STUDI DESKRIPTIF TENTANG ANDROGENITAS PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
Oleh : NATALIA REGINA DEVI SETYANINGSIH NIM : 019114101
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2009
ii
iii
Akhirnya Sang waktu membawaku tiba disini Sungguh sebuah perjalanan yang amat panjang dan berliku Naik turun bak sebuah roalercoaster Tawa dan air mata silih berganti Mengiringi setiap langkahku Tak lupa kubersyukur atas karunia indah ini Sehingga ku sanggup tuk berderap maju sampai akhir Menggapai kemilaunya mimpi (Written by Devi)
Matius 7: 7 - 8 Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan.
Kupersembahkan karya sederhana ini untuk: Orang tua dan adikku tercinta, yang selalu senantiasa memberikan dukungan dan doa tanpa henti untukku. Teman - teman mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, semoga karya ini dapat bermanfaat bagi kalian semua.
iv
v
ABSTRAK Studi Deskriptif Tentang Androgenitas Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Oleh: Natalia Regina Devi Setyaningsih Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma 2009 Penelitian ini berangkat dari sterotipe masyarakat tentang sifat dan peran gender yang seharusnya dimiliki oleh laki - laki dan perempuan. Banyak laki laki dan perempuan dengan hanya satu tipe seks seperti feminin atau maskulin saja, amat terbatas dalam bertingkah laku terutama dalam interaksinya dengan orang lain serta kurang dapat mengembangkan kepribadiannya secara maksimal. Kemudian muncul pemikiran bahwa aspek maskulin dan feminin sesungguhnya saling melengkapi dan bukan saling bertentangan. Dari situlah muncul konsep tentang androgenitas. Androgenitas merupakan perpaduan hadirnya karakteristik maskulin dan feminin dalam diri individu sama tinggi. Individu androgini adalah individu laki - laki maupun perempuan yang memiliki sifat atau ciri feminin (ekspresif) maupun sifat atau ciri maskulin (instrumental) sama tinggi dalam dirinya. Misalnya laki - laki yang memiliki sifat tegas sekaligus mau mengalah atau perempuan yang memiliki sifat dominan sekaligus sensitif terhadap perasaan orang lain tergantung pada kesesuaian situasi untuk bermacam perilaku tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mengukur taraf androgenitas mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Subjek penelitian ini adalah 100 orang mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, laki - laki dan perempuan dengan kriteria usia 18 sampai 22 tahun (remaja akhir). Penelitian ini menggunakan teknik SPSS for Windows versi 15.0 untuk menganalisis data - data penelitian. Pengujian reliabilitas alpha (α) terhadap 60 aitem ciri kepribadian dilakukan terpisah untuk masing-masing skala. Koefisien reliabilitas α yang didapatkan untuk skala maskulin adalah sebesar 0, 885. Koefisien reliabilitas α yang didapatkan untuk skala feminin adalah 0,840 dan koefisien reliabilitas α yang didapatkan untuk skala netral adalah 0, 734. Berarti dapat disimpulkan bahwa sebagai alat ukur Bem Sex Role Inventory (walau telah melewati proses adaptasi) tetap memiliki kekonsistenan dan keterpercayaan hasil ukur yang tinggi. Pengujian yang digunakan untuk mengukur androgenitas pada mahasiswa adalah dengan analisis deskriptif dan pengelompokkan peran gender berdasarkan median skor kelompok pada skala maskulin dan skala feminin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70 % mahasiswa memiliki peran gender androgini. Sedangkan 30 % mahasiswa memiliki peran gender yang lain seperti maskulin, feminin atau undifferentiated. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang berusia 18 sampai 22 tahun (remaja akhir) sebagian besar memiliki peran gender androgini. Kata Kunci : Androgenitas, Mahasiswa, Psikologi.
vi
ABSTRACT Descriptive Study About Androgyny To Psychology Faculty Students Of Sanata Dharma University By: Natalia Regina Devi Setyaningsih Psychology Faculty Sanata Dharma University 2009 This research was based on the stereotype of society about characteristics and gender role which should have by man and woman. Many man and woman who have only one type of sex likes feminine or masculine are very limited on their behaviors especially in their interaction with others. They hardly develop their personality optimally. Then it leads to an opinion that masculine aspect and feminine aspect truly complete each other and they aren’t against each other. From that appears point an androgyny concept. Androgyny is a combination of masculine and feminine characteristics in the same level within a single individual. An androgyny individual is a man and a woman who has the feminine characteristics (expressive) and has the masculine characteristics (instrumental) in the same level within himself or herself. For example, a man who is both assertive and yielding or a woman who is both dominant and sensitive to others depends on appropriate situations of these various behaviors. The purpose of this research were measure androgyny standard to psychology faculty students of Sanata Dharma University. The subjects of this research were 100 psychology faculty students of Sanata Dharma University, male and female with criteria range of age from 18 until 22 years old (the end of adolescence period). This research used SPSS for windows version 15 as a method to analyze it. Reliability alpha (α) testing to sixty personality traits was done separately in each scale. The result of the reliability coefficient alpha from the masculine scale was 0,885. The result of the reliability coefficient alpha from the feminine scale was 0,840. Meanwhile the result of the reliability coefficient alpha from the neutral scale was 0,734. The conclusion was that as the measurement, Bem Sex Role Inventory (although it has been adapted) still has high consistency and reliability inventory. The testing used to measure androgyny of the University students were the descriptive analysis and the gender role categorization based on median score of group in the masculine and feminine scale. The result of this research showed that 70 % students of the University have the androgyny gender roles. Meanwhile 30 % students of the University have other gender roles like masculine, feminine and undifferentiated. From the result the writer make a conclusion that most of the psychology faculty students of Sanata Dharma University who have range age from 18 until 22 years old (the end of the adolescence period) have androgyny gender roles. Key word: Androgyneity, Student, Psychology.
vii
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunianya sehingga skripsi yang berjudul, “Studi Deskriptif Tentang Androgenitas Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma” dapat diselesaikan dengan baik. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Terima kasih atas “waktu” yang bapak berikan sehingga saya bisa menyelesaikan karya ini. 2. Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya yang merupakan dosen pembimbing skripsi. Terima kasih untuk waktu, bimbingan, pemikiran dan pembelajaran yang telah Bapak berikan kepada Saya sehingga karya ini dapat terbentuk. 3. Bapak V Didik Suryo H., S.Psi., M.Si. Terima kasih untuk kesabaran, waktu dan masukan - masukan yang telah Bapak berikan, semua itu amat berarti bagi kemajuan karya ini. 4. Ibu ML. Anantasari, S.Psi., M.Si dan Ibu Sylvia CMYM., S.Psi., M.Si. Selaku dosen penguji pada saat ujian pendadaran skripsi. Terima kasih untuk saran – saran yang bermanfaat yang ibu berdua berikan, semua itu amat penting bagi perbaikan karya ini.
ix
5. Keluargaku tercinta: Papa, Mama, adikku David yang telah mendukung dan mendoakanku sehingga akhirnya aku dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk Eyang putri dan semua saudara terima kasih untuk doanya. 6. Teman, sahabat, kenalan yang amat baik: Mas Doni, Mbak Uni, Prima, Yovie, Tien, Mbak Sari, Bu Silvia, Bu Diana, Anton, Ony, Reni. Terima kasih untuk semua bantuan material, dukungan, doa, saran, serta sharingnya sehingga karya ini dapat terwujud. Teman – teman angkatan 2001. Always Fight….!! 7. Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah bersedia menjadi subyek penelitian ini. Terima kasih untuk kerja samanya. 8. Seluruh karyawan secretariat Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah ikut membantu memperlancar proses ini. Terima kasih banyak. 9. Semua pihak - pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang juga telah memberikan dorongan serta bantuan baik material maupun spiritual selama penyusunan skripsi ini. Terima kasih. 10. Mas Gerhard dan Mbak Agnes dari rental WTC. Terima kasih banyak atas bantuannya di saat – saat paling darurat skripsi ini.
x
DAFTAR ISI Halaman
BAB I.
BAB II.
HALAMAN JUDUL………………………………………………
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………..
ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………….
iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN………………….
iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………….
v
ABSTRAK………………………………………………………..
vi
ABSTRACT………………………………………………………
vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
viii
KATA PENGANTAR…………………………………………....
ix – x
DAFTAR ISI……………………………………………………..
xi - xiv
DAFTAR TABEL………………………………………………..
xv
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………..
xvi
DAFTAR GAMBAR…………………………………………….
xvii
PENDAHULUAN……………………………………………….
1
A. Latar Belakang………………………………………………..
1
B. Rumusan Masalah…………………………………………….
8
C. Tujuan Penelitian……………………………………………..
8
D. Manfaat Penelitian……………………………………………
8
TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………
9
A. Gender………………………………………………………..
9
1. Pengertian Gender………………………………………..
9
xi
2. Peran Gender, Identitas Gender, Stereotipe Gender……...
10
3. Pembentukan Peran Gender……………………………..
11
a. Teori Biologis………………………………………..
12
b. Teori Kultural………………………………………..
12
c. Teori Psikoanalisa……………………………………
13
d. Teori Pembelajaran Sosial……………………………
14
1). Orang Tua………………………………………..
15
2). Teman Sebaya…………………………………...
16
3). Sekolah dan Guru………………………………..
17
4). Media Massa…………………………………….
18
e. Teori Perkembangan Kognitif……………………….
20
f. Teori Skema Gender…………………………………
22
4. Pengukuran Peran Gender………………………………
24
5. Androgini……………………………………………….
25
Bem Sex Role Inventory…………………………………
27
6. Klasifikasi Peran Gender………………………………..
30
a. Karakteristik Peran Gender Maskulin……………….
30
b. Karakteristik Peran Gender Feminin………………...
31
c. Karakteristik Peran Gender Androgini………………
32
d. Karakteristik Peran Gender Tak Terbedakan………..
33
7. Bukti - bukti Ilmiah Androgenitas Manusia……………..
33
a. Androgenitas Dalam Mite, Tradisi Dan Perdukunan.....
33
b. Androgenitas Menurut Analisis Biologis……………..
37
xii
c. Androgenitas Menurut Analisis Psikologi Jung……….
BAB III.
40
B. Mahasiswa……………………………………………………...
41
1. Pengertian Mahasiswa………………………………………
41
2. Pengertian Remaja………………………………..................
41
3. Perkembangan Pada Masa Remaja………………………….
43
a. Secara Biologis…………………………………………
43
b. Secara Kognitif…………………………………………
44
c. Secara Sosial - Emosional……………………………...
45
4. Tugas Perkembangan Masa Remaja…………………………
46
5. Remaja Akhir Dan Peran Gender Androgini………………..
50
METODE PENELITIAN…………………………………………
57
A. Tujuan Penelitian…………........................................................
57
B. Jenis Penelitian…........................................................................
57
C. Variabel Penelitian……………………………………………..
58
D. Subyek Penelitian………………………………………………
59
E. Metode Pengumpulan Data Dan Instrumen Penelitian…………
60
1. Bem Sex Role Inventory…………………………………….
60
2. Pemberian Skor……………………………………………..
62
3. Model Pengukuran………………………………………….
63
F. Pertanggungjawaban Mutu Instrumen Penelitian………………
65
1. Validitas…………………………………………………….
65
a. Sebelum Adaptasi………………………………………
66
b. Setelah Adaptasi……………………………………....
69
xiii
BAB IV.
BAB V.
2. Seleksi Aitem……………………………………………….
71
3. Reliabilitas………………………………………………
75
a. Sebelum Adaptasi…………………………………….
76
b. Setelah Adaptasi……………………………………...
76
G. Analisis Data………………………………………………….
78
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………………….
83
A. Analisis Data Dan Hasil Penelitian…………………………..
83
1. Uji Normalitas………………………………………………
83
2. Uji Homogenitas……………………………………………
84
3. Analisis Data Deskriptif……………………………………
86
B. Pembahasan……………………………………….................
91
KESIMPULAN DAN SARAN………………………………….
95
A. Kesimpulan……………………………………………………
95
B. Saran…………………………………………………………..
95
1. Bagi Mahasiswa Remaja Akhir…………………………...
95
2. Bagi Orang Tua……………………………………………
97
3. Bagi Peneliti Selanjutnya…………………………….
98
Daftar Pustaka…………………………………………………
99 – 104
Lampiran A ,B,C………………………………………………
105 - 162
xiv
DAFTAR TABEL
TABEL 1.
Butir - butir Kepribadian Dari Skala Maskulin, Feminin Dan Netral Dalam BSRI (sebelum penerjemahan)…………………
TABEL 2.
29
Butir – butir Kepribadian Skala Maskulin, Feminin Dan Netral Dalam BSRI (setelah penerjemahan)………………………….
61
TABEL 3.
Skala 7 Angka………………………………………………….
62
TABEL 4.
Penilaian Mean Social Desirability Dari Butir - butir Maskulin,
68
Feminin Dan Netral……………………………………………. TABEL 5.
Penilaian Mean Social Desirability Dari Butir - butir Maskulin
69
Dan Feminin Terhadap Jenis Kelamin Subjek………………… TABEL 6.
Distribusi Koefisien Korelasi Aitem Total Try Out Penelitian..
74
TABEL 7.
Butir - butir Bem Yang Sahih Setelah Uji Coba………………
75
TABEL 8.
Norma Kategorisasi Peran Gender………………………….....
81
TABEL 9.
Hasil Perhitungan Uji Normalitas Kolmogorov - Smirnov……
83
TABEL 10.
Hasil Perhitungan Uji Homogenitas…………………………..
84
TABEL 11.
Anova………………………………….....................................
85
TABEL 12.
Hasil Deskripsi Data Penelitian……………………………….
86
TABEL 13.
Pengkodean Peran Gender…………………………………….
88
TABEL 14.
Hasil Pengelompokkan Peran Gender………………………...
88
xv
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A 1. Angket Penelitian (Skala Bem)………
106 – 109
2. Reliabilitas Alpha Cronbach & Data Korelasi Aitem Total…………………
110 – 115
3. Data Skala Maskulin………………….
116 – 127
4. Data Skala Feminin…………………..
128 – 139
5. Data Skala Netral…………………….
140 - 148
LAMPIRAN B 1. Uji Normalitas……………………….
150
2. Uji Homogenitas & Anova………….
150 – 151
3. Data Deskriptif Penelitian…………...
152
LAMPIRAN C 1. Data Pengelompokkan Peran Gender.....
154 – 158
2. Data Social Desirability……………….
159 – 163
3. Surat Keterangan Penelitian…………...
164
xvi
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 1.
Pendekatan Undimensional Dan Pendekatan Dua
27
Dimensi…………………………………………... GAMBAR 2.
Kategorisasi Peran Gender………………………..
xvii
64
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin pesat berbagai isu mengenai kesetaraan gender bergema dimana - mana meningkatkan kesadaran kaum perempuan untuk sejajar dengan kaum laki - laki di berbagai sektor kehidupan, terutama di sektor publik (Hamid, 2005) Walaupun demikian menurut Ilham (2001) masyarakat cenderung masih mengharapkan pekerjaan laki - laki dan perempuan dapat sesuai dengan peran seksnya. Beauvoir (1989) mencatat pembagian peran laki - laki dan perempuan berdasarkan seks ini telah berlangsung selama ribuan tahun bermula sejak zaman nomaden. Perempuan kaum pengembara pada masa itu dianggap inferior karena mereka mengalami siklus haid dan proses melahirkan sehingga perempuan bergantung secara keamanan dan ekonomi kepada laki - laki. Kegiatan laki- laki dianggap sebagai penentu masa depan karena merekalah pembuat (penemu) benda - benda untuk mempertahankan hidup. Selanjutnya ketika masyarakat mulai tinggal menetap dan bekerja sebagai peladang, posisi dan peran perempuan masih inferior. Mereka dianggap sebagai the other yang sama sekali tidak berhak menangani masalah sosial dan politik bahkan hanya dianggap sebagai bagian dari kekayaan yang dimiliki dan diatur oleh laki - laki. Pada masa klasik nasib perempuan Yunani juga amat sulit, sebagai istri mereka dikurung dalam tempat tinggalnya di gynaceum dan dibatasi dengan ketat oleh hukum ayah atau
1
2
suaminya. Sedangkan perempuan Romawi pada prakteknya jauh lebih terintegrasi dengan masyarakat, sebagai seorang istri, perempuan Romawi dianggap sebagai “pemilik bayangan” properti suaminya. Perempuan Romawi adalah nyonya rumah dan sahabat bagi laki - laki yang mana pekerjaan pokoknya adalah mengurus rumah, suami dan anak - anaknya. Pada masa pertengahan yaitu masa awal pengaruh idiologi Kristen di Eropa, perempuan diperlakukan dengan hormat jika mereka berpasrah diri pada pengawasan Gereja. Mereka menanggung kesaksian sebagai martir bersama kaum laki - laki namun mereka tetap memperoleh tempat kedua sebagai partisipan dalam berdoa dan hanya diperbolehkan menyandang tugas - tugas merawat orang sakit, membantu orang miskin dan diharuskan memiliki kesetiaan penuh pada suaminya. Banyak martir yang mendasarkan subordinasi perempuan terhadap laki - laki baik melalui kitab perjanjian lama atau perjanjian baru. Salah satunya pada kisah legend of the fall, yaitu kisah dramatis kejatuhan manusia pertama Adam dan Hawa akibat melanggar larangan Tuhan. Pelanggaran pertama oleh Hawa ini dipandang sebagai penyebab timbulnya perbedaan laki - laki dan perempuan dengan meletakkan perempuan pada posisi yang inferior. Perbedaan itu selanjutnya terlihat dalam tata peribadatan dan perilaku sehari - hari. Di atas telah dijabarkan sekilas tentang sejarah pembagian peran laki - laki dan perempuan di luar negeri, pada budaya Indonesia pun kurang lebih sama. Masyarakat masih menganut sistem patriarki1 yang cirinya adalah menempatkan
1
Patriarki dijelaskan sebagai kekuasaan laki - laki yang meliputi keluarga, ideologi dan sistem politik. Kekuasaan kaum laki - laki menindas perempuan melalui ritual, tradisi, hukum, bahasa, adat istiadat, etika, pendidikan, pembagian kerja, aturan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh perempuan.
3
perempuan pada posisi yang inferior, misalnya dalam kebudayaan Jawa perempuan selama berabad - abad telah disosialisasikan dan diinternalisasikan berperan di sekitar rumah tangga serta dipandang sebagai makhluk yang anggun, rapi, halus, dan tidak mempunyai daya pikir tinggi (Kusujiarti, 1997). Sebagai seorang istri, perempuan diharapkan pandai bersikap dan bertingkah laku agar selalu dikasihi suami dan diharapkan mendampingi keberhasilan suaminya. Sebagai seorang ibu, perempuan harus mampu mempunyai keturunan dan menghasilkan anak - anak yang berguna dan pengasuhan anak yang dilahirkan pun menjadi tanggung jawab perempuan (Abdullah, 1997). Menurut Hardanti (2002) dalam budaya Jawa perempuan biasa disebut konco wingking atau teman di garis belakang, hal tersebut berkaitan dengan peran tradisional perempuan yang selalu dikaitkan dengan rumah, dapur dan anak. Salah satu norma yang mengukuhkan posisi inferior perempuan dalam budaya Jawa terdapat pada Serat Panitisastra2 (Pupuh X: Dhandhanggula) lebih jelasnya terlihat pada kutipan berikut: X.13 wuwuse kang wus (putus) ing ngelmi
kata mereka yang telah khatam dalam ilmu,
kaprawolu wanudya lan priya
wanita hanyalah seperdelapan dibandingkan pria
ing kabisan myang kuwate
dalam hal kepandaian dan kekuatan;
tuwin wiwekanipun
dalam hal kebijaksanaan
pan kapara astha ta malih.
masih dibanding delapan lagi.
(Sudewa, 1991)
2
Serat Panitisastra adalah karangan R. Ng. Yasadipura I. Karya ini dikategorikan sebagai karya sastra yang berisi ajaran moral dan sikap hidup (Sudewa, 1991).
