SIFAT FISIK KULIT SAMAK KHROM DOMBA EKOR GEMUK DAN DOMBA EKOR TIPIS AWET GARAM. .
SKRIPSI ANJAR PRIHANDOKO
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
SIFAT FISIK KULIT SAMAK KHROM DOMBA EKOR GEMUK DAN DOMBA EKOR TIPIS AWET GARAM. .
SKRIPSI ANJAR PRIHANDOKO
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN ANJAR PRIHANDOKO. D14050624. 2009. Sifat Fisik Kulit Samak Khrom Domba Ekor Gemuk dan Domba Ekor Tipis Awet Garam. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. Komariah, MSi. Pembimbing Anggota : Ir. Maman Duldjaman, MS. Kulit hewan adalah bahan yang mudah membusuk, sementara itu kemanfaatannya cukup tinggi. Sifat ini menunjukkan pentingnya proses pengawetan. Penyebab utama dari kebusukan adalah mikroorganisme, yaitu bakteri-bakteri pembusuk. Syarat utama kulit yang telah diawetkan ialah kulit tersebut harus dengan mudah dikembalikan mendekati keadaan segar dengan perendaman. Tujuan pokok dari prinsip-prinsip tersebut adalah mematikan bakteri pembusuk dan menonaktifkan bakteri yang masih hidup. Salah satu caranya adalah dengan proses penyamakan. Penyamakan dengan bahan mineral khrom lebih baik diantara bahan penyamak lainnya, karena dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat, menghasilkan kulit dengan sifat fisis maupun kimiawi yang paling menguntungkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan kualitas fisik kulit samak khrom pada domba ekor gemuk dan domba ekor tipis. Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Domba Mitra Tani (MT) Farm, Ciampea, Bogor, pada bulan Februari sampai Juni 2009. Kulit yang digunakan pada penelitian ini adalah kulit domba ekor gemuk dan domba ekor tipis dengan bobot potong yaitu ± 20 kg dari Peternakan MT Farm, Ciampea, Bogor masing masing 3 lembar yang sudah mengalami pengawetan garam. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap pola searah dengan tiga ulangan. Peubah yang diamati pada penelitian ini terdiri dari kekuatan tarik dan kemuluran kulit, serta kekuatan sobek kulit.Data hasil pengamatan dianalisi dengan menggunakan ANOVA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bangsa domba tidak berpengaruh nyata terhadap kualitas fisik kulit samak khrom awet garam. Rataan kekuatan tarik Domba Ekor Gemuk dan Domba Ekor Tipis sebesar 40.71 ± 2.14. Rataan kemuluran Domba Ekor Gemuk dan Domba Ekor Tipis 101.64 ± 29.15. Rataan kekuatan Sobek Domba Ekor Gemuk dan Domba Ekor Tipis sebesar 3.52 ± 0.607. Kata-kata kunci: domba, kulit samak, sifat fisik.
ABSTRACT Physical Characteristic Javanese Fat-Tailed and Local Javanese Thin-Tailed with Chrome Tanned of Salted Sheep’s Skin at MT Farm, Ciampea, Kabupaten Bogor. A. Prihandoko, Komariah, and M. Duldjaman Sheep is the one of many leather product. Mostly, leather of sheep have size more small and thin than cow and buffalo. Leather of cow and buffalo can make the leather light. The observation consists of experiment using six sheets of sheep leather, respectively. The observation design used on experiment has Direct Randomized Complete Design with three repeatations. Variable analysis of experiment consists of tensile strength and elongation of leather, and torn strength. The experiment result showed that tensile strength value of chrome tanned leather of Javanese fat-tailed and local Javanese thin-tailed not clear different were respectively 42.86 ± 2,12 kg/cm3 ; 38.56 ± 2,16 kg/cm3. The elongation value of chrome tanned leather of Javanese fat-tailed and local Javanese thin-tailed not clear different were respectively 99.25 ± 36,59 % ; 104.03 ± 21,71 %, whereas the torn strength given were respectively 3.57 ± 0.9194 kg/cm3 ; 3.475 ± 0.2947 kg/cm3. The tensile strength, elongation, and torn strength value of chrome tanned leather of Javanese fat-tailed were not clear different than leather of local Javanese thin-tailed. Keywords: Sheep, Tanning, Physical Characteristic,.
SIFAT FISIK KULIT SAMAK KHROM DOMBA EKOR GEMUK DAN DOMBA EKOR TIPIS AWET GARAM.
ANJAR PRIHANDOKO D14050624
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
SIFAT FISIK KULIT SAMAK KHROM DOMBA EKOR GEMUK DAN DOMBA EKOR TIPIS AWET GARAM. .
Oleh ANJAR PRIHANDOKO D14050624
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 13 Agustus 2009
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Ir. Komariah, MSi
Ir. Maman Duldjaman, MS
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. Agr
Prof. Dr.Ir. Cece Sumantri M.Agr Sc
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di kota Jakarta pada tanggal 15 April 1987 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara, keluarga Bapak Sarno Hollil Saputro dan Ibu Umamah. Pendidikan dasar penulis diselesaikan di SD Negeri 03 Kebayoran Lama Selatan pada tahun 1999. Tahun 2002 penulis lulus dari SMP Negeri 19 Jakarta, kemudian dilanjutkan ke SMU Negeri 47 Jakarta hingga lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), dan pada tingkat dua penulis memilih Major Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan serta Minor Kewirausahaan Agribisnis. Selama di IPB penulis aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan seperti DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) - D IPB, BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) – KM IPB, dan aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan. Selain kuliah penulis juga bekerja paruh waktu sebagai Koordinator program CSR PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, yaitu POJOK BNI cabang Bogor sejak tahun 2007.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya, shalawat serta salam kepada Nabi besar Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Sifat Fisik Kulit Samak Khrom Domba Ekor Gemuk Dan Domba Ekor Tipis Awet Garam. Penulis menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, oleh karena itu penulis menghantarkan terima kasih. Skripsi ini disusun dengan harapan agar dapat menjadi salah satu pedoman bagi peternak dan penyamak kulit dalam menentukan kulit bangsa domba terutama dalam hal kualitas fisik yang akan digunakan dalam proses penyamakan kulit. Bagi akademisi, skripsi ini diharapkan menjadi bahan referensi dalam pembuatan karya ilmiahnya. Skripsi ini dapat tersusun setelah melalui diskusi, penelitian, dan pembahasan yang melibatkan penulis, dosen pembimbing, peternak, laboran BPMBEI, dan literatur yang mendukung. Bangsa domba ekor gemuk dan tipis dipilih oleh penulis, karena kedua domba tersebut merupakan domba yang memilki jumlah yang banyak digemari dagingnya sehingga saat dilakukan penyembelihan domba sangat disayangkan apabila kulit tersebut tidak dimanfaatkan. Skripsi ini menerangkan tentang proses penyamakan yang dilakukan pada kulit awet garam, sehingga kulit domba dapat tahan lama dalam penggunaannya. Kepada semua pihak, khususnya yang telah menyumbangkan pemikirannya dan berpartisipasi dalam penyusunan skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT meridhoi samua usaha ini untuk memajukan dunia Peternakan terutama di Indonesia.
Bogor, Agustus 2009 Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN................................................................................................. ABSTRACT.................................................................................................... RIWAYAT HIDUP........................................................................................ KATA PENGANTAR................................................................................... DAFTAR ISI …………………………………………………………......... DAFTAR TABEL ……………………………………………..................... DAFTAR GAMBAR ……………………………………………................ DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
i ii iii iv v vii viii ix
PENDAHULUAN ........................................................................................ Latar Belakang ......................................................................................... Tujuan ......................................................................................................
1 1 2
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... Domba (Ovis aries)................................................................................... Klasifikasi Domba.............................................................................. Domba Lokal............................................................................................ Kulit Hewan....................................................................................... Topografis Kulit................................................................................. Histologis Kulit.................................................................................. Epidermis .............................................................................. Dermis (Corium).................................................................... Hypodermis........................................................................... Komposisi Kimia Kulit............................................................................ Kulit Awet Garam.................................................................................... Mutu Kulit Mentah dan Kulit Samak (Leather)....................................... Penyamakan Kulit.................................................................................... Proses pra-penyamakan..................................................................... Perendaman (soaking)........................................................... Pengapuran (liming).............................................................. Pembuangan daging dan bulu (fleshing dan scudding)......... Pembuangan kapur (deliming)............................................... Pelumatan (bating)................................................................ Pengasaman (pickling)........................................................... Proses Penyamakan.......................................................................... Proses Pasca Penyamakan................................................................ Bahan Penyamak Kulit........................................................................... Penyamakan Khrom...............................................................................
3 3 3 4 6 6 8 8 8 9 11 12 12 13 14 14 14 14 14 15 15 15 17 18 18
METODE..................................................................................................... Lokasi dan Waktu................................................................................... Materi..................................................................................................... Kulit Domba..................................................................................... Bahan Kimia..................................................................................... Peralatan........................................................................................... Rancangan.............................................................................................. Prosedur................................................................................................ . Penyamakan Kulit............................................................................. Peubah yang Diamati.............................................................................. Kekuatan Tarik dan Kemuluran Kulit............................................. Kekuatan Sobek Kulit......................................................................
20 20 20 20 20 20 20 21 21 23 23 24
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. Keadaan Umum Peternakan Domba…………………………………. Lokasi…………………………………………………………….. Sumber Air……………………………………………………….. Perkandangan…………………………………………………….. Penanganan Limbah………………………………………………. Penanganan Penyakit……………………………………………... Pakan……………………………………………………………... Proses Pemotongan………………………………………………. Kulit Awet Garam……………………………………………………. Sifat Fisik…………………………………………………………….. Kekuatan Tarik…………................................................................ Kemuluran………………………………….................................. Kekuatan Sobek.............................................................................
26 26 26 26 27 28 28 28 28 29 30 30 32 34
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ Kesimpulan ......................................................................................... Saran ....................................................................................................
36 36 36
UCAPAN TERIMA KASIH..................................................................... DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... …. ... LAMPIRAN ......................................................................................……
37 38 42
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Perbedaan Domba Ekor Tipis dan Domba Ekor Gemuk................
6
2.
Komposisi Substansi Kimia Kulit Mentah Segar ..........................
11
3.
Rataan Bobot Kulit Awet Garam...................................................
29
4.
Rataan Kekuatan Tarik (kg/cm3) Kulit Domba Samak Khrom.....
30
5.
Rataan Kemuluran (%) Kulit Domba Samak Khrom.....................
32
6.
3
34
Rataan Kekuatan Sobek (kg/cm ) Kulit Domba Samak Khrom.....
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Topografi Kulit Hewan …………………...................................
7
2.
Histologis Penampang Kulit ……... ............................................
10
3.
Ikatan antara Zat Penyamak dengan Kolagen..............................
17
4.
Model Pengujian Kekuatan Tarik dan Kemuluran......................
24
5.
Pengujian Kekuatan Sobek Model Lidah.....................................
25
6.
Contoh Kandang yang Digunakan di MT Farm…………………
27
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Sidik Ragam Kulit Domba Awet Garam.........................................
43
2.
Sidik Ragam Kekuatan Tarik Kulit Domba Samak Khrom............
43
3.
Sidik Ragam Kemuluran Kulit Domba Samak Khrom...................
43
4.
Sidik Ragam Kekuatan Sobek Kulit Domba Samak Khrom..........
43
5.
