncul
tegakan, sebaran diameter dalam setiap tegakan,
lamanya siklus tebang (Leuschner 1990). Masalah dalam
penaksiran
produktivitas
hutan
tropika
(pertumbuhan dan hasil) melalui model pertumbuhan, yang dikelola berdasarkan tebang pilih seperti TPTI diantaranya adalah : perhitungan kematian (mortality)dan ingrowth, identifikasi jenis dan keakuratan pengukuran ulang setiap individu pohon. Ingrowth menyatakan besarnya tambahan terhadap banyaknya pohon per hektar pada kelas diameter terkecil selama periode waktu tertentu. Upgrowth menyatakan besarnya tambahan terhadap banyaknya pohon per hektar terhadap kelas diameter tertentu yang berasal dari kelas diameter yang lebih kecil selama periode waktu tertentu. Kematian (mortality) menyatakan banyaknya pohon per hektar yang mati pada setiap kelas diameter selama periode tertentu. Banyaknya pohon yang tetap pada setiap kelas diameter selama periode waktu tertentu, diperoleh dari pengurangan angka 1 (jumlah total peluang pertumbuhan) dengan proporsi mortality dan proporsi ingrowth atau upgrowth. Pendekatan yang paling sesuai digunakan dalam pemodelan hutan tidak seumur untuk saat ini adalah model kelas tegakan (stand class models) (Vanclay 1995). Perkembangan Penelitian tentang Model Dinamika Struktur Tegakan Model pertumbuhan matriks digunakan juga untuk melihat pengaruh jangka pendek dan jangka panjang dari berbagai alternatif penebangan terhadap manfaat ekonomi dan keanekaragaman ekologis pada hutan campuran di Wisconsin, USA (Lu dan Buongiorno 1993). Model pertumbuhan yang dikembangkan sama dengan yang diajukan oleh Buongiorno dan Michie (1980), tetapi dengan melakukan penambahan pengelompokan jenis dan ukuran. Selain itu merupakan
fungsi
dari
bidang
persamaannya sebagai berikut:
diameter
dan jumlah
ingrowth
pohon
yang
13
IH = 14,650 - 0,020GH - 0.007GL - 0,016GN + 0.002NH IL = 29,596 - 0,039 GH - 0.033 GL -0,043 GN + 0.010 NH
(R2 = 0,3%) (R2 = 5,8%)
IN = 9,842 - 0,013 GH - 0,01O GL - 0,043 GN + 0,012 NH (R3 = 4,2%) dimana IH, IL, dan IN l a j u ingrowth tahunan (pohon/ha) dari pohon yang bernilai tinggi, bernilai rendah dan non komersial, GH, GL, dan GN adalah total diameter (m/ha), dan NH, NL dan NN adalalah total jumlah pohon (pohon/ha). Selain itu, Buongiorno et al (1995) melakukan studi tentang pertumbuhan dan manajemen jenis
campuran hutan tidak seumur di Jura Prancis serta
implikasinya terhadap pengembalian
ekonomi
dan
keanekaragaman pohon.
Persamaan ingrowth, upgrowth, dan mortaly berdasarkan pengelompokan jenis (Fir, Spruce, dan Beach). Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan model : m
n
n
j=1
j=1
Ikt = dik Bj ( yijt-hijk)+ ek (ykjt –hkjt) + Ck ( R2 = 37- 47%) i=1
Persamaan ingrowth setiap jenis merupakan fungsi dari jumlah pohon dan terbalik dengan basal area setiap jenis pohon. Persamaan ingrowth sebagai berikut: m
n
n
j=1
j=1
Ikt = dik Bj ( yijt-hijk)+ ek (ykjt –hkjt) + Ck ( R2 = 37- 47%) i=1
dimana: Ikt
= ingrowth atau jumlah pohon jenis k per unit area yang masuk ke kelas diameter terkecil selama interval 5 tahun (pohon/ha) Bj = rata-rata basal area dari kelas diameter ke-j (m2/ha) dik ek = Parameter Ck = konstanta yang diharapkan tidak negatif, dalam artian ingrowth mungkin terjadi, tidak tergantung keadaan tegakan, dapat terjadi secara bebas dari bentuk struktur tegakan sesuai dengan penyebaran semai di sekitar tegakan. Upgrowth (bij) merupakan fungsi dari bidang dasar tegakan (stand basal area) dan ukuran diameter pohon yang dirumuskan sebagai berikut : bij =
m n
p i
+ qi B ( yijt-hijk)+ si Dj i=1 j=1
( R2 = 1,3-40%)
14
dimana: bij
= peluang upgrowth jenis ke-i diameter ke-j dalam waktu 5 tahun
i B
= 1,. .. .. . , m ; j = 1 ......,n-1 bij =0( i = 1, 2, ...., m) = total bidang dasar semua jenis pohon ke-i kelas diameter ke-j (m2/ha) DJ = rata-rata diameter pada kelas diameter ke-j (cm) Pi, qi, S i = parameter/koefisien regresi. Mortality (mij) adalah peluang pohon yang akan mati dari jenis pohon ke-i dan kelas diameter ke-j secara alami selama 5 tahun dirumuskan sebagai berikut :
