Kajian Kerelawanan Laporan Lapangan-5: Makassar Site Report Tim Kerelawanan Waktu : 13 – 22 Juli 2009 Lokasi : Makassar A. Gambaran Umum Lokasi 1. Kelurahan Tabaringan, Kecamatan Ujung Tanah Kelurahan Tabaringan berada di pinggiran utara Kota Makassar. Kelurahan yang tidak terlalu luas ini terdiri dari 5 RW dan 25 RT. Sebaran RT tidak merata. Ada beberapa RW yang terbagi dalam 4 RT, yaitu RW 2, 4, dan 5. RW 1 terbagi dalam 5 RT dan RW 7 terbagi dalam 7 RT. Dari kelima RW tersebut, RW 1 adalah RW termiskin dengan kantong kemiskinan terbesar di RT 01. Di wilayah ini, mata pencaharian penduduk rata-rata adalah tukang becak, buruh bangunan, dan buruh pelabuhan. Jumlah penduduk di Kelurahan Tabaringan pada bulan Juni 2009 mencapai 4.705 jiwa terdiri dari 2.274 jiwa penduduk laki-laki dan 2.431 jiwa penduduk perempuan. Menurut sekretaris kelurahan, penduduk Tabaringan rata-rata telah menamatkan pendidikan SMA. Secara administratif memiliki batas wilayah sebagai berikut: -
Sebelah utara : Kelurahan Totaka, dipisahkan oleh Jl. Cakalang. Sebelah barat : Kelurahan Malimongan Tua, Kecamatan Wajo, dipisahkan oleh Jl. Yos Sudarso. Sebelah Selatan : Kelurahan Parang Layang, dipisahkan oleh Jl. Yos Sudarso I. Sebelah Timur : Kelurahan Layang, Kecamatan Bontola, dipisahkan oleh Jl. Tinumbo B.
Kelurahan Tabaringan juga memiliki keragaman etnis. Penduduk asli adalah suku Makassar dan Bugis dengan jumlah yang berimbang. Sedangkan penduduk pendatang paling banyak adalah suku Jawa. Selain Jawa, etnis lain yang cukup dominan adalah etnis China. Etnis China pada umumnya menempati wilayah di sepanjang Jl. Sudarso, Cakalang, dan Tinumbu, tinggal di ruko-ruko sepanjang jalan tersebut. Di samping itu masih ada beberapa suku lain yang jumlahnya tidak terlalu besar, yakni suku Mandar (Polmas, Wali) dan Toraja. Dari kesemua etnis tersebut, etnis Bugis yang cenderung berada di posisi pengambil keputusan. 2. Kelurahan Maccini, Kecamatan Makassar Kelurahan Maccini memiliki luas wilayah kurang lebih 50 Ha yang terdiri dari 5 RW dan 44 RT dengan distribusi, RW 1 dan RW 2 masing-masing terdiri dari 9 RT, RW 3 dan RW 4 masing-masing terdiri dari 10 RT, dan RW 5 terdiri dari 6 RT. Secara administratif, Kelurahan Maccini memiliki batas sebagai berikut: -
Sebelah utara : Kelurahan Malimongan Baru, Kecamatan Bontoala Sebelah Barat : Kelurahan Maccini Busung Sebelah Selatan : Kelurahan Bara Baraya
1
Kajian Kerelawanan Laporan Lapangan-5: Makassar -
Sebelah Timur : Kelurahan Maccini Parang dan Kelurahan Sinrijala, Kecamatan Panakkukang
Kelurahan dengan luas wilayah 2,6 km ini dihuni oleh 8.541 jiwa penduduk yang terdiri dari 4.141 jiwa penduduk laki-laki dan 4.400 jiwa penduduk perempuan. Jumlah KK miskin secara keseluruhan adalah 1.020 KK. Dari kelima RW yang ada di kelurahan ini, RW 4 adalah RW dengan penduduk miskin paling banyak. Di RW 4, jumlah penduduk + 475 KK pada musim-musim normal seperti sekarang. Sedangkan setelah musim panen (menuai padi) selesai, jumlah penduduk bertambah hingga mencapai 500 KK menempati 228 unit rumah. Ini bisa diasumsikan bahwa setiap rumah paling tidak ditempati oleh 2 KK. Dalam kenyataannya, ada rumah yang dihuni antara 10 – 20 KK. Dari total jumlah KK tersebut, 227 KK diantaranya adalah penerima BLT. Jumlah penerima BLT di RW ini 36% dari keseluruhan KK miskin penerima BLT di Kelurahan Maccini (626 KK). Mata pencaharian penduduk RW 4 pada umumnya adalah buruh harian, tukang becak, tukang batu, dan pedagang asongan. B. Pertanyaan Penelitian 1. Siapa sajakah yang menjadi relawan dan apakah jenis kemampuan, kapasitas, dan komitmen yang mereka bawa ke proyek?