4
Istilah gender mengacu pada dimensi sosial budaya seseorang sebagai lakilaki dan perempuan. Salah satu aspek dari gender adalah peran gender (gender role) yang merupakan suatu set harapan yang menetapkan bagaimana seharusnya perempuan dan laki – laki berpikir, bertingkah laku dan berperasaan. Berbicara tentang peran gender tidak lepas pula dari stereotipe peran gender. Stereotipe peran gender adalah kategori – kategori luas yang mencerminkan kesan – kesan dan kepercayaan kita tentang perempuan dan laki – laki. Stereotipe peran gender itu sudah sedemikian mengakar dalam masyarakat, sebagai contoh laki-laki diyakini secara luas sebagai dominan, mandiri, agresif, berorientasi prestasi, dan tegar. Sementara itu perempuan diyakini secara luas sebagai bersifat mengasuh, senang berkumpul, kurang memiliki harga diri, dan lebih memberi pertolongan saat – saat mengalami tekanan (Santrock, 2002). Dalam masyarakat tradisional yang menganut sistem patriarkhi masih terjadi pemisahan tajam pada sifat, aktivitas dan peran gender antara laki - laki dan perempuan, yang dianggap hanya khas dimiliki oleh masing - masing jenis kelamin. Misalnya sifat maskulin (berani, kasar, tegas), aktivitas maskulin (gemar olahraga), dan peran maskulin (mencari nafkah bagi keluarga) dianggap khas milik laki - laki, sedangkan sifat feminin (takut, lembut, penurut), aktivitas feminin (menari, memasak), dan peran feminin (melakukan kerja rumah tangga, mengasuh anak) dianggap khas sebagai milik perempuan. Oleh karena itu apabila perempuan mengembangkan maskulinitasnya dengan mencari nafkah atau gemar berolahraga maka dianggap mengingkari kodratnya. Lelaki yang mengembangkan femininitasnya dengan berhias atau melakukan kerja rumah tangga juga dianggap
5
mengingkari kodratnya (Suwarno, 2004). Sesungguhnya apabila sifat, aktivitas maupun peran tersebut dapat dipertukarkan, maka sifat, aktivitas maupun peran tersebut adalah hasil konstruksi masyarakat, dan sama sekali bukanlah kodrat (Fakih, 1996). Pada kenyataannya banyak orang akhirnya mengalami penderitaan psikis karena terikat untuk berperan hanya sebagai laki - laki atau perempuan saja seperti telah digariskan oleh masyarakat, karena apabila laki - laki atau perempuan bertindak tidak sesuai dengan harapan masyarakat, mereka akan dianggap sakit (Constantinopel dan O’Neil dalam Sebatu, 1994). Bem (1974) menyatakan bahwa individu yang berperan dengan hanya satu tipe seks saja (hanya maskulin atau feminin) akan amat terbatas tingkah lakunya dalam berinteraksi dengan orang lain. Menurut Bem (1974, 1977) aspek maskulin dan feminin itu sesungguhnya bersifat komplementer, saling mengandaikan dan melengkapi dan bukan saling bertentangan. Pemikiran ini kemudian menghasilkan konsep tentang androgini. Androgini adalah tingginya kehadiran karakteristik maskulin dan feminin yang diinginkan pada satu individu secara bersamaan. Individu yang androgini dapat menjadi seorang laki - laki yang tegas (maskulin) dan bersifat mengasuh (feminin), atau seorang perempuan yang dominan (maskulin) dan sensitif kepada perasaan - perasaan orang lain (feminin). Individu yang androgini digambarkan lebih fleksibel dan lebih sehat mentalnya daripada individu yang hanya maskulin atau feminin saja. Berangkat dari konsep tentang androgini tersebut, telah ada beberapa penelitian lokal yang dilakukan oleh kalangan akademik Yogyakarta antara lain
6
Maulina (1994) yang membuktikan hubungan peran jenis androgini dan locus of control internal dengan aspirasi pengembangan karir pada ibu bekerja, dan Sari (1995) membuktikan tentang hubungan peran jenis androgini dan kecenderungan perilaku pengambilan resiko pada polisi berpangkat bintara. Keduanya menemukan korelasi yang positif dalam penelitiannya. Hal ini membuktikan bahwa karakter kepribadian androgini memang diperlukan agar individu secara fleksibel dapat menghadapi segala situasi, baik itu berhubungan dengan pekerjaan, lawan jenis maupun berbagai permasalahan hidup lainnya. Dalam suatu diskusi dengan beberapa teman dari kalangan akademik, peneliti menemukan ternyata sebagian besar masih belum mengetahui konsep tentang androgenitas dan pengaruhnya dalam perkembangan kepribadian manusia. Oleh karena itu peneliti mempertimbangkan untuk membuat survei tentang androgini di kalangan mahasiswa. Mahasiswa adalah orang yang sedang menjalani pendidikan di perguruan tinggi (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988) dan menurut psikologi perkembangan masuk pada masa remaja akhir. Menurut Santrock (2003) masa remaja adalah masa transisi antara masa anak - anak ke masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosio - emosional. Rentang usia remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir antara usia 18 sampai 22 tahun. Pada masa remaja, individu baik laki - laki maupun perempuan akan berusaha untuk menemukan siapakah mereka sebenarnya, apa saja yang ada dalam diri mereka, dan arah mereka dalam menjalani hidup. Munculnya pemahaman tentang diri seiring dengan perkembangan kemampuan kognisi akan
7
membuat remaja mulai menyusun konsep tentang dirinya sendiri. Remaja akan melakukan evaluasi terhadap berbagai domain dalam hidupnya, misalnya akademik, penampilan fisik, atletik, urusan percintaan, dunia kerja, dan lain – lain. Pemahaman diri itu akan membantu remaja dalam pembentukan identitas dirinya. Perkembangan identitas pada masa remaja akhir adalah untuk pertama kalinya perkembangan fisik, kognisi dan sosial – emosional meningkat pada suatu titik di mana seorang individu dapat memilih dan melakukan sintesa identitas – identitas dan identifikasi di masa kecilnya untuk mencapai suatu jalan menuju kedewasaan (Adams, Gulotta dan Montemayor dalam Santrock, 2003). Peningkatan minat dan perhatian remaja terhadap masalah identitas diri yang disertai dengan kemampuan kognitif operasional formal akan mengarahkan remaja untuk cenderung mempelajari dan menjelaskan ulang sikap dan perilaku gender mereka. Sehingga remaja akhir sampai pada tahap dimana mereka memiliki kemampuan kognitif untuk menganalisa diri dan memutuskan identitas seperti apa yang mereka inginkan (Santrock, 2003). Seorang individu yang mengembangkan suatu identitas yang sehat merupakan individu yang fleksibel dan dapat menyesuaikan diri, terbuka terhadap perubahan – perubahan yang terjadi dalam masyarakat, dalam hubungan, dan dalam karir. Fleksibilitas itu merupakan ciri utama dari peran gender androgini. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui bagaimana taraf androgini pada remaja akhir usia 18 sampai 22 tahun, khususnya pada mahasiswa laki – laki dan perempuan di fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
8
B. Rumusan Masalah Bagaimanakah taraf androgenitas yang dimiliki oleh mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana taraf androgenitas mahasiswa di fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoretis Memberi sumbangan pada bidang psikologi kepribadian dan psikologi perkembangan tentang androgini.
2. Manfaat praktis Memberi pemahaman seputar topik androgini pada kalangan umum maupun mahasiswa agar lebih dapat memahami diri dan dapat menerapkan peran jenis androgini dalam menghadapi berbagai situasi maupun masalah.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Gender 1. Pengertian Gender Dalam The Oxford Encyclopedia Of The Modern World disebutkan bahwa gender adalah pengelompokan individu dalam tata bahasa yang digunakan untuk menunjukkan ada tidaknya kepemilikan terhadap satu ciri jenis kelamin tertentu (Esposito, 1995). Gender merupakan satu diantara tiga jenis kata sandang dalam tata bahasa yang membeda - bedakan kata benda menurut sifat penyesuaian dan diperlukan ketika kata benda itu dipakai dalam sebuah kalimat. Kata - kata benda dalam bahasa Inggris biasanya digolong-golongkan menurut gender maskulin, feminin dan netral (Illich, 1998). Secara terminologis, gender digunakan untuk menandai segala sesuatu yang ada dalam masyarakat “vernacular” termasuk di dalamnya adalah bahasa, tingkah laku, pikiran, makanan, ruang, waktu, harta milik, tabu, alat - alat produksi dan sebagainya. Secara konseptual gender berguna untuk mengadakan kajian terhadap pola hubungan sosial laki - laki dan perempuan dalam berbagai masyarakat yang berbeda (Fakih, 1996). Menurut Bem (1974), tokoh sentral psikologi gender, gender merupakan karakteristik kepribadian dimana sikap dan perilaku seseorang akan dipengaruhi oleh peran gender yang dimilikinya. Sedangkan Santrock (2003) mengatakan bahwa gender merupakan seperangkat peran gender tentang seperti apa
9
10
seharusnya dan bagaimana seharusnya dilakukan, dirasakan dan dipikirkan oleh individu sebagai maskulin dan feminin.
2. Peran Gender, Identitas Gender, Stereotipe Peran Gender Pengertian peran jenis dan peran gender merupakan dua hal yang berbeda. Peran jenis adalah perilaku yang ditentukan oleh jenis kelamin secara biologis, seperti menstruasi, ereksi dan ejakulasi. Contohnya adalah seorang perempuan bertanggung jawab untuk melahirkan dan merawat anaknya. Sedangkan peran gender adalah seluruh harapan yang dibuat lingkungan sosial tentang perilaku maskulin dan feminin. Harapan - harapan ini dikemukakan oleh institusi nilai nilai yang dianut oleh masyarakat sosial setempat. Contohnya seorang perempuan bertanggung jawab untuk membesarkan anak. Peran gender juga merupakan kumpulan sikap, atribut dan perilaku tertentu yang dianggap sesuai untuk jenis kelamin tertentu (Richmond - Abbott, 1992, Kimmel, 1974). Dapat disimpulkan bahwa peran gender adalah seluruh harapan yang dibuat lingkungan sosial tentang perilaku maskulin dan feminin yang dimiliki oleh laki - laki dan perempuan. Harapan - harapan ini dikemukakan oleh instusi dan nilai - nilai yang dianut oleh masyarakat sosial setempat, yang merupakan sikap, atribut dan perilaku yang dianggap sesuai untuk jenis kelamin laki - laki maupun perempuan. Identitas gender (gender identity) adalah rasa sebagai laki - laki atau perempuan, yang diperoleh oleh sebagian besar anak - anak pada waktu mereka berusia 3 tahun (Santrock, 2002).
11
Stereotipe peran gender adalah kategori – kategori luas yang mencerminkan kesan – kesan dan kepercayaan kita tentang perempuan dan laki – laki. Streotipe peran gender biasanya sudah sedemikian mengakar dalam masyarakat, sebagai contoh laki - laki diyakini secara luas memiliki sifat dominan, mandiri, agresif, berorientasi prestasi, dan tegar. Sementara itu perempuan diyakini secara luas memiliki sifat mengasuh, senang berkumpul, kurang memiliki harga diri, dan lebih memberi pertolongan saat – saat mengalami tekanan (Santrock, 2002).
3. Pembentukan Peran Gender Sebagaimana diketahui oleh setiap orangtua, guru, dan psikolog perkembangan bahwa anak laki - laki dan perempuan menjadi “maskulin” dan “feminin” di usia yang sangat dini yaitu ketika mereka berusia 4 atau 5 tahun. Pada usia itu anak laki – laki dan perempuan lebih menyukai aktivitas - aktivitas yang telah didefinisikan berdasarkan budaya sesuai dengan jenis kelamin mereka dan juga lebih menyukai teman - teman sebaya dengan jenis kelamin yang sama. Penerimaan atas berbagai preferensi, keterampilan, sifat kepribadian, perilaku dan konsep diri yang sesuai jenis kelamin itu disebut dalam psikologi sebagai proses sex typing. Proses ini sangat penting direfleksikan dan diterima dalam teori - teori psikologi perkembangan, dimana berusaha menjelaskan bagaimana anak yang sedang berkembang menyesuaikan diri dengan model yang didefinisikan berdasarkan jenis kelamin dan budayanya (Bem, 1985). Berikut ini ada beberapa teori yang menjelaskan tentang pembentukan gender:
12
a. Teori Biologis Teori biologis percaya bahwa perbedaan peran gender tidak lepas dari pengaruh perbedaan biologis (sex) pada laki - laki dan perempuan. Perbedaan biologis laki - laki dan perempuan adalah alami (nature), begitu pula sifat peran gender (maskulin dan feminin) yang dibentuknya. Perbedaan biologis menyebabkan terjadinya perbedaan peran antara laki - laki dan perempuan. Oleh karena itu, sifat stereotipe peran gender antara laki - laki dan perempuan sulit diubah. Pengalaman perempuan dalam menjalankan proses reproduksi (hamil, melahirkan dan menyusui) memunculkan insting keibuan dan pengasuhan yang tidak dialami oleh laki - laki. Sifat keibuan dan pengasuhan adalah merupakan figur feminin dan sangat penting dalam perkembangan bayi. Perbedaan fisik laki laki dan perempuan memberikan implikasi yang signifikan pada kehidupan publik perempuan, sehingga perempuan lebih sedikit perannya dibandingkan laki - laki (Megawangi, 2001).
b. Teori Kultural Sebaliknya teori kultural justru percaya bahwa pembentukan peran gender bukan disebabkan oleh adanya perbedaan biologis antara laki - laki dan perempuan, melainkan karena adanya sosialisasi atau kulturalisasi. Teori ini tidak mengakui adanya sifat alami peran gender (nature), tetapi yang ada adalah sifat peran gender yang dikonstruksi oleh sosial budaya melalui proses sosialisasi. Teori ini membedakan antara jenis kelamin (sex) yang merupakan konsep nature, dan gender yang merupakan konsep nurture. Sesuatu yang nature tidak dapat
13
diubah, sedangkan peran gender dapat diubah baik melalui budaya maupun teknologi (Megawangi, 2001).
c. Teori Psikoanalisa Sigmund
Freud
maupun
Erik
Erikson
(dalam
Santrock,
2003)
berpandangan bahwa alat kelamin seseorang mempengaruhi perilaku gendernya dan karena itu anatomi tubuhnya adalah nasib bagi orang tersebut. Freud berasumsi bahwa perilaku manusia dan sejarahnya berhubungan langsung dengan proses reproduksi. Dari asumsi tersebut timbul keyakinan bahwa gender dan perilaku seksual pada dasarnya tidak dipelajari dan muncul secara naluriah. Pada masa kanak - kanak, anak akan mengidentifikasi perlakuan orang tuanya. Anak laki - laki mengidentifikasi perlakuan ayahnya sehingga dia mengetahui bagaimana perilaku seorang laki - laki, demikian pula pada anak perempuan yang mengidentifikasi ibunya. Proses pegidentifikasian ini ditemukan anak dari perbedaan genital jenis kelamin (Bem, 1983). Erikson (dalam Santrock, 2003), yang memperluas argumen Freud, menyatakan bahwa perbedaan psikologis antara laki - laki dan perempuan berasal dari perbedaan anatominya. Erikson berpendapat bahwa dikarenakan struktur genitalnya, laki - laki menjadi lebih berani tampil dan agresif, sedangkan perempuan lebih tenang dan pasif. Menurut Crockett (dalam Santrock, 2003) pada masa remaja pengaruh biologis pada perilaku gender berhubungan dengan perubahan pubertas. Perubahan pubertas memberikan kontribusi semakin menyatunya seksualitas ke dalam sikap dan perilaku gender remaja. Dengan tubuh yang mulai dibanjiri oleh
14
berbagai hormon, banyak anak perempuan berkeinginan menjadi perempuan sebaik mungkin dan anak laki - laki berusaha keras menjadi laki - laki sebaik mungkin. Dengan kata lain, remaja perempuan dan remaja laki – laki akan menunjukkan lebih banyak perilaku yang sesuai dengan stereotipe perempuan dan stereotipe laki – laki. Sebagai contoh saat remaja perempuan dan laki - laki berinteraksi dengan teman - teman sebaya yang berbeda jenis, terutama yang ingin mereka kencani. Remaja perempuan biasanya bertingkah laku penuh kasih sayang (affectionate), sensitif, menarik (charming) dan bisa berbicara halus. Sedangkan remaja laki - laki biasanya bertingkah laku asertif, sombong (cocky), sinis (cynical), dan sangat berkuasa, karena mereka menyadari bahwa tingkah laku seperti itu akan menambah kualitas seksualitas dan daya tariknya.
d. Teori Pembelajaran Sosial Teori
pembelajaran
sosial
(social
learning
theory
of
gender)
menekankan pada imbalan (rewards) dan hukuman (punishment) yang anak terima atas perilaku - perilaku gender yang sesuai maupun yang tidak sesuai. Perkembangan gender pada anak - anak dan remaja muncul dari hasil pengamatan (observation) dan peniruan (modeling, imitation) terhadap perilaku gender. Teori pembelajaran sosial ini meletakkan sumber dari proses sex typing pada latihan membedakan jenis kelamin dalam komunitas masyarakat. Keutamaan dari teori pembelajaran sosial adalah bahwa teori ini mengimplikasikan perkembangan psikologis pada laki - laki dan perempuan mempunyai prinsip umum yang sama dengan proses belajar pada umumnya.
15
Seorang individu dalam mempelajari perannya akan mendasarkan diri pada nilai nilai yang berkembang di masyarakatnya. Apa yang dinilai benar atau salah, dan apa yang dinilai baik atau buruk oleh masyarakat sekitarnya. Pembiasaan lewat nilai - nilai ini akan berlangsung terus - menerus mengakibatkan terbentuknya pola dan perilaku yang sesuai dengan harapan masyarakat, termasuk perilaku yang sesuai dengan jenis kelaminnya. Walaupun teori pembelajaran sosial menjelaskan bahwa anak akan mempelajari sejumlah perilaku tertentu yang distereotipkan budaya sesuai jenis kelaminnya, tetapi teori ini memperlakukan anak lebih sebagai penerima pasif dari kekuatan - kekuatan lingkungan ketimbang sebagai agen aktif yang berusaha keras mengorganisasi atau berusaha memahami dunia sosialnya (Bem, 1983, 1985). Beberapa sumber ketika individu mempelajari peran gendernya selain berdasar pada kebudayaan adalah pengaruh orang tua, teman sebaya, sekolah dan guru maupun media massa (Santrock, 2003). Penjelasannya dijabarkan sebagai berikut:
1) Orang Tua Orangtua dengan tindakan dan contoh - contoh yang diberikan, mempengaruhi perkembangan gender anak - anak dan remaja. Selama masa transisi dari masa anak - anak ke masa remaja, orang tua memberikan perbedaan perlakuan pada anak laki - laki dan perempuan. Sebagai contoh, orang tua memperlakukan anak laki - laki lebih mandiri daripada anak perempuan, dan lebih memperhatikan tentang kerawanan seksual anak perempuan sehingga anak
16
perempuan cenderung lebih diawasi oleh orang tuanya. Orang tua sering memiliki harapan yang berbeda terhadap remaja laki - laki dan perempuan terutama pada masalah akademik. Selain itu orang tua sering pula menggunakan penguat (rewards) dan hukuman (punishment) untuk mengajarkan anak perempuan menjadi feminin; contoh, “Karen, baju yang kau pakai membuatmu lebih cantik”, dan mengajarkan kepada anak laki - lakinya untuk menjadi maskulin, “Bobby, kamu sangat agresif pada permainan ini. Teruskan!” (Santrock, 2003).
2) Teman Sebaya Orang tua menunjukkan kepada anak diskriminasi awal pada perilaku gender, tetapi tak lama kemudian, teman sebaya ikut ke dalam proses sosial dengan merespon dan melakukan modeling perilaku maskulin dan feminin. Situasi bermain pada anak - anak memiliki ciri sebagai gender school, dengan menunjukkan bahwa anak laki - laki saling mengajarkan satu dengan yang lainnya perilaku maskulin yang diharuskan dan kemudian memperkuatnya, begitu pula dengan anak - anak perempuan yang juga saling mengajarkan satu dengan yang lain perilaku feminin yang diharuskan dan kemudian memperkuatnya (Luria & Herzog, Buhrmester dalam Santrock, 2003). Remaja kebanyakan menghabiskan waktu dengan teman sebayanya. Bagi remaja, persetujuan dan penolakan teman sebaya merupakan pengaruh yang kuat dalam sikap dan tingkah laku gender. Teman sebaya dapat mensosialisasikan perilaku gender, sebagian dengan menerima atau menolak orang lain berdasarkan
17
sifat - sifat yang berhubungan dengan gender yang berlaku di kelompoknya (Huston & Alvarez dalam Santrock, 2003).
3) Sekolah Dan Guru Guru berperan sebagai pengganti orang tua dan menjadi panutan bagi muridmuridnya. Menurut penelitian Sadker & Sadker (dalam Santrock, 2003), murid laki - laki terlibat lebih banyak interaksi dibandingkan murid perempuan, dan murid laki - laki juga lebih banyak mendapat perhatian dari guru - gurunya. Murid laki - laki diberi lebih banyak perbaikan, kritik, dan pujian dibandingkan murid perempuan. Sekolah lanjutan terdiri dari lingkungan belajar yang maskulin dan mandiri, yang sesuai dengan cara belajar kebanyakan remaja laki - laki daripada remaja perempuan (Huston dan Alvarez dalam Santrock, 2003). Sekolah lanjutan menyediakan lingkungan yang lebih umum (impersonal) daripada di sekolah dasar yang mana lebih berhubungan dengan orientasi otonomi pada remaja laki - laki daripada berhubungan dengan orientasi kekerabatan dan persahabatan pada remaja perempuan. Dengan kata lain transisi selama menjalani masa - masa sekolah akan membuat individu mengalami perubahan kognisi sosial dan intelektual seperti meningkatnya kemandirian dan berkurangnya ketergantungan pada orang tua, meningkatnya fokus pada prestasi dan unjuk kerja (Santrock, 2002).
18
4) Media Massa Seperti telah disebutkan, remaja menemukan berbagai peran untuk laki - laki dan perempuan setiap hari dalam interaksinya dengan orang tua, teman sebaya, sekolah dan guru. Akan tetapi pesan tentang peran gender yang digambarkan oleh media massa juga berpengaruh penting bagi perkembangan gender pada remaja. Masa remaja awal merupakan suatu masa yang sangat sensitif terhadap pesan pesan yang disampaikan oleh televisi tentang peran gender. Dalam menonton televisi remaja akan belajar tentang perilaku gender yang diperbolehkan, terutama dalam hubungan dengan lawan jenis. Secara kognitif, remaja lebih terikat dalam pemikiran yang idealis daripada yang dialami oleh anak – anak, dan televisi jelas jelas memiliki peranan dalam menunjukkan karakter - karakter ideal yang mana para remaja kemudian akan mengidentifikasinya dan melakukan imitasi. Model yang sangat menarik adalah muda, mempesona dan sukses. Televisi adalah dunia stereotipe gender yang tinggi dan menyampaikan pesan - pesan tentang perbandingan kekuasaan dan kepentingan perempuan dan laki - laki (Huston & Alvarez, Condry, Durkin dalam Santrock, 2003). Pada tahun 1970 karakter perempuan muncul lebih sering dibandingkan laki - laki dalam konteks keluarga, percintaan dan daya tarik fisik, sedangkan laki laki lebih sering dimunculkan pada konteks pekerjaan, mobil dan olahraga. Pada pertengahan tahun 1980, perempuan telah digambarkan berada di luar rumah. Peran mereka hampir mirip dengan sifat non tradisional (contohnya, sebagai polisi atau pengacara) daripada sifat yang tradisional (contohnya, sebagai sekretaris atau perawat). Sedangkan peran laki - laki terus ditunjukkan hampir di semua
19
pekerjaan tradisional laki - laki. Pada tahun 2000 remaja mengenal yang namanya program MTV (Music Television) dan melalui MTV remaja bebas menonton video musik rock. Dalam video musik rock, perempuan cenderung ditampilkan memakai baju yang seronok atau minim dan menampilkan keagresifan dalam melakukan perilaku seksual (Sherman & Dominic dalam Santrock, 2003). Dalam video – video musik, karakter laki - laki lebih sering digambarkan agresif, dominan, kompeten, otonom dan aktif. Sementara perempuan lebih sering digambarkan sebagai orang yang pasif. Morgan (dalam Santrock, 2003), menyatakan bahwa dengan banyak menonton televisi maka remaja akan semakin banyak menerima pesan - pesan yang berbau stereotipe dan hal itu akan meningkatkan kecenderungan untuk mendukung pembagian kerja peran gender yang tradisional. Melalui sebuah penelitian muncul asumsi bahwa televisi membawa pesan yang merendahkan jenis kelamin tertentu (sexist), padahal remaja banyak menerima pesan - pesan tersebut. Pada penelitian yang dilakukan oleh Durkin & Hutchins (dalam Santrock, 2003), menemukan bahwa walaupun ada program acara televisi yang non stereotipe akan tetapi remaja yang memperhatikan gambaran tentang orang orang yang berkecimpung di pekerjaan non tradisional, seperti sekretaris laki laki atau perawat laki - laki atau tukang ledeng perempuan tetap memiliki pandangan tradisional tentang karir. Sangatlah sulit untuk merubah pandangan yang bersifat tradisional tersebut.
20
e. Teori Perkembangan Kognitif Teori
perkembangan
kognitif
(cognitive
developmental
theory)
menekankan adanya peran aktif individu. Individu dipandang sebagai seorang yang aktif, dinamis serta memiliki kemampuan untuk berpikir dan kemampuan untuk menentukan apa yang musti dilakukan. Kemampuan ini didukung oleh pengetahuan sebagai hasil dari proses berpikir terutama pengetahuan tentang alternatif berperilaku sehingga individu dapat menentukan bagaimana seharusnya berperilaku sesuai dengan jenis kelaminnya (Bem, 1983, 1985). Anak akan bekerja secara aktif untuk memahami dunia sosialnya, mereka “memberi label pada diri mereka sendiri dan anak akan menyadari termasuk dalam gender apakah dia itu dan dalam perilaku - perilaku apa dia seharusnya terlibat”. Esensinya, teori perkembangan kognitif mempostulasikan bahwa, karena kebutuhan anak akan konsistensi kognitif maka kategorisasi diri (self - categorization) sebagai perempuan atau laki - laki akan memotivasi dirinya untuk menyusun dunianya berdasarkan gender. Anak - anak akan termotivasi untuk terlibat dalam aktivitas aktivitas yang sesuai dengan gender, berusaha kerja untuk mendapatkan sifat sifat yang sesuai gender, dan lebih menyukai teman - teman sebaya yang sesuai dengan gender. Kategorisasi diri menentukan penilaian - penilaian dasar, misalnya seorang anak laki – laki secara stabil mengidentifikasi dirinya sebagai laki – laki, menilai objek - objek yang berkenaan dengan jenis kelaminnya secara positif dan bertindak secara konsisten sesuai dengan identitas gendernya (Kohlberg dalam Bem, 1985).
