BATAS USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MENURUT TINJAUAN HUKUM ISLAM (Analisis Putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel)
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
BRINNA LISTIYANI NIM : 1112045100003
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H / 2016 M
ABSTRAK BRINNA LISTIYANI. NIM : 1112045100003. BATAS USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DALAM KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) MENURUT TINJAUAN HUKUM ISLAM (Analisis Putusan No. 229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel), Skripsi. Konsentrasi Jinayah, Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016. Pertanggungjawaban pidana dapat dilaksanakan jika telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana. Namun, seseorang bisa saja tidak dimintai pertanggungjawaban apabila tidak memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana misalnya anak dibawah umur. Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) pertanggungjawaban pidana anak ada di Pasal 45, 46 dan 47 yang berisikan seorang anak yang belum mencapai usia 16 (enam belas) tahun tidak dimintai pertangungjawabannya. Undang-undang tentang pidana anak beraneka ragam dalam menetapkan batas usia seseorang dikategorikan sebagai anak. Dalam putusan No. 229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.sel seseorang yang berusia 17 (tujuh belas) tahun masuk dalam Sidang Anak dan dijatuhi pidana sesuai undang-undang pengadilan anak. Putusan hakim ini berbeda dengan aturan pidana bagi anak dalam KUHP. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis membandingkan beberapa undang-undang yang mengatur tentang pidana anak dengan KUHP Sedangkan menurut hukum Islam, seorang anak yang telah masuk usia balligh ulama’ sepakat berusia 15 (lima belas) tahun sudah dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatan yang dilakukannya dan dihukum atau di sanksi sesuai dengan hukuman yang diberikan kepada orang dewasa. Penulis menggunakan pendekatan normatif yang dilakukan dengan studi pustaka (library research), yaitu dengan menelaah buku-buku, media cetak atau elektronik yang berkaitang dengan batas usia pertanggungjawaban pidana anak. Kata Kunci : Batas Usia Anak, Pertanngungjawaban Pidana Anak, Pembimbing : Dr. Isnawati Rais, MA
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas nikmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sholawat beriring salam penulis persembahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang. Skripsi ini berjudul “BATAS USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK MENURUT KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) MENURUT TUNJAUAN HUKUM ISLAM (Analisis Putusan No. 229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel) disusun sebagai salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan program studi sarjana di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada : 1. Bpk Prof. Dede Rosyada, M.A, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Bpk Dr. Asep Saefudin Djahar,M.A,Ph.D Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Bpk Dr. M. Nurul Irfan, M.A, Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam dan v
Bpk Nur Rohim Yunus, LLM, Sekretaris Program Studi Hukum Pidana Islam, yang telah memberikan arahan, bimbingan dan dorongan kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Ibu Dr. Hj. Isnawati Rais, sebagai dosen pembimbing yang rela meluangkan waktunya dan selalu memberikan masukan, arahan dan kritikan yang konstruktif pada Penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 5. Pimpinan Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku dan literature lainnya sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan. 6. Semua Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, atas semua pengetahuan yang telah diberikan kepada Penulis selama masa pendidikan berlangsung. 7. Terimakasih Ayahanda Nono Sumedji dan Ibunda Rinawati, yang telah mengajarkan bahasa cinta dan kasih sayang serta doa tulus beliau yang tak henti-hentinya. Om Pahrudin Saputra dan Teh Nila Yanti yang telah memberikan dukungan baik moral dan materi kepada Penulis. Adik kandungku Najla Nurul Aini, yang rela membantu dan memberi motivasi demi kelancaran Penelitian. Terimakasih kepada 8. Rahmat Syarifudin, yang telah memberikan motivasi secara moral dan materi agar penulis tetap semangat sehingga tugas akhir skripsi ini dapat terselesaikan. 9. Terimakasih Rahmat Syarifudin, yang telah memberikan motivasi agar penulis segera menyelesaikan tugas akhir skripsi ini. vi
10. Terimakasih teman-teman Hukum Pidana Islam dan Hukum Tata Negara Angkatan 2012, kalian adalah saudara, sahabat dan keluarga yang telah menjadi saksi perjuangan selama di bangku kuliah. 11. Terimakasih Organisasi Himpunan Ikatan Mahasiswa Tebuireng (HIKMAT) dan Organisasi PMII Komfaksyahum, yang telah menjadi himpunan sebagai wadah pengetahuan dan pengalaman dalam mencari jati diri. 12. Terimakasih teman seperjuangan dalam menyelesaikan skripsi ini bersamasama, Arief Setiawan Onira, Imas Maesaroh, M. Faruq, M. Irfan Hilmy, Sevi Syophia, Nidaul Hasanah, Deni Kurniawati, Afiq Zaki Lubis, Munawaroh Halimah, Lativah Noor, Rizky Faray dan lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Terimakasih kalian telah memberikan bantuan agar penulis menyelesaikan tugas akhir skripsi ini. Semoga atas segala bantuan, dukungan, motivasi dan do’a untuk Penulis mendapat balasan yang paling layak dari-Nya, dan skripsi ini berguna bagi wacana keislman, kepada-Nya kita memohon Rahmat dan Hidayah-Nya. Amin YaRabbal’Alamin
Jakarta, 30 September 2015 M 28 Dzul-Hijjah 1437
(BRINNA LISTIYANI)
vii
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ....................................................... i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................... ii SURAT PERNYATAAN .....................................................................................iii ABSTRAK ........................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ...........................................................................................v DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii BAB I
: PENDAHULUAN .......................................................................... 1 A. Latarbelakang Masalah ............................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................... 9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 10 D. Kajian (Review) Studi Terdahulu ............................................. 10 E. Metode Penelitian ...................................................................... 11 F. Sistematika Penulisan ............................................................... 13
BAB II
:TEORI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ......................... 15 A. Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Positif dan Hukum Islam .......................................................................................... 15 B. Alasan Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana ........................ 27 C. Pertanggungjawaban Pidana Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Hukum Islam .............................. 40
BAB III
: BATAS USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK .. 50 A. Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum viii
Positif ........................................................................................ 50 B. Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum Islam .......................................................................................... 56 C. Perlindungan Hukum Bagi Anak Bermasalah Dengan Hukum.. 60 BAB IV
: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ANALISIS PUTUSAN No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel TENTANG BATASAN USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK .............................. 64 A. Putusan Pengadilan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel ........ 64 B. Tinjauan
Hukum
Positif
terhadap
putusan
No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel ......................................... 67 C. Tinjauan
Hukum
Islam
terhadap
Putusan
No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel .......................................... 69 BAB V
: PENUTUP ........................................................................................ 74 A. KESIMPULAN .......................................................................... 74 B. SARAN ....................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 78
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan ada aturan pidananya.1 Hukum Pidana yang berupa aturan-aturan tertulis itu disusun, dibuat dan diundangkan untuk diberlakukan. Hukum pidana yang wujudnya terdiri dari susunan kalimatkalimat tertulis setelah diundangkan untuk diberlakukan di masyarakat, akan menjadi efektif dan dirasa mencapai keadilan serta kepastian hukumnya apabila penerapannya sesuai.2 Hukum Pidana merupakan bagian dari hukum publik yang berisi ketentuan-ketentuan tentang ; 3 a.
Aturan hukum pidana dan larangan melakukan perbuatan tertentu yang disertai dengan ancaman berupa sanksi pidana,
b.
Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkan sanksi. Berisi tentang kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana akan terjadi jika seseorang telah melakukan
tindak pidana.4 Pertanggungjawaban pidana dalam KUHP harus memenuhi dua
1
Teguh Prasetyo,Hukum Pidana Edisi Revisi,(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2012) Cet. 3, hlm. 4 2 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2,(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2008) Cet.1, hlm.3 3 Teguh Prasetyo,Hukum Pidana Edisi Revisi,(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2012) Cet. 3, hlm. 9 4 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tana Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta : Kencana, 2006 ) Cet.2, hlm. 19
1
2
unsur yaitu kemampuan fisik dan moral (pasal 44 ayat 1 dan 2).5
Dengan
demikian, seseorang yang tidak memiliki kemampuan fisik dan kemampuan moral ini tidak dimintai pertanggungjawaban pidana. Secara implisit yang dimaksud dengan tidak adanya kemampuan fisik adalah seseorang yang kekuatan daya dan kecerdasan akalnya terganggu atau tidak sempurna contohnya idiot, buta, tuli sejak lahir. Sedangkan yang dimaksud dengan tidak adanya kemampuan moral adalah sakit jiwa, gila dan epilepsi6. Menurut Adami Chazawi norma dari perumusan perundang-undangan pada Pasal 44 ini jelas ada 2 penyebab tidak dibebani pertanggungjawaban pidana yaitu ; a) karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya (idiot, buta, tuli sejak lahir) dan, b) karena terganggu jiwanya dari sebab penyakit (sakit jiwa, gila dan eilepsi) .7 Kemampuan seseorang untuk membedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh untuk dilakukan ini menyebabkan ia dianggap wajib mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang melanggar aturan dalam hukum pidana.8 Kemampuan yang dapat membedakan baik dan benar adalah unsur seseorang wajib mempertanggungjawakan perbuatannya. Dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 45, 46 dan 47 seseorang yang belum berumur enam belas tahun tidak dimintai pertanggungjawaban pidana. Dengan 5
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak di Bawah Umur,(Bandung : PT.Alumni, 2010) Cet.1, hlm 46 6 Epilepsi adalah suatu gangguan pada sistem syaraf otak manusia karena terjadinya aktivitas yang berlbihan dari sekelompok sel neuron pada otak sehingga menyebabkan berbagai reaksi pada tubuh manusia muai dari bengong sesaat, kesemutan, gangguan kesadaran, kejangkejang dan atau kontraksi otot. 7 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2,(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2008 ) Cet.1, hlm.20 8 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta : Kencana, 2006 ) Cet.2, hlm. 90
3
demikian,
anak yang belum berusia enam belas tahun tidak dapat mintai
pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan. Anak sebagai calon penerus generasi bangsa yang masih dalam masa perkembangan fisik dan mental. Anak dengan segala pengertian dan definisinya memiliki perbedaan karakteristik dengan orang dewasa. Namun, seringkali anak justru
dihadapkan dengan proses hukum yang berujung sampai hukuman
penjara.9 Menurut seorang Psikolog Vinaya S.Psi., Msi pengertian anak dalam perspektif psikolog adalah individu yang berusia antara 3-11 tahun. Diatas usia 11 tahun individu dianggap sudah memasuki usia remaja.10 Pada tahap konkrit operasional yaitu berumur 7-11 tahun anak yang sudah dapat membedakan suatu peristiwa. Oleh sebab itu pada tahap ini sangatlah rawan jika
pembentukan
perilaku anak tidak diperhatikan oleh orang tua atau pendidik. Dapat menyebabkan terbentuknya perilaku yang menyimpang dan gejala kenakalan anak. 11 Pengertian Anak dalam UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat 1 adalah “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang di dalam kandungan.” Anak yang dapat disidangkan kepengadilan menurut UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 4 ayat 1 “ Batas umur anak nakal yang
9
Alghiffari Aqsa, dkk, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum,(Jakarta : LBH, 2012) Cet.1, hlm.3 10 Alghiffari Aqsa, dkk, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum,(Jakarta : LBH, 2012) Cet.1, hlm.12 11 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung : Refika Aditama, 2006) hlm. 8
4
dapat diajukan ke sidang anak adalah 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.” Sedangkan dalam Undang-undang yang terbaru UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 ayat 3 “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.” Dengan demikian, dalam perundang-undangan ini penentuan batas usia anak yang dapat diperkarakan ke persidangan anak itu tidak sama. Dengan adanya perbedaan batas usia dari perundang-undangan ini di harapkan hakim menjadikannya bahan pertimbangan penjatuhan pidananya. Penjatuhan pidana dapat berdampak buruk bagi keadaan anak maka dari itu diharapkan penjatuhan pidana ini sebagai upaya pembinaan dan perlindungan anak. 12 Perundangundangan yang terbaru dimaksudkan agar penjatuhan pidana terhadap anak dapat dipertimbangkan sesuai dengan usia anak dan bukan untuk menyiksa namun untuk membimbing anak untuk tidak melakukannya lagi. Dalam proses persidangan pun, seorang anak yang bermasalah dengan hukum juga memiliki hak-hak yang harus dipenuhi. Dalam Konvensi Hak Anak terdapat 4 (empat) prinsip umum yag menjadi dasar dan acuan bagi para pihak khususnya Negara saat melakukan kewajibannya memenuhi, menghormati dan
12
hlm.3
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004) Cet.2,
5
melindungi hak-hak anak, yaitu :
13
pertama,prinsip non-diskriminasi. Kedua,
prinsip kepentingan terbaik anak. Ketiga, prinsip atas keberlangsungan hidup dan perkembangan. Keempat, prinsip penghargaan terhadap pendapat anak. Dalam menegakkan perlindungan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum, proses peradilan anak meliputi segala aktifitas pemeriksaan dan penuntutan perkara harus mendahulukan perlindungan kepentingan anak.14 Oleh karena itu proses peradilan anak bukanlah ditunjukkan pada penghukuman, melainkan perbaikan kondisi, pemeliharaan dan perlindungan anak yang melakukan tindak pidana. Islam mengampuni anak yang melakukan perbuatan maksiat (dilarang agama) dan tidak meminta pertanggungjawabannya kecuali ia telah baligh.
