Kajian Kerelawanan Laporan Lapangan-4: Pasuruan
Site Report Tim Kerelawanan Waktu : 17 – 25 Juni 2009 Lokasi : Pasuruan A. Gambaran Umum Lokasi 1. Kelurahan Panggungrejo, Kecamatan Bugul Kidul Kelurahan PANGGUNG REJO masuk dalam kecamatan Bugul Kidul, Kota Pasuruan, Propinsi Jawa Timur. Luas wilayah kelurahan Panggung rejo adalah 1,99 Km². Kelurahan PANGGUNG REJO terdiri dari 7 RW (rukun warga) dan 39 RT (rukun tetangga). Uraiannya, RW 01 terdiri dari 9 RT; RW 02 terdiri dari 6 RT; RW 03 terdiri dari 7 RT; RW 04 terdiri dari 4 RT; RW 05 terdiri dari 5 RT; RW 06 terdiri dari 5 RT; dan RW 07 terdiri dari 5 RT. Sementara itu, tingkat kriminalitas di kelurahan PANGGUNG REJO berdasarkan sumber kepolisian setempat, terjadi kasus pencurian/perampokan yang pelakunya penduduk kelurahan PANGGUNG REJO ada 17 kasus/tahun. Untuk kasus perjudian ada 44 kasus/tahun. “Kelurahan PANGGUNG REJO berada di bagian lore rel (bagian sebelah utara rel kereta api).” Begitu kira-kira kalimat penting yang dilontarkan oleh Bambang selaku Korkot di Pasuruan. Kalimatnya ingin menjelaskan karakteristik masyarakat yang hidup di wilayah lore rel sebagai wilayah yang memiliki penduduk berkarakter keras, kasar, susah diatur, dan berpendidikan rendah. Tentunya kalimat stereotype ini bukan cuma Bambang yang melontarkannya. Hampir setiap masyarakat yang tinggal di kota Pasuruan mengetahui dan memaknai stereotype ini. Pameo lore rel kadang juga menjadi acuan bagi beberapa masyarakat, organisasi, bahkan Pemerintah Daerah bila datang ke lokasi ini. Sebagian pelaku yang ingin memasuki wilayah lore rel, belum apa-apa sudah memikirkan hal-hal yang dipercaya seperti stereotype di atas. Tidak hanya kepada masyarakat di luar lore rel; sebagian besar masyarakat yang tinggal di dalam lingkungan lore rel juga seperti terkena stigma dari stereotype ini. Rasa percaya diri masyarakatnya menjadi kurang – apalagi untuk memperkenalkan diri sebagai warga yang lokasi rumahnya berada di lingkungan lore rel. selain itu, rasa malu sebagai orang dari daerah lore rel membuat mereka menjadi masyarakat yang seakan-akan jauh dari pembangunan 1. 2. Kelurahan Kepel, Kecamatan Bugul Kidul Kelurahan Kepel memiliki luas wilayah 229.671 Ha. Kelurahan ini terdiri dari 6 RW yang dibelah oleh rel kereta api. Masyarakat lore rel (utara rel kereta api) merupakan daerah yang relatif lebih miskin dibandingkan masyarakat kidule rel (selatan rel). Dari 3 RW di lore rel, RW 6 atau yang dikenal dengan Dusun Bintingan adalah yang paling miskin. RW ini mayoritas penduduknya menjadi petani penggarap tambak. Sebagian besar 1
Terungkap dalam FGD BK M, relawan laki-laki dan perempuan di Panggung Rejo. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Dwi Agus W., Lurah Panggung Rejo, pada saat wawancara tanggal 22 Juni 2009, pukul 9.00 – 10.40 WIB di kantor kelurahan.
