EFEKTIFITAS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG POLIS ASURANSI SYARIAH DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN UU NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Studi Kasus AJB Bumiputera 1912 Cabang Syariah)
Skripsi
Oleh Mohamad Ihsan NIM : 102046225379
KONSENTRASI ASURANSI SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT(EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
EFEKTIFITAS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG POLIS ASURANSI SYARIAH DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN UU NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI KASUS AJB BUMIPUTERA 1912 CABANG SYARIAH) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Islam (SE.I) Oleh :
Mohamad Ihsan NIM : 102046225379
Dibawah Bimbingan Pembimbing 1
Pembimbing 2
H. Sugiyarno, SE, MM, AAAI-J
Drs. H. Hamid Farihi, M.A NIP : 150.228.413
KONSENTRASI ASURANSI SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT(EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429/2008
ABSTRAK
Mohamad Ihsan (102046225379), Efektivitas Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Polis Asuransi Syariah ditinjau dari Hukum Islam dan UndangUndang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, 81 hal. Asuransi adalah suatu bentuk usaha jasa dalam bidang perlindungan terhadap kemungkinan terjadinya peristiwa yang tidak diinginkan atau terjadi kerugian. Mekanismenya adalah pihak yang ingin mendapatkan perlindungan membayar sejumlah uang kepada pihak yang menyediakan perlindungan, perusahaan asuransi. Asuransi bertujuan memperkecil resiko. Konsumen merasakan manfaat yaitu pihak keluarga konsumen yang ditunjuk namanya dalam polis akan menerima pertanggungan, jika tertanggung mengalami kerugian akibat kecelakaan sakit atau bahkan kematian, yang bertujuan meringangankan beban. Keterkaitan hubungan konsumen (tetanggung/pemegang polis) dengan pihak perusahaan muncul ketika sejak adanya kata sepakat dari konsumen kepada pihak perusahaan asuransi. Pada dasarnya, perjanjian dibuat berdasarkan kesepakan bebas antara dua pihak yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas. Dalam praktek, pencatuman klausula baku yang dilakukan asuransi menunjukan bahwa ada kedudukan yang tidak simbang. Hal ini dapat dilihat dalam pembuatan perjanjian, utamanya dalam polis asuransi, yang mengandung klausula baku dimana salah satu pihak lebih dominan dari pihak lainnya. Seharusnya ketentuan dalam polis dibuat secara berimbang sehingga tidak merugikan konsumen terutama dalam menyelesaikan klaim asuransi. Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengetahui hubungan antara asas kebebasan berkontrak, perjanjian baku dan ketentuan Pasal 18 UUPK dengan Hukum Islam serta mengkaji dan menganalisa bagaimana penerapannya ketentuan Pasal 18 UUPK dalam polis asuransi syariah. Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan, klausula baku yang bertentangan dengan dengan UUPK, yang terdapat dalam polis asuransi syariah adalah yang esensinya secara mendasar telah mengalihkan tanggung jawab pelaku usaha kepada tertanggung/pemengan polis sebagai konsumen asuransi. Selanjutnya, klausula baku yang menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjuatan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dikemudian hari. Dengan masih adanya klausula baku yang melanggar Pasal 18 UUPK dalam polis asuransi seperti yang diuraikan diatas, maka konsumen berhak untuk menuntut agar klausula-klausula tersebut dinyatakan batal demi hukum. Dengan demikian, menurut hemat penulis, pelaku usaha perlu melakukan evaluasi terhadap polis asuransi yang beredar pada masyarakat dan menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsuemen.
ا ا ا
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbi al-âlamîn, sujud syukur penulis haturkan ke Dzat yang Maha Rahmân bagi semesta alam dan Rahîm bagi semua hamba yang selalu menjalankan perintah-Nya, yang telah menciptakan rasa cinta dan kasih pada hati manusia. Washalâtu wasalâm ‘alâ rasûlillah senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad Saw (yang tak pernah lelah untuk selalu membimbing umatnya dengan penuh kasih sayang), kepada keluarganya, sahabatnya serta ummatnya sepanjang zaman. Semoga kita mendapat syafa’atnya di yaumu al-Ba’ats, amîn. Penulis bersyukur, setelah proses yang cukup panjang yang syarat akan ganngguan dan hambatan, akhirnya dengan limpahan kasih sayang-Nya, penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul " EFEKTIFITAS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG POLIS ASURANSI SYARIAH DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Studi Kasus AJB Bumiputera 1912 Cabang Syariah)". Penulis menyadari betapa sederhana karya tulis ini dan jauh dari sempurna. Namun penulis juga tidak menutup mata akan peran berbagai pihak yang telah banyak membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Perkenankanlah penulis untuk mengucapkan kata terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Bpk. Prof. DR. H. M. Amin Suma SH., MA., MM., sebagai Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Ibu. Euis Amalia M. Ag. dan Bpk. Ah. Azharudin Lathief, M.Ag., MH. sebagai Ketua dan Sekretaris Jurusan Muamalat (Ekonomi Islam) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syahid Jakarta. 3. Bapak H. Sugiayarno, SE, MM, AAAIJ dan Drs. H. Hamid Farihi, M. Ag. selaku dosen
pembimbing
yang
senantiasa
membimbing
penulis
dan
senantiasa
meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Dr. H. A. Juaini Syukri, M.Ag dan Drs. H. Burhanudin Yusuf, MM selaku dewan penguji skripsi. 5. Seluruh staf dan karyawan AJB. Bumiputera 1912 Cabang Syariah, yang telah sudi menerima penulis untuk melakukan riset dan mau membantu memberikan data yang diperlukan guna penyelesaian skripsi ini. 6. Pimpinan dan staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syahid Jakarta, tempat penulis memperoleh berbagai informasi dan sumbersumber skripsi. 7. Para dosen yang telah mencurahkan ilmunya kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus membantu penulis dalam proses penulisan skripsi ini. 8. Yang tercinta Ayahanda (M. Sutikno) dan Ibunda (Siti Musriah), yang dengan ikhlas selalu mengajarkan dan memberikan dorongan kepada penulis dalam menjalankan kehidupan ini. Sebagai seorang anak, penulis belum bisa membalas jasa keduanya kecuali berdo’a semoga Allah SWT memberikan hati yang sabar serta balasan yang terbaik atas semua amal mereka dan selalu melimpahkan rahmat dan Inayah-Nya. 9. Kakak tercinta, Siti Sholeha, Siti Salamah, M. Fauzi, M. Rifai, SE. M. Warham, SH, M. Ainur R, M. Hari Fachreza, SH., Siti Komaerini, yang selalu memberikan nasehat-nasehatnya agar penulis menjadi lebih baik. Kaulah kakak dan sahabat terbaik penulis. Adiku Siti Nurul Mariana tersayang yang selalu menjadi motivasi bagi penulis dalam menjalani hidup ini. Serta semua keponakanku, Semoga kalian semua lebih baik dari penulis. 10. Mas Huda SH. MH, Mas Bahrul Muhtasib, SE.I, M.Si, Mbak Siti Kalimah S.Sos, Matur suwun wejangane lan singgahane. 11. Sahabat-sahabat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum : Nur Sholah “Gus Beks” Ardiansyah “Buyung”, A. Hudori, Imam Musthofa, Mustholeh, Hasby, Suhud, Reva Arbano, M. Budi Setiawan, Oenk,
Fais, Asep, Hamdi, Ozi, De2, Simon, (sahabat dan teman diskusi yang baik) Semoga persahabatan kita tak akan lapuk oleh masa.
12. Buat teman-teman Asuransi Syariah angkatan 2002 : Dondi, Bidin, Hamdi, Ues, Fuad, Edo, Mexi, Amsari, Muis, Harly, Rihlah, Ella, Iyom, Ainun, Yayah, Inay dan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, semoga tali silaturahmi kita tetap tejalin. 13. Kepada pihak-pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih semoga semua amalan yang telah anda lakukan dicatat sebagai amalan kebaikan kelak di akhirat. Amin.
Akhir kata, penulis berharap kritik dan saran terhadap karya tulis ini yang jauh dari sempurna. Dan semoga karya sederhana ini bermanfaat khususnya bagi pihak-pihak yang peduli terhadap Asuransi Syariah dan umumnya untuk semua pihak pemerhati Ekonomi Islam. Wassalam.
Depok, 22 September 2007 Ramadhan 1428 H
Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB II
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
12
D. Metode Penelitian
13
E. Sistematika Penulisan.
15
TINJAUAN UMUM AKAD ASURANSI SYARIAH
16
A. Tinjauan Akad Asuransi Syariah
16
B. Pengertian Akad dalam Asuransi Syariah
17
C. Syarat Sahnya Akad Asuransi Syariah
19
D. Jenis-jenis Akad Asuransi Syariah
24
E. Polis Asuransi Syariah
28
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG AJB BUMI PUTERA 1912
35
A. Sejarah Berdirinya AJB Bumiputera
35
B. Latar Belakang Berdirinya Divisi Syariah
36
C. Falsafah Visi dan Misi
37
D. Landasan Operasional
39
E. Produk-produk dan Manfaatnya
42
F. Stuktur dan Keanggotaan AJB Bumiputera 1912 Cabang Syariah
49
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG POLIS DALAM AKAD ASURANSI SYARIAH PADA AJB BUMIPUTERA 1912 CABANG SYARIAH
52
A. Hubungan Akad Asuransi Syariah dengan Hukum Islam
52
B. Hubungan
Antara
UUPK No 8 1999 C. Penerapan UUPK
Penerapan
Akad
Asuransi
Syariah
dengan 55
No 8 Tahun 1999 pada Akad Asuransi Syariah
62 D. Dampak Penerapan UUPK No 8 Tahun 1999 pada Akad Asuransi Syariah 68 BAB V PENUTUP
70
A. Kesimpulan
71
B. Saran
72
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada umumnya hampir semua kegiatan dalam kehidupan manusia tidak dapat dihindarkan dari suatu risiko, dimana risiko yang terjadi salalu membawa dampak yang kurang menguntungkan. Risiko tersebut dapat berupa sakit, kecelakaan, kematian dalam usia muda, hilangnya harta benda proses ketuaan lebih awal mengakibatkan kelemahan fisik, hilangnya pekerjaan sehingga pendapatan keluarga terhenti, dan sebagainya. Oleh karenanya, manusia selalu berusaha keras untuk mendapatkan pengamanan sejak mereka ada. Pada mulanya, rasa aman itu ada apabila ada jaminan atas tersedianya makanan dan tempat tinggal. Apabila kita membaca sejarah kerajaan Mesir kuno, kita dapat mengetahui bagaimana rakyat Mesir meyisihkan sebagaian dari hasil panennya sewaktu memperoleh hasil panen yang baik, guna mengamankan persediaan makanan sewaktu mereka berada pada musim kering.1 Dalam menghadapi risiko kemungkinan kehilangan atau kerugian manusia mengambil sikap: 1. Melakukan Antisipasi.
1
hal. 1
Agus Prawoto, Hukum Asuransi dan Kesehatan Asuransi ( Yogyakarta : BPFE,1995),
Cara yang paling jelas dan mudah adalah menghindari risiko. Kita dapat menghindari kemungkinan risiko luka atau kematian akibat kecelakaan pesawat terbang atau kita dapat menghindari risiko rugi pada bursa saham dengan tidak membeli saham. 2. Menghindari risiko. Kita dapat mengontrol risiko dengan cara pencegahan. Untuk mencegah kemungkinan kehilangan mobil kita dapat menerapkan langkah-langkah pencegahan seperti pemasangan kunci ekstra, alarm mobil. 3. Menerima kemungkinan terjadinya risiko. Menerima risiko berarti menerima semua tanggung jawab finansial pada risiko tersebut. 4. Mengalihkan kemungkinan kerugian atau kehilangan tersebut supaya tidak terjadi. Ketika seseorang mentransfer atau mengalihkan risiko ke pihak lain, orang itu mengalihkan tanggung jawab finansialnya untuk suatu risiko kepada pihak lain yang membayar jasa tersebut. Cara paling umum untuk individual, keluarga, dan bisnis untuk metode ini biasanya melalui asuransi. Sikap-sikap diatas dapat mengatasi risiko yang dihadapi, sehingga sejak lama orang mencari cara lain untuk mengatasi risiko tersebut yang sekarang dikenal sebagai lembaga asuransi.2
2
Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, (Jakarta: Sinar Grafika,1992). hal 15
Dalam pandangan ekonomi, asuransi merupakan metode untuk mengurangi risiko dengan jalan memindahkan dan mengkombinasikan ketidakpastian akan adanya kerugian keuangan (financial).3 Dari sudut pandang hukum, asuransi merupakan suatu kontrak (parjanjian) pertanggungan risiko antara tertanggung sama penanggung. Penanggung berjanji akan membayar kerugian yang disebabkan terjadinya risiko yang dipertanggungkan. Sedangkan tertanggung membayar premi secara periodik kepada penanggung. Di dalam industri asuransi, secara operasional, risiko itu diartikan sebagai kerugian yang tidak pasti. Artinya, risiko mempunyai dua unsur, yaitu mungkin terjadi mungkin tidak.4 Ada beberapa macam resiko yang perlu di pertimbangkan: 1. Risiko Murni (pure risk) Yaitu suatu risiko yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga sebelumnya. Kalau ketidakpastian itu terjadi, maka yang ada hanya kerugian.
2.