Dua kelurahan ini sangat berbeda karakteristik kerelawanannya. Tidak mengherankan jika Kelurahan Tabaringan, Kecamatan Ujung Tanah dikategorikan sebagai kelurahan yang kerelawanananya rendah, karena selama tim studi berada di kelurahan ini, tim kesulitan menemui masyarakat yang disebut relawan dalam progam. Bahkan ketika dilakukan FGD relawan pun, yang terjadi adalah mobilisasi massa, sehingga ketika ditanya sejak kapan terlibat dalam program, jawaban yang diberikan adalah “baru pertama kali ikut” (pada waktu FGD relawan yang dilakukan tim studi). Relawan yang tergabung di BKM pada umumnya berpendidikan tinggi. Rendahnya kerelawanan di Kelurahan Tabaringan karena rekruitmen atau pelibatan relawan dalam kegiatan program hanya “copotcopot” saja. Berbeda dengan Tabaringan, Kelurahan Maccini, Kecamatan Makassar memiliki relawan-relawan yang bertahan sejak awal program masuk, yakni tahun 2004. Ada hal yang menarik di kelurahan ini, relawan hampir seluruhnya perempuan, namun tidak ada pengurus BKM yang mewakili perempuan, semua pengurus BKM laki-laki. Secara umum, relawan berusia tua dan hanya beberapa orang muda bergabung. Selain itu, nilai ketokohan seseorang juga menjadi salah satu ciri khas relawan yang tergabung dalam BKM di Kelurahan Maccini. Sementara keberlanjutan kerelawanan di kelurahan ini lebih banyak ditentukan karena relawan adalah penerima manfaat (sebagian besar). Beberapa orang relawan Kelurahan Tabaringan mengatakan bahwa keterlibatannya dalam program karena ingin menyelaraskan antara provisi dengan sosial. Namun demikian, mekanisme “copot-copot” yang 2
Kajian Kerelawanan Laporan Lapangan-5: Makassar
diterapkan oleh BKM dalam pelibatan relawan membuat keterlibatan seseorang untuk menjadi relawan di kelurahan ini lebih banyak berorientasi pada perolehan imbalan yang akan diterima. Misalnya saja salah seorang ibu rumah tangga di Lorong 154 RW 1 Kelurahan Tabaringan mengatakan bahwa dia terlibat pada waktu pendataan karena diberi imbalan Rp 800,- per rumah. Setelah itu tidak terlibat lagi karena tidak mendapatkan pinjaman dari dana BLM. 2. Sejauhmana relawan merepresentasikan kepentingan mayoritas masyarakat pada umumnya dan kelompok miskin pada khususnya?
Baik di Kelurahan Tabaringan maupun Maccini, orientasi pada kepentingan warga miskin tidak begitu nampak. Pembangunan fisik lebih ditekankan pada alasan pemerataan program di setiap RW, sedangkan pinjaman ekonomi bergulir ditengarahi banyak dipengaruhi oleh kepentingan anggota BKM di wilayahnya sendiri-sendiri. Kelurahan Tabaringan secara fisik juga bukan kelurahan yang membutuhkan perbaikan infrastruktur seperti pengerasan jalan atau perbaikan sanitasi, karena secara umum infrastruktur di kelurahan ini sudah baik. Wilayah yang kondisinya buruk hanya ada di RT 1 RW 1. RT yang berada di lorong buntu ini, aksesnya masih berupa jalan tanah yang sangat becek dan banjir ketika musim hujan. Namun karena dinilai tanah lokasi RT ini adalah tanah sengketa, justeru RT ini sama sekali tidak terkena program. Demikian juga halnya dengan warga miskin di RT ini. Dengan alasan mereka pendatang (Jenai Ponto) mereka dinilai bukan sasaran penerima manfaat. Warga yang tinggal di RT 1 RW 1 ini menempati rumah-rumah sempit dan kumuh, pada umumnya berprofesi menjadi tukang becak. Namun dari beberapa warga yang ditemui, diantara mereka juga tidak mendapatkan bantuan. Sementara itu untuk Kelurahan Maccini, RW 3 sebagai kantong warga miskin mendapatkan bantuan dengan mekanisme memberikan dengan jumlah lebih kecil akan tetapi masyarakat yang dijangkau lebih banyak. Hal ini terutama diberikan untuk perbaikan rumah. Jika di daerah lain, bantuan rumah layak huni diberikan pada satu atau dua rumah, di RW 3 diberikan dalam bentuk perbaikan rumah. Karena jumlah rumah tidak layak sangat banyak, bantuan diberikan dalam bentuk seng dan papan/kayu untuk memperbaiki atap dan dinding, sehingga jangkauan penerimanya menjadi lebih banyak. “Kerelawanan ini hanya ada pada waktu P2KP baru masuk. Mereka berbondong-bondong untuk ikut terlibat, karena bersemangat di dalam proyek ini bisa mendapatkan nilai tambah. Tapi setelah mengikuti kegiatan ini, ternyata mereka tidak mendapatkan apa-apa, mereka mengundurkan diri. BKM tidak bisa memotivasi relawan jika masalah internal sendiri tidak bisa diselesaikan. (Relawan yang semula terlibat, sebenarnya berorientasi pada harapan tertentu, mengalami kekecewaan ketika tahu bahwa P2KP ternyata tidak memenuhi harapan tersebut).