mij =
u i
m n
+ vi B (yijt-hijk)+ wi Dj ( R2 = 7%) i=1 j=1
dimana : ui, vi, wi = parameter/koefisien regresi Kariuki et al (2006), membangun model kuantitatif growth, recruitment dan mortality pada hutan hujan tropika di North-east South Wales Australia dengan menggunakan regresi non linear multilevel pada berbagai tingkat gangguan. Hasil simulasi menggunakan tool (alat) simile didapatkan panen moderat
dengan
intensitas 47% basal area (BA) memerlukan waktu 120 tahun untuk menghasilkan produksi lestari, hal ini belum mempertimbangkan integrasinya dengan aspek ekologi. Sedangkan untuk single tree selection (35% BA) menghasilkan gap yang kecil pada kanopi sehingga recruitmen
menjadi rendah, terjadi sedikit
peningkatan pada pertumbuhan batang, namun memerlukan 180 tahun untuk memulihkan areal tersebut. Pada areal yang terkena eksploitasi secara intensif (50%BA) sebagai akibat dari tingginya kegiatan logging, meningkatkan kerusakan dan memerlukan waktu 180 tahun untuk pulih. Areal yang terkena dampak logging secara intensif (65-80% BA) juga mengurangi kerapatan batang dan menciptakan gap yang
semakin besar pada kanopi serta memberikan hasil
pertumbuhan dan recruitmen yang besar. Walaupun demikian kondisi ini telah meningkatkan jangka waktu pemulihan kerusakan 180-220 tahun. Selain itu dengan adanya perangkat lunak pengolahan dan simulasi seperti Stella maka Aswandi (2005), Septiana (2000), Bakri (2000) dan Cahyadi (2001), Labetubun (2004) telah menggunakan software tersebut untuk mensimulasikan model dinamika struktur tegakan. Dengan model dinamika sistem ini, Ingrowth,
15
Upgrowth, dan Mortality dibuat non linear terhadap bidang dasar tegakan dengan data hipotesis. Model Pengelolaan Hutan Alam secara Optimal Hutan tropis memiliki banyak jenis sehingga sulit mendefenisikan suatu struktur tegakan optimal dan mungkin lebih relevan dengan penelitian panjang siklus pemanenan, diameter minimal untuk pemanenan (Vanclay 1995), jumlah pohon yang dipanen setiap siklus (Mendoza dan Setyarso 1986). Lu dan Buongiorno (1993) meneliti tentang pengaruh jangka pendek dan jangka panjang dari alternatif rejim penebangan terhadap pengembalian ekonomi dan keanekaragaman ekologi pada hutan jenis campuran di hutan hardwoods Wisconsin Amerika Serikat. Hasil penelitian yang telah dilakukan menemukan suatu pedoman sederhana penebangan semua pohon yang berdiameter paling kecil (15 cm) setiap tahun, menunjukkan bahwa keanekaragaman hampir 95% dari tegakan alami, dan rente tanah adalah sekitar 70% yang dapat dicapai. Buongiorno et al (1995) menentukan keanekaragaman ukuran pohon
dan
pengembalian ekonomi pada tegakan hutan tidak seumur di hutan Northern hardwoods USA. Hasilnya tegakan alami yang tidak diganggu kemungkinan akan mencapai kelestarian keanekaragaman ukuran pohon yang paling tinggi. Biasanya kebijakan pemanenan tegakan yang ekonomis memberikan pengaruh terhadap menurunnya keanekaragaman ukuran pohon sekitar 10-20% tergantung pada panjang siklus tebang. Penelitian lain tentang trade-offs
antara pendapatan dan keanekaragaman
pada pengelolaan hutan campuran dipterocarps dataran rendah Malaysia. Diantara rejim yang diteliti, suatu kompromi yang baik antara ekonomi dan keanekaragaman adalah menebang dengan banyak pohon berdiameter 30 cm dan 40 cm pohon Dipterocarpaceae dan Non Dinterocarpaceae setiap 10 tahun, ini akan memelihara beberapa pohon dalam semua kelas ukuran dan jenis. Pengembalian finansial dapat dibandingkan dengan investasi yang lain di Malaysia dan sama dengan hasil tertinggi di bawah rejim manajemen sekarang, namun keanekaragaman pohon akan jauh lebih tinggi (Ingram dan Buongiorno 1996 dalam Labetubun 2004).
