Studi Deskriptif Mengenai Altruisme pada Mahasiswa Psikologi Universitas “X” Bandung
Isnaini Nursanti, Evany Victoriana, M.Psi., Psikolog dan Cakrangadinata, M.Psi. Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Maranatha, Bandung
Abstract This study aims to get an overview of The Degree of Altruism of psychology students in University “X” Bandung. This study uses descriptive design and stratified sampling technique. A questionnaire is made and administered to a total of 325 psychology students. The measuring instrument used in this study is constructed by the researcher, based on Altruism theory by Smith (2011). Validity is measured by using Construct Validity technique with Spearman formula, while reliability is tested by using Split Half technique. Validity calculation discovers 43 valid items with validity coefficient ranging from 0.340 to 0.692. Reliability is measured and it is discovered that the coefficient reliability is 0.957, which means that the measuring instrument is reliable.The data are calculated by using frequency distribution method and it is concluded that a total of 55.4% psychology students has a low degree of altruism, and a total of 44.6% psychology students has a high degree of altruism. Based on its aspects, psychology students whose degree in altruism is low, have a high degree of concern,a high degree of empathy, but a low degree of cost, a low degree of benefit to recipient, and a low degree of ease of escape. Psychology students whose degree in altruism is high also have a high degree of concern, cost, benefit to recipient, empathy, and ease of escape. For further study, it is suggested conducting a research regarding the correlation between altruism and the factors that influence it, particularly the type of parenting that psychology students experience. Keywords: altruism, psychology students, concern, cost, benefit to recipent, ease of escape.
I."
Pendahuluan
Manusia adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat. Artinya, manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Dengan pertolongan orang lain, manusia dapat mengembangkan seluruh potensi dirinya dan hal tersebut dapat berguna bagi masyarakat luas (Bierhoff, 2002). Psikologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang manusia, yang berfokus pada perilaku dan proses mental, serta penerapan ilmu tersebut dalam kehidupan manusia melalui bidang pendidikan, perkembangan, kesehatan, industri, dan pelayanan sosial. Ilmu Psikologi cukup erat kaitannya dengan tolong-menolong antar manusia, karena pada dasarnya psikologi didirikan, selain untuk mempelajari dan memahami seluk-beluk manusia, juga agar ilmu yang dipelajari tersebut dapat diamalkan melalui salah satunya dengan menolong klien. Seperti halnya yang tertera pada buku kode etik HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia) Juni 2010. Pasal 1, yaitu layanan psikologi meliputi segala aktifitas pemberian jasa dan praktik psikologi dalam rangka menolong individu dan/atau kelompok yang dimaksudkan untuk pencegahan, pengembangan, dan penyelesaian masalah-masalah psikologis (HIMPSI, 2010). Di dalam fakultas Psikologi, setiap mata kuliah yang diberikan bertujuan agar mahasiswa memahami latar belakang seseorang, yaitu dari segi keadaan psikis, fisik, kepribadian, kemampuan, latar belakang budaya, dan lainnya sehingga mahasiswa dapat memahami alasan dibalik masalah yang dialami seseorang. Hal tersebut mengajarkan mahasiswa untuk memahami individu secara menyeluruh. Segala kegiatan perkuliahan tersebut dapat mengasah empati mahasiswa, yang kemudian empati tersebut dapat meningkatkan motivasi mahasiswa untuk melakukan perilaku menolong yang 129
Zenit Volume 3 Nomor 2 Agustus 2014
