SILVAPASTURA SEBAGAI SUATU JAWABAN UNTUK PENYEDIAAN HIJAUAN PAKAN DALAM PENGEMBANGAN SAPI PERAH: STUDI KASUS PENGEMBANGAN PETERNAK SAPI PERAH RAKYAT DI DESA CI.TAMBU, TANJUNGSARI, SUMEDANG (Silvopastoral as a Answer for Forage Avaibility in Dairy Farm Development: Case of Smallholder Dairy Farmer Development at Cijambu Village, Tanjungsari, Sumedang) MANSYUR,
Tut DEJat,ncn dan HARUN
DJuNED
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung
ABSTRACT Limited land is a common problem in ruminant development for grown forage crops . On the other side, forestry have been depressed due to illegal logging of timber and cultivated land for food crops, so that forest couldn't play of the roles and was left as critical land. Forest management without people participation from boundary forest will depress on forest . Social and economic function of forest were not taken by people . Corporate forest management strategy is applied as s mean to keep sustainability of forest. The activity of farmer at Cijambu Village grown forage crops under pine forest was more possible to be developed . Farmers grew managed forage production by cut and carry systems, in the case Naiper grass, for his dairy cows, so forage need was fulfilled . Farmer had the obligation to keep and care to main tree of forest. Growing grass under forest keep hydrology function, because grasses can catch precipitation effectively. Perhutani as government forest management get higher benefits, such as rental land from farmers and keep main their tree from illegal logging . By silvopastural, fores can plays ecology and economic functions . Keywords : Forage, forestry, and silvopastoral ABSTRAK Keterbatasan lahan merupakan masalah umum dalam pengembangan ternak ruminansia untuk penanaman hijauan pakan. Pada sisi yang lain, kehutanan terus mengalami degradasi sebagai akibat proses penjarahan kayu dan lahan sehingga hutan tidak dapat menjalankan fungsinya dan meninggalkan banyak lahan kritis. Pengelolaan hutan tanpa melibatkan masyarakat sekitar hutan hanya akan makin meningkatkan tekanan terhadap hutan . Fungsi sosial dan ekonomi hutan tidak diperoleh oleh masyarakat . Strategi pengelolan hutan bersama masyarakat (PHBM) merupakan salah satu cara untuk tetap menjaga kelestarian hutan . Kegiatan PHBM di Desa Cijambu melalui menanam tanaman pakan di bawah naungan hutan (silvapastura) sangat menjanjikan untuk dikembangkan. Peternak menanam rumput potongan, dalam hal ini rumput gajah, untuk diberikan kepada sapi perahnya, sehingga kebutuhan lahan untuk penaman hijauan terpenuhi . Selain itu, peternak mempunyai kewajiban menjaga dan memelihara tanaman utama kehutanan . Penanaman rumput akan tetap membantu menjaga hutan dapat menjaga fungsi hidrologis, karena rumput merupakan penangkap air yang sangat efektif. Pengelola hutan (Perhutani) mendapat keuntungan dari uang sewa petani, dan terpelihara dan terjaga tanaman dari penjarahan . Melalui silvapastora, hutan akan tetap dapat menjalankan fungsi ekologis dan ekonomi . Kata kunci : Hijauan, kehutanan, dan silvapastora
177
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas - 2020
PENDAHULUAN Peningkatan permintaan akan produk peterakan seperti susu terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Ada dua hal yang sangat nyata mempengaruhi peningkatan permintaan susu tersebut, yaitu kesadaran akan kebutuhan gizi dan peningkatan pendapatan masyarakat. Perlahan tapi pasti dalam beberapa tahun belakang ini terjadi peningkatan konsumsi susu segar dan produk hasil olahannya. Sementara itu produksi susu segar dalam negeri belum dapat memenuhi kebutuhan, sehingga perlu dilakukan import susu dan produk olahannya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Nilai import produk susu menempati urutan tertinggi sebesar 63% dari seluruh nilai import temak dan produk hasil temak (DuuEN PETERNAKAN, 2007). Pada sisi lain, harga susu di pasaran dunia semakin meningkat, menyebabkan industri pengolahan susu (IPS) melirik produksi susu dalam negeri untuk memenuhi kebutuhannnya . Pada akhimya, berapapun produksi susu dalam negeri akan diserap oleh IPS, tentunya dengan harga yang disesuaikan dengan kualitas susu yang dihasilkan . Kenyataan ini yang mendorong pengembangan peternak sapi perah cukup menjanjikan . Para peternak sapi perah di beberapa sentra pengembangan sapi perah mulai terlihat adanya peningkatan kesejahteraan . Walaupun begitu bukan berarti tidak ada permasalahan dalam pengembangan petemakan sapi perah ini . Setidaknya ada dua permasalah yang cukup krusial dalam peningkatan pengembangan budidaya petemak sapi perth ini, yaitu daya dukung pakan dan ketersediaan bibit unggul sapi perah . Pada peternakan sapi perah rakyat yang sudah ada, permasalahan utama dalam pengembangan sapi perah adalah ketersediaan hijauan pakan (SETIADI, 2007) . Sebenarnya ini merupakan masalah klasik, ketidaktersediaan hijauan pakan disebabkan karena tidak adanya lahan untuk penanaman hijauan pakan. Persaingan dengan kebutuhan lain manusia, seperti pemukiman, membuat petemakan selalu tersingkirkan . Padahal lahan merupakan salah satu komponen penting dalam ekosistem bioindustri petemakan bersama komponen Iainnya seperti peternak, temak, dan teknologi (SOEHADJI, 1994) .
