Kajian Kerelawanan Laporan Lapangan-‐6: Gorontalo
Site Report Tim Kerelawanan Waktu : 22 – 30 Juli 2009 Lokasi : Gorontalo A. Gambaran Umum Lokasi 1. Kelurahan Limba B, Kecamatan Kota Selatan Kelurahan Limba B berada di sebelah selatan Kota Gorontalo. Jumlah total penduduk Kelurahan Limba B sebesar 5.641 jiwa terdiri dari ... jiwa penduduk laki-‐laki dan ... jiwa penduduk perempuan, keseluruhan mencakup 1.470 KK. Dari 1.470 KK tersebut, 585 KK termasuk dalam kategori KK miskin. Jumlah ini lebih kecil jika dibandingkan dengan data penerima manfaat program-‐program yang terkait dengan pengentasan kemiskinan sebagai berikut: Jamkesnas : 620 KK atau 1.812 jiwa PKH : 28 KK Raskin : 147 KK BLT : 403 KK KK miskin : 585 KK Jumlah penerima raskin ini mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Penerima raskin pada tahun 2004 – 2005 sebanyak 360 KK, 2006 – 2008 sebanyak 585 KK, dan tahun 2009 sebanyak 147 KK. Luas wilayah Kelurahan Limba B adalah 11,2 km2 dengan sebagian besar dipergunakan sebagai permukiman, yakni 11 km2. Untuk mempermudah pengelolaan administrasi kelurahan, area yang cukup luas ini dibagi ke dalam 8 RW 2. Kelurahan Limba U Dua, Kecamatan Kota Selatan Dalam pandangan sekilas, Kelurahan Limba U Dua tampak sangat harmonis, tidak ada konflik atau gejolak. Menurut penjelasan lurah, meskipun kelurahan ini multi etnis dengan etnis dominan adalah masyarakat asli (etnis Gorontalo) dan berbaur dengan etnis pendatang seperti Manado, Makassar, dan Jawa, kehidupan masyarakat egaliter, sehingga tidak ada gejolak maupun konflik. “Di kelurahan ini paling banyak orang asli sini, etnis Gorontalo. Tapi ada juga pendatang seperti Manado, Makassar, dan Jawa, tapi mereka membaur.Kata orang, Gorontalo ini aman, sehingga relatif tidak ada gejolak atau konflik.” (Sebagaimana disampaikan oleh Mutakim Adam, 23 Juli 2009, di ruang kerjanya pukul 11.15 – 12.00 WITA) Karena lokasinya yang banyak dibangun perkantoran, mayoritas warga Kelurahan Limba U Dua bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Namun di luar itu ada juga pedagang dan petani. Sebagian lokasi (di tengah-tengah) kelurahan adalah areal persawahan. Oleh karena itu, sebagian penduduk Limba U Dua adalah petani. Sayangnya areal persawahan ini bukan milik masyarakat setempat, sehingga petani di kelurahan ini pada umumnya adalah petani penggarap. 1
Kajian Kerelawanan Laporan Lapangan-‐6: Gorontalo
Keberadaan persawahan ini juga dilestarikan dan diatur dengan perda tentang larangan alih fungsi lahan persawahan untuk peruntukan lain, seperti permukiman atau industri. Secara fisik, tidak tampak kemiskinan di kelurahan ini. Hanya beberapa rumah saja yang terlihat kurang layak, tetapi selebihnya adalah rumah yang cukup mewah. Kondisi ini dibenarkan oleh lurah setempat bahwa masyarakat miskin di Kelurahan Limba U Dua hanya sekitar 5% dari seluruh penduduk. B. Pertanyaan Penelitian 1. Siapa sajakah yang menjadi relawan dan apakah jenis kemampuan, kapasitas, dan komitmen yang mereka bawa ke proyek? Bagi masyarakat Gorontalo secara umum, tidak hanya di Kelurahan Limba B, menurut penuturan kordinator BKM Mandiri Sejahtera, Idris Khali sangat sulit menemui relawan sejati. “Mencari relawan yang punya hati suci sangat sulit. Orang disini berprinsip waktu itu uang. So sulit mencari relawan-relawan itu. Orang akan lebih memilih mencari doi, daripada diminta jadi relawan.” (Seperti dituturkan oleh Idris Khali, 23 Juli 2009, pukul 09.00 – 10.30 WITA di rumahnya Jl. Manggis RT 03/RW 8 