lebih dalam yang memang benar-benar dilakukan karena ingin meringankan beban orang lain (Sears, 2006). Seperti halnya yang diungkapkan Batson (2011) bahwa empati dapat menunjang timbulnya motivasi untuk melakukan altruisme. Altruisme adalah perilaku yang dilakukan dengan sengaja ditujukan untuk menguntungkan orang lain, yang dilakukan diluar tugas-tugas yang berkaitan dengan peran dan kewajiban yang dimilikinya (i.e keluarga atau pekerjaan) (Smith 2011). Di Fakultas Psikologi Universitas “X”, para mahasiswa tidak hanya melibatkan diri secara akademik, namun juga secara sosial. Pada umumnya, memang sebagian besar mahasiswa psikologi tidak hanya melibatkan dirinya sebatas dalam kegiatan di kampus, namun dari hasil observasi tampak bahwa sebagian besar mahasiswa lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berkegiatan di lingkungan kampus, yaitu untuk hal-hal seputar kegiatan perkuliahan, ekstrakulikuler, dan kegiatan organisasi. Perilaku menolong yang mahasiswa lakukan sebagian besar adalah seputar hal-hal yang tadi disebutkan. Walaupun demikian mereka pun tidak lepas dari adanya kegiatan-kegiatan sosial yang diadakan kampus, di luar kampus, maupun dalam kehidupannya sehari-hari. Selain mata kuliah - mata kuliah yang dapat meningkatkan empati, kegiatan-kegiatan sosial, organisasi, dan sehari-hari pun dapat mengasah empati mahasiswa psikologi. Dari hasil survey terhadap 37 orang mahasiswa psikologi, tampak bahwa terdapat responden yang melakukan perilaku menolong, dan terdapat pula responden yang lain, cenderung memilih untuk tidak memberi pertolongan. Perilaku menolong yang dilakukan responden adalah contohnya membeli barang jualan teman walaupun mereka sebenarnya tidak membutuhkannya, namun mereka lakukan karena iba. Lalu seperti mencetak (print) laporan teman yang tidak dapat kuliah karena sakit, dan mengumpulkannya. Kemudian seperti membantu teman dalam memenuhi salah satu tuntutan tugas perkuliahan, seperti dengan sengaja meluangkan waktu untuk membantu mengerjakan tugas, membantu memahami materi, hingga mengorbankan waktunya, padahal orang tersebut tidak memiliki tugas tersebut. Selain itu dengan sengaja meluangkan waktu untuk hal-hal yang berkaitan dengan membantu teman meningkatkan percaya dirinya, mendengarkan keluh kesah, dan lainnya. Secara umum, walaupun perilaku menolong yang dilakukan adalah perilaku yang sifatnya harian hal tersebut masih dapat dikatakan perilaku altruistik (perilaku menolong yang bersifat altruisme). Seperti halnya menurut Oliner, 2002 (dalam Underwood, 2009), bahwa altruisme sendiri tidaklah selalu harus merupakan hal-hal yang ekstrim, namun dapat berupa kegiatan yang sifatnya konvensional (seharihari) hingga yang sifatnya ekstrim. Disamping mahasiswa-mahasiswa yang melakukan perilaku altruistik tersebut, tidak dapat dipungkiri terdapat juga mahasiswa-mahasiswa yang lebih memilih untuk tidak melakukan perilaku altruistik. Sebagian besar mahasiswa yang peneliti survey, mengatakan bahwa masih banyak terdapat kelompok-kelompok pada responden. Walaupun mahasiswa berteman dengan semua orang, namun tidak dipungkiri bahwa mahasiswa tertentu lebih sering menghabiskan waktunya untuk berteman dan bergaul hanya dengan beberapa orang saja yang mereka inginkan, dan hal tersebut menjadikan mereka tampak memiliki kelompok masing-masing. Diungkapkan bahwa responden dalam kelompok tertentu hanya mau menolong mahasiswa yang satu kelompok dengan dirinya. Seperti contohnya ketika teman yang bukan kelompoknya memerlukan suatu bahan kuliah, orang tersebut tidak memberikan bahan ataupun ketika memberikan bahan tidak semuanya diberikan. Kecenderungan mahasiswa psikologi dalam melakukan perilaku altruistik saat kuliah dapat menjadi salah satu hal yang mendukung bagi perkembangan altruisme pada mahasiswa psikologi sebagai emerging adult. Emerging adult adalah tahap perkembangan dimana individu berusia 18 s/d 29 tahun. Individu dengan rentang usia 18 s/d 29 tahun yang sedang mengikuti pendidikan di perguruan tinggi adalah indikator bahwa individu tersebut merupakan emerging adult (Arnett, 2011). Selain itu, nilai-nilai altruisme tersebut juga berguna ketika