21
Berdasarkan teori Piaget yang dicetuskan pertama kali oleh ahli perkembangan Lawrence Kohlberg (dalam Santrock, 2003), perkembangan kognitif terhadap gender dimulai dengan cara berikut: anak perempuan berpendapat, “Saya seorang perempuan. Saya ingin melakukan pekerjaan pekerjaan perempuan; oleh karena itu, kesempatan untuk melakukan hal - hal tersebut
sangatlah
berharga”.
Setelah
diperoleh
kemampuan
untuk
mengkategorikan, anak - anak berusaha mencapai kekonsistenan dalam menggunakan kategori - kategori tersebut dalam perilaku mereka sehari - hari. Menurut Tavris & Wade (dalam Santrock, 2003), teori Kohlberg ini menekankan bahwa perubahan penting dalam perkembangan gender muncul di masa kanak kanak. Pada tahap kongkrit operasional (tahap ketiga dari teori Piaget, ketika memasuki usia enam sampai tujuh tahun), anak - anak mengerti kepastian tentang gender. Dimana seorang anak laki - laki tetap seorang laki - laki tanpa perduli apakah ia mengenakan celana atau rok, ataukah rambutnya panjang atau pendek. Sedangkan remaja telah sampai pada pemikiran formal operasional yang memiliki karakteristik abstrak, idealis, dan logis. Hal itu berarti remaja memiliki kapasitas kognitif untuk menganalisa diri mereka dan memutuskan identitas gender apa yang mereka inginkan. Masa remaja adalah masa perkembangan dimana individu mulai meningkatkan fokus perhatian pada pilihan pekerjaan dan gaya hidup. Dengan adanya peningkatan kemampuan kognitif, remaja menjadi lebih menyadari naluri gender yang alamiah terhadap perilaku bekerja dan gaya hidupnya. Ketika remaja menemukan identitasnya,” Siapakah saya, apakah saya ini secara keseluruhan, apa yang saya lakukan selama hidup?” maka peran gender
22
adalah satu area dimana terdapat pilihan yang akan mereka pilih. Peningkatan minat pada masalah identitas diri memicu remaja untuk menilai dan menetapkan ulang sikap dan perilaku gender mereka (Santrock, 2003).
f. Teori Skema Gender Teori skema gender merupakan kombinasi dari teori belajar sosial dan teori perkembangan kognitif. Pengaruh lingkungan sosial dan peran individu keduanya dipadukan dalam pembentukan peran gender melalui skema gender. Seperti teori perkembangan kognitif, teori skema gender mengemukakan bahwa sex - typing dimediasi oleh proses kognisi individu itu sendiri (sex - typing berasal dari proses skematisasi gender). Proses skematik gender itu berasal dari latihan latihan pembedaan jenis kelamin dari komunitas sosialnya. Teori skema gender berasumsi bahwa sex - typing adalah fenomena yang dipelajari (learned phenomenon), karena itu dapat dihindari atau dimodifikasi. Teori skema gender mulai dengan observasi bahwa anak yang sedang berkembang selalu mempelajari definisi – definisi kultural dari masyarakat mengenai keperempuanan dan kelelakian. Di sebagian besar masyarakat, definisi - definisi ini terdiri dari jaringan yang beragam dan merentang luas pada hubungan - hubungan yang terkait dengan gender, mencakup bukan hanya ciri - ciri yang secara langsung berhubungan dengan bentuk perempuan dan laki - laki, misalnya anatomi, fungsi reproduksi, pembagian kerja dan sifat kepribadian, tetapi juga dengan ciri - ciri yang lebih jauh atau secara metafora berhubungan dengan jenis kelamin, seperti lengkungan atau lingkaran bentuk abstrak dan periode bulan (Bem, 1983, 1985).
23
Skema (schema) merupakan suatu struktur kognitif, suatu jaringan yang saling berhubungan, yang mengatur dan mengarahkan persepsi individu. Skema gender (schema gender) mengatur kehidupan menurut jenis kelamin perempuan atau laki - laki. Teori skema gender (gender schema theory) mengemukakan bahwa perhatian dan perilaku individu diarahkan oleh motivasi internal untuk menyesuaikan diri terhadap standar dan stereotipe gender menurut sosial budaya yang berlaku (Bem dalam Santrock, 2003). Menurut teori skema gender, sex typing dihasilkan dari asimilasi konsep diri dengan skema gender. Bila anak - anak mempelajari isi dari skema gender masyarakat, mereka belajar mana sifat - sifat yang dihubungkan dengan jenis kelamin dan diri mereka. Disini anak akan mempelajari hubungan antara jenis kelamin, serta berbagai dimensi atau sifat, misalnya bahwa anak laki - laki itu kuat dan anak perempuan itu lemah, selain itu melibatkan pula pelajaran lebih mendalam bahwa dimensi - dimensi itu dapat diterapkan secara berbeda - beda pada dua jenis kelamin. Anak belajar menerapkan selektivitas skematik pada dirinya, untuk memilih diantara banyak dimensi kepribadian yang dapat diterapkan pada jenis kelaminnya sendiri dan dengan demikian memenuhi syarat untuk mengorganisasi isi yang beragam dari konsep diri tersebut. Penting diperhatikan bahwa teori skema gender merupakan sebuah teori mengenai proses, bukan isi. Karena individu - individu yang sex typed dilihat mengolah informasi dan mengatur perilaku mereka sesuai dengan definisi tentang femininitas dan maskulinitas yang kebetulan disediakan oleh budaya mereka, proses membagi dunia menjadi kategori feminin dan maskulin merupakan sesuatu yang sentral
24
bagi teori skema gender. Proses skematik gender ini ternyata kurang disadari oleh sebagian besar individu, mereka tidak sadar bahwa persepsi - persepsi mereka diatur atas dasar gender. Anak belajar menggunakan dimensi - dimensi tertentu ketimbang yang lain sebagai prinsip - prinsip yang mengatur kognisi, tetapi tidak secara khusus sadar bahwa terdapat dimensi - dimensi alternatif yang dapat dipergunakan. Dimensi - dimensi yang dipilih sebagai prinsip yang mengatur kognisi berfungsi sebagai suatu jenis ideologi tidak sadar (nonconscious ideology) atau dengan kata lain, struktur kognitif akan mempengaruhi persepsi seseorang tanpa kesadaran penuh. Seperti itulah sifat dasar dari pemrosesan skematik gender (gender schematic processing) pada umumnya (Bem, 1983, 1985).
4. Pengukuran Peran Gender Pada awal tahun 1970-an bidang psikologi dan budaya berasumsi bahwa menetapkan tipe jenis kelamin itu bukan hanya normal, melainkan juga amat diperlukan sebagai akibat dari perkembangan manusia. Asumsi ini terefleksi dalam instrumen - instrumen penelitian di bidang tersebut yang digunakan untuk menilai maskulinitas dan femininitas, dimana maskulinitas dan femininitas pada saat itu masih dipandang sebagai ujung - ujung bipolar dari sebuah kontinum tunggal. Seseorang harusnya menjadi maskulin atau feminin (sex typed) dan bukan keduanya. Konsep mengenai individu androgini yaitu individu yang tidak bersandar pada gender sebagai prinsip yang mengorganisir kognisi dan yang mengkombinasikan elemen - elemen maskulin dan feminin dalam kepribadiannya belum didefinisikan dan belum diartikulasikan pada saat itu (Bem, 1985).
25
Para peneliti yang semula hanya memperhatikan pengukuran maskulinitas dan femininitas secara mutlak, kenyataannya menemukan bahwa pengukuran yang mereka gunakan bukan merupakan gambaran dari sifat kepribadian yang menetap. Pengukuran yang mereka gunakan merupakan gambaran dari aspek aspek gender yang dianggap relevan dan berkaitan erat dengan konsep diri dan gambaran diri seseorang sejalan dengan stereotipe gender yang digunakan. Pendekatan yang digunakan lalu berubah. Mereka mengabaikan teori yang mengatakan bahwa maskulinitas dan femininitas merupakan sifat yang bertolak belakang, dan mulai mencari kemungkinan adanya sifat androgini. Perspektif lain dalam memandang jenis kelamin dan gender menyatakan bahwa maskulinitas dan femininitas adalah dua sifat yang saling melengkapi satu sama lain. Menurut pandangan ini, tidak hanya laki - laki dan perempuan yang membutuhkan satu sama lain, tetapi setiap individu akan mencapai keutuhan apabila mengadopsi sifat - sifat maskulin dan feminin dalam dirinya. Dua kutub ini saling berkaitan secara kreatif, dan saling mendukung satu sama lain. Untuk mencapai keutuhan diri, individu harus menyatukan dualitas yang saling bertentangan ini dan mencapai kesatuan dalam dirinya. Kesatuan dualitas yang bertentangan ini disebut dengan androgini (Lips, 1988).
5. Androgini Androgini berasal dari kata Yunani, andro yang berarti laki - laki dan gyne yang berarti perempuan. Menurut Heilburn (dalam Richmond - Abbott, 1992), kata androgini didefinisikan sebagai kondisi dimana karakteristik jenis kelamin
26
dan impuls - impuls manusia yang ditunjukkan oleh laki - laki dan perempuan tidak menetap dengan pasti. Judith Laws (dalam Richmond - Abbott, 1992) mengatakan bahwa androgini adalah keadaan dimana elemen maskulin dan feminin sama - sama ada, diterima dan dilakukan oleh individu. Sandra Bem memulai penelitiannya tentang androgini pada tahun 1971 seiring dengan pengembangan Daftar Peran Jenis Kelamin Bem (Bem Sex Role Inventory—BSRI)
yang
kemudian
dipublikasikannya
dalam
Journal
of
Consulting and Clinical Psychology pada tahun 1974. Menurut Bem androgini adalah tingginya kehadiran karakteristik maskulin dan feminin yang diinginkan pada satu individu secara bersamaan. Individu semacam ini akan berperilaku fleksibel sehingga secara mental lebih sehat daripada individu yang maskulin atau feminin saja (Bem, 1977, 1985). Menurut Bem (dalam Galliano, 2003), androgini merupakan sifat yang mengabaikan tuntutan masyarakat tentang peran gender. Bem memandang peran gender androgini sebagai kelanjutan kebudayaan yang memandang peran gender sebagai karakteristik yang bersifat internal dan pribadi. Bem menekankan bahwa tidak selamanya hanya ada peran gender maskulin dalam diri laki - laki atau feminin dalam diri perempuan. Bem juga menekankan bahwa androgini akan mengurangi pandangan struktur masyarakat dan kekuatan institusi lain yang selama ini melebihkan dan meninggikan peran maskulin, karena maskulin mengandalkan rasionalitas sedangkan feminin mengandalkan emosi. Brannon (1996) menunjukkan perbedaan pendekatan pengukuran maskulinitas dan femininitas yang dilakukan oleh para peneliti terdahulu (pendekatan
27
unidimensional) serta pengukuran maskulinitas dan femininitas yang dilakukan oleh Sandra Bem (pendekatan dua dimensi) pada gambar berikut ini:
Unidimensional Approach
Masculinity
Feminity
Two-Dimensional Approach
Masculinity
Low
High Femininity
Low
High
Gambar 1 : Pendekatan Undimensional Dan Pendekatan Dua Dimensi
BEM SEX ROLE INVENTORY Bem Sex Role Inventory (Bem, 1974, 1977, 1979, 1985) adalah sebuah instrumen pengukuran yang akan mengidentifikasikan individu ke dalam kelompok sex typed (individu maskulin atau feminin) atau ke dalam kelompok kontras baru yaitu individu androgini. Instrumen ini meminta responden untuk melaporkan diri dengan cara memberikan penilaian pada butir - butir ciri kepribadian yang disediakan, seberapa baik butir - butir ciri kepribadian itu dapat menggambarkan tentang diri responden. Respon penilaian itu menggunakan skala
28
7 angka, rentang skala mulai dari angka 1 (memiliki makna tidak pernah atau hampir tidak pernah benar dalam menggambarkan diri responden) sampai 7 (memiliki makna selalu atau hampir selalu benar dalam menggambarkan diri responden). Bem Sex Role Inventory dalam pendistribusiannya kepada responden tidak akan nampak jelas tetapi sebenarnya dalam butir - butirnya mengandung 20 ciri yang merefleksikan definisi budaya tentang maskulinitas (seperti asertif, mandiri), 20 ciri yang merefleksikan definisi budaya tentang femininitas (seperti lembut, pengertian), dan 20 ciri yang lain merupakan pengisi atau ciri butir netral, sehingga total butir keseluruhan adalah 60 butir ciri kepribadian. Konstruksi rancangan Bem Sex Role Inventory oleh Bem didasarkan pada dua asumsi teoretis khusus yang sesuai dengan teori skema gender: (a) sebagian besar sebagai hasil dari kecelakaan sejarah, budaya telah mengelompokkan koleksi sifat - sifat kepribadian yang heterogen menjadi dua kategori yang eksklusif satu sama lain, tiap kategori dianggap oleh budaya lebih khas dan lebih diinginkan untuk satu atau yang lain dari dua jenis kelamin. Harapan - harapan budaya ini sebenarnya telah dikenal baik oleh semua anggota budaya tersebut, (b) Banyak individu akan berbeda satu dengan yang lainnya dalam menggunakan definisi - definisi budaya mengenai kepantasan gender sebagai standar yang ideal dari maskulinitas dan femininitas untuk mengevaluasi kepribadian dan perilaku mereka sendiri. Khususnya individu - individu sex typed, mereka akan sangat sesuai dengan definisi budaya itu dan termotivasi untuk mempertahankan perilaku mereka supaya tetap sesuai dengan standar peran jenis yang berlaku. Hal itu dapat dicapai dengan cara menyeleksi berbagai perilaku dan sifat yang sesuai dengan
29
gendernya dan menghindari berbagai perilaku dan sifat yang tidak sesuai dengan gendernya. Karena itulah konsep diri individu maskulin yang sempit akan dapat menghambat perilaku yang distereotipkan sebagai feminin, begitupun sebaliknya konsep diri individu feminin yang sempit akan menghambat perilaku yang distereotipkan sebagai maskulin. Sedangkan individu - individu yang androgini, mereka kurang sesuai dengan definisi - definisi budaya dari maskulinitas dan femininitas dan mereka kurang mengatur perilaku mereka sesuai dengan definisi definisi tersebut. Mereka cenderung menerapkan konsep diri campuran sehingga mereka bebas mempratekkan perilaku “maskulin” dan perilaku “feminin”. Dengan demikian Bem Sex Role Inventory didesain untuk menilai sampai mana definisi - definisi budaya tentang standar kepantasan gender bagi pria atau wanita dimasukkan ke dalam deskripsi - diri (self - description) seorang individu. Dengan kata lain Bem Sex Role Inventory didesain untuk memberikan individu koleksi sifat yang heterogen, kemudian individu itu akan menilai dimana dia mengelompokkan sifat - sifat itu ke dalam dua kategori yang didesain oleh budaya yaitu maskulin atau feminin ataukah campuran keduanya (Bem, 1974, 1985). Tabel 1 di bawah ini memperlihatkan 60 butir skala maskulin, feminin dan netral yang telah disusun oleh Sandra L. Bem: Tabel 1 SANDRA L. BEM ITEMS ON THE MASCULINITY, FEMININITY, AND SOCIAL DESIRABILITY OF THE BSRI
1. 4. 7. 10. 13. 16.
Maskuline Items Self- reliant Defens own belief Independent Athletic Assertive Strong personality
2. 5. 8. 11. 14. 17.
Feminine Items Yielding Cheerful Shy Affectionate Flatterable Loyal
3. 6. 9. 12. 15. 18.
Neutral Items Helpful Moody Conscientious Theatrical Happy Unpredictable
30
19. 22. 25.
Forceful Analytical Has leadership abilities
20. 23. 26.
28. 31. 34.
Willing to take risks Makes decisions easily Self-sufficient
29. 32. 35.
37. 40. 43. 46. 49. 52.
Dominant Masculine Willing to take a stand Aggressive Act as a leader Individualistic
38. 41. 44. 47. 50. 53.
55. 58.
Competitive Ambitious
56. 59.
Feminine Symphathetic Sensitive to the needs of others Understanding Compassionate Eager to soothe hurt feelings Soft spoken Warm Tender Gullible Childlike Does not use harsh language Loves children Gentle
21. 24. 27.
Reliable Jealous Truthful
30. 33. 36.
Secretive Sincere Conceited
39. 42. 45. 48. 51. 54.
Likeable Solemn Friendly Inefficient Adaptable Unsystematic
57. 60.
Tactful Convensional
6. Klasifikasi Peran Gender Karakteristik empat kelompok peran gender diuraikan sebagai berikut: a. Peran Gender Maskulin Menurut Raven dan Rubin (1983) karakteristik peran gender maskulin yakni agresif, bebas, dominan, objektif, tidak emosional, aktif, kompetitif, ambisi, rasional, percaya diri, rasa ingin tahu tentang berbagai peristiwa dan objek - objek non sosial, impulsif, kurang dapat mengekspresikan kehangatan dan rasa santai, serta kurang responsif terhadap hal - hal yang berhubungan dengan emosi. Karakteristik sifat peran gender maskulin juga dikemukakan oleh Sahrah (dalam Dewi, 2005) berdasarkan hasil temuan penelitiannya dalam konteks budaya indonesia, Sahrah menggambarkan karakteristik peran gender maskulin dengan tiga komponen, yakni sebagai berikut: 1) kemampuan memimpin, 2) sifat maskulin, 3) rasionalitas. Kemampuan memimpin dijabarkan dalam sifat aktif, berkemauan keras, konsisten, mampu memimpin, optimistik, pemberani dan sportif. Sifat maskulin dijabarkan bersifat melindungi, mandiri, maskulin, matang atau dewasa dan percaya diri. Komponen rasionalitas terdiri dari sifat suka
31
mencari pengalaman baru, rasional, dan tenang saat menghadapi krisis. Menurut Bakan (dalam Dewi, 2005), peran gender maskulin lebih menonjolkan kebebasan individu, dominasi, mandiri dan agresivitas.
b. Peran Gender Feminin Menurut Bernard (dalam Dewi, 2005) karakteristik peran gender feminin lebih memperlihatkan sifat - sifat yang hangat dalam hubungan personal, lebih suka berafiliasi dengan orang lain daripada mendominasi. Karakteristik peran gender feminin lebih sensitif dan tanggap terhadap keadaan orang lain, bersikap hati - hati agar tidak menyinggung perasaan orang lain, cenderung suka menyenangkan orang lain, ingin selalu tampak rapi, lebih bersifat loyal dan pemalu. Karakteristik tersebut kemungkinan terbentuk dari kebiasaan dan tugasnya yang bersifat domestik. Dari hasil penelitian Sahrah (dalam Dewi, 2005) diungkapkan secara rinci karakteristik peran gender feminin. Karakteristik peran gender feminin terdiri dari tiga kelompok atau komponen, yakni sebagai berikut: 1) kasih sayang, 2) kelembutan perilaku, dan 3) sifat feminin. Komponen kasih sayang yaitu memperhatikan keserasian, penyayang, suka merasa kasihan, tabah dan tulus hati. Komponen kelembutan perilaku yaitu berbudi halus, hangat, hemat, kalem serta suka hati - hati, sementara itu sifat feminin dijabarkan dalam sifat ramah, membutuhkan rasa aman, memperhatikan etika dan rapi. Menurut Bakan (dalam Dewi, 2005), peran gender feminin berkaitan erat dengan kelompok. Penekanan
32
karakteristik sifat feminin terdapat pada prinsip communion, kompromitas, suka membantu, berperasaan halus, tergantung, dan senang pada kehidupan kelompok.
c. Peran Gender Androgini Menurut Bem (1985) androgini merupakan perpaduan atau kombinasi dari karakteristik maskulin dan feminin dalam diri individu. Kombinasi yang dimaksudkan adalah apabila sifat feminin dan maskulinnya sama tinggi. Misalnya, individu yang androgini dapat menunjukkan sifat dominance dan nurturance sekaligus, rasional sekaligus penuh pengertian, asertif sekaligus sensitif dalam hubungan interpersonal, tergantung pada kesesuaian situasi untuk bermacam perilaku tersebut. Karakteristik peran gender androgini disamping mampu mengintegrasikan sifat maskulin dan feminin dengan baik, lebih dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi dibandingkan peran gender lainnya, serta lebih responsif daripada peran gender yang tak terbedakan. Spence, dkk (1975) mengemukakan bahwa peran gender androgini memiliki harga diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan peran gender lainnya. Menurut Richmond – Abbott (1992), individu androgini adalah seseorang yang mengidentifikasi karakteristik maskulin dan feminin yang diinginkan, terbebas dari pembatasan gender dan lebih leluasa memadukan perilaku maskulin dan feminin dalam situasi sosial yang berbeda – beda. Androgini mengindikasikan individu yang fleksibel, memiliki kompetisi sosial, dapat merespon situasi dengan perilaku yang dibutuhkan, lebih lengkap, lebih dapat berkembang dan memaksimalkan potensi yang dimiliki. Nuryoto (2003) mengemukakan pula bahwa individu yang
33
androgini memiliki fleksibilitas yang tinggi dan mereka dapat menempatkan diri sesuai peran gendernya secara fleksibel. Daya adaptasinya sangat tinggi. Beberapa faktor yang harus ada dalam sifat androgini menurut Kaplan dan Sydney (dalam Nuryoto, 2003) adalah: 1) mempunyai wawasan yang luas sehingga mampu bereaksi secara tepat dalam situasi apapun, 2) mampu bersikap fleksibel seperti apa yang diharapkan oleh masyarakat (mampu membedakan kapan harus bersikap maskulin dan kapan harus bersikap feminin, 3) mampu bersikap hangat dan dapat diterima dengan baik oleh orang lain.
d. Peran Gender Tak Terbedakan Peran gender tak terbedakan yaitu peran gender yang memiliki karakteristik maskulin dan karakteristik feminin yang sama – sama rendah, dan tidak memiliki karakteristik khusus yang menonjol (Bem, 1975), sehingga dapat diperkirakan sangat rendah perilaku prososialnya dibandingkan dengan peran gender maskulin, feminin, dan androgini.