Kelurahan Limba B) Di Kelurahan Limba B, relawan yang terlibat di P2KP kebanyakan adalah masyarakat miskin. Mereka ini sangat merindukan bisa terlibat dalam proses- proses kegiatan pada waktu siklus RKM, sehingga mereka langsung menjawab “menerima.” Masyarakat sangat ingin ikut merencanakan dan melaksanakan pembangunan disekitarnya. Tapi setelah pemilihan BKM dan mereka tidak ada yang memilih. Kembali lagi yang dipilih bukan dari masyarakat miski, tetapi orang-orang yang dianggap tokoh atau ditokohkan. Hal ini menimbulkan kekecewaan tersendiri bagi mereka. Hal ini diperparah dengan tidak adanya upaya untuk melibatkan mereka dalam kegiatan P2KP. Di Limba U Dua, relawan yang berhasil ditemui hanya relawan perempuan, sedangkan relawan laki-laki tidak ada lagi. Alasan yang disampaikan oleh masyarakat adalah kesibukan dan pekerjaan sehingga tidak bisa terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial. Sedangkan relawan perempuan umumnya mereka yang aktif di kegiatan lain seperti PKK, Posyandu, atau pengajian. Tidak jauh berbeda dengan Limba B, relawan di Limba U Dua pada umumnya mereka yang menginginkan dapat menerima manfaat (dana bergulir ataupun mahyani/rumah layak huni). Namun karena memang di Limba U Dua tidak banyak masyarakat miskin, maka seolah tidak ada yang peduli dengan program ini, sehingga tidak mengherankan jika data yang ada menunjukkan rendahnya partisipasi relawan di kelurahan ini. 2. Sejauhmana relawan merepresentasikan kepentingan mayoritas masyarakat pada umumnya dan kelompok miskin pada khususnya?
2
Kajian Kerelawanan Laporan Lapangan-‐6: Gorontalo
Kelurahan Limba B saat ini sudah mengalami pergantian pengurus BKM. Namun koordinator BKM yang sekarang terpilih, karena bukan berasal dari relawan, pemahaman terhadap esensi program dan nilai-nilai universal kurang, sehingga masih perfikir mengharapkan insentif. Limba B juga pernah bermasalah dalam pelaksanaan penyaluran dana BLM tahun 2007, sehingga pada tahun itu sempat tidak diproses. Dana BLM yang terhenti pada tahun 2007 tersebut diluncurkan pada tahun 2008, dan baru diimplementasikan pada tahun 2009. Kelurahan ini sebenarnya juga pernah mendapatkan PAKET, namun sekarang tidak mendapatkan lagi. Mungkin hal ini terjadi karena kondisi pelaksanaan di kelurahan ini tidak sebagus pada waktu sebelumnya. Dari hasil wawancara dengan relawan dan RTM, ada kecenderungan pelaksanaan kegiatan program lebih berorientasi pada lingkungan anggota BKM dan penerima manfaat memiliki hubungan kekerabatan dengan pengurus BKM. “Torang pernah ikut rapat dari jam 20.00 sampai 01.00. Torang semangat waktu itu. Torang perjuangkan saluran air bersih, katanya torang bakal pe dana. Tapi sampai sekarang ndak ada pe dana turun. Torang ikut bakudapa sambil bawa-bawa anak. Malah yang dibangun malah di RT lain dekat rumah pengurus, padahal di sini sudah ada yang mau tanahnya digunakan. Ya, torang ternyata hanya dibohongin. So so, kalo disuruh lagi bakudapa untuk itu, tidak mau, so biar jo. Akhirnya bikin sendiri, doi sendiri.” (Seperti dituturkan oleh Bu Nunung Saleh, Reti Muslim, Rina Ismail, dan Selvi Maurutung, di rumah Selvi, 23 Juli 2009). Pendapat ini dibenarkan oleh warga yang lain, yang mengatakan bahwa dia tidak mau terlibat dalam kegiatan P2KP karena tidak ingin bekerja bersama orang yang “bengkok”. Selain itu, kasus yang pernah dialami BKM pada tahun 2007 dianggap sebagai bentuk penyelewengan yang menguatkan ketidaktepatan sasaran program. Dia sendiri yang menghuni rumah kurang layak, 