sudah lulus dan menjadi seorang Sarjana Psikologi dan dalam menjalani karier maupun kehidupannya kelak. Gelar tersebut mencerminkan bahwa individu memiliki kompetensi di bidang psikologi, dan nilai altruisme tersebut merupakan salah satu hal yang dimiliki bila individu menginternalisasi nilai-nilai empati yang disampaikan selama kuliah. Bila mahasiswa psikologi, kelak sebagai sarjana tidak memiliki nilai-nilai altruisme, maka hal yang berkemungkinan untuk muncul adalah nilai-nilai yang lebih bersifat egoistic, contohnya seperti mengutamakan keuntungan diri sendiri dan kurang memperhatikan kesejahteraan orang lain (Batson, 2011). Menurut Smith (2011), Altruisme ini terdiri atas aspek concern, cost, benefit to recipient, empathy, dan ease of escape. Mahasiswa psikologi yang memiliki derajat altruisme tinggi akan 130
Studi Deskriptif Mengenai Altruisme pada Mahasiswa Psikologi Universitas “X” Bandung (Isnaini Nursanti, Evany Victoriana, dan Cakrangadinata)
melakukan perilaku menolong karena mereka memang ingin meringankan beban orang yang ditolong (concern tinggi); sering melakukan pengorbanan ketika menolong, baik itu berupa material seperti waktu, fisik, maupun emosional (cost tinggi); sering melakukan pertolongan yang bermanfaat bagi orang yang ditolongnya, baik bermanfaat dalam segi material, fisik, emosional, maupun spiritual (benefit to recipient tinggi); memiliki empati terhadap orang yang ditolong (empathy tinggi) sehingga mahasiswa psikologi akan merasa tidak tega, berat hati, untuk menolak maupun acuh ketika ada orang lain yang tampak membutuhkan bantuan (ease of escape tinggi). Hal yang sebaliknya terjadi pada mahasiswa psikologi yang memiiki derajat altruisme yang rendah. Mahasiswa psikologi yang memiliki derajat altruisme rendah akan menolong dengan motif yang mengarah kepada keuntungan pribadi (concern rendah); jarang melakukan pengorbanan ketika menolong (cost rendah); jarang melakukan pertolongan yang begitu bermanfaat bagi orang yang ditolongnya (benefit to recipient rendah); Mereka pun juga kurang memiliki empati (empathy rendah) sehingga dapat menolak ataupun menghindar ketika ada orang lain yang tampak membutuhkan bantuan tanpa merasakan perasaan seperti tidak tega, bersalah, menyesal (ease of escape rendah). Faktor yang mempengaruhi altruisme adalah: 1) Karakteristik demografis yaitu jenis kelamin & usia. Perempuan lebih sering melakukan perilaku altruistik karena perempuan memiliki empati yang lebih dibandingkan laki-laki. Kemudian semakin bertambahnya usia, semakin meningkat pula kecenderungan individu untuk melakukan perilaku altruistik; 2) Pola asuh (authoritarian, authoritative, permissive,& uninvolved). Diantara keempat pola pengasuhan tersebut, pola asuh yang paling mendukung perkembangan altruisme adalah Authoritative; 3) Modeling. Bila orang tua merupakan figur yang memiliki kecenderungan prososial, maka anak akan cenderung mengidentifikasinya; 4) Tipe kepribadian (Ekstrovert - Introvert). Individu yang extrovert lebih banyak menolong dibandingkan individu dengan kepribadian yang introvert karena extrovert lebih banyak terlibat secara sosial sedangkan individu yang introvert akan cenderung lebih menolong secara pasif, seperti contohnya memberi tahu orang lain untuk menolong orang lain. Berdasarkan fenomena dan hasil survey yang telah dijabarkan peneliti bermaksud meneliti tentang seberapa tinggi derajat altruisme yang dimiliki mahasiswa psikologi Universitas “X” Bandung. Asumsi penelitian ini adalah bahwa 1) derajat altruisme pada mahasiswa psikologi dapat terukur melalui 5 aspek yaitu concern, cost, benefit to recipient, empathy, dan ease of escape. 2) Derajat altruisme yang dimiliki mahasiswa psikologi dapat bervariasi. 3) Faktor-faktor yang mempengaruhi altruisme pada mahasiswa psikologi adalah karakteristik demografis seperti jenis kelamin & usia, kemudian pola asuh, modeling, dan tipe kepribadian (Ekstrovert - Introvert).
II."
