111
BAB VIII STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN
Sekalipun pelaksanaan P2FM-BLPS di Kabupaten Bogor mengalami berbagai kendala, namun program tersebut sangat mendukung kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE dan berpotensi mengentaskan kemiskinan jika dikelola dan dikembangkan sesuai dengan kondisi masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan perumusan strategi pengembangan kebijakan dan penentuan prioritas langkah strategis yang patut dikembangkan untuk mendukung kebijakan. Maka dalam menentukan upaya pengembangan terhadap kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE dilakukan analisis pembobotan dengan menggunakan AHP (Analytical Hierarchy Process) agar diketahui kebijakan dan langkah strategis mana yang lebih diprioritaskan untuk dikembangkan.
3.25.
Identifikasi Faktor Strategis Untuk merumuskan atau mengembangkan suatu kebijakan, Pemerintah
Kabupaten Bogor harus mempertimbangkan banyak faktor agar kebijakan yang diputuskan implementatif dan relevan dengan kondisi masyarakat. Melalui formulasi dari hasil analisis terhadap kondisi kemiskinan dan implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor serta pelaksanaan BLPS-KUBE, dapat diidentifikasikan faktor-faktor strategis yang bisa mempengaruhi keputusan Pemerintah Kabupaten Bogor dalam mengembangkan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE. Faktor-faktor strategis tersebut dapat dikategorikan sebagai kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman, yaitu: 1. Kekuatan (Strenghts) a. Adanya komitmen pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan b. Adanya lembaga penanggulangan kemiskinan TKPK c. Adanya kebijakan yang mendukung pemberdayaan ekonomi masyarakat d. Cukup banyak program/kegiatan penanggulangan kemiskinan yang sudah dilaksanakan dan saling terpadu
112
2. Kelemahan (Weaknesses) a. Terbatasnya anggaran untuk penanggulangan kemiskinan b. Rendahnya pengetahuan/pendidikan Fakir Miskin dalam mengelola KUBE c. Keterbatasan aparatur dalam pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan di masyarakat d. Masih adanya kesalahan persepsi di masyarakat dalam mengartikan setiap bantuan pemerintah 3. Peluang (Opportunities) a. Adanya dukungan bantuan dana dan kegiatan penanggulangan kemiskinan dari Pemerintah Pusat b. Adanya dukungan pendampingan sosial pada P2FM-BLPS c. Adanya potensi kelembagaan masyarakat yang bisa dilibatkan d. Posisi Kabupaten Bogor cukup strategis bagi kegiatan perekonomian 4. Ancaman (Threats) a. Timbulnya konflik sosial akibat perbedaan kepentingan b. Timbul kredit macet akibat kegagalan usaha dan penyebab lainnya c. Rendahnya tingkat kepercayaan perbankan terhadap UMK d. Masih adanya keterbatasan sarana dan prasarana yang menunjang mobilitas masyarakat dan kegiatan perekonomian.
3.26.
Perumusan Alternatif Strategi dan Program Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan Pemerintah
Kabupaten Bogor dalam merumuskan strategi pengembangan kebijakan fakir miskin melalui KUBE tersebut, berikutnya dilakukan perumusan alternatif strategi dan program dengan menggunakan AHP (Analytical Hierarchy Process). Struktur hirarki yang digunakan untuk menggambarkan elemen-elemen yang diprioritaskan untuk dikembangkan terdiri dari 4 hirarki (level). Hirarki pertama adalah tujuan yaitu mengembangkan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor. Hirarki kedua adalah kebijakan strategis yang potensial dapat dilakukan (feasible) dengan mempertimbangkan kondisi faktor-faktor yang disebutkan pada Sub Bab 8.1. Adapun kebijakan strategis tersebut dapat dirumuskan menjadi: 1) Perbaikan Tata Kelola Program, 2) Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis
113
Komunitas, dan 3) Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin. Hirarki ketiga adalah aspek-aspek yang dipertimbangkan dalam alternatif strategi tersebut, dan hirarki keempat adalah prioritas langkah strategis/program yang bisa dikembangkan. Kebijakan trategis Perbaikan Tata Kelola Program perlu dikembangkan karena dalam pelaksanaan BLPS-KUBE masih banyak kekurangan dalam hal aspek pendanaan, manajemen, dan pendampingan sosial. Kebijakan strategis Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas dimaksudkan untuk melibatkan masyarakat/komunitas dalam mendukung program, hal ini tentunya dipengaruhi adanya modal sosial dan kelembagaan yang ada di masyarakat. Sedangkan kebijakan strategis Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin diperlukan karena kondisi KUBE Fakir Miskin penerima program masih menghadapi kendala dalam hal aspek penguatan usaha, kualitas SDM, kelembagaan KUBE, dan akses pasar. Struktur hirarki yang digunakan untuk menggambarkan elemen-elemen yang diprioritaskan dalam pengembangan kebijakan fakir miskin melalui KUBE dapat dilihat pada Tabel 28. Dalam pemilihan prioritasnya, setiap elemen pada kebijakan strategis memiliki prioritasnya masing-masing. Sehingga prioritas yang akan dihasilkan pun dapat mempengaruhi prioritas sub kriteria di bawahnya dan pada akhirnya mempengaruhi prioritas langkah strategis yang penting untuk dikembangkan. Tabel 28. Struktur Hirarki Pengembangan Kebijakan Fakir Miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor Level 2
Level 3
Level 4
Kebijakan Strategis
Aspek Pertimbangan
Langkah Strategis A1.B1.C1. Sosialisasi dan Koordinasi A1.B1.C2. Seleksi Penerima Program A1.B1.C3. Monitoring dan Evaluasi A1.B2.C1. Kualitas Pendamping A1.B2.C2. Intensitas Pendampingan A1.B3.C1. Sharing Pendanaan A1.B3.C2. Tata Ulang Aturan Perguliran Dana A2.B1.C1. Kepercayaan Masyarakat A2.B1.C2. Tingkat Partisipasi A2.B2.C1. Kelembagaan Non Formal A2.B2.C2. Kelembagaan Formal A3.B1.C1. Kemudahan Akses Modal A3.B1.C2. Kerjasama Kemitraan A3.B2.C1. Pendidikan Formal A3.B2.C2. Pendidikan Non Formal A3.B3.C1. Peran Serta Anggota A3.B3.C2. Koperasi A3.B4.C1. Sarana Prasarana A3.B4.C2. Sistem Ekonomi Lokal
Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE
Level 1 Tujuan
A1.B1. Manajemen A1. Perbaikan Tata Kelola Program
A1.B2. Pendampingan Sosial A1.B3. Pendanaan
A2. Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas
A2.B1. Modal Sosial A2.B2. Kelembagaan Masyarakat A3.B1. Penguatan Usaha
A3. Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin
A3.B2. Kualitas SDM Anggota KUBE A3.B3. Kelembagaan KUBE A3.B4. Akses Pasar
114
3.27.