15
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Q.S An-Nur [24] : 59
Artinya : “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, Maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin….” Menurut ayat di atas seseorang telah di mintai pertanggungjawabannya jika telah mencapai usia baligh. Seorang anak yang belum mencapai usia baligh walaupun melakukan tindak pidana tidaklah dimintai pertanggungjawaban. Selain anak kecil yang tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang
13
Restaria F Hutabarat, dkk, Memudarnya Batas Kejahatan Dan Penegakan Hukum : Situasi Pelanggaran Hak Anak Dalam Peradilan Pidana, (Jakarta : LBH Jakarta, 2012) hlm. 1112 14 Namdang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindunga Anak Serta Penerapannya, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2013) Cet.1, hlm. 101 15 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinai Fi Al-Islam diterjemahkan oleh Tim Salsilah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam II, (Jakarta : PT. Kharisma, 2007) hlm 57
6
dilakukannya. Adapun seseorang yang sudah dewasa dan berakal tidak dimintai mempertanggungjawabkan perbuatannya yaitu pertama,halangan alami seperti : gila, dungu, ayan, lupa. Kedua, halangan tidak alami seperti : bodoh, mabuk dan dipaksa. 16 Dalam Islam diatur tentang hak-hak anak serta kewajiban orang tua dalam pendidikan anak usia dini dalam pembentukan karakter anak. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Q.S At-Tahrim [66] : 6
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” Ayat ini menjelaskan bahwa Orang tua memiliki kewajiban dalam memenuhi hak pendidikan anak dan melindungi anak dari hal-hal yang dilarang oleh agama yang mana dapat menjerumuskan ke dalam neraka. Seorang anak yang lahir dan menuju kedewasaan atau usia baligh mengalami beberapa fase saat menuju usia dewasa. 17 Fase pertama, yaitu tamyiz segala perbuatannya tidak dianggap sebagai tidakan hukum. Fase kedua, yaitu fase murahiq dimana seorang anak berada di antara masa tamyiz dan baligh dan jika melakukan pelanggaran maka di hukum dengan maksud mendidik. Fase yang 16
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh di Terjemahkan oleh SaefullahMa’shum dkk.(Jakarta : Pustaka Firdaus, 2013) Cet.XVII, hlm.514 17 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh di Terjemahkan oleh SaefullahMa’shum dkk.(Jakarta : Pustaka Firdaus, 2013) Cet.XVII, hlm.510
7
ketiga , yaitu fase mencapai usia dewasa dan taklif (dibebani hukum). Seorang anak yang telah baligh mulailah kewajiban melaksanakan semua hukum-hukum yang berlaku atas orang dewasa inilah yang disebut mukallaf.18 Fase murahiq terjadi pada tujuh tahun sampai dengan usia baligh yaitu lima belas tahun. Jika anak mencapai usia lima belas tahun, datang kepadanya pengalaman yang lain dari yang lain.19 Salah satu tanda masuknya usia baligh yaitu keluarnya mani bagi laki-laki (ihtilam) dan haid bagi wanita. Sebenarnya tidak ada ketentuan usia yang sama saat seorang anak mengalami ihtilam ataupun haid. Fuqaha berselisih pendapat tentang usia baligh. Menurut Imam Auza’i, Imam Ahmad, Imam Syafi’I, Imam Abu Yusuf dan Muhammad jika anak telah telah genap berusia 15 tahun, dia dianggap telah baligh. Menurut para penganut Imam Malik punya tiga pendapat, pertama 17 tahun. Kedua, 18 tahun. Ketiga, 15 tahun. Menurut Imam Abu Hanifah punya dua riwayat, pertama 17 tahun, kedua 18 tahun sedangkan anak perempuan menurutnya 17 tahun. Sedangkan menurut Imam Abu Daud tidak ada batasan usia bagi tercapainya baligh dan pedomannya hanyalah ihtilam.20 Dalam kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Rendi Ardiansah, yang masih berumur 17 tahun dimana terdakwa melakukan penganiayaan tehadap korban bernama Dewi Nurani. Rendi Ardiansah mendapatkan tuntutan dari Jaksa karena melanggar Pasal 351 (4) KUHP . Hakim menjatuhkan pidana terhadap
18
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul-Maudud bi Ahkamil-Maulud diterjemahkan oleh Anshori Umar Sitanggal, Fiqh Bayi,( Jakarta : Fikr, 2007) hlm. 431 19 Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul-Maudud bi Ahkamil-Maulud diterjemahkan oleh Anshori Umar Sitanggal, Fiqh Bayi,( Jakarta : Fikr, 2007) hlm. 425-426 20 Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul-Maudud bi Ahkamil-Maulud diterjemahkan oleh Anshori Umar Sitanggal, Fiqh Bayi,( Jakarta : Fikr, 2007) hlm. 427
8
terdakwa mempertimbangkan keadaan memberatkan dan keadaan meringankan dari terdakwa, salah satu keadaan yang meringankan karena terdakwa masih dalam kategori anak. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menetapkan terdakwa Rendi Ardiansah dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan dan denda sebesar Rp 2.000 (dua ribu rupiah). Dalam kasus Rendi Ardiansah (17 tahun) Terdakwa mendapat keringanan sanksi disebabkan terdakwa masih kategori anak. Padahal jika dalam hukum Islam seseorang sudah dimintai pertanggungjawaban pidananya jika telah baligh atau telah mencapai umur 15 tahun, jumhur berbeda pendapat. Hukum positif dan Hukum Islam memiliki persamaan bahwa seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika telah memenuhi beberapa syarat dan ketentuan salah satunya batas usia yang telah ditetapkan dari masing-masing aturan baik menurut Hukum positif atau Hukum Islam. Namun, permasalahan batas usia dalam pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur menjadi perbincangan yang menarik untuk dibahas mengingat terjadi ketidakseragaman antara hukum Positif sendiri dan hukum Islam mengenai batas usia pertanggungjawaban pidana. Maka penulis tertarik untuk mencoba meneliti dan menuangkan permasalahan ini dalam skripsi dengan judul “BATAS USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DALAM KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) MENURUT TINJAUAN
HUKUM
ISLAM
No.229/Pid.B.Anak/2013/PN.Jkt.Sel)”
(ANALISIS
PUTUSAN
9
B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH 1. Pembatasan Masalah Fokus penelitian yang akan penulis teliti ini adalah batas usia pertanggungjawaban pidana anak, melakukan penelitian dengan peninjauan menurut
hukum
Islam
khususnya
pada
putusan
No.229/Pid.B.Anak/2013/PN.Jkt.Sel. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dari penelitian ini yaitu: a. Bagaimana pertanggungjawaban pidana anak menurut Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dan hukum Islam? b. Berapa batas usia pertanggungjawaban pidana anak menurut hukum positif dan hukum Islam? c. Bagamaina hukum Islam meninjau tentang batas usia pertanggungjawaban pidana anak terhadap analisis Putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/PN.Jkt.Sel ?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana anak menurut hukumpositif dan hukum Islam. b. Untuk mengetahui batasan usia pertanggungjawaban pidana anak menurut hukum positif dan hukum Islam.
10
c. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap analisa putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/PN.Jkt.Sel. 2. Manfaat Penelitian a. Menambah
pengetahuan
bagi
penulis
dan
masyarakat
tentang
pertanggungjawaban pidana anak baik menurut Islam dan hukum yang berlaku di Indonesia. b. Memberikan informasi serta menambah refrensi untuk penulis dan masyarakat mengenai batas usia pertanggungjawaban pidana anak baik menurut Islam dan hukum yang berlaku di Indonesia. c. Memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. D. KAJIAN (REVIEW) STUDI TERDAHULU Dalam penelitian ini, penulis melakukan analisis pada kajian terdahulu sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan dalam penelitian ini. Adapun kajian terdahulu yang menjadi acuan antara lain : 1. Batas Minimal Usia Cakap Hukum Dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islam, Skripsi karya Ibnu Abbas Jurusan Perbandingan Mazhab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012. Penelitian ini membahas tentang batas minimal usia yang cakap hukum dalam UU No 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak ditinjau menurut hukum Islam. 2. Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum Pidana Islam dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
11
Anak, Skripsi karya Maman Abdul Rahman Jurusan Perbandingan Mazhab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2015. Penelitian ini membahas tentang Bagaimana pertanggungjawaban pidana anak menurut Hukum Islam dan UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam kajian terdahulu diatas, para penulis tidak memfokuskan kajian pada batas usia anak dalam pertanggungjawaban pidana, sebagaimana yang penulis lakukan. Oleh karena itulah, perlu dilakukan kajian khusus yang membahas tentang permasalahan tersebut. E. METODE PENELITIAN Adapun Metode Penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat diuraikan penulis sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian bahan pustaka yang ada.21 Objek penelitiannya antara lain norma-norma, kaidah-kaidah, asas-asas dan prinsipprinsip yang terkandung dalam suatu perundang-undangan, lanasan filosofi, sosiologis dan yuridis.22 2. Jenis Pendekatan Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pedekatan historis.
21
https://idtesis.com/pengertian-penelitian-hukum-normatif-adalah/ (di akses pada tanggal 20 November 2015 pukul 17.00) 22 Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Atma Jaya, 2007) h.28
12
3. Sumber Data Sumber data pada umumnya adalah data sekunder, yang terdiri atas bahan hukum dan bahan non-hukum.Bahan hukum mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.23 a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau yang membuat orang taat pada hukum seperti peraturan perundang–undangan, dan putusan hakim.24Perundang-undangan yang yang berlaku dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, yang akan penulis bahas yakni adalah UU No 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, UU No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No 23 Tahun 202 Tentang Perlindungan Anak, KUHP dan KUHAP, serta dalil-dalil yang ada dalam Al-qur’an dan Hadist. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder itu diartikan sebagai bahan hukum menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk ke mana peneliti akan mengarah.Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan diperoleh dari penelusuran buku-buku dan artikel-artikel yang terkait dengan penelitian ini.Seperti buku, skripsi, tesis, jurnal hukum dan lain-lain. 23
Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Atma Jaya, 2007) hlm.28 24 https://lawmetha.wordpress.com/2011/05/19/metode-penelitian-hukum-normatif/ (di akses pada tanggal 20 November 2015)
13
5. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data secara library research (studi pustaka) dilakukan dengan cara menelaah buku-buku yang berkaitan dengan penelitian judul skripsi ini. Baik berupa peraturan perundang-undangan ataupun berupa buku-buku. 6. Teknik Analisis Data Metode analisis data yang biasanya digunakan adalah metode kulitatif.Data skripsi ini menggunakan analisis kualitatif yakni menarik kesimpulan secara deskriptif dan deduktif dan seluruh data yang didapatkan akan diklasifikasikan dari bentuk yang bersifat umum sehingga mendapatkan gambaran kesimpulan yang spesifik. 7. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penulis memakai acuan dari “pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012” F. SISTEMATIKA PENULISAN Dalam penelitian hukum terdapat sistematika penelitian yang berguna untuk memudahkan peneliti menelaah dan mengkaji penelitian ini yang berjudul : “Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana Menurut Tinjauan Hukum Islam (Analisis Putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel)”
14
Pada BAB I, PENDAHULUAN yang berisi tentang uraian latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan. Pada BAB II, Teori Pertanggungjawaban dalam Hukum Positif dan Hukum Islam yang berisi tentang definisi pertanggungjawaban pidana dalam hukum positif dan Islam, Alasan hapusnya pertanggungjawaban pidana, Pertanggungjawaban pidana anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan hukum Islam. Pada BAB III, Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak berisi tentang Batas usia pertanggungjawaban pidana anak menurut hukum positif,
Batas usia
pertanggungjawaban pidana anak menurut Hukum Islam Serta Perlindungan Hukum Bagi Anak Bermasalah Dengan Hukum Pada
BAB
IV,
Tinjauan
Hukum
Islam
No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel Tentang Batas Usia
Terhadap
Putusan
Pertanggungjawaban
Pidana Anak berisi tentang Putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel (Deksrisi Kasus, Dakwaan, Amar Putusan), Tinjauan Hukum Positif terhadap putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel dan Tinjaun Hukum Islam Terhadap Putusan No. 229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel Pada BAB V, KESIMPULAN yang berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian, serta member saran-saran sebagai evaluasi dari penelitian.
BAB II TEORI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA A. Teori Pertanggungjawaban Pidana Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, hukum yang mengatur tentang hubungan antara individu dengan masyarakat atau Negara yang disebut hukum publik.1 Hukum Pidana dibagi menjadi dua bagian yaitu hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Hukum pidana juga di klasifikasikan lagi kepada siapa hukum pidana ini berlaku yang disebut hukum pidana umum dan hukum pidana khusus.2 Tujuan dari hukum pidana dilaksanakan untuk mengatur kepentingan umum, karena sifatnya yang ditunjukkan untuk kepentingan masyarakat. Hukum Pidana materil adalah hukum yang berisi tentang norma dan sanksinya dan bagaimana seseorang dapat dijatuhi pidana. Sedangkan hukum pidana formil adalah tata cara pelaksanaan pidana bagi seseorang yang melakukan tindak pidana bisa disebut dengan hukum acara pidana. 3 Hukum acara pidana ini sebagai hukum yang menegakkan hukum pidana materil. Yang dimaksud dengan hukum pidana umum adalah hukum pidana yang diberlakukan
kepada
semua
masyarakat
tanpa
terkecuali.
Dan
dalam
pelasksanaannya menggunakan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana 1
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012) Cet. III, hlm 24 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 52 3 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012) Cet. III, hlm 23 2
15
16
(KUHAP). Sedangkan yang dimaksud dengan hukum pidana khusus ini adalah dibuat dan diberlakukan kepada hal atau orang tertentu. Dalam pelaksanaannya pun juga mempunyai hukum acara khususnya sendiri dan berbeda dengan KUHAP.4 Hukum pidana mengatur secara seluruh hukum publik untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam penerapannya haruslah berdasarkan asas-asas yang berlaku dalam hukum pidana salah satunya adalah Asas Legalitas (Principle of Legality). Asas Legalitas dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 1 ayat 1 “tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”. Dikutip oleh Mahrus Ali menurut Komariah Emong Sapardjaja dalam Asas Legalitas ini terdapat empat prinsip dalam penerapannya yaitu :5 1. Tidak ada perbuatan pidana dan tidak ada pidana tanpa udang-undang sebelumnya atau bisa disebut berlaku surut (mundur). 2. Tidak ada perbuatan pidana dan tidak ada pidana tanpa rumusan delik yang jelas. 3. Tidak ada perbuatan pidana dan tidak ada pidana tanpa undnag-undang yang tidak tertulis, hakim dalam menjatuhkan putusan haruslah dengan undang-
4
Leden Marpaung, Asas-Asas Teori Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008) Cet.VIII, hlm.3 5 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 60
17
undang yang tertulis bukan dengan kebiasaan yang berkembang di masyarakat. 4. Tidak diperbolehkannya menerapkan pertauran hukum pidana dengan sebuah analogi. Asas Legalitas memiliki dua fungsi yaitu fungsi melindungi dan fungsi instrumental.6 Dengan adanya kedua fungsi ini dimakdsudkan agar pemerintah tidak menjatuhkan sanksi pidana terhadap masyarakat yang belum jelas dan tetap Undang Undangnya walaupun telah melanggar dan melakukan perbuatanperbuatan yang tidak dibenarkan menurut masyarakat. Perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan ini belum tentu bisa dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Menurut Moeljatno perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi yang melanggar larangan tersebut. 7 Perbuatan yang tidak benar yang dilakukan seseorang dapat dikenakan sanksi jika telah ada hukum yang mengaturnya dan disebut sebagai perbuatan pidana. Perbuatan pidana yang dapat dikenakan hukuman (sanksi) perumusan undang-undang dari perbuatan itu haruslah mengandung sifat melawan hukum.8 menurut Andi Zainal Abidin, bahwa salah satu unsur delik adalah sifat melawan hukum yang dinyatakan dengan tegas atau tidak di dalam suatu asal undang-
6
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 71 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 99 8 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012) Cet. III, hlm 67 7
18
undang pidana. Karenanya janggal jika seseorang dipidana tanpa adanya unsur yang melawan hukum.9 Sifat melawan hukum dalam hukum pidana dibagi menjadi sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materil. Sifat melawan hukum formil adalah suatu perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut sudah diatur dalam undang-undang yang tertulis.10 Sedangkan sifat melawan hukum materil adalah pada hakikatnya tidak berdasarkan perundang-undangan, oleh karenanya mengambil suatu putusan tanpa dasar hukum formil merupakan suatu tindakan yang didasarkan suatu alasan pembenaran yang kuat.11 Hukum Pidana merupakan salah satu sarana dalam penanggulangan kejahatan dan aturan yang menyejahterakan masyarakat. Namun demikian, pelaksanaan pemidanaan hanya dapat dijatuhkan apabila subyek hukum telah memenuhi dua syarat, yaitu kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Hal ini karena azas dalam hukum pidana adalah Geen straf zonder schud atau Actus non facit reum nisi mens sir rea yang berarti Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Asas Legalistas). Tetapi ketentuan ini tidak berlaku dalam hukum
9
144
10
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm.
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012) Cet. III, hlm71 Leden Marpaung, Asas-Asas Teori Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008) Cet.VIII, hlm.45 11
19
pidana fiskal. Dalam hukum pidana fiskal, pertanggungjawaban dapat dijatuhkan tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar (leer van het materiele feit). 12 Adapun Pertanggungjawaban pidana mengatur tentang subyek hukum yang dianggap cakap melakukan perbuatan hukum. Hal ini disebabkan tidak semua subyek hukum masuk dalam kategori cakap hukum.13 Pertanggungjawaban pidana bisa di mintai kepada perbuatan seseorang yang cakap hukum karena tidak semua orang yang itu cakap hukum. Pertanggungjawaban
pidana
dengan teorekenbaardheid atau
menurut
criminal
istilah
responsibility.
