STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN MELALUI KELOMPOK USAHA BERSAMA DI KABUPATEN BOGOR
ANDRI APRIYADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
32
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir yang berjudul Strategi dan Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Kelompok Usaha Bersama di Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tugas Akhir ini. Bogor,
Mei 2010
Andri Apriyadi NRP H252074175
33
ABSTRACT
ANDRI APRIYADI. The Strategic and Programs of Empowerment Poor People through Kelompok Usaha Bersama in Bogor District. Under guidance of YUSMAN SYAUKAT and FREDIAN TONNY NASDIAN. The objective of the research is to formulate strategic development of empowering the poor people through Kelompok Usaha Bersama (KUBE) relevant by needs, characteristic of poor people, and reducing of poverty policy in Bogor District. The first to do is investigate the characteristic of poor people, second, to analyze the policy of government in reducing poverty and the implementation itself, and third, to evaluate the process of empowering poor people with Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS) for strengthening the capital of KUBE. The data were collected through observation and interview to the respondents that know about the policy under study. The data were analyzed by using descriptive analysis, content analysis, and Analytic Hierarchy Process (AHP). This study has identified three alternatives of policy through AHP, namely: improving the rule and management program, empowering the poor people based community, increasing performance of KUBE, with 9 aspects that consider and 19 strategic steps. The weight and importance of each by expert`s judgment, with the goal of identifying and determining the superior criteria for developing policy of empowering poor people through in KUBE at Bogor District. The results showed that alternatives such as: increasing intensity of companion, non-formal education, and selection of targets having the highest degrees of importance 0.106, 0.091, and 0.076, respectively, and cooperative with the lowest degree of importance of 0.010. Keyword: empowering the poor people, KUBE, BLPS, content analysis, AHP.
34
RINGKASAN
ANDRI APRIYADI. Strategi dan Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Kelompok Usaha Bersama di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT dan FREDIAN TONNY NASDIAN. Kabupaten Bogor sebagai salah satu daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Provinsi Jawa Barat ternyata juga memiliki permasalahan akan tingginya angka kemiskinan. Berbagai upaya penanggulangan kemiskinan dilaksanakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor untuk mengeluarkan warganya dari belenggu kemiskinan. Akan tetapi output yang dihasilkan ternyata tidak semuanya sesuai dengan target yang diharapkan, hal ini ditandai dengan terus meningkatnya angka kemiskinan dari 476.371 jiwa pada tahun 2003 hingga menjadi 1.157.391 jiwa pada tahun 2006. Kondisi ini mendorong Pemerintah Kabupaten Bogor memprioritaskan penanggulangan kemiskinan dalam Arah Kebijakan Umum APBD Tahun 2007. Dalam upaya penanggulangan kemiskinan, Pemerintah Pusat memiliki rancangan sendiri dengan mengelompokkan program-program penanggulangan kemiskinan menjadi: 1) Kelompok Program Bantuan dan Perlindungan Sosial, 2) Kelompok Program Pemberdayaan Masyarakat, dan 3) Kelompok Program Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Pada Kluster Pemberdayaan Masyarakat, pendekatan yang digunakan adalah pemberdayaan yang menggunakan falsafah bahwa yang harus menjadi aktor utama untuk mengeluarkan masyarakat miskin dari lingkaran kemiskinan adalah masyarakat miskin itu sendiri, bukan pemerintah ataupun pihak lain. Wujud dari programprogram penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat salah satunya adalah dengan pendekatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Di Kabupaten Bogor, kebijakan ini diwujudkan melalui pelatihan keterampilan dengan output pembentukan KUBE. Namun kegiatan pembentukan KUBE melalui dana APBD ini tidak didukung anggaran pendampingan pasca-pelatihan dan penguatan modal yang sangat penting bagi kelanjutan usaha KUBE. Akibatnya banyak KUBE yang tidak berkembang atau gagal melanjutkan usaha yang dijalankannya. Dalam rangka mendukung potensi KUBE dan program pemberdayaan masyarakat di daerah, Pemerintah Pusat melalui Depsos RI meluncurkan Program Pemberdayaan Fakir Miskin (P2FM) melalui mekanisme Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS) bagi penguatan modal KUBE. Tujuan utama dari kajian ini adalah merumuskan strategi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE yang tepat sasaran sesuai dengan karakteristik fakir miskin dan arah kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu kondisi kemiskinan masyarakat di Kabupaten Bogor, implementasi dan keterpaduan kebijakan Pemerintah Kabupaten Bogor dalam penanggulangan kemiskinan, dan evaluasi pelaksanaan BLPS-KUBE di Kabupaten Bogor agar dapat dirumuskan langkah strategis/program dalam upaya mengembangkan kebijakan.
35
Berdasarkan hasil analisis menggunakan data SUSDA Tahun 2006 yang dibandingkan dengan 14 indikator kemiskinan dari BPS, diperoleh bahwa pada umumnya kondisi masyarakat miskin di Kabupaten Bogor sudah cukup terpenuhi kebutuhan dasarnya, hanya saja dengan karakteristik yang berbeda-beda. Untuk indikator pendidikan, penduduk miskin Kabupaten Bogor umumnya sudah memiliki pendidikan setidaknya tamat Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah yaitu mencapai 63,3%. Adapun sisanya 36,62% tidak sekolah dan tidak tamat SD/MI. Pada umumnya keluarga miskin di Kabupaten Bogor tidak memiliki mata pencaharian yang tetap. Namun jika dilihat dari proporsinya, masyarakat miskin yang tidak bekerja atau menganggur mencapai 56,89%, selebihnya adalah bekerja di sektor jasa, sektor perdagangan, sektor transportasi dan lainnya. Adanya pengaruh budaya dan ketidakmampuan sistem/kebijakan dalam memberikan kesempatan bagi warga miskin juga berpengaruh terhadap rendahnya tingkat pendidikan dan kondisi mata pencaharian penduduk miskin. Terdapat 6 kebijakan strategis yang ditempuh Pemerintah Kabupaten Bogor dalam menanggulangi kemiskinan yaitu: 1) Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat; 2) Peningkatan Kesehatan dan Pemenuhan Gizi Masyarakat; 3) Peningkatan Infrastuktur dan Pengembangan Wilayah; 4) Pemberdayaan Ekonomi Rakyat; 5) Peningkatan Perlindungan Sosial; dan 6) Pengarusutamaan Gender. Hasil dari analisis isi terhadap RPJMD Kabupaten Bogor tahun 2008-2013, diketahui bahwa indikator-indikator penanggulangan kemiskinan yang terpilih meliputi 15 kebijakan pembangunan yang terdiri dari urusan: 1) Pendidikan; 2) Kesehatan; 3) Pekerjaan Umum; 4) Perumahan; 5) Penataan Ruang; 6) Kependudukan; 7) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; 8) Sosial; 9) Koperasi dan UKM; 10) Pemberdayaan Masyarakat dan Desa; 11) Pertanian dan Kehutanan; 12) Energi dan Sumberdaya Mineral; 13) Pariwisata; 14) Perikanan; serta 15) Industri dan Perdagangan. Analisi isi terhadap program/kegiatan yang mendukung penanggulangan kemiskinan selama periode tahun 2007 hingga 2008 memperlihatkan bahwa dari volume kegiatan terjadi peningkatan jumlah kegiatan namun dari volume anggaran terdapat penurunan jumlah anggaran. Meningkatnya kemiskinan pada periode ini ternyata tidak dipengaruhi oleh banyaknya volume kegiatan dan jumlah anggaran penanggulangan kemiskinan. Pada periode ini sasaran kegiatannya masih bersifat umum atau masih belum berfokus kepada sasaran masyarakat miskin secara langsung. Sekalipun ada program/kegiatan yang sasarannya langsung kepada masyarakat miskin, ternyata lebih berbentuk pemberian bantuan langsung tunai (cash programme) daripada bantuan pemberdayaan. Jika dilihat dari Kelompok Program Penanggulangan Nasional maka kegiatan yang termasuk dalam kategori memberdayakan fakir miskin hanya terdapat pada kegiatan pelatihan keterampilan bagi PMKS (sumber dana APBD) dan P2FM-BLPS (sumber dana APBN). P2FM-BLPS merupakan program yang mendukung kegiatan pelatihan keterampilan bagi PMKS melalui KUBE. Program ini dinilai dapat berpotensi mengurangi kemiskinan, karena hanya dengan anggaran sebanyak 0,47 persen dari total anggaran penanggulangan kemiskinan (tahun 2008) akan ada peluang bagi penduduk miskin sebanyak 268 KK atau mewakili 1.317 jiwa yang dapat secara mandiri keluar dari kemiskinannya. Atas dasar informasi tersebut, sudah
36
saatnya Pemerintah Kabupaten Bogor perlu mendukung program-program pemberdayaan fakir miskin untuk mengentaskan kemiskinan seperti halnya P2FM-BLPS. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap pelaksanaan P2FM-BLPS, program ini mengalami kegagalan pada tahap awal peluncurannya karena berbagai macam kendala dan permasalahan dalam hal perguliran dana, pendampingan, dan pengelolaan program. Belajar dari kegagalan tersebut, Pengelola menjalankan BLPS-KUBE Fase II sebagai kelanjutan program. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap para responden Penerima BLPS Fase II, umumnya para responden menyambut baik P2FM-BLPS karena dengan adanya UEP yang diperkuat permodalannya berdampak pada peningkatan status ekonomi dan sosial mereka. Para responden selain dapat untuk memenuhi kebutuhan keluarga juga dapat menyisihkan sisa keuntungan untuk menabung atau mencicil pinjaman. Keberadaan KUBE juga telah menjadi wadah untuk berinteraksi dan menyalurkan aspirasi mereka. Dengan demikian mereka memiliki kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan dapat berupaya keluar dari kemiskinannya. Adanya keberhasilan BLPS-KUBE Fase II menunjukkan optimisme program ini relevan dengan kondisi masyarakat hanya saja perlu penanganan lebih lanjut agar dapat diterapkan di wilayah lain di Kabupaten Bogor dan kinerjanya dapat optimal memberdayakan fakir miskin. Berdasarkan hasil AHP, terlihat bahwa untuk mencapai tujuan mengembangkan kebijakan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor, prioritas kebijakan strategis yang dapat ditempuh adalah: 1) Perbaikan Tata Kelola Program (bobot 0,391); 2) Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin (bobot 0,335); dan 3) Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Masyarakat (bobot 0,274). Hasil analisis secara global terhadap kesembilan-belas langkah strategis yang bisa dikembangkan diperoleh bahwa meningkatkan intensitas pendampingan adalah langkah strategis yang paling diprioritaskan yaitu dengan bobot 0,106, diikuti dengan memfasilitasi pendidikan non formal/pelatihan keterampilan (bobot 0,091), pembenahan dalam seleksi penerima program (bobot 0,076), meningkatkan kepercayaan masyarakat (bobot 0,075) dan seterusnya, hingga koperasi di urutan terakhir dengan bobot 0.010. Kesimpulan dari hasil kajian ini adalah masyarakat miskin di Kabupaten Bogor cukup berpotensi untuk diberdayakan namun perlu kehati-hatian dalam merancang program pemberdayaan melalui penyertaan modal. Sebab bila faktor keterisoliran dan hambatan struktural lainnya tidak ditangani, maka program penyertaan modal tidak akan mengangkat masyarakat dari kemiskinan. Upaya mengurangi jumlah kemiskinan di Kabupaten Bogor umumnya masih dalam bentuk memberikan bantuan langsung tunai (cash programme) dan bukan memprioritaskan pemberdayaan masyarakat miskin. P2FM-BLPS sebagai program yang mendukung kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE, sekalipun kegiatan ini mengalami berbagai macam kendala dan permasalahan, tetap perlu dikembangkan karena keberhasilannya akan berdampak langsung dalam mengurangi kemiskinan. Sekalipun BLPS-KUBE Fase II terbilang berhasil, namun terdapat beberapa hal yang perlu dibenahi karena jika dibiarkan akan berpotensi terjadinya
37
kegagalan kembali, yaitu dalam hal sasaran program, keberadaan koperasi, dan dana pendampingan. Adapun saran atau implikasi kajian bagi Pemerintah Kabupaten Bogor dalam upaya penanggulangan kemiskinan dan pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin adalah Pemerintah Kabupaten Bogor hendaknya lebih memprioritaskan program/kegiatan yang sasarannya langsung kepada masyarakat miskin dan bersifat pemberdayaan ekonomi dan sosial agar angka kemiskinan dapat berkurang secara nyata.
38
@Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar dari IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
39
STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN MELALUI KELOMPOK USAHA BERSAMA DI KABUPATEN BOGOR
ANDRI APRIYADI
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
40
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir : Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MA.Ec
41
Judul Tugas Akhir Nama NRP
: Strategi dan Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Kelompok Usaha Bersama di Kabupaten Bogor : Andri Apriyadi : H252074175
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Ketua
Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec
Tanggal Ujian: 1 April 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus:
42
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga Kajian Pembangunan Daerah ini berhasil diselesaikan. Kajian yang berjudul “Strategi dan Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Kelompok Usaha Bersama di Kabupaten Bogor” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor. Dalam menyelesaikan kajian ini, penulis sampaikan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penulisan kajian ini terutama kepada Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS selaku Anggota, berikut seluruh dosen Sekolah Pascasarjana Magister Profesional Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada seluruh rekan mahasiswamahasiswi Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor yang telah membantu dan memberikan dorongan dalam penulisan kajian ini. Di lain pihak penulis sampaikan pada isteri beserta keluarga yang senantiasa memberikan dukungan untuk menyelesaikan studi. Penulis serahkan amal kebaikan yang telah membantu kepada Allah SWT semoga Yang Maha Kuasa dapat membalasnya dengan berlipat ganda. Penulis berharap semoga hasil kajian ini dapat bermanfaat khususnya bagi Pemerintah Kabupaten Bogor sebagai bahan rekomendasi untuk mengembangkan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui Kelompok Usaha Bersama maupun pihak-pihak yang membutuhkan hasil dari kajian studi ini..
Bogor,
Mei 2010
Andri Apriyadi
43
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Indramayu pada tanggal 12 April 1980 dari ayah Djais Sumarta dan ibu Ika Nurhasanah. Penulis merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dari SD hingga SMU di Indramayu dan menyelesaikan jenjang pendidikan menengah di SMU Negeri 1 Sindang Indramayu pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan lulus pada tahun 2003 sebagai Sarjana Pertanian dengan keahlian di bidang Sosial Ekonomi Pertanian (Agribisnis). Penulis diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah pada tahun 2005 dan ditugaskan pada Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial (BPMKS) Kabupaten Bogor. Pada tahun 2008 penulis mendapatkan Beasiswa Tugas Belajar dari Bupati Bogor untuk melanjutkan studi S2 dengan mengambil program studi Manajemen Pembangunan Daerah di Institut Pertanian Bogor. Penulis menikah pada tahun 2008 dengan Wanda Tejasati dan dikaruniai seorang anak laki-laki yaitu Keenan Fashori Punayuga.
44
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI .........................................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ................................................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................ vii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................................ ix BAB I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ................................................................................ 6 1.3. Tujuan ....................................................................................................... 10 1.4. Manfaat ..................................................................................................... 10
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Pemerintah ............................................................................ 2.2. Fenomena Kemiskinan .......................................................................... 2.2.1. Konsep dan Pengertian Kemiskinan ....................................... 2.2.2. Indikator Pengukuran Kemiskinan .......................................... 2.2.3. Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan ...................................... 2.3. Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Nasional ........................... 2.4. Paradigma Baru Penanggulangan Kemiskinan ................................... 2.5. Pemberdayaan Masyarakat .................................................................... 2.6. Pendekatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) .............................. 2.7. Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS)............................... 2.8. Hasil Penelitian Terdahulu .................................................................... 2.8.1. Penelitian Mengenai Kemiskinan ............................................. 2.8.2. Penelitian Mengenai KUBE ......................................................
11 12 12 14 17 18 20 23 24 26 28 28 29
BAB III. METODE KAJIAN 3.1. Kerangka Pemikiran ............................................................................... 3.2. Lokasi dan Waktu Kajian ...................................................................... 3.3. Metode Pengumpulan Data................................................................... 3.4. Metode Penentuan Responden ............................................................. 3.5. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data ..................................... 3.5.1. Analisis Statistik Deskriptif ....................................................... 3.5.2. Analisis Isi .................................................................................... 3.6. Metode Perancangan Program..............................................................
31 33 33 34 35 35 36 37
BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH KABUPATEN BOGOR
45
4.1. Kondisi Geografis dan Administratif .................................................. 43 4.2. Kependudukan dan Sumber Daya Manusia ....................................... 44 4.3. Kondisi Ekonomi dan Sosial ................................................................ 47 BAB V.
BAB VI.
ANALISIS KONDISI KEMISKINAN KABUPATEN BOGOR 5.1. Profil Kemiskinan ................................................................................... 5.2. Karakteristik Kemiskinan ...................................................................... 5.2.1. Karakteristik Sosial Demografi ................................................. 5.2.2. Karakteristik Tempat Tinggal (Perumahan) ........................... 5.2.3. Karakteristik Ekonomi ............................................................... 5.2.4. Karakteristik Kesejahteraan Keluarga ...................................... 5.2.5. Karakteristik Ketenagakerjaan .................................................. 5.3. Tinjauan Kemiskinan Berdasarkan Wilayah Pembangunan ............. 5.4. Faktor Penyebab dan Persoalan Kemiskinan ..................................... UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN 6.1. Pembentukan Lembaga Penanggulangan Kemiskinan ..................... 6.2. Penyusunan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Daerah ........ 6.2.1. Komitmen Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor ............................................................................................ 6.2.2. Penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah.. 6.2.3. Perumusan Visi dan Misi Penanggulangan Kemiskinan ....... 6.2.4. Strategi dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan ........... 6.3. Implementasi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan .................... 6.3.1. Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dalam RPJMD ...... 6.3.2. Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dalam LAKIP SKPD ............................................................................................ 6.4. Keterpaduan Antar Program/Kegiatan .............................................. 6.5. Harmonisasi terhadap Program Penanggulangan Kemiskinan Pusat .........................................................................................................
51 54 55 56 59 61 62 63 66
69 71 71 72 73 74 76 76 77 84 86
BAB VII. EVALUASI PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN MELALUI KUBE DI KABUPATEN BOGOR 7.1. Potensi KUBE di Kabupaten Bogor .................................................. 89 7.2. Pelaksanaan Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui BLPSKUBE ...................................................................................................... 91 7.2.1. Gambaran Umum Lokasi .......................................................... 91 7.2.2. Stakeholder Pengelola Program ................................................ 93 7.2.3. Persiapan Pelaksanaan Program ............................................... 94 7.2.4. Penyesuaian dalam Program ..................................................... 96 7.2.5. Kondisi Pencairan Dana ............................................................ 98 7.2.6. Keragaan Keanggotaan KUBE ................................................. 99 7.2.7. Jenis Usaha KUBE ..................................................................... 101
46
7.3. 7.4. 7.5.
7.6.
7.2.8. Pendampingan Sosial .................................................................. 101 Kinerja KUBE Penerima BLPS ........................................................... 102 Hambatan dan Permasalahan yang Timbul ........................................ 103 P2FM-BLPS Fase II sebagai Kelanjutan Program ............................ 105 7.5.1. Kondisi Umum KUBE Penerima BLPS Fase II ................... 106 7.5.2. Proses Pencairan Dana dan Pemanfaatan .............................. 106 7.5.3. Kinerja Pengembalian Modal ................................................... 107 Evaluasi Pelaksanaan P2FM-BLPS Fase II ........................................ 108 7.6.1. Karakteristik Responden .......................................................... 108 7.6.2. Kinerja KUBE dan Pelaksanaan UEP Responde .................. 109 7.6.3. Hasil Proses Pemberdayaan ...................................................... 110
BAB VIII. STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN 8.1. Identifikasi Faktor Strategis ................................................................. 111 8.2. Perumusan Alternatif Strategi dan Program ....................................... 112 8.3. Analisis Prioritas Pengembangan Kebijakan ..................................... 114 8.3.1. Perbaikan Tata Kelola Program ............................................... 116 8.3.2. Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin .............................. 119 8.3.3. Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas .................................................................................... 123 8.4. Sintesis Prioritas Langkah Strategis Berdasarkan Tujuan ................. 122 8.5. Perancangan Program ............................................................................ 128 BAB IX.
KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan ............................................................................................. 133 9.2. Saran ......................................................................................................... 134
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 137 LAMPIRAN ......................................................................................................................... 143
47
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Rancangan Kajian untuk Membahas Tujuan ........................................................ 33
2.
Nilai Skala Banding Berpasangan ........................................................................... 39
3.
Kondisi Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bogor Tahun 2003 2007 ............................................................................................................................ 50
4.
Jumlah dan Komposisi Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 ..... 52
5.
Jumlah Kepala Keluarga dan Komposisi Rumah Tangga Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 .................................................................................................... 54
6.
Karakteristik Sosial Demografi Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 ............................................................................................................................. 56
7.
Karakteristik Tempat Tinggal (Perumahan)Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 (dalam persen) ........................................................................ 57
8.
Karakteristik Ekonomi Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 (dalam persen) ........................................................................................................... 60
9.
Karakteristik Kesejahteraan Keluarga Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 (dalam persen) ..................................................................................... 61
10. Karakteristik Ketenagakerjaan Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 (dalam persen) ................................................................................................. 63 11. Kondisi Kemiskinan Kabupaten Bogor Tahun 2006 Berdasarkan Tinjauan Wilayah ....................................................................................................................... 64 12. Rata-Rata Karakteristik Kemiskinan Kabupaten Bogor Tahun 2006 Berdasarkan Indikator BPS dan Tinjauan Wilayah (dalam persen)................... 65 13. Faktor Penyebab Kemiskinan Berdasarkan Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Bogor Tahun 2006 ............................................................................... 68 14. Kebijakan dan Langkah-Langkah Strategis Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor 2008-2012 .................................................................................. 75 15. Jumlah SKPD yang Terlibat dalam Mengimplementasikan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor ............................................. 79 16. Jumlah Komponen Program dan Kegiatan yang Mendukung Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2007 dan
80
48
2008 ............................................................................................................................. 17. Jumlah Implementasi Kegiatan yang Mendukung Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2008 Berdasarkan Sumber Dana ...................................................................................... 81 18. Jumlah Anggaran Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2007 (dalam rupiah) ............................................................................... 82 19. Jumlah Anggaran Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2008 (dalam rupiah) ............................................................................... 82 20. KUBE PMKS Hasil Pembentukan Kegiatan Pelatihan Keterampilan di Kabupaten Bogor Tahun 2005-2009 ..................................................................... 90 21. Gambaran Umum Kondisi Kecamatan Pamijahan dan Tenjolaya ................... 93 22. Realisasi Pencairan Dana BLPS bagi KUBE di Kabupaten Bogor Tahun 2008 ............................................................................................................................. 99 23. Kondisi Keanggotaan dan Jenis Usaha KUBE Penerima Dana BLPS di Kabupaten Bogor Tahun 2008 ............................................................................... 100 24. Kondisi Keanggotaan, Jenis Usaha, dan Status Anggota KUBE Penerima Dana BLPS Fase II di Kabupaten Bogor ............................................................. 106 25. Kondisi Perguliran Dana Penguatan Modal KUBE Fase II di Kabupaten Bogor Tahun 2009 .................................................................................................... 107 26. Karakteristik Rata-Rata Responden KUBE Penerima Dana BLPS Fase II di Kabupaten Bogor Tahun 2009 ............................................................................. 108 27. Kondisi Permodalan UEP Responden Penerima Dana BLPS Fase II di Kabupaten Bogor Tahun 2008 -2009 .................................................................... 109 28. Struktur Hirarki Pengembangan Kebijakan Fakir Miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor ..................................................................................................... 113 29. Urutan Prioritas Kebijakan Strategis dalam Pengembangan Kebijakan Fakir Miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor ........................................................ 114 30. Urutan Elemen yang Diprioritaskan Secara Global dalam Kebijakan Strategis Perbaikan Tata Kelola Program ............................................................. 119 31. Urutan Elemen yang Diprioritaskan Secara Global dalam Kebijakan Strategis Peningkatan Kinerja KUBE ................................................................... 122 32. Urutan Elemen yang Diprioritaskan Secara Global dalam Kebijakan Strategis Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas .....
125
32. Urutan Prioritas Global Program Pengembangan Kebijakan Fakir Miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor ..................................................................... 133
49
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 1976-2009 ......
2
2.
Grafik Jumlah Penduduk Miskin di Propinsi Jawa Barat Tahun 2006 .............
3
3.
Bagan Konsep Kemiskinan ..................................................................................... 14
4.
Tahapan Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan ............................. 20
5.
Rancangan Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan ......................... 21
6.
Strategi Penanggulangan Kemiskinan melalui Pemberdayaan Usaha Mikro ... 22
7.
Kerangka Pemikiran Strategi Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor .............................................. 32
8.
Struktur Hirarki AHP Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE .............................................................................................. 42
9.
Peta Administratif Kabupaten Bogor .................................................................... 43
10. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Kabupaten Bogor Tahun 2003-2007..... 45 11. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Kabupaten Bogor Tahun 2007 ................................................................................................................ 46 12. Jumlah Penduduk Yang Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenjang Pendidikan .................................................................................................................. 46 13. Jumlah Pengangguran Kabupaten Bogor Tahun 2003-2007 ............................. 47 14. Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten Bogor Tahun 2003-2007 ..... 48 15. Indikator IPM Kabupaten Bogor Tahun 2003-2008 .......................................... 49 16. Kondisi Jumlah Kegiatan Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan Kebijakan pada Tahun 2007 dan 2008................................................................... 83 17. Kondisi Alokasi Anggaran Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan Kebijan pada Tahun 2007 dan 2008 (dalam miliar rupiah)................................. 84 18. Posisi Administratif Kecamatan Penerima P2FM-BLPS ..................................
92
19. Bobot Persepsi Gabungan Responden dalam Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE ........................................................ 115
50
20. Grafik Prioritas Aspek yang Dipertimbangkan pada Kebijakan Strategis Perbaikan Tata Kelola Program ............................................................................. 116 21. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Pendampingan Sosial ............ 116 22. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Manajemen ............................. 117 23. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Pendanaan .............................. 118 24. Grafik Prioritas Aspek yang Dipertimbangkan pada Kebijakan Strategis Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin ............................................................ 119 25. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Peningkatan Kualitas SDM Anggota KUBE.......................................................................................................... 120 26. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Penguatan Usaha ................... 120 27. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Akses Pasar ............................. 121 28. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Kelembagaan KUBE ............. 122 29. Prioritas Aspek yang Dipertimbangkan pada Kebijakan Strategis Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas ........................ 123 30. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Modal Sosial ........................... 124 31. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Kelembagaan Masyarakat ...... 124 32. Grafik Hasil Sintesis Menggunakan Modus Sintesis Distribusi (Distributive Synthesis) ...................................................................................................................... 127 33. Grafik Hasil Sintesis Menggunakan Modus Sintesis Ideal (Ideal Synthesis) ...... 127
51
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Profil Kemiskinan Hasil Pelaksanaan Refleksi Kemiskinan oleh Masyarakat ... 145 2. Rencana Aksi Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Bogor Tahun 20082012 .............................................................................................................................. 149 3. Analisis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan RPJMD Kabupaten Bogor Tahun 2008-2013 ...................................................................... 151 4. Analisis Implementasi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2007 ................................................................................... 157 5. Analisis Implementasi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2008 ................................................................................... 167 6. Data KUBE Fakir Miskin Penerima Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial di Kabupaten Bogor Tahun 2008 ................................................................ 179 7. Data KUBE Fakir Miskin Penerima Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial di Kabupaten Bogor Fase II ..................................................................................... 185 8. Karakteristik Responden Penerima BLPS di Kabupaten Bogor ........................ 187 9. Matriks Persepsi Masing-Masing Responden dan Perhitungan Pendapat Gabungan Menggunakan Rata-Rata Geometris ................................................... 189 10. Hasil Treeview AHP Pendapat Gabungan pada Expert Choice 2000 .................... 197 11. Rancangan Program bagi Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE ................................................................................................ 199
52
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat (DITJEN PMD Depdagri, 2003 dalam Nugroho, 2009). Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi ketidak-mampuan baik secara individu, keluarga, maupun kelompok, sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan lain terhadap berbagai aspek pembangunan. Jika dilihat dari aspek ekonomi, kemiskinan berdampak pada produktivitas yang rendah, sementara jika dilihat dari aspek sosial menyebabkan berkembangnya
masalah/penyakit
sosial.
Secara
politik,
kemiskinan
bisa
mengakibatkan instabilitas, dan dari aspek budaya bisa mengakibatkan dekadensi moral, sedangkan dari aspek pertahanan keamanan dinilai bisa mengakibatkan kerawanan keamanan. Hingga saat ini pemerintah telah melaksanakan upaya penanggulangan kemiskinan selama lebih dari tiga dasawarsa dan telah berhasil mengurangi jumlah penduduk miskin secara signifikan terutama pada masa sebelum krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1, selama dua dekade sejak tahun 1976 hingga 1996 angka kemiskinan pernah mengalami penurunan cukup signifikan dari 54,2 juta orang menjadi 22,5 juta orang atau dari 40,1 persen pada tahun 1976 menjadi 11,3 persen pada tahun 1996. Kemudian karena adanya krisis ekonomi pada tahun 1998, angka ini meningkat sangat signifikan. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI mengemukakan bahwa hal tersebut disebabkan karena masyarakat miskin di Indonesia masih rentan terhadap perubahan situasi politik, ekonomi, sosial, dan juga bencana alam yang terjadi di beberapa daerah. Berdasarkan paparan Bappenas dalam Workshop Tinjauan Metode Penghitungan Kemiskinan 2009 yang menggunakan data BPS tahun 1976-2009, untuk mengembalikan kondisi tersebut diperlukan waktu lebih dari 13 tahun untuk mencapai tingkat kemiskinan sebagaimana seperti saat sebelum krisis. Hal tersebut
53
memberikan pengalaman kepada pemerintah bahwa upaya penanggulangan kemiskinan memerlukan strategi yang komprehensif, terpadu dan berkelanjutan dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat.
Diperlukan waktu 13 tahun untuk mencapai tingkat kemiskinan seperti saat sebelum krisis
Catatan: Terdapat penyempurnaan metode pada tahun 1998 yang meliputi perluasan cakupan komoditi dan keterbandingan antar daerah
Sumber: BPS, 2009. (Materi Workshop Tinjauan Metode Penghitungan Kemiskinan di Jakarta, 13 Juli 2009)
Gambar 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 1976-2009.
Kabupaten Bogor sebagai salah satu daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Provinsi Jawa Barat ternyata juga memiliki permasalahan akan tingginya angka kemiskinan. Berdasarkan data pemetaan kemiskinan versi Departemen Sosial RI (2007), jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor pada tahun 2006 mencapai 453.418 jiwa atau 11,94 persen dari total penduduk dan menempati posisi kedua sebagai daerah dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di Propinsi Jawa Barat setelah Kabupaten Bandung (Gambar 2). Namun berdasarkan data penduduk miskin versi BPS Kabupaten Bogor (2007), jumlah penduduk miskin Kabupaten Bogor pada tahun 2003 berjumlah 476.371 jiwa dan semakin bertambah menjadi 1.026.879 jiwa pada tahun 2006 6. Walaupun demikian, proporsi jumlah penduduk miskin tahun 2006 tersebut masih sebesar 24,15 persen dari jumlah penduduk Kabupaten Bogor yang mencapai 4.215.585 jiwa
6
Perbedaan hasil pengukuran ini dipengaruhi oleh perbedaan penggunaan indikator kemiskinan antara BPS dan Departemen Sosial dalam menghitung angka kemiskinan
54
Jumlah Penduduk Miskin (jiwa) Sumber: Depatermen Sosial RI, 2007
Gambar 2. Grafik Jumlah Penduduk Miskin di Propinsi Jawa Barat Tahun 2006.
Dalam upaya penanggulangan kemiskinan, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2008) telah merancang Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan yang terdiri dari 3 kluster yaitu, 1) Kluster Program Bantuan dan Perlindungan Sosial, 2) Kluster Program-Program Pemberdayaan Masyarakat, dan 3) Kluster Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Dalam Kluster Bantuan Sosial dicakup program-program bantuan sosial yang dikhususkan untuk kelompok masyarakat sangat miskin atau Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM), misalnya Program Bantuan Tunai Bersyarat (BTB) atau disebut juga Program Keluarga Harapan (PKH), beras untuk masyarakat miskin (Raskin), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bantuan sosial untuk pengungsi/korban bencana, bantuan untuk penyandang cacat, bantuan untuk kelompok lansia, dan lain sebagainya. Pada Kluster Pemberdayaan Masyarakat, pendekatan yang digunakan adalah pemberdayaan masyarakat yang menggunakan falsafah bahwa yang harus menjadi
55
aktor utama untuk mengeluarkan masyarakat miskin dari lingkaran kemiskinan adalah masyarakat miskin itu sendiri, bukan pemerintah ataupun pihak lain. Untuk itu, masyarakat miskin harus ditingkatkan kemampuannya untuk menjadi modal sosial yang bisa diberdayakan dan ditingkatkan kemandiriannya. Menkokesra Abu Rizal Bakrie (2008) mengemukakan bahwa programprogram
penanggulangan
kemiskinan
yang
bertumpu
pada
pendekatan
pemberdayaan masyarakat akan memberikan hasil yang lebih efektif dan tingkat keberlanjutannya jauh lebih baik daripada yang dilaksanakan oleh proyek seperti biasa. Masyarakat miskin jika diberikan peluang yang sebesar-besarnya untuk menentukan arah yang mereka sukai untuk keluar dari lingkaran kemiskinan, maka masyarakat miskin akan bergiat bahkan tidak ragu-ragu akan memberikan berbagai kontribusi dalam bentuk apapun yang mereka mampu untuk terlibat dalam upaya pemberdayaan masyarakat tersebut. Rasa kepemilikan terhadap program akan lebih kuat dan ada perasaan bahwa mereka dihargai oleh pemerintah untuk menentukan nasib mereka sendiri 7. Wujud dari program-program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat sebenarnya sudah ada sejak dulu. Salah satunya adalah diterapkannya kebijakan pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUBE). KUBE ini dipelopori oleh Departemen Sosial RI sejak tahun 1983 sebagai salah satu alternatif kegiatan dalam penanggulangan kemiskinan, khususnya fakir miskin sebagai sasaran utama. Melalui metode ini masyarakat bisa memperoleh keuntungan ekonomis dan keuntungan sosial karena tujuan pembentukan KUBE diarahkan kepada upaya mempercepat penghapusan kemiskinan melalui peningkatan pendapatan, pengembangan usaha, peningkatan kemampuan berusaha anggotanya, dan peningkatan kepedulian serta kesetiakawanan sosial diantara para anggota dengan masyarakat sekitar (Depsos RI, 2007). Metode ini kemudian diadopsi pula dalam program-program pemberdayaan masyarakat oleh instansi-instansi pemerintah lainnya seperti BKKBN, Departemen Pertanian, dan lain-lain. Berdasarkan data Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial (BPMKS) Kabupaten Bogor, dalam periode tahun 2005 - 2007 terdapat 433 7
”Demokrasi bagi Kesejahteraan Rakyat”, Sambutan Menkokesra pada acara Silaturakhmi Kerja Nasional ICMI di Pekanbaru Riau, 12 Januari 2008.
56
KUBE yang dibentuk melalui pelatihan keterampilan dengan dana berasal dari APBD. Namun kebijakan pembentukan KUBE melalui dana APBD ini tidak didukung anggaran pendampingan pasca-pelatihan dan penguatan modal yang sangat penting bagi kelanjutan usaha KUBE. Akibatnya banyak KUBE yang tidak berkembang atau gagal melanjutkan usaha yang dijalankannya. Padahal metode ini diharapkan menjadi salah satu pilihan mengangkat masyarakat miskin untuk diarahkan ke dalam bentuk pemberdayaan. Dalam rangka mendukung potensi KUBE dan kebijakan pemberdayaan masyarakat di daerah, Pemerintah Pusat melalui Depsos RI meluncurkan Program Pemberdayaan Fakir Miskin (P2FM) melalui mekanisme Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS) bagi penguatan modal KUBE. Menurut Depsos RI (2007) program yang diluncurkan sejak tahun 2006 ini merupakan penyempurnaan terhadap berbagai program penanggulangan kemiskinan yang telah ada dan bertujuan untuk memberdayakan masyarakat miskin di berbagai wilayah secara terpadu dan berkelanjutan. Dalam program ini, bantuan langsung yang diberikan berupa uang tunai
yang
digulirkan
secara
hibah
bersyarat
dengan
titik
berat
pada
pemberian/penguatan modal usaha bagi KUBE Fakir Miskin yang telah dibina sebelumnya. Kabupaten Bogor menerima dana ini dengan jumlah relatif besar yang digulirkan terhadap 25 KUBE Fakir Miskin pada 2 kecamatan (BPMKS Kabupaten Bogor, 2007). Dibandingkan kebijakan pembentukan KUBE melalui dana APBD, maka P2FM-BLPS dapat dikategorikan sebagai langkah lanjut yang akan menunjang kelangsungan KUBE yang sudah terbentuk melalui dana APBD tersebut. Sebab didalamnya terdapat mekanisme pendampingan sosial dan penguatan modal yang akan mendukung keberhasilan usaha KUBE. Menurut Depsos RI, implementasi P2FM-BLPS di kedua kecamatan di Kabupaten Bogor ini merupakan pilot project yang jika berhasil bisa diterapkan di seluruh wilayah di Kabupaten Bogor sehingga dapat mengurangi jumlah kemiskinan secara signifikan. Dengan adanya dukungan P2FM-BLPS terhadap potensi KUBE di Kabupaten Bogor, maka pendekatan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE bisa diharapkan menjadi konsep yang siap dikembangkan di seluruh wilayah dalam rangka mengentaskan kemiskinan. Namun demikian, penerapan kebijakan ini akan
57
menghadapi berbagai kendala yang berasal dari masyarakat maupun dari dukungan Pemerintah Daerah sendiri, untuk itu perlu dilakukan kajian “Bagaimanakah strategi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor?”.
1.2. Perumusan Masalah Permasalahan utama dalam memberdayaan fakir miskin adalah rendahnya kapasitas/kemampuan yang dimiliki masyarakat sehingga memerlukan berbagai dukungan baik sumberdaya, kesempatan, keahlian, dan pengetahuan. Oleh karenanya dalam pembentukan KUBE selalu disertakan kegiatan bimbingan sosial, pelatihan keterampilan, dan pemberian stimulus baik berupa bahan/alat untuk usaha ataupun bantuan dana/modal. Namun pemberian bantuan baik dalam bentuk barang maupun uang pada kegiatan yang tergolong Program Pemberdayaan Masyarakat sangat berbeda tujuannya dengan pemberian bantuan tunai pada Kelompok Program Bantuan dan Perlindungan Sosial. Pada Kelompok Program Bantuan dan Perlindungan Sosial, bantuan yang diterima digunakan untuk dihabiskan atau dibelanjakan bagi pemenuhan kebutuhan sehari-hari, sedangkan bantuan pada Kelompok Program Pemberdayaan Masyarakat tidak untuk dihabiskan melainkan digunakan untuk dikelola sehingga bisa meningkat nilainya. Melihat perbedaan tujuan ini, tentunya diperlukan kehati-hatian dalam menentukan sasaran program karena akan berdampak pada menguapnya dana tanpa terjadinya proses pemberdayaan dan peningkatan nilai yang diharapkan. Artinya sebelum kebijakan pemberdayaan fakir miskin diluncurkan perlu dikaji terlebih dahulu apakah cukup relevan dengan kondisi masyarakat sehingga kebijakan tersebut dapat diterima dan bermanfaat bagi masyarakat miskin. Rees dalam Arifuddin (1990) mengatakan bahwa suatu kebijakan terlihat irasional karena kebijakan yang diterima oleh suatu masyarakat belum tentu dapat diterima oleh masyarakat lainnya. Menurut Bappeda Kabupaten Bogor (2007), selama ini implementasi upaya penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor yang berbentuk pemberian bantuan langsung belum mempertimbangkan penggunaan data yang akurat sehingga banyak permasalahan terjadi seperti pada kisruhnya kasus Program Bantuan Langsung Tunai
58
(BLT) pada tahun 2005-2006 dan banyaknya kesalahan data dalam menentukan sasaran Program Keluarga Harapan pada Tahun 2007. Di lain pihak, ada juga beberapa wilayah yang menolak program tersebut karena dianggap tidak relevan dengan kondisi kemiskinan di masyarakatnya. Untuk itu dalam mengembangkan kebijakan pemberdayaan fakir miskin juga perlu melihat kondisi kemiskinan melalui data yang akurat sehingga tidak mengalami kasus yang sama dengan program program tersebut. Kaitannya
dengan
harapan
untuk
dapat
diterapkannya
kebijakan
pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE secara tepat sasaran di seluruh wilayah Kabupaten Bogor, maka informasi akan kemiskinan di wilayah Kabupaten Bogor yang terdiri dari 40 kecamatan tentunya dibutuhkan agar dapat melihat perbedaan karakteristik kemiskinan di tiap wilayahnya. Informasi ini juga akan membantu dalam mempertimbangkan
prioritas
pelaksanaan
program/kegiatan
penanggulangan
kemiskinan lainnya. Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan kajian ini yang pertama adalah bagaimanakah kondisi kemiskinan masyarakat di Kabupaten Bogor dan relevansinya terhadap kebijakan pemberdayaan fakir miskin. Keberhasilan suatu kebijakan pengentasan kemiskinan selain dipengaruhi oleh dukungan masyarakat juga dipengaruhi oleh dukungan dari keseriusan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan. Oleh karenanya sebuah keputusan yang sudah diformulasikan dengan baik tentunya hanya akan berhasil-guna jika dapat direalisasikan. Sebelum melangkah pada mencari strategi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin, perlu diidentifikasi terlebih dahulu upaya apa saja yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dalam menanggulangi kemiskinan. Bagaimanapun informasi ini akan mempengaruhi peluang terealisasi tidaknya formulasi strategi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE. Menurut Bappeda Kabupaten Bogor (2007), sebenarnya sudah cukup banyak usulan kegiatan yang mendukung kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam penyusunan Rencana Kegiatan dan Anggaran (RKA) di Kabupaten Bogor, namun demikian cukup banyak juga yang tidak disetujui oleh Tim Anggaran mengingat terbatasnya anggaran yang dialokasikan. Di sisi lain, Pengusung Program
59
biasanya kurang tepat memberikan argumentasi akan seberapa penting program yang diusulkannya sehingga berpengaruh terhadap lolos tidaknya suatu program direalisasi. Dengan demikian informasi yang tepat mengenai posisi program yang akan diusulkan diantara program penanggulangan kemiskinan lainnya akan sangat penting dalam mempengaruhi terealisasinya program. Sebagai bentuk keseriusan mengentaskan kemiskinan di wilayahnya, Pemerintah Kabupaten Bogor sendiri telah menetapkan acuan kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar manusia (basic need approach). Namun penerapan kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor tidak dapat diarahkan secara langsung karena dipengaruhi oleh implementasi Renstra/RPJMD, Rencana Kerja, dan tupoksi masing-masing instansi pemerintah. Hal ini berarti operasionalisasi upaya penanggulangan kemiskinan tergantung pada program/kegiatan di tiap instansi pemerintah. Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan kajian ini yang kedua adalah bagaimanakah implementasi dan keterpaduan kebijakan penanggulangan
kemiskinan
dengan
kebijakan
Pemerintah
Daerah
Kabupaten Bogor terutama dalam mendukung pemberdayaan fakir miskin. P2FM-BLPS yang merupakan salah satu wujud dari upaya penanggulangan kemiskinan dari Kluster Program Pemberdayaan Masyarakat/PNPM Mandiri 8. Bagi Pemerintah Kabupaten Bogor program ini dianggap mendukung kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di wilayahnya. Jika melihat evaluasi dari pelaksanaan program-program di Kluster Bantuan dan Perlindungan Sosial, mengandalkan program bantuan langsung tunai saja tidak akan mengentaskan kemiskinan secara berkelanjutan, untuk itu upaya penanggulangan kemiskinan melalui metode pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE merupakan program tindak lanjut alternatif yang sedang terus dikembangkan. Penerapan P2FM melalui mekanisme BLPS dalam rangka penguatan KUBE Fakir Miskin diawali sejak tahun 2006 dengan menunjuk 44 kota/kabupaten sebagai pilot project. Pada tahun berikutnya program ini kemudian diterapkan pada 99 kabupaten di 33 propinsi. Kabupaten Bogor sendiri baru menerima P2FM pada akhir 8
“Harmonisasi Program-Program Berbasis Pemberdayaan Masyarakat” disampaikan oleh Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, Tahun 2008.