16
Penelitian lain tentang suatu model pemanenan yang optimal untuk mengevaluasi Sistim Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dengan menggunakan program linear juga telah dilakukan oleh Sianturi. Simulasi dilakukan terhadap 7 macam rotasi tebang, 3 tingkat suku bunga, 3 tigkat kerusakan tegakan dan 6 macam sistem royalti mendapatkan hasil bahwa rotasi tebangan yang optimal ditentukan oleh besarnya suku bunga serta tingkat kerusakan tegakan tinggal. Makin besar suku bunga yang digunakan, makin pendek rotasi yang ditebang sehingga memberikan hasil hutan tertinggi (Sianturi 1993). Simulasi memberikan lebih banyak fleksibilitas dalam pemodelan (Buongiorno dan Gilless 1987). Suatu fenomena dapat dipresentasikan melalui hubungan-hubungan matematika dari suatu bentuk yang mudah dikerjakan dari suatu sistem yang nyata. Simulasi digunakan sebagai alat yang paling baik dan serbaguna untuk pemecahan masalah dalam pengelolaan hutan. Output dan aplikasi yang dapat dihasilkan dari model tersebut antara lain dinamika tegakan, nilai hutan, siklus tebang terbaik, intensitas penebangan terbaik, jumlah tegakan tinggal yang terbaik, kombinasi optimum dan analisis sensivitas. Pendugaan Nilai Lahan Hutan Sumberdaya alam termasuk lahan hutan secara potensial mempunyai alternatif penggunaan atau prinsip opportunity cost, maka dalam perhitungan maksimalisasi perlu dimasukan nilai lahan atau tanah hutan. Keputusan tersebut dari sudut pandang finansial perlu mempertimbangkan hal-hal berikut : (1) waktu pemanenan, yaitu menyangkut volume yang dihasilkan, struktur hutan dan pola output kayu dari waktu ke waktu; (2) prakiraan nilai dari sumber daya hutan sebagai dampak dari keterbatasan dan kebijakan penggelolaan; (3) ketentuan sebaran diameter untuk memaksimalkan produksi, dan (4) rencana produksi dalam kaitannya terhadap pencapaian tujuan (Buongiorno dan Gilless 1987). Rencana pengelolaan hutan memerlukan analisis finansial sebagai alat untuk menilai kinerja finansial perusahaan. Beberapa kriteria finansial yang sering digunakan adalah : (1) Net Present Value (NPV), (2) Nilai harapan lahan (LEV), (3) Internal rate of return (IRR), (4) Rasio manfaat-biaya (BCR) dan (5)Nilai hutan (FV) ( Zobrist, et al. 2006).
17
1. Pendekatan Nilai Kini Bersih (Net Present Value) Ekonomi pasar memiliki prinsip maksimalisasi nilai sekarang (present value) sehingga cenderung memberikan perhatian terhadap penentuan penggunaan lahan. Aktivitas penggunaan lahan cenderung ditujukan untuk meningkatkan NPV. Salah satu bentuk kriteria maksimalisasi nilai sekarang dalam penentuan rotasi dikenal sebagai NPV atau cashflow terdiskonto. Menurut Klemperer (1996), pengertian diartikan sebagai
kesediaan
dari
pendekatan NPV dapat
membayar dari investor untuk suatu asset yang
didasari pada pendugaan manfaat,
biaya dan suku
bunga yang diinginkan
sehingga dapat menjadi alat (tools) yang sangat berguna dalam menilai lahan hutan. Menurut Davis et al (2001), asumsi yang dipakai dalam analisis perhitungan dari sewa lahan hutan untuk tujuan produksi kayu diantaranya adalah: (a) mencakup seluruh biaya pengelolaan uang relevan, biaya administrasi, dan pajak, (b) acuan rata-rata suku bunga yang mencerminkan secara tepat konteks dan harapan dari pemilik lahan dan (c) telah ditetapkannya pedoman pengelolaan lahan untuk masa mendatang dan dengan pedoman yang sama akan digunakan untuk setiap siklus produksi kayu dimasa mendatang. Biaya dan manfaat dari NPV diduga pada suatu cashflow dari suatu pertambahan dengan menggunakan harga riil sekarang, dan sebelum dan sesudah pengenaan pajak. Dalam hal penyesuaian terhadap rotasi dan juga hasil maksimum, maka maksimalisasi NPV sangat diperlukan melalui suatu pengawasan. Hal tersebut dikarenakan bahwa umur maksimum NPV biasanya lebih kecil dibandingkan dengan maksimum riap rata-rata tahunan (mean annual increment) akan tetapi lebih besar dibandingkan riap rata-rata periodik (periodic annual increment). 2. Pendekatan Nilai Harapan Lahan Nilai harapan lahan (land expectatioan value) merupakan gambaran jumlah yang harus dibayarkan oleh pembeli untuk lahan yang dipakai sebagai investasi dalam kegiatan kehutanan (Davis et al. 2001). Nilai lahan tersebut sama dengan jumlah nilai tunai (amount of cash) pada tingkat bunga tertentu yang akan menghasilkan pendapatan bersih yang sama dari lahan setiap tahunnya.