asing
biasa
Menurut
disebut Pompee,
sebagaimana dikutip Iman, pertanggungjawaban pidana mempunyai beberapa sinonim, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar.14 Konsep “pertanggungjawaban” merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Kesalahan adalah dapat dicelanya si pelanggar karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut.15 Dikutip oleh Frans Maramis, menurut D. Simons kesalahan adalah keadaan batin (psychis) pelaku dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga berdasarkan keadaan tersebut seseorang 12
hlm.153
13
Moeljatno, Asas –Asas Hukum Pidana,(Jakarta : PT Rineka Cipta, 1993) Cet.V,
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,(Yogyakarta : Liberty, 2003) Cet.I, hlm. 75 14 http://imanhsy.blogspot.co.id/2011/12/pengertian-pertanggungjawaban-pidana.html ( di akses pada tanggal 17 April 2016 pukul 12.50) 15 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 155-157
20
dapat dicela atas perbuatannya. Istilah kesalahan dapat digunakan dalam arti psikologis dan normatif. Kesalahan psikologis adalah kesalahan dari sudut keadaan psikologis yang sesungguhnya dari seseorang. Sedangkan kesalahan normatif adalah kesalahan dari sudut pandang orang lain terhadap pelaku.16 Adapun unsur-unsur kesalahan ada tiga unsur, yaitu : 1. Kemampuan bertanggungjawab dari pelaku. 2. Sikap batin tertentu dari pelaku sehubungan dengan perbuatannya yang berupa adanya kesengajaan dan kealpaan. 3. Tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan atau menghapuskan pertanggungjawaban pidana pada diri pelaku.17 Kemampuan bertanggungjawab merupakan salah satu unsur kesalahan, dimana kondisi batin normal atau sehat dan mampunya akal seseorang dalam membeda-bedakan
hal-hal
yang baik
dan
yang buruk
sesuai
dengan
kehendaknya.18 Berdasarkan rumusan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 44 (1) seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya apabila kurang sempurnanya akal dan sakit ingatan.19 Di kutip oleh Leden Marpaung Menurut
16
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012) hlm. 114-115 17 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada,) hlm. 116 18 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 171 19 Leden Marpaung, Asas-Asas Teori Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008) Cet.VIII, hlm.52
21
W.F.C van Hattum yang disebut dengan kurang sempurnanya akal dan sakit ingatan adalah pertumbuhan yang tidak sempurna atau gangguan penyakit. Pertumbuhan yang tidak sempurna tersebut haruslah diartikan sebagai suatu pertumbuhan yang lebih sempurna secara biologis, bukan secara pikiran. Seperti contohnya idiot.20 Sedangkan sakit ingatan misalanya seperti gila, epilepsy dan penyakit jiwa yang lainnya.21 Unsur yang kedua dari teori kesalahan yaitu kesengajaan dan kealpaan. Secara Yuridis formal (dalam KUHP) tidak ada satu pasal pun yang memberikan batasan atau pengertian tentang kesengajaan.22 Dikutip oleh Mahrus Ali, menurut Memorie van Toelichting (Perumusan Kitab Undang Hukum Pidana) kesengajaan sama dengan “willens en wetens” (dikendaki atau diketahui).23 Yang dimaksud dengan “willens en wetens” (dikendaki atau diketahui) adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu.24 Kesengajaan dalam ilmu hukum pidana memiliki dua teori yaitu, teori kehendak dan teori membayangkan. Seseorang dapat dikatakan melakukan tindak
20
Leden Marpaung,Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008) Cet.VIII, hlm. 53 21 http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt515e437b33751/apakah-seorang-yang -gilabisa-dipidana (diakses pada tanggal 20 April 2016, pukul 10.52) 22 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 213 23 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 174 24 Leden Marpaung,Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008) Cet.VIII, hlm. 13
22
pidana jika memiliki kehendak yang dapat memenuhi unsur-unsur delik dalam rumusan
undang-undang.25
Sedangkan
Teori
membayangkan,
teori
ini
mengemukakan bahwa manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat namun jika akibat tersebut timbul karena membayangkan melakukan suatu tindakan maka unsur kesengajaan ada pada si pelanggar.26 Menurut para pakar pidana kesengajaan memiliki tiga bentuk yaitu : 27 1. Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk). 2. Sengaja dengan kesadaran tentang keharusan (opzet bij noodzakelijkheidsbewustzijn). 3. Sengaja dengan kesadaran tentang kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzjin). Kesengajaan sebagai maksud mengandung unsur willes en wetens dimana pelaku mengetahui dan menghendaki akibat dan perbuatannya tersebut. Kesengajaan sebagai keharusan dimana pelaku memandang akibat dari apa yang akan dilakukannya tidak sebagai hal yang akan terjadi, namun hanya sebagai suatu kemungkinan yang pasti.28 Di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana tidak diberikan penjelasan mengenai teori kealpaan (culpa), sama seperti teori kesengaajan. Karena tidak 25
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 214 26 Leden Marpaung,Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008) Cet.VIII, hlm. 14 27 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada,) hlm. 121 28 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 175
23
adanya penjelasan tentang teori kealpaan, maka penjelasan teori kelapaan banyak diberikan dari doktrin.29 Menurut Mahrus Ali dalam buku karangannya yang berjudul Dasar Dasar Hukum Pidana, kelapaan adalah pelaku sama sekali tidak memiliki niat kesengajaan sedikit pun untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum.30 Menurut H.B. Vos, unsur yang tidak dapat dilepaskan dari terbentuknya kealpaan, yaitu : 1. Pembuat dapat menduga. 2. Tidak adanya kehati-hatian.31 Maksud dari unsur pembuat dapat menduga adalah seorang pelaku harus dapat dibuktikan bahwa ia dapat menduga akibat dari perbuatannya sebelum ia benar-benar melakukannya.32 Sedangkan unsur tidak ada kehati-hatian yaitu pelaku tidak berhati-hati melakukan sesuatu yang dapat ia duga akibatnya. Walaupun sudah berhati-hati tetap saja dapat terjadi kealpaan dari perbuatannya.33 Unsur ketiga dan terakhir bagi terlaksananya pertanggungjawaban yaitu tidak adanya alasan penghapusan kesalahan. Seseorang tetap dimintai pertanggungjawabannya jika di dalam dirinya tidak ada alasan yang dapat 29
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 248 30 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 175 31 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada,) hlm. 125 32 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 251 33 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 176
24
menghapus kesalahannya.34 Menurut Tongat, dalam bukunya disebutkan empat alasan yang dapat menghapus kesalahan, yaitu : 1. Tidak mampu bertanggungjawab ( diatur dalam Pasal 44 KUHP) 2. Daya paksa ( diatur dalam Pasal 48 KUHP) 3. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (diatur dalam Pasal 49 (2) KUHP) 4. Melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (diatur dalam Pasal 51 (2) KUHP). Dalam Hukum Islam, hukum pidana merupakan terjemahan dari kata Fiqh Jinayah. Fiqh Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban)35 Adapun dua syarat sah seorang mukallaf dapat dibebani kewajiban, yaitu : 1. Mukallaf dapat memahami dalil taklifi, maksudnya adalah dia dapat memahami nash-nash undang-undang yang dibebankan dari al-Qur‟an dan assunnah dengan langsung atau dengan perantara. 2. Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya.36 Untuk menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam Islam, diperlukan unsur normatif dan moral. Unsur normatif adalah aspek yang
34
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 267 35 Zainudi Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007)Cet.I, hlm.1 36 Abdul wahbah Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul fiqh), (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002) h, 207-210
25
mempunyai unsur materil dimana sikap yang dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah swt. Sedangkan unsur moral, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima seseuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan. Seseorang ini yang disebut Mukallaf.37 Dalam melaksanakan unsur materil tindak pidana (jarimah), pelaku bisa saja menyelesaikan ataupun tidak menyelesaikan aksinya. Hal ini bisa disebut sebagai percobaan tindak pidana (al-jarimah gair at-tammah) dan tindak pidana yang sempurna (al-jarimah at-tammah). Pelaku percobaan tindak pidana (al-jarimah gair at-tammah) diberikan hukuman ta‟zir. Seseorang yang melakukan percobaan tindak pidana tidak dihukum dengan qishash dan hudud karena dua hal ini mempunyai unsur dan syarat yang tidak bisa diubah oleh hakim. Sedangkan ta‟zir ketentuan hukumnya bisa dipertimbangkan oleh hakim diperberat atau diperingan.38 Pelaku tindak pidana sempurna (al-jarimah at-tammah) diberikan hukuman sesuai dengan perbuatannya. Apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi maka perbuatannya sudah sempurna.39 Misalnya pelaku penganiayaan, jika seseorang melakukan penganiayaan dan telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana penganiayaan maka ia wajib dihukum sesuai dengan hukuman yang berlaku bagi penganiaya. 37
Zainudi Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007)Cet.I, hlm.22 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 20 39 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 23 38
26
Menurut Abdul Qadir Audah, Hukuman adalah sanksi hukum yang telah ditetukan untuk kemaslahatan masyarakat karena melanggar perintah Syari‟ (Allah SWT dan Rasul-Nya).40 Hukuman diterapkan demi mencapai kemslahatan baik bagi masyarakat ataupun pelaku sendiri. Adapun tujuan dari pelaksanaan hukuman yaitu : 1. Harus mampu menghindarkan seseorang dari berbuat maksiat. Baik mencegah perbuatanya ataupun menjerakannya pelaku untuk tidak berbuat seperti itu lagi. 2. Memberikan hukuman kepada pelaku bukan bermaksud untuk membalas dendam, tetapi untuk kemaslahatan dirinya sendiri. Allah SWT mensyariatkan hukuman sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk memberikan ihsan kepada hamba-Nya. Jadi, seseorang yang bertanggungjawab melaksanakan hukuman harus mempunyai pengetahuan bahwa pelaksanaan hukuman bukan bermaksud membalaskan dendam korban. Tetapi memberikan ihsan dan rahmat kepada.41 Seseorang yang melakukan jarimah haruslah memertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam pertanggungjawaban pidana seorang mukallaf harus bertanggungjawab atas akibat dari perbuatan yang dilakukannya . Menurut Islam ada tiga dasar mukallaf wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya, yaitu: 1. Perbuatan haram yang dilakukan pelaku.
40
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian III, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 19 41 H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1997) Cet.II, hlm. 26
27
2. Si pelaku memiliki pilihan (tidak dipaksa). 3. Si pelaku memiliki pengetahuan (idrak).42 Apabila ketiga dasar ini ada, maka pertanggungjawaban pidana haruslah ada. Tetapi, jika salah satunya tidak ada maka seseorang tidak dapat mempertanggungajawabkan perbuatanya.
Faktor (sabab) dijadikan oleh oleh
Syar‟I sebagai tanda atas hasil/ efek (musabab) dari terjadinya suatu pelanggaran (melawan hukum). Jika ada sabab namun tidak ada musabab, dan juga sebaliknya jika
tidak
ada
sabab
namun
ada
musabab
maka
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan perbuatannya.43 Faktor yang menyebabkan adanya pertanggungjawaban pidana adalah perbuatan
maksiat,
meninggalakan
yaitu
perbuatan
mengerjakan yang
perbuatan
diperintahkan
oleh
yang
dilarang
syara‟.
Jadi
atau sebab
pertanggungjawaban pidana adalah melakukan kejahatan. Untuk adanya pertanggungjawaban ini masih diperlukan dua syarat, yaitu adanya idrak dan ikhtiar.44 Menurut Abdul Qadir Audah teori pertanggungjawaban memiliki tingkatan-tingkatan pertanggungjawaban pidana ada empat, yaitu : 1. Disengaja (Al-„Amdu), yang dimaksud dengan sengaja adalah si pelaku berniat melakukan suatu perbuatan yang dilarang. Misalnya, seseorang berniat 42
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 66 43 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 74 44 http://gotzlan-ade.blogspot.co.id/2012/03/petanggungjawaban-pidana-islam.html (diakses pada tanggal 11 Mei 2016 pukul 19.00)
28
mencuri jika ia melakukannya maka ia melakukan pencurian itu dengan sengaja.45 2. Menyerupai Disengaja (Syibhul „Amdi), Pengertian syibhul „ambdi adalah dilakukannya perbuatan itu dengan maksud melawan hukum, tetapi akibat perbuatan itu tidak dikehendaki. Dalam tindak pidana pembunuhan, ukuran syibhul „amdi ini dikaitkan dengan alat yang digunakan. Kalau yang digunakan itu bukan alat yang biasa (ghalib) untuk membunuh maka perbuatan tersebut termasuk kepada perbuatan menyerupai sengaja.46 3. Kesalahan, maksudnya adalah si pelaku melakukan perbuatan tanpa maksud membuat kejahatan. Misalnya, seseorang hendak menembak seekor burung namun meleset mengenai manusia. 4. Yang dianggap tersalah,
ada dua keadaan yang dapat dianggap tersalah.
Pertama, pelaku tidak bermaksud melakukan suatu perbuatan tetapi perbuatan itu terjadi akibat kelalaiannya. Kedua, pelaku menjadi penyebab tidak langsung terjadinya perbuatan yang dilarang dan ia tidak bermaksud melakukannya.47 B. ALASAN
HAPUSNYA
PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA
MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
45
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 77 46 http://gotzlan-ade.blogspot.co.id/2012/03/petanggungjawaban-pidana-islam.html (diakses pada tanggal 11 Mei 2016 pukul 19.15) 47 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 79
29
Dalam sub bab sebelumnya sudah diuraikan bahwa terlaksananya pertanggungjawaban yaitu tidak adanya alasan penghapusan kesalahan. Seseorang tetap dimintai pertanggungjawabannya jika di dalam dirinya tidak ada alasan yang dapat menghapus kesalahannya. Dalam doktrin hukum pidana dibedakan antara alasan yang menghapus sifat melawan hukumnya suatu perbuatan atau dikenal dengan alasan pembenar denganalasan penghapusan kesalahan atau dikenal dengan alasan pemaaf. Dibedakannya alasan pembenar dan alasan pemaaf karena keduanya mempunyai fungsi yang berbeda. Adanya alasan pembenar berujung pada „pembenaran‟ atas tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan pemaaf berdampak pada „pemaafan‟ pembuatannya sekalipun telah melakukan tindak pidana yang melawan hukum.48 Dalam hukum positif pertanggungjawaban pidana diatur dalam Buku Kesatu Bab III Kitab Undang Undang Hukum Pidana mulai Pasal 44 sampai dengan Pasal 51. Dalam ketentuan pasal-pasal tersebut, pertanggungjawaban pidana tidak dapat dijatuhkan kepada: 1. Adanya ketidakmampuan bertanggungjawab. 2. Anak-anak yang belum berusia 16 tahun. 3. Daya Paksa 4. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas. 5. Menjalankan perintah Undang undang.
48
Mahrus Ali, Dasar Dasar Hukum Pidana, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2011) hlm. 181
30
6. Melaksanakan perintah jabatan. Kategori yang tidak dapat dijatuhi pidana yang pertama adalah seseorang yang tidak mampu bertanggungjawab. Dikutip oleh Adam Chazawi menurut M.v.t ( Perumusan Kitab Undnag Undang Hukum Pidana ) seseorang tidak mampu bertanggungjawab harus memenuhi dua unsur yaitu: 1. Apabila si pelanggar tidak memiliki kebebasan antara memilih berbuat atau tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan dalam Undangundang. 2. Apabila si pelanggar berada dalam satu keadaan yang mana ia tidak dapat menyadari bahwa perbuatnnya dilarang menurut Undnag Undang.49 Seorang Anak yang masih belum mencapai usia 16 tahun adalah termasuk seseorang yang tidak dapat dijatuhi pidana kategori kedua, dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 45, 46 dan 47. Dalam penuntutan di muka pengadilan, seorang hakim bisa mengadilinya dengan memerintahkan bahwa si anak bersalah dan dikembalikan kepada orang tua atau wali tanpa menjatuhkan hukuman kepadanya dan tidak dimintai pertanggungjawabannya dikarenakan usia yang belum mencapai 16 tahun.50 Kategori seseorang yang tidak dapat dijatuhi pidana yang ketiga adalah daya paksa. Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) daya paksa diatur dalam Pasal 48 yang menyatakan bahwa “niet straafbaar is hijdie een feit 49
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002) hlm. 20 50 Wirjono Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung : Refika Aditama, 2003) hlm.102
31
begat waartoe hij door overmacht is gedrogen” yang artinya barang siapa yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.