60
tahun 2007 dimana pemerintah pusat mengucurkan dana sebesar Rp. 1,5 milyar bagi penguatan KUBE Fakir Miskin di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Pamijahan dan Tenjolaya. Program ini juga cukup menarik karena secara teori selain ada perguliran hasil usaha terjadi pula interaksi sosial dan kesetiakawanan sosial di antara anggota KUBE maupun dalam lingkungan sosialnya. Akan tetapi terdapat beberapa faktor yang akan menyebabkan program ini tidak berhasil di beberapa daerah, semisal kesiapan daerah, kesiapan sasaran, dan dukungan dari pemerintah setempat (Muchtar, 2007). Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan kajian ini yang ketiga adalah “Sejauhmana keberhasilan pelaksanaan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor?” P2FM-BLPS dari Pemerintah Pusat merupakan sebuah percontohan yang ke depannya diharapkan Pemerintah Kabupaten Bogor dapat mengadopsi program tersebut dan mengembangkannya dengan dana yang bersumber dari APBD sendiri. KUBE Fakir Miskin sendiri diharapkan dapat terus berkembang sehingga layak untuk mendapatkan akses dan penguatan ekonomi melalui Kredit Usaha Rakyat dalam rangka tahapan penanggulangan kemiskinan kluster berikutnya (Kluster III). Dengan adanya KUBE yang diperkuat secara ekonomi, kegiatan ekonomis produktif masyarakat miskin dimudahkan berpindah menjadi sektor usaha kecil dan menengah sehingga mampu mengangkat masyarakat lainnya untuk entas dari kemiskinan. Dengan melihat lingkungan strategis dari kondisi kemiskinan masyarakat yang ada serta posisi program pemberdayaan fakir miskin dalam upaya penanggulangan kemiskinan, dan kondisi pelaksanaan P2FM-KUBE sebagai acuan pelaksanaan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor maka pertanyaan kajian ini yang keempat adalah “Bagaimanakah strategi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE agar berhasil guna dan dapat dikembangkan secara menyeluruh pada masyarakat miskin di Kabupaten Bogor?”.
1.3. Tujuan Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, tujuan utama dari kajian ini adalah merumuskan strategi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir
61
miskin melalui KUBE yang tepat sasaran sesuai dengan karakteristik fakir miskin dan arah kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Untuk menjawab tujuan utama tersebut maka tujuan khusus dari kajian ini adalah: 1.
Menganalisis kondisi kemiskinan masyarakat Kabupaten Bogor dan relevansinya terhadap kebijakan pemberdayaan fakir miskin;
2.
Menganalisis
implementasi
dan
keterpaduan
kebijakan
penanggulangan
kemiskinan dengan kebijakan Pemerintah Kabupaten Bogor dan dampaknya dalam mengurangi kemiskinan; 3.
Mengevaluasi pelaksanaan BLPS melalui penguatan KUBE Fakir Miskin di Kabupaten Bogor;
4.
Merumuskan
langkah
strategis
dalam
upaya
pengembangan
kebijakan
pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE yang lebih tepat sasaran dan sesuai dengan karakteristik fakir miskin.
1.4. Manfaat Kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dan juga pihak-pihak yang terkait lainnya dalam mengembangkan program pemberdayaan fakir miskin melalui metode KUBE dan memberi masukan strategi pengembangan kebijakan tersebut agar bisa dikembangkan di masyarakat Kabupaten Bogor secara menyeluruh.
62
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebijakan Pemerintah H. Hugh Heclo (1975) dalam Abidin (2004) menyebutkan kebijakan sebagai “a course of action intended to accomplish some ends,” atau sebagai suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi Heclo ini selanjutnya diuraikan oleh Jones (1977) dalam kaitan dengan beberapa isi dari kebijakan. Pertama, tujuan, yakni tujuan tertentu yang dikehendaki untuk dicapai (the desired ends to be achieved), dan bukan suatu tujuan yang sekedar diinginkan saja. Dalam kehidupan sehari-hari tujuan yang hanya diinginkan saja bukanlah suatu tujuan, tetapi sekedar keinginan. Setiap orang boleh saja berkeinginan apa saja, tetapi dalam kehidupan bernegara tidak perlu diperhitungkan. Baru diperhitungkan kalau ada usaha untuk mencapainya, dan ada ”faktor pendukung” yang diperlukan. Kedua, rencana atau proposal yang merupakan alat atau cara tertentu untuk mencapainya. Ketiga, program atau cara tertentu yang telah mendapat persetujuan dan pengesahan untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Keempat, keputusan, yakni tindakan tertentu yang diambil untuk menentukan tujuan, membuat dan menyesuaikan rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program dalam masyarakat. Menurut
Wahab
dalam
Tangkilisan
(2004)
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kinerja kebijakan adalah a) Organisasi atau kelembagaan; b) Kemampuan politik dari penguasa; c) Pembagian tugas, tanggung jawab, dan wewenang; d) Kebijakan pemerintah yang bersifat tak remental; e) Proses perumusan kebijakan pemerintah yang baik; f) Aparatur evaluasi yang bersih dan berwibawa serta profesional; g) Biaya untuk melakukan evaluasi; h) Tersedianya data dan informasi sosial ekonomi yang siap dimanfaatkan oleh penilai kebijakan. Rees dalam Arifuddin (1990) mengatakan bahwa suatu kebijakan terlihat irasional karena kebijakan yang diterima oleh suatu masyarakat belum tentu dapat diterima oleh masyarakat lainnya. Sehingga kebijakan itu harus diformulasikan sedemikian rupa sesuai dengan fungsinya sebagai pengarah, penyedia dan sekaligus sebagai kontrol kewenangan dan tanggung jawab masing-masing pelaku kebijakan.
63
Pemilihan dan Pengambilan kebijakan yang baik dan tepat dapat dipenuhi dengan menggunakan beberapa kriteria kebijakan, menurut Abidin (2000) ada beberapa kriteria kebijakan yang bisa digunakan diantaranya adalah: 1. Efektivitas (effectiveness), mengukur apakah suatu pemilihan sasaran yang dicapai dengan satu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan. Jadi satu strategi kebijakan dipilih dan dilihat dari kapasitasnya untuk memenuhi tujuan dalam rangka memecahkan permasalahan masyarakat; 2. Efisiensi (economic rationality), mengukur besarnya pengorbanan atau ongkos yang harus dikeluarkan untuk mencapai tujuan atau efektivitas tertentu; 3. Cukup (adequacy), mengukur pencapaian hasil yang diharapkan dengan sumberdaya yang ada; 4. Adil (equity), mengukur hubungan dengan penyebaran atau pembagian hasil dan ongkos atau pengorbanan diantara berbagai pihak dalam masyarakat; 5. Terjawab (responsiveness), dapat memenuhi kebutuhan atau dapat menjawab permasalahan tertentu dalam masyarakat; 6. Tepat (apropriateness), merupakan kombinasi dari kriteria yang disebutkan sebelumnya.
2.2. Fenomena Kemiskinan Kemiskinan merupakan fenomena yang sangat kompleks, bersifat multidimensi dan tidak dapat secara mudah dilihat dari suatu angka absolut. Umumnya kondisi dan permasalahan kemiskinan secara tidak langsung tergambar dari: fakta yang diungkapkan menurut persepsi dan pendapat masyarakat miskin itu sendiri, berdasarkan temuan dari berbagai kajian, dan indikator sosial dan ekonomi yang dikumpulkan dari kegiatan sensus dan survey (Dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, 2005:14). 2.2.1. Konsep dan Pengertian Kemiskinan Bappenas (2005) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu situasi atau kondisi yang dialami seseorang atau sekelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi
64
ketidak-mampuan baik secara individu, keluarga, maupun kelompok, sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain. Menurut BPS (2005), pengertian kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi standar tertentu dari kebutuhan dasar, baik makanan maupun bukan makanan. Berdasarkan Suharto (2003) konsep kemiskinan memiliki berbagai pengertian, tergantung dari perspektif yang digunakan: apakah dari sudut pandang sosio-kultural, ekonomi, psikologi, atau politik. Namun adakalanya kemiskinan diartikan dengan merujuk pada faktor-faktor yang menyebabkannya, misalnya pada konsep mengenai kemiskinan alamiah, kemiskinan struktural, kemiskinan kultural, kemiskinan absolut, dan kemiskinan relatif. Baswir (1997) membedakan kemiskinan menjadi dua yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah timbul disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut, atau karena faktor sumberdaya alam yang kurang mendukung terhadap penghidupan penduduk di suatu daerah, seperti halnya karena rawan bencana alam, kekeringan, tandus, kebakaran, dan lain-lain. Sementara kemiskinan struktural terjadi bukan dikarenakan “ketidakmauan”
si
miskin
untuk
bekerja
(malas),
melainkan
karena
“ketidakmampuan” sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatankesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja, seperti ketidakadilan, distribusi aset yang tidak merata, budaya korup, birokrasi/peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya, atau tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu. Adapun kemiskinan yang terjadi karena “ketidakmauan” si miskin disebut kemiskinan kultural. Konsep kemiskinan kultural dapat dijelaskan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin yang kurang mendukung untuk perbaikan atau pembaharuan kehidupannya, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja, tidak responsif, dan tertutup. Pada konsep mengenai kemiskinan alamiah, kultural, dan struktural di atas, operasionalisasi kemiskinan dirumuskan berdasarkan indikator-indikator masukan (input indicators) dimana kemiskinan dilihat berdasarkan faktor-faktor yang menyebabkannya (Soeharto, 2003). Adapun pendekatan yang melihat kemiskinan dari
65
gejala atau hasil (outcome) yang ditimbulkannya, operasionalisasi kemiskinan biasanya dirumuskan berdasarkan indikator keluaran (output indicators) yang dapat diartikan bahwa seseorang dikatakan miskin jikalau memiliki pendapatan rendah, rumah tidak layak huni, atau buta huruf (Gambar 3).
Dasar Indikator Masukan (input indicators)
Pendekatan Kemiskinan Alamiah Kemiskinan Struktural Kemiskinan Kultural
Indikator Keluaran (output indicators)
Kemiskinan Absolut Kemiskinan Relatif
Gambar 3. Bagan Konsep Kemiskinan
Asian Development Bank (1999:26) dalam An-Naf (2007) membedakan pengertian kemiskinan antara kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah kemiskinan mutlak yang menimpa pada seseorang atau sekelompok masyarakat dimana pendapatannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal. Kemiskinan absolut diindikasikan dengan suatu tingkat kemiskinan yang berada di bawah garis kemiskinan sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum untuk bertahan hidup. Sedangkan kemiskinan relatif adalah keadaan yang dialami seseorang atau suatu keluarga dalam satu lingkungan perkampungan penduduk atau masyarakat tertentu, dimana status sosial ekonominya berada pada lapisan paling bawah di antara keluarga lain sekitarnya. Kemiskinan relatif adalah suatu tingkat kemiskinan dalam hubungannya dengan suatu rasio Garis Kemiskinan Absolut atau proporsi distribusi pendapatan (kesejahteraan) yang timpang (tidak merata). 2.2.2. Indikator Pengukuran Kemiskinan Pada pendekatan berdasarkan indikator keluaran, kemiskinan dilihat dari gejala atau hasil (outcome) yang ditimbulkannya. Pendekatan ini menghasilkan dua cara dalam mengukur kemiskinan. Cara pertama adalah dengan menyusun indikator
66
tunggal, seperti pendapatan atau pengeluaran yang kemudian dibakukan menjadi “garis kemiskinan” (poverty line), sedangkan cara kedua adalah dengan menyusun indikator komposit (Suharto, 2003). Banyak metode yang dapat digunakan untuk mengartikan dan mengukur kemiskinan, akan tetapi setiap metode mempunyai kekuatan dan kelemahan sehingga tak ada metode yang sempurna 9. Emil Salim (1980) dalam Andayasari (2006) mengemukakan bahwa kemiskinan biasanya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga yang layak bagi kemanusiaan. Profesor Sayogyo membedakan indikator mengukur kemiskinan berdasarkan desa dan kota, dimana seseorang disebut miskin jika penghasilannya kurang dari 320 kilogram beras di desa dan kurang dari 480 kilogram beras di kota (Sumardi dan Dieter Evers (1985) dalam Andayasari, 2006). Bank Dunia atau World Bank menyusun indikator tunggal dalam bentuk garis kemiskinan yang kemudian dijadikan rujukan internasional antara lain adalah sebesar 1 dolar atau 2 dolar Amerika Serikat per hari per kapita. Di Indonesia, BPS mengeluarkan garis kemiskinan yang disesuaikan dengan wilayah pedesaan dan perkotaan serta kabupaten/kota di Indonesia. Menurut BPS, seseorang dianggap miskin apabila ia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimal yaitu kebutuhan untuk mengkonsumsi makanan dalam takaran 2.100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan minimal non makanan seperti perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi. Per Maret 2009, BPS menetapkan garis kemiskinan yang dipakai secara luas berdasarkan jumlah kalori tersebut adalah sebesar Rp. 200.262,- per kapita per bulan tanpa memperhatikan perbedaan wilayah yang kemudian menimbulkan banyak perdebatan (Media Indonesia, edisi Kamis 2 Juli 2009). Metode yang dipakai BPS untuk menghitung garis kemiskinan adalah kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach), baik makanan maupun non makanan. Adapun indikator untuk menentukan keluarga miskin yang ditetapkan oleh BPS (2005) adalah sebagai berikut: a. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 10 m2
9
Kesimpulan dari paparan materi “Metode Penghitungan Angka Kemiskinan” oleh Kecuk Suhariyanto dalam Workshop Tinjauan Metode Penghitungan Kemiskinan, Jakarta 13 Juli 2009.
67
b. Lantai bangunan dari tanah, bambu, kayu c. Dinding bangunan dari bambu (rumbia) kayu berkualitas rendah d. Buang air besar di tempat umum f. Sumber air minum tidak terlindungi (sungai) air hujan g. Sumber penerangan bukan listrik h. Jenis bahan bakar memasak dari kayu/arang i. Tidak pernah membeli daging/ayam/susu dalam seminggu j. Makan anggota keluarga satu kali dalam sehari k. Tidak pernah membeli pakaian baru dalam setahun l. Tidak pernah berobat ke Puskesmas/Poliklinik m. Tidak memiliki pekerjaan yang utama n. Pendidikan tertinggi kepala keluarga SD/MI ke bawah o. Tidak memiliki barang senilai Rp. 500.000,p. Tidak pernah menerima kredit UKM/KUKM setahun yang lalu. Depsos RI (2005) juga turut menentukan indikator kemiskinan yang hampir sama dengan BPS ditambah beberapa kriteria lain diantaranya: memiliki ketergantungan pada bantuan pangan untuk penduduk miskin (seperti zakat/beras untuk orang miskin/santunan sosial), tinggal di rumah yang tidak layak huni, dan sulit memperoleh air bersih. Kriteria lain dari keluarga miskin juga dibedakan dalam jenisjenis Keluarga Sejahtera oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Dalam hal ini BKKBN membaginya dalam Keluarga Pra Sejahtera, Keluarga Sejahtera I, Sejahtera II, Sejahtera III, dan Sejahtera III plus. Namun demikian indikator nasional yang digunakan dalam menghitung jumlah penduduk yang dikategorikan miskin adalah berdasarkan standar garis kemiskinan dari BPS. Penyempurnaan dari mengukur kemiskinan dengan menyusun indikator tunggal adalah dengan menyusun indikator komposit dimana selain pendapatan atau pengeluaran, indikator ini biasanya terdiri dari angka melek huruf, angka harapan hidup, atau akses kepada sarana kesehatan dan air bersih. Badan dunia yang menggunakan cara kedua adalah UNDP (United Nations Development Programme). Produk UNDP yang dikenal luas untuk mengukur kemajuan dan kemiskinan adalah HDI (Human Development Index) dan HPI (Human Poverty Index). Pendekatan ini relatif lebih komprehensif dan mencakup faktor ekonomi, sosial, dan budaya si miskin.
68
Dengan demikian, jika cara pertama mengukur kemiskinan melihat dari aspek ekonomi, maka cara kedua melibatkan juga aspek pendidikan dan kesehatan. Meskipun kedua cara memiliki keunggulan dan kelemahan, cara kedua dapat dipandang sebagai pendekatan yang lebih baik, karena dapat menggambarkan kemiskinan lebih tepat dan akurat (Suharto, 2003). 2.2.3. Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Faktor-faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal datang dari dalam diri si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau karena adanya hambatan budaya. Menganalisa faktor-faktor penyebab kemiskinan adalah sesuatu yang komplek. Mulai dari faktor sumberdaya manusianya, kondisi alam dan geografis, kondisi sosial-budaya, sampai kepada sistem ekonomi dan politik yang menyebabkan timpang atau tidak meratanya distribusi pendapatan. Menurut An-Naf (2007), kerapkali faktor-faktor tersebut saling berinteraksi dan tumpang tindih satu sama lain. Faktor-faktor rendahnya mutu sumberdaya manusia, kondisi alam dan geografis, serta kondisi sosial-budaya berkaitan dengan tingkat keterbelakangan (underdevelopment) suatu masyarakat yang pada dasarnya dapat diperbaiki. Namun ada pula faktor kondisi alam dan geografis yang tidak dapat lagi tertanggulangi sehingga menyebabkan kemiskinan absolut yang menetap sifatnya. Tapi banyak ahli yang lebih meyakini bahwa faktor dominan penyebab kemiskinan adalah ketidakadilan ekonomi, sosial ataupun politik yang mengakibatkan apa yang disebut kemiskinan struktural. (struktural poverty), baik pada tatanan negara maupun internasional. Sementara itu Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI (2009) menyimpulkan bahwa penyebab kemiskinan adalah belum terpenuhinya kebutuhan dasar warga secara optimal, adil, dan merata, diantaranya karena: a. Terbatasnya kecukupan pangan dan mutu pangan
69
b. Terbatasnya akses dan mutu layanan kesehatan c. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan d. Terbatasnya kesempatan kerja produktif dan berusaha e. Terbatasnya akses layanan perumahan f. Terbatasnya akses terhadap air bersih dan sanitasi g. Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah h. Memburuknya kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup i. Lemahnya perlindungan/jaminan hak atas rasa aman j. Lemahnya akses partisipasi masyarakat miskin. 2.3. Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Nasional Mengingat adanya dua bentuk kemiskinan yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif maka pemerintah perlu menetapkan kebijakan, strategi, maupun program-program yang spesifik untuk mengentaskan kedua bentuk kemiskinan tersebut. Kemiskinan absolut harus dilihat sebagai prioritas, darurat sifatnya dan memerlukan penanganan jangka pendek sampai menengah, karena biasanya permasalahan yang dihadapi tidak dapat menunggu terlalu lama dan membutuhkan program-program yang bersifat dadakan. Pengentasan kemiskinan absolut biasanya ditempuh dengan penedekatan-pendekatan yang bersifat rehabilitasi sosial (social rehabilitation, emergency, cash programme) dan pemberdayaan ekonomi (economic empowerment). Sedangkan pengentasan Kemiskinan relatif memerlukan kebijakan, strategi, dan program-program yang konsisten untuk jangka panjang, karena berkaitan dengan mengubah dan memelihara pemerataan distribusi pendapatan. Pemerintah Indonesia telah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan sejak tahun 1960-an melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat yang tertuang dalam Pembangunan Nasional Berencana Delapan Tahun (Penasbede). Namun program tersebut terhenti di tengah jalan akibat krisis politik tahun 1965. Sejak tahun 1970-an pemerintah menggulirkan kembali program penanggulangan kemiskinan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), khususnya Repelita I-IV yang ditempuh secara reguler melalui program sektoral dan regional. Pada Repelita V-VI, pemerintah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan dengan strategi khusus menuntaskan masalah kesenjangan sosial-ekonomi. Jalur
70
pembangunan ditempuh secara khusus dan mensinergikan program reguler sektoral dan regional yang ada dalam koordinasi Inpres Nomor 3 Tahun 1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan yang akhirnya diwujudkan melalui program IDT (Inpres Desa Tertinggal). Upaya selama Repelita V-VI pun gagal akibat krisis ekonomi dan politik tahun 1997. Selanjutnya guna mengatasi dampak krisis lebih buruk, pemerintah mengeluarkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dikoordinasikan melalui Keputusan Presiden Nomor 190 Tahun 1998 tentang Pembentukan Gugus Tugas Peningkatan Jaring Pengaman Sosial. Pelaksanaan berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan dan kendala pelaksanaannya selama 40 tahun terakhir meyakinkan pemerintah bahwa upaya penanggulangan kemiskinan dianggap belum mencapai harapan. Begitu pentingnya masalah mengentaskan kemiskinan ini, pemerintah mengeluarkan lebih banyak lagi program penanggulangan kemiskinan. Programprogram yang dilaksanakan antara lain P4K (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil), KUBE (Kelompok Usaha Bersama), TPSP-KUD (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam Koperasi Unit Desa), UED-SP (Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam), PKT (Pengembangan Kawasan Terpadu), P3DT (Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal), PPK (Program Pengembangan Kecamatan), P2KP
(Program
Penanggulangan
Kemiskinan
Perkotaan),
PDMDKE
(Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi), P2MPD (Proyek Pembangunan Masyarakat dan Pemerintah Daerah), Program Keluarga Sejahtera (Prokesra), Program Kesejahteraan Sosial (Prokesos), dan program pembangunan sektoral yang berupaya memperkecil dampak krisis ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Berbagai upaya penanggulangan kemiskinan telah dilakukan tapi kemiskinan tetap tinggi karena program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia. Hamonangan Ritonga, Kepala Subdit pada Direktorat Analisis Statistik BPS mengemukakan pada Harian Kompas tanggal 10 Februari 2004 bahwa: “Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama,
71
program-program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan. Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.” 2.4. Paradigma Baru Penanggulangan Kemiskinan Mengentaskan kemiskinan di Indonesia memang tidak mudah, karena kenyataannya kemiskinan di Indonesia sudah seperti lingkaran setan (vicious circle poverty). Sulit untuk diketahui ujung dan pangkalnya serta darimana mulai memeranginya dan bagaimana mengakhirinya, masalahnya memang sudah sangat kompleks. Namun hal ini tidak menyurutkan langkah pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Melalui pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) baik di tingkat nasional maupun daerah, seluruh upaya-upaya penanggulangan kemiskinan dalam berbagai aspek, baik yang dibiayai pusat maupun daerah, diintegrasikan dan dikoordinasikan. Pada Tahun 2008, Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat mengeluarkan rancangan program penanggulangan kemiskinan yang dikelompokkan menjadi tiga kluster berdasarkan falsafah ikan dan kail, yaitu: 1) Bantuan dan Perlindungan Sosial, 2) Pemberdayaan Masyarakat/PNPM Mandiri, dan 3) Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (Gambar 4). Sasaran Kluster I adalah Rumah Tangga Sangat Miskin, Miskin, dan Hampir Miskin; sasaran Kluster II adalah Kelompok Rumah Tangga Miskin dan Hampir Miskin; sedangkan sasaran Kluster III adalah Pelaku Usaha Mikro dan Kecil.
72
*Dibantu untuk punya pancing dan perahu sendiri
Kluster III Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK)
*Diajari Mancing
Kluster II Pemberdayaan Masyarakat/PNPM Mandiri
*Diberi ikan
Kluster I Bantuan dan Perlindungan Sosial untuk melakukan pemenuhan hak-hak dasar, pengurangan biaya hidup, dan perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin
untuk memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha mikro dan kecil yang sudah ‘feasible‘ namun belum ‘bankable‘
untuk mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok masyarakat miskin untuk terlibat dalam pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat
Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2008
Gambar 4. Tahapan Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan
Untuk mencapai Millenium Development Goals (MDG), kurun waktu PNPM Mandiri adalah dari tahun 2007 sampai dengan 2015 melalui gerakan pemberdayaan masyarakat. Pada Tahun 2015, diharapkan setiap desa/kelurahan memiliki “Forum Partisipatif Warga/Masyarakat”, “Rencana Aksi Pemberdayaan Masyarakat” untuk penguatan ekonomi, sosial, dan kualitas lingkungan hidup, dan “Lembaga Dana Amanah Masyarakat atau Lumbung Desa untuk mendukung pelaksanaan Rencana Aksi Pemberdayaan Masyarakat (Gambar 5).
Forum Partisipasi Masyarakat
Kluster Program I: Bantuan dan Perlindungan Sosial
Kluster Program II: Pemberdayaan Masyarakat
Kluster Program III: Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil
Rencana Aksi Pemberdayaan Masyarakat
Lembaga Dana Amanah Masyarakat
Masyarakat Langkah Peningkatan Keberdayaan dan Kemandirian Masyarakat
Masyarakat yang Berdaya dan Mandiri
Sumber: Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, 2009
Gambar 5. Rancangan Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan
73
Menurut Widianto dalam Situs Pusat Data dan Informasi Kemiskinan Departemen Sosial RI (2006) 10, dikemukakan bahwa sasaran utama dalam paradigma baru penanggulangan kemiskinan adalah pembangunan manusia, dimana dalam langkah-langkahnya diharapkan terjadi perubahan struktur masyarakat yang meliputi: kesempatan kerja/berusaha, peningkatan kapasitas/pendapatan, dan perlindungan sosial/kesejahteraan. Dalam hal ini fokus utamanya adalah penduduk miskin produktif (usia antara 15-55 tahun) dalam wujud pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang pelaksanaannya melibatkan peran stakeholder yaitu: 1) Pemerintah sebagai Fasilitator; 2) Masyarakat sebagai Pelaku Usaha; 3) Perbankan sebagai Lembaga Pembiayaan; dan 4) Konsultan Keuangan Mitra Bank sebagai Pendamping.
Bhineka Tunggal Ika UUD 1945 Pancasila
KOMITE PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Bina: Manusia, Usaha, Lingkungan/Prasarana, Kelembagaan, Pengawasan
Mengurangi Jumlah Penduduk Miskin Forum Lintas Pelaku Strategi Pemberdayaan Masyarakat PENGURANGAN BEBAN PENDUDUK MISKIN
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS
BUMN
Program Pemerintah: • PPK (Depdagri) • P2KP (Depkimpraswil) • P4K (Deptan) • BDS (Depkop) • PEMP (DKP) • KUBE (Depsos) • UPPKS (BKKBN)
Lembaga Keuangan: • Bank BRI • Bank BNI • Bank BTN • Bank Mandiri • PT. PNM • Perum Pegadaian
KKBM Sosial Teknis Keuangan
Usaha Ekonomi Mikro (Feasible, Bankable)
KESEMPATAN KERJA/ BERUSAHA
Peningkatan Kapasitas/ Pendapatan
PERLINDUNGAN SOSIAL/ KESEJAHTERAAN
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Sumber: Pusdatin Kemiskinan Depsos RI, 2006
Gambar 6. Strategi Penanggulangan Kemiskinan melalui Pemberdayaan Usaha Mikro
Pemberdayan
masyarakat
dimaksud
adalah
upaya
meningkatkan
kesejahteraan rakyat melalui peran serta aktif masyarakat itu sendiri dalam mewujudkan pemenuhan kebutuhan hidup, meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi, serta memperkukuh martabat manusia dan bangsa. Aspek yang menjadi 10
http://kfm.depsos.go.id/mod.php?mod=userpage&page_id=1, Dr. Bambang Widianto adalah Deputi Menteri Negara PPN/Kepala BAPPENAS Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan Usaha Kecil Menengah
74
perhatian adalah aspek manusia, usaha, dan lingkungan (sarana prasarana) sedangkan prosesnya meliputi penyiapan (enabling), penguatan (strengthening), dan perlindungan (protecting). Strategi ini dapat dicapai melalui dua upaya yaitu pengurangan beban orang miskin dan peningkatan produktivitas dan pendapatan masyarakat miskin produktif (Gambar 6). Adapun langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam pemberdayaan usaha mikro adalah: 1) Menciptakan iklim usaha yang kondusif dan menyediakan lingkungan yang mampu mendorong pengembangan UMKM secara sistemik, mandiri dan berkelanjutan; 2) Menciptakan sistem penjaminan (financial guarantee system) untuk mendukung kegiatan ekonomi produktif usaha mikro; 3) Menyediakan bantuan teknis dan pendampingan (technical assistance and facilitation) secara manajerial guna meningkatkan ”status usaha” usaha mikro agar ”feasible” dan ”bankable” dalam jangka panjang; dan 4) Penataan dan penguatan kelembagaan keuangan mikro untuk memperluas jangkauan pelayanan keuangan kepada usaha mikro secara cepat, tepat, mudah, dan sistematis.
2.5. Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan didefinisikan sebagai usaha memberi sebagian daya atau kekuasaan (power-sharing) kepada kelompok yang dianggap kurang berdaya. Pemberian daya tersebut diharapkan akan memberi lebih banyak kesempatan kepada suatu kelompok tertentu untuk berkembang dengan memanfaatkan potensi yang ada dalam dirinya maupun peluang yang tumbuh di luar kelompok (Adimiharja dan Hikmat (2004) dalam Ariffudin, 2009). Sedangkan Shardlow dalam Adi (2001) melihat bahwa berbagai pengertian yang ada mengenai pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok, maupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan (Bappenas, 2003). Pertama kecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya.
75
Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun aset material guna mendukung kemandirian mereka melalui pembangunan organisasi. Kedua, kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses memberikan stimulasi, mendorong, atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Pemberdayaan mengacu kepada pentingnya proses sosial selama program berlangsung. Jadi, ia lebih berorientasi pada proses, bukan kepada hasil. Tujuan filosofis dari ini adalah untuk memberikan motivasi atau dorongan kepada masyarakat dan individu agar menggali potensi yang ada pada dirinya untuk ditingkatkan kualitasnya, sehingga akhirnya mampu mandiri. Terlihat bahwa proses pembelajaran dan adanya proses menuju pembuatan perubahan yang permanen merupakan kunci utama dalam pemberdayaan. 2.6. Pendekatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Kemiskinan bukan merupakan permasalahan ekonomis semata (rendahnya pendapatan dan produktivitas kerja), melainkan juga merupakan permasalahan sosial yang kompleks, sehingga memerlukan pendekatan komprehensif dan terpadu yang melibatkan berbagai pihak terkait. Karena itu pendekatan dalam menelaah dan menangani kemiskinan sangat tepat jika dipengaruhi oleh perspektif pekerjaan sosial (social work) (Suharto, 2003). Pekerjaan sosial dimaksud, bukanlah kegiatan-kegiatan sukarela atau pekerjaan-pekerjaan amal begitu saja, melainkan merupakan profesi pertolongan kemanusiaan yang memiliki dasar-dasar keilmuan (body of knowledge), nilai-nilai (body of value) dan keterampilan (body of skils) profesional. Departemen Sosial merupakan salah satu lembaga yang menerapkan pendekatan ini melalui Program Kesejateraan Sosial (Prokesos) dalam mengkaji masalah kemiskinan yang dilaksanakan baik secara intradepartemen maupun antar-departemen bekerjasama dengan departemen-departemen lain secara lintas sektoral. Prokesos menggunakan pendekatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang dilandasi pertimbangan akan kenyataan berbagai keterbatasan yang melekat pada
76
perorangan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Penanganan secara kelompok dimaksudkan juga guna menumbuh-kembangkan semangat kebersamaan dalam upaya peningkatan taraf kesejahteraan sosial. Langkah/kegiatan pokok pembentukan KUBE untuk sasaran PMKS lainnya adalah sebagai berikut: 1. Pelatihan keterampilan berusaha, dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan praktis berusaha yang disesuaikan dengan minat dan ketrampilan PMKS serta kondisi wilayah, termasuk kemungkinan pemasaran dan pengembangan basil usahanya. Nilai tambah lain dari pelatihan adalah tumbuhnya rasa percaya diri dan harga diri PMKS untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dan memperbaiki kondisi kehidupannya; 2.
Pemberian bantuan stimulan sebagai modal kerja atau berusaha yang disesuaikan dengan keterampilan PMKS dan kondisi setempat. Bantuan ini merupakan hibah (bukan pinjaman atau kredit) akan tetapi diharapkan bagi PMKS penerima bantuan untuk mengembangkan dan menggulirkan kepada warga masyarakat lain yang perlu dibantu;
3.
Pendampingan, mempunyai peran sangat penting bagi berhasil dan berkembangnya KUBE, mengingat sebagian besar PMKS merupakan kelompok yang paling miskin dan penduduk miskin. Secara fungsional pendampingan dilaksanakan oleh Petugas Sosial Kecamatan yang dibantu oleh infrastruktur kesejahteraan sosial di daerah seperti Karang Taruna, Pekerja Sosial Masyarakat, Organisasi Sosial, dan Wanita Pemimpin Usaha Kesejahteraan Sosial. Kelompok Usaha Bersama Fakir Miskin (KUBE FM) adalah himpunan dari
keluarga yang tergolong fakir miskin dengan keinginan dan kesepakatan bersama membentuk suatu wadah kegiatan, tubuh dan berkembang atas dasar prakarsa sendiri, saling berinteraksi antar satu dengan yang lain, dan tinggal dalam satu wilayah tertentu dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas anggotanya, meningkatkan relasi sosial yang harmonis, memenuhi kebutuhan anggota, memecahkan masalah sosial yang dialaminya dan menjadi wadah pengembangan usaha bersama (Depsos RI, 2005). KUBE FM merupakan sarana untuk meningkatkan Usaha Ekonomis Produktif (khususnya dalam peningkatan pendapatan), memotivasi warga miskin untuk lebih maju secara ekonomi dan sosial, meningkatkan interaksi dan kerjasama dalam kelompok, mendayagunakan potensi dan sumber sosial ekonomi lokal, memperkuat budaya kewirausahaan, mengembangkan akses pasar dan menjalin
77
kemitraan sosial ekonomi dengan pihak terkait. Kegiatan usaha diberikan dalam bentuk pemberian bantuan modal usaha dan sarana prasarana ekonomi. Mewujudkan KUBE hendaknya diawali dengan pembentukan kelompok dari mereka oleh mereka dan untuk mereka. Satu kelompok KUBE FM dapat memilih anggotanya yang bukan termasuk kategori fakir miskin (poorest), namun masih termasuk kategori miskin (poor) atau hampir miskin (near poor) dan mempunyai kemampuan serta potensi. Kelembagaan KUBE FM ditandai dengan: 1) Jumlah anggota KUBE, yang terdiri dari 5-10 KK; 2) Ikatan pemersatu, yaitu kedekatan tempat tinggal, jenis usaha atau keterampilan anggota, ketersediaan sumber, latar belakang kehidupan budaya, memiliki motivasi yang sama, keberadaan kelompok masyarakat yang sudah tumbuh berkembang lama; 3) Struktur dan kepengurusan KUBE, yang terdiri dari Ketua, Sekretaris, dan Bendahara (Depsos RI, 2005). 2.7. Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS) Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS) adalah jenis program pemberdayaan fakir miskin Departemen Sosial RI dengan titik berat pada pemberian/penguatan modal usaha untuk KUBE yang telah dibina sebelumnya. Sasarannya adalah kelompok masyarakat miskin yang masih produktif dan telah memiliki UEP yang tergabung dalam KUBE. Tujuan program ini adalah: 1) Meningkatkan pendapatan anggota KUBE; 2) Meningkatkan kemampuan KUBE Fakir Miskin dalam mengakses berbagai pelayanan sosial dasar, pasar, dan perbankan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya; 3) Meningkatkan kepedulian dan tanggungjawab sosial masyarakat dan dunia usaha dalam penanggulangan kemiskinan; 4) Memperluas peluang dan kesempatan pelayanan kepada fakir miskin. Adapun landasan hukum P2FM melalui mekanisme BLPS adalah sebagai berikut: 1.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 2 pasal 33 dan 34;
2.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial;
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1981 tentang Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Fakir Miskin;
78
4.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan;
5.
Keputusan Menteri Sosial Nomor 84/HUK/1997 tentang Pelaksanaan Pemberian Bantuan Sosial bagi Keluarga Fakir Miskin;
6.
Keputusan Menteri Sosial Nomor 82/HUK/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Sosial;
7.
Keputusan Bersama Menkop UKM dan Menteri Sosial RI Nomor 05 Tahun 1998 dan 45/1999 tentang Pembinaan dan Pengembangan Kelompok Usaha Bersama melalui Koperasi;
8.
Keputusan
Bersama
Menteri
Sosial
dan
Menteri
Agama
No.
40/PEG/HUK/2002 dan 293/2003 tentang Pendayagunaan Dana Zakat untuk Pemberdayaan Fakr Miskin; 9.
Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Nomor 05 Tahun 2006 tentang Pedoman Umum dan Kelompok Kerja Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan;
10. Perjanjian Kerjasama Departemen Sosial RI dan Bank Rakyat Indonesia, Tbk. Sumber dana BLPS berasal dari anggaran Pemerintah Pusat (melalui Depsos RI) dan Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah diharapkan sharing dana APBD untuk seleksi anggota KUBE, sosialisasi, pembinaan, monitoring, evaluasi, dan pelaporan. Sifat bantuan ini adalah hibah bersyarat dimana setiap KUBE wajib menyisihkan sisa hasil usahanya untuk perguliran kepada anggota masyarakat miskin yang belum mendapat bantuan. Adapun
tahapan
Program
Pemberdayaan
Fakir
Miskin
melalui
pengembangan KUBE ini adalah: 1. Penetapan KUBE produktif oleh pemerintah daerah; 2. Seleksi dan rekruitmen pendamping berdasarkan usulan pemerintah daerah kepada Direktorat Kelembagaan Sosial Depsos RI; 3. Pelatihan Pendamping oleh Balai Diklat Depsos RI; 4. Penjajagan lokasi dan pemetaan kebutuhan oleh Petugas Depsos RI bersama Dinas/Pemda setempat, memperhitungkan potensi wilayah calon penerima bantuan dan hal lain yang mendukung kelancaran program;
79
5. Sosialisasi, dilaksanakan dengan sasaran masyarakat penerima bantuan dan stakeholder lain dengan tujuan mencapai pemahaman yang utuh tentang P2FMBLPS. 6. Pengusulan kegiatan UEP, dilakukan melalui ajuan proposal kepada bank setelah melalui musyawarah yang kondusif. 7. Pembinaan UEP dilakukan oleh pendamping desa dan kecamatan dan stakeholder terkait. Untuk menjaga eksistensi KUBE mulai dari awal dibentuk sampai menjadi KUBE mandiri diperlukan pendampingan sosial oleh Pembina Usaha dan Unsur Aparat Desa/Pekerja Sosial. Pendampingan sosial adalah suatu proses menjalin relasi sosial antara pendamping dengan anggota KUBE dan masyarakat sekitar dalam rangka memecahkan masalah, memperkuat dukungan, mendayagunakan potensi dan sumber serta meningkatkan akses anggota terhadap pelayanan sosial dasar, lapangan kerja dan fasilitas pelayanan publik lainnya. Tujuan
umum
pendampingan
ini
adalah
meningkatkan
motivasi,
kemampuan dan peran para anggota dalam mencapai kualitas hidup, kemandirian, dan kesejahteraan anggotanya. Sementara tujuan khususnya adalah: • Meningkatkan kemampuan KUBE dalam menemu-kenali permasalahan, potensi para anggota, dan sumber daya sosial yang ada; • Merencanakan, melaksanakan dan evalusi kegiatan pemecahan permasalahan kesejahteraan sosial; • Untuk mendapatkan modal usaha yang disediakan pemerintah melalui BRI; • Akses terhadap lapangan pekerjaan, pelayanan sosial dasar, dan fasilitas pelayanan publik lainnya; • Pemenuhan kebutuhan dasar keluarga (sandang, pangan, papan, lapangan kerja, pendidikan dasar, pelayanan kesehatan dasar, air bersih dan sanitasi lingkungan); • Mempertanggungjawabkan kegiatan/usaha ekonomi dan Usaha Kesejahteraan Sosial yang dilakukan bersama-sama.
2.8. Hasil Penelitian Terdahulu 2.8.1. Penelitian Mengenai Kemiskinan
80
Berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat melalui P2KP oleh Solihin (2005) diperoleh hasil bahwa permasalahan kemiskinan terletak pada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Aspek Ekonomi dimana keterbatasan modal, rendahnya pendapatan masyarakat, kurangnya aset produksi dan tabungan menyebabkan masyarakat tidak berdaya dalam meningkatkan ekonomi rumah tangganya. Aspek sosial diantaranya adalah kurangnya interaksi masyarakat dengan lingkungan sosialnya dan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, sedangkan aspek lingkungan adalah minimnya sarana dan prasarana publik yang ada sehingga menyebabkan mobilitas masyarakat tidak optimal. Menurut An-Naf (2007) Kemiskinan di Indonesia bersifat baik absolut (absolute poverty) maupun relatif (relative poverty). Kemiskinan terjadi karena faktor alam, letak geografis yang jauh dari titik pertumbuhan (growth centre), bencana alam maupun faktor-faktor yang bersifat struktural. Faktor-faktor yang bersifat struktural yaitu kurangnya pemerataan pembangunan dan kurang distribusi pendapatan akibat paradigma pembangunan yang kapitalistik dan sangat berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (economic growth oriented) serta perencanaan yang sangat kaku dan terpusat selama kurang lebih 35 tahun rangkaian pelaksanaan Repelita 1966-2001. Upaya-upaya perubahan struktural seperti mengubah distribusi pendapatan secara fungsional, redistribusi harta (assets) ataupun penerapan sistem pajak yang progresif tidak memberikan hasil yang signifikan terhadap pengentasan kemiskinan karena kurang efektifnya pemerintah dalam mengendalikan sistem ekonomi kapitalis yang demikian dominan. Pemerintah hanya mampu menyentuh golongan lemah dengan pendekatan proyek-proyek kemanusiaan (humanitarian program) baik yang bersifat program rehabilitasi (rehabilitation; cash program) yang biasanya ditindaklanjuti dengan upaya-upaya pemberdayaan (empowerment) ekonomi rakyat. 2.8.2. Penelitian Mengenai KUBE Salah satu strategi pemberdayaan yang dilakukan untuk mengatasi kemiskinan adalah dengan pendekatan kelompok melalui KUBE. Namun demikian, banyak KUBE yang dibentuk dan dikembangkan oleh pemerintah mengalami
81
kegagalan yang disebabkan oleh penyeragaman tindak lanjut dalam strategi pengembangannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan KUBE adalah faktor keanggotaan, jenis usaha, motif anggota, penegasan norma kelompok, penegasan struktur kelompok, dan kemitraan dengan pihak luar. Permasalahan banyak muncul pada aspek penegasan norma kelompok dan kemitraan dengan pihak luar. Proses pemberdayaan dalam KUBE berawal pada saat pembentukan kelompok. KUBE yang berdaya adalah KUBE yang dilandasi motif yang sama dari anggotanya dan melaksanakan usaha secara berkelompok bukan perorangan. Masalah yang dihadapi KUBE meliputi kesulitan memperluas jaringan pemasaran, kesulitan memperoleh bahan baku, kesulitan memperoleh tambahan modal, belum terwujudnya kekompakkan kelompok, dan belum adanya komitmen terhadap kesepakatan yang telah diputuskan (Wahyuni, 2005). Kajian yang dilakukan Widiyanto (2005) terhadap KUBE ternak sapi di Desa Beji Kecamatan Gunung Kidul DI. Yogyakarta menemukan bahwa performa KUBE berbeda-beda yang dipengaruhi oleh performa anggota, performa pengurus, dukungan dari pihak luar, potensi sumberdaya ekonomi, dan modal sosial. Hasil kajian Holiah (2006) menunjukkan adanya perbedaan tingkat perkembangan KUBE walaupun pada awal pembentukannya memiliki kondisi dan kualitas yang relatif sama. Dalam kajian Andayasari (2006,) umumnya upaya pengembangan KUBE FM dilakukan dengan menggunakan falsafah pembangunan dari-atas-ke-bawah (TopDown) sehingga secara umum kegagalan program KUBE FM adalah ketidaksiapan keluarga miskin dalam menerima bantuan sehingga masih memerlukan pihak lain dalam membantu mengembangkannya. Untuk itu falsafah pembangunan dari-atas-kebawah (Top-Down) harus diimbangi dengan kesiapan semua pihak yaitu dari-bawahke-atas (Bottom-Up). Berdasarkan Muchtar (2007) yang mengkaji kesiapan pemda dalam pelaksanaan P2FM melalui BLPS-KUBE di 5 Kabupaten menyimpulkan bahwa: 1) pemda setempat telah menunjukkan respon yang positif terhadap P2FM dengan mengalokasikan anggaran melalui APBD guna menjamin keberlangsungan P2FM, namun iktikad baik tersebut belum diikuti kebijakan Pemda setempat dalam penganggaran (budgetting); 2) masih minimnya kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku/Satker P2FM kabupaten/kota sehingga dikhawatirkan tidak terselesaikannya
82
rangkaian kegiatan program secara baik; 3) kurang jelasnya fungsi dan peran instansi teknis terkait (sosial) tingkat provinsi dalam struktur organisasi P2FM; 4) adanya ketidakharmonisan hubungan pejabat yang sangat berdampak negatif bagi program; 5) tidak konsistennya pelaku P2FM tingkat pusat pada program yang dirancangnya. Hal ini terlihat misalnya dengan tidak dilakukannya workshop tingkat nasional bagi para pelaku P2FM di daerah sebagai langkah awal penyatuan pemahaman, pemikiran dan langkah antara pelaku P2FM tingkat pusat dan daerah.