7. Bukti - bukti Ilmiah Androgenitas Manusia a. Androgenitas Dalam Mite, Tradisi Dan Perdukunan Menurut Jung (dalam Sebatu, 1994), Allah merupakan kesatuan dari unsur unsur yang bertentangan. Allah menurutnya bersifat androgen, kesatuan antara unsur maskulin dan feminin. Allah itu berunsur hemaprodit sehingga tentunya manusia yang merupakan gambarannya memiliki unsur - unsur yang serupa. Seperti pada kitab Kejadian bab 2 dan bab 3 ayat 24 yang menjelaskan tentang
34
penciptaan Adam dan Hawa. Adam yang adalah asal dari semua manusia memiliki jenis kelamin pria dan wanita sekaligus, akan tetapi Allah mengambil tulang rusuknya dan menjadikan seorang wanita untuk menemaninya, yaitu Hawa. Walaupun interpretasi Jung ini masih diragukan akan tetapi ahli Jungian berpendapat bahwa ayat - ayat dalam kitab suci yang menceritakan kisah tersebut merupakan bukti kuat bahwa pada dasarnya manusia bersifat androgen seperti Allah sendiri. Selanjutnya banyak novel dan mite - mite zaman dulu yang menulis tentang androgenitas manusia. Seperti Plato dalam karangannya yang berjudul Symposium. Buku itu menceritakan bahwa manusia yang bentuknya bundar, mempunyai empat lengan, empat kaki, satu leher dan dua muka. Hampir semua anggota badan berkelipatan dua kali normal. Manusia itu memiliki kekuatan yang tiada taranya. Dia bahkan merupakan ancaman yang hebat bagi dewa Zeus, yang iri hati akan kekuatannya, memenggalnya menjadi dua bagian. Dengan demikian kekuatan manusia itu menjadi berkurang. Namun semenjak itu timbul kerinduan yang amat kuat pada manusia untuk menyatu. Keinginan untuk bersatu itu diwujudkan dalam kerinduan pria dan wanita terhadap satu sama lain. Mereka ingin bersatu seperti semula, bukan lagi dua tetapi satu. Sekarang ini hal itu bisa dicapai lewat perkawinan (Bennet, Sanford dan Lowe Brian dalam Sebatu, 1994). Pada abad kesembilan belas, sebuah novel yang terkenal berjudul Seraphita karangan
Balzac mengisahkan
tentang androgenitas
manusia.
Seraphita
mempunyai sifat androgen, sifatnya berbeda dari manusia yang lain. Kemisteriusan Seraphita terletak pada unsur atau kodrat keberadaannya. Seraphita begitu misterius sehingga pria dan wanita melihatnya secara berbeda. Minna
35
melihat Seraphita sebagai seorang pria yang gagah perkasa, dia amat mencintainya. Sebaliknya Wilfred justru melihat Seraphita sebagai seorang wanita yang cantik jelita dan amat mencintainya pula (Eliade dalam Sebatu, 1994). Unsur - unsur androgenitas juga tampak pada praktek perdukunan dan ritus inisiasi. Mircea Eliade (dalam Sebatu, 1994) mengungkapkan bahwa dalam praktek perdukunan, seorang shaman atau dukun biasanya dibantu oleh seorang bidadari yang adalah pria atau wanita. Shaman wanita biasanya dibantu oleh pembantu pria sedangkan shaman pria sebaliknya dibantu oleh seorang wanita. Bahkan ada dukun yang menggunakan pakaian wanita atau memakai dada tiruan untuk menggambarkan adanya unsur feminin dalam dirinya. Roh pengawas (tutelary spirit) amat dibutuhkan dalam karya perdukunan ini. Pada suku Kumandin di Asia Utara, saat inisiasi seorang calon dukun memperkenalkan calon roh pewali yang akan membantunya kelak. Roh pewali inilah yang mengajarkannya pratek perdukunan, membantunya dalam pengobatan, dan melayaninya sebagai istri atau suami. Orang Kumandin menyebut bidadari pembantu itu “istri Kayangan”. Hal tersebut juga berlaku pada praktek perdukunan dalam suku - suku di Indonesia. Sebagai contoh suku Manggarai di Flores Barat, bidadari pembantu tidak hanya berupa wanita cantik tetapi bisa berupa ular sawah, monyet atau arwah. Pada suku Aborigin di Australia misalnya ketika mengadakan penyunatan seorang anak pria , mereka memperkenalkan unsur feminin pada anak itu dengan memberikan simbol organ seks wanita atau diberikan pakaian wanita. Menurut kepercayaan mereka, anak pria tidak akan menjadi dewasa sebelum mengenal koeksistensi dari seks, yaitu sifatnya yang
36
androgen. Dia harus mengenal bahwa unsur pria dan wanita adalah dua bagian yang tidak terpisah dalam dirinya. Dia tidak lengkap tanpa keduanya menyatu. Adanya androgenitas di alam raya ini dipercaya penuh oleh orang Cina. Cina kuno mengenal istilah Yin dan Yang. Dalam buku I Ching yang artinya buku tentang perubahan, orang - orang Cina percaya bahwa ada kesatuan antara manusia dengan kosmos sekitarnya, dan juga ada bentuk komplementer antara dua unsur yang berlawanan Yin dan Yang, unsur maskulin dan feminin. Yang maksudnya semacam panji yang gemilang yang melambai - lambai pada matahari, sesuatu yang amat terang. Yang ditandai dengan langit, surga, cahaya kemilau, kreatif, bagian selatan dari gunung atau bagian utara dari sungai. Sementara Yin adalah mendung atau cuaca berawan. Yin ditandai dengan bumi, kegelapan, kelembapan, sifat reseptif, bagian utara dari gunung atau bagian selatan dari sungai. Yang dianggap sebagai aspek maskulin dan Yin dianggap sebagai aspek feminin, kedua aspek tersebut ada pada setiap manusia dan merupakan unsur kosmis. Interaksi antara Yang dan Yin menentukan setiap peristiwa. Akan tetapi konsep orang Cina berbeda dengan konsep orang Barat tentang maskulin dan feminin. Pengertian Cina kuno bahwa Yang adalah kekuatan yang mengarahkan tindakan, sedangkan Yin menggambarkan tindakan itu sendiri, sesuatu yang aktif. Manusia bertanggung jawab atas setiap tindakan pada saat dan tempat. Yin dan Yang menggambarkan perubahan yang teratur dalam alam semesta, dan juga pengalaman manusia (Sam Reifler, Jacobi, Sanford, Wilhem dalam Sebatu, 1994). Pada sejarah Indonesia di masa lampau kita mengenal simbol Lingga dan Yoni. Lingga merupakan aspek jantan yang digambarkan dalam bentuk tiang,
37
melambangkan penis. Sedangkan Yoni adalah unsur wanita yang digambarkan dalam bentuk wadah, melambangkan vagina atau kelamin wanita. Cara meletakkan Lingga yaitu ditancapkan tegak lurus ke atas, sebaliknya Yoni dipasang dengan posisi dari atas ke bawah. Lingga dan Yoni adalah merupakan unsur - unsur dalam agama Hindu. Sedangkan Orang Manggarai, Flores Barat menggambarkan unsur pria dan wanita dalam bentuk parang (kope) dan sarungnya. Parang menggambarkan unsur kreatif yang memberikan sesuatu, sedangkan sarung adalah unsur reseptif yang menerima dan menampung sesuatu. Pengantin pria selama pernikahan berlangsung akan dipanggil dengan sebutan “ kope ”. Pengantin wanita bukan dipanggil dengan sebutan “ bako ” (sarung parang) tapi “ kala ” atau daun sirih, karena secara alamiah daun sirih mempunyai bentuk yang mirip wadah atau vagina (Sebatu, 1994).
b. Androgenitas Menurut Analisis Biologis Menurut Jung (Sebatu, 1994) adanya unsur androgenitas dalam diri manusia dapat dibuktikan secara biologis. Dalam biologi kita mengetahui bahwa setiap orang menerima sejumlah kromosom dari orang tuanya. Kromosom - kromosom itu ditemukan dalam sel tubuh. Setiap sel tubuh manusia memiliki 46 kromosom. Pada setiap konsepsi, manusia menerima 23 kromosom dari sperma ayah dan 23 kromosom dari sel telur ibu. Ke- 46 kromosom yang membentuk pasangan, yang terus berlipat ganda setiap kali sel memisahkan diri. Tiap kromosom terdiri dari sejumlah unit keturunan individu yang disebut gen. Gen adalah segmen yang terdiri dari DNA (deoxyribonucleic acid), yang merupakan pembawa informasi
38
genetik. Molekul DNA kelihatannya serupa dengan tangga terpilin. Semua molekul DNA mempunyai komposisi kimiawi yang sama, yaitu terdiri dari gula (deoxyribose), fosfat dan 4 basis: adenine, guanine, thymine dan cytosine ( A,G,T,C). Untaian dari molekul DNA yang terdiri dari fosfat dan gula, terpisah dari basis. Struktur kekayaan dari basis ini adalah sebagai berikut, A selalu berpasangan dengan T, sedangkan G berpasangan dengan C. Basis ini dapat membentuk suatu rangkaian yang pada gilirannya dapat menciptakan kode genetik. Gen yang ada pada manusia selalu berbentuk pasangan. Tiap gen dalam pasangan itu mempunyai asal yang berbeda, satu dari kromosom sel mani dan satunya lagi dari kromosom sel telur. Setiap anak hanya menerima setengah dari gen masing - masing kedua orang tuanya. Jumlah gen dalam setiap kromosom berkisar antara seribu buah atau lebih. Karena gen berjumlah sedemikian banyaknya, kecil kemungkinan bahwa manusia mempunyai warisan yang sama kendati mereka bersaudara. Hanya ada kemungkinan sama kalau bayi yang lahir adalah kembar identik. Kembar identik maksudnya mereka berasal dari sebuah telur yang sama dan dibuahi oleh satu sperma. Mereka akan mempunyai gen yang tepat sama (Atkinson dalam Sebatu, 1994). Gen mempunyai sifat dominan dan resesif. Gen yang dominanlah yang menentukan watak seseorang. Kalau kedua gen bersifat dominan, watak seseorang ditentukan oleh campuran kedua gen yang dominan itu. Sedangkan kalau satu gen dominan dan lainnya resesif, gen yang dominanlah yang menentukan watak. Kalau kedua gen resesif maka bentuk watak seseorang juga resesif. Pasangan kromosom pria dan wanita sama untuk kedua
39
puluh dua pasangan, namun berbeda untuk pasangan yang ke- 23 disebut pasangan jenis kelamin. Pasangan ke- 23 bersimbol XX bagi wanita yang normal dan XY untuk pria normal (Mc Connel dalam Sebatu, 1994). Jika sel tubuh berkembang, sel baru mempunyai jumlah kromosom yang sama yaitu 46, seperti sel induk, yang berasal dari sel telur dan sel mani yang masing - masing mempunyai 23 kromosom. Tiap sel telur mempunyai kromosom X, sedangkan setiap sel mani yang mempunyai kromosom X dan Y. Kalau kromosom X dari sperma yang kemungkinannya satu dari 300 triliun pertama tama masuk ke dalam sel telur, sel telur yang dibuahi mempunyai kromosom XX, dan akan melahirkan anak perempuan. Sedangkan kalau yang terlebih dahulu menyatu dengan sel telur adalah kromosom Y maka akan muncul kombinasi kromosom XY, yang akan membentuk anak laki - laki. Begitu sel mani dan sel telur bersatu, janin yang akan terbentuk tak akan lagi berubah jenis kelaminnya. Dengan demikian anak perempuan mempunyai satu kromosom X dari ibu dan satu kromosom X dari ayah, sedangkan anak laki – laki mempunyai satu kromosom X dari ibu dan satu kromosom Y dari ayah. Semua manusia mempunyai separoh dirinya dari ayah dan separohnya dari ibu (Hurlock dalam Sebatu, 1994). Karena beberapa hal tersebut maka Jung menyimpulkan bahwa manusia mempunyai sekaligus unsur feminin yang berasal dari ibu dan unsur maskulin yang berasal dari ayah dalam dirinya. Jadi secara genetik semua manusia berunsur androgenitas, mempunyai aspek pria dan wanita sekaligus (Sebatu, 1994).
40
c. Androgenitas Menurut Analisis Psikologi Jung Anima dan animus adalah kata yang digunakan Jung untuk androgenitas dalam diri manusia. Pada tingkat psikologis, sifat - sifat maskulin dan feminin ada pada kedua jenis kelamin. Jung mengaitkan sisi feminin pada kepribadian pria dan sisi maskulin pada wanita dengan arkhetipe - arkhetipe. Arkhetipe adalah suatu bentuk pikiran (ide) universal yang mengandung unsur emosi yang besar, yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Arkhetipe feminin pada pria disebut anima dan arkhetipe maskulin pada wanita disebut animus. Arkhetipe - arkhetipe ini kendati bisa ditentukan oleh kromosom - kromosom dan kelenjar - kelenjar seks adalah merupakan produk dari pengalaman - pengalaman ras pria dan wanita. Dengan kata lain karena hidup bersama - sama wanita selama berabad - abad, pria telah menjadi feminin dan karena hidup bersama pria, wanita menjadi maskulin. Arkhetipe - arkhetipe ini tidak hanya menyebabkan masing - masing menunjukkan ciri - ciri lawan jenisnya tetapi juga berperan sebagai gambaran kolektif yang memotivasikan pria dan wanita untuk tertarik dan memahami anggota lawan jenisnya (Sebatu,1994, Hall & Lindzey, 1993).
41
B. Mahasiswa
1. Pengertian Mahasiswa Definisi mahasiswa adalah orang yang terdaftar secara resmi dan aktif menjalankan studinya di perguruan tinggi (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988). Menurut ahli sosiologi, Kenneth Keningston (dalam Santrock, 2003) mahasiswa masuk dalam golongan pemuda karena mahasiswa mengalami transisi antara masa remaja ke dewasa, dimana biasanya masih terjadi perpanjangan masa ketergantungan ekonomi dan pribadi. Masa transisi tersebut sering berlangsung selama 2 hingga 8 tahun. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa mahasiswa adalah golongan pemuda (18 sampai 30 tahun) yang terdaftar secara resmi di sebuah perguruan tinggi, serta aktif dalam menjalankan studinya di perguruan tinggi yang bersangkutan.
2. Pengertian Remaja Menurut Santrock (2002, 2003) remaja diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak – anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial – emosional. Masa remaja dimulai kira – kira usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir antara usia 18 sampai 22 tahun. Perubahan yang terjadi dalam diri remaja meliputi perkembangan fungsi seksual, proses berpikir abstrak sampai pada kemandirian. Definisi remaja yang bersifat konseptual menurut WHO, remaja adalah suatu masa ketika:
42
a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tandatanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak – kanak menjadi dewasa. c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial – ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. WHO menetapkan usia 10 sampai 20 tahun sebagai batas usia remaja. Dari beberapa definisi remaja diatas dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan masa perkembangan transisi antara masa kanak - kanak dan masa dewasa. Perubahan yang terjadi pada masa remaja meliputi perubahan biologis, kognitif dan sosial - emosional. Rentang usia remaja dimulai pada usia 10 dan berakhir kira - kira usia 22 tahun. Mahasiswa yang merupakan subjek dalam penelitian ini merupakan individu yang masuk dalam golongan remaja akhir, yaitu usia 18 sampai 22 tahun. Remaja Akhir (Late Adolescence) menurut Sarwono (2007) adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal di bawah ini: a. Minat yang makin mantap terhadap fungsi – fungsi intelek. b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan dalam pengalaman – pengalaman baru. c. Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.
43
d. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dan orang lain. e. Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public).
3. Perkembangan Pada Masa Remaja a. Secara Biologis Pubertas (puberty) adalah perubahan cepat pada kematangan fisik yang meliputi perubahan tubuh dan hormonal. Remaja putri mulai mengalami pubertas pada usia 10,5 tahun, ditandai dengan meningkatnya hormon estrogen dalam tubuh sehingga memicu meningkatnya kadar estradiol, terjadinya perkembangan payudara dan rahim, perubahan tulang pada kerangka tubuh dan mendapatkan menstruasi pertama (menarche). Pada remaja putra perubahan pubertas dimulai pada usia 12,5 tahun, ditandai dengan meningkatnya hormon androgen dalam tubuh dan memicu meningkatnya kadar testosteron yang berkaitan dengan sejumlah perubahan fisik pada anak laki - laki, perkembangan alat kelamin luar, peningkatan tinggi badan, dan perubahan suara. Pubertas membawa perubahan meluas pada tubuh remaja, mengubah cara berpikir mengenai diri dan bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain (Rabin & Chrouson dan Notelmann dalam Santrock, 2003). Pada masa ini menurut Bloss (dalam Sarwono, 2007) remaja akan mudah terangsang secara seksual dengan lawan jenis dan terangsang secara erotis.
44
b. Secara Kognitif Menurut Piaget (Santrock, 2003) remaja masuk pada tahap terakhir dari perkembangan kognitif yaitu pada tahap operasional formal yang muncul sekitar usia 11 sampai 15 tahun. Pada perkembangannya Piaget meralat pandangannya dan menyimpulkan bahwa pemikiran operasional formal baru tercapai sepenuhnya sekitar akhir masa remaja yaitu 15 sampai 20 tahun. Ciri - ciri cara berpikir operasional formal adalah : 1). Pemikiran operasional bersifat lebih abstrak daripada pemikiran operasional konkret, remaja tidak terbatas lagi pada pengalaman nyata dan
kongkret
sebagai
landasan
berpikirnya.
Mereka
mampu
membayangkan situasi rekaan, kejadian yang semata - mata berupa kemungkinan
hipotesis
atau
proporsi
abstrak,
dan
mencoba
mengolahnya dengan pemikiran logis. 2). Kualitas abstrak dari pemikiran operasional formal tampak jelas pada kemampuan remaja memecahkan masalah secara verbal. 3). Meningkatnya kecederungan untuk memikirkan tentang pemikiran itu sendiri dan perhatian remaja ke arah pemikiran dan kualitas abstraknya. Contoh: seorang remaja berkomentar, “Aku mulai memikirkan tentang mengapa aku memikirkan tentang siapa aku ini. Lalu aku mulai bepikir tentang mengapa aku sebelum ini memikirkan tentang siapa aku ini”. 4). Munculnya pemikiran yang penuh kemungkinan - kemungkinan. Remaja mulai memikirkan secara lebih luas mengenai karakteristik
45
ideal, kualitas yang ingin dimilikinya sendiri atau diinginkan ada pada orang
lain.
Pemikiran
seperti
itu
sering
membuat
remaja
membandingkan dirinya dengan orang lain dan berfantasi ke arah kemungkinan - kemungkinan di masa depan. 5). Remaja juga berpikir lebih logis dengan menyusun rencana pemecahan masalah dan secara sistematis menguji cara - cara pemecahan yang dipikirkannya. 6). Menurut Keating (Santrock, 2003) masa remaja disertai dengan meningkatnya pengambilan keputusan dan berpikir kritis tentang masa depan, teman yang dipilih, sekolah, hubungan seks, dll.
c. Secara Sosial - Emosional Pada masa remaja menurut Erikson (dalam Santrock, 2003) individu sampai pada masa mencari identitas diri. Pada saat ini individu dihadapkan pada pertanyaan siapa mereka, mereka itu sebenarnya apa, dan kemana mereka menuju dalam hidupnya. Remaja dihadapkan dengan banyak peran baru dan status orang dewasa, yang menyangkut pekerjaan dan asmara. Orang tua seharusnya memberikan kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai peran yang berbeda sehingga remaja akan dapat membentuk identitasnya secara positif, apabila tidak, akan terjadi suatu kekacauan identitas. Untuk mengembangkan jati dirinya itu menurut Hill (dalam Santrock, 2003) para remaja akan dihadapkan pada berbagai tanggung jawab yang lebih besar berkaitan dengan diri dan kehidupan mereka sendiri, mereka berusaha untuk lebih mendapatkan kebebasan dari orang tuanya
46
dan mereka juga akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman sebaya dan mengembangkan persahabatan. Menurut Bloss (dalam Sarwono, 2007) keadaan emosi pada masa remaja sangat peka sehingga tidak stabil. Khususnya pada masa remaja awal sering dilanda pergolakan, sehingga selalu mengalami perubahan dalam perbuatannya. Selain itu remaja cenderung mempunyai kepekaan berlebihan sehingga sulit dimengerti dan juga sulit untuk mengerti orang yang lebih dewasa. Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa masa remaja adalah masa yang penuh perubahan. Perubahan terjadi dalam setiap aspek dari diri remaja. Perubahan fisik dan hormonal terjadi selama masa pubertas dan mulai adanya ketertarikan dengan lawan jenisnya. Perubahan kognitif memasuki tahap operasional formal yaitu dapat berpikir abstrak, idealis dan logis. Perubahan sosial - emosional terjadi dimana remaja mulai berproses mencari identitas diri dengan mencoba berbagai peran baru, mulai melepaskan keterikatan dengan orang tua, mengembangkan persahabatan dengan rekan - rekan sebaya, kepekaan emosi remaja juga meningkat dan cenderung tidak stabil karena remaja sering mengalami pergolakan dalam diri.
4. Tugas Perkembangan Masa Remaja Remaja memiliki tugas - tugas perkembangan yang diartikan sebagai suatu tugas yang timbul pada suatu periode atau masa tertentu dalam kehidupan seseorang. Kesuksesan seseorang dalam menjalankan tugas - tugas perkembangan pada suatu masa kehidupan tertentu akan mendatangkan keadaan dimana ia akan
47
dapat menyesuaikan diri dengan baik. Keberhasilan dalam melaksanakan tugas tugas perkembangan akan membuat seseorang dapat melaksanakan tugas - tugas selanjutnya. Sebaliknya kegagalan seseorang dalam melaksanakan tugas - tugas perkembangan akan dapat menyulitkan pelaksanaan tugas - tugas perkembangan dalam masa kehidupan selanjutnya (Dariyo, 2004). Havighurst (dalam Rice dan Dolgin, 2002) menyatakan ada 8 tugas perkembangan pada masa remaja, yaitu : a. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuh secara efektif. Salah satu karakteristik remaja adalah kebutuhan mereka yang ekstrem, kesadaran tentang kondisi fisik mereka seiring dengan tercapainya kematangan seksual. Remaja harus menerima kondisi fisik mereka dan pola perkembangan tubuh mereka, belajar untuk memperhatikan tubuh mereka, dan menggunakan tubuh mereka secara efektif dalam kegiatan olahraga dan atletik, rekreasi, kerja, dan tugas sehari-hari. b. Mencapai hubungan yang baru dan lebih dewasa baik dengan jenis kelamin yang sama maupun jenis kelamin yang berbeda. Remaja harus berpindah dari ketertarikan pergaulan antar sesama jenis dan teman bermain semasa kecil mereka untuk membangun pertemanan secara heteroseksual. Menjadi dewasa berarti belajar berbagai kemampuan sosial dan perilaku yang dibutuhkan dalam hidup berkelompok.
48
c. Mencapai peran sosial maskulin dan feminin. Peran psikoseksual sosial dibangun oleh kebudayaan masing - masing, tetapi karena peran maskulin - feminin sekarang berubah dengan cepat, sebagian proses pendewasaan remaja harus ditinjau kembali mengingat peran gender yang berubah dalam budaya mereka dan memutuskan aspek apa yang akan diadopsi dalam perilaku. d. Mencapai kebebasan emosional dari orang tua dan orang - orang dewasa disekitarnya. Remaja harus mengembangkan pemahaman, afeksi, dan penghargaan tanpa ketergantungan emosional. Remaja yang labil dan berada dalam situasi konflik dengan orang tua dan orang dewasa lainnya harus mengembangkan pemahaman yang lebih besar tentang mereka, kedewasaan dan alasan konflik yang mereka alami. e. Mempersiapkan karir secara ekonomi. Salah satu tujuan utama remaja adalah memutuskan tentang karir, mempersiapkan karir tersebut, dan kemudian menjadi tergantung dengan cara mendapatkan kehidupan mereka sendiri. Salah satu bagian dari tugas mereka adalah untuk menemukan apa yang mereka inginkan dalam kehidupan mereka. f. Mempersiapkan pernikahan dan kehidupan berkeluarga. Pola pernikahan dan kehidupan keluarga disesuaikan dengan perubahan ekonomi, sosial, dan karakteristik religius di dalam lingkungan sosial. Sebagian besar remaja mengharapkan pernikahan
49
yang bahagia dan menjadi orang tua yang baik sebagai salah satu tujuan penting dalam kehidupan. Jadi mereka harus mengembangkan sikap positif, kemampuan sosial, kematangan emosional, dan pemahaman yang penting untuk membuat pernikahan kelak berhasil. g. Menginginkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab. Tujuan ini meliputi perkembangan ideologi asosial yang kemudian dimasukkan ke dalam nilai - nilai sosial. Tujuan ini juga termasuk partisipasi dalam kehidupan dewasa dalam komunitas dan negara. Beberapa remaja terganggu oleh kualitas etis dalam lingkungan sosial. Beberapa menjadi aktivis radikal; yang lainnya tidak bergabung dalam kelompok apapun dan menolak untuk beraksi. Remaja - remaja ini berjuang untuk menemukan tempat mereka dalam rangka menemukan makna kehidupan. h. Menerapkan nilai - nilai dan sistem etika sebagai pedoman dalam berperilaku dan mengembangkan ideologi. Tujuan ini termasuk pengembangan
ideologi
sosial
politik
dan
mengadopsi
serta
menerapkan nilai - nilai moral, dan ide - ide dalam kehidupan personal seseorang. Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa remaja memiliki tugas perkembangan yang harus dijalankan pada suatu masa atau periode tertentu, meliputi menerima keadaan fisiknya, mencapai hubungan yang baru dengan sesama jenis maupun lawan jenis, mencapai peran sosial maskulin atau feminin, mencapai kebebasan emosional dari orang tua, mempersiapkan karir secara
50
ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga, menginginkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, menerapkan nilai - nilai dan sistem etika sebagai pedoman berperilaku dan mengembangkan ideologi.