Peta Kecamatan Ciampea…………………………………………
44
PENDAHULUAN Latar Belakang Domba ekor gemuk dan domba ekor tipis merupakan domba yang mudah ditemui di pulau Jawa. Populasi domba di Pulau Jawa tahun 1997 mencapai 7.962.882 ekor. Propinsi Jawa Barat terlihat paling banyak dengan 47,7% dan Jateng/DI Yogyakarta 23,8% (Sistem Informasi Bank Indonesia, 1997). Jumlah kulit terlihat sejalan
dengan tingkat pemotongan domba. Permintaan kulit mentah yang tinggi menunjukkan bahwa industri penyamakan kulit terus berkembang. Fenomena yang ada di tengah masyarakat adalah kulit biasanya telah laku terjual sebelum ternak tersebut dipotong. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat permintaan kulit di tengah masyarakat sangat tinggi. Bahan baku kulit sangat mudah didapatkan di industri pemotongan daging dan rumah potong hewan. Indonesia mempunyai potensi yang besar dalam penyediaan bahan baku kulit. Contoh dari potensi ini dapat dilihat dari besarnya jumlah pemotongan domba di Rumah Potong Hewan, yaitu 1.685.085 ekor pada 1997 menjadi 1.739.691 ekor pada 1998 (BPS, 1998). Industri penyamakan kulit merupakan salah satu industri yang didorong perkembangannya sebagai penghasil devisa non migas. Potensi penyamakan kulit di Indonesia pada tahun 1994 terdiri dari 586 jumlah perusahaan ang terdiri dari industri kecil sebesar 489 unit dan industri menengah sebesar 8 unit, dengan kapasitas produksi sebesar 70,994 ton. (Sistem Informasi Bank Indonesia, 1997). Kulit dan Produk Kulit (KPK) telah lama dikenal sebagai komoditas ekspor andalan bernilai tinggi. Pada 1993, KPK memiliki pasar mendekati US$ 2 miliar dengan trend ekspor 495%. Total produksi kulit samak yang dihasilkan sebanyak 8.100.000 ft/thn. Harga kulit mentah di pasar internasional sekitar US$ 9 atau sekitar Rp. 81.000 per kilogram. Sementara harga kulit mentah di pasar dalam negeri berkisar antara Rp. 16.000 sampai Rp. 19.000 per kilogram. Harga kulit jadi di pasar internasional berkisar US$ 5 per feet square (1 feet square = 30 X 30 cm) (Sistem Informasi Bank Indonesia, 1997). Berdasarkan data Depperin pada 2004, ekspor kulit
mencapai US$49.935.665 yang terdiri dari kulit jadi, wet blue dan jenis lainnya. Kulit hewan adalah bahan yang mudah membusuk. Sifat ini menunjukkan pentingnya proses pengawetan. Penyebab utama dari kebusukan ini adalah 1
mikroorganisme, yaitu bakteri-bakteri pembusuk. Syarat utama kulit yang telah diawetkan ialah kulit tersebut harus dengan mudah dikembalikan mendekati keadaan segar dengan perendaman. Perendaman merupakan pekerjaan yang pertama dilakukan pada proses penyamakan. Dengan alasan ekonomis maka pengawetan kulit sebaiknya tidak memakan terlalu banyak biaya dan mudah dilakukan. Kira-kira sepertiga produksi dunia menggunakan prinsip pengawetan kulit dengan cara penggaraman. Negara-negara penghasil kulit garam umumnya di daerah sub-tropis dimana sinar matahari tidak mencukupi untuk keperluan ini.Garam-garam yang baik adalah yang mengandung Ca dan Mg tidak lebih dari 2% dan besarnya kristal mendekati homogen. Setelah dilakukan pengawetan kulit sebaiknya dilakukan proses penyamakan. Menurut Fahidin dan Muslich (1999), bahan mineral yang digunakan pada proses penyamakan adalah garam-garam yang berasal dari logam-logam aluminium, zirkanium, ferrum, cobalt, dan yang terpenting adalah khromium. Keuntungan utama menyamak dengan menggunakan garam khrom adalah penyamakan lebih cepat, murah, serta mudah diwarnai dengan berbagai warna. Garam khrom pada proses penyamakan berperan penting untuk pelemasan kulit. Menurut Jayusman (1981), penyamakan dengan bahan mineral khrom lebih baik diantara bahan penyamak lainnya, karena dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat, menghasilkan kulit dengan sifat fisis maupun kimiawi yang paling menguntungkan.
Menurut
Gustavson
(1956)
keistimewaan
khrom
adalah
kemampuannya mengadakan ikatan-ikatan koordinatif oleh valensi sekunder dalam kompleks khromium sulfat. Tujuan Penelitian ini bertujuan membandingkan kualitas fisik kulit samak khrom pada domba ekor gemuk dan domba ekor tipis awet garam.
2
TINJAUAN PUSTAKA Domba (Ovis aries) Klasifikasi Domba Ternak domba merupakan ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara oleh masyarakat Indonesia terutama di daerah pedesaan dan umumnya berupa domba-domba lokal. Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang mempunyai daya adaptasi yang baik pada iklim tropis dan beranak sepanjang tahun. Domba lokal memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil, warna bulu yang seragam, ukuran kecil, dan tidak terlalu panjang. Menurut Sumoprastowo (1987), domba lokal mempunyai perdagingan sedikit dan disebut juga domba kampung atau domba negeri. Bangsa domba secara umum diklasifikasikan berdasarkan atas hal-hal tertentu diantaranya berdasarkan perbandingan banyaknya daging atau wol, ada tidaknya tanduk atau berdasarkan asal ternak. Menurut Blakely dan Bade (1992), domba diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Class
: Mamalia
Ordo
: Artiodactyla
Family
: Bovidae
Genus
: Ovis (domba)
Species
: Ovis aries (domba yang didomestikasikan)
Bangsa domba yang terdapat di Indonesia (Iniguez et al. 1991) yaitu Jawa Ekor Tipis, Jawa Ekor Gemuk, dan Sumatra Ekor Tipis. Inounu dan Dwiyanto (1996) mengemukakan bahwa terdapat dua tipe domba yang paling populer di Indonesia yaitu Domba Ekor Tipis (DET) dan Domba Ekor Gemuk (DEG) dengan perbedaan galur dari masing-masing tipe. Beberapa bangsa domba tertentu memiliki kulit yang tidak baik. Domba yang diternakkan khusus untuk produksi wool halus, kulitnya tipis, banyak lubang-lubang 3
kecil serta gambaran iga yang hanya dapat digunakan untuk kulit samak yang termurah (Judoamidjojo, 1981). Domba Lokal Domba pertama kali didomestikasi sekitar 7000 SM di daerah Aralo Caspian dan menyebar ke Iran, India, Asia Tenggara, Asia Barat Daya hingga Eropa dan Afrika. Domba di Indonesia didomestikasi setelah Hindia Belanda berhasil mendomestikasi kambing (FAO, 2008). Ternak domba yang tersebar masih sangat beragam, demikian pula mengenai asal-usulnya sedikit sekali diketahui. Umumnya domba-domba di Indonesia (tropis) tidak mengenal adanya musim pembiakan (nonseasonal breeding), berbeda dengan domba yang berada di daerah iklim sedang. Dengan demikian perkembang biakan dapat berlangsung sepanjang tahun (Natasasmita et al. 1979). Di Jawa terdapat tiga kelompok domba yaitu domba Ekor Tipis (local Javanese thin-tailed) atau domba lokal, domba Ekor Gemuk (Javanese fat-tailed) dan domba Priangan (Priangan of west java) atau dikenal pula sebagai domba ekor sedang (Mason, 1980). Domba di Indonesia pada umumnya berekor tipis (thin- tailed), tetapi ada pula yang berekor gemuk (fat-tailed) seperti domba Donggala atau domba yang berada di Jawa Timur (Devendra dan McLeroy, 1982). Domba Ekor Tipis merupakan domba asli Indonesia dikenal sebagai domba Lokal, domba Kampung, atau domba Kacang disebut demikian karena bertubuh kecil (Sumoprastowo, 1987). Domba ini tidak jelas asal usulnya dan dijumpai di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah (Devendra dan McLeroy, 1982). Domba Ekor Tipis banyak dijumpai di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Domba ini mempunyai karakteristik reproduksi yang spesifik, yang dipengaruhi oleh gen prolifikasi. Namun domba ini kurang produktif karena produksi karkas yang dihasilkan sangat rendah (45-55%) dan pertumbuhannya lambat. Domba ini memiliki tubuh kecil, domba jantan dewasa 15-20 kg. Biasanya bulu berwarna putih disertai belang hitam di sekitar mata dan hidung. Domba jantan memiliki tanduk sedangkan betina tidak. Ukuran telinganya sedang dengan posisi setengah menggantung (Bradford et al. 1986; FAO, 2008).
4
Domba Ekor Gemuk (DEG) banyak dijumpai di Jawa Timur, Pulau Madura dan Pulau Lombok. Bobot badan jantan dewasa mencapai 31 kg dan betina dewasa mencapai 27 kg. Domba ini umumnya memiliki bulu putih dan bertanduk kecil pada jantan sedangkan betinanya tidak bertanduk, berwol kasar dan telinga sedang (Bradford et al. 1986; FAO, 2008). Karakterisktik domba lokal diantaranya memiliki tubuh kecil, lambat dewasa, tidak seragam, berbulu kasar, dan hasil daging relatif sedikit, dengan rata-rata bobot potong 20 kg (Edey, 1983). Tinggi pundak domba dewasa 57 cm dan bobot potong 19 kg (Mason, 1980). Pendapat lain menyatakan bobot potong dapat mencapai 30-40 kg pada jantan, dan 20-25 kg pada betina, dengan persentase karkas berkisar antara 44-49% (Tiesnamurti, 1992). Sifat lain domba lokal tampak dari warna bulu umumnya putih dengan bercak hitam sekitar mata, hidung, atau bagian lainnya (Mason, 1980; Edey, 1983; Mulyaningsih, 2006; Devendra dan McLeroy, 1982). Disamping bentuk tubuh yang ramping pola warna sangat beragam dari bercak putih, coklat, hitam, atau warna polos putih dan hitam (Tiesnamurti, 1992). Kualitas wol sangat rendah dan termasuk wol kasar (Mason, 1980). Profil muka biasanya lurus atau agak melengkung. Profil muka agak melengkung dijumpai pada domba jantan (Sabrani et al. 1982). Pada domba lokal jantan dijumpai tanduk yang melingkar, dan domba betina biasanya tidak bertanduk (Edey, 1983; Devendra dan McLeroy, 1982). Ekor pada domba lokal umumnya pendek, bentuk tipis dan tidak menunjukkan adanya timbunan lemak (Mason, 1980; Mulyaningsih; 2006). Ukuran panjang ekor rata-rata 19,3 cm, lebar pangkal ekor 5,6 cm dan tebal 2,7 cm (Tiesnamurti, 1992), hasil penelitian lain menjelaskan bahwa pada domba lokal betina di daerah Cirebon dijumpai mempunyai panjang ekor mencapai 17,3 ± 2,5 cm, lebar 4,1 ± 0,7 cm, sedangkan di daerah Bogor diperoleh panjang ekor 16,8 ± 2,8 cm dan lebar 4,2 ± 1,1 cm (Sabrani et al. 1982).
5
Tabel 1. Perbedaan Domba Ekor Tipis dan Domba Ekor Gemuk No. Sifat Kuantitatif 1.