1 78
Walaupun begitu, bukan berarti tidak sama sekali tidak tersedia lahan yang dapat digunakan untuk pengembangan peternakan . Pada dasarnya kegiatan usaha petemakan dapat menjadi komplemen dan suplemen dari program-program pemanfaatan lahan dari sektor-sektor lainnya seperti tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan, transmigrasi, dan peningkatan desa tertinggal (SOEHADJI, 1994), sehingga kegiatan di sektorsektor tersebut dapat dipadukan dan diintegrasikan dengan kegiatan petemakan menjadi suatu usaha tani yang terpadu . Menurut DELGADO et al. (1999) menyatakan salah satu teknologi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas temak adalah dengan melakukan sistem pertanaman campuran atau integrasi ternak dengan tanaman. Faktanya menunjukkan bahwa penyediaan hijauan pakan untuk temak rumnansia banyak berasal dari lahan-lahan yang lain yang terintegrasi dengan peternakan (ABDULAH et al. 2005 .) . Salah satu peluang integrasi yang dapat dikembangkan untuk pengembangan sapi perah adalah integrasi dengan kehutanan . Hutan-hutan produksi yang berada di daerah dataran tinggi dapat digunakan sebagai tempat untuk menanam hijuan pakan . Konsep ini dikenal dengan sistem silvopastoral . Sistem silvopastoral terbukti dapat memberikan manfaat secara ekonomi, sosial, dan lingkungan (MOSQUERALASODA et a!., 2005) dan dapat memberikan kesejahterann bagi manusia (COPLAND et a!., 1994). Contoh pemanfaatan sistem silvopastoral dalam pengembangan petemakan sapi perah dapat dilihat ada di Desa Cijambu Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang . Pada tulisan ini akan dibahas pemafaatan silvopastoral dalam pengembangan peternakan sapi perah di wilayah tersebut sebagai suatu konsep integrasi ditinjau dari sistem produksi, manfaat dan pennasalahan yang timbul dari sistem yang ada, serta berusaha mencari beberapa solusi untuk mengatasi permasalahan yang timbul dalam pengembangan silvopastoral tersebut . Kondisi umum Cijambu Desa Cijambu terletak di Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang, berada
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas - 2020
dibawah kaki Gunung Manglayang. Ketinggian tempat berada pada kisaran 1 .200 meter diatas permukaan taut. Rataan temperatur harian sekitar 21 °C, dengan intensitas curah hujan sebesar 4.000 mm per tahun. Sebagaian besar penduduknya bermata pencaharian sebaga petani, dengan tata guna lahan terdiri dari sawah teknis 89,406 ha, sawah setengah teknis 2 ha, lahan kering 168,14 ha, hutan lindung 992 ha, hutan produksi 48 ha, perkebunan rakyat 34 ha, pekarangan 4,7 ha (PEMDA SUMEDANG, 2007). Jenis ternak yang dipelihara di masyarakat meliputi ternak ruminansia dan unggas . Jumlah temak ruminansia terdiri dari domba 3000 ekor, sapi potong dan perah 791 ekor, sedangkan unggas terdiri dari ayam buras 2500 ekor, dan kelinci 100 ekor (DAvrAR ISIAN DESA CIJAMBU, 2007) . Populasi ternak sapi perah merupakan populasi yang tertinggi . Jumlah peternak yang terlibat dalam usahatemak sapi perah sebanyak 400 orang, dan semuanya tergabung dalam satu kelompok petemak sapi perah Mekarsawargi, dengan kepemilikan sapi perah berkisar antara I - 10 ekor, dengan rataan kepemilikan 2 ekor. Produksi susu segar 792 ribu kg per tahun. Harga pembelian susu peternak di Desa Cijambu oleh KSU Tandangsari berkisar Rp . 2700 per liter. Perkembangan peternakan sapi perah di Desa Cijambu dimulai pada saat perintisan pengembangan KUD Tanjungsari (berubah menjadi KSU Tandangsari) pada awal tahun 1980an, karena secara pendekatan teknis dan agroklimat Cijambu lebih memungkinkan untuk pengembangan petemakan sapi perah . Pada saat itu perkembangan pemeliharaan sapi perah tidak begitu mendapat respons yang cukup baik dari masyarakat . Hal ini disebabkan keunggulan komparatif usahaternak sapi perah masih lebih rendah dibandingkan dengan usahatani hortikultura (sayuran dan tembakau) yang mereka lakukan pada saat itu . Akhirnya pengembangan usahatemak sapi perah KUD Tanjungsari lebih dialihkan ke daerah timur Kecamatan Tanjungsari . Pada daerah tersebut usahatemak sapi perah cukup berkembang dengan baik, karena keunggulan komparatif usahatemak sapi perah lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani pertanian lahan kering yang hanya menanam singkong dan umbi batang.