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu studi yang bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai gambaran dari situasi, masalah, atau fenomena tertentu (Kumar, Ranjit., 1996). Teknik sampling yang digunakan adalah Stratified Sampling. Dalam penelitian ini ingin diketahui mengenai gambaran derajat Altruisme, meliputi aspek concern, cost, benefit to recipient, empathy, dan ease of escape pada 325 orang mahasiswa psikologi di Universitas “X” Bandung. Concern adalah seberapa sering mahasiswa psikologi melakukan pertolongan dengan mengutamakan kepentingan orang lain, tanpa mengharapkan imbalan. Cost adalah seberapa sering mahasiswa psikologi melakukan pengorbanan berupa materi, emosional, dan adanya kelelahan secara fisik ketika menolong orang lain. Benefit to recipient adalah seberapa sering mahasiswa psikologi memberikan pertolongan yang bermanfaat dalam hal fisik, material, emosional, dan spiritual. Empathy adalah seberapa sering mahasiswa psikologi memahami perspektif dari orang yang sedang membutuhkan dan peduli akan kondisi orang tersebut. Ease of Escape adalah seberapa sering mahasiswa psikologi merasakan perasaan internal seperti rasa bersalah ataupun menyesal, dan tidak merasa takut akan penilaian eksternal ketika menghindari situasi yang membutuhkan pertolongan. Penelitian ini menggunakan alat ukur yang peneliti susun berdasarkan teori Altruisme yang dikemukakan oleh Smith (2011) yang telah disesuaikan dengan karakteristik sampel. Alat ukur berbentuk matrix terdiri atas 52 item, yang masing-masing terdapat 5 pilihan jawaban yaitu: sangat sering, sering, kadang-kadang, jarang, sangat jarang. 131
Zenit Volume 3 Nomor 2 Agustus 2014
Setelah dilakukan uji validitas, diperoleh validitas untuk alat ukur Altruisme ini berkisar antara 0.340 – 0.692 dengan item valid 43 item. Uji reliabilitas menggunakan Split Half dan mengikuti kriteria dari Kaplan (2009) diperoleh koefisien reliabilitas 0.957 yang berarti alat ukur yang digunakan reliabel.
III." Hasil Penelitian Tabel III. 1 Gambaran Umum Altruisme Mahasiswa Psikologi Derajat Altruisme Tinggi Rendah TOTAL
Frekuensi 145 180 325
% 44.6% 55.4% 100%
Tabel III. 2 Gambaran Altruisme pada Setiap Aspek Aspek Altruisme
Concern
Benefit to recipient R T
Cost
R
T
R
T
Tinggi
6.9% (10)
93.1% (135)
Rendah
45.6% 54.4% 97.8% 2.2% (82) (98) (176) (4)
33.8% 66.2% 16.6% (49) (100) (24) 90.0% (162)
Empathy
Ease of escape
R
T
R
83.4% (121)
2.8% (4)
97.2% (141)
10.0% (18)
47.8% 52.2% 65.6% 34.4% (86) (94) (118) (62)
20.0% 80.0% (29) (116)
Tabel III. 3 Gambaran Umum Altruisme pada Tiap Angkatan R
Angkatan
f 53 56 44 27 TOTAL
2013 2012 2011 2010
T % 63.9 60.9 46.8 48.2
f 30 36 50 29
% 36.1 39.1 53.2 51.8
TOTAL f % 83 100 92 100 94 100 56 100 325 100
Tabel III. 4 Gambaran Altruisme Berdasarkan Jenis kelamin R
Jenis Kelamin
f 36 144 TOTAL
Laki-laki Perempuan
T % 64.3 53.5
f 20 125
% 35.7 46.5
TOTAL f % 56 100 269 100 325 100
Tabel III. 5 Gambaran Umum Altruisme Berdasarkan Usia Usia 18 19 20 21 22 23
132
R f 45 48 57 26 3 1
% 60.8 59.3 54.3 46.4 50.0 33.3 TOTAL
T f 29 33 48 30 3 2
% 39.2 40.7 45.7 53.6 50.0 66.7
TOTAL f % 74 100 81 100 105 100 56 100 6 100 3 100 325 100
T
Studi Deskriptif Mengenai Altruisme pada Mahasiswa Psikologi Universitas “X” Bandung (Isnaini Nursanti, Evany Victoriana, dan Cakrangadinata)
Tabel III. 6 Gambaran Altruisme Berdasarkan Modeling: Contoh Perilaku Figur Perilaku Figur Menolong dirinya Menolong orang lain Tidak tahu
R f 94 81 5 TOTAL
T % 63.5 47.1 100
f 54 91 0
% 36.5 52.9 0
TOTAL f % 148 100 172 100 5 100 325 100