Domba Ekor Tipis
Domba ekor Gemuk
Bobot Badan
♂dewasa = 20-30 kg ♂dewasa = 40-60 kg ♀dewasa = 15-20 kg(a) ♀dewasa = 25-55 kg(b) 2. Ekor Pendek, tipis, dan kecil Panjang, leber, dan besar Panjang rata-rata = 19,3 cm Panjang rata-rata = 10,2 cm Lebar pangkal ekor = 5,6 cm Lebar pangkal ekor = 4-8 cm Tebal = 2,7 cm(c) Tebal = 4-8 cm(d) 3. Tanduk ♂ = tanduk kecil ♂ dan ♀ tidak bertanduk(b) (a) ♀ = hanya tonjolan Keterangan : (a) : Mulyono dan Sarwono (2003) (c) : Tiesnamurti (1992) (b) : Salamena (2003) (d) : Sutama (1992) Kulit Hewan Komoditas kulit digolongkan menjadi kulit mentah dan kulit samak (Purnomo, 1985). Menurut Judoamidjojo (1974), kulit mentah adalah bahan baku kulit yang baru ditanggalkan dari tubuh hewan sampai kulit yang mengalami prosesproses pengawetan atau siap samak. Kulit mentah dalam dunia perkulitan dibedakan atas dua kelompok yaitu kulit dari hewan besar (hides) seperti sapi, kerbau, steer, dan kuda, serta kelompok kulit yang berasal dari hewan kecil (skins) seperti kambing, domba, calf, dan kelinci (Purnomo, 1985) termasuk didalamnya kulit hewan besar yang belum dewasa seperti kulit anak sapi dan kuda. Topografis Kulit Menurut Judoamidjojo (1974), secara topografis kulit dibagi menjadi : a) Daerah krupon, merupakan daerah terpenting, meliputi kira-kira 55% dari seluruh kulit, memiliki jaringan kuat dan rapat, serta merata dan padat. b) Daerah leher dan kepala, meliputi kira-kira 23% dari seluruh kulit. Relatif lebih tebal dari daerah krupon, dan jaringannya longgar serta kuat sekali. c) Daerah perut, paha, dan ekor, meliputi kira-kira 22% dari seluruh luas kulit. Bagian ini paling tipis dan longgar.
6
Gambar 1. Topografi Kulit Hewan (Fahidin dan Muslich, 1999)
7
Histologis Kulit Secara histologis kulit pada umumnya dibagi menjadi tiga lapisan (Gambar 2), dari luar ke dalam yaitu epidermis, dermis (corium), dan subcutis (Purnomo, 1985, dan Judoamidjojo, 1981). Epidermis. Epidermis adalah lapisan luar kulit. Strukturnya seluler dan terdiri dari lapisan sel-sel ephitel yang berkembang dengan sendirinya. Sel-sel terdalam dari epidermis selalu dalam proses berkembang membentuk sel-sel baru (Mann, 1980). Menurut Bienkiewicz (1983), stratum basale terdiri dari lapisan sel-sel berbentuk silindris (keratinosit) yang terbentang pada papilla dermis, yang dihubungkan oleh membran basal. Lapisan ini disebut juga stratum germinativum. Stratum spinosum, stratum mucosum terdiri dari beberapa lapisan dari sel-sel polyhedral, yang memiliki inti dan sitoplasma yang lebih terang. Stratum granulosum terdiri dari satu hingga tiga lapisan sel-sel berbentuk kumparan. Stratum lucidum terdiri dari 2-3 lapisan sel-sel datar, yang terisi oleh eleidine. Pada pewarnaan dengan eosin, stratum ini akan berwarna merah terang. Ketebalan epidermis pada kulit hewan berbulu lebat sekitar 1% dari total ketebalan kulit, sedangkan pada kulit hewan yang jarang bulunya (babi), ketebalannya sekitar 5% (Bienkiewicz, 1983). Pada penyamakan kulit biasanya lapisan epidermis harus dibuang sampai bersih. Hanya penyamakan fur (berikut bulunya) yang tidak dibuang lapisan epidermisnya (Fahidin dan Muslich, 1999). Dermis (Corium). Dermis adalah bagian pokok tenunan kulit yang akan diubah menjadi kulit samak (Mann, 1980). Dermis terutama terdiri dari jaringan penghubung dan mengandung sel-sel pigmen, pembuluh darah, dan syaraf (Purnomo,1985). Dermis (corium) terdiri dari lapisan thermostat atau rajah dan lapisan retikula atau corium asli (Mann, 1980; Fahidin dan Muslich, 1999); papiller, disebut juga termostatik (stratum papilare seutermostaticum) dan reticular (stratum reticularis) (Bienkiewicz, 1983). 8
Nama lapisan papiller berasal dari papillae yang menutupi dermis dan menembus ke epidermis. Nama lapisan retikula berasal dari jaringan-jaringan pembuluh yang dibentuk didalamnya (Bienkiewicz, 1983). Lapisan retikula pada kulit hewan besar meliputi kira-kira 75-80% sedang pada kulit hewan kecil 45-50% dari seluruh tebal kulit (Mann, 1980; Fahidin dan Muslich, 1999). Menurut Mann (1980), dermis sebagian besar tersusun dari tenunantenunan pengikat yang terdiri dari kolagen, elastin dan retikula. Hypodermis. Hypodermis, atau tenunan subcutis adalah tenunan pengikat longgar yang menghubungkan corium dengan bagian-bagian lain dari tubuh. Hypodermis sebagian besar terdiri dari serat-serat kolagen dan elastin (Fahidin dan Muslich, 1999), dan mengandung sel-sel lemak (Mann, 1980). Judoamidjojo (1981) menambahkan bahwa kandungan lemak domba Merino dapat mencapai 20% dari bobot kulitnya, sedangkan pada sapi hanya 0,75%. Bila kadar lemaknya tinggi maka kulit dapat lebih berlemak setelah disamak sehingga tidak disukai. Pada proses penyamakan kulit, lapisan ini dibuang secara mekanik dalam proses fleshing (Mann, 1980).
9
Potongan Lintang Diagramatik yang diperbeesar dari Kulit yang Menunjukkan Lapisan-lapisan Pokok (A) Epidermis; (B) Corium (derma); (C) Hypodermis (subcutis). (!) Rambut; (2) Lubang rambut; (3) Kelenjar lemak; (4) Kantong rambut; (5) Kelenjar keringat; (6) Sel lemak; (7) Pembuluh darah; (8) Syaraf; (9) Serat Collagen; (10) Tenunan Lemak.
Gambar 2. Histologis Penampang Kulit (Judoamidjojo, 1981)
10
Komposisi Kimia Kulit Kulit terdiri atas air, protein, lemak, garam, mineral, dan zat-zat lain. Komposisi kimia kulit terdiri atas air 64%, protein 33%, lemak 2%, garam mineral 0,5%, dan zat-zat lainnya 0,5% (Fahidin, 1977). Tabel 2. Komposisi Substansi Kimia Kulit Mentah Segar Komponen Persentase (%) Air
64,0
Protein
33,0
Protein fibrous
Protein globular
-
elastin
0,3
-
kolagen
29,0
-
Keratin
2,0
-
albumin, globulin
1,0
-
mucin, mucoid
0,7
Lemak
2,0
Garam mineral
0,5
Zat-zat lain
0,5
Sumber : Sharephouse (1978). Terlihat dalam tabel bahwa kandungan protein pada kulit memiliki persentase yang tinggi, maka perlu segera dilakukan proses pengawetan dan penyamakan agar kulit dapat tahan lama. Menurut Purnomo (1985) kulit mentah terdiri dari beberapa komposisi kimia yang menyusunnya yaitu ± 65%, lemak ± 1,8%, bahan mineral ± 0,2%, dan protein ±33%. Kemudian protein kulit dibagi lagi menjadi dua golongan, yaitu protein berbentuk (fibrous protein), terdiri dari kolagen, keratin dan elastin, dan protein tak berbentuk (globular protein), terdiri dari albumin dan globulin (Fahidin dan Muslich,1999). Kandungan air dari tiap bagian kulit tidaklah sama, bagaian yang paling sedikit mengandung air adalah krupon (bagian punggung), selanjutnya berturut-turut adalah bagian leher dan bagian perut (Purnomo, 1985). Kadar air berbanding terbalik terhadap kadar lemak. Jika kadar lemaknya tinggi maka kadar airnya rendah (Purnomo, 1985). 11
Kulit Awet Garam Menurut Aten (1966), pengawetan dengan cara penggaraman secara luas dibagi menjadi dua metode yaitu penggaraman kering (dry-salting) dan penggaraman basah (wet-salting). Stanley (1993) menambahkan bahwa penggaraman merupakan metode pengawetan yang paling mudah dan efektif dan merupakan metode pengawetan yang telah lama dilakukan. Reaksi osmosis dari garam mendesak air keluar dari kulit hingga tingkat dimana kebanyakan bakteri tidak dapat tumbuh. Garam-garam yang biasa dipakai adalah garam dapur (NaCl) dan garam khari (NaCl 50% dan Na2SO4 50%) (Judoamidjojo, 1974). Fahidin dan Muslich (1999) menambahkan bahwa syarat-syarat garam yang digunakan sebagai berikut : butiran garam 1 mm, kdar Ca dan Mg tidak boleh lebih dari 2%, serta bebas dari besi. Menurut Fahidin dan Muslich (1999) bahwa garam yang digunakan dalam pengawetan kulit memiliki beberapa fungsi : 1. Mengambil air dari kulit sehinga menghalang-halangi pertumbuhan bakteri pembusuk. Kadar air kulit segar dari 65% dijadikan 30%. 2. Jumlah garam yang banyak, dapat plosmolysa sel-sel mikroorganisme. 3. Chlorida adalah racun bagi mikroorganisme. Mutu Kulit Mentah dan Kulit Samak (Leather) Mutu kulit samak (leather) selain dipengaruhi oleh proses-proses yang dilakukan di industri penyamakan kulit juga sangat tergantung pada mutu kulit mentah sebagai bahan dasarnya, sedangkan mutu kulit mentah sangat dipengaruhi oleh kerusakan kulit yang terjadi pada saat hewan hidup, pada saat pemotongan, dan pengawetan (Willamson dan Payne, 1993). Tancous et al. (1981) membagi kerusakan – kerusakan kulit mentah menjadi dua : a. Kerusakan antemortem, yaitu kerusakan yang terjadi pada hewan hidup. b. Kerusakan post-mortem, yaitu kerusakan yang terjadi pada waktu pengulitan, pengawetan, penyimpanan, dan transportasi. Selain kerusakan-kerusakan yang terjadi di atas, mutu kulit juga dipengaruhi oleh bangsa, jenis kelamin, dan umur ternak waktu dipotong (Tancous et al., 1981). 12
Menurut Mann (1966), bangsa sapi untuk produksi susu atau domba untuk produksi wool, mempunyai kulit yang tipis, karena nutrisi makanan yang diserap tubuh digunakan untuk memproduksi susu atau wool. Tingginya kadar lemak dalam korium maupun subkutis merupakan faktor penurunan kualitas lainnya yang dipengaruhi bangsa domba (Tancous et al., 1981). Kulit seperti ini dapat mempengaruhi kualitas kulit samak karena kekuatan tarik dan kemuluran kulit samak menjadi rendah. Dikatakan pula pada setiap spesies terdapat perbedaan antara kulit hewan jantan dan betina. Perbedaan pokoknya adalah kulit hewan betina mempunyai rajah yang lebih halus daripada kulit hewan jantan. Pada umumnya kulit hewan betina mempunyai bobot rata-rata lebih ringan dari kulit hewan jantan tetapi mempunyai daya tahan renggang yang lebih besar. Tetapi karena permintaan akan kulit di pasaran sangat besar, maka perbedaan antara kedua jenis kelamin dapat diabaikan dan tidak dianggap sebagai suatu defek. Selanjutnya dikatakan bahwa perbedaan yang dipengaruhi umur hewan dapat menurunkan mutu setelah menjadi kulit samak. Kulit yang berasal dari hewan muda pada umumnya mempunyai struktur yang halus tetapi kompak, berajah sangat halus tetapi kurang tahan terhadap pengaruh dari luar dibandingkan dengan kulit hewan yang lebih tua. Sebaliknya, bila hewan semakin tua maka lapisan rajah makin kuat dan kasar. Disamping itu akan semakin banyak yang mengalami luka-luka, sehingga akan semakin banyak pula tenunan parutnya, bekas luka oleh penyakit parasit, guratan, cap bakar, dan sebagainya. Penyamakan Kulit Teknik mengubah kulit mentah menjadi kulit samak disebut penyamakan. Dengan melakukan penyamakan maka kulit hewan yang mudah busuk dapat menjadi tahan terhadap serangan mikroorganisme (Judoamidjojo, 1981). Mekanisme penyamakan kulit prinsipnya adalah memasukkan bahan penyamak ke dalam anyaman atau jaringan serat kulit sehingga menjadi ikatan kimia antara bahan penyamak dan serat kulit (Purnomo, 1991). Menurut