Usahaternak sapi perah di Cijambu mulai mendapat perhatian pasca terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997. Secara perlahan namun pasti, usahatemak sapi perah berkembang dengan pesat di Cijambu, dan dapat membantu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani . Kepemilikan lahan yang makin sempit dan usahatani untuk menanam sayuran yang selalu mengalami ketidakpastian harga membuat para petani yang beralih profesi menjadi petani peternak sapi perah. Hal ini makin menegaskan bahwa memelihara temak dapat membantu meningkatan pendapatan para petani yang miskin dan mempunyai lahan dengan kepemilikan yang sempit dengan memanfaatkan sumberdaya milik umum (WORLD BANK, 1999 ; TURNER, 2004), seperti lahan pengangonan, pinggiran jalan, dan pinggiran hutan . Pada saat itu sampai sekarang, usahaternak sapi perah bagi masyarakat Cijambu lebih memberikan pendapatan lebih konstan . Hal ini sejalan dengan HOLMAN et al. (2005) yang menyatakan bahwa usahatemak dapat menyediakan pendapatan yang lebih pasti dan mereduksi ketidakpastian dari produksi pertanian . Peluang pengembangan peternakan sapi perah di Desa Cijambu sangat menjanjikan . Permasalahan ketersediaan penyediaan hijauan pakan bagi peternak di daerah tersebut telah dapat diatasi dengan sistem silvopastoral pada lahan perhutani. Keberhasilan pembuatan silvopastoral swadaya masyarakat peternak dengan perhutani dan lembaga masyarakat desa hutan mendorong Pemerintah daerah Kabuputan Sumedang untuk memperluas lagi sistem silvopastoral untuk memenuhi kebutuhan hijauan anggota KSU Tandangsari yang berada diluar Cijambu pada tahun 2007, dan pada tahun 2008 Pemda Sumedang berencana membuka sistem silvopastoral untuk memenuhi kebutuhan hijauan untuk industri pengawetan hijauan berupa hay yang juga berlokasi di Cijambu . Selain itu, dari sudut pandang yang lebih luas lagi pengembangan usaha sapi perah akan tetap menjanjikan . Hal ini didasarkan pada (i) permintaan dan konsumsi domestik akan produk susu yang terus mengalami peningkatan, (ii) harga susu impor yang lebih mahal dibandingkan harga susu lokal, (iii) ketersediaan sumberdaya dan teknologi, (iv)
1 79
Semiloka Nasiona! Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas - 2020
tidak bertentangan dengan kondisi sosial budaya masyarakat (DIwYANTO et al., 2007), dan yang paling penting (iv) sudah terbangunnya infrastruktur pemasaran dan pelayanan koperasi yang sudah mulai profesional. SILVAPASTURA CIJAMBU Pada awalnya pengembangan sistem silvopastoral dimulai pada saat masyarakat peternak yanga ada di Desa Cijambu mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan akan hijauan untuk pakan ternak sapi perahnya. Seperti umumnya para petani di Indonesia, skala kepemilikan lahan yang kecil menjadi kendala dalam pengembangan peternakan untuk menyediakan hijauan pakan . Sementara itu, lahan perhutani yang merupakan hutan produksi hanya ditanami monokultur dengan menggunakan pinus. Akhirnya melalui proses perundingan yang cukup panjang antara perhutani dengan para aparat desa, tokoh masyarakat, dan peternak Cijambu dicapai kesepakatan penggunaan lahan kehutanan untuk menanam hijauan pakan. Sistem ini yang selanjutnya disebut silvopastoral. Silvopastoral merupakan salah satu kegiatan yang ada dalam agroforesty yang mengintergrasikan antara tegakan pohon, tanaman pakan, dan temak dalam suatu kegiatan yang tersturuktur dan menggambar berbagai interaksi (CLASON dan SHARROw, 2000) . Tujuan silvopastoral sendiri bagaimana dapat mengoptimalkan ketiga komponen tersebut . Pada sistem tersebut tegakan pohon diatur untuk menghasilkan kayu gelondongan yang bernilai tinggi, dan mengelola vegetasi dibawah tegakan yang berupa tanaman pakan untuk dapat disajikan atau digembalakan oleh ternak. Suatu design sistem silvopastoral yang baik akan memberikan kepuasan yang memenuhi tiga kriteria, yaitu produktivitas, keberlanjutan dan kemampuan beradaptasi (LADYMAN et al., 2003) . Silvopastoral di Cijambu sampai hari ini baru diarahkan untuk mengoptimalkan produktivitas tanaman pakan untuk menyediakan hijauan pakan . Tanaman pakan yang ada dipanen dengan cara dipotong dan disajikan ke temak yang berada di kandang-masing-masing petemak yang terletak
1 80
relatif cukup jauh dari lokasi . Sistem silvopastoral di Cijambu sebenamya lebih menyerupai perkebunan rumput (Grass estate) yang ditumpangsarikan dibawa tegakan hutan pinus. Silvopastoral ini lebih dikenal dengan debutan emulated silvopasture system, yaitu sistem silvopasture yang tidak ada componen temaknya (BUERGLER et al., 2005) . Ada tiga variasi pilihan pada saat awal pengembangan silvopastoral, antara lain (i) menanam tanaman pakan pada saat umur tanaman kehutanan masih muda, (ii) menanam tanaman pakan pada saat umur tanaman kehutanan sudah dewasa, dan (iii) menanam tanaman pakan secara simultan bersamaan dengan tanaman kehutanan (WHIm, 2005) . Adapun pengembangan sistem silvopastoral di Desa Cijambu merupakan silvopastoral yang dibangun dengan menggunakan pilihan yang kedua, yaitu dilakukan penaman tanaman pakan pada saat tanaman