Tabel III. 7 Gambaran Altruisme Berdasarkan Pola Asuh Pola Asuh Authoritative Authoritarian Permissive Uninvolved
R
T
f 153
% 56.5
f 118
% 43.5
16 5 6 TOTAL
44.4 50 75.0
20 5 2
55.6 50 25.0
TOTAL f % 271 100 36 10 8 325
100 100 100 100
Tabel III. 8 Gambaran Altruisme Berdasarkan Tipe Kepribadian R T TOTAL Tipe kepribadian f % f % f % Ekstrovert 95 58.6 67 41.4 162 100 Introvert 85 52.1 78 47.9 163 100 TOTAL 325 100
IV." Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 55.4 % mahasiswa psikologi memiliki derajat altruisme yang rendah, dan 44.6% mahasiswa psikologi memiliki derajat altruisme yang tinggi (Tabel 3.1). Tinggi rendahnya derajat altruisme yang dimiliki mahasiswa psikologi tersebut ditinjau lebih lanjut melalui aspek-aspek altruisme itu sendiri, yaitu concern, cost, benefit to recipient, empathy, dan ease of escape. Pertama, akan dibahas mengenai mahasiswa psikologi yang memiliki derajat altruisme rendah. Berdasarkan teori altruisme dari Smith (2011), individu yang memiliki derajat altruisme yang rendah, memiliki ciri sebagai berikut: lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri ketika menolong orang (concern rendah), jarang mengeluarkan pengorbanan ketika menolong (cost rendah), jarang memberikan pertolongan yang bermanfaat (benefit to recipient rendah), kurang berempati terhadap orang yang sedang kesulitan (empati rendah), dan dapat dengan mudah menolak untuk menolong ataupun menghindari situasi yang membutuhkan pertolongan tanpa merasakan perasaan bersalah maupun menyesal (ease of escape rendah). Berdasarkan data yang diperoleh, tampak bahwa ciri-ciri individu yang memiliki derajat altruisme rendah yang diungkapkan Smith (2011) tersebut, tidak sepenuhnya sesuai dengan ciri-ciri derajat altruisme rendah yang dimiliki mahasiswa psikologi. Berdasarkan data (lihat tabel 3.2), diperoleh bahwa mahasiswa psikologi yang memiliki derajat altruisme rendah, sebagian besarnya, yaitu sebanyak 54.4% memiliki aspek concern yang tinggi. Hal tersebut berarti mahasiswa yang memiliki derajat altruisme rendah, tetap mengutamakan kepentingan orang lain ketika menolong contohnya mahasiswa psikologi rela menolong teman yang sebenarnya tidak begitu dekat, rela menunda tugas maupun perihal lain yang sedang mereka kerjakan untuk menolong orang lain yang tampak membutuhkan bantuan, dan tidak mengharapkan imbalan ketika menolong. Selanjutnya, pada mahasiswa yang memiliki derajat altruisme rendah, sebagian besarnya, yaitu sebanyak 52.2% juga memiliki aspek empati yang tinggi (tabel 3.2). Hal tersebut berarti ketika melihat orang yang membutuhkan bantuan, mahasiswa psikologi tersebut dapat membayangkan dan 133
Zenit Volume 3 Nomor 2 Agustus 2014
menghayati apa yang dipikirkan dan dirasakan orang tersebut, dan hal tersebut membuat hatinya tersentuh dan ingin menolong. Untuk aspek cost, mahasiswa psikologi yang memiliki derajat altruisme rendah, sebagian besarnya, yaitu sebanyak 97.8% memiliki cost yang rendah (tabel 3.2). Hal tersebut berarti mahasiswa psikologi tersebut ketika menolong, jarang mengeluarkan pengorbanan baik itu dalam bentuk materi seperti uang. Jarang mengorbankan waktu luang, seperti mengorbankan waktu luang untuk membantu teman mengerjakan tugas, memahami materi, dan lainnya. Untuk aspek benefit to recipient, mahasiswa psikologi yang memiliki derajat altruisme rendah, sebagian besarnya, yaitu sebanyak 90.0% memiliki aspek benefit to recipient yang rendah (tabel 3.2). Hal tersebut berarti mahasiswa psikologi tersebut jarang memberikan pertolongan yang bermanfaat bagi penerima pertolongan baik itu dalam hal fisik, seperti