3
Kajian Kerelawanan Laporan Lapangan-5: Makassar 3. Bagaimana peran relawan lokal dalam siklus P2KP dapat disesuaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan yang meningkat dari kegiatan bersama berbagai pelaku (pemerintah, pihak swasta, masyarakat sipil)?
Diakui oleh relawan di Maccini bahwa kemampuan menulis dan mencatat (mendata) diantara mereka tidak semuanya bagus. Hal ini mengakibatkan terjadinya distorsi informasi kepada masyarakat. Seperti halnya yang terjadi di Tabaringan, Koordinator BKM yang baru dinilai sulit berkoordinasi dengan pihak kelurahan (pemerintah) bahkan dengan anggota BKM yang lain. Hal ini terjadi karena pemahaman koordinator yang baru dinilai kurang dalam menerjemahkan program. Dia menganggap perannya sebagai koordinator BKM adalah peran ketua yang menentukan semua kebijakan di tubuh BKM dan pelaksanaan program. Akibatnya, banyak kegiatan yang pelaksanaannya tidak mengikuti prosedur program. 4. Apa kebutuhan peningkatan kapasitas diantara relawan lokal untuk melaksanakan peran-peran baru tersebut?
Hampir sama dengan daerah atau kota lain yang sudah didatangi sebelumnya oleh tim studi, bagi masyarakat di Kota Makassar, baik Kelurahan Tabaringan maupun Maccini, kebutuhan pelatihan dirasakan benar manfaatnya. Hanya saja, pelatihan-pelatihan yang pernah dilaksanakan, diikuti oleh orang yang berbeda-beda, karena mekanisme pelibatan relawan seperti di Kelurahan Tabaringan yang “copot-copot” siapa saja yang pada waktu pelatihan itu mau terlibat atau ada waktu. Sehingga setiap ada pelatihan, selalu ilmu baru yang diterima oleh orang baru juga. Tidak adanya keterlibatan relawan secara kontinyu dalam pelatihan, menyebabkan relawan-relawan di Kelurahan Tabaringan tidak memiliki pemahaman khusus tentang P2KP, sehingga hal ini pula menyebabkan tidak pedulinya mereka terhadap perannya dalam pelaksanaan program. 5. Dapatkah pelatihan tambahan khusus dan upaya peningkatan kapastias untuk relawan memperdalam kesenjangan pemberdayaan di dalam masyarakat sebagaimana mereka menjadi sebuah elit baru (elit berdaya yang baru)? Dan bagaimana hal ini dapat diatasi?