kehutanan (pinus) sudah dewasa. Silvopastoral yang ada di Cijambu seluas 38 ha, terdiri dari 28 ha pengembangan yang pertama, 10 ha adalah pengembangan tahap dua sebagai bantuan Pemda Sumedang tahun 2007. Pada tahun 2008 akan dikembangkan lagi seluas 50 ha untuk mendukung kecukupan pakan dengan dibuat bentuk loan berupa hay. Ada beberapa alasan untuk peternak di Cijambu dalam melaksanakan sistem silvopastoral . Pertama, kebutuhan pakan hijauan untuk pakan ternak sapi perahnya, karena kegiatan usaha sapi perah dianggap mampu meningkatkan stabilitas ekonomi mereka, sehingga keberlangsungan usahatemak sapi perah ini perlu terus dipertahankan . Salah satunya dengan selalu tersedianya pakan hijauan bagi ternak mereka . Kedua, adanya keinginan untuk meningkatkan atau mengoptimalkan penggunaan sumberdaya alam yang lain, berupa lahan kehutanan, agar memberikan manfaat yang lebih tinggi . Petemak sangat menyadari bahwa sumberdaya lahan yang dimilikinya tidak akan mampu mendukung usaha peternakan sapi perahnya secara optimal . NILAI STRATEGIS SILVOPASTURA CIJAMBU Sistem silvopastoral diakui dapat memberikan manfaat secara ekologis,
Semiloka Nasional Prospek /ndustri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas - 2020
ekonomi, dan sosial bagi masyarakat (MOSQUERA-LASODA et al., 2005). Kehadiran silvopastoral di hutan merupakan suatu bentuk pengelolaan hutan yang menempatkan kehutanan sebagai suatu bagian dalam kerangka pengembangan pembangunan wilayah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan . Masyarakat Cijambu yang bermata pencaharian sebagai petemak sapi perah dilibatkan sebagai sistem bagian dari sistem dalam mengusahakan dan mengelola lahan kehutanan, sehingga tercipta suatu manfaat yang sinergis baik secara ekologi, ekonomi dan sosial bagi masyarakat Cijambu maupun Perhutani . Berikut ini adalah beberapa manfaat yang diperoleh dari sistem silvopastoral di Cijambu. Diversifikasi produksi hutan dan peningkatan produktivitas lahan Hijauan yang dihasilkan dari sistem silvopastoral merupakan suatu bentuk diverisfikasi produk yang dihasilkan dari lahan kehutanan . Produks hutan yang dihasilkan oleh lahan kehutan di Cijambu tidak hanya produks konvensional hutan, yaitu kayu pinus dan getah pinus, tetapi ada produk lain yaitu pakan temak . Hal ini memperlihatkan bahwa sistem silvopastoral merupakan salah satu bentuk dalam pengelolaan hutan bersama masyarakat yang baik, dimana salah satu karakterisk terpenuhi, yaitu memaksimalkan produk nonkayu yang dapat digunakan untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan (SIMON, 2008), dalam hal ini adalah kebutuhan hijauan pakan. Dengan adanya produks lain non kayu yang dihasilkan pada sistem silvopastoral yang dibangun di Cijambu ini berarti adanya peningkatan produktivitas lahan persatuan luas . Biasanya sistem silvopastral secara keseluruhan telah dapat meningkatkan produktivitas per unit lahan dibandingkan dengan hanya menanam tanaman kehutanan saja (CLASON, 1995 ; SHARROW et al., 1996). Konservasi tanah dan air Salah satu penyebab terjadinya banjir dan kekeringan adalah kesalahan dalam
pengelolaan hutan, dimana banyak hutan dibuka digunakan untuk keperluan pertanian tanaman pangan dan sayuran tanpa didukung oleh pengelolaah yang baik . Hal ini yang menyebabkan turunnya fungis hidrologis hutan. Lahan langsung dibuka dan dibiarkan tanpa vegetasi yang lain, sehingga pada saat terjadi hujan air langsung hanya sedikit yang dapat diserap dan sebagian besar pergi menjadi air permukaan, selanjutnya tentunya menjadi banjir yang melanda daerah yang lebih rendah. Selain itu, bersama aliran air tersebut ikut terbawa topsoil tanah yang kaya akan hara dan bahan organik. Tanah-tanah cepat mengalami asam, karena banyak kation-kation tanah yang tercuci. Sebaliknya pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kekurangan yang lebih cepat terjadi . Hal ini disebabkan rendahnya daya tangkap lahan pada saat hujan, sehinga air yang ditampung dalam jumlah yang lebih kecil . Keberadaan tanaman pohon dan semak, seperti dalam kombinasi silvopastoral, tidak diragukan lagi dapat memproteksi terhadap erosi dan melindungi lahan-lahan peranian . Selain itu, tanaman tersebut dapat meningkatkan serapan air dan kemampuan retensi (kecepatan infiltrasi dan kapasitas lapang) tanah . Hasilnya akan lebih besar ketersediaan air bagi tanaman, periode pertumbuhan yang dapat diperpanjang, total produksi tanaman akan meningkat, dan tentunya tanah akan terlindungi oleh vegetasi sepanjang tahun (KOTSCHI et al., 1990) . Keberadaan tanaman pakan di tegakan tanaman kehutanan dapat membantu mempertahankan nutisi hara dibandingkan dengan tanpa tanaman pakan, dan selanjutnya akan meminimalkan kehilangan hara dari lahan kehutanan (MICHEL et al, 2003) . Peningkatan pendapatan Sistem silvopastoral secara tidak langsung dapat membantu menggerakan roda ekonomi pedesaan . Keberadaan kebun rumput pada areal kehutanan, bagi peternak sapi perah dapat melakukan efisiensi dan efektivitas dalam pengadaan hijauan pakan . Biaya dan waktu yang diperlukan dalam pengadaan hijauan pakan besar, dan akan lebih meningkat lagi pada saat musim kemarau . Biaya yang untuk