mengantarkan teman yang tidak memiliki kendaraan. Mahasiswa psikologi jarang membantu teman hingga temannya dapat memahami materi maupun tugas perkuliahan, membantu meningkatkan kepercayaan diri teman, dan lainnya. Pada mahasiswa psikologi yang memiliki derajat altruisme rendah, sebagian besarnya yaitu sebanyak 65.6% nya memiliki aspek ease of escape yang rendah (tabel 3.2). Hal itu berarti mahasiswa psikologi tersebut ketika dihadapkan pada situasi dimana dirinya tidak dapat menolong, mahasiswa psikologi yang memiliki derajat altruisme rendah tersebut tidak akan merasa bersalah, tidak tega, atau menyesal. Data-data tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa psikologi yang memiliki derajat altruisme rendah, tetap memiliki pemahaman tentang kepedulian dan empati yang tinggi terhadap orang lain, namun empati dan kepedulian tersebut kurang diterapkan dalam bentuk perilaku menolong, hal tersebut tampak dari aspek cost, benefit, dan ease of escape yang rendah. Selanjutnya akan dibahas mengenai mahasiswa psikologi yang memiliki derajat altruisme tinggi. Berdasarkan teori altruisme menurut Smith (2011), individu yang memiliki derajat altruisme yang tinggi akan mengutamakan kepentingan orang lain ketika menolong orang (concern tinggi), akan mengeluarkan pengorbanan ketika menolong (cost tinggi), memberikan pertolongan yang bermanfaat (benefit to recipient tinggi), memiliki empati terhadap orang yang sedang kesulitan (empati tinggi), dan merasakan perasaan internal seperti merasa menyesal, bersalah, tidak tega, ketika menolak untuk menolong ataupun menghindari situasi yang membutuhkan pertolongan (ease of escape tinggi). Dari hasil penelitian (lihat tabel 3.2), diperoleh bahwa ciri-ciri tersebut sesuai dengan mahasiswa psikologi yang memiliki derajat altruisme yang tinggi. Ditemukan bahwa mahasiswa psikologi yang memiliki derajat altruisme tinggi, sebanyak 93.1% mengutamakan kepentingan orang lain ketika menolong (concern tinggi). Sebanyak 66.2% mahasiswa psikologi yang memiliki derajat altruisme tinggi tersebut sering melakukan pengorbanan ketika menolong (cost tinggi), dan sebanyak 83.4% mahasiswa psikologi tersebut sering memberikan pertolongan yang bermanfaat bagi penerima pertolongan (benefit to recipient tinggi). Kemudian sebanyak 97.2% mahasiswa psikologi yang derajat altruismenya tinggi, memiliki derajat empati yang tinggi. Yang terakhir, mahasiswa psikologi yang derajat altruismenya tinggi, sebanyak 80.0% nya merasa merasa tidak tega, merasa bersalah, dan menyesal, ketika menolak menolong ataupun menghindari situasi yang membutuhkan pertolongan (ease of escape tinggi). Hal tersebut berarti mahasiswa psikologi yang memiliki derajat altruisme tinggi, dalam menolong orang memang mengutamakan kepentingan orang lain, rela menunda tugas maupun perihal lain yang sedang mereka kerjakan untuk menolong orang lain yang tampak membutuhkan bantuan, dan tidak mengharapkan imbalan ketika menolong. Ketika menolong pun, mahasiswa psikologi mau melakukan pengorbanan, seperti menolong hingga menjadi lelah, mengorbankan waktu luangnya, dan pertolongan yang diberikan pun bermanfaat. Ketika melihat orang yang membutuhkan bantuan, mahasiswa psikologi dapat membayangkan dan menghayati apa yang dipikirkan dan dirasakan orang tersebut, dan hal tersebut membuat hatinya tersentuh dan ingin menolong, dan bila mahasiswa psikologi yang memiliki derajat altruisme tinggi dihadapkan pada situasi ketika dirinya tidak dapat menolong, mahasiswa psikologi tersebut cenderung akan merasa tidak tega, merasa bersalah, maupun menyesal. Bila ditinjau berdasarkan angkatan (Tabel 3.3), ditemukan bahwa semakin tinggi angkatan, semakin tinggi pula derajat altruisme yang dimiliki mahasiswa psikologi. Semakin tinggi semester yang dijalani, berdasarkan observasi dan survey tampak bahwa mata kuliah yang menyisipkan pelajaran yang berkaitan dengan empati dan other-oriented semakin bertambah. Pemahaman134