Analisis Prioritas Pengembangan Kebijakan Berdasarkan persepsi enam orang responden yang terlibat langsung dalam
pelaksanaan P2FM-BLPS dan berpengaruh dalam perencanaan pengembangan kebijakan, maka diperoleh matriks persepsi dari masing-masing responden sebagaimana Lampiran 9. Metode yang digunakan dalam pengisian keputusan AHP dilakukan secara terpisah melalui wawancara dan kuisioner yang kemudian dilakukan perhitungan pendapat gabungan dengan mencari rata-rata penilaian dari semua responden dengan menggunakan metode rata-rata ukur/rata-rata geometris. Pembobotan responden tidak dilakukan dengan asumsi bahwa posisi seluruh responden sama dalam hal memberikan masukan keputusan pada pengembangan kebijakan. Hasil perhitungan pendapat gabungan juga dapat dilihat pada Lampiran 9 dan hasil pengolahan AHP menggunakan Expert Choise 2000 dapat dilihat pada Lampiran 10. Berdasarkan hasil olah data menggunakan Expert Choise 2000, terlihat bahwa untuk mencapai tujuan mengembangkan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor, elemen kebijakan strategis Perbaikan Tata Kelola Program memiliki nilai bobot 0,391, Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Masyarakat memiliki nilai bobot 0,274, dan Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin memiliki nilai bobot 0,335. Dengan demikian urutan prioritas kebijakan strategis yang dapat ditempuh dalam pengembangan kebijakan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor adalah mengupayakan Perbaikan Tata Kelola Program, berikutnya Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin, dan terakhir Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Masyarakat (Tabel 29). Tabel 29. Urutan Prioritas Kebijakan Strategis dalam Pengembangan Kebijakan Fakir Miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor Urutan
Elemen
Level
1 2 3
A1. Perbaikan Tata Kelola Program A3. Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin A2. Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas
2 2 2
Bobot Prioritas 0,391 0,335 0,274
Sumber: Data Primer (diolah)
Bobot persepsi gabungan responden dalam pohon hirarki pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE dapat dilihat pada Gambar 19.
115
8.3.1. Perbaikan Tata Kelola Program Pada kebijakan strategis Perbaikan Tata Kelola Program, sub kriteria yang memiliki nilai bobot tertinggi adalah aspek Pendampingan Sosial dengan nilai bobot 0,495, kemudian berikutnya Manajemen dengan nilai bobot 0,352, dan Pendanaan dengan nilai bobot 0,153 (Gambar 20). Pendampingan Sosial dinilai sebagai aspek kunci dalam keberhasilan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE karena pendampingan bertujuan meningkatkan motivasi, kemampuan, dan peran para anggota KUBE dalam mencapai kualitas hidup, kemandirian, dan kesejahteraan anggotanya. Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebija >Perbaikan Tata Kelola Progr...
Pendampingan Sosial Manajemen Pendanaan Inconsistency = 0,03 with 0 missing judgments.
,495 ,352 ,153
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 20. Grafik Prioritas Aspek yang Dipertimbangkan pada Kebijakan Strategis Perbaikan Tata Kelola Program
Pada aspek Pendampingan Sosial ini, rata-rata responden lebih memilih memprioritaskan langkah strategis peningkatan Intensitas Pendampingan (bobot 0,631) dibandingkan Kualitas Pendamping (bobot 0,369). Urutan prioritas langkah strategis pada aspek Pendampingan Sosial ditunjukkan pada Gambar 21. Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebija >Perbaikan Tata Kelola Program >Pendampingan Sosial
Intensitas Pendampingan Kualitas Pendamping Inconsistency = 0,00 with 0 missing judgments.
