STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PENYELENGGARAAN KONFERENSI PERS DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL
1. Pengertian Konferensi Pers Konferensi pers adalah acara yang secara khusus didesain untuk mengumumkan dan menjelaskan kebijakan, sikap, pendapat, posisi atau temuan tentang suatu masalah yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan kepentingan publik kepada pers. Pers di sini sebenarnya merupakan tujuan antara, karena tujuan utamanya adalah masyarakat, pengambil kebijakan atau pemerintah. Jadi dengan demikian konferensi pers dapat diartikan sebagai upaya untuk menegaskan sikap, pendapat, posisi tentang suatu masalah kepada berbagai pihak melalui perantaraan pemberitaan pers.
2. Fungsi Konferensi Pers 1) Sosialisasi dan Diseminasi Informasi: Konferensi pers dapat digunakan untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan kebijakan, keputusan,konsep atau nilai tertentu yang dianggap penting oleh DJSN kepada masyarakat. Dengan mempertimbangkan daya-jangkau media ke masyarakat luas, upaya tersebut ditempuh melalui perantaraan pemberitaan media. Sedangkan konferensi pers adalah suatu cara untuk memperoleh pemberitaan itu. 2) Publisitas dan Popularitas: Konferensi pers juga dapat digunakan untuk memperkenalkan produk, jasa, orang atau lembaga ke khalayak luas. Misalnya saja DJSN ingin lebih memperkenalkan DJSN sebagai lembaga atau Pimpinan DJSN kepada khalayak luas. Tujuannya agar DJSN dan pimpinannya semakin dikenal oleh masyarakat dan mendapatkan citra yang baik. Sarana untuk meraih popularitas dan citra yang baik ini adalah melalui publisitas media massa. Konferensi pers adalah suatu cara untuk meraih publisitas itu. Publisitas dapat diperoleh melalui berita atau iklan. Publisitas yang diperoleh melalui pemberitaan media, sifatnya tidak berbayar, gratis, berbeda dengan iklan yang harus berbayar. Namun syaratnya adalah materi yang dipublikasikan melalui pemberitaan atau yang dikonferensiperskan harus terkait dengan kepentingan publik atau nilai-nilai bersama. Mengapa demikian? Karena pemberitaan pers selalu mensyaratkan adanya kepentingan atau nilai-nilai publik ini. Berbeda dengan iklan di mana siapapun dapat memanfaatkannya untuk mempublikasikan hal-hal yang terkait dengan kepentingan privat orang, lembaga, organisasi atau perusahaan. Popularitas adalah suatu kondisi sebagai dampak dari pemberitaan yang kontinyu dan positif.
3) Mencegah Opini Publik yang Negatif: Konferensi pers juga digunakan untuk mengantisipasi munculnya opini publik yang negatif tentang lembaga, organisasi, perusahaan, orang atau produk tertentu. Misalnya saja DJSN melakukan konferensi pers untuk mencegah opini negatif tentang BPJS Kesehatan terkait dengan isu MUI mengharamkan BPJS Kesehatan. Divisi HumasDJSN dapat melakukan assessment dan pemetaan opini publik, lalu mengidentifikasi potensi munculnya wacana publik yang negatif, dilanjutkan menyusun strategi untuk mengantisipasi sekaligus mencegah hal tersebut. Salah-satunya dengan melakukan seri konferensi pers sebelum krisis opini publik yang negatif benar-benar terjadi. 4) Pembentukan Opini PublikYang Positif: Konferensi pers juga sering digunakan untuk membentuk opini publik yang positif tentang suatu produk, orang atau institusi. Fungsi ini sebagai tindak-lanjut dari fungsi ke dua tadi, yaitu pelaksanaan konferensi pers untuk tujuan meraih publisitas dan popularitas. Pembentukan opini publik yang positif misalnya dilakukan jika DJSN ingin meluncurkan produk kebijakan baru yang membutuhkan dukungan atau penerimaan masyarakat, atau jika DJSN ingin mengubah perilaku atau persepsi masyarakat terkait dengan upaya memasyarakatkan jaminan sosial. 5) Menangani Krisis Opini Publik: Jika fungsi ketiga dan keempat tadi bersifat preventif, maka fungsi kelima ini bersifat kuratif. Apa yang harus dilakukan DJSN jika telah terjadi krisis opini publik tentang jaminan sosial? Contoh kasusnya adalah ketika muncul pemberitaan “MUI Mengharamkan BPJS Kesehatan”. Setelah dilakukan forum klarifikasi, ternyata sikap sebenarnya dari MUI tidak seperti yang diberitakan pers. Pers secara umum telah menafsirkan terlalu jauh sikap MUI. Karena terlanjur menjadi konsumsi publik, penafsiran yang terlalu jauh ini menimbulkan kegaduhan politik sekaligus krisis opini publik yang menyudutkan BPJS. Dalam kondisi seperti ini, konferensi pers dapat dilakukan untuk secara perlahan-lahan memperbaiki opini publik. Konferensi pers menjadi sarana untuk menyampaikan bantahan, klarifikasi dan konfirmasi. Mengubah opini publik atau mengatasi krisis opini publik membutuhkan kesabaran, tidak dapat dilakukan hanya dengan satu konferensi pers. Dibutuhkan seri konferensi pers yang dikombinasikan dengan strategi media relations yang lain. 3.