5. Remaja Akhir Dan Peran Gender Androgini Pada tahun – tahun awal masa remaja, penyesuaian diri dengan standar masyarakat masih tetap penting bagi anak laki – laki dan perempuan. Terutama penyesuaian diri dengan stereotipe peran seks maskulin dan feminin meningkat seiring dengan perubahan yang terjadi karena pubertas. Anak laki – laki akan mencoba menjadi laki – laki sebaik mungkin dan anak perempuan akan mencoba menjadi perempuan sebaik mungkin. Penyesuaian diri dengan nilai dan harapan dalam masyarakat itu terjadi karena remaja mulai dihadapkan pada peran - peran dan status orang dewasa, antara lain adalah urusan pekerjaan dan asmara (Santrock, 2003). Pembentukan identitas merupakan proses penting dalam perkembangan masa remaja. Menurut Erikson (dalam Hurlock, 1980; Santrock 2003) walaupun pada awalnya remaja menyesuaikan diri dengan standar masyarakat dan kelompok teman sebaya, akan tetapi lambat laun individu mendambakan identitas diri yang berbeda dengan kelompoknya. Pencarian identitas diri itu dimulai dengan usaha memahami siapakah dirinya, apa yang dilakukan selama hidup, apa peranannya dalam masyarakat, dan lain – lain. Disinilah remaja akan mencoba mengeksplorasi berbagai peran – peran yang berbeda, menghadapi identitas –
51
identitas yang saling bertentangan, dan mendapatkan pemikiran baru yang dapat diterima mengenai dirinya. Pada akhir masa remaja perkembangan fisik, kognisi dan sosial – emosional meningkat pada suatu titik dimana seorang individu dapat memilih dan melakukan sintesa identitas – identitas dan identifikasi di masa kecilnya untuk mencapai suatu jalan menuju kedewasaan. Peningkatan perhatian remaja terhadap masalah identitas diri yang disertai dengan kemampuan kognitif operasional formal akan mengarahkan remaja untuk cenderung mempelajari dan menjelaskan ulang sikap dan perilaku gender mereka. Sehingga remaja akhir sampai pada tahap dimana mereka memiliki kemampuan kognitif untuk menganalisa diri dan memutuskan identitas seperti apa yang mereka inginkan. Seorang individu yang mengembangkan suatu identitas yang sehat merupakan individu yang fleksibel dan dapat menyesuaikan diri, terbuka terhadap perubahan – perubahan yang terjadi dalam masyarakat, dalam hubungan, dan dalam karir (Adams, Gulotta dan Montemayor dalam Santrock, 2003). Fleksibilitas itu merupakan ciri utama dari peran gender androgini. Menurut Nuryoto (2003), peran gender androgini adalah peran yang dimiliki oleh individu baik laki - laki maupun perempuan, sehingga mereka memiliki sifat maskulin dan sekaligus feminin dalam kondisi yang seimbang. Apabila seorang individu memiliki sifat maskulin dan feminin yang seimbang dalam kepribadiannya, maka individu itu akan dapat berkembang dengan sehat dan tidak bergantung pada orang lain. Kemandirian akan memberikan kebebasan pada individu untuk mengekspresikan semua kemampuannya dalam kegiatan –
52
kegiatan yang produktif, termasuk melakukan pekerjaan – pekerjaan lintas jenis kelamin. Misalnya di Amerika perempuan tidak canggung untuk memperbaiki ledeng, laki – laki tidak segan untuk memasak dan mencuci piring. Selain itu, Individu akan mampu menempatkan diri dalam berbagai situasi secara fleksibel, dapat menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul dengan matang dan bijaksana, dan lebih menghargai lawan jenisnya. Nuryoto (2003) mengemukakan bahwa sifat dan kepribadian yang terpancar dari perilaku seseorang bukan merupakan bawaan sejak lahir namun merupakan kemampuan yang harus diajarkan dan dilatih. Dengan demikian sifat dan kepribadian seorang anak akan menjadi bagian dari dirinya karena telah menjadi kebiasaan dalam kehidupannya sehari – hari. Oleh sebab itu, sebaiknya anak laki – laki maupun perempuan sudah dilatih dan dibiasakan memiliki sifat androgini sejak dini. Artinya, pendidikan anak tidak dibedakan antara anak laki – laki dan perempuan baik dalam bentuk pendidikan formal, informal maupun non formal. Di bawah ini merupakan tri pusat pendidikan, menurut Ki Hadjar Dewantara (dalam Nuryoto, 2003) yang dapat mempengaruhi pula tingkat androgenitas diri seseorang: 1) Orang tua Orangtua dengan tindakan dan contoh - contoh yang diberikan akan mempengaruhi perkembangan jiwa dan kepribadian anak maupun remaja. Apabila orang tua memberikan pendidikan lewat tindakan dan contoh – contoh yang mengarah pada penyeimbangan sifat maskulin dan feminin, maka hal tersebut akan berdampak positif bagi
53
perkembangan jiwa anak di kemudian hari dan mempertinggi androgenitasnya. Sebaliknya apabila orang tua memberikan tindakan dan contoh perlakuan berbeda kepada anak laki – laki dan perempuan berdasarkan stereotipe budaya maka anak akan cenderung terhambat perkembangan jiwanya dan memiliki androgenitas yang rendah.
2) Sekolah Sekolah ikut mempengaruhi perkembangan jiwa dan kepribadian anak dan remaja lewat berbagai program pendidikan ekstrakurikuler yang ditawarkan, salah satu contohnya adalah pramuka. Menurut Nuryoto (2003), dengan kepramukaan anak diajarkan bersikap penuh rasa sosial yang kuat, rasa egalitarian, saling membantu jika diperlukan, dan sikap menghargai orang lain. Dalam perkemahan anak laki – laki harus mampu mencukupi kebutuhan makan minumnya dengan memasak, sedangkan
anak
perempuan
harus
mampu
memanjat
pohon,
menyeberang sungai, panjat tebing, dan masih banyak lagi. Semua kegiatan
lintas
peran
jenis
tersebut
amat
bermanfaat
untuk
mengembangkan kepribadian dan mempertinggi androgenitas dalam diri seorang anak.
3) Lingkungan Lingkungan tempat anak atau remaja berada adalah sumber ajar yang sangat penting dalam perkembangan jiwa anak maupun remaja.
54
Sangatlah penting bagi anak untuk mampu manjing ajur ajer yaitu anak diberi kesempatan untuk mampu menyesuaikan diri dengan kondisi setempat yang sedang dihadapi. Lingkungan akan mengajarkan kepada anak how to survive, ini akan menjadi pelajaran yang sangat penting bagi anak agar mereka dapat hidup mandiri. Lingkungan memang tidak mengajarkan sifat androgini secara spesifik, namun anak dapat memetik pelajaran yang berharga dari lingkungan tempatnya berada. Pergaulan di lingkungan akan membentuk dan mendewasakan jiwa anak, sebab pergaulan anak akan menjadi multi – enis, multi – bahasa dan multi – budaya. Mereka akan dididik oleh lingkungan untuk mampu bersikap dalam berbagai kondisi.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam proses membentuk suatu identitas diri yang stabil, remaja mulai dihadapkan pada berbagai peran – peran dan tanggung jawab sebagai orang dewasa. Eksplorasi diri tersebut akan membuat individu lebih memahami tentang diri dan berusaha membentuk identitas seperti apa yang ia inginkan, walaupun dalam prosesnya sendiri memakan waktu yang panjang dan menimbulkan banyak pertentangan maupun kebingungan. Peran gender merupakan salah satu area yang remaja pilih untuk semakin memahami tentang dirinya. Pemahaman tentang diri yang berkembang seiring dengan perkembangan proses berpikir memicu remaja akhir untuk menilai dan menetapkan ulang sikap dan perilaku gendernya.
55
Masa remaja akhir adalah masa perkembangan dimana individu mulai meningkatkan fokus perhatian pada pilihan pekerjaan, gaya hidup maupun urusan asmara. Oleh karena itu fleksibilitas menjadi penting bagi individu, karena individu harus mampu untuk membuat keputusan yang tepat, menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul, dan mampu untuk menempatkan diri dalam berbagai situasi dengan baik. Menurut Adams, Gulotta dan Montemayor (dalam Santrock, 2003), individu yang dapat mengembangkan suatu identitas yang sehat merupakan individu yang fleksibel dan dapat menyesuaikan diri, serta terbuka terhadap perubahan – perubahan yang terjadi dalam masyarakat, dalam hubungan, dan dalam karir. Fleksibilitas itu merupakan ciri utama dari peran gender androgini. Bem (1977), dan Richmond - Abbott (1992) mengemukakan bahwa individu yang androgini terbebas dari pembatasan gender dan lebih leluasa memadukan perilaku maskulin dan feminin dalam berbagai situasi sosial yang berbeda. Individu androgini diindikasikan sebagai individu yang fleksibel, memiliki kompetisi sosial, dapat merespon situasi dengan perilaku yang dibutuhkan, lebih lengkap, dapat berkembang dan memaksimalkan potensi yang dimiliki, dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi dibanding peran gender lainnya. Maka apabila remaja akhir memiliki peran gender androgini, yang berarti memiliki sifat - sifat maskulin dan feminin yang seimbang dalam kepribadiannya, maka remaja akhir akan mampu menempatkan diri dalam berbagai situasi secara fleksibel, dapat menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul dengan lebih
56
matang dan bijaksana, mampu mengembangkan hubungan, sikap hangat dan menghargai lawan jenisnya, memiliki kompetisi sosial serta dapat merespon situasi dengan perilaku yang dibutuhkan, mampu memaksimalkan potensi yang dimiliki dan mengembangkan suatu identitas diri yang sehat, serta memiliki jiwa yang lebih bebas, sehat dan seimbang. Oleh karena itu peneliti hendak melakukan pengukuran androgenitas menggunakan Bem Sex Role Inventory pada mahasiswa, laki – laki dan perempuan di fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma usia 18 sampai 22 tahun, yang merupakan remaja akhir. Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimanakah taraf androgenitas pada mahasiswa remaja akhir fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma tersebut.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengukur taraf androgenitas mahasiswa di fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
B. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat pencandraan (deskripsi) secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta fakta dan sifat - sifat populasi atau daerah tertentu. Penelitian deskriptif adalah akumulasi data dasar dalam cara deskriptif dan tidak perlu mencari atau menerangkan saling hubungan, mentes hipotesis, membuat ramalan, atau mendapatkan makna dan implikasi. Para ahli kemudian memberikan arti penelitian dekriptif lebih luas dan mencakup segala macam bentuk penelitian, biasanya istilah yang digunakan adalah penelitian survei. Tujuan penelitian survei adalah : a. Untuk mencari informasi faktual yang mendetail yang mencandra gejala yang ada. b. Untuk mengidentifikasi masalah - masalah atau mendapatkan justifikasi keadaan dan praktek - praktek yang sedang berlangsung. c. Untuk membuat komparasi dan evaluasi.
57
58
d. Untuk mengetahui apa yang dikerjakan oleh orang - orang lain dalam menangani masalah atau situasi yang sama, agar dapat belajar dari mereka untuk kepentingan pembuatan rencana dan pengambilan keputusan di masa depan (Suryabrata, 1998).
C. Variabel Penelitian Dalam penelitian ini hanya terdapat satu variabel yaitu androgenitas, yang merupakan perpaduan hadirnya karakteristik maskulin dan feminin dalam diri individu secara seimbang atau sama tinggi. Individu yang androgini adalah individu laki - laki maupun perempuan yang memiliki ciri maskulin maupun ciri feminin yang seimbang dalam dirinya. Misalnya laki - laki yang memiliki sifat tegas sekaligus mau mengalah atau perempuan yang memiliki sifat dominan sekaligus sensitif terhadap perasaan orang lain tergantung pada kesesuaian situasi untuk bermacam perilaku tersebut. Androgenitas diukur dengan menggunakan Bem Sex Role Inventory (BSRI) yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia. BSRI berisi 60 butir ciri kepribadian yang dipakai untuk mengukur dukungan diri seseorang terhadap atribut - atribut maskulin dan feminin yang dimilikinya. Instrumen ini meminta laporan diri responden dengan menggunakan skala 7 angka, responden diminta untuk langsung memberikan penilaian seberapa baik dari masing - masing 60 butir ciri kepribadian itu dapat menggambarkan tentang dirinya (Bem, 1974, 1977).
59
D. Subyek Penelitian Subyek dalam penelitian ini adalah individu yang berjenis kelamin laki laki dan perempuan, yang terdaftar secara resmi dan aktif menjalankan studinya di fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Kampus III Paingan. Kisaran usianya adalah 18 sampai 22 tahun, yang masuk dalam masa perkembangan remaja akhir. Alasan mengapa mahasiswa digunakan sebagai subyek dalam penelitian ini adalah karena pada akhir masa remaja, individu mengalami peningkatan minat terhadap masalah identitas diri. Mulai munculnya pemahaman tentang diri sendiri akan mengarahkan remaja akhir untuk menilai dan menetapkan ulang sikap dan perilaku gender mereka. Selain itu remaja akhir dihadapkan pula pada sejumlah peran, pilihan dan tanggung jawab sebagai bagian dari transisi ke masa dewasa. Sehingga akan terjadi penyesuaian - penyesuaian dalam bertingkah laku, menyelesaikan permasalahan maupun menghadapi berbagai situasi sebagai proses menuju kedewasaan dan mencapai identitas diri yang stabil. Menurut Hadi (2004), sampel adalah sebagian dari jumlah populasi. Sampel adalah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi. Sampel harus mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama, baik sifat kodrat maupun sifat pengkhususan. Sampel akan diambil dan digunakan dalam penelitian untuk menentukan sifat - sifat serta ciri - ciri yang dikehendaki dari populasi. Metode pengambilan sampel penelitian ini dilakukan dengan cara nonrandom sampling, dimana tidak semua individu dalam populasi diberi kesempatan yang sama untuk ditugaskan menjadi anggota sampel. Pengambilan sampel memakai teknik purposive sampling yaitu pemilihan sekelompok subyek
60
didasarkan atas ciri - ciri atau sifat - sifat tertentu yang dipandang berkaitan erat dengan ciri - ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 2004). E. Metode Pengumpulan Data Dan Instrumen Penelitian Pengambilan data yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan metode skala. Metode ini digunakan mengingat data dari variabel yang diungkap merupakan sikap yang dapat diukur melalui metode skala. Hadi (2004) menyatakan bahwa penggunaan metode skala dalam suatu penelitian didasarkan pada beberapa asumsi, yaitu (a) subyek adalah orang yang paling tahu tentang keadaan dirinya, (b) apa yang dinyatakan oleh subyek adalah benar dan dapat dipercaya, (c) interpretasi subyek terhadap pernyataan - pernyataan yang diajukan kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksud oleh peneliti. Menurut Togerson (dalam Azwar, 2003), ada 3 pendekatan skala yaitu penskalaan yang berorientasi pada subyek, stimulus dan respon. Berikut ini bentuk penskalaan yang berorientasi pada respon yang digunakan untuk mengambil data dalam penelitian ini adalah: BEM SEX ROLE INVENTORY
1. Bem Sex Role Inventory Bem Sex Role Inventory (BSRI) dijabarkan secara jelas dalam The Measurement of Psychological Androgyny yang ditulis oleh Sandra L. Bem dalam Journal of Consulting and Clinical Psychology 1974, Vol. 42. No. 2.155 - 162. BSRI berisi 60 butir ciri kepribadian yang dipakai untuk mengukur dukungan diri seseorang terhadap atribut - atribut maskulin dan feminin yang
61
dimilikinya. Instrumen ini meminta laporan diri responden dengan menggunakan skala 7 angka, responden diminta untuk langsung memberikan penilaian seberapa baik dari masing - masing 60 butir ciri kepribadian itu dapat menggambarkan tentang dirinya. Dari 60 butir ciri kepribadian tersebut dijabarkan bahwa 20 ciri merefleksikan definisi budaya tentang maskulinitas, 20 ciri merefleksikan definisi budaya tentang femininitas dan 20 ciri yang lain merupakan pengisi atau netral. Pada tabel 2 dapat kita lihat butir ciri – ciri kepribadian yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia: Tabel 2 Butir – butir Kepribadian Skala Maskulin, Feminin, Dan Netral Dalam BSRI 2. 5.
Butir Feminin Mengalah Riang gembira
3. 6.
8. 11.
Pemalu Penuh kasih sayang
9. 12.
14. 17. 20. 23. 26.
Senang disanjung Setia Feminin Simpatik Peka terhadap kebutuhan orang lain Penuh pengertian Mudah merasa kasihan
15. 18. 21. 24. 27. 30. 33.
Suka berahasia Tulus
36.
Angkuh
38. 41. 44.
Ingin menghibur perasaan yang terluka Berbicara lembut Hangat Berhati lembut
39. 42. 45.
Menyenangkan Serius Ramah
47. 50.
Mudah tertipu Polos
48. 51.
Tidak efisien Dapat menyesuaikan diri
52.
Asertif Kepribadian yang kuat Kuat Analitis Memiliki kemampuan kepemimpinan Mau mengambil resiko Mudah mengambil keputusan Dapat mencukupi kebutuhan sendiri Dominan Maskulin Mau memegang teguh suatu sikap Agresif Bertindak sebagai pemimpin Individualistis
Berhati-hati Bertingkah laku yang dibuat - buat Bahagia Susah diramalkan Dapat dipercaya Iri hati / cemburu Jujur
53.
54.
Tidak sistematis
55. 58.
Suka berkompetisi Ambisius
56. 59.
Tidak menggunakan bahasa yang kasar Mencintai anak-anak Lemah lembut
57. 60.
Bijaksana Konvensional
1. 4. 7. 10. 13. 16. 19. 22. 25. 28. 31. 34. 37. 40. 43. 46. 49.
Butir Maskulin Percaya diri Mempertahankan keyakinan sendiri Mandiri Atletis
29. 32. 35.
Butir Netral Suka menolong Suka murung
62
2. Pemberian Skor Individu diminta merespon 60 butir ciri kepribadian dengan cara menuliskan angka 1 sampai 7 apabila ciri tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan gambaran dirinya. Angka - angka itu memiliki makna khusus seperti kita lihat pada tabel 3 berikut ini: Tabel 3 Skala 7 Angka 1 Tidak
2 Biasanya
3
Kadang
Hampir
tapi
Tidak Pernah
5
Kadang - Kadang
Pernah atau Tidak Benar
4
Kadang
- Sering Benar
6
7
Biasanya
Selalu atau
Benar
Hampir Selalu
Jarang
Biasanya:
Benar
lebih dari
Benar
sering =
Benar
sudah lazim
Di bawah ini merupakan contoh dari lembar jawaban: 1. Mencintai anak - anak
3. Berhati - hati
2. Mempertahankan keyakinan sendiri
4. Tidak sistematis
Di bawah ini merupakan contoh dari cara merespon atau penilaian individu: “Apabila Anda merasa selalu mencintai anak - anak, biasanya tidak mempertahankan keyakinan sendiri, jarang berhati - hati, dan sering tidak sistematis”. Maka Anda mengisikan dalam lembar jawaban sebagai berikut: 1. Mencintai anak - anak
7
2. Mempertahankan keyakinan sendiri 2
3. Berhati - hati
3
4. Tidak sistematis
5
63
3. Model Pengukuran Bem Sex Role Inventory adalah instrumen yang mengukur dukungan diri seseorang terhadap atribut maskulin dan feminin yang dimilikinya. Individu kemudian diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok peran gender, yaitu kelompok sex typed (kelompok maskulin dan kelompok feminin) dan kelompok kontras baru yaitu androgini. Individu didefinisikan sebagai kelompok sex typed atau kelompok androgini dengan cara mengukur perbedaan skor yang signifikan antara sifat maskulin dan sifat feminin yang dimilikinya. Perbedaan skor yang besar antara sifat maskulin dan feminin (dengan skor maskulin yang tinggi dan skor feminin yang rendah atau sebaliknya) adalah indikasi orang yang memiliki tipe jenis kelamin yang jelas atau sex typed, dan apabila berkebalikan pada kedua jenis kelamin disebut cross sex typed. Perbedaan skor yang kecil antara sifat maskulin dan feminin (dengan skor maskulin dan feminin yang kira - kira hampir sama atau seimbang) adalah indikasi orang androgini. Kesimpulannya berarti orang yang memiliki sifat androgini adalah individu yang tidak membedakan sifat maskulin dan feminin dalam mendeskripsikan dirinya sendiri, jadi tidak ada perbedaan dalam hal dukungan diri individu terhadap atribut - atribut maskulin dan femininnya. Cara yang dilakukan oleh Bem diatas disebut model balance (Bem, 1974). Akan tetapi model balance yang digunakan Bem pertama kali itu ternyata diakui sendiri oleh Bem (1975, 1977) memiliki kelemahan, yaitu tidak adanya pembedaan dalam hal mengkategorisasikan orang androgini yang memiliki skor tinggi dan yang memiliki skor rendah padahal mereka sebetulnya berbeda, karena itu perlu penandaan yang lebih jelas tentang hal tersebut. Bem akhirnya setuju
64
dengan model baru yang dikembangkan oleh Spence, yaitu model adaptive dan mengadopsi model tersebut ke dalam penelitiannya. Model adaptive ini memandang androgini hanya ada pada individu yang relatif memiliki sifat maskulin dan feminin yang tinggi yaitu skor yang tinggi pada kedua skala, sedangkan individu yang memiliki skor rendah pada kedua skala dipandang tidak dapat diklasifikasikan atau tidak dapat dibedakan. Model adaptive ini menggunakan median split yaitu membagi dua bagian atas dasar mediannya (persentil 50), yang dipergunakan untuk menentukan tinggi rendahnya skor maskulin dan tinggi rendahnya skor feminin. Dengan demikian setiap individu tanpa membedakan jenis kelaminnya (laki - laki atau perempuan) dapat dikategorikan pada salah satu dari 4 kelompok peran gender yaitu peran gender maskulin, feminin, androgini, dan undifferentiated (Spence dalam Dewi, 2005). Pengkategorisasian peran gender dapat kita lihat pada gambar di bawah ini:
Rendah
Feminim
Tinggi
Maskulin
Tinggi
Androgini Maskulin
Rendah
Feminin Tak Terbedakan
Gambar 2 : Kategorisasi Peran Gender
Menurut gambar di atas, subyek penelitian dikategorikan memiliki peran gender maskulin apabila memperoleh skor maskulin yang tinggi dan skor feminin yang rendah. Subyek dikategorikan memiliki peran gender feminin apabila
65
memperoleh skor feminin yang tinggi dan skor maskulin yang rendah. Selanjutnya subyek dikategorikan memiliki peran gender undifferentiated apabila memperoleh skor feminin dan skor maskulin yang sama - sama rendah atau keduanya dibawah median pada kedua skala. Terakhir, subyek dikategorikan memiliki peran gender androgini apabila subjek memperoleh skor maskulin dan skor feminin yang sama - sama tinggi atau keduanya diatas median pada kedua skala (Bem, 1985). Setiap responden akan menerima sebuah skor maskulin dan sebuah skor feminin. Perlu diingat bahwa kedua skor maskulin dan feminin tersebut secara logis berdiri sendiri atau tidak terikat. Hal itu diketahui, setelah Bem melakukan pengukuran korelasi skor maskulin dan skor feminin dari dua sampel normatif yaitu mahasiswa Universitas Stanford dan mahasiswa Universitas Foothill. Kesimpulan yang didapat dari pengukuran tersebut adalah struktur tesnya tidak menghambat sehingga memungkinkan skor – skornya bervariasi secara bebas. Temuan ini mendukung Bem untuk merancang sebuah daftar yang tidak memaksakan korelasi negatif antara maskulinitas dan femininitas (Bem, 1974).