Risiko spekulasi (spekulatif risk) Pada risiko ini, terdapat dua kemungkinan, yaitu kemungkinan untuk memperoleh keuntungan atau kerugian. Contohnya seorang menderita kerugian bila harga saham itu turun atau akan mendapatkan keuntungan bila harga saham itu naik. 3
AM. Hasan Ali, AsuransDalam Pespektif Hukum Islam Suatu Tinjauan analisis Historis Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Kencana, 2004) hal. 60 4 Soeisno Djojosoedarso, Prinsip-PrinsipManajemen Risiko dan Asuransi (Jakarta. Salemba Empat) hal. 3
Tidak semua risiko dapat diasuransikan atau dipertanggungkan. Risiko yang dapat diasuransikan sebenarnya risiko jenis murni yang tidak dapat dihindarkan. Risiko jenis ini, seperti kebakaran, kematian, jatuh sakit, kecelakaan dan sebagainya tidak dapat sepenuhnya dihindarkan kerena memang merupakan bagian dari kehidupan manusia. Dengan asuransi, risiko beralih dari pihak tertanggung kepada pihak penanggung (perusahaan asuransi) sehingga bila risiko tersebut terjadi dapat mengurangi beban kerugian yang harus ditanggungnya. Pasal 1336 ayat 1 KUHP mengatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan adanya perkataan “semua” dalam pasal tersebut berarti juga berlaku bagi perjanjian asuransi.5 Melalui perjanjian asuransi, orang dapat mengalihkan berbagai risiko yang dihadapi. Dengan demikian, manfaat asuransi adalah mengurangi ketidakpastian karena risiko yang dapat menimbulkan kerugian. Seseorang membayar premi untuk mengganti ketidakpastian disebabkan oleh kemungkinan kerugian. Artinya, risiko itu dapat dikelola ataupun dialihkan pada pihak lain (perusahaan asuransi) yang satu dengan yang lainnya dapat memiliki keterikatan yang saling menguntungkan. Di dalam dunia bisnis tertentu, misalnya perdagangan, perbankan dan perasuransian, terdapat kecenderungan untuk menggunakan apa yang dinamakan
5
Man Suparman Sastrawidjaja, Hukum Asuransi, Perlindungan Tertanggung. Asuransi Deposito, Usaha Persauransian (Bandung PT Alumni 2004) Cet. 3 Hal 12
kontrak atau akad yang sebelumnya oleh pihak perusahaan telah menetapkan secara sepihak yang isinya dapat digunakan secara berulang-ulang dengan berbagai pihak/konsumen perusahaan tersebut. Dalam Akad tersebut sebagian besar isinya sudah ditetapkan oleh pihak perusahaan yang tidak membuka kemungkinan untuk dinegoisasikan lagi. Dapat difahami bagi pelaku usaha, pemberlakuan dokumen ini adalah supaya pelaku usaha tidak berulang-ulang membuat perjanjian dengan konsumen yang berbeda-beda, karena pelaku usaha mempunyai puluhan, ratusan bahkan ribuan konsumen. Jika setiap konsumen diadakan pejanjian yang berbedabeda, tentunya ini akan membuang waktu tenaga dan bahkan biaya. Artinya bagi pelaku usaha asuransi, pertimbangan utama digunakannya perjanjian baku adalah pertimbangan efisiensi. Perumusan kontrak baku atau perjanjian tertulis membutuhkan keterampilan redaksional hukum yang hanya dimiliki oleh ahli hukum atau pengacara yang tentunya membutuhkan biaya yang mahal. Atas dasar itu banyak orang menggunakan perjanjian sejenis dibuat dan digunakan secara massal. 6 Perjanjian dibuat karena tidak memperlukan waktu yang lama untuk melakukan negoisasi. Jadi Akad muncul dengan latar belakang sosial, ekonomi dan praktis. Adanya Akad karena dunia bisnis memang membutuhkannya. Oleh karena itu Akad diterima oleh masyarakat.
6
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia. (Jakarta, Kencana, 2004) hal. 186
Setiap orang mempunyai kebebasan untuk melakukan akad/perjanjian dengan siapapun. Perjajian diantara satu pihak dengan pihak lain tersebut bersifat privat, artinya hanya mengikat kedua belah pihak. Karena itu pihak lain tidak mempunyai hak untuk ikut campur dalam perjanjian tersebut, tidak juga negara (dalam bentuk undang-undang).7 Negara hanya bisa melakukan intervensi dalam hubungan privat/ perdata apabila salah satu pihak yang melakukan perdata berada dalam posisi yang lemah. Negara mempunyai tugas untuk melindungi pihak yang lemah tersebut agar mempnyai posisi yang kuat. Misalnya pihak perjanjian itu harus memenuhi syarat-syarat sah perjanjian, bahwa materi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan poeraturan perundang-undangan, keterlibatan dan kesusilaan bahwa perjanjian tidak boleh timbul akibat dari adanya paksaan, kekhilafan ataupun penipuan. 8 Sedangkan apabila seseorang membuat perjanjian sewa-beli ataupun macam-macam bentuk perjanjian lain, asalkan tidak bertentangan dengan hal-hal tersebut diatas maka perjanjian tersebut tetap sah dan tidak ada otoritas manapun yang berhak membatalkannya kecuali atas kesepakatan kedua belah pihak. Hal yang mengikat perilaku atau keadaan demikian adalah apa yang disebut “Asas Kebebasan Bersepakat”
7
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia,
8
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia,
h 188 hal 189
Pada dasarnya, hukum perikatan Islam juga menganut asas kebebasan berkontrak yaitu suatu perikatan atau perjanjian akan sah dan mengikat kedua belah pihak apabila ada kesepakatan suka sama suka (antaradhin) yang terwujud dalam dua pilar yaitu ijab
(penawaran)
dan qabul (penerimaan). Namun demikian
tentunya sangat berbeda dalam hal prinsip-prinsip dalam rangka pembatasan asas kebebasan berkontrak tersebut. Karena pembatasan yang diberikan dalam asas kebebasan berkontrak dalam KUHP adalah buatan manusia berupa undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum, sementara pembatasan dalam konsep syariah adalah dari firman Allah dalam Al-Quran dan pernyataan Nabi Muhammad dalam Hadist (as-sunnah).9 Dengan demikian tentu saja perbedaan sangat esensial dalam pembatasanpembatasan yang diberikan kedua konsep tersebut. Misalnya dalam konsep syariah sebuah perjanjian atau akad tidak boleh memuat lima hal berikut; a. Membuat dan menjual barang najis. b. Mengandung barang-barang yang tidak bermanfaat dalam Islam. c. Mengandung gharar (tidak jelas). d. Mengandung riba. e. Perjudian.
9
hal 190
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia.
Suatu akad dalam hukum Islam harus dilandasi adanya kebebasan kehendak dan kesukarelaan dari masing-masing pihak yang mengadakan transaksi. Allah berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 29 :
$%"&'() !"# 6) 435 012 +(&3/ *+,. / <= 9"# ; 8, 9 : 7%"# C(5"# A >$%?@
6⌧J H635 A >$%DEFG) (٢٩/٤ : ) ا ء. K☺MNO >$%3/ Artinya: “Hai orang-orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh drimu sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu”. (an-Nisa’- 29)
Hukum Islam memberikan kebebasan bersepakat pada setiap orang untuk melakukan akad sesuai yang diinginkan, sebaliknya apabila ada unsur pemaksaaan atau pemasungan kebebasan akan menyebabkan legalitas Akad yang dihasilkan batal dan tidak sah. Firman Allah dalam Al-Qur'an surat al-Maidah ayat 1 :
!) $%"& P*NQ) A M5(&3/ X35 UV GCW :☺MST ^_`# a \>9⌧] >$%(ZY [ AOYC H635 % ]e9N >$CG) b(Mcd& (١/٥: )ا ة. b_9 $%( "f Artinya : Hai orang-orangorang yang beriman penuhilah aqad-aqad itu. Di halalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika sedang
mengerjkan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki_Nya. (al-Maidah-1) Asas ini menggambarkan adanya prinsip dasar muamalah yaitu kebolehan (mubah) yang mengandung arti bahwa hukum Islam memberi kesempatan luas perkembangan bentuk dan macam muamalah baru sesuai perkembangan kebutuhan hidup manusia.10 Namun kebebasan berakad tersebut memiliki batasan terhadap hal-hal yang sudah dilarang dalam syariat, Tujuan dari pembatasan tersebut adalah untuk menjaga agar tidak terjadi penganiayaan terhadap sesama manusia. Dalam industri asuransi khususnya asuransi jiwa (life insurance), hubungan antara penanggung (perusahaan asuransi ) dengan tertanggung (konsumen yang membeli asuransi) diikat oleh perjanjian baku yang dikenal dengan istilah polis. Polis menurut pasal 255 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) merupakan bukti utama adanya perjanjian antara tertanggung/pemengang polis dengan perusahaan asuransi sebagai penanggung, yang oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebut Pelaku Usaha. Dalam praktek sehari-hari, seringkali calon tertangung/pemegang polis sebagai calon konsumen jarang bahkan ada yang sama sekali tidak membaca dan atau mempelajari polis yang dibelinya. Hal itu biasanya terjadi karena perusahaan asuransi menerbitkan polis dengan huruf yang berukuran kecil, sehingga sulit untuk 10
hal. 192
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia,
memahami isi polis. Dengan tidak membaca apalagi memahami isi standar polis, pada akhirnya menyebabkan tertanggung/pemengang polis tidak memahami hak dan kewajibannya selaku konsumen asuransi, yang pada akhirnya seringkali menimbulkan perselisihan di kemudian hari. Hak-hak konsumen dalam praktek kehidupan sehari-sehari sering juga tidak diterapkan. Hal ini karena ketidaktahuan atau keengganan dalam menerapkannya. Di pihak lain masih banyak produsen yang sering bertindak semena-mena karena ketidak tahuan dan ketidak berdayaan konsumen. Tentu saja itu sangat merugikan masyarakat, karena setiap hari masyarakat selalu berperan sebagai konsumen barang maupun jasa, dimana masyarkat pasti pernah merasakan adanya kecurangan yang dilakukan oleh produsen yang akhirnya membuat konsumen kecewa, tidak puas dan bahkan merasa tertipu. Pasal 18 Undang – Undang No. 8 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengatur
tentang
beberapa
klausul/ketentuan
yang
dilarang
untuk
dimuat/dicantumkan dalam perjanjian berkontrak. Dengan demikian, ada kewajiban bagi pelaku usaha untuk menyesuaikan perjanjian yang diterbitkannya dengan ketentuan tersebut. Pasal 18 UUPK memberikan ancaman batalnya klausula dalam perjanjian yang melanggar ketentuan tersebut. Permasalah tersebut akan penulis tuangkan dalam skripsi yang berjudul : “Efektifitas Perlindungan Terhadap Pemegang Polis Ditinjau dari Hukum Islam dan UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen” (Studi Kasus AJB Bumiputera 1912 Cabang Syariah)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Batasan Masalah Pembangunan
dan
perkembangan
di
bidang
perindustrian
dan
perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/ atau jasa yang dapat dikonsumsi. Ditambah dengan globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi
kiranya memperluas
ruang gerak arus transaksi barang dan/ atau jasa. Akibat barang dan/ atau jasa yang ditawarkan bervareasi baik produk luar negeri maupun produk dalam negeri. Kondisi diatas disatu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena segala kebutuhan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar, karena adanya kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/ atau jasa sesuai dengan keinginan
dan kemampuan
konsumen. Tetapi disisi lain dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah yang menjadi obyek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui berbagai promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian baku yang merugikan konsumen. Mengingat masalah yang akan penulis bahas ini permasalahnya cukup luas maka pembahasan dalam skripsi ini penulis batasi pada masalah klausula
baku yang dikeluarkan oleh perusahan asuransi syariah serta akibat hukumnya di tinjau dari
Undang-Undang No 8 Tahun 1999. tentang Perlindungan
Konsumen. 2. Perumusan Masalah. Agar pembatasan dalam penelitian skripsi ini lebih terarah, maka penulis akan merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimanakah hubungan antara akad asuransi syariah dan ketentuan pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen dalam perjanjian asuransi syariah? b. Apakah pembuatan polis asuransi syariah telah sesuai dengan ketentuan mengenai klausula baku dalam pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Hukum Islam?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian. Tujuan penulisan penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pemegang polis asuransi syariah selaku konsumen dalam perusahaan asuransi syariah. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui apakah para pemegang polis asuransi syariah selaku konsumen sudah dilindungi hak-haknya dalam ketentuan polis asuransi syariah maupun dalam praktek pelaksanaan perjanjian asuransi syariah. 2. Mengetahui usaha-usaha apa saja yang harus dilakukan pemerintah Indonesia dan Dewan Syariah Nasional
pada usaha perasuransian di Indonesia agar
konsumen tidak dirugikan. Sedangkan kegunaan penelitiaan ini adalah secara teoritis, diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara umum dan perjanjian asuransi syariah secara khusus. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapakan dapat menjadi masukan bagi perusahaan asuransi syariah
dalam
membuat polis asuransi syariah.
D. Kerangka Teori dan Konsepsi Dengan lahirnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, masyarakat sudah semakin memahami akan hak-hak dan kewajibannya sebab tujuannya jelas yaitu untuk dapat mengangkat harkat dan martabat konsumen melalui berbagai upaya dengan berusaha meningkatkan pengetahuan, kepedulian dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun, mahluk hidup lainnya. Konsumen
menurut
Undang-Undang
No
8
Tahun
1999
tentang
Perlindungan Konsumen adalah : “Setiap pemakai barang dan/ jasa yang tersedia
dalam masyarakat baik bagi keputusan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluq hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan” Menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan persaingan Usaha Tidak Sehat, Konsumen adalah : “Setiap pemakai dan atau pengguna barang dan tau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain”. Secara umum, hak-hak yang menjadi tujuan dibuatnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat disimpulkan sebagi berikut: 1.
Hak atas keselamatan.
2.
Hak atas kejujuran.
3.
Hak atas perjanjian yang adil.
4.
Hak untuk mengetahui.
5.
Hak untuk memilih.
6.
Hak atas privasi.
7.
Hak untuk membenarkan kesalahan.
8.
Hak untuk bekerja secara aman.
9.
Hak untuk didengan pendapatnya.
10. Hak untuk dapat berfikir untuk menentukan sesuatu.
Menurut ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen memiliki hak sebagia berikut : 1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. 2. Hak untuk memilih barang dan/jasa serta mendapatkan baran dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi jaminan barang dan/atau jasa. 4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. 5. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang digunakan. 6. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketapelindungan konsumen secara patut. 7. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen 8. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. 9. Hak untuk mendapatkan dispensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, jika barang dan/atau jasa jika barang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. 10. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain.
Islam sangat menuntut kepada setiap umatnya agar diantara mereka selalu saling menghormati/menghargai satu sama lain karena manusia derajatnya sama dimata Allah SWT. Begitu juga dalam bisnis dimana para pengusaha harus mengimplementasikan rasa hormat kepada partnernya agar timbul rasa saling percaya diantara mereka terjadi suatu kontrak kerjasama. Berdasarkan hal-hal diatas perlu adanya perlindungan terhadap konsumen jasa asuransi khususnya terhadap pemegang polis asuransi syariah.
E. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang berarti bahwa penelitian ini mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dengan pendekatan yang bersifat komparatif dan kualiatatif Penggunaan metode penelitian yuridis normatif bertujuan untuk menganalisa norma-norma yang terdapat pada peraturan perundang-undangan di bidang asuransi, khususnya norma-norma hukum di bidang pelindungan konsumen. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengunakan metode deskriptis kualitatif yaitu pemecahan masalah dengan cara mengumpulkan informasi dan data sebanyak-banyaknya dengan jalan mengklasifikasikannya serta menganalisisnya. Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kepustakaan (library research) penelitian lapangan ( fieal research) Penelitian kepustakaan yaitu mencari data-data yang diperoleh dari literaturliteratur dan referensi yang berhubungan dengan judul skripsi di atas. Referensi diambil dari al-Quran, kitab-kitab fiqh klasik dan kontemporer, Undang-Undang dan peraturan pemerintah yang berlaku serta berhubungan dengan skripsi ini. Kemudian Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta bahan-bahan lainya yang dapat mendukung judul skripsi diatas.