Bukan persoalan baru lagi jika BKM muncul sebagai elit baru di masyarakat. Di Kelurahan Tabaringan, ekslusifisme ini makin tampak dengan terfokusnya kegiatan di lingkungan para anggota BKM sendiri. Sehingga bagi masyarakat yang pasif, yang takut-takut jika tidak diundang, sama sekali tidak ada proses pembelajaran. Bahkan ketika ditemui tim studi, sebagian mereka yang mengetahui program mengatakan tahu karena berteman dengan salah seorang anggota BKM, sedangkan yang tidak tahu benar-benar tidak mengetahui sama sekali, bahkan masyarakat yang tinggalnya bersebelahan dengan kantor lurah dan sekretariat BKM. Beberapa nama bisa dikenali masyarakat, tetapi masyarakat lebih mengenal nama tersebut (anggota BKM) dibandingkan dengan programnya. Selain itu, karena pelaksanaan kegiatan seperti infrastruktur juga kurang
4
Kajian Kerelawanan Laporan Lapangan-5: Makassar
melibatkan warga, warga semakin tidak peduli dan tidak mengetahui siapa dan apa program yang berjalan. Kelurahan Maccini bukan memunculkan elit baru, akan tetapi memperkuat elit yang sudah ada. Keberadaan anggota BKM yang pada umumnya adalah tokoh masyarakat, memang memiliki nilai positif, yakni lebih mudah menggerakkan masyarakat. Seperti misalnya di RW 3 yang terkenal sebagai “Texasnya Makassar”, ketokohan Buddin sebagai anggota BKM menjadi salah satu kunci kelancaran pelaksanaan program di wilayah ini. Keberadaannya sebagai Ketua RW dan orang yang dikenal sangat aktif di berbagai organisasi memang sangat disegani masyarakat. Karena ketokohannya, masyarakat yang dikenal sangat berbahaya karena merupakan kantong kemiskinan dan kriminalitas (jambret) serta tawuran antar kampung ini, sangat menghormati dan selalu mendengarkan apa yang disampaikan. Hal ini sangat berbeda dengan RW lain. Di RW lain ketokohan ini sepertinya memberi jarak bagi keterlibatan anak muda, karena merasa dirinya bukan siapa-siapa dan merasa enggan terlibat jika tidak diundang. 6. Faktor-faktor mana saja yang mempengaruhi keberlanjutan kerelawanan lokal di lingkungan perkotaan?
Sejak awal memasuki Kota Makassar, KMW Makassar berpesan agar tim studi berhati-hati khususnya di Kelurahan Maccini karena daerahnya dinilai rawan. Kondisi ini memang merupakan salah satu penghambat bagi faskel dan tim untuk masuk ke lingkungan Maccini dengan mudah. Sementara itu di Tabaringan, keberadaan Klan Golgo sebagai klan yang ditakuti oleh masyarakat, menyebabkan kegiatan program banyak didominasi oleh peran keluarga dari klan ini. Bahkan hingga saat ini, di tubuh BKM terdapat pro-kontra dan penghindaran konflik terhadap koordinatornya yang berasal dari klan ini. Di sisi lain, manajemen kerelawanan memang sangat rendah. Relawan yang dibatasi jumlahnya sebanyak 25 orang diawal, sangat project base. Akibatnya faskel terjebak pada penerjemahan desain program yang kaku dan sangat tergantung pada besaran alokasi anggaran dan cakupan pesertanya. Selain itu, faskel juga terjebak dalam pembagian wilayah kerja, sehingga mereka tidak menjangkau semua wilayahnya. Belum lagi rotasi fskel dilakukan sebagai solusi bagi faskel bermasalah, sehingga faskel baru yang ditempatkan seringkali dihadapkan pada konflik faskel dengan masyarakat sebelumnya. Hal ini menjadi pertimbangan tersendiri bagi masyarakat, bahkan anggota BKM untuk aktif terlibat. C. Hambatan Studi Proses pelaksanaan studi di Makassar sangat menarik bagi tim studi. Sejak hari pertama datang di lapangan, tim sudah mendapatkan informasi daerah Maccini yang rawan. Awalnya kondisi rawan ini dikhawatirkan akan menjadikan tim kesulitan menemui masyarakat atau memasuki lokasi tersebut. Namun ternyata tidak seburuk yang dibayangkan tim, hanya saja tim sangat ekstra hati-hati dan senantiasa didampingi tokoh setempat untuk berkeliling. Tim juga sering mendapatkan bahasa isyarat/kode untuk 5
Kajian Kerelawanan Laporan Lapangan-5: Makassar menyembunyi alat-alat elektronik (kamera, voice record, atau HP) ketika melalui lokasi-lokasi rawan. Ini hanya terjadi ketika tim masuk di RW 3 Kelurahan Maccini. Sementara itu, di Kelurahan Tabaringan, kesulitan studi justeru disebabkan karena tidak ditemukannya relawan-relawan sejati seperti yang diharapkan oleh program. Bahkan ketika FGD relawan dilakukan, baik laki-laki atau perempuan mengatakan bahwa mereka terlibat P2KP baru pada saat FGD tim studi ini dilaksanakan. Sehingga tim seringkali tidak mendapatkan informasi yang diharapkan.
6