1 rumah dihuni 4 KK, dan di sekitarnya ada 3 rumah lainnya yang tidak mampu, tidak pernah menjadi sasaran program dan belum pernah menerima bantuan apapun dari P2KP. “Pernah ada penyimpangan di sini. Saya mau kerja dengan orang lurus, kalau dengan orang bengkok gak mau. BKM ada mesin jahit dan obras, tapi tidak tahu dimana ditaruhnya. Di sini banyak dipakai untuk keluarga pengurus BKM saja.” (Dituturkan oleh KSW, RT 05 RW 05 Kelurahan Limba B, 23 Juli 2009) Sedangkan di Limba U Dua, program banyak yang tidak tuntas. Keswadayaan tidak muncul dari anggota masyarakat yang mampu. Sebut saja upaya betonisasi jalan setapak yang akhirnya hanya berakhir di depan rumah salah seorang relawan dengan panjang hanya sekitar 50 m dan bukan merupakan jalan umum. Semula memang jalan ini direncanakan akan menjadi jalan akses menuju pasar, tapi dari masing-masing ujung jalan setapak yang dibangun, hanya terwujud ujung-ujungnya. Namun untuk pembangunan sumur dan mahyani (rumah layak huni), memang benar dirasakan kemanfaatannya oleh RTM. Dengan jumlah RTM
3
Kajian Kerelawanan Laporan Lapangan-‐6: Gorontalo
yang terbatas, program mahyani bisa langsung menjangkau masyarakat miskin. Sedangkan dana bergulir, nampaknya berorientasi pada keberhasilan pengembalian, sehingga yang menerima manfaat adalah mereka yang dinilai mampu mengembalikan pinjaman. Semua pengurus BKM dan relawan yang terlibat adalah penerima manfaat dana bergulir. Tidak mengherankan jika di kelurahan ini return rate mencapai 99%. 3. Bagaimana peran relawan lokal dalam siklus P2KP dapat disesuaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan yang meningkat dari kegiatan bersama berbagai pelaku (pemerintah, pihak swasta, masyarakat sipil)? Keterlibatan tokoh masyarakat dalam tubuh organisasi BKM, bagi kelurahan merupakan keuntungan tersendiri. Keberadaan Ketua RT, Ketua RW, atau pengurus LPM dalam keanggotaan BKM, tidak mengurangi kinerja mereka sebagai staf kelurahan. Bahkan menurut lurah Limba U Dua, mereka bisa berperan untuk menekan kemungkinan salah sasaran. Hal ini diyakini lurah karena mereka adalah ujung tombak kelurahan yang sudah sangat dikenal dan mengenal masyarakat, sehingga memahami dengan baik siapa saja yang tergolong masyarakat miskin di lingkungannya masing-masing. “Mereka yang menjabat Ketua RT, RW, atau LPM memang sudah aktif dalam kegiatan di masyarakat dan masyarakat sudah mengenal mereka, sehingga sama sekali tidak mengganggu tugas- tugas di kelurahan. Malahan ini memudahkan kelurahan, karena mereka dapat mengontrol ketepatan calon penerima manfaat.” (Sebagaimana disampaikan oleh Mutakim Adam, 23 Juli 2009, di ruang kerjanya pukul 11.15 – 12.00 WITA) Dalam penjelasannya lebih lanjut, lurah mengatakan bahwa data calon penerima manfaat yang disampaikan oleh BKM dijadikan acuan untuk menentukan sasaran bagi kegiatan serupa, sehingga tidak overlap. Ketua RT, Ketua RW, atau pengurus LPM yang terlibat dalam keanggotaan BKM inilah yang melaksanakan peran ganda dalam identifikasi penerima manfaat, sehingga tugas mereka di BKM bisa disinkronisasikan dengan tugas di kelurahan. “BKM ada data, diserahkan ke lurah. Data ini kemudian saya jadikan acuan untuk menentukan sasaran kegiatan lain juga, seperti BLT, PKH, atau kegiatan lain, sehingga tidak tumpang tindih. Artinya tidak ada warga yang sudah menerima bantuan BLT misalnya, tetap menerima bantuan yang lain, sementara ada warga miskin lain yang sama sekali tidak pernah menerima bantuan. Dengan data ini kami terbantu juga, karena sasaran masyarakat miskinnya bisa merata. Saya juga terbantu dengan struktur BKM yang juga staf kelurahan, sehingga tugas-tugasnya bisa disinkronkan.” (Sebagaimana disampaikan oleh Mutakim Adam, 23 Juli 2009, di ruang kerjanya pukul 11.15 – 12.00 WITA)