Dalam
mengelola dan menganalisa data, kemudian menggunakan metode kualitatif, penulis
mendeskripsikan permasalahan yang akan dibahas dengan mengambil materi-matri yang cukup relevan dengan permasalahan lalu dikomparasikan. Penelitian lapangan yaitu melakukan pencarian data-data dan informasi mengenai permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. Melalui; 1. Interview atau wawancara kepada para pihak yang berkepentingan, sesuai dengan obyek penelitian yang telah diambil. 2. Dokumentasi, yaitu mengumpulkan data-data lapangan di lokasi penelitian. 3. Analisa, yaitu melakukan analisa terhadap hasil-hasil yang telah diperoleh baik dengan jalan wawancara ataupun dari sumber data yang telah di temukan. Dalam jenis penelitian ini penulis mencoba langsung terjun kelapangan yaitu penelitian langsung keperusahaan yang dijadikan objek penelitian
di AJB
Bumiputera 1912 Cab. Syari’ah. Adapun pedoman penulisan dalam skripsi ini, penulis menggunakan pedoman penulisan skripsi, yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Tahun 2007. dan untuk penulisan Ayat Al-Qur’an penulis merujuk pada alQur’an terbitan Departemen Agama RI.
F. Sistematika Penulisan. Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, maka penulis membuat skripsi ini menjadi beberapa bab dan setiap babnya terdiri atas sub bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I :
Pendahuluan meliputi : Latar belakang masalah, Pembatasan dan perumusan masalah, Tujuan dan manfaat penelitian, Metode penelitian, Sistematika penulisan.
BAB II :
Tinjauan Umum Akad Asuransi Syariah Bab ini terdiri dari : Tinjauan akad asuransi syariah, Pengertian akad
dalam asuransi
syariah, Syarat sahnya akad asuransi syariah, Jenis-jenis akad asuransi syariah, Polis asuransi syariah BAB III :
Gambaran Umum Tentang AJB Bumiputera 1912 Bab ini terdiri dari : Sejarah berdirinya AJB Bumiputera, latar belakang berdirinya divisi syariah, Falsafah visi dan misi, Landasan operasional, Produkproduk asuransi syariah dan manfaatnya, Stuktur dan keanggotaan AJB Bumiputera 1912 Cabang Syariah, Jobdiskripsi.
BAB IV :
Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Polis Dalam Akad Asuransi Syariah Pada Ajb Bumiputera 1912 Cabang Syariah. Bab ini terdiri dari : Hubungan akad asuransi syariah dengan hukum Islam, Hubungan antara penerapan akad asuransi syariah dengan UUPK No 8 1999, Penerapan UUPK No 8 Tahun 1999 pada akad asuransi syariah, Dampak penerapan UUPK No 8 Tahun 1999 pada akad Asuransi Syariah
BAB V :
Penutup. Bab ini terdiri dari Kesimpulan dan saran.
BAB II TINJAUAN UMUM AKAD ASURANSI SYARIAH
A. Tinjauan Akad Asuransi Syariah Akad dalam transaksi merupakan sesuatu yang sangat esensial. Sah atau tidaknya suatu transaksi tergantung bagaimana bentuk akad yang telah disepaki kedua belah pihak. Apakah telah memenuhi syarat dan rukunnya atau belum. Dalam pembuatan klausul akad harus dibuat secara jelas agar tidak ada yang dirugikan diantara kedua belah pihak. Asuransi adalah bentuk akad modern yang tidak dapat terhindar dari akad yang membentukya. Hal ini disebabkan karena dalam prakteknya, asuransi melibatkan dua orang yang terikat dalam perjanjian untuk saling melaksanakan hak dan kewajiban, yaitu antara peserta asuransi dengan perusahaan.11 Pada umumnya, sebuah akad merupakan cara yang paling efektif untuk melakukan transaksi kepemilikan dan pemindahan harta. Akad merupakan perpaduan dari penawaran dan penerimaan dan dinyatakan sebagai sumber kewajiban perjanjian dari dua belah pihak yang mengadakan akad atas suatu hal tertentu.12
11
AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis, Teoritis, dan Praktis (Jakarta, Prenada Kencana, 2004) hal. 136 12 Mohammad Muslihuddin, Menggugat Asuransi Moderen Jakarta,: PT. Lentera Baristama 1995. cet.2. hal. 110
Akad dalam asuransi syariah disebut polis. Salah satu dari kata polis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “surat perjanjian antara orang yang masuk asuransi dan perseroan asuransi”.13 Disamping pengertian tersebut ada pula pengertian polis lainnya, yaitu perjanjian atau persetujuan tertulis antara perusahaan asuransi dan pemilik polis. Polis termasuk semua kertas endorsement dan pengikat, mengangkat perjanjian asuransi keseluruhan.14 Polis asuransi merupakan perjanjian yang sah, oleh karena itu polis asuransi tunduk pada prinsip-prinsip hukum perjanjian, walaupun dalam hal perjanjiannya telah disesuaikan dengan perjanjian asuransi.
B. Pengertian Akad dalam Asuransi Syariah Pengertian akad dalam asuransi syariah jauh berbeda dengan praktek asuransi konvensional. Dalam Undang-Undang Hukum Perdata Mesir pasal 747 mendefinisikan kontrak asuransi sebagai berikut: Akad yang ketentuannya penanggung (pihak pertama) wajib memberikan uang, atau imbalan lain yang bernilai uang kepada tertanggung (pihak kedua) atau pihak ketiga yang mendapat kuasa untuk kebaikannya (mustafid), adanya kejadian peristiwa yang dijelaskan dalam polis. Apa yang diberikan penanggung tersebut sebagai pengganti dari premi atau pembayaran uang lainnya yang diberikan tertanggung kepadanya.15
13
Tim Penyususn Kamus Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa “Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka 1989 , cet ke.2 hal. 693 14 A. Hasymi Ali dkk, Kamus Asuransi (Jakarta, Bumi Aksara) 2002 cet.2 . hal. 69 15 Aisyul Muzakki, Asuransi Dalam Hukum Islam (Tinjauan Atas Riba, Maisyir dan Gharar) Jakarta, CV. Firdaus, 1999, cet. 2 hal. 7
Dari pengertian tersebut, nampak bahwa yang membedakan pengertian Akad asuransi syariah dengan konrak konvesional adalah tujuan dari dibuatnya akad tersebut. Dalam akad asuransi syariah, tujuan utama dalam pembuatan akad adalah “ta’awun” dan “tadhamun” saling bertanggung jawab, saling berkerja sama atau bantu membantu dan saling melindungi penderitaan satu sama yang lain. Oleh karena itu berasuransi diperbolehkan dalam syariat, karena prinsip-prinsip dasar syariat mengajak kepada setiap orang dalam keeratan jalinan sesama manusia dan sesuatu yang dapat meringankan bencana mereka. Firman Allah SWT. Dalam Al-Quran surah Maidah ayat 2 :
3h\U&(& ^Y# ْاG"#... G"# %i(5jk& A 06'Pb(& UV(V*l ^Y# H635 5H# ( ٢/ ٥: ) ا ةUm"5(& bb⌧ Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (Maidah : 2) Firman Allah dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 71 :
6?"☺(& >$n / * ,"☺(& 7oqr! A
6>? s9☺(&3/ 7☺MU5 _9"%?☺(& t; 7#" Y,AYcd& 7M2 Y,A⌧JHi& wx "&Q) A Fu)"vO H635 % z $4⌧\y9v ( ٧١/١١: ) اnVMs%N ]i
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan. Sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi maha bijaksana. (At-Taubah : 71)
Asuransi syariah juga mengarah kepada sebuah masyarakat yang tegak di atas saling membantu dan saling menopang, karena setiap umat Islam terhadap umat Islam lainya merupakan sebuah bangunan yang saling menguatkan sebagian kepada sebagian lainnya. Dalam model asuransi syariah tidak ada perbuatan memakan harta manusia dengan batil, karena apa yang telah diberikan adalah semata-semata sedekah dari hasil harta yang dikumpulkan. Selain itu keberadaan asuransi syariah akan membawa kemajuan dan kesejahteraan perekonomian umat. Dengan demikian, keberadaan asuransi syariah, akan memberikan kententraman pada setiap peserta karena sedikit meringankan beban yang dipikulnya di kemudian hari. Dan Allah SWT pun akan memberikan imbalan kepada setiap hambaNya yang membantu meringankan beban saudaranya di hari kiamat nanti.
C. Syarat Sahnya Akad Asuransi Syariah Terdapat beberapa solusi untuk menyiasati agar dalam melakukan akad asuransi syariah terhindar dari unsur-unsur yang dilarang oleh agama dalam setiap transaksinya. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: 1. Gharar (uncertainty) Ketidakpastian.16
16
Muhamad Syafi’i Antonio, Prinsip dasar Operasionl Asuransi Takaful’ (Jakarta, Badan Arbitrasi Muamalat Indonesia, 1994) hal. 148
Gharar dalam pengertian bahasa adalah al-akhida’ (penipuan, yaitu tindakan yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. 17 Para ulama fiqih mememliki pendapat yang berbeda dalam memberikan pengertian gharar. Namun pada dasarnya adalah satu pengertian, yaitu sesuatu yang belum dapat dipastikan. Rasullulah SAW. Bersabda tentang gharar dalam hadist yang diriwayatkan oleh bukhori sebagai berikut:
ر5 ا2 " ة و34 ا2 " . وﺱ0." ( ا./ ل ا+ هیة 'ل ﻥ)( رﺱ# " ا 18
(. ﻡ6)روا
Artinya:
“Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah SAW. Melarang jual beli hashab dan jual beli gharar”. (HR. Muslim)
0 ا ء ?@ﻥ#? > ; ﺕ< ا: . وﺱ0." ( ا./ 'ل0" ا#:د ر+9" ا ﻡ 19
( أ6ر) رواA
Artinya:
”Dari ibnu Mas’ud Ra Rasulullah Saw bersabda: Jangan membeli ikan yang masih di dalam air karena gharar (tidak jelas). (HR. Ahmad)
Jual beli gharar yang dimaksud adalah sebuah bentuk transaksi yang menyadarkan pada suatu yang tidak pasti. Transaksi yang demikian itu diibaratkan 17
Hasan Ali. Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis, Teoritis, dan Praktis. hal. 134 18 Muslim ibn al-Hajaj abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisyaburi, Shahih Muslim, tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-'Arabi, tt,) juz 3, hal. 1153. 19 Ahmad ibn Hanbal Abu Abdullah al-Sijistani, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, Kairo: Muasasah Qurthubah, 1987, jilid 1, hal. 388, no hadis 3676.
seperti seseorang yang menjual kucing di dalam karung. Sehingga tidak diketahui bagaiman bentuk kucing tersebut. Jual beli seperti di atas tidak saja mengandung unsur gharar tetapi juga telah menipu pembeli. Allah SWT telah melarang jual beli yang sedemikian itu dalam Al Quran surat al-Muthafifin ayat 1-3 :
.
|}F~F"2☺!`& 1 & k(J "35
| .
6!> kE, HH?& ^Y# ) >$&⌧J "35 (٣-١/٨٣ : CDDE ) ا6\s
(f >$GH Artinya : “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. ( al-Muthafifin : 1-3) Ayat tersebut diatas menggambarkan bagaimana seorang penjual yang telah mengurangi takaran kepada pembeli sehingga jelas penjual tersebut telah melakukan tindakan penipuan terhadap pembeli. Dan ini merupakan salah satu bentuk penipuan yang sering terjadi dalam masyarakat. Syafii Antonio menyatakan bahwa kontrak/perjanjian dalam asuransi konvensional dapat dikatagorikan sebagai akad tabaduli atau akad pertukaran, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara syariah dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang harus dibayarkan dan berapa yang harus diterima.20 Keadaan ini akan rmenjadi rancu karena kita tahu berapa yang akan diterima (uang pembayaran klaim) tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan jumlah premi karena kita tidak tahu berapa yang akan dibayarkan karena hanya
20
Muhammad Syafii Antonio, Asuransi Dalan Prespektif Hukum Islam, (Jakarta : STI, 1994), hal. 1
Allah yang tahu kapan seseorang akan meninggal. Disinilah praktek gharar terjadi pada asuransi konvensional. Untuk menghindari praktek asuransi syariah dari unsur gharar, maka Akad tersebut harus diubah menjadi akad tabarru’at (sukarela), karena menurut ulama fiqh bahwa gharar hanya berpengaruh terhadap mu’awadah (tukar menukar) saja, tidak terhadap tabarru’at , dan tabarru’-at ini tidak mencari keuntungan”. 2. Maisir (gambling, untung-untungan) Allah SWT. Telah memberi penegasan terhadapkeharaman melakukan aktivitas ekonomi yangmempunyai unsur judi (maisir).21 Firman Allah dalam al-Quran surat al-Maidah 90 :
| :Sb 9P☺"( ☺G35 2mDdGCW \s
(M☺(& 01☺ P;@ PO $ "&(CW Yw kP"! t; "2(Z& ( ٩٥/٥ : ) ا ة. 6"3(F#. >$%z"& Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamer, berjudi (berkorban untuk) berhala, mengudi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan”. (al-Maidah : 90)
Ayat diatas mejelaskan bahwa Allah SWT memperintahkan kepada umat manusia untuk tidak melakukan praktek judi dalam bentuk apapun. Larangan
21
AM. Hasan Ali Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis, Teoritis, dan Praktis. hal. 133
tersebut terdapat sifat ketergantungan yang menyebabkan malas untuk melakukan usaha guna mencukupi kebutuhan sehari-hari. Akad asuransi syariah termasuk akad tabarru’ (sukarela) yang berbeda dengan judi (gambling) karena asuransi syariah tidak hanya bertujuan untuk mengurangi risiko (risk) tetapi bersifat tolong menolong (sosial) serta membawa kemaslahatan bersama bagi kedua belah pihak. Dalam konsep asuransi syariah, apabila peserta mengalami kecelakaan atau musibah selama menjadi peserta, maka ia tetap berhak mendapatkan santunan kebajikan. Sementara judi, justru menciptakan risiko, tidak bersifat sosial dan membawa masalah dan petaka bagi mereka yang melalukannya.