83
BAB III METODE KAJIAN
3.1. Kerangka Pemikiran Kondisi Kabupaten Bogor dengan jumlah penduduk miskin yang terus meningkat pada periode tahun 2003-2006 tidak sejalan dengan pencapaian Laju Pertumbuhan Ekonomi-nya yang selalu meningkat di atas lima persen. Ini membuktikan bahwa masih banyak aktivitas ekonomi di Kabupaten Bogor yang tidak memberikan multiplier effect bagi perluasan kesempatan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini yang memicu Pemerintah Kabupaten Bogor memprioritaskan pengurangan angka kemiskinan melalui kebijakan-kebijakan yang mendukung upaya penanggulangan kemiskinan 11. Dalam upaya penanggulangan kemiskinan, Pemerintah Kabupaten Bogor telah menetapkan 6 kebijakan terpadu yang akan saling mendukung terselenggaranya pengentasan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Mengingat luasnya wilayah Kabupaten Bogor yang berimplikasi pada berbeda-bedanya karakteristik kemiskinan masyarakat, maka dibutuhkan informasi kondisi kemiskinan di tiap wilayah agar dapat dilihat perbedaan karakteristik, penyebab, dan permasalahan kemiskinannya. Profil kemiskinan ini akan sangat berguna dalam menentukan sasaran program-program penanggulangan kemiskinan sehingga bisa diketahui relevansinya dengan keadaan masyarakat. Dalam
mengimplementasikan
program/kegiatan
penanggulangan
kemiskinan, ternyata penerapan kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor tidak dapat diarahkan secara langsung karena dipengaruhi oleh implementasi Renstra/RPJMD, Renja, dan Tupoksi masing-masing instansi pemerintah. Hal ini berarti operasionalisasi upaya penanggulangan kemiskinan tergantung pada program/kegiatan di tiap instansi tersebut. Atas dasar itu, terlebih dahulu perlu dipahami keterpaduan antara Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Daerah dengan program/kegiatan yang mendukung penanggulangan kemiskinan di tiap-tiap instansi. 11
Penanggulangan kemiskinan menjadi prioritas pembangunan urutan pertama dalam 8 prioritas Arah Kebijakan Umum APBD Kabupaten Bogor pada Tahun Anggaran 2007 (LKPJ Bupati Bogor Tahun 2003-2008)
84
Adanya Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan di tingkat nasional juga mempengaruhi implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Salah satunya adalah P2FM-BLPS yang dianggap mendukung kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor. Dengan memahami relevansinya terhadap kondisi kemiskinan masyarakat dan posisinya dalam upaya penanggulangan kemiskinan serta kondisi pelaksanaannya, maka berikutnya dirumuskan strategi pengembangan kebijakan. Tujuan dari strategi ini adalah agar kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE dapat diterapkan di seluruh wilayah Kabupaten Bogor sehingga fakir miskin dapat berkurang secara nyata. Kerangka pemikiran kajian ini tersaji dalam Gambar 7. Kondisi Umum Kabupaten Bogor
Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor • Rencana Strategis/RPJMD
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Daerah
Profil Kemiskinan Daerah • Karakteristik penduduk miskin • Penyebab Kemiskinan • Persoalan Kemiskian
• • • • • •
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Nasional • Program Bantuan dan Perlindungan Sosial • Program Pemberdayaan Masyarakat/PNPM Mandiri • Program Pemberdayaan UMK
Peningkatan Kualitas Pendidikan Peningkatan Kualitas Kesehatan Peningkatan Infrastruktur Pemberdayaan Ekonomi Peningkatan Perlindungan Sosial Pengarusutamaan Gender
Implementasi Kebijakan • Pelaksanaan Program/Kegiatan di tiap instansi • Keterpaduan Program/Kegiatan
Pemberdayaan Fakir Miskin melalui BLPS dalam rangka Penguatan Modal KUBE Fakir Miskin • Evaluasi Pelaksanaan • Keberhasilan Program
Relevansi terhadap permasalahan kemiskinan
Strategi Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE • Alternatif Kebijakan • Prioritas Langkah Strategis/Program • Perancangan Program
Berkurangnya Fakir Miskin melalui Pemberdayaan
Gambar 7.
Kerangka Pemikiran Strategi Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor
85
3.2. Lokasi dan Waktu Kajian Kajian dilakukan di wilayah Kabupaten Bogor, penentuan sampel lokasi penelitian ditetapkan atas dasar lokasi pelaksanaan Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui mekanisme BLPS di Kabupaten Bogor yang dilaksanakan pada dua kecamatan yaitu Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Tenjolaya. Kajian dilaksanakan selama tiga bulan dari Bulan November 2009 sampai dengan Bulan Januari 2010.
3.3. Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Rancangan jenis dan sumber data untuk membahas tujuan kajian sebagaimana terlihat pada Tabel 1. Data sekunder meliputi hasil Sensus Daerah (SUSDA) Kabupaten Bogor Tahun 2006, hasil Analisis Kemiskinan Partisipatif oleh BAPPEDA Tahun 2007, data penerima dana dan Laporan Pelaksanaan BLPS Kecamatan Pamijahan dan Tenjolaya, RPJMD 2008-2013, LKPJ Bupati Bogor Tahun 2007-2008, LAKIP Tahun 20072008,
dokumen
SPKD
Tahun
2008-1012,
serta
dokumen-dokumen
dari
instansi/lembaga lain yang terlibat dalam penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Tabel 1. Rancangan Kajian untuk Membahas Tujuan No
Tujuan
Data Jenis Data Sekunder
Sumber Hasil Sensus Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2006, Hasil Analisis Kemiskinan Partisipatif Bappeda 2007
Metode Analisis
1
Menganalisis kondisi kemiskinan masyarakat Kabupaten Bogor
2
Menganalisis implementasi kebijakan Pemerintah Kabupaten Bogor dalam penanggulangan kemiskinan
Data Sekunder
RPJMD, LAKIP, LKPJ, SPKD Kabupaten Bogor
Analisis Deskriptif, Content Analysis
3
Mengevaluasi pelaksanaan BLPS di Kabupaten Bogor
Data Primer dan Sekunder
KUBE FM Penerima BLPS, dan Pendamping.Sosial (survey/wawancara)
Analisis Deskriptif
4
Merumuskan langkah strategis mengembangkan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE
Data Primer
Pengambil Kebijakan (kuisioner)
Analysis Hierarchy Process (AHP)
Statistik Deskriptif
86
Pengumpulan data primer dilakukan melalui observasi langsung di lapangan dan wawancara dengan responden dan para pakar yang terlibat langsung dengan program. Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini mencakup dua hal utama, yaitu: (1) data tentang kondisi pelaksanaan BLPS dan (2) data tentang persepsi stakeholders terhadap pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor.
3.4. Metode Penentuan Responden Responden kajian ini dikelompokkan dalam 3 jenis yaitu: masyarakat, pengambil kebijakan, serta wakil kelembagaan masyarakat. 1) Responden Masyarakat. Masyarakat yang ditetapkan sebagai responden adalah Rumah Tangga Miskin (RTM) yang tergabung dalam KUBE. 2) Responden Pengambil Kebijakan. Pengambil kebijakan adalah pihak-pihak yang terkait dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor, diantaranya yaitu unsur BAPPEDA, BPMPD, Dinsosnakertrans, dan TKPK Kabupaten Bogor. 3) Wakil Kelembagaan adalah orang yang ditunjuk untuk mewakili organisasi yang ada di masyarakat, seperti: Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) atau Pendamping Sosial, dan Koperasi. Teknik penentuan responden Masyarakat diambil secara purposive random sampling untuk mendapatkan gambaran efektivitas pelaksanaan BLPS melalui penguatan modal KUBE Fakir Miskin. Sedangkan penentuan responden Pengambil Kebijakan dipilih secara purposive atau sengaja berdasarkan kapasitasnya dalam upaya pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor. Responden Wakil Kelembagaan juga ditentukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa responden memahami secara baik obyek kajian. Pemilihan responden Pengambil Kebijakan dilakukan dalam rangka menentukan prioritas pengembangan kebijakan yang dipilih dari 6 orang pejabat di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Bogor yaitu: a. Kepala Bappeda Kabupaten Bogor, dalam kapasitas sebagai Kepala Perencana Pembangunan di Kabupaten Bogor sekaligus Ketua II TKPK Kabupaten Bogor;
87
b. Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Kabupaten Bogor, dalam kapasitas sebagai Ketua III TKPK Kabupaten Bogor c. Kabid Kesejahteraan Rakyat dan Sosial pada Bappeda Kabupaten Bogor, dalam kapasitas sebagai Koordinator Pokja Bidang Kebijakan dan Perencanaan TKPK Kabupaten Bogor; d. Kabid Pemberdayaan Kelembagaan Masyarakat pada BPMPD Kabupaten Bogor, dalam kapasitas sebagai Koordinator Pokja Bidang Kelembagaan dan pernah terlibat sebagai Koordinator Tim dalam pelaksanaan PNPM Mandiri; e. Kasi Pemulihan Sosial pada Dinsosnakertrans Kabupaten Bogor, dalam kapasitas sebagai pejabat lama pelaksana (Pendamping) BLPS di Kabupaten Bogor; f. Kasi Bantuan dan Perlindungan Sosial pada Dinsosnakertrans Kabupaten Bogor, dalam kapasitas sebagai pejabat baru yang akan melanjutkan pelaksanaan BLPS di Kabupaten Bogor.
3.5. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data Titik berat kajian adalan upaya pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE, maka pengolahan data yang dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Untuk menganalisis data kualitatif menurut Miles dan Ruberman (1992) dalam Sitorus dan Agusta (2004), analisis data kualitatif meliputi: 1. Reduksi data, adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan dan transformasi data yang masih kasar. 2. Penyajian data, yaitu sekumpulan data dan informasi yang sudah tersusun rapi yang memberi kemungkinan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. 3. Penarikan kesimpulan, yaitu proses menemukan data yang bertujuan untuk memahami tafsiran dalam konteksnya dengan masalah secara keseluruhan. Adapun metode analisis data yang digunakan dalam menjawab tujuan kajian adalah: 3.5.1. Analisis Statistik Deskriptif Statistik deskriptif adalah metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang bermanfaat (Walpole, 1992 dalam Wibowo, 2008). Beberapa metode statistika deskriptif yang
88
digunakan adalah: penyajian data dalam bentuk grafik atau tabel, penentuan nilai ratarata, dan beberapa metode statistika deskriptif lainnya. Analisis statistik deskriptif digunakan untuk mengkaji data statistik kondisi kemiskinan. Berdasarkan data tersebut, dilakukan interpretasi dan generalisasi kondisi karakteristik, penyebab, dan persoalan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Analisis statistik deskriptif ini juga digunakan untuk mengevaluasi pelaksanaan BLPS di Kabupaten Bogor. 3.5.2. Analisis Isi Analisis isi (content analysis) adalah metode penelitian yang bersifat mendeskripsikan manifestasi komunikasi secara obyektif, sistematis, dan kuantitatif (Tonny, 2009). Ciri dari Metode Analisi Isi adalah: 1) Prosedur, aturan, dan kriteria yang obyektif; 2) Sistematis dalam pengkategorian; 3) Bisa untuk mengeneralisasi; 4) Menganalisi ‘bentuk’ dan ‘isi’; dan 5) Bersifat kuantitatif dan kualitatif. Pelopor analisis isi adalah Harold D. Lasswell, yang memelopori teknik symbol coding, yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian diberi interpretasi. Aturan pengkategorian dilakukan berkaitan tujuan penelitian, bersifat tuntas dimana setiap data harus masuk dalam kategori, tidak saling tergantung dimana satu data hanya masuk satu kategori, bebas namun tidak mengganggu kategori lain, dan klasifikasinya bersifat tunggal (Bungin, 2005). Analisis isi dapat digunakan untuk menganalisis semua bentuk komunikasi, baik surat kabar, berita radio, iklan televisi maupun semua bahan-bahan dokumentasi yang lain. Analisis ini dapat berbentuk kuantitatif maupun kualitatif. Analisis isi kuantitatif digunakan untuk membedah muatan teks komunikasi yang bersifat manifest (nyata), sedangkan analisis isi kualitatif justru memfokuskan pada pesan yang bersifat latent (tersembunyi). Jika pada analisis kuantitatif, pertanyaan lebih ditekankan untuk menjawab “apa” (what) dari pesan atau teks komunikasi, pada analisis wacana lebih difokuskan untuk melihat pada “bagaimana” (how), yaitu bagaimana isi teks berita dan juga bagaimana pesan itu disampaikan. Analisis isi kualitatif tidak berpretensi melakukan generalisasi karena lebih menekankan pada pemaknaan teks daripada penjumlahan unit kategori, sedangkan analisis isi kuantitatif memang diarahkan untuk membuat generalisasi.
89
3.6. Metode Perancangan Program Perancangan program merupakan tahap penyampaian hasil kajian kepada para stakeholder pembangunan daerah yang berkompeten dalam pengambilan keputusan bagi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin. Respon dari para stakeholder dihimpun sedemikian rupa untuk menentukan prioritas langkah strategis dalam pembangunan daerah sebagai strategi penerapan hasil kajian. Pemaparan program disampaikan kepada beberapa pihak di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor untuk mendapat pertimbangan. Data respon para stakeholder ini kemudian dianalisis dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk menyusun prioritas program pembangunan daerah dalam upaya mengembangkan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE. Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah metode yang digunakan untuk mengambil keputusan yang kompleks dengan menggunakan pendekatan matematika dan psikologi atau persepsi manusia. Metode ini dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1970. Beberapa keunggulan dari AHP antara lain: 1) melibatkan persepsi seorang ahli yang mengerti persoalan sebagai bahan masukan; 2) mampu memecahkan masalah yang memiliki banyak tujuan (multi objectives) dan banyak kriteria (multi criterias); 3) mampu memecahkan persoalan yang kompeks dan tidak terkerangka akibat dari data yang minim. Adapun kelemahan AHP yang sebenarnya juga dapat berarti kelebihan adalah bahwa metode penyelesaian sederhana sehingga bagi beberapa orang sering dianggap kurang meyakinkan (Permadi, 1992). Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hirarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin, 2004). Menurut Saaty (1993) dalam Faletehan (2009), ada tiga prinsip dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, yaitu:
90
1. Prinsip menyusun hirarki Pada bagian ini mencakup pertimbangan-pertimbangan ataupun langkah-langkah menuju suatu keputusan yang akan diambil. Sasaran utama yang merupakan suatu tujuan, disusun ke dalam bagian yang menjadi elemen pokoknya, dan kemudian bagian ini dimasukkan ke dalam bagiannya lagi, dan seterusnya secara hirarki. Sehingga persoalan yang sangat kompleks dipecah menjadi bagian-bagiannya sehingga memudahkan pengambilan keputusan. 2. Prinsip menetapkan prioritas Untuk menetapkan prioritas perlu dilakukan perbandingan antara satu aspek dengan aspek yang lainnya, sehingga dapat ditentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif pentingnya. 3. Prinsip konsistensi logis Pada prinsip ini harus konsisten terhadap pilihan yang telah diputuskan, dan elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten dengan kriteria yang logis. Nilai rasio konsistensi paling tinggi adalah 10 persen, jika lebih maka pertimbangan yang telah dilakukan perlu diperbaiki. Adapun langkah-langkah dalam metode AHP yang digunakan dalam kajian ini adalah sebagai berikut: a) Mendefinisikan permasalahan dan pemecahan masalah yang diinginkan. Permasalahan yang akan dipecahkan adalah merumuskan strategi pengembangan kebijakan fakir miskin melalui KUBE, dengan demikian diperlukan pemecahan berupa langkah-langkah strategis dalam rangka mengembangkan kebijakan tersebut. b) Membuat struktur hirarki dari sudut pandang manajerial secara menyeluruh. Berdasarkan Permadi (1992), proses penyusunan hirarki lebih bersifat seni daripada ilmu pengetahuan, maka tidak ada bentuk yang baku untuk memecahkan suatu kasus. Biasanya pembuatan hirarki melihat pada contoh hirarki yang sudah pernah dibuat untuk menyelesaikan suatu kasus, kemudian dengan berbagai modifikasi dibuat hirarki sendiri untuk memecahkan kasusnya. Pada kajian ini struktur hirarki dimodifikasi dari struktur hirarki AHP dalam kajian Kuswari
91
(2005) yang mengkaji Strategi Pengembangan Agribisnis Kelapa di Indragiri Hilir, Propinsi Riau. Fokus tujuan pada puncak hirarki (level 1) adalah mengembangkan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE. Pada tingkat berikutnya yang lebih rendah (level 2) ditetapkan kebijakan strategis yang bisa dipilih untuk dikembangkan. Level 3 mencakup kategori aspek-aspek yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan tersebut. Sedangkan tingkatan terakhir (level 4) mencakup langkah strategis/program yang akan diprioritaskan dalam mengembangkan kebijakan. Struktur hirarki dalam kajian dapat dilihat pada Gambar 8. c) Menetapkan prioritas dan menyusun matriks banding berpasangan Dalam menetapkan prioritas, langkah yang dilakukan adalah membuat perbandingan dari setiap elemen yang berpasangan. Bentuk dari perbandingan berpasangan ini berupa matriks. Dari matriks banding berpasangan dapat diketahui pengaruh setiap elemen yang relevan atas setiap kriteria yang berpengaruh terhadap fokus tujuan. Proses perbandingan berpasangan dimulai pada puncak hirarki lalu pada elemen satu tingkat dibawahnya, dan seterusnya. Untuk melakukan pembandingan digunakan nilai skala banding berpasangan (Tabel 2). Tabel 2. Nilai Skala Banding Berpasangan Intensitas pentingnya 1 3 5 7 9 2,4,6,8
Definisi Kedua elemen sama pentingnya Elemen yang satu lebih sedikit penting dari elemen yang lain Elemen yang satu sangat penting dari elemen yang lain Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lain Satu elemen mutlak lebih penting dari elemen yang lain Nilai-nilai antara dua pertimbangan yang berdekatan
Penjelasan Dua elemen menyumbangkan sama besar pada sifat itu Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas elemen yang lain Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen yang lain Satu elemen dengan kuat disokong dan dominannya telah terlihat dalam praktek Bukti yang menyokong elemen yang satu atas elemen yang lainnya memiliki tingkat penegasan yang mungkin menguatkan. Kompromi diperlukan diantara dua pertimbangan
Sumber : Saaty (1993)
d) Menghitung Matriks Pendapat Individu Melalui penyebaran kuisioner terhadap stakeholders, maka terkumpul semua pertimbangan dari hasil perbandingan berpasangan antarelemen pada langkah c.
92
Selanjutnya adalah menghitung semua pertimbangan yang didapat dari setiap kriteria yang dibandingkan,
individu. Prinsip penilaian pada AHP bila terdapat maka harus dihasilkan
matriks, setiap sel
mempunyai karakteristik
sedemikian sehingga; =
atau
x
=
Formulasi Matriks Pendapat Individu adalah sebagai berikut:
… … A=
… …
…
...
… …
Dalam hal ini
,
, …,
adalah set elemen pada suatu tingkat keputusan
dalam hirarki. Kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi berpasangan membentuk matriks
x
. Nilai
merupakan nilai matriks pendapat hasil
komparasi yang mencerminkan nilai kepentingan
terhadap
.
e) Menghitung Matriks Pendapat Gabungan Karena jumlah responden tidak hanya satu orang maka disusun Matriks Pendapat Gabungan yang dapat mewakili pertimbangan keseluruhan responden. Tujuan dari penghitungan matriks pendapat gabungan adalah untuk membentuk suatu matriks yang mewakili matriks-matriks pendapat individu yang nilai rasio konsistensinya memenuhi syarat (Faletehan, 2009). Metode yang digunakan dapat berupa menggunakan rata-rata hitung atau rata-rata ukur (rata-rata geometrik). Dalam kajian ini metode menghitung matrik pendapat gabungan yang dipakai adalah ratarata ukur atau rata-rata geometrik dengan asumsi peran setiap responden sama. Berdasarkan Permadi (1992), rumus yang digunakan untuk menghitung rata-rata geometrik adalah sebagai berikut: , dimana:
93
=
Penilaian gabungan pada elemen
=
Penilaian elemen
=
Banyaknya Responden
oleh responden ke-i (dalam skala 1/9 – 9)
Selanjutnya dengan menggunakan perangkat lunak Expert Choice 2000 yang dibuat oleh Expert Choice Inc, nilai gabungan pada masing-masing elemen dimasukkan kembali pada matriks perbandingan berpasangan sehingga diperoleh nilai bobot prioritas (local) dari masing-masing elemen dalam suatu tingkat hirarki. f) Sintesis Untuk memperoleh peringkat prioritas menyeluruh (global) bagi suatu persoalan keputusan, maka dilakukan sintesis pertimbangan sebagaimana yang telah dibuat dalam perbandingan berpasangan dengan cara pembobotan dan penjumlahan untuk menghasilkan satu bilangan tunggal yang menunjukkan prioritas setiap elemen. g) Konsistensi Dalam
pengambilan
keputusan,
perlu
diketahui
tingkat
konsistensinya.
Konsistensi sampai pada tingkatan tertentu diperlukan untuk memperoleh hasil yang optimal dengan keadaan di dunia nyata. AHP mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui suatu rasio konsistensi. Nilai rasio konsistensi paling tinggi adalah 10 persen, jika lebih maka pertimbangan yang telah dilakukan perlu diperbaiki.
Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE
Perbaikan Tata Kelola Program
Pendanaan
Manajemen
Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas
Pendampingan Sosial
Sharing Tata Ulang Sosialisasi Seleksi Monitoring Kualitas Pendanaan Perguliran dan Penerima dan PendamDana Koordinasi Program Evaluasi ping
Modal Sosial
Kelembagaan Masyarakat
Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin
Penguatan Usaha
Kualitas SDM Anggota
Kelembagaan KUBE
Intensitas KeperTingkat Kelembaga Kelembaga Kemudahan Kerjasama Pendidikan Pendidikan Peran Serta Koperasi Akses Partisipasi -an Formal -an Non Kemitraan Formal Anggota Pendamcayaan Non Modal Formal Formal pingan Masyarakat
Gambar 8. Struktur Hirarki AHP Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE
Akses Pasar
Sarana Prasarana
Sistem Ekonomi Lokal
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH KABUPATEN BOGOR
3.7. Kondisi Geografis dan Administratif Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten dalam lingkungan Provinsi Jawa Barat. Luas wilayah Kabupaten Bogor adalah 298.838,304 hektar, dan secara geografis terletak antara 6° 19’ - 6° 47’ Lintang Selatan dan 106° 1’ - 107° 103’ Bujur Timur. Secara administratif, Kabupaten Bogor berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Depok di sebelah Utara, kemudian dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Karawang di sebelah Timur, sedangkan di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Cianjur, sementara di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak Provinsi Banten serta di tengahtengah terletak Kota Bogor (Gambar 9). Secara administratif, Kabupaten Bogor terdiri atas 428 Desa/Kelurahan, yang terdiri dari 411 desa, 17 kelurahan, 3.639 RW, 14.403 RT yang tercakup dalam 40 Kecamatan (Bappeda Kabupaten Bogor, 2007).
Sumber: Bappeda Kabupaten Bogor, 2007
Gambar 9. Peta Administratif Kabupaten Bogor
44
Berdasarkan strategi perwilayahan pembangunan yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Program Pembangunan Daerah (Propeda) Kabupaten Bogor bahwa wilayah Kabupaten Bogor dikelompokkan ke dalam 3 Wilayah Pembangunan, yaitu: 1) Strategi percepatan di wilayah Bogor Barat, yang mencakup 13 Kecamatan, yaitu Kecamatan Nanggung, Leuwiliang, Leuwisadeng, Pamijahan, Cibungbulang, Ciampea, Tenjolaya, Rumpin, Cigudeg, Sukajaya, Jasinga, Tenjo dan Parungpanjang, dengan total wilayah seluas 128.750 hektar; 2) Strategi pengendalian di wilayah Bogor Tengah, yang mencakup 20 Kecamatan, yaitu Kecamatan Dramaga, Ciomas, Tamansari, Cijeruk, Cigombong, Caringin, Ciawi, Cisarua, Megamendung, Sukaraja, Babakan Madang, Citeureup, Cibinong, Bojonggede, Tajurhalang, Kemang, Rancabungur, Parung, Ciseeng dan Kecamatan Gunungsindur, dengan total wilayah seluas 87.552 hektar; 3) Strategi pemantapan di wilayah Bogor Timur, yang mencakup 7 Kecamatan, yaitu Kecamatan Sukamakmur, Cariu, Tanjungsari, Jonggol, Cileungsi, Klapanunggal dan Kecamatan Gunungputri, dengan total wilayah seluas 100.800 hektar.
3.8. Kependudukan dan Sumber Daya Manusia Penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2003 mencapai 3.711.885 jiwa dan pada tahun 2007 jumlah penduduk Kabupaten Bogor telah mencapai 4.237.962 jiwa (data dari penyempurnaan hasil SUSDA melalui coklit, 2007) atau sekitar 10,32 persen dari jumlah penduduk Propinsi Jawa Barat (41.483.729 jiwa) dan menempati urutan kedua setelah Kabupaten Bandung bilamana dilihat dari jumlah penduduk di seluruh kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jawa Barat. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Kabupaten Bogor selama periode tahun 2003-2007 seperti ditunjukkan pada Gambar 10 tergolong cukup terkendali. Hal ini terlihat dari LPP pada tahun 2003-2004 yang masih berada pada angka 4,05 persen, tetapi LPP pada periode tahun 2006-2007, justru turun drastis menjadi 0,53 persen per tahun. Angka terakhir ini sejalan dengan target LPP dalam dokumen Renstra 2003-2008 yang harus berada di bawah LPP 2 persen per tahun. Hal ini mengindikasikan pula bahwa kinerja pembangunan yang berkenaan dengan upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bogor telah berhasil secara signifikan.
45
Sumber: Bappeda Kabupaten Bogor, 2007
Gambar 10. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Kabupaten Bogor Tahun 2003-2007
Sementara itu, penduduk di Kabupaten Bogor menunjukkan sebaran yang belum merata, dimana konsentrasi penduduk terpadat cenderung berada di wilayah perkotaan dan di kawasan industri seperti di ibukota Cibinong (250.695 jiwa), Kecamatan Bojonggede (205.568 jiwa), Kecamatan Cileungsi (200.010 jiwa), Kecamatan Gunungputri (186.844 jiwa), Kecamatan Ciomas (128.588 jiwa) dan Kecamatan Citeureup (167.880 jiwa), sedangkan penduduk dengan konsentrasi rendah berada di wilayah pedesaan seperti di Kecamatan Sukajaya, Cigudeg, Sukamakmur, Cariu dan Tanjungsari. Sejalan dengan kondisi sebaran penduduk itu, maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Bogor adalah 14,18 jiwa per hektar, dengan kepadatan terendah di Kecamatan Tanjungsari yaitu sebesar 3,06 jiwa per hektar, dan tingkat kepadatan tertinggi yaitu 78,60 jiwa per hektar di Kecamatan Ciomas. Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian/profesi, terdiri dari PNS sebanyak 52.923 orang (4,36 persen), TNI/Polri sebanyak 11.328 orang (0,93 persen), karyawan/pegawai swasta sebanyak 327.350 orang (26,95 persen), wiraswasta/pengusaha sebanyak 361.463 orang (29,75 persen), petani sebanyak 71.010 orang (5,85 persen), peternak sebanyak 1.211 orang (0,10 persen), jasa sebanyak 56.354 orang (4,64 persen), buruh sebanyak 325.718 orang (26,81 persen) dan profesi lainnya sebanyak 7.489 orang (0,62 persen). Tampak pada data di atas bahwa sebagian besar dari seluruh mata pencaharian penduduk Kabupaten Bogor adalah berprofesi sebagai wiraswasta, karyawan/pegawai swasta, dan buruh (Gambar 11).
46
Sumber: Bappeda Kabupaten Bogor, 2007
Gambar 11. Komposisi Penduduk Berdasarkan Kabupaten Bogor Tahun 2007
Mata
Pencaharian
Komposisi umur penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2007, yaitu usia 0-14 tahun sebanyak 1.209.386 jiwa, usia 15-64 tahun sebanyak 2.871.380 jiwa, dan usia 65 tahun ke atas sebanyak 157.196 jiwa. Dengan demikian proporsi umur penduduk kabupaten bogor mayoritas adalan usia produktif 15-64 tahun yaitu 67,75 persen, disusul oleh usia 0-14 tahun sebesar 28,54 persen dan hanya sedikit lanjut usia yaitu 3,71 persen. Jumlah penduduk yang berumur 15 tahun keatas menurut jenjang pendidikan yang telah ditamatkan ternyata mayoritas hanya tamatan SD/sederajat yaitu sebesar 47,28 persen dan SLTP/sederajat sebesar 34,47 persen, dengan demikian kurang dari 20 persennya saja yang mengenyam pendidikan menengah dan tinggi (Gambar 12). Ini menggambarkan bahwa mayoritas usia produktif penduduk di Kabupaten Bogor berpendidikan rendah.
Sumber: Bappeda Kabupaten Bogor, 2007
Gambar 12. Jumlah Penduduk Yang Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenjang Pendidikan
47
Jumlah pengangguran terbuka di Kabupaten Bogor selama periode tahun 2003-2007 berfluktuatif dan relatif masih tinggi, yaitu sebanyak 280.834 orang pada tahun 2003 dan terjadi lonjakan yang sangat signifikan pada tahun 2007 menjadi 459.167 orang atau 15,99 persen dari angkatan kerja (Gambar 13). Tingginya jumlah pengangguran terbuka ini disebabkan oleh rendahnya peluang kerja dan kesempatan kerja yang bisa dimasuki oleh tenaga kerja yang ada di wilayah Kabupaten Bogor.
Sumber: Bappeda Kabupaten Bogor, 2007
Gambar 13. Jumlah Pengangguran Kabupaten Bogor Tahun 2003-2007
3.9. Kondisi Ekonomi dan Sosial Pergerakan ekonomi Kabupaten Bogor dapat diperhatikan dari nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Lapangan Usaha Kabupaten Bogor berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan. Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Bogor dalam periode 2003-2007, diketahui peningkatan nilai PDRB Kabupaten Bogor atas dasar harga berlaku dari Rp. 25,36 triliun pada tahun 2003, menjadi Rp. 51,83 triliun pada tahun 2007. Demikian juga dengan nilai PDRB atas dasar harga konstan, yaitu semula sebesar Rp. 21,08 triliun pada tahun 2003, menjadi Rp. 28,15 triliun pada tahun 2007. Berkenaan dengan nilai PDRB di atas, maka pendapatan per kapita menurut PDRB harga berlaku, yaitu sebesar Rp. 6.832.871,38 per kapita per tahun pada tahun 2003 mejadi Rp. 12.230.071,91 per kapita per tahun pada tahun 2007, sedangkan menurut PDRB harga konstan, yaitu sebesar Rp. 5.678.470,46 per kapita per tahun pada tahun 2003 menjadi sebesar Rp. 6.642.355,45 per kapita per tahun pada tahun 2007.
48
Selama lima tahun terakhir, Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten Bogor menunjukkan peningkatan pada setiap tahun, yaitu semula LPE adalah 4,81 persen pada tahun 2003, kemudian secara berurutan meningkat menjadi 5,56 persen di tahun 2004, kemudian 5,85 persen pada tahun 2005 serta 5,95 persen pada tahun 2006 dan mencapai 6,04 persen pada tahun 2007. Kondisi ini mengungkapkan bahwa pencapaian LPE dalam kurun waktu 2003-2007 telah mengikuti pola normal dalam pertumbuhan ekonomi, yaitu kenaikan yang semakin besar berarti menunjukan perkembangan ekonomi yang menggembirakan selama lima tahun terakhir di wilayah Kabupaten Bogor, dengan kontribusi terbesarnya berasal dari sektor sekunder (Gambar 14).
Sumber: BPS Kabupaten Bogor, 2007
Gambar 14. Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten Bogor Tahun 2003-2007
Adapun struktur ekonomi Kabupaten Bogor dalam kurun waktu 2003-2007, jika dilihat berdasarkan nilai PDRB harga berlaku, maka kelompok sektor sekunder (industri manufaktur, listrik, gas & air serta bangunan) memberikan kontribusi terbesar, yaitu rata-rata sebesar 70,01 persen, kemudian sektor tersier (perdagangan, hotel & restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaaan dan jasa perusahaan, jasa-jasa lainnya) dengan rata-rata sebesar 23,40 persen dan kontribusi terkecil adalah dari sektor primer (pertanian dan pertambangan), yaitu rata-rata hanya 6,04 persen dari total PDRB Kabupaten Bogor dan kontribusi dari sektor primer ini menunjukan kecenderungan yang semakin menurun dari tahun ke tahun. Kondisi taraf kesejahteraan rakyat Kabupaten Bogor bilamana diukur berdasarkan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM), maka kondisinya adalah
49
angka IPM pada tahun 2003 adalah 67,81 poin, dan terus meningkat hingga pada tahun 2007, angka IPM-nya telah mencapai 70,18 poin (Gambar 15). Namun kenaikan angka IPM selama lima tahun terakhir ini berdasarkan klasifikasi dari UNDP termasuk dalam kategori tingkat pertumbuhan yang lambat karena rata-rata kenaikannya hanyalah 0,59 poin per tahun atau di bawah 1,5 poin per tahun.
Sumber: Bappeda Kabupaten Bogor, 2007
Gambar 15. Indikator IPM Kabupaten Bogor Tahun 2003-2008
Kondisi ini berkaitan erat dengan rendahnya kontribusi dari masing-masing indeks penyusun dari angka IPM itu sendiri, diantaranya mencakup indeks pendidikan, indeks kesehatan dan indeks daya beli. Indeks-indeks dimaksud adalah akibat lanjutan dari rendahnya pencapaian dari komponen pembentuk angka IPM tersebut, yaitu Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Melek Huruf (AMH), Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dan Kemampuan Daya Beli masyarakat menurut tingkat konsumsi riil per kapita. Namun demikian, angka pencapaian IPM sebesar 70,18 poin itu menunjukkan bahwa penduduk Kabupaten Bogor termasuk dalam klasifikasi masyarakat dengan taraf kesejahteraan menengah atas, tetapi belum termasuk taraf kesejahteraan atas, karena angka IPM-nya belum mencapai angka IPM 80 sebagaimana standar yang telah ditetapkan oleh UNDP. Bilamana dicermati menurut komponen pembentuk IPM, maka tingkat pencapaiannya menunjukkan kecenderungan meningkat pada setiap tahun, meskipun kenaikannya relatif kecil (Tabel 3). Untuk Angka Harapan Hidup semula telah mencapai 66,82 tahun pada tahun 2003, naik menjadi 67,58 tahun pada tahun 2007. Sedangkan untuk Angka Melek Huruf, yaitu semula 92,80 persen pada tahun 2003 dan naik menjadi 95,78 persen pada tahun 2007, berarti masih ada sekitar 4,22 persen
50
dari penduduk yang berumur 15 tahun ke atas yang belum bebas dari tiga buta, yakni buta huruf, buta Bahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar. Tabel 3. Kondisi Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bogor Tahun 2003-2007 No 1.
2.
Indikator
2003
2004
Tahun 2005
2006
2007
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
67.81
68.10
68.99
69.45
70.18
a. b. c.
75.60 69.70 58.13
76.06 69.90 58.34
77.64 71.10 62.33
78.64 71.97 65.84
79.65 70.97 59.92
66.82 92.80 6.18 551.52
66.94 93.22 6.26 552.45
67.66 94.46 6.60 569.70
68.18 94.82 6.94 584.90
67.58 95.78 7.11 559.30
Indeks Pendidikan Indeks Kesehatan Indeks Daya beli
Komponen IPM terdiri dari : a. b. c. d.
Angka Harapan Hidup (AHH) Angka Melek Huruf (AMH) Rata-rata Lama Sekolah (RLS) Kemampuan Daya Beli Masyarakat (Konsumsi riil perkapita)
Sumber: Bappeda Kabupaten Bogor, 2007
Sementara itu, untuk Rata-rata Lama Sekolah maka kinerjanya semula 6,18 tahun pada tahun 2003 menjadi 7,11 tahun pada tahun 2007, berarti penduduk Kabupaten Bogor secara rata-rata telah tamat SD, tetapi belum tamat SMP atau belum mencapai rata-rata Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Demikian juga dengan kemampuan daya beli masyarakat, yaitu semula sebesar Rp.551.520,00 per kapita per bulan pada tahun 2003, kemudian menjadi Rp.559.300,00 per kapita per bulan pada tahun 2007, berarti ada kenaikan sebesar Rp.7.780 per kapita per bulan selama lima tahun terakhir.
51
BAB V ANALISIS KONDISI KEMISKINAN KABUPATEN BOGOR
Kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE sangat berpotensi mengurangi angka kemiskinan, namun kebijakan ini belum tentu dapat diterima oleh masyarakat karena perbedaan karakteristik masyarakatnya. Agar tepat sasaran atau dalam rangka kehati-hatian menentukan sasaran penerima bantuan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE, diperlukan kajian mengenai kondisi kemiskinan masyarakat Kabupaten Bogor terlebih dahulu agar didapat informasi mengenai relevan tidaknya pengembangan kebijakan ini diterapkan di masyarakat. Selain itu, dapat digali pula hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengentaskan kemiskinan melalui penyertaan modal di Kabupaten Bogor.
3.10.
Profil Kemiskinan Berdasarkan data Bappeda Kabupaten Bogor (2007), jumlah penduduk
miskin di Kabupaten Bogor pada tahun 2003 berjumlah 476.371 jiwa, dan terus bertambah hingga menjadi 1.157.391 jiwa pada tahun 2006. Kondisi ini berkaitan erat dengan lambannya pemulihan perekonomian Indonesia sejak krisis ekonomi tahun 1998, kemudian diikuti dengan kenaikan harga bahan bakar minyak dan harga-harga kebutuhan pokok disertai pula dengan rendahnya daya beli masyarakat, sehingga jumlah penduduk miskin tetap tinggi di seluruh kabupaten/kota di Indonesia termasuk Kabupaten Bogor. 7 Sumber data yang digunakan dalam menentukan jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor didapat dari BPS dan Hasil Sensus Daerah (SUSDA) yang dilaksanakan oleh BAPPEDA Kabupaten Bogor pada tahun 2006. Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor berdasarkan data BPS pada tahun 2006 yaitu sebanyak 1.157.391 jiwa atau sebesar 27,46% dari jumlah total penduduk Kabupaten Bogor pada saat itu (sebanyak 4.215.585 jiwa). Adapun berdasarkan hasil SUSDA, penduduk
7
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Akhir Masa Jabatan (LKPJ AMJ) Bupati Bogor Periode Tahun 2003-2008.
52
miskin di Kabupaten Bogor tahun 2006 sebanyak 1.026.879 jiwa 8. Kondisi penduduk miskin Kabupaten Bogor di tiap kecamatan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4.
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Jumlah dan Komposisi Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006
Kecamatan Nanggung Leuwiliang Leuwisadeng Pamijahan Cibungbulang Ciampea Tenjolaya Rumpin Cigudeg Sukajaya Jasinga Tenjolaya Parungpanjang Dramaga Ciomas Tamansari Cijeruk Cigombong Caringin Ciawi Cisarua Megamendung Sukaraja Babakan Madang Citeureup Cibinong Bojonggede Tajurhalang Kemang Rancabungur Parung Ciseeng Gunungsindur Sukamakmur Cariu Tanjungsari Jonggol Cileungsi Klapanunggal Gunungputri Jumlah
Jumlah Penduduk (Jiwa)* 81.425 111.705 70.631 134.865 123.879 139.980 53.583 126.113 115.150 57.937 93.575 64.104 100.851 91.279 127.087 84.332 74.607 84.195 111.603 93.442 105.020 92.796 147.595 76.278 170.489 270.057 192.792 84.815 81.459 48.058 97.822 83.703 82.940 74.490 45.921 49.165 110.889 178.931 77.568 204.454 4.215.585
Proporsi dari Total Kabupaten (%) 1,93 2,65 1,68 3,20 2,94 3,32 1,27 2,99 2,73 1,37 2,22 1,52 2,39 2,17 3,01 2,00 1,77 2,00 2,65 2,22 2,49 2,20 3,50 1,81 4,04 6,41 4,57 2,01 1,93 1,14 2,32 1,99 1,97 1,77 1,09 1,17 2,63 4,24 1,84 4,85 100,00
Jumlah Penduduk Miskin (Jiwa) 26.993 54.719 42.566 64.651 58.039 42.276 24.359 24.221 25.883 17.104 29.631 15.692 18.159 37.020 24.156 23.829 28.937 27.856 33.974 28.347 22.626 19.135 28.095 19.014 24.741 22.667 20.976 12.455 17.446 12.604 14.136 17.694 17.058 29.940 11.929 15.368 26.834 18.322 15.927 11.500 1.026.879
Proporsi Proporsi dari Total dari Total Kabupaten Kecamatan (%) (%) 2,33 33,15 4,73 48,99 3,68 60,27 5,59 47,94 5,01 46,85 3,65 30,20 2,1 45,46 2,09 19,21 2,24 22,48 1,48 29,52 2,56 31,67 1,36 24,48 1,57 18,01 3,2 40,56 2,09 19,01 2,06 28,26 2,5 38,79 2,41 33,09 2,94 30,44 2,45 30,34 1,95 21,54 1,65 20,62 2,43 19,04 1,64 24,93 2,14 14,51 8,39 1,96 1,81 10,88 1,08 14,67 1,51 21,42 1,09 26,23 1,22 14,45 1,53 21,14 1,47 20,57 2,59 40,19 1,03 25,98 1,33 31,26 2,32 24,20 1,58 10,24 1,38 20,53 0,99 5,62 100.00 24,15
Sumber: Hasil SUSDA Bappeda Kabupaten Bogor, 2006 Keterangan: *) Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor, Data BPS Tahun 2006
8
Karena tidak terdapat perbedaan jumlah yang sangat signifikan pada kedua sumber data tersebut, kajian ini akan menggunakan data SUSDA pada beberapa bagian terutama untuk detail analisis.