Fahidin
dan
Muslich
(1999),
teknik
penyamakan
kulit
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) tahapan proses yaitu : 1. Proses pra penyamakan 13
2. Proses penyamakan 3. Proses pasca penyamakan Proses pra-Penyamakan Proses pra-penyamakan (Beam House Operation) meliputi perendaman, pengapuran, pembuangan daging, pembuangan kapur, pengikisan protein, pemucatan dan pengasaman (Purnomo, 1992). Perendaman (soaking). Perendaman (soaking) merupakan tahapan pertama dari proses penyamakan yang bertujuan mengembalikan kadar air kulit yang hilang selama proses pengawetan, sehingga kadar airnya mendekati kadar air kulit segar. Bienkiewicz (1983) menambahkan bahwa tujuan dari perendaman adalah membuang zat-zat padat, seperti pasir, kerikil, parasit, sisa darah, urin, kotoran, dan lain-lain. Untuk mencegah proses pembusukan dalam perendaman maka dapat dilakukan dengan cara: a). mengusahakan agar air perendaman tetap dingin, terutama di musim panas perlu digunakan termometer, dan b) penambahan sedikit bakterisida (Mann,1980). Pengapuran (liming). Tujuan dari proses pengapuran ini adalah : menghilangkan epidermis, menghilangkan klelenjar-kelenjar keringat dan lemak, menghilangkan zat-zat kulit yang tidak diperlukan dan menghilangkan atau memudahkan pelepasan lapisan subcutis dari lapisan kulitnya (Purnomo, 1992). Pembuangan daging dan bulu (fleshing dan scudding). Proses buang daging (fleshing) bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa daging (subcutis) dan lemak yang masih melekat pada kulit. Proses pembuangan bulu (scudding) bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa bulu beserta akarnya yang masih tertinggal pada kulit (Fahidin dan Muslich, 1999) Pembuangan kapur (deliming). Pembuangan kapur (deliming) bertujuan untuk menurunkan pH kulit, karena pengapuran biasanya mempunyai pH yang tinggi yang disebabkan sisa kapur yang masuk masih terdapat pada kulit (Purnomo, 1992). Proses buang kapur biasanya menggunakan garam amonium sulfat (ZA). Garam ini akan memudahkan proses pembuangan kapur karena tidak ada pengendapan-pengendapan dan tidak terjadi pembengkakan kulit (Fahidin dan Muslich, 1999). 14
Ca(OH)2 + (NH)2 SO4
CaSO4 + 2NH4OH
Pelumatan (bating). Pelumatan (bating) bertujuan untuk membuka atau melemaskan kulit lebih sempurna secara enzymatic. Bahan yang digunakan adalah oropon atau enzilen, yaitu bahan paten yang dibuat dari pankreas dan garam-garam amonium sebagai aktivator (Judoamidjojo et al, 1979). Menurut Purnomo(1985), tujuan dari proses bating adalah menghilangkan sisa-sisa akar bulu dan pigmen, sisa lemak yang tidak tersambungkan dan menghilangkan sisa-sisa kapur yang masih tertinggal. Proses bating diperlukan terutama untuk pembuatan kulit halus dan lemas, misalnya kulit box, pakaian dan sarung tangan (Fahidin dan Muslich, 1999). Menurut Mann (1980) bahwa waktu bating yang berlebihan dapat menyebabkan kulit menjadi lepas dan menipis karena banyak protein yang terhidrolisis, sehingga mengakibatkan kekuatan tarik menjadi rendah. O’Flaherty (1956) menyatakan bahwa waktu bating yang terlalu singkat menyebabkan terjadinya pemisahan serat-serat fibril yang tidak sempurna, penetrasi bahan penyamak kurang merata, permukaan terluar dari serabut lebih tersamak sehingga kulit menjadi mudah patah, kaku dan keras. Pengasaman (pikling). Pengasaman (pikling) berfungsi untuk mengasamkan kulit sampai pH tertentu sebelum proses penyamakan khrom, jadi dilakukan penurunan pH kulit dari ± 7 sampai menjadi pH ±3 (Jayusman, 1990). Selain itu juga digunakan untuk menghilangkan noda-noda hitam pada kulit akibat proses sebelumnya atau unsur besi pada kulit, serta hilangnya noda putih karena pengendapan
CaCO3
yang
dapat
menyebabkan
cat
dasar
tidak
merata
(Purnomo,1992). Proses Penyamakan Proses ini bertujuan mengubah kulit mentah yang memiliki sifat tidak stabil, menjadi kulit tersamak yang mempunyai sifat stabil (Purnomo, 1992). Fahidin dan Muslich (1999) menambahkan bahwa bahan mineral yang digunakan pada proses penyamakan adalah garam-garam yang berasal dari logam-logam aluminium, zirkanium, ferrum, cobalt, dan yang terpenting adalah khromium. Keuntungan yang menonjol dari menyamak dengan menggunakan garam khrom adalah penyamakan yang lebih cepat, murah, serta mudah diwarnai dengan berbagai warna. 15
Zat penyamak khrom dalam bentuk chromium sulfat basa (Cr(SO4OH) berkaitan dengan kolagen kulit dan membentuk ikatan silang sebagai berikut: NH3
R
C
COOH
+
Cr (SO4OH)
H Protein Kolagen 1.
Zat Penyamak
O C
OH O
OH Cr+
Cr SO4
Cr
O
C
OH O
2.
O C
OH O
OH
Cr
Cr SO4
Cr
O
OH
SO42-
3.
C
O
O C
OH O
Cr
O Cr
SO4
Cr
O
C
O H+
O
Gambar 3. Ikatan antara Zat Penyamak dengan Kolagen (Thorstensen, 1985).
16
Keterangan : 1.
Reaksi antara zat penyamak dengan gugus karboksi dan protein.
2.
Sulfat yang terikat oleh krom digantikan oleh ion OH- yang ditambahkan untuk meningkatkan daya fiksasi.
3.
Selama pengeringan terjadi penyempurnaan ikatan sehingga ikatan menjadi stabil dengan pengeluaran ion H+.
Thorstensen (1985) menyatakan bahwa terdapat tiga reaksi dalam proses penyamakan mineral, yaitu: 1.
Pelarutan garam khrom (Cr2(SO4)3) ke dalam air sehingga membentuk senyawa lain yaitu Cr(SO4OH). Reaksinya adalah sebagai berikut: Cr2 (SO4)3 + 2H2O
2.
2Cr (SO4OH) + 2H2SO4
Meningkatkan daya fiksasi perlu ditambahkan sodium format sehingga terjadi pergantian antara sulfat yang terikat dalam garam khrom oleh OH- (Hidroksi) dengan reaksi sebagai berikut: Cr2 (SO4)3 + 3Na2CO3 + H2O
3.
2Cr (OH3) + 3Na2SO4 + CO2
Kation chromium bereaksi dengan anion gugus karboksil dari asam amino protein.
Proses Pasca Penyamakan Proses yang bertujuan membentuk sifat-sifat tertentu pada kulit terutama berhubungan dengan kelemasan, kepadatan, dan warna kulit. Proses ini terdiri dari netralisasi, pewarnaan, dan perminyakan (Fahidin dan Muslich, 1999). Penetralan (netralization), bertujuan untuk mengurangi kadar asam dari kulit wet blue (Purnomo,
agar tidak menghambat proses pengecatan dasar dan perminyakan 1992).
Menurut
Judoamidjojo
(1974),
penetralan
bertujuan
memperlambat reaksi pengikatan zat warna pada substansi kulit, sehingga zat warna sempat meresap sedikit ke dalam substansi kulit sebelum berikatan. Pengecatan dasar (dyeing stuff), memiliki fungsi sebagai pemberian warna dasar pada kulit tersamaknya seperti yang diinginkan (Purnomo, 1992). Pemberian 17
warna ini disesuaikan dengan bentuk produk akhir yang direncanakan. Warna coklat sering digunakan pada tahap pengecatan dasar. Perminyakan (fat liquoring), bertujuan melicinkan serat-serat kulit sehingga lebih tahan terhadap gaya tarikan, menjaga serat kulit agar tidak lengket sehingga lebih lunak dan lemas, serta memperkecil daya serap (Purnomo, 1992). Hal ini penting untuk menarik konsumen saat pemasaran produk. Menurut Thorstensen (1985) jenis-jenis minyak yang digunakan dalam proses peminyakan umumnya adalah trigliserida yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan, ikan laut, dan hewan. Bahan Penyamak Kulit Bahan penyamak yang digunakan dalam industri penyamakan kulit terbagi menjadi empat golongan besar, yaitu bahan penyamak nabati, sintetis, lemak, dan mineral (Judoamidjojo,1974). Bahan penyamak mineral yang digunakan adalah aluminium, ferrum, cobalt, zirconium, dan yang paling umum ialah khrom (Judoamidjojo, 1981). Judoamidjojo (1974) mengatakan bahwa khrom yang digunakan untuk penyamakan kulit adalah yang bervalensi tiga, yaitu Cr2(SO4)3. Daya penyamakan khrom ditentukan oleh persentase basisitas (OH) dalam kompleks. Basisitas adalah suatu keadaan untuk menyatakan daya samak dari bahan penyamak khrom, dinyatakan dalam persen. Dalam penyamakan, dimulai dengan basisitas rendah dan diakhiri dengan basisitas tinggi. Hal itu untuk memberi kesempatan cairan khrom mengadakan difusi terlebih dahulu ke dalam jaringan kulit. Sesudah cairan khrom berdifusi merata, basisitas ditingkatkan dengan penambahan soda ash (Judoamidjojo, 1974), dengan reaksi ; Cr2(SO4)3 + 3Na2CO3 + 3H2O
2Cr(OH)3 + 3Na2SO4 + 3CO2
Penyamakan Khrom Penyamakan khrom adalah penyamakan kulit dengan menggunakan bahan penyamak khrom. Penelitian ini menggunakan Chromosal-B sebagai bahan penyamak khrom. Penyamakan dilakukan pada ember berukuran besar untuk membantu proses penyerapan zat penyamak ke dalam tenunan kulit. Penyamakan 18
khrom akan menghasilkan kulit wet blue yang merupakan produk kulit setengah jadi. Proses lebih lanjut dari kulit wet blue dapat menghasilkan kulit lapis, kulit jaket, pakaian, kulit sarung tangan, dan lain-lain. Kulit yang sudah masak tersamak dapat diketahui dengan melakukan pengetasan pada kulit. Cara untuk mengetahuinya dengan mengiris sebagian kulit, lalu direbus dengan air mendidih selama ±5 menit. Jika kulit tidak mengkerut dan tetap lemas berarti kulit telah masak tersamak. Tetapi jika kulit masih mengkerut dan kaku, maka perlu dilakukan penambahan soda kue. Pada penelitian ini pH larutan penyamak pada akhir proses mencapai 3,7. Menurut Gustavson (1956) ikatan molekul air (H2O) dengan atom khrom (Cr) terjadi karena atom Oksigen (O) dalam molekul H2O yang menyumbang dua elektron (e) untuk digunakan bersama antara grup aquo dan atom Cr. Maka Oksigen (O) dalam H2O menjadi bersifat positif dengan proses koordinasi. Muatan ini menyebabkan proton dibebaskan dari molekul H2O. Dengan terbentuknya grup hidroksil ke dalam kompleks khrom karena pembebasan sebuah proton (protolisys), terbentuklah senyawa hidroksi.