18 1
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas - 2020
pengadaan hijauan pakan dapat ditekan waktu yang dicurahkan lebih sedikit, sehingga mereka dapat mencurahkan waktu lainnya dapat dicurahkan untuk melakukan usaha yang lain. Peningkatan pendapatan juga secara langsung dirasakan ol .;h pengelola lahan kehutanan (Perhutani). Pendapatan ini diperoleh dari sewa lahan yang dibayarkan kepada Perhutani dari peternak . Biaya sewa yang dikeluarkan sebesar Rp. 25 ribu setiap kali dilakukan pemanenan untuk seluasan lahan 1400 m 2. Pendapatan Perhutani dari penyewaan lahan untuk rumput dalam satu tahun setiap hektar lahan minimal dapat mencapai Rp . 1,050 juta. Suatu nilai sewa yang cukup tinggi dan sangat menjanjikan sebagai sumber pendapatan . Kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati Kehadiran peternak yang mengelola atau melakukan tumpangsari tanaman pakan di lahan kehutan berkewajiban membantu mengawasi dan menjaga tanaman kehutan dari percurian kayu. Perambahan hutan oleh masyarakat biasanya disebabkan oleh ketidaksejahteraan masyarakat yang tinggal di daerah sekitar hutan (SIMON, 2006 dan SIMoN, 2008) . Kehadiran usahaternak sapi perah dapat membantu meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar, sehingga perambahan hutan dapat diminimalkan . Selain itu, peternak yang menanam rumput memelihara tegakan tanaman hutan, seperti pengendalian gulma dan pemberian pupuk . Pengelolaan hutan yang baik adalah pengelolaan hutan yang mempertahankan peranan hutan dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup serta melindungi sumber keanekaragam hayati . Keanekaragaman hayati lebih meningkat setelah dilakukan dalam bentuk sistem integrasi (FUNES-MoNzATE dan MONZATE, 2001). CROWE dan McADAM (1992) bahwa pada sistem silvopastoral lebih banyak keragaman tanaman dibandingkan dengan padang rumput yang terbuka. Manfaat tambahan Dalam kontek global, sistem silvopastoral dapat dijadikan suatu mekanisme untuk
1 82
membuat suatu sistem penggunaa lahan yang dapat menangkap karbon yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistim pastura monokultur, dan dapat digunakan untuk menekan pengaruh dari perubahan iklim (MoSQuERA-LASODA et al., 2005). Sistem silvopastoral dengan menggunakan tegakan pinus dalam 20 tahun secara terus menurus dirotasi dengan luas 4000 m2 dapat mengabsorsi karbon dioksida sekitar 145-220 ton (CANNEL, 1999 dan GRIERSON et al., 1992). Suasana yang segar dengan pemandangan lanskep yang bagus, sehingga kalo kita berada di silvopastural memberikan suasana yang menyenangkan dan seperti berada di suatu taman rekreasi nasional . Kondisi ini memberikan peluang untuk mengembangkan silvopastoral tersebut sebagai tempat ekowisata, dengan sentuhan sedikit dan perbaikan prasarana jalan dapat mempromosikan daerah tersebut sebagai tujuan wisata alam . MASALAH YANG PERLU DIPECAHKAN Pemanfaatan daerah kehutanan untuk penanaman rumput di Desa Cijambu bukan tidak mempunyai permasalah, seperti umumnya permasalahan dalam pengembangan silvopastoral di daerah lain, permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan silvopastoral di Desa Cijambu meliputi : terjadi persaingan antara tanaman kayu dengan tanaman pakan, persintensi tanaman pakan terhadap naungan, dan permasalahan kesuburan tanah . Hal ini senada dengan yang disampaikan VEIGA dan SERRAO (1990) keterbatasan utama dalam pengembangan sistem silvopastoral adalah kerusakan tanaman muda oleh pengembalaan temak, persistensi tanaman pakan yang disebabkan oleh naungan, mempertahankan kesuburan tanah, dan invasi gulma. Kerusakaan tanaman muda oleh ternak dan invasi gulma tidak terjadi dalam pengembangan silvopastoral . Hal ini dikarenakan pada sistem silvopastoral tidak menerapkan sistem penggembalaan temak secara langsung, tetapi menggunakan pengelolaan sistem potong dan angkut (cut and carry system), dan ternak tetap dikandangkan di masing-masing petemak . Pengendalian gulma dilakukan bersamaan pada saat
Semiloka Nasional Prospek Indusiri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas - 2020
pemanenan rumput, jenis jenis tumbuhan yang tidak dapat dikonsumsi oleh ternak dan berpotensi akan menggangu pertumbuhan tanaman pakan dibabat atau dicabut . Gulma yang sering hadir adalah kirinyuh (Chromolaena odorata), gulma ini apabila dibiarkan akan berpotensi mengurangi potensi produksi hijauan. BAMUALIM et al . (1990) melaporkan bahwa C. odorata telah menginvasi padang penggembalaan alam dan sudah mengurangi potensi ketersediaan pakan di Nusa Tenggara. Pemotongan gulma ini secara rutin bersamaan dengan waktu panen akan membantu pengendaliannya dan gulma ini tidak tahan terhadap intensitas pemotongan (MANSYUR et al., 2005) . Persaingan antara tanaman kayu dengan tanaman pakan Penanaman dua atau lebih jenis tanaman sama atau berbeda pada suatu hamparan yang sama tentunya akan menghasilkan berbagai interaksi diantara jenis tanaman. SOERJANI (1976) menyebutkan ada enam jenis interaksi, yaitu