53
Dilihat dari penyebarannya, jumlah penduduk miskin terbesar berada di Kecamatan Pamijahan sebanyak 64.651 jiwa atau 5,59% dari total penduduk Kabupaten Bogor. Sedangkan terendah berada di Kecamatan Cariu sebanyak 11.929 jiwa atau sebesar 1.03% dari total penduduk Kabupaten Bogor. Namun jika dilihat dari komposisi per wilayah, Kecamatan Leuwiliang dan Kecamatan Leuwisadeng merupakan wilayah yang separuh penduduknya adalah miskin (masing-masing 48,99% dan 60,27% dari jumlah penduduknya). Kecamatan lain yang mempunyai komposisi penduduk miskin dalam kategori tinggi (komposisi di atas 40%) adalah Kecamatan Pamijahan, Cibungbulang, Tenjolaya, Dramaga, dan Sukamakmur. Sedangkan kecamatan yang terendah komposisi penduduk miskinnya adalah Kecamatan Gunungputri, yaitu sebesar 5.65% dari total penduduknya. Kecamatan lainnya yang termasuk dalam kategori rendah (komposisi kurang dari 20%) adalah Kecamatan Cibinong, Bojonggede, Parung, Citeureup, dan Tajurhalang. Adapun untuk jumlah keluarga miskin, berdasarkan Hasil SUSDA Tahun 2006 adalah sebanyak 274.636 KK Miskin atau 26,36% dari jumlah Kepala Keluarga di Kabupaten Bogor. Dilihat dari penyebarannya, Rumah Tangga Miskin (RTM) terbesar berada di Kecamatan Leuwiliang yatu sebanyak 13.849 KK atau 5,38% dari total jumlah keluarga di Kabupaten Bogor, berikutnya Kecamatan Pamijahan sebanyak 13.382 KK (5,20%). Sedangkan terendah berada di Kecamatan Cariu sebanyak 4.151 KK atau sebesar 1,61% dari jumlah keluarga di Kabupaten Bogor. Jumlah penyebaran RTM di wilayah Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 5. Jika dilihat dari komposisi wilayah, Kecamatan Leuwiliang dan Leuwisadeng merupakan wilayah dengan proporsi RTM paling tinggi yaitu 53,76% dan 53,53%, sedangkan Kecamatan Gunungputri merupakan wilayah dengan proporsi RTM paling rendah yaitu 5,13% dari total penduduknya. Kecamatan lain yang memiliki proporsi RTM tergolong kategori tinggi (komposisi di atas 40%) adalah Kecamatan Pamijahan, Tenjolaya, Sukajaya, Jasinga, dan Cijeruk. Sedangkan kecamatan lain yang memiliki proporsi RTM tergolong kategori rendah (komposisi di bawah 20%) adalah Kecamatan Parungpanjang, Sukaraja, Ciomas, Cibinong, Citeureup, Bojonggede, Tajurhalang, Parung, dan Cileungsi.
54
Tabel 5.
Jumlah Kepala Keluarga dan Komposisi Rumah Tangga Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006
No
Kecamatan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Nanggung Leuwiliang Leuwisadeng Pamijahan Cibungbulang Ciampea Tenjolaya Rumpin Cigudeg Sukajaya Jasinga Tenjolaya Parungpanjang Dramaga Ciomas Tamansari Cijeruk Cigombong Caringin Ciawi Cisarua Megamendung Sukaraja Babakan Madang Citeureup Cibinong Bojonggede Tajurhalang Kemang Rancabungur Parung Ciseeng Gunungsindur Sukamakmur Cariu Tanjungsari Jonggol Cileungsi Klapanunggal Gunungputri Jumlah
Jumlah Kepala Keluarga (KK) 19.505 25.759 16.300 30.822 28.203 33.389 12.364 27.820 24.706 13.435 20.612 14.363 32.810 21.801 31.283 20.673 17.057 18.946 25.190 22.228 24.602 22.675 36.907 17.847 43.819 71.226 45.993 21.641 20.481 11.734 23.663 19.185 20.297 18.318 13.903 13.694 31.127 49.843 21.235 56.445 1.041.900
Proporsi dari Total Kabupaten (%) 1,87 2,47 1,56 2,96 2,71 3,20 1,19 2,67 2,37 1,29 1,98 1,38 3,15 2,09 3,00 1,98 1,64 1,82 2,42 2,13 2,36 2,18 3,54 1,71 4,21 6,84 4,41 2,08 1,97 1,13 2,27 1,84 1,95 1,76 1,33 1,31 2,99 4,78 2,04 5,42 100,00
Jumlah RTM (KK) 6.784 13.849 8.725 13.382 9.744 8.537 5.081 8.009 8.579 5.628 9.713 5.176 5.973 7.469 6.047 6.025 7.252 7.002 8.536 7.135 5.705 4.840 7.059 4.806 8.502 7.551 6.994 4.159 5.769 4.164 4.670 5.852 5.644 4.626 4.151 5.061 9.096 6.180 5.266 2.895 274.636
Proporsi Komposisi dari Total per Kabupaten Kecamatan (%) (%) 2,64 34,78 5,38 53,76 3,39 53,53 5,2 43,42 3,79 34,55 3,32 25,57 1,98 41,10 3,11 28,79 3,34 34,72 2,19 41,89 3,78 47,12 2,01 36,04 2,32 18,20 2,9 34,26 2,35 19,33 2,34 29,14 2,82 42,52 2,72 36,96 3,32 33,89 2,77 32,10 2,22 23,19 1,88 21,35 2,74 19,13 1,87 26,93 3,31 19,40 10,60 2,94 2,72 15,21 1,62 19,22 2,24 28,17 1,62 35,49 1,82 19,74 2,28 30,50 2,19 27,81 1,8 25,25 1,61 29,86 1,97 36,96 3,54 29,22 2,4 12,40 2,05 24,80 1,13 5,13 100,00 26,36
Sumber: Hasil SUSDA Bappeda Kabupaten Bogor, 2006
3.11.
Karakteristik Kemiskinan Untuk melihat karakteristik kemiskinan Kabupaten Bogor digunakan acuan
berdasarkan indikator kemiskinan BPS yang turut diukur dalam SUSDA Tahun 2006. Sekalipun banyak pertentangan dalam penggunaan pendekatan kemiskinan yang
55
digunakan BPS, tapi lembaga ini tetap menggunakan indikator penentuan kemiskinannya dalam menilai kriteria Rumah Tangga Miskin (RTM) yang kemudian digunakan pula sebagai dasar bagi lembaga-lembaga lain yang terlibat dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Adapun indikator tersebut meliputi 14 indikator yaitu: luas lantai rumah, jenis lantai rumah, jenis dinding rumah, fasilitas tempat buang air besar, sumber air minum, penerangan yang digunakan, bahan bakar yang digunakan, frekuensi makan dalam sehari, kebiasaan membeli daging/ayam/susu, kemampuan membeli pakaian, kemampuan berobat, lapangan pekerjaan kepala rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, dan kepemilikan aset. Ke-empatbelas indikator tersebut dikelompokan dalam karakteristik sosial demografi, tempat tinggal, ekonomi, kesejahteraan keluarga, dan ketenagakerjaan. 5.2.1. Karakteristik Sosial Demografi Karakteristik sosial demografi meliputi jumlah anggota keluarga miskin, tingkat pendidikan, dan pola pekerjaan kepala keluarga miskin. Berdasarkan Hasil SUSDA Tahun 2006, rata-rata jumlah anggota keluarga pada RTM di Kabupaten Bogor adalah 3,71 jiwa per KK (Tabel 6). Dilihat dari komposisi wilayah, rata-rata terbesar terdapat di Kecamatan Sukamakmur dan Cibungbulang masing-masing sebesar 6,47 jiwa per KK dan 5,96 jiwa per KK. Sedangkan terendah terdapat di Kecamatan Cariu sebesar 2,87 jiwa per KK. Besarnya ukuran keluarga miskin diduga karena RTM cenderung memiliki tingkat kelahiran yang tinggi namun hal ini diiringi juga oleh tingkat kematian anak yang tinggi akibat kurangnya pendapatan dan akses kesehatan serta pemenuhan gizi mereka. Untuk indikator pendidikan, penduduk miskin Kabupaten Bogor umumnya sudah memiliki pendidikan setidaknya tamat Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah yaitu mencapai 63,3%. Adapun sisanya 36,62% tidak sekolah dan tidak tamat SD/MI. Pada tingkat kecamatan, terdapat 3 kecamatan dimana seluruh KK miskinnya tamat SD/MI yaitu Kecamatan Nanggung, Tenjolaya, dan Klapanunggal. Sementara kecamatan yang penduduk miskin tidak sekolahnya sangat tinggi adalah Kecamatan Tajurhalang dan Megamendung dengan proporsi 80% dan 78,57%.
56
Tabel 6.
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Karakteristik Sosial Demografi Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006
Kecamatan Nanggung Leuwiliang Leuwisadeng Pamijahan Cibungbulang Ciampea Tenjolaya Rumpin Cigudeg Sukajaya Jasinga Tenjolaya Parungpanjang Dramaga Ciomas Tamansari Cijeruk Cigombong Caringin Ciawi Cisarua Megamendung Sukaraja Babakan Madang Citeureup Cibinong Bojonggede Tajurhalang Kemang Rancabungur Parung Ciseeng Gunungsindur Sukamakmur Cariu Tanjungsari Jonggol Cileungsi Klapanunggal Gunungputri Rata-Rata
Proporsi Penduduk Miskin terhadap Total Penduduk 2,33 4,73 3,68 5,59 5,01 3,65 2,10 2,09 2,24 1,48 2,56 1,36 1,57 3,20 2,09 2,06 2,50 2,41 2,94 2,45 1,95 1,65 2,43 1,64 2,14 1,96 1,81 1,08 1,51 1,09 1,22 1,53 1,47 2,59 1,03 1,33 2,32 1,58 1,38 0,99 3,16
Rata-Rata Anggota Keluarga (Jiwa/KK) 3,98 3,95 4,88 4,83 5,96 4,95 4,79 3,02 3,02 3,04 3,05 3,03 3,04 4,96 3,99 3,96 3,99 3,98 3,98 3,97 3,97 3,95 3,98 3,96 2,91 3,00 3,00 2,99 3,02 3,03 3,03 3,02 3,02 6,47 2,87 3,04 2,95 2,96 3,02 3,97 3,71
Pendidikan Kepala Keluarga (%) Tidak Sekolah
Tamat SD/MI
0,00 50,54 45,05 39,94 20,57 33,09 0,00 32,62 25,43 53,95 28,38 30,57 32,80 34,52 28,57 47,51 57,14 31,25 37,53 49,86 36,68 78,57 36,27 39,32 35,17 36,54 55,36 80,00 36,72 36,53 37,09 74,42 41,20 36,64 51,12 35,51 41,23 60,36 0,00 58,93 36,62
100,00 49,46 54,95 60,06 79,43 66,91 100,00 67,38 74,57 46,05 71,62 69,43 67,20 65,48 71,43 52,49 42,86 68,75 62,47 50,14 63,32 21,43 63,73 60,68 64,83 63,46 44,64 20,00 63,28 63,47 62,91 25,58 58,80 63,36 48,88 64,49 58,77 39,64 100,00 41,07 63,38
Sumber: Hasil SUSDA Bappeda Kabupaten Bogor, 2006
5.2.2. Karakteristik Tempat Tinggal (Perumahan) Karakteristik tempat tinggal meliputi ukuran luas lantai, jenis lantai, jenis dinding bangunan, penggunaan WC, air minum, bahan bakar, dan penerangan. Dilihat dari luas lantai, rata-rata luas lantai tempat tinggal (rumah) keluarga miskin di Kabupaten Bogor adalah sebesar 30,65 meter persegi. Berdasarkan Tabel 7, rata-rata
57
luas lantai terendah sebesar 20,75 meter persegi berada di Kecamatan Sukajaya sedangkan terbesar adalah di Kecamatan Cigudeg yaitu seluas 67,47 meter persegi. Dilihat dari jenis lantainya, rata-rata tempat tinggal keluarga miskin di Kabupaten Bogor didominasi oleh jenis lantai bambu yaitu sebesar 32,13%, dalam dominasi kondisi ini paling tinggi terdapat di Kecamatan Klapanunggal yaitu mencapai 48%. Selebihnya adalah jenis lantai semen (27,46%), tanah (26,47%), dan kayu (14,34%). Jenis dinding tempat tinggal mereka rata-rata paling banyak menggunakan bambu (75,84%) dan selebihnya adalah kayu (7,39%) dan tembok (16,77%). Tabel 7.
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Kecamatan Nanggung Leuwiliang Leuwisadeng Pamijahan Cibungbulang Ciampea Tenjolaya Rumpin Cigudeg Sukajaya Jasinga Tenjolaya Parungpanjang Dramaga Ciomas Tamansari Cijeruk Cigombong Caringin Ciawi Cisarua Megamendung Sukaraja Babakan Madang Citeureup Cibinong Bojonggede Tajurhalang Kemang Rancabungur Parung Ciseeng Gunungsindur Sukamakmur Cariu Tanjungsari Jonggol Cileungsi Klapanunggal Gunungputri Rata-Rata
Luas Lantai (m2) 39,19 22,53 21,05 25,18 28,91 29,40 28,49 38,46 67,47 20,75 30,79 33,01 38,34 30,07 26,71 32,05 29,52 30,49 35,45 37,35 32,74 24,64 37,49 36,51 58,18 33,18 50,11 27,50 38,64 32,28 39,90 31,33 46,54 38,44 61,59 48,10 52,38 63,12 48,09 43,09 30,65
Karakteristik Tempat Tinggal (Perumahan) Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 (dalam persen) Lantai Bangunan Tanah 25,50 29,89 31,53 34,30 43,19 45,45 42,86 40,55 22,01 10,09 18,57 46,56 56,47 39,86 28,57 13,35 9,09 15,23 11,64 12,53 11,29 21,43 25,91 7,92 20,34 45,19 67,86 60,00 62,15 53,87 71,27 72,09 79,93 8,39 40,17 19,53 23,88 53,45 26,03 35,71 26,07
Bambu 15,60 11,96 19,82 9,32 6,17 5,45 14,29 32,98 25,06 31,58 50,48 33,53 10,93 10,68 0,00 45,93 33,77 19,73 36,82 31,75 9,40 35,71 27,46 23,20 23,38 7,69 1,79 0,00 12,99 17,96 1,09 18,60 3,17 26,47 43,73 43,79 32,86 17,82 48,66 28,57 32,13
Sumber: Hasil SUSDA Bappeda Kabupaten Bogor, 2006
Kayu 28,19 7,07 3,60 7,60 2,06 3,27 2,86 4,63 6,84 16,67 5,79 3,55 1,99 5,34 0,00 12,67 1,30 3,13 8,08 13,37 11,91 7,14 6,74 51,10 39,73 3,85 3,57 10,00 5,08 5,07 1,45 2,33 0,35 51,22 4,12 24,20 6,48 9,13 10,83 5,36 14,34
Dinding Bangunan Semen Bambu 30,70 59,06 51,09 60,33 45,05 63,06 48,79 60,92 48,59 67,10 45,82 53,82 40,00 57,14 21,84 84,05 46,10 77,32 41,67 73,25 25,16 87,62 16,35 85,78 31,61 73,96 44,13 72,60 71,43 57,14 28,05 76,70 55,84 54,55 61,91 55,47 43,47 71,50 42,34 69,64 67,40 41,07 35,71 57,14 39,90 73,06 17,77 80,29 16,54 73,38 43,27 52,88 26,79 64,29 30,00 60,00 19,77 78,53 22,60 81,42 26,18 73,82 6,98 79,07 16,55 81,34 13,93 78,75 11,99 88,11 12,48 81,52 36,78 64,40 19,60 81,51 14,48 85,40 30,36 69,64 27,46 75,84
WC
Kayu Tembok Sungai Umum Sendiri 27,68 13,26 40,94 57,21 1,85 13,59 26,09 57,61 41,85 0,54 16,22 20,72 69,37 30,63 0,00 8,54 30,54 57,56 41,66 0,78 5,14 27,76 67,35 31,36 1,29 11,64 34,55 57,82 38,91 3,27 0,00 42,86 51,43 48,57 0,00 6,95 9,00 27,01 71,39 1,60 8,62 14,05 54,13 44,76 1,12 14,04 12,72 35,96 63,16 0,88 4,98 7,40 63,50 35,45 1,05 6,28 7,94 12,80 85,31 1,90 4,17 21,87 13,52 85,69 0,80 3,20 24,20 55,87 43,42 0,71 14,29 28,57 57,14 28,57 14,29 6,79 16,52 49,10 45,93 4,98 0,00 45,45 22,08 76,62 1,30 3,71 40,82 37,50 56,25 6,25 3,56 24,94 32,78 62,00 5,23 4,74 25,63 29,25 62,95 7,80 5,33 53,61 29,15 62,70 8,15 4,76 38,10 14,29 83,33 2,38 7,77 19,17 72,54 22,80 4,66 11,23 8,47 74,95 22,74 2,30 11,22 15,40 49,43 40,49 10,08 9,62 37,50 33,65 49,04 17,31 16,07 19,64 17,86 57,14 25,00 0,00 40,00 0,00 100,00 0,00 8,47 12,99 8,47 84,75 6,78 3,72 14,86 26,93 70,59 2,48 9,82 16,36 1,45 93,82 4,73 4,65 16,28 18,60 79,07 2,33 5,99 12,68 5,63 94,37 0,00 15,88 5,37 50,57 47,96 1,47 2,90 8,99 43,16 56,09 0,75 11,49 7,00 49,97 47,81 2,22 5,00 30,61 31,71 52,10 16,19 5,79 12,69 7,13 82,41 10,47 5,72 8,88 23,11 69,10 7,79 8,93 21,43 0,00 85,71 14,29 7,39 16,77 39,24 54,68 6,08
58
Tabel 7 (Lanjutan).
Karakteristik Tempat Tinggal (Perumahan) Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 (dalam persen) Sumber Air Minum
No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Nanggung Leuwiliang Leuwisadeng Pamijahan Cibungbulang Ciampea Tenjolaya Dramaga Ciomas Tamansari Cijeruk Cigombong Caringin Ciawi Cisarua Megamendung Sukaraja Babakan Madang Sukamakmur Cariu Tanjungsari Jonggol Cileungsi Klapanunggal Gunungputri Citeureup Cibinong Bojonggede Tajurhalang Kemang Rancabungur Parung Ciseeng Gunungsindur Rumpin Cigudeg Sukajaya Jasinga Tenjolaya Parungpanjang Rata-Rata
Sungai Hujan MAT MATT 18,12 3,26 6,31 9,55 1,80 12,00 8,57 2,49 0,00 19,00 5,19 9,38 15,44 10,03 5,33 4,76 6,74 11,05 5,05 9,46 8,69 2,28 0,89 6,20 1,79 9,89 2,88 1,79 0,00 0,56 1,86 0,00 4,65 2,82 5,97 12,12 6,14 30,06 7,23 5,96 8,26
0,34 0,00 0,00 0,16 0,00 0,36 2,86 0,00 0,00 0,68 0,00 0,59 1,66 0,28 0,00 0,00 0,00 0,46 0,00 0,28 0,06 0,08 0,45 4,38 0,00 0,19 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,36 0,00 0,00 0,89 0,15 0,00 0,24 0,12 0,20 0,42
29,87 25,54 9,91 12,37 8,48 16,00 11,43 30,25 0,00 20,14 28,57 31,45 22,80 37,60 24,14 23,81 11,40 16,48 15,31 1,40 15,22 9,59 0,00 7,06 3,57 16,92 0,00 0,00 0,00 2,82 0,00 0,73 2,33 0,00 16,13 17,84 19,74 4,90 0,36 2,58 12,00
28,69 35,33 13,51 36,02 13,88 30,18 51,43 46,62 0,00 40,95 36,36 18,95 28,50 18,11 46,08 19,05 12,95 29,37 36,64 5,52 16,03 15,21 0,45 7,42 0,00 24,71 2,88 1,79 0,00 5,08 8,36 2,91 0,00 6,69 17,74 41,49 41,67 4,74 2,73 13,72 18,46
ST
STT
10,91 23,91 47,75 17,70 35,22 14,91 8,57 6,76 71,43 8,37 15,58 17,77 16,86 18,66 8,78 40,48 39,90 25,41 19,06 38,76 30,50 39,82 52,34 33,70 64,29 24,71 48,08 57,14 60,00 44,63 38,08 44,73 62,79 50,35 36,81 15,02 17,98 33,44 51,90 33,20 32,07
9,40 11,41 19,82 19,97 34,45 21,45 14,29 6,41 14,29 4,75 1,30 17,77 12,35 9,75 9,72 4,76 15,54 14,09 22,72 36,89 25,54 27,19 41,43 37,96 19,64 17,49 29,81 25,00 30,00 45,20 38,08 46,91 30,23 30,28 16,84 9,96 13,16 22,67 35,66 36,38 23,90
Lainnya 2,68 0,54 2,70 4,23 6,17 5,09 2,86 7,47 14,29 6,11 12,99 4,10 2,38 5,57 5,96 7,14 13,47 3,13 1,22 7,68 3,97 5,82 4,45 3,28 10,71 6,08 16,35 14,29 10,00 1,69 13,62 4,36 0,00 9,86 5,61 3,42 1,31 3,94 2,01 7,95 4,88
Bahan Bakar Myk. Lain Kayu Tanah -nya 93,62 3,36 3,02 98,91 0,00 1,09 99,10 0,90 0,00 97,02 2,19 0,78 87,66 11,31 1,03 85,09 12,00 2,91 80,00 14,29 5,71 88,26 10,32 1,42 71,43 14,29 14,29 89,37 9,28 1,36 97,40 1,30 1,30 90,43 8,01 1,56 92,87 5,70 1,43 87,47 10,31 2,23 90,91 6,90 2,19 97,62 2,38 0,00 86,53 11,40 2,07 96,96 2,03 1,01 97,96 1,06 0,98 89,79 6,55 3,65 95,80 2,62 1,57 82,05 13,23 4,72 84,86 11,58 3,56 92,82 5,60 1,58 89,29 1,79 8,93 91,83 5,89 2,28 64,42 29,81 5,77 73,21 21,43 5,36 100,00 0,00 0,00 80,23 14,69 5,08 90,71 6,50 2,79 77,09 21,09 1,82 97,67 0,00 2,33 87,32 9,51 3,17 94,12 4,55 1,34 95,69 2,38 1,93 98,68 0,00 1,32 96,70 1,53 1,77 97,04 1,18 1,78 85,69 6,76 7,55 90,85 6,63 2,52
Penerangan Myk. PetroPLN Tanah max 32,88 3,94 19,82 40,07 1,63 11,07 33,13 6,63 15,66 19,63 1,83 47,45 20,45 1,02 42,94 21,88 6,53 32,10 20,45 2,27 47,73 16,12 3,58 38,81 22,22 22,22 22,22 24,05 1,03 36,08 25,96 4,81 26,92 22,42 1,67 43,79 21,31 2,06 44,30 17,66 0,46 50,23 21,43 1,72 35,22 17,65 3,92 39,22 25,77 5,38 28,08 33,90 2,25 20,09 35,54 0,73 23,57 36,54 0,42 20,32 35,82 1,31 22,60 24,23 1,69 42,23 24,92 4,18 32,94 29,86 0,68 32,34 27,27 2,60 28,57 35,85 0,98 16,10 22,96 1,48 39,26 18,84 2,90 37,68 33,33 6,67 13,33 20,27 2,70 41,89 19,05 2,01 41,60 16,41 0,91 49,85 35,82 2,99 14,93 21,55 1,10 41,16 35,22 0,98 19,17 28,69 1,33 34,15 34,29 2,02 16,14 21,42 2,27 45,99 30,59 1,07 31,25 25,59 3,40 33,43 28,51 1,51 31,94
Sumber: Hasil SUSDA Bappeda Kabupaten Bogor, 2006 Keterangan: MAT = Mata Air Terlindungi, MATT = Mata Air Tidak Terlindungi, ST = Sumur Terlindung, STT = Sumur Tidak Terlindungi
Dilihat berdasarkan penggunaan air minum, keluarga miskin di Kabupaten Bogor rata-rata banyak yang menggunakan sumur terlindung yaitu mencapai 32,07% dan selebihnya menggunakan air minum dari sumber yang kurang aman, yaitu sungai, air hujan, mata air, dan sumur tidak terlindungi. Besarnya proporsi penduduk miskin yang mengkonsumsi air minum kurang sehat ini diakibatkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat, disamping rendahnya kemampuan ekonomi untuk mengakses sumber air minum sehat. Sedangkan jika dilihat dari penggunaan WC, rata-rata RTM
Lain -nya 43,36 47,23 44,58 31,09 35,58 39,49 29,55 41,49 33,33 38,83 42,31 32,12 32,34 31,65 41,63 39,22 40,77 43,76 40,16 42,72 40,27 31,84 37,96 37,12 41,56 47,07 36,30 40,58 46,67 35,14 37,34 32,83 46,27 36,19 44,63 35,84 47,55 30,32 37,09 37,57 37,64
59
di Kabupaten Bogor masih banyak yang menggunakan WC Umum dengan proporsi mencapai 54,68% selebihnya memanfaatkan sungai sebesar 39,24% dan ada pula yang memiliki WC sendiri sebesar 6,08%. Hal ini mencerminkan kurangnya kesadaran dan adanya keterbatasan kemampuan keluarga miskin untuk memiliki WC sendiri sehingga masih sangat bergantung pada sarana sanitasi umum. Dilihat dari jenis penggunaan bahan bakar rata-rata keluarga miskin di Kabupaten Bogor paling banyak menggunakan kayu bakar mencapai 90,55% dan selebihnya menggunakan minyak tanah (6,63%), dan bahan bakar lainnya (2,52%). Sedangkan dilihat dari jenis penggunaan lampu penerangan, rata-rata RTM di Kabupaten Bogor cukup banyak yang menggunakan penerangan dari PLN mencapai 31,94%, selebihnya menggunakan minyak tanah (28,91%), petromax (1,51%) dan penerangan lainnya (37,64%). 5.2.3. Karakteristik Ekonomi Dalam melihat karakteristik ekonomi, indikator yang diukur adalah kepemilikan asset berharga dan frekuensi pembelian pakaian dalam setahun 9. Dilihat dari kepemilikan asset, ternyata rata-rata keluarga miskin di Kabupaten Bogor cukup banyak yang memiliki televisi dan sepeda motor (Tabel 8). Mereka menganggap saat ini televisi bukan merupakan barang mewah lagi dan sepeda motor umumnya merupakan asset untuk menunjang mata pencaharian mereka. Adapun rata-rata kepemilikan televisi ini mencapai 47,85% dan sepeda motor mencapai 22,71%, selebihnya adalah kepemilikan aset berupa emas (21,54%) dan kulkas (7,90%). Adanya kondisi keterisoliran RTM yang kebanyakan tinggal di pedesaan juga merupakan alasan mereka memerlukan keberadaan televisi sebagai sumber informasi dan sepeda motor untuk menerobos keterisoliran fisik. Berdasarkan Tabel 8, hanya terdapat enam kecamatan saja yang penduduk miskinnya benar-benar tidak memiliki keempat jenis asset berharga tersebut, yaitu Kecamatan Leuwiliang, Tenjolaya, Cijeruk, Bojonggede, Tajurhalang, dan Ciseeng. Dilihat dari indikator pembelian pakaian, pada umumnya keluarga miskin di Kabupaten Bogor tidak melakukan pembelian pakaian sebanyak satu kali dalam 9
Indikator asset berharga yang diukur dalam kategori BPS berdasarkan variabel nilai barang seharga Rp. 500.000,- keatas. Aset yang diukur adalah kepemilikan emas, televisi, kulkas, dan sepeda motor.
60
setahun, hal ini mencerminkan bahwa kebutuhan akan pakaian sangat minim sekali. Berdasarkan Hasil SUSDA Tahun 2006, bahwa kondisi ini mencapai 38,60%, dan selebihnya adalah kemampuan untuk membeli pakaian minimal satu stel dalam setahun (50,43%) dan lebih dari dua stel (10,97%). Tabel 8.
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Kecamatan Nanggung Leuwiliang Leuwisadeng Pamijahan Cibungbulang Ciampea Tenjolaya Rumpin Cigudeg Sukajaya Jasinga Tenjolaya Parungpanjang Dramaga Ciomas Tamansari Cijeruk Cigombong Caringin Ciawi Cisarua Megamendung Sukaraja Babakan Madang Citeureup Cibinong Bojonggede Tajurhalang Kemang Rancabungur Parung Ciseeng Gunungsindur Sukamakmur Cariu Tanjungsari Jonggol Cileungsi Klapanunggal Gunungputri Rata-Rata
Karakteristik Ekonomi Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 (dalam persen) Emas 44,44 0,00 100,00 12,77 10,00 30,00 0,00 32,65 24,44 66,67 16,47 36,90 56,00 0,00 20,00 17,65 0,00 25,00 0,00 13,33 0,00 0,00 52,17 35,14 33,33 25,00 0,00 0,00 19,51 15,38 0,00 0,00 0,00 51,43 24,04 36,36 19,29 17,24 23,08 0,00 21,46
Kepemilikan Asset TV Kulkas 37,04 7,41 0,00 0,00 0,00 0,00 78,72 4,26 80,00 5,00 70,00 0,00 0,00 0,00 40,82 0,00 52,22 6,67 33,33 0,00 72,94 2,35 45,24 1,19 38,00 0,00 66,67 0,00 40,00 20,00 70,59 5,88 0,00 0,00 50,00 12,50 100,00 0,00 66,67 6,67 92,31 0,00 33,33 33,33 26,09 17,39 45,95 2,70 38,10 4,76 25,00 12,50 0,00 0,00 0,00 0,00 36,59 19,51 69,23 7,69 66,67 0,00 0,00 0,00 69,23 7,69 31,43 5,71 42,31 8,65 49,49 2,02 47,04 8,79 41,38 10,34 53,85 2,56 100,00 0,00 47,85 7,90
Sumber: Hasil SUSDA Bappeda Kabupaten Bogor, 2006
Motor 11,11 0,00 0,00 4,26 5,00 0,00 0,00 26,53 16,67 0,00 8,24 16,67 6,00 33,33 20,00 5,88 0,00 12,50 0,00 13,33 7,69 33,33 4,35 16,22 23,81 37,50 0,00 0,00 24,39 7,69 33,33 0,00 23,08 11,43 25,00 12,12 24,88 31,03 20,51 0,00 22,71
Pembelian Pakaian Tidak 1 Stel > 1 Stel 42,11 43,96 13,93 71,20 26,63 2,17 95,50 4,50 0,00 50,27 46,12 3,61 53,47 43,19 3,34 65,09 32,00 2,91 54,29 42,86 2,86 30,39 56,51 13,10 38,74 55,46 5,80 75,88 23,25 0,88 46,62 45,42 7,96 38,27 48,82 12,91 43,34 50,50 6,16 56,58 40,21 3,20 57,14 28,57 14,29 41,18 52,26 6,56 90,91 7,79 1,30 63,87 33,59 2,54 52,49 44,42 3,09 59,33 39,83 0,84 41,38 57,37 1,25 95,24 2,38 2,38 47,67 47,15 5,18 27,44 58,56 14,00 52,66 42,21 5,13 72,12 26,92 0,96 66,07 28,57 5,36 90,00 10,00 0,00 51,98 44,07 3,95 44,89 49,85 5,26 58,91 36,36 4,73 76,74 16,28 6,98 48,59 44,37 7,04 26,38 62,30 11,32 40,92 45,22 13,86 33,41 59,07 7,52 23,60 54,73 21,67 51,89 42,98 5,12 55,11 37,10 7,79 48,21 42,86 8,93 38,60 50,43 10,97
61
Tabel 9.
No
Kecamatan
Karakteristik Kesejahteraan Keluarga Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 (dalam persen) Frekuensi Makan (kali/hari) 1 Kali
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Nanggung Leuwiliang Leuwisadeng Pamijahan Cibungbulang Ciampea Tenjolaya Rumpin Cigudeg Sukajaya Jasinga Tenjolaya Parungpanjang Dramaga Ciomas Tamansari Cijeruk Cigombong Caringin Ciawi Cisarua Megamendung Sukaraja Babakan Madang Citeureup Cibinong Bojonggede Tajurhalang Kemang Rancabungur Parung Ciseeng Gunungsindur Sukamakmur Cariu Tanjungsari Jonggol Cileungsi Klapanunggal Gunungputri Rata-Rata
2,35 4,35 9,01 1,72 4,37 10,18 5,71 1,16 3,20 5,26 0,72 1,18 1,59 6,05 14,29 5,20 2,60 2,54 4,04 1,95 0,63 21,43 7,25 2,76 4,18 16,35 8,93 0,00 7,34 2,17 6,18 18,60 5,63 1,87 2,15 1,46 1,21 6,68 5,35 14,29 2,64
2 Kali 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 68,42 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 3,84
> 2 Kali 97,65 95,65 90,99 98,28 95,63 89,82 94,29 98,84 96,80 94,74 99,28 98,82 98,41 93,95 85,71 94,80 97,40 97,46 95,96 98,05 99,37 78,57 92,75 28,82 95,82 83,65 91,07 100,00 92,66 97,83 93,82 81,40 94,37 98,13 97,85 98,54 98,79 93,32 94,65 85,71 93,52
Membeli Daging/Ayam/ Susu (kali/minggu)
Kemampuan Berobat
Tidak
Ya
Tidak
33,39 10,87 9,91 40,56 40,10 30,55 48,57 44,30 33,16 5,26 43,09 38,86 34,99 61,57 42,86 47,51 3,90 41,60 25,42 25,07 40,44 2,38 26,94 24,95 24,71 30,77 32,14 0,00 39,55 51,70 42,91 6,98 40,85 19,22 59,18 38,78 64,12 31,40 22,87 21,43 41,22
66,61 89,13 90,09 59,44 59,90 69,45 51,43 55,70 66,84 94,74 56,91 61,14 65,01 38,43 57,14 52,49 96,10 58,40 74,58 74,93 59,56 97,62 73,06 75,05 75,29 69,23 67,86 100,00 60,45 48,30 57,09 93,02 59,15 80,78 40,82 61,22 35,88 68,60 77,13 78,57 58,78
88,26 99,46 100,00 96,87 96,66 99,27 94,29 89,30 94,50 99,12 93,41 94,67 96,42 98,22 85,71 95,25 100,00 96,88 90,26 95,82 95,92 100,00 94,82 91,71 95,63 96,15 98,21 100,00 97,18 94,12 97,45 100,00 94,72 86,81 91,29 94,69 76,80 96,66 97,20 96,43 90,11
1 Kali 5,54 0,00 0,00 1,41 1,29 0,73 0,00 6,15 3,94 0,44 3,86 2,61 2,39 1,78 14,29 2,26 0,00 1,37 3,80 1,11 3,45 0,00 4,66 4,70 2,28 1,92 1,79 0,00 1,69 2,79 1,09 0,00 3,17 11,16 5,52 3,50 15,59 2,23 1,58 1,79 6,42
> 1 Kali 6,21 0,54 0,00 1,72 2,06 0,00 5,71 4,55 1,56 0,44 2,73 2,73 1,19 0,00 0,00 2,49 0,00 1,76 5,94 3,06 0,63 0,00 0,52 3,59 2,09 1,92 0,00 0,00 1,13 3,10 1,45 0,00 2,11 2,04 3,18 1,81 7,61 1,11 1,22 1,79 3,47
Sumber: Hasil SUSDA Bappeda Kabupaten Bogor, 2006
5.2.1. Karakteristik Kesejahteraan Keluarga Indikator yang tercakup dalam karaktersitik kesejahteraan keluarga mencakup pola makan keluarga, kebiasaan mengkonsumsi daging/ayam/susu dalam seminggu, dan kemampuan berobat jika ada anggota keluarga yang sakit. Untuk
62
indikator pola makan keluarga, pada umumnya keluarga miskin di Kabupaten Bogor mempunyai pola makan lebih dari dua kali sehari dengan proporsi mencapai 93,52% (Tabel 9). Hal ini mencerminkan bahwa kebutuhan makan pada umumnya di Kabupaten Bogor sudah terpenuhi, karena untuk pola makan satu atau dua kali sehari hanya mencapai 2,64% dan 3,84%. Hanya terdapat satu kecamatan yang proporsi pola makan keluarganya cenderung dua kali sehari yaitu Kecamatan Babakan Madang, dimana 68,42% pola makan keluarga miskin adalah dua kali sehari sedangkan pola makan tiga kali sehari hanya 28,82%. Sementara dalam untuk indikator konsumsi daging/ayam/susu, keluarga miskin di Kabupaten Bogor umumnya tidak mampu membeli daging/ayam/susu satu kali pun dalam seminggu. Berdasarkan Hasil SUSDA Tahun 2006, rumah tangga yang tidak mampu membeli daging/ayam/susu mencapai 90,11% selebihnya mampu membeli daging/ayam/susu sekali dalam seminggu (6,42%) dan lebih dari sekali dalam seminggu (3,47%). Terdapat lima kecamatan yang seluruh penduduk miskinnya sama sekali tidak mampu membeli daging/ayam/susu sekali pun dalam seminggu, yaitu Kecamatan Leuwisadeng, Cijeruk, Megamendung, Tajurhalang dan Ciseeng. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap kondisi pemenuhan gizi dan kondisi kesehatan masyarakat miskin di Kabupaten Bogor pada umumnya. Apalagi jika dilihat juga dari indikator kemampuan berobat, dimana secara umum keluarga miskin di Kabupaten Bogor memiliki kecenderungan tidak memiliki kemampuan untuk berobat, dengan proporsi rata-ratanya mencapai 58,74%. 5.2.2. Karakteristik Ketenagakerjaan Berdasarkan Hasil SUSDA Tahun 2006, pada umumnya keluarga miskin di Kabupaten Bogor tidak memiliki mata pencaharian yang tetap. Namun jika dilihat dari proporsinya, masyarakat miskin yang tidak bekerja atau menganggur mencapai 56,89%, selebihnya adalah bekerja di sektor jasa (10,55%), sektor perdagangan (3,61%), sektor transportasi (0,80%) dan lainnya (28,15%). Dilihat dari sisi wilayah, terdapat tiga kecamatan yang seluruh kepala keluarga miskinnya menganggur/tidak bekerja yaitu Kecamatan Nanggung, Tenjolaya, dan Klapanunggal (Tabel 10).
63
Tabel 10. Karakteristik Ketenagakerjaan Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 (dalam persen) Sektor Mata Pencaharian No
Kecamatan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Nanggung Leuwiliang Leuwisadeng Pamijahan Cibungbulang Ciampea Tenjolaya Rumpin Cigudeg Sukajaya Jasinga Tenjolaya Parungpanjang Dramaga Ciomas Tamansari Cijeruk Cigombong Caringin Ciawi Cisarua Megamendung Sukaraja Babakan Madang Citeureup Cibinong Bojonggede Tajurhalang Kemang Rancabungur Parung Ciseeng Gunungsindur Sukamakmur Cariu Tanjungsari Jonggol Cileungsi Klapanunggal Gunungputri Rata-Rata
Jasa-Jasa
Perdagangan Transportasi
0,00 5,64 6,72 8,33 7,82 16,67 0,00 19,22 13,56 2,98 15,32 8,16 8,71 20,62 12,50 11,24 1,28 8,41 9,46 12,44 20,05 0,00 15,72 6,78 8,04 5,45 15,15 0,00 16,51 13,40 13,79 4,44 15,22 4,21 5,15 6,13 12,83 9,48 0,00 5,08 10,55
0,00 0,00 5,04 4,81 4,03 5,76 0,00 3,74 2,31 0,43 3,81 10,12 1,63 2,82 12,50 5,82 2,56 3,58 3,01 3,66 1,50 0,00 5,24 1,89 2,80 3,64 1,52 10,00 8,02 3,22 9,09 2,22 1,49 2,18 2,93 1,15 5,14 3,63 0,00 1,69 3,61
0,00 0,51 0,00 0,36 0,71 0,30 0,00 1,44 0,58 0,00 1,29 0,98 0,18 0,56 0,00 0,80 0,00 0,36 1,29 0,24 1,00 0,00 0,87 0,60 0,52 0,00 0,00 0,00 0,00 0,80 0,31 0,00 0,30 0,47 0,62 0,22 1,42 0,00 0,00 0,00 0,80
Tidak Bekerja 100,00 83,59 84,03 56,14 77,96 72,12 100,00 55,94 57,65 81,28 56,84 62,13 83,67 66,95 62,50 65,26 89,74 63,33 63,87 64,63 56,14 97,62 66,81 42,32 57,87 84,55 81,82 90,00 63,68 72,12 67,08 88,89 78,81 46,72 44,67 59,99 42,99 75,60 100,00 81,36 56,89
Lainnya 0,00 10,26 4,21 30,36 9,48 5,15 0,00 19,66 25,90 15,31 22,74 18,61 5,81 9,05 12,50 16,88 6,42 24,32 22,37 19,03 21,31 2,38 11,36 48,41 30,77 6,36 1,51 0,00 11,79 10,46 9,73 4,45 4,18 46,42 46,63 32,51 37,62 11,29 0,00 11,87 28,15
Sumber: Hasil SUSDA Bappeda Kabupaten Bogor, 2006
3.12.
Tinjauan Kemiskinan Berdasarkan Wilayah Pembangunan Mengacu pada tiga strategi perwilayahan pembangunan di Kabupaten
Bogor, dapat dilihat kondisi dan karakteristik kemiskinan di setiap wilayah pembangunan dengan mengelompokkan data karakteristik kemiskinan dari
64
keempatpuluh kecamatan menjadi tiga wilayah, yaitu: 1) Wilayah Bogor Barat, yang mencakup 13 kecamatan; 2) Wilayah Bogor Tengah, yang mencakup 20 kecamatan; dan 3) Wilayah Bogor Timur, yang mencakup 7 kecamatan. Hasil perumusan kondisi kemiskinan di tiga wilayah tersebut dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Kondisi Kemiskinan Kabupaten Berdasarkan Tinjauan Wilayah. No 1.
2.
3.
4.
5.