1
Kajian Kerelawanan Laporan Lapangan-4: Pasuruan
area RW 6 adalah tambak yang dimiliki oleh orang-orang kaya di Kelurahan Kepel atau dari luar Kepel. Salah satu pemiliknya adalah Pak Khoirudin (koordinator BKM) yang tambaknya dikerjakan oleh Pak Muji (salah satu penerima manfaat BLM kambing bergilir). Sedangkan masyarakat yang di kidule rel, pada umumnya memiliki mata pencaharian sebagai pegawai negeri, pedagang, swasta, atau pemilik tambak. B. Pertanyaan Penelitian 1. Siapa sajakah yang menjadi relawan dan apakah jenis kemampuan, kapasitas, dan komitmen yang mereka bawa ke proyek?
Relawan di Kelurahan Panggungrejo melibatkan berbagai level generasi, dari yang paling muda (SMP) hingga para tokoh, baik laki-laki maupun perempuan. Semangat kerelawanan juga cukup tinggi. Hal ini tampak ketika mereka dengan antusias mengikuti FGD dan berbagi informasi dengan tim peneliti. Tidak jarang, kegiatan yang semula mengundang 10 atau 15 orang bisa berubah menjadi di atas 20 orang. Lebih menariknya lagi, relawan perempuan ketika mengikuti kegiatan selalu membawa anakanaknya. Namun demikian, ketokohan seseorang juga menjadi penentu dalam pengambilan keputusan. Ada beberapa tokoh yang selalu disebut oleh masyarakat dan beberapa keputusan ada kecenderungan untuk mendapat restu tokoh-tokoh tersebut. Tokoh bagi masyarakat Kelurahan Panggungrejo adalah pengurus takmir masjid, ustadz, atau ulama. Relawan di Kelurahan Kepel lebih didominasi dari masyarakat kidule rel. Namun kerelawanan di Kepel memang cenderung pasif. Dominasi koordinator BKM sebagai seorang tokoh masyarakat, pejabat polisi sehingga mampu seolah-olah mengakuisisi kelurahan, membuat relawan lain baik yang terpilih menjadi BKM atau pun bukan menjadi kurang berkembang dan sangat embedded terhadap koordinator BKM. Pemberian stigmastigma terhadap kelompok masyarakat, mendorong masyarakat setempat makin pasif. Motivasi kerelawanan di Kelurahan Panggungrejo juga sangat menarik. Kelurahan yang selama ini dikategorikan sebagai kelurahan tertinggal dengan masyarakat penyandang buta huruf masih cukup besar ini, ternyata masyarakatnya sangat ingin mengejar ketertinggalan tersebut. Oleh karena itu, ketika ditanya tentang motivasi kerelawanan, mereka mengatakan bahwa yang mendorongnya terlibat kegiatan P2KP karena ingin kelurahanannya tidak tertinggal lagi, sehingga mereka tidak diremehkan oleh masyarakat dari kelurahan lain. Mereka mengaku malu jika ditanya dari Panggungrejo, karena orang cenderung akan menganggap rendah orang Panggungrejo dan dianggap bodoh. Hal ini dibenarkan oleh pandangan masyarakat Kepel terhadap Panggungrejo. Mereka mengatakan tidak mungkin Panggungrejo bisa lebih baik dari Kepel karena orang-orang Panggungrejo dinilai lebih bodoh. Di satu sisi, relawan dari Kelurahan Kepel sendiri mengatakan bahwa keterlibatannya didorong karena memang mereka telah terbiasa aktif dalam kegiatan sosial lain, mulai dari PKK, Posyandu, PSM, dll.
2
Kajian Kerelawanan Laporan Lapangan-4: Pasuruan
2. Sejauhmana relawan merepresentasikan kepentingan mayoritas masyarakat pada umumnya dan kelompok miskin pada khususnya?