neutralisme, kompetisi, amensalisme, dominasi, komensalisme, dan protokooperasi . Interaksi yang berupa kompetisi (persaingan) dan dominasi merupakan jenis interaksi yang tidak diharapkan dalam sistem pertanaman campuran . Pada sistem silvopastoral, persaingan sumberdaya (cahaya, air, hara, dan ruang hidup) akan terjadi antara tanaman pohon dengan tanaman pakan. Persiangan ini lebih disebut dengan persaingan interspesies (inter spesific competition), yaitu persaingan antar tanaman yang berbeda spesies (MOENANDIR, 1993) . Pengaruh naungan dapat diminimalisasi dengan cara mengelola tegakan hutan dan memilih spesies tanaman pakan yang tahan naungan . Menurut NASRUM (1983) rumput gajah masih dapat bertahan dengan tingkat naungan 50% dibawah tegakan hutan jati. Pengelolan tegakan untuk meningkatkan transmisi cahaya dapat dimodifikasi seperti mengatur kepadatan tanaman maupun dengan penjarangan. Jarak tegakan tanaman yang lebar akan membantu meningkatkan transmisi cahaya dan produksi hijauan pakan, tetapi kadang kala pada kepadatan tegakan yang
rendah, pohon biasanya cenderung mempunyai banyak percabangan yang mengurangi kualitas kayu yang dihasilkan (GUTTERIDGE dan SHELTON, 1994). Persaingan dibawah tanah tergantung kepada kondisi iklim, keadaan tanah itu sendiri, dan sifat dari tanaman . Tegakan pohon mengambil hara pada bagian tanah yang dalam, sedangkan tanaman pakan dari dekat permukaan tanah . Hal ini tidak selalu begitu, jenis leguminosa dapat mempunyai perakaran yang dalam dan bisa mencapai 50 cm, sehingga memungkinkan terjadinya persaingan (NULIK, 1994). Pada tanah yang asam, sistem perakaran akan terkonsentrasi di permukaan tanah untuk menghindari keasaman, sehingga memungkinkan terjadinya persaingan di daerah dekat permukaan tanah (FERNANDES et al., 1990). Untuk menghindari terjadinya persaingan unsur hara dan air perlu mengetahui karakteristik tanaman, iklim, dan keadaan tanah itu sendiri. Persintensi tanaman pakan terhadap naungan Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih tanaman pakan yang akan dikembangkan dalam sistem silvopastoral, antara lain (i) apakah cocok untuk sistem penggembalaan atau sistem potong dan angkut, (ii) apakah cocok dengan kondisi lingkungan dan iklim setempat, (iii) apakah akan berproduksi dengan baik pada kondisi ternaungi dan cekaman kelembaban, (iv) bagaimana responnya terhadap pengelolaan yang intensif, dan (v) bagaimana persistensi tanaman pakan dalam jangka waktu yang lama terhadap kondisi lingkungan tersebut (NowAK et al., 2003) . Kehadiran cahaya matahari akan berpengaruh terhadap produksi bahan kering melalui proses fotosintesisnya, dimana fotosintesis merupakan mekanisme penggunaan cahaya matahari yang dikonversi oleh tanaman dalam bentuk energi yang dapat digunakan dalam sistem biologis . Umumnya rerumputan meningkat produksinya sejalan dengan dilakukan penjarangan pada tanaman utama yang menaunginya. Produksi bahan kering mempunyai hubunngan yang sangat dekat dengan intensitas transmisi cahaya
1 83
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas - 2020
matahari (TAJUDIN et al, 1993) . Tetapi walaupun begitu ada beberapa jenis tanaman pakan yang meningkat dengan meningkatnya tingkat naungan sampai tingkat intensitas cahaya matahari tertentu (GARRET dan Kum , 1983 ; WILSON dan WILD, 1991 ; dan UN et al., 1999), dan tingkat transimisi cahaya matahari 45% merupakan tingkat cahaya minumum yang potensial untuk memungkinkan tanaman pakan tetap tumbuh pada sistem silvopastoral (LADYMAN et a!., 2003) . Penggunaan rumput gajah untuk penanaman dibawah naungan masih sangat jarang, bahkan dalam penelitian pun masih sangat langka . Kebanyakan rumput yang ditanam kebanyakan jenis rerumputan untuk penggembalaan, apalagi pada kondisi dibawah naungan hutan pinus . Walaupun begitu pada kondisi naungan hutan jati, rumput gajah merupakan salah satu rumput yang direkomendasikan untuk ditanam (NARSUM, 1983) . Perencanan pengembangan pada tahun ini, Pemereintah Daerah Kabupaten Sumedang akan mengembangkan sistem silvopastoral untuk kebutuhan hijauan peternak KSU Tandangsari dalam bentuk hay. Tentunya penggunaan rumput gajah sebagai bahan baku hay tidak memungkinkan, maka perlu adanya pemilihan spesies yang persisten dalam sistem silvopastoral dan dapat digunakan untuk bahan baku hay. Penelitian tentang jenis jenis hijauan pakan yang cocok untuk ditanam dan tumbuh di bawah naungan telah banyak dilakukan dan telah banyak menghasilkan jenis hijauan yang cocok untuk dikembangkan pada berbagai kondisi tersebut . Informasi yang lebih lengkap dapat dilihat pada SHELTON dan STUR (1991) . Kesuburan tanah Kesuburan tanah menjadi permasalahan yang nampaknya harus cukup mendapat perhatian karena akan mengganggu terhadap keberlanjutan silvopastoral ini . Hal ini disebabkan bahwa silvopastoral bukan merupakan suatu sistem dengan siklus yang tertutup . Pada saat pemanenan dengan sistem potong clang angkut terjadi pengangkutan nutrient tanah dalam bentuk hijauan pakan dan tidak ada usaha untuk mengembalikannya kembali lagi, baik berupa pemberian pupuk kimia maupun organik.