18
Land Expectation Value (LEV) disebut juga formula Faustmann. LEV merupakan kasus khusus dari NPV dimana (1) lahan dikeluarkan dari cashflow sehubungan dengan perhitungannya sebagai sisa (2) investasi diawali pada lahan yang kosong, tidak ada tegakan (3) lahan yang secara terus menerus terdapat tegakan yang sama (4) cash flow tegakan tersebut secara pasti sama. Untuk hutan alam, biasanya nilai harapan lahan disebut nilai hutan (forest value). 3. Internal Rate of Return (IRR) Internal
Rate of Return (IRR) sama dengan Rate of Return atau tingkat
rendemen atas investasi bersih. IRR adalah tingkat suku bunga yang membuat suatu proyek akan mengembalikan semua investasi selama umur usaha. Suatu usaha dapat dilaksanakan apabila nilai IRR lebih besar atau sama dengan tingkat suku bunga yang berlaku (discount factor), apabila terjadi keadaan sebaliknya, maka usaha tersebut ditolak (tidak layak). IRR juga merupakan nilai diskonto yang membuat NPV dari kegiatan usaha sama dengan nol. Dengan demikian IRR merupakan tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh kegiatan usaha tersebut untuk sumberdaya yang digunakan. 4. Benefit Cost Ratio (BCR) Benefit Cost Ratio (BCR) adalah perbandingan antara pendapatan dan biaya yang didiskonto. Suatu usaha yang memiliki nilai BCR lebih besar dari satu dikatakan layak (feasible) dan bila terjadi sebaliknya, maka usaha tersebut dikatakan tidak layak (unfeasible). Nilai IRR dan BCR menentukan tingkat efesiensi suatu usaha dalam penggunaan sumberdaya apakah efisien atau tidak. Sedangkan NPV adalah ukuran absolut yang ditentukan oleh umur usaha, yang berarti NPV pada umumnya akan menjadi besar sesuai dengan besarnya umur usaha. Jika terdapat sejumlah modal atau dana uang pada suku bunga tertentu akan dipilih proyek yang mempunyai nilai NPV, BCR dan IRR terbesar. Usaha Perdagangan Karbon pada Hutan Alam Produksi Carbon sink merupakan istilah yang sering dipakai di bidang perubahan iklim. Istilah ini berkaitan dengan fungsi hutan sebagai penyerap (sink) dan penyimpan
19
(reservoir) karbon. Emisi karbon ini umunya dihasilkan dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil dari sektor industri, transportasi dan rumah tangga (Rusmatoro 2006). Perdagangan emisi karbon mampu memberikan NPV positif lebih awal dalam rotasi dibandingkan dengan waktu yang dicapai pada pengelolaan hutan sebagai penghasil kayu, menggeser break-even point finansial dan secara umum meningkatkan nilai Internal Rate of Return (IRR). Pengelola hutan dimungkinkan memilih untuk mengelola tegakannya dengan tujuan murni penyerapan karbon atau mengkombinasikan antara menghasilkan kayu dan karbon (Harrison et al. 2000). Biomassa Biomassa adalah berat dari bahan tanaman hidup yang terdapat di atas maupun di bawah suatu unit luas permukaan tanah pada suatu titik pada waktu tertentu ( Catur, 2002). Pendugaan biomassa ini sangat diperlukan, khususnya pada hutan-hutan di daerah tropis karena berpengaruh besar dalam siklus karbon. Bila ditinjau dari sisi manajemen hutan, biomassa hutan sangat penting karena keseluruhan operasional pengelolaan hutan sangat dipengaruhi oleh potensi hutan melalui penentuan biomassa.