Di Kelurahan Panggungrejo yang sangat kental dengan kultur masyarakat pesisir yang keras tapi egaliter memiliki relawan-relawan yang sangat beragam. Akses jalan yang hanya ada satu pintu masuk ke kelurahan ini, membuat masyarakat memiliki keterbatasan mobilitas eksternal, sehingga kelurahan ini sedikit tertinggal di bandingkan Kepel. Namun demikian ini tidak berbanding lurus dengan kerelawanan yang ada. Keterbatasan tingkat pendidikan, dimana relawan sebagian besar tamat SD, membuat mereka memiliki semangat belajar yang tinggi. Dan hal ini terbukti dengan cukup tingginya semangat kerelawanan di kelurahan ini. Keterbatasan pendidikan dan aksesibilitas masyarakat, menyebabkan kemampuan untuk membangun jaringan atau daya inovasi masih rendah. Hasil observasi dan wawancara di Kelurahan Kepel menjelaskan bahwa hampir semua relawan terdaftar maupun tidak terdaftar merupakan aktivis kelurahan baik sebagai kader PKK, posyandu, karang taruna, atau orang-orang yang memang memiliki akses keluar cukup kuat. Beberapa diantaranya cenderung nilai ketokohan menjadi pertimbangan. Hal ini memperlihatkan bahwa mereka memiliki pengalaman organisasi dan kemampuan membangun jaringan kerja sama dengan pihak luar. Namun di sisi lain, hanya beberapa orang yang kemudian memiliki peran sangat menonjol, yakni relawan yang berasal dari tokoh. Kehadiran tokoh dalam kelompok relawan, belum menjadi daya dorong bagi anggota relawan yang lain, akan tetapi justeru membuat relawan tergantung pada Si Tokoh. 3. Bagaimana peran relawan lokal dalam siklus P2KP dapat disesuaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan yang meningkat dari kegiatan bersama berbagai pelaku (pemerintah, pihak swasta, masyarakat sipil)?
Untuk masyarakat dengan sumberdaya seperti di Kelurahan Panggungrejo, memang memiliki keterbatasan untuk mengembangkan kegiatan bekerjasama dengan pihak luar. Masyarakat yang dikenal dengan kecepatan informasi dari mulut kemulut ini, juga memiliki sensifitas cukup tinggi. Sehingga lurah atau pemerintah harus selalu berada di tengah dan siap untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya konflik. Kelurahan Kepel relatif lebih kondusif karena kehidupan masyarakat petani sawah dan tambak tidak sekeras masyarakat nelayan. Dominasi koordinator BKM yang sekaligus aparat kepolisian seakan menjadi peredam. Secara umum, tipikal masyarakat Jawa yang cenderung melakukan penghindaran konflik, membuat masyarakat tidak pernah mengaktualisasikan kegelisahannya ketika menganggap program tidak sesuai. Di sisi lain, baik di Panggungrejo maupun Kepel, belum ada kemampuan untuk mengajak orang lain terlibat dalam kegiatan, meskipun apabila ditanya, beberapa orang mengatakan bahwa sebenarnya mereka mau terlibat apabila ada yang mengajak.
3
Kajian Kerelawanan Laporan Lapangan-4: Pasuruan
4. Apa kebutuhan peningkatan kapasitas diantara relawan lokal untuk melaksanakan peran-peran baru tersebut?
Bagi masyarakat seperti Panggungrejo, semangat belajar sangat tinggi. Kebutuhan pembelajaran melalui pelatihan-pelatihan sangat diperlukan. Tidak hanya dalam kegiatan P2KP, bahkan dalam kegiatan lain berupa pendidikan bagi buta aksara (setingkat Taman Kanak-Kanak) bagi masyarakat yang buta huruf, diikuti masyarakat dengan sangat antusias. Sebenarnya masyarakat Panggungrejo adalah masyarakat yang mudah dikendalikan, sekaligus mudah terpengaruh. Sehingga pendekatan dan proses pembelajaran yang tepat, dengan mudah juga diterima dan diikuti masyarakat. Berbeda dengan Kelurahan Kepel, masyarakat yang relatif lebih maju dibandingkan Panggungrejo, ternyata tidak memiliki antusiasme sebesar di Panggungrejo. Namun demikian, proses pemahaman dan pembelajaran dalam bentuk pelatihan-pelatihan sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan keberdayaan tidak hanya di antara individu tokoh. 5. Dapatkah pelatihan tambahan khusus dan upaya peningkatan kapastias untuk relawan memperdalam kesenjangan pemberdayaan di dalam masyarakat sebagaimana mereka menjadi sebuah elit baru (elit berdaya yang baru)? Dan bagaimana hal ini dapat diatasi?