Faktor Yang Mendukung Pelaksanaan Konferensi Pers 1) Pers membutuhkan informasi yang banyak sekali. Saat ini ada begitu banyak media di Indonesia (cetak, televisi, radio, online). Mereka terbit atau bersiaran setiap hari, dengan sekian banyak halaman atau sekian jam siaran yang harus diisi. Maka dapat dibayangkan betapa besar informasi, data dan isu yang mereka butuhkan. Salah satu
sumber informasi, data dan isu itu adalah konferensi pers yang diselenggarakan berbagai pihak. 2) Konferensi pers adalah cara mudah untuk mengumpulkan media/wartawan. Dapat dibayangkan betapa repot kita jika harus menghubungi dan mendatangi media/wartawan satu per satu. Sebaliknya konferensi pers juga menguntungkan pers. Wartawan datang ke suatu lokasi liputan dengan kepastian mendapatkan berita atau sumber berita. Sementara dalam realitas sehari-hari, wartawan sering datang ke suatu lokasi liputan dengan berspekulasi, kadang-kadang dapat berita kadang-kadang tidak. 4.
Faktor Yang Mengoreksi Efektivitas Konferensi Pers 1) Problem media massa sekarang ini bukan kelangkaan informasi, tetapi melimpahruahnya informasi. Informasi bisa datang dari mana saja dan kapan saja. Informasi bisa diperoleh wartawan dari internet dan media sosial. Dalam sehari ada begitu banyak acara, seminar, diskusi,konferensi pers yang bisa didatangi wartawan. Dalam sehari ada begitu banyak press release, pernyataan sikap, yang dikirim berbagai pihak melalui faksimile, email, sms, WhatsApp dan lain-lain kepada wartawan atau redaksi. 2) Maka paranarasumber atau sumber berita sesungguhnya juga harus bersaing untuk meraih perhatian wartawan dan pemberitaan media. Konferensi pers harus dikemas sebaik mungkin, memberikan informasi yang penting, unik atau menarik, dilaksanakan pada waktu dan tempat yang tepat agar dapat mengalahkan konferensi-konferensi pers, diskusi dan seminar yang diselenggarakan pada hari yang sama.
5. Langkah-Langkah Melaksanakan Konferensi Pers 1) Menentukan tema/topikkonferensi pers: Tema atau topik yang akan dibahas dalam konferensi pers harus jelas dan spesifik. Tema konferensi pers jangan terlalu umum, terlalu banyak atau tumpang-tindih. Tema yang terlalu umum akan terkalahkan oleh tema-tema lain yang lebih spesifik yang dilempar oleh pihak lain di saat yang sama. Tema yang banyak atau tumpangtindih akan membingungkan wartawan dalam menentukan tema mana yang akan ditulis. Harus selalu diingat, berita yang dipublikasikan media mayoritas adalah teks yang pendek, sehingga membutuhkan informasi yang ringkas dan langsung kepada pokok persoalan. Jika DJSN memiliki beberapa tema atau topik yang dianggap penting untuk masyarakat, dapat dilaksanakan seri konferensi pers di hari yang berbeda. Prinsipnya, satu konferensi pers untuk satu tema atau topik. Maksimal dua tema atau topik dalam satu konferensi pers, ini pun tidak disarankan.
Untuk menarik pemberitaan pers, suatu konferensi pers atau press release harus memberikan informasi yang baru dan aktual. Pers kurang tertarik pada iInformasi yang sudah diketahui umum atau informasi yang sudah pernah diberitakan pers. Informasi yang demikian ini tidak mendapatkan prioritas pemberitaan media.