51
Dikutip oleh
Mahrus ali, menurut Leden Marpaung daya paksa secara teoritis dibagi menjadi dua macam yaitu: a. Daya Paksa Mutlak (Vis Absoluta) b. Daya Paksa Relatif (Vis Compulsiva) Yang dimaksud dengan daya paksa mutlak adalah suatu keadaan yang dimana paksaan dan tekanan yang sedemikian kuatnya pada diri seseorang, sehingga ia tidak dapat lagi berbuat sesuatu selain apa yang dipaksakan kepadanya. Sedangkan daya paksa relatif adalah daya paksa yang dimaksudkan dalam Pasal 48 KUHP. Daya paksa relatif ini suatu paksaan dan tekanan yang sedemikian rupa menekan seseorang sehingga ia berada dalam keadaan yang serba salah, yaitu suatu keadaan yang memaksanya untuk melakukan hal yang sudah pasti melanggar hukum.52 Kategori yang keempat adalah Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer ekses) adalah perbuatan pidana yang dilakukan sebagai pembelaan pada saat seseorang mengalami suatu serangan atau ancaman serangan dapat membebaskan pelakunya dari ancaman hukuman jika sifat pembelaan terseut sebanding dengan bobot serangan atau ancaman serangan itu sendiri.53
51
Mahrus Ali, Dasar Dasar Hukum Pidana, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2011) hlm. 181 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002) hlm.30-31 53 Mahrus Ali, Dasar Dasar Hukum Pidana, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2011) hlm. 182-183 52
32
Kategori yang kelima adalah melaksanakan perintah Undang-undang pada Pasal 50 KUHP disebutkan “ barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan pidana untuk melaksanakan peraturan undang-undang tidak dipidana.” Sebetulnya pasal ini ditunjukan untuk mengantisipasi bagi perbuatan-perbuatan yang dilakukan berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Undang Undang. Karena perbuatan yang yang menjadi wewenang berdasarkan Undang undang tidaklah mungkin diancam pidana menurut Undang-undang yang lain. 54 Kategori yang keenam dan yang terakhir
adalah ketentuan mengenai
perintah jabatan yang tidak sah diatur dalam Pasal 51 (2) KUHP yang berbunyi "Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintahkan dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan wewenang dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaan.” 55 Suatu perintah jabatan yag tidak sah,dengan demikian menghapuskan dapat dipidananya seseorang. Perbuatan yang dilakukannya, tetap bersifat melawan hukum hanya saja si pelaku tidak dipidana. Dan si pelaku harus memenuhi dua syarat yaitu Pertama, ia menduga bahwa perintah tersebut adalah sah yang diberikan oleh pejabat yang kompeten. Kedua, perintah masih dalam ruang lingkup pekerjaan (wewenang si pelaku). 56 Dalam Islam, seseorang wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya jika telah memenuhi tiga dasar yang telah dijelaskan di sub bab sebelumnya yaitu 54
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002) hlm.56 55 KUHP 56 I Made Widnyana, Asas Asas Hukum Pidana, ( Jakarta : Fikahati Aneska, 2010) hlm. 158
33
perbuatan haram yang dilakukan pelaku, pelaku memiliki pilihan (ikhtiar) dan pelaku memiliki pengetahuan (idrak). Jika tidak memiliki tiga dasar ini, maka seseorang
yang
melakukan
suatu
kejahatan
tidak
diwajibkan
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Adapun Sebab-sebab yang berkaitan dengan perbuatan yang tidak wajib dipertanggungjawabkan yaitu Sebab Pembenaran (asbab al-ibahah) atau sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang. Dan Sebab Pemaafan (asbab raf‟i aluqubah) atau sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pelaku tersebut.57 Dasar dari penghapusan pidana yang pertama adalah sebab pembenaran. Dengan adanya sebab pembenaran maka suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukumnya, sehingga mejadi legal atau boleh dan pembuatnya tidak dapat disebut pelaku tindak pidana.58Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang itu ada enam macam, yaitu : 1. Pembelaan Yang Sah (Ad dafi‟ As Syar‟iyyu) 2. Pendidikan dan pengajaran (At ta‟dibu) 3. Pengobatan (At Tathbiibu) 4. Permainan olah raga (Al „aab Al Furusiyah) 5. Hapusnya jaminan keselamatan jiwa dan anggota badan (Ihdar) seseorang 6. Hak-hak dan kewajiban penguasa
57
http://vannbie.blogspot.co.id/2012/06/pertanggung-jawaban-hukum-pidana-islam.html (diakses pada tanggal 12 Mei 2016 pukul 07.05) 58 Topo Santoso, Mengagas Hukum Pidana Islam (Bandung: Asy Syamil, 2001) Cet. II, hlm. 169
34
Pembelaan yang sah dibagi menjadi dua macam yaitu pembelaan khusus dan pembelaan umum. Pembelaan khusus (Difa‟ Asy-Syar‟I al-Khass) dalam hukum Islam maksudnya adalah kewajiban manusia menjaga dirinya atau orang lain dan untuk mempertahankan hartanya atau harta orang lain. Pembelaan khusus bersifat wajib bertujuan untuk menolak serangan.59 Allah SWT berfirman dalam Q.S Al-Baqarah [2] : 194
Artinya : “Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.” Para fuqaha sepakat bahwa membela diri adalah suatu jalan yang sah untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain dari serangan terhadap jiwa, kehormatan, dan harta benda.60 Sedangkan yang dimaksud dengan pembelaan umum (Difa‟ Asy-Syar‟I Al„Am). Pembelaan untuk kepentingan umum atau dalam istilah Amar ma‟ruf nahi munkar. Sebagian fuqaha berpendapat bahwa amar ma‟ruf nahi munkar hanya diwajibkan bagi orang yang mmpu melaksanakannya sedangkan yang lainnya tidak wajib.61 Seperti Firman Allah SWT Q.S Ali Imran [3] : 104
59
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 138 60 http://artikelkuislami.blogspot.co.id/2012/01/hukum-pidana-islam.html (diakses pada tanggal 17 Mei 2016 pukul 11.03) 61 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 159
35
Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar.” Sebab pembenaran yang kedua adalah pendidikan, seorang ayah memiliki hak untuk memberikan pendidikan terhadap anaknya yang maih kecil dan baligh. Menurut mazhab Maliki, Syafi‟i dan Hanbali berbeda dengan mazhab Hanafi. Mereka berpendapat bahwa pendidikan kepada anak kecil secara umum adalah hak bukan kewajiban. Adapun mazhab Hanafi memandang pendidikan terhadap anak kecil secara umum adalah wajib atau paling tidak, wajib apabila bertujuan untuk mengajarinya.62Tujuan menjatuhkan hukuman dalam mendidik anak hanyalah untuk memberikan bimbingan dan perbaikan, bukan untuk pembalasan atau kepuasan hati. Karena itu, watak dan kondisi anak harus diperhatikan terlebih dahulu sebelum menjatuhkan hukuman. Sebab pembenaran yang ketiga adalah pengobatan, kerugian yang disebabkan oleh dokter yang mempuni dan kredibel yang dilakukan tana adanya kecerobohan tidak ditanggung sama sekali oleh dokter.63 para fuqaha sepakat bahwa dokter tidak bertanggungjawab apabila pekerjaannya mengakibatkan hasil yang membahayakan si pasien.
62
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 181 63 Walid bin Rasyid as-Sa‟idan, Syar‟iyyah fi al-Masa‟il ath-Thibbiyah di Terjemahkan oleh Muhammad Syafii Maskur Fiqh Kedokteran, (Yogyakarta : Pustaka Fahima, 2007) hlm.123
36
Namun, jika ada orang yang berlaku selayaknya dokter tanpa memiiki keilmuan untuk menyembuhkan suatu penyakit yang di derita oleh pasien maka ia wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya jika terjadi sesuatu terhadap pasien. Rasulullah Saw bersabda.
ٍْ ْج عٚ ثُب ابٍْ جش.ذ ابٍْ ي ْسهِىِٛ ثُب ْانٕن: قبلْٙ ِ ِذ انشَّيهْٛ حذثُب ِْ ِشبو بٍْ ع ًَّبس ٔسا ِشذ بٍ س ِع ُّعه ْى ِيُّ ِطبٚ و " ي ٍْ تطبَّب ٔنى. قبل سسٕل لّلا ص: ِّ ع ٍْ ج ِّذ ِِ قبلِٛب ع ٍْ أب ِ ْٛ ٛع ًْ ِش ٔب ٍِْ شع ٍقبم رنك فٕٓ ضب ِي Artinya : “Telah menceritakan Hisyam Bin Amar dan Rasyid Bin Sa‟id Al-Ramli mereka berkata : telah menceritakan Al-Walid Bin Muslim. Telah menceritakan Ibn Juraij dari Umar Bin Syu‟ab dari ayahnya dan kakeknya berkata : Rasulullah Saw bersabda : Barang siapa yang melakukan pengobatan dan dia tidak mengetahui ilmunya sebelum itu maka dia yang bertanggung jawab.” 64 Sebab pembenaran yang keempat adalah permainan kesatriaan, hukum Islam memperbolehkan segala permaninan kesatriaan yang mencari keunggulan kekuatan dan keahlian serta yang dapat bermanfaat bagi masyarakat, baik pada waktu damai ataupun perang. Seperti lomba lari, pacuan kuda, lomba berahu, balap mobil, parasut, permainan anggar, tombak, pedang, memanah, menembak, tinju, angkat besi dan lain-lain.65 Allah SWT berfirman dalam QS. al-Anfal [8]:60)
64
Sunan Al-Hafid Abi Abdillah Muhammad Bin Yazid Al-Qazwini Ibn Majjah, Sunan Ibnu Majjah Juz I, No. 3466, hlm. 31 65 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 187
37
Artinya : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” Sebab pembenaran yang kelima hapusnya jaminan keselamatan ialah bolehnya mengambil tindakan terhadap jiwa seseorang atau anggota-anggota badannya, dan oleh karena itu maka ia bisa dibunuh atau dianiaya. Tindakan tersebut bisa diadakan apabila dasar-dasar adaya keselamatan jiwa atau anggota badan telah hapus. Dasar-dasar tersebut adalah iman (Islam) dan jaminan sementara atau seumur hidup.66 Jaminan keselamatan bagi seseorang menjadi hapus apabila ia murtad dan bagi kafir ziimi menjadi hapus dengan berakhirnya masa perjanjian yang telah diberikan kepada mereka atau karena mereka melanggar (tidak menepati) ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut. Sebab pembenaran yang keenam adalah Hak- hak penguasa menurut Islam adalah hak untuk memerintah rakyatnya. Selain memerintah penguasa juga memiliki kewajiban untuk taat terhadap hukum Allah. Penguasa tidak boleh menyuruh kepada sesuatu yang menyalahi syara‟. Allah Swt berfirman dalam Q.S An-Nisa [4] : 59)
66
http://gubukhukum.blogspot.co.id/2012/03/pidana-dalam-hukum-pidana-islam.html (diakses pada tanggal 30 Agustus 2016 pukul 19.00)
38
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).” Dasar penghapusan pidana yang kedua adalah sebab pemaafan. Dengan adanya sebab pemaafan, seseorang yang melakukan tindak pidana tetap melawan hukum namun si pembuat atau pelakunya dimaafkan karena keadaan tertentu yang ada pada diri pelaku.67 Menurut Abdul Qadir Audah adapun keadaan tertentu yang dimaksud, yaitu : 1. Paksaan (Ikrah) 2. Mabuk. 3. Orang Gila. 4. Anak-anak. Keadaan yang pertama adalah daya paksa, fuqaha berbeda pendapat mengenai definisi paksaan. Paksaan adalah apabila suatu hukuman (ancaman) dapat dilakukan oleh si pemaksa dengan segera dan cukup mempengaruhi orang yang berakal pikiran sehat untuk mengerjakan apa yang dipaksa bahwa ancaman tersebut akan benar-benar dilakukan apabila ia menolak apa yang dipaksakan kepadanya. seperti Sabda Rasulullah Saw.68
ع ٍْ عطبء عُِبب ٍِْ عبلبطُّٙ ثُب األْٔ صا ِع.ذ بٍْ ي ْسهِىِٛ ثُب انٕن.ُّٙ ص ِ ًْ حذثُب يح ًَّذ بٍْ ْانًصفَّٗ ان ِح ِّ ٛكشْٕا عه ِ ٛ انخطأ ٔانُِّسِٙو إٌ ّلا ٔضع ع ٍْ أ َّيت.ع ٍِ انَُّبِ ُّٗ ص ِ بٌ ٔيب است Artinya : “Telah menceritakan Muhammad Bin Mushaffa Al-Himshiyyu. Telah menceritakan Al-Walid Bin Muslim. Telah menceritakan Al-auza‟iyyu dari‟Atho. 67
hlm. 169
68
Topo Santoso, Mengagas Hukum Pidana Islam (Bandung: Asy Syamil, 2001) Cet. II,
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 221
39
Dari Ibnu Abbas r.a Bahwa sesungguhnya Nabi Saw Bersabda : Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku keliru, lupa, dan sesutu yang dipaksa”69 Jika suatu kejahatan dilakukan dalam keadaan dipaksa tak akan ada tuntutan hukuman jika terbukti benar bahwa ia melakukan kejahatan karena dipaksa.70 Seseorang melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum namun ada unsur paksaan saat melakukan perbuatan tersebut. Maka seseorang itu tidak wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Keadaan yang kedua adalah mabuk, mabuk adalah perilaku sadar seseorang atau sekelompok orang untuk meminum minuman beralkohol atau mengkonsumsi barang-barang yang memabukkan untuk mengurangi beban dan tekanan hidupnya dan atau sekedar untuk mencari kesenangan semata, sehingga ia dapat melakukan tindakan yang tidak terkontrol, seperti bicara ngawur, memukul, menendang, hingga membunuh.71 Menurut
Abdul
Qadir
Audah
seseorang
yang
tidak
dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya sebab mabuk adalah seseorang yang mabuk karena dipaksa dan keinginannya sendiri namun ia tidak tahu bahwa minuman tersebut mengadung zat yang dapat memabukkan.72 Topo santoso juga mengemukakan pendapat yang sama, jika seseorang mabuk hingga kesadarannya hilang dan mabuk itu tidak disengaja misalnya karena di paksa, ditipu atau karena
69
Sunan Al-Hafid Abi Abdillah Muhammad Bin Yazid Al-Qazwini Ibn Majjah, Sunan Ibnu Majjah Juz I, No. 2045, hlm. 10 70 Topo Santoso, Mengagas Hukum Pidana Islam (Bandung: Asy Syamil, 2001) Cet. II, hlm. 173 71 http://arief306al-mumtaz.blogspot.co.id/2013/05/mabuk-mabukan.html (diakses pada tanggal 12 Mei 2016 pukul 16.04) 72 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 240
40
mengkonsumsi obat tertentu maka ia tidak wajib memepertanggungjawabkan perbuatannya.73 Keadaan yang ketiga adalah orang gila, Secara umum dan luas gila memiliki pengertian “hilangnya akal, rusak atau lemah”. Definisi tersebut merupakan definisi secara umum dan luas, sehingga mencakup gila (junun), dungu (al-„ithu), dan semua jenis penyakit kejiwaan yang sifatnya menghilangkan idrak (kemampuan berfikir).74 Menurut Abdul Qadir Audah ada beberapa kategori yang masuk keadaan gila, yaitu : 1. Gila yang terus menerus (Junun Mutbaq) 2. Gila yang berselang (Mutaqatti) 3. Gila sebagian 4. Dungu 5. Epilepsi dan Histeria 6. Terasuki pikiran keji 7. Kepribadian ganda 8. Lemah pikiran 9. Tuli dan Bisu 10. Gerakan dalam tidur 11. Peniduran hipnotis 12. Meluapnya sentimen
73
Topo Santoso, Mengagas Hukum Pidana Islam (Bandung: Asy Syamil, 2001) Cet. II,
hlm. 173 74
http://artikelkuislami.blogspot.co.id/2012/01/hukum-pidana-islam.html (diakses pada tanngal 12 Mei 2016 pukul 18.00)
41
Keadaan-keadaan yang masuk dalam kategori gila dan melakukan perbuatan tindak pidana membebaskan pelakunya dari hukuman karena tidak adanya kekuatan berpikir (idrak) pada dirinya. Walaupun seseorang gila bukan berarti memberikan pembolehan, melainkan mengahapuskan hukumannya dari si pelaku. Dan ketetapan ini disepakati oleh para fuqaha.75 Keadaan kempat dan yang terakhir sebab pemaafan seseorang yang melakukan tindak pidana adalah Anak-anak. Anak-anak dan orang gila adalah golongan yang tidak dikenai pidana atas perbuatannya, karena keduanya bukan termasuk orang yang mampu untuk bertanggungjawab.76 Kemampuan beertanggungjawab dalam hukum Islam memiliki salah satu unsur yaitu kekuatan berpikir (idrak). Anak-anak yang tidak dimintai pertanggungjawabannya karena masih lemahnya kekuatan berpikir dan belum memasuki fase memiliki kekuatan berpikir. Seiring dengan perbedaan fase-fase yang dilalui oleh manusia sejak lahir sampai waktu sempurna kekuatan berpikir dan pilihan.77 Rasulullah Saw bersabda sebagai berikut.
ٍ ٔح َّذثُب يح ًَّذ ابٍْ خبنِ ِذ بٍ خذاش ٔ يح ًَّذ ب.ٌٔذ بٍْ ْبسٚ ِضٚ ثُب.ْبتٛحذثُب أبْٕ ب ْك ِش ب ٍِْ أبِٗ ش ْ ثُب ح ًَّبد بٍ سهًت عٍ ح ًَّبد. ٍّٖ ثُب عبذانشَّحً ٍِ بٍ ي ْٓ ِذ: قبل. ٗٛحٚ ى ع ٍِ األسْٕ ِدِْٛ عٍ إبْشا َّٗ ْبهِغ ٔانَُّبئِ ِى حتٚ َّٗ حتِّٙ ِصب َّ سفِع ْانقهى ع ٍْ ثالثت ع ٍِ ان:و قبل.أ ٌَّ سسٕل ّلاِ ص: ع ٍْ عبئشت ْقِٛفٚ َّْٗقظ ٔع ٍِ ْانًجْ ُْٕ ٌِ حتٛسْتٚ Artinya : “ Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Bin Abi Syaibah, telah menceritakan pada kami Yazid Bin Harun. Telah menceritakan kepada kami 75
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 240 76 Assadulloh Al Faruk, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2009) Cet. I, hlm. 87 77 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 255-256
42
Muhammad Ibnu Khallid Bin Khidash, Dan Muhammad Bin Yahya, Mereka berkata : Telah menceritakan pada kami Abdurrahman Bin Muhdiyyi. Telah menceritakan Hammad Bin Salamah, dari Hammad, Ibrahim, Aswad dan Aisyah. Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda : Pena diangkat dari tiga orang, dari anak kecil hingga bermimpi (baligh), dari orang tidur hingga bangun, dan dari orang gila hingga normal kembali.” 78 Anak-anak dan orang gila adalah golongan yang tidak dikenai pidana atas perbuatannya, karena keduanya bukan termasuk orang yang mampu untuk bertanggungjawab.79 Karena sebab inilah seorang anak yang masih dibawah umur melakukan kejahatan tidak dimintai pertanggungjawaban pidana sebab dimaafkan segala perbuatanya. C. Pertanggungjawaban Pidana Anak dalam
Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dan Hukum Islam Pertanggungjawaban pidana anak dalam hukum positif terdapat dalam beberapa undang-undang. Di dalam KUHP yang masih dijadikan rujukan penegakan hukum di Indonesia, membahas tentang pertanggungjawaban pidana anak hanya terdapat pada pasal 45, 46 dan 47. Pasal 45 Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan
78
Sunan Al-Hafid Abi Abdillah Muhammad Bin Yazid Al-Qazwini Ibn Majjah, Sunan Ibnu Majjah Juz I, No. 2041 79 Assadulloh Al Faruk, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2009) Cet. I, hlm. 85
43
supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasar- kan pasalpasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah. Pasal 46 (1)
Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada
pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun. (2) Aturan untuk melaksanakan ayat 1 pasal ini ditetapkan dengan undangundang. Pasal 47
(1) Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga.