Indikator Penduduk (Jiwa) • Jumlah • Rata-rata setiap kecamatan Rumah Tangga/Keluarga (KK) • Jumlah • Rata-rata setiap kecamatan Penduduk Miskin (Jiwa) • Jumlah • Rata-rata setiap kecamatan Rumah Tangga Miskin (KK) • Jumlah • Rata-rata setiap kecamatan Besar Keluarga Miskin (Jiwa/KK) • Rata-rata setiap kecamatan
Kabupaten Bogor
Bogor
Tahun
2006
Wilayah Pembangunan Barat Tengah Timur
4.215.585 313.920
1.273.798 97.984
2.200.369 110.018
741.418 105.917
1.041.901 79.170
300.088 23.084
537.248 26.862
204.565 29.224
1.026.879 25.672
444.293 34.176
452.766 26.862
129.820 21.160
271.636 6.791
109.180 8.398
125.181 6.259
37.275 4.911
3,71
3,97
3,59
3,61
Sumber: Hasil SUSDA Bappeda Kabupaten Bogor (2006), data diolah
Berdasarkan tinjauan Wilayah Pembangunan, ternyata penyumbang angka kemiskinan terbanyak berasal dari Wilayah Pembangunan Bogor Tengah dan Bogor Barat. Dari Wilayah Pembangunan Bogor Tengah mencapai 452.766 jiwa atau dengan proporsi 44,09 persen dari total penduduk miskin Kabupaten Bogor, dan dari Wilayah Pembangunan Bogor Barat mencapai 444.293 jiwa atau 43,26 persen. Sedangkan Wilayah Pembangunan Bogor Timur hanya menyumbang jumlah penduduk miskin sebanyak 129.820 jiwa atau 12,64 persen saja. Namun demikian rata-rata jumlah penduduk miskin di setiap kecamatan, paling banyak terdapat di kecamatan-kecamatan dalam lingkup Wilayah Pembangunan Barat yaitu 34.176 jiwa per kecamatan. Sekalipun jumlah RTM di Wilayah Pembangunan Bogor Tengah lebih tinggi, namun rata-rata jumlah RTM di tiap kecamatan yang paling tinggi ternyata terdapat di kecamatan-kecamatan dalam lingkup Wilayah Pembangunan Bogor Barat yaitu sebanyak 8.398 jiwa dengan rata-rata besar keluarga 3,97 jiwa per Kepala Keluarga. Sedangkan karakteristik kemiskinan penduduk di tiap Wilayah Pembangunan ditampilkan pada Tabel 12.
65
Tabel 12. Rata-Rata Karakteristik Kemiskinan Kabupaten Bogor Tahun 2006 Berdasarkan Indikator BPS dan Tinjauan Wilayah (dalam persen). No
Indikator : • Tidak Sekolah • Setidaknya Tamat SD/MI
1.
Pendidikan Kepala Keluarga
2.
Luas Lantai (m2)
3.
Jenis Lantai Bangunan
:• • • •
4.
Jenis Dinding Bangunan
5.
Tanah Bambu Kayu Semen
Kabupaten Bogor 36,62 63,38 37,23
Wilayah Pembangunan Barat Tengah Timur 30,23 45,51 40,54 69,77 54,49 59,46 32,58 35,53 50,69
34,59 21,75 9,94 33,71
34,38 20,55 7,24 37,83
36,48 18,06 9,61 35,86
29,59 34,56 15,91 19,94
: • Bambu • Kayu • Tembok
70,17 7,96 21,87
69,49 9,83 20,67
67,69 6,75 25,56
78,48 7,96 13,57
WC
: • Sungai • Umum • Sendiri
36,28 58,84 4,87
46,85 52 1,16
31,83 61,83 6,34
29,38 63,03 7,6
6.
Sumber Air Minum
:• • • • • • •
6,88 0,37 12,42 19,04 33,16 22,01 6,11
9,78 0,41 13,47 25,47 26,72 20,42 3,73
5,69 0,21 13,47 17,47 35,03 20,19 7,94
4,91 0,75 7,45 11,61 39,78 30,2 5,3
7.
Bahan Bakar
: • Kayu • Minyak Tanah • Lainnya
89,84 7,34 2,82
93,02 4,65 2,33
87,59 9,54 2,87
90,37 6,06 3,57
8.
Penerangan
:• • • •
Minyak Tanah Petromax PLN Lainnya
26,28 2,93 32,01 38,78
28,02 2,69 30,53 38,76
23,63 3,54 34,04 38,79
30,6 1,66 28,94 38,81
9.
Kepemilikan Asset
:• • • •
Emas TV Kulkas Motor
21,46 45,26 5,39 12,9
33,1 42,18 2,07 7,27
12,83 44,82 7,53 14,82
24,49 52,21 5,44 17,86
54,5 39,36 6,15
54,24 39,94 5,82
59,76 35,54 4,7
39,93 49,18 10,89
5,55 1,71 92,74
3,91 0 96,09
6,91 3,42 89,67
4,72 0 95,28
95 3,05 1,95
95,56 2,18 2,26
95,9 2,61 1,49
91,41 5,91 2,68
10. Pembelian Pakaian
11. Frekuensi Makan
Sungai Hujan Mata Air Terlindung Mata Air Tidak Terlindung Sungai Terlindung Sungai Tidak Terlindung Lainnya
: • Tidak • 1 Stel • > 1 Stel • 1 kali per hari • 2 kali per hari • > 2 kali per hari
12. Membeli Daging/Ayam/Susu
: • Tidak • 1 kali per minggu • > 1 kali per minggu
13. Kemampuan Berobat
: • Ya • Tidak
32,07 67,93
31,82 68,18
30,61 69,39
36,71 63,29
14. Sektor Mata Pencaharian
:• • • •
9,16 3,57 0,42 86,84
8,7 3,21 0,49 87,6
10,53 4,23 0,38 84,86
6,13 2,39 0,39 91,1
Jasa-Jasa Perdagangan Transportasi Tidak Bekerja
Sumber: Hasil SUSDA Bappeda Kabupaten Bogor (2006), data diolah
66
Berdasarkan
Tabel
12,
karakteristik
kemiskinan
di
tiap
Wilayah
Pembangunan cukup bervariasi namun tidak jauh berbeda dengan nilai rataan karakteristik kemiskinan di tingkat Kabupaten Bogor. Berdasarkan karakteristik kemiskinan ini terlihat bahwa umumnya penduduk miskin di Kabupaten Bogor sudah tercukupi pemenuhan kebutuhan dasarnya.
3.13.
Faktor Penyebab dan Persoalan Kemiskinan Data karakteristik kemiskinan yang diolah berdasarkan 14 indikator BPS
merupakan data kuantitatif yang menampilkan kemiskinan dari sisi indikator keluaran (output indicators) sehingga yang terlihat adalah kondisi kemiskinan absolut atau kemiskinan relatif. Untuk melihat karakteristik kemiskinan dari indikator masukan (input indicators) digunakan Hasil Analisis Kemiskinan Partisipatif dengan metode Participatory Rural Appraisal (PRA) yang dilakukan BAPPEDA Kabupaten Bogor pada Tahun 2007. Hasil analisis ini menampilkan data kualitatif yang dihimpun secara partisipatif untuk mengetahui penyebab dan persoalan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Analisis kemiskinan partisipatif didefinisikan sebagai suatu proses partisipasi yang memberikan ruang pada masyarakat miskin (laki-laki dan perempuan) serta lintas pelaku (stakeholders) di suatu daerah untuk memahami, memetakan, serta bekerjasama dalam membuat perencanaan untuk mengurangi permasalahan kemiskinan (Bappeda Kabupaten Bogor, 2007). Lahirnya metode partisipasi masyarakat dalam pembangunan dikarenakan adanya kritik bahwa masyarakat diperlakukan sebagai obyek, bukan subyek (Wahyuni, 2008). Dari hasil analisis ini diperoleh bahwa karakteristik penduduk miskin yang paling banyak dijadikan acuan di Kabupaten Bogor adalah kondisi fisik rumah, pendidikan anak, jenis pekerjaan atau upah, dan pemenuhan kebutuhan pangan (Lampiran 1). Jika ditelusuri lebih dalam, meskipun acuan yang digunakan sama namun standar kemiskinannya berbeda. Perbedaan tersebut mencerminkan perbedaan standar kehidupan, budaya, dan ketersediaan sumber daya lokal. Perbedaan ini juga mencerminkan subyektifitas ukuran kemiskinan yang digunakan masyarakat.
67
Berdasarkan uraian mengenai penyebab kemiskinan yang dikemukakan pada tiap kecamatan sebagaimana pada Lampiran 1, dapat diidentifikasi pendekatan yang digunakan masyarakat dalam menguraikan penyebab kemiskinan di setiap wilayahnya. Berdasarkan indikator masukan, penyebab kemiskinan di Kabupaten Bogor dapat tergolong: Kemiskinan Alamiah, Kemiskinan Struktural, dan Kemiskinan Kultural. Penyebab kemiskinan yang diidentifikasikan seperti sumberdaya alam yang kurang mendukung terhadap penghidupan masyarakat, musibah, PHK, bencana alam, dan keterbatasan kondisi fisik manusia (karena sakit atau keadaan usia lanjut) termasuk dalam kategori kemiskinan alamiah. Sementara kondisi seperti terbatasnya lapangan kerja, rendahnya pendidikan, kurangnya modal usaha, adanya KKN, kurang perhatian pemerintah, dan lain-lain termasuk kemiskinan struktural. Adapun perihal seperti masalah moral, ketidakjujuran, malas bekerja, kurang percaya diri, tertutup, ketidakpedulian, dan masalah psikologis lainnya tergolong dalam kemiskinan kultural. Adanya kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural di Kabupaten Bogor menjawab hubungan antara kondisi tingkat pendidikan yang rendah dan mata pencaharian penduduk miskin (yang mayoritas tidak bekerja) pada hasil analisis sebelumnya yang ternyata dipengaruhi oleh kondisi struktural dan budaya setempat. Kondisi geografis dan pemanfaatan ruang Kabupaten Bogor yang cukup beragam juga berpengaruh terhadap karakteristik dan penyebab kemiskinan bagi masyarakat yang tinggal di kawasan-kawasan tertentu. Adanya dominasi fungsi pemanfaatan ruang juga memberikan karakter yang berbeda dalam cara memandang penyebab kemiskinan di setiap kecamatan sesuai dengan karakteristik wilayahnya. Berdasarkan tinjauan geografis dan pemanfaatan ruang tersebut maka faktor penyebab dan karakteristik kemiskinan Kabupaten Bogor antara lain sebagaimana disajikan dalam Tabel. 13. Pada umumnya faktor keterbatasan aset (modal maupun lahan) dan rendahnya tingkat pendidikan/keterampilan merupakan faktor penyebab utama kemiskinan jika dilihat dari sudut pandang geografis dan pemanfaatan ruang. Sementara itu penyebab kemiskinan lainnya yang paling banyak dikemukakan oleh masyarakat melalui PRA Tahun 2007 adalah: terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, belum optimalnya pengarusutamaan gender dan perlindungan anak, rendahnya akses terhadap pelayanan umum (pendidikan dan kesehatan), sulitnya akses transportasi, dan rendahnya harga hasil produksi.
68
Tabel 13. Faktor Penyebab Kemiskinan Berdasarkan Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Bogor Tahun 2006 Kondisi Geografis Daerah Pegunungan/ Perbukitan
Pemanfaatan Ruang Kawasan Pariwisata
Daerah Industri
Kawasan Industri
• • •
•
Daerah Pertanian
Kawasan Pertanian, Hutan, dan Perkebunan
•
• •
•
Faktor Penyebab Kemiskinan Keterbatasan lahan karena dijadikan kawasan wisata Kurangnya keterampilan khusus yang perlu dimiliki masyarakat sekitar kawasan wisata Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat penutupan dan pemindahan asset kegiatan industri ke wilayah lain Kurangnya keterampilan karena hanya tergantung pada satu keahlian dari industri sebelumnya Pemanfaatan lahan pertanian belum optimal karena keterbatasan kemampuan petani dan petugas teknis lapangan Keterbatasan kepemilikan modal kerja akibat ketidakpercayaan pihak lembaga keuangan Rendahnya tingkat pendidikan akibat ketidakmampuan mendapatkan akses pendidikan yang sama dengan warga lain (terutama bagi masyarakat pedalaman) Pengaruh pergantian musim yang menimbulkan kemiskinan musiman pada musim kemarau
Sumber: Hasil Analisis Kemiskinan Partisipatif melalui PRA, 2007
Dalam perumusan persoalan kemiskinan melalui PRA, diperoleh bahwa persoalan yang paling banyak dikemukakan adalah kurangnya sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, listrik, dan air bersih. Dari pengelompokan faktor penyebab dan persoalan kemiskinan ini terlihat bahwa faktor ketidakberdayaan merupakan yang paling menonjol akibat faktor kemiskinan materi dan faktor keterisoliran. Dari fakta ini dapat ditarik kesimpulan bahwa umumnya masyarakat miskin di Kabupaten Bogor cukup berpotensi untuk diberdayakan namun perlu kehati-hatian dalam merancang program pemberdayaan melalui penyertaan modal. Sebab bila faktor keterisoliran dan hambatan struktural lainnya tidak ditangani, maka program penyertaan modal tidak akan mengangkat orang miskin dari kemiskinan.
69
BAB VI UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Sebagai upaya tindak lanjut dari latar belakang kondisi kemiskinan dan Analisis Kemiskinan Partisipatif, Pemerintah Kabupaten Bogor melakukan berbagai cara untuk menanggulangi kemiskinan di wilayahnya termasuk memprioritaskan penanggulangan kemiskinan kedalam Arah Kebijakan Umum APBD pada tahun 2007. Hasilnya, penduduk miskin pada tahun 2007 berkurang 12,05 persen dari tahun sebelumnya atau menjadi sebanyak 1.017.879 jiwa. Namun begitu penanggulangan kemiskinaan tidak diprioritaskan kembali dalam AKU APBD tahun berikutnya, jumlah masyarakat miskin kembali meningkat menjadi 1.149.508 jiwa pada tahun 2008. Ada tiga hipotesis yang dapat dirumuskan, pertama: bahwa terjadinya pengurangan kemiskinan hanya bergantung dari upaya Pemerintah Daerah dalam memprioritaskan penanggulangan kemiskinan pada arah kebijakan pembangunan daerahnya, kedua: upaya yang dilakukan tidak tepat sasaran/tidak relevan dengan kondisi kemiskinan masyarakat, dan ketiga: upaya yang dilakukan hanya mengangkat kemiskinan dalam jangka pendek (cash programme) oleh karena tidak memberdayakan fakir miskin untuk keluar dari belenggu kemiskinan secara mandiri. Pada Bab ini akan diidentifikasikan upaya apa saja yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dalam menanggulangi kemiskinan mulai dari aspek dibalik munculnya kebijakan penanggulangan kemiskinan hingga implementasi kebijakan tersebut di masyarakat. Dari tahap ini dapat diproleh informasi posisi dan peran pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE dalam mengurangi kemiskinan.
3.14.
Pembentukan Lembaga Penanggulangan Kemiskinan Atas dasar kondisi kemiskinan pada tahun 2006, dan tuntutan prioritas
pembangunan yang telah disepakati dalam Arah Kebijakan Umum APBD Kabupaten Bogor untuk Tahun Anggaran 2007, Pemerintah Kabupaten Bogor membentuk lembaga khusus yang berfokus pada penanganan kemiskinan di wilayahnya yang bertugas memfasilitasi penanggulangan kemiskinan secara tepat dan berhasil guna.
70
Hal ini kemudian diwujudkan dengan dibentuknya Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) sebagaimana tertuang dalam Keputusan Bupati Bogor Nomor 412/18/Kpts/Huk/2007 10. TKPK adalah forum lintas sektor dan lintas pelaku yang terdiri dari berbagai Organisasi Perangkat Daerah, pihak dunia usaha, dan masyarakat yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan penanggulangan kemiskinan. TKPK Kabupaten Bogor merupakan wadah koordinasi dan singkronisasi strategi, kebijakan, program, dan kegiatan penanggulangan kemiskinan yang bertanggung jawab kepada Bupati Bogor. Untuk melaksanakan tugas tersebut, TKPK menyelenggarakan fungsinya sebagai berikut: a. Mengkoordinasikan dan merumuskan kebijakan penanggulangan kemiskinan dan penyerasian pelaksanaannya di Kabupaten Bogor; b. Memfasilitasi lintas pelaku, komunikasi interaktif, dan penyebarluasan informasi penanggulangan kemiskinan; c. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan dan program-program penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Adapun
tujuan
dari
keberadaan
lembaga
khusus
penanggulangan
kemiskinan di Kabupaten Bogor ini adalah: a. Mewujudkan kesamaan persepsi, cara pandang dan pendekatan penanggulangan kemiskinan; b. Mewujudkan keterpaduan dan singkronisasi dalam pendataan, perencanaan, penganggaran, sosialisasi dan diseminasi, pelaksanaan, pemantauan, pengawasan dan evaluasi program penanggulangan kemiskinan; c. Membangun sistem, mekanisme dan prosedur penanggulangan kemiskinan terpadu, profesional dan berkelanjutan; d. Meningkatkan keterpaduan dan singkroniasi upaya-upaya kerjasama dan kemitraan lintas sektor dan lintas pelaku secara luas guna meningkatkan intensitas dan mempercepat penanggulangan kemiskinan; e. Meningkatkan efektifitas pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan; f. Mendorong percepatan upaya penanggulangan dan pengentasan kemiskinan.
10
Dengan telah dilakukannya penataan kembali Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Bogor, TKPKD disesuaikan dan dibentuk kembali sebagaimana Keputusan Bupati Bogor Nomor 412/116/Kpts/Huk/2009 tanggal 2 Maret 2009.
71
Dalam pelaksanaan tugasnya TKPK Kabupaten Bogor membentuk empat Kelompok Kerja (Pokja) sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing, yaitu: 1) Kelompok Kerja Kebijakan dan Perencanaan; 2) Kelompok Kerja Pendataan; 3) Kelompok Kerja Pendanaan; dan 4) Kelompok Kerja Kelembagaan. Selain tersusun atas para birokrat, keanggotaannya melibatkan juga unsur masyarakat seperti: Corporate Forum for Community Development (CFCD), Yayasan/LSM, Koperasi Baitul Maal Wat Tanwil (KBMT), Forum Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), Kelompok Tani, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), dan Lembaga Pengembangan Masyarakat (LPM) dari seluruh perguruan tinggi yang ada di Kabupaten Bogor.
3.15.
Penyusunan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Daerah Sejalan dengan program penanggulangan kemiskinan nasional yang
ditetapkan dalam Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), Kabupaten Bogor pun menetapkan kebijakan penanggulangan kemiskinan daerah secara madiri. Dengan demikian dapat diperoleh gambaran yang jelas mengenai kemiskinan di Kabupaten Bogor dan strategi yang tepat dalam menanggulanginya. 6.2.1. Komitmen Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor Dalam dokumen Rencana Strategis (Renstra) Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun 2003-2008, Pemerintah Kabupaten Bogor sejak dulu telah mempunyai komitmen yang kuat dalam meminimalisasi kemiskinan yang ada. Komitmen Pemerintah Kabupaten Bogor dalam upaya penanggulangan kemiskinan antara lain diimplementasikan dalam beberapa kebijakan yaitu: 1. Peningkatan pelayanan pendidikan baik berupa peningkatan sarana dan prasarana maupun pemberian biaya operasional serta beasiswa; 2. Peningkatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, berupa pembangunan prasarana kesehatan dan penambahan tenaga medis (baik dokter maupun tenaga medis lainnya termasuk bidan desa); 3. Pembangunan infrastuktur guna mengatasi keterisolasian daerah, seperti jalan, jembatan, dan prasarana umum lainnya;
72
4. Pemberdayaan ekonomi masyarakat, melalui optimalisasi potensi yang dimiliki masyarakat, pembinaan kepada masyarakat dan pemberian bantuan sarana produksi; Kebijakan pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu bentuk komitmen Pemerintahan Kabupaten Bogor guna memandirikan masyarakat yang operasionalisasinya dalam bentuk pengembangan kapasitas masyarakat dan peran serta masyarakat dalam pembangunan bekerjasama dengan lembaga swadaya maupun perguruan tinggi. 6.2.2. Penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Untuk mendukung operasional TKPK diperlukan dukungan dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) yang akurat sebagai acuan penentuan kebijakan dan pelaksanaan program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan akurasi dokumen tersebut, Pemerintah Kabupaten Bogor melalui Bappeda akhirnya melaksanakan kajian dan penyusunan SPKD pada tahun 2007 11. Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan strategi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor adalah menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic need approach). Penentuan indikator kebutuhan dasar yang digunakan berupa standar dan kriteria subjektif yang dipengaruhi oleh adat, budaya, karakteristik daerah, dan kelompok sosial. Agar rumusan hasil kajian tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat miskin, Pemerintah Kabupaten Bogor melaksanakan refleksi kemiskinan oleh masyarakat untuk menghimpun profil kemiskinan masyarakat secara partisipatif. Participatory Rural Appraisal (PRA) digunakan sebagai metode dalam menganalisis profil kemiskinan dan juga untuk melakukan pemantauan secara langsung terhadap peran kelembagaan yang terlibat dalam penanggulangan kemiskinan di suatu wilayah, seperti: 1. Ketersediaan pelayanan sosial di suatu wilayah (pendidikan, kesehatan, pelayanan air bersih, sanitasi, transportasi, dan ketersediaan listrik); 2. Peran Jaringan Sosial dan Organisasi Sosial Masyarakat Miskin; 11
Dokumen SPKD Kabupaten Bogor sebenarnya telah tersusun pada tahun 2004 dan telah diperbaharui pada tahun 2006, namun penyusunannya belum berdasarkan kajian yang komprehensif (Bappeda Kabupaten Bogor, 2007).
73
3. Partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan-kebijakan yang akan dijalankan pemerintah; 4. Peran lembaga pemerintah dan non pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan di suatu wilayah. 6.2.3. Perumusan Visi dan Misi Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan komitmen dalam Renstra Tahun 2003-2008 dan hasil pelaksanaan analisis kemiskinan partisipatif pada Tahun 2007, maka dirumuskan Visi dan Misi Penanggulangan Kemiskinan yang berpedoman kepada Visi dan Misi Kabupaten Bogor serta Visi dan Misi Pemerintah Kabupaten Bogor. Visi Penanggulangan
Kemiskinan
Kabupaten
Bogor
tahun
2008-2012
adalah:
“Terpenuhinya hak-hak dan kebutuhan dasar masyarakat miskin secara mandiri dan bermartabat serta mengurangi penduduk miskin Kabupaten Bogor pada Tahun 2012”. Adapun misi yang diemban selama 5 tahun kedepan adalah: 1) Pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin baik laki-laki baik maupun perempuan; 2) Memandirikan masyarakat miskin dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan melepaskan diri dari belenggu kemiskinan; 3) Mensinergikan seluruh kebijakan dan aksi publik guna penanggulangan kemiskinan dan pencapaian tujuan pembangunan. Tujuan umum penanggulangan kemiskinan dalam jangka panjang di Kabupaten Bogor adalah melindungi dan memenuhi hak-hak dan kebutuhan dasar masyarakat miskin secara bertahap serta memandirikan masyarakat miskin dalam memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga terbebas dari belenggu kemiskinan. Adapun tujuan khusus yang diselaraskan dengan misi dan sasaran yang diinginkan adalah sebagaimana yang tersaji dalam Lampiran 2. Prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor adalah: 1) Keberpihakan; 2) Partisipatif; 3) Berwawasan Gender; 4) Keberlanjutan; 5) Pemberdayaan; 6) Meningkatkan Produktivitas; 7) Kebersamaan; 8) Keterbukaan; 9) Akuntabilitas atau dapat dipertanggungjawabkan; dan 10) Sinergitas/Keterpaduan. Adapun arah kebijakan yang ditempuh adalah: 1. Menaikkan anggaran program-program yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan penanggulangan kemiskinan, dengan melaksanakan pendekatan pemberdayaan berbasis komunitas dan kegiatan padat karya;
74
2. Menciptakan good governance untuk mendorong partisipasi aktif seluruh stakeholders dalam penanggulangan kemiskinan; 3. Melanjutkan program-program yang dinilai berhasil dalam mengakselerasi penanggulangan kemiskinan; 4. Akselerasi pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas harga terutama bahan makanan pokok. 6.2.4. Strategi dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Strategi umum yang ditempuh dalam upaya penanggulangan kemiskinan adalah: 1) Pemberdayaan Masyarakat; 2) Perluasan Kesempatan; 3) Peningkatan Kapasitas dan Sumberdaya Manusia; 4) Perlindungan Sosial; 5) Peningkatan Kualitas Lingkungan. Sementara strategi khususnya antara lain: 1. Perluasan kesempatan dalam pemenuhan hak-hak dan kebutuhan dasar serta peningkatan taraf hidup masyarakat miskin secara berkelanjutan; 2. Peningkatan kapasitas baik kemampuan dasar maupun kemampuan berusaha masyarakat miskin agar dapat beradaptasi dan memanfaatkan perubahanperubahan yang terjadi; 3. Memberikan perlindungan sosial dan rasa aman bagi kelompok rentan (jompo, penyandang cacat, perempuan kepala rumah tangga) tanpa diskriminasi; 4. Peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya pemerintah maupun sosial, ekonomi, dan budaya serta memperluas partisipasi seluruh komponen masyarakat dalam penganbilan kepurusan kebijakan publik (mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi); 5. Memperluas jaringan kemitraan dan meningkatkan koordinasi antar SKPD terkait serta seluruh stakeholder baik tingkat lokal/regional/nasional guna mendukung kebijakan penanggulangan kemiskinan. Adapun kebijakan strategis sebagai landasan operasional rencana aksi untuk masing-masing sektor yang akan mencakup kebijakan strategis pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin ditempuh dengan 1. Kebijakan Strategis Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat; 2. Kebijakan Strategis Peningkatan Kesehatan dan Pemenuhan Gizi Masyarakat; 3. Kebijakan Strategis Peningkatan Infrastuktur dan Pengembangan Wilayah;
75
4. Kebijakan Strategis Pemberdayaan Ekonomi Rakyat; 5. Kebijakan Strategis Peningkatan Perlindungan Sosial; 6. Kebijakan Strategis Pengarusutamaan Gender; Penjelasan mengenai langkah strategis ke-enam kebijakan tersebut ditunjukkan pada Tabel 14. Tabel 14. Kebijakan dan Langkah-Langkah Strategis Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor 2008-2012. No. Kebijakan Strategis 1. Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat
Program/Langkah Strategis 1. Peningkatan sarana dan prasarana pendidikan 2. Peningkatan pelayanan pendidikan
2.
Peningkatan Kesehatan Masyarakat dan Pemenuhan Gizi Masyarakat
1. Peningkatan pelayanan kesehatan 2. Peningkatan kesehatan ibu dan anak 3. Penurunan Angka Kematian Bayi
3.
Peningkatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah
1. Penerobosan isolasi fisik daerah 2. Membangun fasilitas umum guna mendukung pembangunan pusat-pusat pertumbuhan baru
4.
Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
5.
Peningkatan Perlindungan Sosial
6.
Pengarusutamaan Gender
Sumber: Dokumen SPKD Kabupaten Bogor, 2007
1. Pemberian peluang atau akses yang lebih besar pada aset produksi 2. Memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha ekonomi masyarakat 3. Penguatan industri rakyat 4. Mendorong tumbuhnya tenaga kerja mandiri 5. Pengembangan kawasan pertanian 6. Perwilayahan komoditas 7. Membangun dan mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian 8. Menciptakan iklim usaha yang kondusif 9. Meningkatkan keterlibatan institusi non pemerintah 10. Membentuk forum komunikasi dan meningkatkan koordinasi 1. Pemberian bantuan bagi panti-panti jompo dan panti asuhan anak 2. Pelatihan bagi masyarakat penyandang masalah sosial 3. Pemberian bantuan bagi masyarakat yang mengalami bencana 4. Pelayanan kartu sehat bagi masyarakat miskin guna memperoleh layanan kesehatan gratis 5. Membangun dan memelihara kamtibmas yang dilandasi rasa kebersamaan, persatuan, dan kesatuan 1 Kesetaraan gender dan pemberdayaan 2 Peningkatan kualitas hidup perempuan 3 Peningkatan peran dan kemampuan kelembagaan perempuan 4 Pemberdayaan perempuan pada keluarga miskin 5 Pembinaan Keluarga Berencana
76
3.16.
Implementasi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Keberadaan TKPK dan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang
tercantum dalam dokumen SKPD Tahun 2008-2012 cukup menjadi acuan bagi tetap terprioritaskannya upaya penanggulangan kemiskinan di tahun-tahun berikutnya. Namun SPKD merupakan cerminan dari Visi dan Misi Kepala Daerah Kabupaten Bogor sebagaimana yang tercantum dalam Renstra Tahun 2003-2008. Seiring terjadinya pergantian Kepala Daerah pada tahun 2008, maka perlu dikaji sejauhmana kebijakan penanggulangan kemiskinan tersebut tetap konsisten dilaksanakan oleh pemerintahan yang baru melalui kebijakan dalam RPJMD tahun 2008-2013 12. Untuk mengetahui implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan yang terpadu dengan RPJMD dilakukan analisis isi terhadap kebijakan dalam RPJMD dengan enam kebijakan
penanggulangan
kemiskinan
dalam
dokumen
SPKD
berikut
implementasinya. 6.3.1. Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dalam RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJMD) Kabupaten Bogor Tahun 2008-2013 disusun berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 7 Tahun 2009. RPJMD merupakan penjabaran visi, misi, dan program Kepala Daerah ke dalam strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, program prioritas Kepala Daerah, dan arah kebijakan keuangan daerah, dengan mempertimbangkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025. Di dalam RPJMD Tahun 2008-2013 telah ditetapkan dua arah rencana kebijakan yang dianggap strategis untuk memenuhi tutuntan masyarakat Kabupaten Bogor, yaitu Urusan Wajib dan Urusan Pilihan. Arah kebijakan yang diwajibkan meliputi 26 urusan: 1) Pendidikan; 2) Kesehatan; 3) Pekerjaan Umum; 4) Perumahan; 5) Penataan Ruang; 6) Perencanaan Pembangunan; 7) Perhubungan; 8) Lingkungan Hidup; 9) Pertanahan; 10) Kependudukan dan catatan Sipil; 11) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; 12) Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera; 13) Sosial; 14) Ketenagakerjaan; 15) Koperasi dan UKM; 16) Penanaman Modal; 17) 12
Sejak tahun 2008, tata cara pertanggungjawaban Kepala Daerah tidak ditetapkan berdasarkan Renstra melainkan berdasarkan RPJMD. Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah kini digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.
77
Kebudayaan; 18) Pemuda dan Olahraga; 19) Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri; 20) Otonomi Daerah, Pembantuan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian dan Persandian; 21) Ketahanan Pangan; 22) Pemberdayaan Masyarakat dan Desa; 23) Statistik; 24) Kearsipan; 25) Komunikasi dan Informatika; dan 26) Perpustakaan. Sedangkan arah kebijakan yang menjadi pilihan meliputi 8 urusan: 1) Pertanian; 2) Kehutanan; 3) Energi dan Sumberdaya Mineral; 4) Pariwisata; 5) Perikanan; 6) Perdagangan; 7) Industri; dan 8) Ketransmigrasian. Dalam rangka penggunaan analisis isi, kebijakan dalam RPJMD akan dijadikan sasaran dalam melihat indikator-indikator apa saja yang akan dijadikan arah kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor pada periode tahun 2008-2013.
Hasil
dari
analisis
isi,
diketahui
bahwa
indikator-indikator
penanggulangan kemiskinan yang terpilih meliputi 15 kebijakan pembangunan yang terdiri dari urusan: 1) Pendidikan; 2) Kesehatan; 3) Pekerjaan Umum; 4) Perumahan; 5) Penataan Ruang; 6) Kependudukan; 7) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; 8) Sosial; 9) Koperasi dan UKM; 10) Pemberdayaan Masyarakat dan Desa; 11) Pertanian dan Kehutanan; 12) Energi dan Sumberdaya Mineral; 13) Pariwisata; 14) Perikanan; serta 15) Industri dan Perdagangan, lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa sekalipun terjadi pergantian Kepala Daerah, Pemerintah Kabupaten Bogor tetap konsisten mendukung ke-enam kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tercantum dalam dokumen SPKD Tahun 2008-2012. 6.3.2. Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dalam LAKIP SKPD Seiring dengan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pengaturan dan penyelenggaraan pemerintah daerah diorientasikan pada prinsip-prinsip desentralisasi dengan memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur dan mengelola wilayahnya. Prinsip ini menjadi dasar bagi penyelenggaraan daerah dalam rangka mendorong dan mendukung pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi legislatif daerah, serta memberikan pelayanan yang lebih baik.
78
Kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab tersebut memiliki konsekuensi terhadap daerah untuk mampu mengelola pemerintahannya dengan baik. Salah satu bentuk kewenangan yang luas adalah dimana daerah memiliki keleluasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan dalam bidang perencanaan dan pengendalian pembangunan. Untuk melihat implementasi upaya Pemerintah Kabupaten Bogor dalam menanggulangi kemiskinan di wilayahnya, dilakukan analisis isi terhadap Laporan Akuntabilitas Instansi Pemerintahan (LAKIP) yang ada di Kabupaten Bogor. Dengan memilah pelaksanaan program/kegiatan dalam LAKIP diperoleh data mengenai adanya program/kegiatan yang merupakan implementasi dari upaya penanggulangan kemiskinan. Periode laporan yang dianalisis adalah LAKIP Tahun Anggaran 2007 dan 2008 yang mencakup program/kegiatan penyelenggaraan urusan pemerintahan, tugas pembantuan yang diterima baik dari pusat maupun propinsi, dan kegiatan-kegiatan pendampingan/penunjang atau pendukung program. Hasil analisis isi yang mensinergikan kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan program/kegiatan dalam LAKIP Tahun Anggaran 2007-2008 diperoleh gambaran bahwa seluruh kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam dokumen SPKD
diimplementasikan
dalam
bentuk
program
dan
kegiatan-kegiatan
pembangunan di Kabupaten Bogor. Hal ini menunjukkan adanya relevansi antara kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan pelaksanaan pembangunan daerah di Kabupaten Bogor. Untuk mengetahui lebih seksama program/kegiatan apa saja yang merupakan implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan pada tahun 2007 dapat dilihat pada Lampiran 4, sedangkan implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan pada tahun 2008 dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan
hasil
analisis
tersebut,
terlihat
bahwa
dalam
mengimplementasikan suatu kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak hanya melibatkan satu SKPD saja, tetapi didukung pula dengan program/kegiatan dari SKPD lainnya. Dalam mengimplementasikan Kebijakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat, SKPD yang terlibat hanyalah satu yaitu Dinas Pendidikan. Sementara terdapat 3 unit SKPD yang terlibat dalam mengimplementasikan Kebijakan Peningkatan Kesehatan Masyarakat dan Pemenuhan Gizi Masyarakat. Kebijakan yang paling banyak melibatkan SKPD adalah Kebijakan Pemberdayaan
79
Ekonomi Rakyat (6 unit SKPD), Kebijakan Pengarusutamaan Gender (6 unit SKPD) dan Kebijakan Peningkatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Daerah (5 unit SKPD). Sementara itu Kebijakan Peningkatan Perlindungan Sosial hanya diimplementasikan oleh 2 unit SKPD (Tabel 15) Tabel 15. Jumlah SKPD yang Terlibat dalam Mengimplementasikan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor.
1.
Jenis Kebijakan Pendidikan
Jumlah SKPD yang terlibat 1
2.
Kesehatan
3
Dinas Kesehatan, BPMKS, Bagian Sosial
3.
Infrastruktur
5
Bappeda, Dinas Cipta Karya, BPMKS, Dinas Pertambangan, Dinas Pertanian dan Kehutanan
4.
Ekonomi
6
BPMKS, Kantor Koperasi dan UKM, Dinas Peternakan dan Perikanan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
5.
Sosial
2
BPMKS dan Satpol PP
6.
Gender
6
Bagian Sosial, BPMKS, Disperindag, Kantor Koperasi dan UKM, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Disdukcapil dan KB
No
Keterangan Dinas Pendidikan
Berdasarkan komponen program dan kegiatan yang terlibat dalam mendukung implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor, pada tahun 2007 terdapat 60 program yang terlibat yang mencakup 146 jenis kegiatan. Jumlah seluruh kegiatan yang terlibat dalam upaya penanggulangan kemiskinan pada tahun 2007 adalah 171 kegiatan dengan 25 diantaranya merupakan kegiatan pendukung/pendampingan 13. Pada tahun 2008, sekalipun terjadi penurunan jumlah program, jumlah kegiatan yang terlibat meningkat menjadi 189 kegiatan, dimana terdiri dari 166 jenis kegiatan yang ditunjang oleh 23 kegiatan pendukung/pendampingan (Tabel 16). Kebijakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat merupakan kebijakan yang diimplementasikan oleh paling banyak kegiatan, yaitu sebanyak 35 jenis kegiatan pada tahun 2007 dan 55 jenis kegiatan pada tahun 2008. Sedangkan kebijakan yang paling sedikit diimplementasikan adalah Kebijakan Pengarusutamaan Gender, yaitu sebanyak 17 jenis kegiatan pada tahun 2007 dan 13 jenis kegiatan pada 13
Kegiatan pendukung/penunjang adalah kegiatan yang sama jenis dan sasarannya tapi berasal dari sumber dana yang berbeda. Kegiatan Pendampingan adalah kegiatan yang bersumber dana dari APBD untuk memfasilitasi kegiatan utama baik yang berasal dari Pusat maupun Propinsi.
80
tahun 2008. Namun jika dilihat dari segi jumlah implementasi program, Kebijakan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat merupakan kebijakan yang paling banyak melibatkan program yaitu sebanyak 16 program (baik pada tahun 2007 maupun 2008) sehingga unit SKPD yang terlibat dalam mendukung kebijakan ini pun bervariasi. Tabel 16. Jumlah Komponen Program dan Kegiatan yang Mendukung Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2007 dan 2008.
No
Jenis Kebijakan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pendidikan Kesehatan Infrastruktur Ekonomi Sosial Gender Jumlah
Program 2007 4 11 5 16 12 12 60
2008 4 9 6 16 10 10 55
Komponen Kegiatan Jenis Pendukung/ Kegiatan Pendampingan 2007 2008 2007 2008 35 55 12 10 28 23 1 3 12 16 9 7 33 43 1 2 21 16 2 1 17 13 0 0 146 166 25 23
Jumlah Kegiatan 2007 47 29 21 34 23 17 171
2008 65 26 23 45 17 13 189
Berdasarkan sumber dana yang digunakan dalam mengimplementasikan kebijakan penanggulangan kemiskinan, selain dari APBD, Pemerintah Kabupaten Bogor juga menerima program dan kegiatan dari tugas pembantuan yang berasal dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi Jawa Barat, dan Luar Negeri. Namun demikian melalui kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam DPA Kabupaten Bogor saja sebenarnya sudah cukup memadai untuk mengimplementasikan seluruh kebijakan penanggulangan kemiskinan yang ada di Kabupaten Bogor. Berdasarkan asal dananya, jumlah kegiatan yang dibiayai oleh APBD umumnya adalah yang paling banyak, yaitu 109 kegiatan pada tahun 2007 dan meningkat menjadi 113 pada tahun 2008 (Tabel 17). Sedangkan Tugas Pembantuan yang diterima dan tergolong mendukung implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan pada tahun 2007 mencakup 18 kegiatan yang didanai oleh APBD Propinsi Jawa Barat, 15 kegiatan dari dana dekonsentrasi, dan 28 kegiatan didanai oleh APBN. Pada Tahun 2008 kondisi ini mengalami peningkatan menjadi 20 kegiatan didanai oleh APBD Propinsi Jawa Barat, 26 kegiatan dari dana dekonsentrasi, dan 29 kegiatan didanai oleh APBN. Pada tahun 2007 dan 2008, juga terdapat masing-masing satu kegiatan yang didanai oleh pihak luar negeri yaitu
81
kegiatan International Programme on the Elimination of Child Labour (IPEC) yang didanai oleh ILO (2007) dan kegiatan Pemantauan Wilayah Setempat Konsumsi Garam Beryodium Untuk Semua yang didanai oleh UNICEF (2008). Tabel 17. Jumlah Implementasi Kegiatan yang Mendukung Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2008 Berdasarkan Sumber Dana
No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Sumber Dana Jumlah APBD Dana Luar Kegiatan APBD APBN Propinsi Dekonsentrasi Negeri 2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2008 Pendidikan 19 24 9 17 10 22 9 2 0 0 47 65 Kesehatan 17 18 3 2 0 0 8 5 1 1 29 26 Infrastruktur 15 16 1 1 0 1 5 5 0 0 21 23 Ekonomi 29 31 1 0 0 0 4 14 0 0 34 45 Sosial 14 14 4 0 3 1 2 2 0 0 23 17 Gender 15 10 0 0 2 2 0 1 0 0 17 13 Jumlah 109 113 18 20 15 26 28 29 1 1 171 189 Jenis Kebijakan
Akan tetapi banyaknya kegiatan saja tidak cukup mencerminkan bahwa kegiatan mencapai sasaran dan sesuai dengan output yang diharapkan. Kemampuan anggaran sangat menentukan kemampuan menangani luasnya cakupan kegiatan dalam mencapai tujuan. Alokasi anggaran yang dibelanjakan dalam mendukung implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor pada tahun 2007 cukup besar yaitu sebesar Rp 377,3 miliar atau 23,22 persen dari total APBD Tahun 2007 (sebesar Rp 1,62 triliun). Dibandingkan tahun 2008, jumlah ini mengalami penurunan menjadi sebesar Rp 315,5 miliar atau hanya 16,86 persen dari total APBD Tahun 2008 (sebesar Rp 1,87 triliun). Pada
tahun
2007,
porsi
anggaran
terbesar
digunakan
untuk
mengimplementasikan kebijakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat yaitu sebesar Rp 273,6 miliar, disusul kebijakan Peningkatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah (Rp 40,9 miliar), Peningkatan Kesehatan Masyarakat dan Pemenuhan Gizi Masyarakat (Rp 33,8 miliar), Peningkatan Perlindungan Sosial (Rp 20,03 miliar), Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (Rp 5,78 miliar), dan Pengarusutamaan Gender (Rp 3,13 miliar). Sumber dana yang digunakan ternyata sangat tergantung pada Dana Dekonsentrasi yaitu sebesar Rp 217,9 miliar (Tabel 18). Jika dilihat dari proporsi sumber dananya, penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor sangat
82
tergantung
pada
sumber
dana
dari
luar
APBD.