Studi Deskriptif Mengenai Altruisme pada Mahasiswa Psikologi Universitas “X” Bandung (Isnaini Nursanti, Evany Victoriana, dan Cakrangadinata)
pemahaman yang berkaitan dengan other-oriented dan empati terakumulasi sehingga semakin tinggi angkatan mahasiswa psikologi semakin menginternalisasi nilai-nilai yang berkaitan dengan empati dan tolong menolong, sehingga derajat altruisme yang dimiliki semakin tinggi. Berdasarkan jenis kelamin tampak bahwa baik mahasiswa psikologi yang berjenis kelamin perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki derajat altruisme yang rendah (Tabel 3.4). Kemudian berdasarkan usia, secara keseluruhan tampak terdapat peningkatan derajat altruisme seiring bertambahnya usia (Tabel 3.5). Selanjutnya akan dibahas mengenai faktor yang mempengaruhi. Berdasarkan faktor yang mempengaruhi yaitu modeling (Tabel 3.6). Dari ketiga hal mengenai modeling yaitu: siapa figur yang dipilih, alasan memilih figur, dan contoh perilaku menolong figur, ditemukan bahwa dari ketiga hal tersebut, yang paling berkaitan dengan altruisme adalah penghayatan mahasiswa psikologi mengenai contoh perilaku menolong figur. Mahasiswa psikologi yang menghayati perilaku menolong figur yang diarahkan kepada orang lain, memiliki derajat altruisme yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa psikologi yang menghayati perilaku menolong figur yang diarahkan kepada dirinya. Kemudian untuk faktor pola asuh (Tabel 3.7), dari hasil penelitian tampak bahwa mahasiswa dengan pola asuh permissive 50% nya memiliki derajat altruisme yang tinggi dan 50% nya pada derajat rendah. Untuk pola asuh uninvolved, sebagian besarnya (70%) memiliki derajat altruisme pada derajat yang rendah. Mahasiswa dengan pola asuh authoritative sebanyak 55.6% memiliki derajat altruisme yang rendah, sedangkan sebanyak 55.6% mahasiswa psikologi yang menghayati dirinya diasuh dengan pola asuh authoritarian memiliki derajat altruisme yang tinggi. Data tersebut menunjukkan bahwa pola asuh authoritative yang menurut teori sangat mendukung perkembangan altruisme (Eisenberg, 1989) khususnya dalam konteks ini, lebih banyak berada dalam kategori altruisme yang rendah, terbalik dengan pola asuh authoritarian dimana menurut teori tersebut pola asuh authoritarian kurang mendukung perkembangan perilaku prososial. Faktor yang selanjutnya akan dibahas adalah mengenai faktor tipe kepribadian (Tabel 3.8). Berdasarkan data yang diperoleh, tampak bahwa sebanyak 58.6% mahasiswa psikologi dengan tipe kepribadian ekstrovert memiliki derajat altruisme yang rendah, dan mahasiswa psikologi dengan tipe kepribadian introvert yaitu sebanyak 52.1% juga memiliki derajat altruisme yang tergolong rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam konteks ini, baik mahasiswa psikologi dengan kepribadian ekstrovert maupun introvert, sama-sama memiliki derajat altruisme yang rendah, hal tersebut berarti kedua tipe kepribadian tersebut dalam derajat altruismenya tidak lebih tinggi dari satu sama lain, namun hanya berbeda dalam tipe pertolongan yang dilakukan. Seperti halnya menurut Eisenberg (1989), bahwa perbedaan karakteristik kepribadian, berkaitan pula dengan perbedaan tipe perilaku prososial yang dilakukan.