2) Menentukan Tujuan: Untuk apakah konferensi pers dilaksanakan? Untuk mengenalkan produk kebijakan atau sikap DJSN? Apakah untuk membangun popularitas DJSN atau pimpinan DJSN? Apakah mengklarifikasi isu-isu jaminan sosial yang terlanjur menjadi konsumsi masyarakat luas? Apakah meredakan kontroversi atau krisis opini publik tentang BPJS? Tujuan umum konferensi pers telah dijelaskan di atas. Tujuan konferensi pers harus dirumuskan secara spesifik terlebih dahulu agar konferensi pers yang akan diselenggarakan dapat fokus arah pembicaraannya dan tidak ke mana-mana layaknya diskusi yang tanpa tujuan pasti. 3) Menentukan LingkupPersoalan: Penting untuk diputuskan, sejauh mana lingkup persebaran informasi yang dibutuhkan atau yang hendak dicapai dalam suatu konferensi pers. Apakah lingkup lokal, nasional atau internasional? Hal ini tergantung skala persoalan dan khalayak yang mau disasar. Apakah yang hendak dibahas adalah masalah yang skalanya nasional atau lokal? Apakah kebijakan yang akan diperkenalkan berskala internasional atau lokal? Lingkup persoalan ini akan menentukan media mana saja yang mau diundang dalam konferensi pers. Jika isunya lokal, mengapa kita harus mengundang media nasional? Jika isunya nasional, relevankah kita mengundang media lokal? Pertanyaan ini perlu dijawab sebelum menyelenggarakan konferensi pers. Kemampuan menentukan lingkup persoalan akan berimbas kepada efisiensi budget dan SDM, karena sesungguhnya kita tidak selalu harus mengundang semua wartawan atau semua media dalam suatu konferensi pers. 4) Memeriksa dan Meng-update Kontak Media: Divisi Humas atau media relations harus memiliki kontak para wartawan, redaksi media dan asosiasi wartawan yang lengkap dan updated. Demikian pula divisi Hubungan Masyarakat DJSN. Daftar kontak para wartawan dan redaksi ini harus senantiasa di-update, untuk mengantisipasi kebiasaan media menerapkan mekanisme rolling untuk para wartawannya. Banyak media mempunyai kebijakan memindahkan wartawannya dari suatu desk liputan ke desk liputan yang lain, dengan berbagai pertimbangan. Mekanisme rolling bisa dilakukan enam bulan sekali, setahun sekali dan seterusnya. Bisa saja wartawan yang
sebelumnya meliput isu jaminan sosial sudah dipindahkan ke desk liputan yang lain. Oleh karena itu, Divisi Humas harus senantiasa meng-update daftar wartawan yang menjadi jaringannya. Siapakah wartawan yang harus didekati divisi humas? Reporterpeliput di lapangan, redaktur, redaktur pelaksana, bahkan pemimpin redaksi. Divisi Humas harus memiliki jaringan ke level yang berbeda ini, tidak sebatas pada reporter yang menjadi garda depan media. Jika dimungkinkan Humas DJSN bergabung dengan jaringan sosial media para awak media: mailing list, bbm, WhatsApp para wartawan atau redaktur. Juga perlu aktif dalam kegiatan-kegiatan informal mereka: futsal, badminton, tennis dan lain-lain.
5) Menentukan Anggaran: Berapa besar anggaran untuk suatu konferensi pers? Anggaran yang dialokasikan akan menentukan seberapa besar suatu konferensi pers dan di mana akan dilakukan? Di hotel berbintang, di kafe ternama, di restauran berkelas atau di kantor? Pada dasarnya wartawan umumnya lebih senang diundang ke tempat yang representatif. Logikanya, semakin representatif tempatnya, semakin enak makanannya, semakin nyaman tempatnya, semakin banyak wartawan yang akan datang. Anggaran juga akan menentukan siapa narasumber yang diundang. Semakin terkenal, semakin pakar dan semakin penting narasumber, semakin besar honorariumnya. Popularitas narasumber juga menjadi magnet untuk menarik perhatian wartawan. Namun ada juga pertimbangan lain. Dengan efisiensi, anggaran satu konferensi pers yang besar dapat dipecah-pecah untuk menyelenggarakan dua-tiga konferensi pers di saat yang berbeda. Kemampuan menentukan tempat konferensi pers yang representatif, mudah diakses namun tidak mahal, menjadi kunci di sini. Demikian juga kemampuan memilih narasumber yang bagus namun fleksibel dalam urusan honorarium. 6) Memastikan Khalayak Sasaran: Siapa khalayak yang mau disasar dari suatu konferensi pers? Masyarakat awam, pengambil kebijakan, DPR, Pemerintah, kalangan pebisnis, kalangan pemuka masyarakat atau yang lainnya? Pada level nasional atau lokal? Memastikan ini penting agar konferensi lebih terarah, fokus dan efektif. Hal ini juga penting untuk menentukan media-media yang diundang dalam suatu konferensi pers. Misalnya saja, jika khalayak yang dituju adalah kelas menengah ke atas, maka undangan diprioritaskan untuk media seperti Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia atau Metro TV. Jika khalayak yang
dituju adalah kelas bawah, maka undangan diprioritaskan untuk media seperti Rakyat Merdeka, Harian Terbit, Koran Jakarta atau Indosiar untuk media televisinya. Jika khalayak yang dituju adalah remaja perkotaan, maka undangan diprioritaskan untuk media online seperti detik.com, kompas.com, vivanews dan lain-lain.