F. Pertanggungjawaban Mutu Instrumen Penelitian
1. Validitas Validitas mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan
66
fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2003).
a. Sebelum Adaptasi Bem Sex Role Inventory (dalam Bem, 1974) terdiri dari dua skala utama, yaitu skala maskulinitas dan skala femininitas yang masing-masing berisi 20 karakteristik atau ciri kepribadian. Karakteristik - karakteristik tersebut semuanya telah dinilai secara signifikan lebih diinginkan dalam masyarakat Amerika untuk jenis kelamin yang satu dibandingkan jenis kelamin yang lain dan semuanya memiliki nilai yang positif. Skala ketiga dalam BSRI yaitu skala Social Desirability yang berisi 20 karakteristik atau ciri kepribadian, yang berfungsi memberikan konteks netral bagi skala maskulinitas dan femininitas, setengah karakternya memiliki nilai positif dan setengahnya memiliki nilai negatif. Pengujian validitas butir - butir dalam BSRI dilakukan tahun 1972 menggunakan validitas konstruk, yaitu dimana Bem meminta bantuan kepada 100 orang mahasiswa lulusan Universitas Stanford untuk melakukan rating terhadap 400 ciri kepribadian dari daftar yang telah ia susun. Rating dilakukan dengan menggunakan skala 7 angka dalam menilai kepantasan (dalam masyarakat Amerika) dari 400 ciri kepribadian tersebut. Misalnya: “ Di masyarakat Amerika, seberapa pantas seorang pria bersikap jujur?” atau “ Di masyarakat Amerika, seberapa pantas seorang wanita bersikap tulus?”. Setiap individu penilai diminta untuk menilai kepantasan dari 400 ciri kepribadian “untuk seorang pria” atau “untuk seorang wanita”. Tidak ada penilai yang diminta untuk menilai keduanya.
67
Kriteria aitem yang diseleksi masuk ke dalam skala maskulinitas dan skala femininitas adalah jika suatu ciri kepribadian itu dinilai lebih pantas (dalam masyarakat Amerika) untuk jenis kelamin yang satu, bukan untuk jenis kelamin yang lain. Kriteria suatu ciri kepribadian ditetapkan sebagai maskulin adalah jika ciri itu dinilai secara independen oleh pria dan wanita sebagai yang secara signifikan lebih pantas untuk pria daripada untuk wanita (p < .05). Demikian pula, suatu ciri kepribadian dinyatakan sebagai feminin adalah jika ciri itu dinilai secara independen oleh pria dan wanita sebagai yang secara signifikan lebih pantas untuk wanita daripada untuk pria (p < .05). Selain itu suatu ciri kepribadian dinyatakan netral terhadap jenis kelamin dan memenuhi syarat untuk social desirability scale: 1) jika ciri kepribadian itu dinilai secara independen oleh pria dan wanita sebagai yang tidak pantas untuk jenis kelamin yang satu dibandingkan untuk jenis kelamin yang lain (t < 1.2, p > .2), 2) jika penilai pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan di dalam penilaiannya mengenai kepantasan ciri - ciri kepribadian itu (t < 1.2, p > .2). Skala social desirability berfungsi memberikan konteks yang netral bagi skala maskulinitas dan femininitas dan skala ini digunakan selama penyusunan Bem Sex Role Inventory untuk memastikan bahwa daftar ciri - ciri kepribadian yang dipakai selama proses penyeleksian tidak sekedar menggunakan ciri - ciri yang diinginkan secara sosial. Kemudian Bem melakukan proses analisis aitem dan terseleksilah 60 butir ciri kepribadian yang benar - benar terpilih untuk BSRI. Selanjutnya Bem menghitung mean social desirabilitiy untuk butir maskulin, feminin, dan netral dari 100 orang penilai. Dari jenis kelamin laki-laki
68
dan perempuan rata - rata skor yang diinginkan untuk butir – butir maskulin dan feminin adalah secara signifikan lebih tinggi untuk jenis kelamin yang “ semestinya” dibandingkan untuk jenis kelamin “yang tidak semestinya”, sedangkan untuk butir netral terlihat secara signifikan tidak lebih tinggi untuk jenis kelamin yang satu dibanding untuk jenis kelamin yang lain. Hal tersebut dapat kita lihat pada tabel 4 berikut ini: Tabel 4 Penilaian Mean Social Desirability Dari Butir – butir Maskulin, Feminin Dan Netral Item
Male Judges
Female Judges
Masculine
Feminine
Neutral
Masculine
Feminine
Neutral
item
item
item
item
item
item
For a man
5.59
3.63
4.00
5.83
3.74
3.94
For a woman
2.90
5.61
4.08
3.46
5.55
3.98
Difference
2.69
1.98
.08
2.37
1.81
.04
t
14.41٭
12.13٭
.17
10.22٭
8.28٭
.09
٭p < .001.
Selanjutnya Bem juga menghitung penilaian rata - rata social desirability kelompok pria dan wanita untuk butir - butir maskulin dan feminin pada jenis kelaminnya sendiri. Hasil yang didapat adalah bahwa tidak hanya karakter “yang sesuai jenis kelamin” lebih diinginkan pada kedua kelompok pria dan wanita daripada karakter “yang tidak sesuai jenis kelamin”, tetapi fenomenologi dari subjek pria dan wanita adalah hampir simetrik secara sempurna, yang berarti pria dan wanita mendekati seimbang dalam persepsi mereka tentang ciri - ciri yang sesuai jenis kelamin, ciri - ciri yang tidak sesuai jenis kelamin, dan perbedaan antara keduanya seperti terlihat pada tabel 5 berikut ini:
69
Tabel 5 Penilaian Mean Social Desirability Dari Butir – butir Maskulin Dan Feminin Terhadap Jenis Kelamin Subjek Item
Male judges for a man
Female judges for a women
Masculine
5.59
3.46
Feminine
3.64
5.55
Difference
1.96
2.09
t
11.94*
8.88*
*p < 001.
Pembuktian validitas secara empiris dari Bem Sex Role Inventory juga dilakukan dengan pengujian validitas konkuren, yaitu dengan dikorelasikannya BSRI dengan skala maskulinitas dan femininitas pada California Psychological Inventory (CPI) dan Guilford Zimmerman Temperament Survey yang mana kedua - duanya sering digunakan dalam penelitian - penelitian mengenai peran jenis. Hasil yang didapat adalah ternyata skala Guliford Zimmerman sama sekali tidak berkorelasi dengan salah satupun dari ketiga skala dalam BSRI. Sedangkan CPI berkorelasi menengah dengan ketiga skala tersebut. Tidaklah jelas mengapa BSRI mesti lebih berkorelasi dengan CPI dibanding dengan skala Guilford Zimmerman, namun fakta bahwa tidak satu pun dari korelasi itu yang sangat tinggi menunjukkan bahwa BSRI mengukur suatu aspek dari peran jenis kelamin yang tidak secara langsung digunakan oleh salah satu dari kedua skala tersebut.
b. Setelah Adaptasi Validitas Bem Sex Role Inventory ini lebih pada proses adaptasi skala dari bahasa aslinya ke bahasa Indonesia agar dapat dimengerti dengan baik oleh
70
subyek penelitian. Proses adaptasi dilakukan menggunakan backtranslation technique (Campbell et al; dalam Brislin, 1970). Proses ini adalah menerjemahkan kembali aitem - aitem SD-scale dari bahasa aslinya ke dalam bahasa Indonesia yang dilakukan oleh Silvia Rehulina Ginting, S. Pd. Hasil terjemahan itu kemudian dikonsultasikan kepada dosen pembimbing skripsi, akan tetapi karena beberapa aitem, khususnya aitem no. 2 “Yielding”, no. 36 “Conceited”, no. 48 “Flatterable” dan no. 50 “Childlike”, terdapat keragu - raguan dalam penerjemahan oleh ahli maka dosen pembimbing skripsi menyarankan untuk melanjutkan penelusuran dengan memakai Oxford Dictionary (2004) dan English - Indonesian Dictionary (2000). • Aitem 2. Yielding: adj (of a person) willing to do what others want (OD) : kki. 1. Menyerah atau mengalah (EID) • Aitem 36. Conceit: noun (U) too high an opinion of yourself → conceited: adj. (OD) : ks. Congkak, sombong, angkuh (EID) • Aitem 48. Flatterable (flatter): v [T] 1. Praise somebody too much or insincerely (OD) 2. Make somebody seem more attractive than they really are (IDM) be / feel flattered be pleased because somebody has made you feel special: merasa senang atau puas karena seseorang telah membuatmu merasa istimewa. : kkt. Merayu, menyanjung-nyanjung, memuji (EID)
71
• Aitem 50. Childlike: adj simple, innocent → Bersahaja, polos, tidak berdosa (OD) : ks. Kekanak-kanakan (EID)
Setelah peneliti melakukan penelusuran seperti di atas, kemudian hal itu dikonfirmasikan kembali pada ahli bahasa dan dianjurkan untuk memakai kata kata menggunakan konotasi positif. Jadi untuk aitem no. 2 Yielding → Mengalah, no. 36 Conceited → Angkuh, no. 48 Flatterable → Senang disanjung, dan no. 50 Childlike → Polos. Peneliti kemudian meminta bantuan seorang penerjemah yang memiliki kemampuan yang baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia (lisan maupun tulisan) untuk menerjemahkan terjemahan itu kembali ke dalam bahasa aslinya. Proses ini dimaksudkan untuk melihat kesesuaian arti kata aitem dalam
bahasa
Indonesia
dan
bahasa
aslinya.
Setelah
itu
peneliti
mengkonsultasikan kembali terjemahan skala BSRI itu kepada dosen pembimbing skripsi untuk mendapatkan persetujuan melakukan penelitian.
2. Seleksi Aitem Parameter yang paling penting dalam seleksi aitem skala psikologi yang mengukur atribut tertentu adalah daya beda atau daya diskriminasi aitem. Daya diskriminasi aitem adalah sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang diukur. Indeks daya diskriminasi aitem merupakan pula indikator keselarasan atau konsistensi antara fungsi aitem dengan fungsi skala secara keseluruhan yang
72
dikenal dengan istilah konsistensi aitem total. Prinsip kerja yang dijadikan dasar dalam seleksi aitem adalah dengan memilih aitem - aitem yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur skala. Pengujian daya diskriminasi aitem menghendaki dilakukan komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor aitem dengan suatu kriteria yang relevan, yaitu distribusi skor skala itu sendiri. Komputasi ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total (rix). Koefisien korelasi aitem total (rix) yang mendekati angka 0 atau yang memiliki tanda negatif mengindikasikan daya diskriminasi yang tidak baik. Pengujian konsistensi aitem dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi antara skor aitem dengan skor total tes. Semakin tinggi koefisien korelasi positif antara skor aitem dengan skor skala (mendekati 1, 0), berarti semakin tinggi konsistensi antara aitem tersebut dengan skala secara keseluruhan yang berarti semakin tinggi daya bedanya. Bila koefisien korelasinya rendah mendekati nol berarti fungsi aitem tersebut tidak cocok dengan fungsi ukur skala dan daya bedanya tidak baik. Bila koefisien korelasinya yang dimaksud ternyata berharga negatif, artinya terdapat cacat serius pada aitem yang bersangkutan. Kriteria pemilihan aitem menggunakan taraf signifikansi 5%. Aitem dinyatakan lolos seleksi apabila memiliki nilai positif dan signifikan pada taraf 0, 05. Nilai r tabel yang digunakan sebagai kriteria pemilihan aitem dalam penelitian ini menggunakan nilai r tabel pada Nurgiyantoro, dkk (2002). Penghitungan koefisien korelasi aitem total dilakukan dengan menggunakan program SPSS for windows versi 15.
73
Uji coba penelitian dilaksanakan pada tanggal 14 sampai 20 Agustus 2008 dengan jumlah keseluruhan subyek yang menjadi responden adalah 100 orang mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta kampus III Paingan. Subyek memiliki kriteria usia 18 sampai 22 tahun, berjenis kelamin laki - laki dan perempuan dan berstatus sebagai mahasiswa aktif. Sebelum try out berlangsung, peneliti meminta ijin pelaksanaan penelitian dari Dosen pembimbing skripsi. Kemudian peneliti mulai menyebarkan skala kepada mahasiswa dan mahasiswi di fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Uji coba ini dilakukan untuk mengetahui apakah butir - butir pernyataan yang telah tersusun dapat dipahami oleh subyek penelitian dan untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pengisian skala. Alat ukur ini perlu melewati tahap uji coba karena diadaptasi melalui proses penerjemahan dan juga karena perlu penyesuaian dengan budaya yang ada di Yogyakarta. Peneliti melakukan pengambilan data (penyebaran skala) kepada mahasiswa dan mahasiswi fakultas Psikologi, yang saat itu kebanyakan sedang berada di lorong fakultas Psikologi maupun sedang berada di kelas menunggu masuk jam kuliah. Sebelum melakukan pengambilan data peneliti terlebih dahulu mengingatkan subyek agar memperhatikan petunjuk pengerjaan dan agar memeriksa ulang pekerjaan mereka agar tidak ada lembar jawaban yang kosong. Rata - rata lamanya tes ini berlangsung sekitar 15 sampai 20 menit. Dari 104 skala BSRI yang telah disebarkan, 3 skala tidak diisi secara lengkap sehingga tidak memenuhi kriteria dari penelitian ini, 1 skala tidak
74
dikembalikan, sehingga hanya 100 skala yang dapat dianalisis karena skala tersebut diisi secara lengkap oleh subjek penelitian. Uji coba dalam penelitian ini menggunakan uji coba berjalan atau try out terpakai, dimana subyek uji coba juga sekaligus merupakan subyek penelitian itu sendiri. Hasil dari uji coba terhadap 60 butir ciri kepribadian Bem Sex Role Inventory diperoleh kisaran koefisien korelasi aitem total (rix) yang menunjukkan bahwa tidak semua butir – butir dalam skala tersebut lolos seleksi. Distribusi nilai koefisien korelasi aitem total (rix) pada tahap uji coba disajikan secara lengkap pada tabel 6 berikut ini: Tabel 6 Distribusi Koefisien Korelasi Aitem Total (rix) Try Out Penelitian Nomer Aitem
Koefisien Korelasi Aitem Total (rix) Try Out Penelitian
1
0,509*
21
0,360*
41
2
0,337*
22
0,531*
42
0,337*
3
0,428*
23
0,389*
43
0,530*
4
0,560*
24
0,066
44
0,633*
5
0,169
25
0,730*
45
0,450*
6
0,201*
26
0,595*
46
0,492*
7
0,486*
27
0,396*
47
0,315*
8
0,275*
28
0,437*
48
0,282*
9
0,326*
29
0,589*
49
0,669*
10
0,410*
30
0,301*
50
0,343*
11
0,592*
31
0,505*
51
0,239*
12
0,200*
32
0,485*
52
0,252*
13
0,617*
33
0,490*
53
0,357*
14
0,335*
34
0,443*
54
0,231*
15
0,449*
35
0,515*
55
0,504*
16
0,435*
36
0,159
56
0,496*
17
0,352*
37
0,501*
57
0,411*
18
0,297*
38
0,416*
58
0,457*
19
0,497*
39
0,458*
59
0,631*
0,536*
75
20
0,264*
40
0,483*
60
0,160
Koefisien korelasi aitem total tertinggi menunjukkan angka sebesar 0, 730 dan terendah sebesar 0, 066. Angka dengan tanda (*) adalah aitem yang memenuhi kriteria korelasi aitem total dan dinyatakan lolos seleksi. Taraf signifikansi untuk uji coba diatas adalah r
(0, 05: 100)
= 0,195. Dari sekitar 60 aitem
ciri kepribadian yang digunakan hanya 56 aitem yang dianggap memiliki koefisien korelasi aitem total yang memuaskan sisanya 4 aitem dinyatakan gugur. Nomor butir ciri kepribadian yang telah sahih dapat dilihat pada tabel 7 berikut ini: Tabel 7 Butir - butir Skala Bem Yang Sahih Setelah Uji Coba Nomor Aitem Skala Maskulin 1, 4, 7,10,13,16,19, 22, 25,28,31,34,37, 40,43,46,49, 52,55, 58.
Skala Feminin
Jumlah Skala Netral
2,8,11,14,17,20,23, 3, 6, 9,12,15,18, 21, 26,29,32,35,38,41, 27, 30,33,39,42, 45, 44,47,50,53,56,59. 48, 51,54,57.
56
3. Reliabilitas Konsep reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Hasil pengukuran dapat dipercaya hanya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah. Dalam hal ini relatif sama berarti tetap adanya toleransi terhadap perbedaan - perbedaan kecil diantara hasil beberapa pengukuran. Bila perbedaan
76
itu sangat besar dari waktu ke waktu maka hasil pengukuran tidak dapat dipercaya dan dikatakan sebagai tidak reliabel (Azwar, 2007).
a. Sebelum Adaptasi. Sebagai sebuah instrumen pengukuran Bem Sex Role Inventory telah terbukti memiliki reliabilitas yang baik dan dapat dipercaya. Hal ini terbukti dari pengujian reliabilitas yang dilakukan oleh Bem pada pengukuran skala BSRI tahun 1973. Bem menggunakan teknik koefisien alpha yang dikomputasi secara terpisah untuk skor - skor maskulin, feminin dan netral dari tiap subyek pada dua sampel normatif, yaitu mahasiswa Universitas Stanford dan Universitas Foothill. Hasil yang ditunjukkan adalah bahwa ketiga skor itu sangat reliabel, dengan koefisien α berkisar antara α = 0.70 sampai α = 0.86 dan reliabilitas perbedaan skor androgini berkisar antara α = 0.85 dan α = 0.86 untuk kedua sampel normatif. Bem melakukan pengukuran BSRI yang kedua pada sampel mahasiswa Stanford dengan jarak 4 minggu dari yang tes yang pertama. Bem kemudian mengkorelasikan hasil tes pertama dan kedua, hasilnya adalah bahwa keempat skor (maskulin, feminin, androgini, dan netral) yang didapat sangat reliabel berkisar antara r = 0.89 sampai r = 0. 93 (Bem, 1974).
b. Setelah Adaptasi. Pengukuran reliabilitas butir – butir dalam Bem Sex Role Inventory setelah adaptasi yaitu dengan menggunakan Alpha (α) dari Cronbach. Koefisien reliabilitas alpha Cronbach merupakan teknik pengukuran reliabilitas yang
77
memakai pendekatan konsistensi internal. Pendekatan konsistensi internal dalam estimasi reliabilitas dimaksudkan untuk menghindari masalah - masalah yang biasanya ditimbulkan oleh pendekatan tes ulang dan oleh pendekatan bentuk paralel. Dalam pendekatan konsistensi internal prosedurnya hanya memerlukan satu kali pengenaan sebuah tes kepada sekelompok individu sebagai subyek (single trial administration). Oleh karena itu pendekatan ini mempunyai nilai praktis dan efisiensi yang tinggi. Dalam aplikasinya, reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx’) yang angkanya berada dalam rentang angka 0 sampai 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitasnya mendekati 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitasnya sebaliknya koefisien reliabilitasnya semakin rendah mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitasnya (Azwar, 2003). Pengukuran reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan perhitungan reliabilitas koefisien alpha Cronbach (α) dengan menggunakan program SPSS versi 15. Pengujian reliabilitas alpha (α) terhadap 60 butir ciri kepribadian dilakukan terpisah untuk masing - masing skala. Koefisien reliabilitas α yang didapatkan untuk skala maskulin adalah sebesar 0, 885. Koefisien reliabilitas α yang didapatkan untuk skala feminin adalah 0,840 dan koefisien reliabilitas α yang didapatkan untuk skala netral adalah 0, 734. Dari hasil pengukuran reliabilitas dalam penelitian ini diperoleh koefisien reliabilitas yang dianggap cukup memuaskan (skala maskulin α = 0,885, skala feminin α = 0,840, skala netral α = 0,734) yang mana ketiganya mendekati angka 1, 00. Berarti dapat disimpulkan bahwa sebagai alat ukur Bem Sex Role Inventory (walau telah melewati proses adaptasi) tetap memiliki kekonsistenan dan
78
keterpercayaan hasil ukur yang baik dan cukup memadai untuk tujuan dari penelitian ini.
G. Analisis Data Untuk memperoleh kesimpulan yang tidak menyimpang dari tujuan penelitian maka dilakukan : a. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data yang akan dianalisis tersebut berdistribusi normal atau tidak (Nurgiyantoro, dkk, 2002). b. Uji Homogenitas Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah data varians yang diperoleh dari populasi bersifat homogen atau tidak (Nurgiyantoro,dkk, 2002). c. Analisis Data Secara Deskriptif Data penelitian ini akan dianalisis dan disajikan dalam bentuk statistik deskriptif, yaitu analisis yang bertujuan untuk menyajikan data yang bisa disajikan dalam bentuk tabel dan grafik; atau meringkas dan menjelaskan data dalam ukuran rata-rata, median, modus atau dalam bentuk variasi data. Pengujian ini dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS for windows versi 15. Mean empirik adalah rata - rata skor data penelitian. Mean empirik diperoleh dari angka yang merupakan data hasil penelitian dengan
79
menggunakan program SPSS versi 15. Sedangkan mean teoretik adalah rata - rata skor alat penelitian. Mean teoretik ini diperoleh dari angka yang menjadi titik tengah alat ukur penelitian. Penghitungan nilai teoretiknya dapat menggunakan rumus di bawah ini: µ
:
Mean teoretis, yaitu rata - rata teoretis dari skor maksimum dan skor
minimum. σ : Standard deviation, yaitu luas jarak sebaran yang dibagi dalam 6 satuan standard deviasi. X minimum teoretis : jumlah aitem X skor terendah yang mungkin diperoleh subjek pada skala. X maksimum teoretis : jumlah aitem X skor tertinggi yang mungkin diperoleh subjek dalam skala. Range : luas jarak sebaran antara nilai maksimum dan minimum.