19
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Domba Mitra Tani (MT) Farm, Ciampea, Bogor. Sementara itu, pengujian fisik dilakukan di Laboratorium Balai Pengujian Mutu Barang Ekspor dan Impor, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Departemen Perdagangan RI., Ciracas, Jakarta. Dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juni 2009. Materi Kulit Domba Kulit yang digunakan pada penelitian ini adalah kulit Domba Ekor Gemuk, dan Domba Ekor Tipis dengan bobot potong yaitu sekitar 20 kg dari Peternakan MT Farm, Ciampea, Bogor masing masing tiga lembar yang sudah mengalami pengawetan garam. Bahan Kimia Bahan kimia yang digunakan terdiri dari HCl, aquades, H2SO4 pekat, NaOH 37%, teepol, busan (anti bakteri), soda kue (NaHCO3), Na2S, kapur (Ca(OH)2), ZA, oropon, NaCl, asam semut (HCOOH), chromosal-B, syntan, minyak kulit dan cat dasar (dyestuff). Peralatan Peralatan yang digunakan adalah ember plastik, pisau, gunting, timbangan, alat pengaduk, thermometer, dan tensile strength. Rancangan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap pola searah dengan tiga ulangan. Model statistik menurut Steel dan Torrie (1995) adalah sebagai berikut: Yij = µ + αi + εij 20
Keterangan : Yij =
Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-j yang memperoleh perlakuan jenis kulit domba dengan penyamakan khrom pada taraf ke-i ulangan ke-j. µ = Rataan αi = Pengaruh bangsa kulit domba ke-i, i = 1,2. εij = Galat perlakuan kulit domba ke-i, ulangan ke-j, j = 1,2,3. Data hasil analisis kuantitatif ditabulasikan dan diolah dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA). Jika sidik ragam menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Steel and Torrie, 1995). Prosedur Penelitian ini menggunakan sampel kulit domba awet garam yang diperoleh dari Peternakan MT Farm, Ciampea, Bogor. Sampel tersebut diambil berdasarkan bobot potong yang sama yaitu ± 20 kg. Kulit domba awet garam ditimbang berat awalnya untuk menentukan jumlah bahan kimia yang digunakan dalam proses penyamakan kulit. Penyamakan Kulit Penyamakan domba awet garam sesuai metode dari Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik (BBKKP) Yogyakarta untuk kulit samak tanpa bulu yaitu sebagai berikut: 1. Perendaman (soaking). Garam dapur NaCl yang menempel pada subcutis kulit dibuang kemudian kulit ditimbang dan dimasukkan ke dalam 400% air yang telah ditambahkan 0,5% teepol, 0,5% soda kue, dan 0,1 % busan (dari berat kulit awal). Kulit diaduk selama 30 menit, kemudian direndam satu malam. Selama perendaman, larutan perendaman tetap pada pH 7,5-8,5. 2. Buang bulu (dehairing). Setelah kulit dicuci, kulit dimasukkan ke dalam 200% air yang telah ditambahkan 3% Na2S secara bertahap 2 x 30 menit. Selanjutnya ditambahkan 2 % kapur 2 x 30 menit.
21
3. Pengapuran (liming). Setelah dicuci kulit dimasukkan ke dalam 200% air dan ditambahkan 2 % kapur 2 x 15 menit. Kemudian kulit direndam selama semalam. 4. Buang daging (fleshing). Dilakukan dengan menggunakan pisau buang daging (pisau konkaf). Selanjutnya kulit ditimbang untuk mengetahui berat bloten/telanjang. Berat kulit ini digunakan sebagai acuan dalam penggunaan bahan kimia pada proses selanjutnya. 5. Pembuangan kapur (deliming). Kulit yang telah dicuci dimasukkan ke dalam 200% air yang telah ditambah 1% ZA dan dilakukan pengadukan selama 60 menit. Kemudian di cek dengan thumb test. 6. Pengikisan protein (bating). Kemudian ditambahkan 1 % oropon dan diaduk selama 60 menit dan kulit dicuci. 7. Pengasaman (pickling). Dilakukan dengan memasukkan kulit ke dalam 200% air yang telah ditambah 10% NaCl, kemudian diaduk selama 10 menit. Kemudian 0,5% HCOOH 2 x 15 menit. Selanjutnya dimasukkan 1% H2SO4 dan diaduk selama 2-5 jam. Pengasaman sempurna bila pH mencapai 3-3,5 dan irisan penampang kulit berwarna kuning seluruhnya pada saat ditetesi indikator Brom Cresol Green (BCG). 8. Penyamakan (tanning). Air pickle dari proses pengasaman digunakan untuk proses penyamakan dengan ditambahkan 8% khrom. Selanjutnya dilakukan pengadukan selama 2-5 jam. Bahan penyamak khrom telah masuk sempurna ke dalam kulit dan siap dilakukan proses selanjutnya bila penampang kulit berwarna biru dengan indikator BCG. Kemudian ditambahkan 0,5% soda kue dan diaduk selam 30 menit. Soda kue 1 % dimasukkan secara bertahap 4 x 15 menit sehingga pHnya 3,8-4,2, kemudian dilakukan uji kemasakan/kerut (Boiling Test). 9. Pengetusan
(aging),
dilakukan
dengan
meletakkan
kulit
dengan
merentangkannya sampai kering dalam keadaan lembab. 10. Pembasahan kembali (wetting back). Kulit direndam ke dalam 200% air hangat (30o C) yang telah ditambah 0,2% HCOOH yang telah diencerkan. Setelah dilakukan pengadukan selama 30 menit, kulit dicuci hingga bersih. 22
11. Pemerahan (setting out). Kulit diperah dengan mesin perah (setting out machine) untuk memudahkan dalam proses penyerutan. 12. Penyerutan (shaving). Kulit diserut dengan mesin serut (wet shaving machine) sampai ketebalan kulit 0,9-1 mm. 13. Penyamakan ulang (retanning), merupakan penambahan 2% syntan ke dalam 200% air. Setelah diaduk selama 60 menit, dimasukkan 0,1% busan dan diaduk selama 15 menit. 14. Penetralan (netralization), dilakukan dengan cara memasukkan kulit ke dalam 200% air yang telah ditambahkan 1% soda kue dan dilakukan pengadukan selama 60 menit. Penetralan telah sempurna setelah larutan mencapai pH 5,55,8. Kemudian larutan dibuang dan kulit dicuci hingga bersih. 15. Peminyakan (fat liquorin), digunakan minyak 6% yang dilarutkan dengan 200% air panas dengan suhu 60 ºC. Kulit dimasukkan ke dalam larutan minyak dan diaduk selama 30-45 menit. Kemudian ditambahkan anti jamur sebanyak 0,1% pada pH 3,8-4,2 lalu kulit dicuci. 16. Pengecatan atas (top dyeing). Kulit dimasukkan ke dalam 200% air panas (60o C) dan ditambahkan 1 % S. Setelah diaduk selama 30 menit, HCOOH 0,5% ditambahkan dan diaduk selama 20 menit. Kemudian kulit dicuci hingga bersih. 17. Peracunan (poisoning). Kulit dimasukkan ke dalam 200% air hangat (30o C) yang telah ditambah 0,1% Busan WB dan diaduk selama 10 menit. 18. Pengeringan (drying). Kulit digantung di dalam ruangan selama 48 jam untuk diangin-anginkan sampai kering. 19. Pementangan (toggling). Kulit dipentang dan dimasukkan ke dalam mesin pementangan (toggling machine) yang bersuhu 40-50 oC selama 10 menit. Peubah yang Diamati Pengambilan sampel untuk mengetahui sifat fisik kulit samak khrom Domba Ekor Gemuk dan Domba Ekor Tipis, dilakukan pada bagian punggung (krupon). Kekuatan Tarik dan Kemuluran Kulit (DSN, 1990b)
23
Kekuatan tarik adalah besaran gaya yang dibutuhkan untuk menarik kulit sampai putus (kg/cm2). Kemuluran adalah pertambahan panjang kulit pada saat ditarik sampai putus dibagi dengan panjang semula dinyatakan dalam persen. Sebelum dilakukan pengujian, kulit dikondisikan pada suhu 25 ± kelembaban 63 - 67 % selama
5 ºC dan
24 ± 2 jam. Model pengujian kekuatan tarik dan
kemuluran kulit diukur pada tiga tempat berbeda; a, b, dan c dengan menggunakan Gauge Thickness dan jangka sorong, nilai yang paling kecil dinyatakan sebagai tebal dan lebar cuplikan. Sampel uji dipasang pada alat Horizontal Tensile Strength Tester dengan jarak 50 mm dan dikuatkan dengan kunci pengeras yang tersedia. Mesin dijalankan dengan kecepatan 25 cm/menit sampai contoh putus atau sampai kulit retak. Besarnya beban maksimal dalam Newton pada skala penunjuk diamati lalu dicatat. Kekuatan tarik diukur dengan rumus : Kekuatan Tarik =
G kg/cm2 , dimana: G = beban maksimal tarikan. A A = luas penampang contoh
uji (lebar x tebal). 3 cm
b
a
1 cm
c 3 cm
5 cm 11 cm Gambar 4. Model Pengujian Kekuatan Tarik dam Kemuluran. Kemuluran kulit dihitung dengan rumus : Kemuluran Kulit (%) =
L1 L 0 x 100%, dimana : L0
L0 = Panjang awal (cm). L1 = Panjang pada waktu putus (cm). Kekuatan Sobek Kulit (DSN, 1990a) 24
Sebelum diuji, cuplikan yang berbentuk lidah sesuai dengan SNI 06-17941990 diukur ketebalannya. Kemudian kedua ujung lidah cuplikan (titik BF dan FD) dipasang pada penjepit dan mesin yang dijalankan hingga cuplikan tersobek sempurna. Skala penunjuk pada Universal Testing Machine dicatat sebagai beban tarikan dan kemudian dihitung dengan rumus kekuatan sobek.