,631 ,369
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 21. Grafik Prioritas Langkah Pendampingan Sosial
Strategis
pada
Aspek
Melakukan pendampingan yang intensif dinilai lebih memudahkan dalam memantau
proses/tahapan
pemberdayaan
fakir
miskin,
dengan
demikian
116
permasalahan-permasalahan dalam pelaksanaan program dapat diidentifikasi lebih dini dan dicarikan solusi secepatnya. Sedangkan peningkatan Kualitas Pendamping diprioritaskan berikutnya karena dianggap dapat dilakukan selama proses pendampingan berjalan. Lagipula seorang Pendamping Sosial biasanya terbentuk setelah melalui pelatihan pekerjaan sosial terlebih dahulu sehingga peningkatan kualitasnya dapat dilakukan melalui pemberian pelatihan tingkat lanjutan atau saling berbagi pengalaman antar para Pendamping Sosial selama mereka bertugas. Pada aspek Manajemen, langkah strategis yang lebih diprioritaskan adalah Seleksi Penerima Program (bobot 0,569) daripada Sosialisasi dan Koordinasi (bobot 0,309) dan Monitoring dan Evaluasi dengan bobot 0,122 (Gambar 22). Adanya kegagalan dalam pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE pada BLPS Fase I dinilai berawal dari tidak adanya KUBE Produktif di kedua kecamatan tersebut sebagaimana syarat KUBE Penerima BLPS. Dengan masuknya KUBE bentukan baru sebagai penerima BLPS merupakan kesalahan utama dalam penentuan sasaran sehingga menimbulkan macetnya perguliran dana akibat ketidaksiapan KUBE dalam usahanya. Beberapa KUBE bahkan melarikan dana untuk peruntukan lain karena tidak jelasnya jenis usaha. Untuk itu perlu direstrukturisasi proses seleksi terhadap KUBE penerima bantuan dana dari pemerintah sesuai aturan yang berlaku. Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebija >Perbaikan Tata Kelola Program >Manajemen
Seleksi Penerima Program Sosialisasi dan Koordinasi Monitoring dan Evaluasi Inconsistency = 0,01 with 0 missing judgments.
,569 ,309 ,122
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 22. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Manajemen
Untuk membenahi aspek Manajemen, perlu didukung pula dengan langkah Sosialisasi dan Koordinasi yang baik serta Monitoring dan Evaluasi yang berkelanjutan. Sosialisasi dibutuhkan agar informasi mengenai tujuan program, sifat dana bergulir yang diberikan, dan kriteria penerima dana dapat sampai kepada masyarakat miskin secara sempurna dan dipahami. Koordinasi sangat diperlukan untuk mendapatkan dukungan dari stakeholder lain atau program lain yang dapat
117
memperkuat pelaksanaan P2FM, serta agar tidak terjadi tumpang tindih pelaksanaan program. Koordinasi kepada stakeholder yang terlibat juga diperlukan agar memperoleh pemahaman yang sama akan program sehingga tujuan program tercapai. Monitoring dan Evaluasi sekalipun paling rendah diprioritaskan, harus tetap diadakan untuk mengawasi program agar berjalan sebagaimana mestinya. Pada Aspek Pendanaan, langkah strategis yang lebih diprioritaskan adalah Sharing Pendanaan (bobot 0,529) daripada Tata Ulang Aturan Perguliran Dana dengan bobot 0,471 (Gambar 23). Sharing Pendanaan dipandang lebih diperlukan untuk membiayai komponen-komponen yang tidak tercakup dalam anggaran pemerintah pusat, seperti: dana sosialisasi, kelanjutan pendampingan, serta monitoring dan evaluasi. Hal ini dibutuhkan demi keberlanjutan pelaksanaan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor. Sementara aturan dalam pengembalian dana harus ditinjau kembali mengingat adanya kemacetan dan kelambatannya tingkat pengembalian dana bergulir di tingkat anggota KUBE padahal masih banyak usulan UEP KUBE lain yang belum terpenuhi. Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebija >Perbaikan Tata Kelola Program >Pendanaan
Sharing Pendanaan Tata Ulang Perguliran Dana Inconsistency = 0,00 with 0 missing judgments.
,529 ,471
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 23. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Pendanaan
Berdasarkan analisis prioritas secara global menggunakan Expert Choise 2000, didapat bahwa distribusi prioritas langkah strategis yang memiliki prioritas tertinggi pada kebijakan strategis Perbaikan Tata Kelola Program adalah langkah-langkah strategis dalam aspek Pendampingan Sosial, baru kemudian aspek Manajemen dan Pendanaan (Tabel 30). Hal ini terlihat dari posisi pentingnya langkah Intensitas Pendampingan yang prioritasnya paling tinggi diantara langkah-langkah strategis lainnya. Dengan demikian diperlukan rancangan program pengembangan kebijakan yang lebih berpihak pada Pendampingan Sosial terutama dalam hal meningkatkan Intensitas Pendampingan.
118
Tabel 30. Urutan Elemen yang Diprioritaskan Secara Global dalam Kebijakan Strategis Perbaikan Tata Kelola Program Urutan
Elemen
Level
1 1 2 3 1 2 3 4 5 6 7
A1. Perbaikan Tata Kelola Program A1.B2. Pendampingan Sosial A1.B1. Manajemen A1.B3. Pendanaan A1.B2.C2. Intensitas Pendampingan A1.B1.C2. Seleksi Penerima Program A1.B2.C1. Kualitas Pendamping A1.B1.C1. Sosialisasi dan Koordinasi A1.B3.C1. Sharing Pendanaan A1.B3.C2. Tata Ulang Aturan Perguliran Dana A1.B1.C3. Monitoring dan Evaluasi
2 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4
Bobot Prioritas 0,391 0,193 0,138 0,060 0,122 0,078 0,071 0,042 0,032 0,028 0,017
Sumber: Data Primer (diolah)
8.3.2. Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin Pada kebijakan strategis Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin, aspek yang memiliki bobot tertinggi adalah peningkatan Kualitas SDM Anggota KUBE (bobot 0,340), disusul Penguatan Usaha (bobot 0,265), lalu Akses Pasar (bobot 0,260), dan Kelembagaan KUBE dengan bobot 0,135 (Gambar 24). Responden memandang bahwa meningkatkan Kualitas SDM Anggota KUBE lebih penting dalam meningkatkan keberhasilan usaha KUBE. Jika anggota KUBE memiliki kemampuan dalam hal manajemen dan pengetahuan yang baik dalam berusaha, niscaya usaha KUBE akan lebih siap dalam menghadapi pasar dan persaingan usaha. Namun hal itu perlu juga didukung pula dengan adanya penguatan usaha dan kemudahan dalam mengakses pasar karena KUBE Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebija >Peningkatan Kinerja KUBE F...