3. Riba (ziyadah) Islam menganggap riba sebagai salah satu unsur terburuk yang merusak sendi-sendi kehidupan, baik secara ekonomi, sosial, maupun moral. Riba diartikan sebagai kelebihan atau tambahan uang yang telah ditentukan terlebih dahalu dari pinjaman pokok secara bersyarat dan dalam tempo tertentu. Allah SWT dengan tegas melarang paktek riba dalam masyarakat, salah satu Firman-Nya dalam alQur’an surat Ali Imran ayat 130 :
/_h9& !"# ?:⌧F n ?F P) >$%z"& 5H# (١٣٠/٣ : ) ال " ا ن. 6"3(F#
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Ali-Imran : 130) Praktek riba ini rentan sekali terjadi dalam praktek muamalah. Unsur riba tercermin dalam asuransi konvensional dimana praktek ribawi terjadi pada saat melakukan investasi dimana meminjamkan dana premi yang terkumpul atas dasar bunga. Dalam konsep asuransi syariah dana premi yang terkumpul di investasikan dengan prinsip bagi hasil (profit and loss sharing)
terutama mudharabah dan
musyarakah. Untuk menghindari dari praktek ribawi, maka asuransi syariah mengelola dana melalui investasi dengan prinsip-prinsip syar’i. Dalam hal ini perusahaan asuransi berperan sebagai pengelola (mudharib) dan peserta asuransi sebagai pemilk modal (shahibul mal), sehingga dana tersebut, merupakan amanah dan bukan milik perusahaan, Oleh karenanya apabila terjadi surplus dari investasi akan dibagikan kepada peserta dan perusahaan sesuai dengan ketentuan nisbah yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Islam menekankan aspek keadilan, suka sama suka dan kebersamaan menghadapi risiko dalam setiap usaha dan investasi yang dirintis. Aspek inilah yang menjadi tawaran konsep untuk menggantikan gharar, riba, maysir. yang selama ini terjadi di lembaga keuangan konvensional
D. Jenis-Jenis Akad Asuransi Syariah
1. Akad Tabarru’ Akad tabarru’ digunakan untuk transaksi yang bersifat tolong menolong tanpa mengharapkan adanya keuntungan meteriil dari pihak-pihak yang melakukan perikatan, kecuali berharap mendapatkan balasan dari Allah SWT. Walaupun demikian, dalam transaksi yang bersifat tabarru’ ini diperbolehkan untuk memungut biaya yang akan digunakan dalam pengelolaan transaksi tabaru’ sehngga tidak ada surplus atau keuntungan meteriil yang diperoleh.22 Rasulllah bersabda:
K ﻡ آK ﻡK" MKD ﻥKل ﻡK' . وﺱ0." ( ا./ #C " ا0" ا#: هیة ر# "َ أ ﻥK ا#K? 0K." اK یK9( ﻡK." K یK وﻡ, KﻡNم ا+K یK ﻡK آ0K" اMDﻡ اﻥ ﻥ 23
(. ﻡ6 )روا.ةQRوا
Artinya: Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Nabi Muhammad SAW bersabda: Barang siapa yang menghilangkan kesulitan dunianya seorang mukmin maka Allah SWT akan menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat. Barang siapa mempermudah kesulitan seseorang maka Allah SWT. akan mempermudah urusannya di dunia dan di akhirat (HR. Muslim).
Melalui hadis tersebut tersirat adanya anjuran untuk saling membantu antara sesama
manusia dengan menghilangkan kesulitan seseorang
atau
dengan
mempermudah urusan dunianya. Dalam asuransi kandungan hadis ini terlihat dalam bentuk pembayaran dana sosial (tabarru’) dari anggota (nasabah) perusahaan asuransi yang sejak awal mengikhlaskan dananya untuk kepentingan sosial, yaitu
22
ٍSlamet Wiyono Cara Mudah Memamhami Akuntansi Perbankan Syariah ( Jakarta : Grasindo 2005) hal. 29 23 Muslim ibn al-Hajaj abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisyaburi, Shahih Muslim, tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-'Arabi, tt,) juz 4, hal. 2699. no hadist 2074
untuk membantu dan mempermudah urusan orang lain yang mendapat musibah atau bencana. Akad tabarru’ pada asuransi syariah adalah akad yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan tujuan sosial bukan tujuan komersial. Dalam akad tabarru’; harus disebutkan sekurang- kurangnya : 1. Hak dan kewajiban masing-masing peserta secara individu 2. Hak dan kewajiban antara peserta secara indvidu dalam akun tabarru’ selama peserta dalam arti badan/kelompok. 3. Cara dan waktu pembayaran premi dan klaim. 4. Syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang di akadkan. Pengeloalan dana tabarru’ yaitu dengan cara : 1. Pembentukan dana tabarru’ harus dipisahkan dengan dana lainnya. 2. Hasil investasi dari dan tabarru’ menjadi hak kolektif peserta dan dibukukan dalam akun tabarru’ Dari hasil investasi, perusahaan asuransi dapat memperoleh bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau akad mudharabah musyarakah. 2. Akad Mudharabah Mudharabah
dalam
pengertian
terminologi
adalah
pemilik
modal
menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan,
sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakan bersama.24 Apabila terjadi kerugian dalam perdagangan itu, kerugian ini ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal. Definisi ini menunjukkan bahwa yang diserahkan kepada pekerja itu adalah modal, bukan manfaat seperti penyewaan rumah. 25 Akad mudharabah
boleh dilakukan oleh perusahaan asuransi karena
merupakan bagian dari mumalah dan juga dapat diterapkan pada produk asuransi syariah yang mengandung unsur tabungan (saving) maupun non tabungan (non saving) 26 Dalam akad ini, perusahaan asuransi bertindak sebagai mudharib (pengelola) sedangkan peserta (pemegang polis) dalam produk saving, bertndak sebagai shahibul mal (investor) sedangkan para peserta (pemegang polis) secara kolektif dalam produk non saving, bertindak sebagai shahibul mal (investor). Secara singkat dapat dikatakan ada dua akad yang membentuk Asuransi Syariah, yaitu akad tabarru’ dan akad mudharabah. Akad tabarru’ terkumpul dalam dana sosial yang tujuan utamanya digunakan untuk saling menanggung peserta asuransi yang mengalami kerugian. Sedangkan akad mudharabah terwujud tatkala dana yang terkumpul dalam perusahaan asuransi itu di investasikan dalam wujud usaha yang diproyeksikan menghasilkan keuntungan karena landasan awal
24
Nasrun Harun, Fiqh Muamalah,(Jakarta: Gaya Pratama Medika) hal. 176 Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, hal 177 26 Selengkapnya lihat di www.halalguide. Info/view/195/54. 25
dari akad mudharabah ini adalah bagi hasil. Maka dalam investasinya sesuai dengan porsi nisbah yang disepakati. Sebalikya jika dalam investasinya mengalami kerugian maka kerugian tersebut dipikul bersama peserta asuransi.
3. Polis Asuransi Syariah Pasal 255 KUHD mengatakan bahwa suatu perjanjian pertanggungan harus dilakukan secara tertulis dengan sebuah akta yang bernama polis. Memperhatikan pasal 255 KUHD tersebut seolah-olah perjanjian pertanggungan itu baru sah bila dibuat secara tertulis dengan suatu akta yang disebut polis. Sehingga dapat dikatakan bahwa polis merupakan syarat untuk adanya perjanjian. 27 Apabila diperhatikan pasal 257 KUHD, hal ini banyak tidak benar disebabkan dalam pasal tersebut bahwa perjanjian asuransi diterbitkan seketika setelah ditutup, hak dan kewajiban berbalik dari penanggung dan tertanggung mulai berlaku sejak saat itu bahkan sebelum polisnya ditanda tangani. Artinya kendati pasal 255 KUHD menegaskan bahwa selaku pertangungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dikenal dengan polis, dan polis mutlak dibutuhkan dalam perjanjian asuransi. Sebab polis itu diterbitkan terlampir atau belum diterbitkan pada saat risiko kerugian yang dipertanggungkan ditutup oleh tertanggung, tertanggung tetap dapat mengklaim asuransi tersebut untuk menanggung kerugian yang di pertanggungkan tersebut berdasarkan Akad asuransi yang sah. 28
27 28
Emmy Pangaribuan, Hukum Pertanggugan, (Yogyakarta. Gramedia 1980) hal. 19 Majalah Bisnis Indonesia, Kajian Kasus Asuransi di Pengadilan Niaga” 27 Juni 2002
Polis asuransi diperlukan untuk kepastian hukum pasal 258 ayat 1 KUHD menyatakan bahwa untuk
membuktikan adanya perjanjian pertanggungan
diperlukan pembuktian dengan tulisan. Dengan demikian polis merupakan bukti yang sempurna tentang apa yang mereka perjanjikan dalam polis itu. Dalam polis asuransi konvensional memuat beberapa ketentuan antara lain : a. Subyek asuransi b. Obyek asuransi c. Uang asuransi d. Premi asuransi e. Suatu peristiwa tertentu f. Hari dimulai dan berakhirnya perjanjian
Untuk lebih jelasnya akan penulis uraikan satu persatu analisa hukum Islam tentang akad asuransi konvensional. a) Subyek dalam akad asuransi Berdasarkan konsep yang melandasi asuransi syariah yaitu ta’awun (tolongmenolong) seperti yang terdalam dalam surah al- Maidah ayat 2. Dalam hal ini akad asuransi syariah dapat dibuat baik untuk tanggungan dirinya sendiri ataupun untuk orang lain. Karena dalam ajaran Islam, konsep tolong menolong tidak hanya berlaku untuk sesama muslim tapi juga berlaku untuk seluruh umat manusia, karena tolong menolong merupakan suatu kewajiban bagi setiap insan, tanpa kecuali. Kita boleh saja mengadakan perjanjian dengan orang non muslim, selama mereka tidak
melanggar isi perjanjian yang telah disepakati bersama, dan sesuai dengan aspekaspek keabsahan suatu perjanjian dalam Islam. Secara syariah akad atau pertukaran harus jelas berapa yang dibayarkan dan berapa yang diterima. b) Obyek yang diasuransikan Mengenai obyek dalam asuransi syariah, obyeknya bukanlah dari berupa barang (komoditi) melainkan berupa manfaat ataupun jasa, dimana perlindungan terdahap dirinya dan harta yang dimilikinya dari kerugian yang berlebihan. Ini berarti hidup dan mati manusia menjadi obyek bisnis.29 Dengan demikan perusahaan asuransi dapat memberi manfaat berupa: a. Ketentraman b. Kepercayaan c. Tabungan Dari uraian tersebut jelas bahwa sebenarnya di dalam asuransi syariah yang menjadi obyek adalah jasa perlindungan yang memberikan rasa aman. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Qurais Ayat 3-4 :
⌧Z EmO b+Z!"! V☺P) } . *(. w(& >y P;@ $, ;@ (٤-٣/١٠٩:M N)ا Artinya: Maka hendaklah mereka menyembah tuhan pemilik rumah ini (ka’bah) yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dalam ketakutan. (Al-Qurais : 3-4) 29
hal. 61
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), cet ke-3
c) Uang Asuransi Uang asuransi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak perusahaan kepada peserta asuransi. Sebuah contoh misalnya si A mengikuti asuransi dengan manfaat sebesar 20.000.000 dalam tempo 10 tahun. Kemudian pada tahun ke-6, si A meninggal dan pihak perusahaan pun memberikan uang asuransi sebesar 20.000.000.-
lantas dari mana asal kelebihan sebesar Rp 8.000.000.-
tersebut? Hasil jual beli bukan shadaqoh juga bukan bantuan juga bukan yang jelas pihak yang ditanggung menerima uang y ang bukan miliknya, menurut Islam. 30 Dalam asuransi syariah, setiap premi yang masuk dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian pertama dan bagian tabarru’ di mana pada bagian tabarru’ itu peserta telah merelakan sebagian dari preminya untuk digunakan bantuan kepada peserta lain yang tertimpa musibah. Jadi jelas perolehan atau tambahan uang asuransi sebesar 8.000.000 tersebut berasal dari dana tabarru’ sehingga dalam hal ini tidak terjadi riba dan gharar, karena sumber perolehan dana tersebut adalah jelas. d) Suatu Peristiwa Tertentu Dalam pengertian yang luas “peristiwa” dalam bidang asuransi mencakup semua peristiwa yang terjadi dalam kehidupan ini, baik yang dibenci maupun yang disenangi, menimbulkan kerugian atau tidak.
30
Ibrahim K. Lubis, Ekonomi Islam Suatu Pengantar II ( Jakarta: Kalam mulia,1995) cet ke-1. hal. 453.
Dalam akad asuransi syariah tidak boleh menganggap suatu peristiwa yang serba kemungkinan dalam sebuah akad asuransi sebagai suatu yang esensial, didalam asuarnsi dibandingkan dengan unsur lain(premi asuransi dan uang asuransi) 31 Bila melihat maksud peristiwa dalam kontrak asuransi tersebut, maka dapat dipastikan bahwa kontrak asuransi adalah kontrak yang tidak sah, karena meyandarkan kontrak pada sesuatu yang tidak pasti. Oleh karena itu, asuransi syariah tidak mengangap peristiwa yang serba kemungkinan dalam sebuah kontrak asuransi sebagai suatu yang esensial, karena itu hal yang terjadi, maka tiada perbedaan antara asuaransi syariah dengan asuransi konvensional. Maka dari itu, akad asuransi konvensional tidak terlepas dari gharar. Dalam asuransi konvensional terdapat tiga macm gharar : 1. Gharar dalam perolehan pengganti, karena ketika berakad tertanggung tidak mengetahui apakah akan memperoleh uang asuransi atau tidak 2. Gharar dalam jumlah pengganti, karena dalam asuransi kerugian tertanggung pada waktu yang diperolehnya, jika ia ditakdirkan akan memperolehnya denagn kejadian peristiwa yang diasuransikannya. Begitu juga perusahan asuransi pad waktu berakad tidak mengetahui jumlah premi yang akan diperolehnya sebelum kejadian peristiwa yang diasuransikan.