Hutan-hutan tersebut mempunyai potensi yang
besar dalam pengurangan kadar CO2 melalui konservasi dan manajemen tegakan hutan. Biomassa dapat memberikan informasi mengenai nutrisi dan kandungan karbon suatu tegakan secara keseluruhan. Reduce Emission from Deforestation and Degradation (REDD) REDD adalah mekanisme memberi insentif kepada negara-negara pemilik hutan untuk mempertahankan hutan mereka dari deforestasi dan degradasi. Degradasi hutan merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca. Di Indonesia stok hutan berkurang 5% setiap tahun akibat degradasi (Marklund dan Schoene 2006 diacu dalam Mudiyarso et al, 2008). Degradasi di daerah tropis umumnya terjadi karena aktivitas logging, kebakaran hutan dalam skala besar, pengambilan kayu bakar dan hasil hutan non kayu, produksi arang, padang penggembalaan, dan perladangan berpindah (GOFC-GOLD 2008). IPPC (2003) menyebutkan ada lima karbon pool yang digunakan memonitoring deforestasi dan degradasi yaitu
20
biomassa bagian atas, biomassa bagian bawah, serasah, kayu mati, dan carbon yang berasal dari tanah. Provinsi Papua mendedikasikan setengah dari total luas hutan produksinya untuk kepentingan mereduksi emisi karbon atau Reduction Emission from Deforestation in Developing Country. Seperempat dari luas hutan konversi Papua juga akan diperuntukkan bagi kepentingan Mekanisme Pembangunan Ramah Lingkungan atau Clean Development Mechanism (CDM). Komitmen pemerintah Papua dalam Konvensi Perubahan Iklim di Bali tahun 2007 menyediakan 15% (3.285.217 ha) dari total luas hutan produksi bagi kegiatan perdagangan karbon merupakan upaya yang cukup strategis dilihat dari kepentingan politik, namun dari sisi ekonomi dan sosial budaya hal tersebut belum memberikan jaminan yang pasti. Setiap 1 juta ha hutan produksi konversi yang diputuskan untuk tetap dipertahankan sebagai hutan alam (infact forest) dan diikutsertakan dalam program carbon trade melalui pendekatan pencegahan deforestasi (avoided deforestation), bisa menghasilkan penerimaan tunai sampai mencapai kurang lebih Rp 3 triliun (Suebu 2007). Apabila penerimaan ini diberikan kepada kurang lebih 2 juta penduduk Papua, maka setiap orang memiliki penerimaan cash sebesar Rp 1.500.000,- atau Rp 375.000,- per orang untuk hutan seluas 15% dari luasan hutan Papua untuk kepentingan tersebut. Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi Tujuan dari analisis suatu usaha adalah untuk memperbaiki penilaian investasi akibat keterbatasan sumberdaya, sehingga perlu dilakukan pemilihan terhadap berbagai macam usaha. Kesalahan dalam melakukan penilaian berakibat pada pengorbanan sumber-sumber yang langka oleh karena itu sebelum usaha dilaksanakan perlu diadakan perhitungan percobaan untuk mengetahui hasil dan kemungkinan memilih alternatif lain dengan cara menghitung biaya dan manfaat yang dapat diharapkan dari masing-masing usaha (Kadariah 1986). Analisis finansial dan analisis ekonomi merupakan dua alternatif yang dapat dipergunakan dalam evaluasi usaha. Analisis finansial atau analisis privat ditujukan untuk menghitung manfaat dan biaya usaha dari sudut pandang individu-individu atau swasta sebagai pihak yang berkepentingan dalam proyek. Analisis ekonomi atau
21
sosial ditujukan untuk menghitung manfaat dan biaya proyek dari sudut pandang pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan sebagai pihak yang berkepentingan dalam usaha tersebut (McLeish, et al. 2002). Menurut Gittinger (1986), pada dasarnya perhitungan dalam analisis finansial dan ekonomi berbeda dalam 4 (empat) hal yaitu : 1. Harga Dalam analisis finansial harga yang digunakan adalah harga pasar. Harga ini telah memperhitungkan pajak dan subsidi, akan tetapi dalam analisis ekonomi harga yang dipergunakan adalah harga yang mencerminkan secara tepat nilai-nilai sosial ekonomi. Harga yang sudah disesuaikan ini disebut harga bayangan (shadow price) atau harga buku (accounting price) yang merupakan opportunity cost. 2. Pajak dan Subsidi Dalam analisis ekonomi pajak dan subsidi digunakan sebagai pembayaran transfer. Pendapatan baru timbul oleh suatu usaha termasuk pajak-pajak yang ditanggung selama proses produksi dan pajak penjualan yang dibayar oleh pembeli pada waktu membeli produk hasil usaha. Pajak tersebut merupakan bagian dari manfaat usaha secara keseluruhan. Sebaliknya, subsidi dari pemerintah kepada usaha merupakan biaya masyarakat, karena subsidi menjadi pengeluaran dari sumberdaya sehingga perekonomian harus melakukan pengeluaran untuk menjalankan proyek. Dalam analisis finansial pajak dianggap sebagai biaya dan subsidi dianggap sebagai hasil (return). 3. Bunga Bunga terhadap modal dalam analisis ekonomi tidak dipisahkan dan dikurangkan dari hasil bruto (gross return), karena modal merupakan bagian dari hasil bruto (total return) terhadap modal yang tersedia untuk masyarakat secara keseluruhan dan sebagai hasil keseluruhan. Bunga merupakan hal yang diperkirakan dalam analisis ekonomi. Dalam analisis finansial bunga dibedakan menjadi bunga yang dibayarkan kepada orang-orang luar dan bunga atas modal sendiri. Bunga yang dibayarkan kepada orang-orang yang meminjamkan uangnya pada kegiatan usaha dianggap cost. Bunga atas modal sendiri tidak dianggap sebagai biaya karena bunga merupakan bagian dari finansial return yang diterima.