Terutama
untuk
mengimplementasikan kebijakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat, Peningkatan Kesehatan Masyarakat dan Pemenuhan Gizi Masyarakat, serta Peningkatan Perlindungan Sosial. Tabel 18. Jumlah Anggaran Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2007 (dalam rupiah) No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis Kebijakan
APBD
Pendidikan Kesehatan Infrastruktur Ekonomi Sosial Gender Jumlah
35.311.336.322 14.624.921.901 25.498.627.910 3.636.636.525 3.011.585.000 2.698.321.000 84.781.428.658
Sumber Dana APBD Dana Propinsi Dekonsentrasi 10.611.198.000 216.407.769.000 77.585.000 0 5.023.200.000 0 100.000.000 0 23.986.000 1.081.647.500 0 438.730.000 15.835.969.000 217.928.146.500
APBN 11.307.120.000 18.931.517.606 10.401.881.500 2.051.997.000 15.921.600.000 0 58.614.116.106
Luar Negeri 0 173.960.793 0 0 0 0 173.960.793
Jumlah Anggaran 273.637.423.322 33.807.985.300 40.923.709.410 5.788.633.525 20.038.818.500 3.137.051.000 377.333.621.057
Pada tahun 2008, porsi anggaran terbesar juga digunakan untuk mengimplementasikan kebijakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat yaitu sebesar Rp 172,3 miliar, disusul kebijakan Peningkatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah (Rp 69,6 miliar), Peningkatan Kesehatan Masyarakat dan Pemenuhan Gizi Masyarakat (Rp 33,46 miliar), Peningkatan Perlindungan Sosial (Rp 29,05 miliar), Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (Rp 9,56 miliar), dan Pengarusutamaan Gender (Rp 1,43 miliar). Pada tahun anggaran ini, terjadi penurunan alokasi anggaran untuk kebijakan pendidikan, kesehatan, dan pengarusutamaan gender, tetapi terdapat peningkatan pada alokasi dana untuk kebijakan Peningkatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, dan Peningkatan Perlindungan Sosial (Tabel 19). Tabel 19. Jumlah Anggaran Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2008 (dalam rupiah) No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis Kebijakan
APBD
Pendidikan Kesehatan Infrastruktur Ekonomi Sosial Gender Jumlah
27.639.030.400 18.205.921.000 31.446.350.000 4.471.277.500 4.929.053.000 1.279.799.000 87.971.430.900
Sumber Dana APBD Dana Propinsi Dekonsentrasi 3.728.120.200 138.818.766.500 493.871.600 0 3.367.200.000 705.000.000 0 0 0 927.647.500 0 94.864.040 7.589.191.800 140.546.278.040
APBN 2.150.000.000 14.756.035.053 34.124.920.000 5.091.814.000 23.194.476.000 60.256.546 79.377.501.599
Luar Negeri
Jumlah Anggaran
0 172.335.917.100 10.610.000 33.466.437.653 0 69.643.470.000 0 9.563.091.500 0 29.051.176.500 0 1.434.919.586 10.610.000 315.495.012.339
83
Pada tahun 2008, sumber dana yang digunakan masih tergantung pada Dana Dekonsentrasi yaitu sebesar Rp 140,54 miliar. Dari proporsi sumber dananya, penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor di tahun ini juga masih tergantung pada sumber dana dari luar APBD, terutama untuk mengimplementasikan kebijakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat, Peningkatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, serta Peningkatan Perlindungan Sosial. Jika dilihat dari kinerja meningkatnya jumlah kegiatan pada periode tahun analisis, ternyata tidak terdapat hubungan yang positif dengan berkurangnya angka kemiskinan dari tahun 2007 ke tahun 2008. Kondisi yang ada justru angka kemiskinan pada periode tersebut meningkat 12,93 persen dari 1.017.879 jiwa pada tahun 2007 menjadi 1.149.508 jiwa pada tahun 2008. Kenaikan jumlah kegiatan yang sangat signifikan pada implementasi kebijakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat (meningkat 18 kegiatan) dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (Meningkat 9 kegiatan) tidak cukup membantu mengurangi jumlah kemiskinan (Gambar 16).
Gambar 16. Kondisi Jumlah Kegiatan Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan Kebijakan pada Tahun 2007 dan 2008
Di sisi anggaran, alokasi untuk anggaran penanggulangan kemiskinan juga menurun cukup signifikan yaitu sebanyak 16,31 persen dari Rp 377 miliar (2007) menjadi Rp 315,5 miliar (2008), dimana anggaran untuk kebijakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat masih sangat dominan (Gambar 17). Di sisi lain
84
anggaran untuk kebijakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat sangat didominasi kegiatan pemberian Beasiswa dan Bantuan Operasional Sekolah yaitu mencapai 71,5 persen (2007) dan 58,9 persen (2008) dari keseluruhan anggaran pada kebijakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat. Peningkatan alokasi anggaran terjadi pada kebijakan Peningkatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah namun tentunya pengaruhnya tidak akan secara langsung mengurangi kemiskinan. Kebijakan lain yang alokasi anggarannya meningkat adalah kebijakan Peningkatan Perlindungan Sosial, namun peningkatan alokasi anggaran ini didominasi kegiatan Program Keluarga Harapan yang mencapai 76,6 persen dari total alokasi anggaran kebijakan Peningkatan Perlindungan Sosial.
Gambar 17. Kondisi Alokasi Anggaran Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan Kebijakan pada Tahun 2007 dan 2008 (dalam miliar rupiah)
3.17.
Keterpaduan Antar Program/Kegiatan Pada umumnya seluruh program/kegiatan saling terpadu dalam upaya
mengentaskan
kemiskinan.
Namun
jika
dilihat
dari
jenis
sasarannya,
program/kegiatan ini dapat dikelompokkan sebagai kegiatan yang sasarannya langsung kepada masyarakat miskin dan kegiatan yang sasarannya tidak langsung kepada masyarakat miskin. Beberapa kegiatan yang sasarannya langsung kepada masyarakat miskin misalnya adalah Beasiswa bagi Siswa Putus Sekolah,
85
Penyelenggaraan Kejar Paket A/B/C, Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin, Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni, Permodalan bagi Usaha Mikro Kecil, kegiatan-kegiatan pelatihan keterampilan bagi PMKS, dan lain-lain. Sedangkan kegiatan yang sasarannya tidak langsung kepada masyarakat miskin misalnya: Pembangunan Sarana dan Prasarana Penunjang Pendidikan, Revitalisasi Posyandu, Pengembangan Jaringan Listrik Pedesaan, Pengembangan Agro Industri Pedesaan, Bantuan Tanggap Darurat Bencana, Pembinaan Keluarga Berencana, dan lain-lain. Adanya penyertaan dua jenis kegiatan ini sebagai wujud implementasi kebijakan yang dipengaruhi oleh kebutuhan langkah strategis dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan. Dalam kebijakan tersebut upaya penanggulangan kemiskinan dipandang sebagai sebuah pekerjaan sistem, dimana untuk mengentaskan kemiskinan perlu dipertimbangkan juga aspek-aspek yang mempengaruhi kemiskinan. Sebagaimana hasil refleksi kemiskinan oleh masyarakat melalui metode PRA pada tahun 2007 yang mengamanatkan bahwa persoalan kemiskinan di Kabupaten Bogor berputar pada kurangnya sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, listrik, air bersih, aksesibilitas terhadap sarana umum, terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, rendahnya harga hasil produksi, faktor keterisoliran, serta belum optimalnya pengarusutamaan gender dan perlindungan anak. Upaya mencapai keberhasilan suatu kegiatan juga didukung pula oleh langkah koordinatif dari masing-masing SKPD dalam mencapai tujuan kegiatan. Langkah yang dilakukan adalah dengan melaksanakan kegiatan penunjang atau pendampingan terhadap suatu kegiatan inti yang menjadi fokus utama. Beberapa fokus kegiatan yang melibatkan lintas instansi dan alokasi beragam sumber dana diantaranya adalah Imbal Swadaya, Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin, Penyediaan Sarana Air Bersih dan Sanitasi, Desa Siaga, Gerakan Masyarakat Mandiri, Pelatihan dan Pembentukan KUBE PMKS, Pemberdayaan Fakir Miskin, Pembangunan berbasis Pemberdayaan Masyarakat, Penanganan WTS, Perkuatan Irigasi Partisipatif (WISMP), dan P2WKSS. Adanya pelaksanaan lintas instansi berdampak negatif pada terjadinya kegiatan yang tumpang tindih (overlapping) akibat tumpang tindihnya tupoksi masingmasing instansi dan kurangnya koordinasi pada saat perencanaan. Namun untuk mencegah tumpang tindih di sasaran yang sama, Pemerintah Kabupaten Bogor
86
mengambil jalan keluar dengan mengalokasikan kegiatan-kegiatan tersebut pada lokasi yang berbeda. Kegiatan yang tumpang tindih dapat dikategorikan tumpang tindih dalam hal kesamaan fokus keluaran dari kegiatan yang berbeda dan dari kegiatan yang sama. Beberapa kegiatan yang tumpang tindih dalam hal fokus keluaran dari kegiatan yang berbeda adalah: 1) Fokus keluaran pembangunan sarana pendidikan, jembatan, dan irigasi yang bertumpang tindih dengan fokus keluaran dari sub kegiatan dalam Imbal Swadaya, PNPM Mandiri (PPK/P2KP), Raksa Desa, dan WISMP; dan 2) Penertiban WTS yang bertumpang tindih dengan fokus keluaran dari sub kegiatan Pembinaan WTS Melalui Upaya Repatriasi dan Penyaluran ke Panti Rahabilitasi WTS (BPMKS) dan Penertiban PSK (Sat Pol PP). Beberapa kegiatan yang tumpang tindih dalam fokus keluaran dari kegiatan yang sama adalah: 1) Kegiatan Perkuatan Irigasi Partisipatif (WISMP) yang terdapat pada Bappeda, Dinas Cipta Karya, dan Dinas Pertanian dan Kehutanan dengan dana dari APBN dan APBD; dan 2) Kegiatan Penyediaan sarana air bersih dan sanitasi dasar yang terdapat pada Dinas Kesehatan dan Dinas Cipta Karya. didanai oleh APBN, Dana Dekonsentrasi, dan APBD.
3.18.
Harmonisasi terhadap Program Penanggulangan Kemiskinan Pusat Jika melihat sebaran dan proporsi jumlah implementasi program/kegiatan
penanggulangan kemiskinan, program dan kegiatan yang bersumber dana dari luar APBD cukup banyak berperan dalam menanggulangi kemiskinan di Kabupaten Bogor. Hal ini terlihat pula dari sebaran kegiatan APBN yang mendukung ke-enam kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Ini membuktikan bahwa program penanggulangan kemiskinan dari Pemerintah Pusat bersinergi dengan baik terhadap program penanggulangan kemiskinan daerah, khususnya di Kabupaten Bogor. Program/kegiatan yang bersumber dana APBN murni ataupun APBN melalui dana dekonsentrasi ke Propinsi Jawa Barat pada dasarnya juga terdiri dari program/kegiatan yang sasarannya langsung dan yang tidak langsung kepada masyarakat miskin. Selaras dengan Kelompok Program Penanggulangan Nasional maka kondisi program/kegiatan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor
87
yang bersumber dana APBN dan termasuk dalam Kelompok Program Bantuan dan Perlindungan Sosial adalah: Bantuan Siswa Miskin, BOS, Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin, Bantuan Jaminan Sosial bagi Penyandang Cacat Berat, Program Keluarga Harapan (PKH), dan Bantuan Subsidi Tambahan Biaya Pemenuhan Kebutuhan Dasar Anak Yatim/Piatu Terlantar Dalam Panti. Sedangkan kegiatan yang termasuk dalam Kelompok Program Pemberdayaan Masyarakat adalah: program-program dalam PNPM Mandiri (PPIP, PPK, P2KP, dll), Imbal Swadaya, Pembinaan Keluarga Berencana, BLPS, dan lain-lain. Sedangkan kegiatan yang termasuk dalam Kelompok Program Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil untuk Kemandirian Masyarakat masih belum ada yang bersumber dana dari APBN, namun ada pada kegiatan Fasilitasi Permodalan bagi UMKM di Pedesaan melalui Gerakan Masyarakat Mandiri (GMM) yang bersumber dana dari APBD. Jika dilihat dari aspek program/kegiatan berdasarkan sasaran yang langsung kepada masyarakat miskin, maka implementasinya lebih banyak yang tergolong dalam Kelompok Program Bantuan dan Perlindungan Sosial. Program/kegiatan bersumber dana APBN yang termasuk dalam Kelompok Pemberdayaan Masyarakat dengan sasaran langsung masyarakat miskin hanyalah BLPS-KUBE. Dengan demikian upaya mengurangi jumlah kemiskinan di Kabupaten Bogor umumnya masih dalam bentuk memberikan bantuan langsung tunai (cash programme) dan bukan memprioritaskan pemberdayaan masyarakat miskin. Dengan melihat adanya tipe kemiskinan masyarakat Kabupaten Bogor yang tergolong kemiskinan kultural, memberikan bantuan cash programme hanya akan menambah sasaran penduduk miskin menjadi semakin malas dan tidak akan keluar dari kemiskinan. Program/kegiatan yang tercakup dalam PNPM Mandiri pun pada dasarnya mempunyai isu sentral penanggulangan kemiskinan masyarakat melalui pembangunan infrastruktur dan aksesibilitas melalui pemberdayaan masyarakat untuk menangani permasalahan kemiskinan struktural, namun ternyata tidak dapat mengurangi jumlah kemiskinan secara signifikan karena sasarannya lebih kepada komunitas masyarakat secara umum daripada langsung kepada masyarakat miskin. Berdasarkan dokumen SPKD (2007), persoalan kemiskinan di Kabupaten Bogor pada umumnya belum dapat diatasi secara maksimal oleh program-program dari Pemerintah Pusat dikarenakan berbagai kendala, diantaranya:
88
1. Secara internal Pemerintah Daerah melalui instansi pelaksana masih memandang program penanggulangan kemiskinan sebagai sebuah proyek dan dilihat hanya dari sudut pandang ekonomi; 2. Masyarakat diposisikan sebagai obyek dan penerima pasif dari program; 3. Usulan maupun pilihan-pilihan yang diajukan masyarakat seringkali diintervensi dan diatur oleh aparat birokrasi, dimana aparat birokrasi menganggap dirinya lebih tahu dari masyarakat, sehingga melemahkan semangat partisipasi yang pada akhirnya dapat mematikan inisiatif lokal; 4. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sering bertentangan dengan prinsip partisipasi, penghargaan terhadap hak masyarakat, serta lemahnya akuntabilitas publik; 5. Kebijakan Pemerintah Pusat seringkali tidak memperhatikan hak kepemilikan sumber daya alam oleh masyarakat, tidak memproteksi produksi masyarakat, ataupun tidak menjamin kebutuhan pasar untuk hasil bumi; 6. Terbatasnya infrastruktur dan sarana transportasi. Dengan demikian apabila disinergikan antara program pusat yang diluncurkan dengan kendala yang dihadapi di Kabupaten Bogor, maka permasalahan kemiskinan semakin rumit diatasi. Agar program/kegiatan penanggulangan kemiskinan dapat tepat sasaran dan relevan dengan kondisi masyarakat, jalan keluar yang dapat ditempuh adalah dengan mengembangkan program/kegiatan yang memberdayakan fakir miskin secara langsung dan melibatkan partisipasi masyarakat untuk sama-sama mengentaskan kemiskinan. Berdasarkan Lampiran 5, kegiatan yang termasuk dalam Kelompok Program Pemberdayaan Masyarakat dan sasaran utamanya memberdayakan fakir miskin hanya terdapat pada kegiatan-kegiatan seperti pelatihan keterampilan bagi PMKS (sumber dana APBD) dan BLPS-KUBE (sumber dana APBN). Pada kegiatan BLPS-KUBE, sekalipun proporsi kegiatan ini hanya 0,47 persen dari total anggaran penanggulangan kemiskinan tahun 2008, tapi efeknya dapat mengentaskan fakir miskin sebanyak 268 KK atau mewakili 1.317 jiwa. Dengan demikian mengembangkan program ini sangat berpotensi mengurangi kemiskinan karena sasarannya adalah langsung memberdayakan rumah tangga miskin dan di dalamnya melibatkan partisipasi masyarakat serta perguliran usaha sehingga keberhasilannya dapat ditularkan untuk mengentaskan fakir miskin lainnya.
89
BAB VII EVALUASI PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN MELALUI KUBE DI KABUPATEN BOGOR
Kegiatan-kegiatan pelatihan keterampilan bagi PMKS merupakan salah satu bentuk kegiatan memberdayakan fakir miskin. Melalui kegiatan ini, output yang dihasilkan adalah terbentuknya KUBE PMKS yang akan menjalankan Usaha Ekonomis Produktif sesuai dengan keterampilan yang diajarkan. Melalui KUBE ini diharapkan PMKS dapat saling berinteraksi, lebih percaya diri, dan dapat meningkatkan pendapatan keluarganya sehingga bisa keluar dari kemiskinan. Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui mekanisme BLPS merupakan program bantuan Pemerintah Pusat dalam rangka penguatan modal KUBE-KUBE tersebut. Program ini selain menggunakan pendekatan pemberdayaan ekonomi dan sosial juga berpotensi meningkatkan status sosial masyarakat miskin karena melibatkan partisipasi masyarakat sekitarnya. Pada Bab ini akan dievaluasi kondisi KUBE yang ada di Kabupaten Bogor dan pelaksanaan BLPS mulai dari pelaksanaan program, kendala dan permasalahan, hingga potensi pengembangan program.
3.19.
Potensi KUBE di Kabupaten Bogor KUBE di Kabupaten Bogor umumnya dibentuk oleh instansi sosial
pemerintah dari hasil bimbingan sosial dan pelatihan keterampilan bagi PMKS yang di dalamnya terdapat pemberian stimulan usaha. Berdasarkan data BPMKS (2008) dan Dinsosnakertrans Kabupaten Bogor (2009) 14, jumlah KUBE yang telah dibentuk dari hasil kegiatan-kegiatan pelatihan terhadap PMKS di seluruh wilayah Kabupaten Bogor selama periode tahun 2005-2009 adalah sebanyak 505 kelompok (Tabel 20). KUBE ini terbentuk dari kegiatan seperti: 1) Pembinaan Anak Jalanan; 2) Bimbingan Sosial dan Pelatihan Keterampilan Usaha Ekonomis Produktif (UEP) bagi Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE); 3) Rehabilitasi Penyandang Masalah Sosial Berbasis Masyarakat; 4) Bimbingan Sosial dan Pelatihan Keterampilan bagi Penyandang Cacat; 14
Dengan telah dilakukannya penataan kembali Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Bogor pada tahun 2008, Bidang Kesejahteraan Sosial BPMKS dipindahkan ke Disnakertrans Kabupaten Bogor. Pada tahun 2009, BPMKS berubah menjadi BPMPD dan Disnakertrans berubah menjadi Dinsosnakertrans.
90
5) Pelatihan Keterampilan Usaha Bersama bagi Fakir Miskin; serta 6) Bimbingan Sosial dan Pemulihan Tingkat Perekonomian Masyarakat Eks Korban Bencana. Tabel 20. KUBE PMKS Hasil Pembentukan Kegiatan Pelatihan Keterampilan di Kabupaten Bogor Tahun 2005-2009. No
Jenis PMKS
1 2 3 4 5 6
Anak Jalanan WRSE Anak Putus Sekolah Penyandang Cacat Fakir Miskin Eks Korban Bencana Alam Jumlah
2005 8 10 6 12 36
Tahun Anggaran 2006 2007 2008 24 24 8 33 48 36 14 32 16 6 10 6 8 54 12 8 36 12 93 204 90
2009 8 30 14 6 15 9 82
Jumlah 72 157 76 34 89 77 505
Sumber: BPMKS (2005-2008) dan Dinsosnakertrans Kabupaten Bogor, 2009
Jumlah KUBE terbentuk paling banyak adalah KUBE WRSE 15 yaitu sebanyak 157 kelompok sedangkan yang paling sedikit adalah KUBE Penyandang Cacat yaitu sebanyak 34 kelompok. KUBE Fakir Miskin sendiri baru terbentuk sebanyak 89 kelompok, hal ini dikarenakan pelaksanaan kegiatan Pelatihan Keterampilan Usaha Bersama bagi Fakir Miskin baru dimulai sejak Tahun Anggaran 2006. Jika dilihat dari tahun pelaksanaan kegiatan, jumlah KUBE yang paling banyak dibentuk berasal dari hasil pelatihan keterampilan pada Tahun Anggaran 2007, hal ini seiring dengan kebijakan pada tahun tersebut yang memprioritaskan penanggulangan kemiskinan. Dampak dari kesungguhan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan pada tahun 2007 adalah dikucurkannya Anggaran Biaya Tambahan bagi program/kegiatan yang mendukung pengentasan kemiskinan. Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 20, KUBE yang terbentuk dari hasil pelaksanaan Pelatihan Keterampilan bagi Fakir Miskin Tahun Anggaran 2007 menempati urutan terbanyak yaitu 54 kelompok disusul oleh KUBE WRSE sebanyak 32 Kelompok, dan KUBE Masyarakat Eks Korban Bencana sebanyak 36 kelompok. Sebagai pembinaan lebih lanjut, mulai Tahun Anggaran 2008, Instansi Sosial Kabupaten Bogor melaksanakan kegiatan Bimbingan Sosial dan Pelatihan Keterampilan Lanjutan bagi KUBE Keluarga Fakir Miskin sebanyak 10 KUBE di tiap tahun anggaran. 15
Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) adalah seorang wanita yang berperan sebagai pencari sumber nafkah utama keluarga (wanita kepala keluarga) atau pembantu pencari sumber nafkah keluarganya yang penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
91
Akan tetapi berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan narasumber, proses pemberdayaan melalui KUBE dari sumber dana APBD hanyalah sebatas pemberian pelatihan keterampilan. Tidak adanya pendampingan dan pengawasan terhadap kelanjutan penerapan hasil keterampilan menjadi usaha mengakibatkan proses pemberdayaan terhadap PMKS menjadi tidak maksimal. Pihak Instansi Sosial sendiri tidak sanggup mengalokasikan dana bagi proses pendampingan dan penguatan modal selanjutnya.
3.20.
Pelaksanaan Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui BLPS-
KUBE Menjelang akhir tahun 2007, Pemerintah Kabupaten Bogor melalui BPMKS menerima dana BLPS dari Departemen Sosial RI yang diwujudkan dalam bentuk penguatan modal usaha bagi KUBE Produktif. Sejalan dengan PNPM yang telah dicanangkan pemerintah, maka BLPS dirancang sebagai program terpadu dalam PNPM yang melibatkan berbagai stakeholder (Depsos RI, 2007). Keberadaan program ini tentunya disambut baik oleh Pemerintah Kabupaten Bogor karena bertepatan dengan keseriusan upaya pengetasan kemiskinan dalam rangka terciptanya peluang dan kesempatan pelayanan kepada fakir miskin. 2.2.1. Gambaran Umum Lokasi Menurut Bappeda Kabupaten Bogor, P2FM-BLPS diluncurkan pertamakali di Kabupaten Bogor karena adanya permintaan dari tokoh masyarakat dari Kecamatan Pamijahan yang peduli akan kemiskinan di wilayahnya. Kecamatan Pamijahan merupakan wilayah di Kabupaten Bogor yang tergolong memiliki jumlah penduduk miskin paling banyak yaitu 64.651 jiwa atau atau 5,59 persen dari total penduduk Kabupaten Bogor. Oleh karena itu, wilayah yang merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Cibungbulang ini sering sekali menerima programprogram penanggulangan kemiskinan dari pemerintah seperti: Imbal Swadaya, Raksa Desa, PNPM Mandiri, Sarana Air Bersih, dan lain-lain. Sekalipun jumlah penduduk miskinnya paling banyak, Kecamatan Pamijahan tidak termasuk dalam wilayah yang mendapatkan Program Keluarga Harapan (PKH) bagi keluarga miskinnya.
92
Menanggapi permintaan dari tokoh masyarakat Kecamatan Pamijahan agar ada program yang langsung mengarah pada sasaran meningkatkan taraf hidup fakir miskin, Pemerintah Kabupaten Bogor mengajukan usulan kepada Pemerintah Pusat melalui Departemen Sosial RI untuk menindaklanjutinya dengan P2FM-BLPS yang baru saja dicanangkan di beberapa wilayah di Indonesia. Depsos RI menyetujui permintaan ini dengan menetapkan wilayah tetangga Kecamatan Pamijahan yaitu Kecamatan Tenjolaya untuk turut serta menerima program ini. Gambaran administratif kedua kecamatan dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Posisi Administratif Kecamatan Penerima P2FM-BLPS.
Sekalipun bukan merupakan wilayah dengan jumlah penduduk miskin paling tinggi diantara wilayah terdekatnya (Kecamatan Pamijahan, Leuwiliang, Dramaga, dan Cibungbulang), Kecamatan Tenjolaya dinilai memiliki kondisi kemiskinan lebih parah karena posisinya cukup terisolir dan seluruh penduduk miskinnya tidak bermatapencaharian. Hal ini cukup ironis karena pendidikan kepala keluarga miskinnya justru lebih baik dibandingkan pendidikan kepala keluarga miskin pada wilayah di sekitarnya. Berbeda dengan Kecamatan Pamijahan, wilayah pemekaran baru dari Kecamatan Ciampea pada tahun 2003 ini termasuk dalam wilayah yang menerima Program Keluarga Harapan (PKH) bagi keluarga miskinnya. Gambaran umum Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Tenjolaya dapat dilihat pada Tabel 21.
93
Tabel 21. Gambaran Umum Kondisi Kecamatan Pamijahan dan Tenjolaya. No
Kecamatan
Uraian
Pamijahan
Tenjolaya
1. 2. 3. 4. 5.
Tahun Terbentuk Wilayah Asal Pemekaran Luas wilayah (hektar) Jumlah Desa Klasifikasi Desa
1995 Kecamatan Cibungbulang 8.088,29 15 Desa • 13 Desa Swakarya • 2 Desa Swasembada
2003 Kecamatan Ciampea 2.368,00 6 Desa • 6 Desa Swakarya
6.
Pengembangan Kawasan*:
Hutan rakyat, perkebunan teh, kawasan wisata, budidaya perikanan kolam, budidaya padi, budidaya ubi jalar, peternakan kambing, domba, ayam buras
Budidaya perikanan kolam, budidaya padi, budidaya ubi jalar, peternakan kambing, domba, ayam buras
7.
Kependudukan (Tahun 2007) - Jumlah Penduduk
135.807 jiwa
50.674 jiwa
8.
9.
10.
Sumber:
- Jenis Kelamin
• 70.008 orang laki-laki • 26.397 orang laki-laki • 65.799 orang perempuan • 24.277 orang perempuan
- Jumlah Rumah Tangga
30.822 KK
12.364 KK
Mata Pencaharian Penduduk - Pertanian - Perdagangan - Jasa - Industri - Lainnya
45,83% 25% 25% 4,17% 0%
100% 0% 0% 0% 0%
Kondisi Kemiskinan (Tahun 2006) - Jumlah - Jumlah RTM
64.651 jiwa 13.382 KK
24.359 jiwa 5.081 KK
Mata Pencaharian Penduduk Miskin - Jasa-Jasa - Perdagangan - Transportasi - Tidak Bekerja - Lainnya
8,33 % 4,81 % 0,36 % 56,14 % 30,36 %
0% 0% 0% 100 % 0%
Bappeda Kabupaten Bogor, 2007.
* Data pada Rencana Revitalisasi Pembangunan Pertanian dan Pembangunan Pedesaan di Kabupaten Bogor, PSP3-IPB
2.2.2. Stakehoder Pengelola Program Para pihak yang terlibat (stakeholders) dalam BLPS terdiri dari pemerintah, perbankan, dan masyarakat itu sendiri. Semua pihak menjalankan peran dan tanggungjawabnya
dengan
tujuan
untuk
memberdayakan
KUBE
dalam
mengembangkan usahanya secara berkelanjutan. Hal ini dimaksudkan agar mempercepat proses penyaluran dana penguatan modal usaha kepada anggota
94
KUBE yang tepat sasaran dan tepat waktu. Adapun bidang tugas dari para pihak yang terlibat adalah: a. Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat dalam hal ini diwakili oleh Depsos RI bertugas menetapkan kabupaten/kota lokasi penerima program berdasarkan proposal yang disampaikan sesuai kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. b. Perbankan Pihak perbankan yang ditunjuk adalah PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk. Melalui BRI, pemerintah menyalurkan dana BLPS lewat rekening tabungan di Unit Cabang BRI terdekat dengan lokasi penerima BLPS yang sudah ditetapkan. Berikutnya pihak Unit Cabang BRI menerima permohonan kredit dari KUBE, memeriksa dan menilai, serta menetapkan keputusan kredit mengacu pada ketentuan dalam perjanjian kerjasama antara Depsos RI dengan PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk. c. Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah dalam hal ini adalah Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. Di Tingkat Propinsi, Gubernur melalui Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat memfasilitasi kelancaran pelaksanaan BLPS serta melakukan pemantauan dan evaluasi dalam lingkup propinsi atau antar kabupaten/kota. Di Tingkat Kabupaten, Bupati Bogor melalui BPMKS Kabupaten Bogor menyiapkan data calon KUBE Produktif dengan sistem by name, by adress, by needs 16. Pihak BPMKS juga menyiapkan calon pendamping yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan KUBE. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor juga bertanggung jawab atas penyediaan dana pendampingan dari APBD. 2.2.3. Persiapan Pelaksanaan Program Sasaran utama program ini adalah KUBE Fakir Miskin. Agar pelaksanaan program tepat sasaran maka tahapan persiapan pelaksanaan BLPS ditetapkan sebagai berikut: 16
KUBE Produktif adalah KUBE yang memiliki anggota usia antara 15-55 Tahun, telah melakukan kegiatan usaha ekonomi produktif, memiliki prospek baik untuk berkembang lebih maju dan bukan KUBE bentukan baru.
95
a. Penetapan KUBE Produktif Setelah ditetapkan dua kecamatan sebagai lokasi penerima program, Pemerintah Kabupaten Bogor melalui BPMKS berwenang melakukan seleksi calon KUBE yang akan menerima penguatan modal melalui BLPS. Jumlah KUBE yang terpilih adalah sebanyak 25 KUBE yang berdomisili di 11 desa pada dua kecamatan tersebut. KUBE terpilih kemudian ditetapkan dalam Surat Keputusan Bupati Bogor agar memiliki landasan hukum. b. Seleksi dan Rekruitmen Pendamping Sosial BPMKS mengusulkan pula Calon Pendamping Sosial kepada Depsos RI. Calon Pendamping Sosial baik di tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan dan desa masing-masing berjumlah satu orang. Dengan demikian jumlah Pendamping Sosial dari Kabupaten Bogor adalah 14 orang terdiri dari 1 orang Pendamping Kabupaten, 2 orang Pendamping Kecamatan, dan 11 orang Pendamping Desa. c. Pelatihan Pendamping Sosial Seluruh Calon Pendamping Sosial tersebut kemudian diwajibkan mengikuti Pelatihan Pendampingan Sosial yang dilaksanakan oleh Depsos RI. Untuk para Calon Pendamping Sosial Kabupaten Bogor, kegiatan pelatihan dilaksanakan di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) LembangBandung selama dua minggu. d. Penjajakan Lokasi dan Pemetaan Kebutuhan Kegiatan ini dilakukan oleh Depsos RI didampingi oleh BPMKS untuk melihat potensi pengembangan usaha KUBE pada wilayah calon penerima program berikut kesiapannya dalam menunjang pelaksanaan program. e. Sosialisasi Program Sosialisasi program merupakan upaya memperkenalkan atau menyebarluaskan informasi mengenai P2FM kepada masyarakat miskin sebagai penerima program, kelompok masyarakat secara umum, para pelaku yang terlibat, serta instansi atau lembaga pendukung P2FM-BLPS di semua tingkatan. Oleh Pemerintah Kabupaten Bogor, kegiatan ini diwujudkan bersamaan dengan kegiatan Peluncuran P2FM-BLPS pada tanggal 18 Desember 2007 yang bertempat di Kecamatan Tenjolaya.
96
f. Usulan Kegiatan UEP 17 Kegiatan ini dilakukan berdasarkan musyawarah kelompok (internal KUBE) sehingga dihasilkan perencanaan dan pemanfaatan modal sesuai kebutuhan. Setiap KUBE kemudian membuat proposal kegiatan UEP yang akan dikembangkan untuk diajukan kepada Bank BRI agar mendapatkan dana yang dibutuhkan. 2.2.4. Penyesuaian dalam Program BLPS-KUBE merupakan salah satu program Pemerintah Pusat yang menggunakan pendekatan Top-Down, oleh karenanya tidak semua aspek dari program relevan dengan kondisi di lokasi penerima program. Dalam pelaksanaan BLPS di Kabupaten Bogor, ditemukan beberapa penyesuaian yang dilakukan pemerintah setempat yaitu dalam hal pembentukan kelompok, jenis UEP yang diusahakan, pembentukan lembaga pengaman perguliran dana, dan penetapan aturan perguliran dana yang sesuai kondisi usaha. Diantara penyesuaian-penyesuaian dalam program ini ditemukan adanya indikasi penyelewengan terhadap aturan yang tercantum dalam Petunjuk Operasional P2FM-BLPS. Berdasarkan data BPMKS tahun 2007, potensi KUBE PMKS atau fakir miskin yang ada dan terbentuk di Kecamatan Pamijahan dan Tenjolaya selama periode tahun 2005-2007 hanyalah KUBE WRSE yang terbentuk di Kecamatan Pamijahan pada tahun 2005 sebanyak 5 kelompok. Namun jika berdasarkan data tahun 2002, Kecamatan Pamijahan pernah memiliki potensi KUBE Fakir Miskin sebanyak 31 kelompok sedangkan Kecamatan Tenjolaya yang pada tahun tersebut masih merupakan bagian dari Kecamatan Ciampea memiliki potensi 50 kelompok. Lamanya rentang terbentuknya KUBE dan lemahnya pengawasan hasil pelatihan keterampilan oleh aparat pemerintah mengakibatkan KUBE-KUBE tersebut tidak berjalan secara berkelanjutan. Sehubungan dengan tidak tercukupinya jumlah KUBE Produktif yang dibutuhkan sebagai penerima BLPS, BPMKS akhirnya menerima KUBE bentukan baru sebagai calon penerima BLPS. Padahal syarat utama KUBE penerima BLPS adalah KUBE yang sudah produktif menjalankan usahanya.
17
Usaha Ekonomi Produktif (UEP) adalah serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dalam mengakses sumberdaya ekonomi, meingkatkan kemampuan usaha ekonomi, meningkatkan produktivitas kerja, meningkatkan penghasilan, tabungan, dan menciptakan kemitraan usaha yang saling menguntungkan (Depsos RI, 2007).
97
Dalam definisi umum, selayaknya KUBE dibentuk oleh sekumpulan orang yang melakukan suatu jenis UEP secara bersama-sama. Namun pada kasus pelaksanaan BLPS di Kabupaten Bogor terlihat seolah KUBE hanyalah sebuah lembaga himpunan fakir miskin penerima bantuan modal usaha sementara anggota KUBE tidak terikat melakukan suatu usaha secara kolektif/bersama-sama. Dalam Lampiran 6 terlihat bahwa dari 25 kelompok hanya 6 kelompok yang melakukan UEP secara kolektif. Pihak Pendamping Sosial Kecamatan menjelaskan alasannya sebagai berikut: “Keadaan ini sudah dikonsultasikan pada saat Pelatihan Pendampingan Sosial dan mendapat persetujuan Pihak Depsos RI mengingat mata pencaharian sebagian besar fakir miskin di Kecamatan Tenjolaya dan Pamijahan adalah tidak bekerja, buruh tani, dan bekerja serabutan yang beralih-alih profesi sehingga usaha yang mereka kembangkan tidak bisa tergantung pada satu jenis usaha dan bagi usaha pertanian pun sangat dipengaruhi kondisi alam” Berdasarkan aturan BLPS, dana yang telah dicairkan bersifat dana hibah bersyarat dimana dana wajib dikembalikan untuk digulirkan kepada anggota lain atau bahkan kepada KUBE Produktif lain yang membutuhkan. Adanya sifat dana ini membuat Pengelola Program beranggapan seandainya perguliran dana ini diserahkan begitu saja kepada masyarakat (fakir miskin anggota KUBE) tentunya akan besar kemungkinan terjadi kredit macet dalam perguliran dana. Dilatarbelakangi kemungkinan ancaman tersebut dan mengingat tanggung jawab mengelola bantuan yang sedemikian besar, para Pendamping Sosial melalui persetujuan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor berinisiatif membentuk Koperasi yang bertujuan mewadahi dan mengendalikan proses perguliran dana BLPS di Kecamatan Tenjolaya dan Pamijahan. Koperasi ini dibentuk pada tanggal 3 Januari 2008 dan ditetapkan melalui Akta Notaris dengan nama ‘Koperasi Usaha Bersama’ yang berkedudukan di wilayah Kecamatan Tenjolaya. Kepengurusan koperasi ini adalah himpunan dari para Pendamping Sosial yang terlibat dalam pelaksanaan BLPS sedangkan anggotanya adalah anggota KUBE penerima BLPS. Berdasarkan maksud dan tujuan didirikannya Koperasi Usaha Bersama dalam Akta Notarisnya, koperasi ini akan mewakili perwujudan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang memberikan akses dana penguatan modal kepada KUBE melalui pengaturan hasil perguliran dana dari BLPS.
98
Dengan adanya koperasi, dana hasil keuntungan KUBE wajib dikembalikan kepada koperasi untuk digulirkan kembali kepada anggota lain atau KUBE penerima berikutnya. Namun demikian, keberadaan koperasi akhirnya jutru menimbulkan banyak pertentangan di masyarakat karena peran lembaga ini seharusnya tidak ada sebagaimana yang tercantum dalam Petunjuk Operasional P2FM-BLPS. Sebagaimana informasi yang disosialisasikan oleh Pihak Depsos RI sebelumnya, perguliran modal dan usaha dalam P2FM-BLPS ini diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat. Keberadaan Koperasi ini juga yang menyebabkan pencairan dana menjadi terpusat kepada rekening Koperasi, bukan kepada rekening masing-masing KUBE. Sebagai dampak keberadaan Koperasi adalah adanya penyesuaian dalam hal pengembalian dana. Anggota KUBE diharuskan mengembalikan dana jika usaha yang dikembangkan sudah memperoleh keuntungan dengan cara mencicil secara periodik ke Koperasi. Hal ini dimaksudkan agar proses perguliran dana dapat berjalan sesuai harapan. Sehubungan dengan beragamnya jenis UEP yang dikembangkan, Pengelola Program menerapkan dua metode pengembalian, yaitu dengan mencicil setiap sebulan sekali bagi usaha-usaha produksi, jasa, dan perdagangan, sementara bagi usaha-usaha budidaya, baik itu pertanian, perikanan, dan peternakan, pengembalian dana dilakukan dengan cara mencicil berdasarkan siklus panen. 2.2.5. Kondisi Pencairan Dana Total dana BLPS yang rencananya akan dikucurkan dalam rangka penguatan modal KUBE di Kabupaten Bogor adalah sebesar Rp 1,5 miliar yang diberikan kepada 25 kelompok, dengan demikian setiap kelompok berhak memperoleh dana maksimal Rp 60 juta. Akan tetapi dana terserap pada awal peluncurannya hanyalah sebesar Rp 981.907.000,- atau hanya 65,46 persen dari selayaknya. Rincian jumlah dana yang dicairkan dapat dilihat pada Tabel 22. Menurut Pendamping Sosial Kecamatan, hal ini disebabkan terjadi proses efisiensi dalam pelaksanaan seleksi ajuan dana karena masih terdapat usulan usaha KUBE yang belum memenuhi syarat kualifikasi, baik dari segi kemampuan pengelolaan maupun kelayakan usahanya, sebagaimana dijelaskan berikut: “Masih ada komponen dalam ajuan dana yang tidak perlu dibantu melalui dana BLPS, seperti sewa lahan atau peralatan untuk usaha, dikarenakan fakir miskin sendiri juga masih memiliki lahan atau peralatan
99
yang cukup memadai bagi pelaksanaan usahanya. Adapun sisa dana yang belum dicairkan akan ditahan hingga ada usulan usaha KUBE yang layak berikutnya” Tabel 22. Realisasi Pencairan Dana BLPS bagi KUBE di Kabupaten Bogor Tahun 2008. No Kecamatan 1.
Pamijahan
2.
Tenjolaya
Desa
Nama KUBE
1. Pamijahan
1. Sumber Rejeki 2. Sugih Mukti 2. Pasaraean 3. Pasarean I 4. Pasarean II 5. Pasarean III 6. Intan Walagri 3. Gunung Menyan 7. Silih Asih 8. Sablon 9. Serbaguna 4. Gunung Picung 10. Tani Mukti 11. Subur Tani 5. Gunung Bunder 12. Botaniah 6. Gunung Sari 13. Mitra Sari II 7. Situ Daun 14. Tunas Mekar I 15. Tunas Mekar II 8. Tapos I 16. Karya Bersama 17. Harapan Jaya 18. Mutiara Hati 19. Bersama Jaya 9. Tapos II 20. Tegar I 21. Tegar II 10. Gunung Malang 22. Mekar Jaya 23. Maju Jaya 11. Cibitung Tengah 24. Karya Mandiri II 25. Langkah Tani Jumlah
Pencairan Dana 50.620.000 51.800.000 40.770.000 56.000.000 47.000.000 55.000.000 49.040.000 35.614.000 49.439.500 36.435.000 31.100.000 39.380.000 58.000.000 39.565.000 31.120.000 30.000.000 30.888.500 28.956.000 28.100.000 21.469.000 44.000.000 30.000.000 30.000.000 33.510.000 34.100.000 981.907.000
Dana Belum Dicairkan 9.380.000 8.200.000 19.230.000 4.000.000 13.000.000 5.000.000 10.960.000 24.386.000 10.560.500 23.565.000 28.900.000 20.620.000 2.000.000 20.435.000 28.880.000 30.000.000 29.111.500 31.044.000 31.900.000 38.531.000 16.000.000 30.000.000 30.000.000 26.490.000 25.900.000 518.093.000
Sumber: Koperasi Usaha Bersama Kabupaten Bogor, 2009
Untuk mengamankan sisa dana tersebut, oleh Pengelola Program, dana dikembalikan ke dalam rekening dana BLPS KUBE di Bank BRI untuk pemanfaatan berikutnya. Namun demikian, akibat belum adanya usulan UEP yang memenuhi syarat, dana tersebut mengendap di rekening BRI. 2.2.6. Keragaan Keanggotaan KUBE Jumlah penerima dana BLPS tahun 2008 adalah 268 orang Kepala Keluarga dengan total jumlah anggota keluarga sebanyak 1.317 jiwa, dengan demikian rata-rata besar keluarga tiap RTM penerima dana adalah hampir 5 orang per RTM. Jumlah
100
anggota tiap KUBE pun cukup bervariasi dimana terdapat lebih dari separuh KUBE yang beranggotakan 10 orang lebih (Tabel 23). Adapula KUBE yang beranggota cukup banyak yaitu mencapai 16 orang, dan hanya terdapat satu KUBE saja yang memiliki anggota di bawah 10 orang. Tabel 23. Kondisi Keanggotaan dan Jenis Usaha KUBE Penerima Dana BLPS di Kabupaten Bogor Tahun 2008. No Nama KUBE 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Sumber Rejeki Sugih Mukti Pasarean I Pasarean II Pasarean III Intan Walagri Silih Asih Sablon Serbaguna Tani Mukti Subur Tani Botaniah Mitra Sari II Tunas Mekar I Tunas Mekar II Karya Bersama Harapan Jaya Mutiara Hati Bersama Jaya Tegar I Tegar II Mekar Jaya Maju Jaya Karya Mandiri II Langkah Tani Jumlah Proporsi
Jumlah Anggota 10 11 10 16 13 11 11 8 11 13 10 10 10 11 10 10 11 11 10 10 11 10 10 10 10 268 100%
Jenis Kelamin Jenis Usaha Laki- Perem Budidaya Budidaya Budidaya Usaha Dagang/ Usaha Jasa Laki -puan PertanianPeternakan Perikanan Produksi Jual Beli 10 0 10 0 0 0 0 0 11 0 3 0 0 1 7 0 8 2 1 2 0 0 6 1 14 2 2 0 2 1 5 6 11 2 6 5 1 0 1 0 10 1 11 0 0 0 0 0 9 2 6 0 3 1 0 1 8 0 1 0 1 0 6 0 9 2 9 0 2 0 0 0 12 1 8 1 0 0 4 0 10 0 10 0 0 0 0 0 10 0 8 1 0 0 1 0 8 2 3 0 0 0 7 0 10 1 5 0 5 0 1 0 9 1 5 1 4 0 0 0 10 0 9 0 1 0 0 0 9 2 9 0 0 0 2 0 11 0 5 0 0 0 4 2 10 0 10 0 0 0 0 0 9 1 9 0 1 0 0 0 11 0 9 0 1 0 1 0 10 0 5 5 0 0 0 0 10 0 10 0 0 0 0 0 7 3 3 1 2 0 1 3 8 2 4 1 2 0 2 1 244 24 161 17 25 3 48 14 91,04% 8,96% 60,07% 6,34% 9,33% 1,12% 17,91% 5,22%
Sumber: Koperasi Usaha Bersama Kabupaten Bogor (2009), data diolah
Di dalam setiap KUBE ini terdapat kepengurusan yang terdiri dari Ketua, Sekretaris, dan Bendahara yang bertanggung jawab terhadap kinerja keberhasilan usaha anggotanya dan menyelesaikan permasalah yang timbul. Kepengurusan inilah yang memfasilitasi terjadinya proses pemberdayaan fakir miskin seperti pertemuan sesama anggota KUBE maupun pertemuan dengan para Pendamping Sosial dan pemecahan masalah atas kendala yang dihadapi anggota KUBE-nya. Pada Tabel 23 terlihat bahwa proporsi anggota KUBE berjenis kelamin laki-laki lebih banyak (91,04 persen) daripada anggota KUBE berjenis kelamin perempuan (8,96 persen). Hal ini
101
berarti peran kepala keluarga fakir miskin di kedua kecamatan penerima dana BLPS masih didominasi oleh pria. 2.2.7. Jenis Usaha KUBE Berdasarkan Tabel 23, kegiatan KUBE yang diusahakan oleh fakir miskin di dua kecamatan tersebut dapat dikategorikan dalam 6 jenis usaha, yaitu: budidaya pertanian, peternakan, perikanan, usaha produksi, jual beli/perdagangan, dan usaha jasa. Kategori yang paling banyak usahakan adalah usaha pertanian sebanyak 60,07 persen, disusul perdagangan (17,91%), perikanan (9,33%), peternakan (6,34%), jasa (5,22%), dan usaha produksi (1,12%). Kegiatan usaha pertanian meliputi: budidaya ubi jalar, padi, rumput gajah, jagung manis, jamur tiram, terung, pepaya, cabai, kacang panjang, katuk, buncis, dan mentimun. Adapun jenis usaha yang paling variatif adalah usaha perdagangan/jual beli diantaranya meliputi: penjualan sembako, hewan, makanan, sayuran, pakaian, kayu, barang bekas, mainan, batu alam, suku cadang sepeda motor, hingga pulsa telepon/aksesoris telepon seluler. Jenis usaha perikanan yang dikembangkan meliputi: budidaya ikan mas, lele, bawal, nila, dan gurame. Jenis usaha peternakan meliputi ternak domba, ayam, dan kelinci. Usaha bidang jasa meliputi: menjahit, perbengkelan, jasa perkreditan barang, dan pertukangan. Sedangkan jenis usaha produktif meliputi: pembuatan ikan pindang, penggergajian kayu, dan kerajinan sendal. 2.2.8. Pendampingan Sosial KUBE Fakir Miskin sebagai kelompok dari keluarga-keluarga fakir miskin membutuhkan pendampingan dari orang yang lebih tahu dan lebih terampil daripada mereka. Untuk itu dalam program ini disiapkan Pendamping Sosial yang berasal dari masyarakat di lokasi penerima program agar memahami potensi dan permasalahan yang akan dihadapi di lokasi pelaksanaan BLPS. Pendamping Sosial ini berupa perorangan, kelompok, atau lembaga yang memiliki kompetensi di bidang usaha kesejahteraan sosial dan UEP. Komposisi Pendamping Sosial dalam pelaksanaan BLPS di Kabupaten Bogor berasal dari unsur tokoh masyarakat setempat, unsur pengajar, wirausaha,
102
organisasi sosial, Penyuluh Pertanian Swadaya, dan Pekerja Sosial Masyarakat. Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan kegiatan pendampingan sosial, para pendamping ini menjalankan berbagai peranan diantaranya sebagai perencana, pembimbing, pemberi informasi, motivator, penghubung, fasilitator, dan evaluator. Selama pelaksanaan program, para pendamping tersebut mendapatkan honorarium pendampingan yang bersumber dana dari APBN. Pada tujuan akhirnya, pendampingan ini akan berfungsi dalam meningkatkan kemampuan berusaha para anggota KUBE sehingga usahanya berkembang dan layak mendapatkan modal usaha dalam bentuk Kredit Usaha Mikro dan Kecil yang disediakan oleh BRI. 3.21.