Kualitas SDM Anggota KUBE Penguatan Usaha Akses Pasar Kelembagaan KUBE Inconsistency = 0,01 with 0 missing judgments.
,340 ,265 ,260 ,135
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 24. Grafik Prioritas Aspek yang Dipertimbangkan pada Kebijakan Strategis Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin
119
Dalam meningkatkan Kualitas SDM Anggota KUBE, hal yang lebih diprioritaskan adalah peningkatan Pendidikan Non Formal (bobot 0,584) daripada Pendidikan Non Formal dengan bobot 0,416 (Gambar 25). Responden memandang kemampuan fakir miskin dalam menyerap materi pengetahuan cenderung lebih mudah melalui pelatihan keterampilan/praktek langsung yang diselenggarakan Pemerintah maupun Penyuluh Swadaya daripada melalui pendidikan formal/sekolah. Lagipula keterbatasan ekonomi masyarakat miskin menjadikan mereka tidak memprioritaskan memperoleh pendidikan lebih tinggi melalui bangku sekolah. Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebija >Peningkatan Kinerja KUBE Faki >Kualitas SDM Anggota KUBE
Pendidikan Non Formal Pendidikan Formal Inconsistency = 0,00 with 0 missing judgments.
,584 ,416
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 25. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Peningkatan Kualitas SDM Anggota KUBE
Pada Aspek Penguatan Usaha, langkah strategis yang lebih diprioritaskan adalah mengupayakan Kerjasama Kemitraan (bobot 0,439) daripada menyediakan Kemudahan Akses Modal dengan bobot 0,561 (Gambar 26). Mengingat masih lemahnya kondisi KUBE dalam mengembalikan dana bantuan, langkah termudah untuk memperkuat usaha yang bisa dipilih KUBE adalah dengan menjalin kemitraan dengan dunia usaha yang lebih berhasil. Pemerintah perlu mengupayakan hal ini karena melalui kerjasama dengan dunia usaha yang sudah berpengalaman dan berhasil akan diperoleh dukungan kemudahan modal dan kepastian pasar.
Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebija >Peningkatan Kinerja KUBE Faki >Penguatan Usaha
Kerjasama Kemitraan Kemudahan Akses Modal Inconsistency = 0,00 with 0 missing judgments.
,561 ,439
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 26. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Penguatan Usaha
120
Pada aspek Akses Pasar, langkah strategis yang lebih diprioritaskan adalah menyediakan Sarana Prasarana (bobot 0,581) daripada pengembangan Sistem Ekonomi Lokal dengan bobot 0,413 (Gambar 27). Dalam memasarkan hasil usaha diperlukan sarana dan prasarana yang baik untuk mobilitas kegiatan ekonomi yang mendukung usaha KUBE. Ketersediaan jalan, jembatan, listrik, sarana transportasi, dan pasar yang terjangkau akan menguntungkan KUBE dari sisi efisiensi biaya. Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebija >Peningkatan Kinerja KUBE Faki >Akses Pasar
Sarana Prasarana Sistem Ekonomi Lokal Inconsistency = 0,00 with 0 missing judgments.
,587 ,413
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 27. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Akses Pasar
Alternatif lain yang bisa dikembangkan adalah mengembangkan sistem ekonomi lokal, dimana masyarakat lokal secara bersama-sama proaktif berusaha untuk memperbaiki dan mengembangkan lingkungan usahanya sehingga mereka mampu berkompetisi dengan daerah lain. Namun langkah ini dipandang memerlukan kajian yang mendalam mengenai potensi wilayah dan sarana pendukung lainnya sehingga akan lama terealisasi. Pada aspek meningkatkan Kelembagaan KUBE, langkah strategis yang lebih diprioritaskan adalah meningkatkan Peranserta Anggota (bobot 0,786) daripada Koperasi dengan bobot 0,214 (Gambar 28). Peranserta Anggota dalam KUBE merupakan cerminan adanya partisipasi dalam kelompok yang merupakan indikator adanya proses pemberdayaan sosial. Dengan meningkatnya peranserta anggota akan memudahkan KUBE berkembang karena segala usulan dan inisiatif dapat diakomodir, berikut permasalahan pun dapat segera diselesaikan secara mandiri. Pada kasus BLPS-KUBE, Koperasi merupakan lembaga yang dibentuk oleh campur tangan pemerintah sehingga lebih terkesan sebagai lembaga pengelola dana selama program berlangsung daripada lembaga yang memfasilitasi kebutuhan anggotanya. Menurut responden, Koperasi seharusnya dibentuk oleh anggotanya yang memiliki visi sama untuk mencapai tujuan bersama, untuk itu pembentukan Koperasi dalam
121
pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE dipandang hanya diperlukan jika ada keinginan dan kebutuhan dari masyarakat. Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebija >Peningkatan Kinerja KUBE Faki >Kelembagaan KUBE
Peran Serta Anggota Koperasi Inconsistency = 0,00 with 0 missing judgments.