V."
Simpulan dan Saran
5.1" Simpulan Berdasarkan hasil pengolahan data yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1) Sebanyak 55.4% mahasiswa psikologi Universitas “X” Bandung memiliki derajat altruisme yang rendah, dan sebanyak 44.6% memiliki derajat altruisme yang tinggi. 2) Mahasiswa psikologi yang memiliki derajat altruisme rendah, memiliki aspek concern yang tinggi, empathy yang tinggi, cost yang rendah, benefit to recipient yang rendah, dan ease of escape yang rendah. Mahasiswa psikologi yang memiliki altruisme pada derajat yang tinggi, juga memiliki derajat yang tinggi pada kelima aspek. 3) Contoh perilaku figur modeling cenderung meninggikan derajat altruisme. Sebagian besar mahasiswa psikologi yang menghayati figur signifikannya melakukan perilaku menolong terhadap orang lain, memiliki altruisme pada derajat yang tinggi. 4) Pada faktor pola asuh, tampak bahwa pola asuh authoritative dan authoritarian cenderung tidak meninggikan maupun menurunkan derajat altruisme yang dimiliki mahasiswa psikologi Universitas “X” Bandung.
135
Zenit Volume 3 Nomor 2 Agustus 2014
5) Faktor tipe kepribadian cenderung tidak berkaitan dengan derajat altruisme yang dimiliki mahasiswa psikologi Universitas “X” Bandung. 6) Semakin tingginya usia, derajat altruisme yang dimiliki mahasiswa cenderung semakin tinggi pula. 5.2" Saran Berdasarkan penelitian ini dapat disarankan beberapa hal, yaitu: 1) Peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai keterkaitan faktor pola asuh, terutama pola asuh authoritative dan authoritarian dengan derajat altruisme mahasiswa psikologi Universitas “X” Bandung. 2) Bagi Fakultas Psikologi Universitas “X”, baik bagi dekan maupun staff pengajar, untuk mengadakan kegiatan-kegiatan sosial bagi mahasiswa. Kegiatan yang dimaksud adalah kegiatan yang dapat menumbuhkan adanya pengorbanan (cost) dan manfaat (benefit) ketika melakukan perilaku menolong, melalui kegiatan kegiatan sosial seperti membantu individu / anak berkebutuhan khusus, bakti sosial, maupun kegiatan sukarelawan lainnya. 3) Bagi orang tua, dirinya perlu menjadi contoh figur yang melakukan perilaku menolong yang diarahkan terhadap orang lain, jika ingin anaknya kelak memiliki altruisme yang tinggi. Selain itu, dapat pula dengan sering menceritakan maupun memperlihatkan kepada anak, tokoh-tokoh yang memiliki jiwa menolong yang tinggi.
VI." Daftar Pustaka Arnett, Jeffrey Jensen. 2011. Human Development: A Cultural Approach. 1st edition. Pearson Education, Inc. Batson, Daniel C. 2011. Altruism in Humans. 1st Edition. New York: Oxford University Press. Bierhoff, Hans-Werner. 2002. Prosocial Behaviour. Psychology Press. Eisenberg, N. & Mussen, Paul. H. 1989. The Roots of Prosocial Behavior in Children. New York: Cambridge University Press. Kaplan, Robert M. & Saccuzzo, Denis P. 2009. Psychological Testing – Principles, Applications, and Issues. 7th Edition. Belmont, CA: Wadsworth. Kumar, Ranjit. 1996. Research Methodology – A Step By Step Guide For Beginners. London: SAGE Publications. Smith. et al., 2011. Application of the Altruistic Behavior Coding Scheme to Cross-Cultural Contexts. World Cultures e-Journal, 18(1). (Diakses tanggal 16 Februari 2013). Sears, David O. et al. 2006. Social Psychology. 12th Edition. New Jersey: Pearson Education Inc. Underwood et al. 2009. The Science of Compassionate Love: Theory, Research, and Applications. 1st Edition. Blackwell Publishing Ltd.
Daftar Rujukan HIMPSI. 2010. Kode Etik Psikologi Indonesia. Cetakan Pertama, Juni 2010.
136