31
Husen Hamid Ihsan, Asuransi dalam Hukum Islam Tinjaun Atas Riba dan Grarar (Jakarta: CV; Virdaus , 1996), cet ke-1, hal. 8-9
3. Gharar dalam peristiwa perolehan (pada asuransi jiwa), pada waktu berakad tetanggung tidak mengetahui kapan ahli warisnya akan memperoleh uang asuransi, sebagi pengganti dari premi-premi yang dibayarnya. 32 Untuk menghindari praktek asuransi dari unsure gharar, maka akad (kontrak) tersebut harus sesuai harus diubah menjadi akad tabrru’at, karena menurut ulama fiqh bahwa grarar hanya berpengaruh terhadap muawadhah, tidak terhadap tabarru’at, dan akad tabarru’at ini tidak bertujuan mencari keuntungan.33 e) Premi Asuransi Premi asuransi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh peserta asuransi untuk dikelola dan diivestasikan pada usaha usaha-usaha produktif yang sesuai syariat. Dalam asuransi syariah, setiap peserta menyerahkan uang premi sesuai dengan kemampuannya, tetapi tidak kurang dari batas minimal yang telah di tetapkan perusahaan. Premi tersebut kemudian dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu premi tabungan dan tabarru’, kemudian pemi tabungan tersebut diinvestasikan ke perusahaan-perusahaan yang memenuhi kriteria syariah. Kemudian dari hasil investasi tersebut akan diberikakn kepada peserta dan perusahaan asuransi sesuai dengan bagian nisbah yang telah disepakati sejak awal akad.
32
Husen Hamid Ihsan, Asuransi dalam Hukum Islam Tinjaun Atas Riba dan Grarar hal.
33
Husen Hamid Ihsan, Asuransi dalam Hukum Islam Tinjaun Atas Riba dan Gharar, hal.
42-43 80.
f)
Waktu dimulai dan berakhirnya pertanggungan, keadaan-keadaan yang perlu diketahui oleh penanggung dan syarat-syarat yang disepakati dalam akad asuransi. Asuransi adalah termasuk transaksi yang dipenuhi yang dipengaruhi waktu, maka harus ditentukan jangka waktunya. Jika jangka waktunya tidak ditentukan (diketahui), maka transaksi asuransi itu batal, atau tidak sah.34 Akad asuransi merupakan akad yang didasarkan atas asas kepercayaan sehingga antara peserta dan pihak perusahaan tidak boleh saling menutup-menutupi tentang keadaan kedua belah pihak. Pihak peserta hendaklah memberikan informasi atau keterangan-keterangan yang jelas tentang keadaan-keadaan yang dibutuhkan oleh pihak perusahaan dengan sebenar-benarnya, begitu pula pihak perusahaan harus bersikap transparan mengenai hal-hal yang belum dipahami oleh pihak pertama. Selain itu, biasanya dalam akad asuransi dicantumkan syarat-syarat khusus berkenaan dengan kepentingan kedua belah pihak. Pada umumnya, syarat-syarat tersebut
telah ditetapkan oleh perusahaan
asuransi, sehingga pihak peserta menyatakan setuju atas syarat-syarat yang telah diajukan atau tidak. Bila kedua belah pihak telah sepakat, maka polis tersebut harus ditanda tangani.
34
Murtadha Mutahari, Pandangan Islam tentang Asuransi dan Riba ( Bandung : Pustaka Hidayah, 1995) cet ke- 1, hal. 281.
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG AJB BUMIPUTERA 1912 CABANG SYARI’AH
A. Sejarah dan Perkembanganya.35 Untuk megangkat kesejahteraan para anggota Persatoean Goeroe-goeroe Hindia Belanda (PGHB), diprakarsai 3 guru anggota PHGB, yaitu Ngabei Dwijosewojo, Mas Karto Hadi Soebroto dan Mas Adimidjodo,
yang mendirikan
perkumpulan Asuransi Jiwa dengan nama Onderlinge Levensverzekering Maatscappij Persatoean Goeroe-goeroe Hindia Belanda yang disingkat OLMij PGHB. Pada 12 Februari 1912 di Magelang, dengan Akte Notaris De Hondt. Namanya kemudian berubah menjadi OLMij Boemi Poetera yang dalam perkembangnya kemudian berganti menjadi Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Filosofi berdirinya AJB Bumiputera 1912 adalah mengangkat harkat dan martabat bangsa pribumi untuk menanggulangi risiko kerugian finansial yang dihadapi anggotanya. Unit
Bisnis
Syari’ah
Bumiputera
secara
resmi
dibentuk
sejak
dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. Kep.-268/KM.6/2002 35
Sumber Campany Profil AJB Bumiputera 1912
tanggal 7 November 2002 dalam bentuk Cabang Usaha Asuransi Jiwa Syari’ah dan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001, tanggal 17 Oktober 2001. dalam rangka menjaga kemurnian pelaksanaan prinsip-prisip Syari’ah, maka berdasarkan keputusan Direksi No. SK 14/DIR/2001, tanggal 11 November 2002 dibentuk Divisi Syari’ah AJB Bumiputera dan Kantor Cabang Syari’ah Jakarta. Pada awal pembentukanya, Divisi/Cabang
Asuransi Syari’ah memiliki
sarana dan prasarana, SDM, perkantoran dan sistem yang sangat terbatas, namun demikian, Divisi Asuransi Syari’ah tetap beroperasi, ditandai dengan limpahkanya pengelolaan Asuransi kumpulan perjalanan haji dari Departemen Agama RI Januari 2003, dan selanjutnya, diluncurkan asuransi perorangan Syari’ah Mitra Mabrur dan Mitra Iqra’ pada pertengahan April 2003, dan mitra Sakinah pada awal tahun 2004. Seiring dengan perkembangan bisnis asuransi syariah diwilayah Jakarta maka pada awal tahun 2007 dibentuklah 7 (tujuh) wilayah dan 49 (empat puluh sembilan) kota cabang syariah yang tersebar diseluruh di 7 (tujuh) kota besar di Indonesia untuk meberikan pelayanan masyarkat yang menghendaki asuransi dengan basis syariah.
B. Latar Belakang Bediri Divisi Syari’ah. Realitas perkembangan ekonomi bangsa ini memperlihatkan kecenderungan positif dalam menanggapi sistem ekonomi syariah, terlihat antusiasme yang tinggi dalam masyarakat yang berkembang dewasa ini.
Kemunculan sistem dan model ekonomi berbasis syariah ini bukan saja menjanjikan prospektivitas yang baik dan kompetitif melainkan telah teruji di saat-saat krisis ekonomi yang melanda negeri ini, satu persatu sentra-sentra ekonomi berbasis konvensional mengalami tekanan bahkan tidak sedikit mengalami likuidasi. Karena sistem ini bukan saja bukan menjadi alternatif diantara sistem ekonomi konvensional akan tetapi juga diprediksi akan menjadi pilihan yang terbaik bagi bangsa ini dimasa yang akan datang. Untuk menangkap peluang ini AJB Bumiputera 1912 membuka Divisi syariah guna memenuhi kebutuhan masyarakat dibidang asuransi jiwa. Adapun Faktorfaktor lain yang menjadi pendorong berdirinya AJB Bumiputera 1912 Divisi syariah : 1. Potensi pasar yang relatif cukup besar 2. Jaringan distribusi AJB Bumiputera 1912 yang luas di selurh wilayah Indonesia 3. Jumlah penduduk Indonesia yang sebagian besar adalah umat Islam 4. Penerapan prinsip ekonomi yang berbasis Syari’ah saat ini dijadikan alternatif sistem bisnis, karena diharapakan lebih adil dan lebih tahan dalam menghadapi krisis. 5. Asuransi Syari’ah bersifat Universal. 6. Pasar Asuransi Syari’ah yang berhasil digarap saat ini relatif masih sangat sedikit dibandingkan potensi pasarnya, begitu juga dengan perusahaan pesaingnya.
C. Falsafah, Visi dan Misi. Dalam menjalankan roda perusahaan, manajemen dan karyawan AJB Bumiputera mengacu pada falsafah perusahaan sebagai berikut :
1. Falsafah a. Idealisme Senatiasa memelihara nilai-nilai kejujuran dalam mengangkat kemartabatan anak bangsa sesuai sejarah Bumiputra sebagai perusahaan perjuangan. b. Mutualisme Mengedepankan sistem kebersamaan dalam pengelola perusahaan dengan memberdayakan potensi komunitas AJB Bumiputera dari, oleh dan untuk komunitas Bumiputera sebagai Manisfestasi perusahaan rakyat. c. Profesionalisme Memiliki komitmen dalam pengelolaan perusahaan dengan mengedepankan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan senantiasa berusaha meyesuaikan diri terhadap tuntutan perubahan lingkungan. 2. Visi Menjadikan Bumiputera sebagai Asuransi Bangsa Indonesia di segmen Asuransi Jiwa Syari’ah.
3. Misi Menjadikan Bumiputera senantiasa berada di benak dan di hati masyarakat Indonesia di segmen Asuransi Jiwa Syari’ah, dengan : a. Memlihara keberadaan Bumiputera sebagai perusahaan perjuangan bangsa Indonesia
b. Mengembangkan korporasi dan koperasi yang
menerapkan prinsip dasar
gotong royong. c. Menciptakan berbagai produk dan layanan yang memberikan manfaat optimal bagi komunitas Bumiputera. d. Mewujudkan perusahaan yang berhasil baik secara ekonomi dan social.
D. Prinsip atau Landasan Operasional. 1. Pemasaran Asuransi Jiwa Syari’ah harus berpedoman kepada : Keputusan Menteri Keuangan RI No. 422/KMK.06/2003, tanggal 30 September 2003, yang isinya: a. Setiap produk baru asuransi Syari’ah sebelum mendapat ijin dari Departemen Keuangan RI terlebih dahulu harus mendapat pengesahan dari Dewan Syari’ah Nasional (DSN) b. Prinsip Syari’ah adalah prinsip perjanjian berdasarkan hukum Islam antara perusahan asuransi dengan pihak lain dalam menerima amanah dengan mengelola dana peserta melalui kegiatan investasi atau kegiatan lain yang di selenggarakan sesuai dengan Syari’ah. c. Perusahaan asuransi yang menjalankan usaha asuransi dengan prinsip Syari’ah, laporan penghitungan tingkat solvabilitas harus di lengkapi dengan surat pernyataan DPS bahwa pengelolaan kekayaan dan kewajiban telah dilakukan sesuai dengan prinsip Syari’ah.
d. Perusahaan asuransi yang menyelenggarakan usaha asuransi dengan prinsip Syari’ah harus melakukan pemisahan kekayaan dan kewajiban usaha asuransi dengan prinsip Syari’ah dari kekayan dan kewajiban usaha asuransi dengan prinsip konvensional. 2. Pemasaran Asuransi Jiwa Syari’ah juag harus berpedoman kepada : a. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001, tanggal 17 Oktober 2001, tentang Pedoman UmumAsuransi Syari’ah.. 1) Usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan/ atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai Syari’ah. 2) Tidak
mengandung
gharar
(penipuan)
maysir
(perjudian)
riba
(melipatgandakan) zuhlum (penganiayaan) riswah (suap), barang haram dan maksiat. 3) Pengelola Asuransi Syari’ah hanya boleh dilakukan oleh lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah dan wajib melakukan investasi dari dana yag terkumpul sesuai dengan prinsip Syari’ah. 4) Perusahaan Asuransi Syari’ah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana atas dasar akad tijarah. b. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 39/SN-MUI/X/2002 tanggal 23 Oktober 2002 tentang Asuransi Haji.
1) Asuransi Haji adalah akad tabarru’ (hibah) menurut Syari’ah tidak dibenarkan mengunakan sistem konvensional. 2) Premi Asuransi Haji yang diterima oleh Asuransi Syari’ah harus dipisahkan dari premi asuransi lainnya. 3) Asuransi Syari’ah berhak memperoleh Ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru’ yang besarnya ditentukan sesuai dengan prinsip adil dan wajar. c. Izin Menteri Keuangan Kep-298/KM.6/2002 1) Bahwa Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 telah mengajukan permohonan izin pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dengan surat
272/DIR/BS/X/02
tanggal
14
Oktober
2002
dan
Nomor
280/DIR/BS/X/2002 2) Bahwa AJB Bumiputera 1912 telah memenuhi persyaratan untuk membuka cabang dengan prinsip syariah. 3) Bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk menetapkan Pemberian Izin pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah. 4) Ketetapan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Tentang Pemberian Izin Pembukaan Kantor Cabang dengan Prinsip Syariah. 5) Memberikan izin kantor Cabang izin pembukaan cabang dengan prinsip syariah kepada : Nama Perusahaan
: Asuransi Jiwa Syariah Bumiputera 1912
NPWP
: 01.308.537.8-018.000
Alamat Kantor
: Jln. Worter Monginsidi No. 84-86 Kebayoran Baru Jakarta Selatan
E. Produk-Produk dan Manfaatnya Produk-produk yang ditawarkan Bumiputera Divisi Syari’ah saat ini antara lain: 1. Asuransi Jiwa Syari’ah Mitra Iqra: Produk Mitra Iqra’ ini dirancang secara khusus dapat menjamin para pemegang polis tersedianya sejumlah dana pendidikan putra-putrinya masuk taman kanak-kanak sampai lulus perguruan tinggi, dari kemungkinan terjadinya resiko yang tak terduga. Mengapa namanya Iqra’?.Nama tersebut ada hubungannya dengan Nabi Muahammad SAW. Ketika menerima wakyu dari malaikat Jibril Yaitu agar Muhammad membaca/Iqra. Diharapkan putra-putri pemegang polis Mitra Iqra’ kelak dapat mewarisi sifat-sifat Rasulullah. Firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 9.
>"& DZ(& V3F!y P; J 9"# !"W 8F s ?:jhO 5jkZ!"! >$3(MY [ ) اxbbv ?>" &5Z(& (٩/٤:ء Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebeb itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.( an-Nisa : 9)
Manfaat Produk Mitra Iqra’ a. Bila peserta dikaruniai panjang umur sampai dengan masa asuransinya berakhir dan premi telah dibayar lunas, maka kepada anak yang di beasiswakan diteserahkan dana pendidikan sebagai berikut: 1. Tingkat Taman Kanak-Kanak 2. Tingkat Sekolah Dasar 3. Tingkat SLTP 4. Tingkat SLTA 5. Tingkat I Perguruan Tinggi 6.Tingkat II Perguruan Tinggi 7.Tingkat I II Perguruan Tinggi 8.Tingkat VI Perguruan Tinggi 9.Tingkat V Perguruan Tinggi
: 10% X MA. : 10 % X MA. : 20 % X MA : 25 % X. MA : 35 %X MA : 25 %X MA : 35 %X MA : 50 %X MA : 100 %X MA
b. Jika Peserta ditakdirkan meninggal dunia dalam masa asuransi, kepada ahli waris peserta dibayarkan santunan berupa : 1. Santunan Kebajikan 2. Rekening Tabungan 3. Mudharabah/ Bagi Hasil c. Selanjutnya premi menjadi bebas/tidak bayar premi, tapi yang ditunjuk tetap menerima dana tahapan kontrak (TK,SD,SLTP,SLTA) dan Perguruan Tinggi menerima Tahapan yang lebih besar : 1. Diperguruan Tinggi Tingkat II
: 15 % MA.