44
(2) Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (3) Pidana tambahan dalam pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3, tidak dapat diterapkan. Dalam KUHP , menurut Pasal 45 dan 46 seorang anak yang belum mencapai usia 16 (enam belas) tahun tidak dijatuhi pidana apapun. Namun, jika di pertintahkan oleh hakim untuk di serahkan kepada pemerintah dan diberikan pendidikan serta pembinaan kepada seorang anak yang melakukan kejahatan atau pelanggaran selain dari pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514, 517 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah dapat diperintahkan untuk dibina oleh pemerintah sampai berumur delapan belas tahun. Sedangkan dalam Pasal 47 (1) disebutkan bahwa penjatuhan pidana yang diberikan terhadap anak dikurangi atau diperingan menjadi sepertiga dari hukuman orang dewasa. Apabila si anak melakukan kejahatan yang mana hukumannya berupa hukuman mati atau penjara seumur hidup bagi orang dewasa (jika melakukannya) maka anak dijatuhi pidana paling lama lima belas tahun. Dikutip oleh Zainal Abidin Farid, menurut Jonkers dasar peringanan atau pengurangan pidana yaitu :80
80
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) hlm. 439
45
1. Percobaan melakukan kejahatan ( Pasal 53 KUHP) dan pembantuan (Pasal 56 KUHP) 2. Orang yang belum cukup umur yang dapat dipidana (Pasal 45 KUHP) Percobaan dan pembantuan pidana ini adalah suatu ketentuan atau aturan umum yang (yang dibentuk oleh pembentukan Undang-undang) mengenai penjatuhan pidana terhadap pembuat yang gagal dan orang yang membantu orang lain melakukan kejahatan. Dimana mereka melakukan suatu tindakan namun tidak sampai pada tujuannya.81 Syarat dari tejadi suatu tindak pidana berkurang karena tujuan melakukan pidana itu tidak selesai. Maka dari itu diperingan hukuman bagi seseorang yang mencoba dan membantu melakukan tindak pidana. Dan adapun Undang-undang tentang hukum pidana anak selain di dalam KUHP adalah :82 1. Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak 2. Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak 3. Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak. Pertimbangan secara yuridis saja tidaklah cukup untuk menentukan nilai keadilan dalam pemidanaan anak dibawah umur. Sebaiknya juga pertimbangan non-yuridis yang bersifat sosiologis, psikologis, kriminologis dan filosofis. Karena masalah tanggung jawab hukum yang dilakukan oleh anak dibawah umur
81
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002) hlm. 105 82 Maman Abdul Rahman, Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum Pidana Islam dan Undang Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Skripsi, 2015, hlm. 36
46
tidaklah cukup kalau hanya didasarkan pada segi normatif namun juga harus mempertimbangan faktor intern dan ekstern anak yang melatarbelakangi anak melakukan kenakalan atau kejahatan.83 Dalam hukum Islam, ada salah satu sebab pemaafan pertanggungjawaban pidana
yatu
kepada
anak-anak.
Karena
menurut
Syari‟at
Islam
pertanggungjawaban pidana haruslah di dasari 3 (tiga) unsur, yaitu : -
Perbutan haram yang dilakukan
-
Pelaku memiliki pengetahuan (Idrak)
-
Pelaku memiliki pilihan (Ikhtiar)
Dengan demikian, seorang anak tidak dimintai pertanggungjawaban pidana karena tidak memenuhi tiga unsur diatas. Seseorang dapat dimintai pertanggungjawabannya jika sudah masuk pada usia balligh karena telah memenuhi tiga unsur tersebut. Selain usia balligh menurut Abdul Qadir Audah , unsur pertanggungjawaban anak juga didasarkan pada fase perkembang berpikir. Adapun tiga fase perkembangan berpikir, yaitu : 1. Fase tidak adanya kemampuan berpikir, Fase ini dimulai sejak manusia dilahirkan dan berakhir sampai usia tujuh tahun.84 Tahap ini adalah tahap dimana seorang anak mengeksplorasi dunianya, fase kritis dimana anak akan sangat aktif bergerak dan memuaskan rasa penasarannya terhadap apa yang ia
83
hlm. 93
84
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak di Bawah Umur, (Bandung : PT Alumni, 2010)
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm 256
47
temui. Eksplorasi lingkungan pada fase ini sangatlah penting dalam melatih akal anak dalam berfikir.85 2. Fase kemapuan berpikir lemah, Fase ini dimulai sejak si anak menginjak usia tujuh tahun sampai dengan usia baligh. Di fase ini anak sudah mulai mampu membedakan baik dan buruk berdasarkan nalarnya sendiri sehingga di fase inilah kita sudah mulai mempertegas pendidikan pokok syariat. 86 Dalam fase ini anak yang telah melakukan suatu pidana tidak wajib bertanggungjawab secara pidana, namun dikenai tanggungjawab ta‟dibi yaitu hukuman yang bersifat mendidik.87 3. Fase kekuatan berpikir penuh, Pada tahap ini manusia sudah dianggap dewasa, ia sudah terkena kewajiban untuk menjadi ‟abdullah (hamba allah) dan khalifah (pemimpin) yang baik . Menurut at-Taftazani adalah fase ini dimana seseorang telah dapat menjalankan hukum, baik yang perintah atau larangan. Seluruh perilaku harus dipertanggungjwabkan sebagai pahala dan dosa.88 Dalam proses perkembangan berpikir anak, Orang tua memiliki peran yang sangat penting. Dalam hal mendidik dan mengajarkan anak adalah kewajiban kedua orang tua. Sebagaimana Allah SWT berfirman ( Q.S At-Tahrim : 66 : 6 )
85
http://www.kompasiana.com/navia/psikologi-perkembangan-islami-faseperkembangan-manusia-dalam-al-quran-sejak-dalam-rahim-hingga-hingga-pascakematian_553a6a6f6ea834f21ada42ce (diakses pada tanggal 12 Mei 2016 pukul 23.31) 86 http://robbinadani.blogspot.co.id/2015/05/makalah-perkembangan-anak-menurut.html (diakses pada tanggal 12 Mei 2016 pukul 00.10) 87 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm 257 88 http://www.kompasiana.com/navia/psikologi-perkembangan-islami-faseperkembangan-manusia-dalam-al-quran-sejak-dalam-rahim-hingga-hingga-pascakematian_553a6a6f6ea834f21ada42ce (diakses pada tanggal 12 Mei 2016 pukul 00.35)
48
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” Dikutip oleh Syaikh
Jamal Abdurrahman,
dimana Sahabat
Ali
menafsirkkan ayat ini dengan kalimat “didiklah dan ajarilah mereka.” Mengajar, mengarahkan dan mendidik anak adalah usaha mendapatkan surga. Mengabaikan itu semua berarti neraka. Mendidik dan mengajar anak merupakan suatu kewajiban bagi orang tua. Memperhatikan segala kebutuhan anak dalam tumbuh kembangnya juga adalah kewajiban kedua orang tua. Dikutip oleh Ibnu Abbas menurut Abdul Nashih Ulwan, kewajiban orang tua dalam memberikan pendidikan terhadap anak ada lima, yaitu :89 1. Tanggungjawab pendidikan iman. 2. Tanggungjawab pendidikan akhlak. 3. Tanggungjawab pendidikan fisik. 4. Tanggungjawab pendidikan intelektual. 5. Tanggungjawab pendidikan psikis.
89
Ibnu Abbas, Batas Minimal Cakap Hukum dalam UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islam, (Jakarta : Skripsi, 2011) hlm. 21
49
Tanggungjawab orang tua dalam memberikan pendidikan terhadap anaknya sangatlah penting. Seorang anak akan taat dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupannya, jika kedua orang tuanya mendidiknya dan mengajarinya berdasarkan ajaran Islam sejak dini. Lain halnya jika orang tua mendidik dan mengajarkan hal buruk kepadanya maka anak akan tumbuh diluar ajaran Islam. Rasulullah Saw bersabda
ُّ ب َع ِن ٌ الزهْ ِر حمن َعن أبى هرير َة ٍ ح َّدث َنا ابنُ أبي ذِئ: ح َّدثنا آد ُم ِ َّى َعن أبي َسلمة بن عبد الر َ ْ ْ ُ َفأ َب َواهُ ُي َهوِّ دَ ا ِن ِه اَ ْو ُي َنص َِّرانِ ِه.ِم ُك ُّل َم ْول ْو ٍد ي ُْولَ ُد َعلَى الفِط َرة. قال النبيُّ ص: رضي هللا عنه قال َ َ اَ ْو ُي َمجِّ َسا ِن ِه كمث ِل ال َب ِهي َم ِة ُت ْن َت ُج ال َب ِهي َم ِة َه ْل َت َرى فيْها َ َج ْدعاء Artinya : “Telah menceritakan pada kami Adam : telah menceritakan pada kami Ibn Abi Dzi‟bi dari Zuhri, dari Abi Salamah Bin Abdurrahman, dari abu Hurairah r.a berkata : Rasulullah Saw bersabda : Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka tergantung kedua orang tuanya yang menjadikan dia orang Yahudi, Nashrani, atau Majusi. Seperti hewan melahirkan anaknya yang semurna, apakah kalian melihat darinya buntung (pada telinga).”90 Dikutip oleh Syaikh Jamal Abdurrahman tentang nasihat Al-Ghazali “Janganlah banyak mengarahkan anak dengan celaan karena si anak akan menjadi terbiasa dengan celaan. Dengan celaan pula si anak akan bertambah berani melakukan keburukan dan nasihat pun tidak dapat mempengaruhi hatinya lagi.”91 Al-Ghazali berpesan kepada orang tua agar tidak mendidik anak dengan cara mencelanya. Karena akan berdampak buruk kepada tumbuh kembang si anak yang di biasakan mendapat celaan dan nantinya akan dengan mudah melakukan keburukan lainnya selain perbuatan mencela. Seorang pendidik ataupun kedua 90
Imam Abu Husain Muslim bin Hajjaj Al- Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim Juz II, No. 2658 91 Syaikh Jamal Abdurrahman, Athfalul Muslimin Kaifa Rabahumun Nabiyyul Amin di Terjemahkan oleh Anggota SPI Islamic Parenting Pendidikan Anak Metode Nabi, (Solo : Aqwam, 2015) Cet.12 hlm.114
50
orang tua selain tidak boleh mecela anak juga tidak boleh mengajarkan kepada anak untuk berbuat maksiat. Misalnya meminum minuman keras, berbuat kejahatan, merokok, mencela, mencaci dan sampai melukai atau merugikan diri sendiri dan orang lain. Walaupun seorang anak yang melakukan perbuatan maksiat tersebut belum
baligh
tidak
dibebani
hukum
(taklif)
tetapi
orang
tua
tetap
bertanggungjawab agar tidak berdampak buruk jika dibiarkan dan dilakukan berulang-ulang dan menjadi kebiasaan di masa yang akan datang.92 Sebagai orang tua yang baik dalam mendidik anak, orang tua haruslah menjauhkan anak dari kebiasaan berbuat maksiat. Jika tidak, maka orang tua yang bertanggungjawab atas perbuatan maksiat yang dilakukan anaknya di akhirat kelak. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda
ث ع ٍْ َبفِ ِع ع ٍِ اب ٍِْ عًشْٛث ٔ حذثُب يح ًَّذ ابٍ سيحض حذثُب انهٛذ حذثُب نٛبت بٍْ س ِعٛحذثُب قت ط ِ ْش انل ِزْ٘ عهٗ انَُّبَّٛتِ ِّ فب ْل ِيٛ أل كهُّك ْى ساع ٔكهُّك ْى يسْئٕل ع ٍْ س ِع: و اََّّ قبل. صِٙع ٍِ انَُّب تٛتِ ِّ ْٕٔ يسْئٕل ع ُْٓ ْى ٔ ْانًشْ أة سا ِعْٛ َّتِ ِّ ٔانشَّجم ساع عهٗ ا ْْهِٗ بٛساع ْٕٔيسْئٕل ع ٍْ س ِع ٔ أل فكهُّك ْى ساع:ُّْ ِّ ِذ ِِ ْٕٔيسْئٕل عٛبل س ِ ٔيسْئٕنت ع ُْٓ ْى ٔ ْانعبْذ ساع يِْٙ ٔ ِِ ب ْعهِٓب ٔٔن ِذ ِّ َِّتٛكهُّك ْى يسْئٕل ع ٍْ س ِع Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‟id. Telah menceritakan kepada kami Lais. Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad Bin Rumhi. Telah menceritakan kepada kami Lais dari Nafi‟,dari Ibnu Umar RA, dari Nabi Muhammad SAW beliau telah bersabda: Kalian semuanya adalah pemimpin (pemelihara) dan bertanggung jawaban terhadap rakyatnya. pemimpin akan ditanya tentang rakyat yang dipimpinnya. Suami pemimpin keluargnya dan akan di tanya tentang keluarga yang dipimpinnya. Istri memelihara rumah suami dan anak-anaknya dan akan di tanya tentang hal yang dipimpinnya. Seorang hamba (buruh) memelihara harta majikannya dan akan
92
Syaikh Jamal Abdurrahman, Athfalul Muslimin Kaifa Rabahumun Nabiyyul Amin di Terjemahkan oleh Anggota SPI Islamic Parenting Pendidikan Anak Metode Nabi, (Solo : Aqwam, 2015) Cet.12 hlm.100
51
ditanya tentang pemeliharaannya. Camkanlah bahwa kalian semua pemimpin dan akan dituntut ( diminta pertanggungjawaban ) tentang hal yang dipimpinnya.”93 Dari hadist ini seorang suami (ayah) dan istri (ibu) akan dimintai pertanggungjawabannya atas kepemimpinan (pemeliharaan, pendidikan) terhadap anak yang di amanahkan kepada mereka dan jika si anak yang melakukan perbuatan maksiat. Jadi, peran orang tua sangatlah penting dalam pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukan oleh anaknya. Apabila orang tua mendidik anak dengan cara membiasakan mencela si anak, ia akan terbiasa mencela dan melakukan halhal yang lebih dari sekedar mencela dan berujung kepada kemaksiatan ataupun kejahatan. Tapi apabila mendidik anak dengan cara yang dianjurkan oleh Islam anak akan terbiasa untuk melakukan kebaikan dalam kehidupannya sehari-hari hingga ia dewasa.
93
Imam Abu Husain Muslim bin Hajjaj Al- Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim Bi Syarah An-Nawawi Juz VI, No. 2658
BAB III BATAS USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK A. Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum Positif Pada bab sebelumnya sudah dijelaskan, bahwa pertanggungjawaban pidana anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya terdapat pada Pasal 45, 46 dan 47. Pasal-pasal ini menyatakan bahwa seorang anak yang belum mencapai usia enam belas tahun tidak dijatuhi hukuman apapun. Apabila dijatuhi hukuman itu dikarenakan melanggar pasal-pasal tertentu namun, hukumannya diperingan. Undang-undang yang membahas tentang pidana anak selain KUHP yang pertama adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini mendefinisikan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.1 Jadi seseorang yang masih berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun itu dikategorikan anak. Perbedaan undang-undang ini dengan KUHP yaitu pada perbedaan batas usia. Dalam KUHP seseorang yang belum mencapai usia 16 (enam belas) tahun itu dikategorikan anak. Sedangkan di Undang- Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, seseorang yang berusia kurang dari 18 (delapan belas) tahun dikategorikan anak.
1
M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum,(Jakarta : Sinar Grafika, 2013) hlm.10
50
51
Dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 59 junto Pasal 64 sebenarnya telah menegaskan dimana Pemerintah dan Lembaga Negara lainnya wajib dan bertanggungjawab memberikan perlindungan khusus melalui upaya : 2 1. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak; 2. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini; 3. Penyediaan saranadan prasarana khusus; 4. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak; 5. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; 6. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan 7. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. Undang-undang yang membahas tentang pidana anak selain KUHP yang kedua
adalah Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
undang-undang ini dibentuk karena di Indonesia haruslah memiliki penanganan khusus perkara pidana bagi anak.3 Penanganan perkara di Indonesia setelah terbitnya undang-undang ini, menjadikan KUHP tidak dipergunakan lagi menangani perkara pidana anak.