Skor maksimum + Skor minimum Mean = 2
Skor maksimum – Skor minimum Standard deviasi =
6
80
d. Penentuan Cara Pengkategorisasian Peran Gender Skor maskulin dan skor feminin mengindikasikan tingkat dukungan diri seseorang terhadap karakter kepribadian maskulin dan feminin sebagai penggambaran dirinya. Jarak skor maskulin dan feminin bisa berkisar dari 1 sampai 7. Cara skoring yang dibuat oleh Bem dicetak kembali dengan persetujuan (Hyde; dalam Santrock, 2003) adalah sebagai berikut: 1) jumlahkan keseluruhan skor untuk aitem - aitem maskulin. Kemudian total skor dibagi 20. Itulah hasil skor maskulin, 2) jumlahkan keseluruhan skor untuk aitem - aitem feminin. Kemudian total skor dibagi dengan 20. Itulah hasil skor feminin, 3) kemudian digunakan teknik median split yaitu membagi dua bagian atas dasar mediannya (persentil 50) yang akan dipergunakan untuk menentukan tinggi rendahnya skor maskulin dan tinggi rendahnya skor feminin. Skala social desirability dalam BSRI digunakan sebagai skala tambahan yang mana tujuan penggunaan skala ini adalah hanya memberikan konteks netral bagi skala maskulin dan feminin. Skala ini pun dapat digunakan untuk mengukur tingkat social desirability seseorang. Cara menghitungnya adalah skor total netral dibagi 20, maka didapatkan skor social desirabilitynya. Jarak skor social desirability bisa berkisar dari 1 sampai 7. Angka 1 menunjukkan kecenderungan kuat orang tersebut mendeskripsikan diri ke arah yang tidak diinginkan secara sosial sedangkan angka 7 menunjukkan yang sebaliknya bahwa orang tersebut cenderung kuat dalam mendeskripsikan dirinya ke arah yang diinginkan secara sosial.
81
Kategorisasi peran gender dapat dibuat secara nominal (bukan jenjang). Menurut Azwar (2003) tujuan kategorisasi nominal adalah menempatkan individu ke dalam kelompok-kelompok diagnosis yang tidak memiliki makna “ lebih” dan “ kurang” atau “tinggi” dan “rendah”. Biasanya apabila kategori yang dikehendaki itu adalah kategori nominal maka tidak terletak pada suatu kontinum. Konstrak teoretis kategori seperti ini merupakan dimensi - dimensi yang terpisah, dapat kita lihat pada tabel 8 berikut ini: Tabel 8 Norma Kategorisasi Peran Gender Kategori
No. 1.
Maskulin = X ≥ Md skor skala maskulin
2.
Feminin = X ≥ Md skor skala feminin
3.
Undifferentiated = Md skor skala maskulin ≥ X ≤ Md skor skala feminin
4.
Androgini = Md skor skala maskulin ≤ X ≥ Md skor skala feminin
Selanjutnya kita mencari nilai median kelompok. Dalam penelitian ini ada 100 orang subjek yang berarti ada 100 skor hasil penelitian, maka median berada pada dua angka di tengah. Kedua angka tengah - tengah itu pada skala maskulin adalah pada bilangan ke- 50 dan ke- 51, yang dalam data itu adalah 3,9 dan 3,6 dan skala feminin adalah pada bilangan ke- 50 dan ke- 51 yang dalam data itu adalah 3,6 dan 4.
82
Perhitungannya adalah sebagai berikut: 3,9 + 3,6 Median skala maskulin
=
2
= 3,75
3,6 + 4 Median skala feminin
=
2
= 3,8
Sedangkan untuk mengukur tingkat social desirability subjek yaitu bagaimana subjek mendeskripsikan dirinya ke arah yang cenderung diinginkan secara sosial atau ke arah yang cenderung tidak diinginkan secara sosial. Caranya adalah dengan memakai median dalam menentukan tinggi rendah skor subjek. 4,47 + 3,76 Median skala netral
=
2
= 4,115
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Uji Normalitas Analisis statistik yang pertama dilakukan dalam rangka analisis data adalah analisis statistik yang berupa uji normalitas. Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian mengikuti kaidah kurva normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan model Kolmogorov – Smirnov Test pada program SPSS for windows versi 15.0. Syarat memiliki distribusi data yang normal adalah jika K-S Z memiliki nilai signifikansi lebih besar dari 0, 05 (p > 0, 05), tetapi jika nilai signifikansi K-S Z lebih kecil dari 0, 05 (p < 0, 05) maka distribusi data dikatakan tidak normal. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel 9 berikut ini: Tabel 9 Hasil Perhitungan Uji Normalitas Kolmogorov - Smirnov Maskulin
Feminin
Netral
K-S Z
0,994
0,486
0,714
Asymp.Sig (2-tailed)
0,276
0,972
0,688
Data maskulin mempunyai K-S Z = 0,994 dengan p = 0,276 (p > 0,05), kemudian data feminin mempunyai K-S Z = 0,486 dengan p = 0,972 (p > 0,05), dan data netral mempunyai K-S Z = 0,714 dengan p = 0,688 (p > 0,05). Dengan demikian hasil uji normalitas menunjukkan bahwa semua data penelitian pada
83
84
ketiga skala dalam Bem Sex Role Inventory tersebut mempunyai distribusi yang normal. Hasil uji normalitas selengkapnya dapat dilihat pada lampiran A.
2. Uji Homogenitas Uji homogenitas memiliki tujuan untuk menguji apakah data sampel penelitian berasal dari populasi yang memiliki varians sama atau tidak. Uji homogenitas dalam penelitian ini menggunakan One – Way ANOVA for Homogeneity of variance test dari program SPSS for windows versi 15.0. Homogenitas terpenuhi didasarkan pada besaran probabilitas (p). Apabila p > 0,05 maka data berasal dari populasi yang memiliki varians sama, tetapi apabila p < 0,05 maka data berasal dari populasi yang memiliki varians tidak sama. Hasil uji homogenitas dapat dilihat pada tabel 10 berikut ini: Tabel 10 Hasil Perhitungan Uji Homogenitas (Test of homogeneity of Variances)
Levene Statistic
df1
df2
Sig.
Maskulin
0,084
1
98
0,772
Feminin
0,006
1
98
0,939
Netral
0,010
1
98
0,920
Berdasarkan perhitungan uji homogenitas didapatkan probabilitas (p) untuk maskulin p = 0,772 (p > 0, 05), untuk feminin p = 0,939 (p > 0,05) dan untuk netral p = 0,920 (p > 0,05). Ini menunjukkan bahwa data yang digunakan
85
dalam penelitian ini berasal dari populasi yang memiliki varians yang sama. Selanjutnya kita lihat perhitungan dalam tabel 11 Anova berikut ini: Tabel 11 ANOVA Sum of Squares Maskulin
Feminin
Netral
Between Groups
df
Mean Square
5959,840
1
5959,840
Within Groups
18198,320
98
185,697
Total
24158,160
99
Between Groups
18,490
1
18,490
Within Groups
15912,020
98
162,368
Total
15930,510
99
497,290
1
497,290
Within Groups
8014,900
98
81,785
Total
8512,190
99
Between Groups
Untuk maskulin didapatkan nilai F
hitung
F
= 32,094 dengan F
Sig.
32,094
,000
,114
,736
6,080
,015
tabel (0,05:100)
=
3,94 (F hitung > F tabel) dan nilai sig. (0,000) < α (0,05), maka kelompok laki - laki dan perempuan memiliki rata - rata yang berbeda untuk maskulinitasnya. Untuk feminin didapatkan F
hitung
=0,114 (F
hitung
tabel)
dan nilai sig. (0,736) > α (0,
05), maka kelompok laki - laki dan perempuan memiliki rata - rata yang sama untuk femininitasnya. Selanjutnya untuk netral didapatkan F
hitung
=6,080 (F
hitung > F tabel) dan nilai sig. (0,015) < α (0, 05), maka kelompok laki - laki dan perempuan memiliki rata - rata yang berbeda untuk social desirability-nya. Hasil uji homogenitas selengkapnya dapat dilihat pada lampiran A.
86
3. Analisis Data Deskriptif Deskriptif data penelitian dapat memberikan informasi mengenai keadaan sampel yang diteliti. Analisis data deskriptif dilakukan untuk memperoleh gambaran umum dari keadaan data penelitian. Rangkuman deskripsi data penelitian dapat dilihat pada tabel 12 berikut ini: Tabel 12 Hasil Deskripsi Data Penelitian Data Maskulin X
X
Mean Sd
N = 100 min max Empirik
44
Teoretik 7
Data Feminin X
X
Data Netral
Mean Sd
min max
X
X
Mean Sd
min max
115
87,28 15,621 51
113
88,43 12,685 55
97
78,41 9,273
140
73,5
133
70
119
63
22,166 7
21
7
Dari hasil perhitungan menggunakan SPSS for Windows versi 15 didapatkan perhitungan statistik sebagai berikut. Untuk data maskulin, skor minimum empirik lebih besar daripada skor minimum teoretik (44 > 7), lalu skor maksimum empirik lebih kecil daripada skor maksimum teoretik (115 < 140), lalu mean empirik lebih besar daripada mean teoretik (87, 28 > 73,5) dan standar deviasi empirik lebih kecil daripada standar deviasi teoretiknya (15, 621 < 22,166). Hal ini menunjukkan bahwa nilai rata - rata kelompok data lebih tinggi dari nilai rata - rata teoretisnya, yang berarti subyek penelitian secara umum memiliki kecenderungan maskulinitas yang tinggi dan variasi tingkat jawaban subyek pada kelompok data lebih rendah daripada variasi tingkat jawaban teoretis.
18,666
87
Untuk data feminin, skor minimum empirik lebih besar daripada skor minimum teoretik (51 > 7), lalu skor maksimum empirik lebih kecil daripada skor maksimum teoretik (113 < 133), lalu mean empirik lebih besar daripada mean teoretik (88,43 > 70) dan standar deviasi empirik lebih kecil daripada standar deviasi teoretik (12,685 < 21). Hal ini menunjukkan bahwa nilai rata - rata kelompok data lebih tinggi dari nilai rata - rata teoretis, yang berarti subyek penelitian secara umum memiliki kecenderungan femininitas yang tinggi dan variasi tingkat jawaban subyek pada kelompok data lebih rendah daripada variasi tingkat jawaban teoretis. Untuk data netral atau data social desirability, skor minimum empirik lebih besar daripada skor minimum teoretik (55 > 7), lalu skor maksimum empirik lebih kecil daripada skor maksimum teoretik (97 < 115), lalu mean empirik lebih besar daripada mean teoretik (78, 41 > 63) dan standar deviasi empirik lebih kecil daripada standar deviasi teoretik (9,273 > 18,666). Hal ini menunjukkan bahwa nilai rata - rata kelompok data lebih tinggi dari nilai rata - rata teoretisnya, yang berarti subyek penelitian secara umum memiliki kecenderungan social desirability yang tinggi dan variasi jawaban subyek pada kelompok data lebih rendah daripada variasi tingkat jawaban teoretis. Selanjutnya dilakukan pengkodingan, masing - masing skor maskulin dan feminin dicocokkan dengan nilai median untuk memperoleh kode tertentu. Untuk skor maskulin dan feminin yang berada di atas nilai mediannya masing - masing diberi kode 2, sedangkan untuk skor maskulin dan feminin yang berada di bawah nilai mediannya masing-masing diberi kode 1. Kemudian untuk menentukan
88
peran gender dilakukan proses pengkodean kembali seperti terlihat pada tabel 13 berikut ini: Tabel 13 Pengkodean Peran Gender Kode
No.
Kode Akhir
Peran gender
Maskulin
Feminin
1.
2
2
3
Androgini
2.
2
1
2
Maskulin
3.
1
2
1
Feminin
4.
1
1
0
Undifferentiated
Untuk pengkodean dan pengelompokkan peran gender selengkapnya dapat dilihat pada lampiran B. Begitupun data tentang deskripsi social desirability subjek penelitian dapat dilihat pada lampiran B. Selanjutnya setelah melewati proses pengelompokkan subjek didapatkan data seperti terlihat dalam tabel 14 berikut ini: Tabel 14 Hasil Pengelompokan Peran Gender Peran Gender
Kelompok
Keseluruhan
Persentase
Laki-laki
Perempuan
Undifferentiated
1
2
3
3%
Feminin
4
17
21
21%
Maskulin
3
3
6
6%
Androgini
42
28
70
70%
Total
50
50
100
100%
89
Pada tabel di atas dapat kita lihat hasil pengelompokkan subyek penelitian yang berjumlah 100 orang ke dalam 4 peran gender yang berbeda berdasarkan median kelompok pada skala maskulin dan skala feminin. Pada peran gender undifferentiated didapatkan 3 orang subyek (3%) yaitu 1 orang laki - laki dan 2 orang perempuan yang memiliki skor maskulin dan feminin di bawah median. Ini berarti subyek dalam mengambarkan dirinya memiliki kecenderungan maskulin dan feminin yang sama - sama rendah atau dukungan diri subyek pada kedua karakteristik baik maskulin maupun feminin dalam dirinya adalah rendah. Pada peran gender maskulin didapatkan 6 orang subyek (6%) yaitu 3 orang laki - laki dan 3 orang perempuan yang memiliki skor maskulin di atas median dan skor feminin di bawah median. Ini berarti subyek dalam menggambarkan dirinya memiliki kecenderungan maskulin yang tinggi dan feminin yang rendah atau dukungan diri subyek pada karakteristik maskulin dalam dirinya lebih tinggi daripada karakteristik femininnya. Pada peran gender feminin didapatkan 21 orang subyek (21%) yaitu 4 orang laki - laki dan 17 orang perempuan yang memiliki skor maskulin di bawah median dan skor feminin di atas median. Ini berarti subyek dalam menggambarkan dirinya memiliki kecenderungan maskulin yang rendah dan feminin yang tinggi atau dukungan diri subyek pada karakteristik maskulin dalam dirinya lebih rendah daripada karakteristik femininnya. Pada peran gender androgini didapatkan 70 orang subyek (70 %) yaitu 42 orang laki laki dan 28 orang perempuan yang memiliki skor maskulin dan feminin di atas median.
Ini
berarti
subyek
dalam
menggambarkan
dirinya
memiliki
90
kecenderungan maskulin dan feminin yang sama - sama tinggi atau dukungan diri subyek pada karakteristik maskulin dan feminin dalam dirinya adalah tinggi.
91
B. Pembahasan Dari hasil analisis data deskriptif penelitian didapatkan bahwa untuk data maskulin mean empiriknya lebih besar daripada mean teoretiknya (87, 28 > 73,5). Hal ini menunjukkan bahwa nilai rata - rata kelompok data lebih tinggi dari nilai rata - rata teoretisnya, yang berarti subyek penelitian secara umum memiliki kecenderungan maskulinitas yang tinggi. Untuk data feminin mean empiriknya lebih besar daripada mean teoretiknya (88, 43 > 70). Hal ini menunjukkan bahwa nilai rata - rata kelompok data lebih tinggi dari nilai rata - rata teoretis, yang berarti subjek penelitian secara umum memiliki kecenderungan femininitas yang tinggi. Hal ini didukung pula dari hasil pengelompokkan peran gender dari 100 orang mahasiswa, yaitu 50 orang mahasiswa laki - laki dan 50 orang mahasiswa perempuan di fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Subyek yang memiliki peran gender androgini adalah sebesar 70%, terdiri dari 42 orang laki laki dan 28 orang perempuan. Sedangkan subyek yang memiliki peran gender maskulin adalah sebesar 6 %, terdiri dari 3 orang laki - laki dan 3 orang perempuan. Subyek yang memiliki peran gender feminin sebesar adalah 21% terdiri dari 4 orang laki - laki dan 17 orang perempuan. Selanjutnya subyek yang memiliki peran gender undifferentiated adalah sebesar 3 % terdiri dari 1 orang laki - laki dan 2 orang perempuan. Kesimpulan akhir yang didapat dari hasil pengukuran tentang androgenitas adalah bahwa mahasiswa laki – laki dan perempuan di fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang berusia 18 sampai 22 tahun (remaja akhir) cenderung memiliki peran gender androgini.
92
Erikson (dalam Santrock, 2003) mengemukakan bahwa pada masa remaja, individu mulai dihadapkan pada berbagai peran – peran dan tanggung jawab sebagai orang dewasa. Eksplorasi terhadap berbagai peran akan membuat individu lebih memahami diri dan berusaha membentuk identitas seperti apa yang ia inginkan, walaupun dalam prosesnya sendiri memakan waktu yang panjang dan menimbulkan banyak pertentangan maupun kebingungan. Peran gender adalah salah satu area yang dipilih individu untuk semakin memahami tentang diri, dimana pada masa remaja akhir, individu mulai cenderung menilai dan menetapkan ulang sikap dan perilaku gendernya. Hal ini terbukti dari hasil penelitian tentang androgenitas yang telah dilakukan pada mahasiswa dan mahasiswi fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma bahwa sekitar 70% mahasiswa ternyata cenderung memiliki peran gender androgini. Ini berarti bahwa sebagian besar individu telah memadukan sifat – sifat dan perilaku maskulin dan feminin, dan terbebas dari pembatasan gender mengenai jenis kelamin. Individu yang androgini akan cenderung lebih fleksibel dan mampu menempatkan diri dalam berbagai situasi sosial yang berbeda - beda. Masa remaja akhir adalah masa perkembangan dimana individu mulai meningkatkan fokus perhatian pada pilihan pekerjaan, gaya hidup maupun urusan asmara. Oleh karena itu fleksibilitas menjadi penting bagi individu, karena individu harus mampu untuk membuat keputusan yang tepat, menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul, dan mampu untuk menempatkan diri dalam berbagai situasi dengan baik. Menurut Adams, Gulotta dan Montemayor (dalam Santrock, 2003), individu yang dapat mengembangkan suatu identitas yang sehat
93
merupakan individu yang fleksibel dan dapat menyesuaikan diri, serta terbuka terhadap perubahan – perubahan yang terjadi dalam masyarakat, dalam hubungan, dan dalam karir. Bem (1977), dan Richmond - Abbott (1992) mengemukakan pula bahwa individu yang androgini terbebas dari pembatasan gender dan lebih leluasa memadukan perilaku maskulin dan feminin dalam berbagai situasi sosial yang berbeda. Individu androgini diindikasikan sebagai individu yang fleksibel, memiliki kompetisi sosial, dapat merespon situasi dengan perilaku yang dibutuhkan, lebih lengkap, dapat berkembang dan memaksimalkan potensi yang dimiliki, dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi dibanding peran gender lainnya. Dari hasil penelitian dan penjelasan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan yaitu remaja akhir yang dalam hal ini adalah mahasiswa dan mahasiswi fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, sebagian besar (70%) cenderung memiliki peran gender androgini. Hal itu berarti bahwa mahasiswa dan mahasiswi fakultas Psikologi memiliki sifat - sifat maskulin dan feminin yang seimbang dalam kepribadiannya. Sejalan dengan hal itu mereka akan mampu untuk menempatkan diri dalam berbagai situasi secara lebih fleksibel, dapat menyelesaikan setiap permasalahan
yang
muncul
dengan
matang
dan
bijaksana,
mampu
mengembangkan hubungan, sikap hangat dan menghargai lawan jenisnya, memiliki kompetisi sosial serta dapat merespon situasi dengan perilaku yang dibutuhkan, mampu memaksimalkan potensi yang dimiliki, mengembangkan
94
suatu identitas diri yang sehat, dan memiliki jiwa yang lebih sehat, bebas, dan seimbang.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Kesimpulan dalam penelitian ini dapat ditarik secara umum adalah bahwa mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang berusia 18 sampai 22 tahun pada umumnya memiliki peran gender androgini. Hal ini didasarkan pada hasil analisis data penelitian tentang androgenitas pada mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, yaitu bahwa sebesar 70 % dari keseluruhan subyek memperoleh skor maskulin dan feminin di atas median skor kelompoknya dan masuk dalam kategori androgini.
B. Saran Dari hasil penelitian dan kesimpulan tentang androgenitas di atas, maka dapat diberikan saran – saran sebagai berikut: 1. Bagi Mahasiswa Remaja Akhir Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa remaja akhir, yang berusia 18 sampai 22 tahun cenderung memiliki peran gender androgini. Akan tetapi masih ada sebagian kecil dari subjek penelitian yang memiliki peran gender yang lainnya. Diharapkan pada mahasiswa yang telah memiliki peran gender androgini untuk tetap mempertahankan keseimbangan sifat dan perilaku maskulin dan feminin dalam kepribadiannya, karena dengan
95
96
demikian mereka akan lebih mampu untuk berkembang secara alamiah dalam rangka mengembangkan suatu identitas diri yang sehat. Kefleksibilitasan yang dimiliki akan sangat membantu dalam menghadapi berbagai situasi maupun perubahan – perubahan dalam kehidupan mereka. Misalnya dalam hubungan dengan lawan jenis, dalam masyarakat, dalam urusan karir dan gaya hidup, dan masih banyak lagi. Bagi remaja akhir yang masih belum memiliki peran gender androgini diharapkan agar mahasiswa dapat mempertinggi taraf androgenitasnya. Hal itu dapat dicapai dengan terlebih dahulu memunculkan pemahaman tentang diri sendiri, tentang sifat – sifat peran dan identitas dirinya. Apakah sudah seperti yang diinginkan, pelajaran apa yang dapat diambil dari setiap kejadian, harapan – harapan apa yang masih ingin dicapai. Pertanyaan – pertanyaan itu akan mendorong individu (remaja) untuk menilai dan menetapkan ulang perilakunya, khususnya dalam area gender. Selanjutnya dengan berusaha mencoba atau mengeksplorasi berbagai kegiatan lintas peran jenis kelamin misalnya laki – laki belajar menari dan memasak atau perempuan belajar panjat tebing dan memperbaiki motor. Pilihan – pilihan bebas untuk lebih mengeksplorasi diri akan membuat individu lebih fleksibel dan dapat mengembangkan suatu identitas dan jiwa yang lebih sehat.
97
2. Bagi Orang Tua Dari hasil penelitian telah telihat bahwa sebagian besar mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma memiliki peran gender androgini (70%). Hal ini berarti di jaman modern seperti sekarang ini orang tua sudah lebih fleksibel dalam membentuk karakter anak sehubungan dengan gender. Karena peran gender androgini sekiranya dapat dicapai apabila orang tua memberikan pendidikan lewat tindakan dan contoh – contoh yang mengarah pada penyeimbangan sifat maskulin dan feminin. Hal tersebut akan membawa dampak positif bagi perkembangan kesehatan jiwa sang anak di kemudian hari. Akan tetapi sebagian kecil mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma masih memiliki peran gender maskulin, feminin dan undifferentiated. Hal ini berarti walaupun jaman telah berubah akan tetapi masih ada orang tua yang terikat oleh budaya dalam membentuk karakter anak. Mereka masih memberikan tindakan dan contoh perlakuan yang berbeda kepada anak laki – laki dan perempuan berdasarkan stereotipe budaya. Hal itu sangat merugikan perkembangan kesehatan jiwa anak di kemudian hari. Mereka akan cenderung terhambat atau kurang bebas dalam mengekspresikan diri karena terkungkung oleh batasan – batasan budaya tentang peran gender yang harus sesuai dengan jenis kelaminnya. Hal ini patutlah disadari oleh orang tua yang masih terikat oleh budaya untuk dapat
98
lebih
fleksibel
dalam
membentuk
karakter
anak
sehingga
perkembangan jiwa sang anak nantinya dapat lebih sehat dan bebas.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan penelitian tentang androgini dengan lebih luas dengan meninjau dari berbagai aspek, misalnya hubungan atau perbedaan yang dihubungkan dengan variabel lain. Dikarenakan penelitian ini masih hanya terbatas pada pemakaian skala aslinya saja, sehingga sebetulnya masih sangat banyak aspek yang bisa dieksplorasi oleh peneliti selanjutnya. Kiranya penelitian ini dapat dijadikan pijakan oleh peneliti selanjutnya untuk mengembangkan penelitian lebih banyak lagi tentang androgini agar pemahaman dan pengetahuan publik tentang androgini dapat semakin luas dan jelas.