7) Menentukan Media Yang Diundang: Konferensi pers yang baik bukanlah konferensi yang dihadiri banyak wartawan, tetapi konferensi pers yang dihadiri oleh wartawan yang benar-benar memahami masalah yang dibahas dalam konferensi pers dan berkomitmen untuk menulis berita.Sering terjadi, banyak wartawan datang ke suatu konferensi pers, tapi bukan untuk meliput, tetapi untuk mencari makan gratis atau uang transport. Jadi target penyelenggaraan konferensi pers harus jelas, untuk wartawan atau media yang mana. Kadang-kadang penyelenggara konferensi pers memaksakan diri mengundang wartawan televisi, dengan biaya ekstra. Padahal syarat untuk bisa diberitakan televisi sangat tinggi: harus ada skandal, harus ada gambar yang dramatis, dan harus “menjual”. Saat ini, jarang stasiun televisi memberitakan konferensi pers, kecuali menyangkut kasus-kasus yang besar dan menjadi perhatian publik. Siapa wartawan yang diundang tergantung kepada tujuan konferensi pers dan audience yang menjadi sasaran. Jika sasarannya adalah DPR, maka kita harus tahu apa media yang diakses kebanyakan anggota DPR. Jangan-jangan mereka notabene hanya membaca harian Kompas dan detik.com? Jika demikian, barangkali diberitakan dua media ini menjadi lebih penting dibandingkan diberikan belasan media lain, yang jarang dibaca oleh para anggota DPR. Ini sekedar perumpamaan. Banyak anggota DPR senang ketika press release-nya dimuat oleh media-media onlie dalam waktu yang sangat cepat. Padahal siapa tujuan dari press release itu? Jika tujuannya adalah pemerintah, pertanyaannya apakah kalangan pemerintah mengakses media-media online? Jika tujuannya adalah konstituen, apakah konstituen anggota DPR yang berada di daerah-daerah telah mengakses internet? Jangan-jangan radio media massa yang paling sering mereka akses? Sekali lagi, menentukan wartawan atau media yang akan diundang dalam konferensi pers sangat penting, agar konferensi pers tepat sasaran dan tidak mahal di biaya dan tenaga yang dialokasikan.
8) Memilih TempatPelaksanaan: Di mana konferensi pers baiknya dilaksanakan? Di kantor, di hotel, di kafe, di restauran? Konferensi pers bisa dilaksanakan di mana saja, tergantung pada anggaran. Konferensi pers ditempat yang mewah dan mahal memang lebih menarik perhatian wartawan, namun tidak harus dipaksakan senantiasa demikian. Yang penting adalah dipastikan bahwa tempat penyelenggaraan konferensi mudah diakses wartawan: di tengah kota, di dekat pusat keramaian, di dekat kompleks perkantoran media, di dekat gedung DPR atau pemerintahan, tidak macet parah dan parkirannya leluasa. Penting dipastikan tempat yang dipilih untuk konferensi pers nyaman untuk beraktivitas bagi para wartawan: berpendingin ruang, memiliki sound system bagus, tidak berisik (kedap suara), kursinya nyaman, memiliki tata-panggung memadai. 9) Memilih Waktu Pelaksanaan: Kapan konferensi pers akan dilaksanakan? Pagi hari, siang, sore atau malam hari? Yang perlu dipertimbangkan di sini adalah jam berapa tenggat-waktu (deadline) kerja para wartawan atau jam berapa mereka harus kembali ke kantor masing-masing untuk menulis berita. Wartawan media cetak dan televisi umumnya akan kembali ke kantor redaksi masing-masing sekitar jam 15.00 – 17.00 untuk menulis berita. Oleh karena itu, konferensi pers untuk media cetak atau televisi sebaiknya dilakukan sebelum jam 14.00. Untuk media online, deadline kerja tidak dibatasi waktu. Wartawan media online dapat menulis dan mengirimkan berita ke redaksi kapan saja. Konferensi pers untuk mereka, dapat dilakukan kapan saja dari pagi hingga malam hari. Namun wartawan media online belakangan lebih suka jika informasi atau press release dikirimkan lewat email, atau dalam wujud statemen pendek dikirimkan melalui bbm atau WhatsApp. Namun jika konferensi pers ditujukan untuk semua wartawan dari semua jenis media, konferensi pers sebaiknya dilakukan sebelum jam 14.00. Kecuali jika ada perkembangan yang sangat penting dan urgent, konferensi pers dapat dilakukan sore atau malam hari. Konferensi pers sebaiknya dilakukan pada Weekend atau Weekday?Umumnya, konferensi pers dilakukan pada hari kerja, menyesuaikan dengan agenda dan jadwal kerja perusahaan atau instansi. Namun yang perlu dipertimbangkan, pada hari kerja, ada begitu banyak seminar, workshop, diskusi publik, konferensi pers diselenggarakan pada saat yang hampir bersamaan. Perhatian wartawan/media menjadi terpecah-pecah, dan sumber berita atau penyelenggara konferensi pers harus bersaing sengit untuk meraih perhatian media. Dalam konteks ini,