Kinerja KUBE Penerima Dana BLPS Langkah pertama yang harus dilakukan oleh KUBE Penerima Dana BLPS
adalah mengalokasikan dana tersebut untuk kegiatan usaha sebagaimana yang sudah dirinci dalam Proposal Permohonan Bantuan Dana UEP masing-masing. Pemanfaatan dana ini dimonitor oleh para Pendamping Sosial agar tidak terjadi penyelewengan dalam penggunaannya. Berdasarkan wawancara dengan Pendamping Sosial, pada tahap awal umumnya para anggota KUBE melakukan pengalokasian dana secara wajar sesuai dengan kegiatan di proposalnya masing-masing, akan tetapi setelah sekian lama program berlangsung, terdapat KUBE-KUBE yang kesulitan mengelola kelanjutan usahanya karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki. Menurut Pendamping Sosial Kecamatan, hal ini disebabkan UEP yang dijalankan anggotanya gagal/bangkrut karena kegagalan panen dan tidak dapat melanjutkan usaha karena modal habis. Selain disebabkan oleh faktor alamiah (seperti kegagalan panen pada usaha pertanian, peternakan, dan perikanan), umumnya modal habis karena Anggota KUBE belum bisa memisahkan sistem keuangan UEP dengan keuangan rumah tangga. Hasilnya, sedikit demi sedikit uang keuntungan hasil usaha dipakai untuk keperluan rumah tangga. Sudah seharusnya para Pendamping Sosial mengantisipasi hal ini dengan melakukan pendampingan yang intensif terhadap pelaksanaan UEP. Namun akibat beragamnya jumlah UEP yang dijalankan dalam setiap KUBE, kondisi ini menjadi di luar kendali Pendamping Sosial. Semakin banyak UEP maka semakin luas cakupan pendampingan oleh mereka. Kelembagaan KUBE yang seharusnya juga
103
bertanggung jawab atas kondisi ini ternyata belum bisa diandalkan dalam menangani permasalahan anggotanya karena kurangnya pemahaman Pengurus KUBE akan program. Kondisi ini diperburuk pula oleh adanya kendala dan permasalahan eksternal yang timbul sehingga mengganggu jalannya proses pemberdayaan yang diharapkan. Berdasarkan Laporan Koperasi Usaha Bersama, hingga saat ini belum ada laporan perkembangan usaha oleh masing-masing KUBE dan perguliran dana dari hasil keuntungan UEP yang dijalankan.
3.22.
Hambatan dan Permasalahan yang Timbul Berdasarkan hasil wawancara dengan Pendamping Sosial dan instansi yang
terlibat, kegiatan perguliran dana BLPS hasil dari pemberdayaan fakir miskin pada tahun 2008 ternyata tidak berjalan sesuai harapan. Selain permasalahan internal KUBE, penyebab lainnya adalah adanya kendala eksternal di lapangan yang menimbulkan berbagai permasalahan dan secara langsung mengganggu kinerja KUBE serta proses pemberdayaan itu sendiri. Berdasarkan pihak yang terlibat, kendala tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Kendala dari sisi masyarakat penerima program • Jumlah penerima program tidak sebanding dengan yang tidak menerima, yaitu hanya mengakomodir 3,4 persen RTM di dua kecamatan sehingga banyak masyarakat miskin yang belum beruntung berharap difasilitasi. Di sisi lain, karena rendahnya pendidikan dan pengetahuan masyarakat miskin, lebih dari ratusan proposal UEP yang diusulkan tidak lolos kualifikasi sebagai penerima dana BLPS. • Tidak terserapnya seluruh dana program menimbulkan kecurigaan bagi sebagian masyarakat akan adanya penyelewengan penggunaan dana, apalagi sisa dana terkesan dibiarkan mengendap dan lama tidak dicairkan. Hal ini kemudian menimbulkan konflik kepercayaan antara masyarakat dan pengelola. • Adanya kesalahan persepsi pada masyarakat dalam mengartikan bantuan program. Sebagian mereka masih mengartikan pemberian dana bagi penguatan modal KUBE dalam P2FM adalah sebuah proyek dimana setiap pemberian pemerintah selalu diartikan sebagai hibah murni. Hal ini ternyata disuarakan pula oleh tokoh formal maupun non formal di sekitar fakir miskin, sehingga
104
memperkuat keyakinan mereka untuk tidak mengembalikan dana yang diterimanya. 2. Kendala dari sisi peran Koperasi • Koperasi Usaha Bersama yang dibentuk dalam rangka ”mengamankan” perguliran dana program, dianggap menyediakan jalan bagi penyalahgunaan dana program. Apalagi dana BLPS diturunkan dari Depsos RI melalui rekening BRI atas nama Koperasi Usaha Bersama. Kendala ini menimbulkan ketidakpercayaan penerima program terhadap peran Koperasi sehingga pengembalian dana (hasil pencairan tahap awal) ke Koperasi tidak terjadi. • Adanya aduan masyarakat tentang dugaan adanya dana yang tidak terserap dan peran koperasi dalam penyalahgunaan dana kepada pihak Depsos RI, ditindaklanjuti dengan inspeksi oleh pihak Depsos RI terhadap Koperasi dan KUBE penerima program. Namun hal ini tidak dapat dibuktikan dan justru memperuncing
konflik
antara
Koperasi/Pendamping
Sosial
dan
masyarakat/KUBE penerima program. 3. Kendala dari sisi Pendamping Sosial • Terdapat beberapa Pendamping Sosial di Kecamatan Tenjolaya yang kurang aktif dikarenakan kurangnya pengalaman dan keterampilan pekerjaan sosial. Kendala ini menimbulkan fungsi perencanaan, pembimbingan, dan pemberi motivasi terhadap usaha KUBE di Kecamatan Tenjolaya menjadi sangat lemah. • Permasalahan yang terjadi pada Koperasi yang juga mewakili wadah para Pendamping
Sosial
menimbulkan
konflik
antara
penerima
program,
masyarakat, dan Pendamping sehingga proses pendampingan tidak berjalan sesuai harapan. • Habisnya masa pembayaran honor pendampingan dari Pemerintah Pusat dan tidak adanya tindak lanjut dari Pemerintah Daerah dalam mengalokasikan dana pendampingan menimbulkan proses pendampingan sosial terhenti. 4. Kendala dari sisi Pemerintah • Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor belum menepati kesepakatan dalam hal penyediaan anggaran pendampingan/pendukung program serta penghimpunan dana-dana masyarakat dan dunia usaha di wilayah Kabupaten Bogor. Kendala
105
ini mengakibatkan tidak terfasilitasinya dana dukungan bagi program, seperti honor pendampingan sosial serta dana monitoring dan evaluasi 18. • Jauhnya lokasi pelaksanaan program dengan lokasi pusat Pemerintahan Kabupaten Bogor menjadikan kendala rendahnya intensitas pengawasan oleh aparat BPMKS. Keberadaan Koperasi yang lebih dekat dengan lokasi program akhirnya dijadikan andalan dalam mengelola progam secara keseluruhan, dan hal ini tentunya kurang baik bagi keberlangsungan program. • Kurang jelasnya fungsi dan peran Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat dalam struktur organisasi P2FM sehingga ada kesan mereka ditinggalkan. Hal ini juga yang menyebabkan lemahnya pengawasan di daerah karena tidak jelasnya pengusung program. • Akibat tidak jelasnya pengusung program dan tidak ada langkah lanjut dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul, hingga kini permasalahan kredit macet, koperasi, dan kelanjutan proses pendampingan tidak pernah diselesaikan oleh pihak pemerintah baik pusat, propinsi maupun daerah. 3.23.
P2FM-BLPS Fase II sebagai Kelanjutan Program Sekalipun terjadi kegagalan di tahun 2008, Pengelola Program tetap
melanjutkan pencairan sisa dana yang belum terserap dengan masih menetapkan KUBE-KUBE bentukan baru sebagai penerima BLPS Fase II namun dengan seleksi yang lebih ketat. Langkah ini diambil untuk mengurangi resiko terjadinya kegagalan kembali. KUBE yang lolos seleksi pada Fase II ini pada awal pencairan terdiri dari 7 kelompok (78 Kepala Keluarga). Berikutnya pada tahun 2009 terjadi penambahan 1 kelompok sehingga jumlah KUBE penerima dana BLPS Fase II menjadi 8 kelompok. Selain jumlah kelompoknya bertambah karena lolosnya satu KUBE baru, jumlah anggota KUBE juga bertambah secara bertahap seiring dari keberhasilan masingmasing KUBE. Hingga akhir tahun 2009, jumlah anggota kedelapan KUBE tersebut mencapai 95 Kepala Keluarga. Kondisi KUBE penerima dana BLPS Fase II dapat dilihat di Lampiran 7.
18
Honor Pendampingan Sosial hanya diberikan selama 6 bulan di tahun pertama pelaksanaan program, selanjutnya adalah kebijakan Pemenerintah Daerah untuk menfasilitasi kelanjutan pendampingan dan pelaksanaan monitoring dan evaluasi sesuai dengan MoU yang sudah disepakati antara Depsos RI dan Pemerintah Daerah.
106
7.5.1. Kondisi Umum KUBE Penerima BLPS Fase II Dibandingkan pada tahap awal peluncuran program, proporsi keterlibatan perempuan dalam KUBE di Fase II lebih banyak yaitu mencapai 39,80 persen atau 39 orang (Tabel 24). Tidak jauh berbeda dengan fase sebelumnya, UEP yang dijalankan juga masih merupakan usaha individu atau bukan usaha kolektif kelompok. Adapun jenis usaha Anggota KUBE pada fase ini hanya terdiri dari 5 jenis usaha dengan proporsi paling tinggi pada usaha perdagangan/jual beli (78,57%), disusul usaha jasa (9,18%), dan budidaya pertanian (8,16%). Dari sisi tingkat partisipasi anggota, proporsi anggota yang aktif masih lebih banyak dibandingkan anggota yang tidak aktif dengan perbandingan 80:20. Berdasarkan wawancara dengan Pendamping Sosial, ketidakaktifan anggota umumnya terjadi karena kegagalan usaha dan adanya alih profesi sehingga usaha terhenti dan pengembalian dana mengalami kemacetan. Tabel 24. Kondisi Keanggotaan, Jenis Usaha, dan Status Anggota KUBE Penerima Dana BLPS Fase II di Kabupaten Bogor No
Nama KUBE
1 2 3 4 5 6 7 8
Kananga I Kananga II Kananga III Kananga IV Tani Mukti II Sugih Mukti II Puspa Melati Total Proporsi
Jumlah Anggota 10 11 15 14 12 9 7 17 98 100%
Jenis Kelamin L
P
8 5 9 8 8 6 5 8 59 60,20%
2 5 6 6 6 3 2 9 39 39,80%
Jenis Usaha Pertanian Peternakan Perikanan Jual Beli Jasa 0 0 0 10 0 0 0 0 11 0 0 1 0 14 0 0 0 0 12 2 0 0 0 12 2 1 1 0 3 2 1 1 0 3 2 1 0 1 11 4 8 3 1 77 9 8,16% 3,06% 1,02% 78,57% 9,18%
Status Anggota Aktif Pasif 10 0 10 1 15 0 6 8 11 3 6 3 7 0 13 4 76 19 80% 20%
Sumber: Koperasi Usaha Bersama Kabupaten Bogor (2009), data diolah
7.6.1. Proses Pencairan Dana dan Pemanfaatan Tidak berbeda dengan fase sebelumnya, proses pencairan dana BLPS Fase II juga melalui tahapan pengajuan proposal oleh KUBE. Begitu usulan UEP disetujui, Pengelola Program mencairkan dana bantuan yang berasal dari sisa pencairan tahap awal (tahun 2008) kepada masing-masing KUBE untuk dialokasikan kepada UEP masing-masing anggotanya. Oleh Anggota KUBE, dana yang diterima segera digunakan sesuai dengan rincian yang diajukan dalam proposal.
107
Selama
pemanfaatan,
Pendamping
Sosial
terus
memantau
proses
penggunaan dana hingga UEP terwujud dan siap dijalankan. Menurut Pendamping Sosial, adanya jumlah KUBE dan UEP yang lebih sedikit pada BLPS Fase II ini cukup mempengaruhi kinerja dan fokus pendampingan terhadap pelaksanaan UEP Anggota KUBE. Hal ini juga berdampak kepada keberhasilan usaha dan adanya proses pengembalian modal. 7.5.2. Kinerja Pengembalian Modal Berdasarkan keberhasilan kinerja usaha dan pengembalian modal, menjelang akhir tahun 2008, Pengelola Program kemudian menggulirkan kembali dana penguatan pada mereka sebanyak Rp 230,165 juta yang diantaranya diperuntukkan bagi satu kelompok bentukan baru yaitu KUBE Tani Mukti II (Tabel 25). Hingga akhir tahun 2009, rata-rata tingkat pengembalian dana oleh KUBE Penerima BLPS Fase II mencapai setengah dari pinjaman. Kinerja KUBE Tani Mukti II yang baru berdiri teryata yang paling baik dibandingkan KUBE-KUBE pendahulunya dengan tingkat pengembalian dana mencapai 75,22 persen. Tingkat pengembalian dana KUBE yang paling buruk terdapat pada KUBE Kananga IV, dimana hanya mencapai 9,76 persen dari pinjaman. Hal ini dipengaruhi oleh sebagian besar usaha anggota KUBE pada tahun 2009 mengalami kegagalan. Sekalipun tingkat pengembalian dana hanya mencapai 49,07 persen, Pengelola Program cukup optimis dapat melanjutkan P2FM-BLPS dengan sisa dana yang dimiliki menuju pada tahapan pemberdayaan sosial-ekonomi yang diharapkan. Tabel 25. Kondisi Perguliran Dana Penguatan Modal KUBE Fase II di Kabupaten Bogor Tahun 2009 No
Nama KUBE
1 2 3 4 5 6 7 8
Kananga I Kananga II Kananga III Kananga IV Tani Mukti II Sugih Mukti II Puspa Melati Total
Sisa Pinjaman 2008 (Rp) 6.496.700 9.996.500 14.830.700 2.499.600 0 16.082.200 19.874.500 41.664.900 111.445.100
Pencairan Anggota (Rp) 25.000.000 27.500.000 28.500.000 44.500.000 21.165.000 20.000.000 25.500.000 38.000.000 230.165.000
Pengembalian Jumlah Persentase (Rp) (%) 16.265.000 51,64 20.296.300 54,13 22.715.100 52,42 4.586.700 9,76 15.920.600 75,22 17.351.500 48,09 22.043.400 48,58 42.012.600 52,74 161.191.200 49,07
Sumber: Koperasi Usaha Bersama Kabupaten Bogor (2009), data diolah
Sisa Jumlah Persentase (Rp) (%) 15.231.700 48,36 17.200.200 45,87 20.615.600 47,58 42.412.900 90,24 5.244.400 24,78 18.730.700 51,91 23.331.100 51,42 37.652.300 47,26 180.418.900 50,93
108
3.24.
Evaluasi Pelaksanaan P2FM-BLPS Fase II Untuk melihat bagaimana kondisi pelaksanaan P2FM-BLPS dari sisi
masyarakat, dilakukan wawancara terhadap Anggota KUBE Penerima BLPS sehingga didapat keragaan bentuk pemberdayaan yang terjadi di masyarakat miskin berikut hambatan dan permasalahan yang timbul. Sehubungan dengan KUBE Penerima BLPS tahap awal yang mengalami kegagalan, maka penentuan responden diarahkan pada Anggota KUBE Penerima BLPS Fase II. 7.6.2. Karakteristik Responden Jumlah responden yang terpilih adalah sebanyak 10 orang dari populasi 95 orang dalam 8 KUBE Penerima BLPS Fase II (Lampiran 8). Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan, kondisi responden secara umum tergolong miskin. Usia rata-rata responden adalah 38 tahun dimana sebagian besar responden adalah lakilaki. Secara umum pendidikan responden cukup baik dimana sebagian besar telah menamatkan jenjang pendidikan SMA (Tabel 26). Tabel 26. Karakteristik Rata-Rata Responden KUBE Penerima Dana BLPS Fase II di Kabupaten Bogor Tahun 2009. No. 1. Usia Rata-Rata 2. Jenis Kelamin • Laki-Laki • Perempuan 3.
4.
5. 6.
Uraian
Pendidikan • Tidak Sekolah • Tamatan SD • Tamatan SMP • Tamatan SMA Pekerjaan Sebelumnya • Bekerja • Tidak Bekerja Rata-Rata Pengeluaran Keluarga Sebelumnya Rata-Rata Pendapatan dari Hasil UEP
Rata-Rata 38 tahun 60% 40% 10% 30% 0% 60% 30% 70% Rp 755.000 Rp 1.678.000
Sumber: Data Primer, diolah
Sebelum menerima BLPS, sebanyak 70 persen responden sebelumnya tidak bekerja atau hanya sebagai ibu rumah tangga, sisanya adalah bekerja sebagai buruh tani. Berdasarkan hasil wawancara, umumnya responden belum pernah mendapatkan
109
bantuan apapun dari pemerintah selain BLPS. Responden pun belum pernah mengajukan pinjaman modal kepada pihak perbankan untuk mengembangkan usaha. Penambahan modal umumnya didapat melalui pengajuan kepada Koperasi. 7.6.3. Kondisi KUBE dan Pelaksanaan UEP Responden Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden yang mewakili KUBEnya, secara umum KUBE yang mewadahi mereka masih aktif dari segi kelembagaan. Secara periodik, anggota KUBE melakukan pertemuan sekali atau dua kali setiap bulan
untuk
membahas
permasalahan-permasalahan
yang
dihadapi
dalam
pengelolaan UEP-nya. Pihak Pendamping Sosial juga selalu dihadirkan dalam setiap pertemuan-pertemuan anggota di 8 KUBE tersebut. Menurut para Pendamping Sosial, adanya pertemuan rutin ini cukup memperkuat formasi kelembagaan KUBE sehingga memudahkan koordinasi Pendamping Sosial dengan KUBE. Dari 10 orang responden, 8 orang menjalankan UEP-nya sejak pertengahan tahun 2008 dan 2 orang sisanya menjalankan UEP sejak awal tahun 2009 dan mengalami perkembangan yang cukup baik. Hingga akhir tahun 2008, kedelapan responden dapat mengembalikan pinjaman modal dengan cara menyisihkan dari keuntungan yang didapat. Besaran pengembalian pinjaman yang dilakukan responden berkisar antara 3-10 persen per bulan dari total pinjaman tahun tersebut. Dengan demikian rata-rata pengembalian pinjaman pada akhir tahun mencapai 39,94 persen (Tabel 27). Tabel 27. Kondisi Permodalan UEP Responden Penerima Dana BLPS Fase II di Kabupaten Bogor Tahun 2008 -2009 Pencairan ResponModal Thn den 2008 (Rp) 1 1.000.000 2 1.000.000 3 3.000.000 4 2.000.000 5 6 7 3.000.000 8 3.000.000 9 3.000.000 10 5.000.000 Rata-Rata 2.625.000
Pengembalian Pinjaman Rp % 583.800 58,38 583.800 58,38 1.666.800 55,56 1.166.800 58,34 1.166.700 38,89 750.000 25,00 500.000 16,67 416.700 8,33 854.325 39,94
Sisa Pinjaman Rp 416.200 416.200 1.333.200 833.200 1.833.300 2.250.000 2.500.000 4.583.300 1.770.675
Sumber: Koperasi Usaha Bersama dan Data Primer, diolah
% 41,62 41,62 44,44 41,66 61,11 75,00 83,33 91,67 60,06
Pencairan Modal Thn 2009 (Rp) 1.000.000 1.500.000 3.000.000 2.000.000 749.800 1.499.900 3.000.000 3.000.000 0 5.000.000 2.074.970
Jumlah Pinjaman 1.416.200 1.916.200 4.333.200 2.833.200 749.800 1.499.900 4.833.300 5.250.000 2.500.000 9.583.300 3.491.510
Pengembalian Pinjaman Rp % 999.300 70,56 1.291.200 67,38 2.083.200 48,08 999.900 35,29 499.900 66,67 999.800 66,66 2.083.300 43,10 2.250.000 42,86 1.000.000 40,00 4.999.600 52,17 1.720.620 53,28
Sisa Pinjaman Rp 416.900 625.000 2.250.000 1.833.300 249.900 500.100 2.750.000 3.000.000 1.500.000 4.583.700 1.770.890
% 29,44 32,62 51,92 64,71 33,33 33,34 56,90 57,14 60,00 47,83 46,72
110
Sekalipun masih menyisakan pinjaman modal di tahun 2008, tahun berikutnya tujuh dari kedelapan responden mengajukan penambahan modal untuk mengembangkan usahanya. Dengan demikian terdapat 9 responden yang memperoleh pinjaman modal pada tahun 2009, dua diantaranya berasal dari KUBE bentukan tahun 2009. Hingga akhir tahun 2009, rata-rata jumlah pinjaman yang dikembalikan responden adalah sebanyak 53,28 persen dari total pinjaman pada tahun 2009. 7.6.4. Hasil Proses Pemberdayaan Dengan adanya bantuan modal bagi usaha yang dijalankan fakir miskin, umumnya para responden menyambut baik P2FM-BLPS. Berdasarkan wawancara, keuntungan yang dirasakan responden dari program ini adalah adanya peningkatan status ekonomi melalui peningkatan pendapatan keluarga yang mereka dapat dari usaha ekonomi yang mereka jalankan. Pendapatan dari hasil UEP sebagai sumber penghasilan yang baru dinilai telah cukup membantu memenuhi kebutuhan keluarga responden. Pendapatan hasil UEP ini sudah termasuk keuntungan dan biaya jasa tenaga kerja bagi mereka sendiri sehingga para responden selain dapat untuk memenuhi kebutuhan keluarga juga dapat menyisihkan sisa keuntungan untuk menabung atau mencicil pinjaman. Keuntungan sosial yang responden rasakan adalah adanya wadah untuk berinteraksi dan menyalurkan aspirasi mereka melalui kelembagaan KUBE. Selain itu status sosial mereka juga meningkat dari hanya seseorang yang tidak mempunyai pekerjaan atau bekerja serabutan menjadi seseorang yang memiliki pekerjaan tetap dan cukup menghasilkan. Dengan adanya peningkatan status sosial dan ekonomi ini, mereka memiliki kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan dapat berupaya keluar dari kemiskinannya.
111
BAB VIII STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN
Sekalipun pelaksanaan P2FM-BLPS di Kabupaten Bogor mengalami berbagai kendala, namun program tersebut sangat mendukung kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE dan berpotensi mengentaskan kemiskinan jika dikelola dan dikembangkan sesuai dengan kondisi masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan perumusan strategi pengembangan kebijakan dan penentuan prioritas langkah strategis yang patut dikembangkan untuk mendukung kebijakan. Maka dalam menentukan upaya pengembangan terhadap kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE dilakukan analisis pembobotan dengan menggunakan AHP (Analytical Hierarchy Process) agar diketahui kebijakan dan langkah strategis mana yang lebih diprioritaskan untuk dikembangkan.
3.25.
Identifikasi Faktor Strategis Untuk merumuskan atau mengembangkan suatu kebijakan, Pemerintah
Kabupaten Bogor harus mempertimbangkan banyak faktor agar kebijakan yang diputuskan implementatif dan relevan dengan kondisi masyarakat. Melalui formulasi dari hasil analisis terhadap kondisi kemiskinan dan implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor serta pelaksanaan BLPS-KUBE, dapat diidentifikasikan faktor-faktor strategis yang bisa mempengaruhi keputusan Pemerintah Kabupaten Bogor dalam mengembangkan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE. Faktor-faktor strategis tersebut dapat dikategorikan sebagai kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman, yaitu: 1. Kekuatan (Strenghts) a. Adanya komitmen pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan b. Adanya lembaga penanggulangan kemiskinan TKPK c. Adanya kebijakan yang mendukung pemberdayaan ekonomi masyarakat d. Cukup banyak program/kegiatan penanggulangan kemiskinan yang sudah dilaksanakan dan saling terpadu
112
2. Kelemahan (Weaknesses) a. Terbatasnya anggaran untuk penanggulangan kemiskinan b. Rendahnya pengetahuan/pendidikan Fakir Miskin dalam mengelola KUBE c. Keterbatasan aparatur dalam pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan di masyarakat d. Masih adanya kesalahan persepsi di masyarakat dalam mengartikan setiap bantuan pemerintah 3. Peluang (Opportunities) a. Adanya dukungan bantuan dana dan kegiatan penanggulangan kemiskinan dari Pemerintah Pusat b. Adanya dukungan pendampingan sosial pada P2FM-BLPS c. Adanya potensi kelembagaan masyarakat yang bisa dilibatkan d. Posisi Kabupaten Bogor cukup strategis bagi kegiatan perekonomian 4. Ancaman (Threats) a. Timbulnya konflik sosial akibat perbedaan kepentingan b. Timbul kredit macet akibat kegagalan usaha dan penyebab lainnya c. Rendahnya tingkat kepercayaan perbankan terhadap UMK d. Masih adanya keterbatasan sarana dan prasarana yang menunjang mobilitas masyarakat dan kegiatan perekonomian.
3.26.
Perumusan Alternatif Strategi dan Program Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan Pemerintah
Kabupaten Bogor dalam merumuskan strategi pengembangan kebijakan fakir miskin melalui KUBE tersebut, berikutnya dilakukan perumusan alternatif strategi dan program dengan menggunakan AHP (Analytical Hierarchy Process). Struktur hirarki yang digunakan untuk menggambarkan elemen-elemen yang diprioritaskan untuk dikembangkan terdiri dari 4 hirarki (level). Hirarki pertama adalah tujuan yaitu mengembangkan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor. Hirarki kedua adalah kebijakan strategis yang potensial dapat dilakukan (feasible) dengan mempertimbangkan kondisi faktor-faktor yang disebutkan pada Sub Bab 8.1. Adapun kebijakan strategis tersebut dapat dirumuskan menjadi: 1) Perbaikan Tata Kelola Program, 2) Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis
113
Komunitas, dan 3) Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin. Hirarki ketiga adalah aspek-aspek yang dipertimbangkan dalam alternatif strategi tersebut, dan hirarki keempat adalah prioritas langkah strategis/program yang bisa dikembangkan. Kebijakan trategis Perbaikan Tata Kelola Program perlu dikembangkan karena dalam pelaksanaan BLPS-KUBE masih banyak kekurangan dalam hal aspek pendanaan, manajemen, dan pendampingan sosial. Kebijakan strategis Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas dimaksudkan untuk melibatkan masyarakat/komunitas dalam mendukung program, hal ini tentunya dipengaruhi adanya modal sosial dan kelembagaan yang ada di masyarakat. Sedangkan kebijakan strategis Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin diperlukan karena kondisi KUBE Fakir Miskin penerima program masih menghadapi kendala dalam hal aspek penguatan usaha, kualitas SDM, kelembagaan KUBE, dan akses pasar. Struktur hirarki yang digunakan untuk menggambarkan elemen-elemen yang diprioritaskan dalam pengembangan kebijakan fakir miskin melalui KUBE dapat dilihat pada Tabel 28. Dalam pemilihan prioritasnya, setiap elemen pada kebijakan strategis memiliki prioritasnya masing-masing. Sehingga prioritas yang akan dihasilkan pun dapat mempengaruhi prioritas sub kriteria di bawahnya dan pada akhirnya mempengaruhi prioritas langkah strategis yang penting untuk dikembangkan. Tabel 28. Struktur Hirarki Pengembangan Kebijakan Fakir Miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor Level 2
Level 3
Level 4
Kebijakan Strategis
Aspek Pertimbangan
Langkah Strategis A1.B1.C1. Sosialisasi dan Koordinasi A1.B1.C2. Seleksi Penerima Program A1.B1.C3. Monitoring dan Evaluasi A1.B2.C1. Kualitas Pendamping A1.B2.C2. Intensitas Pendampingan A1.B3.C1. Sharing Pendanaan A1.B3.C2. Tata Ulang Aturan Perguliran Dana A2.B1.C1. Kepercayaan Masyarakat A2.B1.C2. Tingkat Partisipasi A2.B2.C1. Kelembagaan Non Formal A2.B2.C2. Kelembagaan Formal A3.B1.C1. Kemudahan Akses Modal A3.B1.C2. Kerjasama Kemitraan A3.B2.C1. Pendidikan Formal A3.B2.C2. Pendidikan Non Formal A3.B3.C1. Peran Serta Anggota A3.B3.C2. Koperasi A3.B4.C1. Sarana Prasarana A3.B4.C2. Sistem Ekonomi Lokal
Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE
Level 1 Tujuan
A1.B1. Manajemen A1. Perbaikan Tata Kelola Program
A1.B2. Pendampingan Sosial A1.B3. Pendanaan
A2. Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas
A2.B1. Modal Sosial A2.B2. Kelembagaan Masyarakat A3.B1. Penguatan Usaha
A3. Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin
A3.B2. Kualitas SDM Anggota KUBE A3.B3. Kelembagaan KUBE A3.B4. Akses Pasar
114
3.27.
Analisis Prioritas Pengembangan Kebijakan Berdasarkan persepsi enam orang responden yang terlibat langsung dalam
pelaksanaan P2FM-BLPS dan berpengaruh dalam perencanaan pengembangan kebijakan, maka diperoleh matriks persepsi dari masing-masing responden sebagaimana Lampiran 9. Metode yang digunakan dalam pengisian keputusan AHP dilakukan secara terpisah melalui wawancara dan kuisioner yang kemudian dilakukan perhitungan pendapat gabungan dengan mencari rata-rata penilaian dari semua responden dengan menggunakan metode rata-rata ukur/rata-rata geometris. Pembobotan responden tidak dilakukan dengan asumsi bahwa posisi seluruh responden sama dalam hal memberikan masukan keputusan pada pengembangan kebijakan. Hasil perhitungan pendapat gabungan juga dapat dilihat pada Lampiran 9 dan hasil pengolahan AHP menggunakan Expert Choise 2000 dapat dilihat pada Lampiran 10. Berdasarkan hasil olah data menggunakan Expert Choise 2000, terlihat bahwa untuk mencapai tujuan mengembangkan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor, elemen kebijakan strategis Perbaikan Tata Kelola Program memiliki nilai bobot 0,391, Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Masyarakat memiliki nilai bobot 0,274, dan Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin memiliki nilai bobot 0,335. Dengan demikian urutan prioritas kebijakan strategis yang dapat ditempuh dalam pengembangan kebijakan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor adalah mengupayakan Perbaikan Tata Kelola Program, berikutnya Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin, dan terakhir Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Masyarakat (Tabel 29). Tabel 29. Urutan Prioritas Kebijakan Strategis dalam Pengembangan Kebijakan Fakir Miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor Urutan
Elemen
Level
1 2 3
A1. Perbaikan Tata Kelola Program A3. Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin A2. Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas
2 2 2
Bobot Prioritas 0,391 0,335 0,274
Sumber: Data Primer (diolah)
Bobot persepsi gabungan responden dalam pohon hirarki pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE dapat dilihat pada Gambar 19.
115
8.3.1. Perbaikan Tata Kelola Program Pada kebijakan strategis Perbaikan Tata Kelola Program, sub kriteria yang memiliki nilai bobot tertinggi adalah aspek Pendampingan Sosial dengan nilai bobot 0,495, kemudian berikutnya Manajemen dengan nilai bobot 0,352, dan Pendanaan dengan nilai bobot 0,153 (Gambar 20). Pendampingan Sosial dinilai sebagai aspek kunci dalam keberhasilan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE karena pendampingan bertujuan meningkatkan motivasi, kemampuan, dan peran para anggota KUBE dalam mencapai kualitas hidup, kemandirian, dan kesejahteraan anggotanya. Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebija >Perbaikan Tata Kelola Progr...
Pendampingan Sosial Manajemen Pendanaan Inconsistency = 0,03 with 0 missing judgments.
,495 ,352 ,153
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 20. Grafik Prioritas Aspek yang Dipertimbangkan pada Kebijakan Strategis Perbaikan Tata Kelola Program
Pada aspek Pendampingan Sosial ini, rata-rata responden lebih memilih memprioritaskan langkah strategis peningkatan Intensitas Pendampingan (bobot 0,631) dibandingkan Kualitas Pendamping (bobot 0,369). Urutan prioritas langkah strategis pada aspek Pendampingan Sosial ditunjukkan pada Gambar 21. Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebija >Perbaikan Tata Kelola Program >Pendampingan Sosial
Intensitas Pendampingan Kualitas Pendamping Inconsistency = 0,00 with 0 missing judgments.
,631 ,369
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 21. Grafik Prioritas Langkah Pendampingan Sosial
Strategis
pada
Aspek
Melakukan pendampingan yang intensif dinilai lebih memudahkan dalam memantau
proses/tahapan
pemberdayaan
fakir
miskin,
dengan
demikian
116
permasalahan-permasalahan dalam pelaksanaan program dapat diidentifikasi lebih dini dan dicarikan solusi secepatnya. Sedangkan peningkatan Kualitas Pendamping diprioritaskan berikutnya karena dianggap dapat dilakukan selama proses pendampingan berjalan. Lagipula seorang Pendamping Sosial biasanya terbentuk setelah melalui pelatihan pekerjaan sosial terlebih dahulu sehingga peningkatan kualitasnya dapat dilakukan melalui pemberian pelatihan tingkat lanjutan atau saling berbagi pengalaman antar para Pendamping Sosial selama mereka bertugas. Pada aspek Manajemen, langkah strategis yang lebih diprioritaskan adalah Seleksi Penerima Program (bobot 0,569) daripada Sosialisasi dan Koordinasi (bobot 0,309) dan Monitoring dan Evaluasi dengan bobot 0,122 (Gambar 22). Adanya kegagalan dalam pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE pada BLPS Fase I dinilai berawal dari tidak adanya KUBE Produktif di kedua kecamatan tersebut sebagaimana syarat KUBE Penerima BLPS. Dengan masuknya KUBE bentukan baru sebagai penerima BLPS merupakan kesalahan utama dalam penentuan sasaran sehingga menimbulkan macetnya perguliran dana akibat ketidaksiapan KUBE dalam usahanya. Beberapa KUBE bahkan melarikan dana untuk peruntukan lain karena tidak jelasnya jenis usaha. Untuk itu perlu direstrukturisasi proses seleksi terhadap KUBE penerima bantuan dana dari pemerintah sesuai aturan yang berlaku. Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebija >Perbaikan Tata Kelola Program >Manajemen
Seleksi Penerima Program Sosialisasi dan Koordinasi Monitoring dan Evaluasi Inconsistency = 0,01 with 0 missing judgments.
,569 ,309 ,122
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 22. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Manajemen
Untuk membenahi aspek Manajemen, perlu didukung pula dengan langkah Sosialisasi dan Koordinasi yang baik serta Monitoring dan Evaluasi yang berkelanjutan. Sosialisasi dibutuhkan agar informasi mengenai tujuan program, sifat dana bergulir yang diberikan, dan kriteria penerima dana dapat sampai kepada masyarakat miskin secara sempurna dan dipahami. Koordinasi sangat diperlukan untuk mendapatkan dukungan dari stakeholder lain atau program lain yang dapat
117
memperkuat pelaksanaan P2FM, serta agar tidak terjadi tumpang tindih pelaksanaan program. Koordinasi kepada stakeholder yang terlibat juga diperlukan agar memperoleh pemahaman yang sama akan program sehingga tujuan program tercapai. Monitoring dan Evaluasi sekalipun paling rendah diprioritaskan, harus tetap diadakan untuk mengawasi program agar berjalan sebagaimana mestinya. Pada Aspek Pendanaan, langkah strategis yang lebih diprioritaskan adalah Sharing Pendanaan (bobot 0,529) daripada Tata Ulang Aturan Perguliran Dana dengan bobot 0,471 (Gambar 23). Sharing Pendanaan dipandang lebih diperlukan untuk membiayai komponen-komponen yang tidak tercakup dalam anggaran pemerintah pusat, seperti: dana sosialisasi, kelanjutan pendampingan, serta monitoring dan evaluasi. Hal ini dibutuhkan demi keberlanjutan pelaksanaan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor. Sementara aturan dalam pengembalian dana harus ditinjau kembali mengingat adanya kemacetan dan kelambatannya tingkat pengembalian dana bergulir di tingkat anggota KUBE padahal masih banyak usulan UEP KUBE lain yang belum terpenuhi. Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebija >Perbaikan Tata Kelola Program >Pendanaan
Sharing Pendanaan Tata Ulang Perguliran Dana Inconsistency = 0,00 with 0 missing judgments.
,529 ,471
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 23. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Pendanaan
Berdasarkan analisis prioritas secara global menggunakan Expert Choise 2000, didapat bahwa distribusi prioritas langkah strategis yang memiliki prioritas tertinggi pada kebijakan strategis Perbaikan Tata Kelola Program adalah langkah-langkah strategis dalam aspek Pendampingan Sosial, baru kemudian aspek Manajemen dan Pendanaan (Tabel 30). Hal ini terlihat dari posisi pentingnya langkah Intensitas Pendampingan yang prioritasnya paling tinggi diantara langkah-langkah strategis lainnya. Dengan demikian diperlukan rancangan program pengembangan kebijakan yang lebih berpihak pada Pendampingan Sosial terutama dalam hal meningkatkan Intensitas Pendampingan.
118
Tabel 30. Urutan Elemen yang Diprioritaskan Secara Global dalam Kebijakan Strategis Perbaikan Tata Kelola Program Urutan
Elemen
Level
1 1 2 3 1 2 3 4 5 6 7
A1. Perbaikan Tata Kelola Program A1.B2. Pendampingan Sosial A1.B1. Manajemen A1.B3. Pendanaan A1.B2.C2. Intensitas Pendampingan A1.B1.C2. Seleksi Penerima Program A1.B2.C1. Kualitas Pendamping A1.B1.C1. Sosialisasi dan Koordinasi A1.B3.C1. Sharing Pendanaan A1.B3.C2. Tata Ulang Aturan Perguliran Dana A1.B1.C3. Monitoring dan Evaluasi
2 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4
Bobot Prioritas 0,391 0,193 0,138 0,060 0,122 0,078 0,071 0,042 0,032 0,028 0,017
Sumber: Data Primer (diolah)
8.3.2. Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin Pada kebijakan strategis Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin, aspek yang memiliki bobot tertinggi adalah peningkatan Kualitas SDM Anggota KUBE (bobot 0,340), disusul Penguatan Usaha (bobot 0,265), lalu Akses Pasar (bobot 0,260), dan Kelembagaan KUBE dengan bobot 0,135 (Gambar 24). Responden memandang bahwa meningkatkan Kualitas SDM Anggota KUBE lebih penting dalam meningkatkan keberhasilan usaha KUBE. Jika anggota KUBE memiliki kemampuan dalam hal manajemen dan pengetahuan yang baik dalam berusaha, niscaya usaha KUBE akan lebih siap dalam menghadapi pasar dan persaingan usaha. Namun hal itu perlu juga didukung pula dengan adanya penguatan usaha dan kemudahan dalam mengakses pasar karena KUBE Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebija >Peningkatan Kinerja KUBE F...
Kualitas SDM Anggota KUBE Penguatan Usaha Akses Pasar Kelembagaan KUBE Inconsistency = 0,01 with 0 missing judgments.
,340 ,265 ,260 ,135
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 24. Grafik Prioritas Aspek yang Dipertimbangkan pada Kebijakan Strategis Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin
119
Dalam meningkatkan Kualitas SDM Anggota KUBE, hal yang lebih diprioritaskan adalah peningkatan Pendidikan Non Formal (bobot 0,584) daripada Pendidikan Non Formal dengan bobot 0,416 (Gambar 25). Responden memandang kemampuan fakir miskin dalam menyerap materi pengetahuan cenderung lebih mudah melalui pelatihan keterampilan/praktek langsung yang diselenggarakan Pemerintah maupun Penyuluh Swadaya daripada melalui pendidikan formal/sekolah. Lagipula keterbatasan ekonomi masyarakat miskin menjadikan mereka tidak memprioritaskan memperoleh pendidikan lebih tinggi melalui bangku sekolah. Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebija >Peningkatan Kinerja KUBE Faki >Kualitas SDM Anggota KUBE
Pendidikan Non Formal Pendidikan Formal Inconsistency = 0,00 with 0 missing judgments.