1 84
Sikap sebagian peternak yang tidak melakukan pemupukan ini disebabkan oleh dua alasan mendasar, yaitu lahan hutan yang masih sangat subur dan jarak kandang yang relatif jauh dengan lokasi kebun rumput di hutan. Lahan yang subur sampai hari ini masih dapat mendukung pertumbuhan dan produksi tanaman pakan sehingga peternak belum mersa perlu melakukan pemupukan, sedangkan lokasi kebun yang jauh berada di hutan manjadi kendala dalam pengangkutan kotoran ternak yang bulky . Padahal kotoran ternak sebagai pupuk organik belum dimanfaatkan secara optimal. Bahkan kotoran ternak tersebut menjadi sumber pencemaran . Kesadaran petemak untuk memberikan pemupukan hara perlu dibangun untuk mempertahankan kesuburan tanah . Selain ini, kombinasi penanaman dengan menggunakan tanaman leguminosa pengikat nitrogen perlu digalakkan . Selama ini jenis tanaman pengikat nitrogen yang telah ditanam baru sebatas Kaliandra bunga merah, tetapi baru sebagai pembatas jalan utama dan belum memasyarakat dan pemanfaatannya pun sebagai sumber pakan belum menyentuh masyarakat peternak . Oleh karena itu, usaha untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya kesuburan tanah dan peranan leguminosa dalam membangun kesuburan tanah dan sumber pakan perlu dilakukan . KESIMPULAN Kegiatan agroforestry dalam bentuk silvapastura dengan berbasis usahaternak sapi perah dapat menghindari hutan dari kerusakan yang disebabkan oleh tekanan masyarakat sekitar. Penanaman rumput dapat meningkatkan fungsi ekologis, dan kehadiran petani dapat membantu merawat dan mengamankan tanaman terutama kehutanan dari penjarahan . Usahaternak sapi perah dapat membantu meningkatkan pendapatan masyarakat . UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Pipin AM selaku, Kepala Desa Cijambu Kecamatan Tanjungsari, Bapak Mimid selaku Ketua Kelompok Tani Sapi Perah di Desa Cijambu atas kemudahan dan data-data
Semiloka Nasional Prospek Jndustri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas - 2020
penunjang
yang
diberikan pada
penulisan
karya ilmiah ini . Selain itu, penulis sampaikan juga
terima
kasih
kepada
Tim
KKNM
Universitas Padjadjaran periode ketiga tahun 2007.
Agroekosistem Berbeda untuk Meningkatkan Daya Saing . Ciawi, 23 November 2006 . 7-20. FERNENDES, E .C .M ., C,B DAVEY, and N .C. SHANCHEZ. 1990 . Alley cropping on an utisol : fertilizer, mulch, and hedgegrow root prunning effects . Agronomy Abstract. 56 .
DAFTAR PUSTAKA ABDULLAH, L ., P .D .M.H. KARTI, dan S. HARDJOSOEwIGNYO. 2005 . Reposisi tanaman pakan dalarn kurikulum fakultas petemakan . Prosiding Lokakarya Tanaman Pakan Ternak . Bogor. 15 Agustus 2005 . 11-17 . BumuALIM, A, J NuLuc, dan Rc GuTTERDGE . 1990 . Usaha perbaikan pakan ternak sapi di Nusa Tenggara, Jurnal Litbang Pertanian, 12 (2) : 38-44 . CANNELL, M . 1999. Growing trees to sequester carbon in the UK: Answers to Some Common Questions. Forestry 72 :237-247 . CLASON, T. R. 1995 . Economic implications of silvipastures on southern pine plantations . Agrofor. Syst. 29 :227-238 . CLASON, T .R., and S .H . SHARROW. 2000. Silvopastoral Practices . . In: H.E. GARRETT et at., (ed) North American agroforestry : An integrated science and practice . ASA, CSSA, and SSSA, Madison,WI . 119-147 . COPLAND, J .W ., A. DJAJANEGARA, and M . SABRANI. 1994 . Agroforestry and animal production for human welfare. ACIAR No. 55 . Canberra . CROwE SR and McADAM JH. 1992 . Sward dynamics in a mature poplar agroforestry system grazed by sheep. In : Vegetation Management in Forestry, Amenity and Conservation Areas . Aspects of Applied Biology, 29,412-418 .
FUNES-MONZATE, F., and M . MONZATE . 2001 . Integrated agroecological systems as a way forward for Cuban agriculture . Livestock Research for Rural Development (13) 1 2001 . httv ://www,c ipav.ore.co/ln•d/Irrd 13/ 1 /fune 131 tm . GARRETT, H.E., and W .B . KURTZ. 1983 . Silvicultural and economic relationships of integrated forestry-farming with black Agroforestry Sys . 1 : 245-256 .
walnut .
GRIERSON, P., M . ADAMS, and P. ATTIwiu . 1992 . Estimates of carbon storage in the aboveground biomass of Victoria's forests . Aus . J . Bot. 40:631-640 . GUTTERIDGE, R .C . and H .M. SHELTON. 1994 . Animal production potential of agroforesty . In : J. W . COPLAND, A . DJAJANEGARA, and M . SABRANI . (Eds) Agroforestry and animal produktion for human welfare. ACIAR No . 55 . Canberra : 7 - 16. HOLMANN F, RIVAS L, URBINA N, RIVERA B, GIRALDO L A, GuzmAN S, MARTINEZ M, MEDINA A and RAMIREZ G. 2005 The role of livestock in poverty alleviation : An analysis of Colombia. Livestock Research for Rural Development. Volume 17, March 23, 2005, from httv ://www.civav .org.co/Irrd/Irrdl7/1 / holm1701 I .htm . KOTSCHI, J ., A . WATERS-BAYER, R. ADELHELM, and U. HoESLE. 1990. Ecofarming in agricultural development . Tropical Agroecology 2 . GTZ . Eschbom .
DELGADO, C ., M . ROSEGRANT, H . STEINFELD, S. EHuI, and C. Souatus. 1999. Livestock to 2020 : The next food revolution . food,
LADYMAN, K.P. , M.S . KERLEY, R.L. KALLENBACH, H.E . GARRETT, J .W . VAN SAMBEEK, and N .E .
agriculture, an environment Discussion Paper 28 . International Food Policy Research Institute .72 .