2. Diperguruan Tinggi Tingkat III
: 20% MA.
3. Diperguruan Tinggi Tingkat IV
: 50% MA.
4. Diperguruan Tinggi Tingkat V
: 100% MA.
Produk-produk yang didesign Divisi Syariah AJB Bumiputera 1912 adalah produk yang halal. Menjadi Mitra Igra’ berarti ikut memerangi Musuh Islam yang Kedua, Memerangi Kebodohan. 2. Asuransi Jiwa Syari’ah Mitra Mabrur. Jutaan manusia memimpikan mngunjungi baitullah. Salah satu diantaranya, mugkin anda. Menunaikan perjalannan spitual ibadah haji melaksankan Rukun Islam yang kelima, nyaris menjadi ikhtiyar dan impian kita semua. Sayang sekali bahwa dengan jumlah keterbatasan-terutama dalam hal biaya itu kerap hanya berakhir dalam bentuk doa-doa panjang di ujung ibadah kita. Produk Mitra Mabrur hadir untuk mewujudkan impian anda. Dengan Mitra Mabrur. Bumiputera tidak hanya membantu anda menyisihkan dana tabungan haji secara teratur, lebih dari itu, perusahaan juga menawarkan dana mudharabah (bagi hasil) dan terutama perlindungan (asuransi). Dengan Mitra Mabrur, anda dapat melaksankan ibadah haji dengan hati tentram, tanpa kuwatir meninggalkan keluarga di tanah air. Kini impian menjadi tamu Allah tidak lagi harus berhenti pada doa, anda dapat mewujudkan melalui rencana matang, melalui produk Mitra Mabrur. Firman Allah dalam al-Qur’an surat Ali Imran : 97
qSN HH?& ^Y#
"2 kv t; *(. w(&
9⌧F⌧J ; A ⌧Z3+v N(Z"&35
t; Artinya:
⌧]
H63"! (٩٧/٣ :☺}| ) ال " ا نY (&
“Dan Allah mewajibkan manusia mengerjakan ibadah haji, yaitu bagi yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. (Ali Imran : 97)
Manfaat Mitra Mabrur sebagai berikut : a. Jika peserta ditakdirkan meninggal dunia dalam masa asuransi kepada ahli warisnya Yang Ditunjuk dalam polis dibayarkan: 1) Santunan Kebajikan 2) Mudharabah Bagi Hasil Investasi 3) Premi Tabungan/Rekening Tabungan Jumlah Santunan tersebut Insya Allah Dapat dipergunkan Ahli Warisnya untuk menuaikan ibdah haji. b. Jika dikarunai umur panjang sampai dengan masa asuransi berakhir dan premi dibayar sampai S.D. HK, kepada peserta yang dibayar: 1) Produk ini dapat dipakai sebagi sarana investasi bebas pajak apabila preminya dibayar secara tahunan/sekaligus untuk masa asuransi diatas 3 tahun. 2) Jika premi dibayar secara sekaligus dan masa asuransi 10 tahun, maka bagi hasilnya
lebih
besar
Umum/Konvensional.
dibandingkan
suku
bunga
di
Bank
3) Bila premi dibayar secara tahunan, dan tahun-tahun berikutnya peserta tidak dapat membayar premi lanjutan, maka peserta dapat menggunakan Cuti Premi. 4) Selama peserta cuti premi/tidak bayar premi, polis tetap berjalan/diproteksi selama nilai tunai polis masih cukup untuk membayar premi tabarru’. 5) Produk ini produk yang halal dan sesuai dengan syariat Islam yang bebas dari unsur gharar, maisir, dan riba. 6) Dengan
mengambil
produk
mitra
bertabarru’/berhibah/berderma, untuk
mabrur ikut
berarti
sudah
ikut
menyelamtkan penderitaan
ekonomi umat yang tergabung dalam ekonomi syariah AJB Bumiputera 1912 yang mendapatkan musibah/ujian dari Allah SWT. 7) Dalam kondisi ekonomi yang mendesak, peserta dapat mengambil sebagian nilai tunai yang besarnya maksimum 50 % dari Nilai Tunai. 8) Produk ini syariah, toyib, dan bersih,
Insya Allah dapat memberi
keberkahan hidup bagi peserta dan keluarganya. 9) Menjadi peserta Mitra Mabrur berarti sudah berusaha ketika usia tertentu/Tua sudah mempunyai sejumlah dana yang memadai, Sehingga Ikut Memerangi Musuh Islam Yang Utama Yakni: Kemiskinan. 10) Menjadi umat Islam diharapkan menjadi umat yang kaya, sehingga mampu menunaikan haji, umrah, berkorban, dan sodakoh demi kemasalahatan umat. Islam pada hakekatnya mengajak umatnya terus maju, berprestasi berkompetisi sehat dan mampu memberi rahmat untuk semsta alam.
Firman Allah dalam Al-Quran Surat Al Jumu’ah ayat 10
,AYcd& *Msn "3"! t=>OCW ^3| 9 CG"! 01Pn"! ; k>/ 9J( >/%& ?\9⌧J (١٠/٦٢ : 9 T ) ا6"3(F# Artinya:
“Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (Al Jumu’ah : 10)
3. Asuransi Jiwa Syari’ah Mitra Sakinah. Keluarga sakinah merupakan dambaan semua keluarga. Meskipun upaya kearah itu tidak selalu mudah. Selain berikhtiyar dan ibadah, anda tidak perlu melakukan upaya riil, produk Mitra Sakinah bisa membantu mewujudkan cita-cita tersebut salah satunya adalah dengan mepersiapkan aspek finansial yang bisa menopang kehidupan keluarga Indonesia secara berencana. Perusahaan menghadirkan
Mitra Sakinah,
untuk membatu sebagai
perencana finansial anda. Khususnya dalam mempersiapkan hari tua, melalui program ini, perusahaan
berharap keluarga Indonesia tidak tergangu oleh
persoalan-persoalan ekonomi, meskipun tulang punggung keluarga, tidak lagi produktif, atau tidak lagi berada di tengah mereka. Dengan Mitra Sakinah, Anda dapat membahagiakan keluarga dan melewatkan hari tua dengan tenang. Mitra Sakinah merupakan gabungan antara unsur tabungan, perlindungan asuransi dan investasi. Dengan manfaat yang dapat dinikmati antara lain :
a. Bila Bapak/Ibu ditakdirkan panjag umur sampai perjanjian asuransi berakhir akan menerima dana : 1) Pada akhir masa pembayaran premi, sebesar 50 % manfaat awal dibayarkan akhir tahun. 2) Akhir tahun 1 setelah masa pembayaran premi berakhir, sebesar 30% sisa Nilai Tunai. 3) Akhir tahun 2 setelah masa pembayaran premi berakhir, sebesar 50% sisa Nilai Tunai. 4) Akhir tahun 3 setelah masa pembayaran premi berakhir, sebesar 100% sisa Nilai Tunai. b. Bila bapak/ibu/sdr ditakdirkan meninggal dunia dalam Masa Asuransi misal dalam tahun ke 2, ahli waris yang ditunjuk akan menerima dana : 1) Sisa nilai tunai pada saat itu. 2) Manfaat Awal Asuransi. c. Bila bapak/Ibu ditakdirkan meninggal dunia dalam Masa Pembayaran Tahapan (MPT) di tahun ke 9, maka ahli waris yang ditunjuk akan menerima dana dan tidak ada lagi pembayaran sisa tahapan: 1) Dana tabungan yang telah disetor. 2) Bagian keuntungan (mudharabh) atas hasil investai tabungan. 3) Santunan Kebajikan.
F. Stuktur Orgnaisasi 1. AJB Bumiputera 1912 (Bagan terlampir) KOMISARIS Ir. H. Muchayat
Komisaris Utama
Prof. Dr, Ir. Sri Hardjko Wirjomartono, SE., ME
Komisaris
Drs. H. Amir Hasan. MS., MM., Ak
Komisaris
H. Abdul Wahab Dalimunthe, SH
Komisaris
Indomen Saragih, MA
Komisaris
DIREKSI Madjdi Ali
Direktur Utama
Ridwan Sadjadi
Direktur
Maryoso Sumaryono
Direktur
Mawarto
Direktur
Hadi Priyamoro
Direktur
Suseno Hario Saputro
Direktur
2. Stuktur Organisasi Asuransi Jiwa Syari’ah Bumiputera Bagan Terlampir) Dewan Pengawas Syari’ah:
1. Hc. KH. Sahal Mahfudh 2. Prof. Dr. H Qodri Azizi, MA 3. Drs. H. Fattah Wibisono, MA
Kadiv
: Widiyatno Maryono.
Ass. Kadiv. Bid. Pemasaran : H. Sugiyarno, SE. MM.
AAIJ
Ass. Kadiv. Bid. SDM
: H. Djamhuru Dallah, SH
Ass. Kadiv. Bid. Akuntansi
: Drs. H. Rawijo, M.Si
Ass. Kadiv. Bid.Keu&Inves : Suranto, SE, MM Kepala Bagian Pelayanan
: Hj. Rachmaidah, SE, AAIJ
Kepala Bagian Akuntansi
: Suwito, SE
3. Program kerja AJB Bumiputra36 : Visi Asuransi Syariah dipimpin oleh kepala divisi yang mempunyai fungsi mengelola kegiatan pemasaran asuransi syariah jiwa dan investasi sesuai dengan prinsip syariah serta bertanggung jawab kepada direktur pemasaran atas peningkatan pangsa pasar asuransi jiwa syariah dan penvcapaian surplus operasional. Divisi Syariah membawahi : 1. Wakil Kepala Divisi Bidang Operasional Wakil
Kepala Divisi
Bidang Operasinal mempunyai fungsi utama
merancang dan menyusun pengelolaan kegiatan operasional pemasaran asuransi Jiwa sesuai dengan prinsip syariah, pengembangan organisasi / sumber daya manusiai serta teknik dan underwriting. Wakil Kepala Divisi Bidang Operasinal membawahi : a) Bagian Pemasaran
36
SK Divisi Syariah AJB Bumiputera 1912
Bagian pemasaran dipimpin oleh kepala bagian yang mempunyai fungsi utama merancang dan menyusun program pemasaran asuransi jiwa sesuai prinsip syariah serta melakukan evaluasi atas implementasinya. b) Bagian Pemberdaya Organisasi Bagian pemberdaya organisasi dipimpin oleh bagian yang mempunyai fungsi utama merancang dan menyusun program pengembangan dan pemberdayaan SDM pemasaran, baik dinas dalam maupun dinas luar serta melakukan evaluasi dan implentasinya.
c) Bagian Teknik dan Underwriting Bagian teknik dan Underwriting dipimpin oleh Kepala Bagian yang mempunyai fungsi utama merancang dan menyusun program pengembangan produk dan teknik underwriting asuransi jiwa sesuai prinsip syariah serta melakukan evaluasi dan implentasinya. 2. Wakil Kepala Divisi Administrasi, Investasi, Keuangan dan Umum. Wakil Kepala Divisi Bidang Administrasi, Investasi, Keuangan dan Umum
mempunyai fungsi utama merancang dan menyusun pengelolaan
kegiatan Adminsitrasi, Investasi, keuangan dan Umum sesuai dengan prinsip syariah. Wakil Kepala Divisi Administrasi, Investasi, Keuangan dan Umum membawahi :
a. Bagian Pelayanan Pemegang Polis Bagian pelyanan Pemegang Polis dipimpin kepala bagian yang mempunyai fungsi utama memberikan informasi kepada pemegang polis asuransi jiwa sesuai prinsip syariah, khususnya yang terkait dengan hak dan kewajiban pemegang polis kepada perusahaan dan sebaliknya. b. Bagian Akuntansi dan Umum Bagian Akuntansi dan Umum dipimpin oleh kepala bagian yang mempunyai fungsi utama melakukan kegiatanAkuntansi dan melayani kebutuhan sarana dan prasarana operasional asuransi jiwa syariah serta melakukan evaluasi dan implementasi. c. Bagian Keuangan dan Investasi Bagian keuangan dan investasi dipimpin oleh Kepala Bagian yang mempunyai fungsi utama merancang dan menyusun program keuangan dan investasi
sesuai
prinsip
syariah
serta
melakukan
evaluasi
dan
implementasinya. 3. Kantor Cabang Asuransi Jiwa Syariah Dalam pelaksanan operasional pemasaran, divisi Asuransi Jiwa Syariah, membawahi kantor wilayah Asuransi Jiwa Syariah sedangkan kantor wilayah Asuransi Jiwa Syariah membawahi cabang. Kantor cabang membawahi yang belum ada kantor wilayah Asuransi Jiwa Syariah, langsung dibawah pengawasan Divisi Asuransi Jiwa Syariah.
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG POLIS ASURANSI SYARIAH PADA AJB BUMIPUTERA 1912 CABANG SYARIAH
Hubungan Akad Asuransi Syariah dengan Hukum Islam Konsep hukum dalam Islam berbeda dengan hukum lainnya. Hukum Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat (Hukum Muamalah), seperti yang diatur dalam hukum barat. Namun hukum Islam juga mengatur hubungan antara manusia dengan Allah SWT (Hukum Ibadat) yang tidak diatur dalam hukum lainnya.37 Hukum dalam Islam berdasarkan atas maslahat dunia dan kemaslahatan akhirat. Penetapan hukum muamalah dalam Islam tidak bersifat lahiriyah atau duniawi saja. Meskipun hukum muamalat mengatur hubungan manusia dengan manusia lain, benda dalam masyarakat dan alam semesta, hukum ini juga bersifat spiritual atau akhirat.38 Sebagai contoh jual beli. Jual beli adalah hal yang tidak dilarang dalam Islam. Secara lahiriyah, jual beli merupakan pertukaran hak milik atas suatu benda dengan harga atas benda tersebut. Secara batiniyah, jual beli dapat menjadi wajib hukumnya apabila dalam keadaan terpaksa, misalnya wali yang menjual harta anak yatim, atau kadi yang menjual harta muflis ( orang yang lebih banyak hutangnya dari pada
37
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia ( Jakarta. Kencana, 2006) hal.