Perhitungan kekuatan sobek berdasarkan rumus : Kekuatan Sobek (kgf/cm) =
F , dimana : T
F = beban maksimum tarikan (kgf) T = tebal cuplikan (cm). a
b
1 cm e ----------------
f
1 cm c
2,5
5 cm
2 cm d
Gambar 5. Pengujian Kekuatan Sobek Model Lidah
25
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Lokasi Mitra Tani Farm (MT Farm), terletak di Desa Tegal Waru RT 04 RW 05, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Kecamatan Ciampea berlokasi di bagian Barat Kabupaten Bogor. Kecamatan Ciampea memiliki jarak 34 km dari Ibukota Kabupaten Bogor, 122 km dari Ibukota Propinsi Jawa Barat, dan 72 km dari Ibukota Negara RI Jakarta. Jarak antara Kecamatan Ciampea dengan Ibukota Negara RI Jakarta tidak terlalu jauh, sehingga memudahkan aksessibilitas ke pusat pasar Negara Indonesia. Batas-batas wilayah administrasi yang mengelilingi wilayah Kecamatan Ciampea adalah sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ranca Bungur, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Tonjolaya, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan
Dramaga,
dan
sebelah
Barat
berbatasan
dengan
Kecamatan
Cibungbulang. Secara topografi, bentuk wilayah di Kecamatan Ciampea datar sampai berombak sebanyak 45% dan berombak sampai berbukit 55%. Ketinggian yang dimiliki adalah 300 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Ciampea memiliki curah hujan yang cukup tinggi yaitu 3.614 mm/tahun, serta memiliki suhu minimum 20o C dan suhu maksimum 30o C. Kecamatan Ciampea memiliki kelembaban udara ± 70 %, hal ini berarti Kecamatan Ciampea ideal untuk perkembangan ternak termasuk ternak domba. Menurut Soeprapto dan Abidin (2006) kelembaban yang ideal untuk perkembangan ternak adalah 60-80 %, karena apabila kelembaban diatas angka tersebut populasi jamur dan parasit sangat potensial sedangkan apabila kelembaban terlalu rendah akan meningkatkan konsentrasi debu yang biasa menjadi perantara beberapa penyakit menular dan menyebabkan gangguan pernapasan. Jenis tanah yang ada di Kecamatan Ciampea adalah latosol. Sumber Air 26
Air adalah bagian dari sumber daya alam dan merupakan bahan makanan utama yang sering dilupakan oleh peternak. Tubuh ternak terdiri dari air sebanyak 70%, apabila terjadi pengurangan air hingga 20% maka akan menyebabkan kematian. Peternakan MT Farm menggunakan sumber air sumur untuk minum ternak dan diberikan secara rutin setiap hari. Selain untuk kebutuhan minum, air juga dibutuhkan untuk memandikan ternak dan menyiram sayuran organik yang ditanam di sekitar peternakan. Perkandangan Kandang yang digunakan MT Farm berbentuk panggung. Kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Kandang merupakan tempat domba hidup dan berkembangbiak bagi domba yang dipelihara secara intensif. Fungsi kandang antara lain: 1.
Melindungi ternak dari panas matahari, kedinginan, dan kehujanan.
2.
Memudahkan dalam pemeliharaan, pemberian pakan, dan minum, serta pengontrolan terhadap penyakit.
3.
Memudahkan pengambilan dan pengangkutan kotoran.
Lantai kandang terbuat dari bambu dan dinding terbuat dari bambu dan kayu. Bambu yang digunakan peternak dibelah dua dan memiliki jarak satu hingga dua sentimeter sehingga memudahkan kotoran ternak jatuh ke bawah tempat penampungan kotoran (kolong). Peternak menggunakan bambu dan sedikit kayu untuk tiang kandang. Hal ini ditujukan agar kandang memiliki ventilasi udara segar dan mengurangi kelembaban.
Gambar 6. Bangunan kandang yang digunakan di MT Farm
27
Penanganan Limbah Limbah adalah semua buangan dari usaha peternakan yang bersifat padat, cair,m maupun gas (Soehadji, 1992). Limbah yang dihasilkan di MT Farm berupa kotoran ternak, urine, dan sisa pakan ternak. Limbah ini ditangani secara sederhana, yaitu dikemas dalam wadah berupa karung kemudian diangkut ke kebun sayuran organik untuk dijadikan pupuk kandang atau dijual kepada masyarakat lain yang menginginkannya. Penanganan limbah ini tidak dijadwalkan akan tetapi ketika kotoran sudah banyak dan mengganggu lingkungan akan segera ditanggulangi. Penanganan Penyakit Penanganan penyakit pada ternak domba di MT Farm dilakukan dengan cara tradisional dan menggunakan bahan alami. Penyakit yang menyerang ternak domba di MT Farm misalnya; mencret, sakit mata, mabok, dan kembung. Cara pengobatan bagi domba yang terserang sakit mata adalah dengan meneteskan air jeruk limau ke mata domba, mabok diberi air asam atau minyak kelapa dan jika diare diberi air asem. Pakan Pakan yang diberikan pada domba di MT Farm merupakan ransum komplit. Bahan-bahan yang digunakan dalam penyusunan ransum komplit adalah dedak padi, pollard, tepung roti afkir, bungkil kopra, tetes, onggok, kacang afkir, kulit coklat, vitamin mix, kapur, garam, dan urea. Ensminger (1990) menyatakan bahwa ransum komplit memiliki keuntungan antara lain meningkatkan efisiensi pemberian pakan dan campuran ransum komplit dapat mempermudah ternak memperoleh pakan lengkap. Hartadi et al. (1990) menambahkan bahwa ransum komplit adalah makanan yang cukup gizi untuk diberikan sebagai satu-satunya makanan dan mampu memenuhi hidup pokok atau produksi tanpa tambahan bahan atau substansi lain kecuali air. Proses Pemotongan
28
Proses penyembelihan domba dilakukan secara tradisional di tempat penyembelihan yang letaknya di belakang kandang domba. Setelah dilakukan penyembelihan, domba dikuliti sampai terlepas dari tubuhnya. Proses ini dilakukan secara manual dengan menggunakan pisau. Setelah terlepas, kulit dilakukan pengawetan garam. Kulit yang telah diawetkan selanjutnya disimpan di tempat penyimpanan kulit. MT Farm memiliki suhu minimum 20o C dan suhu maksimum 30o C, serta kelembaban udara ± 70%. Menurut Soeprapto dan Abidin (2006) kelembaban yang ideal adalah 60 – 80 %, sehingga tempat tersebut bebas dari populasi jamur dan parasit. Proses pencukuran bulu domba yang dilakukan secara rutin membuat kulit domba terlihat bersih dan terbebas dari penyakit kulit. Kulit Awet Garam Sampel pada penelitian ini menggunakan kulit awet garam dari tiga ekor Domba Ekor Gemuk dan Domba Ekor Tipis. Bobot sampel kulit awet garam dapat dilihat pada Tabel 5 : Tabel 3. Rataan Bobot Kulit Awet Garam Bangsa Domba
Kulit Awet Garam (kg)
Domba Ekor Tipis
1,40 ± 0,20a
Domba Ekor Gemuk
1,77 ± 0,057b
Berat kulit awet garam Domba Ekor Gemuk nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan Domba Ekor Tipis. Hal tersebut memperlihatkan bahwa dua bangsa domba yang berbeda mempengaruhi berat kulit awet garam. Maryati (2006), mengemukakan bahwa perbedaan tingkat pertambahan bobot badan harian antara Domba Ekor Gemuk dan Domba Ekor Tipis sangat berbeda nyata pada penggemukan selama 12 minggu. Parakkasi (1999), menambahkan tingkat konsumsi dipengaruhi oleh faktor hewan yaitu bobot badan atau ukuran besarnya tubuh, bobot badan dewasa, jenis kelamin, umur, faktor genetik, dan tipe bangsa. Pengawetan kulit menggunakan garam bertujuan agar kulit tidak mengalami kerusakan oleh bakteri, dan kulit hasil penyamakan akan terlihat bagus. Menurut Fahidin dan Muslich (1999), jumlah garam yang banyak dapat mengadakan plasmolysa sel-sel mikroorganisme dan khlorida adalah racun bagi mikroorganisme. 29
Penelitian ini menggunakan kulit domba yang diawetkan dengan pengawetan penggaraman selama lima hari. Hal ini sesuai dengan penelitian Anwar (2002), yang menyatakan bahwa kadar air pada kulit domba yang diawetkan pada semua perlakuan pengawetan penggaraman mulai konstan pada hari ke-2 karena garam telah masuk ke dalam kulit dan mengangkat air yang terdapat dalam kulit. Menurut Bienkiewicz (1983) penggaraman setelah 48 jam, garam cukup untuk menjenuhkan semua air yang ada dalam kulit, kecuali yang memiliki ikatan yang paling kuat. Sifat Fisik Kekuatan Tarik Kekuatan tarik sangat penting pada industri kulit, kekuatan tarik yang tidak memenuhi standar menyebabkan kulit mudah pecah atau retak. Kulit yang akan digunakan sebagai bahan atasan sepatu/upper leather memerlukan kekuatan tarik kulit yang tinggi karena kekuatan tarik yang rendah menunjukkan kualitas serabut yang rendah. Nilai kekuatan tarik kulit domba samak khrom dari dua bangsa domba yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 6 : Tabel 4. Rataan Kekuatan Tarik (kg/cm3) Kulit Domba Samak Khrom. Perlakuan
Kekuatan Tarik (kg/cm3)
Domba Ekor Tipis
38.56 ± 2,16
Domba Ekor Gemuk
42.86 ± 2,12
Rataan
40.71 ± 2.14
Nilai kekuatan tarik kulit domba samak khrom pada kedua bangsa domba tidak berbeda nyata (P>0,05). Hasil tersebut sama dengan penelitian Anwar (2002), yang menjelaskan bahwa nilai kekuatan tarik kulit domba samak khrom dari berbagai perlakuan pengawetan penggaraman tidak berbeda nyata (P>0,05). Pengikisan protein pada penelitian ini menggunakan oropon sebanyak 1%. Bahan baku oropon pada umumnya berasal dari pankreas hewan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Pretty (2000), yang menunjukkan bahwa perlakuan yang menggunakan konsentrasi protease pankreas sapi sebesar 1% mempunyai rataan kekuatan tarik tertinggi dan nilai rataan terendah ditunjukkan oleh konsentrasi 30
protease pankreas sapi 0,25%, dan rataan konsentrasi protease pankreas sapi 1% nyata lebih tinggi dibandingkan konsentrasi protease pankreas sapi 0,25% dan 0,5%. Lama proses bating pada penelitian ini dilakukan selama 60 menit. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Pretty (2000), bahwa pada lama bating 60 menit kekuatan tarik samak memenuhi standar kulit. Kecenderungan terjadinya penurunan nilai kekuatan tarik disebabkan belum sempurnanya proses penyamakan sehingga antara bahan penyamak dengan serabut kulit belum stabil. Menurut Purnomo (1992) bahwa semakin banyak bahan penyamak khrom yang digunakan, kestabilan kulit juga semakin tinggi. Kestabilan kulit dipengaruhi oleh ikatan silang yang terbentuk antara khrom dengan protein kulit. Pengadukan pada proses penyamakan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan tangan manusia sehingga masuknya bahan penyamak khrom ke dalam kulit tidak merata. Menurut Mann (1980) penggunaan tangan pada saat pengadukan menyebabkan proses kurang efisien. Kelembaban udara ruang penyimpanan menjadi salah satu faktor penentu dalam menghasilkan tinggi rendahnya nilai kekuatan tarik kulit tersamak. Kelembaban udara yang tinggi mendorong terjadinya pemutusan rantai polipeptida dan pembengkakan kolagen. Serabut kolagen yang membengkak akan merubah sruktur kulit sehingga kekuatan tarik kulit rendah (Mustofa dan Pratiwi, 1994). Selanjutnya menurut O’Flaherty et al. (1956) bila kulit dibiarkan pada suhu dan kelembaban kamar akan mengalami kerusakan oleh karena adanya autolysis dan lysis oleh enzim dan bakteri, akibatnya kadar-kadar zat kimia khususnya protein kolagen akan berkurang. Menurut Suprapto et al. (1993) faktor yang mempengaruhi kekuatan tarik kulit diantaranya ketebalan dan struktur kulit. Kulit jadi mengalami proses buffing yaitu pengikisan bagian dalam (daging) kulit. Buffing yang dilakukan dapat menyebabkan ketebalan kulit berbeda-beda. Tebal kulit yang berbeda-beda ini akan mempengaruhi kekuatan tarik yang dihasilkan karena ketebalan kulit termasuk dalam perhitungan untuk mengukur kekuatan tarik. Penelitian ini menggunakan busan sebanyak 0,1%, hal tersebut berdasarkan pertimbangan dari penelitian Anwar (2002) yang menyatakan, bahwa penambahan 31
anti bakteri busan 0,05% memberikan nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan yang dikombinasikan 0,1% (P<0,05).