,786 ,214
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 28. Grafik Prioritas Langkah Kelembagaan KUBE
Strategis
pada
Aspek
Berdasarkan analisis prioritas secara global menggunakan Expert Choise 2000, didapat bahwa distribusi prioritas langkah strategis pada kebijakan strategis Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin tersebar hampir merata (Tabel 31), namun langkah strategis dalam aspek Peningkatan Kualitas SDM Anggota KUBE lebih penting untuk dipertimbangkan. Hal ini terlihat dari posisi pentingnya langkah peningkatan Pendidikan Non Formal yang prioritasnya lebih tinggi diantara langkahlangkah strategis lainnya, baru kemudian dipertimbangkan langkah penyediaan Sarana Prasarana dan membangun Kerjasama Kemitraan. Tabel 31. Urutan Elemen yang Diprioritaskan Secara Global dalam Kebijakan Strategis Peningkatan Kinerja KUBE Urutan
Elemen
Level
2 1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 7 8
A3. Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin A3.B3. Kualitas SDM Anggota KUBE A1.B1. Penguatan Usaha A1.B4. Akses Pasar A1.B2. Kelembagaan KUBE A3.B3.C1. Pendidikan Non Formal A3.B4.C1. Sarana Prasarana A3.B1.C2. Kerjasama Kemitraan A3.B3.C2. Pendidikan Formal A3.B1.C1. Kemudahan Akses Modal A3.B2.C1. Peran Serta Anggota A3.B4.C2. Sistem Ekonomi Lokal A3.B2.C2. Koperasi
2 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4
Sumber: Data Primer (diolah)
Bobot Prioritas 0,335 0,114 0,089 0,087 0,045 0,066 0,051 0,050 0,047 0,039 0,036 0,036 0,010
122
8.3.3. Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas Pada kebijakan strategis Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas, aspek yang memiliki bobot tertinggi adalah Modal Sosial (bobot 0,611) dan berikutnya adalah Kelembagaan Masyarakat dengan bobot 0,389 (Gambar 29). Kedua kriteria ini merupakan faktor-faktor yang akan mempengaruhi pelaksanaan pemberdayaan fakir miskin jika melibatkan peran serta masyarakat. Adanya keterlibatan masyarakat dalam memberdayakan fakir miskin dapat menciptakan ketahanan sosial masyarakat, yaitu kemampuan komunitas dalam mengembangkan keberfungsian sosial secara dinamis dari modal sosial yang dimiliki dalam memberikan perlindungan bagi kelompok rentan, kelompok kurang mampu, mengembangkan partisipasi politik anggota, mengelola konflik dan melestarikan SDA (Sattar, 2007). Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebija >Pelaksanaan Pemberdayaan ...
Modal Sosial Kelembagaan Masyarakat Inconsistency = 0,00 with 0 missing judgments.
,611 ,389
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 29. Prioritas Aspek yang Dipertimbangkan pada Kebijakan Strategis Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas
Aspek Modal Sosial di masyarakat sangat dibutuhkan dalam mendukung keberhasilan pemberdayaan fakir miskin berbasis komunitas, untuk itu langkah strategis yang lebih diprioritaskan oleh responden adalah meningkatkan Kepercayaan Masyarakat (bobot 0,405) daripada meningkatkan Partisipasi Masyarakat dengan bobot 0,595 (Gambar 30). Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat dimana KUBE berada, maka terlebih dahulu harus ada keyakinan dari lingkungan masyarakat akan adanya kebijakan KUBE yang memberdayakan fakir miskin di sekitarnya untuk entas dari kemiskinan. Responden memandang bahwa hal ini perlu dibenahi mengingat masih rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat akan program-program pemerintah sehingga kurang adanya dukungan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
123
Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebija >Pelaksanaan Pemberdayaan Fa >Modal Sosial
Kepercayaan Masyarakat Tingkat Partisipasi Inconsistency = 0,00 with 0 missing judgments.
,595 ,405
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 30. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Modal Sosial
Keberadaan kelembagaan di masyarakat juga bisa menjadi potensi sumber kesejahteraan sosial yang dapat dilibatkan dalam pemberdayaan fakir miskin berbasis komunitas. Umumnya karakteristik utama rumah tangga miskin adalah lemahnya aksesibilitas terhadap kelembagaan-kelembagaan yang ada di sekelilingnya, terutama terhadap kelembagaan ekonomi dan penyedia informasi. Lemahnya akses terhadap jaringan ekonomi umumnya disebabkan karena mereka tidak memiliki persyaratan sosial yang cukup, misalnya lemahnya pendidikan, pengetahuan, dan kemampuan berkomunikasi. Untuk itu pengembangan terhadap kelembagaan sosial di masyarakat diperlukan sebagai potensi masyarakat yang akan dijadikan mitra dalam pemberdayaan terhadap fakir miskin. Pada Aspek Kelembagaan Masyarakat, langkah strategis meningkatkan keberdayaan Kelembagaan Non Formal adalah yang paling diprioritaskan (bobot 0,769) daripada Kelembagaan Formal dengan bobot 0,231 (Gambar 31). Kelembagaan Non Formal seperti kelompok pengajian dan ikatan keluarga dinilai lebih penting karena akses fakir miskin terhadap kelembagaan ini lebih mudah dibandingkan Kelembagaan Formal yang mempertimbangkan berbagai persyaratan sosial. Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebija >Pelaksanaan Pemberdayaan Fa >Kelembagaan Masyarakat
Kelembagaan Non Formal Kelembagaan Formal Inconsistency = 0,00 with 0 missing judgments.