4
Kajian Kerelawanan Laporan Lapangan-‐6: Gorontalo
4. Apa kebutuhan peningkatan kapasitas diantara relawan lokal untuk melaksanakan peran-‐peran baru tersebut? Keberadaan relawan di Kelurahan Limba U Dua, belum termanfaatkan oleh kelurahan dengan baik. Hingga saat ini, kegiatan rapat-rapat kegiatan di kelurahan selalu mengundang warga, diantaranya sebagian juga terlibat sebagai relawan di P2KP. Akan tetapi memang secara khusus memanfaatkan keberadaan relawan-relawan tersebut dalam kegiatan di kelurahan belum ada. Untuk meningkatkan potensi dan kapasitas relawan yang sudah pernah dilatih dalam P2KP, kelurahan juga tidak memiliki anggaran. Selama ini kegiatan yang dilaksanakan oleh kelurahan sangat ditentukan pengelolaan keuangannya oleh pemerintah kota, sehingga kelurahan belum mampu mengalokasikan dan merencanakan kegiatan yang berupaya meningkatkan kapasitas relawan (pelatihan-pelatihan). 5. Dapatkah pelatihan tambahan khusus dan upaya peningkatan kapastias untuk relawan memperdalam kesenjangan pemberdayaan di dalam masyarakat sebagaimana mereka menjadi sebuah elit baru (elit berdaya yang baru)? Dan bagaimana hal ini dapat diatasi? Pelatihan yang diberikan kepada relawan selama ini hanya berjalan pada waktu awal program dilaksanakan. Faskel melakukan sosialisasi yang diundang adalah penerima manfaat, sehingga pemahamannnya adalah mendapat bantuan. Para tokoh dan pegawai di masyarakat justru kurang. Sementara itu setelah pengurus BKM terpilih, seringkali yang terpilih berasalah dari tokoh atau pegawai (masyarakat yang dianggap tokoh/lebih dari masyarakat lain). Akibatnya, BKM terpilih juga tidak mampu melakukan sosialisasi. Sehingga BKM hanya bisa menyampaikan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan. Relawan yang tadinya terlatih juga tidak dilibatkan dalam kegiatan. BKM cenderung lahir sebagai elit baru di Kelurahan Limba B, sedangkan di Limba U Dua tidak terlalu menonjol dan tidak banyak berpengaruh di masyarakat karena memang perannya bagi masyarakat tidak banyak, terutama bagi masyarakat miskin karena jumlahnya hanya 5%. Menurut beberapa anggota BKM, saat ini perlu pemahaman tupoksi masing- masing, dimana relawan dan dimana BKM. Orang BKM yang tidak bisa menempatkan dirinya sebagai anggota BKM, tidak harus dipertahankan. Relawan juga harus tahu batas-batasnya sebagai relawan. Sehingga dengan begitu bisa terjadi kerjasama yang indah. Perlu ada tambahan tupoksi dalam BKM untuk mengajak relawan dalam setiap kegiatan sehingga relawan tidak canggung jika mau terlibat. Di sisi lain total faskel yang ada di wilayah Kota Gorontalo dari 37 orang, hanya 21 diantaranya yang sudah mendapatkan pelatihan dasar. Formasi faskel di Gorontalo adalah 4:12, artinya 4 orang faskel harus menangani sebanyak 12 kelurahan. Hal ini mengakibatkan pendampingan kurang maskimal. Sehingga pendampingan juga hanya diberikan kepada BKM. Akibatnya, hanya BKM yang mendapatkan pemberdayaan dan BKM sendiri belum mampu melakukan transfer
5
Kajian Kerelawanan Laporan Lapangan-‐6: Gorontalo