menyelenggarakan konferensi pers pada hari Sabtu-Minggu perlu dipertimbangkan. Konferensi pers pada weekend memang sedikit merepotkan karena staf harus bekerja di hari libur. Namun sering kali lebih efektif karena praktis pelaksanaan seminar, diskusi dan forum publik tidak sebanyak pada Weekend, sehingga tidak banyak saingan untuk meraih perhatian media. Sementara dari sisi media, kebutuhan informasi untuk media pada Weekend sama banyaknya dengan kebutuhan informasi pada Weekdays. Media Massa tetap harus beroperasi atau bersiaran pada Weekend dengan frekuensi dan durasi yang sama. Harus diingat, koran yang kita baca hari Senin disiapkan pada hari Minggu! Sehingga Hari Minggu itu adalah hari kerja buat para wartawan. Tidak ada hari libur untuk perusahaan media massa! 10) Berapa Lama Konferensi Pers Dilaksanakan? Konferensi pers yang baik adalah konferensi pers yang singkat dan tidak berkepanjangan. Jika bisa selesai satu jam, jangan dibikin dua jam! Jika bisa selesai 45 menit, jangan dibikin 60 menit! Mengapa demikian? Karena waktu yang disediakan wartawan tidak banyak. Banyak wartawan harus menulis lebih dari satu berita dalam sehari. Banyak wartawan harus pergi ke lebih dari satu lokasi liputan dalam sehari. Maka penyelenggara konferensi pers harus memiliki empati pada kondisi kerja wartawan yang demikian ini. Caranya dengan mengemas acara konferensi pers yang tidak berpanjang-panjang. Yang penting substansi persoalan tersampaikan dengan baik. Jika memerlukan pendalaman, wartawan biasanya secara pribadi akan melakukan wawancara terhadap narasumber tertentu setelah konferensi pers usai. 11) Memilih Narasumber: Narasumberdalam suatu konferensi pers sebaiknya tidak terlalu banyak. Jangan lebih dari tiga orang, dan dua orang lebih ideal. Tujuannya agar pembicaraan bisa fokus dan tidak berkepanjangan. Terlalu banyak narasumber akan menimbulkan terlalu banyak sudut-pandang atau informasi. Hal ini bisa menyulitkan wartawan dalam membuat fokus liputan. Lagi pula, toh sudah ada press release yang dibagikan kepada wartawan. Sekali lagi perlu diingat, waktu yang disediakan wartawan untuk sebuah konferensi pers umumnya tidak banyak. Demikian juga dengan space yang disediakan media untuk memberitakan suatu konferensi pers. Narasumber dalam konferensi pers harus kompeten, kredibel dan memiliki kemampuan public speaking memadai. Jangan terlalu dominan public speakingnya sehingga kurang terlihat hal yang substansial dari paparan narasumber.
Namun juga jangan pula paparan narasumber terlalu kering karena tidak mampu berimprovisasi dan memberikan ilustrasi-ilustrasi. Untuk menarik perhatian audience, ada kalanya konferensi pers mengundang narasumber yang terkenaldari kalangan eksternal.Pada prinsipnya dalam jurnalisme dikenal adagium “ada nama ada berita” (the names make news). Namun tentu saja hal ini harus mempertimbangkan anggaran yang tersedia dan urgensi.
12) Jangan Remehkan Moderator! Peran moderator sejauh ini sering disalahpahami dan diremehkan dalam konteks penyelenggaraan konferensi pers, seminar atau diskusi. Moderator dianggap sebagai pelengkap yang dapat diperankan sembarang orang. Padahal posisi moderator sangat penting dan menentukan bagi kesuksesan diskusi. Bahkan dalam kasus tertentu, peran moderator lebih penting dari peran narasumber. Moderator harus paham substansi persoalan, mengetahui sudut-pandang para narasumber, mempunyai kemampuan mengatur diskusi, mempunyai selera humor, dan harus memahami psikologi khalayak. Tugas moderator juga lebih berat: mengikuti pembicaraan narasumber, mencatat point-point penting, mengatur waktu, membangkitkan partisipasi para hadirin dan membuat kesimpulan akhir. Oleh karena itu, jangan meremehkan posisi moderator dalam penyelenggaraan konferensi pers. Moderator diskusi dipilih berdasarkan kualifikasi-kualifikasi di atas. Moderator harus diperlakukan sejajar dengan narasumber. 