22
4. Manfaat dan Biaya Usaha Dalam hubungan dengan usaha segala sesuatu yang menambah pendapatan nasional atau menambah persediaan barang-barang konsumsi baik secara langsung maupun tidak langsung digolongkan sebagai manfaat usaha. Sebaliknya segala sesuatu yang berhubungan dengan pengurangan barang-barang konsumsi baik secara langsung maupun tidak langsung digolongkan sebagai biaya proyek. Kontribusi Sektor Kehutanan terhadap Ekonomi Daerah Dari berbagai indikator ekonomi pendapatan daerah merupakan salah satu indikator penting yang sering kali dirancukan pengertiannya dengan pendapatan masyarakat.
Pendapatan daerah dalam nomenklatur pembangunan di Indonesia
mencerminkan pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah (Gambar 1). Pendapatan daerah di Indonesia bersumber dari : Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan Pembangunan, Pinjaman Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah lainnya, Hibah, Dana Darurat, dan lain-lain. Berdasarkan Gambar 1 dapat dipahami bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi belum merupakan jaminan tingginya pendapatan masyarakat di suatu daerah. Namun demikian tingginya pendapatan asli daerah (PAD) dapat menjadi sumberdaya yang sangat penting bagi pemerintah daerah di dalam pengembangan wilayah termasuk peningkatan pendapatan masyarakat (Rustiadi et al, 2005). Walaupun demikian pendapatan asli daerah jarang digunakan oleh suatu daerah bahkan negara sebagai ukuran produktivitas wilayah. Pada umumnya yang digunakan sebagai tolak ukur pembangunan daerah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atau Gross Domestic Regional Product (GDRP), karena ukuran ini yang paling operasional dan diterima secara universal oleh semua negara. Besarnya PDRB suatu wilayah yang diperoleh pada akhirnya akan berpotensi menjadi pendapatan daerah. PDRB merupakan total nilai barang dan jasa yang dihasilkan
suatu daerah yang telah dihilangkan unsur-unsur
intermediate-cost dalam kurun waktu tertentu.