NAVARRETE-TINDALL. 2003 . Quality and quantity evaluations of shade grown forages . AFTA 2003 Con . Proceedings. 175 - 181 .
DIREKTORAT JENDRAL PETERNAK . 2007. Statistik Petemakan 2007 . Direktorat Jendral Peternakan . Departemen Pertanian . Jakarta.
LIN, C.H., R.L . McGRAw, M.F . GEORGE, and H .E . GARRETT . 1999. Shade effects on forage crops
DIWYANTO, K., A. ANGGRAENI, dan E. HANDIWIRAWAN. 2007 . Prospek pengembangan sapi perah dalam era kesejagadan . Dalam Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Perah : Inovasi Teknologi Sapi Perah Unggul yang Adaftif pada Kondisi
with potential in temperate agroforestry practices . Agroforestry Sys . 44 : 109-119 . MANsYUR, HARUN DJUNED, TIDI DHALIKA, S . HARDJOSOEWIGNYO, dan L. ABDULLAH . 2005 . Pengaruh interval pemotongan dan invasi gulma Chromolaena odorata terhadap produksi dan kualitas rumput Brachiaria
1 85
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas - 2020
humidicola. Media Peternakan, Agustus 2005 . 28 (2) : 77-86 . MICHEL, G.A ., V. D . NAm, P. K. R. NAIR and S . C . ALLEN. 2003 . Silvopasture as an aproach to rducing ntrient pllution from psturelands in Florida. In : AFTA 2005 Conference Proceedings. 1-5 . MoENANDIR, J. 1993 . Persaingan tanaman budidaya dengan gulma: Ilmu Gulma-Buku k etiga. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. 101 . MOSQUERA-LOSADA, MR, MCADAM and RIGuEIRORODRIGUEZ A . 2005 . Declaration, summary and conclusions . In : MosQuERA-LosADA MR, MCADAM J and RIQUEIRO-RODRIQUEZ A (eds) Silvopastoralism and sustainable land management, CABI Publishing, Wallingford, England UK, pp 418-421 . NARSUM . 1983 . Eksplorasi budidaya tanaman pakan dalam ekosistem hutan jati : Implementasi agrohutani di Banyumas Barat. Disertasi . Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Bandung . NowAK, J ., A. BLOUNT and S WORKMAN . 2002 . Circular 1430, integrating timber, forage and livestock production-benefits of silvopasture . School of Forest R Resources and Conservation, Florida Cooperative Extension Service, University of Florida.
SHELTON, H .M. and W.W . STuR . 1991 . Forages for plantation . Proceeding of a Workshop, Sanur Beach, Bali . Indonesia, 27-29 June, 1990 . SIMoN, H. 2006 . Hutan jati dan kemakmuran : Problem and strategi pemecahannya . Pustaka Pelajar . Yogyakarta . 310 . SIMON, H . 2008 . Pengelolaan hutan bersama Rakyat : Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa . Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 294 . SOERjANI, M. 1976 . Crop-weed allelophaty . UPLB dan SEARCH . Philiphina : 26-51 . TAruDDIN, I ., DT . CHONG, K .F. NG, W .W. STUR, and H.M . SHELTON. 1993 . Sheep and forage productivity in rubber plantation . Proceeding of the XVII International Grassland Congress, 2067-2068 . TURNER R L. 2004. Livestock production and rural poor in Andhra Pradesh and Orissa States, India. Pro-poor Livestock Policy Initiative Working Paper No. 9. FAO, Rome . httv ://www.fao .orp/aEJaiainfo/nroiects/en/ptl pi/docarc/wn9.ndf . VERGIO. J.B . and SERRAO, E .A.S . 1990. Sistemas silvopastors e producoa animal nos ttopicos umidos : A experience da Amazonia brasilera. In: Pastagens/Sociedade Brasileira de Zootecnia, FEALQ, Piracicaba, SP, 37-68 .
NuLIK, J . 1994. Establishment of Tree Legumes as Influnced by Water Stress, Competition, and Pphosphorus Nutrition. Ph .D thesis. The University of Queensland . PEMDA SUMEDANG . 2007 . Daftar Isian Potensi Desa Cijambu Kecamatan Tanjungsari, Kabupeten Sumedang. Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. Pemerintah Daerah Sumedang, Sumedang .
WILSON, J.R. and D.W.M. WILD. 1991 . Improvement of nitrogen nutrition and grass growth under shading. In : SHELTON, H .M. and W.W. STUB. 1991 . Forages for Plantation . Proceeding of a Workshop, Sanur Beach, Bali . Indonesia, 27-29 June, 1990 .77-82.
SETIADI, D. 2007 . Peningkatan kualitas manajemen sapi perah di koperasi . Dalam Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Perah : Inovasi Teknologi Sapi Perah Unggul yang Adaftif pada Kondisi Agroekosistem Berbeda untuk Meningkatkan Daya Saing . Ciawi, 23 November 2006 56-60 .
WORLD BANK INDIA. 1999. Livestock sector review : Enhancing growth and development . The World Bank and Allied Publishers: New Delhi .
SHARROw, S . H ., D. H. CARLSON, W . H . EMMINGHAM, and D . LAVENDER. 1996 . Productivity of two douglas-fir-subclover sheep aroforestry compared to pasture and forest monoculture. Agrofor. Syst. 34 :305-313 .
186
WHITE, L. 2005 . Silvopasture literature review . Agroforestry Unit of Saskatchewan Foret Centre. Canada. 36.