,769 ,231
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 31. Grafik Prioritas Langkah Kelembagaan Masyarakat
Strategis
pada
Aspek
124
Berdasarkan analisis prioritas secara global menggunakan Expert Choise 2000, didapat bahwa distribusi prioritas langkah strategis yang memiliki prioritas tertinggi pada kebijakan strategis Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas adalah meningkatkan Kepercayaan Masyarakat dan meningkatkan keterlibatan Kelembagaan Non Formal di sekitar Fakir Miskin (Tabel 32). Dengan demikian pada strategi Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas diperlukan rancangan program pengembangan kebijakan yang lebih berpihak pada kedua langkah strategis tersebut. Tabel 32. Urutan Elemen yang Diprioritaskan Secara Global dalam Kebijakan Strategis Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas Urutan 3 1 2 1 2 3 4
Elemen
2
Bobot Prioritas 0,274
3 3 4 4 4 4
0,167 0,107 0,100 0,082 0,068 0,025
Level
A2. Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas A2.B1. Modal Sosial A2.B2. Kelembagaan Masyarakat A2.B1.C2. Kepercayaan Masyarakat A2.B2.C1. Kelembagaan Non Formal A2.B1.C1. Tingkat Partisipasi A2.B2.C2. Kelembagaan Formal
Sumber: Data Primer (diolah)
3.28.
Sintesis Prioritas Langkah Strategis Berdasarkan Tujuan Dalam mencapai tujuan pengembangan kebijakan fakir miskin melalui
KUBE terhimpun 19 langkah strategis yang bisa dikembangkan. Hasil analisis sensitivitas
terhadap
kesembilan-belas
langkah
tersebut
diperoleh
bahwa
meningkatkan intensitas pendampingan adalah langkah strategis yang paling tinggi diprioritaskan (bobot 0,122), diikuti dengan meningkatkan Kepercayaan Masyarakat (bobot 0,100), meningkatkan keberdayaan Kelembagaan Non Formal (bobot 0,082), dan seterusnya hingga Koperasi dengan bobot paling rendah yaitu 0,010 (Tabel 33). Kesembilan-belas langkah strategis ini merupakan interpretasi dari kebijakan Perbaikan Tata Kelola Program, Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miksin, dan Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Masyarakat.
125
Tabel 33. Urutan Prioritas Global Program Pengembangan Kebijakan Fakir Miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor
Urutan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Langkah Strategis/Program A1.B2.C2. Intensitas Pendampingan A2.B1.C1. Kepercayaan Masyarakat A2.B2.C1. Kelembagaan Non Formal A1.B1.C2. Seleksi Penerimaan Program A1.B2.C1. Kualitas Pendamping A2.B1.C2. Tingkat Partisipasi A3.B2.C2. Pendidikan Non Formal A3.B4.C1. Sarana Prasarana A3.B1.C2. Kerjasama Kemitraan A3.B2.C1. Pendidikan Formal A1.B1.C1. Sosialisasi dan Koordinasi A3.B1.C1. Kemudahan Akses Modal A3.B3.C1. Peran Serta Anggota A3.B4.C2. Sistem Ekonomi Lokal A1.B3.C1. Sharing Pendanaan A2.B2.C2. Kelembagaan Formal A1.B3.C2. Tata Ulang Aturan Perguliran Dana A1.B1.C3. Monitoring dan Evaluasi A3.B3.C2. Koperasi Jumlah
Bobot Prioritas 0,122 0,100 0,082 0,078 0,071 0,068 0,066 0,051 0,050 0,047 0,042 0,039 0,036 0,036 0,032 0,028 0,025 0,017 0,010 1,000
Sumber: Data Primer (diolah)
Tampak bahwa sekalipun kebijakan strategis Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas memempati posisi ketiga dalam urutan prioritas kebijakan, namun secara global langkah strategis Kepercayaan Masyarakat dan Kelembagaan Non Formal pada strategi Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Masyarakat menempati urutan kedua dan ketiga, lebih diprioritaskan daripada beberapa langkah strategis dari strategi Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin (Tabel 33). Hal ini karena modus sintesis yang digunakan adalah Sintesis Distribusi (Distributive Synthesis) dimana dapat digunakan jika perancangan program yang akan disusun dipilih berdasarkan beberapa alternatif yang diprioritaskan. Grafik hasil sintesis menggunakan modus Sintesis Distribusi dapat dilihat pada Gambar 32.
126
Synthesis with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE
Overall Inconsistency = ,01 Intensitas Pendampingan Kepercayaan Masyarakat Kelembagaan Non Formal Seleksi Penerima Program Kualitas Pendamping Tingkat Partisipasi Pendidikan Non Formal Sarana Prasarana Kerjasama Kemitraan Pendidikan Formal Sosialisasi dan Koordinasi Kemudahan Akses Modal Peran Serta Anggota Sistem Ekonomi Lokal Sharing Pendanaan Tata Ulang Perguliran Dana Kelembagaan Formal Monitoring dan Evaluasi Koperasi
,122 ,100 ,082 ,078 ,071 ,068 ,066 ,051 ,050 ,047 ,042 ,039 ,036 ,036 ,032 ,028 ,025 ,017 ,010
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 32. Grafik Hasil Sintesis Menggunakan Modus Sintesis Distribusi (Distributive Synthesis)
Sedangkan jika modus sintesis yang digunakan adalah Sintesis Ideal (Ideal Synthesis), maka grafik hasil sensistifitasnya sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 33. Sintesis Ideal digunakan jika perancangan program yang akan disusun dipilih berdasarkan satu saja alternatif yang prioritasnya paling tinggi.