Kemuluran Kemuluran kulit sangat penting pada industri kulit, kemuluran kulit menunjukkan kemampuan kulit untuk mulur. Semakin tinggi nilai kemuluran kulit maka kulit semakin mudah longgar. Kulit yang digunakan sebagai bahan atasan sepatu, jika dalam pemakaiannya sepatu sering mengalami perenggangan maka sepatu akan bertambah longgar karena sepatu mengalami pertambahan panjang. Nilai kemuluran kulit domba samak khrom dari berbagai perlakuan bangsa domba dapat dilihat pada Tabel 7: Tabel 5. Rataan Kemuluran (%) Kulit Domba Samak Khrom. Perlakuan
Kemuluran Kulit (%)
Domba Ekor Tipis
104.03 ± 21,71
Domba Ekor Gemuk
99.25 ± 36,59
Rataan
101.64 ± 29.15
Hasil analisis keragaman (Lampiran 3) menunjukkan bahwa nilai kemuluran kulit domba samak khrom dari dua bangsa domba tidak berbeda nyata (P>0.05). Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian Anwar (2002), yang menjelaskan bahwa kemuluran kulit domba samak khrom dari berbagai perlakuan pengawetan penggaraman berbeda nyata (P<0,05) tapi pada pengujian lanjut ternyata nilai kemuluran kulit pada perlakuan pengawetan garam jenuh dan garam tidak jenuh tidak berbeda dan kedua perlakuan tersebut menghasilkan nilai kemuluran kulit yang lebih tinggi daripada perlakuan larutan garam jenuh dan penggaraman basah. Penelitian ini menggunakan kulit awet garam. Hal ini sesuai dengan penelitian Anwar (2002) yang menerangkan bahwa nilai kemuluran kulit samak khrom yang dihasilkan dari berbagai perlakuan pengawetan penggaraman memberikan nilai yang tinggi. Hal ini disebabkan dari proses peminyakan yang akan berpengaruh terhadap kemuluran kulit. Pengadukan pada proses peminyakan yang 32
dilakukan pada penelitian ini menggunakan tangan manusia sehingga masuknya minyak dalam kulit akan berbeda-beda dan tidak merata. Menurut Mann (1980), penggunaan tangan pada saat pengadukan menyebabkan proses tidak efisien. Faktor lain yang berpengaruh terhadap kemuluran kulit adalah kandungan protein kulit terutama serabut kolagen dan komposisi kimia yang terdapat dalam kulit. Putusnya serabut kolagen akan mengurangi kemampuan kulit menahan beban tarikan, sehingga kekuatan tarik turun tetapi nilai kemuluran naik, komposisi kimia berpengaruh terhadap kemuluran kulit (Roddy, 1978). Tinggi atau rendahnya kandungan asam bebas di dalam kulit samak khrom basah, mempengaruhi kemampuan emulsi minyak untuk masuk ke dalamnya. Semakin tinggi kandungan asam bebas di dalam kulit samak khrom basah, semakin rendah kemampuan emulsi minyak untuk masuk ke dalamnya. Hal ini menyebabkan makin rendah pula jumlah fiber kulit yang dilapisi oleh emulsi minyak sehingga akan menghasilkan nilai kemuluran kulit yang rendah atau sebaliknya (Oetojo, 1996). Kemuluran kulit domba samak khrom dari berbagai bangsa domba ini memberikan nilai yang cukup tinggi hal ini dipengaruhi oleh proses pasca penyamakan. Derajat kemuluran serta kelemasan juga dipengaruhi oleh proses penyelesaiannya
seperti
pementangan,
pelemasan,
dan
penghampelasan
(Purnomo,1985). Kemuluran kulit dengan nilai yang tinggi dimungkinkan karena pengaruh dari bahan penyamak khrom yang digunakan. Menurut Fahidin dan Muslich (1999) bahan penyamak khrom merupakan metode yang digunakan untuk menghasilkan kulit jadi yang lebih lemas dan lembut, daya tarik dan mulurnya (tensile strength) lebih tinggi dan memungkinkan hasil yang lebih baik bila diberi warna. Nilai kemuluran kulit yang tinggi dapat pula disebabkan oleh hilangnya elastin mulai dari pengawetan hingga penyamakan. Elastin merupakan protein fibrous yang membentuk serat-serat yang sangat elastis, karena mempunyai rantai asam amino yang membentuk sudut sehingga pada saat mendapat tegangan akan menjadi lurus dan kembali seperti semula apabila tegangan tersebut dilepaskan, sehingga hilangnya elastin pada protein kulit akan mengurangi elastisitas kulit samak (Judoamidjojo, 1974). 33
Gustavson (1956) berpendapat bahwa kulit jadi yang disamak dengan bahan penyamak khrom mempunyai ciri-ciri daya tahan terhadap panas kuat, serat-seratnya halus dan mempunyai sifat elastis yang baik, tetapi kulit mempunyai serat-serat yang kosong. Akibat adanya serat-serat yang kosong menyebabkan kemuluran tinggi. Dalam satu lembar kulit kekuatan tarik berbanding terbalik dengan kemuluran kulit. Makin tinggi kekuatan tarik, maka makin rendah kemulurannya atau sebaliknya (Kanagy, 1977). Kekuatan Sobek Salah satu penentu produk kulit adalah kekuatan sobek karena menunjukkan batas maksimum kulit tersebut untuk dapat sobek (DSN, 1990a). Nilai kekuatan sobek kulit domba samak khrom dari dua bangsa domba dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 6. Rataan Kekuatan Sobek (kg/cm3) Kulit Domba Samak Khrom. Perlakuan Kekuatan Sobek Kulit (kg/cm3) Domba Ekor Tipis
3.47 ± 0.2947
Domba Ekor Gemuk
3.57 ± 0.9194
Rataan
3.52 ± 0.607
Kekuatan sobek kulit domba samak khrom dari kedua bangsa domba tidak berbeda nyata (P>0.05). Hasil tersebut sama dengan penelitian Anwar (2002), yang menjelaskan bahwa kekuatan sobek domba samak khrom dengan perlakuan pengawetan kulit dengan menggunakan teknik penggaraman garam jenuh dan tidak jenuh yang masing-masing dikombinasikan dengan penambahan anti bakteri tidak berbeda nyata (P>0,05). Menurut Fahidin dan Muslich (1999) bahwa kulit yang disamak dengan khrom akan memiliki ketahanan sobek yang tinggi. Komposisi serat di dalam kulit juga mempengaruhi kekuatan sobek. Kolagen adalah salah satu protein serat yang merupakan komponen utama dalam kulit samak (Purnomo, 1985). Protein saat ini berperan sebagai penunjang mekanis, yang menyebabkan kekuatan pada tulang dan daya tahan sobek pada kulit (Winarno, 1989). Faktor lain yang mempengaruhi kekuatan sobek adalah tebal tipisnya kulit. Kulit yang tipis mempunyai serat kolagen yang longgar sehingga mempunyai daya 34
sobek yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kulit yang lebih tebal (Purnomo,1985). Penelitian ini menggunakan busan sebanyak 0,1%, hal tersebut berdasarkan pertimbangan dari penelitian Anwar (2002) yang menyatakan, bahwa dengan penambahan anti bakteri (Busan 40) 0,1% menghasilkan kulit yang memiliki nilai kekuatan sobek yang paling besar dan penambahan anti bakteri (Busan 40) 0,05% memiliki nilai kekuatan sobek yang paling kecil. Untari et al. (1995) menambahkan bahwa besar kecilnya kekuatan sobek sejalan dengan kadar penyamak yang terkandung dalam kulit samaknya dan penampilan fisik kulit akan mencerminkan kandungan zat penyamak di dalam kulit tersebut. Hal ini berarti bahwa besarnya kekuatan sobek menunjukkan derajat kestabilan antara bahan penyamak dengan lapisan kulit.
35
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Bangsa domba tidak banyak mempengaruhi kualitas fisik kulit samak khrom awet garam. Rataan kekuatan tarik kulit Domba Ekor Gemuk dan Domba Ekor Tipis sebesar 40.71 ± 2.14. Rataan kemuluran kulit Domba Ekor Gemuk dan Domba Ekor Tipis 101.64 ± 29.15. Rataan kekuatan Sobek kulit Domba Ekor Gemuk dan Domba Ekor Tipis sebesar 3.52 ± 0.607. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan bahan penyamak dan bobot potong yang berbeda.
36
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Sifat Fisik Kulit Samak Khrom Domba Ekor Gemuk Dan Domba Ekor Tipis Awet Garam” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis banyak dibantu berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Kedua orang tua, Bapak Sarno Holil Saputro dan Ibu Umamah, yang selalu memberikan dukungan moril maupun materil, serta Fitroch Alamsudin, dan Ika Prasentianti atas kasih sayang dan doa untuk keberhasilan penulis. 2. Ir. Komariah, MSi dan Ir. Maman Duldjaman, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dan pikiran, mengarahkan, memberi saran dan masukan ilmu yang sangat berarti serta dengan sabar membimbing penulis selama penelitian hingga penyelesaian tugas akhir ini. 3. Panitia Sidang dan Dosen Penguji Sidang, serta Dr. Jakaria, SPt, MSi selaku Pembimbing Akademik. 4. Budi Susilo Setiawan, S.Pt. dan isteri, serta Mas Tono yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian di Peternakan Domba Mitra Tani (MT) Farm, Ciampea, Kab. Bogor, Jawa Barat. 5. Pak Dadang dan Pak Budi yang telah membantu penulis melakukan pengujian fisik di Laboratorium Balai Pengujian Mutu Barang Ekspor dan Impor,
Direktorat
Jenderal
Perdagangan
Luar
Negeri,
Departemen
Perdagangan RI. 6. Retno Putri K D rekan seperjuangan minor Kewirausahaan, serta Ibnu Faris dan Ruben Paulus atas persahabatan dan dukungannya selama perkuliahan.