13) Memanfaatkan Momentum: Konferensi pers sering dilakukan dengan memanfaatkan momentum tertentu. Konferensi pers jenis ini dilakukan untuk merespons keadaan tertentu, mensosialisasikan kebijakan atau untuk sekedar menyampaikan seruan moral. Misalnya, menyampaikan keprihatinan sosial atau simpati kepada korban bencana alam: banjir, kabut asap, gunung meletus dan lain-lain. Pesan keprihatinan sosial dapat dikombinasikan dengan pesan-pesan yang merupakan bagian dari misi DJSN. Konferensi pers juga perlu dilaksanakan untuk memberikan ucapan selamat kepada masyarakat yang merayakan hari-hari besar agama, Idul Fitri, Natal, Waisak, Nyepi dan lain-lain. Konferensi pers juga bisa dilakukan DJSN dalam rangka Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, Hari Buruh Internasional dan semacamnya. Konferensi pers juga dapat dilaksanakan pada momentum ulang tahun lembaga, peluncuran produk atau kebijakan baru.Momentum-momentumini
dimanfaatkan untuk menyampaikan seruan moral atau himbauan publik tertentu terkait dengan posisi dan fungsi DJSN. 14) Menyusun Press Release: Press release adalah pernyataan, sikap, pandangan tertulis tentang suatu masalah yang disampaikan dalam suatu konferensi pers atau yang secara langsung dikirimkan ke redaksi media. Berikut ini disampaikan kiat menyusun press release: a. Press release harus membahas masalah yang spesifik. Jika ada dua masalah yang sama-sama pentingnya bagi DJSN, lebih baik diselenggarakan dua konferensi pers yang berbeda atau membuat dua press release yang berbeda. Jika dua masalah ini disampaikan pada konferensi pers atau press release yang sama, kemungkinan besar hanya satu masalah saja yang akan diberitakan media. Perlu diperhatikan, space pemberitaan yang disediakan media sangat terbatas untuk suatu konferensi pers atau press release. b. Press release harus membahas masalah aktual, unik atau penting. Jika masalah yang dibahas tidak aktual, atau tidak ada hubungannya dengan perkembangan atau situasi terkini di kehidupan publik, sulit bagi media untuk memberitakannya karena masih ada masalah-masalah lain yang lebih aktual. Kecuali jika masalahnya bersifat unik atau penting bagi publik, meskipun tidak aktual, tetap mempunyai peluang besar untuk diberitakan. Misalnya ada temuan-temuan tertentu terkait dengan akses masyarakat terhadap jaminan sosial, data-data baru, kasus atau perkembangan baru yang perlu diketahui publik. c. Judul press releasesebaiknya bersifat lugas dan menukik pada pokok persoalan (to the point). Judul press release yang terlalu normatif atau terlalu umum, kurang menarik perhatian wartawan, dan akan terkalahkan oleh press release lain yang lebih menarik dan lugas. d. Press release harus singkat dan padat. Jika bisa dua halaman, jangan dibikin tiga halaman. Jika bisa satu-setengah halaman, jangan dibikin lebih dari dua halaman. Semakin panjang halaman press release, semakin besar potensinya untuk tidak dibaca wartawan. Indikator lain bahwa press release terlalu panjang, wartawan masih bertanya-tanya banyak kepada narasumber setelah konferensi pers berakhir. e. Isi press release tegas, terang dan tidak bersifat multitafsir. Press release pada dasarnya adalah deklarasi tentang sikap, posisi, kesimpulan dan pendapat. Informasi atau data baru memang penting dalam press release, namun yang lebih menarik perhatian pers adalah penegasan sikap, posisi,
kesimpulan dan pendapat tentang masalah-masalah yang terkait dengan kepentingan publik. f. Press release dibagikan kepada wartawan saat konferensi pers, lalu kemudian juga perlu dikirimkan ke email wartawan atau email redaksi media. Hal ini untuk mengantisipasi jika ada wartawan yang tidak datang dalam konferensi pers namun sebenarnya ingin menulis berita. Jadi press release tidak cukup hanya dibagikan waktu konferensi pers. g. Jika press release bersifat urgent atau penting sekali, perlu dibikin versi pendeknya dan dikirimkan melalui bbm, sms dan Whats Apppara wartawan. Di sini sekali lagi sangat diperlukan kedekatan Humas dengan komunitas wartawan.