Synthesis with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE
Overall Inconsistency = ,01 Intensitas Pendampingan Pendidikan Non Formal Seleksi Penerima Program Kepercayaan Masyarakat Kerjasama Kemitraan Sarana Prasarana Pendidikan Formal Kualitas Pendamping Kemudahan Akses Modal Tingkat Partisipasi Sistem Ekonomi Lokal Kelembagaan Non Formal Sosialisasi dan Koordinasi Peran Serta Anggota Sharing Pendanaan Tata Ulang Perguliran Dana Monitoring dan Evaluasi Kelembagaan Formal Koperasi
,106 ,091 ,076 ,075 ,071 ,070 ,065 ,062 ,056 ,051 ,049 ,048 ,041 ,036 ,033 ,029 ,016 ,014 ,010
Sumber: Data Olah AHP dengan Expert Choise 2000
Gambar 33. Grafik Hasil Sintesis Menggunakan Modus Sintesis Ideal (Ideal Synthesis)
127
Berdasarkan Gambar 33, tampak bahwa Intensitas Pendampingan dari strategi Perbaikan Tata Kelola Program masih menempati urutan teratas prioritas langkah strategis untuk mencapai tujuan mengembangkan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor. Pada modus Sensitivitas Ideal ini kebijakan strategis Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin menempatkan langkah strategis meningkatkan Pendidikan Non Formal pada prioritas kedua sedangkan strategi Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Masyarakat menempatkan langkah strategis meningkatkan Kepercayaan Masyarakat pada urutan keempat. Dengan demikian urutan prioritas kebijakan strategis dimana Perbaikan Tata Kelola Program di urutan pertama, Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin di urutan kedua, dan Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Masyarakat di urutan ketiga sama dengan urutan penempatan langkah strategis yang diprioritaskan.
3.29.
Perancangan Program Perancangan program ditujukan agar kebijakan pemberdayaan fakir miskin
melalui KUBE di Kabupaten Bogor dapat relevan dengan kondisi kemiskinan masyarakat, juga didukung potensi kebijakan penanggulangan kemiskinan yang ada, dan potensi yang ada pada P2FM-BLPS. Dengan demikian bukan berarti langkahlangkah strategis yang tidak diproritaskan tidak perlu ditindaklanjuti secara nyata, bagaimanapun langkah-langkah strategis tersebut merupakan satu kesatuan untuk mensukseskan keberhasilan penerapan kebijakan. Hanya saja pada perumusan programnya, karena kurang diprioritaskan, langkah-langkah strategis ini bisa disisipkan sebagai program pendukung dari program inti. Dari hasil AHP dan wawancara dengan sejumlah individu dan pejabat daerah yang terkait maka diperoleh rumusan program dalam pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor sebagai berikut: 1. Peningkatan Intensitas Pendampingan Belajar dari permasalahan dalam P2FM-BLPS, pendampingan merupakan hal terpenting dalam keberhasilan pelaksanaan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE. Sasaran Program Peningkatan Intensitas Pendampingan adalah para Pendamping Sosial yang memfasilitasi aktivitas KUBE Fakir Miskin. Langkah yang paling penting dilakukan terlebih dahulu adalah mengalokasikan anggaran
128
bagi Honor Pendamping Sosial sepanjang pelaksanaan program. Agar penggunaan anggaran efektif dan pendampingan dapat berjalan sesuai harapan, dilakukan penyusunan rencana kerja pendampingan yang terstruktur, penataan kembali mengenai deskripsi kerja dan tanggung jawab pendampingan, penghimpunan case record dan laporan pendampingan secara berkala, serta dilakukan monitoring dan evaluasi oleh pemerintah. Jika diperlukan, untuk meningkatkan kualitas pendampingan dan koordinasi, Pendamping Sosial dapat diberikan pelatihan pekerjaan sosial tingkat lanjut dengan melibatkan Forum Komunikasi Pekerja Sosial Masyarakat (FK-PSM). 2. Peningkatan Pelatihan Keterampilan Program ini merupakan wujud dari penguatan pendidikan non formal fakir miskin, sehingga sasaran utamanya adalah fakir miskin yang belum tergabung KUBE maupun fakir miskin yang sudah tergabung dalam KUBE (Anggota KUBE). Tujuan program ini agar didapat KUBE yang anggotanya memenuhi syarat kualifikasi dan terampil dalam menjalankan UEP. Langkah yang diambil adalah melaksanakan pelatihan keterampilan UEP, pelatihan manajemen pengelolaan KUBE bagi fakir miskin, pelatihan penerapan Teknologi Tepat Guna dalam mendukung usaha KUBE, dan pemberian stimulan usaha (bahan/alat usaha) bagi KUBE bentukan baru. Sebenarnya kegiatan pelatihan keterampilan dengan output pembentukan KUBE sudah rutin dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Bogor melalui Instansi Sosial yang ada, namun perlu ada peningkatan dalam hal kualitas dan kuantitas outputnya. Dalam hal peningkatan kualitas, anggota KUBE hendaknya terus dibina dengan berbagai pelatihan usaha dan manajemen. Sedangkan untuk meningkatkan kuantitas, jumlah sasaran dan kegiatan pelatihan keterampilan untuk terbentuknya KUBE baru harus ditingkatkan agar semakin banyak KUBE Produktif yang lebih siap diberdayakan melalui penguatan modal 3. Pembenahan Kembali Proses Seleksi Sasaran Program ini dilakukan untuk meminimalisasi kegagalan sebagaimana sebelumnya, terutama dalam hal menentukan sasaran fakir miskin yang akan diberdayakan dalam KUBE. Agar tersedia KUBE Produktif yang diharapkan, maka pemerintah hendaknya melakukan monitoring dan evaluasi terhadap KUBE-KUBE yang