37
7. Seluruh teman-teman Fapet’42, IE’43, dan Agb’44 atas kebersamaan dan dukungannya. 8. Seluruh Duta Pojok BNI IPB yang telah memberi semangat, bantuan, dan persaudaraan selama ini. 9. Teman-teman di Wisma Taman Surga (WTS) dan Wisma Lampu Merah. 10. Segenap pihak yang tidak dapat disebutkan yang telah membantu penulis. DAFTAR PUSTAKA Anwar, S. 2002. Kualitas fisik dan kimia kulit samak khrom dengan berbagi metode pengawetan penggaraman. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Aten. A.R.F., dan E. Knew. 1966. Flaying and Curing of Hide and Skin as A Rural Industry. F.A.O of the United Nations, Rome. Blakely, J. dan H. Bade. 1992. Ilmu Peternakan. Terjemahan : B. Srigandono, Gadjah Mada University Press, Jogjakarta. Bienkiewicz, K. 1983. Physical Chemistry of Leather Making. Robert E. Krieger Publishing Company. Florida. Biro Pusat Statistik.1998. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jendral Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta. Bradford, G. E., J. F. Quirke, P. Sitorus, I. Inounu, B. Tiesnamurti, F. L. Bell, I. C. Fletcher dan D. T. Torell. 1986. Reproduction in Javanese sheep: Evidence for a gene with effect on ovulution rate and litter size. J. Anim. Sci 63 : 418431. Davendra, C. dan G. B. McLeroy. 1982. Goat and Sheep Production in the Tropics (Intermediate Tropical Agriculture Series). Longman Group Ltd. London and New York. Dewan Standarisasi Nasional. 1990a. SNI 06 – 1794 – 1990. Cara Uji Kekuatan Sobek Lapisan Kulit. Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Jakarta. Dewan Standarisasi Nasional. 1990b. SNI 06 – 1795 – 1990. Cara Uji Kekuatan Tarik dan Kemuluran Kulit. Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Jakarta. Edey, T.N. 1983. A course Manual on Tropical Sheep and Good Production. AUIDP. Canberra. Ensminger, M. E., J. E. Oldfield dan W. W. Heinemann. 1990. Feed and Nutrition. 2nd Edition. The Ensminger Publishing Company, California. Fahidin.1977. Pengolahan Hasil Ternak Unit Pengolahan Kulit. Sekolah Pembangunan (SNAKMA). Badan Pendidikan, Latihan dan Penyuluhan Pertanian. Departemen Pertanian. 38
Fahidin dan Muslich. 1999. Ilmu dan Teknologi Kulit. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. FAO. 2008. Prolific Tropical Sheep. In FAO Corporate Document Repository, New York. Gatenby, R. M. 1986. Sheep Production in The Tropics and Sub-Tropics. Longman Group Ltd. London. Gustavson, K. H. 1956. The Chemistry of Chrome Tanning. Past and Present. Journal of The Society of Leather Trades’ Chemists, New York. Hartadi, H., R. Soedomo dan D.T. Allen. 1990. Tabel Komposisi Pakan Untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Inoguez, L., M. Sanchez dan S. P. Ginting. 1991. Productivity of Sumatran Sheep in a System Intergrated with Rubber Plantation. Small Ruminan Research. 5:303-317. Inounu, L. dan K. Dwiyanto. 1996. Pengembangan Ternak Domba di Indonesia. Journal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. XV (3) : 61-68. Jayusman. 1981. Ilmu Bahan Pembantu Penyamakan. Balai Penelitian Kulit, Yogyakarta. Jayusman. 1990. Pengetahuan Bahan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Barang Kulit, Karet dan Plastik. Yogyakarta. Judoamidjojo, R. M., Fahidin dan Basuki. 1979. Komoditi Kulit di Indonesia. Pendidikan Keterampilan Teknis Laboratorium Pengendalian Mutu. Departemen Teknologi Hasil Pertanian. IPB. Bogor. Judoamidjojo, M. 1974. Dasar Teknologi dan Kimia Kulit. Departemen Teknologi Hasil Pertanian. FATEMETA. Institut Pertanian Bogor. Judoamidjojo, M. 1981. Teknik Penyamakan Kulit untuk Pedesaan. Penerbit Angkasa. Bandung. Kanagy, J. R. 1977. Physical and Performance Properties of Leather. Robert E. Krieger Publishing Co., Huntington. New York. Maryati. 2006. Pengaruh bangsa dan jenis kelamin terhadap performa domba selama penggemukan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mason, I.L. 1980. Conservation of Animal Genetics Resources Prolific Tropical Sheep. FAO of The United Nations. Rome. Mann, I. 1966. Teknik Penyamakan Kulit untuk Pedesaan. Diterjemahkan oleh R. M. Judoamidjojo. Angkasa. Bandung. Mann, I. 1980. Rural Tanning Techniques. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome.
39
Mulyaningsih, T. 2006. Penampilan Domba Ekor Tipis (Ovis aries) jantan yang digemukkan dengan beberapa timbangan konsentrat dan rumput Gajah (Pennisetum purpureum). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mulyono, S. dan B. Sarwono. 2003. Beternak Domba Prolifik. Penebar Swadaya. Jakarta. Mustofa, H dan V. S. Pertiwi. 1994. Pengaruh cuaca terhadap perubahan sifat tegangan putus dan perpanjangan putus berbagai jenis kulit. Penelitian. Majalah Barang Kulit, Karet dan Plastik. 60 (16): 84-89. Natasasmita, A., N. Sugana, dan M. Duljaman. 1979. Pengaruh penggunaan pejantan sulffolk terhadap prestasi produksi domba priangan betina dan prospeknya bagi pengembangan peternakan domba rakyat. Prosiding LPP. Bogor. 246252. Oetojo, B. 1996. Penggunaan Campuran Kuning Telur dan Putih Telur untuk Peminyakan Kulit. Majalah Barang Kulit, Karet, dan Plastik. 12 (24) :47-53. O’ Flaherty, F. O., W. T. Roddy dan R. M. Lollar. 1956. The Chemical and Technology of Leather. Reinhold Publishing Corporation. New York. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. UI Press. Jakarta. Pretty, D. 2000. Pemanfaatan Protease Pankreas Sapi Untuk Proses Bating Pada Pembuatan Kulit Jaket. Skripsi.Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Purnomo, E. 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. Akademi Teknologi Kulit. Departemen Perindustrian. Yogyakarta. Purnomo, E. 1991. Penyamakan Kulit Reptil. Kanisius. Yogyakarta. Purnomo, E. 1992. Penyamakan Kulit Kaki Ayam. Kanisius. Yogyakarta. Roddy, W. T. 1978. Histology of Animal Skin. Robert E. Krieger Publishing Co., Huntington. New York. Sabrani, M., T. Sitirus, M. Rangkuti, Subandrio, I.W. Mathius, T. D. Sudjana dan A. Semali. 1982. Breeding dan Reproduksi. Laporan Survey Baseline Ternak Kambing dan Domba. SR-CRSP Ciawi-Bogor. Balai Penelitian Ternak. Sharpouse, J. H. 1978. Leather Technician’s Handbook. Leather Producers Association. London. Sistem Informasi Bank Indonesia. 1997. sistem informasi pola pembiayaan/
lending model usaha kecil. http://www.bi.go.id/. Soehadji.1992. Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Industri Peternakan dan Penanganan Limbah Peternakan. Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian. Jakarta. Stanley, A. 1993. Preservation of rawstock. Leather The International Journal. 195 (4662) Dec. 1993 : 27-30. 40
Steel, R. G. D., dan J. H. Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistik. Terjemahan. B. Sumantri. 1989. PT. Gramedia. Jakarta. Sumoprastowo, R.M. 1987. Beternak Domba Pedaging dan Wool. Bharata Karya Aksara, Bandung. Suprapto, H dan Z. Abidin. 2006. Cara Tepat Penggunaan Sapi Potong. PT. Agro Media Pustaka. Jakarta. Suprapto, S., Pertiwi dan Widhiati. 1993. Pengaruh perbedaan lama pengawetan terhadap kekuatan tarik dan kemuluran kulit kaki ayam pedaging samak khrom. laporan penelitian. BBKKP. Yogyakarta. Sutama, I. K. 1992. Domba Ekor Gemuk di Indonesia potensi dan permasalahannya. Prosiding Sarasehan Usaha Ternak Domba dan Kambing Menyongsong Era PJPT II. Bogor, 13-14 Desember 1992, ISPI-HPDKI, Bogor. Pp 78-84. Tancous, J. J., W. T. Roddy dan Fred O’ Flaherty. 1981. Defek-defek pada Kulit Mentah dan Kulit Samak. Diterjemahkan oleh Muljono Judoamidjojo. Penerbit Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Thorstensen, T. C. 1985. Practical Leather Technology. Robert E. Krieger Publishing Co., Huntington. Florida. Tiesnamurti, B. 1992. Alternatif pemilihan jenis ternak ruminansia kecil untuk wilayah Indonesia Bagian Timur. Potensi ruminansia kecil Indonesia Bagian Timur. Prosiding Lokakarya Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat. BPT, Bogor. Untari, S., M. Lutfie dan Dadang. 1995. Pengaruh pelarut lemak didalam proses pelarutan lemak pada penyamakan kulit itik ditinjau dari sifat fisiknya. Jurnal Nusantara Kimia. 10 (1.2). Yogyakarta. Widowati, T. P., Murwati dan J. Susila. 2000. Pengaruh penambahan anti bakteri terhadap perbanyakan sel bakteri yang ada pada kulit mentah. Seminar Nasional Industri Kulit Karet dan Plastik. Yogyakarta : 216-221. Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Diterjemahkan oleh Djiwa Darmadja. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Winarno, F. G. 1989. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia. Jakarta.
41
LAMPIRAN
42
Lampiran 1. Sidik Ragam Kulit Domba Awet Garam. Source
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F
P
Bangsa Domba
1
0,20167
0,20167
0,20167
9,31
0,038
Error
4
0,08667
0,08667
0,02167
Total
5
0,28833
S = 0,147196 R-Sq = 69,94% R-Sq(adj) = 62,43% Lampiran 2. Sidik Ragam Kekuatan Tarik Kulit Domba Samak Khrom Source
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F
P
Bangsa Domba
1
27.692
27.692
27.692
6.03
0.070
Error
4
18.370
18.370
4.593
Total
5
46.062
S = 2.14302 R-Sq = 60.12% R-Sq(adj) = 50.15% Lampiran 3. Sidik Ragam Kemuluran Kulit Domba Samak Khrom Source
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F
P
Bangsa Domba
1
34.4
34.4
34.4
0.04
0.855
Error
4
3620.6
3620.6
905.1
Total
5
3655.0
S = 30.0857 R-Sq = 0.94% R-Sq(adj) = 0.00%. Lampiran 4. Sidik Ragam Kekuatan Sobek Kulit Domba Samak Khrom
43
Source
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F
P
Bangsa Domba
1
0.0442
0.0442
0.0442
0.09
0.773
Error
4
1.8644
1.8644
0.4661
Total
5
1.9086
S = 0.682709 R-Sq = 2.32% R-Sq(adj) = 0.00% Lampiran 5. Peta Kecamatan Ciampea
44
45