38
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia. hal. 36
26
hartanya) jual beli dapat menjadi haram hukumnya apabila obyeknya adalah barang najis, seperti minuman keras, bangkai, dan babi. Dalam Hal ini akad asuransi syariah sebagai suatu perjanjian harus sesuai kepada landasan hukum syariat yang berkaitan dengan urusan perniagaan Islam. Karena itu akad asuransi berdasarkan konsep bagi hasil mudharabah dan tabarru. Prinsip tersebut yang menjadi dasar perniagaan Islam pada asuransi syariah. Hadits tentang perjanjian:
امVل أو أW مX) إ; ﺵX( ﺵو." ن+ . وا:. وﺱ0." ( ا./ #C'ل ا 39
( اﻡ\ى6)روا
Artinya:
“Orang-orang muslim itu terikad dengan syarat yang mereka sepakti, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”. (H.R Turmudzi)
Hadits diatas menjelaskan tentang prinsip umum dalam melakukan akad atau transaksi. Orang muslim dalam melakukan transaksinya bergantung oleh syarat yang mereka sepakati bersama antara kedua belah pihak, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dengan perusahaan asuransi akad atau transaksi antara anggota (nasabah) dengan pengelola asuransi harus berdasrkan syarat-syarat yang mereka tetapkan bersama. Jika syarat-syarat tersebut telah disepakati, maka kedua belah pihak (nasabah dan perusahaan) terikat dalam suatu
39
Muhammad ibn Isa Abu Isa al-Tirmidzi al-Sulami, al-Jami' al-Shahih Sunan alTirmidzi, Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-Arabi, tt, jilid 3, hal. 634, no hadis 1352.
ikatan (al-aqdu) yang harus disepakati bersama, kecuali syarat-syarat yang tidak sesuai dengan ketentuan syariah.
Hubungan Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999 dengan Akad Asuransi Syariah. `Salah satu tujuan dari pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah untuk mengangkat harkat martabat kehidupan konsumen dengan menghindari akibat negatif, selain dari pemakaian barang juga manfaat jasa. Upaya melindungi yang dilakukan melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 diharapkan mampu menegakkan norma hukum perlindungan konsumen dan sisi lain memberikan rasa tanggung jawab dunia usaha. Dari beberapa materi muatan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, salah satunya ketentuan mengenai klausula baku didasari atas pemikiran bahwa dasar praktek bisnis, klausula baku sangat dibutuhkan keberadaanya terutama bagi pelaku usaha yang mengelola kegiatan jasa seperti; perbankan, asuransi, transportasi, dan lainlain yang memiliki transaksi cepat, murah, efektif, dan efisien. Dapat difahami
pemberlakuan klausula bakud dalam formulir maupun
dokumen perjanjian standar memberikan kemudahan kepada pelaku usaha agar tidak berulang-ulang membuat perjanjian dengan konsumen yang berbeda-beda, jumlah banyak, dan tentunya membuang tenaga, waktu dan biaya. Namun yang menjadi masalah, seringkali klusula standard ini diadakan hanya untuk memberikan legitimasi
kepada pelaku usaha untuk memberikan hak tawar (bargaining position) kepada konsumen. Pengaturan kontrak menurut Pasal 1 butir 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 tahun 1999 adalah sebagai berikut: “Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjan yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. Dengan perkataan lain akad merupakan suatu ketentuan yang menjadi tolok ukur yang memuat hak dan kewajiban para pihak dalam suatu transaksi baik barang dan/atau jasa yang dibuat secara tertulis dan materi telah ditentukan sebelumnya secara sepihak.40 Klausula baku menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur dalam Bab V dengan judul “ketentuan pencatuman klausula baku”, yang dimuat di dalam pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (4), yang pada dasarnya melarang klausula baku di dalam perjanjian standar yang memenuhi kriteria seperti yang disebut dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen . Untuk menjunjung tinggi dan memberikan kepastian hukum, pengaturan klausula baku dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
40
menggunakan cara
Pedoman Klausula Baku Di Bidang Asuransi. Direktorat Perlindungan Konsumen, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, departemen Perindutrian dan Perdagangan, 2001. hal. 8
penyusunan daftar negatif, dengan delapan materi dilarang yaitu apabila klausula baku:41 a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang telah dibeli oleh konsumen; c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen memanfaatkan yang dibelinya. g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan yang dibelinya; h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
41
UUPK No 8 tahun 1999
Sebagai kelengkapan materi tersebut, Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga melarang pencatuman klausula baku yang letak atau pengungkapannya mengakibatkan konsumen tidak dapat mengerti atau sulit melihat dan atau membaca secara jelas (pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen). Dalam
penjelasan
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen,
tidak
disebutkan klausula baku seperti apakah yang dapat dinyatakan sebagai klausula baku yang sulit terlihat, tidak dapat dibaca secara jelas serta pengungkapan sulit dimengerti, padahal demi kepastian hukum perlu ada suatu kriteria atau acuan mengenai klausula baku seperti apa yang dapat dinyatakan sebagai klausula baku yang bentuknya sulit terlihat, tidak dapat dibaca secara jelas serta pengungkapannya sulit dimengerti. Pada dasarnya transaksi dalam hukum Islam bersifat mengikat. Apabila transaksi tersebut telah sempurna dengan adanya ijab dan qobul yang dilakukan oleh kedua pihak, setelah “pembuatan akad” maka transaksi tersebut mengikat dan wajib dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Hanya permasalahanya, ketika transaksi muamalah itu harus sempurna dengan cara yang bisa menghilangkan perselisihan antar individu, maka hukum Islam telah mengharamkan individu tersebut untuk melakukan penipuan (tadlis) transaski tersebut.42 Bahkan, hukum Islam telah menjadikan penipuan sebagai suatu dosa, baik penipuan tersebut berasal dari penjual maupun pembeli barang. Setiap melakukan transaksi senantiasa harus dilandasi oleh aturan hukumhukum Islam (syariah), karena transaksi adalah manisfestasi amal manusia yang
42
Taqyudin Annabani, Membangun Ekonomi Alternatif Perspektif Islam (Surabaya, Risalah Gusti 1996) hal. 205
bernilai ibadah dihadapan Allah SWT, sehingga dalam Islam dapat dikategorikan menjadi dua bagianYakni transaksi yang halal dan transaksi yang haram. Halal dan haramnya suatu transaksi tergantung beberapa kreteria yaitu: a). Obyek yang dijadikan transaksi apakah obyek halal atau obyek haram. b). Cara bertransaksi apakah cara bertransaksi halal atau transaksi haram. Disamping ketentuan diatas, Hukum Islam sebagai bagian dari muamalah harus pula memperhatikan prinsip-prinsip bidang muamalah dalam bertransaksi. Prinsip-prinsip tersebut sabagai berikut43: f. Prinsip antaradhain (saling rela dalam akad); g. Prinsip al-I’timad ‘ al-nafs (kewirausahaan); h. Prinsip al-ta’awun ( saling tolong menolong); i.
Prinsip al-mas-uliyah ( tanggung jawab );
j.
Prinsip al-taysir (kemudahan), karena segala prinsip muamalah diperbolehkan sepanjang tidak ada larangan
k. Prinsip al-idariyah (administrasi keuangan yang benar dan transparan); l.
Prinsip al-takaful al-ijmali (tanggung jawab sosial);
m. Prinsip al-ikhtiyat (kehati-hatian).
Hukum Islam memberikan kemudahan atau kebebasan pada setiap orang untuk melakukan akad sesuai yang diinginkan, sebaliknya apabila ada unsur pemaksaan
43
Djazuli, Fikih Siyasah (Implementasi Kemaslahaan Umat Dalam Rambu-rambu Syariah ( Jakarta: Prenada Media, 2003) hal 412.
atau pemasungan kebebasan akan menyebabkan legalitas kontrak yang dihasilkan batal dan tidak sah. Ketentuan ini menggambarkan prinsip dasar muamalah yaitu kebolehan (mubah) yang mengandung arti bahwa hukum Islam memberi kesempatan luas perkembangan bentuk dan macam muamalah
baru sesuai dengan perkembangan
kebutuhan hidup masyarakat. Namun, kebebasan berakad tersebut memiliki batasan terhadap hal-hal yang sudah dilarang dalam syariat. Tujuan dari pembatasan tersebut adalah untuk menjaga agar tidak terjadi penganiayaan terhadap sesama manusia melalui kontrak yang dibuatnya. Dengan demikian Hukum Islam dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen sama-sama memberikan kepastian hukum kepada setiap pihak yang melakukan akad, agar masing-masing pihak tidak ada yang dirugikan, khususnya para nasabah. Bila masing-masing tidak melaksanakan hak dan kewajiban, maka dapat membatalkan akad yang telah dibuat, dan mendapatkan sangsi sesuai ketentuan yang berlaku..
Penerapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999 Pada Akad Asuransi Syariah. Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengkaji dan mengalisa bagaimana penerapan ketentuan pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam polis asuransi syariah studi kasus pada AJB Bumiputera 1912 Divisi Syariah. Untuk mendukung Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, digunakan juga
ketentuan-ketentuan hukum lainnya yang berhubungan dengan bidang asuransi seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP), Kitab
Undang-Undang dagang
(KUHD) Undang-Undang No 2 Tahun 1992 tentang penyelenggaraan Usaha, Peraturan Pemerintah No 63 tahun 1999 tentang perubahan atas PP No 73/1992 dan beberapa peraturan pelaksana seperti keputusan menteri keuangan No.225 KMK. 017/2003 tentang penyelenggaaan Usaha Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Adapun ketidaksesuaian tehadap ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang dijumpai dalam polis AJB Bumiputera 1912 Cabang Syariah sebagai berikut : 1. Pengalihan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Klausula yang berisikan pengalihan tanggung jawab ini dikenal dengan istilah klausula eksonerasi. Dari ketentuan pasal 18 ayat (1) butir a Undang-Undang Perlindungan Konsumen
diatas, dapat disimpulkan bahwa setiap pelaku usaha
(barang dan/atau jasa) dilarang mencantumkan klausula yang substansinya berisikan pengalihan atau peniadaan tanggung jawab pelaku usaha. Jenis ketentuan ini terdapat pada Polis AJB Bumiputera Pasal 11 ayat (2) : "Dalam hal peserta ditakdirkan meninggal dunia jangka waktu pengajuan santunan beserta bukti-bukti pendukungnya selambat-lambatnya 1 (satu) sejak peserta ditakdirkan meninggal dunia, diluar jangka waktu tersebut badan berhak menolak permintaan santunan" Pasal 16 ayat (2) Keputusan menteri Keuangan No.225/KMK.017/2003 menyatakan: “Dalam polis asuransi dilarang pencantumkan suatu ketentuan yang
dapat ditafsirkan bahwa, Tertanggung tidak harus menerima penolakan pembayaran klaim”. Pasal 1976 KUHP berbunyi bahwa: “segala tuntutan hukum, baik yang bersifat perbendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena dasaluarsa dengan leawatnya waktu tiga puluh tahun. Pasal 1946 KUHP mengatakan bahwa: “Daluarsa adalah suatu alat untuk memperoleh suatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang”. Pasal 1952 KUHP, mengatakan bahwa: “Orang-orang berpiutang dan lainlain orang yang berkepentingan dapat melawan pelepasan dasaluarsa yang dilakukan oleh si berutang dengan maksud mengurangi hak-hak mereka secara curang”. Berdasarkan ketentuan-ketentuan diatas, maka uang pertanggungan yang belum dibayarkan oleh penanggung adalah piutang yang ditunjuk, yang wajib dilunasi oleh Penanggung. Utang piutang adalah termasuk dalam tuntutan hukum yang bersifat kebendaan. Oleh karena itu, maka piutang Yang Ditunjuk daluarsanya adalah 30 tahun. Dengan demikian, penetapan dasaluarsa harus dilakukan dengan mengikuti acuan yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Apabila oleh undangundang telah ditetapkan 30 tahun sebagai waktu daluarsanya, sehingga menyebabkan timbulnya kerugian bagi yang Ditunjuk, maka yang Ditunjuk untuk menuntut haknya.
2. Mengatur
Prihal
Pembuktian
Atas
Hilangnya
Kegunaan
Barang
Atau
Pemanfaatan Jasa Yang Dibeli Konsumen Ketentuan Pasal 18 ayat (1) butir e Undang-Undang Perlindungan Konsumen
diatas, ditunjukan bagi pelaku usaha yang menawarkan barang
dan/atau jasa untuk diperdagangkan. Ketentuan dalam butir ini melarang pelaku usaha tersebut mencantumkan klausula baku dalam dokumen atau perjanjian dimana substansi dari klausula tersebut menyatakan keharusan bagi konsumen untuk membuktikan hilangnya atau kurangnya keguanaan suatu barang atau jasa yang telah dibeli konsumen. Contoh kalusula diatas terdapat pada :
Polis AJB Bumiputera pasal 11 (1.2) “Surat bukti mengenai kecelakaan diri dari yang berwajib termasuk surat keterangan dari Dokter dalam hal peserta meninggal dunia karena kecelakaan”. Merujuk Pasal 28 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berbunyi, “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, Pasal 23 Pasal 23 yang berbunyi merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha”. Adapun bunyi pasal 19 pasal 22 dan pasal 23 Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai berikut : a) Pasal 19 Berbunyi :
1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan yang bersangkutan. 2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau pergantian barang dan/atau jasa sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santuanan yang sesuai dengan ketentuan peratuaran perundang-undangan yang berlaku. 3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu (7 tujuh) hari setlah tanggal transaksi. 4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. 5) Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku konsumen dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. b) Pasal 22 yang berbunyi : “Pembuktian terhadap ada dan tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (4) pasal 20, pasal 21 dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian”. c) Sedangkan gkan Pasal 23 berbunyi : “Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberikan tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1), ayat (2) ayat (3) dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan kebadan pengadialn di tempat kedudukan konsumen”. Dengan demikian, prinsip pembuktian dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah terbalik, sehigga bila terjadi sengketa antara pelaku dan usaha konsumen/pihak yang secara sah mewakili konsumen, yang harus membuktikan terjadi/tidak terjadinya kesalahan adalah pelaku usaha dan bukan konsumen/pihak yang secara sah mewakili konsumen.