2
http://www.kpai.go.id/artikel/implementasi-restorasi-justice-dalam-penanganan-anakbermasalah-dengan-hukum/ (diakses pada tanggal 1 Agustus 2016 pukul 19.20 WIB) 3 Gatot Suparmono, Hukum Acara Pengadilan Anak,(Jakarta : Djambatan, 2003) hlm. 17
52
Batas usia anak tergolong sangat penting dalam perkara pidana anak. Jika dalam KUHP seorang anak yang belum berusia 16 (enam belas) tahun tidak dijatuhi hukuman sesuai dengan aturan-aturan yang tercantum dalam KUHP dan tidak memiliki batas minimal usia. Namun,
disebutkan mengenai pengajuan ke
sidang anak dan batas minimal usia dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah sebagai berikut : Pasal 4 ayat 1 “batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurangkurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Pasal 4 ayat 2 “dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak. Menurut pasal 4 ayat 1 dan 2 seorang anak yang bermasalah dengan hukum dapat diajukan ke sidang anak adalah anak yang berusia 8 sampai 18. Namun, dalam ayat selanjutnya dinyatakan bahwa seorang anak yang diajukan ke persidangan anak sesudah melewati batas usia 18 tahun dan belum sampai pada usia 21 tahun tetap diajukan ke sidang anak.
53
Namun, apabila seorang anak melakukan tindak pidana sebelum mencapai batas minimal usia pertanggungjawaban pidana yaitu 8 (delapan) tahun. Maka ada tiga kemungkinan yang akan diambil oleh hakim yaitu :4 Pasal 5 1. Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tesebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik 2. Apabila menurut hasil pemeriksaa, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orangtua, wali atau orangtua asuhnya, penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali atu orangtua asuhnya. 3. Apabila menurut hasil pemeriksaa, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina oleh orang tua, wali atau orangtua asuhnya, penyidik menyerahkan anak tersebut kepada departemen sosial setelah mendengar pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan. Sanki terhadap anak yang berperkara menurut UU No. 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak diatur dalam Pasal 23 yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.5 Pidana pokoknya yaitu : penjara, kurungan, denda dan pengawasan. Sedangkan pidana tambahan yaitu berupa perampasan barang-barang tertentu atau
4
Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak,(Bandung : Refika Aditama, 2013)
hlm.25
5
Lihat UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak
54
membayar ganti rugi. Dengan demikian, menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, seorang anak yang masih berusia 8 tahun sampai 21 tahun bisa diajukan ke Sidang Anak. Dan sanksi yang diberikan bisa berupa pidana penjara, kurangan denda ataupun pengawasan. Namun, bagi anak yang berusia dibawah 8 tahun dan melakukan tindak pidana diputuskan sesuai dengan pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan. Undang-undang yang membahas tentang pidana anak selain KUHP yang ketiga dan terbaru adalah Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Menurut Pasal 1 ayat 3 “Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang berusia 12 (dua belas) tahun tetapi belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan diduga melakukan tindak pidana.” Namun, dalam penahanan terhadap seorang anak dilakukan apabila ia telah berusia 14 (empat belas) tahun dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun.6 Jadi UU SPPA dalam mendifinisikan anak berbeda dengan KUHP, UU SPPA menggunakan batas usia 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun yang menjadikan seseorang masuk dalam kategori anak. Dan menurut UU SPPA anak yang bermasalah dengan hukum bisa dilakukan penahan terhadapnya jika sudah berusia 14 (empat belas) tahun. Undang-undang terbaru ini diharapkan menjadi undang-undang yang mengedepankan keadilan bagi anak yang bermasalah dengan hukum. Oleh sebab
6
Lilik Mulyadi, Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia. (Bandung : PT Alumni, 2014) hlm. 3
55
itu, dalam perumusan undang-undang ini mengembangkan konsep Restorative Justice7 yang diwujudkan melalui Diversi.8 Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 8 ayat 1 yang dimaksud dengan Diversi adalah “proses yang dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orangtua / walinya, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial professional dan berdasarkan pendekatan restorative” Proses diversi dimaksudkan agar dalam penyelesaian perkara anak di lakukan melalui musyawarah, langkah ini dibuat untuk menghidarkan anak dari tindakan hukum berikutnya. Namun, jika tidak berhasil dalam musyawarah maka tindakan selanjutnya harus mengacu pada due process of law9. Sehingga hak asasi anak tetap dilindungi walaupun ia bermasalah dengan hukum.10 Konsep diversi di Indonesia memang merupakan hal yang baru dan baru kita kenal sejak adanya Undang-Undang No. 11 Tahun tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diundangkan walupun sebenarnya istilah diversi di beberapa negara sudah lama dikenal seperti konsep diversi sudah mulai dicetuskan oleh Presiden Australia dan dikenal di Amerika Serikat sejak tahun 1960.11 Dan pertama kali di terapkan oleh Negara Australia.
7
Restorative Justice atau Keadilan Restoratif adalah suatu proses dimana semuapihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani akibat di masa yang akan datang. 8 Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak,(Bandung : Refika Aditama, 2013) hlm.133 9 Due Process of Law adalah penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum yang lainnya. 10 Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak,(Bandung : Refika Aditama, 2013) hlm.135 11 http://www.pn-palopo.go.id/index.php/berita/artikel/163-era-baru-sistem-peradilanpidana-anak (diakses pada tanggal 10 September 2016 pukul 11.10 WIB)
56
Sebagai perbandingan dapat dilihat batas usia pertanggungjawaban pidana anak yang diatur dalam Negara-negara lainya, yaitu : 12 1. Negara Inggris, memiliki batas usia minimum 8 tahun. 2. Negara Australia, memiliki batas usia minimum 8 tahun. 3. Negara Swedia, memiliki batas usia minmum 15 tahun. 4. Negara Jepang memiliki batas usia sampai 20 tahun. 5. Negara Columbia memiliki batas usia sampai 18 tahun. 6. Negara Korea memiliki batas usia minimum 14 tahun. B. Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum Islam Pengertian anak dalam berbagai disiplin ilmu berbeda-beda, hukum Islam telah menetapkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seorang manusia yang telah mencapai umur tujuh tahun dan belum balligh. Sedang menurut kesepakatan para ulama, manusia dianggap balligh apabila mereka telah mencapai usia 15 tahun.13 Baligh secara bahasa berarti sampainya seorang anak pada usia melaksanakan kewajiban agama. Sementara definisi fiqih untuk baligh itu sendiri adalah berakhirnya masa kanak-kanak seseorang dan sampai pada usia dimana ia telah memiliki kesiapan untuk melaksanakan kewajiban dan konsisten untuk melaksanakan hukum syariat.14
12
Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2013) hlm 17 13 file:///C:/Users/User/Downloads/434-1062-1-SM.pdf (diakses padatanggal 20 Mei 2016 pukul 14.06) 14 http://indonesian.irib.ir/artikel/ufuk/item/52377-Ensiklopedia_IRIB_Indonesia-_Baligh (diakses pada tanggal 20 Mei 2016 pukul 16.30)
57
Seorang manusia tidak dikenakan kewajiban untuk melasanakan syariat Islam (pembebanan hukum / taklif ) sebelum ia cakap untuk bertindak hukum.15 Dikutip oleh Nasrun Haroen, para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa perbuatan seseorang baru bisa dikenai pembebanan hukum (taklif) apabila orang tersebut telah memenuhi dua syarat yaitu : 1. Orang itu telah mampu memahami khitab syari’ (tuntutan syara’) yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah. Baik secara langsung maupun melalui orang lain, seseorang yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami khitab syari’ tidak mungkin untuk melaksanakan suatu pembebanan hukum (taklif). Kemampuan taklif ini haruslah sesuai dengan perkembangan akal manusia, namun dikarenakan akal sulit diukur maka indikasi yang paling konkrit adalah balighnya seseorang. Penentuan baligh itu ditandai dengan keluarnya haid pertama kali bagi wanita dan keluarnya mani bagi pria. 16 Dalam syariat Islam telah ditetapkan mengenai tanda-tanda baligh dan bila terbukti ada satu dari tanda-tanda itu sudah cukup menunjukkan orang tersebut telah baligh. Sebagian dari tanda-tanda ini sama antara anak laki-laki dan perempuan dan sebagian lainnya khusus ada pada anak perempuan.17 2. Seseorang harus cakap bertindak hukum (ahliyyah) maksudnya apabila seorang belum atau tidak cakap bertindak hukum. Maka seluruh perbuatan yang ia lakukan belum atau tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ahliyyah adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah sempurna jasmani dan 15
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta : Perpustakaan Nasional, 1996) hlm 305 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta : Perpustakaan Nasional, 1996) hlm 306 17 http://indonesian.irib.ir/artikel/ufuk/item/52377-Ensiklopedia_IRIB_Indonesia-_Baligh (diakses pada tanggal 20 Mei 2016 pukul 17.08) 16
58
akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh Syara’. Anak kecil yang belum baligh, belum cakap bertindak hukum dan tidak dikenakan tuntutan Syara’.18 Selain usia balligh menjadi salah satu unsur pertanggungjawaban anak, dalam Bab II sudah sedikit disinggung mengenai fase-fase perkembangan berpikir yang terdiri dari tiga fase. Yaitu fase kemampuan berpikir tidak ada, fase kemampuan berpikir lemah dan kemampuan berpikir penuh. Sama halnya dengan mewajibkan seorang anak untuk melakukan shalat. Seperti hadist berikut ini :
الولك بن الربيع بن حدثنا هحود بن عيسى يعني ابن الطباع حدثنا إبراىين بن َسع ٍد عن عبد ِ َ َّ ي باال َّ ُه ُرًا ال: م.قال رسٌل هللا ص: سبرة عن ابيو عن جده قال َصالَ ِة اِذا بل َغ َسب ٍْع ِسنين َّ ِصب ًَاِ َذا بل َغ ع ْش ِر ِسنينَ فَاضْ ِربٌُهُ َعلَيْيأ Artinya : “ Telah menceritakan kepada kami Muhammad Bin Aysi, Ya’ni Bin Thaba’. Telah menceritakan kepada kami Ibrahim Bin Sa’di dari Abdul Malik Bin Rabi’ Bi Sabrah, dari ayah dan kakeknya berkata : Rasulullah Saw bersabda : Anak kecil diperintahkan untuk shalat berumur tujuh tahun dan dipukul jika berumur sepuluh tahun lantaran meninggalkannya (shalat). 19 Fase yang pertama tidak adanya kemampuan berpikir. Bisa jadi, anak berumur tujuh tahun telah menunjukkan kemampuan berpikirnya tapi ia belum dianggap tamyiz karena yang dijadikan ukuran ialah kebanyakan orang bukan perseorangan. ص ِغ ْي ٌر لِ َسب ٍْع َ ( ًَي ُْؤ َه ُر ِبيَاAnak kecil diperintahkan untuk shalat ketika berusia tujuh tahun) setelah usianya genap tujuh tahun, maka anak kecil itu diperintahkan untuk mendirikan shalat dan melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya selain shalat.20
18
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta : Perpustakaan Nasional, 1996) hlm 308 Abu Daud Sulaiman Ibn Al-Asy’Ast Syajtani, Sunan Abu Daud Juz I, No. 494 20 Muhammad Bin shalih Al-Utsaimin, Asy-syarh Al-Mumti’’Ala Zaad Al-Mustaqni diterjemahkan oleh Team Darus Sunnah,(Jakarta : Darus Sunnah Press,2010) hlm. 51 19
59
Jadi jika seorang anak melakukan perbuatan jarimah saat usianya dibawah tujuh tahun tidak dijatuhi hukuman, baik sebagai hukuman pidana atau sebagai pengajaran. Akan tetapi anak tersebut dikenakan pertanggungjawaban secara perdata. Yang dibebankan atas harta milik pribadi yakni memberikan ganti rugi kepada orang yang telah dirugikan. 21 Fase yang kedua kemampuan berpikir lemah, ( ًَيُضْ َربُ َعلَيْيأ لِ َع ْش ٍرdan dipukul jika berumur sepuluh tahun) maksud dari penggalan hadist ini adalah seorang yang yang sudah masuk usia sepuluh dan tidak melaksanakan shalat yang telah di perintahkan Allah swt. Maka diperbolehkan memukulnya hanya sampai dia melaksanakan shalat. Diperbolehkannya memukul si anak dengan tujuan mendidik dan bukan menyiksanya.22 Sama dengangan halnya memukul anak saat ia tidak melakukan shalat. Pada usia tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun ini seorang anak tidak dikenakan pertanggungjawaban pidana atas jarimah yang dilakukan. Akan tetapi ia bisa dijatuhi pengajaran. Pengajaran ini meskipun sebenarnya berupa hukuman akan tetapi bukan sebagai hukuman pidana.23 Fase yang terakhir adalah kemampuan berpikir penuh. Pada masa ini seorang anak sudah mencapai usia kecerdasan yang disebut sebagai mukallaf. Allah swt berfirman (Q.S Al-Baqarah [2] : 286)
21
369
22
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993) hlm.
Muhammad Bin shalih Al-Utsaimin, Asy-syarh Al-Mumti’’Ala Zaad Al-Mustaqni diterjemahkan oleh Team Darus Sunnah,(Jakarta : Darus Sunnah Press,2010) hlm. 52 23 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993) hlm. 370
60
Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” Setelah seseorang mencapai mukallaf (lima belas tahun), menurut perbedaan
pendapat
dikalangan
fuqaha
masa
ini
seseorang dikenakan
pertanggungjawaban pidana atas jarimah-jarimah yang diperbuatnya bagaimanpun juga macamnya.24 Ijma’ ulama sepakat bahwa usia baligh itu pada usia lima belas tahun. Namun, beberapa ulama’ berbeda pendapat mengenai usia baligh yang terjadi pada laki-laki dan perempuan yang belum ada tanda-tanda bermimpi keluarnya mani (ihtilam) dan haid, yaitu:25 1. Menurut Imam Malik ada tiga pendapat : pada usia tujuh belas tahun, delapan belas tahun dan lima belas tahun. 2. Menurut Imam Abu Hanifah ada dua pendapat : pada usia delapan belas tahun, dan tujuh belas tahun bagi seorang budak. 3. Sedangkan menurut Imam Abu Daud Azh-Zhahiri beserta para sahabatnya berpendapat bahwa tidak ada batasan usia yang pasti mengenai batasan usia baligh. C. Perlindungan Hukum Bagi Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum
24
370
25
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993) hlm.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatu Al-Maudud fii Ahkamil Maulud, diterjemahkan Kado Menyambut si Buah Hati oleh Mahfud Hidayat, dkk., (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007) hlm. 470-471
61
Dalam hukum positif terjadi perubahan Undang-undang yang bertujuan untuk meningkatkan perlindungan dan menjunjung tinggi hak-hak anak yang bermasalah dengan hukum. Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak, hak-hak anak dikelompokkan menjadi 4 (empat kategori ) yaitu :26 1. Hak untuk kelangsungan hidup 2. Hak terhadap perlindungan 3. Hak untuk tumbuh kembang 4. Hak untuk berpartisipaasi. Dalam pelaksanaan hak-hak anak ini,seharusnya diperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan situasi, kondisi, fisik dan mental si anak yang bermasalah dengan hukum, yaitu :27 1. Hak anak diperlakukan sebagai yang belum terbukti bersalah. 2. Hak anak mempunyai pendamping dari penasehat hukum. 3. Hakuntuk menyatakan pendapat. 4. Hak untuk mendapatkan pembinaan yang manusiawi sesuai dengan Pncasila dan UUD’45 dan ide pemasyarakatan. 5. Hak mendapat perlindungan dari tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial. Menurut Undang Undang terbaru Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, peradilan bagi anak haruslah berdasarkan 10 asas, yaitu : 5. Asas Perlindungan 6. Asas Keadilan 26
Penjabaran tentang Konvensi Hak-hak anak bisa dilihat di buku M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum,(Jakarta : Sinar Grafika, 2013) hlm.14-16 27 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung : Refika Aditama, 2006) hlm 70
62
7. Asas Nondiskriminasi 8. Asas Kepentingan terbaik anak 9. Asas Penghargaan untuk anak 10. Asas Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak 11. Asas Pembinaan dan pembimbingan anak 12. Asas Proporsional 13. Asas Perampasan dan pemidanaan upaya terakhir 14. Asas Penghindaran pembalasan.28 Perlindungan hukum bagi anak yang bermasalah dengan hukum mencakup perlindungan tehadap kebebasan anak, perlindungan terhadap hak asasi anak dan perlindungan hukum terhadap semua kepentingan yang berkaitan dengan dengan kesejahteraan.29 Beberapa
peraturan
perundang-undangan
yang
digunakan
untuk
mendukung pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak adalah : 1. Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 2. Undang-undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak 3. Peraturan Pemerinah No 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak bagi Anak yang mempunyai masalah 4. Dan Keputusan Presiden Republik Indonesia No 36 Tahun 1990 tentang pengesahan convention of the right (konvensi tentang hak-hak anak).30 Saat seorang anak disangka melakukan tindak pidana hingga diputuskan oleh pengadilan maka seorang anak haruslah di damping oleh petugas sosial yang 28
UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, (Bandung : CV. Mandar Maju, 2009) hlm 1 30 Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, (Bandung : CV. Mandar Maju, 2009) hlm 4 29
63
membuat Case Study. Case Study adalah catatan yang terpenting dalam sidang anak, petugas sosial yang bertugas mengumpulkan data-data si anak mendatangi lingkungan (seperti : keluarga, tetangga, kerabat dan teman-temannya) si anak untuk mendapatkan informasi bagaimana seluk beluk anak ini. 31 Case Study sangatalah berperan besar bagi perkembangan anak di kemudian hari, karena dalam pemutusan perkara hakim harus melihat Case Study si anak secara khusus (pribadi). Jika hakim tidak melihat Case Study dalam memutuskan perkara maka hakim tidak pernah mempertimbangkan keadaan sebenarnya si anak dalam kehidupan sehari-harinya hanya sebatas bertemu di muka persidangan saja. Namun, bukan berarti hakim terikat dengan Case Study ini hanya sebagai alat pertimbangan hakim dalam mengambil tindakan yang sebaikbaiknya guna kepentingan anak.32
31
Wagiati Soetedjo, Melani. Hukum Pidana Anak (Edisi Revisi).(Bandung : Refika Aditama.2013). Cet. IV hlm 41 32 Wagiati Soetedjo, Melani. Hukum Pidana Anak (Edisi Revisi).(Bandung : Refika Aditama.2013). Cet. IV hlm 42
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ANALISIS PUTUSAN No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel TENTANG BATASAN USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK A. PUTUSAN PENGADILAN No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel Deskripsi Kasus Pada hari Minggu tanggal 06 Januari 2013 sekira pukul 19.05 Wib terdakwa (Rendi Ardiansah) sedang berada dirumah yang ia tempati di Jl. Kebalen VII Kel. Kuningan Barat Kec. Mampang Prapatan Jakarta Barat. Dan mengetahui korban (Dewi Nurani) memiliki handphone baru yang tidak ia ketahui. Lalu ia datang dan tiba-tiba mendorong pintu kamar kos korban (Dewi Nurani) kemudian mencari keberadaan handphone yang sebelumnya telah disembunyikan oleh korban (Dewi Nurani), saat handphone tersebut ditemukan oleh terdakwa (Rendi Ardiansah) ia berkata “OH BEGITU TERNYATA LO DIAM-DIAM
PUNYA
HANDPHONE
SENDIRI....