129
sudah terbentuk sebelumnya. Dalam kasus P2FM-BLPS, jika jumlah KUBE Produktif tidak cukup tersedia sebaiknya tidak menunjuk KUBE bentukan baru karena sangat beresiko terhadap kegagalan. Langkah-langkah yang perlu dibenahi dalam pembentukan KUBE baru adalah mengidentifikasi kondisi keluarga fakir miskin, kemampuan SDM, dan dukungan sarana prasarana di sekitar fakir miskin. Berikutnya adalah pembentukan kelompok sesuai dengan kedekatan tempat tinggal dan kesamaan minat usaha. Kelompok ini kemudian diberikan pelatihan keterampilan usaha dan pendampingan sebagaimana pada dua alternatif program sebelumnya. 4. Peningkatan Kepercayaan Masyarakat Desa Program ini bertujuan untuk membangun kepercayaan masyarakat akan kebijakan. Dengan demikian didapat dukungan dari masyarakat sekitar untuk membantu pemerintah dalam mencapai keberhasilan kebijakannya. Jika kepercayaan sudah terbangun akan mudah dalam memotivasi masyarakat supaya bisa mengatasi permasalah sosial di lingkungannya secara mandiri sebagai wujud ketahanan sosial masyarakat. Melalui adanya ketahanan sosial, diharapkan masyarakat akan memfasilitasi sendiri pelaksanaan pemberdayaan fakir miskin dengan upaya dan dana secara mandiri tanpa membebani pemerintah. Sasaran program ini adalah komunitas masyarakat desa terutama para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan LPM. Langkah yang diambil terlebih dahulu adalah mensosialisasikan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE kepada komunitas masyarakat secara umum. Kemudian masyarakat dimotivasi untuk mendukung pendampingan terhadap KUBE dalam jangka panjang melalui program bapak angkat atau kemitraan. Jika ini berhasil, pemerintah dapat mempercayakan/melepaskan program pemberdayaan fakir miskin kepada masyarakat secara mandiri. Kelak dana yang diperlukan untuk kelangsungan program ini diharapkan dapat terwujud dari dana masyarakat yang terhimpun. 5. Penguatan Kelembagaan Masyarakat Penguatan kelembagaan masyarakat ditujukan bagi potensi kelembagaan non formal maupun formal di masyarakat dalam mendukung proses pemberdayaan. Penguatan terhadap kelembagaan non formal ditujukan agar dapat memanfaatkan keterlibatan kelembagaan kekerabatan, adat, atau agama di lingkungan fakir
130
miskin. Kelembagaan non formal ini dinilai lebih dekat dengan rumah tangga miskin karena tidak memerlukan persyaratan khusus untuk terlibat di dalamnya. Sementara kelembagaan formal dinilai merupakan kelembagaan yang dekat dengan pemerintah dan jalur birokrasi. Langkah yang dilakukan adalah dengan mengidentifikasi kelembagaan formal dan non formal yang ada, mensosialisasikan kebijakan, melaksanakan bimbingan sosial dalam mewujudkan ketahanan sosial masyarakat, dan menjembatani/membangun sinergi antara lembaga non formal dengan kelembagaan formal dalam mendukung pendampingan, pengendalian, serta pengawasan. 6. Peningkatan Kerjasama Kemitraan Berdasarkan gambaran kasus P2FM-BLPS, kondisi KUBE di Kabupaten Bogor masih lemah dalam mengembalikan dana bantuan bergulir, sehingga langkah termudah untuk memperkuat usaha yang bisa dipilih KUBE adalah dengan menjalin kemitraan dengan dunia usaha yang lebih berhasil. Langkah yang diambil adalah memberikan sosialisasi kepada dunia usaha di sekitar KUBE untuk berperan serta membantu KUBE dalam hal aspek usahanya seperti, penyediaan modal, bahan baku, penjualan hasil usaha, kepastian pasar, dan lain-lain. Hal ini dapat dilakukan dengan sistem bapak angkat yang difasilitasi oleh pemerintah. 7. Peningkatan Sarana Prasarana Penunjang Kegiatan Usaha KUBE Dalam mencapai keberhasilan dan pengembangan usahanya, KUBE memerlukan dukungan akan sarana prasarana infrastruktur yang layak untuk memudahkan mobilitas usaha. Program ini juga dimaksudkan untuk mencegah keterisoliran dengan pangsa pasar KUBE di luar desa. Langkah yang diambil selain membangun
sarana-prasarana
adalah
memfasilitasi
terbentuknya
sistem
perekonomian lokal agar produk/usaha KUBE memiliki daya saing dalam hal kualitas, harga, dan efisiensi distribusi. Rancangan program, rencana tindak, pelaksana, sasaran, dan output program selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11.