23
Sumber-Sumber Penerimaan Daerah
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Dana Perimbangan
Pinjaman daerah
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Lainnya yang dipisahkan
Lain-lain Hibah, Dana Darurat, Penerimaan Lainnya
Penjualan Saham
Dividen
Bagian Laba
Luar Negeri
Pengelolaan Aset Daerah
Dalam Negeri
Keuntungan perusda
Dana Alokasi Khusus
Dana Bagi Hasil
Retribusi
Dana Alokasi Umum
Pajak
Lain-lain
Pajak Bumi dan Bangunan
Kebutuhan di luar alokasi umum
BPHTB Prioritas Nasional Hasil hutan, tambang umum, perikanan
Dana Reboisasi
Minyak Bumi Macthing grant Gas Alam
Gambar 1. Sumber Pendapatan Daerah Berdasarkan UU 33/2004 Penerimaan Daerah dari Sektor Kehutanan Secara operasional kegiatan pengusahaan hutan atau pemanfaatan hutan diatur dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dan PP No 6 Tahun 2007 jo PP 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunanan Rencana Pemanfaatan Hutan. Berdasarkan kedua Undang-undang tersebut, terdapat 6 macam pungutan yang dikenakan kepada pengusaha:
24
a. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH) b. Dana Reboisasi (DR) c. Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) d. Dana Jaminan Kinerja (DJK) e. Dana Investasi Untuk Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Latihan, serta Penyuluhan Kehutanan. f. Dana Investasi Pelestarian Hutan (DIPH) Namun demikian pada saat ini yang sudah berjalan karena sudah ada aturan pelaksanaannya hanyalah tiga jenis pungutan yaitu IHPH/IIUPH, DR dan PSDH/IHH. Sedangkan untuk DJK, DIPH , dan Dana Investasi Untuk Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Latihan, serta Penyuluhan Kehutanan sama sekali belum diatur. 1. Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH/IUPHH) Iuran Hak Pengusahaan Hutan (licence fee) merupakan iuran yang harus dibayar oleh pemegang HPH. Pungutan ini dikenakan hanya sekali pada saat penetapan konsesi. Dasar hukum pungutan ini adalah PP Nomor 22 Tahun 1967 perubahannya dengan PP Nomor 21 Tahun 1980. Selain itu, tertuang juga dalam beberapa surat keputusan menteri sebagai berikut : SK Menteri Pertanian Nomor 415/Kpts/um/7/1979, SK Menhut Nomor 479/Kpts-II/1992, serta SK Dirjen PH Nomor 403/KPts/IV-TPHH/1989. 2. Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) PSDH adalah nilai hasil hutan yang menjadi bagian pemerintah sebagai pemilik sumberdaya. Nilai ini ditentukan harga jual dan jumlah/volume hasil hutan yang dijual. Iuran PSDH ditetapkan berdasarkan Surat Edaran Dirjen BPK Nomor 02/VI-BIKPHH/2005, penetapan harga patokan PSDH berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 436/MPP/Kep/7/2004, sedangkan tarif PSDH berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 1999. Petunjuk teknis tentang tata cara pengenaan, pemungutan, pembayaran, dan penyetoran PSDH diatur dengan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 124/KptsII/2003.
25
3. Dana Reboisasi Jenis pungutan ini pertama kali diberlakukan pada tahun 1980 dengan nama Dana Jaminan Reboisasi (DJR). Pungutan ini dikenakan terhadap setiap m3 kayu yang diambil oleh HPH/IUPHHK sebagai dana jaminan reboisasi.
Namun
perkembangan selanjutnya pada tahun 1989 pungutan berubah menjadi Dana Reboisasi (DR), dengan ketentuan HPH/IUPHHK wajib melakukan penanaman pengayaan di areal HPH/IUPHHK dan tetap membayar DR. Dana ini juga identik dengan Dana Jaminan Kinerja (DJK), Dana Investasi Pelestarian Hutan (DIPH) (Tim Fahutan IPB, 2003). Dana Reboisasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 merupakan dana untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya yang dipungut dari Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari hutan alam yang berupa kayu. Penentuan tarif DR berdasarkan PP Nomor 29 Tahun 1999, sedangkan petunjuk teknis tentang tata cara pengenaan, pemungutan, pembayaran, dan penyetoran DR diatur dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 128/KptsII/2003. 4. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak merupakan iuran yang diwajibkan kepada warga negara untuk disetor kepada kas negara berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik yang langsung, dapat ditujukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo 2006). Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan terhadap bumi dan bangunan. Areal konsesi HPH merupakan salah satu obyek pajak, wajib dibayarkan PBB yang besarnya tergantung luasan dan bangunan yang ada. Jika pada luasan terdapat areal yang tidak produktif maka pemegang konsesi dapat mengajukan pengurangan pembayaran. Dasar hukum penetapan PBB adalah UU
No. 12
Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994. Jumlah dan jenis pungutan ini berimplikasi terhadap kelestarian hutan. Disamping pungutan-pungutan pemerintah pusat dengan adanya desentralisasi kehutanan pungutan di tingkat daerah semakin banyak baik jumlah maupun jenis. Hal ini berarti beban pengusaha makin besar sehingga untuk mempertahankan
26
kelayakan usaha berbagai cara dapat ditempuh termasuk illegal logging. Model dan Simulasi Model merupakan abstraksi dari kenyataan sebenarnya (Hannon dan Ruth, 1994; Grant et al 1997; Banks et al. 1999), yang merupakan penggambaran formal elemen-elemen esensial dari suatu masalah (Grant at el. 1997). Selain itu model didefinisikan sebagai representasi dari suatu sistem untuk tujuan studi sistem. Model penting untuk mempertimbangkan aspek yang diteliti dari sistem yang mempengaruhi sistem yang diinvestigasi. Aspek-aspek ini direprensetasikan dalam model dari sistem. Disamping itu, model secara detail cukup memungkinkan kesimpulan yang valid untuk menjelaskan sistem yang nyata (real system). Komponen dari sistem adalah unsur (entitas), atribut dan aktifitas dari model. Pembangunan suatu model dapat membantu menganalisa data dari petak percobaan
dan
observasi.