TERNYATA
LO
SELINGKUH”. Namun, korban (Dewi Nurani) berusaha mengambil kembali handphone miliknya Lalu terdakwa (Rendi Ardiansah) menendang kaki kiri dan menggigit tangan kiri korban (Dewi Nurani). Kemudian terdakwa (Rendi Ardiansah) mengancam korban (Dewi Nurani)“GUE ABISIN LO NANTI GUE PANGGIL ABANG-ABANGAN GUE... LO BELUM TAU SIAPA GUE”, kemudian terdakwa (Rendi Ardiansah) membawa handphone milik korban (Dewi Nurani) ke dalam kamarnya. Korban (Dewi Nurani) kembali ke kamar terdakwa (Rendi Ardiansah) dan berusaha
64
65
mengambil handphone miliknya. Terdakwa (Rendia Ardiansah) tidak ingin mengmbalikan handphone milik korban (Dewi Nurani) dan memukul korban pada bagian lengan kanan sebanyak 3 (tiga) kali. Karena kesakitan korban (Dewi Nurani) kembali masuk ke kamar kosnya. Kemudian terdakwa (Rendi Ardiansah) datang kembali ke kamar kos korban (Dewi Nurani) dengan membawa tas sambil meminta uang kepada korban (Dewi Nurani) sebesar Rp. 3.000.000 - (tiga juta rupiah) untuk mengganti uang yang telah dikeluarkannya selama berhubungan pacaran, tetapi karena korban (Dewi Nurani) tidak memiliki uang sebanyak itu. Lalu korban (Dewi Nurani) mengajak terdakwa (Rendi Ardiansah) untuk bertemu dengan saksi Maryani (majikan tempat saksi bekerja) untuk meminjam uang. Kemudian terdakwa (Rendi Ardiansah) dan korban (Dewi Nurani) turun ke lantai bawah untuk berangkat ke tempat kerja saksi (Maryani). Saat berada di lantai bawah terdakwa (Rendi Ardiansah) kembali memukul saksi sebanyak 2 (dua) kali ke arah bagian kepala dan mata sambil marah terdakwa (Rendi Ardiansah) berkata “KENAPA LO PUNYA HANDPHONE SENDIRI?” dan dijawab oleh korban (Dewi Nurani) “AKU CUMA INGIN PUNYA TEMAN BANYAK...” lalu tangan korban (Dewi Nurani) ditarik oleh terdakwa (Rendi Ardiansah) dan mulut korban (Dewi Nurani) ditutup menggunakan tangan terdakwa (Rendi Ardiansah) karena korban (Dewi Nurani) menangis kemudian terdakwa (Rendi Ardiansah) kepala korban (Dewi Nurani) .
berteriak dan
kembali memukul bagian
66
Setelah berjalan selama 5 (lima) menit terdakwa (Rendi Ardiansah) dan korban (Dewi Nurani) berjalan ke arah pangkalan bajaj lalu menaiki bajaj, terdakwa (Rendi Ardiansah) berteriak-teriak di dalam bajaj mengatakan korban (Dewi Nurani) memiliki hutang sebesar Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah) dan akan membawa korban (Dewi Nurani) ke kantor Polisi. Selama di dalam bajaj terdakwa (Rendi Ardiansah) memukuli, menendang dan menginjak korban (Dewi Nurani) hingga tersungkur ke lantai bajaj. Lalu terdakwa (Rendi Ardiansah) membenturkan kepala saksi ke besi pegangan yang ada di dalam bajaj yang dikendarai oleh saksi 2 (Kasno als Kastori). Setiba di sebuah taman terdakwa (Rendi Ardiansah) meminta kepada saksi 2 (Kasno als Kastori) menghentikan bajaj yang dikemudian olehnya. Lalu terdakwa turun dan menarik paksa korban (Dewi Nurani) untuk ikut turun bersamanya. Saat berada di taman tersebut, korban meminta maaf dan memohon ampun kepada terdakwa, namun terdakwa malah kembali memukul, menendang dan menginjak korban (Dewi Nurani) dan berteriak meminta tolong kepada orang lain yang melintas. Saat itu teriakan korban didengar seorang petugas keamanan yang keluar dari sebuah rumah melerai keributan tersebut. Selang beberapa menit datang petugas polisi yang kemudian membawa korban dan terdakwa ke kantor Polisi guna proses lebih lanjut.1 Kasus ini menggunakan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sebagai acuan dalam proses peradilan pidana anak. Proses yang pertama adalah penyidikan. Penyidikan dilakukan oleh Penyidik yang ditunjuk
1
Putusan Pengadilan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel, h.3-5
67
langsung oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Dan penyidikan dilakukan secara kekeluargaan dan merahasiakan proses penyidikan kepada pihak mana pun. Hal ini diatur pada Pasal 42 UU Pengadilan Anak. Selama proses penyidikan, penahanan terhadap anak dilakukan bertujuan agar proses penyidikan berjalan lancar. Penahanan berlaku sesuai surat penahanan adalah 20 (dua puluh) hari. Namun, jika masih dibutuhkan proses penyidikan maka di perpanjang selama 10 (sepuluh) hari dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari penyidik harus menyelesaikan penyidikannya (Pasal 44). Pada kasus Rendi Ardiansah, dalam surat penahanan pertama ia ditahan sejak tanggal 8 Januari 2013 sampai 27 Januari 2013. Lalu diperpanjang dari tanggal 28 Januari 2013 sampai 6 Februari 2013. Setelah itu perkara dilimpahkan kepada Penutut Umum. Perkara dilimpahkan ke Penuntut Umum, maka Penuntut Umum berwenang melakukan penahanan bertujuan untuk kepentingan penuntutan. Penahan selama penuntutan dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari. Namun, jika penuntut membutuhkan perpanjangan penahanan maka paling lama perpanjangan penuntutan adalah 15 (lima belas) hari (Pasal 46). Pada kasus ini, Penuntut Umum menahan Rendi Ardiansah sesuai surat perintah penahanan sejak tanggal 5 Februari 2013 sampai 14 Februari 2013. Namun, karena penuntutan selasai sebelum masa penahanan habis, maka perkara dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Adapun isi dari surat tuntutan dari penuntut umum No.Reg.Perkara: PDM92/JKTSL/Epp.2/02/2013 Tanggal 28 Februari 2013 yang pada pokoknya
68
menuntut agar Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan : 1. Menyatakan terdakwa RENDI ARDIANSAH bersalah melakukan Tindak Pidana “Penganiayaan dengan sengaja merusak kesehatan” sebagaimana diatur dalam dakwaan Pasal 351 ayat (4) KUHP. 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa RENDI ARDIANSAH dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan. 3. Menyatakan barang bukti berupa : NIHIL 4. Menetapkan agar terdakwa, membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah).2 Pelimpahan perkara dari penuntut umum ke Pengadilan dan perkara diperiksa oleh Hakim. Hakim menngeluarkan surat perintah penahanan anak yang diperiksa. Penahanan dilakukan selama 15 (lima belas) hari, jika diperpanjang untuk kepentingan pemeriksaan maka Ketua Pengadilan Negeri Jakarta mengeluarkan surat perpanjangan penahanan paling lama 30 (tiga puluh) hari (Pasal 47). Pada kasus Rendi Ardiansah pelimpahan perkara dari penuntut umum dan Hakim mengeluarkan surat penahan untuk tanggal 8 Februari 2013 sampai 22 Februari 2013. Dan Hakim meminta perpanjangan penahanan, dan surat perpanjangan penahanan di keluarkan oleh Ketua Pengadilan Jakarta Selatan terhitung pada tanggal 23 Februari 2013 sampai 24 Maret 2013.
2
Putusan Pengadilan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel, h.2-3
69
Selama proses peradilan dari penydikan samapai dilimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri, ada seorang petugas sosial yang membuat case study yang bertujuan sebagai alat pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana. Namun, Hakim pada kasus ini tidak sependapat dengan case study yang dibuat oleh petugas sosial. Jadi, Hakim memutus perkara ini sebagai berikut : Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan : 1.
Menyatakan terdakwa RENDI ARDIANSAH bersalah melakukan Tindak Pidana “Penganiayaan dengan sengaja merusak kesehatan” sebagaimana diatur d alam dakwaan Pasal 351 ayat (4) KUHP.
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa RENDI ARDIANSAH dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan. 3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. 4. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan. 5.
Menetapkan agar terdakwa, membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah).3
B. TINJAUAN
HUKUM
POSITIF
TERHADAP
PUTUSAN
NO.
229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel Pertimbangan Hakim dalam menetapkan hukuman terhadap Rendi Ardiansah dalam amar putusan No. 229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel adalah sebagai berikut : 1. Hakim menyatakan bahwa Rendi Ardiansah melakukan tindak pidana yaitu penganiayaan yang dengan sengaja merusak kesehatan. Pada poin ini hakim
3
Putusan Pengadilan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel, h.15-16
70
menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 351 ayat 4 tentang penganiayaan yang dengan sengaja merusak kesehatan sebagai dasar memutuskan perkara. 2. Hakim menjatuhkan pidana terhadap Rendi Ardiansah dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan. Pada poin ini hakim menggunakan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 351 (1) yang berisikan tentang penjatuhan pidana penganiayaan maksimal dua tahun delapan bulan dan Pasal 26 (1) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang berisikan penjatuhan pidana terhadap anak dibagi ½ (seper dua) dari hukuman maksimal orang dewasa. Jadi maksimal pidana yang diterima oleh anak adalah 16 (enam belas) bulan. Namun, ada asas bahwa hakim tidak diperbolehkan mengabulkan melebihi dari tuntutan jaksa penuntut umum (ultra petitum partium) dalam putusan ini tuntutan JPU selama 10 (sepuluh) bulan. Dengan demikian, hakim menjatuhkan pidana kepada Rendi selama 7 (tujuh) bulan ini selain didasari undang-undang diatas dan asas ultra petitum partium, hakim menjatuhkan pidana didasari dengan UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 28 (1) yang berisi hakim dalam memutuskan perkara haruslah melihat nila-nilai keadilan yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, dalam penjatuhan pidana terhadap terdakwa selama 7 (tujuh) bulan selain menggunakan nurani hakim yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku berdasarkan faktafakta dalam persidangan, putusan hakim ini juga tidak melanggar undangundang lainnya dan nilai-nilai keadilan di masyarakat.
71
3. Pada poin ini Hakim menjatuhkan pidana kepada Rendi selama 7 (tujuh) bulan dan dikurangi masa penahanan yang telah dijalaninnya selama 3 (tiga) bulan bulan sesuai dengan surat perintah penahanan. Dengan demikian, Rendi menjalani sisa hukumannya selama 4 (empat) bulan. 4. Pada poin ini hakim menetapkan bahwa Rendi tetap berada dalam tahanan. Dengan maksud memberi penekanan penjatuhan pidana sesuai dengan Pasal 197 KUHAP yang berisiskan hakim memerintahkan agar terdakwa ditahan/ tetap dalam tahanan/ dibebaskan. 5. Pada poin ini, hakim membebankan biaya perkara kepada Rendi sebesar Rp. 2.000, (dua ribu rupiah). Hal ini berdasarkan kepada Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 222 yang berisikan seseorang yang dijatuhi pidana dibebankan biaya perkara. Jadi, setelah penulis menganalisa ternyata hakim dalam memutuskan perkara
No.
229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel.
Hakim
lebih
cenderung
menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam penetapan batas usia terdakwa, hakim mempertimbangkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada undang-undang ini seseorang yang masih berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun, ia dikategorikan sebagai anak. Dengan demikian, walaupun Rendi berusia 17 (tujuh belas) tahun ia tetap dikategorikan sebagai anak. Dan disidangkan di Sidang Anak sesuai dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 4 ayat 1. Dan dalam penjatuhan pidana terhadap terdakwa hakim menggunakan Pasal 351 KUHP dan Pasal 28 (1) UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan juga kewenangan kekuasaan
72
hakim dalam menjatuhkan pidana yang diatur dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam memutuskan perkara anak ini hakim tidak menggunakan undangundang terbaru yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak didasari oleh Pasal 108 yang berisikan Undang-undang ini diberlakukan setelah 2 (dua) tahun setelah diundangkan. Hakim, haruslah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Walaupun terdakwa secara fisik sudah terlihat kedewasaannya, namun di Indonesia seseorang yang wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya haruslah dilihat usianya. Karena batas usia menjadi tolak ukur, bagaimana hakim menjatuhkan pidana terhadap seseorang. Dalam kasus ini, Hakim melihat terdakwa masih dalam kategori anak sesuai dengan UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Jadi, sanksi yang dijatuhi kepada terdakwa dirasa sudah pantas dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. C. TINJAUAN
HUKUM
ISLAM
TERHADAP
PUTUSAN
NO.
229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel 1. Pertanggungjawaban Pidana Dalam hal pertanggungjawaban pidana menurut Islam seorang mukallaf harus bertanggungjawab atas akibat dari perbuatan yang dilakukannya. Mukallaf wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya atas tiga dasar yaitu : a. Perbuatan haram yang dilakukan. b. Memiliki pilihan (tidak dipaksa). c. Memiliki pengetahuan (idrak).
73
Jika ketiga unsur ini sudah terpenuhi maka seseorang yang melakukan jarimah (tindak pidana) maka wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun, ada beberapa sebab yang yang berkaitan dengan perbuatan yang tidak wajib dipertanggungjawabkan yaitu sebab pembenaran (asbab al-ibahah) atau sebab pemafaan (asbab raf‟I al-uqubah). Menurut Abdul Qadir Audah sebab pembenaran dari suatu jarimah (tindak pidana) ada enam macam yaitu : a. Pembelaan Yang Sah (Ad dafi‟ As Syar‟iyyu) b. Pendidikan dan pengajaran (At ta‟dibu) c. Pengobatan (At Tathbiibu) d. Hapusnya jaminan keselamatan (Ihdarul Ashkhas) e. Permainan olah raga (Al „aab Al Furusiyah) f. Menggunakan wewenang dan melaksanakan kewajiban bagi pihak yang berwajib (Huquq Al Hukam wa Waajibatuhum) Sedangkan sebab pemaafan dari suatu jarimah (tindak pidana) ada empat macam, yaitu : a.