pengetahuan kepada masyarakat lainnya. Bahkan untuk Kota Gorontalo, BKM merupakan posisi strategis yang lumayan diperebutkan. Ada yang berorientasi sebagai media pengumpulan suara bagi karir politik, ada juga yang berorientasi untuk mendapatkan keuntungan secara material, baik secara langsung maupun bentuk lain, seperti kemampuan untuk mengarahkan program untuk lingkungan tempat tinggalnya sendiri atau membantu keluarga besarnya. 6. Faktor-‐faktor mana saja yang mempengaruhi keberlanjutan kerelawanan lokal di lingkungan perkotaan? Kedudukan relawan setelah melalui siklus pembangunan BKM tidak terpilih. Ada yang aktif, justru tidak terpilih. Hal ini terjadi karena sistem yang menyebabkan para relawan ini tidak terpilih menjadi anggota BKM, sehingga relawan ini kecewa. Hal ini diartikan oleh relawan bahwa keterlibatannya hanya sampai disitu dalam program. Penghargaan atau reward bukan menjadi tolok ukur bagi keberlanjutan program. Saya tidak mengharapkan sertifikat atau yang lain-lain. Tapi saya merasa butuh dihargai ketika menyampaikan pendapat. Tidak dilihat dari sisi perempuan atau laki-laki sehingga jadi “baku mulut”. Sering karena latar belakang seseorang, usulan diremehkani.” (Seperti disampaikan oleh Ulfa pada waktu FGD BKM Limba B, 24 Juli 2009 pukul 20.30 – 22.30 WITA) Ternyata dari apa yang disampaikan oleh Ulfa diatas lebih mengedepankan pada kebutuhan untuk diterima di masyarakat tanpa dibedakan dia laki-laki atau perempuan. Sepertinya memang persoalan gender perlu menjadi perhatian yang cukup serius di wilayah kota ini. Perempuan cenderung diposisikan subordinat. Hal hampir serupa terjadi di Limba U Dua, dimana keterlibatan salah seorang anggota BKM (perempuan) hampir menyebabkan perceraian, karena suaminya tidak menyukai perempuan terlalu sering keluar rumah. Memang kontradiktif dengan keberadaan relawan yang kebanyakan perempuan. Namun ketika kegiatan menuntut intensitas keterlibatan lebih, keterlibatan perempuan menjadi sangat terbatas. C. Hambatan Studi Proses pelaksanaan studi di Gorontalo merupakan anti klimaks dari perjalan tim di seluruh lokasi studi. Dinamika program memang tidak terlalu tampak di kota ini. Hal ini membuat tim mengalami penurunan semangat. Ditambah lagi mengatur jadwal FGD dengan BKM sangat kaku, karena pengurus BKM (koordinator BKM) memiliki kecenderungan sangat menjaga formalitas. Pada waktu sudah disepakati jadwal FGD dengan relawan (laki-‐laki dan perempuan) di Limba U Dua, ternyata setelah menunggu beberapa jam, hanya relawan perempuan yang hadir, sedangkan relawan laki-‐laki hadir satu orang, itu pun ternyata bukan relawan dan tidak tahu menahu dengan program. Akhirnya FGD relawan di Limba U Dua hanya berlangsung dengan relawan perempuan. Dari sisi lain, kegiatan di Limba B cukup menarik, karena ditemukan banyak kasus dimana warga yang sangat paham tentang program tetapi tidak mau terlibat
6
Kajian Kerelawanan Laporan Lapangan-‐6: Gorontalo
menjadi relawan. Kekhawatiran dan sikap difensif BKM sangat kental. Bahkan saat FGD relawan dilaksanakan, hampir semua pengurus BKM membayang-‐bayangi di sekitar tempat FGD dilaksanakan. Sehingga relawan tampak takut-‐takut menyampaikan informasi secara terbuka. Tim sulit untuk mengajak pengurus BKM keluar, karena jumlah mereka beberapa orang dan ketika diajak keluar ruangan, yang lainnya gantian datang berada di belakang peserta FGD. Hal ini sangat mengganggu jalannya FGD. Namun tim kemudian mensiasati dengan cara melakukan SSI secara terpisah (mendatangi relawan ke rumahnya) untuk melakukan eksplorasi data lebih mendalam.
i Pada waktu Ulfa menyampaikan pendapatnya, beberapa orang seolah mencibir apa yang dikatakan Ulfa
bahkan ada yang keluar ruangan.
7