6. Kiat-Kiat Media Relations 1) Meng-updateKontak Para Wartawan: Divisi Humas atau Media Relations secara kontinyu harus meng-update nomor kontak para wartawan. Perlu diperhatikan, wartawan yang meliput suatu isu selalu berubah karena media tempat mereka bekerja melakukan mekanisme rolling: mengubah desk liputan para wartawannya setiap 6 bulan, setahun atau dua tahun sekali dengan berbagai pertimbangan. Hal lain yang perlu diperhatikan, tingkat perpindahan wartawan antar media juga tinggi, dan bisa jadi di media yang baru wartawan menangani desk liputan yang berbeda dengan di media sebelumnya. Selain itu, yang harus dikenal dengan baik oleh Humas bukan hanya wartawan, tetapi juga redaktur dan pemimpin redaksi. Posisi mereka juga bisa berubah setiap saat. Jadi intinya, kontak (nomor handphone, email, nomor faksimile dan alamat media) wartawan dan redaktur harus senantiasa di-updated/diperbarui. Jika hal ini sulit dilakukan untuk semua wartawan dan semua media, minimal harus dapat dilakukan untuk sebagian besar wartawan dan media. 2) Menjaga Hubungan Dengan Wartawan: Divisi Humas atau Media Relations juga harus menjaga hubungan baik dengan komunitas wartawan. Bagaimana caranya? Dengan melakukan komunikasi interpersonal secara intensif melalui telepon, sms, Whats App, email, dengan mengadakan kunjungan ke kantor redaksi, atau dengan mengundang mereka untuk makan bersama atau minum kopi bersama sambil ngobrol informal. Hal ini perlu dilakukan secara rutin sebulan, dua
bulan atau tiga bulan sekali, tidak hanya dilakukan ketika muncul persoalan pemberitaan atau muncul krisis opini publik terkait dengan jaminan sosial atau DJSN. Apakah semua wartawan harus diundang? Tergantung kepada anggaran dan kebutuhan. Pada intinya tidak harus semua wartawan diundang. Misalnya yang diundang DJSN cukup wartawan yang membidangi persoalan jaminan sosial atau wartawan yang berasal dari media besar. Opsi yang lain, wartawan diundang secara bergantian. Bulan ini mengundang 15 wartawan, bulan depan mengundang 15 wartawan yang lain. 3) Mengetahui Tempat Wartawan Berkumpul: Divisi Humas harus mengetahui lokasi-lokasi di mana para wartawan sering berkumpul, baik secara formal maupun informal. Apakah di media center DPR, di Kantor KPU, di Dewan Pers, di sekitar Taman Ismail Marzuki, di Kantor PWI/AJI, atau di kafe tertentu? Mengetahui tempat ini penting agar pelaksanaan konferensi pers dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Jika secara anggaran harus dilakukan efisiensi, konferensi pers tidak perlu selalu diselenggarakan di hotel mewah. Menggunakan tempat-tempat di mana wartawan sering muncul adalah opsi yang bijaksana. Lebih murah dari sisi biaya, dan lebih simpel dalam hal teknis pelaksanaannya. Tidak perlu persiapan yang ribet, tidak perlu repot mengundang wartawan satu per satu, namun konferensi pers tetap dapat dilaksanakan dengan kehadiran banyak wartawan, dengan peluang besar untuk diberitakan banyak media massa. 4) Jangan Mudah Menyerah! Jika sebuah konferensi pers atau press release tidak mendapatkan pemberitaan media yang cukup, kita tidak seharusnya mudah menyerah. Harus dicoba lagi dengan konferensi pers atau press release berikutnya. Mengapa konferensi pers tidak mendapatkan pemberitaan media? Bisa jadi strateginya yang salah, tempat dan waktunya yang dipilih kurang tepat, isu atau kemasan isunya kurang menarik. Namun bisa jadi strateginya sudah benar, namun masalahnya adalah di saat bersamaan ada begitu banyak obyek pemberitaan yang menarik atau penting di mata pers. Maka jika konferensi pers tidak berhasil, jangan terlalu menyalahkan diri sendiri atau menyalahkan wartawan! Perbaiki segi-segi yang mendukung keberhasilan konfeerensi pers sebagaimana telah dibahas, lalu dicoba lagi pada kesempatan berikutnya. Hari ini konferensi pers kita tidak mendapatkan pemberitaan karena banyaknya peristiwa publik, besok mungkin kondisinya akan lain. Konferensi pers kita akan mendapatkan pemberitaan media karena tidak banyak peristiwa publik yang menjadi saingan dalam memperoleh pemberitaan media. Dalam hal ini, disarankan untuk mencoba
menyelenggarakan konferensi pers di akhir pekan ketika peristiwa-peristiwa publik tidak sebanyak pada awal atau pertengahan pekan. 5) Perencanaan Media Relations: Divisi Humas perlu menyusun perencanaaan tahunan media relations. Pertanyaannya adalah, akan menyelenggarakan konferensi pers atau media event yang lain (media visit, editor meeting, pelatihan jurnalistik) berapa kali dalam setahun? Berapa anggaran yang dialokasikan, bekerja sama dengan institusi mana dan dalam rangka apa saja? Konferensi pers dan media eventlainnya harusnya diselenggarakan tidak hanya ketika muncul kasus publik atau krisis opini publik terkait dengan isu-isu jaminan sosial. Konferensi pers, media visit atau editors meeting yang ideal diselenggarakan secara proaktif atau preventif guna mengantisipasi dan menghindari keadaan-keadaan krisis opini publik. 6) Audit Media Relations: Perlu dilaksanakan audit media relations secara rutin setiap tahun. Pembentukan namabaik danpersepsipublik yang positif adalah kebutuhan tak terbantahkan dari semua badan publik di era sekarang ini, termasukbagi DJSN. Oleh karena itu, pemberitaan media adalah bagian penting dari strategi kehumasan. Strategi media relationsmenjadi kebutuhan. Pertanyaannya, apakah suatu badan publik sudah merumuskan strategi media relations? Apakah suatu badanpublik telah menjalankan media relations secara benar? Apakah strategi media relations yang dijalankantelahkompatibel dengan perkembangan terkini paraaraspsikologi khalayak, komunikasi massa, teknologi informasi, dan cara kerja media?Dalam konteks inilah, perludilaksanakan audit strategimedia relations. Audit iniakanmemeriksakeseluruhanstrategidantindakanmedia relations yang dilakukansuatulembaga. Tujuannyaadalahmemberikanevaluasidanrekomendasi, sertamembantumerancangulang strategi media relations secara komprehensif untuk badan publik.