Paksaan (Al Ikrah)
b. Mabuk (Assyukru) c. Gila (Al Junun) d. Dibawah umur (Shikhrus sinni). Jadi, dalam Islam seseorang yang belum mencapai usia balligh tidak dimintai pertanggungjawaban dikarenakan adanya sebab pemafaan terhadap anak yang melakukan tindak pidana.
74
2. Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Seorang yang dapat di bebani kewajiban mempertanggungjawabkan perbuatannya disebut mukallaf. Dan adapun syarat-syarat sah seseorang menjadi mukallaf yaitu Pertama, Orang itu telah mampu memahami khitab syari‟ (tuntutan syara’) yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah. Kedua, Seseorang harus cakap bertindak hukum (ahliyyah) maksudnya apabila seorang belum atau tidak cakap bertindak hukum. Maka seluruh perbuatan yang ia lakukan belum atau tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dalam Islam seseorang wajib mempertanggungjawabkan perbuatnnya jika sudah masuk usia baligh. Seseorang yang belum masuk masa baligh tidak wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya misalnya anak dibawah umur. Seperti hadits Rasulullah Saw
ُ ش ً ُه َح َّو ُد بي ٍ ًَ َح َّدثَنَا ُه َح َّو ُد اب ُْي خَ الِ ِد بي خدَا. َ ثنا يَ ِزي ُد ب ُْي ىَارًُى.َحدثنا أَبٌْ بَ ْك ِر ب ِْي أَبَِ َش ْيبَت ْ بي سل َوتَ عي ح َّوا ٍد ُ ثنا ح َّوا ُد. ٍٍّبي َه ْي ِد ُ ثنا عب ُدالرَّح َو ِي: قاال. ََيحي عي إبْرا ِىي َن ع َِي األَ ْس ٌَ ِد ْ َّ َّ َّ َصبِ ِّي َحتَ يَ ْبلِ ُغ ًَالنائِ ِن َحت َّ ُرفِ َع القَلَ ُن ع َْي ثَالَثَ ٍت ع َِي ال:م قال.أَ َّى رسٌل هللاِ ص: َع َْي عَائ َشت ُ يَ ْستَ ْيقَظَ ًع َِي ْال َوجْ نٌُْ ِى َحتََّ يُفِ ْي ق Artinya : “ Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Bin Abi Syaibah, telah menceritakan pada kami Yazid Bin Harun. Telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibnu Khallid Bin Khidash, Dan Muhammad Bin Yahya, Mereka berkata : Telah menceritakan pada kami Abdurrahman Bin Muhdiyyi. Telah menceritakan Hammad Bin Salamah, dari Hammad, Ibrahim, Aswad dan Aisyah. Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda : Pena diangkat dari tiga orang, dari anak kecil hingga bermimpi (baligh), dari orang tidur hingga bangun, dan dari orang gila hingga normal kembali.” 4 Berdasarkan hadist diatas seorang anak yang masih dibawah umur belum wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya sampai ia mengalami mimpi basah 4
Sunan Al-Hafid Abi Abdillah Muhammad Bin Yazid Al-Qazwini Ibn Majjah, Sunan Ibnu Majjah Juz I, No. 2041
75
(baligh). Selain usia balligh salah satu unsur pertanggungjawaban anak yaitu fase perkembangan berfikir. Rasulullah Saw bersabda
الولك بي الربيع بي حدثنا هحود بي عيسَ يعني ابي الطباع حدثنا إبراىين بي َسع ٍد عي عبد ِ َّ ي باال َّ ُهرًُا ال: م.قال رسٌل هللا ص: سبرة عي ابيو عي جده قال َصالَ ِة اِ َذا بل َغ َسب ٍْع ِسنيي َّ ِصب ًَاِ َذا بل َغ ع ْش ِر ِسنييَ فَاضْ ِربٌُهُ َعلَيْيأ Artinya : “ Telah menceritakan kepada kami Muhammad Bin Aysi, Ya‟ni Bin Thaba‟. Telah menceritakan kepada kami Ibrahim Bin Sa‟di dari Abdul Malik Bin Rabi‟ Bi Sabrah, dari ayah dan kakeknya berkata : Rasulullah Saw bersabda : Anak kecil diperintahkan untuk shalat berumur tujuh tahun dan dipukul jika berumur sepuluh tahun lantaran meninggalkannya (shalat). 5 Hadits ini menujukkan bahwa seorang anak yang usianya sudah genap berumur tujuh tahun walaupun belum adanya kekuatan kemampuan berpikir ini sudah diperintahkan mendirikan shalat dan kewajiban lain-lainnya selain shalat. Dan jika usia genap sepuluh tahun, diperintahkan untuk mendirikan shalat dan mengabaikannya maka diperbolehkan memukulnya dengan tujuan mendidik bukannya menyiksa. Sama dengan halnya memukul anak saat ia tidak melakukan shalat. Pada usia tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun, seorang anak tidak dikenakan pertanggungjawaban pidana. Akan tetapi hanya dijatuhi pengajaran. Pengajaran ini meskipun bermaksud menghukum tetapi bukn berupa hukuman pidana. Ijma’ ulama sepakat bahwa usia baligh itu 15 (lima belas) tahun walaupun belum ada tanda-tanda bermimpi keluarnya mani (ihtilam) dan haid, Jadi dalam kasus Rendi Ardiansah yang berusia 17 (tujuh belas) tahun, ia sudah dalam kategori balligh. Seharusnya Rendi yang melakukan jarimah secara sempurna (jarimah at-tammah) menerima sanksi dari perbuatannya sendiri karena 5
Abu Daud Sulaiman Ibn Al-Asy’Ast Syajtani, Sunan Abu Daud Juz I, No. 494
76
sudah masuk dalam kategori orang yang dapat dibebani hukum (taklif) Rendi yang melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum akan dijatuhi sanksi sesuai kadar karena melakukan perbuatan pidana dengan sempurna (jarimah at-tammah), yang telah ditetapkan hukum Islam. Misalnya perbuatan merusak anggota tubuh dibalas dengan anggota tubuh, apabila dimaafkan diganti dengan diyat atau denda.
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas , maka penulis mengambil kesimpulan bahwa : 1. Pertanggungjawaban pidana anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diatur dalam Pasal 45, 46 dan 47. menurut Pasal 45, 46 dan 47 anak yang usianya belum mencapai 16 (enam belas) tahun, tidak dijatuhi pidana kecuali telah melanggar beberapa pasal yang diatur dalam Pasal 45. Dan jika anak dijatuhi pidana maka sanksi yang diterimanya dikurangi sepertiga dari sanksi orang dewasa. Sedangkan menurut
Hukum Islam anak wajib mempertanggungjawabkan
perbuatannya jika telah memasuki masa balligh. Seorang anak yang belum memasuki
masa
balligh
tidak
diwajibkan
mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Karena menurut Islam pertanggungjawaban pidana haruslah di dasari 3 unsur, yaitu : -
Perbutan haram yang dilakukan
-
Pelaku memiliki pengetahuan (Idrak)
-
Pelaku memiliki pilihan (Ikhtiar)
jika ketiga dasar ini tidak ada maka tidak ada pertanggungjawaban pidana. 2. Batas usia pertanggungjawaban pidana anak menurut hukum positif selain di Kitab Undang-Undnag Hukum Pidana
74
terkandung juga
dalam Undang
75
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
dan Undang-
Undangan No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Menurut pasal 4 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Pengadilan Anak seorang anak yang bermasalah dengan hukum dapat diajukan ke sidang anak adalah anak yang berusia 8 sampai 18. Namun, dalam ayat selanjutnya dinyatakan bahwa seorang anak yang diajukan ke persidangan anak sesudah melewati batas usia 18 tahun dan belum sampai pada usia 21 tahun tetap diajukan ke sidang anak. Sedangkan
menurut
Undang-Undang
sistem
Peradilan
seseorangbisa
dikatakan sebagai anak pada saat usia 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun. Namun, dalam penahanan terhadap seorang anak dilakukan apabila ia telah berusia 14 (empat belas) tahun dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun. Menurut hukum Islam pertanggungjawaban pidana yang dilakukan anak selain didasarkan oleh batas usia baligh juga didasari kemampuan berpikir anak. Seorang anak yang masih berusia dibawah 7 (tujuh) tahun saat melakukan pelanggaran ia tidak dikenai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Dan apabila usia anak sudah 10 (sepuluh) tahun namun belum termasuk dalam kategori mukallaf, jika ia melakukan pelanggaran (maksiat) anak tersebut wajib memertanggungjawabkan perbuatannya dan dikenai sanksi yang sifatnya hanya sebagai pengajaran bukan untuk menyiksa. 3. Tinjauan hukum Islam terhadap putusan No. 229/Pid.B.Anak/2013/PN.Jkt.Sel kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Rendi Ardiansah yang berusia 17 tahun ini, dalam penjatuhan sanksinya dikenakan sesuai dengan sanksi yang
76
diberlakukan kepada orang dewasa. Karena dalam hukum Islam ulama’ sepakat bahwa anak yang sudah berusia 15 tahun walupun belum menunjukkan tanda-tanda baligh maka ia sudah dikatakan mukallaf dan wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum Islam. Namun, dalam hukum positif usia 17 tahun dikategorikan masih dalam usia anak-anak dan di sanksi sesuai dengan undang-undang pidana anak. B. SARAN Atas dasar kesimpulan yang ada di atas, maka penulis mengemukakan beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua kalangan. Beberapa diantaranya : 1. Dengan berkembangnya teknologi dan perubahan zaman, seseorang berlombalomba untuk ikut trend agar tidak dibilang kampungan. Dampaknya pun berimbas kepada tumbuh kembang anak usia dini. Banyak anak yang melakukan pelanggaran dan tak sedikit pula yang melakukan kejahatan. Anak saat ini tak segan untuk melakukan perbuatan yang jika dilakukan olehorang dewasa termasuk dalam kategori kejahatan. Orang tua yang mana berfungsi bukan hanya sebagai orang tua tetapi juga sebagai pendidik bisa lebih memperhatikan kebutuhan apa saja yang dapat membantu tumbuh kembang anak. 2. Diharapkan bagi aparatur hukum bisa mempertimbangkan batasan usia pertanggungjawaban pidana anak yang lebih baik dari saat ini. Karena anak tidak jera dengan sanksi yang diberikan oleh putusan pengadilan. Sebaiknya
77
hukuman haruslah bersifat prentive agar tidak ada yang mengulangi pelanggaran dan kejahatan tersebut. 3. Dalam hukum Islam batasan usia pertanggungjawaban pidana adalah usia balligh,yaitu sekitar 15 tahun. Di usia ini seseorang sudah wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan yang sudah ada dalam al-Qur;an dan Hadist. Alangkah baiknya aparatur hukum bisa menjadikan hukum Islam sebagai landasan utama dalam pembentukan batasan usia pertanggungjawaban pidana anak di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’anul Karim Abdurrahman, Jamal. Athfalul Muslimin Kaifa Rabahumun Nabiyyul Amin di Terjemahkan oleh Anggota SPI Islamic Parenting Pendidikan Anak Metode Nabi. Solo : Aqwam. 2015 Al- Faruk, Assadulloh. Hukum Pidana Islam dalam Sistem Hukum Islam.Jakarta : Ghalia Indonesia.2009 Al-Jauziyah, Ibnul Qayyim. Tuhfatul-Maudud bi Ahkamil Maulud diterjemahkan oleh Anshori Umar Sitanggal, Fiqh Bayi.Jakarta : Fikr. 2007 _______Tuhfatul-Maudud fii Ahkamil Maulud, diterjemahkan Kado Menyambut si Buah Hati oleh Mahfud Hidayat, dkk., (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007) Al-Utsaimin, Muhammad Bin shalih. Asy-syarh Al-Mumti’’Ala Zaad Al-Mustaqni diterjemahkan oleh Team Darus Sunnah. Jakarta : Darus Sunnah Press. 2010 Ali, Mahrus. Dasar Dasar Hukum Pidana.Jakarta : Sinar Grafika.2011 Ali, Zainudin. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika. 2007 Aqsa,Alghifarri, dkk. Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum. Jakarta : LBH Jakarta. 2012 As-Sa’di, Abdurrahman bin Nashir. Bahjah Qulub Al-Abrar. Beirut : Dar Kutub Al-‘Ilmiyah, 1423 H As-Sa’idan, Walid bin Rasyid. Syar’iyyah fi al-Masa’il ath-Thibbiyah di Terjemahkan oleh Muhammad Syafii Maskur Fiqh Kedokteran. Yogyakarta : Pustaka Fahima. 2007 Audah, Abdul Qadir. At-Tasyri’ Al-Jinai fi Al-Islam diterjemahkan olehTim Salsilah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam II. Jakarta: PT Kharisma. 2007 Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana Bagian II. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 2008 Djamil, M Nasir. Anak Bukan Untuk Dihukum (Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak). Jakarta : Sinar Garfika. 2013
78
79
Farid, Zainal Abidin. Hukum Pidana 1. Jakarta: Sinar Grafika. 2007 Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta : Bulan Bintang. 1993 Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1. Jakarta : Perpustakaan Nasional. 1996 Hidayat, Bunadi. Pemidanaan Anak di Bawah Umur. Bandung : PT Alumni. 2010 Huda, Chairul. Dari Tiada Pidana Tana Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta : Kencana. 2006 Hutabarat, Restaria F, dkk. Memudarnya Batas Kejahatan Dan Penegakan Hukum : Situasi Pelanggaran Hak Anak Dalam Peradilan Pidana. Jakarta : LBH Jakarta, 2012 Ibrahim, Abi Ishaq. Al-Muhadzab fi fiqh Al-Imam As-Syafi’i. Beirut : Darul Fikri, 633 H Maramis, Frans. Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia. Jakarta : RajaGrafindo Persada. 2012 Marpaung, Leden. Asas-Asas,Teori. Praktik Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika. 2008 Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta : Liberty.2003 Moeljatno. Asas –Asas Hukum Pidana. Jakarta : PT Rineka Cipta. 1993 Mulyadi, Lilik. Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia. Bandung : PT Alumni, 2014 Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.2012 Prodjodikoro, Wirjono. Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung : Refika Aditama. 2003 Purwaka, Tommy Hendra. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Atma Jaya. 2007 Rahman, Maman Abdul. Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum Pidana Islam dan Undang Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Skripsi, 2015
80
Sambas, Nandang. Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya. Yogyakarta : Graha Ilmu. 2013 Santoso, Topo. Mengagas Hukum Pidana Islam. Bandung: Asy Syamil. 2001 Soetodjo, Wagiati. Hukum Pidana Anak. Bandung : Refika Aditama. 2006 _________ Hukum Pidana Anak Edisi Revisi,Bandung : Refika Aditama, 2013
Tongat. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan. Malang : UMM Press. 2012 Waluyo, Bambang. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta : Sinar Grafika. 2004 Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, (Bandung : CV. Mandar Maju, 2009) Widnyana, Made. Asas Asas Hukum Pidana. Jakarta : Fikahati Aneska. 2010 Zahrah,Muhammad Abu. Ushul Fiqh di Terjemahkan oleh Saefullah Ma’shum dkk. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2013 Internet: file:///C:/Users/User/Downloads/434-1062-1-SM.pdf http://arief306al-mumtaz.blogspot.co.id/2013/05/mabuk-mabukan.html http://artikelkuislami.blogspot.co.id/2012/01/hukum-pidana-islam.html http://gotzlan-ade.blogspot.co.id/2012/03/petanggungjawaban-pidana-islam.html http://gubukhukum.blogspot.co.id/2012/03/pidana-dalam-hukum-pidanaislam.html http://imanhsy.blogspot.co.id/2011/12/pengertian-pertanggungjawabanpidana.html http://indonesian.irib.ir/artikel/ufuk/item/52377-Ensiklopedia_IRIB_Indonesia_Baligh http://kompasiana.com/navia/psikologi-perkembangan-islami-fase perkembanganmanusia-dalam-al-quran-sejak-dalam-rahim-hingga-hingga-pascakematian_553a6a6f6ea834f21ada42ce http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt515e437b33751/apakah-seorang-yanggila-bisa-dipidana
81
http://robbinadani.blogspot.co.id/2015/05/makalah-perkembangan-anakmenurut.html http://vannbie.blogspot.co.id/2012/06/pertanggung-jawaban-hukum-pidanaislam.html http://www.kpai.go.id/artikel/implementasi-restorasi-justice-dalam-penanganananak-bermasalah-dengan-hukum/ https://idtesis.com/pengertian-penelitian-hukum-normatif-adalah/ https://lawmetha.wordpress.com/2011/05/19/metode-penelitian-hukum-normatif/