99
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, I. (1997). Dari domestik ke publik: Jalan panjang pencarian identitas perempuan. In Irwan Abdullah (ed.), Sangkan Paran Gender (pp. 3 28). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Anonim. (1988). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen pendidikan dan kebudayaan: Balai Pustaka Azwar, S. (2003). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2007). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Beauvouir, S. (1989). The Second Sex: Fakta dan mitos. Surabaya: Pustaka Promethea. Bem, S.L. (1974). The measurement of psychological androgyny based on the personality research form. Journal of Consulting & Clinical Psychology, 42,155 - 162. Retrieved April 19, 2006, from http://www.psych.cornell.edu/sec/pubPeople/slb6/Measurement%20of %20Psychological%20Androgyny.pdf Bem, S. L. (1975). Sex role adaptability: One consequence of psychological androgyny. Journal of Personality and Social Psychological, Vol. 31, No. 4, p. 634 - 643. Retrieved April 19, 2006, from http://www.psych.cornell.edu/sec/pubPeople/slb6/Sex%20role%20ada ptability.pdf Bem, S. L. (1977). On the utility of alternative procedures for assessing psychological androgyny. Journal Consulting & Clinical Psychology, Vol. 45, No.2, p.196 - 205. Retrieved April 19, 2006, from
100
http://www.psych.cornell.edu/sec/pubPeople/slb6/On%20the%20utilit y.pdf Bem, S.L. (1979). The theory and measurement of androgyny: A reply to the Pendhazur - Tetenbaum and Locksley- Colten critiques. Journal of Personality and Social Psychology, 37, 1047 - 1054. Bem, S. L. (1983). Gender schema theory and its implication for child development: Raising gender- aschematic children in a genderschematic society. Journal of Women in Culture & Society, Vol. 8, p. 598 - 616. Retrieved April 19, 2006, from http://www.psych.cornell.edu/sec/pubPeople/slb6/Raising%20children. pdf Bem, S. L. (1985). Androgyny and gender schema theory: A conceptual and empirical integration. Nebraska Symposium on Motivation. Perspectives on Motivation (pp. 181 - 226). New York: University Cornell Press. Retrieved April 19, 2006, from http://www.psych.cornell.edu/sec/pubPeople/slb6/Androgyny%20and %20gender%20schema.pdf Brannon, L. (1996). Gender: Psychological perspectives. Boston: Allyn & Bacon, Simon & Schuster Company. Brislin, R. W. (1970). Backtranslation for cross cultural research. Journal of Cross Cultural Psychology. Vol 1, No. 2. September 1970. pp 185 216. Dariyo, A. (2004). Psikologi Perkembangan Remaja. Jakarta: Ghalia Indonesia.
101
Dewi, E. M. P. (2005). Gender dalam perspektif psikologi. Jurnal Psikodinamik, Vol. 7, No. 2, p. 86 -100. Echols, J. M., & Shadily, H. (2000). An English – Indonesian Dictionary. (25th ed.) Jakarta: Gramedia. Esposito, J. L. (1995). The Oxford Encyclopedia of The Modern World (2nd ed.). New York: Oxford University Press. Fakih, M. (1996). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Galliano, G. (2003). Gender: Crossing boundaries. California: Wadsworth: Thompson Learning. Hadi, S. (2004). Metodologi Research. Yogyakarta. Andi offset. Hall, C. S., & Lindzey, G. (1993). Psikologi Kepribadian I: Teori - teori psikodinamik (klinis). Yogyakarta: Kanisius. Hamid, H. (2005). Hubungan antara androgenitas dengan konflik peran ganda pada wanita. Jurnal Intelektual, Vol.3, No.2, p.129. Hardanti, Y. R. (2002). Dilema peran ganda: Suatu perspektif & analisis pemekerjaan wanita. Jurnal Antisipasi, Vol.6, No. 1, p.27. Hurlock, E.B. (1980). Psikologi Perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang hidup. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga. Ilham, A. (2001). Hubungan antara peran gender dengan pencapaian status identitas melalui aktivitas eksplorasi dan komitmen identitas bidang peran gender remaja akhir etnik Gorontalo. Jurnal Psikologi, Vol.7, No.1, p.33.
102
Illich, I. (1998). Matinya Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kimmel, D. C. (1974). Adulthood and Aging. New York: John Wiley & Sons, Inc. Kusujuarti, S. (1997). Antara ideologi dan transkrip tersembunyi: Dinamika hubungan gender dalam masyarakat Jawa. In Irwan Abdullah (ed.), Sangkan Paran Gender. (pp. 82 - 100). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lips, H. M. (1988). Sex and Gender: An introduction. California: Mayfield Publishing Company. Maulina, E. (1994). Hubungan peran jenis androgini & locus of control internal dan aspirasi pengembangan karir pada ibu bekerja. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Megawangi, R. (2001). Membiarkan Berbeda ? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender. Bandung: Penerbit Mizan. Nurgiyantoro, B., Gunawan., & Marzuki. (2002). Statistik Terapan Untuk Penelitian Ilmu – Ilmu Sosial. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Nuryoto, S. (2003). Manfaat penanaman sifat androgini pada anak sejak dini. Anima Indonesian Psychological Journal, Vol.19, No.1, p.20. Oxford, University. (2004). Oxford Learners Pocket Dictionary. (3rd ed.). United Kingdom: Oxford University Press. Raven, B. H., & Rubin, J. Z. (1983). Social Psychology (2nd ed.). New York: John Wiley & Sons, Inc.
103
Rice, F. P., & Dolgin, K. G. (2002). The Adolescent: Development, relationships, and culture (10th ed.). Boston: Allyn & Bacon, Appearson Education Company. Richmond - Abbott, M. (1992). Masculine and Feminine. New York: Mc Graw Hill, Inc. Santrock, J. W. (2002). Life – Span Development: Perkembangan masa hidup. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga. Santrock, J. W. (2003). Adolescence: Perkembangan remaja. Edisi keenam. Jakarta: Erlangga. Sari, H. O. (1995). Peran jenis androgini & kecenderungan perilaku pengambilan resiko pada polisi berpangkat bintara. Skripsi. Yogyakarta: Fak. Psikologi UGM. Sarwono. (2007). Psikologi Remaja. Jakarta: CV Rajawali. Sebatu, A. (1994). Psikologi Jung: Aspek wanita dalam kepribadian manusia. Jakarta: Gramedia. Sudewa, A. (1991). Serat Panitisastra: Tradisi resepsi dan transformasi. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Suwarno, B. (2004). Jender, Androgini, dan Transeksual, Jangan Tercampur Aduk.
Kompas
News.
Retrieved
April19,
2006,
from
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/21/swara/1630434.htm Suryabrata, S. (1998). Metodologi Penelitian. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. Spence, J.T., & Helmreich, R.L Stapp, J. (1975). Rating of self and sex role attributes and their relation on self esteem and conceptions of
104
masculinity and feminity. Journal Personality and Social Psychology, 32, 29 - 39.
LAMPIRAN A • •
ANGKET PENELITIAN (SKALA BEM)
RELIABILITAS ALPHA CRONBACH & DATA KORELASI ITEM TOTAL •
DATA SKALA MASKULIN •
DATA SKALA FEMININ
•
DATA SKALA NETRAL
106
SKALA BEM
Saya meminta kesediaan teman - teman mahasiswa di fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma untuk berpartisipasi mengisi skala ini untuk keperluan pengumpulan data penelitian yang saya lakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur aspek tertentu dari kepribadian mahasiswa yang berusia 18 sampai 22 tahun.
PETUNJUK: Berikut ini ada sejumlah pertanyaan mengenai sifat - sifat kepribadian yang dimiliki seseorang. Saudara diminta untuk memberikan penilaian terhadap 60 sifat dalam skala ini untuk melukiskan kepribadian diri Saudara, dengan cara menuliskan angka 1 sampai 7 sesuai dengan kesesuaian sifat itu dengan kepribadian Saudara pada kolom jawaban yang telah tersedia. Usahakan agar tidak ada satupun butir sifat yang terlewatkan. Dalam hal ini tidak ada jawaban baik atau buruk, benar atau salah. Kolom jawaban terdiri atas 7 jawaban angka. Masing - masing angka memiliki maknanya sendiri - sendiri seperti dibawah ini: 1 Tidak
2
4
Kadang-
Kadang-
pernah atau tidak
kadang
kadang
Hampir
tapi
benar
tidak
Biasanya
3
benar (20 - 30%)
jarang
pernah
sekali
benar
benar
(0 - 10%)
(40 - 50%)
(50 - 60%)
5
6
Sering benar
Biasanya
Selalu
benar
atau
(70%)
7
(80%)
Hampir
Biasanya : lebih sering
dari =
sudah lazim.
selalu benar (90 100%)
107
Contoh soal beserta jawabannya adalah sebagai berikut: “Apabila Saudara merasa biasanya spontan, tidak pernah licik, selalu baik dan kadang - kadang acuh tak acuh”, maka saudara akan mengisikan angka - angka sebagai berikut:
1.
Spontan
6
2.
Licik
1
3.
Baik
7
4.
Acuh tak acuh
4
Atas bantuan dan kesediaan teman - teman untuk mengisi skala ini apa adanya, saya ucapkan banyak terima kasih.
Penyusun, Natalia R. Devi. S
108
Nama / inisial : Jenis kelamin : Usia
: Tuliskan angka 1 sampai 7 sesuai kriteria didepan untuk menunjukkan
kesesuaian masing - masing sifat dengan diri Anda ! 1.
Percaya diri
31. Mudah mengambil keputusan
2.
Mengalah
32. Mudah merasa kasihan
3.
Suka menolong
33. Tulus
4.
Mempertahankan
34. Dapat mencukupi kebutuhan
keyakinan sendiri 5.
Riang gembira
sendiri 35. Ingin menghibur perasaan yang terluka
6.
Suka murung
36. Angkuh
7.
Mandiri
37. Dominan
8.
Pemalu
38. Berbicara lembut
9.
Berhati-hati
39. Menyenangkan
10.
Atletis
40. Maskulin
11.
Penuh kasih sayang
41. Hangat
12.
Bertingkah laku yang
42. Serius
dibuat-buat 13.
Asertif atau tegas
43. Mau memegang teguh suatu sikap
14.
Senang disanjung
44. Berhati lembut
15.
Bahagia
45. Ramah
16.
Kepribadian yang kuat
46. Agresif
17.
Setia
47. Mudah tertipu
18.
Susah diramalkan
48. Tidak efisien
19.
Kuat
49
Bertindak sebagai pemimpin
109
20.
Feminin
50. Polos
21.
Dapat dipercaya
51. Dapat menyesuaikan diri
22.
Analitis
52. Individualistis
23.
Simpatik
53. Tidak menggunakan bahasa yang kasar
24.
Iri hati atau cemburu
54. Tidak sistematis
25.
Memiliki kemampuan
55. Suka berkompetisi
kepemimpinan 26.
Peka terhadap kebutuhan
56. Mencintai anak-anak
orang lain 27.
Jujur
57. Bijaksana
28.
Mau mengambil resiko
58. Ambisius
29.
Penuh pengertian
59. Lemah lembut
30.
Suka berahasia
60. Konvensional @ TERIMAKASIH @
LAMPIRAN B • • •
UJI NORMALITAS
UJI HOMOGENITAS & ANOVA DATA DESKRIPTIF PENELITIAN
LAMPIRAN C •
DATA PENGELOMPOKKAN PERAN GENDER • •
DATA SOCIAL DESIRABILITY
SURAT KETERANGAN PENELITIAN
154
DATA PENGELOMPOKAN PERAN GENDER Subjek 1 = Laki-laki Subjek 2 = Perempuan Md maskulin = 3,75; Md feminin = 3,8 No.
Jenis
Maskulin
Feminin
Kode 1
Kode 2
Kela
Kode
Kategori
akhir
min 1.
1
5,3
5,684211
2
2
3
Androgini
2.
1
4,85
4,105263
2
2
3
Androgini
3.
1
5,45
5,947368
2
2
3
Androgini
4.
1
3,8
4,578947
2
2
3
Androgini
5.
1
4,75
4,157895
2
2
3
Androgini
6.
1
5,4
4,368421
2
2
3
Androgini
7.
1
4,85
4,789474
2
2
3
Androgini
8.
1
4,8
4,631579
2
2
3
Androgini
9.
1
5,5
4,947368
2
2
3
Androgini
10.
1
5,1
4,736842
2
2
3
Androgini
11.
1
3,3
4,157895
1
2
1
Feminin
12.
1
4,85
2,789474
2
1
2
Maskulin
13.
1
5,25
5,315789
2
2
2
Androgini
14.
1
5,25
5,526316
2
2
3
Androgini
15.
1
4,65
4,315789
2
2
3
Androgini
155
16.
1
5,75
4,684211
2
2
3
Androgini
17.
1
5,05
5,736842
2
2
3
Androgini
18.
1
5,35
4,894737
2
2
3
Androgini
19.
1
5,15
5,421053
2
2
3
Androgini
20.
1
4,6
4,789474
2
2
3
Androgini
21.
1
4,75
3,894737
2
2
3
Androgini
22.
1
4,15
4,210526
2
2
3
Androgini
23.
1
5,6
4
2
2
3
Androgini
24.
1
5,65
4,315789
2
2
3
Androgini
25.
1
4,05
4,263158
2
2
3
Androgini
26.
1
5,05
5,157895
2
2
3
Androgini
27.
1
5,1
5,473684
2
2
3
Androgini
28.
1
4,2
4,526316
2
2
3
Androgini
29.
1
5,6
4,526316
2
2
3
Androgini
30.
1
4,45
5,157895
2
2
3
Androgini
31.
1
4,9
5,105263
2
2
3
Androgini
32.
1
5,1
5,578947
2
2
3
Androgini
33.
1
4,95
4,842105
2
2
3
Androgini
34.
1
4,85
5,315789
2
2
3
Androgini
35.
1
5,25
4,684211
2
2
3
Androgini
36.
1
4,65
4,263158
2
2
3
Androgini
37.
1
3,3
4,631579
1
2
1
Feminin
156
38.
1
3,9
2,684211
2
1
2
Maskulin
39.
1
3,15
3,684211
1
1
0
Undifferentiated
40.
1
4,9
4,421053
2
2
3
Androgini
41.
1
5,3
5,315789
2
2
3
Androgini
42.
1
4,2
4
2
2
3
Androgini
43.
1
3,3
4,578947
1
2
1
Feminin
44.
1
3,7
4,684211
1
2
1
Feminin
45.
1
4,7
4,105263
2
2
3
Androgini
46.
1
5,55
5,263158
2
2
3
Androgini
47.
1
5,1
4,473684
2
2
3
Androgini
48.
1
4,4
4,210526
2
2
3
Androgini
49.
1
4,8
5
2
2
3
Androgini
50.
1
3,9
3,631579
2
1
2
Maskulin
51.
2
3,6
4
1
2
1
Feminin
52.
2
3,5
4,263158
1
2
1
Feminin
53.
2
3,55
5,789474
1
2
1
Feminin
54.
2
4,6
4,947368
2
2
3
Androgini
55.
2
4,95
5,210526
2
2
3
Androgini
56.
2
4,05
5,631579
2
2
3
Androgini
57.
2
4,3
4,263158
2
2
3
Androgini
58.
2
2,45
4,421053
1
2
1
Feminin
59.
2
3,75
4,368421
2
2
3
Androgini
157
60.
2
4,15
4,473684
2
2
3
Androgini
61.
2
5,15
4,842105
2
2
3
Androgini
62.
2
4
3,736842
2
1
2
Maskulin
63.
2
3,85
4,842105
2
2
3
Androgini
64.
2
2,95
3,368421
1
1
0
Undifferentiated
65.
2
4,15
5
2
2
3
Androgini
66.
2
4,45
4,789474
2
2
3
Androgini
67.
2
4,4
4,894737
2
2
3
Androgini
68.
2
4,75
4,789474
2
2
3
Androgini
69.
2
3,8
3,947368
2
2
3
Androgini
70.
2
3,2
4,473684
1
2
1
Feminin
71.
2
3,2
5,368421
1
2
1
Feminin
72.
2
5,55
5,736842
2
2
3
Androgini
73.
2
3,5
4,526316
1
2
1
Feminin
74.
2
3,25
3,842105
1
2
1
Feminin
75.
2
3,15
5,421053
1
2
1
Feminin
76.
2
4,3
5,263158
2
2
3
Androgini
77.
2
5,05
2,947368
2
1
2
Maskulin
78.
2
3,3
3,421053
1
1
0
Undifferentiated
79.
2
3,65
4,263158
1
2
1
Feminin
80.
2
3,95
5,263158
2
2
3
Androgini
81.
2
3,95
4,684211
2
2
3
Androgini
158
82.
2
3,7
4,157895
1
2
1
Feminin
83.
2
4,15
5,052632
2
2
3
Androgini
84.
2
3,8
5,473684
2
2
3
Androgini
85.
2
4,15
4,315789
2
2
3
Androgini
86.
2
4,75
4,631579
2
2
3
Androgini
87.
2
3,6
5,052632
1
2
1
Feminin
88.
2
4,15
3,894737
2
2
3
Androgini
89.
2
2,2
4,157895
1
2
1
Feminin
90.
2
4,8
5,736842
2
2
3
Androgini
91.
2
3,7
4,789474
1
2
1
Feminin
92.
2
4,4
4,947368
2
2
3
Androgini
93.
2
3,45
4,684211
1
2
1
Feminin
94.
2
3,3
4,684211
1
2
1
Feminin
95.
2
4,9
5,263158
2
2
3
Androgini
96.
2
4,5
3,684211
2
1
2
Maskulin
97.
2
3,4
4,842105
1
2
1
Feminin
98.
2
5,05
5,842105
2
2
3
Androgini
99.
2
4,4
4,684211
2
2
3
Androgini
100.
2
4,05
5,157895
2
2
3
Androgini
159
DATA SOCIAL DESIRABILITY Subjek 1 = Laki-laki Subjek 2 = Perempuan Md netral = 4,115 No.
Jenis
Skor Netral
Deskripsi Diri Subjek
Kelamin 1.
1
5,176471
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
2.
1
4,705882
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
3.
1
5,529412
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
4.
1
5,176471
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
5.
1
4,588235
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
6.
1
4,647059
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
7.
1
5,235294
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
8.
1
5
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
9.
1
5,117647
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
10.
1
4,647059
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
11.
1
4,235294
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
12.
1
3,529412
Cenderung ke arah yang tidak diinginkan secara sosial.
13.
1
4,764706
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
14.
1
5,294118
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
15.
1
4,529412
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
16.
1
5
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
160
17.
1
5,705882
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
18.
1
5,117647
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
19.
1
5,352941
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
20.
1
4,352941
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
21.
1
4,705882
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
22.
1
4,411765
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
23.
1
5,529412
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
24.
1
4,411765
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
25.
1
4,117647
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
26.
1
5,470588
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
27.
1
5,529412
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
28.
1
4,647059
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
29.
1
5,176471
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
30.
1
4,823529
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
31.
1
5,117647
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
32.
1
5,411765
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
33.
1
5,117647
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
34.
1
4,647059
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
35.
1
4,352941
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
36.
1
4, 941176
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
37.
1
4,705882
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
38.
1
3,352941
Cenderung ke arah yang tidak diinginkan secara sosial.
161
39.
1
3,764706
Cenderung ke arah yang tidak diinginkan secara sosial.
40.
1
3,235294
Cenderung ke arah yang tidak diinginkan secara sosial.
41.
1
5,294118
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
42.
1
4,235294
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
43.
1
4,588235
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
44.
1
4,764706
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
45.
1
4,647059
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
46.
1
4,647059
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
47.
1
4,176471
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
48.
1
4,470588
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
49.
1
4,705882
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
50.
1
4,470588
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
51.
2
3,764706
Cenderung ke arah yang tidak diinginkan secara sosial.
52.
2
3,941176
Cenderung ke arah yang tidak diinginkan secara sosial.
53.
2
4,529412
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
54.
2
4,823529
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
55.
2
4,470588
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
56.
2
5
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
57.
2
4,117647
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
58.
2
3,647059
Cenderung ke arah yang tidak diinginkan secara sosial.
59.
2
4,588235
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
60.
2
4,352941
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
162
61.
2
4,588235
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
62.
2
3,647059
Cenderung ke arah yang tidak diinginkan secara sosial.
63.
2
4,529412
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
64.
2
3,529412
Cenderung ke arah yang tidak diinginkan secara sosial.
65.
2
5,294118
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
66.
2
4,117647
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
67.
2
5
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
68.
2
4,647059
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
69.
2
4,411765
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
70.
2
3,823529
Cenderung ke arah yang tidak diinginkan secara sosial.
71.
2
5
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
72.
2
5,470588
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
73.
2
4,411765
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
74.
2
4,058824
Cenderung ke arah yang tidak diinginkan secara sosial.
75.
2
4,764706
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
76.
2
5,176471
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
77.
2
3,882353
Cenderung ke arah yang tidak diinginkan secara sosial.
78.
2
3,764706
Cenderung ke arah yang tidak diinginkan secara sosial.
79.
2
3,647059
Cenderung ke arah yang tidak diinginkan secara sosial.
80.
2
4,117647
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
81.
2
4,470588
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
82.
2
4,117647
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
163
83.
2
4,352941
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
84.
2
5
Cenderung ke arah yang diinginkan secara sosial.
85.
2
4,352941
Cenderung kearah yang diinginkan secara sosial.
86.
2
5
Cenderung kearah yang diinginkan secara sosial.
87.
2
4,941176
Cenderung kearah yang diinginkan secara sosial.
88.
2
4,176471
Cenderung kearah yang diinginkan secara sosial.
89.
2
4,058824
Cenderung kearah yang tidak diinginkan secara sosial.
90.
2
5,058824
Cenderung kearah yang diinginkan secara sosial.
91.
2
4,823529
Cenderung kearah yang diinginkan secara sosial.
92.
2
5,294118
Cenderung kearah yang diinginkan secara sosial.
93.
2
4,529412
Cenderung kearah yang diinginkan secara sosial.
94.
2
4,470588
Cenderung kearah yang diinginkan secara sosial.
95.
2
5,058824
Cenderung kearah yang diinginkan secara sosial.
96.
2
3,941176
Cenderung kearah yang tidak diinginkan secara sosial.
97.
2
4,705882
Cenderung kearah yang diinginkan secara sosial.
98.
2
5,411765
Cenderung kearah yang diinginkan secara sosial.
99.
2
4,529412
Cenderung kearah yang diinginkan secara sosial.
100. 2
4,647059
Cenderung kearah yang diinginkan secara sosial.