7) Menentukan Skala Prioritas Media: Wartawan manakah yang diundang dalam suatu konferensi pers? Wartawan media cetak, radio, televisi atau media online? Wartawan media nasional atau lokal? Wartawan ekonomi, atau wartawan politik? Agar konferensi pers tidak mahal diongkos sementara efektivitasnya biasa-biasa saja, perlu disusun skala prioritas di sini.
Tergantung pada anggaran yang ada dan tujuan konferensi pers, sebagaimana telah dijelaskan di atas. 8) Menghindari Penggunaan Istilah Asing Terlalu Banyak: Dalam pelaksanaan konferensi pers atau dalam naskah press release, sebaiknya dihindari penggunaan istilah asing yang berlebihan. Sedapat mungkin istilah asing dicari terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa asing sering membingungkan wartawan dan kemudian menstimuli munculnya berita yang spekulatif atau salah. Tingkat penguasaan bahasa asing para wartawan umumnya masih rendah, dan kita perlu menyesuaikan diri dalam hal ini. 9) Hindari Pemberian Uang Kepada Wartawan, Ganti Dengan Souvenir: Memberikan uang kepada wartawan yang sedang melakukan liputan, apa pun alasannya, tidak dibenarkan secara jurnalistik. Praktek semacam ini harus sedapat mungkin dihindari. Sudah melanggar ketentuan UU Pers No. 40 tahun 1999, juga lebih sering tidak ada manfaatnya untuk kebutuhan dan nama baik lembaga. Kebanyakan wartawan yang mau menerima amplop adalah wartawan yang tidak profesional atau bahkan tidak memiliki media yang jelas. Jadi sedapat mungkin dihindari memberikan uang kepada wartawan, termasuk ketika melaksanakan konferensi pers. Yang dapat diberikan kepada wartawan adalah souvenir yang nilainya tidak lebih dari Rp. 100.000,-. Souvenir seharga ini secara jurnalistik dianggap tidak sampai mempengaruhi independensi dan profesionalisme wartawan. Memberikan makanan dan minuman kepada wartawan juga diperbolehkan karena masih dalam batas kepantasan dan kewajaran. 10) Pemberian Uang Kepada Wartawan Yang Ditolerir: Namun memberikan uang kepada wartawan diperkenankan jika urusannya bukan liputan jurnalistik. Misalnya wartawan diundang menjadi narasumber diskusi atau seminar, menjadi moderator atau menjadi bagian dari kepanitiaan. Juga ketika wartawan diundang sebagai peserta pelatihan atau workshop, dan dialokasikan uang transport untuk seluruh peserta. Kedatangan wartawan dalam acara tersebut murni sebagai peserta, bukan dalam rangka liputan jurnalistik. Uang transport atau uang makan dalam jumlah yang wajar juga dapat diberikan ketika wartawan diundang untuk mengikuti “kunjungan jurnalistik” ke lokasi perusahaan, lokasi tambang atau lokasi
perkebunan, atau jika diundang dalam kunjungan resmi kedinasan ke luar daerah atau luar negeri. 11) Kelayakan dan Keterbukaan Tentang Honorarium Narasumber dan Moderator Perlu disiapkan honorarium yang pantas untuk narasumber dan moderator konferensi pers atau acara publik yang lain, terutama yang berasal dari kalangan eksternal. Berapa honor yang pantas? Jumlahnya relatif. Standar untuk korporasi dan lembaga publik biasanya berbeda. Ada baiknya divisi Humas mengetahui “tarif” setiap narasumber dan mencoba memberikan honorarium yang sama atau yang mendekati “tarif” itu. Jika secara peraturan tidak bisa, atau masih terlalu jauh, maka harus ada keterbukaan sedari awal tentang persoalan honorarium tersebut. Hal ini penting untuk menghindari salahpaham atau ketersinggungan yang tidak perlu, serta untuk melahirkan kesan profesional pada lembaga penyelenggara konferensi pers atau acara publik. Perlu dipertimbangkan pula untuk memberikan honorarium dalam jumlah yang kurang-lebih sama untuk narasumber dan moderator. Tugas moderator sesungguhnya lebih berat dari narasumber. Moderator juga dituntut memiliki kompetensi atau penguasaan masalah yang sama dengan narasumber.