Model
dapat
membantu
mensintesis
dan
mengkomunikasi pengetahuan yang ada dan mengidentifikasi kesenjangan pemahaman kita. Pemodelan memungkinkan cara yang paling efisien untuk menguji data percobaan, menginvestigasi implikasi dan merumuskan petunjuk silvikultur yang optimal (Vanclay 2002). Model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model biasanya diambil dari berbagai asumsi yang berhubungan dengan operasi sistem. Asumsi ini diekspresikan dalam hubungan matematik, logik dan simbolik antara obyek atau unsur (entities) dari sistem. Model dapat dikelompokan menjadi model kualitas, model ikonik dan model kuantitatif. Model kuantitatif adalah model yang berbentuk rumus matematik, statistik atau komputer. Model matematik sering dibagi dalam 2 kategori yaiti model statik dan model dinamis. Model statik mempelajari tentang perilaku sistem yang statis (tidak memasukan unsur waktu). Sedangkan model dinamis membantu kita berpikir tentang bagaimana suatu sistem berubah menurut waktu. Pertumbuhan (growth), kerusakan (decay) dan osilasi adalah dasar dari pola sistem dinamis.
27
Model simulasi dapat digunakan untuk (1) analisa terperinci dari kebijakan tertentu, (2) analisa sensitifitas (3) perbandingan antara beberapa alternatif kebijakan (skenario) dan (4) perilaku antara biaya dan manfaat (Eriyatno 1999). Pendekatan Sistem Dinamik Menurut Eriyatno (1999) sistem adalah totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu. Sistem dapat dibayangkan sebagai suatu koleksi yang terisolir dari komponen-komponen yang berinteraksi. Elemen-elemen sistem dapat berupa benda, fakta, metode, prosedur kebijakan, bagian organisasi, dan sebagainya. Hubungan antar sistem dapat berupa transaksi, interaksi, transmisi, koreksi kaitan, hubungan, dan lain-lain. Dalam sistem terdapat proses transformasi yang mengolah input menjadi output sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Menurut Eriyatno (1999), terdapat tiga pola pikir yang menjadi pegangan pokok oleh para ahli sistem dalam menganalisis permasalahan yaitu (1) sibernetik (cybernetic), yaitu berorientasi pada tujuan, (2) holistik (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap keputusan sistem, dan (3) efektif (effectiveness), yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat dilaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk mencapai eksistensi keputusan. Para ahli memberikan batasan permasalahan yang sebaiknya menggunakan pendekatan sistem dalam pengkajiannya, yaitu permasalahan yang memenuhi karakteristik : (1) kompleks, (2) dinamis dan (3) probabilistik Sistem dinamik adalah studi mengenai perubahan sistem menurut waktu dengan memperhatikan faktor umpan balik (Purnomo 2004). Sistem dinamik adalah metodologi yang dapat digunakan untuk memahami suatu permasalahan yang rumit dan kompleks. Model sistem dinamik akan melibatkan input-input, hubungan dan output diantara bagian-bagian sistem dan model. Masalah-masalah yang akan dibuat model sistem dinamika harus memiliki sedikitnya dua ciri utama yaitu (1) bersifat dinamis, meliputi kuantitas yang berubah menurut waktu yang dapat digambarkan dalam bentuk grafik perubahan menurut waktu. (2) pemikiran mengenai umpan balik karena semua sistem pada dasarnya mempunyai sistem
28
umpan balik. Ekosistem hutan adalah suatu sistem yang kompleks yang terdiri dari berbagai interaksi komponen, dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, maka suatu motode khusus yaitu analisis sistem seharusnya diterapkan. Esensi dari analisis sistem bukan terletak pada kumpulan teknik kuantitatif, tetapi lebih pada strategi pemecahan masalah yang sulit atau tidak dapat dipecahkan secara matematis ataupun statistik, seperti disajikan pada Gambar 2.
Jumlah data relatif
Banyak Banyak data Pemahaman rendah (statistik)
Banyak data Pemahaman tinggi (fisika)
Sedikit data Pemahaman rendah
Sedikit data Pemahaman tinggi
Analisis Sistem dan Simulasi Sedikit Rendah
tinggi Tingkat pemahaman proses relatif
Gambar 2. Perbandingan Metode Pemecahan Masalah (Grant et al. 1997)