Potensi kerelawanan di kedua kelurahan di Kota Pasuruan ini cukup besar sebenarnya. Dibutuhkan peran tim evaluasi untuk membangkitkan motivasi mereka kembali. Kemunculan BKM sebagai elit baru belum semenonjol lokasi di kota lain, akan tetapi jika labeling atau stigma terhadap masyarakat yang diberikan oleh BKM (Kepel), akan berakibat pada masyarakat yang diberikan stigma menjadi rendah diri. 6. Faktor-faktor mana saja yang mempengaruhi keberlanjutan kerelawanan lokal di lingkungan perkotaan?
Ada beberapa hal yang mempengaruhi menurunnya jumlah relawan, yakni kecenderungan penyerahan kegiatan kepada kelompok tertentu saja dan meninggalkan wilayah yang partisipasinya rendah. Misalnya di Kelurahan Kepel, Dusun Glagah yang memiliki partisipasi rendah tidak diberikan pendekatan lebih, akan tetapi kegiatan cenderung diserahkan kepada koordinator BKM (Pak Udin). Kegiatan juga cenderung diserahkan kepada sekretariat dan tidak diinformasikan secara luas, sehingga hanya mereka yang dikenal sekretariat saja yang diundang. Akibatnya yang terlibat hanya itu-itu saja. Disamping itu, ada yang mengatakan bahwa kegiatan setelah diikuti sekian lama tidak pernah ada “embel-embel” berupa biaya transportasi atau uang rokok, sehingga lama kelamaan masyarakat tidak tahan. Dari sisi proses program, masa pencairan dana BLM sering mengalami keterlambatan. Di Kelurahan Panggungrejo, penurunan secara kuantitatif terjadi, tapi secara kualitatif tidak terjadi. Meskipun dalam melaksanakan kegiatan P2KP mereka selalu diduga dapat uang, mereka mengabaiakan. 4
Kajian Kerelawanan Laporan Lapangan-4: Pasuruan
“Selama ini oleh omongane wong, ndak oleh opo-opo. Wis pokoke ra direken (Selama ini hanya mendapat celaan dari masyarakat, tidak mendapatkan apa-apa. Yang pasti semuanya tidak pernah dipedulikan” (FGD Relawan Perempuan Kelurahan Panggungrejo di Pendopo Kantor Kelurahan Panggungrejo, Rabu, 20 Juni 2009) Bagi relawan Panggungrejo, kata kuncinya adalah sabar, kuat mental, ikhlas, mbudeg, percaya diri, jujur, transparan, gak oleh ono tedeng alingaling, opo eneke diomongkan. Bahkan ketika ditanya mengenai penghargaan, para relawan justeru mengharapkan kalau ada penghargaan, diberikan kepada pengurus BKM terlebih dahulu sebagai orang yang selama ini telah banyak bekerja. Bagi para relawan sendiri penghargaan itu bukan sesuatu yang ditunggutunggu, akan tetapi perubahan di kelurahannya lah yang diharapkan. C. Hambatan Studi Proses pelaksanaan studi di Kota Pasuruan berjalan sangat lancar. Bahkan tim merasa sangat dekat dengan masyarakat. Pemakaian bahasa Jawa dan Madura juga tidak menjadi hambatan karena diantara tim juga menguasai bahasa lokal tersebut. Jadwal FGD yang seringkali bersamaan di dua kelurahan karena menyesuaikan dengan ketersediaan waktu masyarakat, membuat tim harus dibagi dalam dua kelompok, satu ke Kelurahan Kepel dan yang lain ke Kelurahan Panggungrejo. Selebihnya tim melakukan SSI dan mendalami informasi dengan saling melengkapi.
5