3. Memberikan Hak Kepada Pelaku Usaha Untuk Mengurangi Manfaat Jasa Atau Mengurangi Harta Kekayaan Konsumen Yang Menjadi Objek Jual Beli Jasa;
Ketentuan Pasal 18 ayat (1) butir e Undang-Undang Perlindungan Konsumen
diatas, ditunujukan bagi pelaku usaha yang menawarkan barang
dan/atau jasa diperdagangkan. Ketentuan tersebut melarang pelaku usaha mencantumkan klausula tersebut menyatakan pemberian hak kepeda pelaku usaha (secara sepihak) mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa. Klausula baku yang dimaksud diatas, terdapat pada polis-polis asuransi jiwa dibawah ini : Polis AJB Bumiputera Pasal 11 ayat 3 “Badan berhak untuk meminta dokumen yang diaggap perlu dalam pengajuan klaim”. Pasal 14 (a) Keputusan Menteri Keuangan No. 225/KMK.017/1993 menyatakan : “Tindakan yang dapat dikategorikan sebagai memperlambat penyelesaian klaim sebagaimana dimaksud pasal 23 ayat (1) PP 73 Tahun 1992 adalah tindakan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak secepatnya
melakukan
penyelesaian
klaim
tidak
wajar,
antara
lain:
Memperpanjang proses penyelesaiaan klaim dengan meminta penyerahan dokumen tertentu yang kemudian diikuti dokumen lain yang pada dasarnya berisi hal yang sama”. Pasal 15 Keputusan Menteri Keuangan No. 225/KMK.017/1993 menyatakan : “Perusahaan Asuransi harus telah menyelesaikan pembayaran klaim paling lama
30 (tiga puluh) hari sejak adanya kesepakatan atau kepastian mengenai jumlah klaim yang harus dibayar”. Dengan demikain, bila sudah ditentukan dokumen-dokumen apa saja yang harus diserahkan oleh pemegang polis /tertanggung untuk mengajukan klaim untuk apa lagi menyerahkan keterangan-keterangan lain/dokumen-dokumen lain? Perlu dingat, bahwa bila alasan belum diserahkannya keteranganketerangan/dokumen-dokumen lain kemudian klaim tidak diberikan kepada Pemegang Polis/Tertanggung lebih dari 30 hari setelah
adanya kesepakatan
mengenai jumlah klaim yang harus dibayar, maka Penanggung telah mengurangi manfaat jasa yang tenjadi objek pertanggungan. Karena dengan depresiasi yang terjadi dari waktu ke waktu, keterlambatan tersebut mengurangi nilai dari klaim tersebut.
Dampak Penerapan Hukum Pelindungan Konsumen dan Hukum Islam Dalam perkembangan teori hukum perjanjian yang modern ini, dimana asas itikad baik harus sudah ada sejak pada tahap pra perjanjian/kontrak atau tahap perundingan, Indonesia sendiri pada dasarnya telah memberlakukan teori modern ini, yakni dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dimana secara implisit menurut Pasal 9 ayat (1) bahwa : "Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak benar". Setiap transaksi jual beli barang dan/atau jasa yang mencantumkan klausula baku yang tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, konsumen dapat menggugat pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku yang dilarang dan pelaku usaha tersebut dan dapat dijatuhi sanksi pidana denda atau pidana penjara. Pencantuman klausula baku yang benar adalah yang tidak mengandung unsur
atau
pernyataan
yang
dilarang
dalam
undang-undang,
bentuk
dan
pencantumannya mudah terlihat dan dipahami. Dengan diberlakukanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka setiap pencatuman klausula baku yang memenuhi ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, dinyatakan batal demi hukum, dan bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi sebagai berikut44 : a. Sanksi Perdata 1) Perjanjian standar yang dibuat oleh pelaku usaha jika digugat didepan pengadilan oleh konsumen, akan menyebabkan hakim harus membuat putusan bahwa perjanjian standar batal demi hukum 2) Pelaku usaha yang saat ini telah mencantumkan klausula baku dalam dokumen atau perjanjian standar yang digunakan wajib merevisi perjanjan standar yang digunakannya sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. 45
44 45
Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pasal 18 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
b. Sanksi Pidana Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dipidana dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau pidana denda Rp. 2.000. 000.000.- (dua miliar rupiah).46 Selanjutnya beberapa hukuman tambahan dapat berupa (Pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ): 1) Perampasan barang tertentu; 2) Pengumuman keputusan hakim; 3) Pembayaran ganti rugi; 4) Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; 5) Kewajiban penarikan barang dari persedaran; atau 6) Pencabutan izin usaha;
Dari Undang-Undang
Tentang
Perlindungan
Konsumen
ini,
dapat
disimpulkan bahwa asas itikad baik harus sudah ada sejak pra perjanjian/kontrak dan janji-janji pra kontrak/perjanjian akan berdampak hukum. Dalam prakteknya, Asas itikad baik yang baru diterapkan setelah perjanjian ditandatangani sebagaimana ketentuan yang tercantum didalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (3), untuk saat ini penerapannya sudah tidak sesuai lagi karena seharusnya asas itikad baik sudah harus diterapkan sejak saat perundingan atau pra
46
Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
kontrak. Dari apa yang telah diuraikan diatas, karena di Indonesia, selain UndangUndang Tentang Perlindungan Konsumen, belum ada pengaturan yang khusus mengenai "dampak hukum dari janji-janji pra kontrak", sehingga kekosongan hukum ini diharapkan dapat diisi dari pertimbangan-pertimbangan dan putusanputusan pengadilan, Pengadilan/Hakim didalam memeriksa perkara dapat menggunakan metode penafsiran untuk dapat mengisi kekosongan hukum, Dengan demikian setiap pelaku usaha tindak pidana tertentu yang disebutkan dalam pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat pula dijatuhi hukuman tambahan sebagaiman diatur dalam pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut. Pelaku usaha tidak boleh melakukan berbagai cara yang dilarang syari’at, mengingat pelaku usaha kerap kali mencari kesempatan dari kekayaan atau profesinya untuk memperdaya konsumen. Bahkan, pelaku usaha tidak segan-segan melakukan pendekatan pengadilan melalui penyogokan terhadap hakim atau pejabat pengadilan untuk memenangkan kasusnya, sehingga konsumen semakin menderita. Salah satu firman Allah Swt., dalam surat al-Baqarah : 188 :
$%"&'() J!"# 012 +(&3/ $%,. / ^Y<35 3/ &Pb# ! k& + ( HH& U'() P;@ ?5_9"! VCG) UV(V*l3/ (١٨٨/٢ :ةNC ) ا. 6☺Y"# Artinya:
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui. (al-Baqarah : 188) Ayat di atas, melarang untuk memperoleh harta orang lain secara tidak adil kepada orang lain dengan mengemukakan bukti-bukti tidak benar. Perbuatan tidak adil dan salah dapat merusak sistem ekonomi yang akhirnya akan menghancurkan keseluruhan sistem sosial, termasuk orang yang melakukan tindak kekerasan. Seseorang dilarang melanggar dan merampas hak orang lain serta diberikan kebebasan dalam mengumpulkan harta dengan cara halal. Haram menggunakan pihak
berkuasa (kekuasaan)
agar
ia
memihak
kepada seseorang
untuk
mengumpulkan harta (kekayaan), karena merupakan “pelanggaran ekonomi”. Dalam menegakkan keadilan, kesenjangan masyarakat harus dihapuskan melalui pemberian hak-hak konsumen secara adil dan merata. Transaksi jual beli tidak boleh disimpangkan di dalam hukum dengan menghindari keadilan.
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan bab yang terakhir dari ragkaian penulisan skripsi ini. Dengan demikian pada bab kali ini, penulis mencoba mmberikan atau menarik beberapa kesimpulan dari apa yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya. Sehubungan dengan hal itu juga penulis kemukakan saran-saran yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dihadapi oleh AJB Bumiputera 1912 Cabang Syari’ah berkenaan dengan penerbitan polis asuransi syariah, dengan harapan sekiranya saran-saran tersebut dapat membantu perusahaan ini dalam mengabil keputusan guna perkembangan dan dan kemajuan AJB Bumiputera 1912 dimasa yang akan datang.
A. Kesimpulan 1. Isi dari suatu perjanjian/akad, tidak hanya mencerminkan aspirasi pelaku usaha, tatapi juga harus mengakomodir pula kepentingan konsumen, harus memperhatikan unsur kelayakan, kepatutan, dan kepantasan. Hukum Islam dan Pasal 18 Undang-Undang No 8 Tentang Perlindungan Konsumen, berusaha untuk mengurangi
atau mengantisipasi sisi negatif dari suatu
perjanjian/akad. Sehingga pada saat konsumen menandatangani suatu perjanjian harus diciptakan adanya keseimbangan atau kesederajatan posisi dengan pelaku usaha dalam menentukan perjanjian, berdasarkan asaz kebebasan berkontrak.
2. Pelaku usaha tidak boleh melakukan berbagai cara yang dilarang syari’at, mengingat pelaku usaha kerap kali mencari kesempatan dari kekayaan atau profesinya untuk memperdaya konsumen. 3. Pada tahun 1999 telah diundangkan undang-undang perlindugan konsumen No. 8 tahun1999 tetag perlindungan konsumen (UUPK). Undang-Undang ini telah lama dinantikan kehadirannya terutama agar dapat memberikan dasar hukum dan kepastian hukum bagi pelaksana perlindungan konsumen di Indonesia. Sebagai undang-undang payung bagi pelaksana perlindungan konsumen di Indonesia. 4. Setelah mempelajari isi polis AJB Bumiputera 1912 terdapat beberapa klausula standar tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 18 UUPK antara lain adalah klausula standar yang esensinya secara mendasar telah mengalihkan tanggung jawab pelaku usaha kepada tertanggung/pemegang polis asuransi. 5. Klausula baku yang dicantumkan adalah aturan yang menetapkan bahwa pemegang polis/konsumen tunduk pada ketentuan atau peraturan yang berupa tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan, aturaran tambahan yang dibuat secara sepihak oleh perusahaan asuransi/pelaku usaha dikemudian hari. Tentu saja ini menciptkan ketidakpastian hukum bagi pemegang polis selaku konsumen dan tidak ada kesejajaran hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen. Konsumen sangat dirugikan karena setiap waktu dapat diterapkan ketentuan-ketentuan baru yang konsumen tidak tahu sebelumnya dan sangat besar kemungkinannya dan
sangat besar kemungkinan ketentuan-ketentuan baru tersebut tidak menguntungkan konsumen. Maka konsumen berhak menuntut klausulaklausula tersebut dinyatakan batal demi hukum. B. Saran. Dari uraian yang telah penulis terangkan diatas, maka penulis ingin memberikan beberapa saran, yaitu: 1. Pelaku Usaha perlu segera meningkatkan pemahamannya terhadap Undang Undang Perlindungan Konsumen agar tidak lagi Perusahaan Asuransi yang menolak untuk memberi kesempatan kepada calon pemegang polis untuk lebih dahulu mempelajari isi polis. 2. Pelaku Usaha perlu melakukan evaluasi terhadap polis asuransi yang selama ini beredar pada masyarakat agar ketentuan polis asuransi tidak bertentangan dengan delapan daftar negatif klausula standar pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen. 3. Agar ketentuan Pasal 18 Undang Undang Perlindungan Konsumen dapat berjalan baik, perlu dilakukan pengawasan dari Pemerintah, Dewan Syariah Nasional, tidak hanya oleh Direktorat Asuransi, Departemen Keuangan, tetapi juga melibatkan dan memberi wewenang kepada Direktorat Perlindunagn Konsumen, Departemen Perindustrian dan Perdagangan untuk melindungi konsumen khususnya pemegang polis asuransi. 4. Perlu menambah badan/komisi kalusula standar dibawah Departemen Kehakiman bekerja sama dengan Dewan Syariah Nasional yang bertugas
memberi persetujuan kepada setiap klausula standar yang akan dipasarkan kepada masyarakat luas, juga melakukan pengawasan terhadap semua klausula standar yang beredar dipasaran agar sesuai dengan ketentuan syariat Islam. 5. Konsumen dan juga calon Nasabah Asuransi Syariah diharapkan dapat bersikap kritis dan berani menolak terhadap isi polis yang dianggap merugikan dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia, Semarang, CV Toha Putra, 1989 Abdullah, Anwar, Kamus Umum Asuransi, Jakarta Kesain blanc, 1996, cet. Ke-3. Ali, AM Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis & Praktis, Jakarta, Kencana, 2004 Ash-Shidiqi, Hasbi, TM. Pengantar Fikih Muamalah, Semarang , PT Pustaka rikzi Putra, 1999. Ali M. Hasan, Masail FiqhiyahI (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000) A. Mas’adi, Gufran, Fiqh Muamalah Kontektual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002) Dewi, Gemala,, Aspek-aspek Hukum Perbankan & Perasuransian Syariah di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2000 Darmawi, Herman, manajemen Asuransi, Jakarta, PT Bumi Aksara 2001, cet. Ke-2. Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam , Ensiklopedi Hukum Islam “ Akad dan Asuransi” Jakarta PT. Ichtiar Baru van Hoeva, 1996, cet. Ke-1. Djojosoedarso, Soeisno Prinsip-Prinsip Manajemen Risiko dan Asuransi, Jakarta. Salemba Empat. Draf Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Draf Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Gerson, F Richard, Mengukur Kepuasan Pelanggan, Jakarta, PPM, 2004 Hamid, Husen, Ihsan,
Asuransi dalam Hukum Islam Tinjaun Atas Riba dan Gharar
(Jakarta: CV. Virdaus, 1996)
Harahap, Syafri, Sofyan, Akuntansi Islam, Bumi Aksara, 1997, cet. Ke-1 Harun,Nasroen Fiqh Muamlah, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000 K, Lubis,Ibrahim. Ekonomi Islam Suatu Pengantar II, Jakarta: Kalamulia, 1995 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta, Kalam Mulia, 1995 cet. Ke1 ....Modul Asuransi Syari’ah Jakarta : Kantor Pusat PT Asuransi Umum Bumiputera 1912 Cab. Syari’ah Murtadha Mutahari, Pandangan Islam tengtang Asuransi dan Riba, Bandung : Pustaka Hidayah, 1995 Nawawi, Imam. Terjemah Riyadhus Shalihin, Pustaka Amani, Jakarta, cet.IV, Rabiul Awal 1420/ Juli 1999 M edisi revisi Nabani, Taqyudin, Membangun Sistem Ekonomi Perspektif Islam, Surabaya, Gusti, 1996 Prihartoro, M Wahyu, Manajemen Pemasaran Dan Tata Usaha Asuransi, Yogyakarta, Kanisius, 2001 Pangaribuan, Emmy, Hukum Pertanggugan, Yogyakarta. Gramedia 1980
Qardawi, Yusuf Halal dan Haram, Jakarta Rabbani press, 2000, cet Ke-1 Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Isla, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994 Jilid IV, cet.Ke-2. Rejeki, Sri Hartono, Grafika,1992
Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Jakarta: Sinar
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT Intermasa, 1992 Suparman, Man, Sastrawidjaja, Hukum Asuransi, Perlindungan Tertanggung, Asuransi Deposito, Usaha Persauransian, Bandung PT Alumni 2004)
Sendra, Ketut, Panduan Sukses Menjual Asuransi, Jakarta, PPM, 2002 Sula, Muhamad Syakir, Asuransi Syari’ah (Life And General) Konsep Dan Sistem Oprational, Jakarta, Gema Insani, 2004
www.Depku.com www.Hukum online.com
Yasin, Sulchan, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya, Amanah, 1997