,584 ,416
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 25. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Peningkatan Kualitas SDM Anggota KUBE
Pada Aspek Penguatan Usaha, langkah strategis yang lebih diprioritaskan adalah mengupayakan Kerjasama Kemitraan (bobot 0,439) daripada menyediakan Kemudahan Akses Modal dengan bobot 0,561 (Gambar 26). Mengingat masih lemahnya kondisi KUBE dalam mengembalikan dana bantuan, langkah termudah untuk memperkuat usaha yang bisa dipilih KUBE adalah dengan menjalin kemitraan dengan dunia usaha yang lebih berhasil. Pemerintah perlu mengupayakan hal ini karena melalui kerjasama dengan dunia usaha yang sudah berpengalaman dan berhasil akan diperoleh dukungan kemudahan modal dan kepastian pasar.
Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebija >Peningkatan Kinerja KUBE Faki >Penguatan Usaha
Kerjasama Kemitraan Kemudahan Akses Modal Inconsistency = 0,00 with 0 missing judgments.
,561 ,439
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 26. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Penguatan Usaha
120
Pada aspek Akses Pasar, langkah strategis yang lebih diprioritaskan adalah menyediakan Sarana Prasarana (bobot 0,581) daripada pengembangan Sistem Ekonomi Lokal dengan bobot 0,413 (Gambar 27). Dalam memasarkan hasil usaha diperlukan sarana dan prasarana yang baik untuk mobilitas kegiatan ekonomi yang mendukung usaha KUBE. Ketersediaan jalan, jembatan, listrik, sarana transportasi, dan pasar yang terjangkau akan menguntungkan KUBE dari sisi efisiensi biaya. Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebija >Peningkatan Kinerja KUBE Faki >Akses Pasar
Sarana Prasarana Sistem Ekonomi Lokal Inconsistency = 0,00 with 0 missing judgments.
,587 ,413
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 27. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Akses Pasar
Alternatif lain yang bisa dikembangkan adalah mengembangkan sistem ekonomi lokal, dimana masyarakat lokal secara bersama-sama proaktif berusaha untuk memperbaiki dan mengembangkan lingkungan usahanya sehingga mereka mampu berkompetisi dengan daerah lain. Namun langkah ini dipandang memerlukan kajian yang mendalam mengenai potensi wilayah dan sarana pendukung lainnya sehingga akan lama terealisasi. Pada aspek meningkatkan Kelembagaan KUBE, langkah strategis yang lebih diprioritaskan adalah meningkatkan Peranserta Anggota (bobot 0,786) daripada Koperasi dengan bobot 0,214 (Gambar 28). Peranserta Anggota dalam KUBE merupakan cerminan adanya partisipasi dalam kelompok yang merupakan indikator adanya proses pemberdayaan sosial. Dengan meningkatnya peranserta anggota akan memudahkan KUBE berkembang karena segala usulan dan inisiatif dapat diakomodir, berikut permasalahan pun dapat segera diselesaikan secara mandiri. Pada kasus BLPS-KUBE, Koperasi merupakan lembaga yang dibentuk oleh campur tangan pemerintah sehingga lebih terkesan sebagai lembaga pengelola dana selama program berlangsung daripada lembaga yang memfasilitasi kebutuhan anggotanya. Menurut responden, Koperasi seharusnya dibentuk oleh anggotanya yang memiliki visi sama untuk mencapai tujuan bersama, untuk itu pembentukan Koperasi dalam
121
pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE dipandang hanya diperlukan jika ada keinginan dan kebutuhan dari masyarakat. Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebija >Peningkatan Kinerja KUBE Faki >Kelembagaan KUBE
Peran Serta Anggota Koperasi Inconsistency = 0,00 with 0 missing judgments.
,786 ,214
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 28. Grafik Prioritas Langkah Kelembagaan KUBE
Strategis
pada
Aspek
Berdasarkan analisis prioritas secara global menggunakan Expert Choise 2000, didapat bahwa distribusi prioritas langkah strategis pada kebijakan strategis Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin tersebar hampir merata (Tabel 31), namun langkah strategis dalam aspek Peningkatan Kualitas SDM Anggota KUBE lebih penting untuk dipertimbangkan. Hal ini terlihat dari posisi pentingnya langkah peningkatan Pendidikan Non Formal yang prioritasnya lebih tinggi diantara langkahlangkah strategis lainnya, baru kemudian dipertimbangkan langkah penyediaan Sarana Prasarana dan membangun Kerjasama Kemitraan. Tabel 31. Urutan Elemen yang Diprioritaskan Secara Global dalam Kebijakan Strategis Peningkatan Kinerja KUBE Urutan
Elemen
Level
2 1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 7 8
A3. Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin A3.B3. Kualitas SDM Anggota KUBE A1.B1. Penguatan Usaha A1.B4. Akses Pasar A1.B2. Kelembagaan KUBE A3.B3.C1. Pendidikan Non Formal A3.B4.C1. Sarana Prasarana A3.B1.C2. Kerjasama Kemitraan A3.B3.C2. Pendidikan Formal A3.B1.C1. Kemudahan Akses Modal A3.B2.C1. Peran Serta Anggota A3.B4.C2. Sistem Ekonomi Lokal A3.B2.C2. Koperasi
2 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4
Sumber: Data Primer (diolah)
Bobot Prioritas 0,335 0,114 0,089 0,087 0,045 0,066 0,051 0,050 0,047 0,039 0,036 0,036 0,010
122
8.3.3. Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas Pada kebijakan strategis Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas, aspek yang memiliki bobot tertinggi adalah Modal Sosial (bobot 0,611) dan berikutnya adalah Kelembagaan Masyarakat dengan bobot 0,389 (Gambar 29). Kedua kriteria ini merupakan faktor-faktor yang akan mempengaruhi pelaksanaan pemberdayaan fakir miskin jika melibatkan peran serta masyarakat. Adanya keterlibatan masyarakat dalam memberdayakan fakir miskin dapat menciptakan ketahanan sosial masyarakat, yaitu kemampuan komunitas dalam mengembangkan keberfungsian sosial secara dinamis dari modal sosial yang dimiliki dalam memberikan perlindungan bagi kelompok rentan, kelompok kurang mampu, mengembangkan partisipasi politik anggota, mengelola konflik dan melestarikan SDA (Sattar, 2007). Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebija >Pelaksanaan Pemberdayaan ...
Modal Sosial Kelembagaan Masyarakat Inconsistency = 0,00 with 0 missing judgments.
,611 ,389
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 29. Prioritas Aspek yang Dipertimbangkan pada Kebijakan Strategis Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas
Aspek Modal Sosial di masyarakat sangat dibutuhkan dalam mendukung keberhasilan pemberdayaan fakir miskin berbasis komunitas, untuk itu langkah strategis yang lebih diprioritaskan oleh responden adalah meningkatkan Kepercayaan Masyarakat (bobot 0,405) daripada meningkatkan Partisipasi Masyarakat dengan bobot 0,595 (Gambar 30). Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat dimana KUBE berada, maka terlebih dahulu harus ada keyakinan dari lingkungan masyarakat akan adanya kebijakan KUBE yang memberdayakan fakir miskin di sekitarnya untuk entas dari kemiskinan. Responden memandang bahwa hal ini perlu dibenahi mengingat masih rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat akan program-program pemerintah sehingga kurang adanya dukungan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
123
Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebija >Pelaksanaan Pemberdayaan Fa >Modal Sosial
Kepercayaan Masyarakat Tingkat Partisipasi Inconsistency = 0,00 with 0 missing judgments.
,595 ,405
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 30. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Modal Sosial
Keberadaan kelembagaan di masyarakat juga bisa menjadi potensi sumber kesejahteraan sosial yang dapat dilibatkan dalam pemberdayaan fakir miskin berbasis komunitas. Umumnya karakteristik utama rumah tangga miskin adalah lemahnya aksesibilitas terhadap kelembagaan-kelembagaan yang ada di sekelilingnya, terutama terhadap kelembagaan ekonomi dan penyedia informasi. Lemahnya akses terhadap jaringan ekonomi umumnya disebabkan karena mereka tidak memiliki persyaratan sosial yang cukup, misalnya lemahnya pendidikan, pengetahuan, dan kemampuan berkomunikasi. Untuk itu pengembangan terhadap kelembagaan sosial di masyarakat diperlukan sebagai potensi masyarakat yang akan dijadikan mitra dalam pemberdayaan terhadap fakir miskin. Pada Aspek Kelembagaan Masyarakat, langkah strategis meningkatkan keberdayaan Kelembagaan Non Formal adalah yang paling diprioritaskan (bobot 0,769) daripada Kelembagaan Formal dengan bobot 0,231 (Gambar 31). Kelembagaan Non Formal seperti kelompok pengajian dan ikatan keluarga dinilai lebih penting karena akses fakir miskin terhadap kelembagaan ini lebih mudah dibandingkan Kelembagaan Formal yang mempertimbangkan berbagai persyaratan sosial. Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebija >Pelaksanaan Pemberdayaan Fa >Kelembagaan Masyarakat
Kelembagaan Non Formal Kelembagaan Formal Inconsistency = 0,00 with 0 missing judgments.
,769 ,231
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 31. Grafik Prioritas Langkah Kelembagaan Masyarakat
Strategis
pada
Aspek
124
Berdasarkan analisis prioritas secara global menggunakan Expert Choise 2000, didapat bahwa distribusi prioritas langkah strategis yang memiliki prioritas tertinggi pada kebijakan strategis Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas adalah meningkatkan Kepercayaan Masyarakat dan meningkatkan keterlibatan Kelembagaan Non Formal di sekitar Fakir Miskin (Tabel 32). Dengan demikian pada strategi Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas diperlukan rancangan program pengembangan kebijakan yang lebih berpihak pada kedua langkah strategis tersebut. Tabel 32. Urutan Elemen yang Diprioritaskan Secara Global dalam Kebijakan Strategis Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas Urutan 3 1 2 1 2 3 4
Elemen
2
Bobot Prioritas 0,274
3 3 4 4 4 4
0,167 0,107 0,100 0,082 0,068 0,025
Level
A2. Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas A2.B1. Modal Sosial A2.B2. Kelembagaan Masyarakat A2.B1.C2. Kepercayaan Masyarakat A2.B2.C1. Kelembagaan Non Formal A2.B1.C1. Tingkat Partisipasi A2.B2.C2. Kelembagaan Formal
Sumber: Data Primer (diolah)
3.28.
Sintesis Prioritas Langkah Strategis Berdasarkan Tujuan Dalam mencapai tujuan pengembangan kebijakan fakir miskin melalui
KUBE terhimpun 19 langkah strategis yang bisa dikembangkan. Hasil analisis sensitivitas
terhadap
kesembilan-belas
langkah
tersebut
diperoleh
bahwa
meningkatkan intensitas pendampingan adalah langkah strategis yang paling tinggi diprioritaskan (bobot 0,122), diikuti dengan meningkatkan Kepercayaan Masyarakat (bobot 0,100), meningkatkan keberdayaan Kelembagaan Non Formal (bobot 0,082), dan seterusnya hingga Koperasi dengan bobot paling rendah yaitu 0,010 (Tabel 33). Kesembilan-belas langkah strategis ini merupakan interpretasi dari kebijakan Perbaikan Tata Kelola Program, Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miksin, dan Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Masyarakat.
125
Tabel 33. Urutan Prioritas Global Program Pengembangan Kebijakan Fakir Miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor
Urutan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Langkah Strategis/Program A1.B2.C2. Intensitas Pendampingan A2.B1.C1. Kepercayaan Masyarakat A2.B2.C1. Kelembagaan Non Formal A1.B1.C2. Seleksi Penerimaan Program A1.B2.C1. Kualitas Pendamping A2.B1.C2. Tingkat Partisipasi A3.B2.C2. Pendidikan Non Formal A3.B4.C1. Sarana Prasarana A3.B1.C2. Kerjasama Kemitraan A3.B2.C1. Pendidikan Formal A1.B1.C1. Sosialisasi dan Koordinasi A3.B1.C1. Kemudahan Akses Modal A3.B3.C1. Peran Serta Anggota A3.B4.C2. Sistem Ekonomi Lokal A1.B3.C1. Sharing Pendanaan A2.B2.C2. Kelembagaan Formal A1.B3.C2. Tata Ulang Aturan Perguliran Dana A1.B1.C3. Monitoring dan Evaluasi A3.B3.C2. Koperasi Jumlah
Bobot Prioritas 0,122 0,100 0,082 0,078 0,071 0,068 0,066 0,051 0,050 0,047 0,042 0,039 0,036 0,036 0,032 0,028 0,025 0,017 0,010 1,000
Sumber: Data Primer (diolah)
Tampak bahwa sekalipun kebijakan strategis Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas memempati posisi ketiga dalam urutan prioritas kebijakan, namun secara global langkah strategis Kepercayaan Masyarakat dan Kelembagaan Non Formal pada strategi Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Masyarakat menempati urutan kedua dan ketiga, lebih diprioritaskan daripada beberapa langkah strategis dari strategi Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin (Tabel 33). Hal ini karena modus sintesis yang digunakan adalah Sintesis Distribusi (Distributive Synthesis) dimana dapat digunakan jika perancangan program yang akan disusun dipilih berdasarkan beberapa alternatif yang diprioritaskan. Grafik hasil sintesis menggunakan modus Sintesis Distribusi dapat dilihat pada Gambar 32.
126
Synthesis with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE
Overall Inconsistency = ,01 Intensitas Pendampingan Kepercayaan Masyarakat Kelembagaan Non Formal Seleksi Penerima Program Kualitas Pendamping Tingkat Partisipasi Pendidikan Non Formal Sarana Prasarana Kerjasama Kemitraan Pendidikan Formal Sosialisasi dan Koordinasi Kemudahan Akses Modal Peran Serta Anggota Sistem Ekonomi Lokal Sharing Pendanaan Tata Ulang Perguliran Dana Kelembagaan Formal Monitoring dan Evaluasi Koperasi
,122 ,100 ,082 ,078 ,071 ,068 ,066 ,051 ,050 ,047 ,042 ,039 ,036 ,036 ,032 ,028 ,025 ,017 ,010
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 32. Grafik Hasil Sintesis Menggunakan Modus Sintesis Distribusi (Distributive Synthesis)
Sedangkan jika modus sintesis yang digunakan adalah Sintesis Ideal (Ideal Synthesis), maka grafik hasil sensistifitasnya sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 33. Sintesis Ideal digunakan jika perancangan program yang akan disusun dipilih berdasarkan satu saja alternatif yang prioritasnya paling tinggi.
Synthesis with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE
Overall Inconsistency = ,01 Intensitas Pendampingan Pendidikan Non Formal Seleksi Penerima Program Kepercayaan Masyarakat Kerjasama Kemitraan Sarana Prasarana Pendidikan Formal Kualitas Pendamping Kemudahan Akses Modal Tingkat Partisipasi Sistem Ekonomi Lokal Kelembagaan Non Formal Sosialisasi dan Koordinasi Peran Serta Anggota Sharing Pendanaan Tata Ulang Perguliran Dana Monitoring dan Evaluasi Kelembagaan Formal Koperasi
,106 ,091 ,076 ,075 ,071 ,070 ,065 ,062 ,056 ,051 ,049 ,048 ,041 ,036 ,033 ,029 ,016 ,014 ,010
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 33. Grafik Hasil Sintesis Menggunakan Modus Sintesis Ideal (Ideal Synthesis)
127
Berdasarkan Gambar 33, tampak bahwa Intensitas Pendampingan dari strategi Perbaikan Tata Kelola Program masih menempati urutan teratas prioritas langkah strategis untuk mencapai tujuan mengembangkan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor. Pada modus Sensitivitas Ideal ini kebijakan strategis Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin menempatkan langkah strategis meningkatkan Pendidikan Non Formal pada prioritas kedua sedangkan strategi Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Masyarakat menempatkan langkah strategis meningkatkan Kepercayaan Masyarakat pada urutan keempat. Dengan demikian urutan prioritas kebijakan strategis dimana Perbaikan Tata Kelola Program di urutan pertama, Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin di urutan kedua, dan Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Masyarakat di urutan ketiga sama dengan urutan penempatan langkah strategis yang diprioritaskan.
3.29.
Perancangan Program Perancangan program ditujukan agar kebijakan pemberdayaan fakir miskin
melalui KUBE di Kabupaten Bogor dapat relevan dengan kondisi kemiskinan masyarakat, juga didukung potensi kebijakan penanggulangan kemiskinan yang ada, dan potensi yang ada pada P2FM-BLPS. Dengan demikian bukan berarti langkahlangkah strategis yang tidak diproritaskan tidak perlu ditindaklanjuti secara nyata, bagaimanapun langkah-langkah strategis tersebut merupakan satu kesatuan untuk mensukseskan keberhasilan penerapan kebijakan. Hanya saja pada perumusan programnya, karena kurang diprioritaskan, langkah-langkah strategis ini bisa disisipkan sebagai program pendukung dari program inti. Dari hasil AHP dan wawancara dengan sejumlah individu dan pejabat daerah yang terkait maka diperoleh rumusan program dalam pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor sebagai berikut: 1. Peningkatan Intensitas Pendampingan Belajar dari permasalahan dalam P2FM-BLPS, pendampingan merupakan hal terpenting dalam keberhasilan pelaksanaan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE. Sasaran Program Peningkatan Intensitas Pendampingan adalah para Pendamping Sosial yang memfasilitasi aktivitas KUBE Fakir Miskin. Langkah yang paling penting dilakukan terlebih dahulu adalah mengalokasikan anggaran
128
bagi Honor Pendamping Sosial sepanjang pelaksanaan program. Agar penggunaan anggaran efektif dan pendampingan dapat berjalan sesuai harapan, dilakukan penyusunan rencana kerja pendampingan yang terstruktur, penataan kembali mengenai deskripsi kerja dan tanggung jawab pendampingan, penghimpunan case record dan laporan pendampingan secara berkala, serta dilakukan monitoring dan evaluasi oleh pemerintah. Jika diperlukan, untuk meningkatkan kualitas pendampingan dan koordinasi, Pendamping Sosial dapat diberikan pelatihan pekerjaan sosial tingkat lanjut dengan melibatkan Forum Komunikasi Pekerja Sosial Masyarakat (FK-PSM). 2. Peningkatan Pelatihan Keterampilan Program ini merupakan wujud dari penguatan pendidikan non formal fakir miskin, sehingga sasaran utamanya adalah fakir miskin yang belum tergabung KUBE maupun fakir miskin yang sudah tergabung dalam KUBE (Anggota KUBE). Tujuan program ini agar didapat KUBE yang anggotanya memenuhi syarat kualifikasi dan terampil dalam menjalankan UEP. Langkah yang diambil adalah melaksanakan pelatihan keterampilan UEP, pelatihan manajemen pengelolaan KUBE bagi fakir miskin, pelatihan penerapan Teknologi Tepat Guna dalam mendukung usaha KUBE, dan pemberian stimulan usaha (bahan/alat usaha) bagi KUBE bentukan baru. Sebenarnya kegiatan pelatihan keterampilan dengan output pembentukan KUBE sudah rutin dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Bogor melalui Instansi Sosial yang ada, namun perlu ada peningkatan dalam hal kualitas dan kuantitas outputnya. Dalam hal peningkatan kualitas, anggota KUBE hendaknya terus dibina dengan berbagai pelatihan usaha dan manajemen. Sedangkan untuk meningkatkan kuantitas, jumlah sasaran dan kegiatan pelatihan keterampilan untuk terbentuknya KUBE baru harus ditingkatkan agar semakin banyak KUBE Produktif yang lebih siap diberdayakan melalui penguatan modal 3. Pembenahan Kembali Proses Seleksi Sasaran Program ini dilakukan untuk meminimalisasi kegagalan sebagaimana sebelumnya, terutama dalam hal menentukan sasaran fakir miskin yang akan diberdayakan dalam KUBE. Agar tersedia KUBE Produktif yang diharapkan, maka pemerintah hendaknya melakukan monitoring dan evaluasi terhadap KUBE-KUBE yang
129
sudah terbentuk sebelumnya. Dalam kasus P2FM-BLPS, jika jumlah KUBE Produktif tidak cukup tersedia sebaiknya tidak menunjuk KUBE bentukan baru karena sangat beresiko terhadap kegagalan. Langkah-langkah yang perlu dibenahi dalam pembentukan KUBE baru adalah mengidentifikasi kondisi keluarga fakir miskin, kemampuan SDM, dan dukungan sarana prasarana di sekitar fakir miskin. Berikutnya adalah pembentukan kelompok sesuai dengan kedekatan tempat tinggal dan kesamaan minat usaha. Kelompok ini kemudian diberikan pelatihan keterampilan usaha dan pendampingan sebagaimana pada dua alternatif program sebelumnya. 4. Peningkatan Kepercayaan Masyarakat Desa Program ini bertujuan untuk membangun kepercayaan masyarakat akan kebijakan. Dengan demikian didapat dukungan dari masyarakat sekitar untuk membantu pemerintah dalam mencapai keberhasilan kebijakannya. Jika kepercayaan sudah terbangun akan mudah dalam memotivasi masyarakat supaya bisa mengatasi permasalah sosial di lingkungannya secara mandiri sebagai wujud ketahanan sosial masyarakat. Melalui adanya ketahanan sosial, diharapkan masyarakat akan memfasilitasi sendiri pelaksanaan pemberdayaan fakir miskin dengan upaya dan dana secara mandiri tanpa membebani pemerintah. Sasaran program ini adalah komunitas masyarakat desa terutama para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan LPM. Langkah yang diambil terlebih dahulu adalah mensosialisasikan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE kepada komunitas masyarakat secara umum. Kemudian masyarakat dimotivasi untuk mendukung pendampingan terhadap KUBE dalam jangka panjang melalui program bapak angkat atau kemitraan. Jika ini berhasil, pemerintah dapat mempercayakan/melepaskan program pemberdayaan fakir miskin kepada masyarakat secara mandiri. Kelak dana yang diperlukan untuk kelangsungan program ini diharapkan dapat terwujud dari dana masyarakat yang terhimpun. 5. Penguatan Kelembagaan Masyarakat Penguatan kelembagaan masyarakat ditujukan bagi potensi kelembagaan non formal maupun formal di masyarakat dalam mendukung proses pemberdayaan. Penguatan terhadap kelembagaan non formal ditujukan agar dapat memanfaatkan keterlibatan kelembagaan kekerabatan, adat, atau agama di lingkungan fakir
130
miskin. Kelembagaan non formal ini dinilai lebih dekat dengan rumah tangga miskin karena tidak memerlukan persyaratan khusus untuk terlibat di dalamnya. Sementara kelembagaan formal dinilai merupakan kelembagaan yang dekat dengan pemerintah dan jalur birokrasi. Langkah yang dilakukan adalah dengan mengidentifikasi kelembagaan formal dan non formal yang ada, mensosialisasikan kebijakan, melaksanakan bimbingan sosial dalam mewujudkan ketahanan sosial masyarakat, dan menjembatani/membangun sinergi antara lembaga non formal dengan kelembagaan formal dalam mendukung pendampingan, pengendalian, serta pengawasan. 6. Peningkatan Kerjasama Kemitraan Berdasarkan gambaran kasus P2FM-BLPS, kondisi KUBE di Kabupaten Bogor masih lemah dalam mengembalikan dana bantuan bergulir, sehingga langkah termudah untuk memperkuat usaha yang bisa dipilih KUBE adalah dengan menjalin kemitraan dengan dunia usaha yang lebih berhasil. Langkah yang diambil adalah memberikan sosialisasi kepada dunia usaha di sekitar KUBE untuk berperan serta membantu KUBE dalam hal aspek usahanya seperti, penyediaan modal, bahan baku, penjualan hasil usaha, kepastian pasar, dan lain-lain. Hal ini dapat dilakukan dengan sistem bapak angkat yang difasilitasi oleh pemerintah. 7. Peningkatan Sarana Prasarana Penunjang Kegiatan Usaha KUBE Dalam mencapai keberhasilan dan pengembangan usahanya, KUBE memerlukan dukungan akan sarana prasarana infrastruktur yang layak untuk memudahkan mobilitas usaha. Program ini juga dimaksudkan untuk mencegah keterisoliran dengan pangsa pasar KUBE di luar desa. Langkah yang diambil selain membangun
sarana-prasarana
adalah
memfasilitasi
terbentuknya
sistem
perekonomian lokal agar produk/usaha KUBE memiliki daya saing dalam hal kualitas, harga, dan efisiensi distribusi. Rancangan program, rencana tindak, pelaksana, sasaran, dan output program selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11.
131
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN
1.5. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis menggunakan data SUSDA Tahun 2006 yang dibandingkan dengan 14 indikator kemiskinan dari BPS, diperoleh bahwa pada umumnya kondisi masyarakat miskin di Kabupaten Bogor sudah cukup terpenuhi kebutuhan dasarnya, hanya saja dengan karakteristik yang berbeda-beda. Adanya pengaruh budaya dan ketidakmampuan sistem/kebijakan dalam memberikan kesempatan bagi warga miskin juga berpengaruh terhadap rendahnya tingkat pendidikan dan kondisi mata pencaharian penduduk miskin. Dengan demikian sebenarnya masyarakat miskin di Kabupaten Bogor cukup berpotensi untuk diberdayakan namun perlu kehati-hatian dalam merancang program pemberdayaan melalui penyertaan modal. Sebab bila faktor keterisoliran dan hambatan struktural lainnya tidak ditangani, maka program penyertaan modal tidak akan mengangkat masyarakat dari kemiskinan. Sekalipun tidak diprioritaskannya kembali penanggulangan kemiskinan pada AKU APBD sejak tahun 2008, Pemerintah Kabupaten Bogor cukup konsisten dalam upaya menanggulangi kemiskinan dengan dibentuknya TKPK dan disusunnya enam Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Daerah. Berdasarkan hasil analisis isi diperoleh gambaran bahwa keenam kebijakan ini sudah diimplementasikan seluruhnya dalam bentuk program dan kegiatan-kegiatan pembangunan di Kabupaten Bogor. Namun meningkatnya kemiskinan pada periode tahun 2007 ke tahun 2008 ternyata tidak dipengaruhi oleh banyaknya volume kegiatan dan jumlah anggaran penanggulangan kemiskinan, hal ini disebabkan sasaran kegiatannya lebih bersifat umum atau masih belum berfokus kepada sasaran masyarakat miskin secara langsung. Sekalipun ada program/kegiatan yang sasarannya langsung kepada masyarakat miskin, ternyata lebih berbentuk pemberian bantuan langsung tunai (cash programme) daripada bantuan pemberdayaan. Berdasarkan hasil analisis ini, kegiatan yang termasuk dalam kategori memberdayakan fakir miskin hanya terdapat pada kegiatan pelatihan keterampilan
132
bagi PMKS (sumber dana APBD) dan P2FM-BLPS (sumber dana APBN). P2FMBLPS merupakan program yang mendukung kegiatan pelatihan keterampilan bagi PMKS melalui KUBE. Program ini dinilai dapat berpotensi mengurangi kemiskinan, karena hanya dengan anggaran sebanyak 0,47 persen dari total anggaran penanggulangan kemiskinan (tahun 2008) akan ada peluang bagi penduduk miskin sebanyak 268 KK atau mewakili 1.317 jiwa yang dapat secara mandiri keluar dari kemiskinannya. Atas dasar informasi tersebut, sudah saatnya Pemerintah Kabupaten Bogor perlu mendukung program-program pemberdayaan fakir miskin untuk mengentaskan kemiskinan seperti halnya P2FM-BLPS. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap pelaksanaan P2FM-BLPS, program ini mengalami kegagalan pada tahap awal peluncurannya karena berbagai macam kendala dan permasalahan yang juga dipengaruhi oleh ketidaksiapan stakeholder yang terlibat. Belajar dari kegagalan tersebut, Pengelola menjalankan BLPS-KUBE Fase II sebagai kelanjutan program. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap para responden Penerima BLPS Fase II, umumnya para responden menyambut baik P2FM-BLPS karena dengan adanya UEP yang diperkuat permodalannya berdampak pada peningkatan status ekonomi dan sosial mereka. Para responden selain dapat untuk memenuhi kebutuhan keluarga juga dapat menyisihkan sisa keuntungan untuk menabung atau mencicil pinjaman. Keberadaan KUBE juga telah menjadi wadah untuk berinteraksi dan menyalurkan aspirasi mereka. Dengan demikian mereka memiliki kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan dapat berupaya keluar dari kemiskinannya. Adanya keberhasilan BLPS-KUBE Fase II menunjukkan optimisme program ini relevan dengan kondisi masyarakat hanya saja perlu penanganan lebih lanjut agar dapat diterapkan di wilayah lain di Kabupaten Bogor dan kinerjanya dapat optimal memberdayakan fakir miskin. Upaya pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE yang dapat diambil adalah melalui: 1) Perbaikan Tata Kelola Program; 2) Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Masyarakat; dan 3) Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin. Dengan menganalisis 19 langkah strategis yang dapat dipertimbangkan untuk diprioritaskan, didapat bahwa meningkatkan intensitas pendampingan, mengadakan
pelatihan
keterampilan,
membenahi
proses
seleksi
sasaran,
mengembalikan kepercayaan masyarakat, mengupayakan kerjasama kemitraan, dan
133
ketersediaan sarana prasarana merupakan prioritas yang paling diutamakan. Berdasarkan pertimbangan tersebut disusunlah program dan kegiatan yang mendukung kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE agar kebijakan ini dapat dikembangkan secara menyeluruh di Kabupaten Bogor
1.6. Saran Saran bagi pelaksanaan P2FM-BLPS dalam rangka mendukung kebijakan pemberdayaan fakir miksin melalui KUBE di Kabupaten Bogor adalah: 1.
Pemerintah harus segera membenahi kriteria sasaran Penerima BLPS dimana sasarannya adalah KUBE Produktif yang sudah memiliki usaha yang prospektif dikembangkan sehingga bukan KUBE bentukan baru seperti yang selama ini berlaku di Kabupaten Bogor. Jika kriteria sasaran ini tidak dipenuhi, maka resiko terjadinya kegagalan usaha dan menguapnya dana akan sangat besar.
2.
Sasaran Penerima BLPS hendaknya tidak ditetapkan berdasarkan pendekatan wilayah karena belum tentu suatu wilayah memiliki jumlah KUBE Produktif yang memadai. Namun sebaiknya sasaran ditetapkan secara langsung kepada keberadaan KUBE Produktif sekalipun itu lokasinya berbeda-beda wilayah.
3.
Keberadaan Koperasi sangat mengganggu proses pemberdayaan karena terkesan Pemerintah Kabupaten Bogor tidak sepenuh hati memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat dalam menentukan nasibnya sendiri agar keluar dari kemiskinan. Untuk itu diperlukan campur tangan pemerintah dalam membatasi peran Koperasi dalam program.
4.
Pemerintah Kabupaten Bogor hendaknya segera mengalokasikan dana pendampingan P2FM-BLPS dalam rangka menepati kesepakatan yang sudah disepakati antara Depsos RI dan Pemerintah Kabupaten Bogor. Adapun saran atau implikasi kajian bagi Pemerintah Kabupaten Bogor dalam
upaya penanggulangan kemiskinan dan pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin adalah: 1. Pemerintah Kabupaten Bogor, hendaknya selalu mengkaji ulang kesesuaian kriteria kemiskinan dengan kondisi kemiskinan yang ada di masyarakat sehingga dapat memperkecil terjadinya kesalahan dalam menentukan sasaran program-
134
program penanggulangan kemiskinan terutama bagi program yang menggunakan pendekatan bantuan sosial atau penyertaan modal; 2. Melakukan pengawasan terhadap kinerja TKPK dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pengurangan angka kemiskinan agar kinerja kebijakan penanggulangan kemiskinan dapat optimal; 3. Mulai lebih memprioritaskan program/kegiatan yang sasarannya langsung kepada masyarakat miskin dan bersifat pemberdayaan ekonomi dan sosial agar angka kemiskinan dapat berkurang secara nyata; 4. Membenahi kembali pengelolaan P2FM-BLPS yang selama ini ditinggalkan dan melakukan upaya pengembangan program sesuai dengan prioritas yang diutamakan bagi keberhasilan program; 5. Meningkatkan anggaran kegiatan pelatihan keterampilan bagi pembentukan KUBE agar potensi kualitas dan kuantitas KUBE semakin meningkat dan memonitoring hasilnya untuk diarahkan menjadi KUBE Produktif; 6. Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam setiap upaya penanggulangan kemiskinan dan mengembangkan Ketahanan Sosial Masyarakat agar masyarakat berdaya mengatasi masalah kemiskinan di sekitarnya;
135
DAFTAR PUSTAKA
Abdulah, M. Natsir. 2008. Analisis Kebijakan Publik dalam Penanggulangan Masalah Kemiskinan. Majalah Sinar, Edisi I/2008/nomor 137, Jakarta. Abidin, Said Zainal. 2004. Kebijakan Publik. Edisi Revisi. Yayasan Pancur Siwah, Jakarta. Andayasari, Ika. 2006. Pengembangan KUBE Fakir Miskin Dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan. Tesis Magister Profesional (Tidak Dipublikasikan) Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. An-Naf, Julissar. 2007. Pengentasan Kemiskinan sebagai Sasaran Strategis dalam Pembangunan di Indonesia. Diakses dari http://julissarwritting. blogspot.com/2007/11/pengentasan-kemiskinan.html pada 30 Juni 2009 pukul 14.07 WIB. Arifuddin, Omar Abdallah. 2009. Alternatif Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Berwawasan Lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara. Tesis Magister Sains (Tidak Dipublikasikan) Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Badan Pusat Statistik, 1999. Penduduk Miskin (Poor Population). Berita Resmi Statistik Penduduk Miskin, No. 04/Th.II/July, Jakarta. Badan Pusat Statistik dan Departemen Sosial. 2002. Penduduk Fakir Miskin Indonesia. BPS, Jakarta. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2007. Kabupaten Bogor dalam Angka 2007. BPS Kabupaten Bogor, Bogor. BAPPEDA Kabupaten Bogor. 2007. Kajian dan Penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kabupaten Bogor 2008-2012. Laporan Akhir (Tidak Dipublikasikan). BAPPEDA Kabupaten Bogor, Bogor. BAPPENAS. 2003. Kebijakan Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Direktorat Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah BAPPENAS, Jakarta. BAPPENAS. 2005. Strategi Nasional Penanggulangan Penanggulangan Kemiskinan BAPPENAS, Jakarta.
Kemiskinan.
Komite
Baswir, Revrisond. 1997. Agenda Ekonomi Kerakyatan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Bungin, Burhan. 2006. Analisis Data Penelitian Kualitatf: Pemahaman Fisolofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta. Departemen Sosial RI. 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1981 tentang Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Fakir Miskin. Direktorat Bantuan Sosial Fakir Miskin, Jakarta.
136
Departemen Sosial RI. 2005. Panduan Operasional Program Pemberdayaan Fakr Miskin di Wilayah Terpencil dan Perbatasan Antar Negara. Direktorat Bantuan Sosial Fakir Miskin, Jakarta. Departemen Sosial RI. 2007. Pemetaan Kemiskinan Kecamatan di Indonesia Tahun 2006. Pusdatin Kesos, Jakarta. Departemen Sosial RI. 2007. Petunjuk Operasional Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS) di Kabupaten Kota. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial Depsos RI, Jakarta. Faletehan, A. Faroby. 2009. Teknik Pengambilan Keputusan Menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Bahan Kuliah Manajemen Pembangunan Daerah (Tidak Dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Fendri. 2008. Strategi Program Pemberdayaan Masyarakat dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pemerintah (Studi Kasus Program Pemberdayaan Masyarakat PT. RAPP, CECOM, dan Pemerintah Kota Pekanbaru). Tesis Magister Professional (Tidak Dipublikasikan) Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor Garis Kemiskinan Kedaluwarsa. Diakses dari http://www.suarapembaruan.com/ News/2008/09/22/Utama/ut01.htm pada 30 Juni 2009 pukul 14.39 WIB. Gerdsri, Nathasit and Dundar F. Kocaoglu. 2007. Applying The Analitic Hierarchy Process (AHP) to Build A Strategic Framework for Technology Roadmapping. Department of Engineering and Technology Management Maseeh College of Engineering and Computer Science, Portland State University, Portland. Hamid, Almisar. 2007. Subsisi Langsung Tunai dalam Tinjauan Kesejahteraan Sosial. Diakses dari http://bp.depsos.go.id/modules.php?name=News&file= print&sid=456 pada 20 Februari 2010 pukul 12.41 WIB. Haq, Mahbub Ul .1995. Reflections on Human Development. Oxford University Press, New York. Holiah, Heni. 2006. Strategi dalam Mengatasi Perbedaan Tingkat Perkembangan KUBE Mengacu pada Tipologi Perkembangan KUBE. Tesis Magister Profesional (Tidak Dipublikasikan) Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Iskandar, Asep Tatang. 2009. Pemberdayaan Sosial Keluarga Fakir Miskin melalui KUBE. Diakses dari http://www.banjar.jabar.go.id/index.php?pilih=news&mod= yes&aksi=lihat&id=756 pada 30 November 2009. Ismandar, Haerani, Dr. 2008. Inpres Desa Tertinggal, Kilas Balik Masalah Kemiskinan. Diakses dari http://28oktober.net/2008/07/28/inpres-desa-tertinggalkilas-balik masalah-kemiskinan. Jones, Charles O. 1977. An Introduction to The Study of Public Policy. Duxbury Press, California. Kartasasmita, Ginanjar. 1997. Kemiskinan. Balai Pustaka, Jakarta.
137
Kuswari. 2005. Strategi Pengembangan Agribisnis Kelapa di Inderagiri Hilir Propinsi Riau. Tesis Magister Profesional (Tidak Dipublikasikan) Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo, Jakarta. Miles, B. Mattew dan Michael A Huberman. 1992. Analisa Data Kualitatif, Buku Sumber tentang Metode-metode Baru (Edisi terjemahan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi). UI Press, Jakarta. Mirkazemi, SA et al. 2009. Application of the analytic hierarchy process for the performance evaluation criteria of sport offices in universities. Brazilian Journal of Biomotricity, v. 3, n. 4, p. 390-398. Brazil. Muchtar, 2007. Kesiapan Daerah dalam Implementasi Program Pemberdayaan Fakir Miskin: Studi kasus di lima kabupaten/kota. Diakses dari http://www.depsos.go.id/ modules.php?name=News&file=print&sid=443 pada 14 Agustus 2009 pukul 11.39 WIB. Nugroho, Arief. 2009. Strategi Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Lampung Barat (studi Kasus di Kecamatan Balik Bukit Kabupaten Lampung Barat). Tesis Magister Profesional (Tidak Dipublikasikan) Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Nurhayati, Santi. 2003. Analisis Keberlanjutan Kelompok Usaha Ekonomis Produktif (UEP) (Studi Kasus Kelompok Usaha Ekonomis Produktif di Komunitas Pedesaan Kecamatan Cibungbulang Bogor). Tesis Magister Sains (Tidak Dipublikasikan) Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Payne, Michael. 1995. Social Work and Community Care. McMillan, London. Permadi, Bambang. 1992. AHP. Pusat Antar Universitas-Studi Ekonomi-Universitas Indonesia, Jakarta. Pikiran Rakyat. 2003. Jabar Urutan Ketiga Termiskin. Harian Umum Pikiran Rakyat, edisi 14 Oktober 2003. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB. 2009. Rencana Revitalisasi Pembangunan Pertanian dan Pembangunan Pedesaan di Kabupaten Bogor. Laporan Antara (Tidak Dipublikasikan). PSP3-IPB, Bogor. Sattar, Musai. 2007. Ketahanan Sosial, Filter Awal Timbulnya PMKS. Diakses dari http://www.depsos.go.id/ modules.php?name=News&file=print&sid=462 pada 20 Februari 2010 pukul 12.44 WIB. Silvey, Rachel and Rebbeca Elmhirst. 2003. Engendering Social Capital: Women Workers and Rural-Urban Networks in Indonesia’s Crisis. World Development Vol. xx, No. x, pp. xxx–xxx. February, 27 2003. Elsevier Science Ltd, Great Britain. Solihin, Tasliman. 2005. Evaluasi Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dalam rangka Pemberdayaan Masyarakat. Tesis Magister Profesional (Tidak Dipublikasikan) Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
138
Suharto, Edi. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran. Lembaga Studi Pembangunan STKS (LSP-STKS), Bandung. Suharto, Edi. 2001. Menyoal Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Media Indonesia, edisi 1 Maret 2001, Jakarta. Suharto, Edi. 2001. Kapitalisme dan Negara Kesejahteraan. Republika, edisi 3 Agustus 2001, Jakarta. Suharto, Edi. 2002. Coping Strategies dan Keberfungsian Sosial: Mengembangkan Pendekatan Pekerjaan Sosial dalam Mengkaji dan Menangani Kemiskinan. Makalah Seminar “Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial: Merancang-kembangkan Program Pembangunan Kesejahteraan Sosial yang Bernuansa Pekerjaan Sosial” tanggal 17 Desember 2002. Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor. Suharto, Edi. 2003. Paradigma Baru Studi Kemiskinan. Media Indonesia, edisi 10 September 2003, Jakarta. Suharto, Edi. 2003. Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial, Studi Kasus Rumah Tangga Miskin di Indonesia. STKS Bandung Press, Bandung. Suharto, Edi. 2009. Pendekatan Pekerjaan Sosial dalam Menangani Kemiskinan di Tanah Air. Diakses dari http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_29 .htm pada tanggal 13 Juni 2009 pukul 09.05 WIB. Sumardi, Mulyanto, dan Hans-Dieter Evers (ed). 1982. Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok. Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta. Sumodiningrat, Gunawan. 1997. Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat. Bina Rena Pariwara, Jakarta. Tangkilisan, H. N. S. 2004. Kebijakan dan Manajemen Lingkungan Hidup. Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia, Yogyakarta. Thapa, Ganesh. 2006. Sustainability and Governance of Microfinance Institutions: Recent Experiences and Some Lessons for Southeast Asia. Asian Journal of Agriculture and Development, Vol. 4, No. 1. International Fund for Agricultural Development (IFAD), Roma. TKPKRI, 2008. Tiga Kluster Untuk Penanggulangan Kemiskinan. Diakses dari http://tkpkri.org/berita/berita/tiga-kluster-untuk-penanggulangankemiskinan-20080513505.html pada 1 Juli 2009 pukul 11.33 WIB. TKPKRI. Sejarah Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Diakses dari http://tkpkri.org/sejarah-singkat-tim-koordinasi-penanggulangankemiskinan.html pada 4 Februari 2010 pukul 15.29 WIB. Todaro, Michael. P. 1999. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jilid 1. Edisi Keempat. Penerbit Erlangga, Jakarta. Tonny, Fredian. 2009. Metodologi Kajian Pembangunan Daerah. Bahan Kuliah Manajemen Pembangunan Daerah (Tidak Dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana-IPB, Bogor.
139
Wahyuni, Dewi. 2005. Model Pengembangan Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Tesis Magister Profesional (Tidak Dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Wahyuni, Sri. 2008. Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Pertanian: Perlunya Implementasi PRA, Pendekatan Kultural dan Struktural. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Wibowo, Edy. 2008. Strategi Perancangan Kebijakan Umum APBD Untuk Meningkatkan Kualitas Pembangunan Manusia Di Kabupaten Bogor. Tesis Magister Profesional (Tidak Dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Widiyanto. 2005. Pemberdayaan Komunitas Petani Miskin melalui Pengembangan Kelompok Usaha Bersama. Tesis Magister Profesional (Tidak Dipublikasikan) Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.